Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leukemia atau yang dikenal sebagai kanker darah merupakan
keganasan yang menyerang jaringan pembentuk darah atau yang dikenal
sebagai sumsum tulang (Keene, 2018). Leukemia dapat menyerang semua
jenis usia dengan insidensi yang paling sering terjadi adalah pada anak
(WHO, 2015). Dari semua jenis kanker pada anak-anak, leukemia
merupakan jenis kanker yang terjadi sekitar 29% pada anak-anak yang
berusia 0-14 tahun (ACS, 2018). Sebagian besar leukemia yang dialami
oleh anak adalah yaitu leukemia limfoblasitk akut (LLA) (Emadi & Karp,
2017). Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan bentuk leukemia
yang paling lazim dan paling umum dijumpai pada anak yaitu terhitung
sekitar 74% (ACS, 2018). Prevalensi leukemia dari seluruh negara
ditemukan sebanyak 2,4% kasus baru dan 3,2% kasus kematian yang
terjadi di tahun 2018 (Global Cancer Statistic, 2018). Data dari American
Cancer Society (ACS) menunjukkan bahwa di
Di Indonesia, kasus baru dan kasus kematian akibat leukemia
cenderung meningkat setiap tahunnya, dimana pada tahun 2010 terdapat
19 kasus baru dan 31 kasus kematian, pada tahun 2011 tidak terjadi
peningkatan kasus baru yaitu tetap pada angka 19 kasus baru, namun
terjadi peningkatan kasus kematian menjadi 35 kasus, pada tahun 2012
terjadi peningkatan kasus baru dan kematian menjadi 23 kasus baru dan 42
kasus kematian, dan tahun 2013 terjadi peningkatan lagi menjadi 30 kasus
baru dan 55 kasus kematian (Riskesdas, 2013).
Pada tahun2014 mengalami peningkatan kembali menjadi 46
kasus leukemia (Kemenkes, 2015). Sumatera Barat merupakan provinsi
yang memiliki prevalensi 2,47% dengan penyakit kanker kedua terbanyak
setelah provinsi Yogyakarta 4,9% (Riskesdas, 2018). Kota Padang,
khususnya di RSUP Dr. M. Djamil Padang menunjukan bahwa terjadi
peningkatan kasus leukemia lympoblastic akut (LLA) pada anak yang

1
berusia 0-14 tahun dari tahun 2016-2018. Pada tahun 2016 tercatat 51
kasus anak penderita LLA, lalu terjadi peningkatan pada tahun2017yaitu
tercatat 89 kasus anak penderita LLA, dan terjadi peningkatan kembali
pada tahun 2018, yaitu tercatat sebanyak 144 anak penderita LLA (Data
Rekam Medik Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2016,
2017, 2018).
1.2 Rumusan Masalah
A. Apa pengertian penyakit Leukemia?
B. Apa jenis – jenis penyakit Leukemia?
C. Bagaimanakah etiologi penyakit Leukemia?
D. Bagaimana Faktor Risiko Perkembangan penyakit Leukemia?
E. Bagaimanakah Patofisiologi penyakit Leukemia?
F. Apa sajakah manifestasi klinis penyakit Leukemia?
G. Apa sajakah pemeriksaan diagnostic penyakit Leukemia?
H. Bagaiamankah penatalaksanaan penyakit Leukemia?
I. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien penyakit Leukemia?
1.3 Tujuan
A. Tujuan istruksional umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gangguan sel
darah putih (leukemia).
B. Tujuan instruksional khusus
Mengetahui etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan dan pencegahan pada
penyakit Leukemia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Leukemia
Manifestasi umum Leukimia adalah proliferasi yang tidak teratur
atau akumulasi sel darah putih (WBC) disumsu tulang. Selain itu, dijumpai
pula profilerasi dihati dan limpa serta invasi ke organ lain, seperti
maninges, nodus limfe, gusi dan kulit. Biasanya Leukimia
diklarifikasikansesuai dengan jalur sel indukyang terganggu, baik limfoid
maupun meloid. Leukimia juga diklarifikasikan sebagai Leukimia akut
(Awita Mendadak) atau Leukiia kronis(Terjadi waktu dalam beberapa
bulan sampai beberpa tahun) Penyebabnya tidak diketahui. Sejumlah bukti
menunjukkan adanya keterlibatan pengaruh genetik dan patogenesis virus.
Keruakan susum tulang akibat pajanan radiasi atau zat kimia seperti
benzena dan agens pengalkil dapat juga menyebabkan Leukimia.(Brunner
& Suddarth 2014)
2.2 Jenis Leukemia
Leukemia digambarkan sebagai akut atau kronis, bergantung pada
cepat tidaknya kemunculan dan bagaimana diferensiasi sel-sel kanker yang
bersangkutan. Sel-sel leukemia akut berdiferensiasi dengan buruk,
sedangkan sel-sel leukemia kronis biasanya berdiferensiesi dengan baik.
Leukemia juga digambarkan berdasarkan jenis sel yang
berproliferasi. Sebagai contoh, leukemia limfoblastik akut, merupakan
leukemia yang paling sering di jumpai pada anak, menggambarkan kanker
dari turunan sel limfosit primitive. Leukemia granulostik adalah leukemia
eosinofil, neutrofil, atau basofil. Leukemia pada orang dewasa biasanya
limfositik kronis atau mielobastik akut. Angka kelangsungan hidup jangka
panjang untuk leukemia bergantung pada jenis sel yang terlibat, tetapi
berkisar sampai lebih dari 75% untuk leukemia limfositik akut pada masa
kanak-kanak, merupakan angka statistic yang luar biasa karena penyakit
ini hamper brsifat fatal.
Pembagian penyakit leukemia terdiri dari:

