Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL)

DI BALAI BESAR KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM


NUSA TENGGARA TIMUR

DISUSUN OLEH :

Maria Melanny Overa, S.K.H (2109020008)


Novie Hellen Manongga, S.K.H (2109020009)
Fresensi Anggraini Date Meze, S.K.H (2109020010)
Erni Paremadjangga, S.K.H (2109020011)
Satria Mira Bio Ndolu, S.K.H (2109020012)
Juan Baslio Alcosoni Alle, S.K.H (2109020014)

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam NTT dengan baik serta dapat menyelesaikan laporan ini.
Laporan ini merupakan pertanggungjawaban tertulis atas pelaksanaan (PKL)di Kantor Seksi
Konservasi Wilayah II BKSDA NTT yang telah dilaksanakan pada tanggal 28 November
samapai dengan 10 Desember 2022. Pelaksanaan kegiatan PKL di BBKSDA NTT dapat
terlaksana dengan baik dan berjalan dengan lancar berkat bantuan dan kerjasama dari
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan dalam
pelaksanaannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. drh. Nemay A. Ndaong, M. Si selaku dosen pembimbing PKL Satwa Liar
2. Dr. drh Novalino H.G Kallau, M.Si selaku ketua Prodi PPDH FKKH.
3. Imanuel Ndun S.ST, M.Si selaku Kepala Seksi Perencanaan, Perlindungan, dan
Pengawetan BBKSDA NTT
4. Lidia Tesa Vitasari Seputro, S.Si, M.T., M.M.G, selaku Kepala Seksi Konservasi
Wilayah II BBKSDA NTT
5. drh. Alfian Herdi Feisal selaku dokter pembimbing lapangan IKH (Instalasi
Karantina Hewan)
6. Pak Argen dan semua Bapak/Ibu pegawai kantor Seksi Konservasi Wilayah II
BKSDA NTT yang memfasilitasi selama kegiatan PKL.
Penulis menyadari bahwa laporan ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan
lebih lanjut.

Kupang, Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………….v
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………….vi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………….1
1.2 Tujuan………………………………………………………………………………..1
1.3 Manfaat………………………………………………………………………………2
BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN………………………………………………………3
2.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan………………………………………………………….3
2.2 Kegiatan Harian……………………………………………………………………...3
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………………5
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………………….25
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..26

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Organisasi Balai Besar KSDA NTT…………………………………..…7


Gambar 2. Contoh Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negri………………..….8
Gambar 3. Pembagian kandang kura-kura rote........................................................................13
Gambar 4. Pemberian pakan pada kura-kura rote....................................................................14
Gambar 5. Pemeriksaan kualitas air.........................................................................................15
Gambar 6. Kondisi kandang buaya muara pada IKH..............................................................16
Gambar 7. Kondisi ular liasis duns python.............................................................................18

Gambar 9. Manejemen reproduksi kura-kura rote...................................................................20


Gambar 10. Morfometri dan pengobatan pada kura - kura rote...............................................22

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Log book kegiatan harian di IKH/SKW II


Tabel 1.2 Pembagian kandang hewan yang dipelihara di IKH………………………………..9
Tabel 1.3 Pembagian jenis pakan dan perawatan hewan yang dipelihara di IKH…………...10
Tabel 1.4 Daftar Gambar dan Keterangan…………………………………………………...20

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana dalam

melaksanakan tridarma perguruan tinggi menghasilkan lulusan berkualitas tinggi yang

mampu mengintegrasikan, menerapkan dan mengembangkan ilmu veteriner agar

mampu bersaing ditingkat nasional dan internasional. Program Pendidikan Profesi

Dokter Hewan (PPDH) Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas

Nusa Cendana merupakan kelanjutan dari program pendidikan Sarjana Kedokteran

Hewan.

Hal utama yang melatar belakangi kegiatan PKL ini adalah minimnya ilmu

tentang satwa liar yang didapatkan selama kegiatan perkuliahan di kampus serta

kurangnya media pembelajaran tentang satwa liar. Keberadaan satwa liar mempunyai

fungsi dan peranan penting bagi ekosistem alami serta bagi kehidupan manusia. Di

alam, setiap individu satwa liar ikut dalam siklus perputaran makanan(Rantai Makanan)

dihabitatnya dan berperan sebagai penyeimbang ekosistem.

PKL Satwa Liar di Balai Besar KSDA, Kupang merupakan salah satu bentuk

kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa secara langsung di lapangan

untuk dapat mengetahui serta mendalami berbagai macam aktivitas hidup dari Satwa

Liar. Kegiatan yang dilakukan di lokasi PKL bersifat praktikal juga secara langsung

akan melengkapi berbagai teori yang telah didapat selama pembelajaran di kelas. Selain

itu, mahasiswa juga dapat menambah wawasan terkait keadaan yang terjadi secara

aktual di lapangan terkait dengan pemeliharaan satwa liar melalui wawancara dan

diskusi bersama dengan petugas.

Melalui Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan berupa PKL, diharapkan

dapat menambah wawasan dan memberikan pengalaman bagi mahasiswa dalam

1
menangani satwa liar secara langsung. Tindakan ini yang berkaitan dengan manajemen

pemeliharaan, kesehatan serta memahami perilaku dari masing- masing spesies

sehingga kedepannya mampu menjadi dokter hewan yang siap dalam menangani

masalah dibidang satwa liar.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan kegiatan PKL ini secara umum adalah menambah pengalaman
dan wawasan dalam bidang satwa liar dan kawasan konservasi yang berada di
bawah pengelolaan BBKSDA NTT.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui manajemen perkandangan, pemeliharaan, pakan, dan
kesehatan satwa liar yang di fasilitasi SKW II.
2. Mengetahui tindakan penanganan dari pihak BBKSDA NTT terhadap
hewan satwa liar di tempat konservasi.
3. Mengetahui mekanisme perizinan (surat ijin) untuk keluar masuk satwa
liar dalam negeri.
1.2.3 Manfaat
Manfaat yang akan didapatkan dari melaksanakan PKL ini yakni diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan serta
manambah wawasan melalui pengalaman kerja di lapangan dalam hal
kawasan konservasi di bawah pengelolaan BBKSDA NTT yang ada di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, perizinan pengiriman satwa liar secara resmi
keluar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan manajemen kontrol serta
pemeliharaan satwa liar di fasilitas milik BBKSDA NTT.

2
BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN

2.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan


Kegiatan Praktek Kerja Lapangan Satwa Liar dilaksanakan di Seksi
Konservasi Wilayah II BKSDA NTT. Waktu pelaksanaan kegitan PKL Satwa Liar
yaitu dari tanggal 28 November-10 Desember 2022.

