Anda di halaman 1dari 14

BAB 6

JOSEON
(조선)

6.1 Lee Seong-Gye (이성계) dan Berakhirnya Kerajaan Goryeo

Lee Seong-Gye lahir tahun 1335 di Hwaryeongbu (화령부) dari keluarga yang
secara turun temurun merupakan birokrat Dinasti Yuan. Melihat kondisi Yuan yang
sudah mulai bobrok dan Raja Gongmin yang bersemangat untuk melepaskan hegemoni
Yuan dari Goryeo, Lee Ja-Chun (이자춘) ayah Lee Seong Gye membelot ke Goryeo.
Tahun 1355 Lee Ja Chun mendapat kepercayaan Raja Gongmin memerintah pasukan
berkuda untuk membebaskan lahan Goryeo yang dikuasai Yuan. Ia bersama anaknya
Seong-Gye menjadi tokoh militer yang cukup disegani di Goryeo.
Pertengahan abad ke-14, kondisi semenanjung Korea tengah dilanda
ketidakpastian. Di Tiongkok, dua kekuatan Yuan dan Ming sedang berebut kekuasaan.
Di Utara Goryeo hingga Manchuria bangsa Yeojin juga tengah mengekspansi tanah di
sekitarnya. Di selatan Goryeo, Jepang terus mengacau jalur perdagangan. Di masa ini,
rakyat lebih menghormati kekuatan militer ketimbang kekuatan bangsawan sipil.
Belum masuk usia ke-20, Lee Seong-Gye sudah dikenal sebagai salah satu tokoh militer
berpengaruh bersama ayahnya Lee Ja-Chun.
Tahun 1360, Lee Ja-Chun meninggal dan digantikan sepenuhnya oleh Lee Seong
Gye. Pada tahun 1362, Lee Seong-Gye di usianya ke-27 telah dipercaya memimpin
pasukan penuh menghalau serangan Yuan dari Utara di Hong Won (홍원). Dari tahun
1356 hingga tahun 1388, selama 30 tahun Lee Seong Gye ditempa di tengah medan
perang. Selama kurun itu juga pasukannya tidak pernah kalah.
Tahun 1388, Ming menyatakan kepemilikannya atas tanah di utara Goryeo yang
dahulunya dikuasai oleh Yuan. Di sisi lain, Goryeo juga merasa memiliki tanah itu.
Sebelum Yuan berkuasa dan membuat Goryeo menjadi negara bonekanya, tanah itu
sesungguhnya masuk dalam teritori Goryeo. Jenderal besar Goryeo Choi Yeong
menganjurkan pada Raja Woo untuk mengirimkan tentara ke semenanjung Liaodong di
Utara untuk mengantisipasi serangan Ming. Lee Seong Gye diperintahkan untuk
memimpin ekspedisi itu. Di sisi lain, Raja Woo dan Choi Yeong sendiri mengungsi dari
Gaegyeong ke Seohae.
Tahun 1388, Lee Seong-Gye dan Jo Min Soo memimpin 50.000 tentara menuju
semenanjung Liaodong. Rencananya tentara mereka akan menyebrangi sungai Amnok
untuk menyerang Ming. Namun, kondisi di bulan itu terjadi hujan besar. Volume air di
sungai Amnok meningkat. Tentara Lee Seong Gye tertahan di tepi sungai. Melihat tidak
ada perubahan cuaca dan kondisi kesehatan tentara mulai menurun akibat musim
hujan, ia memutuskan untuk mengirim surat kepada Raja Woo dan Jenderal Choi Yeong.
Surat ini dikenal dengan Sabulgaron (사불가론).
Sabulgaron berisi empat saran dari Lee Seong Gye kepada Raja Woo. Pertama,
negara kecil tidak sepatutnya menyerang negara yang lebih besar. Kedua, mengerahkan
tentara di musim panas bukanlah hal yang tepat. Ketiga, pemimpin harus
mempertimbangkan serangan bangsa Jepang di selatan Goryeo, ketika tentara berfokus
di utara. Keempat, di musim hujan yang deras senjata panah tidak efektif digunakan.
Selain itu, kemungkinan tentara terserang penyakit juga tinggi. Dengan keempat saran
ini, Lee Seong Gye meminta Raja woo untuk menarik kembali tentaranya dan pulang ke
Ibukota Gaegyeong (개경). Membaca surat ini, Raja Woo dan Choi Yeong tidak terima.
Raja Woo tetap memerintahkan Lee Seong Gye berjaga di perbatasan utara.
Setelah mempertimbangkan berbagai aspek dan berunding dengan Jo Min-Soo,
Lee Seong-Gye memutuskan untuk menarik kembali tentaranya ke Gaegyeong. Ia
kemudian melancarkan kudetanya terhadap Raja Woo dan Choi Yeong. Choi Yeong
diasingkan ke Gobonghyeon ( 고봉현). Raja Woo diturunkan dari takhtanya dan
digantikan oleh anaknya Raja Chang. Di titik inilah Lee Seong-Gye menguasai
pemerintahan Goryeo.
Banyak sejarawan berpendapat, keputusan yang diambil oleh Lee Seong-Gye
sebenarnya sudah didiskusikan dengan Ming. Lee Seong Gye telah mempertimbangkan
kekuatan Ming sebagai kawan. Hal ini terbukti dari keputusan yang ia ambil setelah
Raja Woo turun takhta. Lee Seong Gye langsung mengubah penanggalan tahun Goryeo
berkiblat pada tahun yang digunakan kaisar Hongwu dari Dinasti Ming. Untuk itu,
kudeta ini sesungguhnya sudah ‘direstui’ oleh Ming.
Sebagaimana yang dijelaskan di bab Goryeo sebelumnya, Raja Woo kemudian
digantikan oleh anaknya yang masih belia, Raja Chang. Tak lama kemudian, Raja Chang
juga digantikan oleh Raja Gongyang. Tahun 1392 bulan ketujuh, Lee Seong Gye resmi
diangkat sebagai raja Goryeo menggantikan Raja Gongyang. Dua tahun kemudian, Ia
memerintahkan Raja Gongyang untuk dihukum mati. Dalam rangka pembersihan
hegemoni keluarga kerajaan Goryeo, Lee Seong-Gye mengumpulkan semua orang
bermarga Wang (marga keluarga raja Goryeo) untuk dikumpulkan disatu kapal dan
diasingkan ke Ganghwa. Banyak marga Wang yang tidak ingin diasingkan kemudian
bersembunyi ke dalam hutan dan gunung. Mereka pun mengubah marga mereka
menjadi Jeon, Yong dan Ok. Lee Seong-Gye juga memerintahkan semua keturunan
marga Wang tidak boleh mengikuti marga ayahnya, melainkan marga ibunya. Hal ini
dilakukan agar tidak ada upaya-upaya pemberontakan dari marga Wang, sebagaimana
yang telah tercatat di dalam sejarah seperti di masa Tiga Negara dan Balhae.

