Anda di halaman 1dari 7

Latar belakang

Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak untuk menentukan kehidupannya. Hal ini
sebagaimana termuat dalam pasal 28A UUD 1945. Salah satu Hak Asasi Manusia adalah
mendapatkan kesehatan. Dalam mendapatkan fasilitas kesehatan, seorang pasien tentu akan
melakukan hubungan medis dengan dokter. Dokter dalam melakukan tindakan medis harus
meminta persetujuan dari pasien dan keluarga. Hal ini telah diatur dalam Pasal 1 Permenkes No.
290 Tahun 2008 yang berisi :

“Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”

Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Informasi yang
diberikan antara lain nama tindakan, alasan dilakukan tindakan, tujuan tindakan, cara tindakan,
risiko tindakan, alternatif tindakan, dan perkiraan biaya tindakan. Tujuan persetujuan tindakan
medis secara lisan adalah untuk menjelaskan dan memahamkan pada pasien dan keluarga tentang
tindakan medis yang akan dilakukan lalu untuk aspek legalitas maka diperlukan persetujuan
tindakan medis secara tertulis.

Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa terkadang prosedur dalam persetujuan tindakan


medik belum sesuai dengan yang tertuang di undang-undang dalam kondisi-kondisi tertentu.
Salah satunya adalah dalam hal penandatanganan persetujuan tindakan medik. Seorang dokter
dalam kondisi gawat darurat menangani pasien dengan penurunan kesadaran sulit untuk
menentukan bahwa orang yang bertanda tangan dalam surat persetujuan termasuk orang yang
berhak sesuai undang-undang atau bukan. Fakta menunjukkan bahwa terkadang yang bertanda
tangan dalam persetujuan tindakan medik tidak sesuai dengan yang tercantum dalam undang-
undang. Oleh sebab itu, diperlukan telaah terhadap pasal-pasal tentang persetujuan tindakan
medik untuk mempermudah dokter dalam memberi pelayanan ketika pasien tidak kompeten dan
orang-orang yang berhak menandatangani persetujuan tindakan medis jika tidak berada di
tempat. Selain itu, perlunya penjabaran pasal-pasal tersebut memberi jaminan keamanan bagi
dokter dalam melakukan tindakan medis dan khususnya pasien agar sesuai dengan hati
nuraninya.

Tinjauan Pustaka

1. Informed Consent / Persetujuan Tindakan Medis Menurut Hukum di Indonesia.

Persetujuan tindakan kedokteran / informed consent adalah persetujuan yang diberikan


oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Suatu
persetujuan dianggap sah apabila pasien telah diberi penjelasan / informasi terkait tindakan
yang akan dilakukan, serta pasien dalam keadaan kompeten untuk memberikan persetujuan
tersebut.

Menurut Undang – Undang RI no. 29 tahun 2004 pasal 45, tentang aspek medikolegal
persetujuan tindakan kedokteran, ayat 2, tertulis bahwa persetujuan tindakan medis hanya
dapat diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. Pada ayat 3,
menerangkan apa-apa yang harus dijelaskan, yaitu diagnosis dan tatacara tindakan medis;
tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pada
ayat 4 dan 5 dijelaskan bahwa persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis maupun lisan,
namun dikhususkan untuk tindakan yang mengandung risiko tinggi serta invasive
memerlukan persetujuan secara tertulis.

Menurut pasal 7, Permenkes No. 290 / MENKES / PER / III / 2008, dijelaskan mengenai
penjelasan tindakan medis (information for consent) harus diberikan secara langsung kepada
pasien dan atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Bila pasien tidak
sadar, maka penjelasan dapat diberikan kepada keluarga atau yang mengantar.

Pemberian penjelasan tindakan medis diberikan secara lengkap dan dalam bahasa yang
mudah dimengerti oleh pasien maupun keluarga. Selain itu, tenaga medis (dokter / dokter
gigi) wajib mencatat dan mendokumentasikan penjelasan tersebut ke dalam rekam medis dan
mencantumkan tanggal, waktu, nama, tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima
penjelasan. (Pasal 8, Permenkes No. 290/ MENKES/ PER/ III/ 2008).