2.2 Kegiatan Harian


Berikut merupakan jenis kegiatan harian di SKW II dapat dilihat pada tabel
1.1.
Tabel 1.1 Kegiatan harian di SKW II
LOKASI KEGIATAN
BBKSDA NTT -Orientasi kantor BBKSDA
- Penjelasan beberapa aturan dan sistem kerja
BBSDA sesuai perundang-undangan
- Memberi makan burung kakaktua jambul
kuning
SKW II - Mengikuti zoom tentang penangkaran rusa
BKSDA - Memberi makan kura-kura rote berupa ikan nila
dan tembang
- Mengganti alas kendang ular
SKW II
BKSDA - Membersihkan kandang ular, perendaman dan
penjemuran ular di panas matahari
- Mendapat pembekalan materi dari dokter
pembimbing tentang IKH (Instalasi Karantina
Hewan)
- Mengukur kualitas air kolam kura-kura rote
(pH, TDS, EC, Nitrat, ammonia)
- Pemberian pakan pada kura-kura berupa ikan
nila dan ikan kombong padi

SKW II - Pemeriksaan medis kura-kura rote berupa


BKSDA pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan morfometri kura-kura rote
(dimulai dari BB, panjang dan lebar karapas dan
plastron, panjang dan lebar datar karapas dan
plastron, lingkar kepala, panjang kepala sampai ekor
menggunakan jangka sorong dan meter kain
- Pemberian pakan berupa ikan nila dan kombong
padi
SKW II - Pemberian pakan kura-kura rote berupa ikan
BKSDA nila dan ikan tembang
SKW II - Pengukuran kualitas air kolam kura-kura rote
BKSDA - Pemberian pakan pada kura-kura rote berupa

3
ikan nila dan ikan tembang
- Membantu pembersihan dan pengecatan kolam
habituasi kura-kura rote
SKW II - Pemeriksaan medis kura-kura rote berupa
BKSDA pemeriksaan fisik

Taman Wisata - Melakukan kegiatan pengukuran kualitas air


Alam pada mata air di TWA Camplong
Camplong - Pemberian pakan pada buaya di TWA
Camplong
Kantor - Pengambilan sampel SWAB tenggorokan pada
BBKSDA burung kakatua jambul kuning

BAB III

4
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Balai dan Struktur Organisasi
3.1.1 Sejarah Balai
 Tahun 1978 s/d 1999. Sesuai SK Mentan Nomor 429/Kpts/Org/7/1978
dibentuk Balai KSDA VII Kupang yang membawahi tiga Sub Balai PPA (Sub
Balai PPA NTT, Sub Balai PPA NTB dan Sub Balai PPA Denpasar) dan satu
Sub Balai KPA (Sub Balai KPA Komodo dan Sekitarnya). Selama periode
1978 s/d 1999, Balai KSDA VII Kupang dipimpin oleh Abdul Bari TS, Ir.
Bambang Karyo Susilo, Ir. Jodi Mochtar, Ruslan Efendy Harun dan Ir.
Suparman Rais, M.Sc.
 Tahun 1979 s/d 1986 dibentuk organisasi Sub Balai Perlindungan dan
Pelestarian Alam (PPA) Nusa Tenggara Timur (SK Mentan Nomor
429/Kpts/Org/7/1978) yang dipimpin oleh Ir. Sukirdi.
 Tahun 1986 s/d 1997 Sub Balai PPA NTT dirubah menjadi Sub Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur (SK Menhut Nomor
144/Kpts-II/1991). Selama periode ini dipimpin oleh tiga orang Kepala Sub
Balai yaitu E. H. Wahyono (1986 s/d 1993), Ir. Siswoyo (1993 s/d 1995) dan
Ir. Agus Darmawan (1995 s/d 1997).
 Tahun 1997 s/d 2002 Sub BKSDA NTT dirubah menjadi dua unit organisasi,
yaitu Unit KSDA NTT I dan Unit KSDA NTT II (SK Menhut Nomor
204/Kpts-II/1998). Unit KSDA NTT I (Pulau Timor, Pulau Sumba dan pulau-
pulau sekitarnya) yang dipimpin oleh Ir. Noviana Andalusi (1997 s/d awal
2000), Ir. Nahru (Plt) (pertengahan 2000 s/d awal 2001), Ir. David Max
Moedak, M.Si (pertengahan 2001 s/d akhir 2001) dan Ir. Dadang Wardana,
M.Sc (awal 2002 s/d pertengahan 2002). Unit KSDA NTT II (Pulau Flores,
Alor dan pulau-pulau sekitarnya) dipimpin oleh Ir. Frans Moga (1999 s/d akhir
2003).
 Tahun 2002 s/d 2007 Unit KSDA NTT I dirubah menjadi Balai KSDA NTT I
yang dipimpin oleh Drs. P. Bambang Darmadji, MS (pertengahan 2002 s/d
2004) dan Drs. Sudariono Sady, MM dari 2004 s/d awal 2007. Unit KSDA
NTT II dirubah menjadi Balai KSDA NTT II yang dipimpin oleh Ir. Edi
Sutiarto (awal 2004 s/d 2005) dan Ir. Abraham Kaya (2005 s/d 2007).
 Tahun 2007 sampai dengan sekarang Balai KSDA NTT I dan Balai KSDA
NTT II dilebur menjadi Balai Besar KSDA NTT,
5
3.1.2 Struktur Organisasi
Balai Besar KSDA NTT adalah unit pelaksana teknis yang berada di bawah
dan bertanggungjawab kepada Dirjen KSDAE, mempunyai tugas penyelenggaraan
konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di CA, SM, TWA dan TB serta
koordinasi teknis pengelolaan Tahura dan KEE berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. 
Balai Besar KSDA NTT ini termasuk dalam tipe B. Kepala Balai Besar secara
administrasi dibantu oleh Kepala Bagian Tata Usaha yang membawahi tiga orang
kepala subbagian yaitu Kepala Subbagian Umum, Kepala Subbagian Program dan
Kerjasama dan Kepala Subbagian Data, Evaluasi, Pelaporan dan Kehumasan.
Sedangkan secara teknis dibantu oleh Kepala Bidang Teknis yang membawahi dua
orang kepala seksi yaitu Kepala Seksi Perencanaan, Pengawetan dan Perpetaan dan
Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan. Untuk pengelolaan teknis kawasan
konservasi di lapangan Kepala Balai Besar dibantu dua orang kepala bidang KSDA
wilayah yaitu Kepala Bidang KSDA Wilayah I di Soe yang membawahi dua orang
Kepala Seksi Konservasi Wilayah dan Kepala Bidang KSDA Wilayah II di Ruteng
yang membawahi dua orang Kepala Seksi Konservasi Wilayah.
Dalam melaksanakan tugas BBKSDA NTT menyelenggarakan fungsi di wilayah
kerjanya sebagai berikut:
1. Inventarisasi potensi, penataan kawasan dan penyusunan rencana pengelolaan CA,
SM, TWA dan TB;
2. Pelaksanaan perlindungan dan pengamanan CA, SM, TWA, TB;
3. Pengendalian dampak kerusakan sumber daya alam hayati;
4. Pengendalian kebakaran hutan di CA, SM, TWA dan TB;
5. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa liar beserta habitatnya serta sumberdaya
genetik dan pengetahuan tradisional;
6. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan;
7. Evaluasi kesesuaian fungsi, pemulihan ekosistem dan penutupan kawasan;
8. Penyiapan pembentukan dan operasionalisasi KPHK;
9. Penyediaan data dan informasi, promosi dan pemasaran KSDAE;
10. Pengembangan kerjasama dan kemitraan bidang KSDAE;
11. Pengawasan dan pengendalian peredaran tumbuhan dan satwa liar;
12. Koordinasi teknis penetapan koridor hidupan liar;
13. Koordinasi teknis pengelolaan Tahura dan KEE;
6
14. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan KSDAE;
15. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi;
16. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga serta kehumasan.
17. Struktur Organisasi Balai Besar KSDA NTT selengkapnya seperti pada Gambar 1.
Struktur Organisasi BBKSDA NTT berdasarkan PermenLHK No.
P8/Menlhk/Setjen/OTL0/1/2016 tanggal 29 Januari 2016 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam

Balai Besar KSDA


NTT

Bagian Tata Usaha

Subbag Umum

Subbag Program
dan Kerjasama

Sub data, evlap dan


kehumasan

Bidang Teknis Bidang Bidang


KSDA KSDAWilayah I Soe KSDAWilayah II
Ruteng
Seksi Pemanfaatan Seksi Konservasi
dan Pelayanan Wilayah I Atambua Seksi Konservasi
Wilayah III
Seksi Perencanaan, Seksi Konservasi Bajawa
Perlindungan, dan Wilayah II Camplong
Pengawetan
Seksi Konservasi
Wilayah IV
Kelompok Jabatan
Maumere
Fungsional

Gambar 1. Struktur Organisasi Balai Besar KSDA NTT

3.2 Aturan Penting Terkait Konservasi TSL


- UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDAHE
7
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- UU No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan TSL
- UU No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan TSL
- Permen LHK No.106 Tahun 2015 tentang TSL dilindungi
3.3 Tupoksi BBKSDA NTT
Menurut Permen LHK nomor p.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam, bahwa Tupoksi
BBKSDA adalah menyelenggarakan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di
Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam dan Taman Buru serta koordinasi
teknis pengolaan Taman Hutan Raya dan Kawasan Ekosistem Esensial berdasarkan
ketentuan peratuan perundang-undangan.
3.4 Mekanisme Perizinan Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negri
Tahapan kegiatan perizinan angkut Tumbuhan dan satwa liar dalam negri antara lain:
1. Penangkar mengajukan surat permohonan izin Edar Tumbuhan dan Satwa Liar.
2. Surat Permohonan diterima Unit Pelayanan pada BBKSDA NTT atau Pejabat Penata
Usaha Umum pada Bidang KSDA Wilayah atau Seksi pemanfaatan dan pelayanan
dengan lampiran:
- SK edar
- SK Kumpul/ambil
- Kuota tangkap
- Stok Opname/BAP
3. Petugas memeriksa surat dan kelengkapan permohonan Izin TSL, dengan
menempelkan daftar periksa (checklist) pada berkas serta melingkari angka atau huruf
pada butir kelengkapan yang diperiksa. 
4. Jika berkas permohonan tidak lengkap, berkas permohonan dikembalikan.  Daftar
check ditandatangani pemohon dan petugas penerima, dibubuhi tanggal dan jam.
Daftar periksa (checklist) terdiri dari 2 lembar, lembar ke-1 diserahkan kepada
pemohon, lembar ke-2 sebagai arsip petugas pelayanan menyertai berkas.
5. Kepala Balai menerbitkan SPT pemeriksaan stok opname kepada kepala bidang
wilayah/kepala seksi wilayah.
6. Jika Berkas permohonan sudah lengkap, petugas pengelola melalui Kepala seksi
membuat konsep/ draft izin angkut SATS-DN.
7. Permintaan melakukan pembayaran PNBP SATS-DN.
8. Setelah Pembayaran PNBP SATS- DN, Bukti diberikan
8
Gambar 2. Contoh Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negri
3.5 Manajemen Pemeliharaan dan Perkandangan
Penangkaran merupakan salah satu usaha pemanfaatan satwa liar yang dibenarkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 (Departemen Kehutanan dan
Perkebunan 1999). Fasilitas yang terdapat di Intalasi Karantina Hewan (IKH), Seksi
Konservasi Wilayah (SKW) II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT,
diantaranya, bak-bak yang terdapat kura-kura rote (Chelodina mccordi) dimana bak-bak
ini merupakan tempat rehabilitasi dan habituasi satwa. Selain itu terdapat kandang transit
untuk buaya muara (Croccodilus porosus). Juga terdapat ular Liasis dunny pyton. Asal
bibit kura-kura rote (Chelodina mccordi) diperoleh dari Singapura dengan total populasi
kura-kura berjumlah 17 ekor. Kura-kura ini dipelihara dengan tujuan dikembangbiakan
sebelum dilepas kembali ke habitat aslinya. Sedangkan buaya muara (Croccodilus
porosus) berjumlah 7 ekor yang berada dalam kandang penitipan/transit milik BBKSDA
NTT hasil dari konflik buaya dan manusia seperti keluar dari wilayah teritorial buaya
dan masuk ke kawasan pemukiman. Buaya ini dipelihara dalam kurun waktu sementara
kemudian nantinya akan dilepas kembali ke habitat aslinya. Sistem perkandangan untuk
buaya dipelihara pada 3 kandang, yang mana masing-masing kandang terdapat 1 kolam
sebagai tempat berendam. Satwa lainnya yang terdapat di IKH yaitu ular Liasis dunny
pyton berjumlah 2 ekor yang ditempatkan di dalam box yang dialasi kertas koran. Ular
dan burung ini merupakan hasil sitaan karena diangkut tanpa dilengkapi surat ijin angkut
tumbuhan dan satwa liar dalam negeri (SATS-DN) sehingga ular ini dipelihara dengan
tujuan konservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Masy’ud (2001) bahwa, tujuan
penangkaran satwa liar terbagi menjadi dua, yaitu penangkaran untuk tujuan konservasi
dan penangkaran untuk tujuan sosial-ekonomi-budaya. Berikut merupakan pembagian

