Anda di halaman 1dari 18

PRESENTASI KASUS

SHOCK

Disusun sebagai salah satu syarat mengikuti ujian

Stase Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada :

dr. IGB Reno Ranuh, Sp.OT

Disusun Oleh :

Tiffani Azalia Gustrianti

20204010276

SMF BAGIAN ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2021
A. Definisi Syok
SYOK adalah kegagalan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan dan
penghantar oksigen di tingkat seluler tidak memadai sehingga kebutuhan
metabolism jaringan tidak terpenuhi.
Langkah pertama dan terpenting pada menejemen syok adalah dapat
mengenali syok secara cepat, mendiagnosis syok dapat dilihat dari gejala klinis dan
hasil tes laboratorium. Langkah kedua adalah mengidentifikasi kemungkinan
penyebab syok tersebut terjadi dan melakukan pengobatan sesuai dengan penyebab
syok. Respon pasien terhadap pengobatan awal juga penting dilakukan, karena dapat
memberikan informasi yang cukup untuk menentukan penyebab syok. Perdarahan
merupakan penyebab syok tersering pada pasien trauma.
Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan
sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang
diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat
berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah
balik, penurunan pengisian ventrikel, dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan
demikian syok dapat terjadi oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui berbagai
proses. Secara umum dapat dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah
penurunan volume plasma intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah pada
pembuluh baik arteri, vena, arteriol, venule atupun kapiler, serta sumbatan potensi
aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal dan sitemik.

B. Klasifikasi Syok
Syok terbagi menjadi 4 jenis, yaitu :
1. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik yaitu, kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh
hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar >20-25% sebagai akibat dari
perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang ketiga.
2. Syok Kardiogenik
Syok Kardiogenik yaitu, kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh
adanya kerusakan primer fungsi atau kapasitas pompa jantung untuk mencakupi
volume jantung semenit, berkaitan dengan terganggunya preload, afterload,
kontraktilitas, frekuensi ataupun ritme jantung. Penyebab terbanyak adalah
infark miokard akut, keracunan obat, infeksi/inflamasi, gangguan mekanik.
3. Syok Distribusi
Syok Distributif yaitu, kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan
oleh menurunya tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi arterial,
penumpukan vena dan redistribusi aliran darah. Penyebab dari kondisi ini
terutama komponen vasoaktif pada syok anafilaksis: bakteri dan toksinnya pada
syok septik sebagai mediator dari SIRS: hilangnya tonus vaskuler pada syok
neurogenik.
4. Syok Obstruktif
Syok Obstruktif yaitu, kegagalan perfusi dan suplai oksigen berkaitan
dengan terganggunya mekanisme aliran balik darah oleh karena meningkatnya
tekanan intratorakal atau terganggunya aliran keluar arterial jantung (emboli
pulmoner, emboli udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner, tamponade jantung,
pericarditis konstriktif) ataupun keduanya oleh karena obstruksi mekanis.

C. DIAGNOSIS SYOK
Syok ditegakan berdasarkan tanda klinis dari adanya perfusi dan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. Setelah dilakukan pemeriksaan airway dan ventilasi,
evaluasi status sirkulasi pasien perlu diperiksa dengan mencari adanya tanda
manifestasi awal syok berupa takikardi dan vasokontriksi kutaneus. Takikardi dan
vasokontriksi kulit adalah respon fisiologis awal pada kehilangan volume pada
kebanyakan orang dewasa. Setiap pasien trauma dengan akral dingin dan takikardi
harus dianggap syok sampai terbukti tidak.

D. Perbedaan klinis penyebab syok


Syok pada pasien trauma diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syok hemoragik
dan dan non hemoragik. Untuk mengenali dan mengelola semua bentuk syok, dokter harus
mempertahankan tingkat kecurigaan yang tinggi dan lebih cermat dalam mengamati
respons pasien terhadap pengobatan awal. Penentuan awal penyebab syok memerlukan
kronologi dari pasien dan pemeriksaan fisik yang cepat dan tepat. Pemeriksaan penunjang
juga dapat dilakukan, seperti rontgen thorak da panggul dan penilaian terfokus dengan
pemeriksaan sonografi untuk trauma (FAST), pemeriksaan tersebut dapat memastikan
penyebab syok, tetapi tetap tidak diperbolehkan menunda resusitasi cepat.

figure a. using ultrasound (FAST) to search for the cause of shock.

