JOSEON
(조선)
Lee Seong-Gye lahir tahun 1335 di Hwaryeongbu (화령부) dari keluarga yang
secara turun temurun merupakan birokrat Dinasti Yuan. Melihat kondisi Yuan yang
sudah mulai bobrok dan Raja Gongmin yang bersemangat untuk melepaskan hegemoni
Yuan dari Goryeo, Lee Ja-Chun (이자춘) ayah Lee Seong Gye membelot ke Goryeo.
Tahun 1355 Lee Ja Chun mendapat kepercayaan Raja Gongmin memerintah pasukan
berkuda untuk membebaskan lahan Goryeo yang dikuasai Yuan. Ia bersama anaknya
Seong-Gye menjadi tokoh militer yang cukup disegani di Goryeo.
Pertengahan abad ke-14, kondisi semenanjung Korea tengah dilanda
ketidakpastian. Di Tiongkok, dua kekuatan Yuan dan Ming sedang berebut kekuasaan.
Di Utara Goryeo hingga Manchuria bangsa Yeojin juga tengah mengekspansi tanah di
sekitarnya. Di selatan Goryeo, Jepang terus mengacau jalur perdagangan. Di masa ini,
rakyat lebih menghormati kekuatan militer ketimbang kekuatan bangsawan sipil.
Belum masuk usia ke-20, Lee Seong-Gye sudah dikenal sebagai salah satu tokoh militer
berpengaruh bersama ayahnya Lee Ja-Chun.
Tahun 1360, Lee Ja-Chun meninggal dan digantikan sepenuhnya oleh Lee Seong
Gye. Pada tahun 1362, Lee Seong-Gye di usianya ke-27 telah dipercaya memimpin
pasukan penuh menghalau serangan Yuan dari Utara di Hong Won (홍원). Dari tahun
1356 hingga tahun 1388, selama 30 tahun Lee Seong Gye ditempa di tengah medan
perang. Selama kurun itu juga pasukannya tidak pernah kalah.
Tahun 1388, Ming menyatakan kepemilikannya atas tanah di utara Goryeo yang
dahulunya dikuasai oleh Yuan. Di sisi lain, Goryeo juga merasa memiliki tanah itu.
Sebelum Yuan berkuasa dan membuat Goryeo menjadi negara bonekanya, tanah itu
sesungguhnya masuk dalam teritori Goryeo. Jenderal besar Goryeo Choi Yeong
menganjurkan pada Raja Woo untuk mengirimkan tentara ke semenanjung Liaodong di
Utara untuk mengantisipasi serangan Ming. Lee Seong Gye diperintahkan untuk
memimpin ekspedisi itu. Di sisi lain, Raja Woo dan Choi Yeong sendiri mengungsi dari
Gaegyeong ke Seohae.
Tahun 1388, Lee Seong-Gye dan Jo Min Soo memimpin 50.000 tentara menuju
semenanjung Liaodong. Rencananya tentara mereka akan menyebrangi sungai Amnok
untuk menyerang Ming. Namun, kondisi di bulan itu terjadi hujan besar. Volume air di
sungai Amnok meningkat. Tentara Lee Seong Gye tertahan di tepi sungai. Melihat tidak
ada perubahan cuaca dan kondisi kesehatan tentara mulai menurun akibat musim
hujan, ia memutuskan untuk mengirim surat kepada Raja Woo dan Jenderal Choi Yeong.
Surat ini dikenal dengan Sabulgaron (사불가론).
Sabulgaron berisi empat saran dari Lee Seong Gye kepada Raja Woo. Pertama,
negara kecil tidak sepatutnya menyerang negara yang lebih besar. Kedua, mengerahkan
tentara di musim panas bukanlah hal yang tepat. Ketiga, pemimpin harus
mempertimbangkan serangan bangsa Jepang di selatan Goryeo, ketika tentara berfokus
di utara. Keempat, di musim hujan yang deras senjata panah tidak efektif digunakan.
Selain itu, kemungkinan tentara terserang penyakit juga tinggi. Dengan keempat saran
ini, Lee Seong Gye meminta Raja woo untuk menarik kembali tentaranya dan pulang ke
Ibukota Gaegyeong (개경). Membaca surat ini, Raja Woo dan Choi Yeong tidak terima.
Raja Woo tetap memerintahkan Lee Seong Gye berjaga di perbatasan utara.
Setelah mempertimbangkan berbagai aspek dan berunding dengan Jo Min-Soo,
Lee Seong-Gye memutuskan untuk menarik kembali tentaranya ke Gaegyeong. Ia
kemudian melancarkan kudetanya terhadap Raja Woo dan Choi Yeong. Choi Yeong
diasingkan ke Gobonghyeon ( 고봉현). Raja Woo diturunkan dari takhtanya dan
digantikan oleh anaknya Raja Chang. Di titik inilah Lee Seong-Gye menguasai
pemerintahan Goryeo.
Banyak sejarawan berpendapat, keputusan yang diambil oleh Lee Seong-Gye
sebenarnya sudah didiskusikan dengan Ming. Lee Seong Gye telah mempertimbangkan
kekuatan Ming sebagai kawan. Hal ini terbukti dari keputusan yang ia ambil setelah
Raja Woo turun takhta. Lee Seong Gye langsung mengubah penanggalan tahun Goryeo
berkiblat pada tahun yang digunakan kaisar Hongwu dari Dinasti Ming. Untuk itu,
kudeta ini sesungguhnya sudah ‘direstui’ oleh Ming.