9
kandang dan jenis pakan pada hewan satwa liar yang dipelihara di IKH/SKW II yang
dapat dilihat pada tabel 1.2. dan 1.3
Tabel 1.2 Pembagian kandang hewan yang dipelihara di IKH
Jumlah
No Satwa Kandang Keterangan
(ekor)
1 Buaya muara Kandang 1 1
(Crocodylus Kandang 2 3
porosus) Kandang 3 2
2 Ular Liasis Box 1 2
phyton dunni
3 Kura kura rote Kandang 7 Bak 1= nomor punggung 4 dan 12, Bak 2=
(Chelodina pembiakan 4 bak nomor 3 dan 8, Bak 3= 11 dan 6, Bak 4=
mccordi) salsa
Kandang 6 Dipelihara selama 6 bulan lalu dilepas ke
habituasi alam. Berperan sebagai miniature mirip
habitat asli kura-kura di alam. Nomor 7, 5,
9, 13, 1, 10.
Kandang 4 Tanda khusus pada tepi kerapas masing-
litbang/karantina masing, dipelihara selama 3 bulan.
A4

Tabel 1.3 Pembagian jenis pakan dan perawatan hewan yang dipelihara di IKH
No Jenis Satwa Pakan Perawatan
1 Buaya muara Daging mentah Dimandikan 1x seminggu dan
(Crocodylus seminggu sekali dan dilakukan pengecekan kesehatan
porosus) pakan sumbangan dari dengan cara inspeksi 1x
masyarakat berupa seminggu
hewan hidup maupun
mati
2 Ular Liasis DOC sebulan sekali 2x seminggu perendaman air dan
phyton dunni penjemuran dibawah sinar
matahari pagi, pembersihan alas
kandang koran dari ular setiap
hari jika kotor
3 Kura kura ikan nila, kombong padi Penimbangan, pengecekan
rote dan tembang kondisi fisik, pengobatan jika ada
(Chelodina (dibersihkan, dipotong yang sakit luka.
mccordi) kecil lalu ditimbang Puasa : 2 kali dalam seminggu
sesuai kebutuhan (kamis dan sabtu). Pemeriksaan
masing-masing) pakan setiap habis makan, dicek
(perlakuan khusus : bak apakah habis/tidak
1: pakan apa yang ada,
bak 2: campuran ikan
air tawar dan laut, bak
3: pakan ikan air laut.

10
 Kura-kura rote (Chelodina mccordi)
Kura-kura hasil repatriasi setelah didatangkan dari alam atau daerah lain harus
melalui proses adaptasi dan aklimatisasi dalam bak karantina terlebih dahulu untuk
membiasakan diri kura-kura terhadap lingkungan yang baru dan mencegah masuknya
penyakit dari luar melalui kura-kura tersebut sebelum dipersiapkan untuk dilepasliarkan
atau dikawinkan (breeding). Indikator kura-kura telah dapat menerima lingkungan baru
adalah nafsu makan normal, perilaku tidak menyimpang, menjauhi manusia ketika
didekati dan dapat bereproduksi (Payne et al., 1999). Kontak manusia yang intensif pada
penangkaran dapat membuat kura-kura stres, sehingga tidak mau makan dan bertelur
(Hemsworth et al., 1997). Lama proses adaptasi dan aklimatisasi berbeda-beda tergantung
kemampuan dan perlakuan masing-masing jenis kura-kura. Untuk kura-kura yang
ditempatkan di kolam habituasi dipelihara selama 6 bulan, sedangkan kura-kura yang
berada di bak karantina dipelihara selama 3 bulan. Sedangkan sistem
perkandangan/kolam kura-kura dibuat dengan memisahkan 2 kura-kura pada setiap
kolamnya untuk menghindari persaingan dan perilaku kanibalisme. Menurut George dan
Rose (1993), jika kura-kura ditempatkan secara bersamaan yaitu dua atau lebih individu,
maka sebagian kecil individu akan menjadi agresif dan merusak yang lain. Hal ini sesuai
dengan keadaan di kolam pemeliharaan kura-kura di Kantor IKH, dimana setiap
kolamnya dipelihara satu hingga dua ekor kura-kura(Gambar 3).
Keberadaan kolam yang terpisah ini sesuai dengan persyaratan menurut Amri dan
Khairuman (2002), dalam penangkaran kura-kura idealnya ada empat tempat yang harus
disediakan, yaitu kolam pemeliharaan dan pemijahan, tempat penetasan telur (inkubator),
tempat pemeliharaan tukik (pendederan) dan tempat pembesaran. Kandang/kolam
merupakan habitat buatan yang dipakai di penangkaran kura-kura dan harus memenuhi
semua kebutuhan hidup dan perkembangan kura-kura. Ukuran kolam kura-kura bervariasi
tergantung tujuan pembuatan kolam dan kapasitas/ daya dukungnya. Bak pembiakan
berukuran 3 x 2 x 1.25 m, bak karantina berukuran 2 x 1.25 x 1 m, sedangkan kolam
habituasi ukurannya ireguler (10 x 3 m). Kandang/kolam harus memenuhi kebutuhan
akan luas untuk pergerakan kura-kura, suhu dan kelembaban serta sirkulasi udara yang
cukup. Kandang kura-kura di penangkaran hingga saat ini belum ditetapkan adanya
ukuran ideal yang dipersyaratkan untuk setiap jenis, namun disesuaikan dengan skala
usaha yang dijalankan dan tetap memperhatikan daya dukung kolam, sehingga
berimplikasi pada jumlah kura-kura induk yang dipelihara. Pertimbangan pemilihan
ukuran kandang sesuai dengan ukuran minimal satwa untuk bergerak. Kandang yang baik
11
adalah kandang yang memenuhi kesejahteraan satwa dan memudahkan pengelolaan.
Standar sarana kandang kura-kura dewasa minimal haruslah memenuhi syarat antara lain
kolam berisi air sedalam 1,0-1,5 m (kecuali kolam habituasi sedalam 70-80 cm) dengan
pengelolaan air berikut sanitasinya, tempat bertelur yang dilengkapi naungan sebagai
pelindung, tempat naik ke permukaan/tempat berjemur (basking), saluran air untuk
sirkulasi mengeluarkan air kotor dan air bersih yang masuk serta teralis besi pengaman
bagi kolam kura-kura Rote. Tempat bertelur kura-kura tidak sekaligus dijadikan tempat
pengeraman, karena seluruh telur kura-kura yang dihasilkan dipindahkan ke kotak
inkubator untuk menetaskannya. Pembagian jenis pakan dan perawatan hewan yang
dipelihara di IKH yang dapat dilihat pada tabel 1.3.

