Anda di halaman 1dari 16

Mata kuliah : Manajemen Mutu Rumah Sakit

MANAJEMEN RISIKO
MEDICATION ERROR IN HOSPITAL

TANTRI WULANDARI
K022201022

MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Rumah sakit sebagai sebuah industri di bidang kesehatan memiliki karakteristik tersendiri
yang serba padat, yaitu padat karya, padat modal, padat teknologi dan padat regulasi. Dengan
kondisi tersebut, tentunya rumah sakit tidak terlepas dari risiko terjadinya kesalahan dan
kecelakaan dalam melayani pasien. Untuk menjamin keselamatan pasien untuk mencegah
terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), rumah sakit perlu menerapkan upaya Manajemen
Risiko.
Manajemen risiko adalah upaya menganalisis sistem yang ada terhadap potensi kesalahan
untuk mencegah terjadinya insiden. Manajemen risiko merupakan suatu usaha terorganisir untuk
mengidentifikasi, menyusun prioritas risiko, menganalisis dan mengurangi potensi risiko yang
mungkin terjadi pada pasien, pengunjung, staff dan aset organisasi. Manajemen risiko
terintegrasi dengan proses proses dalam organisasi. Proses manajemen risiko menyediakan
sebuah framework yang memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih efektif. Dengan
manajemen risiko, Rumah Sakit dapat menerapkan suatu desain kebijakan untuk mencegah
terjadinya Adverse Event/Kejadian yang Tidak Diinginkan dalam memberikan pelayanan
kesehatan.
Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggungjawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian yaitu
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety).
Keselamatan pasien merupakan suatu disiplin baru dalam pelayanan kesehatan yang
mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error yang sering menimbulkan
Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan kesehatan. Kegiatan skrining resep yang
dilakukan tenaga kefarmasian untuk mencegah terjadinya keselahan pengobatan (Medication
error) (Depkes RI, 2008). Medical error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat
pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah.
Medical error merupakan kejadian yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan
kesehatan yang tidak tepat atau membahayakan pasien yang sebenarnya dapat dihindari. Konsep
medication safety mulai menjadi perhatian dunia sejak November 1999 setelah Institute of
Medication (IOM) melaporkan adanya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) pada pasien rawat
inap di Amerika sebanyak 44.000 bahkan 98.000 orang meninggal karena medical error
(kesalahan dalam pelayanan medis) dan 7.000 kasus karena medication error (ME). Terjadi atau
tidaknya suatu kesalahan dalam pelayanan pengobatan terhadap pasien telah menjadi indikator
penting dalam keselamatan pasien. Medication error (ME) merupakan jenis medical error yang
paling sering dan banyak terjadi  (Kohn L et al., 2000).
Data medication error di Inggris WHO(2016)3, antara Januari 2005 dan Desember 2010
terjadi kesalahan berkisar 10-12% atau sebanyak 517.415 laporan kejadian kesalahan pengobatan
yang diterima dari Inggris dan Wales, yang merupakan sekitar 10% dari semua insiden
keselamatan pasien. Laporan kesalahan itu meliputi tahap administering 50%; tahap peresepan
18%, Obat yang hilang dan tertunda 16% dan dosis salah 15%.
Dari 10 fakta mengenai patient safety dari WHO, disebutkan bahwa di negara
berkembang, 1 dari 10 pasien yang dirawat di rumah sakit berisiko terhadap terjadinya medical
error dan kesalahan obat yang merugikan (World Health Organization, 2017). Dalam sebuah
studi mengenai kejadian tidak diharapkan (KTD) akibat kesalahan medikasi yang dilaksanakan
di beberapa rumah sakit di United States of America (USA) ditemukan fakta bahwa 34%
kesalahan medikasi yang timbul disebabkan oleh salah satunya adalah peran perawat (Bates et al
1995 dalam Indracahyani, 2007).
Kasus kesalahan obat tidak jarang menjadi tuntutan hukum dan berakhir di pengadilan.
mengingat dampak yang ditimbulkan antara lain bertambahnya biaya perawatan, hari rawat inap
yang memanjang bahkan yang terburuk adalah kehilangan nyawa pasien. Salah satu aspek yang
khas dalam kejadian medication error adalah tingkat kejadiannya yang cukup sering namun
masih bersifat under report yang diakibatkan oleh sistem pelaporan yang belum baik (Ramya,
2014).
Data tentang kesalahan pemberian obat di Indonesia masih belum banyak ditemukan dan
tidak terdata secara jelas karena kejadian tersebut lebih banyak ditutupi. Berdasarkan laporan
insiden keselamatan pasien dari Komite Keselamatan Pasien – Rumah sakit (KKP-RS) pada
2010, insiden akibat kesalahan medikasi mencapai 11,11% atau menempati urutan ketiga insiden
setelah insiden akibat kesalahan proses atau prosedur klinis dan pasien jatuh (Indracahyani,
2007).