1. Syok hemoragik
Peradarah merupakan penyebab syok yang paling sering terjadi setelah
cidera, dan hampir semua pasien dengan cidera multiple mengalami syok
hypovolemia dengan derajat yang berbeda. Oleh karena itu jika terdapat tanda-
tanda syok pada pasien, pengobatan awal dilakukan seolah-olah pasien mengalami
syok hypovolemia. Organ yang sering menjadi sumber perdarahan antara lain yaitu
thoraks, abdomen, panggul, retroperitoneum, ektremitas dan perdarahan ekstrenal,
dan harus segera diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang lainya. Fokus utama dalam syok hemoragik adalah segera
mengidentifikasi dan menghentikan perdarahan. Rontgen thoraks, panggul, dan
perut dengan FAST, diagnostic peritoneal lavage (DPL), dan katerisasi kandung kemih
mungkin diperlukan untuk menentukan sumber perdarahan.
Perdarahan diartikan sebagai kehilangan akut volume darah dalam sirkulasi.
Pada umumnya volume darah normal orang dewasa sekitar 7% dari berat badan.
Misalnya, prial 70kg memiliki volume darah sekitar 5 liter. Volume darah orang
dewasa yang mengalami obesitas dihitung berdasarkan berat badan ideal mereka,
karena perhitungan berdasarkan berat badan sebenernya dapat mengakibatkan
estimasi berlebihan. Sedangkan volume darah anak-anak dihitung 8-9% dari berat
badan (70-80ml/kg). Perdarahan diklasifikasikan menjadi empat berdasarakan tanda
klinis yang bermanfaat untuk memperkirakan presentase kehilangan darah akut.
Perubahan ini menunjukan kelanjutan dari perdarahan yang sedang berlangsung dan
digunakan hanya sebagai pedoman terapi inisial. Pergantian volume berikutnya
ditentukan oleh respon pasien terhadap terapi inisial. Klasifikasi berikut digunakan
untuk mengurangi tanda-tanda awal dan patofisiologi dari keadaan syok,
 Perdarahan kelas I
Perdarahan kelas I memiliki tanda klinis yang sangat minimal,
takikardu sangat jarang terjadi. Pasien yang sehat tidak memerlukan
penggantian darah, karena pengisian transkapiler dan mekanisme
kompensasi lainya akan memulihkan volume darah dalam waktu 24
jam. Pada kelas I, seseorang mengalami kehilangan darah sekitar
750ml (15%), denyut nadi <100, tekanan darah sistolik normal,
tekanan nadi dapat normal atau meningkat, frekuensi nafas 14-20,
pengeluaran urin >30ml/jam, pasien sedikit gelisah. Perdarahan kelas
I ini dicontohkan dengan kondisi individu yang mendonorkan 1 unit
darah.

 Perdarahan kelas II
Perdarahan kelas II merupakan perdarahan tanpa terjadi
komplikasi yang memerlukan resusitasi cairan kristaloid. Dalam kelas
ini pasien mengalami perdarahan sekitar 750-1500ml (15-30%),
denyut nadi 100-120, tekanan darah sistolik normal, tekanan nadi
menurun, frekuensi nafas 20-30, pengeluaran urine 20-3-ml/jam,
pasien cukup gelisah. Penurunan tekanan nadi terkait dengan
peningkatan tekanan darah diastolic karena peningkatan katekolamin,
yang menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi vaskular perifer.
Beberapa pasien dalam kategori ini mungkin memerlukan transfusi
darah, tetapi kebanyakan distabilkan terlebih dahulu dengan larutan
kristaloid.
 Perdarahan tipe III
Perdarahan kelas III merupakan perdarahan yang terdapat
komplikasi, memerlukan resusitasi kristaloid dan penggantian darah.
Dalam kelas ini pasien megalami perdarahan sekitar 1500-2000ml (30-
40%), denyut nadi 120-140, tekanan darah sistolik menurun, frekuensi
nafas 30-40, pengeluaran urine 5-15, pasien sangat gelisah. Prioritas
penatalaksanaan awal dalam tipe ini adalah menghentikan
perdarahan dengan operasi darurat atau embolisasi jika diperlukan.
 Perdarahan tipe IV