a) b) c)

d) e) f)
Gambar 3. Pembagian kandang kura-kura rote;a). Bak pembiakan kura-kura (bak 4), b). Bak
pembiakan(bak 3), c). Bak pembiakan (bak 2), d). Bak karantina, e). Kolam habituasi, f).
Papan informasi pembagian kandang dan jumlah kura-kura rote tiap bak

12
Pemeliharaan kura-kura dilakukan dengan memberikan pakan secara teratur,
membersihkan kandang/kolam secara teratur dan menjaganya agar tetap bersih untuk
mencegah timbulnya jamur dan penyakit yang berakibat terhadap kesehatan kura-kura,
sehingga pertumbuhannya dapat terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit.
Fakta yang terlihat di lokasi penangkaran tidak sebaik yang diharapkan, meskipun sudah
dilakukan pemberian pakan secara teratur sesuai kebutuhannya tetapi kondisi air di
kolam-kolam pemeliharannya masih kurang mendapat perhatian. Kolam habituasi saja
yang terlihat bersih airnya, mengingat jumlah kura-kura rote yang dipelihara tidak terlalu
banyak, sehingga tidak membutuhkan air dan kolam yang luas. Upaya meningkatkan
angka hidup dan menekan kematian kura-kura di penangkaran dapat ditempuh dengan
menjaga kecukupan jumlah pakan untuk pertumbuhan dan mengantisipasi adanya
kanibalisme, kesehatan (perawatan, pencegahan dan penanganan penyakit), kesesuaian
dan kenyamanan kolam (kelas umur yang sama, kepadatan populasi 1 ekor/10 m2, kondisi
air bersih dengan pH normal, penyediaan tempat bertelur/ berjemur). Efisiensi biaya
dilakukan pada penangkaran kura-kura berskala besar terutama jenis eksotik yang sudah
diyaksin ini mudah beradaptasi terhadap makanan dengan jalan memberikan pakan
tambahan (buatan) sebagai campurannya. Namun berbeda dengan kura-kura jenis asli
yang masih sulit beradaptasi terhadap makanan yang bukan pakan alaminya.

a) b) c)

d)

13
Gambar 4. Pemberian pakan pada kura-kura rote;a). Pemotongan ikan,b). Wadah yang
digunakan untuk ikan yang telah dipotong,c). Penimbangan berat pakan yang diberikan,d).
Pemberian pakan pada kura-kura rote

Perlakuan (treatment) yang sebaiknya perlu dilakukan terhadap kura-kura untuk


mempercepat atau memuluskan proses tersebut berdasarkan hasil observasi di lokasi
penangkaran adalah mencukupi kebutuhan pakannya, menyediakan kolam yang nyaman
mendekati kondisi habitat aslinya di alam dengan kualitas air yang baik untuk
mengurangi kura-kura dari ancaman stres, kegelisahan dan perilaku yang menyimpang
(abnormal), menjaga kesehatannya serta meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan,
sehingga mengurangi/memperkecil peluang mengalami stress di lingkungan yang
baru(Gambar 4). Jenis kura-kura asli yang diperoleh dari hasil tangkapan di alam lebih
mudah stress, sehingga berakibat terhadap lamanya proses adaptasi dan aklimatisasi di
lokasi penangkaran. Jenis kura-kura eksotik relatif lebih mudah beradaptasi dan
beraklimatisasi dengan lama waktu tidak lebih dari satu bulan, mengingat jenis ini sudah
berhasil dibudidayakan dalam skala unit usaha yang besar di luar negeri.

a) b) c)

Gambar 5. Pemeriksaan kualitas air;a). Pengukuran pH air,b). Pengukuran TDS dan EC


(tingkat kekeruhan dan substrat dalam air),c). Indikator pengujian kandungan nitrit, nitrat,
dan amonia
 Buaya Muara (Crocodylus porosus)
Pada kolam penangkaran buaya muara, intensitas cahaya matahari yang masuk relatif
tinggi(Gambar 6). Kelembaban tinggi atau terlalu rendah akan berpengaruh pada
kesehatan buaya itu sendiri. Kelembaban tinggi dapat mengakibatkan tumbuhnya bakteri
atau jamur sedangkan kelembaban rendah dapat menyebabkan buaya mengalami
dehidrasi (Ripai dan Kamarubayana, 2016). Makanan merupakan salah satu faktor yang

14
mempengaruhi kehidupan organisme. Pada buaya, pemberian pakan ditunjukan tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi juga untuk mencapai tingkat
produksi yang setinggi- tingginya. Buaya muara termasuk kategori hewan karnivora
yakni pemakan daging. Sesuai dengan tubuhnya buaya muara membutuhkan makanan
dalam jumlah yang banyak. Semakin besar ukuran tubuhnya makin banyak pula
kebutuhan makannya. Jadi, jumlah makanan buaya muara disesuaikan dengan ukuran
tubuhnya (Iskandar, 2009).
Buaya muara yang ada di IKH diberi makan daging mentah seminggu sekali (dapat
dilihat pada tabel 1.3). Menurut Ripai dan Kamarubayana (2016), jenis makanan yang
diberikan pada buaya muara mempunyai bahan dasar ikan segar, udang, kepiting dan
daging yang dipotong kecil dan halus. Bila ikan segar kurang kemudian diberikan ikan
yang telah diawetkan maka akan terjadi kekurangan vitamin. Jenis makanan buaya muara
yang ada di penangkaran terdiri dari dua macam yaitu mangsa hidup dan mangsa mati
yang terdiri dari ayam, bebek, ikan dan daging sapi (sudah dipotong-potong). Untuk
mangsa hidup buaya muara, biasanya bebek sedangkan yang lain diberikan dalam
keadaan sudah mati yakni ayam dan daging sapi.