Sebagaimana yang dijelaskan di bab Goryeo sebelumnya, Raja Woo kemudian
digantikan oleh anaknya yang masih belia, Raja Chang. Tak lama kemudian, Raja Chang
juga digantikan oleh Raja Gongyang. Tahun 1392 bulan ketujuh, Lee Seong Gye resmi
diangkat sebagai raja Goryeo menggantikan Raja Gongyang. Dua tahun kemudian, Ia
memerintahkan Raja Gongyang untuk dihukum mati. Dalam rangka pembersihan
hegemoni keluarga kerajaan Goryeo, Lee Seong-Gye mengumpulkan semua orang
bermarga Wang (marga keluarga raja Goryeo) untuk dikumpulkan disatu kapal dan
diasingkan ke Ganghwa. Banyak marga Wang yang tidak ingin diasingkan kemudian
bersembunyi ke dalam hutan dan gunung. Mereka pun mengubah marga mereka
menjadi Jeon, Yong dan Ok. Lee Seong-Gye juga memerintahkan semua keturunan
marga Wang tidak boleh mengikuti marga ayahnya, melainkan marga ibunya. Hal ini
dilakukan agar tidak ada upaya-upaya pemberontakan dari marga Wang, sebagaimana
yang telah tercatat di dalam sejarah seperti di masa Tiga Negara dan Balhae.
6.7 Perang di Semenanjung Korea pada Masa Pertengahan Joseon (조선 중기)
6.7.1 Perang Imjin 1592-1598 (임진왜란)
Sejak abad ke-15 wilayah Jepang yang terbagi menjadi wilayah kekuasaan para
Daimyo saling berperang satu sama lain. Masa ini dikenal sebagai zaman Sengoku
(zaman negara-negara berperang). Seorang daimyo bernama Oda Nobunaga
mengalahkan wilayah daimyo terakhir dan mengalahkan Keshogunan Muromachi di
wilayah Kyoto yang berkuasa pada masa itu. Selanjutnya, bawahan Oda Nobunaga
bernama Toyotomi Hideyoshi mendapatkan kekuasaan atas Jepang pada tahun 1585.
Pada waktu yang hampi bersamaan, Jepang mengalami perubahan sejak
bersentuhannya masyarakat Jepang dengan orang Eropa secara langsung. Ini berawal
dari adanya ‘ekspedisi besar’ yang dimulai dari negara-negara di Eropa untuk
menemukan daerah-daerah baru. Orang-orang Portugal yang menyusuri derah-daerah
asia pada akhirnya tiba di tanah Jepang pada pertengahan abad ke-16. Orang-orang
Portugal masuk ke Jepang dengan membawa budaya dan barang-barang peradaban
barat, seperti agama (Kristen) dan senjata. (한영우, 2016: 339-40)
Sementara itu, Semenanjung Korea di abad ke-15 hanya melakukan hubungan
dengan dua negara, Cina dan Jepang. Akan tetapi hubungan antara Korea dan Jepangpun
tidak sebaik hubungannya dengan Cina. Pada pertengahan abad ke-16, sudah terjadi
masalah di perbatasan Semenanjung Korea dan Jepang. Akan tetapi, para yangban yang
merupakan pemimpin negara tidak menganggap masalah dengan Jepang ini sebagai
sesuatu yang besar dan hanya mengambil tindakan-tindakan bersifat sementara. Jepang
yang sudah mengakhiri masa perangnya dan hampir bersatu secara utuh dibawah
kepemimpinan Toyotomi Hideyoshi, mulai membuat rencana untuk menguasai
semenanjung Korea dan mengalahkan dinasti Ming di Cina. Secara mental, Jepang yang
baru saja selesai masa perang tentu siap untuk menghadapi perang lanjutan. Peralatan
perang Jepang juga jauh lebih lengkap daripada Korea yang tidak mengalami perang
sama sekali sejak Joseon berdiri pada 1392. Ditambah lagi, Jepang telah melakukan
hubungan ekonomi dengan negara barat dan memiliki senjata api yang dibeli dari
Eropa. Menyerang Semenanjung Korea tidak akan menjadi hal yang sulit bagi Jepang.
(Lee Ki-Baik, 1984: 209-10)
Serangan pertama Jepang ke Joseon terjadi pada tanggal 13 bulan 4 tahun 1592.
Jepang membawa 20 ribu tentara dari total 30 ribu tentara yang ada. 10 ribu tentara
lainnya berdia di Nagoya untuk mengamankan kondisi internal. Hanyang berhasil
ditaklukkan hanya dalam 20 hari. Satu bulan kemudian, pasukan Jepang sudah masuk
sampai Pyeongyang. Raja Seonjo terpaksa mengungsi ke wilayah Euijuseong (의주성).
Hanya wilayah Jeolla yang tidak dapat ditembus oleh pasukan Jepang. Di wilayah Jeolla,
perlawanan sengit dilakukan oleh Jenderal Lee Sun-Shin. Jenderal Lee Sun-Shin
membangun kekuatan laut, melatih para awaknya dan membangun ‘kapal kura-kura (
거북선)’. Dengan strategi ini Lee Sun-Shin berhasil mengalahkan pasukan Jepang yang
berusaha menyerang lewat jalur laut.
Joseon terpaksa meminta bantuan kepada Ming. Ming pun turut berperang di
Joseon. Sontak, tanah Joseon berubah menjadi medan perang antar tiga negara di Asia
Timur ini. Invasi besar kedua Jepang masuk lagi tahun 1597, dengan membawa 15 ribu
tentara. Kondisi berubah ketika Toyotomi Hideyoshi meninggal. Jepang menarik
tentaranya setelah itu. Perang 7 tahun ini pun berakhir.