Anda di halaman 1dari 8

Jenis HAIs yang paling sering terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit

mencakup:
A. Ventilator associated pneumonia (VAP)
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi pneumonia yang terjadi setelah
48 jam pemakaian ventilasi mekanik baik pipa endotracheal maupun tracheostomi. Beberapa
tanda infeksi berdasarkan penilaian klinis pada pasien VAP yaitu demam, takikardi, batuk,
perubahan warna sputum. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan jumlah
leukosit dalam darah dan pada rontgent didapatkan gambaran infiltrat baru atau persisten.

Diagnosis VAP ditentukan berdasarkan tiga komponen tanda infeksi sistemik yaitu demam,
takikardi dan leukositosis yang disertai dengan gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di
foto toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru. Adapun pencegahan dan
pengendalian VAP sendiri sebagai berikut:
1. Membersikan tangan setiap akan melakukan kegiatan terhadap pasien yaitu dengan
menggunakan lima momen kebersihan tangan.
2. Posisikan tempat tidur antara 30-45O bila tidak ada kontra indikasi misalnya trauma
kepala ataupun cedera tulang belakang.
3. Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene setiap 2-4 jam dengan menggunakan bahan
dasar anti septik clorhexidine 0,02% dan dilakukan gosok gigi setiap 12 jam untuk
mencegah timbulnya flaque pada gigi karena flaque merupakan media tumbuh kembang
bakteri patogen yang pada akhirnya akan masuk ke dalam paru pasien.
4. Manajemen sekresi oroparingeal dan trakeal yaitu:
 Suctioning bila dibutuhkan saja dengan memperhatikan teknik aseptik bila harus
melakukan tindakan tersebut.
 Petugas yang melakukan suctioning pada pasien yang terpasang ventilator
menggunakan alat pelindung diri (APD).
 Gunakan kateter suction sekali pakai.
 Tidak sering membuka selang/tubing ventilator.
 Perhatikan kelembaban pada humidifire ventilator.
 Tubing ventilator diganti bila kotor.
5. Melakukan pengkajian setiap hari „sedasi dan extubasi”:
 Melakukan pengkajian penggunaan obat sedasi dan dosis obat tersebut
 Melakukan pengkajian secara rutin akan respon pasien terhadap penggunaan obat
sedasi tersebut. Bangunkan pasien setiap hari dan menilai responnya untuk melihat
apakah sudah dapat dilakukan penyapihan modus pemberian ventilasi.
6. Peptic ulcer disease Prophylaxis diberikan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi.
7. Berikan Deep Vein Trombosis (DVT) Prophylaxis.

