Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

STROKE ISKEMIK

Disusun Oleh:

Bayu Abhista Wicaksono 1102017047

Khadijah Asysyifaa Delavega 1102017123

Monika Wulandari 1102015141

Ayudia Prameisty 1102017043

Lulu Ah Janah 1102017129

Pembimbing:
dr. Edi Prasetyo, Sp.S, M.H
dr. Ida Ratna Nurhidayati, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 31 MEI - 12 JUNI 2021
DAFTAR ISI
BAB I...............................................................................................................................................1

1.1 PENDAHULUAN.................................................................................................................1

1.2 TUJUAN................................................................................................................................1

1.3 MANFAAT............................................................................................................................1

BAB II.............................................................................................................................................2

2.1 DEFINISI STROKE..............................................................................................................2

2.2 EPIDEMIOLOGI...................................................................................................................2

2.3 ETIOLOGI.............................................................................................................................3

2.4 KLASIFIKASI.......................................................................................................................4

2.5 PATOFISIOLOGI..................................................................................................................5

2.6 MANIFESTASI KLINIS.......................................................................................................8

2.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING......................................................................9

2.8 TATALAKANA..................................................................................................................19

2.9 KOMPLIKASI.....................................................................................................................24

2.10 PROGNOSIS.....................................................................................................................24

Daftar Pustaka................................................................................................................................25
BAB I

1.1 PENDAHULUAN

Stroke atau cerebrovascular disease menurut World Health Organization (WHO)


adalah “tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau
global karena adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih”. Klasifikasi penyakit stroke terdiri
dari beberapa kategori, diantaranya: berdasarkan kelainan patologis, secara garis besar
stroke dibagi dalam 2 tipe yaitu: ischemic stroke disebut juga infark atau non-
hemorrhagic disebabkan oleh gumpalan atau penyumbatan dalam arteri yang menuju ke
otak yang sebelumnya sudah mengalami proses aterosklerosis. Tipe kedua adalah
hemorrhagic stroke merupakan kerusakan atau "ledakan" dari pembuluh darah di otak,
perdarahan dapat disebabkan lamanya tekanan darah tinggi dan aneurisma otak (Arifianto
et al., 2014).

Jumlah penderita stroke di Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai


negara terbanyak yang mengalami stroke di seluruh Asia. Prevalensi stroke di Indonesia
mencapai 8,3 dari 1000 populasi. Angka prevalensi ini meningkat dengan meningkatnya
usia. Data nasional Indonesia menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
tertinggi, yaitu 15,4%. Didapatkan sekitar 750.000 insiden stroke per tahun di Indonesia,
dan 200.000 diantaranya merupakan stroke berulang (Irdelia et al., 2014).

1.2 TUJUAN
Adapun tujuan membuat referat ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang ada
hubungannya dengan stroke iskemik juga sebagai salah satu pemenuhan tugas
kepaniteraan ilmu penyakit syaraf Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.

1.3 MANFAAT
1. Menambah pengetahuan tentang stoke iskemik
2. Sebagai lini utama dalam kesehatan untuk dapat mengenali stroke iskemik

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI STROKE

Stroke adalah sindroma klinis yang ditandai oleh disfungsi cerebral fokal atau global
yang berlangsung 24 jam atau lebih, yang dapat menyebabkan disabilitas atau kematian yang
disebabkan oleh perdarahan spontan atau suplai darah yang tidak adekuat pada jaringan otak.
Sementara itu, stroke iskemik merupakan disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal
serebral, spinal maupun retinal. Stroke iskemik ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah secara
tiba-tiba pada suatu area otak, dan secara klinis menyebabkan hilangnya fungsi neurologis dari
area tersebut. Stroke iskemik akut disebabkan oleh thrombosis atau emboli pada arteri cerebral
dan stroke iskemik lebih sering terjadi daripada stroke hemoragik.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, antara lain Malaysia (67 per 100.000 penduduk)
dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Kementerian Kesehatan tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia meningkat dari 8,3% pada
tahun 2007 menjadi 12,1% pada tahun 2013. Terdapat perbedaan prevalensi di berbagai propinsi
dengan posisi tiga besar secara berurutan, yakni Sulawesi Selatan (17.9%), Daerah Istimewa
Yogyakarta (16.9%), dan Sulawesi Tengah (16.6%).