6.2 Pemerintahan di Masa Awal Joseon (조선 전기)

6.2.1 Lee Seong Gye sebagai Taejo dari Joseon


Lee Seong Gye di awal kepemimpinannya masih mempertahankan nama Goryeo
sebagai nama resmi negaranya. Hingga para penasihatnya, Jeong Do Jeon (정도전), Cho
Jun (조준) dan Nam Eun (남은) menyarankannya untuk mengubah nama negaranya
menjadi nama baru. Ada dua pilihan ketika itu, Joseon dan Hwaryeong. Joseon
mengikuti nama dinasti pertama Gojoseon/Dangun Joseon dan Gija Joseon (기자조선).
Sedangkan Hwaryeong (화령) merupakan tempat lahir Lee Seong Gye. Kedua nama ini
dikirimkan ke Ming untuk dipilihkan oleh Kaisar Hongwu. Kaisar Hongwu kemudian
memilih Joseon karena keterkaitan hubungan Tiongkok dan Korea di masa Gija Joseon
(Park Yeong Kyu, 2010: 17-56).
Penasihat Lee Seong Gye, Jeong Do Jeon dan Muhak menyarankan pemindahan
ibukota ke Hanyang (Seoul sekarang). Pada bulan 9 tahun 1939, istana dibangun di
Hanyang. Istana ini baru selesai tahun 1396. Sebelum istana rampung, tahun 1394 Lee
Seong Gye telah mengeluarkan keputusan pemindahan ibukota dari Gaegyeong
(Gaeseong) ke Hanyang.
Pada awal berdirinya kerajaan Joseon, pengaruh ideology Buddhis yang telah
lama digunakan sejak masa Tiga Kerajaan dan kerajaan Goryeo kemudian digantikan
oleh Konfusianisme. Keberadaan dan perkembangan Buddha di Korea semakin
memburuk, bahkan dikatakan sebagai masa paling suram sepanjang perjalanan
perkembangannya. Di masa kerajaan Joseon, kaum Yangban menjadikan Konfusianisme
sebagai dasar sistem pemerintahan dan menekan agama juga ajaran lainnya. Oleh
karena itu, pada masa kerajaan Joseon, dibangun sekolah bagi para pelajar konfusius,
Seong Gyun Gwan (성균관), di Hanyang. Sedangkan di daerah-daerah dibangun
Hyanggyo (향교) sebagai institusi untuk mengajarkan konfusianisme kepada kawula
muda.

6.2.2 Pertikaian Pertama dan Kedua Pangeran


(제 1&2 차 왕자의 난)
Sebulan setelah ia naik takhta, Lee Seong Gye segera melantik putera
mahkotanya. Ia memilih anak bungsunya, Lee Bang-Seok (이방석) dari istri keduanya
bermarga Gang. Hal ini membuat anak dari istri pertamanya tidak terima. Terutama
anak kelimanya, Lee Bang-Won (이방원) yang telah berjuang bersama Lee Seong Gye
menggulingkan Goryeo. Tahun 1398, Lee Bang Won menyingkirkan semua penasihat
Lee Seong Gye yang menentangnya. Ia juga membunuh dua anak Lee Seong Gye dari
istri keduanya. Peristiwa ini dikenal sebagai pertikaian pangeran pertama.
Melihat peristiwa ini, Lee Seong Gye sangat terpukul. Pada bulan kesembilan
tahun yang sama, ia mengangkat anak keduanya Lee Bang Gwa (이방과) sebagai
penggantinya. Lee Bang Gwa kemudian naik sebagai raja kedua Joseon, Raja Jeong Jong.
Gelar Jeong Jong (정종) ini baru diberikan kepadanya di tahun 1681. Bang Gwa
memerintah tidak lama. Ia dari awal tidak berminat untuk menduduki kursi raja. Lee
Bang Won, adiknyalah yang memaksanya untuk naik jadi raja pengganti ayahnya. Lee
Bang Won (이방원) tadinya ingin menaikkan kakak pertamanya Lee Bang Woo (이방우)
sebagai putera mahkota pengganti ayahna, sebelum terjadi pertikaian pangeran
pertama. Namun, Lee Bang Woo meninggal karena penyakit. Sehingga Lee Bang Won
terpaksa meminta kakak keduanya untuk naik jadi raja setelah pertikaian pangeran
pertama.
Walau Bang Gwa naik jadi raja, pemerintahannya berjalan di bawah kendali Bang
Won. Hingga tahun 1400, Bang Gwa memilih mengalah dan turun takhta. Kursi raja
diberikannya kepada Bang Won yang dianggap lebih pantas memerintah Joseon. Ia
kemudian tinggal bersama permaisurinya di Istana Indeok dan meninggal di masa
pemerintahan keponakannya Raja Sejong. Ia meninggal di usia ke-63 tahun.
Bang Won naik takhta dengan gelar Taejong. Ia mereformasi semua sistem
pemerintahan. Ia melaksanakan politik Sungyu Oekbul (숭유억불) di bidang keagamaan.
Ia mendahulukan Konfusianisme dan menekan Buddhisme. Biksuni (wanita) Buddha
harus kembali ke kehidupan duniawi. Festival Buddhis seperti festival lentera dilarang.
Semua kegiatan keagamaan diganti menjadi kegiatan keagamaan Konfusianis.
Taejong berhasil mengendalikan keadaan politik Joseon menjadi stabil. Ia
kemudian melantik Pangeran Chungnyeong menjadi putera mahkota. Tahun 1418, ia
mundur dari takhta dan memberikan kursi raja kepada anaknya, Raja Sejong (
세종대왕). Ia meninggal 4 tahun kemudian pada 1422. Selama hidupnya, ia punya satu
permaisuri dan 10 selir. Dari semua istrinya, ia mendapat 12 anak laki-laki dan 17 anak
perempuan.

