Anda di halaman 1dari 585

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik
PROSIDING SEMINAR NASIONAL

Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi

versi elektronik
Pemenuhan Pangan Hewani (Seri II)

Seminar dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Juni 2014 di Fakultas Peternakan, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto

Diterbitkan oleh :

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Jl.Dr. Soeparno No. 60 Purwokerto 53123
http://fapet.unsoed.ac.id
Telp.Fax. 0281-638792

versi elektronik
Dicetak oleh UNSOED PRESS Purwokerto
ISBN : 978-979-9204-98-1

Versi elektronik prosiding ini dapat diakses melalui:


http://info.animalproduction.net/
http://fapet.unsoed.ac.id/

versi elektronik
Gambar pada cover adalah karkas ayam, domba ekor tipis, rumput gajah, kerbau, sapi Jabres,
ayam Arab, dan kambing PE.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

DEWAN PENYUNTING
Ketua
Mochamad Socheh, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

versi elektronik
Abdul Razak Alimon, Jurusan Sain Haiwan Universiti Putra Malaysia
Adiarto, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
Agus Susanto, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Akhmad Sodiq, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Anis Wahdi, Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
Diana Indrasanti, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Harapin Hafid, Fakultas Peternakan Universitas Haluoleo
I Gede Suparta Budisatria, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
Juni Sumarmono, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Ning Iriyanti, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Samadi, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

versi elektronik
Setya Agus Santosa, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Sri Nastiti Jarmani, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Syamsudin Hasan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin
Titin Widiyastuti, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Triana Setyawardani, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Yustina Yuni Suranindyah, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada

Sekretariat
Imbang Haryoko
Murniyatun

versi elektronik

versi elektronik
ii
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya

versi elektronik
sehingga prosiding ini dapat disusun dengan baik. Prosiding ini memuat artikel-artikel yang
telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk
Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani (Seri II), yang diselenggarakan oleh Fakultas
Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto pada tanggal 14 Juni 2014.
Sub-sektor peternakan di Indonesia harus dipacu untuk meningkatkan kontribusinya
dalam menunjang ketahanan pangan hewani. Pengembangan sumberdaya ternak dan pakan
yang tersedia secara lokal membutuhkan data-data empiris yang berasal dari kajian-kajian
ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti bidang peternakan, baik yang berada di berbagai
universitas maupun lembaga penelitian. Forum seminar yang berskala nasional telah
memberikan wahana bagi para peneliti untuk saling berbagi dan berdiskusi mengenai hasil
temuannya sekaligus membangun jejaring dan hasil-hasilnya disajikan pada prosiding ini.
Prosiding ini tersusun berkat kerjasama antara berbagai pihak, utamanya penulis,

versi elektronik
dewan penyunting, sekretariat dan juga percetakan. Terimakasih disampaikan kepada berbagai
pihak yang telah berkonstribusi. Semoga semua artikel yang dirangkum pada prosiding ini
dapat digunakan sebagai rujukan ilmiah dalam menetapkan strategi dan langkah-langkah
selanjutnya untuk mengembangkan sumberdaya peternakan di Indonesia, guna menuju
ketahanan pangan hewani dan kesejahteraan masyarakat.

Purwokerto, 14 Juni 2014


Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman

versi elektronik Prof. Dr.Ir. Akhmad Sodiq, MSc.Agr.

versi elektronik
iii
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

DAFTAR ISI

MAKALAH UTAMA

versi elektronik
1. MODEL PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS PETERNAKAN 1
RAKYAT DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI
NASIONAL
Syamsuddin Hasan dan Syahdar Baba

2. POTENSI LIMBAH TANAMAN PERKEBUNAN SEBAGAI PAKAN HEWAN 8


RUMINANSIA
Wardhana Suryapratama

3. APLIKASI TRANSFER EMBRIO (TE) UNTUK PENINGKATAN KUALITAS 14


GENETIK TERNAK DI BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG BOGOR
Tri Harsi

versi elektronik
4. AKSELERASI TEKNOLOGI PERUNGGASAN UNTUK PEMENUHAN PANGAN 27
HEWANI
Hidayatullah

MAKALAH PENUNJANG KOMISI A


5. PRAKTEK AGROSILVOPASTUR PADA PEKARANGAN MASYARAKAT 34
PEGUNUNGAN MENOREH KULONPROGO (Tidak dipresentasikan)
Aditya Hani dan Junaedah

6. PENGARUH PENAMBAHAN BAKTERI ASAM LAKTAT TERHADAP 42


DINAMIKA FERMENTASI DAN PERUBAHAN NILAI NUTRISI SELAMA

versi elektronik
ENSILASE PADA SORGUM MANIS (Sorghum bicolor L. Moen)
Badat Muwakhid

7. FERMENTABILITAS PAKAN SAPI POTONG BERBASIS JERAMI PADI 47


AMONIASI YANG DISUPLEMENTASI EKSTRAK KULIT BAWANG PUTIH
DAN MINERAL ORGANIK SECARA IN-VITRO
Caribu Hadi Prayitno, Suwarno, dan Tri Rahardjo Sutardi

8. PENURUNAN KANDUNGAN LIGNIN PADA PROSES FERMENTASI KULIT 52


BUAH KAKAO (Theobroma cacao) DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI
JENIS MIKROBIA
Engkus Ainul Yakin dan Ahimsa Kandi Sariri

9. PENGARUH PENAMBAHAN DEDAK PADI DAN INOKULUM BAL DARI 61

versi elektronik
CAIRAN RUMEN SAPI PO TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI SILASE
RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)
Ismail Jasin

10. UTILITAS PROTEIN PADA ITIK DIBERI PROBIOTIK DENGAN LEVEL 66


PROTEIN RANSUM BERBEDA
Istna Mangisah, Nyoman Suthama dan Hamam Burhanudin Putra

iv
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

11. KECERNAAN DAN NERACA ENERGI SAPI JANTAN PERANAKAN ONGOLE 74


(PO) YANG DIBERI PAKAN KONSENTRAT DENGAN SUMBER ENERGI
YANG BERBEDA
Muhamad Bata

versi elektronik
12. TANTANGAN PENGEMBANGAN PASTURE PADA LAHAN PASCA 80
TAMBANG PT. INCO, TBK. SOROWAKO KABUPATEN LUWU TIMUR
PROPINSI SULAWESI SELATAN
Muh. Irwan, Syamsuddin Hasan, dan Asmuddin Natsir

13. PENGARUH PEMBERIAN PAKAN KOMPLIT MENGANDUNG BERBAGAI 86


LEVEL TONGKOL JAGUNG TERHADAP PENAMPILAN KAMBING KACANG
JANTA N
Muhammad Zain Mide dan Harfiah

14. FAKTOR HIGROSCOPIS DAN KELARUTAN BAHAN KERING PELET PAKAN 92


KOMPLIT DENGAN SUMBER HIJAUAN DAN BAHAN PENGIKAT BERBEDA
Munasik, Ika Dewi Kartika, Tri Rahardjo Sutardi, dan Titin Widiyastuti

versi elektronik
15. PEMBERIAN MINYAK IKAN LEMURU DALAM RANSUM AYAM ARAB 96
TERHADAP KUALITAS TELUR
Ning Iriyanti, R. Singgih Sugeng Santosa, dan Sri Suhermiyati

16. PEMBERIAN TEPUNG JEROAN SAPI SEBELUM MOLTING TERHADAP 101


KADAR HORMON PROGESTERON DAN ESTROGEN ITIK TEGAL
Rosidi, Tri Yuwanta, Ismaya dan Ismoyowati

17. PRODUKSI DAN NILAI NUTRISI TIGA JENIS LEGUMINOSA HERBA PADA 107
TANAH MASAM
Sajimin, N.D. Purwantari, dan E. Sutedi

18. PENGARUH PAKAN SUPLEMEN DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) 113

versi elektronik
TERHADAP HEMATOLOGIS KERBAU LAKTASI
Salam N. Aritonang, Arif Rachmat, Elly Roza, dan Afridina Fitri

19. PERFORMANS LEGUM RAMBAT Arachis pintoi DAN TERNAK KAMBING DI 120
AREAL PERTANAMAN KELAPA
Selvie Diana Anis, David Arnold Kaligis, dan Sjul Kartini Dotulong

20. PENGGUNAAN RAGI, Saccharomyces cerevisiae UNTUK MEMPERBAIKI 125


KECERNAAN NUTRIEN
S.N.O. Suwandyastuti dan Efka Aris Rimbawanto

21. DEPOSISI PROTEIN DAN KALSIUM DAGING PADA BROILER DIBERI 132
KOMBINASI PAKAN STEP DOWN PROTEIN DAN ASAM SITRAT

versi elektronik
Wirawan Yudha Saputra, Nyoman Suthama, dan Luthfi Djauhari Mahfudz

22. KUALITAS FISIK KULIT PISANG PASCA FERMENTASI DENGAN 139


BERBAGAI MIKROBA DAN LAMA INKUBASI DITINJAU DARI KELARUTAN
DAN KEAMBAAN
Titin Widiyastuti, Caribu Hadi Prayitno dan Nur Hidayat

v
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

23. PERBAIKAN SKT SAPI BETINA PRODUKTIF DI UNIT PENGOLAH PUPUK 145
ORGANIK (UPPO) BOJONEGORO
Tri Agus Sulistya, Mariyono, dan Jauhari Effendhy

versi elektronik
24. CAMPURAN EKSTRAK KUNYIT (Curcuma domestica), JAHE (Zingiber 149
officinale), DAN LENGKUAS (Alpinia galangal L.) SEBAGAI FITOBIOTIK
TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI AYAM PEDAGING
Dyah Lestari Yulianti, Vinsensius Arivin Wea, dan Johan Erikson Siregar

25. PENGARUH PEMBERIAN SELENIUM ORGANIK TERHADAP DAYA SIMPAN 155


DAGING SAPI BRAHMAN CROSS
Endang Yuni Setyowati, Undang Santosa, Denny Widaya Lukman, dan Ujang Hidayat
Tanuwiria

MAKALAH PENUNJANG KOMISI B


26. KERAGAAN MANAJEMEN USAHA KERBAU RAWA DI KECAMATAN BATI 164
BATI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN

versi elektronik
Anis Wahdi

27. KAJIAN PENGARUH SUMBER DAYA LOKAL TERHADAP PENGEMBANGAN 181


POPULASI SAPI POTONG DI KABUPATEN BANYUMAS
Hermin Purwaningsih, Mochamad Socheh, dan Pambudi Yuwono

28. KARAKTERISTIK BIOLOGI SAPI RANCAH DI KABUPATEN SUKABUMI 186


Lisa Praharani, IGM Budiarsana, Elizabeth Juarini, dan Broto Wibowo

29. PENDUGAAN KUALITAS FISIK KARKAS DOMBA MELALUI PENGUKURAN 191


TEBAL LEMAK BERBASIS METODE ULTRASONIK
Mochamad Socheh, Agus Priyono, Hartoko, Paulus Suparman, dan Djoko Santoso

versi elektronik
30. PERFORMANS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KARKAS BERBAGAI 196
GALUR ITIK LOKAL
Ismoyowati dan Dattadewi Purwantini

31. PENGARUH KANDANG DAN WARNA BULU TERHADAP KINERJA 203


PRODUKSI TELUR AYAM KAMPUNG
Sri Sudaryati, Arrijal Hammi, Jafendi Hasoloan Purba Sidadolog, dan Wihandoyo

32. KEMAMPUAN PREDIKSI SEL SOMATIK UNTUK DIAGNOSIS MASTITIS 209


SUBKLINIS PADA KAMBING PERANAKAN ETTAWA
Sulvia Dwi Astuti SW dan Wulandari

33. PENGGEMUKAN SAPI POTONG MENGGUNAKAN KANDANG KELOMPOK 215


Tri Agus Sulistya, Mariyono, dan Noor Hudhia Krishna

versi elektronik
34. PRODUKSI SUSU DAN KONSUMSI PAKAN KAMBING PERANAKAN 220
ETAWAH DI DATARAN RENDAH
Yuni Suranindyah, Rian Rosartio, Sigit Bintara, dan Ismaya

vi
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

35. PENGARUH BERBAGAI LEVEL KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) DALAM 226


RANSUM TERHADAP PRODUKSI, PH, DAN BERAT JENIS SUSU KAMBING
PE
Yusuf Subagyo

versi elektronik
36. AYAM SENTUL SEBAGAI PENGHASIL TELUR 231
Sukardi dan Sigit Mugiyono

37. PENGEMBANGAN KLASTER SAPI POTONG: RANCANGAN PROGRAM DAN 234


KEGIATAN
Akhmad Sodiq

MAKALAH PENUNJANG KOMISI C


38. PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI PERSPEKTIF MANAJEMEN 242
RANTAI PASOK BERKELANJUTAN
Akhmad Mahbubi

versi elektronik
39. HUBUNGAN KETERGANTUNGAN KOPERASI TERHADAP ANGGOTANYA 250
PADA KOPERASI PETERNAK SAPI PERAH “PESAT” DI KABUPATEN
BAYUMAS
Anisur Rosyad

40. INTEGRASI SAPI POTONG TANAMAN KAKAO DI KABUPATEN LIMA 256


PULUH KOTA SUMATERA BARAT
Arfa`i dan Yuliaty Shafan Nur

41. URGENSI KEBUTUHAN KEBIJAKAN PENYULUHAN PERTANIAN 264


SUBSEKTOR PETERNAKAN DALAM PENCAPAIN SWASEMBADA DAGING
SAPI YANG BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT
Basril Basyar

versi elektronik
42. ANALISIS USAHA TERNAK DOMBA HASIL PEMULIAAN DITINGKAT 276
LAPANG (STUDY KASUS PETERNAKAN DOMBA DI DESA PANDANSARI,
KECAMATAN PAGUYANGAN, KABUPATEN BREBES)
Broto Wibowo dan Sumanto

43. ”SUCCESS STORY” USAHA SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN 280


ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN.
Dwi Priyanto dan Taty Herawati

44. PENENTUAN HARGA JUAL KERBAU BELANG BERDASARKAN 291


KARAKTERISTIKNYA DI PASAR HEWAN BOLU KABUPATEN TORAJA
UTARA
Ikrar Mohammad Saleh dan Aslina Asnawi

versi elektronik
45. ANALISIS PEMASARAN SAPI POTONG PADA KELOMPOK PETERNAK 297
PEMBIBIT DI PROPINSI BALI
I.G.M. Budiarsana, Sumanto, dan Komarudin

vii
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

46. PENGARUH KEMAMPUAN KEWIRAUSAHAAN DAN SISTEM KEMITRAAN 307


TERHADAP MOTIVASI PETERNAK AYAM PEDAGING DI KECAMATAN
BANTIMURUNG KABUPATEN MAROS
Ilham Rasyid, Amrulah, Muhammad Darwis

versi elektronik
47. HUBUNGAN ANTARA CURAHAN WAKTU KERJA WANITA DAN 312
PENDAPATAN PADA USAHA PENETASAN TELUR ITIK DI KELURAHAN
MANISA, KECAMATAN BARANTI, KABUPATEN SIDRAP
Kasmiyati Kasim, Sitti Nurani Sirajuddin

48. EFISIENSI BIAYA TERHADAP PENERIMAAN PETERNAKAN ITIK PETELUR 319


DENGAN JUMLAH TERNAK BERBEDA DI KECAMATAN WATANG
SAWITTO, KABUPATEN PINRANG
Martha B. Rombe, Ilham Rasyid, dan Aidil Setiadi

49. POLA PENGELUARAN RUMAH TANGGA PETERNAK SAPI POTONG DI 324


KABUPATEN BANJARNEGARA
Moch.Sugiarto dan Oentoeng Edy Djatmiko

versi elektronik
50. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN RUMAH 329
PEMOTONGAN HEWAN (RPH) DI KELURAHAN KAMBIOLANGI
Muhammad Aminawar, Sitti Nurani Sirajuddin, dan Rahmayani Sila

51. KAJIAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PROGRAM SATU 335


PETANI SATU SAPI (SPSS) DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI
DI SUMATERA BARAT
Muhamad Reza

52. TINGKAT PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PEREMPUAN PADA USAHA 345


TERNAK SAPI POTONG JABRES DI KEBUPATEN BREBES
Nunung Noor Hidayat dan Imbang Haryoko

versi elektronik
53. PERKEMBANGAN HARGA DAGING SAPI DAN PENGARUHNYA TERHADAP 350
PRODUKSI SAPI POTONG DI PROPINSI JAWA TIMUR
Rini Widiati dan Tri Anggraeni Kusumastuti

54. PENERAPAN SISTEM BAGI HASIL TRADISIONAL (TESANG ) PADA USAHA 358
SAPI POTONG DI KABUPATEN BARRU,PROVINSI SULAWESI SELATAN
S.N.Sirajuddin , S.Nurlaelah , A.Amrawaty , dan M.Aminawar

55. PENGARUH FAKTOR SOSIAL EKONOMI TERHADAP PRODUKTIVITAS 363


KERJA PETERNAK KERBAU (Studi Kasus di Kecamatan Taman Kabupaten
Pemalang)
Sri Mastuti, Syarifudin Nur, dan Hudri Aunurohman

versi elektronik
56. KEUNTUNGAN EKONOMI PEMELIHARAAN SAPI SECARA INTENSIF DI 369
PEDESAAN DENGAN PAKAN KONSENTRAT: SUATU STUDI KASUS
Sri Nastiti Jarmani

57. ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERDASARKAN BAGIAN- 375


BAGIAN DAGING SAPI ( STUDI KASUS: PASAR TERONG MAKASSAR)
St. Rohani, Veronica Sri Lestari dan Iranita Haryono

viii
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

58. KELANGGENGAN USAHA SAPI POTONG RAKYAT POLA GADUHAN DI 382


KALIMANTAN SELATAN (STUDI KASUS DI KELOMPOK PETERNAK)
Sumanto, IGM Budiarsana, E. Juarini, dan Broto Wibowo

versi elektronik
59. STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI SUSU DI 390
JAWA TENGAH
Syarifuddin Nur, Moch Sugiarto, Oentoeng Edy Djatmiko, dan Sri Mastuti

60. PENGARUH HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN TERHADAP 397


PENDAPATAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG
Tanrigiling Rasyid, Sofyan Nurdin Kasim, dan Muh. Erik Kurniawan

61. PERSEPSI PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP PEMANFAATAN LIMBAH 403


PERTANIAN DI KABUPATEN SINJAI
Veronica Sri Lestari, Djoni Prawira Rahardja, dan Martha Buttang Rombe

MAKALAH PENUNJANG KOMISI D

versi elektronik
62. PERFORMA CENTERING DATE METHOD DALAM PENAKSIRAN PRODUKSI 408
SUSU SAPI PERAH
Agus Susanto, Setya Agus Santosa, dan A.T. Ari Sudewo

63. EARLY PREGNANCY DIAGNOSIS OF COW WITH PSP – B LEVELS 414


IDENTIFICATION
Aryogi, D. Ratnawati, dan Y. Adinata

64. EKSPRESI RESIDU GULA GLIKOPROTEIN PADA MUKOSA UTERUS DAN 420
PERUBAHANNNYA SELAMA PERKEMBANGAN OVIDUK AYAM PETELUR
Bambang Ariyadi dan Yukinori Yoshimura

65. PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL DAN KUNING TELUR TERHADAP 425

versi elektronik
MOTILITAS SPERMATOZOA AYAM KAMPUNG DAN FERTILITAS TELUR
AYAM NIAGA PETELUR
Dadang Mulyadi Saleh

66. PENAKSIRAN PARAMETER GENETIK KARAKTERISTIK BOBOT TETAS DAN 429


PERTUMBUHAN ITIK MAGELANG
Dattadewi Purwantini, R. Singgih Sugeng Santosa, dan Ismoyowati

67. GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN KELINCI YANG TERINFEKSI Eimeria 434


sp. KASUS LAPANG DI KABUPATEN BANYUMAS
Diana Indrasanti, Mohandas Indradji, dan Sri Hastuti

68. INTRODUKSI PEJANTAN DAN KANDANG MODEL LITBANGTAN 442


TERHADAP ANGKA KEBUNTINGAN SAPI DARA

versi elektronik
Dian Ratnawati dan Ainur Rasyid

69. DETEKSI BAKTERI INDIKATOR SANITASI LINGKUNGAN PETERNAKAN 447


SAPI PERAH YANG MENGOLAH LIMBAH MENGGUNAKAN BIOGAS
Ellin Harlia, Yuli Astuti, dan Firli

ix
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

70. KAJIAN ANTIMIKROBA SARANG LEBAH SEBAGAI PENGAWET KULIT 451


TERNAK
Denny Suryanto dan Ellin Harlia

versi elektronik
71. EFEK KADAR PENAMBAHAN TEPUNG SAGU TERHADAP NILAI GIZI 456
BAKSO SAPI
Harapin Hafid, Nuraini, dan Pipit Anggraeni

72. PEMBERIAN HORMON SINKRONISASI ESTRUS TERHADAP KINERJA 463


REPRODUKSI SAPI MADURA YANG MENGALAMI CORPUS LUTEUM
PERSISTEN (CLP)
Jauhari Efendy dan Budi Utomo

73. EFEK SUPLEMENTASI VARIASI HERBAL TERHADAP KADAR GLUKOSA 468


DARAH DAN BOBOT BADAN BROILER
Mei Sulistyoningsih dan Reni Rakhmawati

74. KARAKTERISTIK YOGHURT DAN KEFIR YANG DIPRODUKSI DARI SUSU 475

versi elektronik
KUDA
Nurliyani, Zanu Prasetya, M. Arti Wibawantari, dan Indratiningsih

75. APLIKASI Radioimmunoassay (RIA) DAN SUPLEMENTASI MULTINUTRIENT 485


BLOCK UNTUK PERBAIKAN REPRODUKSI Sapi Brahman Cross
Nursyam Andi Syarifuddin dan Anis Wahdi

76. PENDUGAAN PARAMETER GENOTYPE DENGAN KORELASI GENETIK SAPI 503


Peranakan Ongole (PO) UMUR DAN HARI DI FOUNDATION STOCK
Prihandini P.W., L. Hakim, V.M.A. Nurgiartiningsih, dan Yuli Arif Tribudi

77. PENGARUH PENGENCER DAN LAMA PENYIMPANAN SEMEN IN VITRO 511


TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA AYAM KAMPUNG
Rachmawati WS, Dadang Mulyadi Saleh, Sugiyatno, dan Mas Yedi Sumaryadi

versi elektronik
78. PENGARUH LAMA STIMULASI LISTRIK DENGAN ARUS SEARAH (DIRECT 515
CURRENT) TERHADAP KEEMPUKAN, DAYA IKAT AIR DAN SUSUT MASAK
DAGING KELINCI
R. Singgih Sugeng Santosa dan Prayitno

79. LAMA SIMPAN SPERMA KAMBING PERANAKAN ETTAWA DALAM BAHAN 520
PENGENCER SUSU SKIM DAN AIR KELAPA PADA SUHU PENYIMPANAN
10oC
Sigit Bintara dan Yuni Suranindyah

80. EFEKTIVITAS PUPUK ORGANIK CAIR USB SUPLEMENTASI HERBAL 527


TERHADAP PRODUKTIVITAS RUMPUT GAJAH

versi elektronik
Sufiriyanto, Sri Hastuti, dan Endro Yuwono

81. KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI KEFIR SUSU KAMBING 535


DENGAN KONSENTRASI BIJI KEFIR DAN LAMA FERMENTASI BERBEDA
Triana Setyawardani, Mardiati Sulistyowati , Zuhry Arbangi, dan Farid Dimiyati

x
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN: 978-979-9204-98-1

82. CEMARAN MIKROBA SUSU KAMBING DI PETERNAKAN RAKYAT (Studi 542


kasus di kelompok peternak kambing perah “Mendani” Kabupaten Tegal)
Triana Yuni Astuti, Sunarto, dan Pramono Soediarto

versi elektronik
83. RESPON PROSTAGLANDIN TERHADAP KINERJA BERAHI PADA KAMBING 549
PE DAN SAPERA
Umi Adiati

84. LAJU REPRODUKSI INDUK DOMBA KOMPOSIT SUMATERA DI LAPANG 554


Umi Adiati

85. ESTIMASI HERITABILITAS SIFAT KUANTITATIF PADA SAPI MADURA DI 559


PULAU MADURA
Yuli Arif Tribudi dan Peni Wahyu Prihandini

INDEKS PENULIS 566

versi elektronik
INDEKS SUBYEK 572

versi elektronik

versi elektronik
xi
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

MODEL PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS PETERNAKAN RAKYAT DALAM


MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL
Syamsuddin Hasan dan Syahdar Baba

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar; Telp / Fax : 0411 587 217
Email : syam_hasan@yahoo.com, syahdar_baba@yahoo.com

ABSTRAK
Kontribusi peternakan rakyat dalam pengembangan usaha sapi potong di Indonesia sangat besar.
Terdapat 5,6 juta peternak yang memelihara 15,6 juta ekor sapi. Jika kapasitas peternak dalam
memelihara ternak sapi potong dapat ditingkatkan menjadi 10 ekor per rumah tangga peternak, maka
populasi sapi potong di Indonesia meningkat menjadi sekitar 56 juta ekor. Peningkatan kapasitas
peternak dalam memelihara sapi potong dapat dilakukan dengan menghilangkan faktor penghambat yaitu
waktu kerja peternak yang terbatas dan rendahnya alokasi modal dari peternak untuk aplikasi teknologi.
Ada dua bagian pekerjaan yang paling menyita waktu peternak dalam usaha sapi potong yaitu penyediaan
pakan dan penanganan limbah ternak. Sekitar 80% waktu peternak dihabiskan untuk menyediakan pakan
dan menangani limbah ternak. Penanganan pakan dan limbah ternak oleh perusahaan yang dibentuk dan
dikelola oleh tenaga professional akan meningkatkan kapasitas peternak dalam memelihara sapi potong.

versi elektronik
Perusahaan yang dibentuk memberi layanan penyediaan pakan komplit kepada peternak, layanan
kesehatan dan inseminasi buatan (IB). Peternak membayar layanan penyediaan pakan dengan
mengumpulkan urine sedangkan pelayanan kesehatan dan IB ternak di bayar oleh peternak dengan
mengumpulkan feses ternak. Urine dan feses dikumpulkan oleh perusahaan yang dibentuk dan
melakukan pengolahan, pengemasan dan penjualan pupuk organik padat dan biourine. Sisa hasil usaha
dipertanggungjawabkan oleh perusahaan kepada peternak melalui pertanggungjawaban perusahaan yang
dilaporkan kepada peternak.
Kata kunci : Peternakan rakyat, Sapi Potong, Swasembada Daging

ABSTRACT
Contribution of small holder farmers in beef cattle business development in Indonesia is very high. There
were 5.6 million farmers who taking care of 15.6 million heads of beef cattle. If the ownership of beef
cattle can be increased to 10 heads per farmer, the beef cattle population in Indonesia will be increased to

versi elektronik
around 56 million heads. Improvement of farmers capacity in raising beef cattle can be done by
eliminating inhibiting factors limiting time work and low capital owned by the farmers in order to apply
technology. There were two activities that consume most of the farmes time in beef cattle business,
namely feed provision and waste handling. Aproximetally 80% of farmers’ time was spent for providing
feed and handling animal waste. Feed and waste handling by the established company will increase the
capacity of the farmers in raising beef cattle. The company will give services to the farmers in form of
complete feed, health, and artificial insemination (AI). The farmers pay the feed provision service
received from the company by collecting urine while payment for services in health and artificial
insemination were carried out by collecting feces. Urine and feces collected by the company then will be
processed, packed, and sold further in form of organic fertilizer and biourine. Profit obtained by the
company will be reported to the farmers as a part of accountability.
Key word : Small Holders Farming, Beef Cattle, Beef Self Sufficiency.

versi elektronik
PENDAHULUAN
Upaya untuk memajukan sapi potong di Indonesia telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah, peneliti,
maupun pengusaha dan pemerhati bidang peternakan. Teknologi juga telah banyak dihasilkan oleh
perguruan tinggi, LIPI, Balitbang Pertanian maupun indigenous technology yang dimiliki oleh peternak
mulai dari sektor hulu, on farm dan off farm seperti IB, embrio transfer, teknologi pakan, hijauan unggul,
pasca panen produk dan beberapa rekayasa lainnya. (Bahri dan Tiesnamurti, 2012 ; Hasan, 2013).

1
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sumber daya manusia yang terlibat dan tersedia untuk mengembangkan sapi potong di Indonesia sudah
memadai mulai dari SDM peternak, SDM penyuluh dan SDM peneliti. Dukungan infrastruktur usaha
dari swasta dan pemerintah sangat memadai seperti ketersediaan rumah potong hewan, pengolahan hasil
ternak, ketersediaan sarana IB dan sebagainya. Dukungan kelembagaan pemerintah dari pusat sampai

versi elektronik
kabupaten/kota melalui instansi teknis sangat memadai dengan beragam program seperti penyelamatan
betina produktif, gerakan optimalisasi sapi, IB mandiri, pusat perbibitan rakyat, dan beberapa program
lainnya.
Namun demikian, upaya tersebut belum berjalan optimal. Upaya untuk meningkatkan populasi dan
bahkan swasembada daging sapi masih jauh dari harapan. Hal ini dapat dilihat pada indikator
pertumbuhan populasi sapi potong setiap tahunnya yang tidak sesuai dengan harapan. Pada tahun 2013,
populasi sapi potong di Indonesia berkisar 16.607.000 atau meningkat 35,7% dalam 5 tahun terakhir
(sejak tahun 2008). Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan Indonesia untuk swasembada yaitu dibutuhkan
sekitar 60 juta ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat 250 juta orang dengan konsumsi
perkapita 3 kg. Diperlukan upaya keras dan strategi yang lebih maju lagi agar populasi ternak (sebagai
indikator swasembada) dapat dicapai dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama (Anonimous, 2009).
Tantangan terbesar dalam meningkatkan populasi sapi potong di Indonesia ada pada pelaku utama usaha

versi elektronik
sapi potong yaitu peternak. Posisi peternak sebagai subyek atau pelaku utama usaha peternakan sangat
penting dalam meningkatkan populasi ternak di Indonesia karena 99% usaha peternakan di Indonesia
dikelola oleh usaha peternakan rakyat. Selama ini, kemampuan peternak dalam memelihara ternak sapi
potong hanya berkisar 2-3 ekor per peternak sehingga populasi sapi di Indonesia hanya berkisar 15-16
juta ekor. Jika kapasitas peternak memelihara ternak sapi dapat ditingkatkan menjadi 5 ekor, maka
populasi ternak akan meningkat drastis menjadi 28 juta ekor dan bahkan jika kapasitas peternak
meningkat menjadi 10 ekor, maka total populasi ternak sapi potong di Indonesia mencukupi kebutuhan
populasi dasar untuk swasembada yaitu 56 juta ekor.
Dibutuhkan sebuah model yang tepat sehingga peternak dapat meningkatkan kemampuannya dalam
memelihara ternak sapi. Model yang dibangun harus mengeliminir semua faktor pembatas bagi peternak
dalam meningkatkan kapasitasnya memelihara ternak. Selain itu, model tersebut harus mengakomodasi
posisi ternak sapi potong sebagai usaha sampingan bagi peternak, keterbatasan waktu peternak dalam
mengelola usahatani ternaknya, keterbatasan sumber daya lahan, keterbatasan akses teknologi dan

versi elektronik
berbagai situasi yang menempatkan peternak pada posisi yang sangat sulit dalam meningkatkan
kapasitasnya dalam memelihara ternak.

PERMASALAHAN SAPI POTONG DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF PETERNAK


Permasalahan sapi potong di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa perspektif. Dalam makalah ini,
permasalahan usaha sapi potong dikaitkan dengan permasalahan menurut perspektif peternak sebagai
pelaku utama usaha peternakan di Indonesia. Peternak dengan segala tanggung jawab yang dimiliki
menjadi tulang punggung pengembangan usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Beberapa fenomena
yang dapat diamati pada perilaku peternak sapi potong yang menyebabkan usaha sapi potong sangat sulit
ditingkatkan skala usahanya di level peternak adalah (Baba, dkk., 2013) :
Usaha sapi potong ditempatkan peternak sebagai usaha sampingan. Konsekuensinya, curahan waktu,
curahan biaya serta investasi untuk usaha peternakan tidak menjadi perhatian utama peternak. Ketika
bertemu antara kepentingan usaha tanaman pangan (biasanya sebagai usaha pokok) dengan kepentingan
usaha sapi potong, maka usaha tanaman pangan lebih di prioritaskan. Peternak biasanya menjual ternak

versi elektronik
untuk membiayai usaha tanaman pangan akan tetapi, sangat sedikit peternak yang menjual tanaman
pangan untuk membiayai usaha sapi potong.
Terkait dengan fenomena nomor satu, alokasi waktu peternak untuk usaha sapi potong hanya berkisar 2-3
jam per harinya. Jika sudah melebihi waktu tersebut, maka peternak lebih rela mengurangi jumlah
ternaknya dibanding mempertahankannya dengan mengorbankan waktu yang lebih banyak. Peternak

2
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
mempunyai tanggung jawab lain yaitu untuk tanaman pangan, sebagai suami atau istri, tanggung jawab
sosial yang kesemuanya membutuhkan waktu peternak yang sangat terbatas.
Kemampuan peternak memelihara ternak sangat terbatas. Menurut data statistik, skala usaha sapi potong

versi elektronik
hanya 2-3 ekor utamanya untuk sistem pemeliharaan non landbased. Jika jumlah ternak ditingkatkan,
maka peternak sudah tidak mampu lagi yang ditandai dengan sapi yang kurus ataupun kesehatan ternak
yang tidak terjamin lagi. Faktor pembatasnya adalah lahan, tenaga kerja, pakan dan waktu kerja.
Jika peternak mampu meningkatkan skala usahanya lebih dari 3 ekor, maka limbah feses menjadi
masalah, utamanya bagi tetangga peternak. Peternak belum mampu mengelola feses menjadi pupuk
organik sebagai salah satu cabang usaha yang menguntungkan. Demikian pula teknologi biogas belum
optimal diadopsi oleh peternak. Kalaupun digunakan oleh peternak masih terbatas pada uji coba.
Akses teknologi peternak secara menyeluruh yang terbatas. Peternak sudah banyak mengetahui cara
fermentasi jerami maupun silase jagung, namun, belum banyak peternak yang mengetahui bagaimana
menyiasati penyediaannya sepanjang tahun sehingga kebutuhan ternak dapat terpenuhi. Demikian pula
pembuatan pupuk organik dari limbah ternak sudah banyak diketahui oleh peternak, namun pengetahuan
untuk membuatnya dalam sistem produksi yang menguntungkan belum diketahui oleh peternak sehingga
tidak dapat dioperasionalkan pada level usahatani petani.

versi elektronik
Jika fenomena yang nampak pada peternak dalam memelihara ternak sapi potong di urai, maka akar
masalahnya adalah pada posisi sapi potong yang ditempatkan sebagai usaha sampingan. Akibatnya,
peternak tidak menempatkan usaha sapi potong sebagai prioritas utama dalam pemanfaatan sumber daya
yang dimilikinya. Sumber daya yang dimiliki peternak yang sangat terbatas menyebabkan usaha sapi
potong hadir sebagai pelengkap kehidupan peternak selalu ditempatkan pada posisi yang termarginalkan.
Alokasi waktu, biaya, investasi, lahan untuk sapi potong sangat terbatas. Peternak hanya memanfaatkan
sisa waktunya, berusaha untuk tidak mengeluarkan biaya, mengurangi seminimal mungkin kebutuhan
lahan untuk sapi potong. Sangat wajar jika kemampuan peternak memelihara ternak sangat terbatas.

MODEL PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS PETERNAKAN RAKYAT


Upaya memajukan peternakan di Indonesia tidak boleh mengabaikan peternakan rakyat. Di Indonesia,
terdapat 5,6 juta peternak sapi potong yang memelihara sekitar 15-16 juta ekor sapi potong. Sekitar 99%
lebih dalam bentuk usaha peternakan rakyat dengan skala usaha hanya 2-3 ekor. Peningkatan populasi

versi elektronik
dengan memanfaatkan potensi peternakan rakyat berpeluang meningkatkan populasi sapi potong. Bisa
dibayangkan jika kemampuan peternak dalam memelihara ternak ditingkatkan menjadi 10 ekor, maka
populasi ternak akan meningkat menjadi 56 juta ekor yang berarti swasembada daging sapi akan dicapai.
Olehnya itu, model pengembangan peternakan di Indonesia harus berbasis pada fenomena dan
permasalahan yang dihadapi oleh peternakan rakyat yang berjumlah 5,6 juta orang.
Dalam makalah ini, model pengembangan peternakan rakyat yang akan dimajukan didasarkan pada
kondisi faktual peternakan rakyat. Beberapa fenomena yang telah dikemukakan dalam permasalahan
yang dihadapi peternakan rakyat menjadi landasan dalam merumuskan salah satu model yang dapat
digunakan dalam memajukan peternakan rakyat. Fenomena tersebut tidak akan dihilangkan hanya akan
direkayasa sehingga kemampuan peternak dalam memelihara ternak sapi meningkat. Beberapa fenomena
yang dihadapi dan metode rekayasa yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Peternak memandang usaha peternakan sebagai usaha sampingan. Untuk mengubah pandangan peternak
tersebut merupakan hal yang sangat sulit karena bangsa Indonesia memandang usaha pertanian khususnya

versi elektronik
tanaman pangan adalah budaya atau the way of life (Scot, 1989). Yang akan diubah adalah meskipun
peternakan sapi potong sebagai usaha sampingan, tetapi pendapatan yang diperoleh dari usaha sapi
potong 2-3 kali lebih besar dari usaha pokok.
Waktu kerja peternak untuk usaha peternakan sapi potong yang terbatas (2-3 jam perhari) sehingga hanya
mampu memelihara 2-3 ekor sapi saja. Inipun tidak bisa diubah karena peternak mempunyai tanggung

3
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
jawab yang banyak sehingga model yang dikemukakan juga tidak akan mengubah waktu kerja tersebut.
Yang akan diubah adalah dengan hanya memanfaatkan waktu 2-3 jam, peternak dapat memelihara ternak
sapi 10 ekor.

versi elektronik
Alokasi modal yang rendah untuk usaha peternakan sehingga peternak tidak akan membiayai penerapan
teknologi untuk usaha peternakan sapi potong. Keadaan ini juga tidak akan diubah karena sumber daya
khususnya modal yang dimiliki peternak sangat terbatas. Yang diubah adalah peternak menerapkan
teknologi tanpa harus mengeluarkan uang dan tanpa harus melakukannya sendiri. Teknologi diterapkan
pada usaha sapi potong dengan bantuan tenaga profesional dan peternak tidak perlu mengeluarkan uang
untuk penerapan teknologi, namun menggunakan limbah dari usaha sapi potongnya berupa urine dan
feses yang dikelola oleh tenaga profesional.
Rekayasa yang dilakukan dalam meningkatkan kemampuan peternak dalam memelihara ternak sapi
sangat ditentukan pada metode penyediaan pakan dan penanganan limbah. Penyediaan pakan merupakan
bagian tersulit dan terlama yang dihadapi oleh peternak dalam memelihara ternak sapi. Dari alokasi
waktu 2-3 jam per hari, minimal 50% dialokasikan untuk menyediakan pakan. Sekitar 30% dialokasikan
untuk menangani limbah (membersihkan kandang, mengumpulkan feses dan membuang feses). Sisa
waktu 20% digunakan untuk kepentingan lainnya seperti penanganan kesehatan ternak, penyediaan air

versi elektronik
minum, penanganan reproduksi dan pemasaran ternak. Olehnya itu, model yang dikemukakan dalam
pengembangan usaha peternakan rakyat adalah penanganan pakan dan limbah ternak yang memudahkan
peternak sehingga dengan waktu dan biaya yang terbatas kemampuan peternak dalam memelihara ternak
dapat ditingkatkan dari 2 ekor menjadi 10 ekor.
Penanganan pakan hijauan oleh peternak terkendala oleh beberapa hal. Jika peternak harus menanam
rumput atau mengambil rumput lapangan, maka lahan merupakan faktor pembatas utama bagi peternak.
Jika peternak memanfaatkan limbah pertanian, maka kontiniutas suplai menjadi faktor pembatas utama
karena tidak adanya tempat penampungan dan penerapan teknologi yang terkendala oleh waktu.
Demikian halnya dengan penanganan limbah (feses dan urine) merupakan faktor pembatas utama bagi
peternak dalam meningkatkan skala usahanya. Jika peternak yang harus mengolah feses menjadi pupuk
organik, maka kendala utamanya adalah waktu untuk mengolah pupuk organik yang tidak ada, jumlah
feses yang tidak mencukupi, tidak ada penampungan serta tidak mampu memenuhi permintaan pasar
karena skala produksi yang terbatas.

versi elektronik
Menyikapi permasalahan yang dihadapi peternak dalam mengelola usaha sapi potongnya, maka kunci
untuk meningkatkan kemampuan peternak dalam memelihara ternak sapi potong ada pada pakan dan
penanganan limbah. Penyediaan pakan yang memudahkan peternak dalam pelaksanannya dan tidak
membutuhkan waktu yang banyak mampu meningkatkan kemampuan peternak memelihara sapi potong.
Bisa dibayangkan kemudahan penyediaan pakan pada usaha ayam ras sehingga peternak ayam ras petelur
dapat meningkatkan skala usahanya tanpa kesulitan dalam menyediakan pakan. Pakan lengkap telah
disiapkan oleh perusahaan penyedia pakan dan peternak dapat langsung memberikan pakan kepada ayam
tanpa membutuhkan waktu yang lama. Hanya saja, penyediaan pakan ayam ras harus dibeli oleh peternak
yang mana hal ini menjadi kendala bagi usaha sapi potong karena peternak sapi potong tidak mau
mengeluarkan uang untuk membiayai usahanya. Demikian halnya jika limbah feses dan urine yang
selama ini terbuang dan menjadi kendala bagi pengembangan usaha sapi potong, akan memudahkan
peternak jika ada yang membeli dalam bentuk segar dan mengolahnya secara terpusat. Hasil penjualan
urine dan feses dapat dijadikan biaya pengganti pelayanan kesehatan ternak dan pembelian pakan

versi elektronik
lengkap.
Model penanganan pakan dan limbah yang dapat meningkatkan kemampuan peternak dalam memelihara
ternak sapi potong adalah sebagai berikut:

4
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik
Gambar 1. Model pengembangan sapi potong berbasis peternakan rakyat
Berdasarkan Gambar 1, terdapat tiga stakeholder utama yang berperanan dalam pengembangan sapi
potong berbasis peternakan rakyat. Yang pertama adalah peternak inti yang menjadi pemilik usaha
pengolahan feses, urine dan pakan komplit. Yang kedua adalah usaha pengelola feses, urine dan pakan
komplit serta yang ketiga adalah kelompok tani ternak lain diluar usahatani inti dan usaha yang dibangun
yang akan membeli jasa layanan yang disiapkan oleh perusahaan yang dibuat oleh peternak.

versi elektronik
Berikut adalah penjelasan dari ketiga stakeholder yang terlibat serta dukungan yang dibutuhkan dari
pemerintah dalam penerapan model ini:
Kelompok tani ternak inti. KTT ini menjadi pemilik usaha yang akan dibentuk untuk menangani feses,
urine dan pakan komplit. KTT berkewajiban mengumpulkan feses setiap tiga hari sekali di tempat yang
mudah diakses oleh mobil pengangkut feses dari perusahaan. Jumlah feses basah yang dikumpulkan
ditimbang dan dihitung sebagai piutang peternak ke perusahaan. Selain feses, peternak juga berkewajiban
mengumpulkan urine ternak setiap tiga kali sehari dalam jerigen tertutup. Perusahaan akan
mengumpulkan urine tersebut setiap tiga hari untuk diolah menjadi biourine. Setiap liternya akan
dihargai dan dicatat oleh perusahaan sebagai piutang peternak. Jumlah piutang yang bersumber dari feses
dapat membiayai pelayanan kesehatan dan IB KTT peternak inti sedangkan piutang dari urine dapat
membiayai kebutuhan pakan komplit KTT peternak inti setiap harinya.
Unit usaha yang dimiliki peternak. Unit usaha yang dibentuk merupakan milik peternak KTT inti.
Perusahaan ini dibentuk atas kesepakatan kelompok. Pengelolanya adalah sarjana peternakan yang

versi elektronik
direkrut untuk menangani permasalahan teknis dan permasalahan pemasaran serta pelayanan peternak.
Perusahaan bertugas mengumpulkan feses dan urine yang dikumpulkan oleh peternak setiap tiga harinya.
Perusahaan mencatat jumlah feses dan urine yang dikumpul dari peternak dalam pembukuan utang
piutang perusahaan. Feses dan urine yang dikumpul setiap tiga hari akan diolah menjadi pupuk organik
padat dan biourine. Hasil pupuk organik dan biourine akan dijual ke peternak lainnya ataupun ke pasar
yang membutuhkan pupuk organik padat dan cair. Tanggung jawab lain yang dimiliki oleh perusahaan

5
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
adalah membuat pakan komplit. Pakan komplit yang dibuat menggunakan limbah pertanian yang tersedia
di daerah tersebut. Perusahaan juga berkewajiban memberikan pelayanan IB dan pelayanan kesehatan
ternak ke peternak pemilik perusahaan. Biaya pakan dan biaya pelayanan kesehatan ke setiap anggota
kelompok inti akan dicatat dalam pembiayaan guna melunasi piutang peternak ke perusahaan.

versi elektronik
Kelompok tani lainnya. Kelompok tani lainnya dapat memanfaatkan jasa dari perusahaan yang dibentuk
dengan syarata harus membayar biaya yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Pelayanan yang diberikan
oleh perusahaa adalah penyediaan pupuk organik padat, penyediaan biourine dan pelayanan pakan
komplit. Selain itu, perusahaan dapat pula menjadi pusat pembelajaran bagi peternak lainnya untuk
meningkatkan adopsi teknologi pada usaha sapi potong.

TEKNOLOGI DAN KAPASITAS SDM YANG DIBUTUHKAN


Dalam upaya mengembangkan model peternakan rakyat yang mampu meningkatkan kapasitas peternak
dalam memelihara ternak, maka terdapat beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh pelaku
usaha adalah:
Kemampuan teknis. Kemampuan teknis yang harus dimiliki utamanya oleh pelaksana perusahaan
(sarjana peternakan) dalam melaksanakan model ini adalah pembuatan biourine, pembuatan pupuk

versi elektronik
organik padat, pembuatan pakan komplit dari limbah pertanian, pelayanan kesehatan ternak dan
pelaksanaan IB. Kemampuan ini dapat diperoleh dari sarjana peternakan yang menjadi pengelola
perusahaan. Sarjana yang dipilih sebagai pengelola adalah sarjana peternakan yang mempunyai
kemampuan teknis peternakan sapi potong
Kemampuan wirausaha. Wirausaha dibutuhkan untuk mengelola perusahaan yang telah dibentuk mulai
dari penyediaan bahan baku (feses, urine, bahan pakan), sampai pada manajemen produksi dan penjualan
produk yang dihasilkan. Kemampuan wirausaha dapat diperoleh dengan memagangkan sarjana
peternakan yang akan mengelola usaha ini ke beberapa model usaha sapi potong yang telah berhasil
menjual produk pupuk organik, biourine dan pakan komplit.
Kemampuan pemberdayaan masyarakat. Kemampuan pemberdayaan yang dimaksud adalah kemampuan
dalam menumbuhkan semangat beternak peternak, transfer teknologi ke peternak dan membangun
kelembagaan yang menguntungkan semua pihak. Kemampuan ini dapat diperoleh melalui beberapa
model simulasi

versi elektronik
KESIMPULAN
Swasembada daging sapi hanya dapat dicapai melalui peningkatan populasi ternak sapi. Untuk
meningkatkan populasi ternak sapi sangat tergantung pada kemampuan peternak sapi potong dalam
memelihara ternak. Peningkatan populasi dapat dicapai dengan meningkatkan kapasitas peternakan
rakyat dalam memelihara ternak melalui penangan pakan dan limbah ternak. Melalui sebuah model
kelembagaan yang melibatkan tenaga profesional dalam pengelolaan pakan dan limbah ternak, mampu
meningkatkan kapasitas peternak dalam memelihara sapi potong. Selain itu, pendapatan peternak akan
meningkat karena adanya diversifikasi penerimaan dari berbagai sumber pendapatan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2009. Statistik Peternakan 2009. Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI).
Bahri, S., dan B. Tiesnamurti. 2012. Strategi Pembangunan Peternakan Berkelanjutan dengan

versi elektronik
memanfaatkan sumber daya lokal. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 31 Nomor
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Baba, S. A. Muktiani., A. Ako dan B. Ibrahim. 2013. Hambatan adopsi teknologi integrasi jagung dan
ternak sapi di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan V, Tgl
12-13 November 2013, Bandung.

6
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Hasan, S. 2013. Perkembangan dan Penerapan Teknologi Peternakan dalam Mendorong Industri
Perbibitan Sapi di Sulawesi Selatan. Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri
Peternakan. IPB International Convention Center.

versi elektronik
Scot, J.C. 1989. Moral Ekonomi Petani. LP3ES Press, Jakarta.

BIODATA SINGKAT PENULIS


Syamsuddin Hasan, adalah salah satu staf dosen di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, yang
lahir di Pinrang tanggal 23 September 1952. Gelar Insinyur diperoleh dari Fakultas Peternakan UNHAS
pada tahun 1978, kemudian mulai bekerja di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin sebagai staf
pengajar/dosen pada tahun 1979 dengan pangkat terakhir saat ini Guru Besar Golongan IVe.
Menyelesaikan pendidikan pada program master di Miyazaki University Japan pada tahun 1985 dan
program doktor di Kyushu University Japan pada tahun 1989. Dan Post Doktoral selama delapan bulan di
Miyazaki Universty pada tahun 1992.
Karir dalam jabatan struktural dimulai dari Ketua Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, yang dilanjutkan
menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Pembantu Dekan Bidang Akademik dan

versi elektronik
saat ini dipercaya sebagai dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin selama dua periode dari
tahun 2006 – 2009 dan 2009 - 2014.
Pengalaman dalam bidang penelitian cukup banyak, dengan berbagai program skim penelitian dalam dan
luar negeri, yang dipublikasikan melalui jurnal nasional dan international. Juga aktif sebagai dosen tamu
di beberapa perguruan tinggi di dunia di antaranya Univ. Los Banos (Philippines), Univ. Mae Fah Long
(Thailand), Univ. Saskatchewan, Saskatoon (Canada) dan Univ. Forest and Agriculture HCMC, Vietnam.
Memperoleh beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri antara lain sebagai peneliti terbaik (The
Best Resercher of SEAMEO Jasper Fellowship) dari SEAMEO pada tahun 2001 yang mengantarkannya
sebagai dosen tamu di beberapa universitas dan lembaga riset di Asia Tenggara dan Kanada. Sedangkan
penghargaan yang diterima dari dalam negeri dalam bidang pemberdayaan masyarakat adalah IPTEKDA
LIPI AWARD 2006 yang diterima sebagai bukti apresiasi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
atas dedikasi dalam memajukan masyarakat melalui aplikasi teknologi tepat guna yang dikembangkan
dalam memberdayakan masyarakat utamanya petani peternak dan usaha kecil dan menengah (UKM).

versi elektronik
Penghargaan dari Gubernur Sulawesi Selatan sebagai Penggiat Koperasi Tingkat Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2009.
Syahdar Baba. Adalah salah satu staf dosen di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, yang lahir
di Cabengge Kab. Soppeng tanggal 17 Desember 1973. Gelar Sarjana diperoleh dari Fakultas Peternakan
UNHAS pada tahun 1995, kemudian mulai bekerja di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
sebagai staf dosen pada tahun 2004 dengan pangkat terakhir saat ini Lektor/Golongan IIId.
Menyelesaikan pendidikan pada program master di Program Studi Agribisnis Universitas Hasanuddin
pada tahun 1999 dan program doktor di Universitas Diponegoro pada tahun 2011.
Pengalaman di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat khususnya dalam bidang penyuluhan
berbasis partisipatory (Farmer Participatory Research) yang diaplikasikan pada masyarakat peternakan
sapi potong, perah dan ternak kambing. Saat ini aktif sebagai ketua Himpunan Pengusaha Domba dan
Kambing (HPDKI) Provinsi Sulawesi Selatan.

versi elektronik 7
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
POTENSI LIMBAH TANAMAN PERKEBUNAN SEBAGAI PAKAN HEWAN RUMINANSIA
Wardhana Suryapratama
Laboratorium Ilmu Bahan Makanan Ternak

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris dengan luas wilayah 1.904.569 km2 dan jumlah penduduk saat ini
sebesar 251.160.124 jiwa dengan laju pertambahan penduduk 1,49% per tahun (Badan Pusat Statistik,
2014a). Besarnya jumlah penduduk tersebut mengakibatkan permintaan akan bahan pangan asal ternak
meningkat terus setiap tahunya. Sejak tahun 2009 sampai tahun 2012 permintaan daging meningkat 2,7%
per tahun, telur ayam ras 2,9% per tahun dan permintaan susu naik 12,5% per tahun. Sementara itu
populasi ternak mengalami kenaikan pula, populasi sapi potong 6% per tahun, ayam ras petelur 6,4% per
tahun, ayam ras pedaging 6,4% per tahun, populasi sapi perah naik 6,77% per tahun (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Laju pertumbuhan populasi ternak menunjukkan lebih tinggi
dibandingkan laju pertambahan penduduk. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan konsumsi per
kapita dari ketiga bahan pangan asal ternak tersebut. Selain itu sampai saat ini masih terjadi defisit pada
neraca ekspor-impor peternakan. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013)

versi elektronik
defisit neraca ekspor–impor peternakan dalam kurun waktu 2011-2012 mengalami peningkatan sebesar
48,13% dari defisit sebesar US$ 1.445,73 juta pada tahun 2011 menjadi defisit sebesar US$ 2.141,57 juta
pada tahun 2012. Jika pada tahun 2011 rasio ekspor terhadap impor senilai 1:1,90, maka pada tahun 2012
rasionya meningkat menjadi 1:4,85. Hal ini memberikan makna bahwa Indonesia harus segera
meningkatkan produksi peternakan secara signifikan agar impor pangan dapat ditekan.
Untuk mendukung pertumbuhan komoditas peternakan secara signifikan jelas harus diimbangi
penyediaan pakan yang memadai. Namun, penyebaran ternak di Indonesia tidak merata, cenderung
mengikuti sebaran penduduk. Nampak bahwa Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,9% dari daratan
Indonesia harus menanggung beban sejumlah ternak yang cukup banyak. Pada tahun 2013 tercatat
99,02% populasi sapi perah berada di Jawa, demikian pula 93,52% populasi domba, 56,35% populasi
kambing, 48,60% populasi sapi pedaging, 72,79% populasi ayam ras pedaging, dan 56,77% populasi
ayam ras petelur (Data terolah berdasar sumber Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Akan
tetapi lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan utama dalam penyediaan pakan bagi hewan

versi elektronik
ruminansia cenderung menyusut setiap tahun karena berubahnya fungsi lahan pertanian menjadi lahan
non pertanian. Menurut Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Tengah (2013) bahwa selama 10 tahun
terakhir laju alih fungsi lahan pertanian di Jawa Tengah paling sedikit 4 Ha per hari.
Selain itu di Jawa sudah tumbuh pesat aneka industri yang menggunakan bahan baku yang biasa untuk
pakan ternak. Seperti tetes tebu (molasses) yang digunakan untuk industri pembuatan Na-glutamat,
spiritus, dan antibiotika maupun produksi protein sel tunggal. Jerami padi maupun bagas tebu (sugarcane
bagasse) saat ini sudah menjadi komoditi yang mahal harganya karena digunakan untuk media biakan
jamur. Berdasarkan hal tersebut, kendala penyediaan pakan bagi hewan ruminansia dapat mengakibatkan
usaha peternakan hewan ruminansia di tahun-tahun mendatang kehilangan keunggulan komparatif dalam
memanfaatkan limbah tanaman pangan.
Untuk mengatasi kendala keterbatasan penyediaan pakan di Jawa, maka ketersediaan sumberdaya pakan
di Indonesia perlu ditingkatkan. Inventarisasi potensi aneka macam sumberdaya pakan diperbanyak
perbendaharaanya. Limbah tanaman perkebunan (estate crop by products) biasanya dihasilkan pada

versi elektronik
suatu tempat dalam jumlah yang besar sehingga memungkinkan untuk diolah menjadi bahan pakan hewan
ruminansia. Tulisan ini memberikan gambaran potensi limbah tanaman perkebunan sebagai pakan ternak
bagi hewan ruminansia, khususnya limbah tanaman perkebunan kelapa sawit dan coklat.

8
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
LIMBAH TANAMAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Indonesia merupakan tempat yang sangat cocok untuk tumbuhnya tanaman kelapa sawit. Hal ini berkaitan
dengan persyaratan tumbuh tanaman kelapa sawit, yaitu tumbuh optimum pada daerah sekitar ekuator
yang bersifat tropis dan basah (lembab, dengan RH ~ 85%), dengan suhu berkisar 24-32°C sepanjang

versi elektronik
tahun, sinar matahari melimpah, curah hujan tinggi (~ 2,000 mm) (Hariyadi, 2014). Hal tersebut yang
menyebabkan saat ini Indonesia menjadi penghasil utama minyak sawit dunia, yang memproduksi lebih
dari 44% minyak sawit dunia.
Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 10.010.824 ha, dengan laju
pertumbuhan mencapai 4,58% per tahun. Pulau Jawa hanya menopang 0,3% dari total areal perkebunan
kelapa sawit, Sumatera 64,15%, Kalimantan 32,02%, Sulawesi 2,90% dan Papua 0,63% (Direktorat
Jenderal Perkebunan, 2014). Adapun luas areal tanaman padi di Indonesia saat ini mencapai 13.837.213
ha dengan laju pertambahan areal tanaman padi sebesar 1,85% per tahun. Pulau Jawa menopang 46,74%
dari total areal tanaman padi, Sumatera 25,44%, Kalimantan 9,61%, Sulawesi 11,67%, Papua hanya
0,35% dan sisanya Maluku-Nusa Tenggara-Bali 6,17% (Badan Pusat Statistik, 2014b).
Buah kelapa sawit dipanen dalam bentuk tandan buah segar (fresh fruit bunches). Dari panenan tandan
buah segar setelah diolah di pabrik dapat menghasilkan ampas tandan (bunch trash) sebanyak 56,5% dari

versi elektronik
biomassa tandan segar. Sisanya sebanyak 43,5% terdiri dari minyak sawit kasar (crude palm oil = CPO)
sebanyak 19%, serat sawit (palm press fiber = PPF) sebanyak 12%, cangkang sawit (palm nut shell)
sebanyak 8% dan inti sawit (palm kernel) 4,5%. Dari 4,5% inti sawit tersebut dapat dihasilkan bungkil
kelapa sawit sebanyak 2,25% dan minyak inti sawit kasar (crude palm kernel oil = CPKO) sebanyak
2,25% (Gambar 1). Dari 19% minyak sawit kasar (CPO) dihasilkan limbah berupa lumpur (sludge) yang
bila dalam keadaan kering jumlahnya dapat mencapai 2%. Jadi dari seluruh biomassa tandan buah dapat
dihasilkan tiga jenis limbah yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan hewan ruminansia, yaitu
12% serat sawit (PPF), 2% lumpur sawit kering dan 2,25% bungkil kelapa sawit (palm kernel cake =
PKC) (Sutardi, 1991).
Dari tanaman sawit selain tandan buah yang dipanen, juga dipangkas pelepah daun sawit (oil palm fronds
= OPF). Setiap hari saat panen dapat menghasilkan 45 pelepah daun sawit segar per hektar. Setiap
pelepah daun sawit dapat dimanfaatkan sekitar 4,95 kg sebagai pakan ternak, sehingga setiap hektar dapat
menghasilkan 220 kg daun sawit segar (Dinas Pertanian Bengkulu, 2003). Andaikata rataan pelepah daun

versi elektronik
sawit yang dapat dimanfaatkan sebesaar 220 kg/ha/hari dan areal tanaman di Indonesia sebanyak 10 juta
ha, maka daun sawit segar setiap hari tersedia sebanyak (10 juta ha) (220 kg/hari) = 2,2 juta ton daun
sawit per hari. Jika pemakaiannya pada sapi dewasa rata-rata 5 kg/hari, maka persediaan itu cukup untuk
sekitar 440.000 ekor. Daun sawit terdiri dari tiga bagian utama yaitu pelepah daun, daun dan lidi. Sekitar
70% bahan kering daun sawit adalah berupa pelepah daun. Kandungan nutrienya rendah yaitu 4,7%
prorein kasar, 38,5% serat kasar, 18,5% hemiselulosa dan energinya 5,65 ME MJ/kg (Zahari et al, 2003).
Hasil penelitian Dahlan et al. (2000) pada kambing yang mendapat pakan campuran komplit pellet daun
sawit menghasilkan pertambahan bobot tubuh yang tertinggi dibandingkan kambing yang mendapat daun
sawit segar, maupun silase daun sawit. Hasil penelitian lain yang dilaporkan oleh Zahari et al. (2003)
pada sapi potong menunjukkan bahwa daun sawit segar dapat diberikan sampai 60% dari total pakan dan
menghasilkan persentase daging-karkas (66,6%) dibandingkan dengan campuran pakan yang lain
(56,9%).

versi elektronik 9
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik Sumber : Hariyadi (2014)


Gambar 1. Dua jenis minyak berasal dari tanaman kelapa sawit, yaitu CPO dan CPKO

Komposisi kimia serat sawit hampir sama dengan rumput dan lumpur sawit hampir sama dengan dedak
padi (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi serat sawit, rumput gajah, lumpur sawit dan dedak padi
Komposisi Kimia Serat Sawit Rumput Gajah Lumpur Sawit Dedak Padi
----------------------------------------(%) ----------------------------------------
Bahan Kering 93,21 22,20 93,10 87,70

versi elektronik
Komposisi BK :
Abu 6,46 12,00 12,00 13,60
Protein kasar 5,93 8,69 13,30 13,00
Lemak 5,19 2,71 18,85 8,64
Serat kasar 40,80 32,30 16,30 13,90
BETN 41,62 44,30 39,55 50,86
TDN 50,00 54,00 74,00 70,00
Sumber : Sutardi (1991)
Sutardi (1991) juga melaporkan hasil penelitiannya tentang penggunaan lumpur sawit kering sebagai
pengganti dedak padi pada ransum pertumbuhan sapi perah jantan dan ransum sapi perah laktasi, seperti
terlihat pada Tabel 2.

versi elektronik 10
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 2. Substitusi dedak padi dengan lumpur sawit kering
Taraf Substitusi (%)
0 50 100

versi elektronik
1. Pada Sapi Perah Jantan
Konsumsi BK, kg/hari 6,00 5,82 6,19
Energi Tercerna, Mkal/hari 18,33 16,74 19,04
Retensi N, g/hari 53,00 42,00 40,00
Pertumbuhan, kg/hari 1,24 1,44 1,43
Lemak tubuh, % 31,71 31,90 31,43

Taraf Substitusi (%)


0 33 67 100
2. Pada Sapi Laktasi
Produksi susu, kg/hari 10,58 11,01 11,04 11,21
Lemak susu, % 4,08 4,25 3,98 4,21
Bahan kering tanpa lemak, % 7,86 8,25 8,12 7,96

versi elektronik
Protein susu, % 2,86 2,62 3,01 2,95
Sumber : Sutardi (1991)
Dari Tabel 2 terlihat bahwa dedak padi dapat digantikan seluruhnya oleh lumpur sawit, baik dalam pakan
sapi perah jantan maupun sapi perah laktasi. Laju pertumbuhan sapi perah jantan cenderung meningkat
dari 1,2 kg/hari menjadi 1,4 kg/hari. Penggemukan sapi juga tidak terganggu, terlihat dari kadar lemak
tubuh yang berkisar 31-32%. Produksi susu juga cenderung sedikit naik tanpa ada perubahan dalam
kadar lemak susu dan kadar bahan kering tanpa lemak. Bahkan kadar protein susu juga cenderung naik.
Hasil penelitian lainnya yang menggunakan serat sawit sebagai pengganti rumput gajah pada sapi perah
jantan memperlihatkan bahwa serat sawit hanya mampu menggantikan 50% rumput gajah. Lebih dari itu
selera makan sapi, kecernaan energI, retensi nitrogen pakan dan rataan pertumbuhan terganggu (Tabel 3).
Tabel 3. Substitusi rumput gajah dengan serat sawit

versi elektronik
Taraf Substitusi (%)
Peubah yang diamati
0 50 100

Konsumsi BK, kg/hari 6,27 6,66 5,08


Energi tercerna, Mkal/hari 19,29 19,33 15,49
Retensi nitrogen, g/hari 50,00 54,00 38,00
Pertumbuhan, kg/hari 1,41 1,41 0,98
Lemak tubuh, % 31,21 30,91 32,94
Sumber : Sutardi (1991)
Hasil penelitian Santoso et al. (2010) pada sapi jantan Peranakan Ongole yang mendapat pakan dasar
jerami padi dan serat sawit amoniasi menunjukkan pertambahan bobot badan harian sapi yang lebih baik
(P<0,05) jika mendapat tambahan daun gamal dan daun turi (0,97 kg/ekor/hari) daripada yang diberi
tambahan daun lamtoro (0,79 kg/ekor/hari). Rendahnya pertambahan bobot badan sapi yang diberi

versi elektronik
tambahan daun lamtoro karena lamtoro mengandung condensed tannin yang lebih tinggi dibandingkan
daun gamal dan daun turi, yang dapat mengganggu kecernaan pakan. Hal tersebut karena tannin dapat
memproteksi pakan, sehingga kecernaan oleh mikroba rumen terganggu (Sajimin, 2006).