table 3-1 signs and symptoms of hemorrhage by class

PARAMETER CLASS I CLASS II (MILD) CLASS III (MO

Approximate blood loss <15% 15–30% 31–40%

Heart rate ↔ ↔/↑ ↑

Blood pressure ↔ ↔ ↔/↓

Pulse pressure ↔ ↓ ↓

Respiratory rate ↔ ↔ ↔/↑

Urine output ↔ ↔ ↓

Glasgow Coma Scale score ↔ ↔ ↓

Base deficita 0 to –2 mEq/L –2 to –6 mEq/L –6 to –10 mEq/L

Need for blood products Monitor Possible Yes

a Base excess is the quantity of base (HCO –, in mEq/L) that is above or below the normal range in the body. A negative number is called a base
3

Perdarahan tipe IV dianggap sebagai kejadian yang


mengancam jiwa, kecuali jika tindakan agresif dilakukan, pasien akan
meninggal dalam beberapa menit. Tranfusi darah cepat sangat
diperlukan. Dalam kelas ini pasien mengalami perdarahan sekitar
>2000ml (40%), denyut nadi >140, tekanan darah sistolik menurun,
tekanan nadi menurun, frekuensi nafas >35, pengeluaran urine tidak
ada, pasien bingung atau letargi.

2. Syok non hemoragik


Syok non hemoragik meliputi syok hardiogenik, tamponade jantung, tension
pneuomothorax , syok neurogenic dan syok septik. Tanpa kehilangan darah,
sebagian besar kondisi syok non hemoragik dapat membaik secara sementara
dengan resusitasi.

a. Kardiogenik syok

Disfungsi miokard dapat disebabkan oleh trauma tumpul pada dada,

tamponade jantung, emboli udara, atau infark miokard. Dugaan trauma tumpul

pada dada dapat ditegakan jika mekanisme cidera pada thoraks melibatkan

perlambatan yang cepat. Semua pasien dengan trauma tumpul dada memerlukan

pemantauan elektrokardiografi (EKG) untuk mendeteksi pola cidera dan disritmia

b. Kardiac tamponade

Meskipun tamponade jantung paling sering ditemui pada pasien dengan trauma

tembus pada dada, hal ini dapat terjadi akibat cedera tumpul pada dada. Takikardia, suara

jantung yang teredam, dan vena leher yang membesar dan membesar dengan hipotensi dan

respons yang tidak memadai terhadap terapi cairan menunjukkan adanya tamponade jantung.

Namun, tidak adanya temuan klasik ini tidak mengecualikan adanya kondisi ini. Tension

pneumothoraks dapat menyerupai tamponade jantung, dengan temuan vena leher yang

membesar dan hipotensi pada keduanya. Namun, tidak ada suara nafas dan perkusi

hyperresonant tidak ada dengan tamponade. Ekokardiografi mungkin berguna dalam

mendiagnosis tamponade dan ruptur katup, tetapi seringkali tidak praktis atau segera tersedia

di UGD. FAST yang dilakukan di UGD dapat mengidentifikasi cairan perikardial, yang

menunjukkan tamponade jantung sebagai penyebab syok. Tamponade jantung paling baik

dikelola dengan intervensi operasi formal, karena perikardiosentesis paling baik hanya

dilakukan untuk sementara waktu.

c. Tension pneumothorax

Tension pneumothorax adalah keadaan bedah darurat yang perlu diagnosis dan

pengobatan segera. Hal ini terjadi ketika udara memasuki ruang pleura, tetapi mekanisme

katup mencegah pelepasannya. Tekanan intrapleural meningkat, menyebabkan kolaps paru


total dan pergeseran mediastinum ke sisi berlawanan, dengan gangguan aliran balik vena dan

penurunan curah jantung. Pasien yang bernafas secara spontan sering mengalami takipneu

yang ekstrim dan haus akan udara, sementara pasien dengan ventilasi mekanis lebih sering

menunjukkan kolaps hemodinamik. Adanya gangguan pernapasan akut, emfisema subkutan,

tidak adanya bunyi napas unilateral, hiperresonansi terhadap perkusi, dan pergeseran trakea

mendukung diagnosis tension pneumotoraks dan menjamin dekompresi toraks segera tanpa

menunggu konfirmasi x-ray dari diagnosis tersebut. Kompresi jarum pada tension

pneumothorax untuk sementara mengurangi kondisi yang mengancam nyawa ini. Ikuti

prosedur ini dengan memasang chest tube menggunakan teknik steril yang sesuai.