6.3 Raja Sejong dan Kemajuan Joseon


Penjelasan tentang Raja Sejong banyak ditemukan dalam tulisan karya Park
Yeong Kyu. Berdasarkan karya-karyanya, cerita Raja Sejong yang disajikan dalam buku
ini menjadi lebih fokus pada kaitannya jasa Raja Sejong dengan kemajuan Joseon. Tahun
1418 bulan 6, Taejong mengganti putera mahkota, Pangeran Yangnyeong (양녕대군)
menjadi Pangeran Chungnyeong (충녕대군). Dua bulan kemudian, Pangeran
Chungnyeong naik takhta menjadi raja keempat Joseon, Raja Sejong. Taejong menilai
Sejong sebagai anak yang pintar dan tahu cara berpolitik dengan benar. Walau muncul
banyak pertentangan, Taejong bersikukuh melantik Pangeran Chungnyeong menjadi
penerusnya. Penilaian Taejong terhadap anaknya ini agaknya tepat. Sepanjang 500
tahun berdirinya Joseon, Sejong merupakan satu-satunya raja dengan prestasi
cemerlang. Hingga dia dinobatkan menjadi salah satu raja besar (Daewang) dari Joseon.
Di awal pemerintahannya, Sejong berhasil membuat kondisi politik dan ekonomi
masyarakat Joseon kembali stabil. Hingga tahun 1922, kiblat politik masih mengarah
kepada ayahnya Taejong. Setelah kematian ayahnya, Sejong menunjukkan sebuah
prestasi politik yang sangat gemilang. Ia melibatkan setiap elemen pejabat dalam
menjalankan roda pemerintahan. Para cendikiawan memberikan pandangan-
pandangan mereka terhadap jalannya pemerintahan. Raja Sejong menghidupkan
sebuah institusi bernama Jibhyeonjeon. Institusi ini bertugas menampung para
cendikiawan muda yang berbakat. Mereka dilatih untuk mengembangkan kebudayaan
Joseon dan menjalin hubungan baik dengan Dinasti Ming. Jibhyeonjeon menyediakan
semua keperluan para cendikiawan ini mulai dari uang makan hingga tempat tinggal.
Para sarjana di Jibhyeonjeon meneliti berbagai bidang, mulai dari hukum,
sejarah, kesusastraan, geografi, ideologi konfusius, hingga teknologi pertanian. Salah
satu karya monumental dari institusi ini adalah penemuan Hunminjeongeum (훈민정음
cikal bakal huruf Hangeul) yang digunakan hingga kini. Hunminjeongeum sendiri
awalnya diprakarsai oleh Raja Sejong untuk membantu rakyat jelata yang tidak bisa
membaca huruf Han (한—ㅡ Hanja/Kanji). Berbagai peralatan yang dapat membantu
pertanian hingga jam matahari juga ditemukan oleh para sarjana di institusi ini.
Raja Sejong tidak hanya berfokus pada bidang-bidang ini saja. Ia juga tetap
menjaga keamanan negara dengan memperkuat setiap perbatasan Joseon dengan
Tiongkok. Di selatan, pasukan tentara ditempatkan untuk berjaga-jaga dari serangan
bangsa Jepang. Dengan kondisi yang aman dan politik yang stabil, masyarakat dapat
hidup dengan tenang. Para sarjana dapat berfokus mengembangkan keilmuan.
Raja Sejong memerintah selama 31 tahun 6 bulan hingga tahun 1450. Ia
meninggal di usianya ke 54 tahun. Sejak muda ia memang sudah menderita penyakit
diabetes. Walau memerintah dengan kondisi sakit-sakitan, ia tetap bersemangat dalam
memajukan Joseon.

6.3.1 Intrik Keluarga Raja Sepeninggal Sejong


Raja Sejong memerintah hingga tahun 1450. Sejak awal pemerintahannya, ia
telah mengangkat anaknya bernama Lee Hyang sebagai putera mahkota. Lee Hyang
diangkat menjadi putera mahkota di tahun 1421, di usianya ke 8 tahun. Ia menjalani
masa sebagai putera mahkota selama 29 tahun. 8 tahun terakhir ia bertindak sebagai
pelaksana tugas Raja Sejong. Hingga tahun 1450, ia resmi naik jadi raja dengan gelar
Munjong. Sayangnya, masa pemerintahan Raja Munjong tidak bertahan lama. Ia hanya
memerintah selama 2 tahun 3 bulan, lalu meninggal dunia. Sejak jadi putera mahkota
pun, ia sudah sering sakit-sakitan. Penyakitnya tambah parah ketika ia naik takhta
menjadi raja.
Semasa hidupnya, Raja Sejong pernah meminta para ahli nujum secara diam-
diam untuk meramal nasib anak dan cucunya. Anaknya, Lee Hyang (이향) diramalkan
pendek umur sama seperti ayahnya. Untuk itu, Raja Sejong segera mengangkat cucunya
sebagai ‘cucu mahkota’ di tahun 1448. Keputusan ini diambil oleh Sejong karena anak-
anaknya yang lain cukup berambisi merebut takhta kerajaan. Agar tidak terjadi
pertikaian sesama keluarga kerajaan, Raja Sejong terlebih dahulu mengangkat ‘cucu
mahkota’nya sebagai pengganti Raja Munjong (문종).
Cucu mahkotanya ini bernama Pangeran Hongwi (홍위군). Pangeran Hongwi
dilahirkan oleh Permaisuri Hyeondeok (현덕왕후). Namun, belum sempat
membesarkan anaknya sendiri, Permaisuri Hyeondeok meninggal 3 hari setelah
melahirkan. Akibatnya, Pangeran Hongwi harus dirawat oleh selir Raja Sejong (nenek
tirinya). Sepeninggal Raja Munjong, Pangeran Hongwi naik takhta menjadi
penggantinya di usia 12 tahun. Jika seorang raja naik takhta di bawah umur 20 tahun,
biasanya ibunya akan bertindang sebagai pelaksana tugas hingga ia besar. Dalam kasus
Pangeran Hongwi, ibunya telah meninggal duluan. Sedangkan nenek yang
membesarkannya hanya berstatus selir Raja Sejong. Pangeran Hongwi tidak punya wali
yang dapat mengambil keputusan atas namanya. Akibatnya, terjadi kekosongan
kekuasaan. Pemerintahan sepenuhnya berputar di tangan pejabat Euijeongbu (의정부).
Melihat kondisi seperti ini, adik-adik Raja Munjong mulai berambisi mengincar
kursi istana. Khususnya adik keduanya, Pangeran Suyang dan adik keempatnya
Pangeran Anpyeong. Benar saja ramalan yang didengarkan oleh Raja Sejong. Setelah
Pangeran Hongwi naik takhta menjadi Raja Danjong, Pangeran Suyang mulai bergerillya
di politik kerajaan. Ia merasa dirinya paling pantas bertindak sebagai wali Raja Danjong
yang masih belia. Walhasil, pemerintahan beralih ke tangan Pangeran Suyang (
수양대군).
Dominasi Pangeran Suyang di pemerintahan semakin besar, setelah ia berhasil
mengasingkan adiknya, Pangeran Anpyeong. Ia juga membersihkan pemerintahan dari
pejabat-pejabat yang menentang dirinya. Raja Danjong (단종) yang masih belia pun
ketakutan. Pada bulan keenam tahun 1455, Raja Danjong memilih untuk melepaskan
takhtanya dan memberikannya pada Pangeran Suyang. Pangeran Suyang naik menjadi
raja Joseon ketujuh, Raja Sejo (세조). Satu tahun kemudian, para pendukung Raja
Danjong berusaha mengudeta Sejo. Sejo berhasil menumpas kudeta ini dan membunuh
semua pelakunya. Pada tahun 1457, Sejo mengeluarkan perintah untuk menghukum
mati Raja Danjong dengan racun.