11
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
LIMBAH TANAMAN PERKEBUNAN COKLAT
Tanaman coklat juga menghasilkan limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan ruminansia.
Antara lain kulit buah atau pod coklat (cocoa pods), kulit biji coklat, dan lumpur coklat (cocoa sludges)
yang merupakan ampas cucian biji coklat. Setelah buah coklat dipanen, buahnya dikupas, yang diangkut

versi elektronik
ke pabrik hanya isi buahnya. Kulit buah ditinggal dikebun dan dijadikan kompos, padahal kulit buah
coklat merupakan sumber daya pakan yang potensial.
Di pabrik coklat, isi buah coklat dicuci dan air cuciannya dibuang sehingga dapat menjadi sumber
pencemaran lingkungan, air cucian ini berupa larutan kental seperti lumpur dan hingga sekarang belum
dimanfaatkan. Padahal lumpur coklat tersebut sangat tinggi kadar protein sampai sebesar 20%, jika
dikeringkan dapat sebagai sumber pakan. Tabel 4 memperlihatkan kandungan energi dan komposisi
nutrien limbah tanaman coklat.
Tabel 4. Kandungan energi dan komposisi nutrien limbah tanaman coklat
Kandungan Nutrien Pod Coklat Kulit Biji Lumpu Coklat

Bahan Kering, % 17,00 68,40 8,70


Komposisi Bahan Kering, %

versi elektronik
Abu 12,20 6,64 7,78
Protein Kasar 7,16 16,60 20,80
Lemak Kasar 0,80 8,82 33,00
Serat Kasar 32,50 25,10 13,40
BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 47,34 42,84 25,02
TDN (Total Digestible Nutrient) 53,00 72,00 98,00
Sumber : Sutardi (1991)
Tanaman coklat mengandung alkaloid theobromin, suatu senyawa heterosiklik yang mengandung
nitrogen yang dapat menghambat proses pencernaan. Namun kehadiran mikroorganisme di dalam rumen,
efek toksis theobromin dapat diredam. Tabel 5 mengikhtisarkan hasil percobaan pada sapi perah jantan
yang mendapat pod coklat sebagai pengganti rumput gajah. Pakan percobaan disusun dengan kandungan
protein 14% dan TDN 70%. Pakan yang diuji dibuat pakan komplit (complete ration). Hijauan dan
konsentrat beserta vitamin dan mineral dicampur secara homogen dan dibuat pellet.

versi elektronik
Berdasarkan table 5, nampak bahwa konsumsi bahan kering cenderung meningkat sejalan dengan
bertambahnya taraf pod coklat dalam pakan. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pod coklat disukai
sapi. Tampak pula pakan R2 yang mengandung 30% pod coklat dan 70% konsentrat menghasilkan rataan
pertumbuhan harian sapi-sapi percobaan yang lebih tinggi daripada pakan kontrol R0 (30% rumput gajah
+ 70% konsentrat) (Sutardi, 1991).
Tabel 5. Efek pod coklat terhadap sapi perah jantan
Pakan Percobaan1)
Peubah
R0 R1 R2 R3

Konsumsi BK, kg/hari 3,40 3,32 3,80 4,40


DE, Mkal/kg 3,15 3,86 3,79 2,97
Pertumbuhan, kg/hari 0,75 0,72 0,93 0,83

versi elektronik
Sumber : Sutardi (1991)
R0 = 30% rumput gajah + 70% konsentrat; R1 = 15% pod coklat + 85% konsentrat
R2 = 30% pod coklat + 70% konsentrat; R3 = 45% pod coklat + 55% konsentrat
BK = Bahan Kering
DE = Digestible Energy (Energi tercerna)

12
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

PENUTUP
Tanaman perkebunan menghasilkan limbah tanaman yang berpotensi sebagai pakan hewan ruminansia.

versi elektronik
Mengingat lokasi perkebunan pada umumnya jauh dari pusat peternakan, maka perlu ada pihak yang
menjebatani antara badan usaha perkebunan sebagai produsen dan peternak sebagai konsumen.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Tengah, 2013. Perda No 2 tahun 2013 sebagai barrier alih fungsi
lahan pertanian di Jawa Tengah. http://bkp.jatengprov.go.id/web (diakses 25 Mei 2014).
Badan Pusat Statistik, 2014a. Proyeksi Penduduk 2000-2025. http://datastatistik-indonesia.com/proyeksi
(diakses 28 Mei 2014).
Badan Pusat Statistik, 2014b. Luas Areal Tanaman Pangan. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php (diakses
28 Mei 2014).
Dahlan, I., M. Islam and M.A. Rajion, 2000. Nutrient intake and digestibility of fresh, ensiled and
pelleted oil palm (Elaeis guineensis) frond by goats. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 13(10): 1407-

versi elektronik
1413.
Dinas Pertanian Bengkulu, 2003. Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA).
http://bengkulu.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task-vie (diakses 27 Januari
2007)
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014. Luas Areal Kelapa Sawit Menurut provinsi di Indonesia Tahun
2009-2013. http://ditjenbun.pertanian.go.id/Areal-kelapasawit (diakses 20 Mei 2014).
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan
2013. http://ditjenak.deptan.go.id (diakses 25 Mei 2014).
Hariyadi, P., 2014. Mengenal Minyak Sawit dengan Beberapa Karakter Unggulnya. GAPKI (Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Jakarta.
Sajimin, 2006. Pemanfaatan tanaman lamtoro tahan hama kutu loncat untuk produksi hijauan pakan

versi elektronik
ternak : Suatu kajian pustaka. Animal Production 8(2): 143-151.
Santoso, D., W. Suryapratama, dan Sufiriyanto. Penggunaan leguminosa lokal sebagai sumber protein
dalam pakan sapi potong yang mengandung serat sawit. Prosiding Seminar Nasional Perspektif
Pengembangan Agribisnis Peternakan di Indonesia, 10 April 2010 Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Sutardi, T., 1991. Pemanfaatan limbah tanaman perkebunan sebagai pakan ternak ruminansia. Makalah
Seminar Kerjasama Fakultas Peternakan IPB dengan Pemerintah Daerah Kotamadya Bogor, 31
Oktober 1991. Bogor.
Zahari, M.W., O.A. Hassan, H.K. Wong and J.B. Liang, 2003. Utilization of oil palm frond-based diets
for beef and dairy production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16(4): 625-634.

versi elektronik 13
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
APLIKASI TRANSFER EMBRIO (TE) UNTUK PENINGKATAN KUALITAS GENETIK
TERNAK DI BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG BOGOR
Tri Harsi

versi elektronik
Balai Embrio Ternak Cipelang Bogor

Pembangunan peternakan merupakan salah satu subsektor pada sektor pertanian yang strategis dalam
upaya memantapkan ketahanan pangan. Sebagai subsektor yang berperan sangat besar dalam ketahanan
pangan, salah satu masalah pokok yang dihadapi subsektor peternakan adalah penyediaan bibit unggul
berkualitas sebagai penghasil bahan pangan asal ternak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein
hewani. Peternakan mempunyai peran yang sangat strategis antara lain terkait penyediaan pangan sumber
protein hewani (daging, telur dan susu) yang sangat dibutuhkan masyaraka, turut serta dalam mendukung
peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang sehat dan cerdas, merupakan kebutuhan pokok
yang sifatnya terus menerus, ternak juga sebagai sumber energi alternatif, seagai penghasil pupuk dan
sebagai sumber devisa negara.
Permasalaahn umum yang ada dibidang perbibitan ternak antara lain : jumlah bibit ternak belum
terpenuhi khususnya di sapi potong dan sapi perah, Sumber-sumber pembibitan ternak masih menyebar
dengan kepemilikan rendah sehingga menyulitkan pembinaan, pengumpulan dan distribusi bibit dalam

versi elektronik
jumlah yang sesuai, belum berkembangnya usaha perbibitan yang profesional oleh peternak, kelompok
peternak, atau koperasi dan swasta dengan skala luas, lemahnya daya jangkau layanan UPT Perbibitan,
karena sebaran ternaknya yang luas dan masih lemahnya pemahaman manfaat recording/pencatatan serta
masih adanya pemotongan betina produktif walaupun sudah mulai berkurang.
Balai Embrio Ternak (BET) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya telah memproduksi embrio dan
bibit ternak hasil TE yang tersebar dibeberapa daerah di Indonesia. Selaras dengan program pemerintah
dalam Pencapaian Swassembada daging sapi dan Kerbau (PSDSK) tahun 2014 dan swasembada bull
(pejantan) tahun 2013. Penerapan dan pemanfaatan bioteknologi TE merupakan satu dari sejumlah
langkah dan antisipasi terhadap kendala penyediaan bibit unggul (bull dan donor) yang selama ini masih
dipenuhi dari Impor.
Beragam cara untuk mengembangkan peternakan sapi potong dan sapi perah dilakukan antara lain lewat
perbaikan kualitas genetik. Namun langkah ini seringkali terhambat karena sulitnya betina kualitas

versi elektronik
unggul.Secara alami seekor induk hanya mampu menghasilkan satu ekor anak dalam setahun atau rata-
rata hannya mampu menghasilkan anak yang berkualitas kurang dari 8 ekor sepanjang hidupnya.
Menghadapi kendala tersebut, maka TE menjadi salah satu solusi.
Teknologi TE pada sapi merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah Inseminasi Buatan
(IB). Pada prinsipnya teknik TE adalah rekayasa fungsi reproduksi sapi berina unggul dengan metode
superovulasi sehingga diperoleh ovulasi srl telur dalam jumlah besar. Sel teur hasil superovulasi inikan
dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio unggul. Embrio yang
diperoleh dari donor dikoleksi ddan dievaluasi, kemudian ditransfer ke induk resipien sampai terjadi
kelahiran atau disimpan dalam bentuk beku, sehingga bertahan hidup berpuluh-puluh tahun.
TE memungkinkan induk betina unggul memproduksi anak dalam jumlah banyaktanpa harus bunting dan
melahirkan. TE dapat mengoptimalkan bukan hanya potensi dari jantan saja tetapi potensi betina
berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal.Pada proses reproduksi alamiah, kemampuan
betina untuk bunting hanya sekali dalam 1 tahun dan hanya mampu menghasilkan 1 atau 2 anak bila

versi elektronik
terjadi kembar, sehingga dalam masa hidupnya hanya mampu memberikan keturunan sebanyak kurang
lebih 8 ekor.
Menggunakan teknoiologi TE, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan
embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer pada induk resipien dengan kualitas genetik rata-rata. Satu
ekor induk unggul mampu menghasilkan embrio rata-rata 15 – 30 embrio dalam satu tahun, sehingga
dalam masa hidupnya rata- rata mampu menghasilkan 160 – 240 embrio. Dengan tingkat kebuntingan

14
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(CR) TE di Indonesia antara 30 – 40 %, maka akan menghasilkan keturunan sebanyak 42 - 72 ekor
selama masa hidupnya. Disamping untuk merekayasa reproduksi betina, teknologi TE dapat diterapkan
untuk percepatan peningkatan kualitas genetik ternak (pemuliaan ternak) terutama ternak lokal yang
mempunyai potensi genetik unggul. Namun karena tingginya nilai inbreeding akibat perkawinan sedarah

versi elektronik
(penggunaan kawin alam di daerah) yang tidak terjangkau IB, sehingga dari waktu kewaktu kualitas
genetik ternak lokal mengalami penurunan.
Dari hasil pelaksanaan kegiatan produksi embrio dan TE oleh Balai Embrio Ternak Cipelang (BET), pada
ternak sapi lokal khususnya Sapi PO/SO, terjadi peningkatan dan perbaikan mutu genetik ternak PO/SO,
pada berat lahir.Rata-rata berat lahir sapi PO dipeternak rakyat dan PT. Karya Anugerah Rumpin antara
20 – 25 kg, di BET Cipelang rata-rata berat lahir : 28 – 30 kg.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 15
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 16
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 17
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 18
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 19
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 20
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 21
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 22
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 23
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 24
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 25
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 26
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
AKSELERASI TEKNOLOGI PERUNGGASAN UNTUK PEMENUHAN PANGAN HEWANI
Hidayatullah
JAPFA

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 27
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 28
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 29
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 30
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 31
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 32
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 33
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PRAKTEK AGROSILVOPASTUR PADA PEKARANGAN MASYARAKAT PEGUNUNGAN
MENOREH KULONPROGO
Aditya Hani1dan Junaedah2
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; email: adityahani@gmail.com
2
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru; email: junaidah_btr@yahoo.co.id

versi elektronik
ABSTRAK
Masyarakat Perbukitan Menoreh sebagian besar memiliki ternak kambing untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, karena kegiatan pertanian bergantung pada musim hujan. Lahan yang dimiliki merupakan
lahan kering berupa lahan tegalan dan pekarangan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui komposisi
jenis tanaman di lahan pekarangan masyarakat Desa Giripurwo, Kec. Girimulyo, Kab. Kulonprogo,
serta untuk mengetahui hubungan antara kegiatadan kegiatan peternakan dengan pengelolaan hutan
rakyat. Metode penelitian secara stratified sampling dengan purposife sampling. Inventarisasi vegetasi
dilakukan di dalam plot ukuran 40 m x 40 m pada 12 lahan pekarangan yang diklasifikasikan kedalam
3 tingkat luas kepemilikan lahan, yaitu: < 2000 m2, 200-3000 m2 dan > 3000 m2. Data pengelolaan
hutan rakyat dan kegiatan peternakan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 24 responden
terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan pekarangan dengan luasan < 2000 m2, lima jenis
paling banyak ditemukan, yaitu: mahoni (25,21%), kelapa (15,97%), nangka (15,31%) dan melinjo
(9,24%). Lahan pekarangan luasan >3000 m2 komposisi jenis didominasi oleh mahoni (18%), melinjo

versi elektronik
(17,93%), kelapa (13,04%) dan sengon (10,87%). Jenis mahoni merupakan jenis utama penyusun
lahan pekarangan masyarakat karena berfungsi sebagai penghasil pakan ternak. Keberadaan ternak
berpengaruh terhadap pengelolaan hutan rakyat terkait pemilihan jenis penyusun, pemangkasan dan
pemupukan.
Kata Kunci: Hutan rakyat, Pegunungan Menoreh, pekarangan, peternakan.

ABSTRACT
Most of Menoreh hill community raise goats to fulfill their needs due to the high dependency on rainy
season farm system. Most of the farm owned by the community are dry lands (e.g. homegarden). This
study aims to analyze the tree and crop composition in Giripurwo village, Girimulyo, Kulonprogo. In
addition, this study also aims to analyze the relationship between the community forest management
and animal husbandary. Methods of research done by stratified sampling with sampling purposife.
Species inventory conducted in the plot size of 40 mx 40 m at 12 yards are classified into three broad

versi elektronik
levels of land ownership: <2000 m2, m2 200-3000 and> 3000 m2. The data interview were gathered
by interviewing 24 selected respondents. The results of this study showed that five species most
commonly found are: homegarden areas < 2000 m2 are dominated by mahagonny (25,21%), coconut
(15,97%), jack fruit (15,13%), melinjo (9,24%) and sengon (8,4%). In contrast, the homegarden areas
> 3000 m2 are dominated by mahagony (18%), melinjo (17,39), jack fruit (14,86%), coconut
(10,68%), and sengon (10,87%), Mahagonny is the main species planted in community homegarden
because its leaves can be use for goat feeding. The existence of goats may influence the selection of
the trees, thinning activity, and fertilizer management.
Keywords: community forest, Menoreh hill, homegarden, animal husbandary

PENDAHULUAN
Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo masuk dalam wilayah Pegunungan Menoreh.
Ketinggian antara 500 – 1.000 m dpl, Luas wilayah 5.922 ha (10,2%). Kondisi daerah yang berbukit-
bukit menyebabkan daerah ini mengandalkan pertanian lahan kering sebagai mata pencaharian utama.

versi elektronik
Hasil pertanian sangat bergantung pada musim penghujan. Oleh karena itu banyak petani yang
berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan beternak kambing terutama jenis peranakan etawah.
Kondisi ini didukung dengan adanya hijau makanan ternak yang melimpah dari lahan milik mereka
dengan jumlah peternak mencapai 100 orang (Sundari dan Efendi, 2010). Sumber hijauan pakan
ternak sebagian besar berasal dari limbah pertanian dan daun pohoh berkayu.
Petani memiliki lahan antara 1000 m2-10.000 m2, pada umumnya terbagi menjadi tiga jenis
penggunaan lahan, yaitu: 1) Lahan tegalan, pada umumnya masyarakat menanami lahan tegalan

34
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dengan jenis penghasil: a) kayu (jati, sengon, mahoni, sonokeling), b) penghasil buah (cengkeh,
kelapa, kakao, kopi, melinjo, petai, jengkol, nangka), c) tanaman empon-empon (jahe, kunyit, kencur,
laos, temulawak, d) penghasil pakan ternak (rumput kolonjono, gliriside, ubi karet), 2) Lahan
pekarangan, merupakan tempat keberadaan rumah penduduk Giripurwo, ditanam berbagai jenis
tanaman kayu-kayuan, tanaman buah, tanaman semusim ,obat-obatan dan juga tempat kandang
ternak, 3) Sawah tadah hujan, pada umumnya terletak di lembah perbukitan sehingga pada saat musim

versi elektronik
penghujan terdapat sumber-sumber mata air yang mengalir sehingga pada saat musim penghujan
ditanami dengan padi (BPS Kulon Progo, 2011).
Pemilihan jenis tanaman tersebut erat kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat
yaitu: kayu bangunan, pakan ternak, kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu. Beternak kambing dan
sapi merupakan mata pencaharian utama di lokasi penelitian dengan rata-rata kepemilikan 2-3 ekor.
Sundari dan Efendi (2010) menyebutkan bahwa peternak kambing etawah di Kecamatan Girimulyo
mengeluarkan biaya untuk pakan sebesar Rp. 3.133.990,20 atau sebesar 18,03% dari biaya produksi,
dengan rerata pendapatan peternak per tahun dari penjualan kambing sebesar Rp. 4.486.433,31,
sumber pakan ternak berasal dari rumput konlonjono, limbah tanaman semusim dan daun tanaman
kayu-kayuan. Pemberian daun pohon sebagai suplemen dapat mempertahankan berat badan kambing
dengan mencegah hilangnya nitrogen secara berlebihan (Bathha et al., 2005)
Rahmansyah et al (2013) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya flora lokal merupakan salah

versi elektronik
satu strategi adaptasi pada kegiatan usaha ternak skala kecil. Jenis-jenis tanaman tersebut ditanam di
pekarangan mereka sehingga memudahkan mereka dalam pengambilan daun. Kandang ternak berada
di areal pekarangan sehingga lebih terjaga keamanannya dan memudahkan pengurusannya. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis tanaman penyusun lahan pekarangan di Perbukitan
Menoreh serta hubungan antara kegiatan peternakan dengan sistem silvikultur hutan rakyat.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah
Istimewa Yogyakarta yang termasuk dalam daerah Pegunungan Menoreh Kulonprogo. Ketinggian
bervariasi antara 300 – 600 mdpl. Jenis tanah di daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah
lathosol. Kemiringan lahannya sebagian besar berada di kemiringan 16°-14°dan> 40°. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan Maret 2012 sampai dengan Desember 2012.

versi elektronik
Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan penelitian meliputi: alat ukur dimensi pohon yaitu pita meter dan haga meter, alat tulis
menulis yaitu pensil, spidol, handboard, penghapus, penggaris dan pena, tally sheet data pengukuran,
dan kuisioner
Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian adalah Stratified Sampling dengan Purposive sampling. Pengamatan dan
pengukuran vegetasi secara sensus (100 %) pada seluruh areal pekarangan. Jumlah plot pengamatan
sebanyak 12 lahan pekarangan yang diklasifikasikan kedalam 3 tingkat luas kepelikan lahan, yaitu: <
2000 m2, 200-3000 m2 dan > 3000 m2. Tanaman dibedakan berdasarkan klasifikasi tingkat
pertumbuhan. Klasifikasi yang dipakai dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi yang
dikemukakan oleh Soerianegara dan Indrawan (1978) seperti disajikan di Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi dan kriteria pengukuran inventarisasi tumbuhan

versi elektronik
Klasifikasi Kriteria

Pohon (trees) diameter 20 cm ke atas


Tiang (poles) diameter 10-20 cm
Pancang (saplings) permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih sampai diameter 10 cm
Semai (seedlings) anakan pohon sampai mencapai tinggi hingga 1,5 m
Sumber: Soerianegara dan Indrawan (1978)

35
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Data mengenai pengelolaan lahan milik masyarakat serta hubungan antara pengelolaan hutan rakyat
dan kegiatan peternakan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 24 responden terpilih. Informasi
yang dikumpulkan adalah mengenai sistem silvkultur dalam agroforestry tegalan serta tingkat
interaksi petani dan lahan tegal-pekarangan.
Analisa Data

versi elektronik
Parameter vegetasi yang dianalisis meliputi jenis tanaman, tinggi dan diameter tanaman. Parameter
tersebut dianalisis untuk mengetahui komposisi vegetasi pekarangan dengan menggunakan Indeks
Nilai Penting (Important Value Index) yang dapat menggambarkan kerapatan, penyebaran,
penguasaan dan peran jenis. Perhitungan INP dilakukan dengan mengacu pada rumus yang
dikemukakan oleh Kusmana (1997) sebagai berikut:
Kerapatan jenis = Jumlah individu
Luas petak
Kerapatan relatif (KR) (%) = Kerapatan suatu jenis x 100%
Kerapatan semua jenis
Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah total petak
Frekuensi relatif = Frekuensi suatu jenis x 100%
Frekuensi semua jenis

versi elektronik
Dominasi = Luas bidang dasar
Luas petak
Dominasi Relatif (DR) (%) = Dominasi suatu jenis x 100%
Dominasi semua jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi Jenis penyusun
Hasil inventarisasi jenis penyusun lahan pekarangan milik masyarakat dapat diketahui dalam diagram
pada Gambar 1.

Cengkeh
Petai
Kelapa

versi elektronik
Aren
Mahoni , Melinjo
25.210 Kelapa, Bambu
15.966 Salam
Kemiri
Asem
Melinjo, 9.244 Sukun
Nangka , Kakao
Sengon, 8.403 Rambutan
15.126
Nangka
Mangga
Ket. Nilai dalam persen (%) Sengon

Gambar 1. Komposisi Vegetasi Pekarangan luasan < 2000 m2


Gambar 1 menunjukkan bahwa pada lahan pekarangan dengan luasan kurang dari 2000 m2, jumlah

versi elektronik
jenis tanaman yang ditemui sebanyak 19 jenis. Jenis yang paling banyak ditemui adalah: mahoni
(25,21%), kelapa (15,97%), nangka (15,13%), melinjo (9,24%) dan sengon (8,40%). Masyarakat
memilih jenis-jenis tersebut untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan. Indek nilai penting dan
manfaat dari masing-masing jenis yang ditanam seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa INP tertinggi ditunjukkan oleh jenis cengkeh, sedangkan mahoni berada
pada posisi kedua. Walaupun mahoni merupakan jenis paling banyak ditemukan di lahan masyarakat
yang ditunjukkan nilai kerapatan relatif (KR) yang paling tinggi, namun nilai INP mahoni lebih

36
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
rendah dibandingkan dengan cengkeh. Hal ini menunjukkan bahwa mahoni yang ada di lahan
masyarakat pada umumnya mempunyai diameter yang kecil, sedangkan jenis cengkeh walaupun dari
jumlah individunya lebih rendah dibandingkan dengan mahoni. Sebaliknya cengkeh mempunyai nilai
KR yang lebih rendah dibandingkan mahoni namun memiliki INP tertinggi, karena memiliki
diameter batang yang lebih besar dibandingkan mahoni.

versi elektronik
Tabel 1. Indek nilai penting beberapa jenis tanaman di lahan pekarangan dengan luas < 2000 m2

No Jenis KR FR DR INP Manfaat


1 Cengkeh 2,52 3,13 88,59 94,23 HHBK
2 Mahoni 25,21 6,25 2,24 33,70 Pakan ternak, Kayu bakar
3 Kelapa 15,97 9,38 3,54 28,88 HHBK
4 Nangka 15,13 9,38 1,23 25,73 Pakan ternak, HHBK, Kayu
5 Sengon 8,40 9,38 1,14 18,92 Kayu, Pakan ternak
6 Petai 7,56 9,38 0,97 17,91 HHBK
7 Melinjo 9,24 6,25 0,72 16,21 HHBK
8 Waru 3,36 9,38 0,28 13,02 Pakan ternak, Kayu
Ket.: KR= Kerapatan relatif, FR: Frekuensi relatif, DR: Dominasi Relatif dan INP: Indeks Nilai Penting

versi elektronik
Mahoni memiliki diameter yang kecil karena seringnya dilakukan pemangkasan daun mahoni untuk
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Akibatnya pertumbuhan mahoni menjadi terhambat. Jenis-jenis
pohon yang daunnya ditujukkan untuk pakan ternak adalah mahoni, nangka, waru dan sengon.
Mahoni, nangka dan waru paling sering digunakan sebagai pakan ternak terutama pada musim
kemarau. Ketiga jenis tersebut sengaja dipangkas dengan frekuensi yang cukup tinggi untuk
dimanfaatkan daunnya.
Pemangkasan cabang mahoni, nangka dan waru selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak juga
untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Cabang dan ranting sisa pemberian pakan ternak biasanya
akan digunakan sebagai kayu bakar Daun sengon baru dimanfaatkan daunnya ketika dilakukan
penebangan karena apabila dipangkas berdasarkan pengalaman petani akan meningkatkan resiko
serangan hama penggerek batang. Jenis penyusun pada lahan pekarangan dengan luasan 2000 m2 –
3000 m2 disajikan pada Gambar 2.

versi elektronik
Gambar 2. Komposisi vegetasi pekarangan dengan luasan 2000 m2-3000 m2
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada lahan pekarangan dengan luas lahan 2000 m2-3000 m2 jumlah

versi elektronik
tanaman yang ditemukan sebanyak 20 jenis. Jenis yang paling banyak ditemui adalah: sengon
(28,88%), mahoni (21,93%), kelapa (10,16%), cengkeh (9,09%) dan jati (4,81%). Indeks nilai penting
dan manfaat masing-masing jenis penyusun disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai INP tertinggi ditujukkan oleh jenis sengon (68,15) selanjunya
diikuti oleh mahoni (46,14) dan kelapa (39,64). Jenis-jenis tanaman penghasil pakan ternak pada
kategori luasan lahan ini adalah mahoni, nangka dan waru. Komposisi jenis pada luasan lahan diatas
3000 m2 disajikan pada Gambar 3.

37
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 2. Indek nilai penting beberapa jenis tanaman di lahan pekarangan dengan luas 2000-3000 m2

No Jenis KR FR DR INP Manfaat


1 Sengon 28,88 9,76 29,52 68,15 Kayu, pakan ternak
2 Mahoni 21,93 9,76 14,46 46,14 Pakan ternak, Kayu bakar

versi elektronik
3 Kelapa 10,16 9,76 19,72 39,64 HHBK
4 Cengkeh 9,09 9,76 2,79 21,64 HHBK
5 Sonokeling 3,74 7,32 3,85 14,91 Kayu
6 Jati 4,81 4,88 3,56 13,25 Kayu
7 Nangka 2,14 7,32 2,44 11,90 Pakan Ternak, HHBK, Kayu
8 melinjo 2,139037 4,878049 4,089719 11,11 HHBK
9 Sungkai 2,67 4,88 2,96 10,51 Kayu
10 Waru 2,67 4,88 1,95 9,50 Pakan ternak, Kayu
Ket.: KR= Kerapatan relatif, FR: Frekuensi relatif, DR: Dominasi Relatif dan INP: Indeks Nilai Penting

versi elektronik
Gambar 3. Komposisi Vegetasi Pekarangan luasan > 3000 m2

versi elektronik
Pada kepemilikan lahan pekarangan luasan >3000 m2 jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 26 jenis.
Lima jenis yang paling banyak ditemukan adalah mahoni (18%), melinjo (17,39%), nangka (14,86%),
kelapa (13,04%) dan sengon (10,87%). Indeks nilai penting dan manfaat beberapa jenis penyusun
lahan pekarangan dengan luasa >3000 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa indeks nilai penting tertinggi pada lahan pekarangan luasan>3000 m2
ditujukkan oleh jenis melinjo (45,31), kelapa (40,94) dan mahoni (37,75). Mahoni merupakan jenis
yang paling banyak ditemukan namun memiliki nilai INP yang lebih rendah dibandingkan melinjo
dan kelapa. Hal ini disebakan diameter pohon mahoni berukuran lebih kecil. Pemangkasan daun
mahoni menjadi sebab utama terhambatnya pertumbuhan diameter pohon. Masyarakat pada umumnya
memangkas pohon hampir mendekati pucuk tertinggi, sehingga hanya menyisakan sekitar 10% dari
tajuk. Namun mahoni merupakan jenis yang memiliki kemampuan trubusan yang baik, sehingga
setelah dipangkas akan segera muncul tunas-tunas baru. Kelebihan tersebut menjadikan mahoni
merupakan jenis yang dianggap sesuai sebagai penghasil pakan ternak. Kelebihan mahoni yang lain

versi elektronik
adalah perbanyakan mahoni pada umumnya terjadi secara alami tanpa perlu ditanam.
Masyarakat pada umumnya hanya menjarangi mahoni yang terlalu rapat untuk dipindahkan ke areal
yang masih kosong. Pohon penghasil pakan ternak memiliki ciri mudah tumbuh, kebutuhan lahan
kecil, tidak memerlukan tenaga kerja dan modal untuk menanam dan memelihara, memiliki lebih dari
satu manfaat, siap diambil daunnya setelah berumur 1 tahun (Franzel et al.,2014).

38
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 3. Indek nilai penting beberapa jenis yang dominan di lahan pekarangan dengan luas >3000 m2

No Jenis KR FR DR INP Manfaat


1 Melinjo 17,39 7,84 20,07 45,31 HHBK
2 Kelapa 13,04 7,84 20,05 40,94 HHBK

versi elektronik
3 Mahoni 18,12 7,84 11,79 37,75 Pakan ternak, Kayu bakar
4 Nangka 14,86 7,84 12,46 35,15 Pakan ternak, HHBK, Kayu
5 Sengon 10,87 5,88 12,75 29,50 Kayu, Pakan ternak
6 Jati 6,52 5,88 4,24 16,64 Kayu
7 Jengkol 1,81 5,88 4,14 11,83 HHBK
8 Cengkeh 2,17 5,88 1,06 9,12 HHBK
9 Kakao 4,35 1,96 1,79 8,09 HHBK
10 Sonokeling 1,45 5,88 1,50 8,83 Kayu
Ket.: KR= Kerapatan relatif, FR: Frekuensi relatif, DR: Dominasi Relatif dan INP: Indeks Nilai Penting

Interaksi Peternakan dan Kehutanan


Komposisi jenis penyusun

versi elektronik
Masyarakat menanam lahan pekarangan mereka dengan pola agroforestry. Suryanto et al. (2012)
menyebutkan bahwa pengelolaan lahan di daerah Pegunungan Menoreh daerah Kulonprogo
mempunyai ciri-ciri yaitu sudah lebih intensif dalam penggunaan ruang tumbuh, keanekaragaman
tanaman dan hasil tinggi, input luar rendah, produksi kayu tinggi tingkat resiliensinya tinggi, sistem
penanaman dengan sistem alley cropping namun penggunaan bibit berkualitas masih sangat rendah.
Penggunaan ruang tumbuh yang intensif nampak dari banyaknya jenis penyusun dengan berbagai
tingkatan tajuk. Sistem ini juga dikenal dengan istilah sistem tiga strata. Sistem tiga strata (STS)
adalah suatu tata cara penanaman dan pemangkasan rumput, legum, semak dan pohon sehingga
hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun (Nitis et al, 2004). Sistem ini meruapakan sistem
penanaman yang paling optimal dalam pemanfaatan energi (cahaya, air dan nutrisi). Sistem tersebut
sering dilakukan untuk mendukung usaha ternak yang akan menghasilkan keuntungan tambahan
karena dipeoleh sumber pupuk organik dan limbah hasil panen sebagai sumber pakan (Sumarsono, ,
2006 dalam Rahmansyah et al., 2013).

versi elektronik
Luas lahan pekarangan akan mempengaruhi jumlah jenis tanaman penyusun. Jumlah jenis pohon
berkayu berdasarkan luas lahan adalah sebagai berikut: luas <2000 m2 sebanyak 19 jenis, luasan
2000-3000 m2 sebanyak 20 jenis dan luasan >3000 m2 sebanyak 26 jenis pohon. Hal tersebut
menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada lahan pekarangan cukup tinggi. Kumar (2011)
menyatakan bahwa lahan yang sempit (< 1,2 ha) mempunyai keanekaragaman jenis yang paling tinggi
dibandingkan dengan pekarangan yang lebih luas dari 1,2 ha.
Pemangkasan Pohon Untuk Pakan Ternak
Pemangkasan pohon merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan. Pemangkasan pohon bertujuan
untuk meningkatkan kualitas kayu yang dihasilkan. Namun bagi masyarakat di lokasi penelitian
kegiatan pemangkasan pohon ditujukkan untuk memperoleh daun yang dapat digunakan untuk pakan
ternak serta memperoleh cabang dan ranting untuk kayu bakar. Intensitas pemangkasan pohon untuk
pengambilan pakan ternak disajikan pada Gambar 4.

versi elektronik
Gambar 4 menunjukkan bahwa 47,83% responden tidak melakukan pemangkasan pohon, dengan
alasan antara lain: a) tidak mempunyai waktu untuk memangkas, b) pakan ternak cukup dari lahan
sawah dan tegalan, c) tidak mempunyai ternak. Petani yang melakukan pemangkasan sebanyak
52,17% . Sebagian besar pemangkasan ditujukkan untuk pengambilan pakan ternak baik dalam
intensitas jarang, kadang-kadang, sering dan selalu. Jenis pohon yang biasa dipangkas secara rutin
yaitu jenis mahoni dan nangka. Mahoni walaupun merupakan jenis penghasil kayu pertukangan,
namun masyarakat lebih menyukai mahoni sebagai penghasil pakan ternak. Hal ini disebabkan karena
kayu mahoni merupakan jenis yang lambat tumbuh, sehingga waktu panen cukup lama (20-30 tahun).

39
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Harga dan kualitas kayu mahoni juga dianggap masih kalah dibandingkan jenis jati yang memiliki
pertumbuhan yang sama-sama lama, sehingga masyarakat lebih menyukai mahoni dijadikan sebagai
sumber pakan ternak dibandingkan dengan penghasil kayu pertukangan.

versi elektronik
Gambar 4. Grafik intensitas pemangkasan untuk pengambilan pakan ternak
Jenis nangka walaupun merupakan jenis penghasil buah, namun masyarakat lebih memilih untuk

versi elektronik
digunakan sebagai penghasil pakan ternak. Hal ini disebabkan karena harga jual buah nangka
ditingkat petani sangat rendah. Penggunaanan daun mahoni dan nangka untuk pakan ternak paling
besar digunakan pada musim kemarau pada saat ketersediaan rumput sangat sedikit. Di lokasi
penelitian faktor pembatas utama adalah ketersediaan air. Akibatnya pada saat musim kemarau
kegiatan pertanian warga sangat bergantung dari jenis-jenis tanaman tahunan demikian juga untuk
pakan ternak. Sistem tanaman-ternak dapat diadopsi dengan baik oleh petani karena mampu
memberikan keuntungan bagi petani dengan cara menurunkan biaya produksi (Diwyanto et al., 2001).
Bahan pakan ternak dapat diperoleh dengan mudah di lahan pekarangan mereka sendiri.
Pemupukan
Interaksi antara ternak dan pohon dapat dilihat dari adanya pengembalian biomasa yang diambil dari
pohon setelah dimanfaatkan dalam bentuk pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang tidak hanya
ditujukkan untuk pemupukan tanaman kehutanan, namun juga dipakai untuk memupuk tanaman
semusim baik di sawah maupun diladang serta tanaman perkebunan. Penggunaan pupuk kandang

versi elektronik
untuk kegiatan pertanian masyarakat disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 menunjukkan bahwa petani yang menggunakan pupuk kandang untuk pemupukan tanaman
semusim di sawah/ladang sebanyak 52%, tanaman perkebunan 74% dan tanaman kehutanan 6%.
Komoditas tanaman perkebunan paling tinggi menerima pupuk kandang karena dianggap mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi. Jenis tanaman perkebunan tersebut yaitu cengkeh dan kakao. Cengkeh
merupakan jenis yang paling disukai masyarakat karena harga jual cengkeh yang sangat tinggi. Pada
tahun 2012 harga jual cengkeh mencapai nilai tertinggi yaitu Rp. 350.000,00, sedangkan harga jual
rata-rata sekitar Rp. 120.000,00.

versi elektronikGambar 5. Penggunaan pupuk kandang berdasar komoditas tanaman

40
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KESIMPULAN
1. Pohon mahoni merupakan salah satu jenis utama dipekarangan yang ditujukkan sebagai
penghasil pakan ternak.
2. Kepemilikan ternak mempengaruhi aktivitas pengelolaan lahan pekarangan terutama dalam
rangka pemangkasan dan pemupukan.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2011. Kulon Progo DalamAngka 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. Wates
Danoesastro, 1979. Pekarangan. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Hal
:8-10, 13-38.
FAO. 1990. Farm management for Asia: A system Approach. Elements of farmhoushold system:
boundaries, Household and resource. FAO farm system Management Series No. 3 Food and
Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Hue. Et al. 2004. In situ conservation
of agricultural biodibersity on farm; lesson learned and policy implication. Proceeding of
Vietnam National Workshop. Hanoi. Vietnam.
Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering Untuk Pengembangan Pertanian Tanaman
Pangan. Pidato Pengukuhan Guru Besar UNS. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

versi elektronik
Nair, P.K.R. 1992. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers, International
Centre for Research in Agroforestry. Dordrecht, Netherlands.
Nair, PKR., AM. Gordon and M.R.M Losada. 2008. Agroforestry. Ecological Engineering.
Nitis, I.M., K. Lana dan A.W. Puger. 2004. Pengalaman Pengembangan Tanaman_ternak
Berwawasan Lingkungan di Bali. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-
Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Simon, H. 2010. Dinamika Hutan Rakyat di Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Sundari dan K. Efendi. 2010. Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Peternak Kambing
Peranakan Etawah Di Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulonprogo. Jurnal AgriSains, 1 (1):
23-30.
Suryanto, P., Widyastuti,S.M., J. Sartohadi, Awang,S.A., Budi. 2012. Traditional Knowledge of
Homegarden-Dry Field Agroforestry as a Tool For Revitalization Management of

versi elektronik
Smallholder Land Use in Kulon Progo, Java, Indonesia. International Journal of Biologi 4 (2):
173-183.
Fransel, S., S. Carsan, B. Lukuyu, J. Sinja and C. Wambugu. 2014. Fodder Trees for Improving
Livestock Productivity and Smalholder Livelhoods in Africa. Environmental Sustainability, 6:
98-103.
Rahmansyah, M., A. Sugiharto, A. Kantit dan I M. Sudiana. 2013. Buletin Peternakan, 37 (2): 95-106.
Kumar, B. M., 2011. Species Richness and Aboveground Carbon Stock in The Homegardens of
Central Kerala, India. Agriculture, Ecosystems and Environment, 140: 430-440.
Battha, R., S. Vaithiyanathan, S., N.P. Singh, A.K. Shinde and D.L. Verma. 2005. Effect of feeding
tree leaves as supplements on the nutrient digestion and rumen fermentation pattern insheep
grazing on semi-arid range of India. Small Ruminant Research, 60: 273-280.

versi elektronik
Diwyanto, K., B.R. Prawiradiputra dan D. Lubis. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak Dalam
Pengembangan Agribisnis Yang berdaya Saing, Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veternier: 17-26.

41
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH PENAMBAHAN BAKTERI ASAM LAKTAT TERHADAP DINAMIKA
FERMENTASI DAN PERUBAHAN NILAI NUTRISI SELAMA ENSILASE PADA
SORGUM MANIS (Sorghum bicolor L. Moen)
Badat Muwakhid
Fakultas Peternakan Unisma; email : badatmalang@gmail.com

versi elektronik
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bakteri asam laktat terhadap kualitas
silase hijauan sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moen) sebagai pakan. Penelitian diharapkan
bermanfaat sebagai pedoman dan informasi tentang pembuatan silase sorgum manis yang efektif dan
efisien. Menggunakan metode percobaan, rancangan acak lengkap pola tersarang, dengan perlakuan
macam jenis bakteri: Lactobacillus collinoides, Lactobacillus delbrueckii dan campuran
(Lactobacillus collinoides dan Lactobacillus delbruecki 1:1), dan perlakuan lama inkubasi: 2 hari, 3
hari, 5 hari 10 hari, 15 hari dan 21 hari tersarang kepada faktor jenis bakteri. Masing-masing
perlakuan diulang 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri Lactobacillus delbrueckii
secara nyata paling efektif mempengaruhi dinamika fermentasi untuk mempertinggi kualitas silase
dilihat dari aspek pH, Asam laktat, asam asetat dan asam propionat. Bakteri Lactobacillus
delbrueckii secara nyata mampu memperkecil tingkat penurunan kandungan bahan organik (BO),
protein kasar (PK), Kandungan Sellulosa dan kandungan Lignin dibanding penggunaan jenis bakteri

versi elektronik
lainnya. Disarankan usaha mendapatkan silase hijauan sorgum manis yang baik, dilakukan dengan
menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii.
Kata Kunci : Silase, Sorgum Manis, Bakteri Asam Laktat

ABSTRACT
This research aimed to know an effect of using lactic acid bacteria for forage Sorghum bicolor
(Sorghum bicolor L. Moen) ensiling as feeding material. The research is wished can be useful as
direction and information about using forage Sorghum bicolor ensiling effectively and efficiently.
Using experimental method by completely randomized design (nested 3x5x3). First factor was lactic
acid bacteria: A : Lactobacillus collinoides; B : Lactobacillus delbrueckii; C : mixture A and B (1 :
1). Second factor was incubation time: 2, 3, 5, 10, 15 and 21 days nested in kind of bacteria. Each
treatment is repeated for 3 times. The result showed that lactic acid bacteria affects forage Sorghum
bicolor ensiling and Lactobacillus delbrueckii is really most effective to fermentation dynamic on

versi elektronik
parameters, pH, lactic acid content, acetic acid content and propionic acid content, beside that,
Lactobacillus delbrueckii evidently able to lower content reduction level of organic mater (OM), crud
protein (CP), Cellulos content and Lignino content, comparable with using other bacteria. It is
suggested that to obtain good forage Gmelina arborea ensiling, it is better to use Lactobacillus
delbrueckii inoculant.
Keyword: Silage, forage Sorghum bicolor, lactic acid bacteria.

PENDAHULUAN
Sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moen) merupakan jenis tanaman gramine yang mudah ditanam
pada semua jenis lahan. Tanaman ini lebih diminati petani karena selain menghasilkan hijauan juga
menghasilkan biji dan nira (Muwakhid, 2009). Sumber hijauan sorgum manis berasal dari
pelaksanaan culling terhadap kelebihan tanaman pada setiap rumpunnya setelah pohon berumur 50
hari. Culling sengaja dilakukan untuk tujuan mengurangi kompetisi pemanfaatan hara tanah, dan
secara ekonomis dimaksutkan untuk mempertinggi produktivitas tanaman. Menurut Muwakhid,

versi elektronik
(2009), hijauan sorgum hasil pelaksanaan culling bisa mencapai 5 ton per hektar per periode tanam.
Hijauan sorgum pada kondisi segar memiliki kandungan asam sianida yang dapat meracuni ternak
yang memakannya. Asam sianida pada hijauan dapat didegradasi selama fermentasi dalam proses
ensilase. Disamping itu hijauan sorgum diperoleh pada kondisi segar dan pada waktu bersamaan,
sehingga cocok untuk disimpan dalam bentuk silase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh jenis bakteri asam laktat dan lama inkubasi terhadap dinamika fermentasi dan penurunan
nilai nutrisi selama ensilase pada sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moen) Diharapkan
bermanfaat sebagai informasi tentang pembuatan silase hijauan sorgum manis yang baik.

42
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
METODE PENELITIAN
Sorgum manis dipanen pada umur 50 hari, dicacah hingga berukuran panjang kurang lebih 5 cm,
menggunakan mesin chopper rumput. Bakteri asam laktat berupa Lactobacillus collinoides dan
Lactobacillus delbrueckii hasil seleksi bakteri indigenous dari limbah sayur-sayuran (Muwakhid,
2005). Bakteri asam laktat diaplikasikan 106 cfu g-1 berat segar (Ohshima et al., 1997) dan ditambah
molases 4% bahan segar (Ohmomo et al., 2002).

versi elektronik
Penelitian menggunakan metode percobaan, rancangan acak lengkap pola tersarang, dengan
perlakuan jenis bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus collinoides, Lactobacillus delbrueckii,
campuran (antara kedua jenis bakteri asam laktat 1:1), dan perlakuan lama inkubasi 2 hari, 3 hari, 5
hari 10 hari, 15 hari dan 21 hari tersarang dalam faktor jenis bakteri. Data dilakukan analisis ragam
dan bagi perlakuan yang berpengaruh dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)
(Yitnosumarto, 1993).
Pengukuran dinamika fermentasi dibuktikan dengan pengukuran pH, kandungan asam laktat, asam
asetat dan asam propionat, sedangkan pengukuran nilai nutrisi dibuktikan dengan pengukuran
kandungan bahan organik (BO), protein kasar (PK), kandungan sellulosa dan kandungan Lignin.
Pengukuran pH dilakukan menurut petunjuk (Nahm, 1992). Pengukuran asam laktat, asam asetat dan
asam propionat, dilakukan dengan menginjeksikan hasil ekstraksi silase sebanyak 0.5 µlt pada gas
chromatografi menggunakan kolom FFAP (HP) pada temperatur 60-230 0C, standart digunakan asam

versi elektronik
laktat, dan asam asetat dan asam propionat 96 persen. Abu diperoleh melalui pemanasan tanur 600
0
C, protein kasar ditentukan dengan metode Kjeldahl (AOAC, 1980), Sedangkan sellulosa dan lignin
ditentukan melalui prosedur analisis seret ( Goering dan van Soest, 1970). Masing-masing
pengukuran dilakukan secara duplo.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis bakteri asam laktat berpengaruh sangat nyata
(P<0.01) terhadap pH dan kandungan asam asetat, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan
asam laktat dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kandungan asam propionat. Bakteri
Lactobacillus delbrueckii terbukti mampu mengkondisikan pH dan kandungan asam asetat paling
rendah, sebaliknya mampu memacu kandungan asam laktat tertinggi dibanding dengan bakteri
Lactobacillus collinoides dan bakteri campuran (Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh Macam Bakteri Asam laktat Terhadap Rata-rata pH, Asam laktat, asam asetat
dan asam propionat Silase

versi elektronik
Perlakuan pH Asam Laktat Asam asetat Asam Propionat
(g/kg) (g/kg) (g/kg)
C a C
BAL, Lactobacillus collinoides 4,01 9,51 9,84 0,76
A c A
BAL, Lactobacillus delbrueckii 3,83 11,82 3,41 0,66
BAL, Campuran 3,94B 10,52b 5,68B 0,72
a -c
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata (P<0,05)
A -C
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata (P<0,01)
pH silase yang menggunakan Bakteri Lactobacillus collinoides, Lactobacillus delbrueckii dan bakteri
campuran berada di bawah pH 4,5. Kondisi pH ini telah cukup untuk mendukung proses ensilase,

versi elektronik
karena silase yang baik dapat terjadi apabila pH silase telah dapat mencapai kurang dari 4,5
(Ohshima, et al., 1997). Rendahnya pH silase selama percobaan diakibatkan oleh tingginya asam
laktat yang terbentuk selama proses ensilase berlangsung. Akumulasi asam laktat akan berakibat
kepada penurunan nilai pH silase (Henderson, 1993).
Tingginya kandungan asam laktat pada silase yang menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii
diakibatkan oleh tingginya jumlah sel bakteri Lactobacillus delbrueckii yang mampu tumbuh akibat
kemampuannya beradaptasi lebih baik pada hijauan sorgum manis. Hasil Penelitian Muwakhid
(2005), menyatakan bahwa Lactobacillus delbrueckii mampu beradaptasi pada limbah sayuran pasar

43
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
lebih baik dibanding dengan Lactobacillus collinoides. Populasi Lactobacillus delbrueckii yang
lebih tinggi akan mampu membentuk enzim komplek glucokinase, fruktose-1,6-diphosphat aldolase,
gliceraldehid-3- phosphat dehydrogenase, Pyruvat kinase dan lactat dehidrogenase lebih banyak
(Axelsson, 1998) Enzim-komplek dapat mengkonversi 1 mol glukosa menjadi 2 mol asam laktat dan
setiap 1 mol fruktosa dapat dikonversi menjadi 2 mol asam laktat. Sehingga bakteri asam laktat
berpopulasi tinggi, akan mampu mengoptimalkan pembentukan asam laktat pada lingkungan silo

versi elektronik
(Filya, 2000).
Lama inkubasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH dan kandungan asam laktat serta
tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan asam asetat dan asam propionat silase. Gambar 1
menunjukkan bahwa silase yang menggunakan bakteri Lactobacillus collinoides dan bakteri
campuran mengalami penurunan pH seiring dengan peningkatan lama inkubasi, hingga lama inkubasi
10 hari, dan selanjutnya mengalami stagnasi sampai lama inkubasi 21 hari. Tetapi silase yang
menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii mengalami penurunan pH hingga 5 hari dan
selanjutnya mengalami stagnasi penurunan sampai lama inkubasi 21 hari. Penggunaan bakteri
Lactobacillus delbrueckii telah mencapai pH 3,9 pada hari ke 5, hal ini segera tercapai stabilitas
anaerob yang mampu mengendalikan penurunan kualitas silase (Ranjit dan Kung, 2000). silase yang
menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii, Lactobacillus collinoides, dan bakteri campuran,
mengalami peningkatan kandungan asam laktat seiring dengan peningkatan lama inkubasi, hingga
lama inkubasi 10 hari, dan selanjutnya mengalami stagnasi sampai lama inkubasi 21 hari, tetapi

versi elektronik
pada bakteri Lactobacillus delbrueckii diperoleh kandungan asam laktat tertinggi pada saat stagnasi,
dibanding dengan pada silase yang menggunakan bakteri Lactobacillus collinoides, dan bakteri
campuran. Hal ini terjadi karena asam laktat terbentuk dari bahan baku carbohidrat mudah larut,
melalui proses enzimatis oleh enzim komplek yang terbentuk oleh bakteri asam laktat (Salminen et
al., 1998) Percepatan laju pembentukan asam laktat tergantung dengan jumlah ketersediaan
karbohidrat mudah larut dan enzim komplek yang tersedia.
Lingkungan silo yang didominasi bakteri asam laktat akan segera terpenuhi optimalisasi reaksi
enzimatis dalam pembentukan asam laktat (Muck, 2002). Pertambahan lama inkubasi dapat
menjamin pertumbuhan jumlah populasi bakteri asam laktat, sepanjang kondisi pH masih
memungkinkan untuk pertumbuhan mikrobia di dalam silo (Ohshima et al., 1997) Apabila kondisi di
dalam silo pH kurang dari 4, aktivitas bakteri asam laktat mulai terhambat (Mc. Donald, 1991),
sehingga proses pembentukan asam laktat menjadi stabil.

versi elektronik
6
6
16
Kandungan Asam Laktat

14
5 12
5 10
pH

(g/Kg)

8
4
6
4 4
3 2
0 5 10 15 20 25 0
0 5 10 15 20 25
Lama Inkubasi (Hr)
Lama Inkubasi (Hr)

L. collinoides L.delbrueckii Campuran L. collinoides L. delbruick ii Campuran

Gambar 1. Kondisi pH dan kandungan asam laktat Silase pada Lama Inkubasi Berbeda

versi elektronik
Perbedaan jenis bakteri berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap perubahan kandungan BO dan
PK. Berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perubahan kandungan sellulosa dan tidak berpengaruh
nyata (P>0,05) terhadap perubahan kandungan lignin. Tabl 2 menyatakan bahwa silase yang
menggunakan bakteri Lactobacillus collinoides dan bakteri campuran memiliki kandungan BO dan
PK yang sama, sedangkan pada silase yang menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii memiliki
kandungan BO dan PK yang lebih tinggi.

44
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1 Pengaruh jenis Bakteri Asam laktat Terhadap Rata-rata Prosentase Perubahan kandungan
BO, PK, Sellulosa dan Lignin Silase.
Perlakuan BO PK Menurun Sellulosa Lignin
Menurun (% ) Menurun Menurun
(% ) (% ) (% )

versi elektronik
BAL, Lactobacillus collinoides 5,57B 14,37B 7,21c 2,15a
BAL, Lactobacillus delbrueckii 4,82A 7,50A 0,17a 2,59a
BAL, Campuran 5,13B 11,5B 6,37b 2,65a
A -C
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata (P<0,01)
a- c
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05).

Perbedaan penurunan kandungan BO dan PK pada silase yang menggunakan bakteri Lactobacillus
delbrecki disebabkan oleh terbatasnya aktivitas mikroba pembusuk. Mikroba pembusuk seperti
Bacterium herbicola, Escherichia coli, Bacillus cereuis, Listeria monocytogenes dapat merombak
bahan organik dan protein menjadi CO2, CH4, CO, NO, NO2 dan air (Ohmomo et al., 2002). Bakteri
asam laktat yang dapat menghasilkan hidrogen peroksida, akan menghambat pertumbuhan mikroba
pembusuk. Aktivitas hidrogen peroksida sebagai senyawa anti mikroba, melibatkan sistem

versi elektronik
laktoperoksidase. Sistem ini dapat merusak membran sitoplasmik bakteri Gram negatif, karena
kelompok bakteri Gram positif, memiliki membran sel yang lebih mampu membentengi aksi
laktoperoksidase dibanding dengan kelompok bakteri Gram negatif (VanDevoorde et al., 1994).
Salah satu jenis bakteri pembusuk yang penting adalah Listeria monocytogenes. Bakteri ini berperan
penting dalam mengurai sorgum manis, feses dan rerumputan (Mc. Donald, 1991). Aktivitas ensilase
yang baik, akan segera menghentikan perombakan sel tanaman oleh Listeria monocytogenes.
Menurut Ballongue (1993), selama proses ensilase, bakteri asam laktat akan berperan dalam
penurunan pH silase di dalam silo hingga di bawah 4,2. Pada kondisi pH rendah Listeria
monocytogenes tidak mampu bertahan hidup. Karena kondisi ideal untuk kehidupan Listeria
monocytogenes sekitar 5,7 sampai 8,9. (Mc. Donald, 1991).
Tingginya kandungan selulosa pada silase yang menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii
disebabkan oleh rendahnya proses dekomposisi dinding sel oleh bakteri pembusuk. Pada awal
ensilase, selulosa segera dimanfaatkan oleh Enterobacteriaceae yang mampu mendegradasi selulosa

versi elektronik
dan hemiselulosa menjadi produk akhir asam format, etanol dan 2-3 Butanediol. Peristiwa ini tidak
berlangsung lama, karena aktivitas Enterobacteriaceae segera dibatasi oleh hidrogenperoksida
sebagai produk dari aktivitas bakteri asam laktat (Mc. Donald, 1991). Proses pembusukan yang
terjadi termasuk mendegradasi komponen ADF yang terjadi selama ensilase. Bagian dari ADF yang
terdegradasi dari berupa sellulosa tersebut menyisakan lignin.

KESIMPULAN
Dinamika fermentasi selama proses ensilase hijauan sorgum manis dapat optimal di dukung oleh
bakteri Lactobacillus collinoides, Lactobacillus delbrueckii dan bakteri campuran. Bakteri
Lactobacillus delbrueckii secara nyata paling efektif mempengaruhi dinamika fermentasi selama
ensilase untuk mempertinggi kualitas silase dilihat dari aspek penurunan pH, asam asetat, asam
propionat dan kenaikan kandungan asam laktat. Juga secara nyata mampu memperkecil tingkat
penurunan kandungan bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan sellulosa, dibanding penggunaan
jenis bakteri lainnya.. Disarankan usaha mendapatkan silase sorgum manis yang baik, bisa dilakukan

versi elektronik
dengan menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1980. Official Methoda of Analysis, 13th Edition. Association of Official Aanalytical
Chemists. Washington DC.

45
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ballongue, J. 1993. Bifido Bacteria and Probiotic Action. In Lactic Acid Bacteria Micribiology and
Functional Aspects. Salminen, S and A.V. Wright (Eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp
245 - 249
Filya, I. G. Ashbell, Y. Hen and Z.G. Weinberg. 2000. The effect of bacterial inoculants on the
fermentation and aerobic stability of whole crop wheat Silage. Anim. Feed Sci. and Technol.

versi elektronik
88 : 39 – 46
Goering, H.K., and Van Soest. 1970. Forage Fiber Analysis (Apparatus, Reagents, Procedures and
Some Applications). Agricultural Research Service. United States Departement of
Agriculture. Washington D.C.
Henderson, N. 1993. Silage additives. J. Anim. Feed Sci. and Tecnol 45 : 35 – 56
McDonald, P. 1991. The Biochemistry of Silage. John Wiley end Sons. New York – Brisbane -
Toronto
Muck, R.E. 2002. effects of corn silage inoculants on aerobic stability. An Asae Meeting Presentation.
The Society In Agricultural, Food and Biological Systems. Chicago July 28 – 31, 2003
Muwakhid, B. 2005. Pengaruh penambahan Bahan Aditif Nira dan Molases Terhadap Kualitas Silase
Sorgum Manis (Sorghum bicolor L. Moen) hasil penanaman Secara Tunggal dan

versi elektronik
Tumpangsari pada lahan Kering. Prosidinng Seminar Nasional Pengembangan Usaha
peternakan Berdaya Saing di Lahan kering. Kerjasama fakultas peternakan UGM dengan
Puslitbang Peternakan DEPTAN RI. hal 158 – 163
Muwakhid, B. 2005. Isolasi, Seleksi dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat untuk Pembuatan Silase.
Proseding. Seminar Nasional. ISLAB dan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Denpasar.
Hal 107 – 108
Muwakhid, B. 2009. Potensi hasil Culling penanaman Sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moen)
sebagai pakan ternak. J. Al Buhut. XI : 115 - 118
Nahm, K.H. 1992. Practical Guide to Fforage and Water Analisys. Yoo Han Publ. Seoul.
Ohmomo, S., O. Tanaka, H.K. Kitamoto and Y. Cai. 2002. Silage and Microbial Performance, Old
Story but New Problems. J. JARQ 36 (2) 59 - 71
Ohshima, M., E. Kimura, and H. Yokota. 1997. A Method of Making Good Quality Silage From

versi elektronik
Direct Cut Alfalfa by Spraying Previously Fermented Juice. J. Anim. Feed. Sci. Technol. 66 :
129 - 137
Ranjit, N.K. and L. Kung. 2000. The Effect of Lactobacillus buchneri, Lactobacillus plantarum, or A
Chemical Preservative on The Fermentation and Aerobic Stability of Corn Silage. J. Dairy
Sci. 83 : 526 – 535
Salminen, S. And AS. Wright. 1998. Lactic Acid Bacteria. Microbiology and Functional Aspects.
Scont Adition. Marcel Dekker, Inc. New York
VanDevoorde, L., VanDewoestyne, B. Bruyneel, H. Christiaeus, and W. Verstraete. 1994. Critical
Factor Governing the Competive Behaveor of Lactic Acid Bacteria in Mixed Cultures. In the
Lactic Acid Bacteria. Volume I. The Lactic Acid Bacteria in Health and Disease. Brian, J and
N.V. Wood. (Eds). Lactic Academic and Proffessional. London. pp 356 - 367
Yitnosumarto, S., 1993. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Gramedia Pustaka

versi elektronik
Utama. Jakarta

46
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
FERMENTABILITAS PAKAN SAPI POTONG BERBASIS JERAMI PADI AMONIASI
YANG DISUPLEMENTASI EKSTRAK KULIT BAWANG PUTIH DAN MINERAL
ORGANIK SECARA IN-VITRO
Caribu Hadi Prayitno, Suwarno, dan Tri Rahardjo Sutardi
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

versi elektronik
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suplementasi ekstrak kulit bawang putih dan mineral organic
pada pakan sapi potong secara in vitro. Penelitian dilakukan secara in vitro dengan menggunakan
Rancangan acak lengkap dan Rancangan acak kelompok untuk produksi gas total dengan 6 perlakuan
4 ulangan. Adapun perlakuan yang diujicobakan adalah R0 : pakan kontrol sapi potong (Konsentrat :
jerami padi amoniasi, 60 : 40, dengan PK: 13,41%, SK: 23,82% dan TDN: 65,32%), R1: R0 + mineral
organik (1,5 ppm Chromium organik + 40 ppm Zn lysinat ), R2: R1 + ekstrak kulit bawang putih 15
ppm, R3 : R1 + ekstrak kulit bawang putih 30 ppm, R4: R1 + ekstrak kulit bawang putih 45 ppm, R5: R1
+ ekstrak kulit bawang putih 60 ppm. Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi ekstrak kulit
bawang putih dan mineral organik berpengaruh terhadap konsentrasi VFA, kecernaan NDF, populasi
protozoa dan produksi gas. Hasil terbaik suplementasi ekstrak kulit bawang putih 45 ppm (R4) yang
tercukupi mineral organik meningkatkan konsentrasi VFA dan kecernaan NDF, menurunkan produksi
gas total dan populasi protozoa.

versi elektronik
Kata kunci: Ekstrak kulit bawang putih, mineral organik, in-vitro,

PENDAHULUAN
Peningkatan produksi ternak ruminansia dibatasi oleh beberapa faktor diantaranya manajemen, pakan
dan kesehatan ternak. Peternak pada umumnya memberikan pakan hijauan dengan kualitas rendah
dengan tinggi kandungan lignoselulosa dan selulosa namun kandungan nitrogen yang rendah (Wina et
al., 2005b). Manipulasi ekosistem mikroba rumen untuk memperbaiki fermentasi rumen dalam
rangka meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba merupakan salah satu strategi dalam
mengatasi permasalahan tersebut. Manipulasi ekosistem rumen tersebut mampu meningkatkan
kecernaan serat kasar, mengurangi emisi metan, dan ekskresi nitrogen pada ternak ruminansia.
Pemanfaatan ekstrak tanaman herbal berhasil meningkatkan ekosistem rumen. Beberapa penelitian
telah mengevaluasi potensi tanaman sebagai agen alamiah dalam manipulasi fermentasi rumen
(Wallace et al.,2002; Hart et al., 2008). Bawang putih (Allium sativum) merupakan tanaman herbal

versi elektronik
atau rempah yang digunakan manusia sebagai sumber antimikroba dalam saluran pencernaan.
Kandungan dalam bawang putih diantaranya diallylfidesul(C 6H10S), allicin (C6H10SO), allyl
mercaptan (C3H6S) dan diallyl disul fide (C 6H10S2) (Lawson, 1996). Senyawa tersebut mampu
meningkatkan manipulasi fermentasi rumen dengan menghambat metanogenesis, menurunkan ratio
antara CH4:VFA peningkatan jumlah propionat dan butirat, serta mengurangi jumlah asetat (Busquet
et al., 2005).
Kecukupan kandungan mineral makro dan mikro pakan mendukung bioproses dalam rumen. Mineral
– mineral tersebut berperan dalam peningkatan optimalisasi bioproses serta metabolisme nutrien
pakan. Prayitno et at. (2013) mineral Se, Cr dan Zn sangat dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk
optimalisasi fermentasi di dalam rumen.

METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan antara lain cairan rumen sapi potong, pakan sapi potong terdiri atas 60%
konsentrat dan 40% jerami padi amoniasi, shaker wather bath, ekstrak kulit bawang putih, 1,5 ppm

versi elektronik
Chromium organik dan 40 ppm Zn-lysinat.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), kecuali variabel pengukuran produksi
gas total menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 4 kali ulangan.
Perlakuan R0 : pakan kontrol sapi potong, R1: R0 + 1,5 ppm Cr + 40 ppm Zn, R2: R1 + 15 ppm ekstrak
kulit bawang putih, R3: R1 + 30 ppm ekstrak kulit bawang putih, R4: R1 + 45 ppm ekstrak kulit
bawang putih, R5: R1 + 60 ppm ekstrak kulit bawang putih. Data dianalisis menggunakan analisis
variansi dan dilanjutkan dengan uji beda nyata (BNJ) (Steel and Torrie, 1995). Variabel yang diukur

47
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
adalah Kecernaan Bahan Kering (KBK), Kecernaan Bahan Organik (KBO), Kecernaan NDF,
Konsentrasi VFA, Populasi Protozoa, dan Produksi Gas Total. Percobaan In-Vitro dilakukan seasui
metode Tilley and Terry (1963). Ekstraksi Kulit Bawang Putih dilakukan sesuai metode Prayitno et
al. (2013), sedangkan pembuatan mineral Chromium organic dan Zn lysinat sesuai metode Prayitno
dan Widyastuti (2010), Penghitungan Jumlah Protozoa dihitung menurut Ogimoto dan Imai (1981),
pengukuran gas total didasarkan pada metode Menke (1998) yang dimodifikasi.

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap semua variabel (KBK, KBO, Konsentrasi VFA, NDF, Populasi protozoa, Total gas dan pH).
Hasil uji BNJ menunjukkan terdapat perbedaan pada konsentrasi VFA, NDF, populasi protozoa dan
total gas namun tidak terjadi perbedaan pada KBK, KBO dan pH. Suplementasi tepung bawang putih
pada cairan rumen mampu meningkatkan kecernaan (Kongmun et al., 2010). Peran chromium organik
akan meningkatkan efisiensi pengambilan energi oleh mikroba rumen sehingga dapat mencerna
ransum dengan lebih baik (Kegley and Spears, 1995). Nilai kecernaan bahan kering dan bahan
organik meningkat dibanding pakan kontrol. Kecernaan NDF cenderung meningkat diduga karena
aktivitas mikroba pendegradasi serat (bakteri fibrolitik) bekerja optimal dalam mencerna serat pakan.
Hal tersebut dikarenakan adanya suplementasi ekstrak kulit bawang putih yang tercukupi mineral
organik pada pakan yang mampu meningkatkan aktivitas mikroba rumen. Menurut Preston dan Leng

versi elektronik
(1987), bakteri penting yang termasuk pencerna serat kasar adalah Ruminococcus flavefaciens,
Ruminococcus albus dan Butyrivibrio fibrisolvens. Wanapat and Cherdthong (2009), melaporkan
populasi F. succinogenes ditemukan dalam pencernaan rumen lebih banyak dibandingkan dalam
cairan rumen. Chen and Weimer (2001) yang menemukan 67.3% F. succinogenes, 28.8% R. albus
dan 3.9% R. flavefaciens yang tergabung dalam bakteri selulolitik. Peningkatan nilai kecernaan NDF
diakibatkan kondisi alkalis yang berperan merengangkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa,
yang akan mengakibatkan berkurangnya komponen lignin dan kristal silika, sehingga mikroorganisme
rumen lebih mudah melakukan degradasi komponen serat (Wina dan Toharmat, 2010).
Volatille Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan prekursor
sumber energi utama ruminansia. Konsentrasi VFA hasil penelitian menunjukkan peningkatan
sampai taraf 45 ppm ekstrak kulit bawang putih yang tercukupi mineral. Konsentrasi VFA yang tinggi
disebabkan adanya aktivitas mikroba rumen (pendegradasi serat kasar). Arora (1995) menambahkan
bahwa mikrobia dalam rumen akan mengubah sebagian atau semua karbohidrat tercerna menjadi
VFA, CO2 dan CH4. Protein yang terkandung dalam pakan perlakuan mudah terdegradasi menjadi

versi elektronik
asam amino, selanjutnya asam amino tersebut akan mengalami deaminasi menjadi NH dan asam α
keto. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sutardi et al. (1983), bahwa asam α keto akan diubah
menjadi VFA (iso butirat, iso valerat dan 2 metil butirat) yang digunakan sebagai kerangka karbon
bagi sintesis protein mikrobia rumen serta meningkatkan kecernaan dinding sel dan penggunaan
nitrogen (Gorosito et al., 1985). Minyak bawang putih dan senyawanya diallyl disulfide dan allyl
mercaptan mampu mengurangi produksi asetat namun meningkatkan propionat dan butirat (Busquet
et al., 2005).

versi elektronik
48
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Pengaruh Ekstrak Kulit Bawang Putih dan mineral organik terhadap KBK, KBO, NDF, VFA,
Populasi Protozoa, Produksi Gas total dan pH

Perlakuan

versi elektronik
Variabel
R0 R1 R2 R3 R4 R5

KBK (%) 33.12±1,50a 32.17±2,80a 24.70±1,36b 31.55±0,41a 29.22±0.19a 32.88±2,41a

KBO (%) 32.22±1,47a 30.22±2,21a 21.24±1,12b 29.54±0,83a 27.78±0,77a 30.98±2,84a

NDF (%) 27.42 ± 1,37a 26.33±0,95bc 27.05±0,25bc 29.27±0,77ac 30.41±0,95d 29.55±0,20a

VFA (mM) 129.33±6,11a 153.33±15,01d 169.33±11,02cd 188.00±12,17bc 205.33±1,15b 186.67±20,03bc


Populasi Protozoa (10⁶ sel/ml) 24.92±0.52a 22.83±0,38a 19.67±1,66b 17.58±0,14b 15±1,39bc 13.42±1,38c

Produksi Gas Total (mm/mg) 31,31±2,32a 24,99±2,01c 26,66±2,07b 22,99±1,00c 18,33±1,53d 28,32±0,58b

pH 7,03±0,06 6,93±0,15 6,90±0,00 6,77±0,06 6,93±0,06 6,97±0,06

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. Perlakuan R0 : pakan kontrol sapi
potong (PK: 13,41%, SK: 23,82% dan TDN: 65,32%), R1: R0 + mineral organik (Zn lysinat 40 ppm + Chromium organik 1,5
ppm), R2: R1 + ekstrak kulit bawang putih 15 ppm, R3 : R1 + ekstrak kulit bawang putih 30 ppm, R4: R1 + ekstrak kulit bawang

versi elektronik
putih 45 ppm, R5: R1 + ekstrak kulit bawang putih 60 ppm.

Tepung bawang putih termasuk dalam organosulfur dan senyawa tersebut sebagai agen antibakteri dan
mampu menurunkan populasi protozoa (Wanapat et al., 2008b; Kongmun et al., 2010). Minyak bawang
putih dan senyawa derivat organosulfur lainnya sebagai penghambat yang kuat terhadap HMG-CoA
reduktase (Gebhardt and Beck, 1996) dan hasil dari sintesis isoprenoid sebagai penghambat, maka
membran archaea menjadi tidak stabil dan sel akan mati. Ditunjukkan populasi protozoa yang semakin
menurun dalam setiap perlakuan, hasil terendah sebesar 18,33 ± 1,53 (10⁶ sel/ml) pada R4 (ekstrak kulit
bawang putih 45 ppm).
Busquet et al. (2005) melaporkan bahwa minyak esensial dari bawang putih menghambat emisi metan
rumen melalui pergeseran hidrogen menuju sintesis dari propionat dan butirat dalam rumen. Pengaruh
minyak bawang putih dalam percobaan saat ini konsisten dengan laporan yang berulang (Busquet et al.,
2005a) dan akan sama normal ditemukan dengan penghambat metan seperti amicloral (Chalupa et al.,
1980) atau asam 2-bromoethanosulfonik (Martin and Macy, 1985), yang secara langsung menghambat

versi elektronik
metanogenik Archaea atau metabolik jalannya sintesis metan. Ekstraksi dalam etanol dan metanol dari
bawang putih berpotensi untuk mengurangi pembentukan gas metana rumen tanpa mempengaruhi
fermentasi rumen (Patra, et al., 2006). Ekstrak etanol dan metanol dari bawang putih (Allium sativum) ini
sangat menghambat dalam proses metanogenesis (Kamra et al., 2005). Metanogenesis terhambat sama
hal nya dengan produksi metan rendah yang ditunjukkan pada penurunan produksi gas, pada perlakuan
yang diberikan pada penelitian tersebut.
Menurut teori Owens dan Goetsch (1988), pH cairan rumen ternak ruminansia berkisar antara 6 – 7.
Pada pH 6, hasil fermentasinya mengarah pada propionat yang tinggi, sebaliknya pada pH 7 hasil
fermentasinya mengarah pada asetat yang tinggi. Ditunjukkan nilai pH 6,93 pada R4 yang sejalan dengan
konsentarsi VFA tertinggi. Konsentrasi VFA berbanding lurus dengan nilai pH rumen. Pengaruh
chromium organik dengan biakan Saccaromyces cereviseae (yeast) di dalam rumen mampu
memanfaatkan oksigen sehingga menjamin kondisi anaerob bagi bakteri rumen. Keadaan tersebut diikuti
dengan meningkatnya pemanfaatan amonia dan asam laktat sehingga pH rumen stabil. Memungkinkan

versi elektronik
terjadinya sintesis protein mikroba yang lebih optimal sehingga populasi bakteri rumen total meningkat
dan kecernaan serat kasar meningkat. Suplementasi ekstrak kulit bawang putih yang tercukupi mineral
organik meningkatkan aktivitas mikroba pendegradasi serat kasar (mikroba fibrolitik).

49
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KESIMPULAN
Suplementasi ekstrak kulit bawang putih dan mineral organic (Cr dan Zn) mampu memperbaiki fermenasi
rumen sapi potong dengan pakan dasar jerami padi amoniasi. Suplementasi ekstrak kulit bawang putih 45
ppm dengan 1.5 ppm Cr dan 40 ppm Zn lisinat merupakan perlakuan terbaik.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikrobia Pada Ruminansia. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan
RetnoMurwani). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Busquet, M., S. Calsamiglia, A. Ferret, W. Cardozo and C. Kamel. 2005. Effect of Cinnamaldehyde and
garlic oil on Rumen Microbial fermentation in a Dual Flow Continous Culture. Journal Dairy
Science. 88:2508-2516.
Busquet, M., S. Calsamiglia., A.Ferret., M.D. Carro.,C. Kamel., 2005b. Effect of garlic oil and four of its
compounds or rumen microbial fermentation.J. Dairy Sci. 88, 4393–4404.
Gebhardt, R amd H. Beck. 1996. Differential Inhibitory Effects of Garlic-Derived Organosulfur
Compounds on Cholesterol Biosyntesisi in Primary Rat Hepatocyte Culture. Lipids, 31:1269-
1276.

versi elektronik
Chalupa W.1980. Rumen by Pass and Protection of Protein and Amino Acids. Journal Dairy Science. 58
: 198 – 204.
Chen, J., and P J. Weimer. 2001. Competition Among These Predominant Ruminal Cellulolytic Bacteria
In the Absence or Presence of non-Cellulolytic Bacteria. Journal of Enviromental Microbiologi
147 : 2130.
Gorosito, A.R., J.B. Russell and P.J. Van Soest. 1985. Effect of Carbon-4 and Carbon-5 Volatile Fatty
Acids on Digestion of Plant Cell Wall In Vitro. Journal Dairy Science. 68(4): 840 – 847.
Hart, K.J., S.E. Girdwood, S. Taylor, D.R. Yanez-Ruiz and C.J. Newbold. 2006 Effect of Allicin on
Fermentation and Microbial Populations in the Rumen Simulating Fermentor Rusitec.
Reproduction Nutrition Development 46 (Supplement 1): 97- 115.
Kamra DN. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Journal Current Science 89 (1) : 124-135.

versi elektronik
Kegley, E.B and J.W. Spears. 1995. Immuneresponse, Glucose Metabolism, and Performance of Stressed
Feeder Calves Fed Inorganic or Organic Chromium. Journal Animal Science. 73:2721-2726.
Lawson, D. L., 1996. The composition and chemistry of garlic cloves and processed garlic. In: Koch, H.
P. and Lawson, D. L. (eds.) Garlic: the science and therapeutic applications of Allium sativum L.
and related species, 2nd edn. pp. 37–107. Williams & Wilkins, Baltimore.
Kongmun, P., M. Wanapat., P. Pakdee and C. Navanukraw. 2010. Effect of Coconut Oil and Garlic
Powder on In-Vitro Fermentation Using Gas Production Technique. Journal Livestock Science.
127:38-44.
Menke, A and A. Steingass. 1988. Estimation of Methanogenesis, Enzyme Activities and Fermentation of
Feed in Rumen Mikrobiologi. UI Press. Jakarta.
Ogimoto, K and S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Science. Societes Press. Tokyo.

versi elektronik
Owens, F.N. and A.L. Goetsch. 1988. Ruminal fermentation. pp. 145-171. In. D.C. Church (Ed). The
Ruminant Digestibility Physiology and Nutrition. Prentice Hall, New Jersey.
Patra, A. K., D. N. Kamra and N. Agarwal. 2006. Effect of Plant on in-vito Methanogenesis, Enzyme
Activities and Fermentation of Feed in Rumen Liquor of Buffalo. Animal Feed Science and
Technology. 128:276-291.

50
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Prayitno, C.H dan T. Widiyastuti. 2010. Kajian Selenomethionin, Chromium Yeast dan Seng Proteinat
pada Pakan Sapi Perah (Tinjauan secara In-Vitro). Proseding Seminar Nasional: Perspektif
Pengembangan Agribisnis Peternakan. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto.

versi elektronik
_______, Y. Subagyo and Suwarno. 2013. Supplementation of Sapindus rarak and Garlic Extract in Feed
Containing Adequate Cr, Se, and Zn on Rumen Fermentation. Media Peternakan. 52-57.
Preston, T.R. dan Leng, R.A. 1987. The Nutrion of Early Weaned Calf. IV. Ruminant Ammonia
Formation From Soluble and Insoluble Protein Sources. Animal Production.5: 147-56.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik.
Cetakan ke-4. (Diterjemahkan Oleh : B. Sumantri). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sutardi, T., N. A. Sigit and T. Toharmat. 1983. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan Ternak
Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh Mikroba Rumen. Laporan Penelitian
Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi.
Tilley, A. D and R. A. Terry. 1963. A Two Stage Technique for In Vitro Digestion of Forage Crops.
Journal British Grassland Society. 18(2): 104 -111.

versi elektronik
Wallace, R. J., N. R. McEwan, F. M. McIntosh, B. Teferedegne & C. J. Newbold. 2002. Natural products
as manipulators of rumen fermentation. AsianAustralian.Journal Animal Science.15:1458-1468.
Wanapat, M., Khejorsart, P., Pakdee, P. and Wanapat, S., 2008b. Effect of Supplementation of Garlic
Powder on Rumen Ecology and Digestibility of Nutrients in Ruminants. Journal of the Science of
Food and Agriculture, 88, 2231–2237.
Wanapat, M. and Cherdthong, A., 2009. Use Of Real-Time PCR Technique in Studying Rumen
Cellulolytic Bacteria Population as Affected by Level of Roughage in Swamp Buffalo. Current
Microbiology, 58, 294–299
Wina, E., Muetzel, S., Hoffman, E., Makkar, H.P.S., Becker, K., 2005b. Saponins containing methanol
extract of Sapindus rarak affect microbial fermentation, microbial activity and microbial
community structure in vitro. Animal Feed Science Technology. 121, 159–174.

versi elektronik

versi elektronik 51
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENURUNAN KANDUNGAN LIGNIN PADA PROSES FERMENTASI KULIT BUAH KAKAO
(Theobroma cacao) DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI JENIS MIKROBIA
Engkus Ainul Yakin1, Ahimsa Kandi Sariri2

versi elektronik
1
Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara; email : engkus_ainul@yahoo.com
2
Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara; email : ak_sariri@ymail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peningkatan kandungan nutrien dan penurunan kandungan lignin
dari KBK terfermentasi. Metode penelitian tahap pertama yang dilakukan yaitu menggunakan empat
perlakuan dan tiga ulangan. P0 = KBK fermentasi tanpa penambahan mikrobia, P1 = KBK fermentasi
dengan Aspergillus niger, P2 = KBK fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium dan P3 = KBK
fermentasi dengan Tricoderma viridae. Campuran dimasukkan ke dalam wadah aerob selama 7 hari.
Metode penelitian tahap kedua yaitu optimasi mikrobia terbaik pada penelitian tahap pertama yaitu
menggunakan 3 perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan berupa lama fermentasi yaitu 10, 15 dan 20 hari.
Variabel yang diamati pada tahap pertama dan tahap kedua sama meliputi KA, BK, PK, SK, LK, dan
kandungan lignin. Desain penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan analisis sidik ragam
pola searah (oneway ANOVA). Variabel yang signifikan dilanjutkan uji jarak berganda Duncan (Duncan

versi elektronik
Multiple Range Test/DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kandungan lignin terbaik
pada tahap pertama yaitu P2 yaitu fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium sebesar 5,43 ± 0,20
% dan waktu optimasi terbaik untuk fermentasi menggunakan Phanerochaete chrysosporium untuk
menurunkan lignin yaitu pada fermentasi selama 20 hari yaitu sebesar 6,42 ± 0,20 %. Disimpulkan bahwa
penambahan jamur jenis Phanerochaete chrysosporium pada fermentasi kulit buah kakao dapat
menurunan kandungan lignin dengan baik.
Kata kunci : lignin, fermentasi, kulit buah kakao, mikrobia

ABSTRACT
The purpose of this research was to examine the increase in nutrient content and the decrease in lignin
content of fermented CPH. The first phase of the research methods was performed using four treatments
and three replications. T0 = CPH microbial fermentation without the addition, T1 = CPH fermentation
with Aspergillus niger, T2 = CPH fermentation with Phanerochaete chrysosporium and T3 = CPH

versi elektronik
fermentation with Tricoderma Viridae. The mixture was put into a container aerobically for 7 days. The
second stage of the research methods was the microbial best optimization in the first phase of the research
using three treatments and four replications. The treatments were in varied forms of fermentation length
of time in 10, 15, and 20 days. The variables observed in the first stage and the second stage were similar
covering DM, CP, CF, CFt, ash and lignin content. This study was designed using the completely
randomized research design with a unidirectional pattern analysis of variance (oneway ANOVA).
Significant variables went through Duncan's Multiple Range Test (DMRT). The findings showed that the
best reduction in lignin content at the first phase was T2 = the fermentation with Phanerochaete
chrysosporium of 5.43 ± 0.20% and the best time for fermentation optimization using Phanerochaete
chrysosporium to degrade lignin was the fermentation length of 20 days in the amount of 6.42 ± 0.20%. It
could be concluded that the addition of fungus Phanerochaete chrysosporium on fermented CPH could
decrease the lignin content of CPH.
Keywords : lignin, fermentation, cocoa pod husk, microbial preliminary

versi elektronik
PENDAHULUAN
Hambatan utama petani ternak khususnya dalam peningkatan populasi ternak yaitu terbatasnya pakan.
Perluasan areal untuk penanaman rumput sebagai pakan ruminansia sangat sulit, karena alih fungsi lahan
yang sangat tinggi. Mengingat sempitnya lahan penggembalaan, maka usaha pemanfaatan sisa hasil
(limbah) pertanian untuk pakan perlu dipadukan dengan bahan lain yang sampai saat ini belum biasa
digunakan sebagai pakan.

52
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Limbah tanaman pangan dan perkebunan memiliki peran yang cukup penting dan berpotensi dalam
penyediaan pakan hijauan bagi ternak ruminansia seperti sapi, kambing, domba dan kerbau terutama
musim kemarau. Pada musim kemarau hijauan rumput terganggu pertumbuhannya, sehingga pakan
hijauan yang tersedia kurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Bahkan di daerah-daerah tertentu

versi elektronik
rumput pakan ternak akan kering dan mati sehingga menimbulkan krisis pakan hijauan. Selain itu, sistem
pemeliharaan ternak ruminansia sebagian besar masih tergantung pada hijauan pakan berupa rumput-
rumputan dan pakan hijauan lainnya dengan sedikit atau tidak ada pakan tambahan.
Untuk mengatasi masalah kekurangan pakan hijauan, diharapkan peternak bisa memanfaatkan limbah
pertanian yang cukup banyak tersedia disekitarnya antara lain kulit buah kakao, pucuk tebu, jerami padi,
jerami jagung, jerami kedelai dan jerami kacang tanah melalui perlakuan tertentu.
Kulit buah kakao, memiliki peran yang cukup penting dan berpotensi dalam penyediaan pakan ternak
ruminansia khususnya kambing terutama pada musim kemarau. Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai
pakan ternak dapat diberikan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk tepung setelah diolah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kulit buah kakao segar yang dikeringkan dengan sinar matahari kemudian
digiling selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak.
Kulit buah kakao adalah merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan tanaman kakao (Theobroma

versi elektronik
cacao L.) Buah kakao yang terdiri dari 74 % kulit buah, 2 % plasenta dan 24 % biji. Hasil analisa
proksimat mengandung 22 % protein dan 3-9 % lemak (Nasrullah dan A. Ella, 1993). Pakar lain
menyatakan kulit buah kakao kandungan gizinya terdiri dari bahan kering (BK) 88 %, protein kasar (PK)
8 %, serat kasar (SK) 40,1 % dan TDN 50,8 % dan penggunaannya oleh ternak ruminansia 30-40 %
dilaporkan oleh Anonim (2001).
Penggunaan kulit buah kakao secara langsung kurang baik baik karena memiliki palatabilitas yang rendah
karena adanya racun Theobromin yang berbau alkohol. Usaha untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
cara pengolahan kulit buah kakao menjadi tepung lalu difermentasikan dengan jasa kapang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada ternak domba, bahwa penggunaan kulit buah kakao dapat
digunakan sebagai substitusi suplemen sebanyak 15 % atau 5 % dari ransum. Sebaiknya sebelum
digunakan sebagai pakan ternak, limbah kulit buah kakao perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk
menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan kadar protein dari 6-8 %
menjadi 12-15 %.

versi elektronik
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu mengkaji kandungan nutrien dan penurunan
kandungan lignin dalam kulit buah kakao terfermentasi. Diharapkan dari penelitian ini akan dihasilkan
metode pijakan yang tepat dalam pengolahan limbah pertanian kulit buah kakao menggunakan jasa
kapang sehingga nantinya dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut apabila diberikan kepada ternak
ruminansia.

METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan adalah kulit buah kakao (KBK), isolat Aspergillus niger, Phanerochaete
chrysosporium dan Tricoderma viridae. Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, petri disk, ose,
autoclave alumunium foil, kapas dan seperangkat peralatan laboratorium untuk analisis proksimat.
Penelitian peningkatan kandungan nutrien dan penurunan kandungan lignin dari KBK dirancang dengan
rancangan acak lengkap pola searah. Tahap pertama fermentasi KBK menggunakan 3 jenis mikrobia.

versi elektronik
Tahap pertama ini menggunakan empat perlakuan dan tiga ulangan yaitu :
P1 : KBK fermentasi tanpa penambahan mikrobia.
P2 : KBK fermentasi dengan Aspergillus niger.
P3 : KBK fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium.
P4 : KBK fermentasi dengan Tricoderma viridae.

53
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tahap kedua yaitu fermentasi KBK dengan menggunakan mikrobia terbaik pada tahap pertama. Tahap
kedua ini menggunakan tiga perlakuan dan empat ulangan yaitu :
P1 : KBK fermentasi 10 hari.

versi elektronik
P2 : KBK fermentasi 15 hari.
P3 : KBK fermentasi 20 hari.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis Analisis Variansi (ANOVA) pola searah dan
dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) (Christensen, 1996) bila terdapat
perbedaan.
Prosedur Penelitian
Tahap pertama fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi secara aerob pada perlakuan KBK
fermentasi. KBK segar dicacah dan dikeringkan. 100 kg KBK dengan kadar air 61,23% ditempatkan pada
wadah plastik diinokulasi dengan Aspergillus niger, Phanerochaete chrysosporium dan Tricoderma
viridae dicampur secara merata. Lama fermentasi selama 7 hari. KBK sebelum dan sesudah fermentasi
dilakukan analisis kandungan nutrien dan kandungan lignin dengan menggunakan analisis proksimat

versi elektronik
(AOAC, 1990).
Tahap kedua fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi secara aerob pada perlakuan KBK fermentasi.
KBK segar dicacah dan dikeringkan. 100 kg KBK dengan kadar air 61,23% ditempatkan pada wadah
plastik diinokulasi dengan mikrobia terbaik pada tahap pertama dan dicampur secara merata. Lama
fermentasi selama 10, 15 dan 20 hari. KBK sebelum dan sesudah fermentasi dilakukan analisis
kandungan nutrien dan kandungan lignin dengan menggunakan analisis proksimat (AOAC, 1990)
Parameter yang diamati yaitu Bahan Kering (BK), Protein Kasar (PK), Lemak Kasar (LK), Serat Kasar
(SK), Abu dan lignin.

HASIL DAN PEMBAHASAN


TAHAP I
Hasil perhitungan analisis proksimat dan lignin fermentasi kulit buah kakao tahap pertama dengan
berbagai mikrobia yang telah dilaksanakan tercantum dalam tabel dibawah ini :

versi elektronik
Tabel 1. Rerata Komposisi Kimia Fermentasi Kulit Buah Kakao dengan berbagai mikrobia (% BK)
Bahan (%)
Variabel
T0 T1 T2 T3
Lignin 16.38c ± 0.20 7.90b ± 0.44 5.43a ± 0.20 5.65a ± 0.23
Kadar Air 61.70a ± 0.57 72.65b ± 0.26 77.67c ± 1.33 77.99c ± 0.32
Protein Kasar 3.45d ± 0.07 2.66c ± 0.16 1.54a ± 0.09 1.95b ± 0.08
Serat Kasar 19.93d ± 1.09 8.47c ± 0.40 5.67a ± 0.29 7.25b ± 0.10
Lemak Kasar 0.37a ± 0.02 0.98c ± 0.15 0.73b ± 0.05 0.68b ± 0.12
Abu 3.61b ± 0.06 2.99b ± 0.36 2.26a ± 0.37 2.20a ± 0.29

versi elektronik
abcd
Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat significant (P<0,01).
ns
non significant (P>0,05).
P0 = Fermentasi Kulit Buah Kakao tanpa penambahan Mikrobia
P1 = Fermentasi Kulit Buah Kakao dengan penambahan Aspergillus niger
P2 = Fermentasi Kulit Buah Kakao dengan penambahan Phanerochaete chrysosporyium
P3 = Fermentasi Kulit Buah Kakao dengan penambahan Tricoderma viride

54
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Lignin
Hasil rerata komposisi kimia lignin tercantum dalam tabel 1. Rerata keempat perlakuan berturut-turut
yaitu P0 = 16,38 ± 0,20%, P1= 7,90 ± 0,44%, P2 = 5,43 ± 0,20% dan P3 = 5,65 ± 0,23% menunjukkan

versi elektronik
hasil berbeda sangat nyata (P<0,01).
Bila diliat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu fermentasi selama 7 hari dengan
menggunakan berbagai jenis mikrobia terlihat sekali pada perlakuan PO yang merupakan fermentasi
tanpa penambahan mikrobia terlihat bahwa kandungan lignin yaitu sebesar 16,38 ± 0,20%, sedangkan
kandungan lignin pada perlakuan lain terlihat lebih rendah. Hal ini terjadi karena memang lignin yang
terdapat di dalam kulit buah kakao memang tinggi dan harus ada perlakuan khusus untuk menurunkan
kandungan lignin tersebut. Pada perlakuan P1, P2 dan P3 yang mempergunakan jenis mikrobia yang
berbeda memperlihatkan penurunan kandungan lignin yang berbeda antar mikrobia. Pada fermentasi
KBK yang mempergunakan Aspergillus niger terlihat memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi
dibandingkan dengan fermentasi KBK yang mempergunakan Phanerochaete chrysosporyum maupun
Tricoderma viridae.
Pada fermentasi KBK yang mempergunakan Phanerochaete chrysosporyum maupun Tricoderma viridae
dilihat dari hasil analisis statistik memperlihatkan kandungan lignin yang paling rendah dibandingkan

versi elektronik
dengan perlakuan yang lain. P3 yang mempergunakan Phanerochaete chrysosporyum kandungan lignin
yaitu 5,43 ± 0,20% dan P4 yang mempergunakan Tricoderma viridae yaitu 5,65 ± 0,23%
memperlihatkan hasil analisis statistik yang berbeda tidak nyata. Walaupun demikian pada perlakuan P3
yang mempergunakan Phanerochaete chrysosporyum memiliki penurunan kandungan lignin yang lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan P4 yang mempergunakan Tricoderma viridae.
Hal ini sesuai dengan penelitian Paul (1992); Limura, (1960) yang menyatakan bahwa jamur
pendegradasi lignin yang paling aktif adalah white-rot fungi seperti misalnya Phanerochaete
chrysosporium dan Coriolus versicoloryang mampu merombak hemisellulosa, sellulosa dan lignin dari
limbah tanaman menjadi CO2 dan H2O.
Kadar Air
Hasil rerata komposisi kimia air tercantum dalam tabel 1. Rerata keempat perlakuan berturut-turut yaitu
P0 = 61,70 ± 0,57 %, P1=72,65 ± 0,26%, P2 = 77,67 ± 1,33% dan P3 = 77,99 ± 0,32% menunjukkan

versi elektronik
hasil berbeda sangat nyata (P<0,01).
Terlihat bahwa pada perlakuan fermentasi yang diberikan penambahan mikrobia menunjukkan kandungan
air yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan fermentasi yang tanpa penambahan mikrobia.
Peningkatan kadar air ini disebabkan karena semakin lama waktu fermentasi aktivitas mikrobia semakin
meningkat sehingga kadar air yang dihasilkan akan semakin banyak. Hal ini disebabkan karena pada
proses fermentasi terjadi perombakan glukosa menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sehingga akan
meningkatkan kadar air pada bahan kering
Protein Kasar
Hasil rerata komposisi kimia protein tercantum dalam tabel 1. Rerata keempat perlakuan berturut-turut
yaitu P0 =3,45 ± 0,07%, P1=2,66 ± 0,16 %, P2 = 1,54 ± 0,09 % dan P3 = 1,95 ± 0,08 % menunjukkan
hasil berbeda sangat nyata (P<0,01).
Terlihat bahwa pada perlakuan fermentasi yang diberikan penambahan mikrobia menunjukkan kandungan

versi elektronik
protein yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan fermentasi yang tanpa penambahan mikrobia.
Hal ini terjadi karena adanya aktifitas mikrobia dalam aktifitas di dalam fermentasi kulit buah kakao yang
diharapkan akan dapat meningkatkan kandungan protein ternyata tidak seperti yang diharapkan. Justru
perlakuan fermentasi tanpa penambahan mirobia menunjukkan kandungan protein yang lebih tinggi.

55
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Walaupun terlihat berbeda tetapi kandungan protein yang dihasilkan dari fermentasi kulit buah kakao ini
masih relatif sangat rendah dalam menaikkan kandungan proteinnya. Oleh karena itulah apabila ingin
dipergunakan sebagai ransum ruminansia perlu ditambahkan bahan pakan tertentu untuk bisa menaikkan
kandungan protein pakan.

versi elektronik
Serat Kasar
Hasil rerata komposisi kimia serat kasar tercantum dalam tabel 1. Rerata keempat perlakuan berturut-turut
yaitu P0 =19,93 ± 1,09 %, P1= 8,47 ± 0,40 %, P2 = 5,67 ± 0,29 % dan P3 = 7,25 ± 0,10 % menunjukkan
hasil berbeda sangat nyata (P<0,01).
Terlihat bahwa pada perlakuan fermentasi yang diberikan penambahan mikrobia menunjukkan kandungan
serat kasar yang paling rendah adalah pada perlakuan P2 dan serat kasar paling tinggi pada perlakuan P0.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan mikrobia pada proses fermentasi kulit buah kakao dapat
menurunkan kandungan serat kasar pada kulit buah kakao, sehingga apabila digunakan sebagai bahan
pakan ternak dapat lebih efisien dalam proses pencernaannya.
Serat kasar dapat menjadi sumber nutrisi mikroba alternatif untuk proses fermentasi selain gula, pati,
lemak dan lainnya. Serat kasar dapat berbentuk selulosa murni, ataupun selulosa yang masih terbungkus

versi elektronik
dengan zat lain dalam bentuk lignin (lignoselulosa), hemiselulosa dan lain-lain.
Lemak Kasar
Hasil rerata komposisi kimia lemak tercantum dalam tabel 1. Rerata keempat perlakuan berturut-turut
yaitu P0 = 0,37 ± 0,02 %, P1= 0,98 ± 0,15 %, P2 = 0,73 ± 0,05 % dan P3 = 0,68 ± 0,12 % menunjukkan
hasil berbeda sangat nyata (P<0,01).
Terlihat bahwa pada perlakuan fermentasi yang diberikan penambahan mikrobia menunjukkan kandungan
lemak paling tinggi pada perlakuan P2 dan P3 Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan mikrobia
pada proses fermentasi kulit buah kakao dapat menaikkan kandungan lemak pada kulit buah kakao.
Aktifits mikrobia pada fermentasi ini dengan sendirinya akan meningkatkan kandungan lemak karena
hasil fermentasi umumnya memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi.
Abu
Hasil rerata komposisi kimia abu tercantum dalam tabel 1. Rerata keempat perlakuan berturut-turut yaitu

versi elektronik
P0 = 3,61 ± 0,06 %, P1= 2,99 ± 0,36 %, P2 =2,26 ± 0,37 % dan P3 = 2,20 ± 0,29 % menunjukkan hasil
berbeda sangat nyata (P<0,01).
Terlihat bahwa pada perlakuan fermentasi yang diberikan penambahan mikrobia menunjukkan kandungan
abu yang paling rendah pada perlakuan P2 dan P3. Sedangkan akndungan abu paling tinggi pada
perlakuan P0. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan mikrobia pada proses fermentasi kulit
buah kakao dapat menurunkan kandungan abu pada kulit buah kakao.
Hal ini dikarenakan terurainya kandungan bahan anorganik terhadap kulit buah kakao, proses fermentasi
mampu meningkatkan kandungan gizi kulit buah kakao. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sinurat et al.,
2003), yang menyatakan bahwa secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya mengandung
senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna dari pada bahan asalnya sehingga dapat meningkatkan
nilai gizinya. Fermentasi juga berfungsi sebagai salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan
bahan dan cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang dikandung suatu bahan.

versi elektronik
Berbagai jenis mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk mengkonversikan pati menjadi protein
dengan penambahan nitrogen anorganik melalui fermentasi. Kapang yang sering digunakan dalam
teknologi fermentasi antara lain Aspergillus niger. Buckle,et al., (1987) juga menambahkan bahwa
fermentasi yaitu perubahan kimia dalam bahan pangan yang disebabkan oleh enzim-enzim. Enzim-enzim
yang berperan adalah enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau enzim yang terdapat pada bahan
tersebut.

56
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
TAHAP II
Hasil perhitungan analisis proksimat dan lignin fermentasi kulit buah kakao tahap kedua dengan
menggunakan Phanerochaete chrysosporyum yang telah dilaksanakan tercantum dalam tabel dibawah ini

versi elektronik
:
Tabel 2. Rerata Komposisi Kimia Fermentasi Kulit Buah Kakao dengan menggunakan Phanerochaete
chrysosporyum (% BK)
Bahan (%)
Variabel
P0 P1 P2
c b
Lignin 8,05 ± 0,19 7,41 ± 0,23 6,40 a ± 0,12
Bahan Kering 77,52 a ± 0,42 81,42 ab ± 0,09 84,35 b ± 5,16
Protein 2,11 a ± 0,06 2,44 b ± 0,21 1,94 a ± 0,11
Serat Kasar 11,72 c ± 0,19 9,65 b ± 0,28 8,47 a ± 0,32
Lemak - - -

versi elektronik
b b
Abu 2,76 ± 0,05 2,75 ± 0,17 2,32 a ± 0,13
abc
Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat significant (P<0,01).
P0 = Fermentasi Kulit Buah Kakao selama 10 hari.
P1 = Fermentasi Kulit Buah Kakao selama 15 hari.
P2 = Fermentasi Kulit Buah Kakao selama 20 hari.

Lignin
Hasil rerata komposisi kimia lignin tercantum dalam tabel 2. Rerata ketiga perlakuan berturut-turut yaitu
P0 = 8,05 ± 0,19 %, P1= 7,41 ± 0,23 %, dan P2 = 6,40 ± 0,12 % menunjukkan hasil berbeda sangat
nyata (P<0,01).
Bila dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu fermentasi selama 10, 15 dan 20 hari
dengan menggunakan jenis mikrobia terbaik pada tahap I yaitu Phanerochaete chrysosporyum terlihat
bahwa fermentasi selama 20 hari merupakan perlakuan yang menurunkan kandungan lignin paling rendah

versi elektronik
yaitu 6,40 ± 0,12 %. Hal ini terjadi karena memang lignin yang terdapat di dalam kulit buah kakao
memang tinggi dan harus ada perlakuan khusus untuk menurunkan kandungan lignin tersebut. Dengan
semakin lama hari fermentasi terlihat bahwa penurunan kandungan lignin juga ikut menurun.
Hal ini sesuai dengan penelitian (Paul 1992; Limura, 1960) yang menyatakan bahwa jamur pendegradasi
lignin yang paling aktif adalah white-rot fungi seperti misalnya Phanerochaete chrysosporium dan
Coriolus versicoloryang mampu merombak hemisellulosa, sellulosa dan lignin dari limbah tanaman
menjadi CO2 dan H2O.
Kadar Air
Hasil rerata komposisi kimia air tercantum dalam tabel 2. Rerata ketiga perlakuan berturut-turut yaitu P0
= 77,52 ± 0,42 %, P1= 81,42 ± 0,09 %, dan P2= 84,35 ± 5,16 % menunjukkan hasil berbeda sangat
nyata (P<0,01).

versi elektronik
Bila dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu fermentasi selama 10, 15 dan 20 hari
dengan menggunakan jenis mikrobia terbaik pada tahap I yaitu Phanerochaete chrysosporyum terlihat
bahwa fermentasi selama 20 hari merupakan perlakuan yang paling tinggi kandungan airnya yaitu 84,35 ±
5,16 %. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas mikrobia dalam aktifitas di dalam fermentasi kulit buah
kakao yang dapat menghasilkan CO2 sehingga mengakibatkan kandungan air lebih meningkat.
Peningkatan kadar air ini disebabkan karena semakin lama waktu fermentasi aktivitas mikrobia semakin

57
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
meningkat sehingga kadar air yang dihasilkan akan semakin banyak. Hal ini disebabkan karena pada
proses fermentasi terjadi perombakan glukosa menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sehingga akan
meningkatkan kadar air pada bahan kering

versi elektronik
Protein Kasar
Hasil rerata komposisi kimia protein tercantum dalam tabel 2. Rerata ketiga perlakuan berturut-turut yaitu
P0 = 2,11 ± 0,06 %, P1= 2,44 ± 0,21 %, dan P2 = 1,94 ± 0,11 % menunjukkan hasil berbeda sangat
nyata (P<0,01).
Bila dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu fermentasi selama 10, 15 dan 20 hari
dengan menggunakan jenis mikrobia terbaik pada tahap I yaitu Phanerochaete chrysosporyum terlihat
bahwa fermentasi selama 10 dan 20 hari menunjukkan nilai protein yang lebih baik dibandingkan dengan
fermentasi selama 15 hari. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas mikrobia dalam aktifitas di dalam
fermentasi kulit buah kakao yang diharapkan akan dapat meningkatkan kandungan protein ternyata tidak
seperti yang diharapkan.
Walaupun terlihat berbeda tetapi kandungan protein yang dihasilkan dari fermentasi kulit buah kakao ini
masih relatif sangat rendah dalam menaikkan kandungan proteinnya. Hal ini karena memang kandungan

versi elektronik
protein dari kulit buah kakao yang rendah sehingga dengan penambahan mikrobia juga tidak bisa
meningkatkan kandungan protein kasarnya. Oleh karena itulah apabila ingin dipergunakan sebagai
ransum ruminansia perlu ditambahkan bahan pakan tertentu untuk bisa menaikkan kandungan protein
pakan.
Serat Kasar
Hasil rerata komposisi kimia serat kasar tercantum dalam tabel 2. Rerata ketiga perlakuan berturut-turut
yaitu P0 = 11,72 ± 0,19 %, P1= 9,65 ± 0,28 %, dan P2 = 8,47 ± 0,32 % menunjukkan hasil berbeda
sangat nyata (P<0,01).
Bila dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu fermentasi selama 10, 15 dan 20 hari
dengan menggunakan jenis mikrobia terbaik pada tahap I yaitu Phanerochaete chrysosporyum terlihat
bahwa fermentasi selama 20 hari merupakan perlakuan yang kandungan serat kasarnya paling rendah
yaitu 8,47 ± 0,32 %. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas mikrobia dalam aktifitas di dalam proses
fermentasi kulit buah kakao. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan mikrobia jenis

versi elektronik
Phanerochaete chrysosporyum pada proses fermentasi kulit buah kakao dapat menurunkan kandungan
serat kasar pada kulit buah kakao, sehingga apabila digunakan sebagai bahan pakan ternak dapat lebih
efisien dalam proses pencernaannya.
Semakin lama fermentasi yang dilakukan dapat menurunkan kandungan serat kasar dengan terjadinya
peruraian zat-zat dalam kulit buah kakao menjadi lebih sederhana. Serat kasar dapat menjadi sumber
nutrisi mikroba alternatif untuk proses fermentasi selain gula, pati, lemak dan lainnya. Serat kasar dapat
berbentuk selulosa murni, ataupun selulosa yang masih terbungkus dengan zat lain dalam bentuk lignin
(lignoselulosa), hemiselulosa dan lain-lain.
Lemak
Hasil analisis proksimat yang telah dilaksanakan untuk mengetahui kandungan lemak yang terkandung
dalam fermentasi kulit buah kakao dengan fermentasi selama 10, 15 dan 20 hari ternyata tidak dapat
menunjukkan angka atau tidak terdeteksi karena kandungan lemak yang sangat kecil.

versi elektronik
Abu
Hasil rerata komposisi kimia abu tercantum dalam tabel 2. Rerata ketiga perlakuan berturut-turut yaitu P0
= 2,76 ± 0,05 %, P1= 2,75 ± 0,17 %, dan P2 = 2,32 ± 0,13% menunjukkan hasil berbeda sangat nyata
(P<0,01).

58
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Bila dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu fermentasi selama 10, 15 dan 20 hari
dengan menggunakan jenis mikrobia terbaik pada tahap I yaitu Phanerochaete chrysosporyum terlihat
bahwa fermentasi selama 20 hari merupakan perlakuan yang kandungan abu paling rendah yaitu 2,32 ±
0,13 %. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas mikrobia dalam aktifitas di dalam proses fermentasi kulit

versi elektronik
buah kakao. Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin lama waktu fermentasi dengan penambahan
mikrobia jenis Phanerochaete chrysosporyum pada proses fermentasi kulit buah kakao dapat menurunkan
kandungan abu pada kulit buah kakao. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sinurat et al., 2003), yang
menyatakan bahwa secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya mengandung senyawa yang
lebih sederhana dan mudah dicerna dari pada bahan asalnya sehingga dapat meningkatkan nilai gizinya.

KESIMPULAN
Penambahan mikrobia jenis Phanerochaete chrysosporyum dapat menurunkan kandungan lignin pada
proses fermentasi kulit buah kakao 5,43 ± 0,20 %. Waktu optimasi terbaik untuk menurunkan kandungan
lignin pada fermentasi kulit buah kakao adalah 20 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M DIKTI atas bantuan dana penelitian yang diberikan

versi elektronik
melalui skim Penelitian Dosen Pemula Tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA
Addleman, K. & F. Archibald. 1993. Kraft Pulp Bleaching and Delignification by Dikaryons and
Monokaryon of Trametes versicolor. Applied and Environmental Microbiology,59(1): 266-273.
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. 15th Ed. Association of Official Analytical Chemist,
Washington, DC, USA.
Amirroenas, D. E. 1990. Mutu ransum berbentuk pellet dengan bahan serat biomassa pod coklat
(Theobroma cacao L,) untuk pertumbuhan sapi perah jantan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anonim, 2001. Sosialisasi dan Diseminasi Teknologi Pengkajian Ternak dengan Pemanfaatan Limbah
Kakao. Instalasi Pengkajian Penerapan Teknologi Pertanian (IPPTP). Makassar.

versi elektronik
BPS. 2011. Produksi perkebunan besar menurut jenis tanaman, Indonesia (ton), 1995 – 2010. Available at
http://www.bps.go.id/. Accession date 27rd January 2013.
Buckle. K.A, R.A. Edward, C.H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Adiono
dan Hari Purwono. Universitas Indonesia. Jakarta
Christensen, R. 1996. Analysis of variance, Design and Regession : Applied Statistical Methods.
Chapman and Hall. London
Dozoretz, C.G., N. Rothschild, and Y. Hadar. 1993. Over production of lignin Peroxidase by
Phanerochaete chrysosporium BKM-F1767. Applied and Environmetal Microbiology, 59 (6) :
1919-1926
Figueira, A., J. Janick and J.N BeMiller. 1993. New Products from Theobroma cacao: Seed Pulp and Pod
Gum. In: Janick, J and J. E. Simon (Eds). New Crops. Wiley. New York.
Goenadi, D.H. dan A.A. Prowoto. 2007. Kulit buah kakao sebagi bahan pakan ternak. Makalah Seminar

versi elektronik
dan Ekspose Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Ternak. Bogor, 22 – 23 Mei 2007. KP Muara,
Bogor.
Guntoro, S. 2008. Membuat Pakan Ternak dari Limbah Perkebunan. Cetakan Pertama. PT Agromedia
Pustaka, Jakarta.

59
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Haryati, T. dan B. Mardjosuwito. 1984. Pemanfaatan Limbah Cokelat sebagai Bahan Dasar Pembuatan
Pektin, Menara Perkebunan. Balai Penelitian Perkebunan, Bogor.
Laconi, E.B. 1998. Peningkatan Mutu Pod Cacao Melalui Amoniasi dengan Urea dan Biofermentasi

versi elektronik
dengan Phanerochaete chrysosporium serta Penjabarannya ke dalam Formulasi Ransum
Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Limura ,Y. P . Hartikainen , K . Tatsumi. 1996 . Dechlorination of tetrachloroguaiacol by laccase of white
rot basidiomycete Coriolus versicolorAppl. Microbiol. Biotechnol. 45 : 434-439
Nasrullah dan A. Ella, 1993. Limbah Pertanian dan Prospeknya Sebagai Sumber Pakan Ternak di
Sulawesi Selatan. Makalah. Ujung Pandang
Paul, EA. 1992. Organic Matter Decompositionn. Encyclopedia of Microbiology, Vol.3. Academic Press.
Inc
Sinurat, A.P. 2003. Pemanfaatan Lumpur Sawit untuk Bahan Pakan Unggas. Wartoza. Buletin Ilmu
Peternakan Indonesia. Vol. 13 (2) 39-47. Judul; Pemanfaatan Lumpur Sawit Sebagai Pakan
Unggas.

versi elektronik
Smith, O.B. 2009. Solution to the practical problems of feeding cocoa-pods to
ruminants.http://www.ilri.or/InfoServ/Webpub/Fulldocs/X5490e/x5490e0w.htm. (29 Januari
2013)
Srinivasan, C, T.M.D. Souza, K. Boominathan, and C.A. Reddy. 1995. Demonstration of Laccase in the
White Rot Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Aplied and Environmental
Microbiology, 61 (2): 4274-4277.
Wong, H.K. and O. Abu Hasan. 1988. Nutritive value and rumen fermentation profile of sheep fed of
fresh or dried cocoa pod husk based diets. J. Mardi Res. 16(2): 147 – 154. Jawa Barat.

versi elektronik

versi elektronik 60
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH PENAMBAHAN DEDAK PADI DAN INOKULUM BAL DARI CAIRAN RUMEN
SAPI PO TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI SILASE RUMPUT GAJAH (Pennisetum
purpureum)

versi elektronik
Ismail Jasin
Fakultas Peternakan Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman GUPPI
JL. Tentara Pelajar No,13 Ungaran Telp. 024- 692380 Fax.024-76911689
Email: ismail_ jasin@ymail.com

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh penambahan dedak padi sebagai sumber
karbohidrat dan inokulum bakteri asam laktat (BAL) diinkubasi dari cairan rumen sapi PO pada kualitas
rumput gajah (Pennisetum purpurium). Penelitian ini dilakukan di Desa Ujung-Ujung Kecamatan
Pabelan Kabupaten Semarang. Analisa pakan dilakukan di laboratorium Biokimia Nutrisi Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan dengan penambahan tingkat dedak padi dan BAL pada
rumput gajah 0, 1, 3, dan 5% (w/w) dan diinkubasi selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penambahan 1 – 5% dedak padi secara significan (P< 0,05) mempengaruhi Kandungan asam laktat, ph,

versi elektronik
bahan kering dan kandungan bahan organic dibandingkan dengan tampa perlakuan (kontrol).
Meningkatnya level dedak padi secara significan (P<0,05)meningkatkan kadar asam laktat, bahan
organic,penurunan ph, dan, bahan kering dari silase rumput gajah. Namun diantara kelompok perlakuan
dari 1,3 dan 5% dedak padi tidak significan (P<0,05) pada kandungan asam laktat, pH , bahan kering
dan kandungan bahan organic dari silase rumput gajah
Kata kunci: Bakteri asam laktat, dedak padi, rumput gajah, silase

ABSTRACT
The objective of this study was to evaluate the effect of rice bran as carbohydrate source and
inoculums of lactic acid bacteria (LAB) incubated from PO catles rumen fluid on the quality of
nipier grass (pennicetum purpurium ) silages. The research was conducted at Ujung ujung village
Pabelan District Semarang Regency . Feed analysis was carried out in Laboratory Biochemical
Nutrition , Animals Feed Science, Animal Science Faculty, Gadjah Mada University .This study was
assignet into Completely Randomized Design wth 4 treatment s and 3 replicated. The treatments

versi elektronik
were addition of rice bran and LAB level into the Nipier grass; 0, 1, 3, and 5% (w/w) and incubated for
30 days . The resulds showed that the addition of 1 – 5% rice bran significantly affected (P<0,05)
lactic acid conten , pH, dry matter and organic matter conten than without treatment ( control)
increased levels , adecrease in pH and conten of dry matter and organic matter from Nipier grass silage.
Increasing level of rice bran significantly (P<0,05) increased lactic acid content, decreased ,pH dry
matter, and organic matter concentration of Napier grass silage. However , among the treatment group s
of 1, 3, and 5% of rice bran was not significant (P<0,05) different on the lactic acid content, pH,dry
matter, and organic matter
Key words : Lactic acid bacteria, rice bran, napier grass, rumen, silage

PENDAHULUAN
Pada musim hujan,dijumpai hijauan makanan ternak yang berlimpah sehingga upaya pengawetan hijauan
segar Yang disebut silase diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan

versi elektronik
kekurangan hijauan segar pada musim kesulitan pakan..Selain itu, pembuatan silase dimaksudkan untuk
mempertahankan kualitas atau meningkatkan kualitas hijauan makanan ternak,Hal ini sangat penting
karena produktivitas ternak merupakan fungsi dari ketersediaan pakan dan kualitas (Leng,1991)..Prinsip
pembuatan silase adalah fermentasi hijaun oleh mikroba yang banyak mengandung asam laktat. Mikroba
yang paling dominan adalah dari golongan bacteria asam laktat homofermentatif yang mampu melakukan
fermentasi dalam keadaan aerob sampai anaerob.Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi

61
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
akan berperan sebagai zat pengawet sehingga dapat menghindarkan pertumbuhan mikroorganisme
pembusuk Keberhasilan pembuatan silase dipengaruhi oleh kadar air hijauan, kadar gula terlarut, jumlah
bakteri penghasil laktat,dan kadar oksigen..Kekurangan kadar gula terlarut dalam proses ensilase
menyebabkan bakteri asam laktat kekurangan asupan energy untuk melakukan aktivitasnya, sehingga

versi elektronik
bakteri asam laktat akan menggunakan zat-zat lain yang terkandung dalam hijauan yang memungkinkan
digunakan sebagai sumber energy dan menyebabkan berkurangnya nilai nutrisi hijauan tersebut. Untuk
menjamin ketersediaan gula terlarut yang menjamin keberhasilan proses ensilase perlu dilakukan
penambahan bahan aditif. Aditif dari sumber karbohidrat yang dapat dimanfaatkan diantaranya adalah
dedak padi.
Penambahan dedak padi sebagai sumber karbohidrat diharapkan dapat mudah larut dan dapat dengan
cepat dimanfaatkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL) sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya .Kandungan
nutrisi dedak padi pabrik kualitas nomor satu adalah protein kasar 11,9%,energy metabolis 2200kkal/kg,
lemak 12.1%, serat kasar 10,0%, fosfor 1,3%, kalsium 0,1% (Hartadi et al., 1993).
Bakteri asam laktat secara alami ada ditanaman sehingga dapat secara otomatif berperan pada saat
fermentasi,tetapi untuk mengoptimalkan fase ensilase dianjurkan untuk melakukan penambhan aditif
seperti inokulum bakteri asam laktat dan aditif lainnya untuk menjamin berlangsungnya fermentasi asam

versi elektronik
laktat yang sempurna, Inokulum bakteri asam laktat merupaka aditif yang populer di antara aditif
lainnya seperti asam , enzim dan sumber karbohidrat (Bolsen et al., 1995).Bahkan inokulum silase ini
dapat juga berpeluang sebagai probiotik karena sifatnya dapat bertahan hidup sampai bagian lambung
utama dari ruminansia yaitu rumen (Weimberg et al., 2004).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penambahan dedak padi dan inokulum bakteri asam laktat terhadap kandungan nutrisi silase
rumput gadjah (Pennisetum purpureum)

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ujung-ujung Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Analisa
kandungan zat makanan dilakukan di Laboratorium Biokimia Nutrisi Ikmu Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput gajah yang ditanam di kebun kelompok tani
ternak Mugi Rahayu Desa Ujung-ujung Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, dedak padi yang
digunakan berasal dari penggilingan padi Sido Makmur Desa Susukan Kecamatan Ungaran Timur

versi elektronik
Kabupaten Semarang, inokulum bakteri asam laktat yang digunakan berasal dari isolasi dan identifikasi
bakteri asam laktat dari cairan rumen Sapi PO (Jasin et al, 2012)
Penelitian ini menggunakan alat-alat yang terdiri dari: 3 buah arit pencacah rumput gajah, 1 buah
timbangan kapasitas 5 kg, kantong plastic sebagai silo
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 macam perlakuan dan
diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan yang diberikan yaitu: T0 : Silase rumput gajah tampa penambahan
dedak padi dan inokulum bakteri asam laktat (Kontrol), T1: Silase rumput gajah dengan penambahan
dedak padi 1% dan inokulum bakteri asam laktat dari cairan rumen sapi PO 106 cfu/g hijauan, T2: Silase
rumput gajah dengan penambahan dedak padi 3% dan inokulum bakteri asam laktat dari cairan rumen
sapi PO 106 cfu/g hijauan, dan T3: Silase rumput gajah dengan penambahan dedak padi 5% dan
inokulum bakteri asam laktat dari cairan rumen sapi PO 106 cfu/g hijaun

versi elektronik
Pengolahan data .Data diolah dan dianalisis dan dianalisis dengan Analisis ragam (ANOVA) dan
pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Kusriningrum, 2010)
Pembuatan Silase

62
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Silase dibuat dari rumput gajah yang dilayukan selama 24 jam kemudian dipotong-potong menjadi 3- 5
cm. Setlah itu dicampur merata dengan dedak padi masing-masing perlakuan (0%, 1%, 3%, 5%) dan
ditambahkan inokulum bakteri asam laktat masing-masing perlakuan sebanyak 0,1% v/w atau 106 cfu/g
hijauan. Kemudian kedalam kantong plastic sebagai silo. Setelah itu diinkubasi selama 30 hari

versi elektronik
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kandungan asam laktat diukur dengan menggunakan
metode Cappucino dan Natalie (1991), dan derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan metode
Dairy One (2007)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati ( kandungan asam laktat, dan derajat keasaman
(pH) tertera pada Tabel 1.
TABEL 1. Rata-rata Kandungan asam laktat , dan Derajat keasaman (pH) satiap perlakuan perlakuan
selama penelitian.
Parameter Perlakuan
____________________________________________________________________________________

versi elektronik
T0 T1 T2 T3
a b b
Kandunga asam laktat 92,25 103,02 105,76 107,92b
pH 4,25 a 3,99 b 3,91 b
3,89 b
____________________________________________________________________________________
ab
Keterangan: superskrip yang sama dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kandungan Asam laktat


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan dedak padi memberikan pengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kandungan asam laktat silase rumput gajah.Semakin tinggi level penambahan level
dedak padi maka semakin tinggi pula rata-rata kandungan asam laktat silase rumput gajah. Hal ini diduga
karena penambahan dedak padi sebagai sumber karbohidrat terlarut sehingga merangsang terjadinya

versi elektronik
fermentasi berjalan baik dan nutrisi yang cukup bagi perkembangan bakteri asam laktat untuk
menghasilkan asam laktat.
Kandungan asam laktat silase rumput gajah yang dihasilkan dengan penambahan dedak padi nyata
lebih tinggi dibandingkan kontrol dan pemberian dedak padi sebanyak 5% menghasilkan kandungan
asam laktat teringgi yaitu mencapai 107.92 g.kg-1BK akan tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata dibandingkan dengan penambahan dedak padi 1 dan 3%
Derajat Keasaman (pH)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan dedak padi memberikan pengaruh yang nyata
(P<0,05) terhadap ph silase rumput gajah. pH silase yang tidak mendapatkan dedak padi (perlakuan
TO) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapat tambahan dedak padi sedangkan antara
perlakuan T1, T2, T3 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Semakian tinggi penambahan dedak
padi maka semakin rendah rata-rata pH silase rumput gajah. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan

versi elektronik
dedak padi pada proses ensilase rumput gajah mampu memberikan kondisi yang layak bagi
perkembangan bakteri pembentuk asam laktat sehingga pH menjadi cepat turun. Hal ini sejalan dengan
pendapat Perry dkk (2003), yang menyatakan bahwa penambahan bahan kaya akan karbohidrat dapat
mempercepat penurunan ph silase karena karbohidrat merupakan energy bagi bakteri pembentuk asam
laktat.

