Anda di halaman 1dari 2

Menggugah Kebangkitan Sastra Epik

Karya sastra epik mungkin sudah sedikit dimengerti. Apa itu sastra epik? Merujuk klasifikasi klasik sebagaimana
digagas Aristoteles, filsuf ternama Yunani Kuno, karya sastra epik merupakan satu dari empat genre sastra, yaitu:
epik, lirik, dramatis dan lirik-epik. Masing-masing memiliki "sub-genre" sendiri. Sastra epik bisa didefinisikan
sebagai bentuk sastra yang bermuatan cerita kepahlawanan yang digabungkan atau dicampur dengan unsur mitos,
legenda, cerita rakyat, dan sejarah. Tokohnya hebat dan kehebatannya tampak dalam menghadapi peperangan atau
pertempuran, peristiwa, atau musuh. Dari kepahlawanan ini, mereka dianggap sebagai tokoh sejarah karena
tindakannya membela nasib orang banyak, sehingga mereka sering dimitoskan.

Batasan tokoh yang menjadi pusat sastra epik berkisar pada tokoh yang dianggap sebagai pendiri suatu agama atau
suatu negara, seseorang yang memiliki kesempurnaan dalam kehidupannya (yang memiliki sifat luhur seperti berani,
kuat, pemurah, setia, trampil, sakti, dan sebagainya), seorang panglima perang dalam suatu pertempuran, seorang
mahapatih yang memajukan suatu kerajaan atau negara. Singkatnya, mereka kehidupannya tidak ubah pelita yang
memancarkan cahaya dalam menerangi kegelapan dunia.

Keberadaan sastra epik bisa dimaknai dengan berbagai tujuan. Salah satunya, memberi tafsiran dengan cara baru
peristiwa masa lalu, entah terkait dengan kehidupan tokoh, kejadian besar yang mengubah perjalanan sejarah, atau
pembangunan tempat penting. Menarik benang merah peristiwa masa lalu dengan jaman di mana sastra epik ditulis
menjadi hal yang perlu digarisbawahi. Seringkali, tokoh-tokoh imaginer dilibatkan di seputar tokoh-tokoh sejarah
yang benar-benar hidup dalam kisah yang diceritakan dalam sastra epik. Nah, bagaimana tokoh-tokoh imaginer
tersebut tergantung sepenuhnya dengan konteks penulis sastra epik. Sejumlah karekter disematkan pada tokoh-tokoh
imaginer tersebut. Kecuali tokoh imaginer, pengarang sastra epik sering menambahkan peristiwa imaginer di dalam
sastra epik.

Tokoh dan peristiwa imaginer dikemas dengan memanfaatkan referensi sumber masa lalu, entah tulisan entah benda
peninggalan masa lalu. Semakin banyak referensi dilibatkan dalam membangun peristiwa imaginer, konten sastra
epik akan menjadi ranah yang asyik dan memikat. Apalagi, jika ditambahkan sejumlah trik-trik oleh penulis, cerita
pun menjadi benar-benar menjerat dan mengintimidasi pembaca hingga memunculkan obsesi di antara pembaca
sampai pada akhir cerita dengan penuh kesan dan kekaguman. “Oh, begitu ya kejadiannya!” Di akhir pembaca
menyelesaikan penggalan cerita yang dibacanya. Bahkan, cerita epik yang baik akan merangsang pembaca
berimaginasi, lebih jauh lagi mendorong pembaca menulis cerita berdasarkan sudut pandang sendiri. Cerita pun
memancing cerita baru. Di situlah ukuran keberhasilan satu cerita epik ditulis.

Naga Bhumi Mataram, misalnya, ditulis mengambil latar belakang abad ke-9 hingga ke-10. Sejumlah tokoh dan
peristiwa imaginer dijadikan unsur penting dari badan cerita. Tentu saja, mereka diletakkan dalam konteks mengacu
pada referensi yang ada. Tokoh imaginer Arga Triwikarama diciptakan sebagai tokoh yang kelak akan menyandang
nama sebagai Dyah Balitung. Berita-berita masa lalu mengenai Dyah Balitung yang masih terekam saat ini dibaca
dan dimanfaatkan untuk membangun peristiwa-peristiwa yang akan dilalui Arga dalam Naga Bhumi Mataram.
Cukup sulit, namun menantang, menarik benang merah menyusun berita-berita masa lalu dalam satu kesatuan yang
kronologis untuk membentuk bahan cerita. Tentu banyak kelemahan, namun bisa disiasati dengan trik-trik atau
“cabang cerita” sebagai rekaan untuk menutup ruang-ruang kosong yang tidak diketahui.

Menyusul kemudian Naga Bhumi Mataram, cerita Bajug Anggakara bertutur seputar masa akhir Bhumi Mataram.
Mandrakanta tokoh utama diimaginasikan kelak akan bergelar Mpu Sindok, pendiri Dinasti Isyana, penguasa
Yawadwipa yang memindahkan kekuasaan dari wilayah tengah ke timur. Memang, belum tuntas selesai, Bajug
Anggakara pun mengemukakan konflik kekuasaan di antara penguasa Poh Pitu dengan Wwatan. Di tengah konflik
tersebut, diberi bumbu kehadiran kekuatan Bhumi Galuh dan Utusan Negeri Cina selepas akhir kekuasaan Dinasti
Tang.

Cerita Dewata Abhirama Satriya dengan tokoh utama Tanja Balwana mengacu pada konflik Panjalu dan Jenggala.
Memanfaatkan sumber penyerangan Sriwijaya yang menghancurkan dan menewaskan Dharmawangsa Teguh,
penguasa akhir Wangsa Isyana, Dewata Abhirama Satriya digulirkan menjaga wasiat Raja Airlangga, yang membagi
wilayah kerajaan di antara anak keturunan, menjadi Panjalu dan Jenggala hidup dalam kerukunan.
Di luar kisah berlatar tlatah Yawadwipa, telah disajikan juga cerita Diànyuán Shí Hēi (Tenaga Batu Hitam) yang
berlatar masa Dinasti Tang. Cerita ini dibangun atas dasar konflik di antara putera-putera Kaisar Gao Zu, sambil
memanfaatkan sumber purbakala Teraskota yang dibangunan saat Dinasti Qin beberapa abad di belakang masa
Dinasti Tang.

Anda mungkin juga menyukai