B. Infeksi Aliran Darah (IAD)


Infeksi Aliran Darah (Blood Stream Infection/BSI) terjadi pada pasien yang menggunakan
alat sentral intra vaskuler (CVC Line) setelah 48 jam dan ditemukan tanda atau gejala infeksi
yang dibuktikan dengan hasil kultur positif bakteri patogen yang tidak berhubungan dengan
infeksi pada organ tubuh yang lain dan bukan infeksi sekunder, dan disebut sebagai Central
Line Associated Blood Stream Infection (CLABSI). Pencegahan Infeksi Aliran Darah (IAD)
dapat dilakukan dengan cara berikut ini:
1. Melakukan prosedur kebersihan tangan dengan menggunakan sabun dan air atau cairan
antiseptik berbasis alkohol, pada saat antara lain:
 Sebelum dan setelah meraba area insersi kateter.
 Sebelum dan setelah melakukan persiapan pemasangan intra vena.
 Sebelum dan setelah melakukan palpasi area insersi.
 Sebelum dan setelah memasukan, mengganti, mengakses, memperbaiki atau dressing
kateter.
 Ketika tangan diduga terkontaminasi atau kotor.
 Sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan invasif.
 Sebelum menggunakan dan setelah melepas sarung tangan.
2. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Penggunaan APD pada tindakan invasif
(tindakan membuka kulit dan pembuluh darah) direkomendasikan pada saat:
 Pada tindakan pemasangan alat intra vena sentral maka APD yang harus digunakan
adalah topi, masker, gaun steril dan sarung tangan steril. APD ini harus dikenakan
oleh petugas yang terkait memasang atau membantu dalam proses pemasangan
central line.
 Penutup area pasien dari kepala sampai kaki dengan kain steril dengan lubang kecil
yang digunakan untuk area insersi.
 Kenakan sarung tangan bersih, bukan steril untuk pemasanagan kateter intra vena
perifer.
 Gunakan sarung tangan baru jika terjadi pergantian kateter yang diduga
terkontaminasi.
 Gunakan sarung tangan bersih atau steril jika melakukan perbaikan (dressing) kateter
intra vena.
3. Antiseptic kulit
4. Pemilihan lokasi insersi kateter
5. Observasi rutin katetervena sentral setiap hari
Pasien yang terpasang kateter vena sentral dilakukan pengawasan rutin setiap hari dan
segera lepaskan jika sudah tidak ada indikasi lagi karena semakin lama alat intravaskuler
terpasang maka semakin berisiko terjadi infeksi. Beberapa rekomendasi dalam pemakaian
alat intravaskular sebagai berikut:
 Pendidikan dan pelatihan petugas medis
 Surveilans infeksi aliran darah
 Kebersihan tangan
 Penggunaan APD, pemasangan dan perawatan kateter
 Pemasangan kateter
 Perawatan luka keteterisasi
 Port injeksi intravena
 Persiapan dan penngendalian mutu campuran larutan intravena
 Filter in line
 Petugas terapi intravena
 Alat intravaskuler tanpa jarum
 Profilakasis antimikroba
C. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang sering menyerang pria maupun wanita dari
berbagai usia dengan berbagai tampilan klinis dan episode. ISK sering menyebabkan
morbiditas dan dapat secara signifikan menjadi mortalitas. Penatalaksanaan infeksi berkaitan
dengan pemberian antibiotika, penggunaan antibiotika yang rasional dibutuhkan untuk
mengatasi masalah resistensi kuman. Mikroorganisme bisa mencapai saluran kemih dengan
penyebaran secara hematogen atau limfatik, tetapi terdapat banyak bukti klinis dan
eksperimental yang menunjukkan bahwa naiknya mikroorganisme dari uretra adalah jalur
yang paling umum mengarah pada ISK, khususnya organisme yang berasal dari enterik
(misal., E. coli dan Enterobacteriaceae lain). Hal ini memberikan sebuah penjelasan logis
terhadap frekuensi ISK yang lebih besar pada wanita dibandingkan pada pria, dan
peningkatan resiko infeksi setelah kateterisasi atau instrumentasi kandung kemih.

Umumnya ditemukan Bakteriuria asimtomatis (Asymptomatic Bacteriuria/ABU) saat


skrining insidental tetapi tidak ditemukan gejala infeksi saluran kemih. Bakteriuria
asimptomatik sangat sering terjadi, dan berhubungan dengan kolonisasi komensal. Prevalensi
bakteriuria asimptomatis mencapai 3,5% pada populasi umum dan semakin meningkat sesuai
dengan usia. Terapi ABU hanya diberikan apabila memberikan manfaat untuk menghindari
resistensi antibiotik yang diberikan.

