Anda di halaman 1dari 28

Referat

GANGGUAN BICARA PADA ANAK

Pembimbing:
Dr. Deddy Ria Saputra, Sp.A

Penyusun:
Yunita Nugrahani
030.01.285

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Periode 16 April – 23 Juni 2007
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
GANGGUAN BICARA PADA ANAK

Bab I
PENDAHULUAN

Bab II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan bahasa normal
2.2 Prevalensi
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Manifestasi Klinik
2.6 Diagnosis
2.7 Penatalaksanaan
2.8 Prognosis
2.9 Pencegahan

Bab III
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan simbolisasi dari pikiran berupa kode yang telah kita pelajari;
atau suatu sistem yang telah disepakati yang memungkinkan kita untuk
mengomunikasikan ide-ide serta mengekspresikan keinginan dan kebutuhan kita.
Membaca, menulis, gerakan tubuh, dan berbicara adalah semua bentuk dari bahasa.
Bahasa terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bahasa reseptif: memahami apa yang
tertulis atau apa yang dikatakan, dan bahasa ekspresif: kemampuan untuk berbicara dan
menulis.1
Kemampuan bahasa membedakan manusia dengan hewan. Orang tua dengan
antusias menunggu awal perkembangan bicara anak mereka. Bila anak tidak dapat bicara
normal, maka mereka mengira bahwa anak mereka bodoh atau mengalami retardasi.
Sering orang tua memperkirakan bahwa perkembangan bicara anak di luar normal
merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan, sehingga orang tua membawa anak ke
dokter.2,3
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem
lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan
lingkungan di sekitar anak. Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan
dari lingkungannya. Mereka harus mendengar pembicaran yang berkaitan dengan
kehidupannya sehari-hari maupun pengetahuan tentang dunia. Mereka harus belajar
mengekspresikan dirinya, membagi pengalamannya dengan orang lain dan
mengemukakan kinginannya.2,3
Pada umumnya bila seorang anak pada umur 2 tahun belum dapat mengucapkan
kata-kata harus dicari penyebabnya. Anak disebut slow talker bila perkembangan lainnya
normal, kecuali terlambat dalam bicara dan pada anamnesis didapatkan di dalam keluarga
juga terdapat anggota keluarga lain yang terlambat bicaranya. Seorang anak rata-rata
mulai mengeluarkan kata-kata tunggal antara umur 10-12 bulan, mulai mengucapkan
kalimat pendek pada umur 18 bulan dan kalimat sempurna kira-kira pada umur 30 bulan.4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan bahasa normal5

Pengertian antara berbicara (speech) dan bahasa (language) sering kali


membingungkan, tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Berbicara (speech) adalah ekspresi verbal dari bahasa yang meliputi artikulasi sebagai
sarananya sehingga terbentuk kata-kata yang dapat kita dengar.
Bahasa (language) memiliki penertian yang lebih luas, meliputi seluruh sistem
pengekspresian dan penerimaan informasi yang memiliki makna. Bahasa dapat
dimengerti secara pasif dan aktif melalui komunikasi – verbal, non verbal, dan tertulis.

Di bawah 12 bulan

Penting pada anak-anak usia ini untuk diobservasi bahwa mereka menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi dengan lingkungan mereka. Tertawa dan mengoceh adalah fase
awal dari perkembangan berbicara. Seiring dengan pertambahan usia bayi (sekitar usia 9
bulan), mereka mulai merangkai suara-suara, menggabungkan kata-kata dengan nada
yang berbeda, dan mengucapka kata-kata seperti “mama” dan “dada” (tanpa mengetahui
makna dari kata-kata tersebut). Sebelum usia 12 bulan, anak-anak seharusnya sudah peka
terhadap suara. Bayi yang pandangannya fokus sekali tetapi tidak bereaksi terhadap
suara mungkun memiliki gangguan pada pendengarannya.

12 sampai 15 bulan

Anak pada usia ini pada normalnya harus mengoceh lebih banyak lagi dan sedikitnya
mengeluarkan satu atau lebih kata yang bermakna (tidak termasuk “mama” dan “dada”).
Kata benda biasanya muncul lebih awal seperti “baby” dan “ball”. Anak seharusnya juga
mampu untuk memahami dan menuruti satu perintah (contoh, “tolong ambilkan
mainanmu.”).
18 sampai 24 bulan

Anak sudah memiliki sekitar 20 perbendaharaan kata pada usia 18 bulan dan 50 atau
lebih kata-kata yang belum sempurna saat usia mereka mencapai 2 tahun. Ketika usia 2
tahun, anak-anak sudah belajar untuk mengombinasikan dua kata, seperti “adik nangis”
atau “ayah besar.” Seorang anak yang berusia 2 tahun harus sudah mampu untuk
melaksanakan dua buah perintah (seperti "tolong ambilkan mainanmu dan ambil
gelasmu” ).