63
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Rata-rata derajat keasaman (pH) silase rumput gajah berkisar antara 3,89 sampai dengan 3,99
menghasilkan silase yang baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Skerman dan Riiveros (1990), yang
menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai nilai derajt keasaman <4,2. Rendahnya nilai derajat
keasaman (pH) silase rumput gajah yang dihasilkan menunjukkan bahwa asam laktat dan asam organic

versi elektronik
lain yang dihasilkan cukup banyak, sehingga mampu menurunkan derajat keasaman silase
Kandungan Bahan kering silase
Pengaruh perlakuan terhadap kandungan bahan kering silase rumput gajah dengan penambahan dedak
padi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.Kandungan bahan kering, dan bahan organic setiap perlakuan selama penelitian
Parameter Perlakuan
____________________________________________________________________________________
T0 T1 T2 T3
a a a
Bahan Kering (%BK) 25.15 24.37 23,85 23,05a
Bahan Organik (%BO) 78.56b 77.91b 78.87b 79,93

versi elektronik
_____________________________________________________________________________________
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan dedak padi tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap kandungan bahan kering silase rumput gajah, namun terlihat kecenderungan penurunan
kandungan bahan kering. Bahan kering yang dihasilkan berkisar antara 23,05% - 24,37%. Penambahan
dedak padi pada pembuatan silase rumput gajah dapat meningkatkan kemampuan bakteri asam laktat
memanfaatkan karbohidrat terlarut sehingga banyak kadar air yang dilepaskan dari rumput atau dengan
adanya perbedaan antara adhesi dan kohesi sehingga dengan semakin banyak sumber karbohidrat yang
ditambahkan akan menurunkan kadar bahan kering secara perlahan. Menurut Hall (1970) perkembangan
mikrorganisme dipengaruhi oleh suhu dan air. Kandungan air yang tinggi pada bahan merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan berbagai mikroba, dengan banyaknya populasi mikroba maka akan lebih
banyak memecah bagian makanan sebagai sumber energy seperti karbohidrat, protein, dan lemak.
Keadaan ini akan menurunkan kadar bahan kering dari bahan pakan. Suhardjo et al (1986) menyatakan

versi elektronik
bahwa selama proses penyimpanan, penurunan bahan kering dapat terjadi akibat aktifitas enzim,
mikroorganisme, proses oksidasi dengan membentuk uap air sehingga kandunag air meningkat
Kandungan bahan organik silase
Pengaruh perlakuan terhadap bahan organik silase rumput gajah dengan penambahan dedak padi disajikan
pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan dedak padi tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap kandungan bahan organik pada silase rumput gajah. Kandungan bahan organik
yang dihasilkan silase rumput gajah berkisar antara 77,91% – 79.93%. Kandungan bahan organik yang
dihasilkan silase rumput gajah dengan penambahan karbohidrat berbeda dengan yang dilaporkan peneliti
sebelumnya yang mendapatkan terjadinya peningkatan kandungan bahan organik silase yang dihasilkan.
Perbedaan ini diduga karena pada penambahan dedak padi sampai 5% masih belum berpengaruh pada
kandungan bahan organik silase rumput gajah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Filya
(2003) yang menyatakan bahwa penggunaan inokulum L.buchneri dikombinasikan dengan L.plantarum
dapat meningkatkan stabilitas aerob pada silase dan penghambatan aktifitas yeast, penurunan ph, dan

versi elektronik
ammonia-N dan kehilangan selama fermentasi akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap kandungan bahan
kering, bahan organik, dan NDF silase.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan aditif dedak padi dan inokulum bakteri
asam laktat dari cairan rumen sapi PO nyata mempengaruhi kenaikan kandungan asam laktat, dan

64
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
penurunan pH , tetapi tidak mempengaruhi kandungan bahan kering dan bahan organic silase rumput
gajah

UCAPAN TERIMAKASIH

versi elektronik
Penulis mengucapkan terim kasih kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah yang telah membiayai
penelituan ini melalui Kegiatan Program Penerapan dan Pengembangan Kuliah Kerja Nyata desa Vokasi
Provinsi Jawa Tengah 2012

DAFTAR PUSTAKA
Bolsen, K.K., Ashbell, M.G and J.M. Wilkinnson.1995.Silage Additives in Biotechnology in Animal
Feeding R.J.Wallace & A. Chesson (Eds.) VCH, Weinheim. Cappucino, J. G., and Natalie, S.
2001.
Microbiology : A Laboratory Manual Rockland Community College State University of New York Dairy
One., 2007.
Dairy One Forage Lab Analytical Procedures (http://www. Dairyone.com Forage/Procedures
/default.htm. [Agustus 2013] Filya, I., 2003.

versi elektronik
The Effect of Lactobacillus buchneri and Lactobacillus plantarum on The Fementation, Aerobic
stability, and Ruminal Degradability of Low Dry Matter Corn and Sorgum Silages. J.Dairi Sci .
86:3575-3581 Hall, DW., 1970.
Handling and Storage of Food in Tropical and Subtropical Areas, FAO, Rome Hartadi, H., S,
Reksohadiprodjo, A.D. Tilman.1993.
Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke-3. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jasin, I.,
Sugiyono, dan Sriwahyuni, 2012.
Isolation and Identification of Acid Lactic Bacteria from PO Cattles Gastrric Fluid As A potential
Candidate of Biopreservative. Preceding International seminar 4 th - 6th September 2013.
Faculty of Veterinary Medical Airlangga University Surabaya. Kusriningrum, 2010. Perancanagan
Percobaan Cetakan kedua. Airlangga University Press. Surabaya Leng, R.A.1991.

versi elektronik
Aplication of biotechnology to nutrition of animals in developing countries. FAO Animal Production and
Health Paper no 90. Roma Italy. Perry, T. W., Cullison, A. E., Lowerey, R.S.. 2003.
Feeds and Feeding, 3rd Ed, Practice Hall of India. New Delhi, India Suhardjo, H, L.L., Brady, L. D, and
Judya, D.1986.
Pangan, gizi dan Pertanian. UI Press, Jakara. Skerman, P. J., Riveros, F. 1990.
Tropical Grasses. FAO Plant Production Series (23). Food and Agriculture of The United Nation,
Roma. Wein berg, Z.G., R.E, Muck, P.J. Weimer, Y. Chen, & m. Gamburg. 2004.
Lactic Acid Bacteria Used In Inoculants For Silage As Probiotics For Ruminants. Applied Biochemistry
And Biotechnology. 118:1-10

versi elektronik 65
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
UTILITAS PROTEIN PADA ITIK DIBERI PROBIOTIK DENGAN LEVEL PROTEIN
RANSUM BERBEDA
Istna Mangisah1), Nyoman Suthama2) dan Hamam Burhanudin Putra3)

versi elektronik
1)
Universitas Diponegoro; email: istnamangisah@yahoo.co.id
2
Universitas Diponegoro; email: nsuthama@gmail.com
3
Universitas Diponegoro; email: hamam.burhanudin999@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan mengevaluasi pengaruh kombinasi level protein dan probiotik bakteri asam laktat
terhadap utilitas protein dan pertumbuhan pada itik. Penelitian menggunakan 150 ekor itik Magelang
jantan umur 2 minggu (bobot badan awal 191,63 ± 3,65 g) yang dialokasikan dalam rancangan acak
lengkap (RAL) pola faktorial 2x3 dengan 6 perlakuan 5 ulangan. Faktor pertama adalah level protein
ransum yaitu 18% (T1) dan 16% (T2). Faktor kedua adalah level penambahan probiotik yaitu 0% (V0),
1,5% (V1) dan 2% (V2). Data dianalisis varians dan dilanjutkan dengan uji wilayah ganda Duncan.
Parameter yang diukur adalah konsumsi ransum, konsumsi protein, retensi protein dan pertambahan bobot
badan. Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi (P<0,05) antara level protein ransum dan probiotik
terhadap konsumsi ransum, konsumsi protein, retensi protein dan pertambahan bobot badan itik. Retensi

versi elektronik
protein dan pertambahan bobot badan yang tertinggi dicapai dengan kombinasi 16% protein ransum dan
2% probiotik.
Kata kunci: protein ransum, probiotik, utilitas protein, itik

ABSTRACT
The objective of this research was to evaluate the combining effect of additional probiotic and dietary
protein level on feed and protein consumptions, protein retention, and growth of duck. One hundred and
fifty 2 weeks male duck (initial body weight was 191.63 ± 3.65 g), were allocated into a completely
randomized design of 2 x 3 factorial pattern with 6 treatments and 5 replications. The first factor was
levels protein, namely18% (T1) and16% (T2). The second factor was the levels of additional probiotic,
namely none (V1), 1.5 ml (V2) and 3 ml (V3). Data were subjected to analysis of variance and when the
effect of treatment was significant, it was continued to Duncan multiple range test. Results showed that all
treatments showed interaction of addition of probiotic and protein level on duck ration on protein utility
and duck growth. It can be concluded that the highest protein retention and duck growth is produced by

versi elektronik
the combination of 16% dietary protein and 2% additional probiotic.
Keywords: utility, protein, probiotic, ransum, duck

PENDAHULUAN
Itik merupakan komoditas ternak unggas lokal yang memiliki peranan penting dalam penyediaan daging
dan telur selain ayam ataupun unggas lain. Perkembangan populasi ternak itik memberikan kontribusi
sangat berarti bagi penyediaan produk pangan hewani. Populasi pada tahun 2012 mencapai 4.348.752.000
ekor dengan produksi daging sebesar 2.818.000 ton dan telur 25.620.000 ton (Deptan, 2013). Jawa
Tengah mempunyai kekayaan plasma nutfah diantaranya itik Tegal dan itik Magelang dengan total
populasi pada tahun 2012 mencapai 5.713.560 ekor dan mampu menghasilkan telur sebanyak 19.641.465
butir dan produksi daging sebesar 3.025.585 kg. Namun, kemampuan produksi ternak itik seperti tersebut
diatas belum mampu memenuhi permintaan ang tergolong tinggi.. Oleh sebab itu, guna memenuhi
permintaan terhadap produk asal itik (daging dan telur) maka perlu dilakukan upaya pengembangan usaha

versi elektronik
ternak itik yang lebih efisien. Usaha peternakan itik saat ini masih terkendala oleh faktor pakan dan
ketersediaan bibit. Kebutuhan bahan baku pakan untuk unggas (ayam dan itik) sebagian masih
tergantung impor, terutama jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan. Impor jagung pada tahun 2012
mencapai 1,7 juta ton dengan nilai US$ 501,9 juta (www.investor.co.id). Impor bungkil kedelai 2,5 juta
ton dan tepung ikan sebanyak 75.000 ton pada tahun 2012 (www.kkp.go.id.). Tingginya harga bahan
baku impor mempunyai dampak sangat kuat terhadap mahalnya harga pakan ternak dalam negeri. Upaya

66
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
untuk menekan biaya produksi dapat dilakukan melalui manipulasi pakan dengan menurunkan kadar
protein (pakan sub optimal).
Penurunan kadar protein pakan seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap kemampuan produksi

versi elektronik
atau pertumbuhan karena berkurangmya asupan nutrien (protein). Oleh karena itu, perlu diupayakan
langkah alternatif untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan asupan protein atau paling tidak
mempertahanakan utilitas nutrien tetap stabil. Cara untuk mencapai tujuan termaksud adalah melalui
perbaikan kondisi saluran pencernaan (usus) dengan pemberian probiotik. Probiotik dapat mempengaruhi
mikroflora dalam usus menjadi lebih seimbang yang pada akhirnya berdampak pada proses perbaikan
pencernaan. Hakim (2005), menyatakan bahwa Lactobacillus sp. dapat menghasilkan senyawa
antimikroba seperti bacteriosin dan laktosidin sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
patogen seperti Salmonella dan E. coli. Peningkatan proses kecernaan (protein) diharapkan dapat
meningkatkan utilitas protein untuk tubuh, meskipun dengan pakan sub optimal. Peningkatan
pemanfaatan protein dalam tubuh tercermin dari semakin banyak protein yang tertinggal dalam tubuh
(retensi protein) yang dapat memacu pertumbuhan ternak dalam bentuk pertambahan bobot badan.
Penurunan level protein apabila dikombinasi dengan pemberian probiotik, diharapkan dapat
memaksimalkan pemanfaatan protein pakan, sehingga mampu meningkatkan pertambahan bobot badan
ternak.

versi elektronik
Penelitian perlu dilakukan dalam upaya untuk mengkaji keterkaitan antara level protein pakan dan
probiotik dalam hubungannya dengan pemanfaatan protein bagi ternak itik, khususnya itik Magelang
jantan. Penelitian dapat memberikan informasi tentang kombinasi level protein dan probiotik yang tepat
dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak itik.

METODE PENELITIAN
Materi dalam penelitian ini adalah itik Magelang jantan umur 2 minggu sebanyak 150 ekor dengan bobot
awal rata-rata 191,63 ± 3,65 g. Ransum yang tersusun atas dedak kasar, jagung kuning, nasi kering,
bungkil kedelai, tepung ikan, premik dan probiotik “super starter” produksi Kurnia Makmur Veteriner
dengan populasi bakteri asam laktat (BAL) 7,55 x 106 CFU/ml. Penelitian menggunakan dua macam
ransum yaitu ransum T1 dengan kandungan protein kasar 18%, dan T2 kandungan protein kasar 16%,
dengan susunan pada Tabel 1.
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2x3 dengan 6 perlakuan 5 ulangan.

versi elektronik
Faktor pertama adalah level protein ransum yaitu protein kasar 18% (T1) dan protein kasar 16% (T2).
Faktor kedua adalah level penambahan probiotik yaitu 0% (V0), 1,5% (V1) dan 2% (V2) dari ransum yang
diberikan. Data hasil penelitian dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji wilayah ganda Duncan pada
taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993).
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu persiapan dan koleksi data. Tahap persiapan
meliputi persiapan kandang, pengadaaan itik dan ransum, serta adaptasi ternak selama 1 minggu. Koleksi
data dilakukan selama 1 bulan. Data yang diukur meliputi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan
dan pengukuran retensi protein dengan metode total koleksi. Total koleksi menggunakan 42 ekor itik.
Itik tersebut diambil secara acak dari tiap unit percobaan masing-masing 1 ekor untuk pengukuran retensi
protein dan 2 ekor tiap perlakuan untuk pengukuran N- endogenus. Total koleksi dilakukan selama tiga
hari menggunakan ransum berindikator Fe2O3 sebanyak 0,3% dari total ransum.
Parameter yang diukur meliputi : konsumsi ransum, konsumsi protein, retensi protein dan pertambahan

versi elektronik
bobot badan. Konsumsi ransum diperoleh dari penimbangan jumlah pakan yang diberikan dikurangi
dengan pakan sisa pada hari berikutnya. Sedangkan konsumsi protein diperoleh dari konsumsi ransum
dikalikan dengan kadar protein ransum. Pertambahan bobot badan (PBB) dihitung dengan menimbang
itik akhir penelitian dikurangi dengan bobot badan itik pada awal penelitian. Sedangkan retensi protein
dihitung dari retensi N yang dihitung dengan rumus menurut (Sibbald dan Wolynetz, 1984), kemudian
dikalikan 6,25.

67
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Retensi N (g) = Konsumsi N –(N ekskreta – N endogenus)
Retensi Protein = Retensi N x 6,25
Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Ransum Perlakuan

versi elektronik
T1 T2
-------------------------- (%) ---------------------------
Dedak kasar 38 40,5
Jagung 19 22,5
Tepung ikan 10 7,5
Bungkil kedelai 17 12,5
Nasi kering 15 16
Premiks 1 1
Jumlah 100 100
Kandungan nutriena
------------------------- (%) --------------------------
Protein kasar 18,22 16,00
Lemak kasar 3,26 3,37

versi elektronik
Serat kasar 10,80 11,35
Kalsiumb 0,92 0,86
Fosforb 0,57 0,50
Energi metabolis (Kkal/kg)c 2928,90 2945, 53

Keterangan : aDianalisis di Laboratorium Uji Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM
b
Dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian UNDIP
c
Perhitungan berdasarkan rumus Balton (1967) yang dikutip oleh Siswohardjono (1982)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum itik terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan adanya
interaksi (P<0,05) antara level protein ransum dan probiotik yang berbeda terhadap konsumsi ransum.

versi elektronik
Level protein ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, namun level
probiotik yang diberikan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum.
Pemberian level probiotik 1,5% dan 2% pada ransum dengan kadar protein ransum 18% menunjukkan
konsumsi ransum yang sama dan keduanya lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan probiotik.
Begitu pula dengan pemberian 2% probiotik pada ransum dengan protein 16%, sedangkan pemberian
probiotik 1,5% pada ransum dengan protein 16% tidak memberikan hasil yang berbeda. Ransum dengan
protein 18% lebih banyak menyediakan substrat protein dari pada protein 16%. Keadaan ini dikombinasi
dengan efek pemberian probiotik yang dapat memperbaiki proses pencernaan sehingga penyerapan
nutrien meningkat dan pada akhirnya laju pengosongan usus lebih cepat. Hasil penelitian Mangisah et al.
(2009) menunjukkan bahwa penambahan starbio pada ransum itik berserat kasar tinggi (10% dan 15%)
dapat meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan menurunkan konversi ransum.
Absorbsi nutrien yang cepat dapat merangsang pusat lapar yang ada di hipothalamus melalui syaraf
otonom yang banyak dijumpai di permukaan usus. Sensasi lapar dipengaruhi oleh suatu hormon yang
dikenal dengan nama leptin yang dihasilkan oleh adiposa dan disekresikan ke dalam darah. Leptin

versi elektronik
kemudian memberikan pesan ke hipotalamus dan dilanjutkan ke organ target (duodenum) untuk
mensekresikan hormon kolesistokinin (CCK). Hormon CCK berfungsi untuk menstimulasi sekresi
pankreas dan empedu, sebagai proses regulasi pengosongan lambung sehingga mempengaruhi nafsu
makan (Hidayat et al., 2010).

68
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 2. Pengaruh Level Protein dan Probiotik terhadap Konsumsi Ransum Itik
Level protein Level probiotik (V)
(T) 0% (V0) 1,5% (V1) 2% (V2) Rerata

versi elektronik
---------------------- (g/ekor/hari) ---------------------------
18% (T1) 58,98b 67,76a 66,98a 64,57
16% (T2) 59,74b 62,26b 68,15a 63,38
Rerata 59,36b 65,01a 67,57a 63,98
Superskrip yang bebeda pada nilai rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Level probiotik 1,5% dan 2% (V1 dan V2) dalam ransum menghasilkan konsumsi yang sama dan nyata
lebih tinggi (P<0,05) dibanding tanpa probiotik (V0). Hal ini menyebabkan konsumsi protein yang juga
lebih tinggi pada itik yang diberi probiotik (Tabel 3). Penurunan pH terjadi karena terbentuk hasil
metabolit mikroorganisme probiotik. Kondisi asam dalam saluran pencernaan yang dihasilkan oleh
mikroorganisme probiotik menyebabkan mikroorganisme patogen sulit berkembang yang akhirnya

versi elektronik
penyerapan nutrien (protein) dalam usus meningkat. Menurut Wahyono (2002) bahwa pemberian
probiotik mampu menurunkan pH saluran pencernaan sehingga dapat menghambat bakteri patogen yang
berakibat pada peningkatan penyerapan dan pemanfaatan nutrien menjadi lebih baik. Kompiang (2009)
melaporkan bahwa probiotik dapat mempengaruhi densitas dan panjang villi pada usus, luas permukaan
usus untuk menyerap nutrien lebih luas sehingga meningkatkan jumlah konsumsi ransum.
Berdasarkan uji wilayah ganda Duncan menunjukkan bahwa konsumsi protein pada T1 (PK 18%) nyata
lebih tinggi dibandingkan dengan T2 (PK 16%). Berhubung kandungan protein pada perlakuan T1 lebih
tinggi dibandingkan T2 dengan konsumsi ransum yang sama sehingga protein yang dikonsumsi menjadi
lebih banyak. Scott et al. (1982) menyatakan bahwa kadar protein ransum dapat berpengaruh nyata
terhadap konsumsi protein, dengan semakin tinggi protein ransum maka konsumsi protein semakin tinggi
pula.
Tabel 3. Rerata Konsumsi Protein pada Itik Magelang Jantan

versi elektronik
Level probiotik (V)
Level protein (T)
0% (V0) 1,5% (V1) 2% (V2) Rerata
---------------------- (g/ekor/hari) ---------------------------
18% (T1) 10,75b 12,35a 12,56a 11,86a
16% (T2) 9,56c 9,96c 10,90b 10,14b
Rerata 10,15b 11,15a 11,73a 10,95
Superskrip yang bebeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Pemberian probiotik 1,5% dan 2% menghasilkan konsumsi protein yang sama, tetapi nyata lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan tanpa pemberian probiotik (V0). Pada ransum dengan level protein 16%, efek
probiotik nyata terlihat pada level 2% sedangkan pada level probiotik 1,5% belum mampu meningkatkan
konsumsi protein. Sedangkan pada ransum dengan level protein 18% penambahan probiotik sebanyak

versi elektronik
1,5% sudah mampu meningkatkan konsumsi protein. Fenomena ini dimungkinkan karena peranan
bakteri asam laktat (BAL) yang terkandung dalam probiotik “Super Starter” yang dapat menghambat
kolonisasi bakteri patogen. Dengan terhambatnya kolonisasi bakteri pathogen, maka bakteri baik yang
menguntungkan akan berkembang dan berpengaruh terhadap perbaikan proses pencernaan. Menurut
Gunawan dan Sundari (2003), probiotik dapat menyeimbangkan populasi bakteri dalam usus halus
dengan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan serta menghasilkan asam laktat di dalam

69
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
duodenum, ileum dan caecum. Semakin banyak itik mengkonsumsi ransum dan didukung oleh tingginya
kandungan protein pada perlakuan T1 (18%) menyebabkan konsumsi protein pada T1V1 dan T1V2 lebih
tinggi dibandingkan dengan yang lain, namun tidak demikian pada perlakuan T2V2 diperoleh hasil
konsumsi protein sama dengan T1V0. Walaupun ransum yang dikonsumsi memiliki kandungan protein

versi elektronik
lebih rendah (16%), tetapi dengan bantuan probiotik menyebabkan konsumsi ransum meningkat begitu
pula konsumsi protein.
Retensi Protein
Nilai retensi nitrogen pada itik Magelang jantan yang mendapat ransum dengan level protein dan
probiotik berbeda disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa
terdapat interaksi yang nyata (P< 0,05) antara level protein ransum dan probiotik terhadap retensi protein,
demikian pula faktor level protein dan level probiotik secara parsial juga memberikan pengaruh yang
sama yakni meningkatkan retensi protein.
Berdasarkan hasil uji wilayah ganda Duncan menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan protein 18%
(T1) menghasilkan nilai retensi protein nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum protein
rendah 16% (T2). Retensi protein dipengaruhi oleh konsumsi protein (Tabel 5), dengan meningkatnya
konsumsi protein maka nitrogen yang teretensi dalam tubuh juga meningkat, karena 16% dari protein

versi elektronik
adalah nitrogen. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi retensi N maka semakin tingi protein
yang diretensi. Kandungan protein ransum yang tingi didukung oleh konsumsi protein yang tinggi, maka
menyebabkan nitrogen yang tertinggal dalam tubuh itik semakin tinggi pula. Retensi nitrogen juga
sejalan dengan nilai retensi protein. Retensi nitrogen dipengaruhi oleh kecernaan protein serta jumlah
protein dapat dicerna yang secara nyata meningkat.
Pemberian probiotik level 1,5 % (V1) dan 2% (V2) nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan tanpa
pemberian probiotik (V0). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat meningkatkan
nilai retensi nitrogen, demikian pula aspek pendukung berupa kecernaan protein (Tabel 6) akibat
pemberian probiotik terlihat adanya peningkatan seiring dengan tingginya pemberian probiotik. Menurut
Sjofjan (2010), probiotik dapat memperbaiki kondisi saluran pencernaan melalui peningkatan
mikroorganisme non patogen dan menekan mikroorganisme patogen yang pada akhirnya berdampak pada
peningkatan proses pencernaan. Cahyaningsih (2013) memperkuat fenomena pada penelitian ini, bahwa
suplementasi BAL pada ransum ayam Kedu secara nyata dapat meningkatkan konsentrasi BAL sebesar

versi elektronik
1,27 x 103 cfu/g dibandingkan tanpa suplementasi sebesar 9,9 x 102 cfu/g. Begitu pula pH saluran
pencernaan yang nyata menurun (5,48) pada ayam kedu yang mendapat suplementasi BAL dibandingkan
tanpa suplementasi (5,9). Meningkatnya konsentrasi BAL dalam saluran pencernaan menyebabkan
suasana asam sehingga dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, yang akhirnya ternak (inang) tidak
terlalu bersaing dengan bakteri patogen dalam pemanfaatan nutrien, terutama protein. Peningkatan proses
kecernaan (protein) dapat meningkatkan protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh dengan bentuk
tingginya retensi nitrogen.
Tabel 4. Rerata Retensi Protein pada Itik Magelang Jantan
Level probiotik (V)
Level protein (T)
0% (V0) 1,5% (V1) 2% (V2) Rerata
---------------------- (g/ekor) ---------------------------

versi elektronik
18% (T1) 10,25c 11,34b 12,5a 11,36a
16% (T2) 7,5d 9,00d 9,75c 8,75b
Rerata 8,88c 10,17b 11,13a 10,06
Superskrip yang bebeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

70
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Interaksi antara faktor level protein dan probiotik juga menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) pada
retensi nitrogen itik Magelang. Pemberian ransum dengan protein 18% dan probiotik 2% (T1V2) nyata
paling tinggi (P<0,05) dibandingkan perlakuan yang lain. Pemberian ransum protein tinggi (18%) dan
tanpa probiotik (T1V0) menunjukkan nilai retensi nitogen sama dengan ransum protein rendah (16%) dan

versi elektronik
probiotik 2% (T2V2), tetapi lebih rendah dibandingkan T1V1 dan T1V2. Demikian pula, semakin tinggi
probiotik pada penelitian ini yang ditambahkan pada ransum protein rendah (16%) nyata (P<0,05)
meningkatkan retensi nitrogen, terutama pada T2V2. Sebaliknya, bila ransum protein rendah tidak diberi
tambahan probiotik (T2V0) menghasilkan retensi nitrogen nyata (P<0,05) paling rendah. Jadi, fenomena
ini sejalan dengan pembahasan parameter sebelumnya bahwa meningkatnya konsentrasi bakteri asam
laktat dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen yang menyebabkan meningkatnya retensi nitrogen.
Hakim (2005) menyatakan bahwa Lactobacillus sp. dapat menghasilkan senyawa antimikroba seperti
bacteriosin dan laktosidin sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen seperti
Salmonella dan E.coli. Adanya produk antimikroba seperti tersebut diatas dapat meningkatkan kesehatan
saluran pencernaan yang berdampak pada efektifitas penggunaan nutrien (protein), disamping juga
berkurangnya kompetisi antara bakteri patogen dengan ternak (inang) dalam memanfaatkan nutrien.
4.4. Pertambahan Bobot Badan Harian

versi elektronik
Rata-rata pertambahan bobot badan harian pada itik Magelang jantan yang diberi ransum dengan
kandungan protein dan probiotik berbeda disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (P<0,05) antara level protein dan probiotik terhadap
pertambahan bobot badan itik Magelang jantan, demikian pula faktor protein dan probiotik secara parsial
juga memberikan pengaruh yang nyata yakni meningkatkan pertambahan bobot badan.
Tabel 5. Rerata Pertambahan Bobot Badan Harian pada Itik Magelang Jantan
Level probiotik (V)
Level protein (T)
0% (V0) 1,5% (V1) 2% (V2) Rerata
---------------------- (g/ekor/hari) ---------------------------
18% (T1) 19.83c 23.78b 27.68a 23.76a
16% (T2) 15.65d 23.29b 21.31c 20.08b

versi elektronik
Rerata 17.74b 23.54a 24.49a 21.92
Superskrip yang bebeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Berdasarkan uji wilayah ganda Duncan nampak bahwa pertambahan bobot badan itik yang diberi ransum
dengan level protein 18% (T1) nyata lebih tinggi (P<0,05) dari ransum dengan protein 16% (T2). Kondisi
ini disebabkan konsumsi protein dan retensi protein pada perlakuan T1 lebih besar dibandingkan
perlakuan T2. Semakin banyak konsumsi protein yang didukung oleh kecernaan protein serta retensi
protein yang lebih tinggi maka menyebabkan ketersediaan protein untuk sintesis protein daging lebih
tinggi. Protein digunakan oleh ternak untuk pembangun sel tubuh.
Pemberian probiotik menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05), terutama antara probiotik 1,5% (V1)
dan 2% (V2) terhadap tanpa pemberian probiotik (V0). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian
probiotik secara nyata dapat meningkatkan pertambahan bobot badan itik. Saluran pencernaan yang sehat
akibat pemberian probiotik menyebabkan penyerapan dan pemanfaatan nutrien lebih baik, sehingga

versi elektronik
semakin banyak nutrien (protein) yang termanfaatkan untuk pertumbuhan jaringan/daging. Hasil
penelitian Gunawan dan Sundari (2003) menunjukkan bahwa penggunaan probiotik starbio sampai
dengan 0,25% dalam ransum, dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ayam pedaging umur 6
minggu.

71
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Interaksi antara perlakuan level protein ransum dan level probiotik menunjukkan bahwa pertambahan
bobot badan itik yang diberi ransum dengan protein 18% dan probiotik 2% (T1V2) nyata paling tinggi
(P<0,05) dibandingkan perlakuan lain (Tabel 8). Sebaliknya, pertambahan bobot badan paling rendah
ditunjukkan pada perlakuan dengan pemberian ransum protein 16% tanpa pemberian probiotik (T2V0)

versi elektronik
(438,42 g/ekor). Kandungan protein ransum lebih tinggi ditambah dengan probiotik dapat meningkatkan
pemanfaatan protein berupa asupan protein antara lain kecernaan protein dan retensi nitrogen yang lebih
tinggi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan jaringan/daging yang bermuara pada peningkatan
pertambahan bobot badan. Suthama (2010) menyatakan bahwa meningkatnya sintesis protein berkaitan
erat dengan perbaikan kualitas pertumbuhan berupa peningkatan pertambahan bobot badan. Menurut
Agustina et al. (2007), pemberian probiotik dapat menjaga keseimbangan komponen mikroorganisme
dalam saluran pencernaan, sehingga memperbaiki proses pencernaan, penyerapan nutrien serta menjaga
kesehatan ternak.

KESIMPULAN
Protein pakan dan probiotik secara bersama-sama dapat meningkatkan retensi protein dan pertambahan
bobot badan dengan hasil terbaik adalah kombinasi pakan dengan16% protein dan pemberian 2%
probiotik. Demikian pula secara parsial dapat meningkatkan konsumsi ransum, konsumsi protein, retensi

versi elektronik
protein dan pertambahan bobot badan itik Magelang jantan periode grower.

DAFTAR PUSTAKA
Bintang, I.A.K. 2001. Pengaruh kandungan protein dalam ransum terhadap karkas entok (Cairina
moschata). Med. Pet. 24 (1): 23-27.
Cahyaningsih. 2013. Potensial hidrogen (pH) dan Konsentrasi Bakteri Asam Laktat (BAL) Akibat
Pemberian BAL dan Vitamin E pada Ayam Kedu yang Dipelihara Secara In Situ. Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi Sarjana Peternakan).
Daud, M., W. G. Piliang dan I. P. Kompiang. 2007. Persentase dan kualitas karkas ayam pedaging yang
diberi probiotik dan prebiotik dalam ransum. JITV. 12 (3): 167-174.
Deptan. 2013. Populasi Itik Propinsi. www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/pdf-
eisNAK2013/Pop_itik_Prop_2013.pdf

versi elektronik
Gunawan dan M.M.S. Sundari. 2003. Pengaruh penggunaan probiotik dalam ransum terhadap
produktivitas ayam. Wartazoa 13 (3): 92 - 98.
Hakim, R.S. 2005. Prospek probiotik pada broiler. Bulletin Charoen Pokphand Edisi Desember. Hal 4,
Jakarta.
Hidayat, M., M. Sujatno, Nugraha dan Setiawan. 2010. Transduksi sinyal hormon kolesistokinin sebagai
target untuk mengatasi obesitas. J. Kedokteran Maranatha (JKM). 9 (2): 173-182.
Iskandar, S. 2009. Hasil-hasil penelitian balai penelitian ternak tahun 2006 – 2008. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal: 18-27.
Kompiang, I.P. 2009. Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik untuk meningkatkan produksi
ternak unggas di Indonesia. Pengemb. Inovasi Pertanian 2(3): 177-191.
Mahfudz, L.D., S. Kismiati dan T.A. Sarjana. 2005. Fenotipik dari itik magelang yang produktif.

versi elektronik
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal: 779 -785.
Mangisah, I., N. Suthama dan H.I. Wahyuni. 2009. Pengaruh penambahan starbio dalam ransum berserat
kasar tinggi terhadap performan itik. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Semarang 20
Mei 2009. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Hal: 688-694.

72
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Mulder, R.W.A.W. 1996. Probiotics And Competitive Exclusion Microflora Against Salmonella. DLO
Institute of Animal Science and Health. Wagenigen. The Netherlands. Supplement of World
Poultry

versi elektronik
Prawirodigdo, S. 2006. Pemberian pakan mengandung asam amino seimbang dan antioksidan nabati
sebagai strategi proteksi terhadap serangan penyakit pada ternak ayam. Lokakarya Nasional
Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha ternak Unggas Berdayasaing. Hal: 144-156.
Scott, M. L., C. Nasheim dan R. J. Young. 1982. Nutrition of the Chickens. 3rd Ed. M. L. Scott and
Association, Itacha, New York.
Sibbald, I. R. and M. S. Wolynetz. 1984. Relation between apparent and true metabolizable energy and
the effects of a nitrogen correction. Poultry Sci. 63:1386-1399.
Sofjan, O. 2010. Probiotik untuk Unggas. Dalam: Soeharsono (Ed). Probiotik Basis Ilmiah, Aplikasi dan
Aspek Praktis. Widya Padjadjaran, Bandung.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi ke-2. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. (Diterjemahkan oleh B. Sumantri).

versi elektronik
Suthama, N. 2010. Pakan Spesifik Lokal dan Kualitas Pertumbuhan untuk Produk Ayam Lokal Organik.
Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Diponegoro, Semarang. ISBN: 978-979-704-931-7.
Tanwiriah, W., Garnida dan I.Y. Asmara. 2006. Pengaruh tingkat protein dalam ransum terhadap
performan entok lokal (Muscovy duck) pada periode pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal: 650- 655
Wahyono, F. 2002. Pengaruh probiotik terhadap tingkat konsumsi pakan, pertambahan berat badan dan
kolesterol darah ayam broiler yang diberi pakan tinggi lemak jenuh dan tidak jenuh. J. Trop.
Anim. Develop. 27 (1): 36-44.
www.investor.co.id. Impor Jagung 2013 Capai 2,3 Juta Ton. Diakses tanggal 28 April. 2014.
www.kkp.go.id. Impor Pakan Ikan dan Udang Tinggi. Diakses tanggal 10 Mei 2013

versi elektronik

versi elektronik 73
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KECERNAAN DAN NERACA ENERGI SAPI JANTAN PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG
DIBERI PAKAN KONSENTRAT DENGAN SUMBER ENERGI YANG BERBEDA
Muhamad Bata

versi elektronik
Fakultas Peternakan, Unsoed Purwokerto; email : muhamadbata@yahoo.com

ABSTRAK
Bahan pakan sumber energi dalam pakan untuk ternak ruminansia mempunyai tingkat fermentabilitas
yang berbeda-beda, sehingga akan menghasil tingkat kecernaan dan efisiensi energi yang berbeda bila
menggunakan jerami padi amoniasi sebagai sumber serat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh sumber energi pakan konsentrat terhadap kecernaan dan neraca energi. Sebanyak 20 ekor sapi
PO jantan yang berumur 2 – 2,5 tahun dengan bobot hidup 222,5 ± 29,62 kg yang dibagi menjadi 5
(lima) kelompok dan masing-masing kelompok secara acak diberi 4 macam pakan konsentrat dengan
sumber energi yang berbeda. Komposisi pakan percobaan untuk R1( berdasarkan BK) adalah dedak
padi, bungkil kelapa, ampas tahu, mineral, garam dan jerami padi amoniasi masing=masing berturut-turut
adalah 23,50%, 11%, 22, 0,5, 0,5 dan 42,50%. Sedangkan komposisi pakan untuk R2, R3 dan R3 sama
dengan R1, akan tetapi dedak padi diganti berturut-turut onggok basah, onggok kering dan jagung.
Dengan demikian penelitian ini dirancang menurut Rancangan Acak Kelompok. Peubah yang diukur

versi elektronik
adalah kecernaan dan neraca energi menggunakan metode koleksi total. Hasil penelitian menunjukan
bahwa kecernaan dan neraca energi dipengaruhi (P<0,05) sumber energi pakan konsentrat. Kecernaan
dan neraca energi pada sapi yang diberi sumber onggok basah (R2) lebih rendah (P<0,05) dari sapi yang
diberi sumber energi dari onggok kering (R3) dan bran polar (R4), akan tetapi tidak berbeda (P>0,05)
dengan sapi yang diberi sumber energi dari dedak (R1). Kesimpulannya adalah bahan pakan sumber
energi yang baik dalam konsentrat untuk sapi potong PO yang diberi jerami padi amoniasi sebagai
hijauan adalah onggok kering.
Kata Kunci: kecernaan, neraca, energi, sapi

ABSTRACT
Energy source of feed ingredients in concentrate diet for ruminants have fermentabilitas levels different,
so it will produce the level of digestibility and energy efficiency are different when using ammoniation of
rice straw as a fiber source. This study aims to determine the effect of concentrate energy source on feed

versi elektronik
digestibility and energy balance. A total of 20 local catte of Peranakan Ongole (PO ) males aged 2 to 2.5
years with a live weight of 222.5 ± 29.62 kg were divided into 5 (five) groups and each group were
randomly assigned to four kinds of concentrate feeds with different energy sources . Feed composition
experiment diet for R1 (% of dry matter) is a rice bran, coconut cake, tofu by-products, minerals, salt and
rice straw ammroniation of 23.50%, 11%, 22, 0.5, 0.5 and 42.50%, respectively. While the composition
of diet for R2, R3 and R3 equal to R1, but rice bran replaced with wet cassava, dried cassava and maize
meal, respectively. Thus this study was designed according to a randomized block design. The variables
measured were the digestibility and energy balance using the total collection method. The results showed
that the digestibility and energy balance were affected (P <0.05) by energy source of concentrate diets.
Digestibility and energy balance in cattle fed wet cassava source (R2) was lower (P <0.05) than cows fed
energy from dried cassava (R3) and wheat bran (R4), but did not differ (P> 0 , 05) with cattle fed the
energy source of rice bran (R1). The conclusion is that the energy source of feed ingredients either in
concentrate for beef cattle fed rice straw PO ammoniation as forage is dried cassava.
Keywords: digestibility, retention, energy, cattle

versi elektronik
PENDAHULUAN
Jerami padi merupakan salah satu pakan hijauan alternatif untuk penggemukkan sapi untuk
menggantikan rumput segar atau rumput yang sengaja ditanam untuk pakan ternak. Hal ini disebakan
karena produksi jerami relatif stabil sehingga kontinuitasnya terjamin. Produksi jerami padi bervariasi
antara 12 - 15 ton per hektar per periode panen atau 4 - 5 ton bahan kering, tergantung lokasi dan varietas

74
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
tanaman yang ditanam dan secara keseluruhan produksi jerami padi mencapai 128 juta ton untuk luas
panen 10,7 juta hektar (Badan Pusat Statistik Indonesia. 2005). Kendala utama pemanfaatan jerami padi
sebagai pakan adalah adanya ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa yang sangat kuat, sehingga
sangat sulit untuk dicerna oleh mikroorganisme rumen (Nisa et al. 2004). Selain itu, kandungan nitrogen

versi elektronik
dan karbohidrat fermentablenya rendah (Orden et al. 2006)
Upaya untuk mengatasi kendala tersebut adalah amoniasi menggunakan urea untuk meregangkan ikatatan
lignoselulosa dan lignohemiselulosa. Griswold et al. (2003) menyatakan penambahan urea untuk
amoniasi jerami padi dapat meningkatkan nitrogen dalam bentuk nitrogen bukan protein (NBP) yang
mudah degradasi dalam rumen dan meningkatkan kecernaan bahan kering. dan Namun demikain karena
rendahnya karbohidrat fermentable menyebabkan efisiensi penggunaan nitrogen untuk sintesis protein
mikroba rendah dan banyak energi yang terbuang untuk mengkonversi kelebihan nitrogen dalam bentuk
amoniak menjadi urea dan urea dibuang lewat urin. Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi tersebut
adalah menyediakan karbohidrat dengan fermentabilitas sama dengan laju degradalibilitas NBP pada
jerami amoniasi. Ketersediaan dan laju degradasi nitrogen dan laju fermentabilitas karbohidrat yang sama
(sinkron) akan meningkatkan aqktifitas mikroba untuk mencerna nutrien sehingga performan ternak akan
baik (Chumpawadee, et al. 2006).

versi elektronik
Berbagai bahan pakan sumber energi seperti onggok (basah dan kering), dedak dan jagung sudah sering
digunakan. Masing-masing sumber energi tersebut mempunyai karbohidrat yang fermentabilitasnya
berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena jenis karbohidrat yang dikandunganya serta processing yang
berbeda. Oleh karena itu penggunaan energi tersebut harus sinkron dengan ketersediaan nitrogen hasil
degradasi dari jerami amoniasi. Ketidaksingkronan tersebut akan mengganggu aktifitas mikroba rumen
khususnya dan ekosistem rumen umumnya. Cole and Todd (2008) menyatakan bahwa sinkronisasi laju
degradasi karbohidrat dan protein telah diusulkan sebagai metode untuk peningkatan sintesis protein
mikroba rumen, perbaikan efisiensi penggunaan N, mengurangi ekresi N dalam urine dan memperbaiki
performan ternak. Selain itu, efisiensi penggunaan N yang rendah dalam rumen akan mempengaruhi
retensi energi, karena banyak nutrien yang terbuang baik melalui feces maupun urine. Oleh karena perlu
dicari sumber energi yang tepat untuk sapi lokal yang diberi jerami padi amoniasi. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mencari bahan pakan sumber energi yang tepat untuk diberikan kepada sapi lokal yang
diberi jerami padi amoniasi sebagai sumber hijauan.

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Sebanyak 20 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) jantan dengan umur rata-rata 2 tahun dengan bobot hidup
157 - 252 kg masing -masing ditempatkan pada kandang individu 2 x 1,5 meter yang dilengkapi dengan
tempat makan dan minum. Sebanyak 20 ekor sapi PO jantan yang berumur 2 – 2,5 tahun dengan bobot
hidup 222,5 ± 29,62 kg yang dibagi menj adi 5 (lima) kelompok dan masing-masing kelompok secara
acak diberi 4 macam pakan dengan bahan pakan konsentrat dengan sumber energi yang berbeda.
Komposisi pakan percobaan untuk R1( berdasarkan BK) adalah dedak padi, bungkil kelapa, ampas tahu,
mineral, garam dan jerami padi amoniasi masing=masing berturut-turut adalah 23,50%, 11%, 22, 0,5, 0,5
dan 42,50%. Sedangkan komposisi pakan untuk R2, R3 dan R3 sama dengan R1, akan tetapi dedak padi
diganti berturut-turut onggok basah, onggok kering dan jagung. Komposisi dan kandungan nutrien pakan
tertera pada Tabel 1. Dengan demikian penelitian ini dirancang menurut Rancangan Acak Kelompok.
Peubah yang diukur adalah kecernaan dan neraca energi menggunakan metode koleksi total (Schneider
and Platt. 1975). Prosedur amoniiasi jerami yang diensilase dengan onggok dilakukan menurut petunjuk
Nisa et al. (2010) dan dosis urea dan onggok sesuai dengan hasil penelitian Bata dan Rustomo (2011).

versi elektronik
Analisis proksimat dan gross energy (GE) terhadap urine, feces , pemberian dan sissa pakan dilakukan
menurut petunjuk AOAC (1990). Analisis ragam digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
terhadap peubah yang diukur dan dilanjutkan dengan uji BNJ (Steel and Torrie. 1991).

75
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Komposis dan kandungan nutrien pakan pada berbagai perlakuan.
Bahan Pakan Perlakuan (% Bahan Kering)
A B C D

versi elektronik
Jerami Padi Amoniasi 42,50 42,50 42,50 42,50
Dedak Padi 23,50 - - -
Onggok Basah - 23,50 - -
Onggok Kering - - 23,50
Jagung - - - 23,50
Ampas Tahu 22 22 22 22
Bungkil Kelapa 11 11 11 11
Mineral 0,50 0,50 0,50 0,50
Garam 0,50 0,50 0,50 0,50
Total 100 100 100 100
Kandungan Nutrien (%)
Protein Kasar 12,66 10,94 10,43 12,28
Serat Kasar 21,11 24,37 21,75 19,13
Lemak Kasar 3,16 2,49 2,84 2,46

versi elektronik
Abu 4,57 2,03 2,06 1,83
BETN 58,50 60,17 62,92 64,30

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsumsi energi, koefisien cerna dan neraca energi pada sapi jantan PO yang diberi pakan jerami
amoniasi dan konsentrat yang mengandung bahan pakan sumber energi yang berbeda tertera pada Tabel
2. Analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi, koefisien cerna dan neraca energi dipengaruhi
(P<0,05) oleh perlakuan.
Konsumsi dan koefisien cerna energi pada sapi yang diberi pakan konsentrat yang mengandung sumber
energi yang berasal dari onggok basah (B) lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan yang diberi
pakan dengan sumber energi yang berasal dari dedak padi (A), onggok kering (C) dan jagung (D) dan
diantara kelompok sapi yang diberi pakan A, C dan D tidak berbeda (P>0,05).

versi elektronik
Tabel 2. Konsumsi, koefisien cerna dan neraca energi pada sapi PO yang diberi konsentrat dengan
berbagai bahan pakan sumber energi
Peubah Perlakuan
A B C D
a b a
Konsumsi Energi (Mkal) 136,98 + 25.34 114.11 = 13.43 143.56 + 26.36 141.48 + 19.81a
Kcef. Cerna Energi (%) 68.45 + 6.43ab 65.20 + 5.39a 75.61 + 4.40b 75.20 + 5.33b
Neraca Energi (Mkal) 88.75 + 22.74ab 65.92 + 13.20a 104.86 + 24. 51b 99.72 + 20.99b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05). A= Jerami padi amoniasi +
konsentrat dengan sumber energi dedak padi, B, C dan D= sama dengan A akan tetapi dedak padi diganti berturut-turut onggok
basah, onggok kering dan jagung.

Kecernaan energi suatu pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satu diantaranya adalah

versi elektronik
konsumsi energi (Bata. 2004). Konsumsi energi pada sapi kelompok B yang diberi pakan dengan
konsetrat yang mengandung onggok basah terendah (P<0,05) dibandingan dengan sapi yang diberi pakan
A, C dan D, namun diantara ketiganya tidak berbeda nyata (P>0,05). Rendahnya konsumsi energi pada
sapi yang diberi pakan B mengindikasikan bahwa pakan tersebut mempunyai palatabilitasnya yang
rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh bentuk fisik onggok yang kadar bahan keringnya rendah sekitar
20% dibandingkan dengan bahan pakan sumber energi lain yang rata-rata 88,45%. Rendahnya bahan

76
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kering pada onggok basah menyebabkan jumlah pemberiannya lebih banyak dibanding dengan perlakuan
lainnya. Hal ini akan menyebabkan volume rumen cepat penuh dan ini akan menyebabkan penurunan
konsumsi karena rumen yang merupakan rangsangan fisik untuk mengurangi konsumsi pakan. Selain itu,
jumlah pemberian yang banyak dengan kadar air yang tinggi menyebabkan mudah terjadinya proses

versi elektronik
pembusukkan karena bahan tersebut dicampur dengan bahan pakan sumber protein seperti bungkil
kelapa dan ampas tahu. Bau busuk inilah menyebabkan penurunan konsumsi.
Selain bentuk fisik, rendahnya tingkat konsumsi disebabkan tingginya tingkat keasaman pada onggok
basah (Parakasi. 1999) karena asam laktat yang dikandungnya tinggi, sehingga berdampak negatif
terhadap nafsu makan (palatabilitas) karena asam laktat akan menghambat aktitiftas mikroorganisme
rumen untuk mencerna pakan. Tingginya tingkat keasaman pakan akan menurunkan pH rumen dan hal
ini akan menyebabkan penurunan populasi mikroba rumen yang mendegradasi nutrien pakan, sehingga
kecernaan nutrien menjadi rendah. Ini salah alasan mengapa kecernaan sapi yang diberi sumber energi
onggok basah (B) mempunyai kecernaan energi lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang diberi
sumber energi dedak padi, onggok kering dan jagung.
Rendahnya kecernaan energi pada sapi yang diberikan perlakuan B mungkin juga disebabkan karena
tingginya kandungan HCN pada onggok segar. Onggok merupakan limbah dari pabrik tapioka.

versi elektronik
Kandungan tapioka yang tinggi umumnya berasal dari ubikayu yang mengandung HCN tinggi. Salah
satu cara untuk menurunkan HCN adalah melalui pemanasan karena HCN mudah menguap. Hal ini
menyebabkan onggok lebih unggul konsumsi maupun kecernaan dibandingan dengan onggok basah
karena sebagian besar HCNnya telah menguap selama proses pengeringan.
Kecernaan dan neraca energi pada sapi yang diberi pakan dengan sumber energi berasal dari onggok
kering (C) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan dengan sumber energi
dedak (A) dan cenderung lebih tinggi dengan sapi yang diberi pakan D walaupun dedak dan jagung
mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Hal ini menunjukan bahwa bahan pakan sumber energi
dengan kandungan protein tinggi lebih baik tingkat kecernaan maupun neraca energinya. Rendahnya
konsumsi, kecernaan dan neraca energi pada sapi yang diberi pakan B disebabkan oleh bentuk fisik dan
kandungan HCN yang telah dibahas sebelumnya. Rendahnya kecernaan dan neraca energi pada sapi yang
diberi pakan sumber energi dari dedak padi (A) dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan dengan
sumber energi onggok kering disebabkan perbedaan dan kandungan kandungan karbohidrat non struktur
(NSC= non -structural carbohydrates). Onggok mengandung NSC yang lebih mudah fermentasi

versi elektronik
dibandingkan dengan dedak maupun jagung (Khampa and Wanapat. 2006). Hal ini sangat sesuai dengan
karakter NPN pada jerami padi amoniasi yang mudah degradasi, sehingga akan terjadi kesingkronan
antara ketersediaan sumber energi dan nitrogen, sehingga efisiensi penggunaan nitrogen dalam rumen
tinggi dan pada akhir ekskresi nitrogen baik lewat urine maupun feces rendah sehinggia kecernaan dan
neraca energi lebih tinggi. Berbeda dengan dedak padi dan jagung yang NSCnya lebih tinggi,
fermentabilitasnya lebih rendah, sehingga kurang sinkron dengan ketersediaan NPN dari jerami padi.
Ketidaksinkronan tersebut akan menyebabkan efisiensi sintesis protein mikroba menjadi rendah.
Newbold and Rust (1992) menyarankan bahwa bila jumlah total suplai protein yang terdegradasi setiap
hari sesuai dengan kebutuhan, perbedaan antara tingkat degradasi protein dan energi menyebabkan
ketidakseimbangan antara suplai energi dan protein untuk mikroba. Sinkronisasi laju degradasi kecernaan
bahan organik dan degradasi nitrogen dapat mengoptimalkan sintesis protein mikroba dalam rumen
(Khorasan et.al, 1994 dan Sinclair et. al., 1993). Penelitian pada domba (Sinclair et al. , 1995; Witt et al.,
1999; Trevaskis et al., 2001; Richardson et al. , 2003) dan pada sapi laktasi (Kim et al., 1999)

versi elektronik
mengidikasikan, suatu perbaikan dalam efisiensi mikroba dan produksi bila diberikan pakan yang
sinkron.

77
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KESIMPULAN
Onggok kering dapat digunakan sebagai sumber energi pada konsentrat yang diberikan bersama jerami
padi amoniasi pada sapi jantan Peranakan Ongole (PO) dapat meningkatkan efisiensi, neraca dan
kecernaan energi.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Association of Chemical Contaminan, Drugs. Vol.2. Association of
Official Agricultural Cheemist. Inc. Virginia. P:932
Bata, M. 2004. The Use of Fibrolytic Enzymes to Improve Quality of Rice Bran and Cotton Seed Meal
and Its Effect on Nutrient Utilization and Performance of Fattening Weaner Holstein Bull in
Indonesia. Cuviller Verlag Gottingen, Germany.
Bata, M. dan B. Rustomo. 2011. Peningkatan kinerja sapi potong local melalui rekayasa amoniasi
jerami padi menggunakan molasses dan limbah cair tapioka. Laporan Hasil Penelitian. Riset
Strategis Nasional. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2005. Potensi Lahan Pertanian Indonesia. Jakarta.

versi elektronik
Chumpawadae, S., K. Sommart, T. Vongpralub and V. Pattarajinda. 2006. Effect of synchronizing the
rate of degradation of dietary energy and nitrogen release on growth performance in Brahman
cattle. J. Sci. Technol. 28(1): 59 -70
Cole, N.A. And R.W.Todd. 2008. Opportunities to enhance performance and efficiency through nutrient
synchrony in concentrate-fed ruminants. J. Anim. Sci. 2008. 86(E. Suppl.):E318–E333
Griswold, K.E., G.A. Apgar, J. Bouton and J.L. Firkins. 2003. Effect of urea infusion and ruminal
degradable protein concentration on microbial growth, digestibility an fermentation in continous
culture. J. Anim. Sci. 81: 329 - 336.
Khampa, S., and M. Wanapat. 2006. Supplementation levels of concentrate containing high levels of
cassava chip on rumen ecology and microbial protein synthesis in cattle. Pakistan Journal of
Nutrition. 5 (6): 501 - 506
Khorasani, G.R., Deboer, G., Robinson, B. and Kennelly, J.J. 1994. Influence of dietary protein and

versi elektronik
starch on production and metabolic responses of dairy cows. J. Dairy Sci., 77: 813-824.
Kim, K.H., Choung, J.J. and Chamberlian, D.G. 1999. Effects of varying the degree of synchrony of
energy and nitrogen release in the rumen on the synthesis of microbial protein in lactating dairy
cows consuming diet of grass silage and a cereal-based concentrate. J. Sci. Food Agri., 79: 1441-
1447
Newbold, J.R. and Rust, S.R. 1992. Effect of asynchronous nitrogen and energy supply on growth of
ruminal bacteria in batch culture. J. Anim. Sci.,70: 538-546.
Nisa, M. , M. Sarwar and M.A. Khan. 2004. Nutritive value of urea treated wheat straw ensiled with or
without corn step liquor for lactating Nili-Ravi buffaloes. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol. 17,
6:825 - 829
Orden, E.A., K. Yamaki, T.Ichinohe and T. Fujihara. 2000. Feeding value of ammoniated rice straw
supplemented with rice bran in sheep: II. In-situ rumen degradation of untreated and ammonia

versi elektronik
treated rice straw. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol. 2, 2:8906 - 912.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta
Richardson, J.M., Wilkin, R.G. and Sinclair, L.K. 2003. Synchrony of nutrient supply to the rumen and
dietary energy source and their effect on the growth and metabolism of lambs. J. Anim Sci.,81:
1332-1347.

78
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Scneider, B.H. And W.P. Flaat. 1975. The Evaluation of Feed Through Digestibility Experiments.
University of Georgia Press, Athens.
Sinclair, L.A., Garnsworthy, P.C., Newbold, J.R. And Buttery, P.J. 1993. Effect of synchronizing the rate

versi elektronik
of dietary energy and nitrogen release on rumen fermentation and microbial protein synthesis in
sheep. J. Agric. Sci. (Camb)., 120:251-263.
Sinclair, L.A., Garnsworthy, P.C., Newbold, J.R. And Buttery, P.J. 1995. Effects of synchronizing the
rate of dietary energy and nitrogen release in diets with a similar carbohydrate composition on
rumen fermentation and microbial protein synthesis in sheep. J. Agric. Sci. (Camb)., 124:463-472
Steel. R.G.D. And J.H. Torrie. 1991. Prinples and Procedures of Statistics. Prinsip dan prosedur
Statistik. Terjemahan oleh Sumantri, B. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Trevaskis, L.M., Fukerson, W.J. and Gooden, J.M. 2001. Provision of certain carbohydrate based
supplements to pasture fed sheep as well as time of harvesting of the pasture in fluences pH,
ammonia concentration and microbial protein synthesis in the rumen. Aust. J. Exp. Agri., 41: 21-
27.
Witt, M.W., Sinclair, L.A., Wikinson, R.G. and Buttery, P.J. 1999. The effects of synchronizing the rate

versi elektronik
of dietary energy and nitrogen supply to the rumen on the metabolism and growth of ramlambs
given food at restricted level. Anim. Sci.,69: 627-636

versi elektronik

versi elektronik 79
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
TANTANGAN PENGEMBANGAN PASTURE PADA LAHAN PASCA TAMBANG PT. INCO,
TBK. SOROWAKO KABUPATEN LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN
Muh. Irwan1, Syamsuddin Hasan2, dan Asmuddin Natsir3

versi elektronik
1
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar; email: irwan_muh.hasan@ymail.com
2
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar; email: syam_hasan@yahoo.com
3
Fakultas Peternakan Universitas Hasnuddin, Makassar; asmuddin_natsir@yahoo.com

ABSTRAK
Pengembangan sektor peternakan secara intensif merupakan jalan keluar yang harus ditempuh dalam
mewujudkan swasembada daging nasional. Oleh sebab itu, persoalan pakan yang kadang – kadang
menjadi kendala harus dipecahkan dengan memanfaatkan potensi – potensi alam yang ada termasuk
memanfaatkan lahan pasca tambang sebagai media tumbuh hijauan pakan. Penelitian ini bertujuan
mengkaji potensi – potensi dan tantangan yang ada pada lahan pasca tambang menjadi padang rumput.
Hal ini dilakukan karena berbagai alasan yang diantaranya adalah kondisi kesuburan tanah yang
cenderung lebih rendah, keberadaan logam berat yang dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan
hijauan, kondisi lahan yang berdekatan dengan pabrik pengolahan sehingga membutuhkan analisis khusus
sebelum dimanfaatkan dan yang lainnya.

versi elektronik
Kata Kunci : Swasembada daging nasional, Lahan Pasca Tambang

ABSTRACT
The intensively livestock sector development is a solution which is should be taken to realize the national
meat self-sufficiency. Therefore, the issue about the feed that sometimes being obstacle has to be solved
by utilizing the existing natural powers such as using the post-mining area as the feed plant media. The
purpose of this research is to study about the existing power that are in the post-mining area become
pasture. It is done due to various reasons, for instance, land fertility condition that leaning to be lower, the
heavy metal which is apprehensively able to disturb the green, and the area condition which is near to the
factory of manufacture needs particular analisis before utilized or any other.
Keywords: National Meat Self-Sufficiency, Post – Mining Area

PENDAHULUAN

versi elektronik
Latar Belakang
Ketersediaan hijauan secara berkelanjutan menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh
pemerintah bersama dengan peternak dalam mewujudkan swasembada daging sapi nasional di era
sekarang. Hal tersebut terjadi karena lahan pasture yang menjadi produsen hijauan pakan terbesar bagi
ternak sapi, telah banyak direklamasi untuk digunakan pada sektor lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan
pemikiran yang matang dalam memecahkan permasalahan ini.
Tindakan atau metode yang dapat dilakukan untuk memecahkan persoalan degradasi lahan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan potensi – potensi lahan tersisa yang sampai saat ini belum
dimaksimalkan pemanfaatannya. Salah satunya potensi lahan yang dimaksud adalah lahan pasca
tambang. Lahan pasca tambang adalah lahan yang telah dieksplorasi oleh manusia dalam bentuk
penambangan untuk memenuhi kebutuhan orang banyak (Irwan, 2011). Kondisi lahan pasca tambang
tergantung dari pola penambangan dan pola rehabilitasi lahan yang dilakukan oleh masyarakat atau
perusahaan apabila dilakukan dalam skala besar. Hal ini telah diatur dalam peraturan perundang –

versi elektronik
undangan Republik Indonesia.
PT. Inco, tbk adalah perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Desa Sorowako Kabupaten Luwu
Timur Propinsi Sulawesi Selatan. Perusahaan ini telah ada sejak zaman orde baru berkuasa sampai saat
ini. Sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap lingkungan, perusahaan ini telah melakukan
rehabilitasi lahan hampir di seluruh wilayah yang telah dieksplorasi yakni dengan cara mengembalikan

80
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kondisi awal lahan yang digunakan. Reklamasi lahan menjadi lahan pasture adalah program yang baru
berjalan sekitar 1 dekade terakhir. Program ini pada prinsipnya bertujuan untuk menambah daya guna
lahan yang pada awalnya hanya diperuntuhkan untuk lahan hutan.

versi elektronik
Dalam menambah daya guna lahan, terdapat berbagai bentuk hambatan yang harus dihadapi dalam
menjalankan program ini. Hambatan – hambatan tersebut meliputi: kondisi kesuburan tanah yang sudah
tidak seimbang pasca eksplorasi, kondisi lingkungan pertambangan yang dapat mencemari tanaman
terutama untuk residu logam beratnya, pola manajemen peternakan yang harus disesuaikan dengan pola
kerja usaha pertambangan sehingga tidak saling mengganggu dan berbagai tantangan lainnya. Semua
tantangan tersebut seharusnya dipecahkan dengan menggunakan pendekatan – pendekatan ilmiah. Tulisan
ini akan menguraikan berbagai bentuk tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan pasture di lahan
pasca tambang PT. INCO, tbk.SOROWAKO.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji potensi – potensi dan tantangan lahan pasca tambang PT. INCO,
tbk Sorowako menjadi lahan pasture. Hal ini dilakukan karena berbagai alasan yang diantaranya adalah
kondisi kesuburan tanah yang cenderung lebih rendah.

versi elektronik
Pemecahan Masalah
Rencana awal yang akan dilakukan dalam memecahkan masalah atau tantangan yang dihadapi dalam
mengembangkan pasture di lahan pasca tambang PT. INCO, tbk. Sorowako, tbk. adalah :
1. Memanfaatkan bahan organik lokal dalam memperbaiki struktur tanah
2. Menerapkan konsep pertanaman campuran antara Graminae dan Leguminosae
3. Memanfaatkan ternak yang ada sebagai produsen pupuk organik

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan yakni sebagai berikut :
1. Observasi lapangan
2. Pengambilan sampel lapangan
Analisis Laboraorium

versi elektronik
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan menghubungkan beberapa fakta dan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang bertujuan memperkuat argumentasi ilmiah yang
disajikan dalam makalah ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Terkini Lahan Pasca Tambang PT. Inco, Tbk
Lahan pasca tambang PT. INCO tbk. sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan saat
ini telah mengalami perubahan yang berarti. Program rehabilitasi yang terus menerus dijalankan telah
merubah kondisi lahan yang sebelumnya kelihatan kering menjadi hijau dengan berbagai jenis tanaman di
dalamnya. Berikut beberapa dokumentasi kegiatan pada tahun 2011.

versi elektronik 81
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Keterangan : Fhoto diambil pada tahun 2011 saat melaksanakan observasi lapangan di PT. INCO
Sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan

versi elektronik
Tantangan Pengembangan Pasture pada Lahan Pasca Tambang PT. INCO, tbk. Sorowako
Mengembangkan pasture berkualitas pada lahan pasca tambang bukan perkara yang mudah untuk
diwujudkan karena terdapat banyak tantangan yang harus dipecahkan. Tantangan ini membutuhkan
penelitian yang cukup panjang. Adapun tantangan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Produksi Hijauan Pakan
Produksi hijauan pakan merupakan cerminan keberhasilan budidaya rumput atau legume. Semakin tinggi
hijauan pakan yang dihasilkan maka tingkat keberhasilan usaha pengembangan hijauan pakan juga akan
ikut tinggi. Oleh sebab itu, produksi hijauan sering dijadikan indikator keberhasilan pengelolaan pasture.
Berikut data produksi hijauan segar dan kering yang tumbuh pada lahan pasca tambang PT. INCO, tbk
Sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 1 : Produksi Hijauan Segar dan Kering

versi elektronik
Estimasi Produksi
Produksi Produksi Produksi Per tahun
Jenis Hijauan Bahan segar Bahan Segar Bahan Kering Bahan
(g/m2) (Ton/Ha) (Ton/Ha) Bahan Segar
Kering
(Ton/Ha)
(Ton/Ha)
Rumput Signal
1 456,15 4,56 1,52 41,04 13,68
(Brachiaria decumbens)
Rumput Alang – alang
2 260,9 2,609 0,99 10,436 3,96
(Imperata cyilindrica)
Sentro
3 60,2 0.6 0,2 2,4 0,8
(Centrocema pubescens)
Kalopo
4 (Calopogonium 55.25 0,55 0,2 2,2 0,8

versi elektronik
muconoides)
Sumber : Data Hasil Penelitian Daya Cerna In Vitro Bahan Kering dan Bahan Organik Hijauan Pakan pada lahan pasca tambang
PT. INCO Sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan. (Irwan, 2011)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa rumput signal
(Brachiaria decumbens) menghasilkan estimasi produksi bahan segar pertahunnya sebesar 41,04 ton

82
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(diperoleh dari hasil konversi produksi bahan segar dikalikan dengan 9 kali pemotongan). Produksi ini
berbeda dengan data yang dikemukakan oleh Prawiradiputra dkk (2006) sebesar 80 – 100 ton pertahun.

versi elektronik
Gambar 4. Kondisi tumbuh rumput signal (Brachiaria decumbens)
Perbedaan total produksi yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kondisi Hijauan Pakan di wilayah
pasca penambangan PT. INCO telah mengalami degradasi kuantitas produksi Hijauan. Namun upaya
rehabilitasi lahan yang dilakukan patut mendapatkan apresiasi positif.
Degradasi kuantitas produksi hijauan yang terjadi di lahan pasca tambang disebabkan oleh kerusakan

versi elektronik
kandungan unsur hara tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasan (2010) bahwa total produksi hijauan
pakan dipengaruhi oleh kondisi unsur hara yang terkandung pada lahan tersebut sebagai salah satu
persyaratan faktor tumbuh tanaman.
Untuk rumput alang – alang (Imperata cyilindrica), total produksi pertahunnya diambil dari interval
pemotongan yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kualitas produksi tertinggi pada
tanaman tersebut. Informasi yang diperoleh dilapangan pada saat dilakukan sampling terlihat bahwa
rumput alang – alang (Imperata cyilindrica) yang disampling berumur 3 bulan. Dari dasar tersebut,
diambil suatu kesimpulan bahwa estimasi total produksi rumput alang – alang adalah 10,436 ton produksi
bahan segar dan 3,96 ton produksi bahan kering (Data diperoleh dari hasil konversi hijauan pakan
sebanyak 4 kali pemotongan). Hal ini dijelaskan oleh Ako, A dkk (1992) bahwa perhitungan total
produksi rumput alang – alang (Imperata cyilindrica) dilakukan berdasarkan interval pemotongan yang
dilakukan.
Keberadaan legume sentro (Centrocema pubescens) dan Kalopo (Calopogonium muconoides) pada lahan

versi elektronik
pasca tambang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan rumput yang tumbuh di lahan tersebut. Total
estimasi produksi sentro yang dihasilkan pertahunnya adalah 2,4 ton bahan segar dan 0,8 ton bahan kering
dengan pemotongan dilakukan sebanyak 4 kali. Hal ini sesuai dengan pendapat Prawiradiputra, dkk.
(2006) yang memberikan data produksi sentro adalah berkisar ± 3 ton/ha/th (pertanaman campuran). Hal
yang sama juga terjadi pada total produksi kalopo (Calopogonium muconoides) yang menghasilkan total
produksi pertahunnya sebesar 2,2 ton bahan segar dan 0,8 ton bahan kering (diperoleh dari hasil konversi
produksi bahan segar dan bahan kering dikalikan dengan 4 kali pemotongan). Hal ini sesuai dengan
pendapat Prawiradiputra, dkk. (2006) yang memberikan data produksi kalopo adalah berkisar ± 3
ton/ha/th (Pertanaman campuran).
Daya cerna Hijauan Pakan
Daya cerna hijauan pakan menjadi salah satu indikator kualitas hijauan pakan. Data yang tersaji pada
diagram 1 dan 2 diperoleh dari hasil uji coba in Vitro dengan metode pepsin cellulose (Goto and Minson,

versi elektronik
1977). Adapun hasilnya adalah sebagai berikut :

83
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
80
60
Pengulangan I
40

versi elektronik
20 Pengulangan II
0 Pengulangan III
Rumput Rumput Kalopo Sentro
Signal Alang - alang

Diagram 1 : Daya Cerna Bahan Kering Sampel


Sumber : Data Hasil Penelitian Daya Cerna In Vitro Bahan Kering dan Bahan Organik Hijauan Pakan pada lahan pasca tambang
PT. INCO Sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan. (Irwan, 2011)

Berdasarkan diagram di atas, terlihat bahwa daya cerna bahan kering sampel rumput signal memiliki
persentasi yang tinggi dibandingkan dengan 3 hijauan yang lain. Rumput signal (Brachiaria decumbens)
di PT. INCO yang sengaja ditanam oleh pihak setempat memiliki tingkat daya cerna bahan kering yakni
berayun pada angka 59 sampai 61 persen. Hasil ini membuktikan bahwa persentase daya cerna hijauan

versi elektronik
pakan ini cukup baik dibandingkan dengan ketiga hijauan yang lainnya.
Perbedaan tersebut kemungkinan besar disebabkan karena rumput signal lebih memperoleh perhatian dari
segi pemupukan dibandingkan dengan yang lainnya sehingga pertumbuhannya jauh lebih baik. Namun
perlu diingat bahwa perhatian yang lebih dari pengelola belum mampu memberikan respon pertumbuhan
yang maksimal. Oleh sebab itu masih perlu dilakukan pemeliharaan yang lebih intensif.
Untuk daya cerna bahan organik hijauan pakan, hal yang sama juga terlihat bahwa rumput signal
(Brachiaria decumbens) juga menempati urutan tertinggi lalu diikuti kalopo, centro dan yang terakhir
adalah alang – alang. Berikut (diagram 2) adalah data daya cerna in vitro bahan organik hijauan pakan
PT. INCO.

