Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PENYAKIT TROPIS

“BABESIOSIS”

DOSEN PENGAMPU : DANANG TRI Y. S.Kep, Ns

Di susun oleh :

Kelompok 2

Absen 23-43

1. Kodial Hajat 11. Roni Hidayat


2. Lia Nerissa Putri 12. Siti Maryam Yulisa
3. Merri Endah Purwaningsih 13. Subagyo
4. Nanang Apriyadi 14. Suci Dwi Ambarwati
5. Noviyanto 15. Suherni
6. Oktaviana Nurvikasari 16. Sukirno
7. Raudlatul Jannah 17. Surasno
8. Ricko Restu Ramandha 18. Wening Pratiwi
9. Rini Biyanti 19. Widi Astuti
10. Robingatul Ngadawiyah 20. Wilis Oriza Sativa
21. Yola Voni Yuniara

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

HARAPAN BANGSA

PURWOKERTO

2015
BAB I

PENDAHULUAN

Babesiosis atau Piroplasmosis, adalah suatu penyakit hewan yang bisa menular ke manusia
(zoonosis) yang disebabkan oleh protozoa parasit genus Babesia yang mirip dengan  parasit
malaria, yaitu dengan menginfeksi sel darah merah binatang liar dan binatang peliharaan. Gejala
yang ditimbulkan mirip demam malaria, yaitu demam dan disertai anemi hemolitik.

Saat ini, Babesiosis sudah dikelompokkan ke dalam penyakit yang sedang


mengancam (emerging disease). Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia. Tahun 1988,
ditemukan kasus demam dengan hemoglobinuri pada seekor sapi di Rumania. Pada tahun 1957
Dr. Skrabalo melaporkan penyakit Babesiosis di Yugoslavia sebagai suatu penyakit yang
mematikan. Pada tahun 1969 ditemukan infeksi Babesia microti pada manusia yang limpanya
masih intak di kepulauan Nantucket (Massachusetts, Amerika Serikat). Di Amerika, penyakit ini
ditemukan sesuai dengan tempat penyebaran sengkelit (tungau = tick), yaitu sejenis parasit
Acaride pengisap darahyang endemis di daerah tersebut, serta di sebelah selatan Connecticutt.
Juga pernah dilaporkan dari Wisconsin dan Minnessota.

Tick biasanya mengisap darah rusa; jika menghisap darah manusia atau hewan lain, mka
tungau ini menularkan parasit Babesia yang selanjutnya memasuki sel darah
merah (intraerythrocytic protozoa) seperti parasit malaria. Manusia yang tertular parasit, tidak
selalu memperlihatkan gejala, kecuali pada penderita yangmengalami penurunan kekebalan,
seperti pada penderita yang baru diangkat limpanya,penderita HIV/AIDS atau penderita yang
memperoleh pengobatan yang menurunkan daya tahan tubuh.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Babesiosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasite babesia yang
menginfeksi sel darah merah yang ditularkan melalui gigitan kutu Ixodes scapularis yang
merupakan kutu yang menghisap darah. Babesiosis biasa menyerang mamalia seperti
hewan ternak, contohnya adalah sapi, tetapi, saat ini dapat mengenai manusia juga.

B. FAKTOR RESIKO

1. Gigitan kutu terinfeksi selama aktivitas outdoor di area di mana merupakan


habitat babesiosis.

2. Transfusi darah dari donor yang menderita silent babesiosis infection (belum ada
test skrining untuk mendeteksi babesia dalam darah donor)

3. Transmisi kongenital (tapi, sangat jarang)

4. Orang yang terinfeksi kebanyakan tidak sadar telah tergigit karena kutu yang
sangat kecil.

5. Infeksi banyak terjadi saat musim panas, daerah yang berumput dan banyak kayu-
kayu.

6. Pekerja peternakan sapi juga bisa terkena.

7. Orang yang sangat muda, sangat tua, imunodefisiensi, tidak mempunyai spleen
(splenektomi) dapat mengalami penyakit yang sangat berat.

C. SIKLUS HIDUP

Terdapat 2 host pada siklus hidup babesia. Kutu sebagai hospes definitive. Babesia
banyak spesiesnya tergantung di mana parasite ini menyerang mamalia.

1. Babesia canis : anjing

2. Babesia felis : kucing


3. Babesia bovis dan Babesia bigemina : sapi

4. Babesia equine : kuda

Saat menghisap darah pada manusia , kutu yang terinfeksi babesia akan menginjeksikan
sporozoit ke tubuh manusia  sporozoit masuk ke dalam sel darah merah  berkembang
biak secara aseksual  di darah, parasite berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan betina
 gamet jantan dan betina terhisap kutu lagi  perkembangbiakan seksual dalam tubuh
kutu  menghasilkan sporozoit lalu diinjekkan lagi ke tubuh manusia. Begitu seterusnya.