2 sampai 3 tahun

Pada usia ini anak akan mengalami perkembangan bahasa yang pesat dan perbendaharaan
kata yang amat meningkat. Mereka sudah bisa menggabungkan tiga atau lebih kata-kata
menjadi satu kalimat. Kemampuan anak dalam memahami bahasa juga meningkat pada
usia 3 tahun. Mereka mulai memahami apa maksud dari “taruh di meja itu” atau “taruh
itu di bawah tempat tidur.” Anak juga sudah harus mulai bisa menyebutkan warna dan
memahami konsep deskriptif (contonya membedakan besar dan kecil).

2.2 Prevalensi

Gangguan bicara merupakan salah satu masalah yang sering terdapat pada anak-
anak . Menurut NCHS, berdasarkan atas laporan orang tua (di luar gangguan
pendengaran serta celah pada palatum), maka angka kejadiannya adalah 0,9 % pada anak
di bawah umur 5 tahun dan 1,94 % pada anak yang berumur 5-14 tahun. Dari hasil
evaluasi langsung terhadap anak usia sekolah, angka kejadiannya 3,8 kali lebih tinggi dari
yang berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hal ini, diperkirakan gangguan bicara
dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %.2
Di AS, rasio prevalensi untuk keterlambatan bicara dan bahasa telah dilaporkan
dalam batasan yang luas. Penelitian terbaru Cochrane melaporkan prevalensi untuk
keterlambatan bicara, keterlambatan bahasa, dan kombinasi keduanya pada umur pra
sekolah dan anak umur sekolah. Untuk anak umur pra sekolah, 2 sampai 4,5 tahun, studi
yang mengevaluasi kombinasi keterlambatan bicara dan bahasa melaporkan rasio
prevalensi antara 5 % sampai 8 %, dan studi tentang keterlambatan bahasa melaporkan
rasio prevalensi antara 2,3 % sampai 19 %. Anak dengan keterlambatan bicara dan
bahasa usia pra sekolah yang tidak diterapi menunjukkan rasio variabel yang persisten
(dari 0 % sampai 100 %), dengan laporan hasil studi tersering menyatakan 40 % sampai
60 %. 6
Rata-rata keseluruhan untuk gangguan bicara dan bahasa adalah sekitar 5 % pada
anak usia sekolah. Meliputi kelainan pada suara (3%) dan gagap (1%). Insiden pada
anak-anak sekolah dasar dengan gangguan perkembangan adalah 2 % sampai 3 % ,
walaupun persentasenya menurun seiring dengan pertambahan usia.
Dari jumlah gangguan pada anak usia sekolah, 10 % sampai 20 % membutuhkan
beberapa tipe pendidikan khusus. Sekitar sepertiga murid yang tuli mengukuti sekolah
khusus. Dua pertiga mengikuti program di sekolah khusus anak-anak tuna rungu atau
mengikuti kelas di sekolah reguler. Sisanya mengikuti sekolah reguler.7

2.3 Etiologi2

Penyebab kelainan berbahasa ada bermacam-macam yang melibatkan berbagai


faktor yang dapat saling mempengaruhi; antara lain kemampuan lingkungan,
pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis dan lain sebagainya. Seorang anak
mungkin kehilangan pendengaran sensoneural dari sedang sampai berat. Sedangkan yang
lain mungkin kehilangan pendengaran konduksi berulang, sehingga kemampuan bicara
keseluruhannya menurun. Demikian pula suatu gangguan bicara (disfasia) dapat terjadi
tanpa adanya cedera otak atau keadaan lainnya. Blagger (1981) membagi penyebab
gangguan bicara dan bahasa sebagai berikut:
Penyebab Efek pada perkembangan bicara
1. Lingkungan  
a. Sosial ekonomi kurang Terlambat
b. Tekanan keluarga Gagap
c. Keluarga bisu Terlambat pemerolehan bahasa
d. Di rumah menggunakan bahasa
bilingual Terlambat pemerolehan struktur bahasa

2. Emosi  
a. Ibu yang tertekan Terlambat pemerolehan bahasa
b. Gangguan serius pada orang tua Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
c. Gangguan serius pada anak Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa

3. Masalah pendengaran  
a. Kongenital Terlambat/gangguan bicara yang permanen
b. Didapat Terlambat/gangguan bicara yang permanen

4. Perkembangan terlambat  
a. Perkembangan lambat Terlambat bicara
b. Perkembangan lambat, tetapi masih Terlambat bicara
dalam batas rata-rata  
c. Retardasi mental Pasti terlambat bicara

5. Cacat bawaan  
a. Palatoschizis Terlambat dan terganggu kemampuan bicaranya
b. Sindrom down Kemampuan bicaranya lebih rendah