70
60

versi elektronik
50
40
30 Pengulangan I
20 Pengulangan II
10
0 Pengulangan III
Rumput Rumput Kalopo Sentro
Signal Alang -
alang

Diagram 2 : Daya Cerna Bahan Kering Sampel


Sumber : Data Hasil Penelitian Daya Cerna In Vitro Bahan Kering dan Bahan Organik Hijauan Pakan pada lahan pasca tambang
PT. INCO Sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan. (Irwan, 2011)

versi elektronik
Rumput signal memiliki kualitas daya cerna yang tinggi dibandingkan dengan sentro (Centrocema
pubescens) dan kalopo (Calopogonium muconoides) juga disebabkan oleh faktor umur seperti halnya
yang terjadi pada daya cerna bahakn kering sampel. Semakin tua umur hijauan maka serat kasar yang
dikandungnya akan lebih tinggi sehingga mengurangi kualitas daya cerna (Hasan, 2010).
Untuk rumput alang – alang (Imperata cylindrica) , memiliki kualitas daya cerna rendah disebabkan oleh
beberapa faktor yang diantaranya adalah serat kasar yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ako, dkk

84
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(1992) yang menyatakan bahwa dkualitas daya cerna rumput alang – alang pada dasarnya lebih rendah
dibandingkan dengan hijauan pada umumnya. Hal ini dikarenakan serat kasar yang dimiliki rumput alang
– alang lebih tinggi dibanding dengan hijauan pada umumnya.

versi elektronik
KESIMPULAN
Beradasarkan uraian – uraian di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil terkait mengenai tantangan
pengembangan lahan pasca tambang PT. INCO, tbk. Sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi
Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :
Lahan pasca tambang PT. INCO, tbk. sorowako telah direhabilitasi yang salah satu bentuknya
diorientasikan untuk pengembangan pasture
Tantangan awal dalam mengembangkan lahan pasca tambang PT. INCO, tbk. sorowako meliputi :
produksi bahan segar dan kering yang rendah, daya cerna bahan kering dan bahan organik yang rendah.
Keduanya disebabkan karena tanah yang kurang subur
Untuk mengatasi persoalan yang ada, maka dibutuhkan penelitian lanjutan khususnya yang terkait dengan
studi pertumbuhan beberapa jenis hijauan lain yang tida terdapat di lahan pasca tambang.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Ako, A. S. Hasan dan Sudirman. 1992. Laporan Penelitian Memanfaatkan alang – alang untuk
Pertumbuhan Ternak Kambing dengan Sistem Grazing. Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Goto, I and Minson. 1977. Prediction of the dry matter digestibility of tropical grasses using a pepsin-
cellulase assay. Anim. Feed Sci. Technol., 2:247-253.
Hasan, S. 2010. Bahan Ajar Ilmu Tanaman Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar
Irwan, M. 2011. Daya cerna In Vitro Bahan Kering dan Bahan Organik Hijauan Pakan pada Lahan Pasca
Tambang PT. INCO tbk. Sorowako Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Lingga, P. 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta

versi elektronik
Prawiradiputra, B.R., Sajimin, N.D. Purwantari dan I. Herdiawan. 2006. Hijauan Pakan Ternak di
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta
Suryani, A.. 2011. Analisis Kandungan ADF dan NDF Hijauan Pakan pada Lahan Pasca Tambang di
Wilayah PT. INCO Sorowako Luwu Timur Sulawesi Selatan. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar
Yusikewati. 2012. Kandungan Nikel (Ni), Kromium (Cr), dan Timbal (Pb) Rumput Signal (Brachiaria
decumben) pada Lahan Pasca Tambang PT. INCO Sorowako Sulawesi Selatan. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar

versi elektronik 85
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN KOMPLIT MENGANDUNG BERBAGAI LEVEL
TONGKOL JAGUNG TERHADAP PENAMPILAN KAMBING KACANG JANTAN
Muhammad Zain Mide dan Harfiah

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin; Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10, Tamalanrea Makassar
email : zainmide@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tongkol jagung merupakan limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan alternatif, walaupun
kandungan nutrisi tongkol jagung rendah dan serat kasarnya tinggi, tapi dapat digunakan sebagai sumber
serat dalam pakan komplit pada kambing kacang jantan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh
mana tongkol jagung dalam pakan komplit memberikan pengaruh terhadap penampilan kambing kacang
jantan. Penelitian ini dirancang menurut Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 x 4. Perlakuan terdiri dari T1
(pakan komplit mengandung 30 % tongkol jagung), T2 ( pakan komplit mengandung 35 % tongkol
jagung), T3 (pakan komplit mengandung 40 % tongkol jagung, dan T4 (pakan komplit mengandung 45 %
tongkol jagung). Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap penampilan kambing kacang jantan. Maka, dapat disimpulkan bahwa perbedaan level tongkol
jagung dalam pakan komplit tidak berpengaruh secara negatif terhadap penampilan kambing kacang

versi elektronik
jantan
Kata kunci : Tongkol jagung, pakan komplit, penampilan, kambing kacang jantan

ABSTRACT
Corn cobs is one of agriculture waste which is applicable as one of alternative feed ingredients, despite its
low nutritional and high fibre contents; it can used as fibre resource of complete feed to male kacang
goats. The objective of this research is to evaluate effects of giving total mixed ration containing different
levels of corn cobs on performance male kacang goats. The experiment was carried out according to 4 x 4
Latin Square Design. In each period of 12 days, each goat was randomly assigned to one of the following
treatments: T1 (complete ration containing 30 % corn cobs), T2 (complete ration containing 35 % corn
cobs), T3 (complete ration containing 40 % corn cobs), and T4 (complete ration containing 45 % corn
cobs). The result of the study is the treatments did not indicate a tangible effect (P>0, 05) to the
performance of male kacang goats. In conclusion, different levels of corn cobs in complete feed did not

versi elektronik
negatively affect the performance of male kacang goats.
Keywords : corn cobs, complete feed, peformance, female kacang goats

PENDAHULUAN
Kambing merupakan hewan yang cukup dikenal secara luas oleh masyarakat sebagai salah satu ternak
yang hidup di daerah tropis yang secara umum memiliki beberapa kelebihan yaitu sebagai penghasil susu
dan daging, serta kotorannya dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dan kulitnya memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi.
Namun masih ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan usaha tani ternak yaitu
komunitas ketersediaan pakan. Produksi hijauan pakan umumnya berfluktuasi mengikuti pola musim,
pada musim hujan hijauan melimpah, dan musim kemarau sangat terbatas. Upaya mengatasi masalah ini,
dengan memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan alternative seperti tongkol jagung. Limbah ini
jarang digunakan untuk makanan ternak (Yulistiani, 2010). Tongkol jagung banyak mengandung

versi elektronik
lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Guntoro (2009) menyatakan bahwa
tongkol jagung banyak mengandung selulosa 44,9 %, hemiselulosa 31,8 % dan lignin 23,3 % serta
kandungan protein amat rendah. Tongkol jagung berukurang besar, sehingga tidak dapat dikonsumsi
ternak jika diberikan langsung, oleh karena itu, untuk memberikannya perlu penggilingan terlebih dahulu
dan baru dicampur dengan konsentrat sebagai pakan komplit. Pakan komplit merupakan pakan yang
mengandung nutrient untuk ternak dalam tingkat fisiologis tertentu yang dibentuk dan diberikan sebagai

86
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
satu-satunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi tanpa tambahan
substansi kecuali air oleh Hartadi dkk. dalam Mide (2011). Pembuatan pakan komplit sebaiknya
menggunakan pakan local. Hal ini sangat diperlukan, mengingat ketangguhan agribisnis peternakan
adalah mengutamakan menggunakan bahan baku local yang tersedia didalam negeri dan sedikit mungkin

versi elektronik
menggunakan komponen impor (Saragih, 2000). Penggunaan tongkol jagung pengganti hijuan merupakan
upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan limbah pertanian pada ternak kambing. Meskipun limbah ini
masih perlu diolah secara fisik yaitu digiling dalam pakan komplit untuk makanan kambing pada musim
paceklik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemanfaatan tongkol jagung sebagai pakan
alternative dalam pembuatan pakan komplit pada kambing kacang jantan.

METODE PENELITIAN
Tongkol jagung dapat digunakan sebagai pakan alternative sebagai sumber serat dalam pembuatan pakan
komplit untuk kambing kacang jantan. Material yang digunakan penelitian ini adalah 4 ekor kambing
kacang jantan yang berumur 1 – 1,5 tahun, yang ditempatkan dalam kandang metabolism. Tongkol
jagung yang digunakan digiling sebelum dicampur dengan konsentrat, di formulasi berdasarkan
kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dan kebutuhan nutrisi kambing penelitian. Adapun alir
pembuatan pakan komplit seperti pada Gambar 1. Bahan pakan yang digunakan dan kandungan nutrien

versi elektronik
setiap jenis bahan pakan dalam pakan komplit berdasarkan analisis laboratorium dari berbagai peneliti
seperti Tabel 1.

Tongkol jagung Penggilingan Konsentrat

Formulasi

Penimbangan

Mixing

versi elektronik
Pemanasan

pencetakan

Pengeringan

Pakan komplit dalam bentuk padat dan kering


siap diberikan pada kambing

versi elektronik
Gambar 1. Alir pembuatan pakan komplit

87
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Kandungan Nutrien Setiap Jenis Bahan Pakan
Bahan Pakan Kandungan Nutrisi
BK BO Pk SK Lk Ca P

versi elektronik
Tongkol jagung* 90,00 88,50 2,80 32,70 0,70 0,12 0,04
Dedak padi** 91,00 74,80 12,90 11,40 13,00 0,04 1,50
Bungkil kelapa** 88,50 87,90 21,00 15,00 12,55 0,20 0,60
Ampas tahu** 18,06 97,28 21,10 25,43 7,24 1,36 0,57
Tepung tapioca*** 87,43 99,89 0,74 0,56 0,00 0.20 0,01
Tepung jagung** 86,00 72,00 9,00 2,00 4,00 0,02 0,30
Mineral 0 0 0 0 0 0 0
Vitamin 0 0 0 0 0 0 0
Garam dapur 0 0 0 0 0 0 0
Sumber: *Forsum (2012); **Anggorodi (1985); dan *** Islamiyati dkk. (2006).

Tabel 2. Komposisi Bahan Pakan tiap Perlakuan dan kandungan Nutrien (% BK) Pakan Komplit
berdasarkan Perhitungan

versi elektronik
Bahan pakan Perlakuan
T1 T2 T3 T4
Tongkol jagung 30 35 40 45
Dedak padi 25 18 15 11
Bungkil kelapa 11 14 13 15
Ampas tahu 12 13 12 12
Tepung tapioca 10 10 10 10
Tepung jagung 9 7 4 4
Mineral 1 1 1 1
Vitamin 1 1 1 1
Garam dapur 1 1 1 1
Jumlah 100 100 100 100
Kandungan nutrien (% BK) pakan komplit berdasarkan perhitungan
Bahan kering (%) 78,13 77,38 75,99 74,56
Bhana organik (%) 83,16 84,42 85,77 87,09

versi elektronik
Protein kasar (%) 11,02 11,02 11,03 11,00
Serat kasar (%) 22,97 23,07 23,65 23,94
Lemak kasar (%) 4,60 4,59 4,48 4,37
Kalsium (%) 0,33 0,34 0,35 0,36
Fosfor (%) 0,30 0,29 0,28 0,27

Penelitian ini berlangsung 4 periode, tiap periode 12 hari, terdiri dari 9 hari pembiasaan dan 3 hari
pengambilan data. Sebelum diberikan pakan komplit kambing penelitian terlebih dahulu ditimbang dan
sisanya diambil (ditimbang) pada hari berikutnya waktu pagi selama 3 hari berturut-turut, serta dilakukan
dengan cara yang sama pada setiap periode selama penelitian. Pengambilan sampel 25 % dari pakan yang
diberikan, dan dikompositkan kemudian diambil 25 gram sebagai sub sampel untuk kebutuhan analisis di
laboratorium. Untuk mengetahui pertambahan berat badan kambing dilakukan penimbangan berat badan

versi elektronik
pada awal dan akhir setiap periode penelitian. Kemudian dilanjutkan pengambilan sampel cairan rumen
dengan system Stomach (Preston, 1986) dengan menggunakan pompa vakum. Cairan rumen diukur
pHnya dan disaring dengann kain kasa. Cairan rumen disentribuge untuk memperoleh cairan bening, dan
konsentrasi ammonia cairan rumen diukur dengan menggunakan metode Microdiffusion Conway
(Conway, 1962) di Laboratorium Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan. Sedangkan sampel darah
diambil melalui vena jugularis dan disentribuge untuk memperoleh plasma darah, kemudian dianalisis

88
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
untuk mendapatkan urea plasma darah menurut prosedur Roche Diagnostica di Laboratorium Kesehatan
Makassar.
Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar,

versi elektronik
ammonia cairan rumen, N urea plasma darah, dan pertambahan berat badan. Rancangan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 x 4, dimana 4 perlakuan dan 4 ulangan
(Sudjana, 1991)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rata-rata konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar, ammonia cairan rumen, N urea plasma
darah, dan pertambahan berat badan kambing kacang jantan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-Rata Konsumsi Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein, Amonia Cairan Rumen, Urea
Plasma Darah, dan Pertambahan Berat Badan Kambing Kacang Jantan.
Parameter Perlakuan
T1 T2 T3 T4
Konsumsi bahan kering (g/e/h) 409,86 4 13,61 378,14 386,22
Konsumsi bahan organik (g/e/h) 380,02 384,35 350,78 357,95

versi elektronik
Konsumsi protein kasar (g/e/h) 53,63 52,12 49,56 49,36
Amonia cairan rumen (mg/dl) 7,60 8,03 5,69 6,15
pH cairan Rumen 6,26 6,00 6, 00 6,15
N urea plasma darah (mg/dl) 12,97 11,85 12,47 9,47
Pertambahan berat badan g/e/h 28,00 18,00 23,00 27,00

Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi bahan
kering, bahan organik, protein kasar, ammonia cairan rumen, N urea plasma darah, dan pertambahan berat
badan kambing kacang jantan. Artinya semua level tongkol jagung dalam pakan komplit sama
pengeruhnya terhadap semua parameter yang diukur. Meskipun proporsi level tongkol jagung berbeda
tiap perlakuan dalam pakan komplit, tapi ada kecendrungan menurunkan konsumsi bahan kering ransum.
Rata-rata konsumsi bahan kering kambing menurut perlakuan T1, T2, T3, dan T4 (Tabel 3). Konsumsi
bahan kering paling tinggi diperoleh pada perlakuan T2 dan paling rendah T3. Tinggi rendahnya
konsumsi bahan kering dipengaruhi berat badan kambing, dan makin tinggi berat badan konsumsi pakan

versi elektronik
makin tinggi. Konsumsi bahan kering pakan komplit pada kambing penelitian ini berkisar 3,09 – 4,45 %
dari berat badan, dan lebih tinggi daripada yang diperoleh Tarigan (2009) yaitu 3 – 3,8 % dari berat
badan. Hal ini mungkin disebabkan karena pengaruh berat badan, jenis dan bentuk fisik pakan, kualitas
dan cara pengolahan pakan berbeda. Sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini pakan komplit yang
telah diberikan pemenasan dan pemadatan. Pemanasan dapat mematikan mikroba, menurunkan antinutrisi
dan merenggangkan serat.
Konsumsi bahan organik adalah benyaknya kandungan protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan
ekstrak tanpa nitrogen yang terdapat dalam bahan pakan yang dikonsumsi kambing penelitian. Rata-rata
konsumsi bahan organik pakan komplit tiap perlakuan (Tabel 3) menunjukkan bahwa perlakuan T2 paling
tinggi dan paling rendah T3. Sutardi (1980) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan
bahan kering, karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Sedangkan Murni dkk (2012)
menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi bahan organik akan dipengaruhi oleh konsumsi bahan
kering. Hal ini karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri dari komponen bahan organik,

versi elektronik
perbedaan keduanya terletak pada kandungan abunya.
Makin tinggi level tongkol jagung dalam pakan komplit konsumsi protein makin rendah. Rata-rata
konsumsi protein pakan komplit (Tabel 3), ternyata konsumsi protein kasar paling tinggi diperoleh pada
perlakuan T2 dan terendah T3. Protein kasar yang masuk kedalam tubuh akan digunakan ternak untuk
mengganti jaringan tubuh yang telah rusak dan untuk pertumbuhan (Anggorodi, 1985). Sehubungan yang
dikemukakan Timbah, dkk. dalam Mide (2011) menyatakan bahwa untuk memaksimalkan produksi

89
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
ternak dengan memperhatikan faktor pakan khususnya kandungan protein yang merupakan senyawa
organik yang kompleks dan berfungsi untuk membangun dan memelihara jaringan dan organ tubuh,
menyediakan energin dalam tubuh, asam amino dan lemak.Adanya perbedaan konsumsi protein antar
kambing dipengeruhi oleh adanya perbedaan bobot hidup kambing yang digunakan tiap perlakuan, selain

versi elektronik
bobot hidup, faktor lain mempengaruhi perbedaan konsumsi pakan diantaranya adalah pertambahan bobot
hidup, jumlah pakan yang dikonsumsi, kecernaan dan kandungan protein serta energy yang terkandung
dalam ransum (Crampton dan haris yang disitasi oleh Mide. 1992).
Konsentrasi ammonia cairan rumen kambing penelitian paling rendah diperoleh pada perlakuan T3 dan
paling tinggi perlakuan T4 (Tabel 3). Tingginya konsentrasi ammonia pada perlakuan T4 diduga
dipengaruhi oleh kemampuan mikroba mendegredasi bahan pakan dalam rumen untuk memenuhi
kebutuhan protein tubuhnya. Cairan rumen merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan
protozoa secara anaerobik. Bakteri selulotik merupakan bakteri yang penting dengan pakan berkualitas
rendah pada ternak ruminansia (Church, 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ammonia
cairan rumen adalah kandungan protein ransum, bahan pakan sumber protein dalam ransum dan waktu
pemberian pakan (Arora (1989). Konsentrasi optimum ammonia cairan rumen untuk memaksimalkan
pertumbuhan mikroba rumen seperti yang dilaporkan oleh Satter dan Slyter (1974) adalah 5 – 8 mg/100
ml cairan rumen. Faktor lain mempengaruhi nilai pH cairan rumen yaitu lamanya waktu tinggal pakan

versi elektronik
dalam rumen (Hariyani, 2011). Sedangkan pH cairan rumen kambing selama penelitian berkisar antara
6,00 – 6,26 dan sedikit lebih rendah bila dibandingkan yang diperoleh Arora (1995) bahwa pH cairan
rumen normal pada kambing berkisar antara 6 – 7.
Rata-rata konsentrasi N urea plasma darah tiap perlakuan (Tabel 3). Konsentrasi N urea plasma darah
paling rendah diperoleh pada perlakuan T4 dan paling tinggi perlakuan T1. Terdapat hubungan antara
nitrogen urea dalam darah dan konsumsi protein, nitrogen urea dalam darah banyak ditentukan oleh
konsumsi protein dan kelebihan protein dalam rumen dapat menyebabkan konsentrasi ammonia dalam
rumen dan tingkat urea dalam darah meningkat (Mide, 1992). Meskipun ammonia yang diserap masuk
kedalam darah tidak semuanya berasal dari protein makanan yang dikonsumsi kemudian didegredasi
mikroba dalam rumen melainkan juga sebagian ammonia diubah menjadi urea dalam hati kemudian
dikembalikan ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen melalui pembulu darah
masuk ke rumen, urea dari bermacam-macam sumber diubah menjadi urease jazad renik kemudian
menjadi Co2 dan ammonia (Tillman, dkk. 1984). Hal ini memberikan indikasi bahwa urea dari

versi elektronik
bermacam-macam sumber dirubah urease jasad renik menjadi Co2 dan ammonia. Namun mempunyai
hubungan yang erat antara konsumsi protein makanan dengan konsentrasi urea plasma darah.
Rata-rata pertambahn berat badan kambing penelitian yang mendapat pakan komplit mengandung tongkol
jagung pada level yang berbeda menunjukkan perlakuan T1 paling tinggi dan T3 renda. (Tabel 3).
Perbedaan pertambahan berat badan kambing penelitian tiap perlakuan diduga disebabkan karena berat
badan awal yang berbeda. Ada kecenderungan kambing yang besar mampu mengonsumsi pakan lebih
banyak, dan pertambahan berat badannya lebih tinggi daripada kambing yang berat badannya lebih kecil.
Meskipun tongkol jagung kandungan nutrisinya rendah dan sulit dimakan oleh ternak, tapi bila diberikan
perlakuan fisik dan dicampur konsentrat atau dijadikan pakan komplit bisa memberikan pertambahan
berat badan pada kambing kacang jantan. Jadi tongkol jagung merupakan limbah pertanian selama ini
belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan terkadang dibakar atau dibuang dilapangan oleh petani
dipedesaan

versi elektronik
KESIMPULAN
1. Perbedaan tongkol jagung dalam pakan komplit tidak berpengaruh secara negative terhadap
penampilan kambing kacang jantan.
2. Penggunaan tongkol jagung dalam pakan komplit dapat memberikan pertambahan berat badan
pada kambing kacang jantan.

90
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dekan Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin yang telah menyediakan fasilitas untuk penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan
kepada panitia Seminar Nasional Fakultas Peternakan UnSoed Purwokerto, atas berkenan menerima

versi elektronik
makalah saya.

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, H.R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Dicetak pada: Gajah Mada Univ ersity Press.
8811145-C2E. Yokyakarta.
Conway, E.J. 1962. Microdiffusion Analysis and Volumentric Error. 5th Ed. Crosby Lookwood and Son,
London.
Church. D. C. 1988. The Ruminant Digestive Pysiology and Nutrition, By Prentice Hall. Adivision of
Simon and Scucter Englowood Ctifts. New Jersey.
Guntoro, S. 2009. Mengolah tongkol jagung. http://www.bisnisbali.com2009/06/05/newsopini/g.htm.

versi elektronik
Diakses pada tanggal 27 Februari 2013 Makassar.
Hariyani, E. 2012. Pengaruh tingkat pemberian limbah tempe singkong dalam ransum terhadap
konsentrasi asam lemak terbang (ALT)dan derajat keasaman (pH) cairan rumen domba. (in Vitro)
file ://C:/Users/Publik/Decuments/lithasil/ Fisiologi Pencernaan Ruminansia
Islamiyati, R., Jamila dan A.R. Hidayat. 2006. Nilai nutrisi ampas tahu yang difermentasi dengan
berbagai level ragi tempe. Jurusan Nutrisi dan Makanan ternak. Fakultas Peternakan UNHAS,
Makassar.
Forsum. 2012 Tongkol jagung. http://www.forsum.wordpress.com/2012/09/18/tongkol-jagung. diakses
pada tanggal 38 Februari 2013. Makassar.
Presoton, T. R. 1986. Butter utilization of crop residues aand by products in animalfeeding: Research
guidelines, 1. A practical Mannual for Research Wrkers FAO Animal Production, Animal and
Healt paper. Food and Agriculture Organization of the united Nation Rome.

versi elektronik
Saragih, B. 2000. Kebijakan pengembangan agribisnis di Indonesia berbasiskan bahan baku nlokal. Bull
Peternakan edisi Tambahan hlm. 6 – 11
Satter, L. D. and L. L. Slyter. 1974. Effect ammonia consentration on rumen microbial protein
production in vitro. British Journal of Nutrition. 32:194-208.
Sudjana, M.A. 1985. Disain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito, Bandung.
Tillman, S.D., H. Hartadi,. Reksohadiprodjo., S. Prawikusumo dan S. Lebdosukojo. 1984. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yokyakarta.
Mide, MZ. 1992. Studi urea molasses blok mengandung sumber protein dan sumber energy yang berbeda
dengan ransum basal jerami padi pada ternak domba. Tesis. Progeram Pascasarjana, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
--------------. 2011. Penampilan sapi bali jantan muda yang diberikan ransum komplit.Pro. Seminar

versi elektronik
Nasional Peternakan Berkelanjutan III, UNPAD Bandung.
Yulistiani, D. 2011. Silase tongkol jagung untuk pakan ternak ruminansia. Balai Penelitian Ternak.
Penerbit: Sinar Tani, Bogor.

91
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
FAKTOR HIGROSCOPIS DAN KELARUTAN BAHAN KERING PELET PAKAN KOMPLIT
DENGAN SUMBER HIJAUAN DAN BAHAN PENGIKAT BERBEDA
Munasik, Ika Dewi Kartika, Tri Rahardjo Sutardi dan Titin Widiyastuti

versi elektronik
Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto

ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui interaksi dari sumber hijauan dan bahan pengikat yang berbeda
terhadap factor higroskopis dan kelarutan bahan kering. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak
lengkap pola factorial 2x4. Faktor pertama adalah pakan komplit dengan sumber hijauan rumput gajah
dan daun lamtoro dan pakan komplit dengan sumber hijauan jerami padi dan jerami kacang tanah. Faktor
kedua adalah jenis bahan pengikat yaitu tanpa bahan pengikat, lignosulphonate 3%, bentonite 3% dan
carboxy methyl cellulose (CMC). Masing-masing kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Peubah yang
diamati adalah factor higroskopis dan kelarutan bahan kering pakan.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara sumber hijauan hijauan jerami padi dan
jerami kacang tanah dengan bahan pengikat CMC merupakan kombinasi perlakuan terbaik pada
peningkatan kelarutan bahan kering pellet pakan komplit.

versi elektronik
Kata kunci : pelet pakan komplit, bahan pengikat, higroskopis, kelarutan

PENDAHULUAN
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pakan adalah pelleting. Beberapa
keuntungan pelleting akan dicapai apabila dalam prosesing dihasilkan pellet yang berkualitas. Secara
umum factor-faktor yang mempengaruhi kualitas pellet adalah komposisi penyusun pakan dan sifat-sifat
fifik maupun kimia, teknologi proses maupun penggunaan bahan pengikat yang spesifik. Kualitas fisik
yang tinggi harus dimiliki oleh pellet sehingga dapat memberikan kualitas nutrisi yang tinggi pula.
Kualitas fisik pellet penting untuk beberapa alas an, salah satunya adalah transportasi dan penanganan
baik dalam pabrik pakan maupun pada tinggkat peternak. Kualitas pellet yang perlu diperhatikan adalah
factor higroskopis dan kelarutan bahan kering. Pelletizing dapat memperbaiki kelarutan dari beberapa
bahan pakan sehingga membuat nutrient mudah dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, juga dapat
menurunkan factor higroskopis sehingga dapat memperpanjang masa penyimpanan pakan. Untuk
meningkatkan kualitas fisik pellet dapat ditambahkan bahan pengikat. Beberapa bahan pengikat yang

versi elektronik
biasa digunakan pada produksi pakan ternak adalah bentonite, carboxy methyl cellulose (CMC) dan
lignosulphonate.
Adanya penambahan bahan pengikat pada pembuatan pellet dengan sumber hijauan berbeda dapat
meningkatkan kelarutan bahan kering dan menurunkan factor higroskopis perlu dilakukan penelitian.

METODE PENELITIAN
Materi penelitian yang digunakan adalah ransum sapi potong formula 1 dan formula 2, bahan pengikat
bentonite, carboxy methyl cellulose (CMC) dan lignosulphonate, mesin pellet, alat pengering. Variabel
yang diamati meliputi factor higroskopis dan kelarutan bahan kering.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan rancangan dasar pola factorial
rancangan acak lengkap (RAL). Faktor A jenis hijauan (a1 = rumput gajah dan daun lamtoro, a2 = jerami
padi dan jerami kacang tanah) dan factor B jenis bahan pengikat (b0 = tanpa bahan pengikat, b1 =
lignosulphonate, b2 = bentonite dan b3 = CMC).

versi elektronik
Faktor higroskopis merupakan perubahan kadar air bahan setelah 6 jam sedangkan kelarutan bahan kering
merupakan selisih bahan kering awal dikurangi bahan kering setelah dilarutkan dibagi bahan kering awal
dikalikan 100% (Widiyastuti dkk., 2003).

92
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Komposisi bahan penyusun ransum dan kadar nutrient ransum
Bahan pakan Formulasi 1 Formulasi 2
------------ gram ------------

versi elektronik
Rumput gajah 90 0
Daun lamtoro 60 0
Jerami padi 0 90
Jerami kacang tanah 0 60
Jagung giling 325 360
Dedak padi 273 187
Bungkil kelapa 130 160
Tallow 25 45
Molases 90 90
CaCO3 4 6
Monosodium phosphate 3 2
Jumlah 1000 1000
Kadar nutrient ---------- % -----------
TDN 60,66 60,02
PK 10,74 10,10

versi elektronik
Ca 0,34 0,47
P 0,40 0,40

HASIL DAN PEMBAHASAN


Faktor higroskopis
Rataan faktor higroskopis pellet pakan komplit sapi potong dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Rataan faktor higroskopis pellet pakan komplit sapi potong
b0 b1 b2 b3 Rataan
a1 4,1418 3,1829 3,6447 2,4383 3,3519b
a2 5,7666 5,8739 6,0003 4,9836 5,6561a

versi elektronik
Rataan 4,9542 4,5284 4,8225 3,7112 4,5040
Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata
Rataan faktor higroskopis pellet pakan komplit sapi potong sebesar 4,5040 masih dalam kisaran faktor
higroskopis pakan komplit cetak pada sapi perah yang diteliti oleh Munasik dkk. (2013) sebesar 1,10 –
9,69. Angka ini masih lebih tinggi dari faktor higroskopis pakan komplit hasil penelitian Susanti dkk.
(2010) yaitu sebesar 0,1755 – 0,2525.
Hasil analisis ragam faktor higroskopis pellet pakan komplit sapi potong menunjukkan bahwa perlakuan
pada factor A (sumber hijauan) berpengaruh sangat nyata terhadap factor higroskopis (P < 0,01),
sedangkan factor B (jenis bahan pengikat) maupun interaksinya antara sumber hijauan dan jenis bahan
pengikat (AxB) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Hal ini berarti bahwa sumber
hijauan berpengaruh terhadap nilai factor higroskopis. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa faktor
higroskopis pellet pakan komplit sapi potong yang menggunakan sumber hijauan rumput gajah dan daun

versi elektronik
lamtoro (a1) mempunyai nilai lebih baik dari pada yang menggunakan sumber hijauan dari jerami padi
dan jerami kacang tanah (a2). Perbedaan ini disebabkan karena hijauan yang berasal dari limbah
agroindustri mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi, dalam hal ini khususnya jerami padi yang
kadar serat kasarnya 32,5 persen dan jerami kacang tanah mempunyai kandungan serat kasar 22,70 persen
(Sutardi, 1981).

93
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Struktur lignin yang terdapat pada limbah agroindustri mempunyai pengaruh terhadap factor higroskopis
pellet yang dihasilkan karena dengan adanya lignin tersebut maka pellet yang dihasilkan tidak dapat
memadat bahkan akan membentuk porisehingga pellet akan menjadi berongga, dan dengan adanya
rongga tersebut pellet akan mempunyai kemampuan untuk menyerap air lebih banyak.

versi elektronik
Rendahnya faktor higroskopis pellet pakan komplit sapi potong dengan sumber hijauan rumput gajah dan
daun lamtoro juga menunjukkan adanya kemampuan menyerap air dari udara sekitar rendah sehingga
investasi serangga juga rendah, sebagai akbibatnya akan mempunyai daya simpan yang lebih lama
dibandingka pellet pakan komplit yang dari sumber hijauan jerami padi dan jerami kacang tanah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Yang dan Cenkwoski (1993) bahwa pengaruh yang sangat nyata terhadap factor
higroskopis pada suhu yang sama dapat meningkatkan investasi serangga pada hasil pertanian selama
penyimpanan.
Kelarutan bahan kering
Rataan kelarutan bahan kering pellet pakan komplit sapi potong dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Interaksi antara sumber hijauan dan jenis bahan pengikat pada kelarutan bahan kering pellet
pakan komplit sapi potong

versi elektronik
a1 a2 Rataan
b0 21,4818 34,7186 28,1002
b1 36,0021 32,1364 34,0693
b2 35,4517 37,0498 36,2508
b3 27,4453 40,3499 33,8976
rataan 30,0952 36,0637

Uji BNT interaksi antara factor A dan B


a1b0 a1b3 a2b1 a2b0 a1b2 a1b1 a2b2 a2b3

versi elektronik
21,4818 27,4453 32,1364 34,7186 35,4517 36,0021 37,0498 40,3499
a2b3 ** ** * ns ns ns ns -
a2b2 ** ** ns ns ns ns -
a1b1 ** * ns ns ns -
a1b2 ** * ns ns -
a2b0 ** * ns -
a2b1 ** ns -
a1b3 ns -
a1b0 -
Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata, ns = tidak nyata

versi elektronik
Hasil analisis ragam kelarutan bahan kering pellet pakan komplit sapi potong menunjukkan bahwa
terdapat interaksi antara sumber hijauan dan jenis bahan pengikat (AxB) menunjukkan perbedaan sangat
nyata (P < 0,01). Interaksi antara sumber hijauan dan jenis bahan pengikat menunjukkan bahwa pellet
pakan komplit dengan sumber hijauan dari rumput gajah dan daun lamtoro (a1) mempunyai kelarutan
bahan kering yang lebih rendah dari pada pellet pakan komplit dengan sumber hijauan dari jerami padi
dan jerami kacang tanah (a2).

94
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pellet pakan komplit dengan sumber hijauan dari jerami padi dan jerami kacang tanah dengan bahan
pengikat CMC (a2b3) mempunyai kelarutan bahan kering yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
menggunakan bahan pengikat lainnya pada kelompok sumber hijauan jerami padi dan jerami kacang
tanah yaitu sebesar 40,3499 persen. Hal ini berarti bahwa pellet tersebut mudah larut di dalam air dan

versi elektronik
semakin mudah pula pellet tersebut dicerna di dalam rumen. Menurut Thomas et al. (1998) bahwa CMC
dapat membawa partikel untuk melarut secara bersamaan sehingga bahan pakan yang diberi pengikat
CMC mempunyai kelarutan yang lebih baik karena bahan-bahan penyusun pellet pakan komplit dapat
melarut bersamaan dengan CMC di dalam air. Ramanzin et al. (1994) melaporkan bahwa kelarutan antar
bahan pakan nyata bervariasi antara 5,0 – 53,2 persen.
Tingginya kelarutan bahan kering pada pellet pakan komplit dari jerami padi dan jerami kacang tanah
dengan bahan pengikat CMC juga disebabkan karena adanya NaOH yang terkandung dalam CMC.
Menurut Winarno (1997) bahwa CMC dibuat dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni.
Adanya NaOH pada CMC menyebabkan jerami menjadi lebih terlarut. Jerami yang ditambahkan dengan
NaOH dapat meningkatkan kecernaan jerami karena NaOH dapat melarutkan silica yang terdapat pada
jerami.

KESIMPULAN

versi elektronik
1. Kombinasi antara sumber hijauan dari jerami padi dan jerami kacang tanah dengan bahan
pengikat carboxy methyl cellulose (CMC) merupakan kombinasi perlakuan yang terbaik
mempunyai kelarutan bahan kering pellet pakan komplit sebesar 40,3499 persen.
2. Penggunaan sumber hijauan rumput gajah dan daun lamtoro mempunya factor higroskopis yang
lebih baik (3,33519 persen) dibandingkan dengan sumber hijauan jerami padi dan jerami kacang
tanah (5,6561 persen).
3. Pellet pakan komplit dengan sumber hijauan dari jerami padi dan jerami kacang tanah dengan
bahan pengikat carboxy methyl cellulose (CMC) mempunyai kelarutan bahan kering yang lebih
tinggi (40,3499 persen) dibandingkan dengan yang menggunakan bahan pengikat lainnya

DAFTAR PUSTAKA
Munasik, C. I. Sutrisno, S. Anwar and C.H. Prayitno. 2013. Physical characteristics of pressed complete
feed for dairy cattle. Internat. J. of Sci. and Eng. 4 (2) : 61-65.

versi elektronik
Ramanzin, M. L., Bailoni, and G. Bittante. 1994. Solubility, water holding capacity and specific gravity
of different concentrates. J. Dairy Sc 77: 774-781.
Susanti, E dan T. Widiyastuti and Munasik, 2010. The Study of Use Binders on Complete Feed block
Processing on Physisical and Chemical Quality. Proceedings International Seminar : The 1st
International Seminar and Biennial Meeting of Indonesian Nutrition and Feed Science
Association, Empowerment of Local Feeds to Support Feed Security. Faculty of Animal Science
Soedirman University Purwokerto and Indonesian Nutrition and Feed Science Association
(AINI). ISBN:978-979-25-9572-7 pp. 37-39.
Sutardi, T. 1981. Sapi perah dan pemberian makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan IPB. Bogor.
Thomas, B., A.F.B. Van Der Poel and D.J. Van Zuilichen. 1998. Physical quality of pelleted animal feed
3. Contribution of feedstuff component. Animal feed science technology. Elseveiser p. 59-78.

versi elektronik
Yang, W.H. and S. Chenkowski. 1993. Effect of succecive adsorption desorption cycles and drying
temperature on hygroscopic equilibrium of canola. Departement of agriculture engineering.
University of Manitoba Canada 35 (2) : 119.

95
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PEMBERIAN MINYAK IKAN LEMURU DALAM RANSUM AYAM ARAB TERHADAP
KUALITAS TELUR
Ning Iriyanti, Singgih Sugeng Santosa, dan Sri Suhermiyati

versi elektronik
Faculty of Animal Sciences, Jenderal Soedirman University
Jl. dr. Suparno, Purwokerto 53122; email. Ning_iriyanti@yahoo.co.id ; ningiriyanti@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah mengevaluasi penggunaan minyak ikan lemuru dalam ransum ayam arab
terhadap kualitas telur ayam arab. Materi yang digunakan ayam arab betina umur 20 minggu sebanyak 60
ekor, metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan lima
ulangan, dengan 3 ekor ayam setiap ulangan. Perlakuan terdiri dari : R0=kontrol, R1= penggunaan
minyak ikan lemuru 1,5% (w/w); R2= penggunaan minyak ikan lemuru 3,0% (w/w); R3=penggunaan
minyak ikan lemuru 4,5% (w/w). Analisis data menggunakan analisis variansi dan uji lanjut dengan uji
Beda Nyata Jujur (BJN). Hasil penelitian menunjukkan rataan Hen Day Production (HDA) 32,56-44,67
%, bobot telur 30,51-33,71 g; High Unit (HU) sebesar 73,79-78,75, warna kuning telur dengan nilai
6,25-9, protein kuning telur 13,1-15,89%, dan kolesterol kuning telur 62,16-72,01 mg/g. Kesimpulan
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan minyak ikan lemuru sampai level 4,5% dapat digunakan

versi elektronik
sebagai campuran pakan sumber energi maupun sumber omega 3 untuk ayam arab.
Kata kunci : minyak ikan lemuru, ayam arab, kualitas telur

ABSTRACT
The purpose of this research was to evaluate used to menhaden fish oil in feed for egg quality arab
chicken. The research used 60 Arab hen (20 weeks old) which placed in individual battery cages which
consisted of 4 treatment and 5 repetitions with 3 chicks each. The research methode used to Completely
Randomized Design (CRD). The treatments were : R0= control; R1= 1.5% menhaden fish oil (w/w); R2=
3,0% menhaden fish oil (w/w); R3 = 4.5% menhaden fish oil (w/w). Each treatment was repeated 4 times
with 5 chicks each. Analysis of data used analysis of variance continued with Honesly Significantly
Design (HSD). The result indicated that the treatment significantly (P<0,05) affected to yolk color, but
did not affect to egg production (HDA), egg weight, Haught Unit (HU), yolk protein and yolk cholesterol.
It could be concluded: 1.) the use of 4.5% menhaden fish oil could be used to mixed feed as energy

versi elektronik
source and omega 3 for arab chicken.
Key word : menhaden fish oil, arab chiken, egg quality

PENDAHULUAN
Ayam Arab (Gallus turcicus) merupakan jenis ayam buras petelur yang saat ini dikembangkan di
Indonesia dan 90% telur ayam kampung yang berada dipasaran merupakan telur ayam arab. Produksi
telur ayam buras pada tahun 2010 mencapai 175.527,83 ton sedangkan konsumsi terhadap telur ayam
buras pada tahun 2010 mencapai 195.000 ton (Ditjennak, 2010) dan pemenuhannya sebagain besar
berasal dari telur ayam Arab. Produksi telur ayam Arab yang tinggi yaitu 190 – 250 butir/tahun dengan
bobot telur sekitar 30 – 35 g dan hampir tidak memiliki sifat mengeram sehingga waktu bertelur menjadi
lebih panjang (Natalia dkk., 2005).
Ayam Arab banyak ditemukan di Indonesia merupakan hasil persilangan dengan berbagai jenis ayam,
baik ayam lokal maupun ayam ras (Nataamijaya dkk, 2003). Ayam Arab lebih tahan penyakit dan tahan

versi elektronik
perubahan iklim (Yusdja dkk, 2005). Menurut Pambudhi (2003), ayam Arab yang berada di Indonesia
terdiri dari dua jenis yaitu ayam Arab Silver dan ayam Arab Merah (Golden red). Namun, di kalangan
masyarakat ayam arab yang lebih dikenal adalah ayam arab silver.
Penampilan telur ayam arab mirip dengan ayam kampung, ukurannya relatif sama, dan warna kerabang
telurnya juga sama, dengan harga jual yang sama dengan ayam kampung (Sarwono, 2001). Telur ayam

96
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
arab berwarna putih karena memiliki gen dominan yang berasal dari ayam ras impor, walaupun di
Indonesia telah mengalami perkawinan silang dengan ayam lokal (Sulandari dkk., 2007).
Menurut Karijono (2010) untuk memperoleh produksi telur yang optimal perlu memperhatikan faktor-

versi elektronik
faktor antara lain : keseimbangan nutrisi pakan, umur, bangsa, faktor lingkungan dan kesehatan ternak.
Jumlah pakan yang dikonsumsi juga berpengaruh terhadap jumlah konsumsi protein dan energi dalam
pakan. Tinggi rendahnya konsumsi protein dan energi secara fisiologis berpengaruh terhadap jumlah
telur yang dihasilkan. Menurut Amrullah (2003) Faktor-faktor yang menentukan produksi telur (%)
adalah genetik/bangsa, nutrisi, umur atau usia produksi, jenis kandang, sistem pemeliharaan (ekstensif,
semi intensif, dan intensif), dan temperatur. Menurut Sulandari dkk. (2007) performa produksi dan
kualitas telur ayam Arab adalah : bertelur pertama umur 22 minggu, produksi telur (190-250 Butir/th);
bobot telur 34,24 ± 1,38 g ; warna kerabang telur : putih, putih kekuningan dan cokelat.
Kualitas telur ayam Arab menurut Diwyanto dan Prijonono ( 2007 ) adalah berat telur 42,5 g/butir, berat
kuning telur 16,0 g/butir, berat putih telur 13,9 g/butir, berat kerabang 5,6 g/butir. Schreir et al. (2004)
menyatakan bahwa minyak ikan lemuru merupakan minyak yang kaya akan energi dan omega-3.
Kandungan energi sebesar 8400 kkal, asam oleat (omega-9) sebesar 15,55%, asam lemak linoleat (omega-
6) sebesar 8,91%, dan linoleat (omega-3) sebesar 26,29%.

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan adalah ayam Arab betina umur 24 minggu sebanyak 60 ekor pada kandang
baterai. Bahan pakan penyusun ransum penelitian adalah jagung, dedak, bungkil kedelai, tepung ikan,
minyak ikan lemuru, minyak sawit, tepung batu kapur dan premix. Dengan kandungan protein 19 % dan
Energi metabolik sebesar 2700 kkal/kg. Penelitian menggunakan metode eksperimental in vivo dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel and Torrie, 1994). Data dianalisis dengan analisis
variansi dan uji lanjut dengan Uji BNJ (Beda Nyata Jujur). Ransum perlakuan yang diberikan yaitu: R0 =
Pemberian minyak ikan lemuru 0,0% (v/v); R1 = Pemberian minyak ikan lemuru 1,5% (v/v); R2 =
Pemberian minyak ikan lemuru 3% (v/v); R3 = Pemberian minyak ikan lemuru 4,5% (v/v). Pengukuran
peubah kualitas telur secara eksterior menggunakan metode Montesqrit (2008), analisis protein telur
dengan proksimat menggunakan mikro kjeldahl (AOAC, 1994) dan kolesterol telur dianalisis dengan
Spektrofotometri. Kolesterol dalam kuning telur ditentukan dengan mencocokkan absorbansinya dengan
kurva standar menggunakan metode Lieberman dan Burchard (Tranggono dan Setiaji, 1989),

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan hasil Penelitian selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan kualitas telur ayam arab hasil penelitian
Peubah R0 R1 R2 R3
Hen Day Production (%)ns 32,56 44,67 41,67 34,89
Bobot Telur (g)ns 30,51 31,53 32,07 33,71
HUns 75,94 78,75 76,97 73,79
Warna * 6,25a 9b 7a 8,67b
Protein (%)ns 14,42 14,069 15,89 15,00
Kolesterol (mg/g)ns 72,01 62,16 66,91 68,19
Ket: ns=non signicant, *= berpengaruh nyata (P<0,05), superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbedaan
nyata (P<0,05)

versi elektronik
Tabel 1. menunjukkan bahwa dengan pemberian minyak ikan lemuru sampai level 4,5% dalam ransum
ayam arab mempengaruhi warna kuning telur tetapi memberikan efek yang relatif sama terhadap rataan
Hen Day Production (HDA) 32,56-44,67 %, bobot telur 30,51-33,71 g; High Unit (HU) sebesar 73,79-
78,75, protein kuning telur 13,1-15,89%, dan kolesterol kuning telur 62,16-72,01 mg/g.
Produksi telur dan bobot telur menunjukkan hasil yang relatif sama hal ini disebabkan karena konsumsi
pakan yang dihasilkan relatif sama, karena kandungan energi dan protein ransum yang diberikan

97
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
berdasarkan iso energi dan iso kalori. Secara genetis, ayam arab tergolong petelur produktif, mulai
bertelur pada umur 5 bulan, produksi rata-rata mencapai 80-90% dari populasi. Menurut Karijono (2010)
untuk memperoleh produksi telur yang optimal perlu memperhatikan faktor-faktor antara lain :
keseimbangan nutrisi pakan (tinggi rendahnya konsumsi protein dan energi), umur, bangsa, faktor

versi elektronik
lingkungan dan kesehatan ternak. Menurut Amrullah (2003) faktor-faktor yang menentukan produksi
telur (%) adalah genetik/bangsa, nutrisi, umur atau usia produksi, jenis kandang, sistem pemeliharaan
(ekstensif, semi intensif, dan intensif), dan temperatur, kondisi kesehatan ayam, perkandangan,
pencahayaan, pakan dan suhu lingkungan (Brickman, 1989) dalam (Muharlien, 2010). Ayam Arab mulai
memproduksi telur pada umur 4,5 – 5 bulan. Produksi telur ayam Arab mencapai puncak pada umur 8
bulan dengan produksi telur 75-85% dari total populasi (Sulandari dkk., 2007). Menurut Kholis dan
Sitanggang (2002), ayam Arab sudah dapat di afkir pada umur 1,5 – 2 tahun. Bobot telur ayam arab
dipengaruhi oleh adanya : bangsa, pakan, umur, bobot induk, temperatur, produksi telur pertahun, tipe
kandang, penyakit, suhu lingungan, strain atau breed, kandungan nutrisi dalam ransum, berat tubuh ayam
dan waktu telur dihasilkan (Etches,1996; Bell dan Weaver, 2002 dalam Sodak, 2011). Nasution (2009)
mengatakan bahwa zat gizi makanan yang mempengaruhi bobot telur adalah protein dan asam amino
pada ransum, defisiensi protein dan asam amino dapat menurunkan bobot telur.
Kualitas telur sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrien pakan yang dikonsumsi. Menurut Wahju

versi elektronik
(1992), faktor terpenting yang mempengaruhi ukuran telur adalah protein dan asam amino, karena sekitar
50% bahan kering telur mengandung protein sehingga penyediaan asam amino dalam sintesis protein
sangat diperlukan untuk memproduksi telur. Peningkatkan kandungan nutrien dalam pakan sesuai
kebutuhan akan menghasilkan telur berkualitas tinggi (Sodak, 2011). Peningkatan kandungan protein,
asam linoleat dan energi pakan dapat meningkatkan ukuran dan berat telur. Kualitas telur ayam Arab
menurut Diwyanto dan Prijonono ( 2007 ) adalah berat telur 42,5 g/butir, berat kuning telur 16,0 g/butir,
berat putih telur 13,9 g/butir, berat kerabang 5,6 g/butir.
Warna kuning telur menunjukkan perbedaan nyata terutama pada perlakuan dengan pemberian minyak
ikan lemuru sebanyak 1,5%, hal ini disebabkan karena minyak ikan lemuru mengandung β-karoten dan
juga vitamin A sebagai prekursor pembentukan β-karoten yang dapat menyebabkan warna kuning pada
telur.
Warna kuning telur menentukan kualitas kuning telur karena konsumen di Indonesia cenderung lebih
menyukai warna kuning telur yang kuning gelap (orange kemerahan). Perbedaan warna kuning

versi elektronik
disebabkan oleh pigmen dalam pakan ternak ayam, seperti xantofil. Kuning telur mengandung zat warna
(pigmen) yang umumnya termasuk dalam golongan karotenoid yaitu xantofil, lutein dan zeaxantin serta
sedikit betakaroten dan kriptosantin. Warna atau pigmen yang terdapat dalam kuning telur sangat
dipengaruhi oleh jenis pigmen yang terdapat dalam ransum yang dikonsumsi (Winarno, 2002), oleh
karena itu manipulasi pakan sering digunakan untuk memperoleh warna kuning telur sesuai dengan yang
diinginkan oleh konsumen (Yuwanta, dkk., 2010).
Kadar kolesterol telur semakin menurun setelah memberian minyak ikan lemuru meskipun secara
statistik menunjukkan tidak ada perbedaannya yang nyata. M i n y a k ikan lemuru mampu berfungsi
untuk menurunkan aktivitas hidroksi metil glutaril koenzim-A (HMG-KoA) yaitu enzim yang
berperan dalam laju pembentukan Lovosterol dari lemak pakan maupun lemak hasil metabolisme
sehingga sintesis asam lemak, kolesterol yang tersisa dalam jaringan akan dikembalikan ke hati dan
dibawa HDL menjadi asam empedu. Roos dan Katan (2000) yang menyatakan bahwa
peningkatan asam empedu akan meningkatkan ekskresi kolesterol sehingga kadar kolesterol pada

versi elektronik
jaringan menurun. Chasnhidel et al. (2010) menyatakan bahwa biosintesis kolesterol dapat
ditekan dengan adanya Omega-3 yang dapat mengurangi aktivasi enzim hidroksi metilglutaril koenzim-
A (HMG KoA) reduktase dan piruvatkinase. Omega-3 dapat menurunkan level triacylglycerols,
kolesterol dan lipoprotein dalam serum darah (Aydin, 2005).

98
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KESIMPULAN
Penggunaan minyak ikan lemuru sampai level 4,5% dapat digunakan sebagai sumber energi maupun
sumber omega 3 pada ransum ayam arab, dan pada level 1,5% mampu menghasilkan warna kuning
telur yang paling baik, mendekati warna orange kemerahan.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Aydin, R., M. Karaman, H.H.C. Toprak, A.K. Ozugar and T. Cicek, 2006. The effect of long-term
feeding of conjugated linoleic acid on fertility in Japanese quail. South Afr. J. Anim. Sci.,
36: 99-104.
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.
Chashnidel, Y., H. Moravej., A. Towhidi., F. Asadi., and S. Zeinodini. 2010.
Influence of different levels of n-3 supplemented (fish oil) diet on performance, carcass
quality and fat status in broilers. African Journal of Biotechnology. 9 (5): 687-691.
DITJENNAK. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Diwyanto, K dan S.N. Prijono. 2007. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia :

versi elektronik
Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Etches, R. J. 1996 Reproduction in poultry. Oxon: CAB International.
Karijono. 2010. Evaluasi Tingkat Protein Pakan Ayam Arab terhadap Konsumsi, Hen Day Production,
dan Konversi Pakan pada Berbagai Fase Produksi. Universitas Muhamadiyah Malang
Kholis S., dan Sitanggang M. 2002. Ayam Arab dan Poncin Petelur Unggul. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Montesqrit. 2008. Penggunaan Mikrokapsul Minyak Ikan Lemuru dalam Ransum Ayam Petelur terhadap
Performa Produksi dan Kualitas Telur.Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi. UNILA.
Lampung.
Muharlien. 2010. Meningkatkan Kualitas Telur Melalui Penambahan Teh Hijau dalam Pakan Ayam
Petelur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 5 (1) : 32-37.
Nasution, S., dan Adrizal. 2009. Pengaruh Pemberian Level Protein-Energi Ransum yang Berbeda

versi elektronik
terhadap Kualitas Telur Ayam Buras. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Fakultas Peternakan, Universitas Andalas. Padang.
Nataatmijaya, A. G., A. R. Setioko, B. Brahmantiyo, dan K. Diwyanto. 2003. Performans dan
Karakteristik Tiga Galur Ayam Lokal (Pelung, Arab, dan Sentul). Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Natalia, H., D. Nista, Sunarto, dan D. S. Yuni. 2005. Pengembangan Ayam Arab. Balai Pembibitan
Ternak Unggul (BPTU) Sapi Wiguna dan Ayam Sembawa. Palembang.
Pambudhi, W. 2003. Mengenal Ayam Arab Merah. Cetakan ke-1. Agromedia Pusaka, Jakarta.
Roos De NM and Katan MB. 2000. Effect of Probiotik Bacteria on Diarrhea, Lipid Metabolism
and Karsino Genesis. A Review of Paper Published Between 1988 dan 1998. Am J Clic
Nutr. 71 (2) : 405–411.

versi elektronik
Schreiner M., H. W. Hulan, E. Razzazi-Fazeli, J. Bohm, and C. Iben. 2004. Feeding Laying
Hens Seal Blubber Oil: Effects on Egg Yolk Incorporation,Stereospecific Distribution of
Omega-3 Fatty Acids, and Sensory Aspects. Poultry Science 83:462–473
Sodak, J.F. 2011. Karakteristik Fisik dan Kimia Telur Ayam Arab pada Dua Peternakan di Kabupaten
Tulungagung, Jawa Timur. Skripsi. IPB. Bogor.

99
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Steel, G.D. dan Torrie J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri B, Penerjemah; Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Principles and Procedures of Statistics.
Sulandari, S., M. S. A. Zein., S. Paryanti, T. Sartika, M. Astuti, T. Widjiastuti, E. Sudjana, S. Darana, I.

versi elektronik
Setiawan, dan D. Garnida. 2007. Sumberdaya Genetik Ayam Lokal Indonesia. Keanekaragaman
Sumberdaya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Hal : 45-67.
Tranggono dan B. Setiaji. 1989. Kimia Lipida. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Van Elswyk ME, Hargis BM, Williams JD, Hargis PS. 1994. Dietary menhaden oil contributes to hepatic
lipidosis in laying hens. Poult Sci 73:653–662
Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan III. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. PT. Gramedia
Yuwanta, T., Nasroedin, Zuprizal, Wihandpyo and A. Wibowo. 2002. The Role of Native Chiken in
Indonesia Rural. Proc. The 3rd ISTAP 14-16 Oktober, Yogyakarta, Indonesia

versi elektronik
Yusdja, Y., R. Sajuti, W. K. Sejati, I. S. Anugrah, I. Sadikin, dan B. Winarso. 2005. Pengembangan
Model Kelembagaan Agribisnis Ternak Unggas Tradisional (Ayam Buras, Itik dan Puyuh).
Laporan akhir. Departemen Pertanian, Jakarta.

versi elektronik

versi elektronik 100


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PEMBERIAN TEPUNG JEROAN SAPI SEBELUM MOLTING TERHADAP KADAR HORMON
PROGESTERON DAN ESTROGEN ITIK TEGAL
Rosidi 1), Tri Yuwanta 2), Ismaya 3) dan Ismoyowati 4)

versi elektronik
1
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman; email : rohedirsd@yahoo.co.id
2
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada; email : triyuwanta@yahoo.fr
3
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada; email : ismaya@ugm.ac.id
4
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman; email : ismoyowat1@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh level tepung jeroan sapi sebagai sumber
kolesterol dalam pakan terhadap kadar hormon progesteron dan estrogen itik Tegal sebelum terjadi
molting. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Materi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah itik Tegal umur 54 minggu sebanyak 60 ekor induk dengan perlakuan level tepung jeroan sapi
dalam pakan (K), terdiri atas K0 = 0% (kontrol), K1= 1,43% (setara 0,371 g kolesterol), K2= 2,86% dan
K3= 4,29%. Setiap perlakuan terdiri atas 3 ekor itik induk yang diulang 5 kali. Peubah yang diamati
adalah kadar hormon progesteron dan estrogen. Data dianalisis dengan analisis variansi berdasarkan
rancangan acak lengkap (RAL) dan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur

versi elektronik
(BNJ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa level jeroan sapi berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap kadar hormon progesteron dan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar hormon estrogen.
Sebagai kesimpulan bahwa semakin tinggi level tepung jeroan sapi yang diberikan sebelum molting,
semakin rendah kadar hormon progesteron dan estrogen itik Tegal.
Kata kunci : tepung jeroan sapi, hormon progesteron, hormon estrogen, itik tegal

ABSTRACT
This research was aimed to evaluate the effect of the level of beef offal flour as cholesterol source in
duck feed on content of progesterone and estrogen hormone of Tegal duck. Experimental method was
administered to sixty female Tegal duck aging 54 weeks old. Each treatment, comprised 3 layers with 5
repetitions, were beef offal flour in feed (K), consisting of K0 = 0% (control), K1 = 1.43% (equal to 0.37 g
cholesterol), K2 = 2.86%, and K3 = 4.29%. The observed variables were content of progesterone and
estrogen hormone. Data were analyzed by Analysis of variance based on Completely Randomized
Design followed by Honestly Significant Difference Test. Result demonstrated that level of beef offal

versi elektronik
flour high significantly affected (P<0.01) on content of progesterone and significantly affected (P<0.05)
on content of estrogen hormone. It was concluded that higher the level of beef offal flour which given pre
molting, lower content of progesterone and estrogen hormone of Tegal duck.
Keywords : beef offal flour, progesterone hormone, estrogen hormone, Tegal duck

PENDAHULUAN
Itik Tegal merupakan itik lokal Indonesia yang potensial dalam menghasilkan telur. Produksi telur Itik
Tegal dari total populasi selama 3 bulan awal produksi rata-rata 70,5 ± 10,01% dan produksi telur itik
hasil seleksi dengan intensitas seleksi 30% sebesar 89,4 ± 2,37% (Subiharta, dkk., 2010). Fase molting
pada itik Tegal yang dipelihara secara tradisional berlangsung mulai umur 17 bulan dengan lama periode
molting 3 – 4 bulan (Suswoyo, 1990). Lamanya fase molting pada itik tersebut tentu saja sangat
merugikan peternak itik petelur, karena itik berhenti berproduksi, sehingga perlu dicari penyebabnya dan
cara mengatasinya.

versi elektronik
Molting dipengaruhi hormon prolaktin, yang secara langsung pada gonad dapat menyebabkan terjadinya
regresi ovarium atau secara tidak langsung dengan cara berkompetisi dengan hormon progesteron yang
dihasilkan ovarium (Anwar dan Safitri, 2005). Rendahnya kadar progesteron yang dihasilkan ovarium
akan menyebabkan umpan balik negatif pada hypothalamus dan hipofisa anterior sehingga menekan
pelepasan hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisa anterior (Gan et al., 1987). Hormon

101
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
gonadotropin seperti FSH dan LH yang sangat rendah akan menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan
folikel, karena kedua hormon gonadotropin tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
folikel serta proses oviposisi telur ayam (Anwar dan Safitri, 2005).

versi elektronik
Salah satu upaya untuk tetap mempertahankan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan folikel dapat
ditempuh dengan merangsang sekresi FSH dan LH dengan prekursor hormon gonadotropin. Prekursor
hormon gonadotropin yang dapat digunakan untuk merangsang sekresi FSH dan LH adalah kolesterol
dari pakan. Kolesterol selain sangat diperlukan dalam berbagai proses metabolisme tubuh, juga
dibutuhkan untuk membuat vitamin D dan juga berperan sebagai bahan untuk membuat hormon-hormon
sex dan kortikosteroid. Gonad menghasilkan sex hormon dan mengatur fungsi reproduksi. Sex hormone
pada itik betina dihasilkan di ovarium, yaitu estrogen dan progesteron.
Kolesterol alami adalah komponen terbesar dari senyawa sterol pada struktur organ tubuh manusia dan
hewan termasuk unggas, dengan fungsi biologis yang terkait di dalamnya. Khususnya pada unggas
penghasil telur, sebagian kolesterol dideposisi di dalam kuning telur secara alami yang merupakan
persediaan untuk kelangsungan perkembangan embrio di luar induk, karena diperkirakan selama periode
embrional calon individu ini belum memiliki enzim yang bertanggung jawab terhadap sintesis kolesterol
(Sutton et al., 1984).

versi elektronik
Kolesterol berasal dari dua sumber, yaitu dari makanan atau pakan yang dimakan dan diproduksi sendiri
oleh tubuh di dalam hati. Kolesterol di dalam darah, 80% diproduksi oleh tubuhnya sendiri dan 20%
berasal dari makanan atau pakan (Witjaksono, 2001). Telur itik mengandung kolesterol 223,36 mg/100 g
(Yuwanta, dkk., 2004). Kandungan kolesterol daging itik Tegal sebanyak 188,41 mg/100g (Ismoyowati
dan Widiyastuti, 2003).
Kolesterol sintetis dengan kadar 95% harganya mahal, sehingga perlu dicari alternatif sumber kolesterol.
Salah satu sumber kolesterol adalah bagian jeroan sapi (retikulum). Jeroan sapi mengandung
kolesterol sebanyak 380 mg per 10 g (General Hospital, 2009).
Di luar negeri jeroan sapi tidak dikonsumsi manusia, tetapi untuk pakan hewan atau dibuat tepung sebagai
bahan pakan unggas. Di Indonesia jeroan masih dikonsumsi manusia, namun dengan permasalahan
kolesterolnya tinggi, maka sekarang banyak orang yang menghindarinya. Jeroan sapi banyak terdapat di
RPH (rumah potong hewan), hasil samping atau limbah pada penyembelihan sapi. Hal ini merupakan
peluang bagi peternak untuk memanfaatkan jeroan sapi tersebut sebagai bahan pakan yang kaya akan

versi elektronik
kolesterol. Untuk itu perlu dilakukan penelitian penggunaan kolesterol yang bersumber dari jeroan sapi
dalam pakan itik untuk mengetahui kadar hormon progesteron dan estrogen itik Tegal.

