Anda di halaman 1dari 13

PERSEDIAAN BARANG DAGANG

(Penetapan Harga Pokok)

Dua bab berikut akan membahas tentang persediaan barang dagang. Secara keseluruhan,
pembahasan akan mencakup penilaian dan penetapan harga pokok serta sistem pencatatan.
Secara khusus bab ini akan membahas tentang penetapan harga pokok persediaan barang
dagang. Setelah mernpelajari bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan penilaian dan pelaporan persediaan barang dagang
2. Menjelaskan pengaruh persediaan barang dagang terhadap laporan keuangan
3. Menjelaskan dan menghitung harga pokok persediaan
4. Menjelaskan pengaruh perbedaan metode penetapan harga pokok persediaan terhadap
laporan keuangan
5. Menjelaskan dan menghitung harga pokok persediaan dengan metode taksiran

PENILAIAN DAN PELAPORAN


Persedian barang dagang ((Mercandise inventory) adalah barang-barang yang dimiliki
perusahaan untuk dijual kembali. Untuk perusahaan pabrik, termasuk dalam persediaan adalah
barang-barang yang akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya. Persediaan dalam
perusahaan pabrik terdiri dari persediaan bahan baku, persediaan dalam proses dan persediaan
barang jadi. Bab ini terutama akan membAas persediaan dalam perusahaan dagang. Persediaan
pada umumnya, meliputi jenis barang yang cukup banyak dan merupakan bagian yang cukup
berarti dari seluruh aktiva perusahaan. Di samping itu, transaksi yang berhubungan dengan
persediaan merupakan aktivitas yang paling sering teriadi.
Persediaan barang dagang pada umumya dinilai pada harga terendah antara harga
perolehan dan harga pasar atau nilai yang diharapkan dapat direalisasikan. Cara penilaian dan
metode penetapan harga pokok harus diungkapkan dalam laporan keuangan.

PERSEDIAAN DALAM LAPORAN KEUANGAN


Dalam laporan keuangan, persediaan barang dagang disajikan baik di
neraca maupun laporan laba rugi. Persediaan barang dagang yang tercantum di neraca
mencerminkan nilai barang dagang yang ada pada tanggal neraca, yang biasanya juga
merupakan akhir dari suatu periode akuntansi. Di laporan laba rugi, persediaan barang dagang
muncul dalam harga pokok penjualan. Seperti pernah dibicarakan sebelumnya, harga pokok
penjualan dihitung sebagai: persediaan barang dagang awal periode ditambah pembelian bersih
selama periode dikurangi persediaan barang dagang akhir periode. Kalau digambarkan,
hubungan persediaan barang dagang yang ada di neraca dan laporan laba rugi tampak seperti
dalam Tabel 15-1.
Dari Tabel 15-1 dapat dilihat bahwa persediaan barang dagang yang ada pada akhir tahun
berjalan (200A) akan muncul baik di neraca maupun laporan laba rugi. Persediaan ini pada tahun
berikutnya (200B, tidak digambarkan) akan merupakan persediaan awal dalam laporan laba rugi.
Sebaliknya, persediaan barang dagang yang ada pada awal tahun berjalan akan muncul di neraca
dan laporan laba rugi tahun sebelumnya (200A-1).
Ada saling hubungan antara persediaan dagang di neraca dan laporan laba rugi. Bahkan,
ada saling hubungan antara persediaan barang dagang pada tahun berjalan dengan tahun
sebelumnya dan tahun yang akan datang. Dari adanya saling hubungan ini, terlihat betapa
pentingya pos ini dalam menentukan laba (rugi) dan posisi keuangan perusahaan, tidak saja
terhadap tahun berjalan, tetapi juga terhadap tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang.
Kesalahan dalam menentukan nilai persediaan barang dagang akan mempengaruhi tidak saja
laporan laba rugi dan neraca tahun berjalan tetapi juga neraca dan laporan laba rugi tahun yang
akan datang.