6. Kerusakan otak  
Mempengaruhi kemampuan mengisap,
a. Kelainan neuromuskular menelan,
mengunyah, dan akhirnya timbul gangguan
  bicara
  dan artikulasi seperti disartria
b. Kelainan sensorimotor Mempengaruhi kemampuan mengisap
  dan menelan, akhirnya menimbulkan gangguan
  artikulasi, seperti dispraksia
Berpengaruh pada pernafasan, makan dan
c. Palsi serebral timbul
  juga masalah artikulasi yang dapat
  mengakibatkan disartria dan dispraksia
d.Kelainan persepsi Kesulitan membedakan suara, mengerti bahasa,
  simbolisasi, mengenal konsep, akhirnya
  menimbulkan kesulitan belajar di sekolah
Perkembangan bahasa yang lambat dapat bersifat familial. Oleh karena itu harus
dicari dalam keluarga apakah ada yang mengalami keterlambatan bicara juga. Di samping
itu kelainan bicara juga lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan. Hal ini
karena pada perempuan, maturasi dan perkembangan fungsi verbal hemisfer kiri lebih
baik. Sedangkan pada laki-laki perkembangan hemisfer kanan yang lebih baik, yaitu
untuk tugas yang abstrak dan memerlukan keterampilan.
Sedangkan Aram DM (1978), mengatakan bahwa gangguan bicara pada anak
dapat disebabkan oleh kelainan di bawah ini:

1. Lingkungan sosial anak


Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua komunikasi dan perkembangan
bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan menyebabkan gangguan bicara dan
bahasa pada anak.

2. Sistem masukan/input
Adalah sistem pendengaran, penglihatan dan integritas taktil-kinestetik dari anak.
Pendengaran merupakan alat yang penting dalam perkembangan bicara. Anak dengan
otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan mengalami keterlambatan
kemampuan menerima ataupun mengungkapkan bahasa. Gangguan bicara juga terdapat
pada tuli oleh karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli neurosensorial
(infeksi intra uterin: sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus), tuli konduksi
seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak dapat mendengar),
tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi
suatu pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada skizofrenia, autisme
infantile, keadaan cemas dan reaksi psikologis lainnya.
Pola bahasa juga akan terpengaruh pada anak dengan gangguan penglihatan yang berat,
demikian pula dengan anak dengan defisit taktil-kinestetik akan terjadi gangguan
artikulasi.

3. Sistem pusat bicara dan bahasa


Kelainan susunan saraf puast akan mempengaruhi pemahaman, interpretasi, formulasi
dan perencanaan bahasa, juga pada aktivitas dan kemampuan intelektual dari anak.
Gangguan komunikasi biasanya merupakan bagian dari retardasi mental, misalnya pada
Sindrom Down.

4. Sistem produksi
Sistem produksi suara seperti laring, faring, hidung, struktur mulut, dan mekanisme
neuromuskular yang berpengaruh terhadap pengaturan nafas untuk berbicara, bunyi
laring, pembentukan bunyi untuk artikulasi bicara melalui aliran udara lewat laring,
faring, dan rongga mulut.

2.4 Patofisiologi8

Terdapat dua aspek untuk dapat berkomunikasi: pertama, aspek sensorik (input
bahasa), yang melibatkan telinga dan mata, dan kedua, aspek motorik (output bahasa),
yang melibatkan vokalisasi dan pengaturannya.

Urutan proses komunikasi-input bahasa dan output bahasa adalah sebagai berikut:
1. sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik primer yang nantinya akan
menyandikan sinyal tadi dalam bentuk kata-kata
2. kata-kata lalu diinterpretasikan di area Wernicke
3. penentuan buah pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan juga terjadi di dalam
area Wernicke
4. penjalaran sinyal-sinyal dari area Wernicke ke area Broca melalui fasikulus
arkuatus
5. aktivitas program keterampilan motorik yang terdapat di area Broca untuk
mengatur pembentukan kata
6. penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot bicara.
Apabila terjadi kelainan pada salah satu jalannya impuls ini, maka akan terjadi kelainan
bicara.

Apek sensorik pada komunikasi

Bila ada kerusakan pada bagian area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual
pada korteks, maka dapat menimbulkan ketidakmampuan untuk mengerti kata-kata yang
diucapkan dan kata-kata yang tertulis. Efek ini secara berturut-berturut disebut sebagai
afasia reseptif auditorik dan afasia reseptif visual atau lebih umum , tuli kata-kata dan
buta kata-kata (disebut juga disleksia).

