Program KOTAKU-DFAT merupakan bagian dari Program KOTAKU yang mendapat dukungan
pembiayaan dari Hibah Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). Sejalan dengan kebijakan
Presiden dan Menteri PUPR, maka Program KOTAKU-DFAT difokuskan untuk mendukung Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2020-2024, yaitu mendukung terwujudnya kota
layak huni, inklusif, dan tanpa permukiman kumuh.
Tahun 2020 Indonesia menghadapi tantangan pandemi COVID-19 yang berpengaruh sangat signifikan
terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di perkotaan. Sehingga, hibah ini juga menjadi
salah satu instrumen bantuan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi akibat dampak COVID- 19,
melalui Pola Padat Karya.
Tujuan dari penyelenggaraan Program KOTAKU-DFAT untuk mendukung tujuan Program KOTAKU
sesuai Pedoman Umum KOTAKU, yaitu: “Meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan
dasar di permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang
layak huni, produktif dan berkelanjutan”.
Program KOTAKU-DFAT dilakukan sebagai upaya penguatan elemen aksesibilitas universal, ketahanan
terhadap risiko bencana, dan/atau keberlanjutan lingkungan, terutama berkaitan dengan air minum
dan/atau sanitasi yang terdiri dari persampahan, air limbah domestik, dan drainase dengan fasilitasi
lokasi percontohan/pilot yang harapannya kemudian menjadi model pembelajaran untuk diadopsi,
diadaptasi, dan direplikasi oleh pemerintah daerah di lokasi lainnya.
Melalui buku POS ini, diharapkan dapat memberikan petunjuk pelaksanaan kegiatan program
KOTAKU-DFAT kepada semua pelaku.
Semoga bermanfaat
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………………………….ii
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………………………………………………………………..v
MENGENAI PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENYELENGGARAAN PROGRAM
KOTAKU-DFAT .............................................................................................................................. 1
1. Kedudukan ........................................................................................................................... 1
2. Pengguna ............................................................................................................................. 1
3. Acuan ................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 4
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
POS ini merupakan suplemen dari Pedoman Umum Program KOTAKU, yang menjabarkan
terkait kegiatan yang didanai dari Program KOTAKU-DFAT. POS ini menyediakan panduan yang
lebih detail bagi pemerintah kabupaten/kota tentang proses, tahapan kerja, dan substansi
penyelenggaraan kegiatan hibah.
2. Pengguna
POS ini berlaku bagi pelaku dilokasi penerima program KOTAKU-DFAT. Namun, di luar lokasi
penerima program KOTAKU-DFAT, dapat dilakukan pendampingan teknis di lokasi KOTAKU
lainnya sebagai upaya penguatan elemen aksesibilitas universal, ketahanan terhadap risiko
bencana, dan/atau keberlanjutan lingkungan, terutama berkaitan dengan air minum
dan/atau sanitasi yang terdiri dari persampahan, air limbah domestik, dan drainase.
Pengguna dan manfaat POS Penyelenggraan Program KOTAKU-DFAT dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
3. Acuan
Hal-hal lain yang belum diatur secara rinci dalam POS Penyelenggaraan Program KOTAKU-
DFAT ini akan diatur kemudian.
Program KOTAKU-DFAT merupakan bagian dari Program KOTAKU yang mendapat dukungan
pembiayaan dari Hibah Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). KOTAKU-DFAT
merupakan salah satu bentuk kolaborasi dalam upaya peningkatan kualitas permukiman
kumuh perkotaan pada Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program KOTAKU-DFAT
mendukung pengembangan inovasi melalui percontohan/pilot penanganan kumuh secara
tematik untuk lokasi kumuh dengan tantangan urbanisasi serta mengalami krisis
lingkungan/ekologis akibat pembangunan.
Sejalan dengan kebijakan Presiden dan Menteri PUPR, maka Program KOTAKU-DFAT
difokuskan untuk mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024, yaitu mendukung terwujudnya kota layak huni, inklusif, dan tanpa permukiman
kumuh dengan sasaran terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana pendukungnya. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah dapat mewujudkan
pembangunan infrastruktur permukiman yang terpadu, efisien dan efektif yang disusun dalam
sebuah dokumen perencanaan penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh
sebagai acuan pelaksanaan penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh bagi
seluruh pelaku (stakeholders) pelaksanaan penyelenggaran penanganan perumahan kumuh
dan permukiman kumuh yang menyeluruh, tuntas, dan berkelanjutan.
Pelaksanaan upaya pengurangan kumuh pada tahun pertama RPJMN 2020-2024, yakni tahun
2020 menghadapi tantangan pandemi COVID-19 yang berpengaruh sangat signifikan terhadap
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di perkotaan. Sehingga, hibah ini juga menjadi
salah satu instrumen bantuan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi akibat dampak COVID-
19, melalui Pola Padat Karya dalam penyediaan akses terhadap infrastruktur dasar
permukiman, serta upaya pembangunan permukiman yang berketahanan terhadap bencana,
termasuk pandemi.
1.2.2 Tujuan
Agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka strategi pelaksanaan yang akan dilakukan adalah
sebagai berikut:
a. Mengembangkan inovasi penanganan permukiman kumuh yang inklusif dengan
menerapkan aksesibilitas universal, berketahanan terhadap bencana (termasuk wabah),
serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan penghidupan masyarakat setempat
secara berkelanjutan;
b. Meningkatkan dukungan pencapaian akses terhadap infrastruktur dan pelayanan sarana
air minum dan sanitasi di lokasi sasaran dalam memenuhi target pelayanan minimal 80%;
terbangunnya infrastruktur yang ramah disabilitas dan ramah lingkungan; inovasi
alternatif penanganan keamanan bermukim; serta meningkatkan kualitas permukiman di
lokasi kumuh Program KOTAKU;
c. Meningkatkan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat akibat pandemi COVID-
19 melalui pelaksanaan kegiatan dengan Pola Padat Karya dalam perbaikan dan/atau
pembangunan infrastruktur permukiman dan pelayanannya; dan
Inovasi merupakan hal utama yang dikembangkan dalam penanganan permukiman kumuh melalui
Program KOTAKU-DFAT. Inovasi yang dimaksud terkait penerapan aksesibilitas universal, berketahanan
terhadap bencana (termasuk wabah), serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan penghidupan
masyarakat setempat yang berkelanjutan. Mengapa inovasi dengan nilai tambah tersebut yang
diharapkan?
Pertama, tingginya urbanisasi, pembangunan dan gaya hidup perkotaan yang tidak berwawasan
lingkungan, meningkatkan risiko terjadinya krisis air. Padahal air merupakan sumber daya yang vital.