Tabel 15-1
Hubungan Persediaan Barang Dagang
di Neraca dan Laporan Laba Rugi
PENETAPAN HARGA POKOK PERSEDIAAN
Di atas telah diterangkan betapa pentingnya nilai persediaan terhadap
kelayakan laporan keuangan. Nilai persediaan barang dagang ditentukan
oleh gabungan dua faktor, yaitu kuantitas dan harga pokok. Kuantitas persediaan
dapat diperoleh melalui perhitungan secara fisik. Harga pokok persediaan adalah
harga untuk memperoleh persediaan tersebut. Di samping harga beli, termasuk dalam harga
pokok persediaan adalah semua biaya yang terjadi sampai dengan persediaan siap dijual,
misalnya, biaya pengangkutan, bea masuk dan *asuransi. Biaya-biaya yang susah dihubungkan
dengan salah satu jenis barang, misalnya biaya pengangkutan dan asuransi dapat dibagikan sama
rata atas suatu dasar tertentu. Biaya-biaya yang jumlahnya kecil dan susah dialokasikan tidak
perlu dimasukkan sebagai harga pokok barang. Biaya-biaya ini diperlakukan sebagai beban
usaha periode berjalan. Potongan pembelian, secara rata-rata, harus diperhitungkan dalam
menentukan harga pokok persediaan.
Kesulitan dalam menetapkan harga pokok persediaan adalah apabila selama suatu periode,
barang yang sama diperoleh dengan beberapa harga yang berbeda. Apabila demikian, perlu
ditentukan harga yang akan digunakan untuk menetapkan harga pokok persediaan. Pengaruh dari
harga yang berbeda terhadap harga pokok persediaan dan harga pokok penjualan, dapat
diterangkan dengan contoh sederhana di bawah ini. Anggaplah bahwa PT XYZ baru memulai
kegiatannya pada tanggal 1 Januari 200A. Selama bulan Januari 200A pembelian barang dagang
yang dilakukan adalah sebagai berikut.

Banyaknya Harga beli Total Nilai


Tanggal
pembelian Per unit Pembelian
4 Januari 200A 100 Rp 80 Rp 8.000
15 Januari 200A
100 100 10.000
30 Januari 200A
100 150 15.000
300 Rp 33.000
Harga beli rata-rata per unit 110

Anggaplah juga bahwa selama bulan Januari 200A barang yang dijual berjumlah 200 unit.
Tidak tersedia informasi mengenai barang mana yang dijual. Untuk menetapkan nilai persediaan
yang ada pada 31 Januari 200A (sebanyak 100 unit) dan nilai harga pokok barang yang dijual
(sebanyak 200 unit) dapat digunakan beberapa alternatif. Pertama, dianggap bahwa barang yang
mulamula dibeli akan dijual terlebih dahulu. Alternatif ini didasarkan atas anggapan bahwa arus
biaya yang dibebankan ke laporan laba rugi harus berjalan sejajar dengan arus pengeivaran yang
pernah dilakukan. Pada umumnya, hal ini sesuai dengan aliran fisik dari barang. Pada alternatif
ini, 200 unit yang terjual selama bulan Januari 200A terdiri dari unit-unit yang dibeli pada
tanggal 4 dan 15 Januari 200A. Persediaan barang dagang yang ada pada tanggal 31 Januari
200A terdiri
dari unit yang dibeli pada 30 Januari 200A. Dengan anggapan demikian, maka
harga pokok penjualan pada bulan Januari 200A adalah Rp 18.000 (Rp 8.000 + Rp
10.000). Nilai persediaan brang dagang yang ada pada tanggal tersebut adalah Rp 15.000.
Alternatif kedua menyebutkan bahwa barang yang terakhir dibeli merupakan barang
pertama dijual. Alternatif ini menganggap bahwa arus biaya yang dibebankan ke laporan laba
rugi haruslah berlawanan dengan arus pengeluaran yang pernah dilakukan. Biaya-biaya yang
dibebankan ke laporan laba rugi haruslah biaya-biaya yang paling akhir terjadi. pada alternatif
ini, 200 unit yang terjual selama bulan Januari 200A terdiri dari unit-unit yang dibeli pada
tanggal 30 dan 15 Januari 200A. Perseddaan barn ng dagang pada tanggal 31 Januari 200A
terdiri dari unit yang dibeli pada tanggal 4 Januari 200A. Harga pokok penjualan selama bulan
Januari 200A, adalah Rp 25.000 (Rp. 10.000 + Rp 15.000). Nilai persediaan barang dagang
pada akhir periode adalah Rp. 8.000.
Alternatif ketiga berpendapat bahwa biaya yang dibebankan kelaporan laba rugi haruslah
harga pokok rata-rata dari seluruh pembeiian yang dilakukan selama periode yang bersangkutan.
Dengan menggunakan metode ini, nilai harga pokok penjualan selama bulan Januari 200A
adalah Rp 22.000 (Rp 110 x 200). Nilai persediaan barang dagang yang ada pada tanggal 31
Januari 200A adalah Rp 11.000 (Rp 110 x 100).
Dari perhitungan-perhitungan di atas terlihat bahwa. apabila metode penetapan harga
pokok yang dipakai berbeda maka hasil yang diperoleh akan berbeda pula. Hal ini tampak jelas
seperti terlihat dalam ikhtisar di bawah ini :