Afasia Wernicke dan Afasia Global


Beberapa orang mampu mengerti kata-kata yang diucapkan atau pun kata-kata yang
dituliskan namun tak mampu menginterpretasikan pikiran yang diekspresikan. Keadaan
ini sering terjadi bila area Wernicke yang terdapat di bagian posterior hemisfer dominan
girus temporalis superior mengalami kerusakan atau kehancuran. Oleh karena itu, tipe
afasia ini disebut afasia Wernicke.
Bila lesi pada area Wernicke ini meluas dan menyebar (1) ke belakang ke regio girus
angular, (2) ke inferior ke area bawah lobus temporalis, dan (3) ke superior ke tepi
superior fisura sylvian, maka penderita tampak seperti benar-benar terbelakang secara
total (totally demented) untuk mengerti bahasa atau berkomunikasi, dan karena itu
dikatakan menderita afasia global.

Aspek motorik komunikasi

Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1) membentuk
buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian
(2) mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri.
Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata merupakan fungsi area
asosiasi sensorik otak. Sekali lagi, area Wernicke pada bagian posterior girus temporalis
superior merupakan hal yang paling penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu,
penderita yang mengalamai afasia Wernicke atau afasia global tak mampu
memformulasikan pikirannya untuk dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah,
maka penderita masih mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu
menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk
mengekspresikan pikirannya. Seringkali, penderita fasih berkata-kata namun kata-kata
yang dikeluarkan tidak beraturan.

Afasia motorik akibat hilangnya Area Broca


Kadang-kadang, penderita mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan mampu
bervokalisasi, namun tak dapat mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata
selain suara ribut. Efek ini, disebut afasia motorik, disebabkan oleh kerusakan pada area
bicara Broca, yang terletak di regio prefontal dan fasial premotorik korteks—kira-kira 95
persen kelainannya di hemisfer kiri. Oleh karena itu, pola keterampilan motorik yang
dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang
dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.

Artikulasi
Kerja artikulasi berarti gerakan otot-otot mulut, lidah, laring, pita suara, dan sebagainya,
yang bertanggung jawab untuk intonasi, waktu, dan perubahan intensitas yang cepat dari
urutan suara. Regio fasial dan laringela korteks motorik mengaktifkan otot-otot ini, dan
serebelum, ganglia basalis, dan korteks sensorik semuanya membantu mengatur urutan
dan intensitas dari kontraksi otot, dengan mekanisme umpan balik sereberal dan fungsi
ganglia basalis. Kerusakan setiap regio ini dapat menyebabkan ketidakmampuan parsial
atau total untuk berbicara dengan jelas.

2.5 Manifestasi Klinik2,3

Terdapat bermacam-macam klasifikasi disfasia, tergantung dari cara pandang


mana. Kebanyakan sistem klasifikasi berdasarkan atas model input-output. Beberapa
telah didefinisikan dengan menggunakan tes yang telah distandarisasi. Ada yang
menggunakan model didasari pendengaran dan ada pula yang berdasarkan patofisiologi
terjadinya disfasia.
Klasifikasi kelainan bahasa pada anak menurut Rutter (dikutip dari Toback C.),
berdasarkan atas berat ringannya kelainan bahasa sebagai berikut:
Klasifikasi kelainan bahasa menurut Rutter.

Keterlambatan akuisisi dari bunyi kata-kata, bahasa


Ringan normal Dislalia
Keterlambatan lebih berat dari akuisisi bunyi kata- Disfasia
Sedang kata ekspresif
  dan perkembangan bahasa terlambat  
Berat Keterlambatan lebih berat dari akuisis dan bahasa, Disfasia reseptif
  gangguan pemahaman bahasa dan tuli persepsi
Sangat
berat Ganggauan pada seluruh kemampuan bahasa Tuli persepsi dan
    tuli sentral

Sedangkan Rapin dan Allen (dikutip dari Klein,1991) berdasar patofisiologi,


membagi kelainan bahasa pada anak mejadi 6 subtipe, yaitu:
1. 2 primer ekspresif:
- disfraksia verbal
- gangguan defisit produksi fonologi
2. defisit represif dan ekspresif
- gangguan campuran ekspresif- represif
- disfasia verbal auditori agnosia
3. 2 defisit bahasa yang lebih berat
- gangguan leksikal-sintaksis
- gangguan semantik-pragmatik