Masih banyaknya rumah tangga yang belum terakses air minum dan sanitasi yang aman dan layak, dan
di saat yang bersamaan, tingginya angka kejadian banjir, menunjukkan bahwa pengelolaan sumber
daya air dan sumber daya lainnya sudah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara konvensional. Secara
paralel, perbaikan lingkungan hidup dan pembangunan yang ramah lingkungan sangat mendesak untuk
dilakukan, agar tidak memperparah kondisi yang ada dan meningkatkan risiko bencana.
Kedua, terdapat risiko bencana lainnya yang tidak bisa diabaikan. Semaksimal apapun transformasi
yang terjadi di permukiman kumuh menjadi tidak berarti apabila rentan dan tidak siap terhadap
ancaman tertentu. Berbagai tempat di Indonesia menghadapi berbagai ancaman/bahaya, mulai dari
gempa bumi, tsunami, erupsi, banjir, longsor, sampai ke krisis akibat perubahan iklim, berkurangnya
biodiversitas, wabah, dll. Sehingga perencanaan, desain, dan pelaksanaan penanganan kumuh yang
diterapkan perlu beradaptasi dengan keberadaan ancaman/bahaya tersebut.
Ketiga, penanganan permukiman kumuh tanpa perbaikan penghidupan masyarakat tidak menjamin
keberlanjutan dari kualitas permukiman yang telah diperbaiki.
Tantangan utamanya adalah, bagaimana mengembangkan inovasi satu paket dengan kegiatan
penanganan kumuh yang memberikan ketiga nilai tambah tersebut secara sekaligus? Jika berharap
ada inovasi, maka cara yang ditempuh pun harus berbedadari yang biasanya. Misalnya, lebih banyak
membuka ruang-ruang diskusi dan kolaborasi multidisiplin-multisektor, belajar dari lembaga/program
lain, eksplorasi metode dan teknologi atau instrumen yang berbeda, fleksibilitas, keterbukaan dalam
berpendapat, dan melibatkan beragam elemen masyarakat, termasuk yang biasanya menjadi
‘minoritas’ atau yang jarang terdengar. Kolaborasi diperluas dengan pihak yang berkeahlian dan
berpengalaman dalam muatan tambahan KOTAKU-DFAT. Intinya, dalam setiap tahapan proyek ini,
perlu dibangun ekosistem yang kondusif agar inovasi terwujud.
1.4 Keluaran
Keluaran yang akan dicapai dalam kegiatan Program KOTAKU-DFAT adalah sebagai berikut:
a. Adanya kesiapan pemerintah kabupaten/kota dalam memfasilitasi penyelenggaraan
kegiatan Program KOTAKU-DFAT;
b. Tersusunnya penajaman dokumen Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP)
yang sudah melalui uji publik dan berbagai instrumen/dokumen turunannya;
Penajaman dokumen RPLP akan fokus pada inovasi model penanganan permukiman kumuh
untuk mendukung terwujudnya pencapaian tujuan kegiatan Program KOTAKU-DFATdengan
penguatan muatan: (i) perubahan sikap dan perilaku pemerintah daerah dan masyarakat
dalam penanganan permukiman kumuh; (ii) inovasi dalam peningkatan akses dan pelayanan
sarana air minum dan sanitasi; (iii) pengarusutamaan gender dan inklusi sosial; (iv)
permukiman yang menerapkan aksesibilitas universal; (v) masyarakat yang berketahanan
terhadap bencana (termasuk wabah); (vi) peningkatan kualitas lingkungan hidup dan
penghidupan yang berkelanjutan; (vii)inovasi alternatif penanganan keamanan bermukim;
dan (viii) penguatan dalam merespon dampak wabah COVID-19 pada penanganan
permukiman kumuh.
Meskipun Program KOTAKU-DFAT merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Program
KOTAKU, namun kegiatan ini mempunyai kekhasan tersendiri yang perlu diperkuat, yaitu
sebagai berikut:
a. Permukiman inklusif yang menerapkan aksesibilitas universal;
Pembangunan yang tidak berkeadilan dapat menghasilkan masyarakat yang tidak sehat,
kelompok-kelompok rentan, dan dampak sosial-ekonomi lainnya. KOTAKU, diperkuat dengan
hibah DFAT ini, perlu memastikan proses dan hasil pembangunan yang berprinsip kesetaraan
gender dan inklusi sosial (kerangka yang sering disebut sebagai GESI, atau Gender Equality and
Social Inclusion). Kesetaraan gender berarti kesempatan, hak, dan tanggung jawab yang setara
antara perempuan dan laki-laki (DFAT, 2016). Inklusi sosial adalah proses meningkatkan
kemampuan, kesempatan, dan martabat seseorang atau sekelompok orang, yang terpinggirkan
berdasarkan identitasnya, untuk berpartisipasi dalam bermasyarakat (World Bank, 2013). Contoh
identitas yang mengalami eksklusi yaitu terkait gender, ras, kasta, etnis, agama, usia, disabilitas,
status kenegaraan, dll. Dengan mengarusutamakan prinsip GESI tersebut, diharapkan tidak ada
pihak yang tertinggal dalam pembangunan dan kesejahteraan pun secara umum akan meningkat.
Sumber:
Dengan meningkatnya wilayah perkotaan di dunia dan perilaku manusia yang tidak sensitif
terhadap alam, kejadian bencana semakin banyak dengan dampak yang serius. Pemahaman
terhadap risiko bencana harus menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan dalam
pembangunan. Faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya risiko bencana adalah
bahaya/ancaman, kerentanan, dan kapasitas. Pada dasarnya, secara fisik, permukiman kumuh
memiliki kerentanan yang tinggi, karena tidak terakses infrastruktur dan pelayanan dasar, serta
sumber penghidupan yang terbatas. Dengan memahami bahaya/ancaman apa saja yang dihadapi
di lokasi dampingan, kita akan memperoleh gambaran langkah-langkah yang perlu diambil agar
menghindari terjadinya bencana, atau mengurangi risikonya. Bencana dapat bersumber dari
fenomena geologi, hidrometeorologi, kegagalan teknologi, kecelakaan industri, wabah, konflik
sosial, dll.
Pandemi COVID-19 merupakan bencana yang sejak bulan Maret 2020 terdeteksi di Indonesia.
