Dua bab berikut akan membahas tentang persediaan barang dagang. Secara keseluruhan,
pembahasan akan mencakup penilaian dan penetapan harga pokok serta sistem pencatatan.
Secara khusus bab ini akan membahas tentang penetapan harga pokok persediaan barang
dagang. Setelah mernpelajari bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan penilaian dan pelaporan persediaan barang dagang
2. Menjelaskan pengaruh persediaan barang dagang terhadap laporan keuangan
3. Menjelaskan dan menghitung harga pokok persediaan
4. Menjelaskan pengaruh perbedaan metode penetapan harga pokok persediaan terhadap
laporan keuangan
5. Menjelaskan dan menghitung harga pokok persediaan dengan metode taksiran
Tabel 15-1
Hubungan Persediaan Barang Dagang
di Neraca dan Laporan Laba Rugi
PENETAPAN HARGA POKOK PERSEDIAAN
Di atas telah diterangkan betapa pentingnya nilai persediaan terhadap
kelayakan laporan keuangan. Nilai persediaan barang dagang ditentukan
oleh gabungan dua faktor, yaitu kuantitas dan harga pokok. Kuantitas persediaan
dapat diperoleh melalui perhitungan secara fisik. Harga pokok persediaan adalah
harga untuk memperoleh persediaan tersebut. Di samping harga beli, termasuk dalam harga
pokok persediaan adalah semua biaya yang terjadi sampai dengan persediaan siap dijual,
misalnya, biaya pengangkutan, bea masuk dan *asuransi. Biaya-biaya yang susah dihubungkan
dengan salah satu jenis barang, misalnya biaya pengangkutan dan asuransi dapat dibagikan sama
rata atas suatu dasar tertentu. Biaya-biaya yang jumlahnya kecil dan susah dialokasikan tidak
perlu dimasukkan sebagai harga pokok barang. Biaya-biaya ini diperlakukan sebagai beban
usaha periode berjalan. Potongan pembelian, secara rata-rata, harus diperhitungkan dalam
menentukan harga pokok persediaan.
Kesulitan dalam menetapkan harga pokok persediaan adalah apabila selama suatu periode,
barang yang sama diperoleh dengan beberapa harga yang berbeda. Apabila demikian, perlu
ditentukan harga yang akan digunakan untuk menetapkan harga pokok persediaan. Pengaruh dari
harga yang berbeda terhadap harga pokok persediaan dan harga pokok penjualan, dapat
diterangkan dengan contoh sederhana di bawah ini. Anggaplah bahwa PT XYZ baru memulai
kegiatannya pada tanggal 1 Januari 200A. Selama bulan Januari 200A pembelian barang dagang
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Anggaplah juga bahwa selama bulan Januari 200A barang yang dijual berjumlah 200 unit.
Tidak tersedia informasi mengenai barang mana yang dijual. Untuk menetapkan nilai persediaan
yang ada pada 31 Januari 200A (sebanyak 100 unit) dan nilai harga pokok barang yang dijual
(sebanyak 200 unit) dapat digunakan beberapa alternatif. Pertama, dianggap bahwa barang yang
mulamula dibeli akan dijual terlebih dahulu. Alternatif ini didasarkan atas anggapan bahwa arus
biaya yang dibebankan ke laporan laba rugi harus berjalan sejajar dengan arus pengeivaran yang
pernah dilakukan. Pada umumnya, hal ini sesuai dengan aliran fisik dari barang. Pada alternatif
ini, 200 unit yang terjual selama bulan Januari 200A terdiri dari unit-unit yang dibeli pada
tanggal 4 dan 15 Januari 200A. Persediaan barang dagang yang ada pada tanggal 31 Januari
200A terdiri
dari unit yang dibeli pada 30 Januari 200A. Dengan anggapan demikian, maka
harga pokok penjualan pada bulan Januari 200A adalah Rp 18.000 (Rp 8.000 + Rp
10.000). Nilai persediaan brang dagang yang ada pada tanggal tersebut adalah Rp 15.000.
Alternatif kedua menyebutkan bahwa barang yang terakhir dibeli merupakan barang
pertama dijual. Alternatif ini menganggap bahwa arus biaya yang dibebankan ke laporan laba
rugi haruslah berlawanan dengan arus pengeluaran yang pernah dilakukan. Biaya-biaya yang
dibebankan ke laporan laba rugi haruslah biaya-biaya yang paling akhir terjadi. pada alternatif
ini, 200 unit yang terjual selama bulan Januari 200A terdiri dari unit-unit yang dibeli pada
tanggal 30 dan 15 Januari 200A. Perseddaan barn ng dagang pada tanggal 31 Januari 200A
terdiri dari unit yang dibeli pada tanggal 4 Januari 200A. Harga pokok penjualan selama bulan
Januari 200A, adalah Rp 25.000 (Rp. 10.000 + Rp 15.000). Nilai persediaan barang dagang
pada akhir periode adalah Rp. 8.000.