Gambar 6. Kondisi kandang buaya muara pada IKH


 Ular (Liasis dunny pyton)
Kandang adalah tempat hidup satwa dengan ukuran tertentu yang diberi batas berupa
pagar atau dinding dan atau atap, baik tertutup semua atau sebagian (Masy'ud, 2001).
Kandang dibuat senyaman mungkin bagi satwa, sehingga satwa dapat tetap melakukan
aktivitasnya (Wing, 1951). Bentuk dan ukuran kandang ditentukan berdasarkan ukuran
tubuh ular, umur ular, dan juga perilaku ular itu sendiri (www.darkwar.com, 2003).
Secara umum, kandang ular sebaiknya mempunyai panjang minimal ±2/3 dari panjang
tubuh ular dan lebamya ±1/2 dari panjang badan ular (www.darkwar.com, 2003). Ular di

15
IKH di tempatkan dalam box yang di lengkapi tempat air minum dan ranting pohon
kering yang beralaskan kertas Koran(Gambar 7). Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam
website www.darkwar.com (2003), bahwa kandang harus dilengkapi dengan tempat air
dan tempat bertengger atau memanjat, terutama untuk jenis-jenis ular yang biasa hidup di
pepohonan. Selain itu, perlu juga disediakan lubang atau tempat bersembunyi bagi ular di
dalam kandang sehingga ular dapat merasa lebih aman dan nyaman. Substrat yang
digunakan dalam kandang bisa berupa kertas koran, pecahan kulit kayu, chips kayu,
ataupun bebatuan. Kertas koran sangat baik jika digunakan sebagai substrat, namun tidak
akan terlihat indah untuk kandang pameran. Sedangkan cacahan kulit kayu, chips kayu,
dan bebatuan sangat indah bila digunakan sebagai substrat, tetapi sulit untuk
membersihkamya bila terkena kotoran.
Menurut Hardjanto et al. (1991), makanan merupakan salah satu komponen produksi
yang membutuhkan biaya terbesar, dapat mencapai 65-70 % dari seluruh biaya produksi
dalam suatu usaha penangkaran. Hal ini dikarenakan makanan diperlukan tubuh untuk
menghasilkan energi. Kebutuhan dasar tiap organisme adalah karbohidrat, lemak, protein,
vitamin, mineral, dan air. Energi ini dibutuhkan untuk proses penting dan dalam sistem
tubuh seperti bernafas, sirkulasi darah pada jaringan dan sel, mengatur temperatur tubuh,
zat untuk memperbaiki, tumbuh dan berkembangbiak serta kesehatan secara umum.
Kekurangan makan secara kuantitatif dapat menyebabkan kelaparan, sedangkan
kekurangan secara kualitatif dapat menyebabkan kelemahan secara fisik, rendahnya
reproduksi, dan kematian secara perlahan-lahan bila berlangsung dalam jangka Panjang
(Xing, 1951). Reptil mendapatkan air dengan minum dan air bebas atau dari air metabolic
yang terdapat dalam makanmya (Goin et al., 1978). Pemberian makan pada ular
dilakukan 1 minggu sekali untuk ular yang berumur < 1 tahun, 1 bulan sekali untuk ular
yang berumur 1 tahun ke atas(Gambar 7). Makanan yang diberikan adalah tikus putih dan
ayam broiler. Hal ini sesuai dengan pendapat Junaedi (1999), bahwa di penangkaran,
umumnya ular diberi tikus dewasa dan ayam sebagai rnakanannya dan untuk anak ular
diberi tikus, cecak, atau tokek dalam ukuran kecil.
Ular Phyton sebagai salah satu hewan reptilia, tergolong dalam hewan poikiloterm
atau ektotermik, yaitu satwa dengan produksi panas tubuh sebagai hasil aktivitas
metabolisme yang sangat terbatas dan mekanisme kontrol pengembalian produksi panas
sangat rendah (Aiello, 1998), sehingga untuk mencukupi kebutuhan panasnya, satwa ini
harus mengambil panas dari lingkungan (tanah, air, udara, sinar matahari, dan juga
permukaan dari tempat mereka beristirahat) yaitu dengan cara berjemur di bawah sinar
16
matahari langsung hingga suhu tubuh yang diperlukan untuk beraktivitas tercapai.
Perilaku iui dikenal dengan istilah basking untuk mendapatkan panas. Setelah
mendapatkan panas tubuh, metabolisme segera akan berlangsung terutama dalam proses
mencerna makanan. Suhu yang dibutuhkan ular phyton untuk dapat beraktivitas antara
26,7-30 0C, dengan suhu optimal pada 30 0C. Pada suatu usaha penangkaran, basking
dilakukan pada pagi hari selama 15 menit per minggu (Junaedi, 1999). Pemeliharaan ular
tersebut bertujuan supaya pertumbuhan ular dapat terjaga dengan baik dan juga tidak
mudah terserang penyakit. Selain itu, Moris (1965), menjelaskan bahwa ular lebih banyak
diam untuk meminimalkan energi yang terpakai dari hasil proses pencernaan
makanannya.

a) b)
Gambar 7. Kondisi ular liasis duns python; a). Pemberian pakan DOC pada ular,
b). Perendamandan penjemuran ular

3.6 Manajemen Reproduksi


Teknik penetasan telur kura-kura semua dilakukan dengan bantuan manusia karena
adanya perlakuan khusus di box inkubator dalam rangka meningkatkan daya tetas telur
kura-kura (Gambar 9c). Pemeriksaan penetasan telur kura-kura di kontrol suhu dan
kelembaban 3x sehari, Dalam box penetasan ditambahkan vermikulit sebagai alas telur
karena memiliki daya serap air yang tinggi. Vermikulit juga sebagai sumber mineral pada
media penetasan telur. Pertumbuhan populasi dari waktu ke waktu terjadi dengan
kecepatan (laju pertumbuhan) yang ditentukan oleh kemampuan berkembangbiak dan
keadaan lingkungannya. Umumnya telur kura-kura akan menetas dalam waktu 60-107
hari. Untuk membedakan jenis kelamin antara jantan dan betina pada kura-kura rote dapat
dilihat dari ukuran ekornya, dimana kura-kura rote jantan memiliki ciri fisik berupa ekor

17
lebih panjang dan lebih kecil, sedangkan pada betina ekornya lebih pendek dan lebih
besar. Perbedaan kura-kura jantan dan betina juga dapat ditentukan dengan melihat
ukuran tubuh (betina lebih besar) dan panjang ekor (jantan lebih panjang)(Gambar 9a).