Harga Pokok
Persediaan Akhir
penjualan
1 Alternatif I Rp 18.000 Rp 15.000
2 Alternatif II 25.000 8.000
3 Alternatif III 22.000 11.000
Konsep di atas merupakan dasar dari metode penetapan harga pokok persediaan. Alternatif
pertama disebut metode pertama masuk pertama keluar (first in first out atau FIFO). Alternatif
kedua disebut metode. terakhir masuk pertama keluar (last in first out atau LIFO) sedangkan
alternatif ketiga disebut metode rata-rata (average). Di bawah ini akan dijelaskan metode-metode
tersebut di atas lebih rinci.

Metode FIFO
Dalam bab-bab yang lalu telah dijelaskan bahwa harga pokok penjualan untuk suatu
periode tertentu dihitung berdasarkan rumus: persediaan awal ditambah dengan pembelian bersih
dikurangi dengan persediaan akhir. Angka untuk pembelian bersih diambil dari saldo akan yang
bersangkutan di buku besar. Angka-angka kuantitas persediaan awal dan akhir diperoleh dengan
jalan melakukan perhitungan fisik. Harga pokok persediaan dihitung dengan mengalikan
kuantitas pada harga pokok per unit. Harga pokok per unit mina yang dipakai tergantung pada
metode penetapan harga pokok yang dipilih.
Anggaplah bahwa persediaan yang ada di awal periode (1 Januari 200A) dan pembelian-
pembelian yang dilakukan selama tahun tersebut tampak seperti terlihat di bawah ini.

Harga Pokok Nilai Harga


Tanggal Keterangan Kuantitas
Per Unit Pokok
1 Jan 200A Persediaan awal 100 Rp 80 Rp - Rp 8.000
31 Mar 200A Pembelian 1 400 100 40.000
15 Sep 200A Pembelian 2 300 150 45.000
18 Nov 200A Pembelian 3 200 200 40.000 125.000
31 Des 200A Tersedia dijual 1.000 Rp 133.000