Permukiman kumuh merupakan salah satu tempat yang berisiko menjadi hotspot penularan,
terutama karena kesulitan menerapkan protokol kesehatan dan menjaga jarak fisik, dengan
minimnya layanan air minum dan sanitasi serta kesesakan penghuni yang tinggi. Sumber
pendapatan rumah tangga pun terancam menurun bahkan hilang, dengan pemberlakuan
pembatasan sosial secara jangka panjang. Melalui KOTAKU-DFAT, fenomena ini perlu dijadikan
momen untuk perbaikan pembangunan permukiman perkotaan yang lebih berketahanan di masa
depan, yang mampu memitigasi potensi penularan maupun beradaptasi terhadap berbagai disrupsi
terhadap penghidupan.
Pertimbangaan lainnya terkait dengan tipologi lokasi kumuh yang bervariasi seperti kawasan
pesisir, tepi/atas sungai, pusat kota, kawasan dengan krisis lingkungan atau risiko bencana
yang tinggi, dan lain-lain. Kriteria tambahan dari pemerintah daerah dapat diberikan sesuai
dengan kondisi kota/kabupaten.
Lokasi penerima program dapat menerima dukungan berupa pendampingan teknis dan/atau
hibah program.
Tata cara pengajuan, pencairan dan pemanfaatan BPM Program KOTAKU-DFAT akan
dijelaskan lebih rinci di dalam gambar 1 dibawah ini:
1 Mekanisme pencairan BPM secara rinci akan diatur dalam SE DJCK Nomor 04/SE/DC/2021 tentang Pedoman
Teknis Pelaksanaan Kegiatan Padat Karya Direktorat Jenderal Cipta Karya, Lampiran H.Program Kotaku, bagian
II dan mekanisme pemanfaatan/pencairan BPM dari BKM/LKM ke KSM mengacu pada POS Penyelenggaraan
Infrastruktur Skala Ligkungan
Komponen ini akan mendukung penguatan kelembagaan dan kebijakan di tingkat pusat
maupun daerah, khususnya kota/kabupaten terpilih yang menghadapi kompleksitas
penanganan permukiman kumuh dengan tantangan urbanisasi dan krisis lingkungan/ekologis.
a. Penguatan Pokja PKP pusat maupun daerah dalam inovasi penanganan permukiman
kumuh untuk mewujudkan permukiman perkotaan layak huni, inklusif, produktif,
berketahanan, dan berkelanjutan. Penguatan dilakukan dengan memperluas kolaborasi
multi-pihak, multi-disiplin, dan multi-sektor, seperti dengan Dinas Sosial, organisasi terkait
penyandang disabilitas, Dinas Lingkungan Hidup, akademisi dengan berbagai bidang
keahlian, PDAM, BNPB/BPBD, organisasi keprofesian, organisasi kepemudaan, praktisi
inovasi, dll;
b. Koordinasi antar-lembaga, mulai dari persiapan, perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, sampai dengan pemantauan dan evaluasi;
c. Pengelolaan pengetahuan dan studi terkait untuk replikasi berdasarkan pembelajaran di
lokasi percontohan; dan
d. Pendampingan dalam pengembangan kebijakan pusat maupun daerah terkait, misalnya
kebijakan kota ramah air, panduan aksesibilitas universal dengan konteks lokal,
pengembangan ekonomi sirkular, dll.
Kegiatan ini akan memberikan dukungan teknis dan peningkatan kapasitas pemerintah
daerah, masyarakat dan instansi terkait lainnya untuk mengembangkan inovasi penanganan
permukiman kumuh di kabupaten/kota terpilih. Bentuk dukungan dalam kegiatan ini antara
lain:
BPM Program KOTAKU-DFAT akan mendukung penajaman RPLP dan pelaksanaan hasil
penajaman tersebut di lokasi percontohan dengan kolaborasi sumber-sumber daya lainnya,
termasuk dari beragam program pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, perguruan
tinggi, lembaga donor, badan usaha/swasta, masyarakat, dll. Pemerintah daerah perlu
menyiapkan dukungan teknis, sumber daya, dan sumber pembiayaan untuk melaksanakan
hasil penajaman RP2KPKP dan dukungan pelaksanaan hasil penajaman RPLP.
Dalam upaya tersebut, BPM Program KOTAKU-DFAT akan berfokus pada pengembangan
inovasi penyediaan akses infrastruktur dan pelayanan dasar permukiman secara terpadu
dengan penguatan:
Kegiatan Program KOTAKU-DFAT akan difasilitasi oleh tim konsultan yang terdiri dari Tim
Advisory, Konsultan Manajemen Pusat (KMP), Konsultan Manajemen Wilayah/ Oversight
Service Provider (KMW/OSP), Tim Koordinator Kota (Korkot), dan Tim Fasilitator.
Untuk kota/kabupaten yang akan memiliki kegiatan yang berkaitan dengan pertanahan,
maka perlu ditambah dengan Asisten Kota bidang Safeguards. Latar belakang atau
pengalaman di bidang air minum dan sanitasi atau teknik penyehatan lingkungan akan
sangat membantu bagi Asisten Kota bidang Infrastruktur.
Komposisi rinci dan jenis posisi Tim Korkot dan Tim Fasilitator akan diatur kemudian dalam
surat Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya. Fungsi
dan tugas masing-masing konsultan dan fasilitator terkait dengan tugas pendampingan
pelaksanaan kegiatan Program KOTAKU-DFAT akan diatur rinci dalam kerangka acuan kerja
masing-masing personil.
a. Pemilihan dan penetapan lokasi sasaran kegiatan Program KOTAKU-DFAT, dimulai dari
sosialisasi awal oleh PMU ke pemerintah daerah, seleksi lokasi dan penetapan daftar lokasi
oleh Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman.
b. Peningkatan kapasitas, yang terdiri dari mobilisasi tim pendamping, sosialisasi, dan
pelatihan penguatan materi mengenai kegiatan Program KOTAKU-DFAT baik untuk
pemerintah daerah, konsultan, fasilitator, dan masyarakat.
c. Penyiapan masyarakat dalam memasuki tahap perencanaan, yaitu membentuk dan
melatih Tim Inti Perencanaan Partisipatif (TIPP). Sebaiknya TIPP terdiri dari berbagai
elemen masyarakat, baik pemerintah setempat, organisasi masyarakat, individu,
komunitas pemuda, komunitas lansia, penyandang disabilitas, dll. TIPP akan menjadi
agen yang intensif melakukan proses perencanaan dan sebagai fasilitator konsultasi publik
untuk pelibatan masyarakat yang lebih luas.
d. Rekrutmen Fasilitator UP
e. Pemetaan multipihak untuk kolaborasi sebagai pendukung pengembangan inovasi dan
yang akan dilibatkan dalam setiap tahapan kegiatan Program KOTAKU-DFAT.
