Anda di halaman 1dari 3

NADJANI SEKAR SATITI/2001101901133/A

KONFERENSI RIO+20

Rio 2012 atau Rio+20 adalah sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh
PBB sebagai bentuk dari tindak lanjut atas Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan atau KTT Bumi yang pernah diselenggarakan di kota yang sama pada
tahun 1992. Konferensi ini secara khusus diadakan oleh Departemen Urusan Ekonomi
dan Sosial PBB bersama tuan rumah Brasil di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22 Juni
2012.

Keputusan untuk mengadakan konferensi ini di Rio de Janeiro pada tahun 2012,
dibuat oleh Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/64/236 pada 24 Desember 2009.
Konferensi ini memiliki tiga tujuan, yaitu :

(1) Memperbaharui komitmen politik atas pembangunan berkelanjutan.

(2) Mengidentifikasi kesenjangan antara progres kemajuan dan implementasi dalam

mencapai komitmen-komitmen lama yang telah disetujui.

(3) Mengatasi berbagai tantangan baru yang terus berkembang.

Ada 27 prinsip kuat yang mendorong perlindungan hukum di tingkat


internasional dan nasional. Slogan kampanye untuk konferensi ini adalah "Future
We Want" atau "Masa Depan yang Kita Mau" dalam Bahasa Indonesia. Konferensi ini
mempunyai dua tema yang telah disepakati oleh negara-negara anggota, yaitu :
(1) Ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan
kemiskinan.
(2) Kerangka kerja kelembagaan untuk pembangunan berkelanjutan.

Hasil yang dicapai dalam konferensi ini adalah sebuah dokumen final "Future
We Want”. Akan tetapi, banyak kemungkinan yang bisa muncul dari hasil KTT Bumi
Rio+20, termasuk timbulnya berbagai kepentingan yang berkedok perlindungan
lingkungan. Tidak sedikit pengamat mengkritisi KTT ini sebagai arena untuk
melegalkan transaksi jasa pelestarian lingkungan yang diperankan oleh sebagian
Negara-negara yang turut serta dalam perundingan tersebut. Nampak dari sini tangan
invisible kapitalisme kembali bekerja untuk tetap mengeruk untung yang lebih
banyak di negara-negara subur dan kaya sumber daya alam.
Antara lain yaitu, diskusi media dengan Organisasi Masyarakat Sipil di
Jakarta, Selasa (12/6). Narasumber adalah Koordinator Forum Masyarakat Sipil
(CSF) Siti Maemunah, aktivis Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Rakyat
(Kiara). Mida Saragih, peneliti pada Lembaga Pengembangan Hukum
Lingkungan Indonesia (ICEL). Dyah Paramita, anggota Divisi Perempuan dan
Konflik Sumber Daya Alam dari Solidaritas Perempuan (SP) Aliza Yuliana, serta
Nika dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Dari dokumen yang diajukan Indonesia untuk dokumen “Future We Want’, peran
negara dilucuti, dilemahkan,” kata Dyah. Menurut Dyah, dokumen yang bakal keluar
dari Konferensi Rio+20 bisa dikatakan mundur. ”Sudah 20 tahun sejak dokumen 1992,
mestinya sekarang berbicara implementasi untuk menindaklanjuti, bukan
memperbarui komitmen lagi,” katanya. Menurut Siti Maemunah, sepuluh tahun
terakhir di Indonesia justru terjadi penghancuran lingkungan secara berkelanjutan.
“Indonesia dipuji karena pertumbuhan ekonominya 4-8 persen setahun, tetapi hanya 4
juta orang yang mapan dengan gaji Rp 250 juta hingga Rp 500 juta per tahun. Ada
kesenjangan sosial luar biasa. Lebih kurang 56 persen aset negara dikuasai hanya 0,2
persen penduduk Indonesia,” ujarnya.

Di lapangan, pemberian konsesi marak untuk pertambangan, perkebunan,


kehutanan, dan pertanian skala besar. ”Pulau-pulau kecil dan kelautan diberikan
kepada konglomerat dan korporasi transnasional,” ujarnya Mida. Mida
mengungkapkan fakta- fakta dalam perkara kelautan dan pesisir. Hal itu di
antaranya perubahan fungsi mangrove di Langkat, Sumatera Utara, yang menjadi
perkebunan kelapa sawit. Sementara Nika dari IESR menegaskan perlunya
pencapaian program akses energi untuk semua agar tercipta tahun 2030. Keprihatinan
juga muncul karena pada dokumen usulan Indonesia sama sekali tak menyinggung
soal gender. “Perempuan berisiko besar menanggung dampak kerusakan sumber daya
alam dan lingkungan,” ujar Aliza.

Diskusi lainnya yaitu, antara forum MAP Corner – Klub MKP pada Selasa, 26
Juni 2012 berupaya mengupas konfigurasi dalam KTT Bumi Rio+20 dan berbagai
implikasinya pada negara-negara maju maupun negara berkembang, bersama
Suparlan, Direktur Eksekutif Walhi DIY.
Suparlan mengulas, ada sejumlah spekulasi yang kemungkinan akan
menerjemahkan konsep ekonomi hijau. Secara ideal, konsep ini diharapkan menjadi
solusi agar pembangunan dapat lebih memperhatikan lingkungan. Dan sebagai
implementasinya, perusahaan-perusahaan yang ada harus mengadopsinya. Tetapi
kekhawatiran justru muncul ketika konsep ini diterima sebagai peleburan dosa
perusahaan-perusahaan yang selama ini merusak lingkungan. Contohnya REDD
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), disatu sisi dapat
dianggap sebagai bagian green economy karena investasinya yang besar dalam upaya
pengurangan emisi, degradasi lingkungan dan deforestasi, tetapi di sisi lain, aktivitas
ini adalah kontribusi dari salah satu negara penyalur pencemaran/kerusakan
lingkungan terbesar di dunia, yang pastinya juga akan mendapat untung yang lebih
besar ketika program ini dilangsungkan. Sebab akan ada peluang mengeksploitasi
lebih besar kekayaan alam yang makin membahayakan masa depan kelestarian
lingkungan. Seterusnya, ketika hasil KTT Rio+20 menjadi acuan kebijakan
pemerintah, maka akan ada konsekuensi yang lebih berat ditanggung masyarakat.
Ekonomi hijau masih menjadi tawaran yang perlu diwaspadai.

Anda mungkin juga menyukai