Perhatikan bahwa dalam contoh di atas persediaan yang ada di awal periode sudah
ditentukan kuantitas maupun harga pokok per unitnya. Dalam praktik, nilai harga pokok
persediaan di awal periode tersebut harus ditentukan seperti yang dilakukan terhadap persediaan
akhir. Anggaplah kemudian bahwa menurut penghitungan yang dilakukan pada tanggal 31
Desember 200A persediaan yang masih.tersisa adalah 300 unit. Persoalan penetapan harga
pokok akan berhubungan dengan menentukan harga pokok per unit yang harus diterapkan untuk
kuantitas tadi.
Jika perusahaan menggunakan metode FIFO, persediaan akan dinilai dengan harga
pembelian paling akhir. Apabila kuantitas pada pembelian ini tidak cukup diterapkan pada
persediaan akhir, maka akan diambilkan dari pembelian terakhir berikutnya, demikian
seterusnya. Ini sesuai dengan anggapan dalam metode FIFO bahwa biaya yang akan dibebankan
ke laporan laba rugi adalah biaya-biaya yang paling dahulu dikeluarkan. Persediaan pada tanggal
31 Desember 200A menurut metode FIFO dihitung sebagai berikut:

Tanggal Harga Pokok Total


Kuantitas
Pembelian Per Unit Harga Pokok
18 Nov 200A 200 Rp 200 Rp 40.000
15 Sep 200A
100 150 15.000
300 Rp 55.000

Harga pokok penjualan dengan menggunakan metode ini akan tampak seperti terlihat
dalam perhitungan berikut:
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 8.000
Pembelian bersih selama periode Rp 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp 133.000
Persediaan akhir, 31 Desember 200A Rp 55.000
Harga pokok penjualan Rp 78.000

Metode LIFO
Sebaliknya, apabila perusahaan menggunakan metode LIFO, maka persediaan akhir dinilai
berdasarkan ketentuan bahwa harga beli yang lebih awal didahulukan. Persediaan pada tanggal
31 Desember 200A menurut metode LIFO dihitung sebagai berikut:
Tanggal Harga Pokok Total

Pembelian Kuantitas Per Unit Harga Pokok

1 Jan 200A 100 Rp 80 Rp 8.000


31 Mar 200A 200 100 20.000
300 Rp 28.000

Harga pokok penjualan dengan menggunakan metode ini akan tampak seperti terlihat
dalam perhitungan berikut:
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 8.000
Pernbelian bersih selama periode 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp 133.000
Persediaan akhir, 31 Desember 200A 28.000
Harga pokok penjualan Rp 105.000

Metode Rata-rata
Harga pokok untuk persediaan barang yang tersedia dijual selarna tahun 200A dihitung
sebagai berikut:
Harga pokok persediaantersedia dijual
Harga Pokok Rata-rata =
Kuantitas persediaan tersedia dijual
Rp . 133.000
= = Rp. 133
Rp . 1.000

Persediaan pada 31 Desember 200A yang harga pokoknya ditetapkan berdasarkan metode
ini adalah Rp 39.900 (300 x Rp 133). Harga pokok penjualannya dihitung sebagai berikut:
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 8.000
Pembelian bersih selarna periode 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp 133.000

Persediaan akhir, 31 Desember 200A 39.900


Harga pokok penjualan Rp 93.100

PENGARUH PERBEDAAN METODE PENETAPAN HARGA POKOK


Apabila ketiga metodetersebut di atas diperbandingkan akan tampak nilai persediaan dan
harga pokok penjualan yang dihasilkan berbeda. Perhatikan tabel berikut ini:
Persediaan Harga pokok
Akhir penjualan
Metode FIFO Rp 55.000 Rp 78.000
Metode LIFO 28.000 105.000
Metode Rata-rata 39.900 93.100