Secara garis besar, tahap perencanaan di tingkat kelurahan/desa dimulai dengan memahami
konteks permasalahan setempat dikaitkan dengan harapan masyarakat terhadap
Mekanisme penajaman RPLP secara prinsip mengacu pada POS RPLP dan Mekanisme
penyusunan rencana teknis mengacu pada POS Penyelenggaraan Infrastruktur Skala
Lingkungan.
Tahap pelaksanaan terdiri dari tahap persiapan konstruksi, tahap konstruksi dan tahap pasca
konstruksi. Sedangkan tahap keberlanjutan, yang terdiri dari kegiatan pengelolaan dan
pemeliharaan, peningkatan kesiapsiagaan, pemantauan, evaluasi, dan pengelolaan
pengetahuan. Berdasarkan pembelajaran yang diperoleh dari pengembangan inovasi
penanganan kumuh di lokasi percontohan, para pelaku Program KOTAKU diharapkan untuk
mengembangkan kegiatan tersebut dengan mereplikasi/mengadopsi/mengadaptasi, dan
berkolaborasi. Ketentuan dan mekanisme serta pengendalian pelaksanaan konstruksi
mengacu pada POS Penyelenggaraan Infrastruktur Skala Lingkungan. Selain daripada itu pada
tahap keberlanjutan, Pemda dapat menyusun dokumen perencanaan RP2KPKPK dengan
mengkonsolidasikan RPLP yang telah disusun oleh masyarakat.
• Sosialisasi • Refleksi Perkara Kritis • Implementasi kegiatan dari • Penyusunan kerangka regulasi
• Konsolidasi data dan dokumen • Penguatan kelembagaan
• Seleksi lokasi percontohan berbagai sumber dana
pendukung
Kegiatan • Penguatan Pokja PKP • Konsultasi penajaman RPLP,
• Pengembangan kegiatan/
• Pengembangan kapasitas Kegiatan Tingkat Kota replikasi inovasi
Tingkat Kota prioritas kegiatan, Pre-design &
Rencana teknis • Penyusunan RP2KPKPK secara
• Konsolidasi substansi RPLP ke mandiri oleh Pemda
RPKPKP dan atau RP2KPKPK
PROSES KONSOLIDASI
• Sosialisasi • Meninjau kembali RPLP & • Pra Konstruksi • Pembentukan & penguatan
• Rembug Kesiapan Membangun Visi • Konstruksi KPP
Masyarakat (RKM) • RPK dan Pendataan • Pasca Konstruksi • Penyepakatan Aturan
• Pembentukan dan • Penyusunan Kawasan & kegiatan Bersama
prioritas, pre-design dan Rencana
penguatan TIPP teknis • Penyepakatan rencana
• Pengembangan kapasitas • Penajaman RPLP kesiapsiagaan dan simulasi
Kegiatan • Penyampaian hasil penajaman kebencanaan
Tingkat dokumen RPLP kepada Pemda
Kegiatan Tingkat Kota
Secara rinci hubungan kerja antar unsur pelaksana proyek dari tingkat pusat sampai dengan
tingkat masyarakat dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.
CCMU PMU
Tim Advisory Tim Evaluasi
PEMPROV
Tingkat
Balai/PIU CK Provinsi KMW/KMT
Provinsi Pokja PKP Provinsi
PEMKOT/KAB
Tingkat
Tim Korkot
Kab/Kota Pokja PKP Kab/Kota
Kecamatan
Tim Fasilitator
b. Tingkat Provinsi
Pelaksana di tingkat provinsi ditunjuk PIU Provinsi/Balai PPW dengan tugas dan tanggung
jawab sebagai berikut:
c. Tingkat Kabupaten/Kota
d. Tingkat Kecamatan
Perangkat daerah kecamatan sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang dipimpin oleh camat
merupakan pemegang peran utama di tingkat kecamatan. Berikut ini tugas camat dalam
program ini adalah:
e. Tingkat Kelurahan/Desa
1. Lurah/Kepala Desa
Secara umum peran utama lurah/ kepala desa adalah memberikan dukungan dan jaminan
agar pelaksanaan Program KOTAKU-DFAT di wilayah kerjanya dapat berjalan dengan
lancar sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tujuan yang diharapkan melalui
Program KOTAKU-DFAT dapat tercapai dengan baik. Untuk itu, lurah/ kepala desa dapat
mengerahkan perangkat kelurahan atau desa sesuai dengan fungsi masing- masing.
Lurah/kepala desa bekerja bersama BKM/LKM dalam penyelenggaraan kegiatan Program
KOTAKU-DFAT di wilayahnya.
PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR (POS) PENYELENGGARAAN PROGRAM KOTAKU-DFAT 35
Tugas dan tanggung jawab lurah/kepala desa dalam pelaksanaan Program KOTAKU- DFAT,
antara lain adalah sebagai berikut:
a) Memfasilitasi keterlibatan aktif lembaga tingkat kelurahan/ desa yang berurusan
dengan perumahan dan permukiman, terutama berkaitan dengan air minum dan
sanitasi, lingkungan hidup, kebencanaan (termasuk wabah), inklusi, termasuk
penyandang disabilitas;
b) Memfasilitasi sosialisasi tingkat kelurahan/desa;
c) Memfasilitasi terselenggaranya pertemuan pengurus RT/RW dan masyarakat dengan
Korkot/Askot Mandiri/Tim Fasilitator, dan relawan masyarakat dalam upaya
penyebarluasan informasi dan pelaksanaan Program KOTAKU-DFAT;
d) Memfasilitasi koordinasi dan sinkronisasi rencana dan kegiatan yang terkait dengan
pelaksanaan Program KOTAKU-DFAT dengan rencana kegiatan pembangunan tingkat
kelurahan/desa;
e) Berkoordinasi dengan Tim Fasilitator, relawan masyarakat dan BKM/LKM,
memfasilitasi penyelesaian persoalan dan konflik serta penanganan pengaduan yang
muncul dalam pelaksanaan Program KOTAKU-DFAT;
f) Memfasilitasi penyelesaian permasalahan yang mungkin muncul atas kegiatan
Program KOTAKU-DFAT.