6.4 Raja Sejo Menerima Karmanya


Setelah Sejo berhasil menggulingkan keponakannya Danjong, ia naik menjadi
raja ketujuh Joseon. Ia memerintah dengan otoriter. Kekuasaan penuh di bawah
tangannya. Setelah naik takhta, ia segera melaintik anak pertamanya, Pangeran
Euigyeong sebagai putera mahkota. Namun, dua tahun setelahnya tanpa sebab yang
jelas Pangeran Euigyeong (의경군) meninggal. Takhta putera mahkota diberikan pada
adiknya yang Pangeran Haeyang (해양군).
Pangeran Haeyang menggantikan ayahnya menjadi raja kedelapan Joseon di
tahun 1468. Ia naik takhta di usianya yang masih belia, 18 tahun. Untuk itu, ibunya
Permaisuri Jeonghee menjadi pelaksana tugas. Pangeran Haeyang naik takhta dengan
gelar Raja Yejong. Sama seperti nasib kakaknya, Raja Yejong juga tidak hidup lama. Ia
meninggal di usia 19 tahun. Umur pendek kedua anak Raja Sejo ini dipercaya rakyat
Joseon sebagai karma dari ayahnya yang membunuh Raja Danjong.
Tepat di hari Raja Yejong (예종) meninggal, Ibu Suri Jeonghee (정희태후)
mengangkat anak dari Pangeran Euigyeong, Pangeran Jaeul (자을대군) sebagai raja.
Pengangkatan raja di hari yang sama dengan kematian raja sebelumnya merupakan hal
pertama di sepanjang sejarah Joseon. Biasanya ada masa berduka sebelum
pengangkatan raja baru. Pertimbangan ini dibuat oleh Ibu Suri Jeonghee agar tidak
terjadi kekosongan kekuasaan yang nantinya berakibat pada kudeta internal.
Pangeran Jaeul naik menjadi raja kesembilan Joseon, Raja Seongjong. Ia yang
masih berusia 13 tahun ketika itu mendapat perwalian Ibu Suri Jeonghee. Ibu Suri
Jeonghee bertindak sebagai wali Raja Seongjong selama 7 tahun, hingga ia berusia 20.
Selama 7 tahun perwaliannya, ia meneruskan politik Sungyu Oekbul. Ia menekan gerak-
gerik pengikut Buddha dengan melarang para biksu masuk ke ibukota. Ia juga melarang
semua keturunan perempuan kalangan bangsawan untuk menjadi biksuni (biksu
wanita). Perwalian Ibu Suri Jeonghee berakhir tahun 1476. Sejak itu Raja Seonjong naik
takhta dan mengendalikan pemerintah langsung.
Di masa pemerintahannya, Raja Seongjong (성종) sangat mendukung
perkembangan ideologi Neo Konfusianisme (성리학). Di antara tahun 1484-1489, Raja
Seongjong memberikan tanah kepada Seongyungwan dan Hyanggyo untuk mendirikan
sekolah-sekolah konfusian. Karya-karya para cendikiawan Neo Konfusianisme
bermunculan di masa pemerintahannya. Beberapa buku karya Seo Geo Jeong (서거정)
yakni, Dongguk Thonggam (동국 통감), Samguk Sajolyo (삼국사절요), Dong Mun Seon
(동문선)dan karya Seong Hyeon (성현) yang paling terkenal, Akhak Kwebeom (
악학궤범) diterbitkan di masa Raja Seongjong.

6.5 Munculnya Faksi Sarim (사림파)


Di masa pemerintahan Raja Seongjong (성종), terdapat dua faksi di
pemerintahan. Faksi Hungu (훈구파) dan Faksi Geunwang (근왕파). Faksi Hungu sudah
ada sejak Raja Sejo. Sedangkan Faksi Geunwang muncul di masa Raja Seongjeong.
Keduanya merupakan faksi yang bertentangan baik dalam perpolitikan maupun
keilmuan. Faksi Geunwang kelak dikenal sebagai Faksi Salim yang memainkan peranan
penting di abad 16-17. Pemimpin faksi Salim ketika itu, Kim Jong Jik. Faksi ini awalnya
dibentuk oleh Raja Seonjong untuk menyeimbangi faksi konservatif yang sebelumnya
memihak Ibu Suri Jeonghee. Selama pemerintahannya, Raja Seonjeong berhasil
menyeimbangkan kedua kekuatan ini. Kondisi politik di masa pemerintahannya
cenderung paling stabil di antara semua raja Joseon.

6.6 Pangeran Yeonsangun Sang Raja Lalim (연산군)


Raja Seongjong memerintah selama 25 tahun hingga tahun 1494. Semasa
hidupnya, ia memiliki 12 orang istri dan 30 orang anak. Permaisuri pertamanya
bermarga Yoon. Dari permaisuri pertamanya, ia mendapat putera mahkota bernama
Pangeran Yeonsangun. Ibunya, permaisuri Yoon merupakan wanita yang penuh
cemburu. Ia pernah meracuni selir Raja Seongjong dan melukai wajah Raja Seongjong
dengan kukunya akibat cemburu. Akibatnya, ia dilengserkan dari status permaisuri.
Status permaisuri kemudian diemban oleh Jeonghyeon. Pangeran Yeonsan kemudian
dirawat oleh Permaisuri Jeonghyeon.
Pangeran Yeonsangun merupakan anak yang cenderung nakal dan tidak mudah
diatur. Neneknya, Ibu Suri Insu tidak terlalu suka dengannya. Terlebih, ia tidak diasuh
oleh ibu kandungnya. Hal ini membuat Pangeran Yeonsangun semakin menjadi-jadi
nakalnya. Ketika isu pengangkatan putera mahkota digulirkan, banyak pejabat yang
menentang. Hal ini dikarenakan status ibunya yang dilengserkan dari kursi permaisuri.
Banyak pejabat, termasuk Ibu Suri Insu takut jika ia naik takhta dan tahu ibunya
dilengserkan, maka ia akan balas dendam. Namun, Raja Seongjong tetap bersikukuh
mengangkatnya sebagai putera mahkota. Ia dianggap satu-satunya anak dari permaisuri
pertama yang pantas mengemban status putera mahkota.
Pangeran Yeonsangun naik takhta menggantikan Raja Seongjong di tahun 1494.
Masa kecilnya yang tidak begitu menyenangkan sedikit banyak mempengaruhi corak
pemerintahannya. Ia memerintah selaam 11 tahun. Selama 11 tahun itu, banyak
keputusan yang tidak pantas diambilnya sebagai raja. Ia membubarkan Sunggyungwan,
karena sedari kecil ia memang tidak suka belajar. Ia menyingkirkan semua pejabat
pemerintah yang tidak setuju dengan pendapatnya. Setelah mengetahui kasus
pelengseran ibunya, ia membunuh semua bekas selir ayahnya dan yang terlibat dalam
pelengseran ibunya.
Yeonsangun juga dikenal sebagai raja lalim yang suka main perempuan. Setiap
hari kerjanya hanya mabuk dan bermain bersama pelacur. Ia memanggil seluruh
pelacur di ibukota untuk masuk ke istana menghiburnya. Ia juga membuat komite yang
khusus mencari anak gadis cantik untuk dijadikan gundiknya. Gadis tercantik yang
dipilih oleh Yeonsangun diberi gelar Heungcheong (흥청).
Melihat kelalimannya yang tak kunjung berubah, seorang pejabat bernama Park
Won Jong (박원종) menyusun rencana kudeta. Pada tahun 1506, tentara Park Won Jong
berhasil menduduki istana dan melengserkan Pangeran Yeonsangun. Yeonsangun
kemudian diasingkan ke Pulau Ganghwa. Dua bulan kemudian ia meninggal di usianya
ke-31. Karena kelalimannya, ia tidak diberikan gelar raja berakhiran ‘Jong’ seperti raja-
raja Joseon lainnya. Namanya tetap tercatat sebagai pangeran. Ia kemudian digantikan
oleh anak kedua Raja Seongjong, Pangeran Jinseong (진성군). Pangeran Jinseong naik
takhta dengan gelar Jungjong.