Prevalensi stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dengan puncaknya pada usia >75
tahun. Di Indonesia, prevalensi stroke tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin. Namun di
Jepang, insidens stroke pada jenis kelamin laki-laki dua kali lipat dari perem- puan yakni
masing-masing 442 per 100.000 penduduk dan 212 per 100.000.

Persentase stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan dengan stroke hemoragik. Laporan
American Heart Association (AHA) tahun 2016 mendapatkan stroke iskemik mencapai 87%

2
serta sisanya adalah perda-rahan intraserebral dan subaraknoid. Hal ini sesuai dengan data Stroke
Registry tahun 2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di Indonesia, mayoritas adalah stroke
iskemik (67%). Demikian pula dari 384 pasien stroke yang menjalani rawat inap di RSUPN
Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014, sebanyak 71,4 % adalah stroke iskemik.

Adapun angka kematian akibat stroke iskemik (11,3%) relatif lebih kecil dibandingkan
stroke perdarahan (17,2%). Secara umum dari 61,9% pasien stroke iskemik yang dilakukan
pemeriksaan CT scan di Indonesia didapatkan infark terbanyak pada sirkulasi anterior (27%),
diikuti infark lakunar (11,7%), dan infark pada sirkulasi posterior (4,2%).

2.3 ETIOLOGI
 Trombosis
Thrombosis dapat menyumbat otak, yaitu arteri (terutama arteri karotis interna, arteri
serebsi medial, atau basilar), arteri kecil (seperti pada stroke lacunar), vena serebri atau
sinus vena. Gejala biasanya berkembang dari menit ke jam, sering terjadi stroke
trombotik yang didahului oleh TIA, cederung menghasilkan gejala serupa
 Emboli
Emboli menyebabkan stroke ketika menyumbat arteri sereblar dibagian distal dari
jantung, lengkung aorta, atau arteri serebral besar. Emboli di sirkulasi anterior paling
sering menyumbat otak tengah. Emboli menyebabkan 20% iskemik stroke, yang
disebabkan karena penyakit jantung karena emboli di dinding atrium atau ventrikel di
katup kiri jantung, yang paling sering menyebabkan cardioemboli stroke adalah atrial
fibrilasi, infark miokard, demam remautik dan iskemik cardiomiopati. Emboli dijantung
paling sering ada di arteri serebri media, arteri serebri posterior atau di percambangan
arteri serebsi anterior.
 Infark Watershed
Watershed vascular atau zona perbatasan teritori vaskularisasi sering terjadi pada area
vaskularisasi arteri paling distal. Kondisi ini dipercaya sekunder akibat emboli atau
hipoperfusi parah seperti yang terjadi pada oklusi carotis, hipotensi lama dan syok
 Gangguan aliran darah
Dapat terjadi akibat aliran darah otak yang tidak adekuat karena penurunan tekanan darah
(khususnya penurunan tekana perfusi cerebral) atau sebagai akibat gangguan

3
hiperviskositas
hematologi seperti
penyakit sickle cell atau
penyakit hematologi lainnya
missal myeloma multiple
dan polisithemia vera.

2.4 KLASIFIKASI
 Beradasarkan perjalanan klinis dapat dibagi :
1. TIA (Trenssient Ischemic Attack) -> gejala dan tanda hilang dalam waktu beberapa
detik sampai dengn 24 jam. Defisit neurologis dapat berupa hemiparise, monoparise,
gangguan penglihatan dan sulit bicara.
2. RIND (reversible ischemic neurological deficit) -> tanda dan gejala hilang dalam
beberapa hari sampai dengan minggu
3. Stroke in evolution atau progressive stroke -> deficit neurologis bersifat fluktuatif,
progresif kearah jelek biasnya disertai penyakit penyerta (DM, gangguan fungsi
jantung, gangguan fungsi ginjal dll)
4. Completed stroke -> deficit neurologis bersifat permanen

4
2.5 PATOFISIOLOGI

Pada dasarnya, proses terjadinya stroke iskemik diawali oleh adanya sumbatan pembuluh
darah oleh trombus atau emboli yang mengakibatkan sel otak mengalami gangguan metabolisme,
karena tidak mendapat suplai darah, oksigen, dan energi (Gambar 1).

