Anda di halaman 1dari 6

Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang dan

dianggap sebagai penanda pertumbuhan yang terhambat. Indonesia, salah satu negara


di Asia Tenggara, memiliki prevalensi stunting tertinggi (36,4%), diikuti oleh Filipina
(30,3%), Myanmar (29,2%), Malaysia (17,7%), dan Thailand (16,3%) [ 1 ]. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa efek stunting terjadi baik dalam bentuk jangka
pendek maupun jangka panjang antara lain gangguan pertumbuhan linier, penurunan
fungsi kognitif, gangguan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan metabolisme yang
pada akhirnya meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti obesitas, hipertensi,
dan diabetes melitus [ 2]. Hoffman dkk. menunjukkan bahwa oksidasi lemak sering
terjadi pada anak-anak dengan stunting, dengan kecenderungan terjadinya
penimbunan lemak di daerah perut. Ini sering memprediksi terjadinya penyakit
metabolik [ 3 , 4 ].

Seorang anak didiagnosis stunting jika ukuran tinggi badannya lebih rendah dari
standar tinggi badan yang ditetapkan sesuai dengan usianya (nilai tinggi-untuk-usia
rendah). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stunting didefinisikan sebagai
tinggi-untuk-usia- skor z (HAZ) di bawah -2 standar deviasi (di bawah -2 SD) pada
bagan standar pertumbuhan WHO berdasarkan jenis kelamin [ 5 ]. Tinggi badan
merupakan salah satu parameter penting status kesehatan. Meskipun tinggi badan
balita dalam 2 tahun pertama kehidupan ditentukan oleh kesehatan ibu selama
kehamilan dan nutrisi serta pertumbuhan intrauterin, tinggi juga mencerminkan adaptasi
metabolik yang optimal, pematangan organ, dan risiko penyakit di masa dewasa [ 6 ].

Menurut Onyango et al. dan Arimond dan Ruel, keragaman makanan yang dikonsumsi
terkait dengan pertumbuhan, yaitu konsumsi lebih banyak jenis makanan memastikan
pertumbuhan linier yang lebih baik pada bayi [ 7 , 8 ]. Salah satu penyebab stunting
adalah kurangnya makronutrien dan mikronutrien jangka panjang. Salah satu fungsi
utama makronutrien adalah sebagai sumber energi. Kekurangan energi menyebabkan
berbagai gangguan termasuk gangguan pertumbuhan [ 9]. Energi dibutuhkan untuk
semua aktivitas metabolisme; Oleh karena itu, mekanisme yang mendasari gangguan
dalam tubuh akibat kekurangan energi bisa sangat kompleks. Salah satu makronutrien
yang penting adalah protein, dengan kualitas yang sangat penting. Hal ini berdasarkan
penelitian Uauy et al., Yang menyatakan bahwa protein berkualitas tinggi pada
makanan pendamping telah dibuktikan efektif dalam meningkatkan pertumbuhan
[ 10 ]. Demikian pula, dalam sebuah studi oleh Ghosh et al. di negara berkembang, ada
hubungan terbalik antara kejadian stunting dan kualitas protein [ 11]. Kualitas protein
sangat penting karena asam amino sebagai komponen utama protein juga memiliki
fungsi penting dalam pertumbuhan. Asam amino yang tidak mencukupi dalam tubuh
dapat menyebabkan gangguan sintesis protein dan pada akhirnya mempengaruhi
aktivitas tubuh termasuk pertumbuhan. Misalnya, arginin merupakan salah satu asam
amino fungsional yang diketahui memiliki peran langsung dalam pertumbuhan. Hal ini
terkait dengan pelepasan hormon pertumbuhan (GH) dan penghambatan somatostatin
[ 12 ]. Sebaliknya, lisin mempengaruhi pertumbuhan melalui perannya dalam biosintesis
karnitin, penyerapan kalsium, dan biosintesis kolagen [ 13 ].

