MANAJEMEN RISIKO
MEDICATION ERROR IN HOSPITAL
TANTRI WULANDARI
K022201022
Rumah sakit sebagai sebuah industri di bidang kesehatan memiliki karakteristik tersendiri
yang serba padat, yaitu padat karya, padat modal, padat teknologi dan padat regulasi. Dengan
kondisi tersebut, tentunya rumah sakit tidak terlepas dari risiko terjadinya kesalahan dan
kecelakaan dalam melayani pasien. Untuk menjamin keselamatan pasien untuk mencegah
terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), rumah sakit perlu menerapkan upaya Manajemen
Risiko.
Manajemen risiko adalah upaya menganalisis sistem yang ada terhadap potensi kesalahan
untuk mencegah terjadinya insiden. Manajemen risiko merupakan suatu usaha terorganisir untuk
mengidentifikasi, menyusun prioritas risiko, menganalisis dan mengurangi potensi risiko yang
mungkin terjadi pada pasien, pengunjung, staff dan aset organisasi. Manajemen risiko
terintegrasi dengan proses proses dalam organisasi. Proses manajemen risiko menyediakan
sebuah framework yang memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih efektif. Dengan
manajemen risiko, Rumah Sakit dapat menerapkan suatu desain kebijakan untuk mencegah
terjadinya Adverse Event/Kejadian yang Tidak Diinginkan dalam memberikan pelayanan
kesehatan.
Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggungjawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian yaitu
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety).
Keselamatan pasien merupakan suatu disiplin baru dalam pelayanan kesehatan yang
mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error yang sering menimbulkan
Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan kesehatan. Kegiatan skrining resep yang
dilakukan tenaga kefarmasian untuk mencegah terjadinya keselahan pengobatan (Medication
error) (Depkes RI, 2008). Medical error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat
pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah.
Medical error merupakan kejadian yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan
kesehatan yang tidak tepat atau membahayakan pasien yang sebenarnya dapat dihindari. Konsep
medication safety mulai menjadi perhatian dunia sejak November 1999 setelah Institute of
Medication (IOM) melaporkan adanya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) pada pasien rawat
inap di Amerika sebanyak 44.000 bahkan 98.000 orang meninggal karena medical error
(kesalahan dalam pelayanan medis) dan 7.000 kasus karena medication error (ME). Terjadi atau
tidaknya suatu kesalahan dalam pelayanan pengobatan terhadap pasien telah menjadi indikator
penting dalam keselamatan pasien. Medication error (ME) merupakan jenis medical error yang
paling sering dan banyak terjadi (Kohn L et al., 2000).
Data medication error di Inggris WHO(2016)3, antara Januari 2005 dan Desember 2010
terjadi kesalahan berkisar 10-12% atau sebanyak 517.415 laporan kejadian kesalahan pengobatan
yang diterima dari Inggris dan Wales, yang merupakan sekitar 10% dari semua insiden
keselamatan pasien. Laporan kesalahan itu meliputi tahap administering 50%; tahap peresepan
18%, Obat yang hilang dan tertunda 16% dan dosis salah 15%.
Dari 10 fakta mengenai patient safety dari WHO, disebutkan bahwa di negara
berkembang, 1 dari 10 pasien yang dirawat di rumah sakit berisiko terhadap terjadinya medical
error dan kesalahan obat yang merugikan (World Health Organization, 2017). Dalam sebuah
studi mengenai kejadian tidak diharapkan (KTD) akibat kesalahan medikasi yang dilaksanakan
di beberapa rumah sakit di United States of America (USA) ditemukan fakta bahwa 34%
kesalahan medikasi yang timbul disebabkan oleh salah satunya adalah peran perawat (Bates et al
1995 dalam Indracahyani, 2007).
Kasus kesalahan obat tidak jarang menjadi tuntutan hukum dan berakhir di pengadilan.
mengingat dampak yang ditimbulkan antara lain bertambahnya biaya perawatan, hari rawat inap
yang memanjang bahkan yang terburuk adalah kehilangan nyawa pasien. Salah satu aspek yang
khas dalam kejadian medication error adalah tingkat kejadiannya yang cukup sering namun
masih bersifat under report yang diakibatkan oleh sistem pelaporan yang belum baik (Ramya,
2014).
Data tentang kesalahan pemberian obat di Indonesia masih belum banyak ditemukan dan
tidak terdata secara jelas karena kejadian tersebut lebih banyak ditutupi. Berdasarkan laporan
insiden keselamatan pasien dari Komite Keselamatan Pasien – Rumah sakit (KKP-RS) pada
2010, insiden akibat kesalahan medikasi mencapai 11,11% atau menempati urutan ketiga insiden
setelah insiden akibat kesalahan proses atau prosedur klinis dan pasien jatuh (Indracahyani,
2007).
Melihat permasalahan ME yang kerap terjadi di rumah sakit, hal ini menjadi menarik
bagi penulis untuk dilakukan analisa dan pembahasan apakah yang menjadi penyebab terjadinya
medication error dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian medication error tersebut
sehingga dapat disusun suatu rekomendasi aplikatif untuk mengurangi kejadian ME.