5
Trombus terbentuk oleh adanya proses aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis,
maupun pembuluh darah serebral. Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang
mengakibatkan terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah. Plak akan berkembang semakin
lama semakin tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian akan melekat pada plak serta melepaskan
faktor-faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi dan pembentukan trombus.

Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal dan menyebabkan
oklusi dalam pembuluh darah tersebut. Emboli merupakan bagian dari trombus yang terlepas dan
menyumbat pembuluh darah di bagian yang lebih distal. Emboli ini dapat berasal dari trombus di
pembuluh darah, tetapi sebagian besar berasal dari trombus di jantung yang terbentuk pada
keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut,
akan terjadi iskemia jaringan otak yang menyebabkan kerusakan yang bersifat sementara atau
menjadi permanen yang disebut infark.

6
Di sekeliling area sel otak yang mengalami infark biasanya hanya mengalami gangguan
metabolisme dan gangguan perfusi yang bersifat sementara yang disebut daerah penumbra
(Gambar 2).

Daerah ini masih bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan aliran darah kembali
(reperfusi) segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih luas, yang berarti mencegah
kecacatan dan kematian. Namun jika penumbra tidak dapat diselamatkan, maka akan menjadi
daerah infark. Infark tersebut bukan saja disebabkan oleh sumbatan, tetapi juga akibat proses
inflamasi, gangguan sawar darah otak (SDO) atau (blood brain barrierjBBB), zat neurotoksik
akibat hipoksia, menurunnya aliran darah mikrosirkulasi kolateral, dan tata laksana untuk
reperfusi.

Pada daerah di sekitar penumbra, terdapat berbagai tingkatan kecepatan aliran darah
serebral atau cerebral blood flow (CBF). Aliran pada jaringan otak normal adalah 40-50cc/l00g

7
otak/menit, namun pada daerah infark, tidak ada aliran sama sekali (CBF 0mL/l00g otak/menit)
(Gambar 2).

Pada daerah yang dekat dengan infark CBF adalah sekitar l0cc/l00g otak/menit. Daerah
ini disebut juga daerah dengan ambang kematian sel (threshold of neuronal death), oleh karena
sel otak tidak dapat hidup bila CBF di bawah 5cc/l00g otak/menit.

Pada daerah yang lebih jauh dari infark, di dapat kan CBF sekitar 20cc/100g otak/menit.
Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal terhenti dan struktur intrasel tidak terinte- grasi dengan
baik. Sel di daerah tersebut memberikan kontribusi pacta terjadinya defisit neurologis, namun
memberikan respons yang baik jika dilakukan terapi optimal.

Bagian yang lebih luar mendapatkan CBF 30-40cc/100g otak/menit, yang disebut dengan
daerah oligemia. Bagian terluar adalah bagian otak yang normal. Bagian ini mendapatkan CBF
40 -50cc/l00g otak/menit. Bila kondisi penumbra tidak ditolong secepatnya maka tidak menutup
kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah dengan kecepatan kurang tadi akan berubah
menjadi daerah yang infark dan infark yang terjadi akan semakin luas.

Pacta daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar adenosine triphosphate
(ATP), sehingga terjadi kegagalan pompa kalium dan natrium serta peningkatan kadar laktat
intraselular. Kegagalan pompa kalium dan natrium menyebabkan depolarisasi dan peningkatan
pelepasan neurotransmiter glutamat.

Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang


dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat, yakni N-metil-D-aspartat (NMDA) dan a-
amino-3-hydroxy-5-methy/- 4-isonazolipropionid-acid (AMPA), yang selanjutnya akan
menyebabkan masuknya kalsium intraselular. Dengan demikian, hal tersebut semakin
meningkatkan kadar kalsium intraselular. Kalsium intraselular memicu terbentuknya radikal
bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca2+¿ ¿
ATPase, calsium-dependent phospholipase, protease, endonuklease, dan kaspase yang
keseluruhannya berkontribusi terhadap kematian sel.