3
A. Leukemia limfositik akut (LLA)
Leukemia limfoblastik akut adalah leukemia (ALL) terjadi akibat
proliferasi sel sel imatur (limfiblas) yang tidak terkontrol dari
limfoblas ALL paling sering dijumpai oleh anak anak kecil, anak laki
laki ering terkena dibandigkan anak perempuan , dengan puncak
insidensi pada usia 4 tahun . Setelah usia 15 tahun, ALL jarang terjadi.
Terapi untul Leukimia terhadap anak anak telah mengalami kemajuan
sehingga sekitar 80% anak anak dapat bertahan hidup minimal selama
5 tahun.
Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah keganasan yang paling
sering dijumpai pada populasi anak-anak. Di Amerika Serikat,
leukemia limfoblastik akut lebih sering dijumpai pada pria daripada
wanita dan lebih sering pada ras kaukasia daripada Afrika-Amerika.
Puncak usia terjadinya leukemia limfoblastik akut adalah kira-kira 4
tahun, walaupun walaupun penyakit ini dapat mengenai semua usia.
Individu-individu tertentu, seperti penderita Sindrom Down dan
ataksia-telangieksis sangat beresiko mengalami penyakit ini.
Penyebabnya tidak di ketahui, walaupun dapat berkaitan dengan factor
genetic, lingkungan, infeksi, dan di pengaruhi imun. Gejala pada saat
pasien datang berobat adalah pucat, fatigue, demam, pendarahan,
memar. Nyeri tulang sering di jumpai, dan anak kecil dapat datang
untuk dievaluasi karena karena pincang atau tidak mau berjalan. Pada
pemeriksaaan fisik dijumpai adanya memar, petekie, limfadenopati dan
hepatosplenomegali. Evaluasi laboratorium dapat menunjukan
leukositosis, anemia, dan trombositopenia. Pada kira-kira 50% pasien
pasien di temukan jumlah leukosit melebihi 10.000/mm3 pada saat
didiagnosis, dan pada 20% pasien melebihi 50.000/mm 3. Neutopenia
(jumlah neutrofil absolute kurang dari 500/mm3) sering dijumpai.
Limfoblas dapat melaporkan di darah perifer, tetapi pemeriksa yang
berpengalaman dapat melaporkan limfoblas tersebut sebagai limfosit
atipik. Diagnosis pasti leukemia di tegakkan dengan melakukan
aspirasi sumsum tulang yang meperlihatkan limfoblas lebih dari 25%.

4
Sebaikmya juga dilakukan pe,eriksaan imunologik,sitogenik, dan
karakter biokimiawi sel. Cairan spinal juga perlu diperiksa karena
sistem saraf pusat merupakan tempat persembunyian penyakit
ekstramedular. Factor-faktor prognostic seperti jumlah leukosit awal
dan usia pasien menetukan pengobatan yang diindikasikan. Pasien-
pasien yang berisiko tinggi memrlukan terapi yang lebih intensif.
Kebanyakan rencana-rencana pengobatan berlangsung selama 2-3
tahun dan dimulai dengan fase induksi remisi yang bertujuan untuk
menurunkan beban leukemik yang berdeteksi menjadi kurang dari 5%.
Fase terapi berikutnya bertujuan untuk menurunkan dan akhirnya
menghilangkan semua sel leukemik dari tubuh. Terapi preventif pada
saraf pusat termasuk didalam semjua protocol terapi. Kemoterapi
dengan beberapa obat merupakan terapi utama, walaupun pada
beberapa pasien yang berisiko tinggi dilakukan radiasi pada sistem
saraf pusat. Transplantasi sumsum tulang merupakan pendekatan
pengobatan lain yang dilakukan pada anak yang mengalami relaps
sumsum tulang. Tempat relaps lain adalah sistem saraf pusat dan testis.
Prognosis untuk daya tahan tubuh hidup bebas penyakit yang lain lama
adalah kira-kira 75% pada semua kelompok resiko.
Sindrom lisis tumor (trias metabolic hiperurisemia,
hiperkalemia, dan hiperfofatemia) merupakan komplikasi terapi yang
terjadi ketika sel leukemia mengalami lisis sebagai respons terhadap
kemoterapi sitotoksik dan pelepasan, kandungan interaselulernya ke
dalam aliran darah. Sindrom ini sering terjadi di dalam sel yang
memiliki fraksi pertumbuhan tinggi (leukemia/limfosema sel T dan
limfoma burkitt). Hidrasi, alkalinisasi, dan pemberian aluporinal secara
agresif sebelum memulai kemoterapi dapat meringankan disfungsi
ginjal yang serius. Kedua tidakan pertama membantu ekskresi fosfat
dan asam urat, dan alupurinol mengurangi pembentukan asam urat.
Kalium sebaiknya tidak ditambahkan ke dalam cairan hidrasi. Dengan
memantau konsentrasi elektrolit dan fungsi ginjal secara kilat,
seseorang dapat menghindari berkembangnya gagal ginjal.