Melihat permasalahan ME yang kerap terjadi di rumah sakit, hal ini menjadi menarik
bagi penulis untuk dilakukan analisa dan pembahasan apakah yang menjadi penyebab terjadinya
medication error dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian medication error tersebut
sehingga dapat disusun suatu rekomendasi aplikatif untuk mengurangi kejadian ME.
BAB II

KAJIAN MASALAH

Istilah Medication error (ME) diartikan oleh National Coordinating Council for
Medication error Reporting and Prevention sebagai berikut :
A medication error is any preventable event that may cause or lead to inappropriate
medication use or patient harm while the medication is in the control of the health care
professional, patient, or consumer. Such events may be related to professional practice, health
care products, procedures, and systems, including prescribing, order communication, product
labeling, packaging, and nomenclature, compounding, dispensing, distribution, administration,
education, monitoring, and use.
Kesalahan pengobatan (medication error) dapat terjadi pada 4 fase, yaitu kesalahan
peresepan (prescribing error), kesalahan penerjemahan resep (transcribing erorr), kesalahan
menyiapkan dan meracik obat (dispensing erorr), dan kesalahan penyerahan obat kepada pasien
(administration error) (Adrini TM, 2015).
Secara umum, faktor yang paling sering mempengaruhi medication error adalah faktor
individu, berupa persoalan pribadi, pengetahuan tentang obat yang kurang memadai, dan
kesalahan perhitungan dosis obat (Mansouri et al., 2014). Kesalahan pada salah satu tahap akan 
menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya.