8
2.6 MANIFESTASI KLINIS
 Pemeriksaan pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang
disusun oleh Cincinnati menggunakan singkatan BEFAST :
B yaitu balance ada gangguan keseimbangan,
E yaitu eyes masalah pada penglihatan
F yaitu facial droop (mulut mencong tidak sirnetris),
A yaitu arm weakness (kelemahan pada tangan),
S yaitu speech difficulties (kesulitan bicara), serta
T, yaitu time to seek medical help (waktu tiba di RS secepat mungkin).

 Menurut lesinya :
 Arteri serebri media
 Superior : afasia broca, gaze palsy, kelemahan utama pada wajah dan lengan,
deficit sensorik
 Inferior : afasia wenicle (apabila terjadi di hemisfer dominan; misalnya pada
orang yang menggunakan tangan kanan hemisfer domimanan sinistra berjadi
terjadi afasia),hemineglect (tejadi pada orang kidal yang kena hemisfer non
dominan) hemianopsia.
 Arteri serebri anterior
 Perisentral : hemplagia/hemiparase kontralateral
 Inkonetia urin, afasia
 Disfungsi eksekusi (frontal lobe syndrome)
 Arteru serebri posterior
 Homonymous hemianopia kontralateral
 Gaze palsy
 Anomic aphasia (
 Alexia tanpa agraphia
 Visual agnosia

 Stroke harus dicurigai pada pasien yang menunjukan gejala defisiti neurologis akut (fokal
maupun global) atau penurunan kesadaran. Tidak ada karakteristik riwayat yang

9
mmbedakan stroke iskemik dan hemoragik, meskipun mual, muntah, nyeri kepala dan
penurunan kesadaran akut umum ditemukan pada syok hemoragik. Untuk membedakan
secara klinis bisa digunakan siriraj stroke score (SSS) :

2.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Kriteria diagnosis stroke iskemik adalah terdapat gejala defisit neurologis global atau
salah satujbeberapa defisit neurologis fokal yang terjadi mendadak dengan bukti gambaran
pencitraan otak (CT scan atau MRI). Adapun diagnosis banding yang paling sering, yakni stroke
hemoragik (bila belum dilakukan CT/ MRI otak).

Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis serta untuk meng-


eksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke iskemik berupa:

a. Elektrokardiogram (EKG)
b. Pencitraan otak: CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi dan
difusi serta magnetic resonance angiogram (MRA)
c. Doppler karotis dan vertebralis
d. Doppler transkranial (transcranial doppler/TCD)
e. Pemeriksaan laboratorium

10
Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni hematologi rutin, glukosa darah sewaktu, dan fungsi
ginjal (ureum, kreatinin) . Selanjutnya di ruang perawatan dilakukan pemeriksaan rutin glukosa
darah puasa dan 2 jam pascaprandial, HbAlC, profil lipid, c-reactive protein (CRP), dan laju
endap darah. Pemeriksaan hemostasis, seperti activated partial thrombin time (APTT),
prothrom- bin time (PT), dan international normal- ized ratio (INR), enzim jantung (troponin,
creatine kinase MB/CKMB), fungsi hati, tes uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin dan
klopidogrel), serta elektrolit dilakukan atas indikasi.

1. Anamnesis
Apakah ada gangguan neurologis berupa:
a. Gangguan global berupa gangguan kesadaran
b. Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa:
i. Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas, kelumpuhan otot-
otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, wicara
dan sebagainya
ii. Gangguan fungsi keseimbangan
iii. Gangguan fungsi penghidu
iv. Gangguan fungsi penglihatan
v. Gangguan fungsi pendengaran
vi. Gangguan fungsi Somatik Sensoris
vii. Gangguan Neurobehavioral yang meliputi:
 Gangguan atensi
 Gangguan memory
 Gangguan bicara verbal
 Gangguan mengerti pembicaraan
 Gangguan pengenalan ruang
 Gangguan fungsi kognitif lain
2. Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik pada pasien stroke iskemik adalah:


a. Mendeteksi kausa ekstrakranial dari gejala stroke
b. Membedakan stroke dengan mimic stroke lainnya