2. BKM/LKM
BKM/LKM bekerja bersama dengan Lurah/Kepala Desa dalam penyelenggaraan kegiatan
Program KOTAKU-DFAT di wilayahnya. BKM/LKM dalam pelaksanaan Program KOTAKU-
DFAT mempunyai tugas sebagai berikut:
a) Melaksanakan penajaman dokumen Rencana Penataan Lingkungan Permukiman
(RPLP) dan berbagai instrumen/dokumen turunannya serta mengajukan kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota, agar dokumen RPLP hasil penajaman/penyempurnaan
dapat dilakukan proses konsolidasi dengan dokumen perencanaan permukiman
tingkat Kabupaten/Kota, diantaranya: dokumen RP2KP/RP2KPKPK;
b) Bekerja sama aktif dengan Lurah/Kades untuk membangun kolaborasi dengan
lembaga tingkat kelurahan/ desa yang berurusan dengan perumahan dan
permukiman, terutama berkaitan dengan air minum dan sanitasi, lingkunganhidup,
kebencanaan (termasuk wabah), inklusi, termasuk penyandang disabilitas;
c) Membangun kondisi yang kondusif dalam menumbuhkan inovasi untuk perumahan
dan permukiman layak huni;
Indikator penilaian capaian keberhasilan untuk lokasi sasaran yang didanai oleh Program
KOTAKU-DFAT dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Result Indicator
Kegiatan 3. Dukungan untuk Skema Percontohan Infrastruktur dan Layanan
Catatan: Indikator Kinerja KOTAKU-DFAT merupakan bagian dari Indikator Kinerja KOTAKU
Pelaksana pemantauan dan pengendalian kegiatan Program KOTAKU-DFAT terdiri dari pelaku
tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kelurahan/desa dengan para pelakusebagai
berikut:
a. Tingkat Pusat terdiri dari PMU, PPK Pengendalian II dan dibantu oleh Konsultan
Manajemen Pusat dan Advisory;
b. Tingkat Provinsi terdiri dari BPPW Provinsi, PPK Provinsi dibantu oleh konsultan
(KMW/OSP dan KMT);
c. Tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari Pokja PKP Kabupaten/Kota dibantu oleh Tim Korkot;
d. Tingkat Kelurahan/Desa terdiri dari BKM/LKM/UPL, Lurah/Kades, TIPP, KSM, relawan dari
berbagai elemen masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, dibantu oleh Tim
Fasilitator.
Berikut ini gambaran umum tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan baik di tingkat kota/kabupaten
maupun kelurahan/desa secara paralel. Pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan setempat. Kegiatan pemantauan dilaksanakan di setiap tahapan.
d. Mobilisasi penambahan Askot dan Faskel Pelaksana: PMU NSUP SK Penugasan Askot
sesuai kebutuhan dan Faskel
e. Peningkatan kapasitas tim pendamping dan Pelaksana: PMU NSUP, KMP Tim siap melaksanakan
Pokja PKP. Peserta: OSP, Tim Korkot, Tim pendampingan
• Pelibatan lembaga terkait gender dan inklusi Faskel, Pokja PKP
sosial setempat di dalam forum-forum Pokja Pendamping/Narasumber: Dir
PKP PKP, Dir Perkotaan Bappenas
• Penguatan materi yaitu terkait pelayanan air
minum dan sanitasi, gender & inklusi sosial,
pembangunan berkelanjutan, ketahanan
terhadap bencana (termasuk wabah), dan
pengantar mengenai ketentuan KOTAKU-
DFAT
f. Sosialisasi di lokasi percontohan tentang hasil Pelaksana: Pokja PKP Berita Acara Sosialisasi
seleksi dan rencana penyelenggaraan kegiatan Peserta: BKM, berbagai elemen
KOTAKU-DFAT masyarakat
Pendamping: Tim Korkot dan
Faskel
g. Pembaharuan profil kumuh, yang telah Pelaksana: Pokja PKP dan Tim Profil kumuh, yang
memuat data terkait GESI Korkot memuat data terkait
GESI
h. Pemetaan pihak yang berpotensi untuk Pelaksana: Pokja PKP dan Tim Peta multipihak dan
dikolaborasikan, terutama terkait elemen Korkot strategi kolaborasi
penguatan KOTAKU-DFAT
i. Khusus bagi kota yang telah memiliki sistem Pelaksana: Pokja PKP dan Tim Data permukiman
data GIS yang baik, dapat memutakhirkan data Korkot lokasi percontohan di
permukiman dari lokasi percontohan sistem GIS kota
II Tahap Perencanaan
a. Refleksi Perkara Kritis: Pelaksana: Pokja PKP Berita Acara RPK
b. • Validasi dan penyepakatan data baseline Pelaksana: Pokja PKP Data, peta dan
dan Pemetaan GIS Pendamping: Tim Korkot dokumen pendukung
• Diseminasi Kebijakan dan perencanaan tata Narasumber: Berbagai
ruang dan sektoral Tingkat Kabupaten/Kota dinas/lembaga di tingkat kota
yang mempengaruhi perencanaan tingkat
Kelurahan (RPLP)
c. Menyelenggarakan forum-forum Konsultasi Pelaksana: Pokja PKP RP2KPKPK, rencana
Perencanaan tingkat Kelurahan: Pendamping: Tim Korkot teknis, dan rencana
• Proses penyepakatan data baseline, Narasumber: Berbagai investasi tingkat kota
pemetaan GIS dan area delineasi kawasan dinas/lembaga di tingkat kota
yang direncanakan
• Proses sinkronisasi perencanaan
Kabupaten/Kota (Tata ruang dan sektoral)
dan perencanaan Kelurahan (RPLP)
• Proses penyepakatan penerapan inovasi
perencanaan
• Proses penyepakatan substansi
Perencanaan RPLP
d. Merumuskan substansi inti RPLP yang akan Pelaksana: Pokja PKP, BKM, Hasil rekomendasi
dikonsolidasikan kedalam dokumen TIPP, Fasilitator UP Substansi
RP2KPKP/RP2KPKPK yang sedang dan atau akan , kelompok peduli, termasuk penajaman/penyempur
disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota komunitas terkait GESI naan dokumen RPLP
secara mandiri Pendamping/Narasumber: Tim yang akan
OSP, Tim Korkot dikonsolidasikan
kedalam perencanaan
RP2KPKP/RP2KPKPK
dan atau kedalam
perencanaan Tata
Ruang dan Sektoral
lainnya.