BAB II
KAJIAN MASALAH
Istilah Medication error (ME) diartikan oleh National Coordinating Council for
Medication error Reporting and Prevention sebagai berikut :
A medication error is any preventable event that may cause or lead to inappropriate
medication use or patient harm while the medication is in the control of the health care
professional, patient, or consumer. Such events may be related to professional practice, health
care products, procedures, and systems, including prescribing, order communication, product
labeling, packaging, and nomenclature, compounding, dispensing, distribution, administration,
education, monitoring, and use.
Kesalahan pengobatan (medication error) dapat terjadi pada 4 fase, yaitu kesalahan
peresepan (prescribing error), kesalahan penerjemahan resep (transcribing erorr), kesalahan
menyiapkan dan meracik obat (dispensing erorr), dan kesalahan penyerahan obat kepada pasien
(administration error) (Adrini TM, 2015).
Secara umum, faktor yang paling sering mempengaruhi medication error adalah faktor
individu, berupa persoalan pribadi, pengetahuan tentang obat yang kurang memadai, dan
kesalahan perhitungan dosis obat (Mansouri et al., 2014). Kesalahan pada salah satu tahap akan
menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya.
Setelah mengkaji masalah terkait medication error, berikut adalah uraian masalah,
dampak dan dan rekomendasi pencegahan terjadinya medication error.
1. Kesalahan Peresepan (Prescribing Error)
Hal-hal yang sering terjadi prescribing error dari beberapa jurnal adalah penulisan resep
yang sulit dibaca dibagian nama obat,, satuan numerik obat yang digunakan, bentuk sediaan yang
dimaksud, tidak ada dosis sediaan, tidak ada umur pasien, tidak ada nama dan paraf dokter, tidak
ada SIP dokter, tidak ada tanggal pemberian. (Rahmawati dan Oetari, 2002).
Faktor yang dapat menyebabkan dokter tidak menuliskan paraf pada peresepan adalah
karena dokter menggunakan cap stempel sebagai pengganti identitas dokter, dan menganggap
stempel sudah mewakili paraf dokter. (Sitti Fatimah, et al. 2020).
Pencantuman nama dan paraf dokter dalam resep juga merupakan hal yang penting untuk
dicantumkan, jika terjadi kesalahan dalam hal peresepan maka petugas kefarmasian dapat
langsung menghubungi dokter yang bersangkutan untuk melakukan verfikasi terkait dengan
terapi obat yang diberikan kepada pasien (Akoria dan Isah, 2008), sedangkan pencantuman SIP
dalam resep diperlukan untuk menjamin keamanan pasien, bahwa dokter tersebut mempunyai
hak dan dilindungi undang-undang dalam memberikan terapi pengobatan kepada pasien
(Mamarimbing dkk., 2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yosefin dkk (2016), bahwa faktor penyebab ME
fase prescribing meliputi beban kerja yaitu rasio antara beban kerja dan SDM tidak seimbang,
edukasi yaitu penulisan resep tidak memenuhi syarat kelengkapan resep, gangguan bekerja yaitu
terganggu dengan dering telepon, kondisi lingkungan yaitu pencahayaan yang kurang
mendukung saat bekerja, dan komunikasi yaitu permintaan obat secara lisan. Hal ini seharusnya
bisa dihindari.
Permasalahan prescribing dapat dicegah dengan menyiapkan SIM RS yang dapat
memfasilitasi elektronik resep (e-resep). E-resep ini dapat memudahkan dokter, perawat dan
farmasis dalam melakukan penginputan resep yaitu pemilihan obat, dosis, bentuk sediaan dan
cara pakai karena semua sudah tersedia pada fitur SIM RS. Dokter tidak perlu membubuhkan
nama, paraf dan SIPnya pada resep, karena semua sudah tersedia di system informasi dan resep
tidak akan disalahgunakan karena hanya berlaku dalam lingkungan internal rumah sakit.
Rekomendasi terkait transcribing adalah rumah sakit perlu melakukan sosialisasi dan
membuat surat edaran penulisan resep yang lengkap dan benar yang harus dihadiri oleh semua
dokter dari masing-masing SMF. Instalasi farmasi harus berkomitmen tidak akan menerima dan
melayani resep yang tidak dilengkapi identitas pasien, dosis obat, bentuk sediaan obat dan cara
pakai obat. Kepala Instalasi membuat rekapan nama-nama dokter yang tidak kooperatif dalam
pelaksanaan penulisan resep yang sesuai standar, dan menyerahkan daftar tersebut kepada
Kepala Bidang Pelayanan ataupun Direktur Pelayanan Medik.