11
c. Menentukan perbandingan derajat defisit neurologis untuk
kedepannya (NIH Stroke Scale)
d. Menentukan topis lesi
e. Identifikasi komorbiditas
f. Identifikasi kondisi pasien untuk keperluan tatalaksana (misal riwayat
operasi atau trauma, perdarahan aktif, infeksi)

Pemeriksaan fisik selalu meliputi pemeriksaan lengkap kepala dan leher untuk
mencari tahu tanda trauma, infeksi dan tanda iritasi meningeal. Pemeriksaan seksama
untuk kausa kardiovaskular sebagai etiologi stroke memerlukan pemeriksaan sebagai
berikut:
a. Fundus oculus (retinopati, emboli, hemoragik)
b. Jantung (irama irregular, murmur, gallop)
c. Vaskular perifer (palpasi carotis, radial, femoralis, dan auskultasi
bising carotis)

Pemeriksaan fisik harus mencakup semua sistem organ mayor, mulai dari airway,
breathing, dan circulation (ABCs) dan tanda vital. Pasien dengan penurunan kesdaran
harus dinilai patensi airway. Pasien dengan stroke, khususnya stroke hemoragik,
dapat mengalami penurunan kesadaran dan status neurologis dengan cepat sejak awal
onset defisit neurologis, oleh karena itu penilaian kesadaran tan status neurologis
harus dilakukan secara rutin tidak hanya sekali.

Stroke iskemik (kecuali untuk stroke yang melibatkan batang otak) tidak cenderung
menyebabkan gangguan patensi airway, breathing, circulation dan secara tiba-tiba.
DIlain kasus, pasien dengan hemoragik intraserebral atau subarachnoid lebih sering
membutuhkan intervensi proteksi airway dan ventilasi.

Tanda vital, sekalipun tidak spesifik, dapat memberi informasi krusial terkait
perburukan klinis yang akan datang (impending clinical deterioration) dan membantu
dalam mempersempit diagnosis banding. Banyak pasien dengan stroke mengalami

12
hipertensi pada onset awal gejala (hypertensive at baseline), dan tekanan darah pasien
dapat naik lebih lagi setelah stroke. Sekalipun hipertensi pada awal onset stroke
sering ditemui, tekanan darah umumnya turun secara spontan seiring waktu pada
kebanyakan pasien.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan + CT Angiografi /MRI + MRA Otak

MRI mampu mengungkapkan ruang aliran di pembuluh darah, hemosiderin dan pigmen
besi dan perubahan akibat nekrosis iskemik dan gliosis. MRI sangat bermanfaat dalam
menunjukkan lesi lakunar kecil jauh di dalam belahan otak dan kelainan pada batang otak
(daerah yang dikaburkan oleh tulang yang berdekatan di CT). Namun, kemajuan utama telah
diperkenalkannya teknik resonansi magnetik berbobot difusi, yang memungkinkan deteksi lesi
infark dalam beberapa menit setelah stroke, yaitu, jauh lebih awal dari CT dan urutan MRI
lainnya.

Gambar 2.3 MRI infark akut

13
Gambar di atas menunjukkan infark arteri serebral kanan tengah yang tampak cerah pada
pencitraan berbobot difusi (DWI) (kiri atas). Ada hiperintensitas halus yang menunjukkan edema
vasogenik dini pada urutan T2-FLAIR (kanan atas). Gambar bawah menunjukkan infark
serebelar akut di wilayah arteri serebelar inferior posterior (PICA) yang cerah di DWI (kiri
bawah) dan agak cerah di T2-FLAIR (panah, kanan bawah). Ada juga infark sebelumnya baru
saja anterior stroke serebelar akut yang gelap pada DWI dan cerah pada T2 karena gliosis.