D. PATOFISIOLOGI
Sebenarnya patofisiologinya mrip dengan penyakit malaria. Babesia bereproduksi
di sel darah merah dan akam membentuk cross shape inclusion dalam sel darah merah. 4
merozoit berkembang biak secara aseksual dengan saling menempel membentuk budding
dan menyebabkan terlihat membentuk struktur seperti huruf X  yang akan
menyebabkan lisis pada sel darah merah  anemia hemolitik. Babesia pada fase
eksoeritrosit tidak menimbulkan gejala klinik. Hemoglobinuria (red water) tejadi karena
produk lisis dari sel darah merah yang diekskresikan lewat ginjal. Demam yang mencapai
40,50 C disebabkan release dari mediator-mediator inflamasi karena pecahnya merozoit.
E. MANIFESTASI KLINIS

1. Kebanyakan asimptomatis : hanya mild fever dan diare ringan.

2. Sering misdiagnosis dengan penyakit malaria karena gejala-gejala yang mirip.

3. Masa inkubasi 1-4 minggu setelah gigitan kutu.

4. Lalu muncul gejala seperti flu, yaitu demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot,
body aches, mual muntah, nafsu makan menurun, berkeringat waktu malam.

5. Pada tahap selanjutnya dijumpai anemia hemolitik (mirip malaria) dan jaundice.
Sumbatan di kapiler pembuluh darah menyebabkan gagal organ.

F. DIAGNOSTIK KLINIS

1. Riwayat ke daerah endemic atau tinggal di daerah endemic, riwayat menerima


tranfusi darah dalam waktu 9 minggu, dengan ditambah kriteria selanjutnya.

2. Gejala demam menetap dan anemia hemolitik.

3. Gold standart : identifikasi parasite di hapusan darah tepi yang tipis dengan
pewarnaan Giemsa. Ditemukan bentukan “ Maltese cross formations” : untuk
membedakan dengan malaria. Perlu hapusan darah berkali-kali.

4. Serologic test untuk antibody IgG dan IgM. Dapat dijumpai negatif palsu pada
awal gejala. Membutuhkan seminggu setelah infeksi baru antibody akan naik.

5. PCR tapi mahal.

6. Cerebral babesiosis  terdapat neurogical signs (infeksi severe).

Pada pemeriksaan post mortem didapatkan bercak merah hemoragik di grey matter
cerebral. Terjadi karena eritrosit menyumbat pembuluh kapiler di otak.

G. KOMPLIKASI

1. Tekanan darah menurun hingga syok dan tidak stabil

2. Anemia hemolitik
3. Trombositopenia

4. DIC  bekuan darah dan akhirnya perdarahan

5. Malfungsi organ vital (ginjal, paru-paru, liver)

6. Kematian

7. ARDS

8. Gagal jantung akibat anemia

H. PENCEGAHAN DAN KONTROL


Pencegahan paling baik adalah dengan menghindari paparan habitat kutu . babesia
microti ditularkan melalui kutu Ixodes scapularis, yang paing banyak ditemukan pada
daerah-daerah yang banyak rumput dan kayu.

1. Mencegah kutu menghinggapi kulit. Saat bekerja di outdoor gunakan pakaian


yang panjang, celana panjang, kaos lengan panjang, kaos kaki, sarung tangan dan
sepatu boot, untuk meminimalisir area kulit yang terpapar dengan dunia luar.

2. Gunakan pakaian berwanra cerah untuk memudahkan melihat adanya kutu yang
sedang hinggap.

3. Gunakan repellent anti serangga ke kulit dan pakaian. Repellent yang


mengandung DEET (N,N diethylmetatoluamide) dapat langsung digunakan ke
kulit dan pakaian untuk mencegah gigitan kutu.

4. Lakukan pengecekan secara menyeluruh jangan sampai ada kutu yang hinggap.

I. PENGOBATAN
1. Obat spesifik untuk babesiosis, gabungan clindamycin dan quinine, terutama bila
pengobatan dengan chloroquine kurang berhasil.
2. Azithromycine boleh diberikan sendiri atau digabung dengan quinine. Pentamidine
bisa diberikan gabungan dengan trimatokzazole.
BAB III

PENUTUP

Babesiosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasite babesia yang
menginfeksi sel darah merah yang ditularkan melalui gigitan kutu Ixodes scapularis yang
merupakan kutu yang menghisap darah. Babesiosis biasa menyerang mamalia seperti
hewan ternak, contohnya adalah sapi, tetapi, saat ini dapat mengenai manusia juga.
DAFTAR PUSTAKA

http://medicastore.com/penyakit/219/Babesiosis.html

P, Richard D. Babesiosis. Merck Manual Home Health Handbook. 2007

Centers for Disease Control and Preventions. Babesiosis. Atlanta. 2013

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15613/1/mkn-jun2006-%20(9).pdf

Anda mungkin juga menyukai