Selanjutnya, mikronutrien penting untuk pertumbuhan termasuk seng, vitamin A, zat


besi, dan kalsium. Misalnya, Gibson et al. dan Tabatadze et al. menunjukkan bahwa
kadar seng dalam serum dan rambut lebih rendah pada anak-anak dengan stunting
dibandingkan pada mereka yang tidak mengalami stunting [ 14 , 15 ]. Sebaliknya,
Brown et al. menunjukkan bahwa suplementasi seng dapat meningkatkan berat badan
dan pertumbuhan linier secara signifikan [ 16 ]. Studi lain mendukung pentingnya
vitamin A dalam pertumbuhan. Misalnya, Abedi et al. menunjukkan bahwa di India, ada
hubungan yang kuat antara kejadian stunting dan asupan vitamin A yang tidak
memadai [ 17 ].

Asam amino (seperti arginin dan lisin), kalsium, seng, zat besi, dan vitamin A ditemukan
pada belut. Belut bicolor adalah ikan asli Indonesia. Ini adalah ikan katadrom laut yang
bertelur di air laut, hidup di air tawar (sungai dan danau) di masa dewasa, dan
kemudian kembali ke laut dalam untuk bereproduksi.

Suplemen nutrisi sangat penting untuk perbaikan fenotipe pengerdilan. Suplemen ini


harus dirancang, dan administrasi mereka harus dipantau dengan hati-hati untuk
mencegah anak-anak dengan masalah pertumbuhan risiko kelebihan berat badan
[ 18]. Kementerian Kesehatan Indonesia telah memprakarsai program biskuit untuk
membantu mengurangi gizi buruk pada anak. Biskuit ini telah dibagikan kepada anak-
anak kurang gizi berusia di bawah 5 tahun. Namun, program ini tidak termasuk biskuit
yang diperuntukkan bagi anak-anak stunting. Oleh karena ikan ini mengandung nutrisi
penting untuk pertumbuhannya, maka peneliti menciptakan jajanan berupa biskuit yang
dilengkapi belut yang ditargetkan untuk anak-anak penderita stunting. Tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis pengaruh suplementasi biskuit belut terhadap tinggi
badan anak stunting usia 36-60 bulan.

Berdasarkan data yang sama, provinsi-provinsi dengan kasus stunting terbanyak


berdasarkan jumlah kabupaten/kotanya antara lain Papua (ada di 27 kabupaten/kota),
NTT (21), Jawa Barat (20), Jawa Timur dan Jawa Tengah (masing-masing 16),
Sumatra Utara dan Papua Barat (masing-masing 15), Sulawesi Selatan (11), Aceh (10),
dan NTB (8).

Ketua Umum IndoHCF Dr dr Supriyantoro SpP MARS mengatakan kasus stunting atau
kegagalan tumbuh kembang anak akibat malnutrisi kronis di Indonesia menjadi
pekerjaan besar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Terlebih nominal target yang dituju
Presiden Jokowi terbilang sangat ambisius yakni 14 persen pada tahun 2024
mendatang.
 
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi balita stunting di
tahun 2018 mencapai 30,8 persen di mana artinya satu dari tiga balita mengalami
stunting. Indonesia sendiri, kata dia, merupakan negara dengan beban anak stunting
tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.
 
Supriyantoro menerangkan stunting tidak hanya dialami keluarga miskin, namun juga
mereka yang berstatus keluarga mampu atau berada. Stunting, kata dia, tidak hanya
mengganggu pertumbuhan fisik, namun juga terganggunya perkembangan otak.
Penyebab masih tingginya angka stunting di Indonesia sangat kompleks.
 
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya informasi pada masyarakat tentang
pentingnya memperhatikan asupan gizi dan kebersihan diri pada ibu hamil dan anak
dibawah usia dua tahun. Selain itu kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi
seimbang serta pemberian ASI yang kurang tepat.
 