METODE PENELITIAN
a. Materi dan Peralatan Penelitian
1. Itik Tegal induk umur 54 minggu (menjelang molting) sebanyak 60 ekor.
2. Kit hormon progesteron, estrogen dan bahan kimia untuk analisis kadar hormon tersebut dalam
darah.
3. Tepung jeroan sapi (retikulum).
4. Pakan perlakuan, yang disusun berdasarkan hasil perhitungan dari tabel komposisi bahan pakan
menurut NRC (1999) dan hasil analisis Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Makanan Ternak
UNSOED dan LPPT UGM. Komposisi bahan pakan dan kandungan nutrien pakan perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 1.

versi elektronik
5. Peralatan yang digunakan adalah kandang dan perlengkapannya, timbangan digital, timbangan
analitik dan syringe.

102
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 1. Komposisi bahan pakan dan kandungan nutrien pakan perlakuan


Bahan pakan K0 K1 K2 K3

versi elektronik
Jagung giling (%) 29,70 31,068 32,637 34,705
Dedak padi halus (%) 42 40,5 38,8 36,5
Tepung Jeroan Sapi (Retikulum) 0 1,43 2,86 4,29
(%)
Bungkil Kedelai (%) 21,3 20 18,7 17,5
Mineral Ayam (%) 7 7 7 7
Jumlah 100 100 100 100
Kandungan nutrien: K0 K1 K2 K3
EM (kcal/kg) 2765,64 2771,82 2778,56 2785,73
Protein (g) 17,31 17,32 17,31 17,32
Lemak (g) 5,73 5,99 6,24 6,42
Kolesterol (g) 0 0,37 0,74 1,11
Serat kasar (g) 6,9324 6,88 6,81 6,68

versi elektronik
Ca (g) 3,51651 3,51 3,51 3,51
P (g) 1,05 1,05 1,05 1,04
Keterangan : Kandungan kolesterol pada K1 berdasar dari kandungan kolesterol telur dan daging itik yang dipenuhi dari pakan
(20%) dengan pemberian pakan 150 g/ekor/hari. Pakan dibuat iso protein dan iso energi.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL) menurut
Steel dan Torrie (1998). Sebagai perlakuan yaitu level tepung jeroan sapi, yaitu K0 = 0% (kontrol), K1=
1,43% tepung jeroan sapi, K2= 2,86% tepung jeroan sapi, K3= 4,29% tepung jeroan sapi. Ulangan
dilakukan sebanyak 5 kali dan setiap ulangan/unit percobaan terdiri dari 3 ekor itik induk. Model
matematis yang digunakan adalah : Yij = µ + αi + εij
Yij = Hasil pengamatan peubah (kadar hormon progesteron, kadar hormon estrogen)
µ = Nilai tengah populasi
αi = Pengaruh level kolesterol ke-i

versi elektronik
εij = Galat percobaan
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati adalah 1) kadar hormon Progesteron (nmol/l) dan Estrogen (nmol/l). Kadar hormon
diukur dengan metode Radioimmunoassay (RIA) di Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Jakarta.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis variansi menurut Steel dan Torrie (1998). Hasil
analisis yang menunjukkan pengaruh nyata (P≤0,05), dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar Hormon Progesteron Itik Sebelum Molting
Rataan kadar hormon progesteron adalah 6,60 ± 1,58 nmol/l dengan kisaran antara 4,19 nmol/l sampai
dengan 9,93 nmol/l. Hasil analisis variansi (Tabel 2) menunjukkan bahwa level tepung jeroan sapi

versi elektronik
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar hormon progesteron. Hasil uji beda nyata jujur
menunjukkan bahwa level tepung jeroan sapi nol % (K0) menghasilkan kadar hormon progesteron 8,42 ±
0,95 nmol/l nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan level tepung jeroan sapi 2,86% (K2) dan
4,29% (K3), yaitu 5,56 ± 1,48 nmol/l dan 5,77 ± 1,06 nmol/l. K0 dan K1 (6,64 ± 1,16 nmol/l)
menghasilkan kadar hormon progesteron relatif sama (P>0,05). K1, K2 dan K3 menghasilkan kadar
hormon progesteron relatif sama (P>0,05). Hubungan antara level tepung jeroan sapi dengan kadar

103
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
hormon progesteron sangat nyata (P<0,01) yang digambarkan dengan persamaan garis linier Y = 7,95 -
0,63 x (Gambar 1), dengan koefisien determinasi (R²) = 18,41%.
Gambar 1 menunjukkan adanya penurunan kadar hormon progesteron dengan naiknya level jeroan sapi.

versi elektronik
Kolesterol yang terdapat dalam tepung jeroan sapi tidak mampu dalam pembentukan hormon progesteron
menjelang molting. Hasil ini tidak sejalan dengan yang dinyatakan oleh Tejayadi (1991), bahwa
kolesterol selain sangat diperlukan dalam berbagai proses metabolisme tubuh, juga dibutuhkan untuk
membuat vitamin D dan juga berperan sebagai bahan untuk membuat hormon-hormon sex dan
kortikosteroid, seperti sex hormone pada itik betina yang dihasilkan di ovarium, yaitu hormon
progesteron.

versi elektronik
Gambar 1. Grafik pengaruh level jeroan sapi terhadap kadar hormon progesteron
Hormon progesteron yang dihasilkan oleh K2 dan K3 lebih rendah dibandingkan dengan K0. Rendahnya
kadar hormon progesteron yang dihasilkan ovarium akan menyebabkan umpan balik negatif pada
hypothalamus dan hipofisa anterior sehingga menekan pelepasan gonadotropin yang dihasilkan oleh
hipofisa anterior (Gan et al., 1987). Hormon gonadotropin seperti FSH dan LH yang sangat rendah pada
seekor ayam akan menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan folikel, karena ke dua hormon

versi elektronik
gonadotropin tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan folikel serta proses oviposisi
telur ayam (Anwar dan Safitri, 2005).
Kadar Hormon Estrogen Itik Sebelum Molting
Rataan kadar hormon estrogen adalah 2,63 ± 0,79 nmol/l dengan kisaran antara 1,22 nmol/l sampai
dengan 4,18 nmol/l. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa level tepung jeroan sapi berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kadar hormon estrogen. Hasil uji beda nyata jujur menunjukkan bahwa K0 dan
K1 menghasilkan kadar hormon estrogen relatif sama (P>0,05), yaitu 3,21 ± 0,82 nmol/l dan 3,05 ± 0,42
nmol/l. K2 dan K3 juga menghasilkan kadar hormon estrogen relatif sama (P>0,05), yaitu 2,13 ± 0,07
nmol/l dan 2,14 ± 0,93 nmol/l. K0 dan K1 menghasilkan kadar hormon estrogen nyata lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan dengan level tepung jeroan sapi 2,86% (K2) dan 4,29% (K3). Hubungan antara
level tepung jeroan sapi dengan kadar hormon estrogen sangat nyata (P<0,01) yang digambarkan dengan
persamaan garis linier Y = 3,25 - 0,29 x (Gambar 2), dengan koefisien determinasi (R²) = 13%.

versi elektronik 104


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Gambar 2. Grafik pengaruh level jeroan sapi terhadap kadar hormon estrogen
Gambar 2 menunjukkan adanya penurunan kadar hormon estrogen dengan naiknya level jeroan sapi.

versi elektronik
Kolesterol yang terdapat dalam tepung jeroan sapi tidak mampu dalam pembentukan hormon estrogen.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena meningkatnya hormon tiroksin yang dihasilkan, yaitu K0, K1, K2
dan K3 berturut-turut 27,28 nmol/l, 42,67 nmol/l, 34,59 nmol/l dan 36,86 nmol/l. Dengan meningkatnya
hormon tiroksin, maka menyebabkan regresi ovarium sebagaimana yang dinyatakan oleh Ramesh et
al.(2001) dan Anwar dan Safitri (2005) bahwa tingginya kadar hormon prolaktin dalam darah dapat
menyebabkan terjadinya regresi ovarium. Dengan terjadinya regresi ovarium atau secara tidak langsung
terjadi kompetisi dengan hormon estrogen yang dihasilkan ovarium, sehingga sekresi hormon estrogen
berkurang. Hasil ini tidak sejalan dengan yang dinyatakan oleh Tejayadi (1991), bahwa kolesterol selain
sangat diperlukan dalam berbagai proses metabolisme tubuh, juga dibutuhkan untuk membuat vitamin D
dan juga berperan sebagai bahan untuk membuat hormon-hormon sex dan kortikosteroid, seperti sex
hormone pada itik betina yang dihasilkan di ovarium, yaitu hormon estrogen. Menurut Gruber et al.
(2002) bahwa pada hati, estrogen meningkatkan reseptor lipoprotein, menghasilkan penurunan
konsentrasi serum dari kolesterol low-density lipoprotein.

versi elektronik
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi level tepung jeroan sapi yang
diberikan sebelum molting, semakin rendah kadar hormon progesteron dan estrogen itik Tegal.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H. dan E. Safitri .2005. Anti-Prolaktin Sebagai Penghambat Proses Molting. Berk. Penel. Hayati:
11 (25–29), Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Berry, W.D. 2003. The Physiology of induced molting. Poult.Sci. 82:972-980
Gan, S., R.Setiabudy, U. Sjamsudin, dan Z.S. Bustami, 1987. Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Gaya
Baru, Jakarta.
General Hospital. 2009. Jumlah Kolesterol pada Makanan. www.mymealcatering.com

versi elektronik
Gruber, C.J., W. Tschugguei, C. Schneebeger, and C.J. Huber. 2002. Production and action of estrogens.
N Engl J Med 346: 340-50
Hardjosworo, P.S., A. Setioko, P.P. Ketaren, L.H. Prasetya, A.P. Sinurat dan Rukmiasih. 2001.
Perkembangan Teknologi Unggas Air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air 6-7 Agustus
2001. Fapet IPB dan Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Pp: 22-41.

105
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ismoyowati dan T. Widiyastuti. 2003. Kandungan Lemak dan Kolesterol Daging Bagian Dada dan Paha
Berbagai Unggas Lokal. Jurnal Animal Production, Vol. 5 (2), 2003: 79 – 82
NRC. 1999. Nutrient Requirements of Poultry. National Academy Press. Washington DC. New York.

versi elektronik
Purwantini, D., Ismoyowati, Prayitno, S.S. Santoso. 2002. Polimorphism Blood Protein as Indicator for
Production Characteristic of Indigenous Java Duck. “Technology and Policy on Indonesia
Resources Utilization”, September 20-22, Hamburg. Pp : 32 – 37.
Ramesh, R., W.J. Kuenzel and J.A. Proudman, 2001. Increased Proliferative Activity and Programmed
Cellular Death in the Turkey Hen Pituitary Gland Following Interruption of Incubation Behavior.
Regular Article Biology of Reproduction, 64:611–618.
Roderburg, T.B., M.B.M. Bracke, J. Berk, J. Cooper, J.M. Fare, D. Guemene, G. Guy, A. Harlander, T.
Jones, U. Knierim, K. Kuhnt, H. Pirngel, K. Reiter, J. Serviere and M.A.W. Ruis. 2005. Welfare
of Duck in European Duck Husbandy Systems. Poultry Science. Vol 61 (4) : 633-647.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1998. Principle Procedure of Statistics Indeks. Terjemahan Bambang
Sumantri. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ketiga. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

versi elektronik
Subiharta, L.H. Prasetyo, Y.C. Rahardjo, D. Pramono, B. Budiharto, Hartono dan I. Musawati. 2010.
Perbibitan Itik Tegal Hasil Seleksi (2002). http://jateng.litbang.deptan.go.id
Suswoyo, I. 1990. Comparison of Extensive and Intensive Systems of Duck Farming in Central Java.
Tesis. University of Melbourn. Melbourn
Sutton, C.D., W.B. Muir, G.E. Mitcell Jr. 1984. Cholesterol Metabolism in The Laying Hen as Influence
by Dietary Cholesterol, Chaloric Intake and Genotype. Poultry Sci. 63 : 972-980.
Tejayadi, S. 1991. Kolesterol dan hubungannya dengan penyakit kardiovaskular. Cermin Dunia
Kedokteran No. 73.
Witjaksono, F. 2001. Bahaya Dari Kolesterol Tinggi. www.gizi.net
Yuwanta, T., A. Wibowo, Hafsah and Kustono. 2004 . Physical Characteristic and Chemical
Composition of Maleo (Macrosephalon Maleo), Native Chiken and Duck Eggs. XIIIth European

versi elektronik
Poultry Conference.

versi elektronik 106


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PRODUKSI DAN NILAI NUTRISI TIGA JENIS LEGUMINOSA HERBA PADA TANAH
MASAM
Sajimin, N.D. Purwantari dan E. Sutedi

versi elektronik
Balai Penelitian Ternak P.O.Box 221 Bogor

ABSTRAK
Budidaya tanaman pakan ternak umumnya dialokasikan pada lahan-lahan sup-optimal/marginal. Lahan
demikian diperlukan jenis tanaman pakan yang toleran dan sekaligus sebagai sumber pakan ternak serta
dapat memperbaiki kesuburan tanah. Penelitian ini mempelajari produksi dan kualitas tiga jenis
leguminosa herba pada lahan masam. Tanaman yang digunakan adalah : a). Pueraria javanica, b).
Clitoria ternatea, dan c). Stylosantehes guiyanensis. Penelitian dilakukan dirumah kaca menggunakan
tanah dengan pH 4 dari lahan sawit dimasukan dalam pot sebanyak 15 kg tanah kering. Tanaman ditanam
dari biji dan diamati sifat morfologi (tinggi, jumlah cabang, produksi hijauan segar dan kering) dan pada
akhir percobaan dianalisa kualitas hijauan (protein kasar, kadar air, serat kasar, abu, Calsium dan
fosphor). Rancangan percobaan acak kelompok dengan tiga jenis tanaman sebagai perlakuan dan diulang
10 kali. Interval pengamatan produksi tiap 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan jenis
P.javanica tertinggi kemudian diikuti C.ternatea dan terendah S.guiyanensis. Hasil ini juga terlihat pada

versi elektronik
produksi hijauan segar maupun kering berturut dari 5,63 g/tanaman, 5,15 g/tanaman dan 2.59 g/tanaman.
Sedangkan kualitas hijauan kandungan protein kasar tertinggi pada C.ternatea (14.58 %) kemudian
diikuti S.guiyanensis (13,19 %) dan terendah P.javanica ( 13.13%). Serat kasar terendah S.guiyanensis
(34,44 %) kemudian C.ternatea (37.69%). Simpulan penelitian diketahui jenis C.ternatea lebih toleran
pada lahan masam dengan produksi dan kualitas hijauan tertinggi.
Kata Kunci : Tanaman pakan ternak, produksi hijauan, agronomi

PENDAHULUAN
Tanaman pakan ternak untuk ruminansia menjadi kebutuhan utama demi tercapainya swasembada daging
sapi dan kerbau. Kebutuhan pokok konsumsi hijauan setiap harinya berkisar 10% dari berat badan ternak.
Oleh karena itu dirasa perlu meningkatkan produktivitas suatu lahan untuk mencukupi kebutuhan
tersebut. Menurut Sunarminto (2010) sukses tidaknya industri peternakan di Indonesia, khususnya
industri ternak ruminansia tergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah

versi elektronik
pengembangan tanaman untuk penyedian pakan utamanya yang berupa hijauan terutama pada musim
kemarau merupakan masalah yang sulit diatasi.
Lahan untuk pengembangan tanaman pakan terus berkurang karena lebih diutamakan untuk tanaman
pangan dan pemukiman. Pemanfaatan lahan sup-optimal seperti lahan masam untuk tanaman pakan
menjadi sangat penting. Menurut Horst, et al (2006) tanah masam didunia diperkirakan mencapai 1,7
milyard ha dengan 43 % di lahan tropis. Di Indonesia tanah masam mencapai 102,8 juta ha dan belum
dimanfaatkan secara optimal (Mulyani et al, 2004). Menurut Onthong dan Osahi (2006) tanah masam
yang ada didaerah tropis adalah yang paling potensial untuk pengembangan tanaman pertanian termasuk
tanaman pakan ternak.
Penanaman tanaman pakan di lahan masam dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan
tanaman di lahan masam dapat terhambat karena kekurangan hara dan mempengaruhi produksi maupun
palatabilitas hijauan pada ternak. Upaya peningkatan lahan masam untuk memenuhi hijauan pakan ternak
berkualitas dapat dilakukan dengan melalui budidaya tanaman yang toleran lahan masam. Jenis

versi elektronik
leguminosa herba seperti Pueraria javanica, Stylosanthes guiyanensis dan Clitoria ternatea adalah jenis
anaman pakan ternak yang tahan kering.
Jenis leguminosa tersebut umumnya sebagai pakan ternak sekaligus penyubur tanah (penutup tanah),
namun di lahan perkebunan belum banyak dibudidayakan. Jenis yang umum berkembang kurang
palatabel sebagai pakan ternak seperti Mucuna brahteata, Calopogonium mucunoides dan C.caeruleum
(Azwar, 2005).

107
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Permasalahan pengembangan tanaman pakan di lahan masam seperti kebun sawit dan karet menggunakan
leguminosa herba yang tidak disukai ternak. Berdasarkan permasalahan tersebut, dalam tulisan ini
dikemukakan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman leguminosa herba yang
disukai ternak di lahan masam.

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Balitnak, selama 12 bulan dari bulan Januari 2013 sampai Desember 2013.Tiga
jenis leguminosa herba yaitu Stylosanthes guiyanensis, Pueraria javanica dan Clitoria ternatea ditanam
dan dievaluasi pertumbuhan dan produktivitasnya.
Rancangan percobaan acak kelompok dengan sepuluh ulangan. Tiga jenis legume ditanam pada tanah
masam yang diperoleh dari lahan perkebunan sawit. Tanah kering sebanyak 15 kg dimasukan dalam pot
dan ditanam tiap pot satu tanaman, sebelum tanam ditentukan kapasitas lapang.
Bahan tanaman yang digunakan biji dan diamati daya kecambah setelah tanam selama 30 hari. Parameter
yang diamati meliputi data agronomi yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang dan produksi
biomass hijauan per tanaman dengan interval potong 60 hari. Tinggi tanaman diukur dari permukaan
tanah sampai ujung tertinggi pada titik tumbuh pada sebelum pemanenan. Diakhir percobaan diambil

versi elektronik
sampel hijauan tiap jenis tanaman diambil untuk analisa energi, protein kasar, serat kasar, calsium,
fosphor dan abu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tanah percobaan
Hasil analisa tanah percobaan seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisa tanah percobaan untuk tanam tiga jenis leguminosa herba.
Jenis analisa Kandungan (%) Harkat tanah* Keterangan
P2O5 (%) 68,0 <10 Sangat rendah
Ca (%) 7,73 6 - 10 Sedang
K (%) 0,43 -
Na (%) 0,49 -
Mg (%) 1,32 -

versi elektronik
Al (%) 0,27 -
pH H2O 4,5 - Agak alkalis
HCl 3,8 7,6 - 8,5 netral
Bahan organik 6,6 - 7,5
C (Walkly) 1,56 - Sangat rendah
N (Kjedhl) 0,15 <0,1 Sangat rendah
C/N rasio 10,0 <0,1 Sedang
KTK 11,60 11 - 15
* Puslitanak, 1994

Pada Tabel 1 tersebut terlihat hasil analisis tanah dari lahan perkebunan sawit menunjukkan bahwa tanah
bersifat masam (pH 4,5) dengan KTK tergolong rendah. Demikian juga kandungan Mg, K, Al rendah,
sedangkan Ca termasuk sedang.

versi elektronik
Kondisi tanah percobaan dengan pH rendah menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat kecuali yang
memiliki toleran lahan masam dapat dikembangkan. Hasil pengamatan seperti yang tertera pada Tabel 2
dan 3.
Daya kecambah pada tanah masam

108
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Hasil pengamatan daya kecambah ketiga jenis leguminosa herba nampaknya dipengaruhi oleh keasaman
tanah (pH). Daya kecambah jenis C.ternatea menunjukkan lebih cepat tumbuh yaitu 16,4 hari kemudian
diikuti S.guiyanensis 25,8 hari dan terendah P.javanica 26,7 hari. Perbedaan waktu daya kecambah
diduga adanya perbedaan jenis serta kualitas biji dalam penyimpanan. Biji yang digunakan dalam

versi elektronik
penelitian ini penyimpanan belum sesuai rekomendasi karena disimpan dalam suhu kamar. Menurut
Hasanah dan Rusmin (2006) benih yang berkualitas tinggi dapat dipertahankan daya kecambah dengan
memperhatikan penyimpanan terutama sirkulasi udara dan kelembaban serta suhu yang stabil.
Tabel 2. Rataan Lama kecambah biji tiga jenis leguminosa herba pada tanah masam
Waktu kecambah
Jenis tanaman
Hari setelah tanam (hst)
Clitoria ternatea 16,4
Pueraria javanica 26,7
Stylosanthes guiyanensis 25,8

versi elektronik
Pertumbuhan dan Produktivitas Hijauan
Hasil pengamatan pertumbuhan ke tiga jenis leguminosa herba yang berbeda juga beda tinggi tanaman,
jumlah cabang maupun jumlah daun seperti pada Tabel 2.
Tabel 3: Rataan tinggi, jumlah daun dan jumlah cabang per tanaman tiga jenis leguminosa pada tanah
masam
Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah Jumlah
(cm) daun/tanaman cabang/tanaman
Clitoria ternatea 136.50 a 31.43 a 8.96 a

a
Pueraria javanica 121.83 28.60 a 9.01 a

b b b
Stylosanthes guiyanensis 83.63 133.01 28.78

versi elektronik
Keterangan : angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata pada P<0,05

Pada Tabel 3 tersebut menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) bahwa C.ternatea pertumbuhannya
tertinggi kemudian diikuti P.javanica dan S.guiyanensis. Sedangkan jumlah daun maupun cabang
tanaman berturut-turut 31,43 daun, 28,60 daun dan 133,01 dengan jumlah cabang 8,96, kemudian 9,01
dan 28,78 per tanaman. Hal ini disebabkan sifat tanaman yang berbeda yaitu C.ternatea dan P.javanica
tumbuhnya merambat dengan bentuk daun lebar, sedangkan S.guiyanensis bersifat tegak dengan daun
kecil (Gambar 1). Perbedaan morfologi tanaman juga mempengaruhi produksi hijauan seperti yang
tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 : Rataan produksi hijauan segar dan kering tiga jenis leguminosa herba pada tanah masam
Perlakuan Berat segar g/tanaman Berat kering g/tanaman

versi elektronik
Clitoria ternatea 21.34 a 5.15 a
Pueraria javanica 21.45 a 5.63 a
Stylosanthes guiyanensis 9.58 b 2.59 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata pada P<0,05

109
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pada Tabel 4 menunjukkan rataan produksi hijauan berat segar maupun berat kering tertinggi P.javanica
kemudian dikuti C.ternatea dan terendah S.guiyanensis. Perbedaan produksi juga terlihat dari panen dan
panen kedua pada Gambar 1.

versi elektronik
Gambar 1. Rataan produksi hijauan per panen ketiga jenis leguminsa herba dilahan masam

versi elektronik
Hasil pengukuran produksi panen pertama dan kedua pada tiga jenis leguminosa herba mengalami
peningkatan produksi hijauan. Peningkatan yang paling tinggi pada S.guiyanensis hal tersebut disebabkan
pertumbuhan tanaman dengan jumlah cabang dan daun lebih tinggi dari pada P.javanica dan C.ternatea
(Tabel 2).

versi elektronik
Gambar 2 : Performan tiga jemis leguminosa herba pada tanah masam C.ternatea; b. P.javanica; c.
S.guiyanensis

Hasil penelitian ini jika dibandingkan dari beberapa laporan produksi leguminosa herba masih lebih
rendah. Produksi hijauan berat kering pertanaman rata-rata C.ternatea 6,34 g/tanaman dan S.guiyanensis
5,46 g/tanaman (Sajimin et al. 2001); dan P.javanica 19,17 g/tanaman (Sugandi, et al, 1992).
Lebih rendahnya hasil penelitian ini nampaknya peranan pH pada lahan asam mempengaruhi

versi elektronik
pertumbuhan dan produksi hijauan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor utama menurut
Salisbury dan Ross (1995) dan Sudrajat (2010) terhambatnya pertumbuhan tanaman pada lahan asam
disebabkan adanya keracunan Al sebagai faktor terbesar yang menghambat pertumbuhan tanaman. Pada
pH <4,7 pengaruh secara langsung yaitu metabolisme tumbuhan dan ketersediaan fosphor rendah yang
tidak dapat diserap tanaman. Hasil penelitian diketahui produksi hijauan lebih rendah tapi kualitas hijauan
tidak banyak berbeda seperti yang tertera pada Tabel 5.

110
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Analisa Kualitas hijauan
Analisa kualitas hijauan meliputi analisa proksimat dan mineral tiga jenis tanaman pakan ternak pada
lahan masam seperti pada Tabel 5.

versi elektronik
Tabel 5. Hasil analisa kimia tiga jenis tanaman pakan pada tanah masam
Jenis analisa
Air Energi Protein Serat Abu Calsium Fosphor
Jenis tanaman
(%) (kcal/ kg kasar kasar (%) (%) (%)
(%) (%)
Clitoria ternatea 5,15 4307 14,58 37,69 5,44 0,58 0,12
Pueraia javanica 6,23 4129 13,13 38,46 6,07 1,21 0,06
Stylosanthes 6,46 4205 13,19 34,44 6,05 1,27 0,08
guiyanensis
Standar NRC* - - 8,0 - - 0,28 0,22
*Rayburn, 2009

Pada Tabel 5, menunjukkan kualitas hijauan pada kandungan protein kasar tiga jenis leguminosa herba

versi elektronik
tergolong tinggi dengan rata-rata 13,13 % untuk P.javanica dan tertinggi 14,58 % (C.ternatea).
Selanjutnya serat kasarnya termasuk rendah dengan kandungan mineral calsium, fosphor termasuk
sedang. Hasil analisa ini jika dibandingkan dengan standar nutrisi untuk ternak ruminansia (Rayburn,
2009) dapat memenuhi standar kualitas hijauan untuk pakan ternak.

KESIMPULAN
Budidaya tanaman pakan ternak pada lahan masam menunjukkan pertumbuhan yang baik dengan
produksi tertinggi P.javanica kemudian diikuti C.ternatea dan terendah S.guiyanensis.
Kandungan protein kasar hijauan termasuk tinggi rata-rata 13,13 – 14,58 % dengan calsium 0,58 – 1,27 %
dan fosphor 0,06 – 0,12 % dengan energi 4129 – 4307 kcal/kg hijauan. Penelitian ini disarankan ada
tindak lanjut terutama untuk mengetahui pengaruh lahan masam pada daya dukung ternak dan
palatabilitasnya serta sumbangan hara untuk meningkatkan kesuburan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

versi elektronik
Azwar, R. 2005. Peran Tanaman pakan Ternak Sebagai Tanaman Konservasi Dan Penutup Tanah di
Perkebunan. Prosiding Lokakarya Nasional. Tanaman Pakan Ternak. Puslitbangnak. Bogor. Hal :
18 -24.
Harst, W.J., D.Eticha, M.Kamh, Y.Wang, A.L. Stival Da Silva, A.Stass. 2006. Identification And
Characterization Of Aluminiumresistant, Phosphorus-Efficient Plant Genotypes Adapted To
Tropical Acid Soils. Institute for Plant Nutrition, University of Hannover, Hannover, Germany.
Proceeding series. Management practices for improving sustainable crop production in tropical
acid soil. IAEA.
Hasanah, M dan D.Rusmin. 2006. Teknologi Pengelolaan Benih Beberapa
Tanaman Obat Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2) : 68 -73.
Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di
Indonesia. Prosiding Simposium Nasional Pendugaan Tanah Masam. Puslitanak. Bogor. Hal 1 -

versi elektronik
32.
Onthang, J and M.Osahi. 2006. Adaptation of Tropical Plants To Acid Soils. Tropics. 15 : 337 – 340.
Rayburn, E.B.. 2009. Nutrient Requirments for Beef Cattle. Forage management. West Virginia
University. 6p. www:wvu.edu/aqexten. 2/7/2011.

111
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sudrajat, D. 2010. Identifikasi karakter morfofisiologi adaptif lahan masam. Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan. 10(2) : 103 -110.
Salisbury, F.B dan C.W.Ross. 1995. Fisiologi tumbuhan. jilid 3: Sel, Air, Larutan dan Permukaan. Terj.

versi elektronik
D.R.Lukman dan Sumaryono. ITB-Press, Bnadung.
Sajimin, B.R.Prawiradiputra, E.Sutedi dan Oyo. 2001. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Produktivitas
Hijauan Pakan Leguminosa Herba. Proc. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbangnak. Bogor.
Sugandi, D; U.Kusnadi, M.Sabrani, M.E. Siregar dan D.Muslih. 1992. Budidaya beberapa jenis tanaman
pakan di lahan kering Batumarta. Ilmu dan Peternakan. Vol 3 (2).
Sunarminto, B. H. 2010. Pertaian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. BPFE.
Yogyakarta.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 112


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH PAKAN SUPLEMEN DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) TERHADAP
HEMATOLOGIS KERBAU LAKTASI
Salam N. Aritonang, Arif Rachmat, Elly Roza, dan Afridina Fitri

versi elektronik
Departemen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan-Universitas Andalas
Kampus Unand Limau Manis Padang, Sumatera Barat; email: sn_aritonang@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pakan suplemen daun ubi kayu ((Manihot esculanta
Crantz)) terhadap hematologis kerbau laktasi. Dalam penelitian ini menggunakan 20 ekor kerbau laktasi
di Kanagarian Pamatang Panjang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.. Metode penelitian berupa
eksperimen yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 4 perlakuan dan 5 ulangan.
Perlakuan tersebut adalah pemberian pakan suplemen daun ubi kayu sebanyak 0 kg/ekor (A), 0.5 kg/ekor
(B), 1 kg/ekor (C) dan 1.5 kg/ekor (D). Peubah yang diamati adalah gambaran darah kerbau laktasi
meliputi eritrosit, hemoglobin, hematokrit dan leukosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
suplemen daun ubi kayu sampai 1 kg/ekor sangat nyata meningkatkan jumlah eritrosit, hemoglobin dan
persentase hematokrit tetapi tidak mempengaruhi jumlah leukosit kerbau laktasi.
Kata kunci : daun ubi kayu, kerbau, hematologis, pakan suplemen.

versi elektronik
ABSTRACT
The research aims to determine the effect of feed supplement of cassava leaves (Manihot esculanta
Crantz) on the haematological of lactation buffalo. In the study was used of 20 lactation buffaloes in
Kanagarian Pamatang Panjang, Sijunjung District-West Sumatera. The method of this research is an
experiment was used Completely Randomized Design (CRD) wich consist of four treatments with five
replications. The treatments are feeding supplement of cassava leaves as much as 0 kg/head (A), 0.5
kg/head (B), 1 kg/head (C) and 1.5 kg/head (D). The variable was observed the blood value of lactation
buffalo that consist of the number of erythrocytes, hemoglobin, hematocryt and leucosytes. The result of
this research indicated that the feeding supplement of cassava leaf up to 1 kg/head was siginificantly
increased the number of erythrocytes, hemoglobin and hematocrit percentage, but there are not difference
on number of leucocytes.
Keywords : cassava leaf, buffalo, haematological, feed supplement.

versi elektronik
PENDAHULUAN
Kerbau merupakan salah satu ternak sumber protein hewani dan telah lama dikembangkan oleh kalangan
petani di daerah pedesaan di Indonesia. Namun cara pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan masih
bersifat tradisional dengan kualitas pakan yang rendah, sehingga potensi produksi susu dan daya
reproduksi kerbau pun rendah. Adapun produksi susu kerbau lumpur di Sumatera Barat cukup rendah
sekitar 1,50 ± 0,53 liter/hari (Ibrahim, 2000). Produksi susu yang rendah ini menurut Hogberg et al.
(2003) dipengaruhi secara tidak langsung oleh kondisi darah yang tidak maksimal sehubungan dengan
kualitas pakan yang sedang.
Menurut Guyton dan Hall (1997) jika tubuh ternak mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah
juga akan mengalami perubahan. Keadaan gambaran darah (eritrosit, hemoglobin dan hematokrit) yang
rendah akan mempengaruhi tubuh ternak, dan akan menimbulkan berbagai penyakit salah satunya anemia
(turunnya sel darah merah atau kadar hemoglobin dalam darah), sehingga juga akan mempengaruhi

versi elektronik
produktivitas ternak yaitu dengan menurunnya nafsu makan dan produksi susu pada ternak laktasi.
Menurut Jain (1993) perubahan hematologi pada ternak sapi dan kerbau laktasi menjadi tidak teratur dari
waktu ke waktu. Pada umumnya ternak yang tidak laktasi memiliki nilai eritrosit dan hematokrit yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ternak laktasi. Ditambahkan oleh Weiss dan Wardrop (2010) nilai
eritrosit dan hematokrit kerbau laktasi adalah 5,07 - 8,27 x106/µL dan 26 - 34 %, nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan ternak kerbau yang tidak laktasi yang berumur 6 bulan - 2 tahun yang memiliki nilai

113
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
eritrosit 7,2 ± 1,4 x106/µL dan nilai hematokrit sebesar 33 ± 5%. Adapun nilai hemoglobin kerbau
berumur 2 tahun 6 bulan adalah 11,5 ± 1,62 (g/dL).
Menurut Jain (1993) terjadinya penurunan jumlah eritrosit sewaktu laktasi dapat disebabkan karena

versi elektronik
meningkatnya metabolisme kerja tubuh, dan terjadinya hemodilusi (pengenceran darah) yang
mengakibatkan jumlah eritrosit di dalam tubuh berkurang dan cairan didalam tubuh lebih meningkat
dibandingkan dengan jumlah sel darah. Nilai eritrosit akan mulai normal pada waktu laktasi berjalan
sampai setelah pedet mulai disapih. Apabila nilai eritrosit tidak kembali normal maka ternak akan
menderita penyakit anemia.
Untuk mencapai kondisi hematologis yang normal maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah
dengan memperbaiki pakan ternak kerbau melalui pemberian pakan suplemen yang tersusun dalam
kombinasi berbagai bahan. Pemberian pakan tambahan pada ternak umumnya dimaksudkan untuk
memasok ternak dengan berbagai nutrien yang dibutuhkan karena tidak dapat dicukupi dari ransum basal
yang tersedia, (Tangdilintin, 2002). Pakan tambahan yang dapat diberikan sebagai suplemen di antaranya
adalah daun ubi kayu. Pemberian daun ubi kayu yang telah dikeringkan dan dijadikan dalam bentuk
tepung dengan bahan pakan tambahan lainnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan
pakan suplemen untuk ternak kerbau.

versi elektronik
Penggunaan daun ubi kayu yang dikeringkan sebagai sumber protein memberikan hasil yang baik dalam
pakan ruminansia (Wanapat, 2009). Daun ubi kayu memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari
tangkai daun dan batang (Khieu Borin et al., 2005). Penggunaan daun ubi kayu dalam bentuk kering (hay)
dapat langsung diberikan sebagai pakan atau sebagai sumber protein dalam campuran konsentrat
(Kiyothong and Wanapat, 2004), sebagai komponen pada pakan pellet dalam campuran tepung kedele
dan urea dan sebagai komponen pakan bentuk blok dengan kualitas tinggi (Wanapat and Khampa, 2006).
Menurut Wanapat et al. (2000) manipulasi rumen dengan suplementasi daun ketela pohon dapat
meningkatkan konsumsi hijauan yang memiliki kualitas rendah dan meningkatkan produktivitas ternak
ruminansia terutama produksi susu dan pertambahan bobot badan. Selain itu menurut Granum et al.
(2007) peranan tanin terkondensasi yang terkandung di dalam daun ubi kayu dapat menurunkan jumlah
telur cacing sehingga status kesehatan ternak menjadi meningkat. Menurut Parakkasi (1985) penggunaan
tepung daun ubi kayu dengan level 10 persen dapat digunakan dalam bahan pakan ternak ruminansia.

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian ini menggunakan 20 ekor kerbau umur 4-5 tahun di Kanagarian Pamatang Panjang, Kecamatan
Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Makanan yang diberikan bahan pakan suplemen yang dibuat dalam
bentuk pellet terdiri dari urea, saka, dedak padi, tepung daun ubi kayu, semen, garam, mineral-mix, air
serta larutan Mc Dougall's sebagai buffer.
Metode penelitian ini adalah eksperimen pada kerbau betina laktasi yang dipelihara secara tradisional,
dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 (empat) perlakuan dan 5 (lima)
ulangan. (Steel dan Torrie, 1995). Perlakuan yang diberikan adalah penambahan pakan suplemen daun
ubi kayu sebanyak 0 kg (A/kontrol), 0,5 kg (B), 1 kg (C), dan 1,5 kg (D) yang ditambahkan pada ransum
basal, dengan komposisi seperti pada Tabel 1.
Pembuatan pakan suplemen. Pakan suplemen dengan komposisi seperti pada Tabel 1 diolah menjadi
pellet dengan cara memanaskan saka dan urea dengan air hingga mencair kemudian diaduk dengan
campuran bahan-bahan lain hingga merata. Campuran tersebut kemudian dicetak dan dikeringkan di

versi elektronik
bawah sinar matahari.
Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kondisi gambaran darah ternak meliputi jumlah eritrosit,
hemoglobin, hematokrit dan leukosit. Pengukuran dilakukan dengan cara mengambil 10 ml darah dari
vena jugularis dengan menggunakan syringe ukuran 10 ml 20 gauge, dimasukkan sebanyak 1 cc ke dalam
tabung venoject berisi larutan heparin sebagai antikoagulansia. Setelah itu satu persatu tabung dimasukan
ke dalam alat Auto Hematology Mindray BC-3200.

114
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Komposisi Bahan dalam Pakan Suplemen Bentuk Pellet (kg/10 kg daun ubi kayu).
Bahan Jml/10kg %
Dedak padi 3,75 37.5

versi elektronik
TDUK* 1 10
Semen 1 10
Garam 0,8 8
Urea 0,75 7.5
Saka 2 20
Air 0,5 5
Mineral-mix 0,2 2
Jumlah 10 100
Ket: *) tepung daun ubi kayu
Adapun kandungan nutrisi dari pakan suplemen dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Pakan Suplemen
Nama Analisis Pakan Suplemen Bentuk Pellet

versi elektronik
Air (%) 5.95
Abu (%) 27.74
Protein Kasar (%) 30.40
Serat Kasar (%) 14.95
Lemak Kasar (%) 4.16
BETN(%) 22.75
Energi (Kkal/Kg) 3729
Sumber : Lab. Nutrisi dan Kimia UNPAD (2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Eritrosit
Hasil analisis statistik pada Tabel 3. menunjukkan jumlah eritrosit kerbau laktasi pada perlakuan D sangat
nyata paling tinggi (P<0.01) yaitu 7.80±0,33 x 106/µl, diikuti secara berturut-turut oleh jumlah eritrosit
pada perlakuan C dan B, dan yang paling rendah adalah perlakuan A. Ini menunjukkan semakin tinggi

versi elektronik
pemberian pakan suplemen daun ubi kayu pada perlakuan D (1,5 kg) sangat nyata meningkatkan jumlah
eritrosit dalam tubuh kerbau laktasi yaitu 7.80±0,33 x 106/µl.
Tabel 3. Rataan Jumlah Eritrosit pada Kerbau Laktasi
Rataan
Perlakuan
(106/µl)
A 5.43±0,49a
B 6.30±0,30b
C 6.97±0,63c
D 7.80±0,33d

versi elektronik
Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01)

Peningkatan eritrosit kerbau laktasi masih berada pada batas normal sebesar 5.07 - 8.27 x 106µl (Jain et
al. 1982). Dengan kisaran eritrosit yang relatif normal, menggambarkan pakan suplemen daun ubi kayu
mampu meningkatkan jumlah eritrosit yang bermanfaat untuk proses kinerja sel-sel darah dalam tubuh.
Meningkatnya jumlah eritrosit kerbau laktasi seiring dengan meningkatnya pemberian pakan suplemen
daun ubi kayu disebabkan kandungan pakan suplemen daun ubi kayu memiliki protein kasar 30.40% dan

115
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
mengandung mineral tembaga (Cu) serta zat besi (Fe) dan vitamin A, B1, B12 dan C. Adapun unsur-unsur
tersebut merupakan salah satu zat pembentuk eritrosit yang dapat berperan penting dalam pertumbuhan
normal dan pematangan eritrosit (Sloane, 2003). Mineral tembaga (Cu) yang terkandung dalam daun ubi
kayu sebanyak 0.5 mg/100gram (Direktorat Gizi Depkes RI,1992) dapat memenuhi kebutuhan Cu dalam

versi elektronik
darah normal yaitu sebesar 0,06 mg/100ml dan jumlahnya dalam tubuh sebanyak 1 - 5 mg/kg (McDonald
et.al. 1988). Sesuai dengan hasil penelitian Sowande et al. (2012) pemberian daun ubi kayu yang
dikeringkan pada kambing Dwarf Afrika Barat telah nyata meningkatkan jumlah eritrosit sampai 13.00 x
106/mm³.
Paling rendahnya jumlah eritrosit pada perlakuan A (kontrol) yaitu 5,43±0,49 x 106/µl, disebabkan kerbau
hanya memakan hijauan yang tersedia di padang penggembalaan yaitu rumput bintang (cynodon
nlemfuensisi) yang mengandung protein kasar 8,62%, TDN 45,56 % dan alang alang (Imperata
silindrika) yang mengandung PK 2.8% dan TDN 15%. dengan status nutrisi yang tidak mencukupi
untuk ternak. Adapun ternak laktasi membutuhkan protein kasar 13-15 % dan TDN 65-70% (NRC,
2001).
Hemoglobin.
Hasil analisis statistik pada Tabel 4. menunjukkan bahwa kadar hemoglobin kerbau laktasi pada

versi elektronik
perlakuan D nyata paling tinggi (11,96±0,34 g/dl) dibandingkan perlakuan A dan B, namun berbeda tidak
nyata dengan perlakuan C. Ini berarti bahwa pemberian pakan suplemen daun ubi kayu sangat nyata (P <
0.01) meningkatkan kadar hemoglobin kerbau laktasi.
Tabel 4. Rataan Kadar Hemoglobin (g/dl) pada Kerbau Laktasi
Perlakuan Rataan
A 9.56±0,36a
B 10.04±0,77a
C 11.14±1,08b
D 11.96±0,34b
Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01)

versi elektronik
Paling tingginya kadar hemoglobin kerbau laktasi pada perlakuan D (11.96±0,34 g/dl), yaitu yang diberi
pakan pakan suplemen daun ubi kayu paling tinggi 1,5 kg disebabkan pada bahan pakan suplemen daun
ubi kayu banyak mengandung protein, serat kasar, lemak, vitamin dan mineral, yang dapat membantu
pembentukan hemoglobin. Seperti yang dinyatakan oleh Direktorat Gizi Depkes RI (1992) bahwa
mineral zat besi (Fe) yang terkandung dalam daun ubi kayu sebanyak 2,0 mg/100gram dapat memenuhi
kebutuhan zat besi dalam darah normal yaitu sebesar 0,08 mg/100ml dan jumlahnya dalam tubuh
sebanyak 20-80 mg/kg (McDonald et al, 1988). Zat besi dalam tubuh berperan memproduksi sel darah
merah, yang diperlukan untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Di samping itu menurut
Piliang (1997) mineral tembaga (Cu) dalam daun ubi kayu merupakan bagian dari reaksi sejumlah enzim,
antara lain enzim-enzim oksidase seperti sitokrom C-oksidase dalam mitokondria suatu pusat energy.
Dalam organel sel enzim tersebut berfungsi untuk mempertahankan aliran elektron-elektron guna
mereduksi zat besi dalam bentuk ferri menjadi ferro dalam mitokondria yang selanjutnya digunakan
sebagai zat untuk sintesa heme pada proses pembentukan hemoglobin

versi elektronik
Bahan pakan suplemen daun ubi kayu dapat membantu dalam proses pembentukan darah maupun
membantu dalam proses pencernaan dan penyerapan. Peningkatan jumlah sel darah merah dapat
menyebabkan peningkatan kadar hemoglobin sebab hemoglobin adalah bagian dari sel darah merah.
Sesuai dengan pendapat Eijkman Institute (2005) hemoglobin merupakan protein pembawa oksigen
dalam darah, dan hemoglobin juga merupakan suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, selain juga yang memberikan warna merah sel

116
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
darah merah. Apabila protein darah meningkat, hemoglobin pun meningkat yang akan diikuti oleh
meningkatnya sel darah merah aatau yang dikenal dengan eritrosit.
Kadar hemoglobin kerbau laktasi pada hasil penelitian ini masih berada dalam kisaran normal, yaitu

versi elektronik
sekitar 9.56±0,36 - 11.96±0,34 g/dl. Sesuai dengan pendapat Jain et al (1982) kadar hemoglobin kerbau
laktasi berkisar antara 9 - 13,5 (g/dl).
Hematokrit
Hasil analisis statistik pada Tabel 5. menunjukkan kadar hematokrit pada kerbau laktasi perlakuan D
sangat nyata paling tinggi (P<0,01) dibanding perlakuan B dan A, namun berbeda tidak nyata dibanding
kadar hematokrit kerbau laktasi pada perlakuan C. Adapun antara perlakuan C dan B maupun antara
perlakuan B dengan A berbeda tidak nyata (P>0,05). Ini berarti bahwa pemberian pakan suplemen daun
ubi kayu sangat nyata meningkatkan kadar hematokrit kerbau laktasi.
Tabel 5. Rataan Kadar Hematokrit (%) pada Kerbau Laktasi
Rataan
Perlakuan
(%)

versi elektronik
A 28.80±1,30c
B 30.00±2,35bc
C 31.80±2,59ab
D 33.20±1,30a
Ket : superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01)

Paling tingginya kadar hematokrit kerbau laktasi pada perlakuan D (33.20±1,30%) yaitu yang diberi
pakan suplemen paling tinggi 1,5 kg tidak terlepas dari kandungan pakan suplemen dalam menyediakan
mineral diantaranya Cu dan Fe serta sejumlah kandungan nutrisi lainnya yang akan diserap oleh tubuh
ternak. Adanya kandungan nutrisi dan mineral dalam pakan suplemen daun ubi kayu mempunyai peranan
besar dalam pembentukan sel darah. Daun ubi kayu memiliki nilai protein 27% dan mengandung mineral

versi elektronik
tembaga (Cu) serta zat besi (Fe) dan vitamin A, B1, B12 dan C serta asam amino. Adapun unsur-unsur
tersebut merupakan salah satu zat pembentuk eritrosit yang dapat berperan penting dalam pertumbuhan
normal dan pematangan eritrosit dan hematokrit (Sloane, 2003). Mineral tembaga (Cu) yang terkandung
dalam daun ubi kayu sebanyak 0.5 mg/100gram (Direktorat Gizi Depkes RI,1992) dapat memenuhi
kebutuhan Cu dalam darah normal yaitu sebesar 0,06 mg/100ml dan jumlahnya dalam tubuh sebanyak 1 -
5 mg/kg (McDonald et al., 1988). Menurut Jain et al (1982) kadar hematokrit normal untuk kerbau
berkisar antara 26- 34%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sowande et al. (2012) pemberian daun ubi kayu kering pada
kambing Dwarf Afrika Barat telah nyata menghasilkan kadar hematokrit yang tinggi yaitu 27.5 %
Leukosit
Hasil analisis statistik pada Tabel 6. menunjukkan pemberian pakan suplemen daun ubi kayu memberikan
pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah leukosit kerbau laktasi, yaitu berkisar antara 9.08 - 9.62 x

versi elektronik
103/µl. Ini berarti bahwa pemberian pakan suplemen daun ubi kayu tidak mempengaruhi jumlah leukosit
kerbau laktasi. Namun secara faali perlakuan A (kontrol) jumlah leukosit lebih tinggi dari perlakuan B
dan C.

117
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 6. Rataan Jumlah Leukosit pada Kerbau Laktasi
Rataan
Perlakuan
(103/µl)

versi elektronik
A 9.40±0,34
B 9.08±1,20
C 9.34±0,70
D 9.62±0,80

Tidak berpengaruhnya pemberian pakan suplemen daun ubi kayu terhadap jumlah leukosit kerbau laktasi
disebabkan daun ubi kayu mengandung vitamin diantaranya vitamin A yang terdapat didalamnya karoten
sebesar 7052 µg/100 gram daun ubi kayu, beta-karoten 13.834 µg/100gram,retinol 3300 mg/100gram dan
vitamin C sebanyak 275 mg/100 gram daun ubi kayu (Darmono, 1989). Kandungan vitamin yang
terkandung dalam daun ubi kayu dapat berfungsi sebagai antioksidan dan memberikan kekebalan atau

versi elektronik
imunitas untuk tubuh ternak sehingga dapat mencegah ternak terserang penyakit dengan cara
meningkatkan aktifitas kerja dari sel-sel darah putih dan antibodi.
Hal ini menandakan pemberian pakan suplemen daun ubi kayu pada kerbau berada dalam kondisi tubuh
yang tidak mengalami gangguan kesehatan, seperti yang ditunjukkan dengan tidak berbedanya jumlah
leukosit untuk semua perlakuan Salah satu fungsi leukosit adalah melawan serangan penyakit atau infeksi
pada ternak. Selain tidak berpengaruh pemberian pakan suplemen terhadap jumlah leukosit kerbau,
kondisi lingkungan yang baik dapat menstabilkan jumlah leukosit. Kerbau dapat berkubang pada areal
kubangan yang tersedia sehingga kerbau dapat mengatasi cekaman panas pada siang hari. Jumlah leukosit
kerbau laktasi yang diberi pakan suplemen daun ubi kayu masih berada dalam batas nomal. Seperti yang
dikemukakan oleh Jain et al. (1982) jumlah leukosit pada kerbau sekitar 6.25 - 13.05 x 103/µl
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Anaeto et al. (2013) pemberian silase daun ubi kayu pada
domba Dwarf Afrika Barat telah nyata mempertaahankan jumlah leukosit sampai 10.23 x /mm³

versi elektronik
KESIMPULAN
Pemberian pakan suplemen daun ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sangat nyata meningkatkan jumlah
eritrosit, hemoglobin dan hematokrit darah kerbau namun tidak mempengaruhi jumlah leukosit darah.
Pemberian pakan suplemen daun ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sebanyak 1 kg sudah cukup dalam
menghasilkan gambaran darah yang normal.

DAFTAR PUSTAKA
Anaeto, M., A.F Sawyerr., T.R, Alli., G.O Tayo,. J.A Adeyeye and A.O Olarinmoye. 2013. Cassava Leaf
Silage and Cassava Peel as Dry Season Feed for West African Dwarf Sheep. Global Journals Inc.
(USA). Vol 13 Issue 2.
Darmono. 1989. Kandungan mineral pada pakan tambahan untuk mencegah penyakit defisiensi pada
ternak ruminansia. Bulletin Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. 9(2): 13 −15.
Direktorat Gizi . 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan. RI.

versi elektronik
Eijkman Institute. 2005. Thalassemia. http://www.eijkman.go.id, 07 November 2007.
Granum, G., M. Wanapat., P. Pakdee., C. Wachirapakom and W. Toburan. 2007. A comparative study on
the effect of cassava hay supplementation in swamp buffaloes (Bubalus Bubalis) and cattle (Bos
Indicus). Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20(9) : 1389 - 1396.

118
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Hogberg, M. G., S. L. Falest., F. L. Kirschenmann., M. S. Honeyman., J. A. Miranowski, and P. Lasley.
2003. Interrelationships of animal agriculture, the environment, and rural communities. J. Anim.
Sci. 83 (E. Suppl.): E13-E17.

versi elektronik
Ibrahim, L. 2007. Produksi susu, reproduksi dan manajemen kerbau perah di Sumatera Barat. Jurnal
Peternakan Indonesia : 5 (I): 1-9.
Jain, N. C. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Library of Congress Cataloging-in Publication
Data. America. pp. 24-36.
Jain, N.C., JL. Vegad and N.K. Jain. 1982. Haematological studies on normal lactating Indian water
buffaloes. Res Vet Sci.; 32:52-56.
Khieu Borin, Ty. Chhay, R. B. Ogle, and T. R. Presston. 2005. Research on the use of cassava leaves for
livestock feeding in Cambodia. In: Proceeding of the Regional Workshop on "The Use of
Cassava Roots and Leaves for On-Farm Anim. Feeding", Hue, Vietnam. January. pp 17-19,
Kiyothong, K and M. Wanapat. 2004. Growth, hay yield and chemical composition of cassava and stylo
184 grown under intercropping. Asian-Aust. J. Anim. Sci.17(5):670-677.

versi elektronik
McDonald, P., R.A. Edwards, and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. John Willey and Sons Inc.,
New York. p. 96−105.
NRC (National Research Council). 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Update Washington,
D.C: National Academy Press.
Parakkasi, A. 1985. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta.
Pilliang, W. G. 1997. Nutrisi Mineral. Edisi Ke-2. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sloane. Ethel, 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC. Jakarta.
Sowande, O. S., Arigbede. O. M., and Oni. A. O. 2012. Haematological and serum biochemical
parameters of West African Dwarf goats dried cassava leaves based concentrate diets. Trop
Animal Healt Prod. 44 : 486
Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometric. Penerbit

versi elektronik
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tangdilintin, F. K. 2002. Pakan Tambahan (Supplement). Makalah Kursus Singkat Penggunaan
Teknologi Radioimmunoassay (RIA) dan Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB) dalam
Biologi Reproduksi Ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dengan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Makassar.
Wanapat, M. 2000. Role of cassava hay as animal feed in the tropics. In: Proc. International Workshop on
Current Research and Development in Use of Cassava as Animal Feed, July 23-24, 2001, Khon
Kaen University, Thailand. pp. 13-19.
Wanapat, M. 2009. Potential uses of local resources for ruminants. Trop. Anim. Health and Production,
41(7): 1035-1049.
Wanapat, M. and S. Khampa. 2006. Effect of cassava hay in high-quality feed block as anthelmintics in
steers grazing on ruzi grass. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19:695-698.

versi elektronik
Weiss, J. D. and J. K. Wardrop. 2010. Schalm's Vterinary Hematology 6th ed. Wiley-Blackwell. USA.

119
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PERFORMANS LEGUM RAMBAT Arachis pintoi DAN TERNAK KAMBING DI AREAL
PERTANAMAN KELAPA
Selvie Diana Anis, David Arnold Kaligis, dan Sjul Kartini Dotulong

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado; email: selvie_anis@yahoo.com;
kaligis.david@yahoo.co.id

ABSTRAK
Salah satu faktor yang menghambat pengembangan populasi ternak ruminasia di Indonesia adalah
keterbatasan penyediaan dan suplai hijauan pakan yang beradaptasi baik pada kondisi iklim dan
lingkungan serta manajemen pemeliharaan ternak oleh petani yang masih tradisional. Legum rambat
Arachis pintoi cv. Amarilo direkomendasi sebagai jenis legume pakan dengan sifat tumbuh merambat
yang beradaptasi baik pada kondisi ternaung di areal pertanaman kelapa dan tahan terhadap renggutan
oleh ternak. Penelitian ini telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana mekanisme persistensi tterhadap
grazing dari tanaman ini. Dua percobaan telah dilakukan secara terpisah, yang pertama untuk mengetahui
distribusi tanaman baru yang tumbuh dari biji setelah grazing, dan kedua untuk memperoleh jenis rumput
mana yang dapat tumbuh bersama dengan legume ini pada satu manajemen tertentu, yang diukur pada
performans pastura campuran dan perforrmans ternak kambing percobaan. Hasil penelitian ini

versi elektronik
menunjukkan bahwa deposito biji dalam tanah yang berkecambah meningkat linier dengan naiknya
jumlah ternak kambing yang digembalakan, dan kedua rumput yaitu Stenotaphrum secundatum dan
Axonopus compressus dapat tumbuh bersama Arachis pintoi, dan memberikan pertambahan berat badan
ternak kambing yang baik.
Kata kunci : Persistensi, regrowth, A.pintoi, kambing

ABSTRACT
One of the most factors inhibited the development of cattle population in Indonesia is deprive of forages
supply which is well adapted under the climate condition and the tradisional management of farmer.
Arachis pintoi cv. Amarillo is recommended as creeping legume which is well adapted under coconut
plantation and grazing. This experiment has been done to know how the mechanism of persistent of this
legume. Two separated experiment has done, first investigate the distribution of the new plant from seeds
emerged after grazing, and second to find out grass species which in compatible to A.pintoi showed by

versi elektronik
performans of mixed pasture and performans of goats. Results show that seed deposit in soil emerged
increased linierly with the number of goats rearing, and that both Stenotaphrum secundatum as well as
Axonopus compressus is compatible to Arachis pintoi , with good daily gain of goats.
Keyword : Persistensi, regrowth, A.pintoi, kambing

PENDAHULUAN
Indonesia masih mengimpor daging merah sebanyak 1,5 juta ton/tahun, dan sebanyak 350.000 ekor sapi
bakalan/tahun, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk komoditi ini. Data ini menunjukkan Gap
permintaan dan penawaran komoditi daging sapi cukup lebar. Salah satu faktor pembatas adalah
keterbatasan suplai pakan hijauan. Mengatasi hal tersebut telah dilaksanakan penelitian evaluasi spesies
selama tiga tahun untuk mendapatkan jenis-jenis yang toleran terhadap naungan kelapa. A. Pintoi cv.
Amarillo adalah salah satu promising spesies yang beradaptasi dengan baik (Kaligis dan Mamonto, 1991).
Hal yang sama dilaporkan juga oleh NG (1991), Rika et al (1991) dan Norton et al (1991). Penelitian ini
dilaksanakan untuk mempelajari mekanisme persistensi A. Pintoi dan faktor-faktor yang mempengaruhi,

versi elektronik
serta dampaknya terhadap produksi ternak kambing (ruminansia kecil).

METODE PENELITIAN
Percobaan I menggunakan lahan yang telah lama ditumbuhi A.pintoi. Dari lahan A. Pintoi yang telah
tersedia diletakkan perlakuan grazing sebagai berikut : Petak percobaan seluas 10 m x 10 m di pagari

120
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dengan bambu, dan ditempatkan 1 ekor kambing dengan berat badan 25 kg. Petak selanjutnya
ditempatkan 2 dan 3 ekor kambing. Dengan demikian perlakuan sebagai berikut :
P1 = 1 ekor kambing (25 kg berat badan)

versi elektronik
P2 = 2 ekor kambing (total 50 kg berat badan)
P3 = 3 ekor kambing (total 75 kg berat badan)
Perlakuan ini diulang sebanyak 5 kali. Dengan demikian terdapat 15 plot percobaan. Analisis data
dilakukan dengan ANOVA berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Untuk percobaan II, perlakuan yang diuji adalah kombinasi rumput S. secundatum dan A.compressus
dengan A. Pintoi. Perlakuan pada percobaan ini adalah sebagai berikut :
Faktor A :
A1 = A. Pintoi + S. secundatum
A2 = A. Pintoi + A.compressus
Faktor B :

versi elektronik
B1 = 1 ekor ternak kambing
B2 = 2 ekor ternak kambing
B3 = 3 ekor ternak kambing
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan perlakuan diatur secara factorial, dan
dianalisis dengan ANOVA.
Variabel yang diukur adalah : Komposisi botanis pastura dan daily gain ternak.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Distribusi A.pintoi
Distribusi legume A. Pintoi yang berasal dari perkecambahan biji yang terdeposisi dalam tanah akibat
pengaruh tekanan penggembalaan disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

versi elektronik
Tabel 1. Rataan distribusi A. Pintoi setelah digembalakan ternak kambing (jumlah tanaman baru per m2)
Tekanan Penggembalaan
Ulangan
P1 P2 P3
1 19 31 37
2 21 33 41
3 20 29 55
4 23 35 42
5 17 37 49
a b
20 33 44,8

versi elektronik
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Dari tabel diatas terlihat bahwa sampai dengan tekanan penggembalaan 3 ekor kambing jumlah biji yang
berkecambah dari yang terdeposisi dalam tanah lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan
perlakuan P1 dan P2. Data ini menunjukkan bahwa biji yang terdeposisi dalam tanah lebih banyak yang
berkecambah karena permukaan tanah menjadi lebih terbuka, akibat lebih banyak bagian tanaman A.