Di atas dikatakan, bahwa dalam suatu penjelasan tindakan medis, perlu dijelaskan
mengenai risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, disini juga perlu dicantumkan
perluasan tindakan medis yang mungkin dilakukan untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.
(Pasal 11, Permenkes No. 290/ MENKES/ PER/ III/ 2008). Namun, apabila terjadi hal-hal /
komplikasi yang di luar perkiraan dokter/ dokter gigi, maka dokter/dokter gigi dapat
melakukan tindakan perluasan medis untuk menyelamatkan jiwa pasien terlebih dahulu.
Kendati demikian, dokter/dokter gigi tetap diminta untuk menjelaskan tindakan tersebut ke
pasien dan atau keluarga terdekatnya setelah tindakan dilakukan. (Pasal 12, Permenkes No.
290/ MENKES/ PER/ III/ 2008).

Menurut Permenkes no. 290 tahun 2008, pasal 13, dikatakan bahwa persetujuan hanya
dapat diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat, penilaian tentang
kompetensi pasien tersebut dilakukan oleh dokter / dokter gigi dan bila terdapat keraguan
dalam persetujuan, maka boleh dilakukan permintaan persetujuan ulang. Menurut pasal 1
pada Permenkes no. 290 tahun 2008, dijelaskan bahwa pasien yang kompeten dalam
memberikan persetujuan tindakan medis adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah / pernah menikah, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental, dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas. Sedangkan menurut KKI / Konsil Kedokteran Indonesia, tahun
2006, dikatakan bahwa orang berusia 18 tahun atau lebih dapat tidak kompeten bila
mengalami gangguan jiwa atau menderita nyeri hebat, syok atau dalam pengaruh obat
tertentu, maka disini persetujuan pada individu yang tidak kompeten diberikan pada keluarga
terdekat (suami / istri, orang tua yang sah, anaknya yang kompeten, saudara kandung) atau
bila tidak ada, maka wewenang dapat diberikan pada pengampu / wali. Pengecualian pada
keadaan gawat darurat medis, dalam hal demikian maka dokter dapat melakukan tindakan
kedokteran demi kepentingan terbaik pasien.

Apabila pasien berusia kurang dari 18 tahun, maka persetujuan tindakan medis diberikan
oleh orang yang dianggap memiliki tanggung jawab orang tua. Yang termasuk orang-orang
diatas menurut KKI tahun 2006 adalah sebagai berikut:

a. Orang tua si anak (bila si anak lahir dari pasangan suami istri yang sah).
b. Ibu si anak (apabila anak lahir dari pasangan yang tidak sah)
c. Wali, orang tua angkat, atau lembaga pengasuh yang sah (berdasar UU No.23 tahun
2002 tentang perlindungan anak).
d. Orang yang secara adat / budaya dianggap sebagai wali si anak, dalam hal tidak
terdapat yang memenuhi a,b,c.

Pasien / keluarga dekat dapat memberikan persetujuannya secara tersirat, maupun secara
dinyatakan secara lisan ataupun tertulis.

2. Informed Consent / Persetujuan Tindakan Medis menurut Hukum di Luar Negeri.

Informed consent atau persetujuan tindakan medis ialah suatu proses untuk mendapatkan
izin sebelum dilakukannya suatu tindakan medis pada seseorang. Persetujuan ini dapat
dikatakan sudah diberikan apabila pasien / yang bersangkutan diberikan penjelasan yang
jelas mengenai fakta, implikasi dan konsekuensi dari suatu tindakan medis yang akan
dilakukan, dan dalam hal ini, pasien / orang yang bersangkutan haruslah memiliki
kemampuan untuk menilai baik –buruknya suatu pengambilan keputusan berdasarkan
informasi yang sudah diberikan. Kelainan pada kemampuan ini seperti yang nampak pada
depresi pasca trauma, retardasi mental, gangguan kejiwaan yang parah, tidak sadarkan
diri, dan dementia atau pikun, menjadikan pasien / orang yang bersangkutan tersebut
tidak kompeten untuk memberikan suatu persetujuan tindakan medis.

Pemberian persetujuan tindakan medis oleh pasien mengharuskan keadaan


dimana pasien kompeten untuk menentukan tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
Pada umumnya, menurut hukum yang ada, seorang dewasa sudah dianggap kompeten.
Apabila ternyata menurut penilaian, pasien dewasa ini tidak kompeten, maka yang berhak
memberikan persetujuan medis ialah wakil kesehatan atau healthcare proxy. Apabila
belum ditentukan seorang wakil kesehatan, maka seorang praktisi medis / dokter dapat
diharapkan untuk bertindak sesuai dengan asas the best interests for patient atau yang
dianggap yang terbaik untuk pasien. Dalam kasus ini termasuk seorang anak dibawah
umur, maka yang berhak memberikan suatu persetujuan tindakan medis adalah orang
tuanya (sebagai orang yang mengetahui yang terbaik untuk pasien). Bila orang tua tidak
ada maka boleh diambil perannya oleh wali yang sah.