"Pencegahan stunting dilakukan dengan upaya mengawal 1.000 hari pertama
kehidupan (HPK) dengan program pemberian makan bayi dan anak (PMBA) termasuk
ASI Eksklusif, makanan pendamping ASI, dan menyusui sampai 2 tahun atau lebih.
Pekerjaan rumah ini tidak bisa dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Butuh kerjasama
lintas sektor untuk mencapai target tersebut. Istilahnya konvergensi atau keroyokan,"
imbuhnya.
 
Supriyantoro mengatakan diperlukan analisis dan pendekatan gizi kesehatan
masyarakat secara komprehensif untuk dapat secara efektif merancang program yang
berbasis evidence dan berfokus pada pencegahan. Program tersebut, kata dia, perlu
keterlibatan seluruh stakeholders dan sifatnya harus memberdayakan masyarakat.
 
Menurut Supriyantoro, persoalan stunting tidak bisa dipandang sepele. Anak dengan
kondisi stunting cenderung memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Tidak hanya itu,
pada usia produktif, individu yang pada balita dalam kondisi stunting berpenghasilan 20
persen lebih rendah. Kerugian negara akibat stunting diperkirakan mencapai sekitar
Rp300 triliun per tahun. Stunting pun dapat menurunkan produk domestic bruto negara
sebesar 3 persen.
 

iaran Pers Nomor: B- 290  /Set/Rokum/MP 01/11/2020


Jakarta (4/11) – Persoalan stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita
sehingga memiliki tubuh terlalu pendek dibandingkan anak seusianya, masih menjadi
tantangan besar yang dihadapi bangsa ini. Berdasarkan Global Nutrition Report pada
2018 menunjukkan Prevalensi Stunting Indonesia dari 132 negara berada pada
peringkat ke-108, sedangkan di kawasan Asia Tenggara prevalensi stunting Indonesia
tertinggi ke dua setelah Kamboja. 
“Angka ini tentunya sangat mengkhawatirkan, mengingat sumber daya paling berharga
bagi suatu negara adalah sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Masa depan
bangsa kita berada di tangan 79,55 juta anak Indonesia (BPS, 2019). Maka, dapat kita
bayangkan pentingnya pemenuhan hak anak kita saat ini demi kualitas sumber daya di
masa depan. Adapun beberapa faktor penyebab stunting yaitu akibat praktek
pengasuhan yang kurang baik, masih terbatasnya layanan kesehatan, masih kurangnya
akses keluarga terhadap makanan bergizi, kurangnya akses pada air bersih dan
sanitasi. Untuk itu, seluruh pihak harus mengoptimalkan perbaikan gizi demi
memastikan pemenuhan gizi seimbang bagi anak,” ungkap Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga dalam Webinar Kata Data
Regional Summit dengan tema ‘Strategi Mencegah Stunting di Tengah Pandemi.’
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menginstruksikan bahwa pembangunan
SDM, termasuk anak merupakan fokus pembangunan pada 2024. Oleh karena itu,
menjadi kewajiban seluruh pihak untuk memperhatikan tumbuh kembang anak, mulai
sejak dalam kandungan, bayi, sampai mereka memasuki masa emas. 
Menteri Bintang menegaskan perlunya membangkitkan kesadaran semua pihak akan
pentingnya pencegahan stunting, apalagi dengan adanya bencana non alam pandemi
Covid-19. “Hal ini menjadi momentum tepat untuk mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), sejalan dengan upaya
mewujudkan pemulihan kesehatan dan pemerataan yang berkelanjutan,” ujar Menteri
Bintang.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, angka


stunting nasional mengalami penurunan dari 37,2 % pada 2013 menjadi 30,8 % pada
2018. Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, angka ini
menurun menjadi 27,7 %. Penurunan angka stunting telah dinyatakan sebagai program
prioritas nasional. Saat ini, Pemerintah terus bergerak menata perangkat pelaksanaan
percepatan pencegahan stunting dan menyusun Strategi Nasional (Stranas)
Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) 2018-2024. Pemerintah melalui
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, juga
menetapkan target angka stunting nasional agar bisa turun mencapai 14 %.

Menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo pada 8 Mei 2020 terkait Strategi
Percepatan Penurunan Stunting di masa pandemi Covid-19, Kemen PPPA telah
melakukan berbagai upaya dalam mempercepat pencegahan stunting, yaitu
memberlakukan mekanisme fleksibilitas bekerja dari rumah (work from home),
termasuk bagi perempuan yang menyusui dan/atau mempunyai anak usia dibawah 3
tahun, agar dapat memperhatikan kebutuhan gizi seimbang bagi tumbuh kembang
anak; menghadirkan Layanan Kesehatan Jiwa Nasional (SEJIWA) yang dapat diakes
melalui nomor telepon 119 ext. 8 untuk memenuhi hak-hak perempuan dan anak yang
terdampak Covid-19, termasuk bagi ibu hamil dan menyusui.
Selain itu, menginisiasi gerakan bersama jaga keluarga kita (#BERJARAK) yang
menghasilkan berbagai KIE terkait perlindungan perempuan dan anak di masa
pandemi, termasuk Panduan Menyusui dalam Situasi Pandemi COVID-19 yang dapat
diunduh pada portal https://berjarak.kemenpppa.go.id. Melakukan pilot project dalam
bentuk program Kampung Anak Sejahtera (KAS) di 8 (delapan) desa dengan angka
stunting tinggi, yaitu melalui pemberian makanan tambahan bagi balita; edukasi gizi
seimbang dan sanitasi layak anak bagi keluarga dan ibu hamil; pelatihan pengasuhan
berbasis hak anak; edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja; dan keterampilan
pengolahan bahan pangan lokal untuk makanan pendamping ASI dan makanan sehat.
Pasca 4 bulan dilaksanakannya kegiatan tersebut, dilakukan evaluasi dan 16 % anak
dari delapan desa tersebut diketahui mengalami peningkatan status gizi.
“Saya selaku Menteri PPPA mengajak semua pihak mulai dari pemerintah pusat
maupun daerah, lembaga, dunia usaha, masyarakat, dan media massa untuk bersinergi
demi pemenuhan gizi anak yang tepat, serta pemenuhan hak anak untuk menekan
angka stunting di Indonesia, khususnya dalam masa pandemi ini agar anak Indonesia
menjadi anak yang berkualitas sesuai cita-cita Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 dan
Indonesia Emas 2045, yaitu menjadi anak cerdas, kreatif, peduli dan memiliki sikap
kepemimpinan. Anak terlindungi, Indonesia Maju,” tegas Menteri Bintang.
Pada acara ini, Ketua Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) Sekretariat
Wakil Presiden, Iing Mursalin menuturkan jika pandemi berlarut-larut, ada kemungkinan
target pemerintah untuk menurunkan stunting sebesar 14% pada 2014 tidak akan
tercapai. Namun pemerintah terus berkomitmen menetapkan pencegahan stunting
sebagai prioritas nasional meskipun di tengah kondisi pandemi. Salah satu upaya
pemerintah dalam mempercepat upaya tersebut, yaitu mengeluarkan panduan terkait
layanan kesehatan bagi ibu hamil dan balita di masa pandemi khususnya di daerah
zona merah, yaitu Panduan Gizi Seimbang Pada Masa Pandemi Covid-19 yang dapat
diakses pada tautan berikut ini https://covid19.go.id/storage/app/media/Materi
%20Edukasi/final-panduan-gizi-seimbang-pada-masa-covid-19-1.pdf.

“Presiden menargetkan penurunan stunting secepatnya. Tentunya pemerintah tidak


bisa bekerja sendiri, perlu sinergi, komitmen dan inovasi baik dengan lembaga
masyarakat terutama pemerintah daerah. Pentingnya konvergensi antar program,
sehingga bisa menyasar kelompok masyarakat terkecil.  Adapun strategi penurunan
stunting dilakukan melalui 5 (lima) pilar, yaitu (1) komitmen dan visi kepemimpinan; (2)
kampanye dan perubahan perilaku; (3) konvergensi program pusat, daerah dan desa;
(4) ketahanan pangan dan gizi; serta (5) pemantauan dan evaluasi,” terang Iing.