III Tahap Pelaksanaan
a. Implementasi kegiatan dari berbagai sumber Pelaksana: Pokja PKP Hasil kegiatan
dana Pendamping: Tim Korkot, Tim
OSP
IV. Keberlanjutan
a. Penyusunan kerangka regulasi, bila relevan Pelaksana: Pokja PKP Regulasi
Pendamping/Narasumber:
Lembaga di tingkat kota/kab
atau pusat yang relevan
b. Refleksi Perkara Kritis, berdasarkan Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Visi dan pemahaman
aspirasi/visi warga dan pembekalan di Pendamping: Tim Faskel, BKM, akar permasalahan,
kegiatan sebelumnya. Dalam RPK, akar Perangkat Kelurahan serta gambaran masa
masalah kumuh dikaitkan dengan masalah depan bila tidak
lingkungan hidup, penghidupan, GESI dan melakukan perubahan
ketahanan bencana – kondisi saat ini dan
yang akan datang.
c. Penyiapan data, peta, dan dokumen untuk Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Data, peta dan dokumen
mendukung analisis dan perencanaan. Pendamping: Tim Faskel, BKM, pendukung
Perangkat Kelurahan
Penyelenggaraan Pemetaan Swadaya
sesuai kebutuhan. Narasumber: Pemerintah
kab/kota, masyarakat, Akademisi,
LSM/kelompok peduli, Dinas LH,
BPBD atau ahli terkait lainnya
2.3 Penetapan Kawasan Prioritas
a. Pemetaan Hasil Kesimpulan Kajian Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Hasil kesimpulan dari
Penajaman RPLP kedalam peta deliniasi Pendamping: Tim Faskel, BKM, kajian yang telah dibuat
perencanaan Perangkat Kelurahan dan peta deliniasi
perencanaan untuk
masing-masing kajian
b. Penyepakatan Kriteria Kawasan Prioritas Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Kesepakatan Kriteria
Pendamping: Tim Faskel, BKM, Kawasan Prioritas
Perangkat Kelurahan
c. Penyepakatan Kawasan Prioritas Terpilih Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Hasil matrikulasi dan
Pendamping: Tim Faskel, BKM, Kesepakatan kawasan
Perangkat Kelurahan prioritas terpilih
2.4 Penetapan Kegiatan Prioritas
a. Penyusunan Konsep Permukiman Kawasan Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Tersusun gagasan/konsep
Prioritas Pendamping: Tim Faskel, BKM, penanganan permukiman
Perangkat Kelurahan di kawasan prioritas
b. Identifikasi Kebutuhan kegiatan yang Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Tersusun list kegiatan
mendukung Konsep Permukiman Pendamping: Tim Faskel, BKM, penanganan permukiman
Perangkat Kelurahan di kawasan prioritas
c. Penyusunan Site plan Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Tersusun kebutuhan
PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR (POS) PENYELENGGARAAN PROGRAM KOTAKU-DFAT 49
No Kegiatan Pelaku Output
Pendamping: Tim Faskel, BKM, ruang, fungsi ruang
Perangkat Kelurahan berdasarkan konsep
ruang/spasial yang telah
disusun
d. Penyepakatan Kriteria Kegiatan Prioritas Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Hasil matrikulasi kegiatan
dan Kegiatan Prioritas Terpilih Pendamping: Tim Faskel, BKM, dan Kesepakatan kegiatan
Perangkat Kelurahan prioritas terpilih
2.5 Penajaman RPLP
a. Berbagai analisis yang relevan dengan Pelaksana: TIPP, Fasilitator UP Ide-ide penanganan
konteks permasalahan dan penggalian ide- Pendamping: Tim Faskel, BKM,
ide penanganan Perangkat Kelurahan
1. Kelurahan Kumuh
2. Memiliki GAP 5 Infrastruktur
Utama
3. Memiliki GAP (watsan) yang Tdk
Seleksi
siginifikan Selesai
4. Telah dilaksanakan Audit Kelurahan
Keuangan LKM TB 2019
5. Tidak ada Penyimpangan
Dana
Ya
Longlist Kelurahan
Tdk
Kesiapan Selesai
Ya
Salah satu pendekatan yang dapat dieksplorasi untuk memunculkan inovasi adalah dengan konsep
Solusi Berbasis Alam atau Nature-based Solutions (NBS) dan Ekonomi Melingkar/Sirkular. Konsep-
konsep ini menggarisbawahi miskonsepsi bahwa intervensi berbasis ekologi/lingkungan hidup dan
solusi pembangunan berkelanjutan hanya merupakan upaya (dan anggaran) tambahan untuk
membantu perbaikan lingkungan hidup. Padahal, manfaatnya tidak hanya bagi lingkungan hidup,
tetapi juga bagi kehidupan sosial dan perekonomian – dalam kata lain, untuk penghidupan
berkelanjutan, dalam jangka panjang.
Konsep pertama, Solusi Berbasis Alam atau NBS. Sesuai dengan namanya, NBS mengedepankan alam
atau meniru prinsip-prinsip alam, yang berpotensi memberi manfaat sosial dan ekonomi, sebagai
solusi berbagai tantangan pembangunan berkelanjutan, seperti krisis air, ketahanan pangan, risiko
bencana, ketahanan masyarakat, kesehatan, perlindungan biodiversitas, dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, NBS banyak mendiskusikan integrasi antara infrastruktur
hijau, biru, dan abu-abu, misalnya, untuk mengatasi urban heat island, banjir/kekeringan, dan krisis
lainnya. Contoh penerapan NBS dalam mengurangi risiko banjir perkotaan diantaranya green roofs
(atap hijau), paving block berpori, bioswales, ruang terbuka hijau, constructed wetlands. Selain itu,
NBS juga dapat memunculkan inovasi pemanfaatan ruang yang memberi fungsi berlipat ganda
sehingga nilainya maksimal, misalnya ruang terbuka hijau publik di kampung yang memberi pasokan
pangan warga (untuk dikonsumsi sendiri, dijual, maupun dimanfaatkan ketika krisis), yang juga
menjadi tempat interaksi sosial, tempat rekreasi, dan berfungsi sebagai bagian dari infrastruktur air
minum dan sanitasi.
Konsep kedua, Ekonomi Melingkar/Sirkular. Sistem perkotaan yang terbentuk di Indonesia masih
banyak yang mengikuti sistem linear. Dengan sistem linear, buangan dikeluarkan dari rumah dan
lingkungan terkecil secepat-cepatnya ke luar, yang pada akhirnya sangat membebani sistem di kota
atau wilayah yang lebih makro. Misalnya, bahan pangan yang telah dikonsumsi langsung dibuang ke
tempat sampah, lalu dibawa ke TPS, kemudian ke TPA. Atau, air hujan dan air buangan rumah tangga
langsung dialirkan ke saluran, lalu mengalir ke sungai. Dampaknya, beban di TPS/TPA dan sungai
sangat besar. Apabila kapasitas tidak mampu menampung atau mengelolanya, dapat berakibat
kerusakan lingkungan, meningkatkan risiko timbulnya penyakit dan bencana banjir. Ditambah dengan
krisis iklim, manusia dituntut untuk lebih bijak dalam mengelola sumber daya di sekitarnya. Oleh
karenanya, konsep sistem linear konvensional ambil-pakai-buang tersebut perlu dialihkan menjadi
sistem sirkular/melingkar, yang berarti menghabiskan/ mengelola/ mereduksi buangan dari
lingkungan yang terkecil terlebih dahulu (closing the loop), yaitu individu, rumah tangga atau
lingkungan, untuk mengurangi beban di sistem yang lebih besar yang akan menghabiskan lebih banyak
energi.