NO. KAJIAN MASALAH


BENTUK ME TEORI FAKTA JURNAL PENELITIAN
1. Prescribing Tertulis jelas Penulisan resep yang Tidak ada SIP dokter pada
tanggal pemberian sulit dibaca dibagian beberapa resep
resep, nama dan nama obat,, satuan dikarenakan masih ada
SIP dan paraf numerik obat yang stempel yang hanya
dokter tertera di digunakan, bentuk berisikan nama dokter, hal
resep, tulisan sediaan yang ini terjadi karena belum
terbaca dengan dimaksud, tidak ada dibuatkan stempel yang
jelas, identitas dosis sediaan, tidak berisikan nama dan SIP
pasien lengkap, ada umur pasien, dokter.Rahmawati dan
instruksi jelas dan tidak ada nama Oetari (2002), Faktor yang
lengkap, dosis tepat dokter, tidak ada SIP dapat menyebabkan
pasien, kontra dokter, tidak ada dokter tidak menuliskan
indikasi jelas, tidak tanggal pemberian) paraf pada peresepan
ada duplikasi, adalah karena dokter
menggunakan cap stempel
sebagai pengganti
identitas dokter, dan
menganggap stempel
sudah mewakili paraf
dokter. (Sitti Fatimah, et
al. 2020).
2. Transcribing Resep mudah Tidak jelas nomor Tidak ada/tidak lengkap
dibaca, rekam rekam medis, tidak bentuk sediaan, dosis obat
medis tertera jelas nama obat, dan cara pakai obat
dengan jelas, tidak tidak jelas dosis disebabkan dari kebiasaan
ada instruksi yang obat, tidak jelas cara sebagian dokter yang
terlewatkan, pakai obat, tidak hanya akan menuliskan
instruksi jelas bentuk sediaan apabila obat tersebut
dikerjakan, benar bukan berupa bentuk
menerjemahkan sediaan tablet, dan juga
instruksi verbal) dokter menganggap
bahwa petugas farmasi
sudah paham bentuk
sediaan obat yang sering
diresepkan, dan dosis
yang tidak tertulis adalah
dosis obat yang terkecil
(Siti Fatimah, et al. 2020).
Sebagian dokter
mengatakan tidak
mencantumkan berat
badan pasien karena
dokter tidak mengetahui
adanya perincian berat
badan pasien pada resep
sehingga dokter tidak
menuliskannya, selain itu
menurut sebagian dokter
mengatakan, pada rekam
medis sudah ada berat
badan pasien sehingga
dokter tidak
menuliskannya. Ada juga
dokter yang mengatakan
bahwa dokter akan
menuliskan berat badan
pasien apabila pasien
tersebut adalah pasien
anak-anak (A. W.
Khairurrijal, et.al. 2018).
3. Dispensing Tidak terdapat Memberi obat yang Memberi obat yang rusak,
Kontra indikasi rusak, Salah salah mengambil obat,
antar obat, dosis mengambil obat, salah/tidak lengkap, salah
tepat, sediaan obat Salah/tidak lengkap bentuk sedian, etiket yang
jelas, instruksi menulis etiket, ditulis tidak terisi dengan
penggunaan obat instruksi lengkap seperti halnya
jelas, tepat penggunaan obat pada bagian waktu
menghitung dosis, tidak jelas, salah meminum obat, pada
tepat memberi menghitung dosis, bagian bentuk sediaan,
label, tepat menulis kontraindikasi, extra dan tanggal kadaluarsa.
instruksi, dose, gagal Hal ini dapat berpotensi
pemberian obat di mengecek instruksi, menimbulkan medication
luar instruksi, pemberian obat di error. Pencantuman waktu
instruksi dijalankan luar instruksi, meminum obat ini cukup
dengan benar) instruksi dijalankan penting karena meminum
keliru) obat sesuai interval waktu
yang tepat dapat
membantu keefektifan
terapi suatu obat (Yosefin,
et al.2016)
4. Administrasi Tepat pasien, tepat Salah pemberian Etiket yang ditulis tidak
pemberian dosis, dosis, salah waktu terisi dengan lengkap
tidak ada kontra pemberian obat, seperti halnya pada bagian
indikasi, tepat salah rute waktu meminum obat,
waktu pemberian pemberian, pada bagian bentuk
obat, tepat rute memberikan obat sediaan, dosis obat dan
pemberian. pada pasien yang tanggal kadaluarsa. Hal ini
salah, Pasien gagal dapat berpotensi
menerima obat menimbulkan medication
error. Utamanya pada
pasien lansia (Senafikish
Amsalu, et al.2015).
BAB III
PEMBAHASAN

Setelah mengkaji masalah terkait medication error, berikut adalah uraian masalah,
dampak dan dan rekomendasi pencegahan terjadinya medication error.
1. Kesalahan Peresepan (Prescribing Error)
Hal-hal yang sering terjadi prescribing error dari beberapa jurnal adalah penulisan resep
yang sulit dibaca dibagian nama obat,, satuan numerik obat yang digunakan, bentuk sediaan yang
dimaksud, tidak ada dosis sediaan, tidak ada umur pasien, tidak ada nama dan paraf dokter, tidak
ada SIP dokter, tidak ada tanggal pemberian. (Rahmawati dan Oetari, 2002).
Faktor yang dapat menyebabkan dokter tidak menuliskan paraf pada peresepan adalah
karena dokter menggunakan cap stempel sebagai pengganti identitas dokter, dan menganggap
stempel sudah mewakili paraf dokter. (Sitti Fatimah, et al. 2020).
Pencantuman nama dan paraf dokter dalam resep juga merupakan hal yang penting untuk
dicantumkan, jika terjadi kesalahan dalam hal peresepan maka petugas kefarmasian dapat
langsung menghubungi dokter yang bersangkutan untuk melakukan verfikasi terkait dengan
terapi obat yang diberikan kepada pasien (Akoria dan Isah, 2008), sedangkan pencantuman SIP
dalam resep diperlukan untuk menjamin keamanan pasien, bahwa dokter tersebut mempunyai
hak dan dilindungi undang-undang dalam memberikan terapi pengobatan kepada pasien
(Mamarimbing dkk., 2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yosefin  dkk (2016), bahwa faktor penyebab ME
fase prescribing meliputi beban kerja yaitu rasio antara beban kerja dan SDM tidak seimbang,
edukasi yaitu penulisan resep tidak memenuhi syarat kelengkapan resep, gangguan bekerja yaitu
terganggu dengan dering telepon, kondisi lingkungan yaitu pencahayaan yang kurang
mendukung saat bekerja, dan komunikasi yaitu permintaan obat secara lisan. Hal ini seharusnya
bisa dihindari.
Permasalahan prescribing dapat dicegah dengan menyiapkan SIM RS yang dapat
memfasilitasi elektronik resep (e-resep). E-resep ini dapat memudahkan dokter, perawat dan
farmasis dalam melakukan penginputan resep yaitu pemilihan obat, dosis, bentuk sediaan dan
cara pakai karena semua sudah tersedia pada fitur SIM RS. Dokter tidak perlu membubuhkan
nama, paraf dan SIPnya pada resep, karena semua sudah tersedia di system informasi dan resep
tidak akan disalahgunakan karena hanya berlaku dalam lingkungan internal rumah sakit.