6.7 Perang di Semenanjung Korea pada Masa Pertengahan Joseon (조선 중기)
6.7.1 Perang Imjin 1592-1598 (임진왜란)
Sejak abad ke-15 wilayah Jepang yang terbagi menjadi wilayah kekuasaan para
Daimyo saling berperang satu sama lain. Masa ini dikenal sebagai zaman Sengoku
(zaman negara-negara berperang). Seorang daimyo bernama Oda Nobunaga
mengalahkan wilayah daimyo terakhir dan mengalahkan Keshogunan Muromachi di
wilayah Kyoto yang berkuasa pada masa itu. Selanjutnya, bawahan Oda Nobunaga
bernama Toyotomi Hideyoshi mendapatkan kekuasaan atas Jepang pada tahun 1585.
Pada waktu yang hampi bersamaan, Jepang mengalami perubahan sejak
bersentuhannya masyarakat Jepang dengan orang Eropa secara langsung. Ini berawal
dari adanya ‘ekspedisi besar’ yang dimulai dari negara-negara di Eropa untuk
menemukan daerah-daerah baru. Orang-orang Portugal yang menyusuri derah-daerah
asia pada akhirnya tiba di tanah Jepang pada pertengahan abad ke-16. Orang-orang
Portugal masuk ke Jepang dengan membawa budaya dan barang-barang peradaban
barat, seperti agama (Kristen) dan senjata. (한영우, 2016: 339-40)
Sementara itu, Semenanjung Korea di abad ke-15 hanya melakukan hubungan
dengan dua negara, Cina dan Jepang. Akan tetapi hubungan antara Korea dan Jepangpun
tidak sebaik hubungannya dengan Cina. Pada pertengahan abad ke-16, sudah terjadi
masalah di perbatasan Semenanjung Korea dan Jepang. Akan tetapi, para yangban yang
merupakan pemimpin negara tidak menganggap masalah dengan Jepang ini sebagai
sesuatu yang besar dan hanya mengambil tindakan-tindakan bersifat sementara. Jepang
yang sudah mengakhiri masa perangnya dan hampir bersatu secara utuh dibawah
kepemimpinan Toyotomi Hideyoshi, mulai membuat rencana untuk menguasai
semenanjung Korea dan mengalahkan dinasti Ming di Cina. Secara mental, Jepang yang
baru saja selesai masa perang tentu siap untuk menghadapi perang lanjutan. Peralatan
perang Jepang juga jauh lebih lengkap daripada Korea yang tidak mengalami perang
sama sekali sejak Joseon berdiri pada 1392. Ditambah lagi, Jepang telah melakukan
hubungan ekonomi dengan negara barat dan memiliki senjata api yang dibeli dari
Eropa. Menyerang Semenanjung Korea tidak akan menjadi hal yang sulit bagi Jepang.
(Lee Ki-Baik, 1984: 209-10)
Serangan pertama Jepang ke Joseon terjadi pada tanggal 13 bulan 4 tahun 1592.
Jepang membawa 20 ribu tentara dari total 30 ribu tentara yang ada. 10 ribu tentara
lainnya berdia di Nagoya untuk mengamankan kondisi internal. Hanyang berhasil
ditaklukkan hanya dalam 20 hari. Satu bulan kemudian, pasukan Jepang sudah masuk
sampai Pyeongyang. Raja Seonjo terpaksa mengungsi ke wilayah Euijuseong (의주성).
Hanya wilayah Jeolla yang tidak dapat ditembus oleh pasukan Jepang. Di wilayah Jeolla,
perlawanan sengit dilakukan oleh Jenderal Lee Sun-Shin. Jenderal Lee Sun-Shin
membangun kekuatan laut, melatih para awaknya dan membangun ‘kapal kura-kura (
거북선)’. Dengan strategi ini Lee Sun-Shin berhasil mengalahkan pasukan Jepang yang
berusaha menyerang lewat jalur laut.
Joseon terpaksa meminta bantuan kepada Ming. Ming pun turut berperang di
Joseon. Sontak, tanah Joseon berubah menjadi medan perang antar tiga negara di Asia
Timur ini. Invasi besar kedua Jepang masuk lagi tahun 1597, dengan membawa 15 ribu
tentara. Kondisi berubah ketika Toyotomi Hideyoshi meninggal. Jepang menarik
tentaranya setelah itu. Perang 7 tahun ini pun berakhir.