d. Syok neuorogenik

Cedera intrakranial tidak menyebabkan syok, kecuali jika batang otak cidera. Oleh

karena itu, adanya syok pada penderita cedera kepala perlu dicari penyebab lainnya. Cedera

sumsum tulang belakang servikal dan toraks atas dapat menyebabkan hipotensi karena

hilangnya tonus simpatis, yang memperparah efek fisiologis hipovolemia. Sebaliknya,

hipovolemia menambah efek fisiologis denervasi simpatis. Gambaran klasik syok neurogenik

adalah hipotensi tanpa takikardia atau vasokonstriksi kulit. Tekanan nadi yang menyempit

tidak terlihat pada syok neurogenik. Pasien yang mengalami cedera sumsum tulang belakang

sering mengalami trauma batang tubuh yang bersamaan; oleh karena itu, pasien dengan syok

neurogenik yang diketahui atau dicurigai dirawat pada awalnya untuk hipovolemia.

Kegagalan resusitasi cairan untuk memulihkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan

menunjukkan adanya perdarahan yang berkelanjutan atau syok neurogenik. Teknik lanjutan

untuk memantau status volume intravaskular dan curah jantung dapat membantu dalam

menangani masalah kompleks ini

e. Syok sepsis
Syok akibat infeksi segera setelah cedera jarang terjadi; namun, hal ini dapat terjadi

jika kedatangan pasien di UGD tertunda selama beberapa jam. Syok septik dapat terjadi pada

pasien dengan cedera tembus pada abdomen dan kontaminasi rongga peritoneum oleh isi

usus. Pasien dengan sepsis yang juga mengalami hipotensi dan afebris secara klinis sulit

untuk dibedakan dari mereka yang mengalami syok hipovolemik, karena pasien pada kedua

kelompok dapat mengalami takikardia, vasokonstriksi kulit, gangguan output urin, penurunan

tekanan sistolik, dan tekanan nadi sempit. Pasien dengan syok septik dini dapat memiliki

volume sirkulasi normal, takikardia sedang, kulit hangat, tekanan darah sistolik mendekati

normal, dan tekanan nadi lebar.

E. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik difokuskan untuk mendiagnosis cidera yang mengancam jiwa
dan menilai ABCDE. Pengamatan untuk meilai respons pasien terhadap terapi,
pengukuran berulang vital sign, urine output dan tingkat kesadaran sangat penting
dilakukan. Pasien pasien yang lebih terperinci dapat dilakukan jika situasi
memungkinkan
1. Airway dan Breathing
Mempertahankan jalan nafas yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat. Tambahan oksigen diberikan untuk mempertahankan saturasi
O2>95%.
2. Circulation
Priotitas dalam penanganan sirkulasi mencakup control perdarahan yang
terlihat, mendapatkan akses intravena yang adekuat dan memeriksa perfusi
jaringan. Perdarahan dari luka eksternal di ekstremitas biasanya dapat dikontrol
dengan tekanan langsung di tempat perdarahan. Pembedahan mungkin
diperlukan untuk mengontrol perdarahan internal. Prioritasnya adalah
menghentikan perdarahan, bukan menghitung volume cairan yang hilang.

3. Disability : neurological exam


Pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan derajat kesadaran pasien,
gerakan mata, dan respon pupil, fungsi motorik. Perubahan SSP pada pasien yang
mengalami syok hipovolemi tidak selalu diartikan sebagai cidera intrakranial,
mungkin mencerminkan perfusi yang tidak adekuat. Ulangi evaluasi neurologis
setelah memulihkan perfusi dan oksigenasi
4. Exposure
Setelah tindakan untuk menyelamatkan hidup pasien dilakukan, pasien harus
dibuka seluruh pakaianya dan diperiksa secara teliti dari kepala hingga kaki untuk
mencri cidera lain. Saat membuka pakaian pasien, penting untuk mencegah
hipotermia, suatu kondisi yang dapat memperburuk kehilangan darah dengan
berkontribusi pada koagulopati dan memperburuk asidosis.