Anak dengan disfraksi verbal (afraksia verbal atau gangguan perkembangan


bicara ekspresif) mengerti segala sesuatu yang dikatakan padanya, mereka lebih sering
menunjuk dari pada bicara. Banyak yang mempunyai riwayat prematur, beberapa
menderita disfraksia oromotor (anak ini mengeluarkan air liur dan mempunyai kesulitan
mengikuti gerakan mulut). Jika mereka bicara, lebih banyak menggunakan suara vokal
dengan gangguan pengucapan konsonan. Anak-anak ini setelah dewasa menjadi afemia.
Anak dengan disfraksia verbal kadang-kadang disertai dengan gangguan tingkah laku
(autisme). Rehabilitasi pada anak ini lebih memerlukan terapi wicara yang intensif.
Beberapa anak bicara dengan kata-kata dan frase yang sulit dimengerti, bahkan
pada orang-orang yang selalu kontak dengannya. Sehingga mereka sering marah dan
frustasi karena merasa bahwa kata-katanya sulit dimengegerti oleh sekitarnya. Mereka ini
tidak ada gangguan dalam pengertian, tetap terdapat gangguan defisit fonologi.
Anak yang bicaranya sulit dipahami yang juga menunjukkan adanya gangguan
pemahaman terhadap apa yang dikatakan kepadanya, menunjukkan gangguan campuran
ekspresif–reseptif. Mereka bicara dalam kalimat yang pendek dan banyak dari mereka
yang autistik. Setelah dewasa mereka menjadi afasia (afasia Broca), hanya sedikit yang
diketahui bagaimana hal ini bisa terjadi.
Beberapa anak mengerti sedikit pada apa yang dikatakan kepadanya, walaupun
kadang-kadang mereka mengikuti suatu pembicaraan dengan cara lain, misalnya dengan
memperhatikan apa yang dilihatnya. Mereka sangat miskin dalam artikulasi kata-kata.
Mereka ini dinamakan disfasia verbal auditori agnosia. Mereka ini termasuk afasia yang
didapat, dimana mereka sebelumnya sering kejang dan kehilangan kemampuan berbicara
setelah periode perkembangan bahasa yan normal (sindrom Landau Kleffner). Pada EEG
anak dengan sindrom ini, akan tampak bitemporal spike. Anak dengan disfasia jenis ini,
memproses suara suara yang didengarkan di pusat dengar berbeda dengan anak normal.
Stimulasi bahasa akan meperbaiki keadaan, walaupun hasil akhirnya masih belum pasti.

Anak dengan gangguan leksikal-sintaksis mempunyai kesulitan dalam


menemukan kata-kata yang tepat khususnya saat bercakap-cakap. Mereka tidak gagap
dan tidak menghindar untuk berbicara. Gejalanya seperti orang dewasa dengan afasia
konduksi, dimana mereka akan berhenti bicara seentar untuk menemuka kata-kata yang
tepat. Anak ini biasanya bicara dengan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek untuk
umurnya. Terapi bicara akan membantu melatih anak mencari kata-kata yang tepat pada
saat bicara, tetapi prognosis selanjutnya masih belum banyak diketahui.
Beberapa anak ada yang bicaranya lancar dan dapat menggunakan kata-kata yang
tepat, tetapi mereka bicara tanpa henti mengenai satu topik. Mereka tidak mengerti tata
bahasa. Gejalanya mirip gangguan bicara pada anak denga hidrosefalus dan oleh Rapi
dan Allen disebut gangguan semantik pragmatik. Anak ini pada umumnya menderita
gangguan hubungan sosial dan didiagnosis sebagai gangguan perkembangan pervasif.
Mereka punya sedikit teman sebaya dan tidak pernah mau belajar aturan permainan dan
bicara dari teman sebayanya. Ada baiknya anak ini diajar keterampilan berbicara, bahkan
diperlukan psokolog dan ahli terapi tingkah laku.
Aram DM (1978) dan Towne (1983), mengatakan bahwa dicurigai adanya
gangguan perkembangan kemampuan bahasa pada anak, kalau ditemukan gejala-gejala
seperti berikut:
1. Pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap
suara yang datang dari belakang atau samping.
2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya
sendiri.
3. Pada umur 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan,
da-da, dan sebagainya.
4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut 10 kata tunggal.
5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk,
kemari, berdiri).
6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh
7. Pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang terdiri dari 2
buah kata.
8. Setelah usia 24 bulan hanya mempunyai perbendaharaan kata yang sangat
sedikit/tidak mempunyai kata-kata huruf z pada frase.
9. Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarga.
10. Pada usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat-kalimat sederhana.
11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan kata tanya yang sederhana.
12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak dimengerti oleh orang di luar keluarganya.
13. Pada usia 3,5 tahun selalu gagal untuk menyebutkan kata akhir (ca untuk cat, ba
untuk ban, dan lain-lain).
14. Setelah berusia 4 tahun tidak lancar berbicara/gagap.
15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan ucapan.
16. Pada usia berapa saja terdapat hipernasalitas atau hiponasaliatas yang nyata atau
mempunyai suara yang monoton tanpa berhenti, sangat keras dan tidak dapat
didengar serta terus-menerus memperdengarkan suara yang serak.
2.6 Diagnosis2