5
B. Leukemia limfositik kronik (CLL)
Leukimia limfositik kronik (CLL) adalah kanker yang bisa
terjadi dimasa dewasa lanjut, usia rata-rata saat diagnosis adalah 72
tahun. Penyakit ini diturunkan dari klon ganas limfosit B. Hipotesis
awal menyatakan bahwa sel ini dapat melarikan diri dari apoptosis atau
kematian sel yang diprogram, namun hipotesis ini kini dipertanyakan.
Sebagian besar leukimia pada kasus CLL sangat matang, dengan
demikian CLL ini cenderung menjadi gangguan yanglebih ringan
dibandingkan dengan bentuk akutnya. Penyakit ini diklasifikasikan
kedalam 3 atau 4 stadium (2 sistem klasifikasi digunakan saat ini).
Pada stadium awal terjadi peingkatan jumlah limfosit dapat mencapai
lebiih 1000/mm3.penyakit biasanya didiagnosis selama pemeriksaan
fisik atau terapi untuk penyakit lain.
C. Leukimia Mieloid Akut (AML)
Leukimia Mieloid Akut (AML) terjadi akibat defek didalam sel
induk hematopoitik yang berdiferensiasi menjadi semua sel-sel
meloid : monosit, granulosit (neutrofil, basofil, eosinofil), eritrosit, dan
trombosit. Leukimia mieloid akut dapat diklasifikasikan lebih lanjut
kedalam tujuh sub kelompok berbeda berdasarkan sitogenetik,
histologi dan morfologi (tampilan) blas. Semua kelompok usia dapat
terkena penyakit ini. Insidensi meningkat seiring dengan penigkatan
usia dan memuncak pada usia 67 tahun. Ini dalah jenis leukimia
nonlimfositik yang paling sering terjadi kematian biasanya terjadi
sebagai akibat sekunder dari infeksi atau hemoragi.
D. Leukimia Mieloid Kronis (CML)
Leukimia mieloid kronis muncul akibat mutasi dalam sel induk
mieloid. Banyak jenis sel yang terdapat didalam darah, dari bentuk
blas sampai neutrofil matur. Abnormalitas sitogenetik yang disebut
kromosom philadelphia ditemukan pada 95% pasien. CML tidak lazim
terjadi sebelum usia 20 tahun, tetapi insidensi menngkat seiring dengan
usia (usia rerata adalah 67 tahun) . CML memiliki tiga stadium: kronis
transformasi, dan akselerasi atau krisis blas. Sumsum tulang

6
mengalami ekspansi ke rongga tulang panjang, da sel sel dibentuk di
dalam hatida limpa, yang menyebabkan masalah pembesaran yang
terasa nyeri. Infeksi dan perdarahan jarang terjadi sampai penyakit
mengalami transformasi ke fase akut.
2.3 Etiologi
Penyebab yang belum pasti diketahui, akan tetapi terjadi faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukimia yaitu:
A. Faktor genetik : virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan
struktur gen.
B. Radiasi
C. Obat-obatan Imunosupresif, obat-obatan kardiogenik seperti
diethylstilbestrol.
D. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot.
E. Kelainan kromosom misalnya pada down syndrome.
Leukimia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari
sebagian besar leukimia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran
(radiasi) dan bahan kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat
anti kanker. Meningkatnya resiko terjadinya leukimia. Orang yang
memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya syndromadown dan
syndroma fanconi), juga lebih peka terhadap leukimia.
2.4 Faktor Risiko Perkembangan Leukemia
Faktor risiko untuk leukemia antara lain adalah predisposisi genetik
yang berhubungan dengan insiator (mutasi) yang diketahui atau tidak
diketahui. Saudara kandungan dari anak yang menderita leukemia
memiliki kecerendungan 2 sampai 4 kali lipat untuk mengalami penyakit
ini disbandingkan anak-anak lain. Kromosom abnormalitas kromosom
tertentu, termasuk sindrom Down, memiliki resiko menderita leukemia.
Pajanan terhadap radiasi, beberapa jenis obat yang menekan sumsum
tulang, dan berbagai obat kemoterapi telah dianggap meningkatkan risiko
leukemia, agens-agens berbahaya di lingkungan juga di duga dapat
menjadi factor risiko.