5.Pelebaran Lambung: Dekompresi

Pelebaran lambung sering terjadi pada penderita trauma terutama pada

anak-anak. Kondisi ini dapat menyebabkan hipotensi yang tidak dapat dijelaskan

atau disritmia jantung, biasanya bradikardia akibat stimulasi vagal yang

berlebihan. Pada pasien yang tidak sadar, distensi lambung meningkatkan risiko

aspirasi isi lambung, suatu komplikasi yang berpotensi fatal. Pertimbangkan untuk

mendekompresi perut dengan memasukkan selang hidung atau mulut dan

memasangnya ke suction atau alat hisap. Ketahuilah bahwa posisi tube yang benar

tidak menghilangkan risiko aspirasi.

6.Kateterisasi Kemih

Kateterisasi kandung kemih memungkinkan dokter menilai urin untuk

hematuria, yang dapat mengidentifikasi sistem genitourinari sebagai sumber

kehilangan darah. Pemantauan keluaran urin juga memungkinkan untuk evaluasi

perfusi ginjal secara terus menerus. Darah di meatus uretra atau hematoma /

memar perineum dapat mengindikasikan cedera uretra dan kontraindikasi

pemasangan kateter transuretra sebelum konfirmasi radiografi dari uretra utuh.


VASCULAR ACCES

Dapatkan akses ke sistem vaskular segera. Pengukuran ini paling baik

dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena perifer kaliber besar

(minimal 18-gauge pada orang dewasa). Laju aliran sebanding dengan pangkat

empat jari-jari kanula dan berbanding terbalik dengan panjangnya, seperti yang

dijelaskan dalam hukum Poiseuille. Oleh karena itu, jalur intravena perifer

berkaliber besar yang pendek lebih disukai untuk infus cairan yang cepat, daripada

kateter yang lebih tipis dan lebih panjang. Gunakan penghangat cairan dan pompa

infus cepat jika terjadi perdarahan masif dan hipotensi berat.

Tempat yang paling diinginkan untuk jalur intravena perifer dan perkutan

pada orang dewasa adalah lengan bawah dan vena antekubital. Ini bisa menjadi

tantangan pada pasien muda, sangat tua, obesitas, dan pengguna narkoba suntikan.

Jika akses perifer tidak dapat diperoleh, pertimbangkan penempatan jarum

intraoseus untuk akses sementara. Jika keadaan mencegah penggunaan vena

perifer, dokter dapat memulai akses vena sentral (yaitu vena femoralis, jugularis,

atau subklavia) kaliber besar.

Saat jalur intravena dimulai, ambil sampel darah untuk jenis dan

pencocokan silang, analisis laboratorium yang sesuai, studi toksikologi, dan

pengujian kehamilan untuk semua wanita usia subur. Analisis gas darah juga

dapat dilakukan saat ini. Foto rontgen dada harus dilakukan setelah upaya

memasukkan garis jugularis subklavia atau internal untuk mendokumentasikan

posisi garis dan mengevaluasi pneumotoraks atau hemotoraks. Dalam situasi

darurat, akses vena sentral seringkali tidak tercapai dalam kondisi yang dikontrol

dengan ketat atau benar-benar steril. Oleh karena itu, garis-garis ini harus diubah
dalam lingkungan yang lebih terkontrol segera setelah kondisi pasien

memungkinkan.

F. INITIAL FLUID THERAPY

Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi pada

evaluasi awal pasien. Berikan cairan cairan isotonik awal yang dihangatkan. Dosis biasa

adalah 1 liter untuk dewasa dan 20 mL / kg untuk pasien anak dengan berat badan kurang

dari 40 kilogram. Volume cairan resusitasi yang absolut harus didasarkan pada respons

pasien terhadap pemberian cairan, perlu diingat bahwa jumlah cairan awal ini termasuk

cairan yang diberikan dalam pengaturan pra-rumah sakit. Kaji respons pasien terhadap

resusitasi cairan dan identifikasi bukti perfusi organ akhir yang memadai dan oksigenasi

jaringan. Amati respons pasien selama pemberian cairan awal ini dan dasarkan keputusan

terapeutik dan diagnostik lebih lanjut pada respons ini. Infus cairan dan darah dalam jumlah

besar secara terus-menerus dalam upaya mencapai tekanan darah normal bukanlah pengganti

kontrol perdarahan yang pasti. menguraikan pedoman umum untuk menetapkan jumlah

cairan dan darah yang mungkin diperlukan selama resusitasi. Jika jumlah cairan yang

diperlukan untuk memulihkan atau mempertahankan perfusi organ yang memadai dan

oksigenasi jaringan jauh melebihi perkiraan ini, kaji kembali situasinya secara hati-hati dan

cari cedera yang tidak dikenali dan penyebab syok lainnya.