Di Inggris, pasien juga dapat mewakilkan dirinya pada saudaranya yang sah.
Dalam hal ini, saudaranya yang sah tersebut memiliki kekuatan hukum layaknya seorang
pengacara yang ditunjuk langsung oleh pasien untuk mewakili dirinya (Mental Capacity
Act. 2005). Saudara yang sah tersebut, secara berurutan dalam kapasitas kuasanya ialah:

1. Suami / Istri 6. Kakek / Nenek


2. Anak Kandung (Urutan 7. Sepupu
tidak menjadi masalah) 8. Paman / Bibi
3. Orang tua 9. Cicit
4. Saudara Kandung 10. Buyut
5. Cucu

Dalam hal pasien yang mewakilkan dirinya, hal ini dapat dilakukan pada kondisi dimana
pasien adalah anak-anak, atau seorang dewasa yang tidak kompeten. Dikatakan seorang dewasa
tidak kompeten ialah apabila pasien tidak memiliki kemampuan untuk:

a. Mengerti informasi yang diberikan terkait suatu keputusan / tindakan yang akan
dilakukan pada dirinya.
b. Mengingat informasi tersebut dalam kepentingan untuk membuat suatu keputusan.
c. Menggunakan atau menimbang-nimbang informasi yang diberikan.
d. Mengomunikasikan keputusan yang dipilihnya.

Kompetensi ini dinilai oleh tenaga medis professional, bila ada keraguan, maka dapat
dikonsultasikan kepada psikiater atau psikolog yang berpengalaman di bidang ini.

Apabila kasus seperti diatas terjadi maka yang berhak menentukan persetujuan tindakan
medis untuk pasien dewasa yang tidak kompeten ialah:

a. pengacara atau wakil yang pernah ditunjuk secara sah oleh pasien untuk menentukan
suatu keputusan medis / wakil kesehatan (healthcare proxy).
b. Praktisi medis professional / dokter yang bertindak berdasarkan yang terbaik untuk
pasien
c. Pengadilan

Sementara itu, yang harus dipertimbangkan dalam penentuan keputusan yang terbaik
untuk pasien ialah:
 Kemungkinan pasien untuk kembali menjadi kompeten dalam waktu yang cukup
untuk kembali dapat menentukan suatu tindakan medis.
 Harapan dan nilai-nilai yang pasien anut sebelum dia menjadi tidak kompeten yang
berhubungan dengan keputusan tindakan medis.
 Keuntungan dan kerugian dari tindakan medis ini.

Dalam menentukan hal tersebut diatas, maka bila memungkinkan dibutuhkan adanya
diskusi dengan orang-orang yang terdekat dengan pasien tersebut untuk turut
mempertimbangkan keputusan yang akan diambil. (Mental Capacity Act . 2005).

Sementara yang dimaksud sebagai wakil kesehatan / healthcare proxy adalah suatu
dokumen legal dimana pasien menunjuk sesorang yang secara sah sebagai wakil pasien untuk
dapat menentukan suatu keputusan tindakan medis terhadap diri pasien ketika pasien tidak
kompeten untuk melakukannya. Seseorang ini haruslah yang dekat dan dipercaya oleh
pasien.

3. Sanksi Terkait Dilakukannya Tindakan Medis Tanpa Adanya Informed Consent.

Sanksi seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran :

1. Sanksi pidana
- Penyerangan (assault)
- Jika seorang dokter melakukan operasi kepada pasien tanpa persetujuan tindakan
kedokteran dapat kena sanksi pidana Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan
2. Sanksi perdata
- Pasal 1365 KUH Perdata
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”
- Pasal 1367 KUH Perdata
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang
berada di bawah pengawasannya”
- Pasal 1370 KUH Perdata
“dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau kematian seseorang karena kurang hati-
hatinya orang lain, suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban
yang lazimnya mendapat nafkah dan pekerjaan korban, berhak menuntut ganti rugi
yng harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut
keadaan”
- Pasal 1371 KUH Perdata
“Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-
hati, memberi hak kepada korban, selain mengganti biaya-biaya penyembuhan, juga
menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut”
3. Sanksi administratif
Pasl 69 UU RI No. 29 Tahun 2004
1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter,
dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa dinyatakan tidak bersalah
atau pemberia sanksi disiplin
3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa :
- Pemberian peringatan tertulis
- Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik
- Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi
Rumusan Masalah