7
Riwayat penyakit sebelumnya yang berkaitan dengan hematopoies
(pembentukan sel darah ) telah terbukti meningkatkan risiko leukehodgkin,
myeloma multiple. Riwayat leukemia kronis meningkatkan risiko
leukemia akut.
2.5 Patofisiologi
Sebuah sel induk majemuk berpotensi untuk mengalami
diferensiasi, poliferasi dan maturasi untuk membentuk sel-sel darah
matang yang dapat dilihat pada sirkulasi perifer.

Sel induk berdiferensiasi,


poliferasi, maturasi

Sel Darah Merah

Sel induk Majemuk

Sel induk myeloid Sel induk limfoid

Enam jenis sel darah Membentuk


sirkulasi limfosit T
1. Eritrosit
Band
2. Trombosit
3. Monosit
4. Basofil Leukemia
berkembang
5. Neutrofil
6. Eusinofil

Kegagalan menjaga
keseimbangan (proliferasi
Sel leukemia tunggal dan diferensiasi

Berkembang dan memperoleh Sel ≠ bisa membedakan


mutasi tambahan melewati tahap tertentu sel
yang hematopelosis

8
Populasi sel leukemia
monoklone
Bekembang tak terkendali

2.6 Manifestasi Klinis


Selain presentasi klinis, laboratorium dan evaluasi patologi
diperlukan untuk definitif diagnosis leukimia. Tes yang paling penting
adalah sumsum tulang biopsi dan aspirasinya yang disampaikan kepada
hematopathology untuk berbagai evaluasi. Noda cytochemical sangat
membantu untuk menentukan apakah leukimia akut adalah keturunan
myeloid atau limfoid.
Umum:
Biasanya terjadi 1-3 bulan dengan gejala yang tidak jelas seperti
kelelahan, kurangnya toleransi latihan, nyeri dada dan perasaan yang tidak
enak.
Gejala:
Pasien melaporkan penurunan berat badan, malaise, kelelahan, dan
palpitasi dan dyspnea saat beraktivitas. Gajala lain yang dapat muncul
yaitu demam, menggigil, dan kerasnya sugestif infeksi, memar
(perdarahan vagina yang berlebihan, epistaksis, ekimosis dan petechiae),
nyeri tulang, kejang, sakit kepala, dan diplopia.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
A. Pemeriksaan Diagnostik Leukimia Limfoblastik Akut (ALL)
Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama
bahwa leukemia tersebut mungkin timbul.Semua jenis leukemia
tersebut didiagnosis dengan aspirasi dan biopsi sumsum tulang.Contoh
ini biasanya didapat dari tulang iliaka dengan pemberian anestesi lokal
dan dapat juga diambil dari tulang sternum. (Gale, 2000 : 185)
Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik seperti:
1) Darah tepi
a. Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering
berat dan timbul cepat.

9
b. Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l
c. Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun.

Gambar Pemeriksaan Darah Tepi pada Pasien Leukemia


d. Menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit,
limfoblast, monoblast, erythroblast atau megakariosit) yang
melebih 5% dari sel berinti pada darah tepi.

Gambar Limfoblast pada penderita Leukemia


2) Sumsum tulang
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya
diagnostik.Ditemukan banyak sekali sel primitif.Sumsum tulang
kadang-kadang mengaloblastik; dapat sukar untuk
membedakannya dengan anemia aplastik. Hiperseluler, hampir
semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), tampak
monoton oleh sel blast, dengan adanya leukomic gap (terdapat
perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang, tanpa
sel antara). System hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah

10
blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam
hitung 500 sel pada apusan sumsum tulang).

Gambar Pemeriksaan Sumsum Tulang


3) Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang
sangat diperlukan dalam diagnosis leukemia karena kelainan
kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis.

Gambar Contoh Hasil Interpretasi Pemeriksaan Sitogenik


4) Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan
klasifikasi imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan
untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis
leukemia.

11
Gambar Hasil Interpretasi immunophenotyping

B. Pemeriksaan Diagnostik pada Kronik Leukimia Myeloblast


(CML)
1) Darah Tepi
a. Leukositosis biasanya berjumlah >50 x 109 /L dan kadang –
kadang >500 x 109/L.
b. Meningkatnya jumlah basofil dalam darah.
c. Apusan darah tepi : menunjukkan spektrum lengkap seri
granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil, dengan
komponen paling menonjol ialah segmen netrofil dan mielosit.
Stab, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga dijumpai.
Sel blast kurang dari 5%.
d. Trombosit bisa meningkat, normal, atau menurun. Pada fase
awal lebih sering meningkat.
e. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase
[NAP] score) selalu rendah
2) Sumsum Tulang
Hiperseluler dengan sistem granulosit
dominan.Gambarannya mirip dengan apusan darah

