Resume Bab 10.-1-Dikonversi
Resume Bab 10.-1-Dikonversi
FAISHAL NIM :
19602244044
Kelas : Pko C
A. Pengertian Pernikahan
B. Tujuan Pernikahan
C. Fungsi Perkawinan
Dasar Hukum Pernikahan adalah Q.S. An-Nisa, 4:3 ; Ar-Rum, 30:21 ; An-Nur,
24:
32. Ayat tersebut menjelaskan bahwa perkawinan sebagai mitsaqan galizhan, yakni
sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya sebuah
perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul. Bisa dipahami bahwa
pernikahan merupakan sunatullah, sehingga dalam pelaksanaannya manusia tidak
bisa menyalurkan hasrat dan keinginan seksualnya secara bebas tanpa mengikuti
aturan-aturan yang berlaku. Dalam UU Perkawinan RI ditegaskan bahwa
perkawinan adalah ”berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (UU No.1, 1974,
Pasal 1), selanjutnya ada penjelasan bahwa ”Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu” (UU No 1 Tahun
1974, Pasal 2 (1)). Dan berikutnya, ”Perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku” (UU No.1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 2). Begitu
juga KHI mencatat bahwa Pencatatan Perkawinan bertujuan untuk menjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (KHI, 1991, Pasal 5).
E. Prinsip-Prinsip Pernikahan
Ada beberapa prinsip dalam pernikahan yang harus dipegangi oleh pasangan
dalam membina hubungan rumah tangga yakni:
1. Prinsip Kebebasan Memilih
Setiap orang mempunyai kebebasan memilih pasangannya selama
tidak bertentangan dengan yang telah disyariatkan dalam Alquran. (Q.S. An-
Nisa’, 4: 23-24), (Q.S.An-Nuur, 24: 3 dan 26).
2. Prinsip Musyawarah dan Demokrasi
Prinsip Musyawarah artinya segala aspek dalam kehidupan rumah
tangga harus diselesaikan dan diputuskan secara musyawarah antara suami
isteri. Sedangkan demokrasi artinya bahwa antara suami dan isteri harus
saling terbuka menerima pendapat pasangan, demikian juga dengan anak-
anak dan keluarga besar bila diperlukan. Penetapan prinsip musyawarah dan
demokrasi ini bisa dalam bentuk: memutuskan masalah yang berhubungan
dengan tempat tinggal, urusan keuangan rumah tangga.
3. Prinsip Menghindari Kekerasan
Prinsip dalam berumah tangga adalah menghindari adanya kekerasan
(violence) baik secara fisik maupun psikis. Prinsip interaksi dalam rumah
tangga yang damai, tenteram, sejahtera dan penuh kasih ini ditulis dalam
Q.S. an-Nisa, 4: 19.
4. Prinsip Hubungan yang Sejajar
Prinsip ini menegaskan bahwa suami dan isteri mempunyai hubungan
yang sejajar, isteri adalah mitra suami, suami adalah mitra isteri. Allah Swt.
Berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya: “Dihalalkan bagi
kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu;
mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa”
5. Prinsip Keadilan
Yang dimaksud keadilan adalah adil secara proporsional. Keadilan di
sini bisa dalam hal kesempatan untuk mengembangkan diri, kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, keadilan dalam berbagi
peran dalam rumah tangga, adil dalam mengasuh anak tanpa membedakan
jenis kelamin, dan lain-lain. Hal ini juga disebutkan dalam Q.S. An-Nahl, 16:
90.
6. Prinsip Mawaddah
Mengosongkan hatinya dari kehendak-kehendak buruk sebagaimana
ditegaskan dalam Q.S. Ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
7. Prinsip Rahmah
Saling mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam rangka
memberikan kebaikan pada pasangannya, saling melengkapi, serta menolak
segala hal yang mengganggu hubungan keduanya. Prinsip ini akan terwujud
ketika masing-masing pasangan menaati seluruh aturan Allah Swt. dan
Rasul- Nya.
8. Prinsip amanah/ tanggung jawab
Prinsip ini harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
melaksanakan hubungan di antara suami dan isteri dalam melaksanakan hak
dan kewajiban keduanya.
9. Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf
Perkawinan menyatukan dua orang yang semula tidak memiliki
keterkaitan hubungan keluarga. Kunci dari pencapaian tujuan berkeluarga
dan terwujudnya prinsip-prinsip seperti di atas adalah adanya hubungan yang
dibina atas dasar kebaikan dan saling memahami yang biasa disebut
mu’asyarah bil ma’ruf. Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah Alquran surat
An- Nisa ayat 19.