Sependapat dengan Iing, Ketua Pergizi Pangan dan Ketua Asosiasi Nutrisi,
Hardiansyah, menekankan pentingnya melakukan strategi penurunan angka stunting
melalui edukasi dan pemenuhan kebutuhan gizi dan sanitasi perubahan perilaku
khususnya pada Ibu hamil dan memastikan pertumbuhan bayi tetap baik mulai dari
dalam kandungan sampai setelah lahir. Hardiansyah juga menyampaikan bahwa target
penurunan stunting menjadi 14% sangat berat untuk dicapai dalam kondisi normal, apa
lagi di tengah pandemi. Untuk itu, diperlukan komitmen di tingkat tinggi melalui berbagai
kebijakan/regulasi, mengembangkan inovasi, SDM, dan kelembagaan demi
memperluas cakupan program. “Pentingnya memperkuat kualitas program yang ada
dengan kreativitas dan inovasi berbasis budaya sesuai potensi masing-masing daerah.
Hal ini akan mendorong terjadinya percepatan target penurunan stunting di Indonesia,”
ungkap Hardiansyah.
Bupati Bantaeng, Ilham Syah Azikin menyampaikan berbagai praktik terbaik yang
dilakukan Kabupaten Bantaeng dalam menurunkan angka stunting, mengingat
Bantaeng merupakan Kabupaten yang memiliki angka stunting terendah di Provinsi
Sulawesi Selatan yaitu 21% (Riset Kesehatan Dasar, 2018). Ilham bersama jajarannya
telah melakukan upaya percepatan penanganan stunting melalui dukungan
regulasi/kebijakan dan inovasi pelayanan publik pendukung. Salah satunya dengan
mengesahkan Peraturan Bupati Bantaeng Nomor 71 Tahun 2019 tentang Konvergensi
Program Percepatan Pencegahan Stunting. 
“Peraturan ini menjadi komitmen kami untuk mendorong para perangkat daerah agar
bertanggungjawab sesuai bidangnya dalam menangani stunting, yaitu melalui intervensi
kebijakan dan pemanfaatan dana desa. Adapun berbagai inovasi program dan
kebijakan yang kami lakukan yaitu melalui program Terminal Darah Puskesmas,
Bendera Saskia (Satu Bendera Satu Sasaran Kesehatan Ibu dan Anak), Ulang Tahun
di Posyandu, Kader Kesehatan (Gizi, KIA, Kesehatan lingkungan, dan lain-lain),
Persalinan Fasilitas Kesehatan Jemput Antar, PSC (Public Safety Center), Surveilans
Berbasis Sekolah, serta memberikan Sertifikat ASI Ekslusif dan Sertifikat Imunisasi
Dasar Lengkap (IDL) bagi ibu,” jelas Ilham.

Sama halnya dengan Ilham, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Barat,
Tuwuh mengungkapkan bahwa Kabupaten Sumbawa Barat memiliki angka stunting
terendah di Provinsi NTB, yaitu 18,32% (Rikesdas, 2018). Bagi Tuwuh, angka ini cukup
menggembirakan sekaligus menjadi tantangan mengingat diperlukan usaha keras untuk
mempertahankan bahkan menurunkan angka stunting di wilayahnya. Tuwuh
menuturkan ada dua kerangka intervensi stunting yang dilakukan Pemerintah Indonesia
dan diterapkan di Sumbawa Barat, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi
Sensitif.
Adapun berbagai strategi yang dilakukan pemerintah daerah dalam mencegah Stunting
di Kabupaten Sumbawa Barat, yaitu dengan menerapkan Program Daerah
Pemberdayaan Gotong Royong (PDPGR), antara lain melakukan Rapat Koordinasi
Konvergensi Tim Stunting Secara Berkala dan melaksanakan Forum Yasinan.

PUBLIKASI DAN MEDIA 


KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : publikasi@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id

Anda mungkin juga menyukai