Jenis kasus dispensing error yang terjadi pada layanan farmasi adalah salah obat, salah
kekuatan obat, dan salah kuantitas. Hal ini selaras dengan beberapa penelitian lain yaitu
Aldhwaihi et al (2016), dan James et al (2007). Salah obat adalah jenis error paling umum dari
dispensing error pada pelayanan farmasi, sementara error lain adalah kekeliruan kekuatan obat
(wrong medicine), dosis (wrong drug strength), dan jumlah obat (wrong quantity) (Aldhwaihi et
al., 2016 dan James dkk, 2007) selaras dengan temuan penelitian tersebut (Pitoya Z. A. dkk,
2016).
Ada juga rumah sakit dengan kejadian kekeliruan dosis angkanya jauh lebih banyak dari
pada kekeliruan obat salah satunya adalah hasil penelitian Al-Khani S, et al (2014). Penyebab
tersebut bisa karena staf tidak mempunyai pengetahuan atau keterampilan yang benar tentang
berbagai ukuran dan ketrampilan kemampuan mengkonversi ke unit pengukuran lain. Hal ini
sangat penting untuk mencegah kekeliruan dosis (Pitoya Z. A. dkk, 2016).
Memberi obat yang rusak, salah mengambil obat, salah/tidak lengkap, salah bentuk
sedian, etiket yang ditulis tidak terisi dengan lengkap seperti halnya pada bagian waktu
meminum obat, pada bagian bentuk sediaan, dan tanggal kadaluarsa. Hal ini dapat berpotensi
menimbulkan medication error. Pencantuman waktu meminum obat ini cukup penting karena
meminum obat sesuai interval waktu yang tepat dapat membantu keefektifan terapi suatu obat
(Yosefin, et al.2016).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yosefin dkk (2016), bahwa faktor penyebab ME
fase dispensing meliputi beban kerja yaitu rasio antara beban kerja dan SDM tidak seimbang,
edukasi yaitu penyiapan obat yang tidak sesuai permintaan resep, komunikasi yaitu kurangnya
komunikasi mengenai stok perbekalan farmasi, kondisi lingkungan yaitu tidak adanya ruangan
penyiapan obat dan gangguan bekerja yaitu terganggu dengan dering telepon. Hal ini selaras
dengan hasil penelitian Aldhwaihi et al (2016) yang menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang
berkaitan dengan dispensing errors adalah beban pekerjaan tinggi, jumlah staf yang kurang, obat
LASA, kemasan yang mirip, sistem penyimpanan obat LASA dan gangguan lingkungan antara
lain distraksi, interupsi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai jurnal, prevalensi medication erorrs
pada setiap tahapan yaitu prescribing, transcribing, dispensing, dan administration menunjukan
hasil yang bervariatf di setiap tempat pelayanan farmasi atau instalasi farmasi. Hal ini
dikarenakan, faktor penyebab terjadinya medication erorrs disetiap tempat berbeda-beda.
Penyebab medication error yang terjadi adalah adanya ketidaksesuaian penulisan
instruksi di catatan medik dan di resep, tingginya beban kerja farmasis dan perawat, kurang
adanya komunikasi yang baik antara dokter, perawat dan tenaga farmasi.
DAFTAR PUSTAKA
Chintia Timbongol, Widya Astuty L, Sri Sudewi. 2016. Identifikasi Kesalahan Pengobatan
(Medication Error) pada Tahap Peresepan (Prescribing) Di Poli Interna RSUD Bitung.
Pharmacon 5(3):1-6 ISSN 2302 – 2493.
Hartati, et al. 2014. Analisis Kejadian Medication Error Pada Pasien ICU.
https://journal.ugm.ac.id/jmpf/article/viewFile/29450/17594
Sitti Fatimah, et al. 2020. Analisis Kejadian Medication Error Resep Pasien Rawat Jalan Di
Rumah Sakit X Cilacap. http://jurnal.umus.ac.id/index.php/jophus/article/view/272/jophus.
Journal of Pharmacy UMUSVol.2, No.01, Agustus2020, pp. 36~43
Aldhwaihi K, et al. 2016. Systematic Review of the Nature of Dispensing Errors in Hospital
Pharmacies. Integrated Pharmacy Research and Practice 5: 1-10.
Al-Khani S, et al. 2014. Factors Contributing to the Identification and Prevention of Incorrect
Drug Prescribing Errors in Outpatient Setting. Saudi Pharmaceutical Journal 22(5):429-
432.
Yosefin Ch. D, et al. 2016. Faktor Penyebab Medication Error pada Pelayanan
Kefarmasian Rawat Inap Bangsal Anak RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado.
Pharmacon 5 (3):66-74 ISSN 2302 – 2493.
Zakiah Rasmi O,et al. 2017. Kejadian Medication Error Pada Fase Prescribing Di Poliklinik
Pasien Rawat Jalan RSD Mayjend HM Ryacudu Kotabumi. JK Unila 1 (3):540-545.
Elizabeth Maniaz, et al. 2018. Medication Error Trends and Effects of Person-Related,
Environment-Related and Communication-Related Factors on Medication Errors in a
Paediatric Hospital. Journal Peadiatric and Child Health. Doi:10.1111/jpc.14193