1. Anamnesis

Pengambilan anamnesis harus mencakup uraian mengenai perkembangan bahasa


anak. Autisme setelah berumur 18 bulan dan bicara yang sulit dimengerti setelah berumur
3 tahun, paling sering ditemukan. Dokter anak harus curiga bila orang tua melaporkan
bahwa anaknya tidak dapat menggunakan kata-kata yang berarti pada umur 18 bulan atau
belum mengucapkan frase pada umur 2 tahun. Atau anak memakai bahasa yang singkat
untuk menyampaikan maksudnya.
Kecurigaan adanya gangguan tingkah laku perlu dipertimbangkan kalau dijumpai
gangguan bicara dan tingkah laku yang bersamaan. Kesulitan tidur dan makan sering
dikeluhkan orang tua pada awal gangguan autisme. Pertanyaan bagaimana anak bermain
dengan temannya dapat membantu mengungkap tabir tingkah laku. Anak dengan autisme
lebih senang bermain dengan huruf balok atau magnetik dalam waktu yang lama. Mereka
dapat saja bermain dengan anak sebaya, tetapi dalam waktu singkat menarik diri.

2. Instrumen penyaring

Selain anamnesis yang teliti, disarankan digunakan instrumen penyaring untuk


menilai gangguan perkembangan bahasa. Misalnya Early Language Milestone Scale
(Copelan dan Gleason), atau DDST (pada Denver II penilaian pada sektor bahasa lebih
banyak dari pada DDST yang lama) atau Receptive-Expressive Emergent Language
Scale. Early Language Milestone Scale cukup sensitif dan spesifik untuk
mengidentifikasi gangguan bicara pada anak kurang dari 3 tahun.

3. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk mengungkapkan penyebab lain dari


gangguan bahasa. Apakah ada mikrosefali, anomali telinga luar, otitis media yang
berulang, sindrom William (fasies Elfin, perawakan pendek, kelainan jantung, langkah
yang tidak mantap), celah palatum, dan lain-lain.
Gangguan oromotor dapat diperiksa dengan menyuruh anak menirukan gerakan
mengunyah, menjulurkan lidah dan mengulang suku kata PA, TA, PA-TA, PA-TA-KA.
Gangguan kemampuan oromotor terdapat pada verbal apraksia.

4. Pengamatan saat bermain

Mengamati anak saat bermain dengan alat permainan yang sesuai dengan
umurnya, sangat membantu dalam mengidentifikasi gangguan tingkah laku. Idealnya
pemeriksa juga bermain dengan anak tersebut dan kemudian mengamati orang tuanya
saat bermain dengan anaknya. Tetapi ini tidak praktis dilakukan pada ruangan yang
ramai. Pengamatan anak saat bermain sendiri, selama pengambilan anamnesis dengan
orang tuanya, lebih mudah dilaksanakan. Anak yang memperlakukan mainannya sebagai
objek saja atau hanya sebagai titik pusat perhatian saja, dapat merupakan petunjuk
adanya kelainan tingkah laku.

5. Pemeriksaan laboratorium

Semua anak dengan gangguan bahasa harus dilakukan tes pendengaran. Jika anak
tidak kooperatif terhadap audiogram atau hasilnya mencurigakan, maka perlu dilakukan
pemeriksaan ”auditory brainstem responses”.
Pemeriksaaan laboratorium lainnya dimaksudkan untuk membuat diagnosis
banding. Bila terdapat gangguan pertumbuhan, mikrosefali, makrosefali, terdapat gejala-
gejala dari suatu sindrom perlu dilakukan CT-scan atau MRI, untuk mengetahui adanya
malformasi. Pada anak laki-laki dengan autisme dan perkembangan yang lambat, skrining
kromosom untuk fragil-X mungkin diperlukan. Skrining terhadap penyakit-penyakit
metabolik baru dilakukan kalau terdapat kecurigaan ke arah itu, karena pemeriksaan ini
sangat mahal.

6. Konsultasi

Pemeriksaan dari psikolog atau/neuropsikiater anak diperlukan jika ada gangguan


bahasa dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat dan tes bahasa, keampuan
kognitif dan tingkah laku. Tes intelegensia dapat dipakai sebagai perbandingan fungsi
kognitif anak tersebut. Masalah tingkah laku dapat diperiksa lebih lanjut dengan
menggunakan instrumen seperti Vineland Social Adaptive Scale Revised. Child
Behaviour Checklist, atau Childhood Autism Rating Scale. Konsultasi ke psikiater anak
dilakukan bila ada gangguan tingkah laku yang berat.
Ahli patologi wicara akan mengevaluasi cara pengobatan anak dengan gangguan bicara.
Anak akan diperiksa apakah ada masalah anatomi yang mempengaruhi produksi suara.