Alternatif ketiga berpendapat bahwa biaya yang dibebankan kelaporan laba rugi haruslah
harga pokok rata-rata dari seluruh pembeiian yang dilakukan selama periode yang bersangkutan.
Dengan menggunakan metode ini, nilai harga pokok penjualan selama bulan Januari 200A
adalah Rp 22.000 (Rp 110 x 200). Nilai persediaan barang dagang yang ada pada tanggal 31
Januari 200A adalah Rp 11.000 (Rp 110 x 100).
Dari perhitungan-perhitungan di atas terlihat bahwa. apabila metode penetapan harga
pokok yang dipakai berbeda maka hasil yang diperoleh akan berbeda pula. Hal ini tampak jelas
seperti terlihat dalam ikhtisar di bawah ini :
Harga Pokok
Persediaan Akhir
penjualan
1 Alternatif I Rp 18.000 Rp 15.000
2 Alternatif II 25.000 8.000
3 Alternatif III 22.000 11.000
Konsep di atas merupakan dasar dari metode penetapan harga pokok persediaan. Alternatif
pertama disebut metode pertama masuk pertama keluar (first in first out atau FIFO). Alternatif
kedua disebut metode. terakhir masuk pertama keluar (last in first out atau LIFO) sedangkan
alternatif ketiga disebut metode rata-rata (average). Di bawah ini akan dijelaskan metode-metode
tersebut di atas lebih rinci.
Metode FIFO
Dalam bab-bab yang lalu telah dijelaskan bahwa harga pokok penjualan untuk suatu
periode tertentu dihitung berdasarkan rumus: persediaan awal ditambah dengan pembelian bersih
dikurangi dengan persediaan akhir. Angka untuk pembelian bersih diambil dari saldo akan yang
bersangkutan di buku besar. Angka-angka kuantitas persediaan awal dan akhir diperoleh dengan
jalan melakukan perhitungan fisik. Harga pokok persediaan dihitung dengan mengalikan
kuantitas pada harga pokok per unit. Harga pokok per unit mina yang dipakai tergantung pada
metode penetapan harga pokok yang dipilih.
Anggaplah bahwa persediaan yang ada di awal periode (1 Januari 200A) dan pembelian-
pembelian yang dilakukan selama tahun tersebut tampak seperti terlihat di bawah ini.
Perhatikan bahwa dalam contoh di atas persediaan yang ada di awal periode sudah
ditentukan kuantitas maupun harga pokok per unitnya. Dalam praktik, nilai harga pokok
persediaan di awal periode tersebut harus ditentukan seperti yang dilakukan terhadap persediaan
akhir. Anggaplah kemudian bahwa menurut penghitungan yang dilakukan pada tanggal 31
Desember 200A persediaan yang masih.tersisa adalah 300 unit. Persoalan penetapan harga
pokok akan berhubungan dengan menentukan harga pokok per unit yang harus diterapkan untuk
kuantitas tadi.
Jika perusahaan menggunakan metode FIFO, persediaan akan dinilai dengan harga
pembelian paling akhir. Apabila kuantitas pada pembelian ini tidak cukup diterapkan pada
persediaan akhir, maka akan diambilkan dari pembelian terakhir berikutnya, demikian
seterusnya. Ini sesuai dengan anggapan dalam metode FIFO bahwa biaya yang akan dibebankan
ke laporan laba rugi adalah biaya-biaya yang paling dahulu dikeluarkan. Persediaan pada tanggal
31 Desember 200A menurut metode FIFO dihitung sebagai berikut:
Harga pokok penjualan dengan menggunakan metode ini akan tampak seperti terlihat
dalam perhitungan berikut:
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 8.000
Pembelian bersih selama periode Rp 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp 133.000
Persediaan akhir, 31 Desember 200A Rp 55.000
Harga pokok penjualan Rp 78.000
Metode LIFO
Sebaliknya, apabila perusahaan menggunakan metode LIFO, maka persediaan akhir dinilai
berdasarkan ketentuan bahwa harga beli yang lebih awal didahulukan. Persediaan pada tanggal
31 Desember 200A menurut metode LIFO dihitung sebagai berikut:
Tanggal Harga Pokok Total
Harga pokok penjualan dengan menggunakan metode ini akan tampak seperti terlihat
dalam perhitungan berikut:
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 8.000
Pernbelian bersih selama periode 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp 133.000
Persediaan akhir, 31 Desember 200A 28.000
Harga pokok penjualan Rp 105.000
Metode Rata-rata
Harga pokok untuk persediaan barang yang tersedia dijual selarna tahun 200A dihitung
sebagai berikut:
Harga pokok persediaantersedia dijual
Harga Pokok Rata-rata =
Kuantitas persediaan tersedia dijual
Rp . 133.000
= = Rp. 133
Rp . 1.000
Persediaan pada 31 Desember 200A yang harga pokoknya ditetapkan berdasarkan metode
ini adalah Rp 39.900 (300 x Rp 133). Harga pokok penjualannya dihitung sebagai berikut:
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 8.000
Pembelian bersih selarna periode 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp 133.000
Akibat dari berbedanya nilai persediaan akhir dan harga pokok penjualan adalah
berbedanya laba bersih, total aktiva maupun total modal. Laba bersih tertinggi akan diperoleh
apabila perusahaan menggunakan metode FIFO. Laba bersih terendah akan dihasilkan oleh
metode LIFO. Pada metode FIFO total aktiva dan total modal juga menghasilkan angka yang
tertinggi sedang metode LIFO menghasilkan angka terendah. Metode rata-rata akan
menghasilkan laba bersih, total aktiva dan total modal di antara nilai menurut FIFO dan LIFO.