12
tepi.Menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid, dengan
komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast
kurang dari 30%. Megakariosit pada fase kronik normal atau
meningkat.
3) Sitogenik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1) chromosome pada
kasus 95% kasus.
4) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi
adanya chimeric protein bcr – abl pada 99% kasus.
6) Kadar asam urat serum meningkat.
Perubahan CML dari fase kronik ke fase transformasi akut
ditandai oleh:
1) Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya.
2) Respons penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula
baik menjadi tidak adekuat.
3) Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil.
4) Blast dalam sumsum tulang >10%.
Diangnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO:
1) Blast 10 – 19 % dari WBC pada darah tepi atau dari sel sumsum
tulang berinti.
2) Basofil darah tepi > 20%.
3) Thrombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak
dihubungkan dengan terapi, atau thrombositosis (>1000 x 109/L)
yang tidak responsive pada terapi.
4) Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada
terapi.
5) Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal.
Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO:
1) Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum
tulang berinti.
2) Proliferasi blast ekstrameduler.

13
3) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsy sumsum tulang.

C. Pemeriksaan Diagnostik pada Multiple Myeloma


1) Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70%
kasus. Jumlah leukosit umumnya normal. Trombositopenia
ditemukan pada sekitar 15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel
plasma pada apusan darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali pada
pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan
pada 60% pasien. Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat
didiagnosis. Sekitar seperempat hingga setengah yang didiagnosis
akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien
menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones
yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.

Gambar Hasil Pemeriksaan Adanya Protein M pada Penderita Multyple


Myeloma

14
Gambar Keganasan Multiple Myeloma
2) Radiologi
Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi
multipel, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak,
tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang
hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla ,
mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan
tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien mieloma,
dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus.Pada
beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada
pemeriksaan radiologi.Saat timbul gejala sekitar 80-90% di
antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos
memperlihatkan:
a. Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular
tulang, terutama tulang belakang yang disebabkan oleh
keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma. Hilangnya
densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda
radiologis satu-satunya pada mieloma multiple. Fraktur
patologis sering dijumpai.
b. Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan
dengan osteoprosis senilis.

15
c. Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang
jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal
scalloping.
d. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks ,
menghasilkan massa jaringan lunak.
e. Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut
ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak
kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%,
panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%.

Gambar Radiologi Pasien Multiple Myeloma

3) CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada
mieloma. Namun, kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti,
dan umumnya CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena gambaran
pada foto tulang konvensional menggambarkan kebanyakan lesi
yang CT scan dapat deteksi.

16
Gambar CT Scan Pada Multiple Myeloma
4) MRI
MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena
modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus,
gambaran MRI pada deposit mieloma berupa suatu intensitas bulat,
sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas
sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki
intensitas dan pola menyerupai mieloma.MRI meskipun sensitif
terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik.Pemeriksaan
tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti pengukuran
nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk
menilai plasmasitosis.Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI
dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk
mengevaluasi kompresi tulang.
5) Angiografi
Gambaran angiografi tidak spesifik.Tumor dapat memiliki
zona perifer dari peningkatan vaskularisasi.Secara umum, teknik
ini tidak digunakan untuk mendiagnosis multipel mieloma.

2.7 Penatalaksanaan

17
A. Kemoterapi
1) Kemoterapi pada penderita LLA
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun
tidak semua fase yang digunakan untuk semua orang.
2) Kemoterapi pada penderita LMA
a. Fase induksi : fase induksi adalah regimen kemoterapi yang
intensif bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukimia secara
maksimal sehingga tercapai remisi komplit.
b. Fase konsolidasi : fase konsolidasi adaah dilakukan sebagai
tindak lanjutdari fase induksi. Kemoterapi konsolidasi
biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau
lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi.
Dengan pengobatan modern, angka remisi 50-75%, tetapi
angka rata-rata hidup masih 2 tahun dan yang dapat hidup
lebih dari 5 tahun hanya 10%.
3) Kemoterapi pada penderita LLK
Derajat penyakit LLK harus ditetapkan karena menentukan
strategi terapi dan prognosis. Salah satu siste penderajatan yang
dipakai adalah klasifikasi RAI :
a. Stadium 0 : limfositosis darah tepi dan sumsum tulang.
b. Stadium 1 : limfositosis dan limfadenopati
c. Stadium 2 : limfositosis dan splenomegali/hepatomegali
(pembengkakan hati).
d. Stadium 3 : limfositosis dan anemia (Hb<11gr/dl).
e. Stadium 4 : limfositosis dan trombositopenia <100.000mm3
Dengan atau tanpa gejala pembesaran hati, limpa, kelenjar.
Terapi untuk LLK jarang mencapai kesembuhan karena tujuan
terapi bersifat konvensional, terutama untuk mengendalikan gejala.
Pengobatan tidak diberikan kepada penderita tanpa gejala karena
tidak memperpanjang hidup. Pada stadium 1 atau2, pengamatan
atau kemoterapi adalah pengobatan biasa. Pada stadium 3 atau 4