Akibat dari berbedanya nilai persediaan akhir dan harga pokok penjualan adalah
berbedanya laba bersih, total aktiva maupun total modal. Laba bersih tertinggi akan diperoleh
apabila perusahaan menggunakan metode FIFO. Laba bersih terendah akan dihasilkan oleh
metode LIFO. Pada metode FIFO total aktiva dan total modal juga menghasilkan angka yang
tertinggi sedang metode LIFO menghasilkan angka terendah. Metode rata-rata akan
menghasilkan laba bersih, total aktiva dan total modal di antara nilai menurut FIFO dan LIFO.
Ketiga metode tersebut di atas boleh dipilih untuk diterapkan dalam perusahaan.
Manajemen dalam memilih salah satu dari ketiganya harus memperhatikan manfaat yang bisa
diambil. Akan tetapi, patut diperhatikan, bahwa analisis seperti diterangkan di atas, hanya terjadi
apabila harga beli barang dagang mengalami kenaikan terus-menerus. Apabila harga beli barang
di pasaran mengalami penurunan, maka hasil analisis yang diperoleh merupakan kebalikan
daripadanya. Dalam keadaan ini, laba bersih dan nilai persediaan tertinggi akan diperoleh
apabila menggunakan metode LIFO dan laba bersih Serta nilai persediaan terendah akan
diperoleh apabila menggunakan metode FIFO. Metode rata-rata tidak berubah. Nilai persediaan
dan harga pokok penjualannya akan terletak di antara metode FIFO dan LIFO.

METODE IDENTIFIKASI KHUSUS


Metode lain dalam penetapan harga pokok persediaan adalah metode identifikasi khusus
(special identification). Dalam metode ini, harga pokok yang dibebankan ke barang-barang yang
dijual dan yang masih ada dalam persediaan didasarkan atas harga pokok yang dikeluarkan
khusus untuk barangbarang bersangkutan. Metode ini, dalam praktik, hanya cocok untuk barang-
barang yang jumlahnya tidak banyak dan nilai per satuannya tinggi, seperti misalnya mobil bekas
dan lukisan.
Untuk menggambarkan metode ini anggaplah bahwa suatu perusahaan memulai kegiatan
usahanya dalam bidang jual beli mobil bekas pada tanggal 1 Januari 200A. Selama bulan januari
200A pembelian mobil bekas yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
Harga Pokok
Harga Pokok
Tanggal Keterangan Kuantitas
Per Unit

5-1-200A Sedan, Toyota Corrolla, 1


B-12345, tahun 1985 Rp 29.750
10-1-200A 'Sedan, Toyota Corolla 1
B-67856, tahun 1986 31 500
15-1-200A Sedan, Holden Primer,
1
8-1709-HE, tahun 1978 28.750
20-1-200A Mazda kotak, B-23457
1
tahun 1962 5.000
25-1-200A Fiat 127 Spec, B-6547-A,
1
tahun 1973/1974 17.000
Persediaan tersedia dijual 5 Rp 112.000

Apabila diketahui bahwa selama bulan Januari 200A mobil-mobil yang terjual adalah:
Sedan Toyota Corolla, B-12345; Sedan Toyota Corolla, B-67856; Fiat 127 Spec, B-6547-A,
maka baik persediaan yang ada pada tanggal 31 Januari 200A maupun harga pokok penjualan
selama bulan Januari 200A dapat dihitung dengan mengidentifikasikan harga pokok masing-
masing mobil yang bersangkutan. Dalam contoh di atas harga pokok penjualan adalah sebagai
berikut:

Sedan, Toyota Corolla, B-12435, tahun 1985 Rp 29.750


Sedan, Toyota Corolla, B-67856, Tahun 1986 31.500
Fiat, 127 Spec, B-6547-A, tahun 1973/1974 17.000
Total harga pokok penjualan Rp 78.250