6.7.2 Perang Jeongmyo dan Perang Byeongja


(정묘호란과 병자호란)
Setelah selesainya Perang Imjin, Joseon jatuh ke dalam keadaan yang kacau
balau. Pangeran Gwanghae yang tidak ikut melarikan diri pada masa perang berperan
sangat besar dalam melawan serangan Jepang di tanah Joseon. Pada tahun 1608,
Pangeran Gwanghae secara resmi naik tahta menjadi raja menggantikan ayahnya, raja
Seonjo.
Selama pangeran Gwanghae menjadi raja, perubahan besar terjadi di bagian
utara Joseon. Bangsa Jurchen yang sejak masa kerajaan Goryeo selalu mengancam
keberadaan masyarakat semenanjung Korea, kini semakin kuat dan berhasil
mendirikan sebuah negara yang dinamakan Jin Akhir (후금). Pemimpin negara Jin
kemudian menyerang dinasti Ming yang tengah lemah pasca membantu Joseon
menghadapi invasi Jepang. Perang antara kedua negara inipun tak terhindarkan. Dinasti
Ming yang semakin terdesak meminta bantuan Joseon untuk mengirimkan tentaranya
dan membantu Ming menghadapi serangan dari negara Jin.
Joseon yang belum lama selesai menghadapi peperangan besar tentu tidak ingin
jatuh kembali ke dalam keadaan yang sama dengan ikut berperang melawan negara Jin.
Akan tetapi, pangeran Gwanghae tidak dapat menolak permintaan Ming untuk
mengirimkan bala bantuan. Oleh karenanya, pangeran Gwanghae tetap mengirimkan
bala bantuan kepada Ming, namun secara sembunyi-sembunyi membuat perjanjian
dengan negara Jin untuk tidak menyerang satu sama lain. Kebijakan yang diambil oleh
pangeran Gwanghae ini sukses mengamankan Joseon dari serangan salah satu negara di
bagian utara teritorinya yang sedang berperang. Kebijakan ini dapat dikatakan
merupakan kebijakan terpenting yang dibuat pada masa kepemimpinan pangeran
Gwanghae. (한영우, 2016: 349-51)
Pada tahun 1623, pangeran Gwanghae diturunkan dari posisi raja dan
keponakannya, raja Injo. Sejak awal pangeran Gwanghae naik tahta, banyak petinggi
kerajaan yang tidak setuju dengannya, terutama karena dirinya hanya anak dari
seorang permaisuri. Ayahnya, Raja Seonjo, bahkan sejak awal tidak ingin pangeran
Gwanghae naik tahta. Kebijakan mendekati negara Jin menambah kebencian pada
petinggi pemerintahan yang sejak awal tidak suka dengannya. Oleh karena itu pada
akhirnya ia diturunkan dari tahta dan diasingkan ke pulau Jeju. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan Injobanjeong (인조반정).
Raja Injo yang menjadi pengganti dari pangeran Gwanghae memiliki kebijakan
diplomasi yang sangat berbeda. Raja Injo dan para petinggi yang mendukungnya
menganggap bahwa mengkhianati Ming dan mendekati Jin bukanlah sebuah keputusan
yang bagus, apalagi sejak awal masyarakat semananjung Korea sangat membenci
bangsa Jurchen yang dianggap sebagai bangsa yang barbar. Oleh karena itu, pada masa
pemerintahan Raja Injo, Joseon menerapkan Chinmyeongbangeum Jeongchaek (
친명반금정책) yang merupakan kebijakan untuk terus mendukung Ming dan
menentang keberadaan Jin. Perubahan kebijakan ini tentunya membuat negara Jin
kecewa. Jin sebenarnya tindak ingin berkonflik dengan Joseon dan mengharapkan
Joseon untuk berpihak kepadanya dalam perang dengan Ming. Itulah sebabnya pada
masa pemerintahan pangeran Gwanghae, Jin tidak menyerang Joseon karena kedua
negara membangun hubungan yang cukup baik dan Joseon bersikap netral atas perang
Jin dan Ming.
Karena kebijakan Raja Injo yang memihak kepada negara Ming, Jin akhirnya
memutuskan untuk menyerang Joseon pada tahun 1627. Penyerangan inilah yang
disebut sebagai perang Jeongmyo. Joseon yang mendapat serangan secara tiba-tiba
tentu tidak dapat mempertahankan diri dan pasukannya kalah dari pasukan Jin hanya
dalam waktu tiga bulan. Atas kekalahan ini, Joseon terpaksa menandatangani
kesepakatan dengan negara Jin dan kedua negara menjadi ‘negara adik-kakak (형제의
나라)’ di mana negara Jin dianggap menjadi ‘kakak’ yang lebih dihormati. (한영우, 2016:
352)
Negara Jin yang semakin kuat berhasil menguasai wilayah barat sungai
Liao dan wilayah Mongol. Kondisi kala itu, Ming semakin lemah akibat serangan negara
Jin. Sebagian wilayah Beijing sudah dikuasai oleh mereka. Tembok Raksasa juga sudah
berhasil ditaklukkan. Setelah itu, negara Jin mengganti nama negaranya dengan Qing
(청나라) dan Hong Taiji, raja saat itu, menyatakan diri sebagai kaisar menggantikan
kaisar dari negara Ming yang kekuatannya sudah sangat melemah. Hong Taiji kemudian
meminta Joseon untuk mengakui kekaisaran Qing dan mengubah status ‘kakak-adik’
menjadi ‘penguasa-bawahan (군신관계)’. Ia juga meminta Joseon untuk mengirimkan
upeti dan 30.000 tentara ke wilayah Qing. Raja Injo dan para petinggi Joseon yang sejak
awal tidak setuju dengan kekuasaan Qing ini tentu tidak mau menuruti perintah dari
Hong Taiji dan menolak mentah-mentah permintaannya. Akibatnya, pada bulan
Desember tahun 1636, di tahun yang sama Injo menolak permintaan Hong Taiji, Qing
mengirim sekitar 12 ribu tentaranya menyebrangi Sungai Amnok untuk menyerang
Joseon. Penyerangan Qing ini dikenal sebagai perang Byeongja. (한영우, 2016: 352; Lee
Ki-Baik, 1984: 216; 박영규, 2004: 334)
Seperti saat perang Jeongmyo, Joseon tidak siap menghadapi serangan dari Qing.
Tentara Qing dengan sangat cepat melewati sungai Yalu dan sampai di Pyeongyang.
Pemerintah Joseon bahkan tidak mengira tentara Qing dapat menaklukkan mereka
secepat itu. Kondisi negara mulai kacau. Rakyat pun mulai mengungsi ke selatan.
Keluarga dan para petinggi kerajaan memutuskan untuk melarikan diri dari istana.
Ratu, permaisuri dan para pangeran lainnya diungsikan terlebih dahulu ke pulau
Ganghwa (강화도). Kemudian Raja Injo, putera mahkota Sohyeon (소현세자) dan para
petinggi juga bermaksud untuk ikut mengungsi ke pulau Ganghwa, namun jalannya
dihadang oleh tentara Qing sehingga mereka terpaksa mengungsi ke Namhansanseong
(남한산성), sebuah benteng di atas gunung yang berlokasi di bagian tenggara Seoul.
Tentara Qing semakin mendekat ke tempat pengungsian Injo. Hanya dalam
waktu 7 hari setelah melewati sungai Yalu, tentara Qing dikabarkan berhasil sampai di
dekat Namhansanseong. Raja Injo hanya memiliki sekitar 14.000 tentara dan
persediaan makanan maksimal 50 hari di dalam Namhansanseong. Dengan kondisi
benteng yang dikelilingi oleh tentara musuh dengan jumlah yang tidak bisa disaingi oleh
tentara Injo, serta bantuan tentara Ming yang tak kunjung datang menyelamatkan
Joseon, Raja Injo dan para petinggi kerajaan berada dalam kondisi yang terdesak. Pada
30 Januari 1637, 45 hari setelah Namhansanseong menjadi tempat pengungsian Raja
dan para petinggi kerajaan, Raja Injo pada akhirnya membuka gerbang benteng dan
secara resmi menyerah kepada Hong Taiji. Raja Injo bersujud di depan Hong Taiji
sebagai tanda penyerahan diri Joseon terhadap Qing. Qing menuntut Joseon untuk jadi
negara bawahannya sehingga Joseon juga harus memutuskan hubungan dengan Ming
sejak hari itu. Hubungan kedua negara ini berlangsung hingga tahun 1895, ketika Qing
kalah di Perang Sino-Jepang.
Sebagai tawanan perang, Qing juga menahan putera mahkota Sohyeon, Pangeran
Bongrim (봉립대군), dan Pangeran In-Pyeong (인평대군). Setahun kemudian, Pangeran
Inpyeong kembali ke Joseon. Sedangkan pangeran lain, baru kembali ke Joseon 8 tahun
kemudian di 1645. Setelah kedua perang ini, kondisi Joseon lulu lantah dan kacau.
Hingga masa Raja Sukjeong (1674-1720), Joseon berhasil kembali tenang.