121
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pintoi yang terkonsumsi. Dengan berkurangnya mahkota tanaman A. Pintoi memungkinkan lebih banyak
jumlah cahaya matahari yang mencapai permukaan tanah, sekaligus menaikkan temperatur tanah yang
pada gilirannya merangsang terjadinya perkecambahan. Informasi ini menunjukkan bahwa untuk
merangsang terjadinya rewgrowth yang berasal dari biji perlu adanya perenggutan oleh ternak. Walaupun

versi elektronik
demikian ketika hewan yang digembalakan adalah ternak kambing maka perhatian terhadap tekanan
penggembalaan menjadi serius. Hal ini disebabkan karena ternak kambing yang tergolong browsers
artinya lebih memilih jenis tanaman yang berdaun lebar seperti kacang-kacangan, menjadi ancaman bagi
A.pintoi bila tekanan ini berlanjut terus menerus dan dapat merugikan perkembangan tanaman A. Pintoi
itu sendiri. Sebab itu perlu dipelajari jenis rumput yang kompatibel yang dapat melindungi A. Pintoi.
Performans Pastura dan Ternak
Hasil introduksi antara pastura campuran dan tekanan penggembalaan ternak kambing terhadap
performans pastura disajikan pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Performans Pastura Campuran (Komposisi Botanis) Akibat Tekanan Penggembalaan Yang
Berbeda.

Stocking Rate Komposisi Botanis (%)

versi elektronik
(ekor) S. secundatum A. Pintoi A.compressus A. Pintoi
1 57 43 63 37
2 51 51 55 45
3 43 55 41 59
Dari Tabel di atas jelas terlihat bahwa tekanan penggembalaan ternak kambing mampu merubah
komposisi botanis pastura campuran. Dalam hal ini dengan naiknya tekanan penggembalaan ternak
kambing sampai dengan 3 ekor ternyata mampu menurunkan porsi rumput dan sebaliknya menaikkan
persentase legume A. Pintoi. Naiknya jumlah ternak sampai 3 ekor dapat menurunkan porsi S.
secundatum dari 57% menjadi 43%, sedangkan porsi A. Pintoi naik dari 43% menjadi 55%. Indikasi
serupa terjadi pada pastura campuran A.copressus dengan A. Pintoi, dimana dengan naiknya tekanan
penggembalaan dari 1 ekor menjadi 3 ekor, populasi A.compressus turun dari 63 menjadi 41%, sedangkan
porsi legume A. Pintoi naik dari 37% menjadi 59%. Ternyata preferensi ternak kambing terhadap rumput

versi elektronik
A.compressus lebih tinggi dibandingkan dengan Steno.
Hasil ini menunjukkan bahwa dengan direnggutnya porsi rumput semakin banyak memungkinkan A.
Pintoi berkembang karena lebih banyak menerima cahaya matahari, dan lebih terproteksi dari renggutan
oleh ternak. Dari fenomena ini dapat disimpulkan bahwa pertanaman campuran sangat penting, karena
legume memberikan suplai protein untuk ternak, tetapi rumput juga dibutuhkan selain sebagai sumber
energi bagi ternak juga sebagai pelindung legume dari tekanan grazing.
Walaupun produktivitas pastura campuran cukup tinggi, tetapi produksi riil terukur pada produksi ternak,
dalam hal ini pertambahan berat badan, sebagaimana tersaji pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Performans Ternak Kambing (gram/ekor/hari) Dari Pastura Campuran
Pastura Campuran
Stocking Rate (ekor) A.pintoi A.pintoi
X
S. Secundatum A.compressus

versi elektronik
1 41 53 47,0a
2 51 62 56,5b
3 55 59 57,0c
X 49a 58b

122
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Dari tabel diatas terlihat bahwa pengaruh pastura campuran berbeda nyata (P<0,05), dimana campuran A.
pintoi + A.compressus memberikan pertambahan berat badan 58 gram/ekor/hari nyata lebih tinggi dari
campuran A. pintoi + S. secundatum yang hanya sebesar 49 gram/ekor/hari. Hal ini mungkin disebabkan
karena rumput A.compressus memiliki kualitas dan nilai kecernaan yang tinggi sekitar 80% dan porsi

versi elektronik
daun lebih banyak (Kaligis dan Mamonto, 1991) dan dengan sendirinya lebih palatable dibandingkan
dengan S. secundatum.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa persistensi A.pintoi tergolong tinggi karena adanya
deposit biji dalam tanah, dimana perkecambahan dari biji tersebut sangat dipercepat oleh adanya grazing.
Selanjutnya proporsi A.pintoi semakin tinggi bila dikombinasikan dengan jenis rumput yang compatible
seperti S.secundatum dan A.compressus. Namun demikian kombinasi A. pintoi dengan A. compressus
memberikan pertambahan berat badan ternak kambing yang lebih tinggi.DAFTAR

DAFTAR PUSTAKA
Cook, B.G., Williams, R.J. and G. Wilson. 1990. New Herbage Plant Cultiver A. Pintoi, cv Amarilo,
Aust. J. Exp. Agric. 30(3) : 445 – 446.

versi elektronik
Da Silva,S.C., Bruno, A.A and A.R. Cornevalli. 2009. Swards structure and characteristics and herbage
accumulation of P.maximum cv. Mombaca subjected to rotational stocking management. Scientia
Agricola 66(1) : 8-19.
Humphreys, R. 1991. Tropical Pasture Utilization. Cambridge University Press.
Kaligis, D. A. and S. Mamonto. 1991. Intake and Digestibility of Some Forage for Shaded Environment.
ACIAR. Proc. 32 : 89 – 91.
Kaligis, D. A. and C. Sumolang. 1991. Forages of Species for Coconut Plantation in North Sulawesi.
ACIAR. Proc. 32.45 – 48.
Kaligis, D. A. 1993. Agronomic Performance and Nutritive Value of Native Forage in North Sulawesi, in
: Letization of Native Forage for Animal Production. Proc. Of 2nd Meeting RWGGFR. South East
Asia.

versi elektronik
Ludlow, M.M. 1978. Light Relation of Pasture Plants. C.S.I.R.O. Australia.
McMaster, G.S., W.W.Wilhelm., D.B.Palic., J.R. Porter., P.D. Jamieson. 2003. Spring wheat leaf
appearance and temperature: Extending the Paradigm? Annals of Botany 91: 697-705.
Norton, B.W. 1991. The Effect of Shade on Forage Snality. ACIAR. Proc. 32 : 83 -88.
Remenji, J. and J. McWilliam. 1986. Ruminant Production Trend in Southeast Asia and The South
Pacific, and The Need for Forages. ACIAR. Proc. 12 : 1 – 6.
Reynolds, S. 1995. Pasture Cattle Coconut System. FAO. Rome.
Rika, I., Nitis, I. M. and R. Humphreys. 1981. Effect of Stocking Rate on Cattle Growth, Pasture
Production and Coconut Yield in Bali. Trop. Grassland 15(3) : 149 – 157.
Shelton, H.M., Humphrey, L. R. and C. Batello. 1987. Pasture in Plantation of Asia and The Pacific.
Performance and Prospect. Trop. Grassland 21(4) : 159 – 164.

versi elektronik
Smith, D. 1969. Removing and analyzing Total Nonstructural Carbohydrate from plat and tissue.
Wisconsin Agric. Expt. Stat. Research. Report no.41.
Shelton, H. M. 1990. Using Legumes to Sustain Pasture System. J. of Aust. Inst. Of Agric. Sci. 3(3) : 34 –
40.

123
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Shelton, H. M. and W. W. Stur. 1991. Opportunities for Interpretation of Management in Plantation
Crops in Southeast Asia and The Pacific. ACIAR. Proc. 32 : 5 – 9.
Sondakh, L. W. and D. A. Kaligis. 1991. Prospect of Integration of Forages for Ruminant Into Coconut

versi elektronik
Plantation in North Sulawesi. ACIAR. Proc. 32 : 140 – 143.
Sophanodora, P. E. 1991. Compatibility of Grass Lasume Swards Under Shade. ACIAR. Proc. 32 : 115 –
117.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 124


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGGUNAAN RAGI, Saccharomyces cerevisiae UNTUK MEMPERBAIKI KECERNAAN
NUTRIEN
S.N.O. Suwandyastuti1) dan Efka Aris Rimbawanto2).

versi elektronik
1)
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman
1)
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman; email: fk.aris.r@gmail.com

ABSTRAK
Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui penggunaan ragi Saccharomyces cerevisiae dalam
ransum sapi perah laktasi. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan
Bujur Sangkar Latin 4x4. Hewan Percobaan berperan sebagai kolom dan periode percobaan sebagai baris.
Setiap periode percobaan terdiri dari 14 hari preliminari dan 7 hari masa percobaan (masa koleksi).
Perlakuan yang diuji adalah taraf penggunaan ragi berturut-turut : 0, 5, 10 dan 15 g/ekor/hari. Peubah
respon yang diukur adalah Kecernaan Nutrien : Bahan Kering (BK), Protein Kasar (PK), Serat Kasar
(SK), Lemak (L), Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen (BETN) dan Energi dalam satuan Total Digestible
Nutrient (TDN). Percobaan Kecernaan dilaksanakan dengan metode koleksi total. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa penggunaan ragi sampai dengan 15 g/ekor/hari tidak nyata memperbaiki kecernaan
nutrien, tetapi sangat nyata menurunkan kecernaan lemak (86,16 ± 0,54%, P<0,01). Kecernaan SK 42,63

versi elektronik
± 1,61%, Energi 53,81 ± 1,97% TDN, PK 50,58 ± 3,50%, BETN 75,56 ± 1,62 dan BK 63,51 ± 1,25%.
Berdasarkan semua peubah respon yang diukur dapat disimpulkan bahwa penggunaan ragi sampai dengan
15 g/ekor/hari tidak efektif memperbaiki kecernaan nutrien. Masih perlu peningkatan penggunaan ragi,
agar dicapai hasil yang optimal.
Kata kunci : penggunaan yeast, kecernaan nutrien

ABSTRACT
A research have been done to study the utilization of yeast in lactating dairy cattle ration. The research
was conducted by experimental methode in a 4x4 Latin Square Design, which animal trials as column and
period function as row. Each trial period consisted of 14 days preliminary and 7 days trial period
(collection period). The treatment to be tested were four levels of yeast, namely : 0, 5, 10 and 15
g/cow/day. The variables measured were : nutrient digestion : Dry Matter (DM), Crude Protein (CP),
Crude Fibre (CF), Fat (F), Nitrogen Free Ectract (NFE) and Total Digestible Nutrient (TDN). The

versi elektronik
Digestion Trial was conducted by the methode of Total Collection. The result showed that the utilization
of yeast has no significantly effect on the nutrient digestion, but significantly decreased fat digestion
(86,16 ± 0,54% P<0,01). The digestion of crude fibre 42,63 ± 1,61%, Energy 53,81 ± 1,97% TDN, Crude
Protein 50,58 ± 3,50%, NFE = 75,56 ± 1,62% and DM = 63,51 ± 1,25%. Based on the all measured
variables, it can be concluded that the utilization of yeast Saccharomyces cerevisiae of up to 15
g/cow/day to lactating dairy cows ration does not effectively improve nutrient digestion. Its must be
increased the yeast, to reach the optimal result.
Keyword : yeast utilization, nutrient digestion

PENDAHULUAN
Semua ternak ruminansia, terutama sapi perah laktasi, mutlak memerlukan hijauan atau bahan berserat
lain dalam ransumnya. Sebagian besar bahan pakan sapi perah laktasi bahkan terdiri dari karbohidrat (Mc.
Donald et al., 2002; Campbell & Reece, 2005; Suwandyastuti, Efka Aris dan Budi Rustomo, 2014), yang
terdapat dalam bentuk selulosa, hemiselulosa dan pati (Suwandyastuti, Efka Aris dan Budi Rustomo,

versi elektronik
1993).
Karbohidrat mudah terfermentasi seperti pati, dapat menyebabkan penurunan pH rumen (Bach et al.,
2007), mengakibatkan penurunan proses selulolisis (Williams, 1988; Suwandyastuti, Efka Aris dan Budi
Rustomo, 2014) dan menurunkan degradasi serat kasar (Istasse dan Orskov, 1983, Dawson & Newman,
1987; Harisson et al., 1987), sebaliknya penambahan biakan ragi akan meningkatkan kecernaan serat

125
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kasar (Williams, 1987), karena meningkatnya jumlah populasi bakteri selulolitik (Dawson, 1987). Di
samping itu, biakan ragi juga meningkatkan biomasa mikroba (Dawson & Newman, 1987; Harisson et
al., 1987, Denev et al., 2007), sehingga meningkatkan suplai protein mikroba ke abomasum sebanyak 1,3
kali bakteri rumen dan 1,5 kali bakteri selulolitik (Wiedmeier et al., 1987; Bach, Calsimiglia and Stern,

versi elektronik
2005).
Penambahan ragi dapat juga meningkatkan pH rumen sapi perah laktasi (Dawson & Newman, 1987; Bach
et al., 2007), sehingga kecernaan serat kasar dapat meningkat (Fallon & Harte, 1987, Wiedmeier et al,
1987; Harrison et al., 1987). Selain itu adanya ragi dalam rumen dapat memberikan keuntungan, yaitu :
meneruskan molekul H2 ke mikroba, sehingga menurunkan produksi metan dan meningkatkan efisiensi
proses selulolisis (Stewart et al., 1986; Dolizal, Dolizal and Trinacty, 2005).
Bertolak dari hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan ragi
dalam ransum sapi perah laktasi terhadap kecernaan nutrien ransum : Bahan Kering (BK), Protein Kasar
(PK), Serat Kasar (SK), Lemak (L), Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen (BETN) dan Energi dalam bentuk
Total Nutrien Tercerna (Total Digestible Nutrient, TDN).

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian dilaksanakan dengan metode eksperimental di Eksperimental Farm Fakultas Peternakan
UNSOED, Purwokerto. Percobaan dilakukan pada 4 ekor Sapi Perah Laktasi dengan Rancangan Bujur
Sangkar Latin 4x4 (Gills, 1978). Hewan percobaan berperan sebagai baris dan periode percobaan sebagai
kolom. Setiap periode percobaan terdiri dari 14 hari preliminari dan 7 hari masa pengumpulan data.
Perlakuan yang diuji adalah 4 taraf penambahan ragi dalam ransum, berturut-turut : R0 = 0 gr; R1 = 5 gr;
R2 = 10 gr, dan R3 = 15 gr per ekor per hari. Peubah respon yang diukur adalah Kecernaan Nutrien
ransum percobaan : BK, PK, SK, L, BETN dan TDN.
Percobaan kecernaan dilaksanakan dengan metode koleksi total (Cole & Ronning, 1974; Annenkov,
1981). Konsumsi pakan, bobot feses, dan volume urine diukur setiap hari selama periode percobaan,
sedangkan komposisi nutrien dianalisis terhadap cuplikan ganda setiap periode percobaan. Contoh ransum
diambil 5% dari konsumsi, feses 2% dan urine 1% dari jumlah per hari. Pengawetan dan preparasi contoh
analisis dilakukan menurut petunjuk Fick, et al. (1979) dan Ranjhan & Krishna (1980). Penentuan
komposisi nutrien dilakukan dengan analisis proksimat (AOAC, 1995).

versi elektronik
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diuji terhadap peubah respon yang diamati, dilakukan sidik
ragam (Snedecor & Cochran, 1975) dilanjutkan dengan orthogonal polinomial (Chew, 1977), dengan
model matematis sebagai berikut :
Yijk = µ + Hi + Rj + Pk + Ʃijk
(i, j, k = 1,2,3,4)
Yijk = nilai pengamatan pada hewan ke-i, yang mendapat perlakuan ke-j pada periode
percobaan ke-k.
µ = nilai rataan umum
Hi = pengaruh hewan ke-i
Rj = pengaruh perlakuan ke-j
Pk = pengaruh periode percobaan ke-k
Ʃijk = pengaruh sisa dari hewan percobaan ke-i yang mendapat perlakuan ke-j
pada periode percobaan ke-k

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai kecernaan suatu ransum sangat tergantung kepada : (1) komposisi kimia bahan makanan penyusun ;
(2) teknik pengolahan bahan; (3) komposisi nutrien ransum; (4) cara dan taraf pemberian ransum; (5)
kondisi faali hewan percobaan yang dipergunakan. Terjadinya tiga proses pencernaan pada ternak
ruminansia, mengakibatkan hasil akhir pencernaan yang lebih beragam dibanding dengan ternak

126
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
nonruminasia. Dalam penelitian ini hasil sidik ragam peubah respon kecernaan nutrien menunjukkan
angka yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan letak pencernaan utama masing-masing nutrien, maupun
kondisi faali proses pencernaan, serta adanya interaksi antara beberapa proses faali yang berjalan simultan
dengan proses pencernaan.

versi elektronik
Rumen merupakan tempat terjadinya pencernaan fermentatif bahan organik, terutama karbohidrat yang
sangat erat hubungannya dengan tingkat produksi dan penyerapan asam lemak atsiri sebagai sumber
energi utama untuk ruminansia. Ketersediaan asam lemak atsiri sebagai sumber energi juga sangat
menentukan tingkat kecernaan protein, maupun sintesis protein mikroba rumen. Ketersediaan energi yang
tidak mencukupi kebutuhan akan menghambat penggunaan protein sesuai dengan fungsinya, karena
efisiensi penggunaan asam amino terserap akan menurun. Oleh karena itu pada semua fase kehidupan
atau kondisi faali hewan akan selalu terjadi interaksi antara energi dengan protein. Tabel 1 berikut
menunjukkan nilai rataan kecernaan nutrien ransum pecobaan pada sapi perah laktasi karena pengaruh
penambahan ragi.
Tabel 1. Rataan Kecernaan Nutrien Ransum Percobaan
Perlakuan
R0 R1 R2 R3

versi elektronik
Bahan Kering (%) 64.53 63.08 64.35 62.07
Protein Kasar (%) 48.19 48.64 55.73 49.73
Serat Kasar (%) 45.02 41.91 41.83 41.76
Lemak (%) 91.58 86.79 85.75 80.53
BETN (%) 76.43 75.55 76.80 73.46
TDN (%) 56.06 53.55 54.33 51.31
Keterangan : R = taraf ragi dalam ransum, R0 = 0, R1 = 5, R2 = 10, R3 = 15 g/ekor/hari

Pada Tabel di atas menunjukkan bahwa kecernaan lemak menduduki angka tertinggi (86,16 ± 4,54
persen) dan merupakan satu-satunya nutrien yang responsif terhadap penambahan ragi (P<0,01),
mempunyai hubungan linier negatif dengan taraf penambahan ragi ke dalam ransum (P<0,01) dengan
mengikuti persamaan garis Y = 72,72 – 0,58X (R2 = 0,83).
Tabel 2. Rangkuman Sidik Ragam Kecernaan Nutrien Ransum Percobaan pada Sapi Perah Laktasi

versi elektronik
Bahan Protein Serat
Sumber Keragaman Lemak BETN TDN
Kering Kasar Kasar

Hewan Percobaan 0,1895 0,7167 0,5317 0,3860 0,2286 5,7320a


Periode 2,3072 25,2766*) 1,4916 3,3004 2,8785 3,8457
Perlakuan 0,3292 1,4621 0,2150 41,0206*) 1,3482 0,8107
Linier 116,8420*)
Kuadratik 0,0859
Kubik 6,1339**)
**)
Keterangan : nyata pada taraf pengujian 5 persen;*) nyata pada taraf pengujian 1 persen

Lemak makanan yang terutama terdapat dalam bentuk galaktogliserida, trigliserida, dan fosfolipida,
dalam keadaan normal akan dihidrolisa secara efesien oleh mikroba rumen, sedangkan asam lemak tak
jenuh akan mengalami hidrogenasi menjadi asam lemak jenuh. Semakin tinggi penambahan ragi ke dalam

versi elektronik
ransum akan semakin meningkatkan pH rumen, sehingga kondisi rumen semakin kurang optimal untuk
berlangsungnya hidrolisis lemak oleh mikroba rumen. Dalam keadaan normal, pH rumen akan cenderung
tetap sekitar 6,8 -7 (netral). Walaupun kecernaan lemak di dalam rumen tidak sebesar kecernaan
karbohidrat, tetapi perubahan kondisi rumen akibat penambahan ragi telah berhasil mempengaruhi proses
pencernaan lemak ransum percobaan (P<0,01).

127
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Gambar 1. Hubungan antara kecernaan Bahan Kering, Protein Kasar, Serat Kasar, Lemak, BETN dan
TDN dengan taraf penambahan ragi
Penambahan ragi dalam ransum berfungsi meningkatkan biomasa mikroba (Dawson dan Newman, 1987;

versi elektronik
Harisson et al., 1987), sehingga suplai protein ke abomasum meningkat pula. Pada kondisi fermentor,
penambahan ragi dapat meningkatkan populasi bakteri selulolitik sampai tiga kali (Dawson, 1987)
sedangkan pada percobaan in vivo, biomasa mikroba meningkat 1,3 kali seluruh bakteri dalam rumen dan
1,5 kali bakteri selulolitik pada rumen sapi perah (Weidmeir et al., 1987). Bertitik tolak dari hasil
percobaan tersebut, maupun dari produksi asetat, seharusnya kecernaan serat kasar akan meningkat pula
sejalan dengan taraf penambahan ragi (Haddad and Goussous, 2005).
Berbeda dengan data-data tersebut di atas, penambahan ragi sebanyak 5, 10 dan 15 gram/ekor/hari belum
berhasil meningkatkan kecernaan serat kasar maupun protein kasar (P>0.05), bahkan nilai kecernaan serat
kasar menunjukkan angka terendah, yaitu 42,63 ± 1,59 persen. Menurut Church (1979), kemampuan
ruminansia dalam mencerna dan memanfaatkan serat kasar ransum sangat tergantung dari jenis, jumlah
populasi, dan aktivitas mikroba rumen. Rendahnya kecernaan serat kasar dalam percobaan ini mungkin
sekali disebabkan belum tercapainya interaksi optimal antara ketiga faktor tersebut.
Menurut Orskov (1982), bakteri selulolitik sangat peka terhadap perubahan pH rumen. Penurunan pH

versi elektronik
sampai di bawah 6,2 langsung menghambat pertumbuhan maupun aktivitasnya. Walaupun pH rumen
sebetulnya dapat dipertahankan oleh fungsi buffering capacity dari saliva, apalagi dengan adanya
penambahan biakan ragi, tetapi mungkin penambahan 15 gram/ekor/hari belum mampu meningkatkan
atau mempertahankan pH rumen sehingga tetap optimal untuk melangsungkan fungsi faali maupun
biokimianya. Di samping itu, bakteri selulolitik juga membutuhkan asam lemak berantai cabang untuk
pertumbuhannya, sedangkan asam lemak berantai cabang (valerat) dalam percobaan ini sangat kecil (1,4
± 0,12 persen), sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan bakteri selulolitik (Suwandyastuti, Efka Aris,
Budi Rustomo, 1993; Suwandyastuti, Efka Aris, Budi Rustomo, 2014).
Di dalam rumen, protein ransum akan mengalami fermentasi melalui beberapa tahap, walaupun hanya
sekitar 30 persen protein ransum yang tercerna melalui proses fermentasi. Sisa protein yang lolos
degradasi rumen, protein mikroba hasil sintesis dalam rumen dan fraksi nitrogen lainnya akan dicerna
lebih lanjut dalam usus dan hasilnya segera diserap. Dari seluruh proses pencernaan protein dalam saluran
pencernaan, mengakibatkan terbentuknya beberapa fraksi nitrogen di dalam tinja, yaitu : (1) protein

versi elektronik
mikroba rumen yang tidak tercerna; (2) nitrogen yang berasal dari enzim pencernaan; (3) nitrogen yang
larut dalam air dan tidak terserap; (4) nitrogen makanan yang tidak tercerna (Cabrerra et al., 2000).
Tingginya produksi N-NH3 di atas kebutuhan optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen, menunjukkan
bahwa di dalam rumen terjadi proses proteolitik maupun degradasi secara insentif. Namun demikian
perlu diingat, bahwa hanya sekitar 30 persen dari protein ransum yang mengalami fermentasi di dalam
rumen. Oleh karena itu, rendahnya tingkat kecernaan protein ransum percobaan, yaitu sebesar 50,58 ±

128
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
3,50 persen kemungkinan disebabkan tingginya kadar nitrogen dalam tinja yang berasal dari berbagai
fraksi. Sumber protein yang ideal bagi ruminansia antara lain harus mampu mendukung pertumbuhan
mikroba rumen yang ditunjukkan oleh besarnya produksi N-NH3, dan sebagian yang lolos dari degradasi
oleh mikroba rumen mempunyai daya larut yang memadai di dalam larutan pepsin. Kemungkinan lain

versi elektronik
penyebab rendahnya kecernaan protein ransum percobaan disebabkan karena proses pencernaan protein
hanya terjadi secara fermentatif di dalam rumen, sedangkan sisa protein (fraksi protein) yang tersedia
untuk pencernaan pasca rumen tidak dapat tercerna oleh enzim pepsin. Oleh karena itu, bahan makanan
penyusun ransum percobaan perlu diuji terlebih dahulu, agar memenuhi persyaratan sebagai sumber
protein yang ideal.
Pada dasarnya, penambahan ragi ke dalam ransum ternak ruminansia, khususnya sapi laktasi bertujuan
untuk meningkatkan jumlah biomasa mikroba dan sekalian meningkatkan aktivitasnya. Apabila jumlah
maupun aktivitas mikroba rumen dapat meningkat, diharapkan aktivitas maupun produk fermentasi rumen
juga akan meningkat pula. Pada akhirnya fenomena ini diharapkan akan meningkatkan kecernaan nutrien
ransum.
Tujuan utama pemberian makanan pada ternak adalah untuk memenuhi kebutuhan energi. Jumlah nutrien
tercerna (TDN = total digestible nutrient) ransum percobaan tergolong rendah, yaitu hanya 53,81 ± 1,97

versi elektronik
persen. Sidik ragam terhadap peubah ini menunjukkan bahwa penambahan ragi tidak berhasil
meningkatkan energi ransum (P>0,50). Ditinjau dari produk fermentasi rumen, terutama produk
fermentasi karbohidrat sebagai sumber energi utama untuk ternak ruminansia, sebetulnya jumlah asam
lemak atsiri masih termasuk dalam kisaran normal (96,86 ± 9,938 mM/l) (Suwandyastuti, Efka Aris, Budi
Rustomo, 2014). Namun demikian, secara keseluruhan jumlah energi tercerna tidak dapat memenuhi
standard kebutuhan.
Salah satu kerugian dari adanya pencernaan fermentatif adalah banyak energi terbuang sebagai panas
fermentasi atau sebagai gas metan. Kemungkinan besar, rendahnya kecernaan energi ransum percobaan
disebabkan oleh faktor tersebut di atas. Hal ini ditunjukkan pula oleh tingginya produksi asetat, sehingga
efisiensi penggunaan energi secara keseluruhan akan menurun (Suwandyastuti, Efka Aris, Budi Rustomo,
2014).

KESIMPULAN
Berdasarkan semua peubah respon yang diamati dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

versi elektronik
1. Penambahan ragi sampai dengan 15 gr/ekor/hari belum berhasil memperbaiki kecernaan nutrient
yang diharapkan.
2. Kecernaan serat kasar 42,63 ± 1,61 persen; energi 53,81 ± 1,97 persen TDN dan protein kasar
50,58 ± 3,50 persen masih rendah; sedangkan BETN 75,65 ± 1,62 persen dan BK 63,51 ± 1,25
persen cukup tinggi.
3. Kecernaan lemak 86,16 ± 0,54 persen merupakan hasil tertinggi dan menurun sangat nyata
sejalan dengan penambahan ragi.
4. Untuk mencapai hasil yang optimal, masih perlu peningkatan penambahan ragi.

DAFTAR PUSTAKA
Annenkov, B.N., 1981. Mineral Metabolism in the Digestive Tract. In: V.I. Georgievski, B.N. Annenkov,
V.T. Somokin. Ed. Mineral Nutrition of Animals. Butterworths. London.

versi elektronik
A.O.A.C., 1995. Official Method of Analysis of the Association of the Official Agriculture Chemist. 9 ed.
Washington.
Bach, A. C. Iglesias and M. Devant, 2007. Daily Rumen pH Pattern of Loose-housed Dairy Cattle as
affected by feeding Pattern and live Yeast Supplementation. Anim. Feed Sci. Technol 136 : 146.

129
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Bach, A., S. Calsimiglia and M. Stern, 2005. Nitrogen Metabolism in the Rumen. J. Dairy Sci. 88 : E9 –
E221.
Cabrera, EJI., MGD Mendoza, TE Aranda, G Garcia Bojalili, GR Barcena, JJA Ramos 2000.

versi elektronik
Saccharomyces cerevisiae and Nitrogenous Supplementation in Growing Steers Grazing Tropical
Pasture. Anim. Feed Sci. and Technol. 83 (1) : 49-55.
Campbell, N. and J. Reece, 2005. Animal Nutrition. 7th Ed. Pearson Education, Inc. Publish.
Chew. V., 1977. Comparisous among Treatment Means in an Analysis of Variance. Agricultural Research
Service. United States Departement of Agricultural, Washington DC.
Church, D.C, 1979. Digestive Physiology and Nutrition of Feeding. 3rd. Ed. John Willy & Sous. Inc. New
York, USA.
Cole, H.H. and M. Ronning, 1974. Animal Nutrition. Prentice Hall of India Privat. Ltd., New Delhi.
Dawson, K.A., 1987. Mode of Action of Yeast Culture, Yea-sacc, in the Rumen: A Natural Fermentation
Modifier In: T.P. Lyons (Ed.) Biotechnology in the Feed Industry. pp 119-125. Alltech Technical
Publications. Nicholasville, Kentucky.

versi elektronik
Dawson, K.A. K.E. Newman and J.A. Boling, 1990. Effect of Microbial Supplements Containing Yeast
and Lactobacilli on Roughage-Fed Ruminal Microbial Activities. J. Anim. Sci. 68: 3392.
Denev, S.A., T. Peeva, P. Radulova, P. Stancheva, G. Staykova, G. Beev, P. Todorova and S.
Tchobanova, 2007. Yeast Cultures in Ruminant Nutrition. Bulgarian J. Agric. Sci. 13: 357-374.
Dolezal, P., J. Dolizal and J. Trinacty, 2005. The Effect of Saccharomyces cerevisiae on Ruminal
Fermentation in Dairy Cows J. Anim. Sci. 50 (II): 195-201.
Fallon, R. J. and F.J. Harte, 1987. The Effect of Yea-Sacc Inclusion in Calf Concentrate Diets on Calf
Perfomance. Irish Grassland an Animal Production Association Journal. 156.
Fick, K.R., L.R. McDowell, P.H. Miles, N.S. Wilkinson, J.D. Funk and J.H. Conrad., 1979. Methods of
Mineral Analysis of Plant and Animal Tissue. 2nded., Univ. of Florida, Gainesville, Florida.
Gill, J.L., 1978. Design and Analysis of Experiments in the Animal and Medical Sci. Vol. 2. The Iowa

versi elektronik
State University Press, Ames, Iowa, USA.
Haddad SG and SN Goussous, 2005. Effect of Yeast Culture Supplementation on Nutrient Intake,
Digestibility and Growth Performance of Awassi lambs. Amin Feed Sci. and Technol. 118: 343-
348.
Harisson, G.A., R.W. Hemken, K.A. Dawson, R.J. Harmon and K.B. Barker, 1988. Influence of Addition
of Yeast Culture Supplement to Diets of Lactating Cows on Ruminal Fermentattion and
Microbial Populations. J. Dairy Sci. 71:2967.
Hoover, W.H., 1986. Chemical Factors Involved in Ruminal Fiber Digestion. J. Dairy Sci. 69:2755.
Istasse, L., and E.R. Orskov, 1983. The Correlation Between Extent of pH Depression and Degradibility
of Washed Hay in Sheep Given Hay and Concentrate. Proc. Nutr. Soc. 42:32A.
Mc. Donald P., R.A. Edwards and J.P.O. Green Halg, 2002. Animal Nutrition, 7th. Ed. Preatice Hall,
London.

versi elektronik
Orskov, E.R., G.W. Reid, and Mc. Donald, 1982. The Effect of Protein Degradability and Feed Intake on
Milk Yield and Composition in Cows in Early Lactation. Br. J. Nutr. 45: 547.
Ranjhan, S.K. and G. Krishna., 1980. Laboratory Manual for Nutrition Research. Vikas Publs. House
PVT., Ltd., New Delhi.

130
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Snedecor, G.W. and W.G. Cochran, 1975. Statistical Methods.2 nded. Indian Reprint. Oxford and IBH
Publishing Co., Calcuta-Bombay-NewDelhi.
Stern, M.C., W.H. Hoover, C.J. Sniffen, B.A. Crooker and P.H. Knowlton, 1978. Effect on Nonstructural

versi elektronik
Carbohydrate, Urea and Soluble Protein Levels on Microbial Protein Synthesis in Continous
Culture of Rumen Contents. J. Anim. Sci. 47:944.
Stewart, C.S., J. Gilmour and M.L. Mc Conville, 1986. Microbial Interactions, Manipulation and Genetic
Engineering. In: A Niemam-Sorenson (Ed.) Agriculture, New Developments and Future
Perspective in Research on Rumen Function. pp : 243-257. Commission of the European
Communities.
Suwandyastuti, S.N.O., Efka Aris R. dan Budi Rustomo, 1993. Penggunaan Ragi Saccharomyces
cerevisiae dalam Rumen Sapi Perah untuk Memperbaiki Kualitas Susu. Laporan Penelitian
DP3M, DIKTI, DEPDIKNAS.
Suwandyastuti, S.N.O., and Efka Aris R., 2014. Effect of Yeast, Saccharomyces cerevisiae Addition to
Lactating Dairy Cows Ration Upon Milk Production and Composition. JAP (dalam proses
penerbitan).

versi elektronik
Suwandyastuti, S.N.O., and Efka Aris R, 2014. Rumen Metabolism Product on Lactating Dairy Cattle
(Unpublish).
Wiedmeier, R.D., M.J. Arambel and J.L. Walters, 1987. Effect of Yeast Culture and Aspergillus oryzae
Fermentation Extracts on Ruminal Characteristics and Nutrients Digestibility. J. Dairy Sci.
70:2063.
Williams, P.E.V., 1988. Understanding the Biochemical Mode of Action of Yeast Culture. In: T.P. Lyons
(Ed.) Biotecnology in the Feed Industry. pp 79-99. Alltech Technical Publications. Nicholasville,
Kentucky.
Williams, P.E.V., C.A.G. Tait, G.M. Innes and C.J. Newbold, 1991. Effect of the Inclusion of Yeast
Culture (Sccaharomyces cerevisiae plus Growth Medium) in the Diet of Dairy Cows on Milk
Yield and Forage Degradation and Fermentation Patterns in the Rumen of Steers. J. Anim. Sci.
69:3016.

versi elektronik

versi elektronik 131


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
DEPOSISI PROTEIN DAN KALSIUM DAGING PADA BROILER DIBERI KOMBINASI
PAKAN STEP DOWN PROTEIN DAN ASAM SITRAT
Wirawan Yudha Saputra1), Nyoman Suthama2) dan Luthfi Djauhari Mahfudz2)

versi elektronik
1)
Program Magister Ilmu Ternak, 2)Staf Pengajar
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang; email: wirawan.92@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas asam sitrat (AS) dalam hubungannya dengan
kemampuan deposisi protein dan kalsium daging pada broiler yang diberi pakan rendah protein (step
down/ SD) baik fase starter maupun finisher. Penelitian menggunakan 168 ekor broiler strain MB202
umur 7 hari dengan bobot badan awal rata-rata 186,23±0,68 g (cv= 6,04%). Penelitian disusun dalam
rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan (masing-masing 6 ekor broiler).
Perlakuan sebagai berikut: T0 (pakan kontrol tanpa step down dan AS), T1 (pakan SD tanpa AS), T2
(pakan SD + 0,8% AS jeruk nipis), T3 (pakan SD + 0,4% AS sintetik), T4 (pakan SD + 0,8% AS sintetik),
T5 (pakan SD + 1,2% AS sintetik) dan T6 (pakan SD + 1,6% AS sintetik). Parameter yang diamati adalah
massa kalsium daging (MKD), massa protein daging (MPD) dan pertambahan bobot badan harian
(PBBH). Data dianalisis ragam dengan uji F dilanjutkan uji Duncan (P<0,05) untuk mengetahui

versi elektronik
perbedaan antar perlakuan dan polinomial orthogonal (PO) untuk menentukan level optimal AS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian AS sintetik sebanyak 0,8-1,6% (T4-T6) nyata (P<0,05)
meningkatkan massa kalsium (109,44; 141,53 dan 126,86 mg/kg) maupun protein daging (118,57; 110,60
dan 108,69 g/kg) dibandingkan T0 (82,94 mg/kg; 83,26 g/kg) maupun T1 (98,96 mg/kg; 87,73 g/kg),
sedangkan PBBH hanya nyata lebih tinggi daripada T1. Level optimal AS berdasarkan uji PO adalah
sebesar 1,1%. Kesimpulan penelitian bahwa asam sitrat sebanyak 1,2% efektif dikombinasikan dengan
pakan step down dalam meningkatkan deposisi protein dan kalsium daging pada broiler.
Kata kunci:pakan step down, asam sitrat, deposisi protein, pertumbuhan, broiler

ABSTRACT
The study was aimed to evaluate effectiveness of citric acid (CA) in relation to muscle protein and
calcium deposition in broilers fed diet low protein (step-down/ SD) in starter and finisher stage. The
experimental animals were 168 birds of broiler strain MB202 at 7 days old with initial body weight

versi elektronik
186.23±0.68 g (cv=6.04%). The research was assigned in completely randomized design (CRD) with 7
treatments and 6 replication (6 broilers each). Treatments applied were: T0 (control diet without SD and
CA), T1 (SD diet without CA), T2 (SD diet + 0.8% CA from lime), T3 (SD diet + 0.4% CA synthetic),
T4 (SD diet + 0.8% CA synthetic), T5 (SD diet + 1.2% CA synthetic) and T6 (SD diet + 1.6% CA
synthetic). Parameters measured were muscle calcium mass (MCM), muscle protein mass (MPM) and
body weight gain (BWG). Data were subjected to analysis of variance, continued to Duncan test and
orthogonal polynomial (OP) to determine the optimal level of CA. The result showed that SD diet with
CA synthetic at the level of 0.8 until 1.6% (T4-T6) significantly (P<0.05) increased MCM (109.44;
141.53; 126.86 mg/kg) and MPM (118.57; 110.60; 108.69 g/kg) compare with T0 (82.94 mg/kg; 83.26
g/kg) and T1 (98.96 mg/kg; 87.73 g/kg), while BWG was significantly (P<0.05) higher than T1. The
optimal level of citric acid based on orthogonal polynomial result was 1.1%. The conclution is 1.2% citric
acid is an effective level when combined with step-down diet in relation to the improvement of muscle
protein and calcium deposition in broilers.
Keywords : step-down diet, citric acid, protein deposition, weight gain, broiler

versi elektronik
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia mengakibatkan permintaan bahan pangan, terutama asal
hewani meningkat pula. Kondisi ini menjadi peluang pengembangan usaha peternakan, tak terkecuali
bidang perunggasan. Unggas memberikan kontribusi penyediaan daging secara nasional sebanyak
56,60%, dari angka tersebut, 62,80% berasal dari daging broiler (Yuwanta, 2004). Kemampuan tumbuh

132
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
cepat dibanding jenis ayam lain sehingga dapat dipasarkan dalam waktu singkat, menyebabkan broiler
sangat potensial dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan (2013) mencatat pertumbuhan produksi daging broiler di Indonesia mencapai 10% per
tahun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Peningkatan jumlah produksi daging broiler sebaiknya

versi elektronik
diimbangi pula dengan peningkatan kualitasnya. Kualitas daging sangat berkaitan erat dengan protein
pakan. Protein digunakan sebagai substrat untuk proses deposisi protein yang mempunyai kontribusi
besar terhadap pertumbuhan.
Ketersediaan protein untuk proses deposisi sangat ditentukan oleh kandungan protein pakan dan
penyerapan dalam saluran pencernaan. Pemenuhan protein dari pakan terkendala pada harga bahan pakan
sumber protein yang mahal, terutama faktor suhu di Indonesia yang tinggi mengakibatkan kebutuhan
protein harus ditingkatkan karena penurunan konsumsi pakan. Kondisi ini diperparah dengan bahan pakan
sumber protein yang sebagian besar impor, sehingga biaya pakan semakin tinggi. Alternatif yang dapat
ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pemberian pakan rendah protein (step
down). Penurunan kandungan protein sampai 1,5% tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein dan
retensi nitrogen (Hernandez et al., 2012), namun, penurunan protein mencapai 2% dari kebutuhan, sudah
mulai menurunkan performa broiler (Nawaz et al., 2006). Pemberian pakan rendah protein dapat
berdampak negatif terhadap efisiensi pakan dan produksi (Bregendahl et al., 2002; Si et al., 2004),

versi elektronik
sehingga, perlu upaya untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan asupan protein. Pemberian additif
sangat mungkin dilakukan untuk meningkatkan kinerja saluran pencernaan, yaitu melalui penambahan
asam organik sebagai acidifier. Asam organik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah asam sitrat.
Pemberian asam organik dapat meningkatkan retensi nutrien sehingga membantu mengurangi efek negatif
akibat penurunan protein pakan (Houshmand et al., 2012). Penambahan asam sitrat dalam pakan step
down protein fase starter (single step down) mampu menurunkan pH saluran pencernaan, menekan
pertumbuhan bakteri patogen dan meningkatkan pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) yang
memberikan kontribusi positif terhadap proses pencernaan (Fushilaty et al., 2013), sehingga pemanfaatan
protein menjadi lebih baik (Sutrisno et al., 2013). Perbaikan penyerapan protein berimbas pada
peningkatan performa dan produksi karkas (Lasuardy et al., 2013; Saputra et al., 2013). Penurunan pH
juga dapat meningkatkan penyerapan kalsium (Abdel-Fattah et al., 2008; Ghazalah et al., 2011), yang
mempunyai keterkaitan dengan proses deposisi protein. Menurut Suzuki et al. (1987), proses deposisi
protein dalam daging tergantung pada keberadaan kalsium bentuk ion yang menjadi aktivator enzim

versi elektronik
protease daging atau disebut calcium activated neutral protease (CANP). Hasil penelitian Jamilah et al.
(2013) menunjukkan bahwa asam sitrat memiliki kemampuan mengikat kalsium, sehingga dapat
menurunkan kalsium bentuk ion dan menjaga deposisi protein tetap tinggi, pada akhirnya performa
produksi meningkat pula. Berdasarkan uraian tersebut, dilakukan penelitian pemberian asam sitrat dalam
pakan rendah protein fase starter dan finisher (double step down). Penelitian bertujuan untuk
mengevaluasi efektivitas asam sitrat dalam meningkatkan kemampuan deposisi protein, meskipun protein
pakan diturunkan.

METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Ternak yang digunakan yaitu 168 broiler (84 jantan dan 84 betina) strain MB 202 umur 7 hari (bobot
badan rata-rata 186,23±0,68 g). Pakan perlakuan terdiri dari jagung, bekatul, tepung ikan, bungkil kedelai,
minyak nabati, CaCO3 dan tepung kulit kerang serta asam sitrat (sintetik dan jeruk nipis), dengan

versi elektronik
komposisi disajikan pada Tabel 1.

133
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Nutrien Pakan Perlakuan
Pakan Perlakuan
Bahan Baku Pakan Starter Finisher

versi elektronik
Normal Step Down Step Down
Jagung 48,00 53,00 53,50
Bekatul 14,00 16,00 21,50
Minyak Nabati 2,00 1,00 0,50
Bungkil Kedelai 28,00 22,00 16,50
Tepung Ikan 6,50 6,50 6,50
CaCO3 0,50 0,50 0,50
Tepung Kulit Kerang 1,00 1,00 1,00
TOTAL 100,00 100,00 100,00
Kandungan Nutrien (%)*
Energi Metabolis (kkal/kg)** 2.856,91 2.884,12 2.882,13
Protein Kasar 21,41 19,25 17,37
Serat Kasar 5,09 5,18 5,75

versi elektronik
Lemak Kasar 6,04 6,33 6,37
Ca 1,00 0,98 0,95
P 0,41 0,43 0,45
Lisin*** 1,41 1,23 1,09
Metionin*** 0,43 0,40 0,37
Arginin*** 1,53 1,34 1,17
Keterangan:
Komposisi dan kandungan nutrien step down starter sama dengan finisher normal
* Dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro (2013)
** Berdasarkan Rumus Balton (1967) dalam Siswohardjono (1982) EM (kkal/kg) = 40,81 [0,87 ( PK + 2,25 x LK + BETN) + k]
*** Berdasarkan Tabel Kandungan Nutrisi Amrullah (2004)

Perlakuan, Parameter dan Analisis Data


Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan (masing-

versi elektronik
masing 6 ekor broiler, 3 jantan dan 3 betina). Pakan step down starter diberikan pada umur 8-21 hari dan
finisher umur 22-35 hari, dengan rincian sebagai berikut:
T0 : Pakan kontrol (tanpa step down dan asam sitrat)
T1 : Pakan step down tanpa asam sitrat
T2 : Pakan step down + 0,8% asam sitrat dari jeruk nipis
(setara dengan 13,8 ml air perasan jeruk nipis/ 100 g pakan)
T3 : Pakan step down + 0,4% asam sitrat sintetik
T4 : Pakan step down + 0,8% asam sitrat sintetik
T5 : Pakan step down + 1,2% asam sitrat sintetik
T6 : Pakan step down + 1,6% asam sitrat sintetik

versi elektronik
Parameter yang diamati adalah massa kalsium daging (MKD), massa protein daging (MPD) dan
pertambahan bobot badan harian (PBBH). Pertambahan bobot badan dihitung berdasarkan rumus:

134
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Broiler dipotong pada umur 35 hari, daging kemudian dipisahkan dari tulang dan ditimbang untuk
memperoleh bobot daging. Daging selanjutnya dihaluskan dan dihomogenkan, kemudian diambil sampel
untuk dianalisis kadar protein dan kalsium menurut AOAC (1995). Massa protein dan kalsium daging
dihitung berdasarkan rumus Suthama (2003) sebagai berikut:

versi elektronik
Massa protein/kalsium daging = % protein/kalsium daging segar x bobot daging
Data dianalisis ragam dilanjutkan dengan uji Duncan (P<0,05) untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan serta polinomial orthogonal (PO) untuk menentukan level optimal asam sitrat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Massa kalsium (MKD) maupun massa protein daging (MPD) meningkat seiring dengan peningkatan level
asam sitrat (Tabel 2). Perlakuan T5 (asam sitrat 1,2%) dan T6 (asam sitrat 1,6%) menghasilkan MKD
nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan perlakuan lain dan diikuti oleh perlakuan T4 (0,8%). Massa
protein daging perlakuan T4 sampai T6 juga nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada T0 (kontrol), T1 (step
down tanpa acidifier) serta T2 (jeruk nipis 0,8%).
Asam sitrat mampu meningkatkan penyerapan kalsium, meskipun konsumsi kalsium T5 dan T6 lebih
rendah, demikian pula T4, dibandingkan T0 maupun T1, namun MKD yang dihasilkan lebih tinggi (Tabel

versi elektronik
2). Peningkatan penyerapan kalsium disebabkan oleh kondisi yang lebih asam pada T4 dan T5 (pH 5,8)
serta T6 (pH 5,6) (Imam, data belum dipublikasikan). Pemberian asam sitrat dapat meningkatkan absorbsi
dan transportasi mineral, termasuk kalsium (Bolling et al., 2001; Abdel-Fattah et al., 2008; Ghazalah et
al., 2011). Anion dari asam dapat mengikat kalsium, sehingga dalam suasana asam, kalsium lebih mudah
diserap oleh usus (Li et al., 1998).
Tabel 2. Konsumsi Kalsium, Asupan Protein, Massa Kalsium Daging (MKD), Massa Protein Daging
(MPD) dan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) pada Broiler Diberi Pakan Step Down dan Asam
Sitrat
Konsumsi Kalsium Asupan Protein Massa Kalsium Massa Protein PBBH
Perlakuan
(g/ekor) (g/ekor) Daging (mg/kg) Daging (g/kg) (g/ekor/hari)

T0 19,34±0,55a 268,70±10,78a 82,94±5,26c 83,26±8,20cd 30,29±0,80a

versi elektronik
T1 19,17±0,85ab 243,79±11,01b 98,96±7,06bc 87,73±8,18cd 26,81±1,45c
T2 16,91±1,05d 207,07±15,57c 83,58±5,82c 80,19±8,94d 29,12±1,60ab
T3 18,28±0,54abc 245,01±12,84b 96,53±2,05bc 96,69±4,86bc 27,77±0,85bc
T4 18,07±0,68bc 250,99±9,72ab 109,44±15,31b 118,57±15,24a 29,04±1,53ab
T5 17,59±0,70cd 251,08±13,57ab 141,53±11,01a 110,60±10,10ab 29,97±1,54a
T6 18,14±0,56bc 251,17±11,65ab 126,86±21,27a 108,69±9,17ab 30,70±0,95a

ab
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

Meningkatnya MKD pada T4, T5 dan T6 tidak berdampak pada penurunan MPD. Fenomena dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa, MKD maupun MPD meningkat sejalan dengan semakin tinggi

versi elektronik
pemberian asam sitrat. Secara umum semakin tinggi kalsium daging, terutama dalam bentuk ion bebas,
semakin kuat aktivitasnya sebagai aktivator ensim protease daging yang disebut calcium activated neutral
protease (CANP), merupakan ensim degradatif terhadap protein. Suzuki et al. (1987) menyatakan bahwa
proses deposisi protein sangat erat hubungannya dengan kalsium dalam bentuk ion sebagai aktivator
enzim protease daging (calcium activated neutral protease/ CANP) yang dapat memacu degradasi
protein. Namun, mekanisme biologis tersebut tidak terjadi pada penelitian ini berhubung MKD dan MPD

135
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
keduanya meningkat (Tabel 2). Kondisi ini memberikan indikasi bahwa keberadaan kalsium dalam
daging tidak dalam bentuk ion bebas melainkan garam kalsium (berikatan dengan sitrat) dan/ atau
berikatan dengan protein. Oleh sebab itu, peningkatan level asam sitrat, semakin tinggi asupan protein
(Tabel 2) sehingga semakin rendah kalsium bentuk ion sebagai aktivator CANP yang bersifat degradatif.

versi elektronik
Hasil penelitian Jamilah et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian asam sitrat dalam pakan single step
down mampu meningkatkan massa protein daging. Pemberian asam sitrat dapat menurunkan kalsium
bentuk ion dalam daging sehingga tidak terjadi peningkatan aktivitas CANP dan MPD yang dihasilkan
tetap tinggi. Suthama (1991) menyatakan bahwa peningkatan aktivitas CANP menyebabkan degradasi
protein meningkat pula, akibatnya sintesis protein untuk protein daging menurun. Kemampuan deposisi
protein ditentukan oleh perbedaan sintesis dan degradasi protein tubuh (Suthama, 2010).

versi elektronik
Ilustrasi 1. Grafik Persamaan Polinomial untuk Massa Protein Daging
Sebaliknya, perlakuan tanpa asam sitrat (T0 dan T1) menghasilkan MPD yang rendah. Perlakuan T0 dan
T1 meskipun asupan protein sama dengan perlakuan T4 sampai T6, namun dapat diasumsikan bahwa
tanpa bantuan asam sitrat menyebabkan kalsium bentuk ion dalam daging lebih tinggi dan memicu

versi elektronik
aktivitas enzim protease daging yang bersifat degradatif, sehingga MPD yang dihasilkan lebih rendah.
Bahkan, PBBH perlakuan T0 yang tinggi tidak disertai oleh peningkatan MPD, ini memberikan bukti
bahwa secara kuantitas bobot badan tinggi belum tentu mencerminkan pertumbuhan secara kualitas baik.
Pertambahan bobot badan tinggi pada perlakuan T0 sangat mungkin karena adanya kontribusi non-edible
meat yang tinggi pula, contoh lemak pada T0 lebih tinggi dibandingkan T5 atau T6 (2,92% vs. 2,05%)
(Sibarani, data belum dipublikasikan). Secara umum, hasil penelitian memberikan indikasi bahwa asam
sitrat mempunyai efek terhadap peningkatan efisiensi pemanfaatan protein meskipun dengan penurunan
protein pakan (step down protein). Pemberian asam organik memacu aktivitas enzim pepsin yang
berperan dalam pencernaan dan penyerapan protein (Langhout, 2000; Salgado-Transito et al., 2011),
sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan protein dan berimbas pada performa produksi broiler yang
lebih baik (Ao et al., 2009; Adil et al., 2011; Houshmand et al., 2012; Saputra et al., 2013).
Analisis polinomial orthogonal (PO) terhadap MPD menghasilkan persamaan kuadaratik y = 85,92 +
50,815x - 23,037x2 dengan R2 = 0,5138 (Grafik 1). Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa asam sitrat

versi elektronik
mempunyai kontribusi sebesar 51,38% terhadap MPD. Berdasarkan persamaan polinomial tersebut dapat
ditentukan level asam sitrat optimal berada pada titik 1,1%. Apabila hasil analisis polinomial dikaitkan
dengan data pada Tabel 2, dapat dinyatakan bahwa secara numerik nilai MPD maksimal berada antara
perlakuan T5 dan T6 dengan level asam sitrat antara 0,8 dan 1,2%. Jadi, level secara perhitungan
polinomial dan realitas level perlakuan sangat dekat. Asam sitrat 1,2% dalam pakan double step down
merupakan level yang masih dapat ditoleransi untuk menciptakan kondisi pH usus optimal bagi

136
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
perkembangan bakteri menguntungkan terutama bakteri asam laktat (BAL) sehingga mempunyai dampak
terhadap peningkatan MPD. Pemberian acidifier dosis tinggi menyebabkan peningkatan sekresi hormon
kolesistokinin yang mempunyai peranan menstimulasi pengeluaran natrium bikarbonat, sebagai
antimikroba, sehingga secara tidak langsung menurunkan pemanfaatan nutrien (Hidayat et al., 2010;

versi elektronik
Sutrisno et al., 2013). Namun, fenomena seperti dilaporkan sebelumnya tersebut tidak terjadi pada
penelitian ini meskipun dengan pemberian asam sitrat sampai 1,6% karena didukung oleh asupan protein
tinggi.

KESIMPULAN
Pemberian asam sitrat efektif untuk meningkatkan deposisi protein dan kalsium daging pada broiler yang
diberi pakan dengan protein diturunkan (step down). Asam sitrat sebanyak 1,2% merupakan level terbaik
bila dikombinasikan dengan pakan step down.

DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Fattah. S. A., M. H. El-Sanhoury, N. M. El-Mednay and F. Abdel-Azeem. 2008. Thyroid activity,
some blood constituents, organs morphology and performance of broiler chicks fed supplemental
organic acids. Int. J. Poultry Sci. 7 : 215-222.

versi elektronik
Adil, S., T. Banday, G. A. Bhat, M. Salahuddin, M. Raquib and S. Shanaz. 2011. Response of broiler
chicken to dietary supplementation of organic acids. J. Central Europ. Agric. 12 (3) : 498-508.
Amrullah, I. K. 2004. Nutrien Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Ao, T., A. H. Cantor, A. J. Pescatore, M. J. Ford, J. L. Pierce and K. Dawson. 2009. Effect of enzyme
supplementation and acidification of diets on nutrient digestibility and growth performance of
broiler chicks. Poultry Sci. 88 : 111-117.
AOAC. 1995. Official Methode of Analytical of Association Official Agriculture Chemistry, Washington
DC.
Bolling, S. D., J. L. Snow, C. M. Parsons and D. H. Baker. 2001. The effect of citric acid on calcium and
phosphorus requirement of chick fed corn soybean meal diets. Poultry Sci. 80 : 783-788.
Bregendahl, K., J. L. Sell, and D. R. Zimmerman. 2002. Effect of low-protein diets on growth

versi elektronik
performance and body composition of broiler chicks. Poultry Sci. 81 : 1156–1167.
Direktrorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Populasi Ayam Ras Pedaging Menurut
Provinsi. Kementrian Pertanian, Jakarta.
Fushilaty, J. R., N. Suhama dan V. D. Yunianto 2013. Pemberian pakan single step down dengan
penambahan air jeruk nipis sebagai acidifier terhadap mikrobia usus, pH dan laju digesta pada
ayam broiler. Anim. Agric. J. 2 (3).
Ghazalah A.A., A.M. Atta, Kout Elkloub, M. EL. Moustafa and Riry, F.H. Shata. 2011. Effect of dietary
supplementation of organic acids on performance, nutrients digestibility and health of broiler
chicks. Int. J. Poult. Sci. 10 (3) : 176-184.
Hernandez, F., M. Lopez, S. Martinez, M. D. Megias, P. Catala and J. Madrid. 2012. Effect of low-
protein diet and single sex on production performance, plasma metabolites, digestibility and
nitrogen excretion in 1-to 48 day-old broilers. Poultry Sci. 91 : 683-692.

versi elektronik
Hidayat, A. A. 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif :Health Books, Jakarta.
Houshmand, M., K. Azhar, I. Zulkifli, M. H. Bejo and A. Kamyab. 2012. Effects of non-antibiotic feed
additives on performance, immunity and intestinal morphology of broilers fed different levels of
protein. South Afr. J. Anim. Sci. 42 : 22-32.

137
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Jamilah, N. Suthama dan L. D. Mahfudz. 2013. Performa produksi dan ketahanan tubuh broiler yang
diberi pakan step down dengan penambahan asam sitrat sebagai acidifier. JITV 18 (4) : 251-257.
Langhout, P. 2000. New additives for broiler chickens. Feed Mix., Pp. 24-27.

versi elektronik
Lasuardy, E. E., L. D. Mahfudz dan N. Suthama. 2013. Pemberian pakan single step down dengan
penambahan air jeruk nipis sebagai acidifier terhadap bobot karkas dan lemak abdominal ayam
broiler. Anim. Agric. J. 2 (2).
Li, D. F., X. R. Che, Y. Q. Wang, C. Hong and P. A. Thacker. 1998. The effect of microbial phytase,
vitamin D3 and citric acid on growth performance and phosphorus, nitrogen and calcium
digestibility in growing swine. Anim. Feed Sci. Technol. 73 : 173-186.
Nawaz, H., T. Mushtaq and M. Yaqoob. 2006. Effect of varying levels of energy and protein on live
performance and carcass characteristic of Broiler chick. Poultry Sci. 43 ; 388-393.
Salgado-Tránsito, L., J.C. Del-Río-García, J.L. Arjona-Román, E. Moreno-Martínez, A. Méndez-Albores.
2011. Effect of citric acid supplemented diets on aflatoxin degradation, growth performance and
serum parameters in broiler chickens. Arc. Med. Vet. 43 : 215-222.

versi elektronik
Saputra, W. Y., L. D. Mahfudz dan N. Suthama. 2013. Pemberian pakan single step down dengan
penambahan asam sitrat sebagai acidifier terhadap performa pertumbuhan broiler. Anim. Agric. J.
2 (3).
Si, J., C. A. Fritts, D. J. Burnham, and P. W. Waldroup. 2004. Extent to which crude protein may be
reduced in corn-soybean meal broiler diets through amino acid supplementation. Int. J. Poultry
Sci. 3 : 46–50.
Siswohardjono, W. 1982. Beberapa Metoda Pengukuran Energi Metabolis Bahan Makanan Ternak pada
Itik. Makalah Seminar Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suthama, N. 1991. Interaksi hormon tiroksin dan testosteron terhadap metabolisme protein pada ayam
broiler yang diberi pakan berprotein tinggi. Prosiding Seminar Nasional Usaha Peningkatan
Produktivitas Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro, Semarang. Hal. 348-353.

versi elektronik
Suthama, N. 2003. Metabolisme protein pada ayam kampung periode pertumbuhan yang diberi ransum
memakai dedak padi fermentasi. J. Pengemb. Petern. Tropis. Special Edition Oktober 2003, hal.
44 – 48.
Suthama, N. 2010. Pakan spesifik lokal dan kualitas pertumbuhan untuk produk ayam lokal organik
(Pidato Pengukuhan). Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Sutrisno, V. D. Yunianto dan N. Suthama. 2013. Kecernaan protein kasar dan pertumbuhan broiler yang
diberi pakan single step down dengan penambahan acidifier asam sitrat. Anim. Agric. J. 2 (3).
Suzuki, K. S., Ohno, Y. Emori, S. Inajoh and H. Kawasaki. 1987. Calcium activated neutral protease
(CANP) and its biological and medical implications. Progress Clin. Biochem. J. Medical. 5 : 44-
63.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.

versi elektronik 138


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KUALITAS FISIK KULIT PISANG PASCA FERMENTASI DENGAN BERBAGAI MIKROBA
DAN LAMA INKUBASI DITINJAU DARI KELARUTAN DAN KEAMBAAN
Titin Widiyastuti, Caribu Hadi Prayitno dan Nur Hidayat

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman; email: dyast72@yahoo.com

ABSTRAK
Kajian kualitas fisik kulit pisang sebagai bahan pakan pasca fermentasi dilakukan untuk mengkaji
pengaruh interaksi antara jenis mikroba dan lama fermentasi terhadap kelarutan dan keambaan
(bulkiness). Penelitian dilakukan dengan Rancangan A Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perlakuan berbagai jenis mikroba (Faktor A) yaitu : Rhizopus oligosporus,
Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus acidophilus dan Lama inkubasi (Faktor B) yaitu 3 hari, 5 hari
dan 7 hari. Setiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali. Untuk mengetahui perlakuan terbaik dilanjutkan
dengan uji orthogonal polynomial. Peubah yang diamati adalah kelarutan (%) dan bulkyness (keambaan)
(ml/g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi menggunakan berbagai jenis mikroba dan waktu
inkubasi yang berbeda berpengaruh terhadap keambaan dan kelarutan kulit pisang. Rataan kelarutan hasil
penelitian adalah berkisar antara 18,57 % (a3b1) sampai dengan 39,18 % (a2b3), sedangkan rataan
keambaan hasil penelitian adalah berkisar antara 1,31 ml/ g (a2b2) sampai dengan 2,64 ml/ g (a3b1).

versi elektronik
Fermentasi kulit pisang menggunakan Saccharomyces cerevisiae pada waktu inkubasi 7 hari
menghasilkan kelarutan terbaik sedangkan keambaan terbaik dicapai pada 5,47 hari.
Kata kunci : Kulit pisang, keambaan, kelarutan, mikroba, dan waktu inkubasi

ABSTRACT
This research was purposed to review influence interaction of microbial types and long fermentation to
review solubility and bulkiness, review the influence of the use of various microbes in fermenting banana
peel on physical properties of banana peel and to review solubility and bulkiness, and review the
influence over long incubation periods of 3, 5 and 7 days on physical properties of banana peel and to
review solubility and bulkiness.Based on research, it is concluded that fermentation by using various
types of microbes and different incubation periods give significant effect on solubility and bulkiness
banana peel. The average solubility was ranged from 18,57 % (a3b1) until 39,18 % (a2b3) DM, while the
average solubility was ranged from 1,31 ml/ g (a2b2) until 2,64 ml/ g (a3b1). Banana peel fermentation

versi elektronik
with Saccharomyces cerevisiae at 7 days incubation gives best solubility, although best bulkiness was
reached at 5,47 day incubation.
Keywords : Banana peel, bulkiness, solubility, microbes, and incubation periods

PENDAHULUAN
Pisang awak merupakan jenis pisang yang ada Indonesia, termasuk pisang yang dikomersialkan karena
banyak terdapat dipasaran, dan digunakan untuk keperluan industri keripik pisang. Di Desa Randegan,
Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, sepuluh produsen kripik sale dapat menghasilkan limbah
sekitar 1000 Kg/hari atau 1 ton/hari. Limbah kulit pisang biasanya di bakar atau dibiarkan sampai
bertahun-tahun, kadang ada peternak dari daerah tetangga yang memanfaatkan limbah pisang untuk pakan
ternak. Pengolahan pisang akan menghasilkan limbah kulit pisang yang cukup banyak jumlahnya yaitu
kira-kira sepertiga dari buah pisang yang belum dikupas (Munadjim, 1983). Akibat jumlahnya yang
melimpah ini jika tidak ditangani dengan baik dapat mencemari lingkungan. Sementara itu, pemanfaatan
kulit pisang sebagai pakan mempunyai kendala yaitu kadar air yang tinggi sehingga kulit pisang mudah

versi elektronik
membusuk selain juga mengandung tanin yang dapat menurunkan kecernaan protein kasar dan
karbohidrat. Untuk mengatasi hal tersebut kulit pisang dapat difermentasi dengan menggunakan mikroba.
Pengolahan ini akan menurunkan kadar tanin dan juga meningkatkan menurunkan kadar serat kasar yang
pada akhirnya akan menurunkan keambaan (bulkiness) bahan dan meningkatkan kelarutannya. Mikroba
yang dapat digunakan adalah Rhizopus oligosporus, Saccharomyces cerevisiae, dan Lactobacillus
acidophillus.