pendiagnosis ABU dilakukan dengan mengambil sampel urin porsi tengah yang
menunjukkan pertumbuhan bakteri > 105 koloni/ml pada dua sampel berturut-turut dengan
jangka waktu di atas 24 jam tanpa disertai gejala ISK. Pada sampel tunggal dari kateter,
pertumbuhan bakteri sebesar 102 koloni/ml sudah mewakili bakteriuria. Bila terdapat
kecurigaan adanya kelainan urologi yang mendasari perlu dilakukan skrining, seperti
pengukuran residu urin dan colok dubur. Adapun penatalaksanannya dilakukan berdasarkan:
1. Pasien tanpa faktor risiko
Skrining dan terapi ABU tidak direkomendasikan pada pasien tanpa faktor risiko.
2. Pasien sehat dengan ABU dan ISK rekuren
Penanganan episode ABU pada wanita dengan riwayat ISK rekuren tidak
direkomendasikan. Pada laki-laki dengan ISK rekuren dengan ABU, prostatitis bakterial
kronik bila terdiagnosis perlu dilakukan terapi.
3. Wanita hamil
ABU sering terjadi pada kehamilan dan berhubungan dengan peningkatan risiko ISK
simtomatik dan pielonefritis. Namun tidak ada rekomendasi yang dapat dipakai, dan bila
ada kasus, maka rekomendasi sesuai pola kuman lebih dianjurkan.
4. Pasien dengan faktor risiko yang teridentifikasi (wanita pasca menopause, diabetes
mellitus, lanjut usia, disfungsi dan / atau pasca rekontruksi saluran kemih bagian bawah,
pasien dengan kateter saluran kemih, pasien transplantasi ginjal, dan
immunocompromise) tidak dianjurkan untuk dilakukan skrining dan terapi pada ABU.
5. Pada pasien dengan penggantian nefrostomi dan stent, direkomendasikan pemberian
antibiotik karena adanya risiko komplikasi infeksi akibat kontaminasi tindakan.
6. Sebelum operasi
Terapi antibiotik untuk ABU hanya direkomendasikan pada prosedur yang masuk ke
dalam saluran kemih. Kultur urin perlu dilakukan sebelum tindakan, dan bila diagnosis
ABU sudah ditegakkan, terapi pre operatif perlu diberikan. Rekomendasi untuk antibiotik
profilaksis disesuaikan dengan pola kuman.
7. Terapi farmakologis
Untuk eradikasi ABU, pemberian pilihan antibiotik dan lama terapi seperti pada ISK non
komplikata atau ISK komplikata, tergantung dari jenis kelamin, riwayat penyakit dan
komplikasi. Terapi yang diberikan tidak secara empiris. Bila pasien
D. Infeksi Daerah Operasi (IDO)
Pengendalian Infeksi Daerah Operasi (IDO) atau Surgical Site Infections (SSI) adalah suatu
cara yang dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kejadian infeksi setelah tindakan
operasi. Paling banyak infeksi daerah operasi bersumber dari patogen flora endogenous kulit
pasien, membrane mukosa. Bila membrane mukosa atau kulit di insisi, jaringan tereksposur
risiko dengan flora endogenous. Selain itu terdapat sumber exogenous dari infeksi daerah
operasi. Sumber exogenous tersebut adalah:
 Tim bedah
 Lingkungan ruang operasi
 Peralatan, instrumen dan alat kesehatan
 Kolonisasi mikroorganisme
 Daya tahan tubuh lemah
 Lama rawat inap pra bedah

Adapun pencegahan infeksi daerah operasi terdiri dari:


1) Pencegahan Infeksi Sebelum Operasi (Pra Bedah),
 Persiapan pasien sebelum operasi
 Antiseptic tangan dan lengan untuk tim bedah
 Timbedah yang terinfeksi atau terkolonisasi
2) Pencegahan Infeksi Selama Operasi
 Ventilasi
 Membersihkan dan disifeksi permukaan lingkungan
 Sterilisasi instrumen kamar bedah
 Pakaian bedah dan drape
 Teknik aseptic dan bedah
3) Pencegahan Infeksi Setelah Operasi.
Perawatan luka setelah operasi dengan melakukan:
 Lindungi luka yang sudah dijahit dengan perban steril selama 24 sampai 48 jam paska
bedah.
 Lakukan Kebersihan tangan sesuai ketentuan: sebelum dan sesudah mengganti perban
atau bersentuhan dengan luka operasi.
 Bila perban harus diganti gunakan tehnik aseptik.
 Berikan pendidikan pada pasien dan keluarganya mengenai perawatan luka operasi
yang benar, gejala IDO dan pentingnya melaporkan gejala tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Seputra Kurnia Penta, Tarmono, Noegroho Bambang S, dkk, 2015, Penatalaksanaan Infeksi
Saluran Kemih dan Genitalia 2015, http://103.139.98.4/iaui/GL-
%20ISK%202015%20fix.pdf , diakses tanggal 11 November 2020 pada tanggal
09:10 WIB.

Persi, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.27 Tahun 2017
(Pedomanpencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan), Berita Negara Republik Indonesia NO.857, 2017,
https://persi.or.id/images/regulasi/permenkes/pmk272017.pdf , diakses tanggal 11
November 2020 pada pukul 10:21 WIB.

Anda mungkin juga menyukai