Gambar 9. Manejemen reproduksi kura-kura rote; a). Peredaan kura - kura jantan dan
betina,b). Perkawinan alam kura -kura rote,c). Inkubator penetasan telur kura - kura
Buaya muara bereproduksi dengan cara ovipar. Umur kematangan seksual pada buaya
adalah 8-10 tahun. Kopulasi dilakukan di dalam air dan berlangsung hanya beberapa
menit saja pada siang hari. Kemudian buaya betina mempersiapkan sarang untuk bertelur
yang letaknya tidak jauh dari kolam, jumlah telur yang dapat dihasilkan berkisar 60-90
butir telur sekali bertelur. Pada beberapa jenis buaya, buaya betina akan tetap menjaga
telurnya dan akan membantu dalam proses penetasan telur dengan umur inkubasi telur
berkisar 8-12 minggu. (Ripai dan Kamarubayana, 2016).
Musim kawin pada ular di daerah temperate atau daerah yang memiliki empat musim
diatur oleh suhu serta kondisi iklim, sedangkan di daerah tropika kebanyakan ular dapat
bereproduksi sepanjang tahun (Goin et al., 1978). Reptil siap berreproduksi walaupun
belum mencapai ukuran maksimalnya. Pada beberapa jenis reptil, kematangan seksual
lebih tergautung pada ukuran (Blum, 1986). Ular dan kadal butuh waktu kira-kira tiga
tahun untuk mencapai kematangan seksual (Goin et al., 1978). Di penangkaran, ular
biasanya akan kawin setelah ganti kulit dengan umur yang dapat dikatakan telah matang
secara seksual. Umur kebuntingan pada ular bervariasi tergantung pada jenis dan spesies
dari ular tersebut, ular juga dapat bereproduksi dengan dua cara yaitu ovipar yang
ditemukan pada sebagian besar ular seperti spesie Pytonidae dan ovovivipar yang
biasanya ditemukan pada spesies ular berbisa dan spesies Boanidae Ular yang ingin
melakukan aktivitas reproduksi akan menunjukan tanda biasanya tidak memiliki nafsu
makan, pada ular jantan akan menunjukan tanda gelisah saat didekatkan dengan ular
betina, sedangkan pada betina yang siap berbiak akan cenderung mendekati jantan

18
tersebut (Junaedi, 1999). Terdapat 2 tahapan perilaku reproduksi pada sebagian besar
vertebrata seperti ular yang terdiri dari dua fase yaitu fase seksual dan kopulasi (Blum,
1986).
3.7 Manajemen Kesehatan
Kondisi kesehatan kura-kura rote di penangkaran sangat dipengaruhi oleh lingkungan
habitatnya. Ketersediaan air yang bersih, pakan yang cukup, adaptasi yang mudah,
lingkungan yang aman dan nyaman seperti habitat alaminya serta interaksi antar individu
sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas kura-kura terhadap penyakit. Namun,
apabila lingkungan habitatnya tidak sesuai, maka kondisi kesehatan kura-kura rote akan
menjadi lebih rentan terhadap penyakit menular. Pemberian pakan yang berlebihan
memicu kolam yang mudah kotor sehingga menyebabkan kura-kura rentan terhadap
penyakit.
Kura-kura rote lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di dalam air
dibandingkan di daratan, oleh karena itu pemantauan kesehatannya perlu dilakukan
dengan mengangkat dan mengecek kura-kura rote tersebut dari dalam air ke daratan
secara berkala (minimal sekali dalam seminggu). Pemeriksaan medis di Kantor IKH
dilakukan setiap hari kamis (1 minggu sekali) dengan mengamati abnormalitas, keaktifan,
respon, pakan dan feses sesuai kategori yang ada. Pemeriksaan medis juga dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan morfometri yang dilakukan 1 bulan sekali dengan
pertimbangan ada perubahan yang signifikan pada pengukuran morfometri tersebut
(Gambar 10). Jenis pemeriksaan yang dilakukan diantaranya penimbangan berat badan,
panjang dan lebar ukuran kerapas lengkung, panjang dan lebar ukuran kerapas datar,
panjang dan lebar plastron, panjang kura-kura rote dari kepala hingga ekor, lingkar badan,
lebar kepala.

a) b) c)

19
Gambar 10. Morfometri dan pengobatan pada kura - kura rote;a).pemeriksaan morfometri,b).
panduan pemeriksaan morfometri,c). pemberian povidon iodin pada kura - kura rote yang
mengalami luka
Menurut Amri dan Khairuman (2002), ciri-ciri kura-kura yang terkena penyakit
adalah gerakannya lemah, hilang keseimbangan, nafsu makan berkurang, menggosok-
gosokkan tubuhnya pada benda yang keras, kulit dan bagian badannya rusak, sehingga
berwarna pucat dan terlihat bintik-bintik pucat pada permukaan tubuhnya. Ciri-ciri
tersebut dapat dijadikan indikator untuk mengecek apakah kura-kura di penangkaran
terkena penyakit atau tidak. Jenis penyakit yang pernah menyerang kura-kura di
penangkaran adalah parasit (Ichtyopthyrius multifilis) yang menyebabkan bintik putih dan
penyakit bercak merah yang disebabkan oleh jamur, parasit dan kutu air. Kura-kura yang
diduga terserang jamur akan mengalami penurunan berat badan, perilaku lebih banyak
diam, tidak bertenaga, penurunan panjang karapas dan rusaknya bagian plastron.
Penyebaran jamur ini dapat melalui air dan udara dalam bentuk spora. Penyakit ini mudah
menular dan disebabkan oleh kualitas air kolam yang kotor (keruh dan berwarna hijau
pekat). Penyakit ini menyerang semua jenis kura-kura di penangkaran dan selalu menjadi
ancaman yang mengkhawatirkan para penangkar. Upaya pencegahannya adalah menjaga
kualitas air kolam tetap bersih dan mengisolasi kura-kura yang terserang penyakit, cacat,
luka atau memar ke kolam karantina untuk menghindari menularnya ke individu lain yang
berpotensi tertular penyakit karena daya tahan tubuh yang lemah. Pembersihan kolam dan
bak kura-kura di kantor IKH dilakukan sesuai hasil pemeriksaan kualitas air, jika kualitas
air tidak bagus lagi dilakukan pergantiaan air dan pengurasan bak. Pemeriksaan Kualitas
air dilakukan setiap hari rabu (1 minggu sekali) dengan mengecek pH (derajat keasaman),
TDS dan EC (tingkat kekeruhan dan substrat dalam air), dengan menguji kandungan nitrit
dan amonia pada air.
Penyakit yang sering menginfeksi buaya muara adalah sebagai berikut: paraphimosis,
obstruksi pakan, dan vulnus. Menurut Ripai dan Kamarubayana (2016) bahwa, berbagai
macam kondisi kesehatan buaya muara dapat terganggu apabila kondisi kolam dalam
kolam kotor, sisa-sisa makanan dan pengaruh cuaca yang ekstrim. Akan tetapi, secara
umum buaya adalah jenis satwa reptil yang kebal terhadap serangan penyakit .
Penyakit-penyakit yang biasanya menyerang ular adalah penyakit mulut(stomatitis),
kutu, cacing, dan flu (Breen, 1974). Penyakit mulut ditandai dengan gejala bintik putih
pada mulut yang lama kelamaan melebar dan akhimya menyebabkan necrosis pada mulut.
Penyakit ini termasuk penyakit yang menular, oleh karena itu alangkah baiknya jika ular
20
yang terkena penyakit ini dipisahkan dari ular-ular yang lain. Pengobatan penyakit mulut
cenderung mudah, cukup dengan mengoleskan antiseptik pada mulut ulat sccara teratur
hingga penyakitnya sembuh. Untuk mengatasi kutu dapat dilakukan dengan langsung
mengangkat kutu tersebut dari kulit, dapat juga diakukan dengan meneteskan minyak atau
gliserin pada kutu tersebut sehingga nantinya kutu akan terlepas dengan sendirinya
(Breen, 1974). Breen (1974), juga menyebutkan tentang pengobatan penyakit flu dalam
bukunya, yaitu dengan menempatkan ular yang terkena flu pada kandang dengan suhu
80°F. Umumnya flu akan sembuh dalam beberapa hari, tetapi jika penyakit flunya serius
maka untuk mengatasinya hanya dengan menyuntikkan antibiotik. Penyakit satwa,
termasuk ular, juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan zat makanan. Jika makanan
yang diberikan terlalu berlebihan maka ular dapat menjadi terlalu gemuk(obesitas). Reptil
yang gemuk memiliki tingkat toleransi yang rendah terhadap peningkatan suhu
lingkungan, tingkat infeksi yang tinggi, dan kemandulan bagi reptil jantan (Wallach &
HOE, 1982). Sedangkan kekurangan dalam pemberian pakan dapat menyebabkan
kematian karena kekurangan kalori.