b. EKG
c. Doppler Carotis
d. Transcranial Doppler
e. TCD Bubble Contrast & VMR
f. Lab: Hematologi rutin, gula darah sewaktu, fungsi ginjal (ureum,
g. kreatinin), Activated Partial Thrombin Time (APTT), waktu prothrombin
h. (PT), INR, gula darah puasa dan 2 jam PP, HbA1C, profil lipid, C-reactive
i. protein (CRP), laju endap darah, dan pemeriksaan atas indikasi seperti:
j. enzim jantung (troponin / CKMB), serum elektrolit, analisis hepatik dan
k. pemeriksaan elektrolit.
l. Thorax foto
m. Urinalisa
n. Echocardiografi (TTE/TEE)
o. Pemeriksaan Neurobehavior (Fungsi Luhur)
p. DSA Serebral

National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)

Sebuah alat skoring yang berguna untuk kuantifikasi gangguan neurologis ialah National
Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) NIHSS membantu dokter atau perawat
menentukan dengan cepat derajat keparahan dan topis lesi stroke. Skor NIHSS sangat
berhubungan kuat dengan prognosis dan dapat membantu identifikasi pada pasien yang
berpotensi diterapi reperfusi maupun berisiko tinggi mengalami komplikasi stroke.

Skoring NIHSS sangat mudah untuk dilakukan, dan berfokus pada 6 area utama
dalam pemeriksaan neurologis:

14
a. Tingkat kesadaran
b. Fungsi visus
c. Fungsi motorik
d. Sensasi dan neglect
e. Fungsi cerebellar
f. Bahasa

NIHSS merupakan skor pemeriksaan dengan skala 42 poin. Pasien dengan stroke
minor umumnya memiliki skor < 5. NIHSS dengan skor > 10 berkorelasi dengan
80% likelihood oklusi pembuluh darah proksimal (seperti yang teridentifikasi
setelahnya pada CT-scan atau angiogram standar). Namun, objektifitas dan
kebijaksanaan harus digunakan dalam menilai besarnya defisit klinis dan disabilitas
yang dihasilkan; misalnya, jika satu-satunya defisit pasien adalah mutisme atau
kebutaan, skor NIHSS akan menjadi 3. Sebagai tambahan, skala ini tidak mengukur
beberapa defisit neurologis yang berkaitan dengan stroke sirkulasi posterior (misal:
vertigo dan ataksia). Tabel NIHSS

15
16
17
18
19
20
21
22
23
2.8 TATALAKANA

 Tatalaksana umum
1. Stabilisasi jalan napas dan pernafasan
a. Pemantauan status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan saturasi oksigen
secara kontinu dalam 72 jam pertama
b. Pemberian oksigen jika saturasi okesigen <95%
c. Perbaikan jalan nafas, dengan pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar, pemberian bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan nafas.
d. Intubasi endotracheal tube (ETT) atau laryngeal mask airway diperlukan pada pasien
dengan hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg), syok atau pada pasien
yang beresiko untuk mengalami aspirasi
e. Pipa endotracheal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu, kalua lebih maka
dianjurkan dilakukan trakeostomi
2. Stabilisasi Hemodinamik (sirkulasi)
a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid IV dan hindari pemeberian cairan hipotonik
seperti glukosa
b. Dianjurkan pemasangan kateter vena sentral upayakan tekanan vena sentral 5-12
mmHg
c. Optimalisasi tekanan darah
d. Bila tekanan darah sistolik dibawah 120 mmHg dan cairan sudah mencukupi dapat
diberikan agen vasovresor secara titrasi seperti dopamim dosis sedang atau tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target TD sistolok berkisar 140 mmHg
e. Pemantauan jantung dilakukan selama 24 jam pertam setelah awitan serangan stroke
iskemik
f. Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif segera konsultasikan
3. Pengendalian peningkatan tekanan intracranial
a. Pemantauan ketat pada kasus dengan risiko edema serebri dengan memperhatikan
perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan
stroke