Tujuan resusitasi adalah untuk mengembalikan perfusi organ dan oksigenasi

jaringan, yang dilakukan dengan pemberian larutan kristaloid dan produk darah untuk

menggantikan volume intravaskular yang hilang. Namun, jika tekanan darah pasien

meningkat dengan cepat sebelum perdarahan terjadi secara de nitif terkontrol, lebih banyak
perdarahan dapat terjadi. Untuk alasan ini, pemberian larutan kristaloid yang berlebihan bisa

berbahaya.

Resusitasi cairan dan menghindari hipotensi merupakan prinsip penting dalam

penatalaksanaan awal pasien dengan trauma tumpul, terutama yang mengalami cedera otak

traumatis. Pada trauma tembus dengan perdarahan, menunda resusitasi cairan yang agresif

sampai kontrol perdarahan yang pasti tercapai dapat mencegah perdarahan tambahan;

diperlukan pendekatan yang hati-hati dan seimbang dengan evaluasi ulang yang sering.

Menyeimbangkan tujuan perfusi organ dan oksigenasi jaringan dengan menghindari

perdarahan ulang dengan menerima tekanan darah yang lebih rendah dari normal disebut

"resusitasi terkontrol", "resusitasi seimbang", "resusitasi hipotensi", dan "hipotensi permisif".

Strategi resusitasi seperti itu mungkin merupakan jembatan, tetapi bukan pengganti, kontrol

bedah definitif untuk perdarahan. Resusitasi dini dengan darah dan produk darah harus

dipertimbangkan pada pasien dengan bukti perdarahan kelas III dan IV. Pemberian produk

darah secara dini dengan rasio yang rendah dari sel darah merah yang dikemas ke plasma dan

trombosit dapat mencegah perkembangan koagulopati dan trombositopenia.

G. MEASURING PATIENT RESPONSE TO FLUID THERAPY

Tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai yang sama yang digunakan untuk mendiagnosis

syok membantu menentukan respons pasien terhadap terapi. Kembalinya tekanan darah

normal, tekanan nadi, dan denyut nadi merupakan tanda perfusi kembali normal, namun

pengamatan ini tidak memberikan informasi mengenai perfusi organ dan oksigenasi jaringan.

Perbaikan status volume intravaskuler merupakan bukti penting dari peningkatan perfusi,

tetapi sulit untuk dihitung. Volume output urin merupakan indikator perfusi ginjal yang

cukup sensitif; Volume urin normal umumnya menunjukkan aliran darah ginjal yang adekuat,

jika tidak diubah oleh cedera ginjal yang mendasari, hiperglikemia yang nyata atau
pemberian agen diuretik. Untuk alasan ini, keluaran urin merupakan salah satu indikator

utama resusitasi dan respon pasien.

Dalam batas tertentu, keluaran urin digunakan untuk memantau aliran darah ginjal.

Penggantian volume yang adekuat selama resusitasi akan menghasilkan keluaran urin sekitar

0,5 mL / kg / jam pada orang dewasa, sedangkan 1 mL / kg / jam adalah keluaran urin yang

adekuat untuk pasien anak. Untuk anak di bawah usia 1 tahun, 2 mL / kg / jam harus

dipertahankan. Ketidakmampuan untuk mendapatkan keluaran urin pada level ini atau

penurunan keluaran urin dengan peningkatan gravitasi spesifik menunjukkan resusitasi yang

tidak adekuat. Situasi ini harus merangsang penggantian volume lebih lanjut dan investigasi

diagnostik lanjutan untuk penyebabnya.