18
diberikan kemoterapi intensif. Angka ketahanan hidup rata-rata
adalah sekitar 6 tahun dan 25 persen pasien dapat hidup lebih dari
10 tahun. Pasien dengan stadium 0 atau 1 dapat bertahan hidup
rata-rata 10 tahun. Sedangkan pada pasien dengan stadium 3 atau 4
rata-rata dapat bertahan hidup kurang dari 2 tahun.
B. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk
membunuh sel sel leukimia.
C. Transplantasi Sum-sum Tulang
Transplantasi sum sum tulang dilakukan untuk mengganti sum
sum tulang yang rusak karena dosis tinggi kemoterapi atau terapi
radiasi. Selain itu transplantasi sum sum tulang berguna untuk
mengganti sel sel darah yang rusak karena kanker.
D. Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat akibat yang
ditimbulkan penyakit leukimia dan mmengatasi efek samping
obat.misalnya tranfusi darah untuk penderita leukimia dengan keluhan
anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik
untuk mengatasi infeksi

BAB III

19
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus Semu
An. Budi usia 7 tahun, agama Islam, alamat tinggal jln. Ratu Jambi
Cidolod, kelas 2 SD, masuk rumah sakit tanggal 8/11/2011. Klien masuk
rumah sakit dengan keluhan sesak nafas, demam, sakit kepala, lemah,
nyeri tulang dan sendi. Saat pemeriksaan fisik didapatkan: menggunakan
otot bantu nafas, CRT > 3 detik, , konjungtiva anemis, akral dingin, BB
klien turun dari 25 kg menjadi 22 kg, mual (+) dan muntah (+). Selain itu
terdapat pembesaran limfa (splenomegali) dan hati (hepatomegali). Dari
hasil pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh : TD : 80/50 mmHg,  N :
80x/menit, RR : 34 x/menit , S : 38,60C. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil lab : Hb: 6,7 gr/dl, leukosit: 70.500 ml 3,
trombosit: 44.000 ml.
3.2 Pengkajian
A. Anamnesa:
Identitas
Nama : An. Bd
Usia : 7 tahun
JK : Laki-laki
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jalan Ratu Jambi Cidolod
1) Keluhan Utama
An. Bd mengatakan sesak napas, demam, sakit kepala,
lemah, nyeri tulang dan sendi.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Saat dilakukan pemeriksaan pada fisik An. Bd, CRT > 3
detik, konjungtiva anemis, akral dingin, BB turun, mual dan
muntah. Selain itu, terdapat pembesaran limfa dan pembesaran
hati.
3) Riwayat Penyakit dahulu: -
4) Riwayat Penyaki Keluarga: -

20
5) Riwayat Psikososial: -
3.3 Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath):
RR 37x/menit, sesak napas, menggunakan otot bantu pernapasan yaitu otot
sternokleidomastoid.
B2 (Blood):
TD 80/50 mmHg, CRT >3detik, akral dingin, HR 80x/menit, Hb 6,7 gr/dl,
leukosit 70.500 ml3, trombosit 44.000ml3
B3 (Brain): sakit kepala
B4 (Bladder): -
B5 (Bowel):
BB turun, mual, muntah, pembesaran limfa, pembesaran hati
B6 (Bone):
Nyeri tulang dan sendi
3.4 Analisis data
N Data Etiologi Masalah
o Keperawatan
1 DS : Faktor eksternal (agent, obat- Gangguan
.  Sesak nafas obatan, radiasi) pertukaran gas
 Sakit kepala ↓
Menyebabkan sel tumbuh
DO: melebihi normal dan ganas

 RR 19 x/menit ↓

(takipnea) Sel muda yang seharusnya

 HR 80x/menit membentuk limfosit berubah

 CRT >3 detik ganas



 Akral dingin
Muncul sel kanker
 Hb 6,7 gr/dl

 SaO2 90%
Menghasilkan leukosit yang
 AGD
imatur lebih banyak
menunjukkan

hasil:
Leukosit imatur menyusup

21
Asidosis ke sumsum tulang
respiratorik ↓
Limfosit imatur
berproliferasi di sumsum
tulang belakang dan sel
perifer

Mengganggu perkembangan
sel normal

Haemopoesis normal
terhambat

Penurunan produksi eritrosit

Hemoglobin menurun

Pengangkutan O2 oleh darah
menurun

Oksigen tidak terdistribusi
dengan baik

Gangguan pertukaran gas
2 DS : F aktor eksternal (agent, Hipertermi
.  Merasa obat-obatan, radiasi)
badannya ↓
panas Menyebabkan sel tumbuh
melebihi normal dan ganas
DO : ↓
 Suhu 38,60˚C Sel muda yang seharusnya
 Demam membentuk limfosit berubah
ganas

22
 Turgor kulit ↓
menurun Muncul sel kanker
 Membrane ↓
mukosa Menghasilkan leukosit yang
kering imatur lebih banyak
 Kulit merah ↓