2. Kesalahan Penerjemahan Resep (Transcribing Error)


Tidak ada/tidak lengkap bentuk sediaan, dosis obat dan cara pakai obat disebabkan dari
kebiasaan sebagian dokter yang hanya akan menuliskan apabila obat tersebut bukan berupa
bentuk sediaan tablet, dan juga dokter menganggap bahwa petugas farmasi sudah mengerti
bentuk sediaan obat yang sering diresepkan, dan dosis yang tidak tertulis adalah dosis obat yang
terkecil (Siti Fatimah, et al. 2020).
Sebagian dokter mengatakan tidak mencantumkan berat badan pasien karena dokter tidak
mengetahui adanya perincian berat badan pasien pada resep sehingga dokter tidak
menuliskannya, selain itu menurut sebagian dokter mengatakan, pada rekam medis sudah ada
berat badan pasien sehingga dokter tidak menuliskannya. Ada juga dokter yang mengatakan
bahwa dokter akan menuliskan berat badan pasien apabila pasien tersebut adalah pasien anak-
anak (A. W. Khairurrijal, et.al. 2018).
Pentingnya pencantuman berat badan dalam penulisan resep dikemukakan dalam
penelitian Mamarimbing dkk., (2012), yang menyebutkan bahwa berat badan merupakan salah
satu aspek penting yang diperlukan dalam perhitungan dosis, khususnya dosis anak.
Tipe-tipe trascribing errors antara lain (Ruchika Garg et al., 2014):
a. Kelalaian, misalnya ketika obat diresepkan namun tidak diberikan.
b. Kesalahan interval, misalnya ketika dosis yang diperintahkan tidak pada waktu yang tepat.
c. Obat alternatif, misalnya pengobatan diganti oleh apoteker tanpa sepengetahuan dokter.
d. Kesalahan dosis, misalnya pada resep 0.125 mg menjadi 0.25 mg pada salinan.
e. Kesalahan rute, misalnya pada resep Ofloxacin tablet menjadi Ofloxacin I.V.
f. Kesalahan informasi detail pasien, meliputi nama, umur, gender, registrasi yang tidak
ditulis atau salah ditulis pada lembar salinan.

Rekomendasi terkait transcribing adalah rumah sakit perlu melakukan sosialisasi dan
membuat surat edaran penulisan resep yang lengkap dan benar yang harus dihadiri oleh semua
dokter dari masing-masing SMF. Instalasi farmasi harus berkomitmen tidak akan menerima dan
melayani resep yang tidak dilengkapi identitas pasien, dosis obat, bentuk sediaan obat dan cara
pakai obat. Kepala Instalasi membuat rekapan nama-nama dokter yang tidak kooperatif dalam
pelaksanaan penulisan resep yang sesuai standar, dan menyerahkan daftar tersebut kepada
Kepala Bidang Pelayanan ataupun Direktur Pelayanan Medik.