Konsep ekonomi melingkar mengarah pada keberlanjutan (ekologis), efisiensi pembiayaan
pembangunan, sekaligus meningkatkan penghidupan (mis. menciptakan lapangan pekerjaan baru,
mengurangi konsumerisme). Konsep ini memegang prinsip: limbah sebagai sumber daya,
memaksimalkan nilai ekonomi dari sisa konsumsi, memperpanjang nilai pakai barang yang sudah
diproduksi, dan menggunakan sumber daya terbarukan. Konsep ini pun dapat diterapkan dalam
konteks permukiman perkotaan. Sudah saatnya pembangunan di Indonesia melihat sumber daya air,
1. Nature-Based Solutions for Disaster Risk Management: Booklet (English). Washington, D.C.: World Bank Group.
http://documents.worldbank.org/curated/en/253401551126252092/Booklet
2. Green Infrastructure-PPT http://ciptakarya.pu.go.id/bangkim/perdakumuh/upload/160-
Green%20Infrastrukture%20Samarinda%2019%20April%202018.pdf
3. Solusi Berbasis Alam-PPT https://www.gfdrr.org/sites/default/files/NBS%20for%20DRM%20Overview.pdf
4. Ekonomi Sirkular: https://www.ellenmacarthurfoundation.org/circular-economy/what-is-the-circular-economy
Batua, Makassar
Batua melakukan upaya merevitalisasi permukiman informal untuk mengatasi penyediaan air minum
dan sanitasi dengan pendekatan Nature-based Solutions (NBS), melalui proyek RISE (Revitalising
Informal Settlements and Their Environments). RISE menggunakan infrastruktur dengan teknologi
‘hijau’ untuk mengelola dan membersihkan air. Air hujan merupakan salah satu sumber air bersih,
yang dikelola dengan tanki air hujan. Pengelolaan air limbah terdiri dari pressure sewer, septic tank,
wetland, dan biofilter untuk greywater. Proyek ini merupakan binaan Monash University dan
Universitas Hasanuddin, dengan kolaborasi multidisiplin, melibatkan bidang mikrobiologi, kimia, ilmu
lingkungan, arsitek, teknik, antropologi, pertanian, geologi, dan ekologi.
Sumber:
RISE Annual Activity Report 2019 & RISE Annual Activity Report 2018
(lihat di halaman 10-11) untuk gambaran sistem yang dibangun
https://www.rise-program.org/ data/assets/pdf_file/0008/2096207/RISE-Annual-Activity-Report-2019.pdf
https://www.rise-program.org/water-sensitive-cities/water-sensitive-revitalisation#
Kampung di RW 23 Kelurahan Purwantoro ini sebelum tahun 2015 merupakan kampung yang padat,
kumuh, dan sering mengalami banjir, dan kriminalitas tinggi. Warga setempat melakukan
Cigondewah, Bandung
Desa Cigondewah, Kabupaten Bandung, dikelilingi pabrik tekstil yang banyak mencemari sumber air
dan pertanian. Rumah-rumah tidak layak huni dan ruang publik (lapangan) yang ada bersatu dengan
tempat pembuangan sampah. Didampingi Bandung Creative City Forum, COCOCAN, dan ITB, warga
setempat menjadikan kawasannya sebagai sebuah laboratorium Kampung Fashion untuk
mengembangkan penghidupan warga dengan pendekatan desain sirkular. Program tersebut
membangun ruang publik dengan material alami, memperbaiki sistem pembuangan limbah sisa
industri, dan merancang kebun produksi untuk penyediaan materi tekstil ramah lingkungan. Program
ini memenangkan Asia Pacific Social Enterprise Summit 2019 dalam mengaktivasi komunitas ekonomi
kreatif yang diintegrasikan dengan keberlanjutan lingkungan.
Sumber:
1. Liputan BCCF: http://bandungcreative.id/2020/01/31/kemenangan-bccf-dalam-asia-pacific-social-enterprise-
summit-2019-dari-desa-cigondewah-hingga-konferensi-tingkat-internasional/
2. Desain program: https://issuu.com/sl_studio/docs/welcome_to_the_fashion_village_cope
Warga Kelurahan Gundih, Surabaya, yang berlokasi dekat rel kereta api, telah memulai praktik
ekonomi sirkular sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Kampung ini dulunya dijuluki ‘kampung preman’
dengan kondisi sangat kumuh. Diawali dengan Green and Clean, sebuah program CSR dari Unilever
Indonesia, Kampung Gundih menerapkan pemilahan sampah, composting dengan keranjang
Takakura, produksi biogas dan bank sampah. Kompos digunakan untuk menghijaukan tanaman (mis.
toga) di kampung. Hasil daur ulang plastik dijual kembali ke pihak luar, seperti pusat perbelanjaan.
1. TAHIR, A., YOSHIDA, M., & HARASHINA, S. (2011). Analyzing community-based waste management in Surabaya.
In Papers on Environmental Information Science Vol. 25 (The 25th Conference on Environmental Information Science)
(pp. 131-136). Center for Environmental Information Science.
2. https://www.kimgundih.com/2019/04/profil-kampung-gundih-kota-surabaya.html
Salah satu pendekatan perencanaan berbasis teknologi yang pada saat ini mulai banyak dieksplorasi
oleh kota–kota, baik di Indonesia maupun secara global, adalah pendekatan berbasis SIG. Pada tingkat
nasional, inisiatif untuk menggunakan SIG dalam perencanaan terlihat dari upaya pemerintah
Indonesia dalam kebijakan seperti “Satu Data Indonesia”, yang kemudian dioperasionalisasikan
melalui Peraturan Presiden No. 27/ 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional, dan Perpres
No. 9/ 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.
Penggunaan teknologi SIG dalam proses perencanaan berpotensi untuk membantu pemerintah dalam
pembuatan rencana kota dan permukiman yang lebih terukur dan terintegrasi antar sektor. Hal ini
dimungkinkan melalui karakteristik data spasial yang mendasari teknologi SIG, dimana data ditautkan
dengan suatu referensi spasial tertentu, yang memungkinkan data dari berbagai sektor untuk
dipadukan berdasarkan referensi spasial yang sudah ditentukan sebelumnya.