6.8 Perubahan di Masa Akhir Joseon (조선 후기)


6.8.1 Konflik antar Faksi (붕당 정치)
Sejak abad ke-16, pada masa pemerintahan Raja Seonjo, faksi pertama kali
terbentuk. Faksi pertama adalah Seoin (서인) yang dipimpin oleh Shim Eui-Gyeom (
심의겸) dan Dongin (동인) yang dipimpin oleh Kim Hyo-Won (김효원). Nama Seoin dan
Dongin diambil dari lokasi tempat tinggal Shim Eui-Gyeom yang berada di sisi Barat (
서쪽) dan Kim Hyo-Won yang tinggal di sisi Timur (동쪽). (한영우, 2016: 326-7)
Munculnya faksi Seoin dan Dongin dikarenakan adanya perbedaan cara
penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota keluarga Ratu. Para pejabat
dari faksi Seoin menganggap bahwa penyelesaian masalah ini dapat ditempuh dengan
jalan tengah tanpa kekerasan. Di lain sisi, pengikut faksi Dongin menganggap keluarga
Ratu yang melakukan tindakan korupsi harus diberikan hukuman yang berat. (구완회,
2015: 160)
Kedua faksi ini tidak hanya memiliki konflik satu sama lainnya, tetapi juga
memiliki konflik di dalam faksi. Hal ini membuat faksi Dongin terbelah menjadi Namin
(남인) dan Bukin (북인) pada masa akhir pemerintahan Raja Seonjo. Pengikut faksi
Bukin mendukung naiknya pangeran Gwanghaegun sebagai raja selanjutnya sehingga
pada saat pangeran Gwanghaegun naik tahta, para pengikut Bukin menjadi pemimpin
dalam pemerintahan. Sebaliknya, faksi Seoin mendukung Raja Injo untuk naik tahta,
sehingga saat Raja Injo menjadi raja selanjutnya, kekuasaan Bukin digantikan oleh para
pengikut Seoin.
Sama seperti Dongin yang terpecah menjadi dua, Seoin juga terpecah menjadi
dua faksi, yaitu Soron (소론) dan Noron (노론). Setelah terpecahnya faksi Seoin, Noron
memimpin pemerintahan sampai abad ke-19. (Lee Ki-Baik, 1984: 221-2)
Seluruh faksi saling berkonflik satu sama lainnya untuk mendapatkan
kekuasaan. Oleh sebab itu, pada masa Raja Yeongjo (영조), dibuat sebuah sistem baru
untuk menyamaratakan kekuasaan faksi. Sistem ini disebut sebagai Tangpyeongchaek
(탕평책). Melalui sistem ini, Raja Yeongjo memilih orang yang bertalenta untuk
memipin pemerintahan tanpa memandang faksi orang tersebut. Walaupun sistem ini
dapat berjalan dengan cukup lancar, setelah kematian Raja Yeongjo faksi Noron kembali
menjadi pemimpin pada pemerintahan. (구완회, 2015: 161)
Keluarga Yangban yang tidak dapat berpartisipasi dalam pemerintahan pada
akhirnya membuat aktivitas sendiri. Banyak dari Yangban ini yang mendirikan Seowon
(서원) atau sekolah pribadi. Selain itu, Yangban yang tidak mendapatkan tempat di
pemerintahan juga mulai melakukan protes hingga menciptakan ajaran baru yang
menentang sistem pemerintahan yang didominasi oleh faksi.

6.8.2 Silhak (실학) dan Ilmu Barat (서학)


Silhak berasal dari kata Sil yang perarti ‘praktis’ dan Hak yang berarti ‘ilmu’ atau
‘pembelajaran’. Silhak ini pertama kali muncul dikarenakan faktor internal dan
eksternal di Joseon. Faktor internal yang mendorong terbentuknya Silhak adalah perang
di abad ke-16 dan 17. Sebelumnya, ajaran Neo-Konfusianisme yang berkembang di
kerajaan Joseon sangat merekat pada setiap lapisan masyarakat sehingga masyarakat
Joseon dikenal sebagai masyarakat yang penuh dengan etika. Akan tetapi pada abad ke-
16 sampai ke-17, Joseon menghadapi perang dengan Jepang hingga Bangsa Jurchen, dan
mengalami kegagalan yang sangat besar pada perang tersebut. Keadaan Joseon pasca
perang bertambah parah dengan adanya konflik antar faksi dan kegagalan pertanian.
Masalah-masalah yang berkembang di Joseon pada masa ini membuktikan bahwa
ajaran ‘etika’ yang ditekankan oleh Neo-Konfusianisme tidak dapat melindungi dan
memperkuat Joseon. Banyak pelajar yang berpendapat bahwa Joseon merupakan
negara lemah yang tidak memiliki kekuatan militier serta ekonomi karena terlalu
berpusat pada ajaran Neo-Konfusianisme. Berawal dari pandangan-pandangan pelajar
dan para ahli ini, munculah Silhak sebagai sebuah gerakan baru hasil dari reformasi
Neo-Konfusianisme yang berkembang di Joseon. (한영우, 2016: 381-2)
Di saat yang hampir bersamaan, pada awal abad ke-16, terdapat ilmu-ilmu baru
di luar Neo-Konfusianisme yang berkembang di negara Ming. Salah satunya adalah ilmu
barat. Ilmu barat atau Seohak merupakan ilmu maupun ajaran yang diperkenalkan oleh
bangsa barat. Jenis dari ilmu barat bermacam-macam. Ada ilmu yang mengajarkan
mengenai penanggalan, astronomi, dan ilmu-ilmu lain yang telah berkembang di
negara-negara barat namun belum masuk di wilayah Asia. Akan tetapi, istilah ilmu barat
paling erat hubungannya dengan ajaran Katolik. Pada abad ke-7 di tanah Cina, Kaisar
dinasti Tang membuka lebar negaranya kepada bangsa dari luar asia Timur. Oleh sebab
itu pada masa ini banyak masyarakat dari Timur Tengah dan Eropa yang datang ke
Tang untuk tinggal dan bekerja di sana. Karena hal ini, Ajaran Katolik yang berkembang
pesat di Eropa mulai merambah dinasti Tang. Walaupun ajaran Katolik diperkenalkan
sejak masa dinasti Tang, pengaruh ajaran ini baru dirasakan masyarakat Cina pada
masa dinasti Ming. Melalui misionaris Eropa yang secara aktif menyebarkan ajaran
Katolik, masyarakat dinasti Ming semakin mengenal ajaran ini. (Hafele dan Dittrich,
2011:72; Daniel H. Bays, 2011:14)
Di Semenanjung Korea, ilmu barat mulai dikenal melalui buku. Banyak pelajar
Konfusian Joseon yang membaca ilmu ini, menelaahnya, hingga membuat sebuah
konsep baru dalam masyarakat berdasarkan konsep ilmu barat yang dibacanya melalui
buku. Salah satu pelajar Konfusian yang pertama kali membuat kontak dengan buku-
buku mengenai ilmu barat ini adalah Lee Su-Gwang (이수광). Pada tahun 1597, ia pergi
ke wilayah dinasti Ming dan pulang dengan membawa buku karya salah seorang
misionaris Eropa, Matteo Ricci, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina. Buku
ini dapat dikatakan sebagai buku pertama yang benar-benar dibaca dan ditelaah oleh
pelajar dari Joseon. Lee Su-Gwang menelaah buku tersebut kemudian menulis buku
Jibongyuseol (지봉유설) berdasarkan tulisan Matteo Ricci. Dalam bukunya, Lee Su-
Gwang menekankan pentingnya mempelajari ilmu lain di luar Neo-Konfusianisme,
selama ilmu tersebut dapat menyejahterakan rakyat. Konsep dalam buku Lee Su-Gwang
sangat mirip dengan konsep Silhak sehingga buku ini memberikan pengaruh yang
sangat besar bagi pelajar yang mendalami Silhak di masa setelahnya. (Min Kyoung-Bae,
2005: 29-30)
Silhak tidak hanya mengkritik sistem pengamanan negara, namun juga sistem
sosial, politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam hal pendidikan, Silhak menekankan
pentingnya masyarakat secara umum, tidak hanya kaum bangsawan, untuk
mendapatkan pendidikan. Dalam ekonomi, sistem perekonomian Joseon yang tertutup
juga mendapat kritikan keras dari pengikut ajaran Silhak sebab para mereka percaya
bahwa Joseon harus membuka diri dan melakukan perdagangan dengan bangsa asing,
seperti yang dilakukan oleh Qing dan Jepang. Pengikut Silhak ini juga menekankan
bahwa seluruh masyarakat harus mendapatkan hak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan, termasuk ikut serta dalam ujian negara. Kritik yang diajukan dalam
gerakan Silhak tentu sangat menyinggung ajaran Neo-Kofusianisme. (Lee Sang-Taek,
1996:47)
Sayangnya gerakan Silhak ini tidak dapat secara penuh mereformasi ajaran Neo-
Konfusianisme yang telah berakar di pemerintah dan masyarakat Joseon. Selain itu,
tokoh-tokoh yang menjadi pelopor Silhak merupakan kaum yang ‘kalah’ dalam konflik
antar faksi yang terjadi sejak abad ke-16. Kaum Yangban yang mengikuti ajaran Silhak
sebagian besar berasal dari faksi Namin yang tidak mendapatkan tempat dalam
pemerintahan, sehingga suara mereka tidak sepenuhnya didengar oleh pemerintah
Joseon.