21
BAB IV
PENUTUP

Dengan adanya kegiatan Praktek Kerja Lapangan Satwa Liar di Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman dalam hal manajemen kontrol dan pemeliharaan satwa liar yang berada di
penangkaran kantor SKW II BKSDA NTT, perijinan satwa liar yang tidak dilindungi secara
resmi keluar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aiello SE. 1998. The Merck Veterinary Manual; 8th ed. Merck & Co,.Inc. New Jersey.
Amri K, Khairuman. 2002. Labi-labi komoditas perikanan multi manfaat. Jakarta (ID): Agro
Media Pustaka.
Blum, Volker. 1986. Vertebrate Reproduction. A Texfbook. Springer-Verlag. Berlin.
Breen, John F. 1974. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. T.F.H. Publications, Inc.
Ltd. United States of Ainerica
George A, Rose M. 1993. Conservation biology of the pig-nosed turtle, carettochelys
insculpta. Chelonian Conservation and Biology, 1(1): 3-12.
Goin, C.J., Olive B. Goin & George R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. Third
Edition. W.H. Freeman and Company. San Francisco
Hardjanto., Masyud B, dan Hero Y. 1991. Analisiskelayakan finansial penangkaran rusa di
BKPH Jonggol, KPH Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hemsworth, Paul H. & Harold W. Gonyou. 1997. Human Contact. Pp. 205-217 in Animal
Welfare. M. C. Appleby & B. 0. Hughes (Eds.). Centre for Agriculture and Biosciences
International. London.
Iskandar DT. 2009. Turtles dan Crocodilus of Indonesia dan Papua Nugini. PALMedia Citra.
Bandung.
Junaedi, Edi. 1999. Aspek Reproduksi Ular Sanca Karpet (Morelin spilotn vnriegntn) di
Kandang Penangkaran. Skripsi. Jumsan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
KeIiutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kustiarto, Hanung A. 2002. Pertumbuban dan Perilaku Makan Ular Sanca fijau
(Chondropython viridis) di Kandang Penangkaran. Skripsi. Jumsan Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Masy'ud, Burhanuddin. 2001. Dasar-dasar Peilangkacm Sattiia Zzr. Laboratsriun:
Penangkaran Satwa Liar Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Masy'ud, Burhanuddin & Lin Nuriah Ginoga. 2001. Diktat Pengantar Ilmu Makanan Sahva.
Laboratorium Penangkaran Satwa Liar Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutman Institut Pertanian Bogor. Bogor
Morris PA. 1959. Boy’s Book of Turtles and Lizard. New york: The Ronald Press Company.

23
Morris, Ramona & Desmond Moms. 1965. Men and Snakes. McGraw-Hill Book Company.
San Francisco.
http://bbksdantt.menlhk.go.id/profil/struktur-organisasi,sejarah-balai,izin-angkut-tumbuhan-
dan-satwa-liar-dalam-negeri, diakses pada tanggal 06 Juni 2022
Payne, William JA, Wilson RT. 1999. An introduction to animal husbandry in the tropics.
Fifth Edition. Blackwell Science Ltd. London.
Purwantoro, Kusrini MD, Masy’UD. 2016. Manajemen Penangkaran Empat Jenis Kura-Kura
Peliharaan Dan Konsumsi di Indonesia, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam,
13(2): 119-135.
Ripai A dan Kamarubayana L. 2016. Penangkaran Buaya Muara (Crocodylus Porosus) Di
PT. Makmur Abadi Permai Samarinda Kalimantan Timur, Jurnal AGRIFOR, 15 (2): 155-
170.
Triantoro RGN. 2019. Jurnal Faloak, Pemanfaatan Tradisional dan Tataniaga Kura-Kura di
Merauke Provinsi Papua, Jurnal Faloak, 3(2): 117-126.
Wallach, Joel D. & Gerald L. Hoff. 1982. Metabolic and Nutritional Diseases of Reptiles. Pp.
155-167 inNoninfectious Diseases of Wildlife. G.L. Hoff & J.W. Davis (Eds.). The 1orr.a
State University Press. Iowa.
Wing, Leonard W. 1951. Practice of Wildlife Conservation. John Wiley & Sons Inc. United
States of America.
wuw.darkwar.com/snake/rawat ular.html.9k. 2003. Snake as Pets. Retrieved 2 Januari 2003
from World Wide Web : u~~~~.dark\~~ar.codsnake/rawat.

24
LAMPIRAN

25
26
27
28

Anda mungkin juga menyukai