Persediaan barang dagang pada tanggal 31 januari 200A adalah sebagai berikut:
Sedan, Holden Primer, B-1709-HE, tahun 1978 Rp 28.750
Mazda kotak, B-23457, tahun 1962 5.000
Persediaan 31 Januari 200A Rp 33.750
METODE TAKSIRAN
Penetapan harga pokok persediaan dengan metode seperti diterangkan di atas
mengharuskan adanya perhitungan fisik terhadap persediaan. Mengadakan perhitungan fisik atas
persediaan, biasanya memerlukan biaya dan waktu yang besar. Tidak mungkin, kalau hal ini
harus sering dilakukan. Sebaliknya, manajemen perusahaan biasanya menginginkan agar laporan
keuangan dapat lebih sering dikeluarkan. Bukan hal yang jarang apabila sebuah perusahaan
mengeluarkan laporan keuangan interimnya secara bulanan.
Kesulitan mengadakan perhitungan fisik di satu pihak, Serta keinginan untuk menghasilkan
laporan keuangan secara berkala di pihak lain, mengakibatkan diperlukannya cara baru untuk
menetapkan harga pokok persediaan yaitu dengan metode taksiran. Tentu saja, dibandingkan
dengan harga pokok yang didasarkan atas perhitungan fisik, metode taksiran kurang tepat. Akan
tetapi, perlu dingatkan bahwa dalam laporan keuangan itu sendiri, tidak sedikit pos-pos yang
didasarkan atas angka taksiran, misalnya penyusutan dan kerugian karena piutang tak tertagih.
Dengan demikian penggunaan angka taksiran untuk persediaan, apalagi kalau hal ini dilakukan
hanya dalam rangka penyusunan laporan keuangan interim, tidak akan mengurangi kegunaan
laporan.
Ada dua metode taksiran yang dapat digunakan, yaitu metode eceran (retail method) dan
metode laba bruto (gross profit method). Kedua metode itu akan dibahas lebih lanjut berikut ini.
Perlu dicatat bahwa harga pokok persediaan yang dihitung dengan metode taksiran hanya boleh
dilakukan untuk penyusunan laporan keuangan interim (misalnya bulanan, kuartalan,
semesteran). Untuk menyusun laporan keuangan tahunan persediaan harus dinilai dengan harga
pokok yang sebenarnya (aktual).

Metode Eceran
Metode eceran banyak digunakan oleh perusahaan dagang eceran seperti toko serba ada.
Konsep yang mendasari adalah adanya hubungan yang dekat dan konstan antara harga pokok
dengan harga jual. Oleh karena itu, hubungan antara harga pokok dan harga jual, yang biasanya
dinyatakan dalam suatu persentase, harus ditetapkan terlebih dahulu. Untukini perusahaan perlu
mempunyai catatan mengenai harga jual dari semua barang yang ada. Hubungan antara harga
jual dan harga pokok dihitung sebagai berikut (anggaplah bahwa angka-angka yang dicantumkan
berasal dari catatan yang ada dalam perusahaan):
Harga Pokok Harga Jual
Persediaan awal, 1 Januari 200A Rp 21.500 Rp 35.000
Pembelian bersih bulan Januari 200A 258.500 365.000
Persediaan tersedia dijual Rp 280.000 Rp 400.000

Persentase harga pokok


Harga pokok persediaantersedia dijual
terhadap harga jual =
Harga jual persediaan tersedia dijual
Rp. 280.000
=
Rp . 400.000
= 70%

Persentase tersebut di atas digunakan untuk menaksir harga pokok persediaan yang ada
pada akhir suatu periode. Dengan cara ini, maka perhitungan secara fisik tidak perlu dilakukan.
Untuk menggambarkan lebih lanjut, anggaplah bahwa selama tahun 200A telah terjadi penjualan
bernilai Rp 330.000. Taksiran harga pokok persediaan yang ada pada akhir periode dihitung
dengan cara sebagai berikut:
Persediaan tersedia dijual, pada harga jual Rp 400.000
Penjualan selama buian Januari 200A 330.000
Persediaan pada 31 Januari 200A, pada harga jual Rp 70.000

Dari perhitungan di atas terlihat bahwa persediaan yang ada di akhir periode pada harga
jualnya adalah Rp 70.000. Kita telah menentukan sebelumnya bahwa harga pokok 0 barang
merupakan 70% dari harga jualnya. Taksiran harga pokok persediaan yang ada di akhir periode
dengan demikian dapat dihitung sebagai: 70% x Rp 70.000 = Rp 49.000. Harga pokok penjualan
untuk bulan Januari200A dapat dihitung sebagai berikut:
Persediaan, 1 Januari 200A Rp 21.500
Pembelian bersih selama Januari 200A 258.500
Persediaan tersedia dijual Rp 280.000
Persediaan, 31 Januari 200A 49.000
Harga pokok penjualan Rp 231.000