24
b. Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS kurang 9 dan pasien dengan
penurunan kesadaran karena kenaikan TIK
c. Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan tekanan perfusi otak >70mmHg
d. Penatalaksanaan TIK meliputi :
1. Meninggikan posisi kepala 20o-30o
2. Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena jugular
3. Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4. Menghindari hypernatremia
5. Menjaga normovolemia
6. Pemberian osmoterapi atas indikasi
 Mannitol 0,25-0,50gr/kgBB selama >20 menit diulangi setiap 4-6 jam
dengan target osmolaritas ≤310 mOsm/L
 Jika perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1mg/kgBB IV
7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40 mmHg). Hiperventilasi
mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif
8. Paralisis neuromuscular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi peningkatan TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intrtorakal dan tekananvena akibat batuk suction atau bucking ventilator
9. Drainase ventikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
10. Tindahak bendah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar yang
menimbulkan efek masa
4. Pegendalian kejang
a. Bila kejang, pemberian diazepam IV bolus lambat 5-20 mg dan diikuti oleh fenitoin
dosis bolus 25-30mg/kg dengan kecepatan maksium 50mg/menit
b. Bila kejang belum teratasi rawat ICU
5. Pengendalian suhu tubuh
a. Setiap pasien stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretik
(asetaminofen) dan diatasi penyebabnya
b. Pada pasien demam berisiko terjadi infeksi harus dilakukan (trakeal, darah, dan urin)
dan diberikan antibiotic. Jika memakai kateter ventricular, analisis cairan
serebrospinal harus dilakuka untuk mendeteksi meningitis

25
6. Tatalaksana cairan
a. Pemberian cairan isotonis NaCl 0,9% , inger laktat dan ringer asetat dengan tujuan
menjaga euvolemi.
b. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali
keadaan hipoglikemia
7. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh
diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran makanan diberikan melalui pipa
nasograstrik
c. Pada keadaan akut kebutuna kalori 25-30kkal/kg/hari
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastric diperkirakan >6 minggu
pertimbangkan untuk gastrostomy
e. Perhatikan pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan (missal
hindari makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang mendapatkan
warfarin)
8. Pencegahan dan mengatasi komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
b. Berikan antibiotic atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas
kuman atau minimal terapi empiris seusai dengan pola kuman
c. Pencegahan decubitus dengan mobilisasi terbatas dana tau memakai kasur
antidekubitus
d. Pasien tertentu yang beresiko menderita DVT seperti pasien dengan trombofilia perlu
diberikan heparin subkutan 5000IU dua kali sehari atau 10.000 IU drip per 24 jam.
9. Penatalaksanaan medik umum lain
a. Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180mg/dL) pada stroke akut diatasi dengan
titrasi insulin
b. Hipoglikemia berat (<50mg/dL) harus diatasi dengan dekstrosa 40% IV atau infus
glukosa 10-20%
c. Manajemen hipertensi sesuai dengan protokol tatalaksana hipertendi di stroke akut

26
d. Jika gelisah lakukan terapi psikologi kalua perlu berikan major atau minor
tranquilizer seperti benzodiazepine kerja cepat atau propofol
e. Analgesic dan anti muntah sesuai indikasi
f. Pembarian antagonis H2 apabila ada indikasi (perdarahan lambung)
g. Hati-hati dalam menggerakan tubuh,karena dapat mempengaruhi TIK.
h. Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil
i. Kandung kemih yang perlu dikosongkan sebaiknya kateterisasi intermitten
j. Rahbilitasi/tetorasi fisik, wicara dan okupasi
k. Atasi masalah psikologis jika ada
l. Edukasi keluarga
m. Discharge planning
 Tatalaksana spesifik
1. Trombolisis intravena
Menggunaakan recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) seperti alplatase
dapat diberikan pada stroke iskemik akut dengan onset kurang 6 jam secara IV
dengan mengikuti protokorl kriteria inkulusi dan eksklusi yang diterapkan. Dosis
yang dianjurkan adalah 0,6-0,9 mg/KgBB
2. Terapi neurointervensi/endovascular
Terapi menggunakan kateterisasi untuk melenyapkan thrombus di pembuluh darah
dengan cara melisiskan thrombus secara langsung (trombolisis intraarterial) atau
dengan menarik thrombus yang menyumbat dengan alat khusus (trombektomi
mekanik). Trombektomi mekanik merupakan satu prosedur endovascular yang
dilakukan pada pasien yang memenuhi persyaratan sesuai rekomendasi terapi
neurointervensi/endovascular pada stroke iskemik akut yaitu :
a. Pasien yang memenuhi kriteria pemberian trombolisis IV dan akan dilakukan
terapi endovascular harus tetap diberikan trombolisis terlebih dahulu
b. Pasien harus mendapatkan terapi endovascular dengan menggunakan stent
rettiever jika memenuhi semua kriteria berikut :
1) Skot modified rankin scale (mRS) pre-stroke 0 sampai 1
2) Stroke iskemik akut yang telah mendapatkan terapi trombolisis intravena
dalam waktu 4,5 jam setelah onset