Pada halaman selanjutnya adalah diagram yang juga dapat digunakan untuk mendiagnosa
seorang anak dengan keterlambatan bicara.9
Pemahaman bahasa

Normal Terlambat

Kualitas dalam Kemampuan dalam area non bahasa, termasuk


berbicara bermain dengan menggunakan simbol-simbol

Terbatas tetapi Banyak tetapi Buruk Normal Bentuk normal,


jelas tidak jelas tidak dapat
bermain dengan
simbol,
komunikasi yang
Pendengaran buruk
Terdapat
kelainan

Menetap Tidak Tidak Normal


menetap normal

Tuli Gangguan
Immatur, Dispraksia dalam
perkembangan berbicara
yang tidak
sempurna,
gangguan Perkembangan
bahasa yang tidak Autisme
ekspresif sempurna,
retardasi mental

Immatur,
disartria
2.7 Penatalaksanaan

Deteksi dan penanganan dini pada problem bicara dan bahasa pada anak, akan
membantu anak dan orang tua untuk menghindari atau memperkecil kelainan pada masa
sekolah.2
Dalam diagnosa dan penanganannya diperlukan ahli yang beragam seperti dokter, ahli
terapi: ahli terapi bicara dan ahli fisioterapi, psikolog, perawat, dan pekerja sosial.9

2.8 Prognosis2

Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya. Dengan


perbaikan masalah medis seperti tuli konduksi dapat menghasilkan perkembangan bahasa
yang normal pada anak yang tidak retardasi mental. Sedangkan perkembangan bahasa
dan kognitif pada anak dengan ganguan pendengaran sensoris bervariasi. Dikatakan
bahwa anak dengan gangguan fonologi biasanya prognosisnya lebih baik. Sedangkan
gangguan bicara pada anak yang intelegensinya normal perkembangan bahasanya lebih
baik dari pada anak yang retardasi mental. Tetapi anak dengan gangguan yang multipel,
terutama dengan gangguan pemahaman, gangguan bicara ekspresif, atau kemampuan
naratif yang tidak berkembang pada usia 4 tahun, mempunyai gangguan bahasa yang
menetap pada umur 5,5 tahun.

2.9 Pencegahan10

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dihindari untuk untuk mencegah
adanya masalah keterlambatan bicara pada anak - di luar adanya kelainan organik dan
bawaan pada anak.
Hal yang perlu diperhatikan:

Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua


Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran
yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa
yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi
dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-
kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-
kalimat yang sangat sederhana sekali pun.
Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua
patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang
tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak
menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan memasukkan segala
instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi
kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang
mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.

Pengaruh televisi
Sejauh ini, terlalu banyak menonton televisi pada anak-anak usia batita
merupakan faktor yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat
menonton televisi, anak akan akan lebih sebagai pihak yang menerima tanpa harus
mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan
berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya
traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara
yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada
anak dan karena memampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya,
dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari
lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena
yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan
respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan
bicara akan terhambat perkembangannya.
Sedikitnya latihan dalam berinteraksi dengan orang lain
Pastikan bahwa anak tidak kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang
lain guna melatih kemampuan komunikasi mereka.
 
Hal yang perlu dihindari:

Peran yang terlalu pasif dalam kehidupan sosial


Kebanyakan anak lebih sering ditempatkan dalam posisi “menerima” dan tidak
“memberi” dalam hubungannya dengan orang lain. Hal ini mengakibatkan tidak
terbiasanya mereka berpartisipasi secara aktif; hal yang dibutuhkan dalam perkembangan
bicara mereka.
 
Cara komunikasi “kuno” yang sudah terlalu nyaman dipakai
Beberapa anak, khususnya dalam hubungan di dalam keluarganya, terbiasa dengan
nyaman berkomunikasi menggunakan gerakan, bahasa tubuh maupun bunyi-bunyian saja.
Hal ini boleh jadi merupakan cara komunikasi yang efektif di dalam rumah, namun tidak
dalam lingkup masyarakat, di mana anak butuh menggunakan bahasa secara verbal
sampai ke tingkat kata-kata yang rumit.
 
Tidak menganggap bahwa anak mampu
Banyak orang dewasa tidak melibatkan anak dalam berkomunikasi, karena memiliki
pemikiran bahwa anak tersebut belum mampu berpartisipasi aktif ataupun mengerti
pembicaraan yang berlangsusng.
 
Orang dewasa bicara atas nama mereka
Seringkali orang dewasa berbicara atas nama anak, sehingga mereka kelihatan tidak
berbicara.
Terlalu banyak rangsangan
Sekalipun untuk niat dan tujuan yang baik, seringkali anak “dijejali” dengan terlalu
banyak bahasa, sehingga mereka kewalahan. Rasanya seperti anak yang sedang belajar
menangkap bola, lalu dilempari beberapa bola sekaligus.