Metode Laba Bruto


Metode laba bruto, pada dasarnya menggunakan konsep yang sama dengan metode eceran,
yaitu konsep hubungan antara harga pokok dan harga jual. Perbedaan dengan metode eceran
terletak dalam cara penentuan persentase. Kalau dalam metode eceran persentase harga pokok
terhadap harga jual didasarkan alas harga pokok dan harga jual aktual selama suatu periode,
dalam metode laba bruto persentase terhadap penjualan didasarkan atas laporan keuangan tahun
lalu. Perbedaan lainnya adalah: kalau metode eceran menggunakan persentase harga pokok
terhadap harga jual, metode laba bruto menggunakan persentase laba bruto terhadap penjualan.
Perbedaan ini sebetulnya kurang relevan untuk dibicarakan, oleh karena pada hakikatnya kedua
persentase tersebut tidak berbeda.
Untuk menggarnbarkan perhitungan dengan metode laba bruto anggaplah bahwa persediaan
barang dagang pada awal periode, 1 Januari 200A, adalah Rp 20.000. Pembelian bersih
selama bulan Januari 200A adalah Rp 220.000. Penjualan bersih selama bulan tersebut adalah Rp
280.000 persentase laba bruto terhadap penjualan berdasarkan data tahun lalu adalah 30%.
Persediaan barang dagang pada tanggal 31 januari 200A dapat ditaksir sebagai berikut:

Persediaan barang dagang, 1 Januari 200A Rp 20.000


Pembelian bersih selama Januari 200A 220.000
Persediaan tersedia dijual (A) Rp 240.000
Penjualan bersih selama Januari 200A Rp 280.000
Taksiran laba bruto (30%) 84.000
Taksiran harga pokok penjualan (B) 196 000
Taksiran persediaan barang dagang,
31 Januari 200A (A-B) Rp 44.000

Jika disusun dengan lebih baik, harga pokok penjualan dapat dihitting sebagai berikut:
Persediaan, 1 Januari 200A Rp 20.000
Pembelian bersih selama Januari 200A 220.000
Persediaan tersedia dijual Rp 240.000
Persediaan, 31 januari 200A 44.000
Harga pokok penjualan Rp 196.000

ISTILAH BARU
FIFO (First In First-Out): metode penetapan harga pokok persediaan yang didasarkan atas
anggapan bahwa barang-barang terdahulu dibeli akan merupakan barang yang dijuai pertama
kali. Dalam metode ini persediaan akhir dinilai dengan harga pokok pembelian yang paling
akhir.
Identifikasi khusus (specific identification): metode penetapan harga pokok persediaan
yang didasarkan atas harga pokok yang dikeluarkan khusus untuk barang-barang yang
bersangkutan.
Metode eceran (retail method): metode penetapan harga pokok persediaan secara taksiran
yang didasarkan atas dasar hubungan, yang terdapat dalam tahun berjalan, antara harga pokok
dengan harga jual.
Metode laba bruto atau metode laba kotor (gross profit method): metode penetapan harga
pokok persediaan secara taksiran yang didasarkan atas hubungan, yang terdapat dalam periode
yang lalu, antara laba bruto dengan harga jual.
LIFO (Last In Last-Out): metode penetapan harga pokok persediaan yang didasarkan atas
anggapan bahwa baring-baring yang paling akhir..dibeli akan merupakan barang yang dijual
pertama kali. Dalam metode ini, persediaan akhir akan dinilai dengan harga pembelian yang
terdahulu.
Penetapan harga pokok persediaan (inventory costing): menentukan nilai harga pokok
persediaan yang ada pada suatu saat tertentu.
Rata-rata (average): metode penetapan harga pokok persediaan di mana than gap bahwa
harga pokok rata-rata dari barang yang tersedia dijual akin dianggap untuk menilai harga pokok
yang dijual dan yang terdapat dalam persediaan.

Anda mungkin juga menyukai