Ketiga metode tersebut di atas boleh dipilih untuk diterapkan dalam perusahaan.
Manajemen dalam memilih salah satu dari ketiganya harus memperhatikan manfaat yang bisa
diambil. Akan tetapi, patut diperhatikan, bahwa analisis seperti diterangkan di atas, hanya terjadi
apabila harga beli barang dagang mengalami kenaikan terus-menerus. Apabila harga beli barang
di pasaran mengalami penurunan, maka hasil analisis yang diperoleh merupakan kebalikan
daripadanya. Dalam keadaan ini, laba bersih dan nilai persediaan tertinggi akan diperoleh
apabila menggunakan metode LIFO dan laba bersih Serta nilai persediaan terendah akan
diperoleh apabila menggunakan metode FIFO. Metode rata-rata tidak berubah. Nilai persediaan
dan harga pokok penjualannya akan terletak di antara metode FIFO dan LIFO.
Apabila diketahui bahwa selama bulan Januari 200A mobil-mobil yang terjual adalah:
Sedan Toyota Corolla, B-12345; Sedan Toyota Corolla, B-67856; Fiat 127 Spec, B-6547-A,
maka baik persediaan yang ada pada tanggal 31 Januari 200A maupun harga pokok penjualan
selama bulan Januari 200A dapat dihitung dengan mengidentifikasikan harga pokok masing-
masing mobil yang bersangkutan. Dalam contoh di atas harga pokok penjualan adalah sebagai
berikut:
Persediaan barang dagang pada tanggal 31 januari 200A adalah sebagai berikut:
Sedan, Holden Primer, B-1709-HE, tahun 1978 Rp 28.750
Mazda kotak, B-23457, tahun 1962 5.000
Persediaan 31 Januari 200A Rp 33.750
METODE TAKSIRAN
Penetapan harga pokok persediaan dengan metode seperti diterangkan di atas
mengharuskan adanya perhitungan fisik terhadap persediaan. Mengadakan perhitungan fisik atas
persediaan, biasanya memerlukan biaya dan waktu yang besar. Tidak mungkin, kalau hal ini
harus sering dilakukan. Sebaliknya, manajemen perusahaan biasanya menginginkan agar laporan
keuangan dapat lebih sering dikeluarkan. Bukan hal yang jarang apabila sebuah perusahaan
mengeluarkan laporan keuangan interimnya secara bulanan.
Kesulitan mengadakan perhitungan fisik di satu pihak, Serta keinginan untuk menghasilkan
laporan keuangan secara berkala di pihak lain, mengakibatkan diperlukannya cara baru untuk
menetapkan harga pokok persediaan yaitu dengan metode taksiran. Tentu saja, dibandingkan
dengan harga pokok yang didasarkan atas perhitungan fisik, metode taksiran kurang tepat. Akan
tetapi, perlu dingatkan bahwa dalam laporan keuangan itu sendiri, tidak sedikit pos-pos yang
didasarkan atas angka taksiran, misalnya penyusutan dan kerugian karena piutang tak tertagih.
Dengan demikian penggunaan angka taksiran untuk persediaan, apalagi kalau hal ini dilakukan
hanya dalam rangka penyusunan laporan keuangan interim, tidak akan mengurangi kegunaan
laporan.
Ada dua metode taksiran yang dapat digunakan, yaitu metode eceran (retail method) dan
metode laba bruto (gross profit method). Kedua metode itu akan dibahas lebih lanjut berikut ini.