 Kulit teraba Leukosit imatur menyusup

hangat ke sumsum tulang

 Leukosit ↓

70.500 ml3 Limfosit imatur


berproliferasi di sumsum
tulang belakang dan sel
perifer

Mengganggu perkembangan
sel normal

Haemopoesis normal
terhambat

Penurunan produksi leukosit

Mempengaruhi system
retikulo endothelial

Gangguan pertahanan tubuh

Infeksi

Peningkatan laju metabolism

Hipertermi
3 DS : Faktor eksternal (agent, obat- Gangguan

23
.  Mual obatan, radiasi) nutrisi kurang
 Muntah ↓ dari kebutuhan
Menyebabkan sel tumbuh tubuh
DO : melebihi normal dan ganas

 BB turun ↓

yang semua Sel muda yang seharusnya

25 kg membentuk limfosit berubah

menjadi 22 ganas

kg ↓

Pembesaran Muncul sel kanker

limfa ↓

Pembesaran Menghasilkan leukosit yang

hati imatur lebih banyak


 ↓
Penurunan
Leukosit imatur menyusup
turgor kulit
 ke sumsum tulang
Membrane

mukosa
Limfosit imatur
kering
 berproliferasi di sumsum
Kelemahan

tulang belakang dan sel
Hb: 6,7 gr/dl

perifer
leukosit:70.50

0 ml3
Mengganggu perkembangan

trombosit:
sel normal
44.000 ml.

Haemopoesis normal
terhambat

Penurunan produksi eritrosit

Anemia

24
Nutrisi tidak terdistribusi
dengan baik

Lemah, nafsu makan
menurun

Nutrisi kurang dari
kebutuhan

3.5 Diagnosis Keperawatan


A. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan oksigen tidak dapat
terdistribusi dengan baik.
B. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
C. Resiko gangguan nutrisi kutrang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual, dan muntah.
3.6 Intervensi
Diagnosis Keperawatan I
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan oksigen tidak terdistribusi
dengan baik
Tujuan : Pertukaran gas dapat terdistribusi dengan baik
Kriteria Hasil : RR 24x/menit, pasien tidak mengeluhkan sakit kepala, Hb
normal, SaO2 > 95%, Hasil AGD menunjukkan nilai normal PO2 80-100,
PCO2 35-45, pH 7-7,5.
INTERVENSI RASIONAL
Atur posisi klien semifowler Posisi fowler
memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya
bernapas.
Berikan oksigen dan pantau Terapi oksigen dapat
efektifitasnya mengoreksi hipoksemia
yang terjadi akibat
penurunan ventilasi paru.
Tingkatkan pola pernapasan yang Mengoptimalkan pertukaran

25
optimal dalam memaksimalkan gas alveoli dengan pembuluh
pertukaran oksigen dan darah
karbondioksida dalam paru
Tingkatkan bedrest, batasi aktivitas Menurunkan konsumsi
dan bantu kebutuhan perawatan diri oksigen selama periode
sehari-hari sesuai keadaan pasien. penurunan pernapasan dan
dapat menurunkan beratnya
gejala
Ajarkan breathing exercise Meredakan pola nafas yang
tidak teratur
Berikan obat antiaritmia, jika perlu Memberikan perawatan
dengan memberikan bantuan
farmakologi yang dapat
menunjang proses perawatan

Diagnosis Keperawatan II
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam suhu tubuh pasien kembali normal (36,6
C – 37,2 C).
Kriteria Hasil : Suhu Normal antara 36,6 C – 37,2 C, tanda-tanda
infeksi berkurang atau hilang, kulit berwarna normal, turgor lentur,
membrane mukosa lembab.

INTERVENSI RASIONAL
Monitor tanda-tanda vital, Untuk menentukan tindakan
mengumpulkan dan dan mencegah komplikasi pada
menganalisis dara pasien.
kardiovaskular pernapasan dan
suhu tubuh.
Kompres menggunakan waslab Konduksi suhu membantu
dingin( atau kantong es yang menurunkan suhu tubuh yang
dibalut dengan kain) di aksila, memungkinkan pelepasan
kening, tengkuk, dan lipatan panas secara konduksi dan
paha. evaporasi.

26
Anjurkan menggunakan pakaian Pakaian yang minimal akan
yang berlebihan dan tutupi membantu mengurangi
pasien d pengupan tubuh.
engan selimut saja
Anjurkan asupan cairan oral, Peningkatan suhu tubuh
sedikitnya 2 L per/hari, dengan mengakibatkan penguapan
tambahan cairan selama cairan tubuh meningkat,
aktivitas yang berlebihan atau sehingga perlu diimbangi
aktivitas sedang dalam cuaca dengan intake cairan yang
panas. banyak.
Pantau suhu dan warna kulit Untuk mengetahui adanya
minimal setiap 2 jam, sesuai perubahan yang terjadi pada
dengan kebutuhan. pasien
Aktivitas kolaboratif: Memberikan perawatan dengan
Berikan obat antipiretik, jika memberikan bantuan
perlu farmakologi yang dapat
menunjang proses perawatan