1. Apa yang perlu dilakukan dokter sebelum melakukan tindakan amputasi pada kasus
diatas?
2. Jenis persetujuan tindakan medis macam apa yang perlu didapatkan?
3. Siapa yang berhak untuk memberikan persetujuan tindakan medis pada kasus diatas?
kondisi pasien dewasa yang tidak kompeten sementara orang yang berhak sesuai pasal
yang berlaku di Indonesia tidak berada ditempat?

Pembahasan

Sebelum melakukan tindakan medis yang berisiko tinggi seperti kasus di atas, dokter
wajib mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarga yang disebutkan dalam perundang-
undangan yang berlaku, dalam hal ini di Indonesia yang berlaku ialah Permenkes No. 290 tahun
2008. Sebelum meminta persetujuan medis, dokter wajib pula untuk menjelaskan dan memberi
pemahaman tentang tindakan medis yang akan dilakukan.

Persetujuan medis yang dimaksud di atas harus diberikan secara tertulis oleh pasien atau
orang yang berhak memberikannya sesuai dengan Undang – Undang no. 29 tahun 2004 pasal 45.
Hal ini dikarenakan tindakan medis yang akan dilakukan ialah tindakan yang invasif dan berisiko
tinggi. Persetujuan secara tertulis ini juga ditujukan untuk menghindari tuntutan pasien atas
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap dirinya.

Permasalahan selanjutnya ialah siapa yang berhak memberikan persetujuan tindakan


medis pada kasus diatas, sementara diketahui bahwa kondisi pasien adalah seorang dewasa yang
tidak kompeten. Dalam kasus diatas, bila dirujuk pada KKI tahun 2006, maka yang boleh
memberikan persetujuan tindakan medis adalah keluarga secara berurutan ialah suami/ istri,
orang tua, anak kandung, saudara kandung, dan apabila keluarga tidak ada maka yang berhak
selanjutnya pengampu / wali. Namun dalam kasus di atas juga diketahui bahwasannya keluarga
terdekat pasien adalah sepupunya yang tinggal jauh dari pasien serta sudah tidak pernah bertemu
dengan pasien selama 10 tahun terakhir. Meskipun aturan yang mengatur tentang
diperbolehkannya seorang sepupu untuk memberikan suatu persetujuan tindakan medis belum
ada, dokter tetap berkewajiban melakukan tindakan amputasi demi menyelamatkan nyawa
pasien. Untuk masalah persetujuan tindakan medis, menurut opini penulis dokter diperbolehkan
menganggap tanda tangan seorang sepupu itu sah atas dasar adat di Indonesia yang menyatakan
bahwa siapapun yang termasuk garis keturunan seseorang maka mereka berhak bertanggung
jawab atas orang tersebut.

Kasus seperti di atas akan lebih mudah diselesaikan apabila aturan yang mengatur tentang
persetujuan tindakan medis terhadap orang dewasa tidak kompeten agar lebih diperjelas. Jika
kasus di atas diselesaikan berdasarkan aturan di luar negeri (Inggris) maka persetujuan tindakan
medis pada kasus tersebut boleh dilakukan oleh sepupu secara legal. Jikalau seorang sepupu
seperti kasus diatas sudah tidak bertemu pasien setelah sekian tahun maka keputusan ditangan
dokter, dengan didahului diskusi dengan keluarga dan orang terdekat yang dipercaya pasien.

Selain solusi di atas, sebenarnya di luar negeri telah diberlakukan suatu undang-undang yang
memudahkan bagi orang dewasa untuk tetap memiliki wakil yang bertanggung jawab terhadap
tindakan medis yang akan dilakukan pada dirinya ketika orang tersebut tidak kompeten. Wakil
tersebut diharuskan merupakan wakil langsung yang dipilih, dekat, dan dipercaya oleh pasien
dan dibuktikan dengan surat yang sah menurut hukum. Disini, wakil tersebut memiliki
kewenangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga sedarah dalam hal memutuskan
suatu tindakan medis yang akan dilakukan pada orang tersebut. Wakil tersebut dapat berupa
pengacara maupun tidak.

Anda mungkin juga menyukai