6.8.3 Masuknya Ajaran Katolik di Semenanjung Korea


Perkembangan ajaran Katolik mulai merambah Joseon pada abad ke-17 melalui
masuknya buku-buku mengenai ilmu barat. Banyak pelajar Konfusian yang menyambut
hadirnya ilmu barat ini sebagai ilmu baru. Pada awalnya, melalui ajaran Silhak—yang
telah disebutkan pada subbab sebelumnya— ilmu barat mulai dikenal oleh pelajar
Konfusian Joseon. Pada buku-buku mengenai ilmu barat yang dibaca oleh para pelajar
Konfusian, terdapat ajaran Katolik sehingga pelajar Konfusian mulai mempelajari ajaran
baru ini.
Sejak masa Lee Su-Gwang, hingga awal abad ke-18, ajaran Katolik hanya
dianggap sebagai ilmu baru yang berbeda dengan Neo-Konfusianisme. Seiring
berjalannya waktu, para pelajar yang mendalami Silhak mulai tertarik dengan ajaran
Katolik hingga membentuk kelompok belajar untuk mempelajari ajaran ini. Kelompok
belajar inilah yang nantinya berperan penting terhadap penyebaran ajaran Katolik di
Semenanjung Korea. (Buswell and Lee, 2006: 9)
Seorang pelajar Konfusian bernama Lee Seung-Hun (이승훈) adalah orang dari
Joseon yang pertama kali dibaptis dan menjadi seorang Katolik. Pada tahun 1783, Lee
Seung-Hun menemani ayahnya yang merupakan utusan Joseon ke wilayah Qing. Selama
di sana, Yo Seung-Hun bertemu dengan misionaris Eropa, dibaptis, dan pulang kembali
ke Joseon dengan membawa banyak buku mengenai Katolik. Sekembalinya dari Qing,
Lee Seung-Hun membagikan pengalamannya dengan teman-teman kelompok
belajarnya. Ia juga secara aktif menyebarkan ajaran Katolik bahkan membaptis orang-
orang disekitarnya. Melalui Lee Seung-Hun dan kelompok belajarnya, Katolik kini
menyebar di Semenanjung Korea secara lebih luas. (Min Kyoung Bae, 2005: 34-5)
Pemerintah Joseon pada awalnya tidak mempermasalhkan penyebaran ajaran
baru ini. Akan tetapi, para pengikut ajaran Katolik mulai melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan ajaran Konfusianisme. Pada tahun 1791, pelajar Konfusian bernama Yun
Ji-Chung (윤지충) tidak melakukan pemakaman terhadap ibunya seperti yang
ditetapkan dalam ajaran Konfusianisme, tetapi melakukan pemakaman dengan sistem
Katolik. Yun Ji-Chung bersama sepupunya, Kwon Sang-Yeon (권상연), bahkan
membakar papan penyembahan leluhur. Dalam Konfusianisme, tindakan yang
dilakukan oleh kedua pelajar ini merupakan tindakan yang tidak terpuji sebab
Konfusianisme sangat menekankan pentingnya anak untuk menghormati orang tua.
Dengan munculnya kasus ini, pemerintah Joseon pada akhirnya mengambil langkah
tegas untuk melarang penyebaran Kristen di Semenanjung Korea. Pada tahun yang
sama, pemerintah menjatuhkan persekusi kepada masyarakat mempercayai ajaran
Katolik. (Min Kyoung Bae, 2005: 40-1; Matsutani Motokazu, 2012: 32-3)
Sejak tahun 1791 hingga tahun 1866, pemerintah Joseon melakukan beberapa
persekusi masal terhadap masyarakat yang masih mengikuti ajaran Katolik. Akan tetapi,
banyaknya masyarakat yang telah mempercayai ajaran ini membuat pemerintah
kesulitan untuk mengontrolnya. Jumlah pengikut ajaran Katolik semakin besar setelah
beberapa misionaris asing berhasil masuk ke Semenanjung Korea dan menyebarkan
ajaran Katolik secara rahasia. Tugas pemerintah Joseon bukan hanya memburu
masyarakat yang percaya akan ajaran Katolik, tapi juga memburu misionaris asing yang
masuk secara ilegal. Pemerintah Joseon tidak segan untuk menjatuhkan hukuman mati
kepada seluruh misionaris asing yang berhasil ditangkap. Hal inilah yang nantinya
menyebabkan konfrontasi antara Joseon dengan pasukan Prancis. (Min Kyoung Bae,
2005: 68-9; 김도훈, 2011: 400)

6.9 Raja Gojong (고종) dan Terbukanya Joseon


Raja Gojong naik takhta pada tahun 1863 menggantikan Raja Cheoljong (철종).
Ia naik takhta di usia 12 tahun. Untuk itu, selama 10 tahun pemerintahannya diwalikan
oleh ayahnya, Heungseon Daewongun (흥선대원군). Di masa pemerintahan ayahnya ini,
terjadi banyak kasus yang melibatkan pihak asing. Salah satu yang terkenal adalah
penyerangan Perancis terhadap Pulau Ganghwa tahun 1866 yang dikenal dengan
peristiwa Byeongin Yangyo (병인양요)
Peristiwa Byeongin Yangyo bermula dari penolakan Heungson Daewongun
terhadap agama Katolik. Ia mengeluarkan perintah untuk memusnahkan semua hal
yang berkaitan dengan Katolik di Joseon. Tercatat mulai dari tahun 1866 hingga 1872,
8.000 orang beragama Katolik dibunuh. Di tahun 1866, ia memerintahkan eksekusi mati
terhadap 9 orang pastor yang memicu kemarahan Perancis. Pada Oktober 1866,
Perancis dengan 1.000 tentara bersenjata apinya menyerang Pulau Ganghwa sebagai
bentuk protes terhadap eksekusi sepihak kesembilan pastor itu. Selain peristiwa ini,
tahun 1871 terjadi juga insiden Sinmi Yangyo (신미양요).
Akibat peristiwa Byeongin Yangyo, Joseon menutup dirinya dari pihak asing
hingga tahun 1876. Ketika itu, pemerintahan sudah dipegang sepenuhnya oleh Raja
Gojong. Raja Gojong menerima tawaran Jepang untuk membuka pelabuhan Ganghwa
dan menjalin hubungan dagang dengan negara asing, khususnya Jepang. Inilah awal
modernisasi Joseon.

Anda mungkin juga menyukai