3. Kesalahan Menyiapkan dan Meracik Obat (Dispensing error)

Jenis kasus dispensing error yang terjadi pada layanan farmasi adalah salah obat, salah
kekuatan obat, dan salah kuantitas. Hal ini selaras dengan beberapa penelitian lain yaitu
Aldhwaihi et  al (2016), dan James et  al (2007). Salah obat adalah jenis error paling umum dari
dispensing error pada pelayanan farmasi, sementara error lain adalah kekeliruan kekuatan obat
(wrong medicine), dosis (wrong drug strength), dan jumlah obat (wrong quantity) (Aldhwaihi et 
al., 2016 dan James dkk, 2007) selaras dengan temuan penelitian tersebut (Pitoya Z. A. dkk,
2016).
Ada juga rumah sakit dengan kejadian kekeliruan dosis angkanya jauh lebih banyak dari
pada kekeliruan obat salah satunya adalah hasil penelitian Al-Khani S, et al (2014). Penyebab
tersebut bisa karena staf tidak mempunyai pengetahuan atau keterampilan yang benar tentang
berbagai ukuran dan  ketrampilan kemampuan mengkonversi ke unit pengukuran lain. Hal ini
sangat penting untuk mencegah kekeliruan dosis (Pitoya Z. A. dkk, 2016).
Memberi obat yang rusak, salah mengambil obat, salah/tidak lengkap, salah bentuk
sedian, etiket yang ditulis tidak terisi dengan lengkap seperti halnya pada bagian waktu
meminum obat, pada bagian bentuk sediaan, dan tanggal kadaluarsa. Hal ini dapat berpotensi
menimbulkan medication error. Pencantuman waktu meminum obat ini cukup penting karena
meminum obat sesuai interval waktu yang tepat dapat membantu keefektifan terapi suatu obat
(Yosefin, et al.2016).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yosefin dkk (2016), bahwa faktor penyebab ME
fase dispensing meliputi beban kerja yaitu rasio antara beban kerja dan SDM tidak seimbang,
edukasi yaitu penyiapan obat yang tidak sesuai permintaan resep, komunikasi yaitu kurangnya
komunikasi mengenai stok perbekalan farmasi, kondisi lingkungan yaitu tidak adanya ruangan
penyiapan obat dan gangguan bekerja yaitu terganggu dengan dering telepon. Hal ini selaras
dengan hasil penelitian Aldhwaihi et al (2016) yang menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang
berkaitan dengan dispensing errors adalah beban pekerjaan tinggi, jumlah staf yang kurang, obat
LASA, kemasan yang mirip, sistem penyimpanan obat LASA dan gangguan lingkungan antara
lain distraksi, interupsi.

Rekomendasi untuk pencegahan dispensing error, petugas farmasi melakukan double


check sebelum obat diserahkan kepada pasien, guna mencegah kesalahan penyiapan obat dan
etiket yang tidak lengkap.

4. Kesalahan Penyerahan Obat Kepada Pasien (Administration Error)


Kesalahan administrasi pengobatan (MAE) didefinisikan sebagai perbedaan antara apa
yang diterima oleh pasien atau yang seharusnya diterima pasien dengan apa yang di maksudkan
oleh penulis resep (Zed et al., 2008). MAE adalah salah satu area resiko praktik keperawatan dan
terjadi ketika ada perbedaan antara obat yang diterima oleh pasien dan terapi obat yang
ditunjukan oleh penulis resep (Williams, 2007).
Tidak tepat pasien, Etiket yang ditulis tidak terisi dengan lengkap seperti halnya pada
bagian waktu meminum obat, pada bagian bentuk sediaan, dosis obat dan tanggal kadaluarsa.
Hal ini dapat berpotensi menimbulkan medication error. Utamanya pada pasien lansia
(Senafikish Amsalu, et al.2015). Dari beberapa jurnal, jenis administration erorr yang terjadi
pada saat pelayanan farmasi adalah kesalahan waktu pemberian obat, kesalahan teknik
pemberian obat, dan obat tertukar pada pasien yang namanya sama (right drug for wrong
patient). Salah satu contoh administration erorr, misalnya obat diberikan informasi diminum
sesudah makan yang seharusnya sebelum makan atau yang seharusnya siang atau malam
diberikan pagi hari.
Faktor penyebab ME fase administration meliputi beban kerja yaitu rasio antara beban
kerja dan SDM tidak seimbang, gangguan bekerja yaitu terganggu dengan dering telepon,
edukasi yaitu tidak tepat waktu pemberian obat, kondisi lingkungan yaitu jarak unit farmasi tidak
memudahkan tenaga kesehatan dalam pemberian obat dan komunikasi yaitu kurangnya
komunikasi tenaga kesehatan dan pasien dalam penggunaan obat (Yosefin dkk, 2016).
Untuk menghindari kesalahan pengobatan, Apoteker dapat berperan nyata dalam
pencegahan terjadinya kesalahan pengobatan melalui kolaborasi dengan dokter, pasien, serta
tenaga kesehatan lainnya. Hal yang dapat dilakukan antara lain (Depkes RI, 2008) :
1. Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam
medik/ nomor resep,
2. Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter.
Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi
dokter penulis resep.
3. Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan
keputusan pemberian obat, seperti : umur, berat badan, jenis kelamin dan data klinis
(alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi
dan berat badan pasien yang menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk
keperluan perhitungan dosis. Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium,
tanda-tanda vital dan parameter lainnya), terutama untuk obat-obat yang memerlukan
penyesuaian dosis dosis (seperti pada penurunan fungsi ginjal).
4. Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
5. Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (eprescribing) dan pencatatan
pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
6. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun
harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan
mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus
diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima
permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai jurnal, prevalensi medication erorrs
pada setiap tahapan yaitu prescribing, transcribing, dispensing, dan administration menunjukan
hasil yang bervariatf di setiap tempat pelayanan farmasi atau instalasi farmasi. Hal ini
dikarenakan, faktor penyebab terjadinya medication erorrs disetiap tempat berbeda-beda.
Penyebab medication error yang terjadi adalah adanya ketidaksesuaian penulisan
instruksi di catatan medik dan di resep, tingginya beban kerja farmasis dan perawat, kurang
adanya komunikasi yang baik antara dokter, perawat dan tenaga farmasi.
DAFTAR PUSTAKA