Namun, untuk memastikan implementasi yang berkelanjutan dari SIG, seringkali dibutuhkan dukungan
perangkat non-teknis, seperti regulasi, kelembagaan, dan Sumber Daya Manusia, maupun perangkat
teknis terkait, seperti standar data dan sistem digital untuk mendukung proses berbagi pakai data. Hal
ini merupakan salah satu aspek yang ditekankan dalam prinsip penetapan Infrastruktur Data Spasial
(Spatial Data Infrastructure – SDI) di tingkat internasional, yang juga dianut oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG), melalui penetapan 5 pilar utama pendukung Jaringan Informasi Geospasial Nasional
(JIGN), dan juga simpul jaringan informasi geospasial yang direncanakan ada di daerah (Jaringan
Informasi Geospasial Daerah – JIGD).
Inovasi SIG dapat dimulai dari berbagai sisi berdasarkan klasifikasi pilar pendukung JIGN/ JIGD
tersebut. Inovasi penerapan SIG di berbagai daerah juga cenderung akan bervariasi, tergantung dari
kondisi dan kesiapan pemerintah daerah pada masing–masing pilar pendukung JIGN/ JIGD. Oleh
karenanya, kolaborasi untuk mengenali potensi dan kebutuhan masing–masing daerah dalam setiap
pilar implementasi SIG menjadi penting, terutama karena inovasi pada salah satu pilar dapat
berpengaruh terhadap perkembangan inovasi pada pilar–pilar pendukung lainnya.
Beberapa contoh inovasi teknologi SIG yang dapat diterapkan untuk meningkatkan penggunaan SIG
secara berkelanjutan, di antaranya:
Terlepas dari bertumbuhnya kesadaran akan pentingnya teknologi SIG untuk perencanaan perkotaan,
penggunaan SIG seringkali masih terbatas pada tugas tertentu saja, sehingga nilai tambah dari
penggunaan SIG pada proses perencanaan belum optimal. Untuk meningkatkan nilai teknologi SIG
tersebut, diperlukan promosi lebih lanjut dan demonstrasi penerapan teknologi SIG untuk membantu
proses perencanaan. Misalnya, untuk pemetaan fasilitas publik, studi aksesibilitas kawasan,
identifikasi kawasan tergenang air pada permukiman, maupun dokumentasi unit–unit rumah yang
disasar oleh bantuan pemerintah untuk menerima bantuan perbaikan, dsb.
Pendekatan lainnya dapat dilakukan melalui perbaikan kualitas data spasial yang merupakan obyek
dari teknologi SIG. Perbaikan kualitas data ini dapat dilakukan melalui, misalnya: standardisasi data,
format data, atribut informasi, dan metadata data spasial, dengan mengurangi pengumpulan data
spasial secara berulang oleh dinas yang berbeda, memudahkan proses berbagi pakai data antar
dinas, dan peningkatan kualitas analisa spasial yang dapat dilakukan dengan SIG. Contoh kegiatan
inovatif untuk mendorong peningkatan kualitas data spasial di antaranya pengadaan kompetisi
pemetaan, dimana peserta kompetisi berkontribusi melengkapi data spasial yang sudah ada, baik
dari segi cakupan, maupun kuantitas data atribut dari data spasial itu sendiri.
Upaya penerapan teknologi SIG secara berkelanjutan membutuhkan dukungan institusional yang
memadai. Misalnya, untuk memastikan penggunaan teknologi SIG pada proses perencanaan,
seringkali dibutuhkan kelompok kerja (Pokja) yang mendorong penggunaan data spasial dalam proses
analisa terkait pembuatan rencana perkotaan. Meskipun tidak terlibat langsung dengan teknologi SIG
itu sendiri, dukungan institusional berperan penting dalam alokasi sumber daya (keuangan, SDM untuk
Pokja, dll) yang memungkinkan implementasi SIG yang berkelanjutan.
• Peningkatan Partisipasi Publik dalam Proses Pengumpulan dan Penggunaan Data Spasial
Jaringan koordinasi penggunaan SIG pemerintah kota dapat juga dikembangkan dengan melibatkan
berbagai elemen masyarakat, baik penerima manfaat, maupun yang berpotensi berkontribusi dalam
penggunaan SIG untuk perencanaan, seperti akademisi. Pengembangan portal berbagi pakai data
spasial juga dapat membantu diseminasi data spasial yang sudah dikonsolidasikan dengan berbagai
dinas. Selain sebagai platform berbagi pakai data antar dinas pemerintah kota, ketika sudah
diterapkan, portal ini juga berfungsi mendiseminasikan informasi kepada publik, seperti penyebaran
informasi titik-titik perbaikan jalan pada kawasan permukiman, dll. Dengan ini, portal berbagi data
dapat berkontribusi terhadap peningkatan nilai teknologi SIG pada perencanaan perkotaan.
Namun demikian, kontribusi dan partisipasi dinas maupun publik baru akan mungkin terjadi apabila
staf dinas dan masyarakat memiliki pemahaman tertentu tentang SIG. Karenanya, diperlukan
penguatan kapasitas pemerintah kota dan masyarakat, seperti BKM, tentang teknologi SIG. Misalnya,
BKM dapat diperkenalkan dengan pemanfaatan SIG ketika pemetaan swadaya untuk memetakan area
yang pernah terdampak banjir. Penguatan kapasitas tersebut juga dapat berkontribusi terhadapproses
perencanaan yang lebih komprehensif, serta berkontribusi terhadap pilar standar data, yang juga
merupakan salah satu pilar pendukung penggunaan SIG yang berkelanjutan.
Referensi
Rusmanto, A. (2019). Peranan Jaringan Informasi Geospasial Nasional Dalam
Mendukung Pelaksanaan Satu Data Indonesia. Badan Informasi Geospasial, Bidang
Infrastruktur Informasi Geospasial. Cirebon: Badan Informasi Geospasial.
Berikut ini contoh inovasi dokumentasi, dan inventori fasilitas umum yang ada di kelurahan dan
kondisi umumnya, dalam format data spasial (GIS).
Tabel atribut serupa dapat ditambahkan pada fasilitas publik yang ingin diidentifikasi (dalam hal ini,
fasilitas air minum dan sanitasi). Contoh atribut yang dapat didokumentasikan dapat berupa, misalnya:
jumlah bilik, kondisi fasilitas, amenities yang terdapat pada fasilitas (toilet, area cuci tangan, dll), dan
hasil evaluasi/ pelaporan sementara apakah fasilitas tersebut sudah aksesibel secara universal atau
belum (variable biner: ya/ tidak).
Berikut ini contoh kajian potongan jalan dan aksesibilitas fasilitas, dan respon desain berupa gambar
desain skematik/ DED, dilengkapi RAB, dan RKS.
Gambar 1 Contoh dokumentasi dan studi potongan jalan, sebagai bahan masukan pembuatan respon desain
berupa DED, RAB, dan RKS