Perkawinan bangsa Arab masa pra Islam masih kental sekali menampakkan
nuansa patriarkhi dalam pengaturannya. Berbagai bentuk perkawinan yang ada
lebih
menempatkan perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan mengikuti
keinginan laki-laki (suami) daripada sebagai teman hidup yang bakal memberikan
keturunan kepadanya. Perempuan tidak mempunyai hak dalam menentukan
perkawinan. Yang menentukan perkawinannya adalah ayah, kakak laki-laki,
keponakan laki-laki atau saudara laki-lakinya yang lain dari pihak keluarga. Mereka
tidak mempertimbangkan apakah perempuan tadi janda atau gadis, sudah tua atau
masih di bawah umur, yang terpenting adalah menikahkan dengan laki-laki pilihan
mereka. Bentuk perkawinan yang mendominasi pada masa ini adalah perkawinan
yang bersifat kontraktual. Konsep perkawinan sebagai sebuah akad yang sakral dan
bernilai ibadah tidak tampak. Bentuk perkawinan yang ada dilangsungkan tidak
dengan ketentuan syariat Islam yang berlaku, melainkan cenderung kepada
kepentingan pihak-pihak tertentu dengan kesepakatan tradisi tersebut. Bisa dilihat
dalam beberapa contoh praktik perkawinan berikut.
Perkawinan al-daizan, yaitu bentuk perkawinan yang menetapkan bahwa
apabila suami dari seorang perempuan meninggal dunia, anaknya yang tertua
berhak untuk mengawininya. Bahkan anak tersebut punya hak untuk
mengawinkannya dengan orang lain atau melarangnya menikah sama sekali
sampai ia meninggal (Q.S An-Nisa,4: 19). Bila perempuan tersebut meninggal
dunia, dia akan mewarisi kekayaannya. Atau, perempuan tersebut boleh
membebaskan diri dengan syarat membayar uang tebusan yang disepakati.
Bentuk perkawinan yang lain adalah zawwaj al-istibda’, yakni seorang suami
akan meminta isterinya untuk bersetubuh dengan laki-laki yang dianggap mempuyai
kekuatan dan kelebihan, agar isteri tersebut bisa hamil dan mengandung anaknya.
Anak yang lahir nantinya dianggap sebagai suatu hadiah dari orang tersebut. Ada
juga yang berpendapat bahwa bentuk perkawinan ini dipraktikkan dengan
menyerahkan budak perempuan yang dikirim kepada seorang laki-laki yang kuat,
baik dan terhormat, agar dapat hamil dan melahirkan anak yang sehat. Bentuk
perkawinan yang lain adalah seorang laki-laki yang menikahi tawanan perang
perempuan, disebut nikah al-zainah. Tawanan tersebut tidak dapat menolak, selain
karena statusnya sebagai tawanan, laki-laki tersebut juga mempunyai hak penuh
untuk mengawini budak atau tawanannya. Tidak ada pembayaran maskawin atau
penyampaian khutbah nikah.
Masih banyak bentuk-bentuk perkawinan yang lain yang dirasa sangat
merendahkan martabat dan kehormatan perempuan, yang terjadi hanya sebatas
pemuasan nafsu tanpa ada nilai ibadah dan penghormatan terhadap lembaga
perkawinan. Sebut saja nikah muth’ah, poligami tanpa batas, poliandri, dan
sebagainya. Contoh-contoh perkawinan di atas merupakan beberapa dari sekian
banyak bentuk perkawinan yang mendiskreditkan kaum perempuan, yang sudah
menjadi realitas yang berlangsung selama berabad-abad. Hal ini kemudian
memunculkan suatu hukum tak tertulis bahwa nasib dan kelangsungan hidup wanita
sangat ditentukan oleh laki-laki. Dalam kasus perceraian, perempuan masa
Jahiliyah juga tidak mendapatkan apapun sebagai nafkahnya. Laki-laki mempunyai
hak mutlak dalam hal perceraian. Dengan penjelasan pada KB ini dan KB
sebelumnya,, bisa diketahui bahwa Islam sangat mengagungkan pernikahan.
Pernikahan bukan sekedar hubungan kontraktual antara keluarga laki-laki dengan
keluarga perempuan, namun mengandung unsur ibadah yang bertujuan
menciptakan ketentraman dunia akherat. Prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam,
menunjukkan asas kesetaraan. Tidak seperti masa pra Islam yang sangat tidak
menghargai kaum perempuan, Islam justru sangat menjunjung tinggi harkat dan
martabat perempuan.