Terlalu banyak bahasa “sekolah”, kurang bahasa yang “komunikatif “


Kebanyakan anak pada awal usianya diajarkan bahasa yang mencakup “warna”, “angka”,
yang sebetulnya tidak terlalu bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari. Anak
membutuhkan rangsangan bahasa yang sifatnya praktis; mencakup kosa kata yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, karena mereka akan melatih kemampuan
berbahasanya melalui kehidupan sehari-hari.

Kurangnya “obrolan “sosial”


Kebanyakan anak menggunakan bahasa untuk menunjukkan kemampuannya meniru
sesuatu kepada orang dewasa; apakah itu sajak pendek, syair lagu, mengulang cerita yang
didongengkan kepada mereka, dll. Hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan untuk
“mengobrol” dan bertanya jawab secara santai, sehingga terbangun hubungan
“pertemanan” dengan orang yang berkomunikasi dengan mereka.
 
Terlalu banyak bermain sendiri
Tentunya anak belajar banyak melalui permainannya dengan boneka, robot atau mainan
lainnya. Namun untuk melatih kemampuannya berkomunikasi, ia akan membutuhkan
juga manusia yang melakukan pembicaraan timbal balik sesuai dengan kemampuan anak.
BAB III
PENUTUP

Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena


kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem
lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan
lingkungan di sekitar anak.2,3 Diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah
sekitar 4-5 %.2
Secara umum, gangguan berbahasa dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu: (1)
Kegagalan memperoleh kemampuan berbahasa apapun. Keadaan ini misalnya terdapat
pada anak yang menderita retardasi mental berat; (2) Kendala kemampuan bahasa yang
telat didapat, yang dapat disebabkan oleh trauma fisik damupun psikis, atau oleh
gangguan neurologist; (3) Gangguan perkembangan berbahasa. Tipe inilah yang
dikategorikan dalam gangguan perkembangan spesifik. Terdapat dua sub tipe, yaitu (a)
tipe reseptif, yaitu kesukaranuntuk menrima dan mengerti bahasa yang dibicarakan, dan
(b) tipe ekspresif, yaitu kesukaran dalam mengekspresikan bahasa secara verbal.11
Deteksi dan penanganan dini pada gangguan keterlambatan bicara dan bahasa
dapat membantu baik anak atau orang tua untuk memperkecil kesulitan di masa sekolah
anak.3 Dalam diagnosa dan penanganannya diperlukan ahli yang beragam seperti dokter,
ahli terapi: ahli terapi bicara dan ahli fisioterapi, psikolog, perawat, dan pekerja sosial.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Caroline Bowen. Speech And Language Development In Infants And Young


Children, dalam Caroline Bowen Phd Speech-Language Pathologist. Didapatkan
dari URL: http://www.speech-language-therapy.com/devel1.htm. Diakses pada
tanggal 22 Mei 2007.
2. Soetjiningsih. Gangguan Bicara dan Bahasa Pada Anak, dalam I.G.N.Gde Ranuh
(ed): Tumbuh Kembang Anak. EGC, Surabaya, 18, 237-247.
3. Behrman Kliegmar Jenson. Disorders of Hearing, Speech, and Language, dalam
Nelson Textbook of Pediatrics, 17th. Saunders, Philadelphia, 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gangguan Bicara Pada Anak, dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985,
6, 102-105.
5. Nemours Foundation. Delayed Speech Or Language Development, dalam Kids
Health For Parents. Didapatkan dari URL:
http://www.kidshealth.org/parent/growth/communication/not_talk.html. Diakses
pada tanggal 22 Mei 2007.
6. Screening for Speech and Language Delay in Preschool Children: Systematic
Evidence Review for the US Preventive Services Task Force, dalam Official
Journal Of The American Academy Of Pediatrics. Didapatkan dari URL:
http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/117/2/e298. Diakses pada
tanggal 22 Mei 2007.
7. Come Unity. Children with Communication Disorders, dalam Children’s
Disabilities And Special Needs. Didapatkan dari URL:
http://www.comeunity.com/disability/speech/communication.html. Diakses pada
tanggal 22 Mei 2007.
8. Arthur C. Guyton, John E. Hall, Neurofisiologi Motorik dan Integratif, dalam
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta.
9. Forfar and Arneil’s. Psychomotor and Intellectual Development, dalam A.G.M.
Campbell, Neil Mc Intosh (eds): Textbook of Paediatrics, 4th.
10. Ganguan Keterlambatan Bicara, dalam Pontianak Post. Didapatkan dari URL:
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=Konsultasi&id=126200.
Diakses pada tanggal 22 Mei 2007.
11. A.H. Markum. Gangguan Perkembangan Bahasa, dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Jilid 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 1991, 2, 65.

Anda mungkin juga menyukai