Chintia Timbongol, Widya Astuty L, Sri Sudewi. 2016. Identifikasi Kesalahan Pengobatan
(Medication Error) pada Tahap Peresepan (Prescribing) Di Poli Interna RSUD Bitung.
Pharmacon 5(3):1-6 ISSN 2302 – 2493.

Hartati, et al. 2014. Analisis Kejadian Medication Error Pada Pasien ICU.
https://journal.ugm.ac.id/jmpf/article/viewFile/29450/17594

Thomas L. Rodziewicz, et al. 2021. Medical Error Reduction and Prevention.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499956/

Alireza Irajpour, et al. 2019 Effect of Interprofessional Education of Medication Safety


Program On the Medication Error of Physicians and Nurses in the Intensive Care Units.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6852381/

Sitti Fatimah, et al. 2020. Analisis Kejadian Medication Error Resep Pasien Rawat Jalan Di
Rumah Sakit X Cilacap. http://jurnal.umus.ac.id/index.php/jophus/article/view/272/jophus.
Journal of Pharmacy UMUSVol.2, No.01, Agustus2020, pp. 36~43

Aldhwaihi K, et al. 2016. Systematic Review of the Nature of Dispensing Errors in Hospital
Pharmacies. Integrated Pharmacy Research and Practice 5: 1-10.

Al-Khani S, et al. 2014. Factors Contributing to the Identification and Prevention of Incorrect
Drug Prescribing Errors in Outpatient Setting. Saudi Pharmaceutical Journal 22(5):429-
432.

Yosefin Ch. D, et al. 2016. Faktor Penyebab Medication Error pada Pelayanan
Kefarmasian Rawat Inap Bangsal Anak RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado.
Pharmacon 5 (3):66-74  ISSN 2302 – 2493.

Zakiah Rasmi O,et al. 2017. Kejadian Medication Error Pada Fase Prescribing Di Poliklinik
Pasien Rawat Jalan RSD Mayjend HM Ryacudu Kotabumi. JK Unila 1 (3):540-545.

M. A. W. Khairurrijal, et al. 2018. Review: Medication Erorr Pada Tahap Prescribing,


Transcribing, Dispensing, dan Administration. Farmasetika.com (Online), doi:
10.24198/farmasetika.v2i4.15020.

P. Nilasari, et al. 2017. Faktor-Faktor yang Berkaitan / Berhubungan Dengan Mediation


Error dan Pengaruhnya Terhadap Patient Safety yang Rawat Inap di RS. Pondok
Indah Jakarta Tahun 2012-2015. Soc.Clin. Pharm. Indones. J. Univ. 17 Agustus 1945
Jakarta, vol. 2, no. 1, pp. 1–9 [Online]. Available:
http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/SCPIJ/article/view/919/626

Elizabeth Maniaz, et al. 2018. Medication Error Trends and Effects of Person-Related,
Environment-Related and Communication-Related Factors on Medication Errors in a
Paediatric Hospital. Journal Peadiatric and Child Health. Doi:10.1111/jpc.14193

Anda mungkin juga menyukai