Pasien syok hipovolemik dini mengalami alkalosis pernapasan akibat takipnea, yang sering

diikuti oleh asidosis metabolik ringan dan tidak memerlukan pengobatan. Namun, asidosis

metabolik yang parah dapat berkembang dari syok yang berlangsung lama atau parah.

Asidosis metabolik disebabkan oleh metabolisme anaerobik, akibat perfusi jaringan yang

tidak memadai dan produksi asam laktat. Asidosis persisten biasanya disebabkan oleh

resusitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah yang berkelanjutan. Pada pasien syok,

obati asidosis metabolik dengan cairan, darah, dan intervensi untuk mengontrol perdarahan.

Nilai dasar de cit dan / atau laktat dapat berguna dalam menentukan keberadaan dan tingkat

keparahan syok, dan kemudian pengukuran serial parameter ini dapat digunakan untuk

memantau respons terhadap terapi. Jangan gunakan natrium bikarbonat untuk mengobati

asidosis metabolik akibat syok hipovolemik.

H. PATTERNS OF PATIENT RESPONSE

Respon pasien terhadap resusitasi cairan awal adalah kunci untuk menentukan

terapi selanjutnya. Setelah menetapkan diagnosis awal dan rencana perawatan berdasarkan
penilaian awal, dokter mengubah rencana tersebut berdasarkan respons pasien. Mengamati

respons terhadap resusitasi awal dapat mengidentifikasi pasien yang kehilangan darah lebih

besar dari yang diperkirakan dan pasien dengan perdarahan berkelanjutan yang memerlukan

kontrol operatif perdarahan internal.

Pola respons potensial terhadap pemberian cairan awal dapat dibagi menjadi tiga

kelompok: respons cepat, respons sementara, dan respons minimal atau tidak ada respons.

1. Respon cepat

Pasien dalam kelompok ini, yang disebut sebagai "respon cepat," dengan cepat

merespon bolus cairan awal dan menjadi normal secara hemodinamik, tanpa tanda perfusi

jaringan dan oksigenasi yang tidak adekuat. Setelah hal ini terjadi, dokter dapat

memperlambat cairan ke tingkat pemeliharaan. Pasien-pasien ini biasanya kehilangan kurang

dari 15% volume darah mereka (perdarahan kelas I), dan tidak ada bolus cairan lebih lanjut

atau pemberian darah segera yang diindikasikan. Konsultasi dan evaluasi bedah diperlukan

selama penilaian awal dan pengobatan responden cepat, karena intervensi operasi masih

diperlukan.

2. Respon sementara

Pasien dalam kelompok kedua, "respon sementara", merespons bolus cairan awal.

Namun, mereka mulai menunjukkan penurunan indeks perfusi karena cairan awal

diperlambat ke tingkat pemeliharaan, menunjukkan kehilangan darah yang sedang

berlangsung atau resusitasi yang tidak adekuat. Sebagian besar pasien ini awalnya kehilangan

sekitar 15% sampai 40% volume darah mereka (perdarahan kelas II dan III). Transfusi darah

dan produk darah diindikasikan, tetapi yang lebih penting adalah menyadari bahwa pasien

tersebut memerlukan kontrol perdarahan operatif atau angiografik. Respon sementara

terhadap pemberian darah mengidentifikasi pasien yang masih mengalami perdarahan dan
memerlukan intervensi bedah cepat. Juga pertimbangkan untuk memulai protokol transfusi

masif (MTP).

3. Minimal atau Tidak Ada Respon

Kegagalan untuk merespon pemberian kristaloid dan darah di UGD mendikte

kebutuhan untuk segera, intervensi definitif (yaitu, operasi atau angiembolisasi) untuk

mengontrol perdarahan yang terjadi. Pada kasus yang sangat jarang, kegagalan untuk

merespon resusitasi cairan disebabkan oleh kegagalan pompa akibat cedera jantung tumpul,

tamponade jantung, atau pneumotoraks tegangan. Syok non-hemoragik selalu harus

dipertimbangkan sebagai diagnosis pada kelompok pasien ini (perdarahan kelas IV). Teknik

pemantauan lanjutan seperti ultrasonografi jantung berguna untuk mengidentifikasi penyebab

syok. MTP harus dimulai pada pasien ini.

I. BLOOD REPLACEMENT

Keputusan untuk memulai transfusi darah didasarkan pada respons pasien. Pasien

yang merespon sementara atau tidak merespon memerlukan pRBC, plasma, dan trombosit

sebagai bagian awal dari resusitasi mereka.

Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas pengangkut

oksigen dari volume intravaskular. PRBC yang dicocokkan sepenuhnya lebih disukai untuk

tujuan ini, tetapi proses pencocokan silang lengkap membutuhkan kira-kira 1 jam di sebagian

besar bank darah. Untuk pasien yang cepat stabil, pRBC silang harus diperoleh dan tersedia

untuk transfusi bila diindikasikan.

J. SPECIAL CONSIDERATION

Pertimbangan khusus dalam mendiagnosis dan mengobati syok termasuk kesalahan

penggunaan tekanan darah sebagai ukuran langsung curah jantung. Respon pasien lansia,
atlet, pasien hamil, pasien pengobatan, pasien hipotermia, dan pasien dengan alat pacu

jantung atau implantable cardioverter-de brillators (ICDs) mungkin berbeda dari yang

diharapkan.

K. REASSESSING PATIENT RESPONSE AND AVOIDING COMOLICATION

Penggantian volume yang tidak adekuat merupakan komplikasi paling umum dari

syok hemoragik. Pasien syok membutuhkan terapi segera, tepat, dan agresif yang

mengembalikan perfusi organ.

Sumber perdarahan yang tidak terdiagnosis adalah penyebab paling umum dari

respons yang buruk terhadap terapi cairan. Pasien-pasien ini, juga digolongkan sebagai

responden sementara, memerlukan penyelidikan yang terus-menerus untuk mengidentifikasi

sumber kehilangan darah. Intervensi bedah segera mungkin diperlukan.

Tujuan resusitasi adalah mengembalikan perfusi organ dan oksigenasi jaringan.

Keadaan ini diidentifikasi dengan output urin yang sesuai, fungsi SSP, warna kulit, dan

kembalinya denyut nadi dan tekanan darah ke normal. Pemantauan respons terhadap

resusitasi paling baik dilakukan untuk beberapa pasien di lingkungan di mana teknik canggih

digunakan. Untuk pasien usia lanjut dan pasien dengan penyebab syok non-hemoragik,

pertimbangkan pemindahan dini ke unit perawatan intensif atau pusat trauma.

Ketika pasien gagal merespons terapi, penyebabnya mungkin termasuk satu atau

lebih dari yang berikut: perdarahan yang tidak terdiagnosis, tamponade jantung,

pneumotoraks ketegangan, masalah ventilasi, kehilangan cairan yang tidak diketahui, akut

distensi lambung, infark miokard, asidosis diabetik, hipoadrenalisme, atau syok neurogenik.

Evaluasi ulang yang konstan, terutama ketika kondisi pasien menyimpang dari pola yang

diharapkan, adalah kunci untuk mengenali dan menangani masalah tersebut sedini mungkin.
L. TEAMWORK

Salah satu situasi paling menantang yang dihadapi tim trauma adalah menangani

korban trauma yang mengalami shock berat. Pemimpin tim harus mengarahkan tim dengan

tegas dan tenang, menggunakan prinsip ATLS.

Mengidentifikasi dan mengendalikan lokasi perdarahan dengan resusitasi simultan

melibatkan koordinasi berbagai upaya. Ketua tim harus memastikan bahwa akses intravena

yang cepat diperoleh bahkan pada pasien yang menantang. Keputusan untuk mengaktifkan

protokol transfusi masif harus dibuat lebih awal untuk menghindari triad mematikan dari

koagulopati, hipotermia, dan asidosis. Tim harus mengetahui jumlah cairan dan produk darah

yang diberikan, serta respons fisiologis pasien, dan membuat penyesuaian yang diperlukan.

Ketua tim memastikan bahwa area perdarahan eksternal terkontrol dan menentukan kapan

harus melakukan pemeriksaan tambahan seperti rontgen dada, rontgen panggul, FAST, dan

atau diagnostik peritoneal lavage (DPL). Keputusan mengenai pembedahan atau

angioembolisasi harus dibuat secepat mungkin dan melibatkan konsultan yang diperlukan.

Jika layanan yang diperlukan tidak tersedia, tim trauma mengatur pemindahan yang cepat dan

aman ke perawatan definitif.

Anda mungkin juga menyukai