Diagnosis Keperawatan III


Resiko Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, 
Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi sesuai dengan angka kebutuhan nutrisi
pasien.
Kriteria Hasil : pasien menunjukkan nafsu makan meningkat, tidak adanya
anoreksia, berat badan klien dalam keadaan stabil atau naik.
INTERVENSI RASIONAL
Identifikasi faktor pencetus mual Mengetahui faktor yang
dan muntah menyebaabkan mual dan
muntah.
Sajikan makanan dengan tampilan Meningkatkan nafsu makan
menarik yang berprotein/ kalori anak agar kebutuhan nutrisi
sangat tinggi yang disajikan pada tercukupi atau terpenuhi dan
saat individu ingin makan mendukung proses
metabolic pasien yang

27
berisiko tinggi terhadap
malnutrisi
Berikan porsi makan porsi kecil Untuk mengurangi perasaan
tapi sering (enak kali per hari tegang pada lambung
ditambah dengaan makanan kecil) sehingga diberikan
makanan sedikit tapi sering.
Pantau kebutuhan cairan dan Mencegah terjadinya
elektrolit klien kekurangan cairan dan
elektrolit pada klien
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam Bekerjasama dalam
memnutukan protein pasien yang pemberian nutrisi pasien
mengalami ketidakadekuatan agar adekuat dan tepat.
asupan protein

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di
sumsum tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah
putih dengan menyingkirkan jenis sel lain. Leukemia juga digambarkan
berdasarkan jenis sel yang berproliferasi. Sebagai contoh, leukemia
limfoblastik akut, merupakan leukemia yang paling sering di jumpai pada
anak, menggambarkan kanker dari turunan sel limfosit primitive.
Leukemia granulostik adalah leukemia eosinofil, neutrofil, atau basofil.
28
Leukemia pada orang dewasa biasanya limfositik kronis atau mielobastik
akut. Angka kelangsungan hidup jangka panjang untuk leukemia
bergantung pada jenis sel yang terlibat, tetapi berkisar sampai lebih dari
75% untuk leukemia limfositik akut pada masa kanak-kanak, merupakan
angka statistic yang luar biasa karena penyakit ini hamper brsifat fatal.
Obat yang dapat memicu terjadinya leukimia akut yaitu agen pengalkilasi,
epindophy ilotoxin. Kondisi genetik yang memicu leukimia akut yaitu
Down sindrom, bloom sydrom, fanconi anemia, ataxia telangiectasia.
Bahan kimia pemicu leukimia yaitu benzen. Kebiasaan hidup yang
memicu leukimia yaitu merokok, minum alkohol keduanya.
Sebagai salah satu tenaga kesehatan, khususnya perawat yang
sering bersama dengan pasien tentunya harus mampu untuk melakukan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sel darah putih
(leukemia). Diagnose keperawatan yang dapat ditemukan dari pasien
dengan gangguan sel darah putih adalah gangguan pertukaran gas,
hipertermi dan resiko ketidak adekuatan nutrisi. Oleh karena itu sebagai
seorang perawat harus mampu memberikan asuhan keperawatan untuk
mengembalikan kondisi pasien ke keadaan yang lebih baik.

4.2 Saran
A. Makalah ini adalah makalah yang membahas tentang asuhan
keperawatan pasien dengan Leukemia, sehingga diharapkan
bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkan.
B. Makalah ini belum memenuhi kesempurnaan, oleh karena itu
dibutuhkan perbaikan makalah ini agar lebih baik dan lengkap.
C. Setelah membaca makalah ini, pembaca dapat menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Leukemia.

29
DAFTAR PUSTAKA

Wilkinson, Judith. M, Nancy R. Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan


(Nanda, NIC,NOC). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Brinksma, Roodbol, Sulkers, Kamps, M. Boot, Burgerhof, Tamminga, Tissing.
(2014). Changes in nutritional status in childhood cancer patients: A
prospective cohort study. Journal of Clinical Nutrition. 1-8
Lughetti,Lorenzo,Bruzzi,Patrizia, Predieri, Barbara, dan Paolucci(2012).Obesityin
patients with acute lymphoblastic leukemia in childhood. Italian journal of
pediatric, 38:1-11

30
Malihi, Z., Kandiah, M., Chan, Y. M., Hosseinzadeh, M., Sohanaki Azad, M., dan
Zarif Yeganeh, M. (2013).
Nelson, Behrman, Kliegman, & Arvin. (2012). Ilmu kesehatan anak. Edisi 15
Volume 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta
: Rineka cipta.
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Simanjorang, C. (2012). Perbedaan Ketahanan Hidup 5 Tahun Pasien Leukemia
Limfoblastik Akut Dan Leukemia Mieloblastik Akut Di Rumah Sakit
Kanker Dharmais Jakarta. Tesis. FKM UI.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2012). Buku ajar keperawatan medical bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta : EGC.
Supardi. (2013). Buku ajar metodologi riset keperawatan. Jakarta : Trans Info
Media.

31

Anda mungkin juga menyukai