Perlu dicatat bahwa harga pokok persediaan yang dihitung dengan metode taksiran hanya boleh
dilakukan untuk penyusunan laporan keuangan interim (misalnya bulanan, kuartalan,
semesteran). Untuk menyusun laporan keuangan tahunan persediaan harus dinilai dengan harga
pokok yang sebenarnya (aktual).
Metode Eceran
Metode eceran banyak digunakan oleh perusahaan dagang eceran seperti toko serba ada.
Konsep yang mendasari adalah adanya hubungan yang dekat dan konstan antara harga pokok
dengan harga jual. Oleh karena itu, hubungan antara harga pokok dan harga jual, yang biasanya
dinyatakan dalam suatu persentase, harus ditetapkan terlebih dahulu. Untukini perusahaan perlu
mempunyai catatan mengenai harga jual dari semua barang yang ada. Hubungan antara harga
jual dan harga pokok dihitung sebagai berikut (anggaplah bahwa angka-angka yang dicantumkan
berasal dari catatan yang ada dalam perusahaan):
Harga Pokok Harga Jual
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 21.500 Rp 35.000
Pembelian bersih bulan Januari 200A 258.500 365.000
Persediaan tersedia dijual Rp 280.000 Rp 400.000
Persentase tersebut di atas digunakan untuk menaksir harga pokok persediaan yang ada
pada akhir suatu periode. Dengan cara ini, maka perhitungan secara fisik tidak perlu dilakukan.
Untuk menggambarkan lebih lanjut, anggaplah bahwa selama tahun 200A telah terjadi penjualan
bernilai Rp 330.000. Taksiran harga pokok persediaan yang ada pada akhir periode dihitung
dengan cara sebagai berikut:
Persediaan tersedia dijual, pada harga jual Rp 400.000
Penjualan selama buian Januari 200A 330.000
Persediaan pada 31 Januari 200A, pada harga jual Rp 70.000
Dari perhitungan di atas terlihat bahwa persediaan yang ada di akhir periode pada harga
jualnya adalah Rp 70.000. Kita telah menentukan sebelumnya bahwa harga pokok 0 barang
merupakan 70% dari harga jualnya. Taksiran harga pokok persediaan yang ada di akhir periode
dengan demikian dapat dihitung sebagai: 70% x Rp 70.000 = Rp 49.000. Harga pokok penjualan
untuk bulan Januari200A dapat dihitung sebagai berikut:
Persediaan, 1 Januari 200A Rp 21.500
Pembelian bersih selama Januari 200A 258.500
Persediaan tersedia dijual Rp 280.000
Persediaan, 31 Januari 200A 49.000
Harga pokok penjualan Rp 231.000
Jika disusun dengan lebih baik, harga pokok penjualan dapat dihitting sebagai berikut:
Persediaan, 1 Januari 200A Rp 20.000
Pembelian bersih selama Januari 200A 220.000
Persediaan tersedia dijual Rp 240.000
Persediaan, 31 januari 200A 44.000
Harga pokok penjualan Rp 196.000
ISTILAH BARU
FIFO (First In First-Out): metode penetapan harga pokok persediaan yang didasarkan atas
anggapan bahwa barang-barang terdahulu dibeli akan merupakan barang yang dijuai pertama
kali. Dalam metode ini persediaan akhir dinilai dengan harga pokok pembelian yang paling
akhir.
Identifikasi khusus (specific identification): metode penetapan harga pokok persediaan
yang didasarkan atas harga pokok yang dikeluarkan khusus untuk barang-barang yang
bersangkutan.
Metode eceran (retail method): metode penetapan harga pokok persediaan secara taksiran
yang didasarkan atas dasar hubungan, yang terdapat dalam tahun berjalan, antara harga pokok
dengan harga jual.
Metode laba bruto atau metode laba kotor (gross profit method): metode penetapan harga
pokok persediaan secara taksiran yang didasarkan atas hubungan, yang terdapat dalam periode
yang lalu, antara laba bruto dengan harga jual.
LIFO (Last In Last-Out): metode penetapan harga pokok persediaan yang didasarkan atas
anggapan bahwa baring-baring yang paling akhir..dibeli akan merupakan barang yang dijual
pertama kali. Dalam metode ini, persediaan akhir akan dinilai dengan harga pembelian yang
terdahulu.
Penetapan harga pokok persediaan (inventory costing): menentukan nilai harga pokok
persediaan yang ada pada suatu saat tertentu.
Rata-rata (average): metode penetapan harga pokok persediaan di mana than gap bahwa
harga pokok rata-rata dari barang yang tersedia dijual akin dianggap untuk menilai harga pokok
yang dijual dan yang terdapat dalam persediaan.