27
3) Stroke disebabkan karena oklusi pada arteri karotis interna atau arteri serebri
media cabang proksimal
4) Usia lebih dari sama dengan 18 tahun
5) Skot national institutes of health stroke scale (NIHSS) ≥ 6
6) Skor Alberta Stroke Programme Early CT Score (ASPECTS) ≥ 6
7) Terapi dapat dimulai melalui tindakan groin puncture atau pungsi arteri
femoralis maksimal 6 jam setelah onset stroke.
3. Pemberian antikoagulan sebagai pencegahan sekunder
a. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan
untuk memperbaiki keluaran atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke
berulang tidak direkomendasikan
b. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rTPA IV
tidak direkomendasikan
c. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan pencitraan
otak memastikan tidak ada perdarahan intracranial primer. Pasien yang mendapat
antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan
d. Warfarin merupakan obat lini pertama untuk pencegahan sekunder stroke iskemik
pada kebanyakan kasus stroke kardio-emboli
e. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan resiko
perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1bulan sekali.
4. Pemberian antiagregasi trombosit
a. Pemberian aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 12 jam setelah onset stroke
dianjutkan untuk setiap stroke iskemik akut
b. Aspirin diberikan sebagai terapi pencegahan sekunder sehingga tidak boleh
digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi yang bertujuan untuk
revaskularisasi
c. Jika direncanakan pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan
d. Tidak direkomendasikan penggunaan aspirin sebagai terapi ajuvan dalam 24 jam
setelah pemberian obat trombolitik
e. Pemberian antitrombosit IV yang menghampat reseptor glikoprotin tidak
dianjurkan

28
f. Untuk mencegah terjadinya strok iskemik, infark jantung dan kematian akibat
vaskuler. Klopidogrel 75mg lebih baik dibandingan dengan aspirin dan dapat
diberikan pada fase akut atau setelah fase akut selesai
g. Pemberian kopidogrel dikombinasikan dengan aspirin selama 21 hari sampai 3
bulan yang dilanjutkan dengan pemberian kopidogrel saja, superior untuk
mencegah stroke pada pasien TIA dan stroke iskemik ringan (NIHSS <5)

2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi pada stroke akut dapat berupa pneumonia, infeksi saluran kemih, trombosis
vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT), dekubitus, spastisitas dan nyeri, depresi, gangguan
fungsi kognitif, serta komplikasi metabolik lain seperti gangguan elektrolit.

2.10 PROGNOSIS

Prognosis stroke secara umum adalah ad vitam. Tergantung berat stroke dan komplikasi yang
timbul. Sepertiga penderita dengan infark otak akan mengalami kemunduran status neurologic
setelah dirawat. Sebagian disebabkan edeme otak dan iskemi otak. Sekitar 10 % pasien dengan
stroke iskemik akan membaik dengan fungsi normal. Prognosis lebih buruk pada pasien dengan
kegagalan jantung kongestif dan penyakit jantung coroner.

29
Daftar Pustaka

Aninditha, T., Wiratman W. (2017). Buku Ajar Neurologi. Jilid-II, Jakarta: Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. pp. 1-462.
Aminoff, J, M., Greenberg A, D., Simon, P, R. (2015) Clinical Neurology. Edisi-9, New York:
Mc Graw Hi Education. pp. 1-411
Budianto, P., Mirawati, K,D., dkk. (2020). Stroke Iskemik Akut Dasar dan Klinis. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret Surakarta. pp.1-84
CWhelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casery DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults. Hypertension 2018. 71(6), 1269–1324.
https://doi.org/10.1161/HYP.0000000000000066).
Hauser, L, S., Josephson, A, S. (2010). Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. San
Francisco: Edisi-2. Pp 1-793.

30

Anda mungkin juga menyukai