KEGIATAN BELAJAR 3: KONTROVERSI PRAKTIK PERNIKAHAN
A. Poligami
Salah satu persoalan fikh munakahat yang sampai saat ini masih ramai
menjadi bahan diskusi adalah persoalan poligami. Poligami didefinisikan sebagai
system perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Membahas persoalan poligami ini pada
umumnya hampir semua kitab fikih menyoroti sisi kebolehannya saja, tanpa
mengkritisi hakikat dibalik kebolehan tersebut, baik secara historis, sosiologis
maupun anthropologis (Hasyim: 2001, 161). Para ulama fikih konvensional, yaitu
para ulama empat mazhab, mencatat bahwa Q.S. an-Nisa ayat 3 adalah
mendukung kebolehan poligami maksimal empat orang. Hanya Imam Syafi’i yang
menghubungkan konsep keadilan dalam Q.S. an-Nisa’, 4: 3 dan 129. Beliau
menyimpulkan bahwa keadilan yang dituntut oleh Q.S. an-Nisa ayat 3 adalah
keadilan yang berhubungan dengan kebutuhan fisik, karena keadilan batiniah
seperti yang tercatat dalam Q.S. an-Nisa, 4:129, mustahil akan bisa diwujudkan.
Seperti dikutib oleh Al-Jurjawi, Muhammad Abduh mengatakan dalam
fatwanya, bahwa syariat Nabi Muhammad saw. memang membolehkan laki-laki
menikahi empat orang perempuan sekaligus, hanya jika laki-laki tersebut
mengetahui kemampuan dirinya untuk berbuat adil. Jika tidak mampu berbuat adil,
maka beristeri lebih satu tidak diperbolehkan. Dalam hal ini Abduh mengutip
kelanjutan ayat yang artinya : ”Jika kamu tidak mampu berbuat adil, maka satu
saja”. Pendapat Abduh di atas sangat menekankan pada konsep keadilan yang
bersifat kualitatif dan hakiki, seperti rasa sayang, cinta dan perhatian. Hal ini sesuai
dengan kata adalah dalam Alquran yang memang mengarah kepada makna yang
kualitatif. Perkawinan masih dianggap sebagai bentuk penundukan yang didasarkan
kepada kebutuhan wanita untuk diberi nafkah materi oleh laki-laki (Wadud, 2001:
149). Makna yang terkandung dalam Q.S. An-Nisa ayat 3 Dalam memahami ayat
tersebut perlu memperhatikan beberapa catatan di bawah ini.
Yang Pertama, ayat tersebut diwahyukan untuk memberi bimbingan bagi
kaum Muslimin dalam menghadapi kondisi setelah Perang Uhud. Banyak para
sahabat yang gugur, sehingga sangat mengurangi jumlah laki-laki yang pada waktu
itu memang merupakan penopang hidup kaum perempuan. Sebagian wali laki-laki
yang bertanggung jawab untuk mengelola harta anak yatim perempuan, yang tidak
bisa menahan diri untuk berbuat adil, disarankan untuk menikahinya, atau menikahi
para janda yang anak-anaknya akan menjadi tanggung jawabnya
Kedua, bilangan dua, tiga atau empat yang tercatat dalam Q.S. An-Nisa
ayat 3 merupakan langkah pembatasan sekaligus koreksi atas tradisi poligami
tanpa batas yang berlaku pada waktu itu. Ayat tersebut harus dipahami secara
historis sosiologis dan antropologis. Turunnya ayat tersebut bisa di klarifikasikan
sebagai pembatasan jumlah isteri, dari yang sebelumnya jumlah isteri tanpa
batas.
Ketiga, jika alasan poligami didasarkan kepada kebutuhan seksual laki-laki
yang tidak terkendali dan tidak terpuaskan hanya dengan satu isteri, daripada
melakukan perbuatan maksiat seperti zina, maka diperbolehkan memperisteri dua
dan seterusnya. Setelah empat isteri, prinsip-prinsip Alquran tentang pengendalian
diri, kesederhanaan dan kesetiaan baru bisa dijalankan.
Dari beberapa pembahasan di atas, bisa dipahami bahwa kebolehan
poligami sesuai dengan ayat 3 Q.S. an-Nisa harus dimaknai sesuai dengan latar
belakang diturunkannya ayat tersebut. Sementara realita sekarang, praktik poligami
justru
menimbulkan banyak madarat dalam rumah tangga, terutama kekerasan dalam
rumah tangga. Bila justru permasalahan itu yang muncul, tujuan perkawinan sesuai
yang disyariatkan Alquran yakni membentuk keluarga yang didasari rasa cinta dan
kasih sayang tidak akan bisa tercapai.
B. Pernikahan Siri
C. Perkawinan Mut’ah