139
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ketiga mikroba tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Rhizopus oligosporus merupakan
organisme ini menghasilkan enzim protease yang dapat digunakan untuk menghasilkan antibiotik alami
yang secara khusus dapat melawan bakteri gram positif dan biosintesa vitamin-vitamin B. Saccharomyces
cerevisiae merupakan khamir yang mampu memecah glukosa menjadi karbondioksida dan alkohol

versi elektronik
sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan enzim amilase. Lactobacillus acidophillus adalah salah
satu dari delapan jenis umum dari bakteri asam laktat dan menghasilkan asam laktat sebagai produk
utama dari metabolisme fermentasi dan menggunakan laktosa sebagai sumber karbon utama dalam
memproduksi energi.

METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan dalam penelitian adalah kulit pisang awak, biakan Rhizopus oligosporus,
Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus acidophilus untuk fermentasi media tumbuh NA dan MRS
Broth. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan rancangan percobaan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan jenis mikroba sebagai faktor A (a1: Rhizopus oligosporus, a2:
Saccharomyces cerevisia dan a3: Lactobacillus acidophilus) sedangkan faktor B adalah waktu inkubasi
(b1: 3 hari, b2: 5 hari, b3: 7 hari), perlakuan diulang 3 kali. Bila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan
dengan uji orthogonal polynomial. Menyiapkan kulit pisang sebanyak 3 kg dan memotong-motong

versi elektronik
menjadi kecil-kecil ± sepanjang 1-2 cm, disteam suhu 70°- 80 ° C dibiarkan sampai suhunya turun
menjadi 40° C. Mikroba ditanam sebanyak 10 % lalu diinkubasi selama 3, 5, dan 7 hari pada suhu 37°-
40° C. Setelah fermentasi selesai untuk menghentikan aktifitas mikroba, suhu dinaikkan menjadi 40° -
50° C. Bahan dikeringkan pada suhu 105° C lalu digiling untuk diambil cuplikan agar dapat diukur
kelarutan dan bulkinessnya. Kelarutan dan keambaan dianalisis menggunakan metode Ramanzin et al.
(1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kelarutan
Kelarutan adalah kemampuan bahan pakan untuk larut dalam zat cair. Kelarutan bahan pakan
mempengaruhi kecepatan degradasi bahan pakan di dalam rumen. Fraksi bahan kering tidak terlarut dapat
didegradasi pada kecepatan yang berbeda dan laju pengosongan rumennya tergantung pada sifat fisik dan
komposisi kimia dari partikel pakan tersebut (Ramanzin and Bailoni, 1994). Kelarutan dihitung sebagai
fraksi pakan terlarut (Siregar, 2005).

versi elektronik
Rataan kelarutan hasil penelitian adalah berkisar antara 18,57 % (A3B1) sampai dengan 39,18 % (A2B3).
Kelarutan tertinggi dicapai pada perlakuan fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae pada
waktu inkubasi 7 hari dan terendah pada perlakuan fermentasi menggunakan Lactobacillus acidophillus
pada inkubasi 3 hari. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa interaksi antara jenis mikroba dan waktu
inkubasi berpengaruh sangat nyata (p< 0,01). Uji lanjut dengan Orthogonal Polynomial menunjukkan
bahwa respon perlakuan waktu inkubasi (b) pada fermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus (a1)
adalah linear dengan persamaan Y= 14,35+ 3,3 X; dengan R2= 99,9989 % dan inkubasi 7 hari
menunjukkan respon tertinggi. Respon b (waktu inkubasi) pada fermentasi menggunakan Saccharomyces
cerevisiae (a2) adalah linear dengan persamaan Y= 16,029167+ 3,3075000 X; dengan R2= 99,9998 % dan
inkubasi 7 hari menunjukkan respon tertinggi. Respon b (waktu inkubasi ) pada fermentasi menggunakan
Lactobacillus acidophillus (a3) adalah kuadrater dengan persamaan Y= 8,1166667+ 3,5533333 X-
0,02333333 X2; dengan R2= 99,9923 % dan titik belok (76,142857; 143,397142) dengan inkubasi 7 hari
menunjukkan respon tertinggi namun nilai respon ini cenderung mendekati linier karena titik beloknya

versi elektronik
yang kecil, selain itu X2 dari persamaan Y negatif sehingga mengakibatkan responnya menjadi terlalu
kecil bila diasumsikan dalam grafik kuadrater.

140
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

60
A1
40

Kelarutan (%)
versi elektronik
A2
20 Y A1 = 14.35 + 3.3 X R2 =99.99 % A3
Y A2 = 16.029167 + 3.3075 X R2 =99.99 %
Y A3 = 8.117 + 3.553 X - 0.023 X^2 R2 =99.99 %
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu Inkubasi(hari)

Grafik 1. Hubungan kelarutan antara kulit pisang yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus,
Saccharomyces cerevisiae, dan Lactobacillus acidophillus dengan waktu inkubasi berbeda

Berdasarkan grafik 1 diketahui bahwa kulit pisang yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus,

versi elektronik
Saccharomyces cerevisiae, dan Lactobacillus acidophillus berbeda sangat nyata. Kelarutan meningkat
dengan adanya fermentasi. Kulit pisang yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus, Saccharomyces
cerevisiae, dan Lactobacillus acidophillus mempunyai kelarutan yang bervariasi. Kelarutan terendah
sebesar 18,57 % dicapai pada perlakuan A3B1 (kulit pisang yang difermentasi dengan Lactobacillus
acidophillus selama 3 hari) kemudian mengalami peningkatan kelarutan seiring perbedaan lama
fermentasi. Kelarutan tertinggi yaitu pada perlakuan A2B3 (kulit pisang yang difermentasi dengan
Saccharomyces cerevisiae selama 7 hari), ini menunjukkkan bahwa pada 7 hari inkubasi Saccharomyces
cerevisiae mampu mendegradasi polimer karbohidrat menjadi monomer yang lebih mudah larut.
Sesuai dengan hasil penelitian disimpulkan bahwa kulit pisang yang difermentasi dengan Saccharomyces
cerevisiae mempunyai kelarutan yang lebih baik daripada kulit pisang yang difermentasi dengan Rhizopus
oligosporus dan Lactobacillus acidophillus. Perlakuan fermentasi dengan berbagai mikroba dan lama
inkubasi yang berbeda sangat berpengaruh positif terhadap kelarutan kulit pisang hasil fermentasi.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan ketika diaplikasikan ke ternak maka kecepatan degradasi dari

versi elektronik
kulit pisang akan meningkat sesuai dengan pendapat Nocek (1988) yaitu kelarutan suatu bahan pakan
mempengaruhi kecepatan degradasi bahan pakan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Ramanzin et al. (1994)
menyatakan bahwa bahan pakan yang mudah larut akan lebih mudah didegradasi di dalam rumen. Bahan
kering pakan dapat dibedakan menjadi fraksi terlarut dan fraksi tidak terlarut. Fraksi terlarut sebagian
besar didegradasi dalam rumen. Fraksi bahan kering tidak terlarut dapat didegradasi pada kecepatan yang
berbeda dan laju pengosongan rumennya tergantung pada sifat fisik dan komposisi kimia dari partikel
pakan tersebut
Kelarutan bahan pakan lain yang dapat menjadi referensi indikasi hubungan kelarutan dengan laju
degradasi rumen adalah penelitian sebelumnya. Rataan kelarutan bungkil kelapa, kulit ari kedelai, onggok
dan limbah kecap dengan ukuran partikel lolos saringan 1,5 mm dan 3,0 mm berkisar 12,81873 % sampai
33,82687 %. Angka kelarutan terendah pada onggok 3,0 mm sedangkan tertinggi pada bungkil kelapa 1,5
mm. Kulit ari kedelai dan onggok yang mengandung serat lebih banyak menunjukkan angka kelarutan
lebih rendah dibandingkan bungkil kelapa dan ampas kecap (Susanti dan Hidayat, 2008).

versi elektronik
Keambaan (Bulkiness)
Keambaan adalah kemampuan bahan pakan untuk memenuhi ruang. Keambaan merupakan sifat umum
yang dimiliki oleh pakan berserat. Semakin tinggi keambaan suatu bahan pakan semakin tinggi pula
kandungan seratnya. Ternak yang mengkonsumsi ransum dengan keambaan tinggi akan cepat merasa
kenyang, sedangkan kebutuhan nutrisinya belum terpenuhi (Siregar, 2005). Selanjutnya Widiyastuti dan

141
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Susanti (2009) menyatakan bahwa nilai keambaan pakan yang tinggi menunjukkan kapasitas tampung
saluran cerna yang rendah, semakin tinggi nilai keambaan menunjukkan bahwa bahan pakan tersebut
lebih voluminous dan berkorelasi terhadap ketersediaan nutrien yang rendah.

versi elektronik
Rataan keambaan hasil penelitian adalah berkisar antara 1,31 ml/ g (A2B2) sampai dengan 2,64 ml/ g
(A3B1). Keambaan tertinggi dicapai pada perlakuan fermentasi menggunakan Lactobacillus acidophillus
pada waktu inkubasi 3 hari dan terendah pada perlakuan fermentasi menggunakan Saccharomyces
cerevisiae pada waktu inkubasi 5 hari.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa interaksi antara jenis mikroba dan waktu inkubasi
berpengaruh sangat nyata (p< 0,01). Uji lanjut dengan Orthogonal Polynomial menunjukkan bahwa
respon perlakuan waktu inkubasi (B) pada fermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus (A1) adalah
linear dengan persamaan Y= 2,1102778- 0,10583333 X dengan R2= 59,6193 % dan inkubasi 3 hari
menunjukkan respon tertinggi. Respon B (waktu inkubasi) pada fermentasi menggunakan Saccharomyces
cerevisiae (A2) adalah kuadrater dengan persamaan Y= 5,7745833- 1,645 X+ 0,15041667 X2; dengan R2=
99,9944 % dan titik belok (5,4681440; 1,27770349) dengan inkubasi 3 hari menunjukkan respon tertinggi
kemudian mencapai bulkiness terendah pada 5,47 hari kemudian meningkat lagi pada 7 hari. Respon B
(waktu inkubasi) pada fermentasi menggunakan Lactobacillus acidophillus (A3) adalah kuadrater dengan
Y= 3,4758333 + 0,365 X- 0,02916667 X2; dengan R2= 99,9574 % dan titik belok

versi elektronik
persamaan
(6,2571429; 2,3339048) dengan inkubasi 3 hari menunjukkan respon tertinggi kemudian mencapai
bulkiness terendah pada 6,26 hari kemudian meningkat lagi pada 7 hari. Berdasarkan kurva respon waktu
inkubasi pada ketiga jenis mikroba, dapat dinyatakan bahwa fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae
menghasilkan keambaan terendah dengan waktu inkubasi paling pendek yaitu, 5,47 hari (328,2 jam)
dengan tingkat keambaan 1,28 ml/ g.

2.5
A1
Bulkiness (l/kg)

2
A2
1.5 A3

versi elektronik
1 YA1 = 3.795 - 0.86 X + 0.075417 X2 R2 =99.98 %
Y A2 = 5.775 1.645 X + 0.150417 X2 R2 =99.99 %
0.5 Y A3 = 3.476 - 0.365 X + 0.02917 X2 R2 =99.95 %

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Inkubasi(hari)

Gambar 2. Hubungan keambaan antara kulit pisang yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus,
Saccharomyces cerevisiae, dan Lactobacillus acidophillus dengan waktu inkubasi berbeda
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa kulit pisang yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus,
Saccharomyces cerevisiae, dan Lactobacillus acidophillus berbeda sangat nyata. Keambaan menurun
dengan adanya fermentasi. Kulit pisang yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus, Saccharomyces

versi elektronik
cerevisiae, dan Lactobacillus acidophillus mempunyai keambaan yang bervariasi. Keambaan tertinggi
sebesar 2,64 ml/gram dicapai pada perlakuan A3B1 (kulit pisang yang difermentasi dengan Lactobacillus
acidophillus selama 3 hari) kemudian mengalami penurunan keambaan seiring perbedaan lama
fermentasi. Keambaan terendah yaitu pada perlakuan A2B2 (kulit pisang yang difermentasi dengan
Saccharomyces cerevisiae selama 5 hari).

142
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penurunan keambaan diduga karena adanya perlakuan fermentasi. Fermentasi merupakan salah satu cara
yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar tanin. Fermentasi membutuhkan beberapa bahan
pendukung untuk prosesnya. Salah satunya adalah gula. Gula pada kulit pisang didapat dari proses
fermentasi pati yang berasal dari karbohidrat dalam kulit pisang. Bahan untuk fermentasi lainnya adalah

versi elektronik
air, buah pisang mengandung banyak air yang nantinya dapat mempermudah proses fermentasi.
Komposisi gizi dalam fermentasi akan mengalami perubahan yaitu karbohidrat akan berkurang, namun
kadar protein kasar tidak akan mengalami banyak perubahan (Kumala dkk., 2005).
Pakan dengan tingkat keambaan yang lebih tinggi dapat menimbulkan regangan lebih besar dan dapat
memberikan sensasi kenyang lebih cepat pada saat pada saat dikonsumsi ternak, sehingga sifat amba
tersebut dapat membatasi konsumsi pada ternak. Namun dampak negatif keambaan terhadap konsumsi
setiap bahan dapat berbeda tergantung pada tingkat kecernaan komponen seratnya seperti halnya
ditunjukan oleh pakan yang mengandung rumput gajah dan jerami (Toharmat, 2006).
Bahan pakan dengan kandungan serat kasar tinggi relatif mempunyai nilai keambaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan pakan dengan keambaan rendah. Nilai keambaan suatu bahan pakan
mempunyai hubungan yang erat dengan degradasi bahan pakan tersebut di dalam rumen. Semakin rendah
nilai keambaan bahan pakan menunjukkan bahwa pakan tersebut mudah didegradasi di dalam rumen

versi elektronik
(Ramanzin and Bailoni, 1994). Selain itu Widiyastuti dan Susanti (2009) menyatakan bahwa Nilai
keambaan pakan yang tinggi juga menunjukkan kapasitas tampung saluran cerna yang rendah, semakin
tinggi nilai keambaan menunjukkan bahwa bahan pakan tersebut lebih voluminous dan berkorelasi
terhadap ketersediaan nutrien yang rendah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa :
1. Fermentasi menggunakan berbagai jenis mikroba dan waktu inkubasi yang berbeda sangat berpengaruh
terhadap keambaan dan kelarutan kulit pisang.
2. Fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae pada waktu inkubasi 7 hari menghasilkan
kelarutan terbaik sedangkan keambaan terbaik dicapai pada 5,47 hari.

DAFTAR PUSTAKA

versi elektronik
Kumala, S., W. Mangunwardoyo dan Budiarti P. 2005. Fermentasi Diam dan Goyang Isolat Kapang
Endofit dari Brucea javanica L. Merr dan Uji Aktivitas Antimikroba. Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia 2005; .3(2): 60-63
Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia, Jakarta
Nocek, J. E. 1988. In situ and other methods to estimate ruminal protein and energy digestibility. A
Review J. Dairy Sci. 71: 2051.
Ramanzin, M. L. and G. B. Bailoni. 1994. Solubility, Water Holding Capacity, and Specific
Gravity of Different Concentrates. J. Dairy Sci. 77;774-781
Siregar, Z. 2005. Evaluasi Keambaan, Daya Serap Air, dan Kelarutan dari Daun Sawit, Lumpur
Sawit, Bungkil Sawit dan Kulit Buah Coklat sebagai Pakan Domba. J. Agribisnis
Peternakan. Vol 1. No.1. April 2005. Hal 1-6

versi elektronik
Susanti, E. dan N. Hidayat. 2008. Pengaruh Ukuran Partikel yang Berbeda pada Pakan Limbah
Agroindustri Terhadap Kualitas Fisiknya. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
BPT Ciawi. Bogor
Toharmat, E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hatimah, T. Q. Noerzihad, N. A Sigit dan Retnani. 2006. Sifat
Fisik Pakan Serat dan Pengaruhnya Terhadap Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum pada

143
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Kambing. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. IPB. Jurnal Media Peternakan. Vol
29. No 3.146-154
Widiyastuti, T. dan E. Susanti. 2009. Kajian Kualitas Fisik Complete Feed Block Berbahan Dasar

versi elektronik
Limbah Pertanian Ammoniasi dan Penggunaan Berbagai Binder. Prosiding Seminar Nasional
Kebangkitan Peternakan. Program Magister Ilmu Ternak Pascasarjana Fakultas Peternakan
UNDIP. Hal: 190 – 196.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 144


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PERBAIKAN SKT SAPI BETINA PRODUKTIF DI UNIT PENGOLAH PUPUK ORGANIK
(UPPO) BOJONEGORO
Tri Agus Sulistya, Mariyono dan Jauhari Effendhy

versi elektronik
Loka Penelitian Sapi Potong; email: bapakelintang@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh level protein pakan penguat yang diberikan pada sapi
betina dengan menggunakan kandang kelompok. Sebanyak 24 ekor sapi betina dibagi pada 3 kandang
kelompok sebagai perlakuan dan tiap kandang dilengkapi dengan palungan air dan bank pakan yang
selalu terisi jerami. Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan level protein pada pakan penguat yang
diberikan, P1: 11%, P2: 12% dan P3:13%. Pakan penguat diberikan sebanyak 1,5 % Bobot Badan (BB)
dalam Bahan Kering (BK). Parameter yang di amati secara periodik bulanan adalah BB, Pertambahan
Bobot Harian (PBBH) dan Skor Kondisi Tubuh (SKT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
pakan penguat baik P1, P2 maupun P3 dapat meningkatkan bobot badan dan SKT. Perbedaan PBBH tiap
periode penimbangan secara signifikan terjadi pada P2 dan P3 dengan nilai tertinggi 0,69 kg/ekor/hari.
Kata kunci : Betina produktif, level protein

versi elektronik
ABSTRACT
The aim of this research was to understand the effect of Crude Protein level on concentrate wich given to
cows. 24 cows were randomly divided into three groups with treatment: Treatment 1= 11 % Crude
Protein (CP) level, Treatment 2= 12% CP level, and Treatment 3= 13 CP level. Concentrate was given as
much as 1,5 % Dry Matter (DM) from body weight. Data of their weight, average daily gain (ADG) and
Body Condition Score (BCS) were recordered periodically. The result of this research revealed that
giving concentrate on Treatment 1, 2, or 3 could increase their weight and BCS. The significanly
difference of ADG was shown on Treatment 2 and treatment 3, wich higest value 0,69 kg/cows/days.
Keywords: Cows, protein level

PENDAHULUAN
Permasalahan peternakan Indonesia disinyalir merupakan masalah komplek yang terjadi akibat beberapa
faktor penyebab. Menurut Tawaf dan Kuswaryan (2006), rendahnya produktivitas ternak dan terbatasnya

versi elektronik
ketersediaan bibit unggul lokal disebabkan oleh : (1) sumber-sumber perbibitan masih didominasi oleh
peternak rakyat yang menyebar secara luas dengan kepemilikan rendah (1-4 ekor), (2) kelembagaan
perbibitan yang ada (kelompok usaha perbibitan) belum berkembang ke arah usaha yang profesional, (3)
lemahnya daya jangkau layanan UPT perbibitan karena sebaran ternak yang luas, dan (4) tingginya
pemotongan ternak betina produktif sebagai akibat dari permintaan yang tinggi terhadap daging sapi.
Pemotongan betina produktif merupakan salah satu faktor yang mempunyai dampak paling besar, karena
secara signifikan mengurangi jumlah populasi dan sangat menghambat pertambahan populasi peternakan
rakyat. Hingga Sudrajat (2003) menyarankan beberapa kebijakan untuk mencapai swasembada daging
yang salah satunya adalah pengendalian pemotongan betina produktif (jumlahnya mencapai 28%).
Namun demikian, meskipun telah dilarang secara hukum, namun pemotongan betina produktif masih
marak dilakukan dengan alasan umum adalah rusaknya kondisi betina.
Rusaknya kondisi betina produktif juga dialami oleh kelompok ternak Desa Sumengko, Kecamatan
Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro yang mendapatkan bantuan 34 ekor betina dalam program Unit

versi elektronik
Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) yang merupakan program Dinas Peternakan setempat. Rusaknya
betina produktif bantuan pemerintah ini dikarenakan tidak berjalannya fungsi penjualan pupuk organik
sehingga hasil penjualan pupuk yang semula di harapkan dapat dipergunakan untuk pembelian bahan
pakan bagi sapi milik kelompok ternak menjadi terhenti. Kondisi ini diperparah dengan ketidak mampuan
pengurus memformulasi pakan yang tersedia hingga menjadi pakan yang seimbang bagi sapi. Padahal

145
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
secara teori hal ini harusnya tidak terjadi, karena dimanapun lokasi peternakan pasti ada formulasi ransum
yang seimbang dengan harga paling murah.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan contoh dan bukti ilmiah mengenai formulasi pakan murah

versi elektronik
dengan memanfaatkan limbah pertanian yang ketersediannya berlimpah di sekitar lokasi untuk perbaikan
Skor Kondisi Tubuh (SKT) sapi milik UPPO Desa Sumengko. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membuka wawasan dan menambah ketrampilan pengelola UPPO dalam penyusunan formulasi pakan
selanjutnya.

METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan April sampai dengan Juni 2012 di kandang
Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan betina produktif yang mempunyai SKT (Skor Kondisi Tubuh)
rata-rata 3,5 pada skala 1 s/d 9.
Sebanyak 24 ekor sapi betina dibagi menjadi 3 perlakuan masing-masing ditempatkan secara terpisah
pada kandang kelompok “Model Litbangtan” yang dilengkapi dengan bank pakan berisi jerami padi.
Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakukan pakan dan 8 ekor

versi elektronik
sapi sebagai ulangan tiap perlakuannya. Perlakuan yang diberikan merupakan perlakuan pakan berupa
pemberian pakan penguat yang merupakan formulasi dari dedak padi, gamblong, bungkil sawit, bungkil
kopra, polard, tumpi jagung, garam dan kapur dengan kandungan protein yang berbeda dan batasan Serat
< 20% serta TDN > 58 %. Pada perlakuan A diberikan pakan penguat dengan kandungan Protein sebesar
11 %, perlakuan B sebesar 12 % dan perlakuan C sebesar 13 %. Bank pakan yang tersedia pada setiap
kandang selalu terisi oleh jerami padi kering dan tanpa diberikan pakan hijauan segar.
Parameter yang diambil adalah Bobot Badan Sapi dan SKT. Bobot Badan Sapi di timbang setiap 4
minggu sekali dan digunakan sebagai dasar dilakukannya penyesuaian pemberian konsentrat sebesar 1,5
% bobot badan dalam bahan kering. SKT dinilai dengan melihat langsung disposisi otot pada tubuh,
dilakukan oleh tiga orang kemudian dirata-rata.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pakan yang diberikan pada penelitian ini merupakan formulasi dari berbagai sumber bahan pakan yang
tersedia murah di lokasi penelitian. Sampel bahan pakan dari lokasi penelitian untuk selanjutnya di

versi elektronik
analisis kandungan nutrisinya dan di formulasikan untuk mendapatkan kadar Protein seperti yang
diharapkan sebagai perlakukan. Hasil analisis proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak, Loka
Penelitian Sapi Potong untuk konsentrat yang dihasilkan dari pencampuran pakan menunjukkan hasil
sedikit berbeda dengan yang diharapkan. Hal ini disebabkan banyaknya suplier yang digunakan sebagai
penyedia karena menyesuaikan harga pakan terendah. Selain itu ketidak seragaman tingkat bahan kering
antar karung dalam satu suplier juga menjadikan hasil perhitungan yang diharapkan sedikit berbeda
dengan hasil pencampuran. Hasil uji proksimat konsentrat yang telah disusun tersaji pada tabel 1.
Tabel 1. Uji Proksimat konsentrat perlakuan
Konsentrat Perlakuan BK PK SK TDN
A 87,11 10,1 21,1 50,5
B 84,53 10,9 22,1 52,0

versi elektronik
C 85,47 13,2 17,1 56,8

Pengukuran rataan konsumsi harian dilakukan dengan cara mengurangi pemberian dengan sisa pakan
kemudian dirata-rata seluruh populasi dalam satu perlakuan, hal ini dikarenakan pada sistem kandang
kelompok model Litbangtan pengukuran konsumsi individu tidak bisa dilakukan mengingat palungan

146
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
pakan yang tersedia hanya satu untuk seluruh populasi. Hasil penghitungan rata-rata konsumsi harian tiap
periode tersaji pada tabel 2. Dari tabel 2 mengindikasikan bahwa konsumsi meningkat seiring
bertambahnya bobot badan. Teknis di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada sisa pakan konsentrat,
sehingga konsumsi masih dapat meningkat bila ada penambahan jumlah pemberian. Akan tetapi hal ini

versi elektronik
tidak dilakukan, karena kegiatan ini bukan bertujuan untuk penggemukan yang memaksimalkan potensi
genetik. Formulasi konsentrat yang dipergunakan pada penelitian ini memperhitungkan antara imbangan
protein dan serat untuk menjaga konsumsi. Mariyono (2013) menyatakan, bahwa serat pakan sangat
bermanfaat untuk mengatur jumlah konsumsi dan kecernaan pakan dalam saluran pencernaan dan
terdapat korelasi bahwa pakan protein rendah harus diikuti oleh kadar serat yang rendah pula, pun
demikian sebaliknya.
Tabel 2. Rata-rata konsumsi harian tiap perlakuan
Perlakuan Parameter Konsumsi Periode 1 Periode 2 Periode 3
A Konsentrat 4,24 4,34 4,72
BK 3,69 3,78 4,11
PK 0,37 0,38 0,42
SK 0,78 0,80 0,87

versi elektronik
TDN 1,86 1,91 2,08
B Konsentrat 4,26 4,73 4,80
BK 3,60 4,00 4,05
PK 0,39 0,44 0,44
SK 0,80 0,89 0,90
TDN 1,87 2,08 2,11
C Konsentrat 4,23 4,46 4,82
BK 3,61 3,81 4,12
PK 0,48 0,50 0,55
SK 0,62 0,65 0,71
TDN 2,05 2,16 2,34

Pengukuran bobot badan dilakukan setiap empat mingguan dan PBBH didapatkan setelah penimbangan

versi elektronik
periode 1. Penilaian SKT dilakukan saat penimbangan dengan menilai disposisi daging pada tubuh ternak
oleh tiga orang kemudian hasilnya di rata-rata. Untuk rataan hasil SKT yang tidak bulat menggunakan
sistem range atau antara dengan penulisan tanda “-“ antara kedua penilaian SKT. Hasil pengukuran bobot
badan, pengitungan PBBH dan penilaian SKT tersaji pada tabel 3.
Tabel 3. Bobot badan, PBBH dan SKT tiap periode penimbangan
Perlakuan Parameter Periode 0 Periode 1 Periode 2 Periode 3
A Bobot Badan 249,75 262,43 285,57 306,33
PBBH 0,52a 0,65 b 0,57 b
SKT 4 4 4-5 5
B Bobot Badan 246,75 275,81 276,94 287,94
PBBH 0,97 a 0,31a 0,35 a
SKT 4 4 5 5
C Bobot Badan 253,38 265,13 282,00 307,63

versi elektronik
PBBH 0,45 a 0,54 ab 0,69 b
SKT 4 4 4-5 5
Ket : superskript berbda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,01)

147
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Data dalam tabel 3 menunjukkan, bahwa perlakuan pemberian pakan konsentrat berdampak positif
terhadap peningkatan PBBH dan SKT sapi induk kecuali pada perlakuan B. Hal ini diduga karena adanya
beberapa sapi yang kalah dalam kompetisi perebutan pakan konsentrat pada kandang kelompok perlakuan
B, sehingga mempengaruhi PBBH populasi.

versi elektronik
Peningkatan konsumsi secara umum tiap periode pada tabel 2 juga berdampak pada peningkatan PBBH
tiap periode. Hal ini dapat dipahami karena pertambahan bobot badan akan berdampak pada kebutuhan
pakan sehingga konsumsinya meningkat. PBBH pada penelitian ini berada pada kisaran 0,5 s/d 0,9
kg/ekor/hari, hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Mariyono (2013b) yang mendapatkan
PBBH sapi induk sebesar 0,6 kg/ekor/hari dengan pakan hijauan berupa jerami padai dan pemberian
konsentrat PK: 12,28 dan SK: 24,49 dan TDN: 54,67. Juga lebih tinggi dibandingkan dengan PBBH sapi
PO yang diberi pakan jerami serta pakan tambahan berupa dedak dan urea sebesar 0,4 kg/ekor/hari
(Utomo, 1986). Melihat hasil SKT pada akhir penelitian tidaklah menunjukkan perbedaan, sedangkan
nilai jual pada tingkat peternak lebih ditentukan oleh SKT sapi. Penilaian SKT memang cenderung
subjektif, akan tetapi hal ini sudah diusahakan untuk diminimalisir dengan menggunakan penilaian tiga
orang berpengalaman kemudian hasilnya dibuat rataan. Dengan demikian pertambahan level protein dari
10,1% hingga 13% tidak efektif bila dipergunakan untuk memacu peningkatan SKT sapi PO betina dalam
jangka waktu 3 bulan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai jual sapi.

versi elektronik
KESIMPULAN
Peningkatan kadar protein konsentrat dari 10,1 % hingga 13 % yang diberikan pada betina sapi PO
dengan pemberian konsentrat 1,5 % dari bobot badan dalam bahan kering mampu meningkatkan PBBH
sapi PO betina dari 0,35 s.d. 0,69 kg/ekor/hari. Pertambahan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap
pertambahan nilai SKT sapi betina.

DAFTAR PUSTAKA
Mariyono, D. Pamungkas, N.H. Krishna, D. Ratnawati, T.A. Sulistya, M.Luthfi, dan Y. Widyaningrum.
2013b. Pengaruh Level Protein dalam Ransum Berbasis Bahan Pakan Rendah Serat terhadap
Performans Sapi Betina Bunting. Lapotan Akhir Penelitian TA 2013. Loka Penelitian Sapi
Potong.
Mariyono. 2012. Low protein feed for beef cattle. Proceedings Intrnational Conference on Livestock

versi elektronik
Production and Veterinary Tchnology. Indonesian Center for Animal and Development.
Indonesian Agency for Agricultural Research and Development. Ministry of Agriculture
Republic of Indonesia. Bogor. pp139-144.
Mariyono. 2013a. Penyusunan ransum sapi potong berbasis hasil samping industri sawit. Disampaikan
pada Kegiatan “Demo Teknik Penyusunan Ransum Sapi Berbasis Produk Samping Industri
Sawit” Oleh Puslitbang Peternakan – Medan, 4 September 2013
Sudrajat S. 2003. Operasional program terobosan menuju kecukupan daging sapi tahun 2005. Di dalam :
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 (1). Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Hlm
23-45
Tawaf R, Kuswaryan S. 2006. Kendala kecukupan daging 2010. Di dalam ; Prosiding Seminar Nasional
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan Dibidang Agribisnis Untuk Mendukung
Ketahanan Pangan. Semarang, 3 Agustus 2006. Hlm 173-185

versi elektronik
Utomo, R. 1986. Pengaruh suplementasi urea, daun lamtoro atau amoniasi urea pada jerami padi terhadap
kenaikan berat badan sapi Peranakan Ongole. Tesis. Sarjana Utama (Master of Science) Fak.
Pascasarjana, Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.

148
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
CAMPURAN EKSTRAK KUNYIT (Curcuma domestica), JAHE (Zingiber officinale), DAN
LENGKUAS (Alpinia galangal (L.) SEBAGAI FITOBIOTIK TERHADAP PENAMPILAN
PRODUKSI AYAM PEDAGING

versi elektronik
Dyah Lestari Yulianti1), Vinsensius Arivin Wea2), dan Johan Erikson Siregar3)
1
Fakultas Peternakan, Universitas Kanjuruhan Malang; email: dyah_ly@yahoo.com
2
Fakultas Peternakan, Universitas Kanjuruhan Malang
3
Fakultas Peternakan, Universitas Kanjuruhan Malang

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui campuran ekstrak kunyit (Curcuma domestica), jahe
(Zingiber officinale), dan lengkuas (Alpinia galangal (L.) sebagai fitobiotik terhadap penampilan produksi
ayam pedaging, meliputi : konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, persentase mortalitas, konversi
pakan, persentase karkas, dan berat lemak abdominal. 100 ekor DOC strain CP 707 dipelihara selama 35
hari dikelompokkan berdasarkan perlakuan penelitian yaitu level pemberian campuran ekstrak kunyit
(Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan lengkuas (Alpinia galangal (L.) 0%, 2%, 4%, dan
6% pada air minum. Pakan basal yang diberikan adalah pakan komplit produksi PT. Charoen Pokphand
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian campuran ekstrak kunyit (Curcuma

versi elektronik
domestica), jahe (Zingiber officinale), dan lengkuas (Alpinia galangal (L.) pada air minum tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi pakan (g/minggu/ekor), pertambahan bobot badan
(g/minggu/ekor), konversi pakan, dan persentase mortalitas (%). Perlakuan penelitian memberikan
pengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase karkas (%) dan berat lemak abdominal (g). Dapat
disimpulkan bahwa pemberian campuran ekstrak kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale),
dan lengkuas (Alpinia galangal (L.) pada air minum memberikan efek positif terhadap kualitas produk
ayam pedaging meliputi persentase karkas dan berat lemak abdominal.
Kata kunci : kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), lengkuas (Alpinia galanga (L.),
fitobiotik, ayam pedaging

ABSTRACT
The aim of this research was to evaluate mixed of tumeric (Curcuma domestica), ginger (Zingiber
officinale), and galangal (Alpinia galanga (L) extract as phytobiotic on broiler performance. A hundred
day old broiler chick strain 07 were arrange complete randomized design, five treatment, 4 repeated.

versi elektronik
Basal feed was complete feed produced PT. Charoen Pokphand Indonesia which given ad libitum. The
treatment were 0%, 2%, 4%, and 6% mixed of tumeric (Curcuma domestica), ginger (Zingiber officinale),
and galangale (Alpinia galangal) extract which given on drinking water. Result of this experiment shown
that there were no significant effect (P>0.05) using mixed of tumeric (Curcuma domestica), ginger
(Zingiber officinale), and galangale (Alpinia galanga (L.) extract as phytobiotic on feed consumption
(g/week/bird), body weight gain (g/week/bird), mortality (%), and feed conversion. Using mixed of
tumeric (Curcuma domestica), ginger (Zingiber officinale), and galangale (Alpinia galangal (L.) extract
as phytobiotic give significant effect (P<0.05) on carcass percentage (%) and weight of fat abdominal. It
could be concluded that using mixed of tumeric (Curcuma domestica), ginger (Zingiber officinale), and
galangale (Alpinia galangal (L.) extract as phytobiotic give positive influence on broiler quality product.
Keywords : tumeric (Curcuma domestica), ginger (Zingiber officinale), galangale (Alpinia Galanga
(L.), phytobiotic, and broiler.

versi elektronik
PENDAHULUAN
Di Indonesia banyak peternak percaya bahwa produksi ternak hampir tidak mungkin berhasil tanpa
penggunaan antibiotika sebagai perangsang pertumbuhan. Oleh karena itu sejak tahun 1970-an pada saat
peternakan mulai berkembang di Indonesia, muncul penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan
dan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Masalah yang timbul ialah pemanfaatan antibiotika
sebagai feed additive (imbuhan) walaupun aplikasi ini bukan diterapkan pada manusia, namun

149
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
penggunaan antibiotika untuk ternak ini memiliki dampak terhadap kesehatan manusia (Soeharso dkk,
2010).
Dari berbagai sumber ilmiah ternyata penggunaan antibiotika yang tidak memenuhi prosedur pengobatan

versi elektronik
sehingga dosis yang diberikan tidak mampu membunuh bakteri pathogen, dapat menyebabkan mutasi
kromosom pathogen. Adanya pathogen yang bermutasi ini, menyebabkan fungsi antibiotika sebagai
growth promoter juga menurun. Sehingga perlu alternatif pemecahan masalah diantaranya adalah sumber
antibiotik dari herbal (fitobiotik). Sehingga tanaman herbal dapat dijadikan sebagai alternatif
penggunaan antibiotik (fitobiotik) pada sistem pemeliharaan ternak.
Tanaman herbal yang berpotensi berperan sebagai fitobiotik adalah kelompok tanaman rimpang seperti
jahe (Zingiber officinale) , kunyit (Curcuma domestica), dan lengkuas (Alpinia galangal (L.).
Pemberiannya secara mandiri dengan cara diekstrak dan ditambahkan pada air minum ayam pedaging
dapat meningkatkan nafsu makan, meningkatkan kerja organ pencernaan, ternak menjadi lebih sehat
(tidak mudah terserang penyakit ), pertumbuhan dan produktivitasnya optimal dan kandang tidak
menimbulkan bau yang menyengat, mempertahankan daya tahan tubuh ternak, dan meningkatkan
efisiensi pakan (Sudarsono, 1996). Penggunaan tanaman herbal sebagai imbuhan dalam pakan (feed
additive) harus berhati-hati jika tidak didahului penelitian yang intensif. Meskipun banyak pendapat

versi elektronik
menyatakan bahwa tanaman herbal bersifat organik dan aman, beberapa kasus yang timbul akibat
penggunaan tanaman herbal adalah keracunan karena mengandung komponen yang bersifat toksik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui campuran ekstrak kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber
officinale), dan lengkuas (Alpinia galangal (L.) sebagai fitobiotik terhadap penampilan produksi ayam
pedaging, meliputi : konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, persentase mortalitas, konversi pakan,
persentase karkas, dan berat lemak abdominal.

METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini menggunakan ayam pedaging DOC berjumlah 100 ekor yang berumur 1 hari strain
CV 707 yang diproduksi oleh PT.CHAROEN POKPHAND
2. Pakan yang digunakan adalah pakan jadi starter ayam pedaging BR-1 SP Crumble diperoleh dari

versi elektronik
toko Aneka Ternak produksi PT. CHAROEN POKPHAND dengan komposisi sesuai dengan
standar kebutuhan ayam pedaging.
3. Kunyit, jahe dan lengkuas diperoleh dari pasar Gadang. Prosesnya terlebih dahulu kunyit, jahe
dan lengkuas dicuci, dipotong dengan panjang 1-2cm, diblender hingga halus, diperas sampai
cairannya benar-benar habis lalu dibuang ampasnya. Cairannya tadi di simpan dalam botol yang
telah dipersiapkan yang nantinya ditambahkan ke dalam air minum ayam pedaging. Imbangan
antara campuran ekstrak kunyit, jahe, dan lengkuas adalah 1:1:1.
4. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang yang bahannya terbuat dari bambu
dengan sistem litter. Kandang yang digunakan berjumlah 20 petak dimana 1 petak diisi 5 ekor
ayam pedaging. 1 petak berukuran 1 x 1 x 1 m. Kandang percobaan diberi alas berupa sekam.
5. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
6. Timbangan digital counting balance kapasitas 600 gram, timbangan gantung kapasitas 25
kilogram yang digunakan untuk menimbang ayam, pakan dan berat karkas.

versi elektronik
7. Tempat pakan dan tempat minum.
8. Perlengkapan penerangan berupa lampu pijar 10 watt.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap ( RAL ) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan. Masing-masing unit percobaan terdiri atas 5

150
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
ekor ayam dan pada akhir penelitian setiap kelompok setelah berumur 37 hari diambil secara acak 1 ekor
ayam sebagai sampel. Jumlah semua ayam yang digunakan sebagai sampel sebanyak 20 ekor.
Bobot badan awal ditimbang pada saat DOC tiba dikandang untuk mengetahui koefisien keragaman bobot

versi elektronik
badan awal pada tiap perlakuan. Adapun perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut : P0 : Air
minum tanpa penambahan ekstrak kunyit jahe, jahe dan lengkuas, P1 : Air minum 100%+2% ekstrak
kunyit, jahe dan lengkuas, P2 : Air minum 100%+4% ekstrak kunyit, jahe dan lengkuas, P3 : Air minum
100%+6% ekstrak kunyit, jahe dan lengkuas, P4 : Air minum 100%+8% ekstrak kunyit, jahe dan
lengkuas. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Konsumsi pakan (g/minggu/ekor)
2. Pertambahan Bobot Badan (g/minggu/ekor)
3. Mortalitas (%)
4. Konversi pakan
5. Persentase karkas (%)
6. Berat lemak abdominal (g/ekor)
Data yang diperoleh akan diuji dengan analisis varian dan apabila terdapat perbedaan yang nyata akan
diteruskan dengan uji Beda Nyata Terkecil

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata konsumsi pakan (g/minggu/ekor), pertambahan bobot badan
(g/minggu/ekor), konversi pakan dan persentase mortalitas (%) disajikan pada Tabel 2. Sedangkan rata-
rata persentase karkas (%) dan berat lemak abdominal (g/ekor) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Rata-rata konsumsi pakan (g/minggu/ekor), pertambahan bobot badan (g/minggu/ekor), konversi
pakan dan persentase mortalitas (%)
Level Konsumsi Pakan PBB Mortalitas
Perlakuan perlakuan Konversi Pakan
(g/minggu/ekor) (g/minggu/ekor) (%)
P0 0% 679,54 476,19 1,43 0
P1 2% 684,22 461,23 1,48 0

versi elektronik
P2 4% 676,04 441,94 1,53 0
P3 6% 678,59 435,96 1,56 0
P4 8% 682,19 451,30 1,51 0

Tabel 3. Rata-rata persentase karkas (%) dan berat lemak abdominal (g/ekor)
Level perlakuan Persentase karkas Berat Lemak Abdominal
Perlakuan
(%) (g/ekor)
a
P0 0% 77,67 22,25a
P1 2% 81,86b 27,50b
P2 4% 79,07a 22,00a

versi elektronik
P3 6% 81,24b 29,50b
P4 8% 83,44b 22,00a
Keterangan : Superscript menunjukkan perbedaan antar perlakuan dengan taraf signifikansi 5% (P<0.05)

151
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 1. dan 2. di atas, penggunaan campuran ekstrak
kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan lengkuas (Alpinia galanga (L.) sebagai
fitobiotik tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot
badan, konversi pakan, dan persentase mortalitas. Bahan aktif dari tumbuhan obat pada umumnya

versi elektronik
ditemukan dalam bentuk metabolit sekunder yang penting peranannya bagi kelangsungan hidup spesies
tanaman dalam perjuangannya menghadapi spesies-spesies lain. Satu tanaman biasanya menghasilkan
lebih dari satu jenis metabolit sekunder (phytoalexins, asam organik, minyak atsiri dan lain-lain) sehingga
memungkinkan dalam satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Kombinasi beberapa jenis
bahan aktif menunjukkan efektifitas kerja yang tinggi dibandingkan penggunaan bahan aktif tunggal
(Gǘnther and Ulfah 2003, Ulfah 2003, Ulfah 2005b).
Efek farmakologi yang dimiliki masing-masing komponen senyawa kimia dapat saling mendukung satu
sama lain (sinergis) untuk mencapai efektifitas pengobatan, tetapi juga dapat berlawanan (kontradiksi).
Berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat pengaruh perlakuan terhadap penampilan produksi ternak
dimungkinkan karena efek farmakologis zat aktif dari ketiga tanaman rimpang yang tidak sinergis. Selain
itu kelemahan dari penggunaan tanaman herbal adalah efek farmakologisnya yang lambat. Penelitian ini
menggunakan ekstrak kasar, sehingga zat aktif yang diharapkan diperoleh dari tanaman herbal tidak
murni. Hal tersebut mengakibatkan efek farmakologisnya menjadi lemah dan lambat. Ulfah (2006)

versi elektronik
mengemukakan bahwa, disamping berbagai manfaat yang dihasilkan, bahan aktif dari tanaman obat juga
memiliki kelemahan yang dapat menjadi kendala dalam pemanfaatannya sebagai aditif multifungsi.
Beberapa kelemahan tersebut adalah efek farmakologinya yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar
senyawa aktif dalam tanaman obat dan kompleksnya senyawa yang terkandung dalam bahan aktif.
Namun penambahan campuran kunyit, jahe dan lengkuas memberikan pengaruh terhadap persentase
karkas dan berat lemak abdominal (P<0.05). Seiring bertambahnya level ekstrak campuran kunyit, jahe,
dan lengkuas persentase berat karkas cenderung mengalami peningkatan dan sebaliknya dengan
bertambahnya ekstrak campuran kunyit, jahe, dan lengkuas berat lemak abdominal cenderung mengalami
penurunan. Persentase karkas tertinggi diperoleh dari perlakuan P4 (level 8%) yaitu sebesar 83,44%
dilanjutkan berturut-turut perlakuan P1, P3, P2, dan P0 masing-masing 81,86%, 81,24%, dan 81,86%, dan
77,67. Berat lemak abdominal terendah diperoleh pada perlakuan P2 dan P4 yaitu 22,00 g diikuti oleh
P0, P1, dan P3 masing-masing sebesar 22,25%, 27,50%, dan 29,50%. Keberadaan senyawa kurkumin
pada kunyit berperan sebagai antioksidan melalui mekanisme efek protektif terhadap aktivitas enzim

versi elektronik
superoksidase dismutase sehingga terjadinya proses pembentukan lemak dapat dicegah. Hasil penelitian
tentang kandungan zat aktif pada temulawak diketahui bahwa khasiat temulawak terutama disebabkan
oleh beberapa kelompok kandungan kimia utama, yakni golongan kurkuminoid, minyak atsiri, flavonoid
dan pati (polisakarida). Kurkumoinoid terdiri dari dua jenis senyawa yaitu kurkumin dan
desmetosikurkumin yang berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, meningkatkan
ekskresi empedu, menurunkan kadar lemak darah, anti bakteri, serta dapat mencegah terjadinya
perlemakkan dalam sel-sel hati dan sebagai anti oksidan penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang
berbahaya. Minyak atsiri temulawak yang terdiri dari 32 komponen secara umum bersifat meningkatkan
produksi getah empedu dan mampu menekan pembengkakan jaringan (Liang et al. 1985).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa campuran ekstrak kunyit (Curcuma domestica),
jahe (Zingiber officinale), dan lengkuas (Alpinia galangal (L.) sebagai fitobiotik tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan persentase

versi elektronik
mortalitas namun memberikan pengaruh terhadap persentase karkas dan berat lemak abdominal.
Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam mengkombinasikan tanaman herbal yang
memiliki efek sinergis sehingga dapat meningkatkan penampilan produksi ternak unggas khususnya.

152
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
DAFTAR PUSTAKA
Guenther K.D., and Ulfah M., 2003. Influence of Natural Essensial Oils on Digestion, Metabolism, and
Efficient Production. Paper Presented At The 4th Buffalo Symposium. New Delhi. India.

versi elektronik
Hashemi S. R., and H. Davoodi, 2010. Phytogenics as New Class of Feed Additive In Poultry Industry. J.
Anim. Vet. Adv 9:2295-2304
Hashemi, S.R., Zulkifli I, Hair Bejo M., Farida A.,and Somchit M.N., 2008. Acute Toxicity Study and
Phytochemical Screening of Selected Herbal Aqueous Extract in Broiler Chickens. Int. J.
Pharmacol 4: 352-360
Helander, I.M., Alakomi H.L., Latva-Kala, Mattila S., and Pol I., 1998. Characterization of The Action
of selected essential oil components on gram-negative bacteria. J. Agric. Food Chem., 46:3590-
3595
Kreydiyyeh S.I., Utsa J., Kaouk I., Al-Sadi R. 2003. Phytomedicine 8 (5): 382-388
Kroismayr A, Steiner T., Zhang C. 2006. Influence of phytogenic feed additive on performance of weaner
piglets. J. Anim Sci : 84. Suppl 1. Abstract 329.

versi elektronik
Liang OB, Y Widjaja dan S Puspa. 1985. Beberapa Aspek Isolasi Identifikasi dan Penggunaan
Komponen-Komponen Curcuma xanthorrhiza Roxb. dan Curcuma domestica Val. Di dalam:
Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas
Padjajaran.
Mitsch, P., Zitterl-Eglseer K., Kohler B., Gabler C., Losa R., and Zimpernik I., 2004. The effect of two
different blends of essential oil component on the proliferation of Clostridium perfringens in the
intestines of broiler chickens. Poult. Sci., 83:669-675
Muladno M., Local chicken genetic resources and production system in Indonesia. Food and Agriculture
Organization-Animal Production and Health Division Viale delle Terme di Caracalla Rome,Italy.
Ž ikić D, Perić L, Ušćebrka G, Stojanović S, Milić D, Nollet L (2008) Effect of prebiotics in broiler
breeder and broiler diets on performance and jejunum morphology of broiler chickens. 1st
Mediterranean Summit of WPSA, Book of Proceedings, Porto Carras, Greece, 879- 82.

versi elektronik
Rahardjo, 2005. Budidaya Tanaman Kunyit. Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sirkuler
(11) 1-13
Sudarsono, 1996. Tanaman Kunyit ; Manfaat, Khasiat, dan Kandungan bagi Kesehatan. Diakses dari
http://warnadunia.com/.
Soeharsono H., Adriani L., Safitri R., Sjofjan O., Abdullah S., Rostika R., Lengkey H.A.W., and
Musawwir A., 2010. Probiotik ; Basis Ilmiah, Aplikasi, dan Aspek Praktis. Widya Padjadjaran.
Bandung.
Steiner T, Kroismayr A, Zhang C. Influence of a phytogenic feed additive on performance of weaner
piglets [abstract]. J Anim Sci. 2006;84(suppl 1). Abstract 329. Available
at: http://adsa.asas.org/meetings/2006/abstracts/269.pdf. Accessed 11 January 2010.
Sundari D., dan Winarno M.W., 2001. Informasi Tumbuhan Obat Sebagai Antijamur. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

versi elektronik
Ulfah M. 2003. Influence of essential oils on the performance data and health condition of monogastric
animals. M. Sc. – Thesis. Agricultural Faculty, Georg-August University Göttingen. Germany.
Ulfah M. 2005a. Essential oils as a multi-function feed additive (MFA) to improve broilers performance,
metabolism, dung consistency and efficiency of production. Proceeding of Mini Workshop of

153
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
South East Asia Germany Networking (SEAG) – Bogor Agricultural University, 25-26 April
2005.
Ulfah M. 2005b. Minyak atsiri: Penakluk bakteri patogen. Poultry Indonesia. No. 298: 50-52.

versi elektronik
William, P., and Losa R., 2001. The use of essential oil and their compounds in poultry nutrition. Worlds
Poultry (17), 14-15.
Windisch W. K., Schendle C., Plitzher, and Kroismayr A., 2008. Use of Phytogenic Products As Feed
Additive For Swine and Poultry. J. Anim Sci 86:140-148
Wijayakusuma, 2004. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia : Kunyit : Curcuma Longa Linn. Jilid 4.
Pustaka Kartini. Jakarta.
Zainuddin D. dan Wibawan W.T., 2007. Diseases Treatment and Management of Biosecurity Local
Chicken. Food and Agriculture Organization-Animal Production and Health Division Viale delle
Terme di Caracalla Rome,Italy.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 154


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH PEMBERIAN SELENIUM ORGANIK TERHADAP DAYA SIMPAN DAGING
SAPI BRAHMAN CROSS
Endang Yuni Setyowati 1), Undang Santosa 1), Denny Widaya Lukman 2), dan Ujang Hidayat Tanuwiria1)

versi elektronik
1
Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran; email : endang.setyowati65@gmail
2
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK
Daging sapi merupakan produk peternakan yang bernilai gizi tinggi, namun tergolong dalam bahan
pangan yang mudah rusak (perisable food). Upaya untuk memperpanjang daya simpan daging telah
dilakukan melalui penelitian ini. Selenium (Se) merupakan mikromineral esensial yang berfungsi sebagai
antioksidan, sehingga keberadaan unsur ini di dalam ransum ternak merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan. Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian Se organik terhadap
daya simpan daging sapi. Enam belas ekor sapi Brahman Cross jantan kastrasi berumur 24-36 bulan
diberi Se organik 0,3 ppm dalam bentuk Se-yeast di dalam ransum lengkap dengan kandungan protein
16% dan TDN 71,025%. Rancangan Acak Lengkap digunakan pada empat perlakuan yang diuji, yaitu
pemberian Se organik dalam ransum selama 0 hari (P0); 25 hari (P25); 50 hari (P50) dan 75 hari (P75).
Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Se

versi elektronik
organik tidak menunjukan perbedaan pada pH daging (5,32 – 5,36), namun menunjukan perbedaan yang
nyata (P<0,05) pada drip loss (11,46% pada P0 dan 9,07% pada P25). Uji awal pembusukan pada P0
menunjukan adanya pembusukan pada seluruh sampel; sedangkan pada P50, sebanyak 50% sampel tidak
membusuk dan pada P75, sebanyak 75% sampel tidak membusuk.
Kata kunci: Se organik, daging sapi, pH, drip loss, awal pembusukan

ABSTRACT
Beef is one of farm animal products which contain high nutritional value; however, it is grouped into
perishable foodstuffs. Accordingly, the efforts to extend the beef shelf life should be made. Selenium
(Se) is an essential micro mineral that act as antioxidant, therefore the presence of this element in cattle
rations should be considered. Research has been conducted to determine the effect of organic Se on beef
shelf life. Sixteen Brahman Cross steers aged 24-36 months were given 0.3 ppm organic Se within the
complete feed which had 16% protein and 71.025% TDN. The cattle were grouped into four treatments

versi elektronik
which subjected to feed with organic Se for 0 days (P0), 25 days (P25), 50 days (P50) and 75 days (P75).
The research method was experimental and the data collected were analyzed by Completely Randomized
Design continued by Duncan Test. The research indicates that supplemented organic Se resulted in no
differences in meat pH (5.32 to 5.36), but it was significantly decreased drip loss at days 25. Organic Se
reduced the percentage of beef spoilage as the organic Se supplementation lengthened to 75 days.
Keywords: Organic Se, beef shelf live, pH, drip loss

PENDAHULUAN
Daging sapi sangat penting bagi manusia karena merupakan bahan pangan yang mengandung banyak zat
gizi. Protein merupakan zat gizi utama pada daging yang berperan penting dalam pertumbuhan badan,
memelihara integritas struktur tubuh serta menjaga keberlangsungan fungsi alat-alat tubuh. Peran penting
tersebut menjadi dasar dalam menetapkan daging sebagai bahan pangan yang direkomendasikan dalam
konsumsi harian.

versi elektronik
Kandungan protein yang tinggi yaitu 18,6 – 20,8% (Bender, 1975) dan kandungan air yang juga tinggi,
yaitu 75,19% (Nurwantoro, dkk., 2012) menyebabkan daging dikelompokan pada bahan pangan yang
mudah rusak/busuk (perishable food). Pembusukan dapat terjadi dengan cepat karena kandungan protein
dan air yang tinggi tersebut mempercepat berkembangbiaknya mikroorganisme pembusuk. Oleh sebab
itu daging harus disimpan dalam temperature dimana mikroorganisme tidak dapat berkembang.

155
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penyimpanan daging harus dilakukan dengan tepat, yaitu pada tempat atau ruang yang bersih dengan
temperature rendah. Hal tersebut menjadi suatu keharusan untuk menjaga agar proses pembusukan dapat
diperlambat. Kondisi umum tempat penjualan daging masih dilakukan dengan cara yang kurang tepat.
Di pasar-pasar tradisional daging masih dijual dengan tidak memperhatikan temperature penyimpanan,

versi elektronik
sehingga proses pembusukan akan lebih cepat terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk mencari solusi agar
proses pembusukan dapat diperlambat. Apabila proses pembusukan dapat diperlambat, kerugian di pihak
pedagang dapat dikurangi dan kualitas daging yang didapat oleh konsumen dapat terjaga dengan baik.
Upaya yang dilakukan untuk memperlambat proses pembusukan daging, salah satunya adalah melalui
suplementasi selenium pada ransum ternak. Selenium merupakan mikromineral esensial, sehingga
keberadaannya di dalam ransum sangat perlu dipertimbangkan. Selenium organik merupakan mineral
yang memiliki peran penting dalam proses pertumbuhan ternak. Suplementasi selenium dapat
meningkatkan efisiensi pakan, mengurangi stres oksidatif serta dapat meningkatkan daya simpan produk
ternak, di antaranya daging.
Selenium juga merupakan unsur pada enzim Glutathione peroxidase (GSH-Px). Enzim ini berperan
sebagai katalisator pada proses dekomposisi hidroksiperoksida lemak, yaitu suatu radikal bebas yang
dapat merusak sel, menjadi suatu produk yang tidak reaktif. Pada jaringan otot, fungsi selenium sebagai

versi elektronik
antioksidan masih tetap ada walaupun ternak sudah mati. Hal ini menyebabkan proses oksidasi pada
daging dapat ditunda, sehingga mencegah perubahan cita rasa (flavour) dan nilai gizi daging tersebut
dapat dipertahankan lebih lama. Diharapkan pula, proses pembusukan daging dapat diperlambat melalui
peran selenium sebagai antioksidan.

TINJAUAN PUSTAKA
Mineral dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh, pertumbuhan, dan reproduksi. Kebutuhan mineral pada
ternak tergantung umur, ukuran tubuh, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis. Berdasarkan jumlah
kebutuhannya, mineral dikelompokan dalam makromineral dan mikromineral atau trace element.
Selenium merupakan unsur mikromineral esensial yang sangat kritis, yaitu batas kebutuhan yang
menyebabkan toksisitas dan defisiensi sangat sempit (Dilaga, 1992).
Selenium memiliki dua bentuk yang berbeda, yaitu selenium organik dan selenium anorganik (Mahan,
1999). Selenium organik akan diserap oleh dinding usus dan diedarkan dalam aliran darah melalui rute
asam amino, sehingga meningkatkan retensi serta dapat disimpan sebagai cadangan nutrisi pada berbagai

versi elektronik
jaringan. Sementara itu, selenium anorganik diserap secara pasif di usus dan diekskresikan bersama
dengan urin, sehingga retensinya di dalam daging dan organ tubuh tidak sebanyak selenium organik
(Combs dan Combs, 1986).
Selenium berfungsi sebagai antioksidan serta pembentuk hormon tiroid. Ransum yang defisien selenium
perlu dihindari untuk mencegah terjadinya abnormalitas pada ternak, diantaranya nutritional muscular
dystrophy. Hijauan dan pakan biji-bijian secara alami mengandung selenium dalam konsentrasi yang
beragam tergantung pada kandungan selenium di tanah tempat tumbuhnya (McDowell dkk., 1983).
Kebutuhan minimum selenium pada sapi pedaging menurut standar NRC 1996 adalah 0,1 ppm di dalam
ransumnya.
Selenium organik merupakan mineral yang memiliki peran penting dalam proses pertumbuhan ternak.
Suplementasi selenium dapat meningkatkan efisiensi pakan, mengurangi stres oksidatif serta dapat
meningkatkan daya simpan produk ternak, di antaranya daging.

versi elektronik
Selenium juga merupakan unsur pada enzim Glutathione peroxidase (GSH-Px). Enzim ini berperan
sebagai katalisator pada proses dekomposisi hidroksiperoksida lemak, yaitu suatu radikal bebas yang
dapat merusak sel, menjadi suatu produk yang tidak reaktif. Pada jaringan otot, fungsi selenium sebagai
antioksidan masih tetap ada walaupun ternak sudah mati. Hal ini menyebabkan proses oksidasi pada
daging dapat ditunda, sehingga mencegah perubahan cita rasa (flavour) dan nilai gizi daging tersebut
dapat dipertahankan lebih lama.

156
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Selenium organik akan mengalami by pass rumen lalu memasuki saluran usus tanpa mengalami
perubahan. Selenium organik dapat juga bergabung dengan protein mikrobial rumen. Kemudian ia
melepaskan diri menjadi elemen selenium pada saat protein mikrobial dicerna untuk diabsorbsi di usus.
Selenomethionine berada di dalam darah melalui mekanisme transpor asam amino yang spesifik (Combs

versi elektronik
dan Combs, 1986). Selenium organik yang berada di lumen usus ditranspor ke sel-sel mukosa dengan
suatu karier khusus yang membutuhkan energi dan memasuki peredaran darah melalui vena porta
(Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Selanjutnya, selenomethionine akan bergabung menjadi selenoprotein
atau diretensi pada jaringan protein tubuh (Combs dan Combs, 1986).
Selenium organik dapat dicerna dengan mudah dan diserap dengan baik oleh darah untuk digunakan
dalam proses metabolisme tubuh. Apabila jumlahnya sudah mencukupi untuk fungsi fisiologis tubuh,
maka kelebihannya akan dideposisikan di dalam otot. Cadangan selenium organik dalam otot dengan
mudah dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh, misalnya sebagai unsur utama
antioksidan (Rayman, 2002).
pH ultimat adalah pH akhir daging yang dicapai setelah glikogen otot habis atau setelah glikogen tidak
sensitif lagi terhadap pengaruh enzim glikolitik (Soeparno, 1992). pH ultimat daging sapi berkisar antara
5,3 – 5,6 (Forrest, dkk., 1975). Peningkatan pH ultimat dapat meningkatkan keempukan daging, daya

versi elektronik
mengikat air, dan jus daging.
Selenium, bersama-sama dengan vitamin E, merupakan komponen penting sebagai antioksidan pada
jaringan hidup. Vitamin E memiliki kemampuan untuk menghambat radikal bebas yang dapat memulai
dan memperbanyak terjadinya proses oksidasi lemak. Selenium merupakan unsur di dalam enzim GSH-
Px yang berperan sebagai katalisator pada proses dekomposisi hidroperoksida lemak menjadi suatu
produk yang tidak reaktif.
Reaksi oksidatif pada daging menyebabkan kerusakan sel yang mengakibatkan nilai nutrisi dan kualitas
daging menurun. Antioksidan endogenous dapat mengontrol proses oksidasi pada jaringan. Salah satu
enzim antioksidatif adalah glutathione peroxidase (Chan dan Decker, 1994). Penambahan antioksidan
pada pakan dapat meningkatkan stabilitas oksidatif pada daging dan selanjutnya memperbaiki kualitas
daging. Suplementasi selenium pada ransum, dapat menurunkan oksidasi lemak pada daging ayam
Pada jaringan otot, fungsi selenium sebagai antioksidan masih tetap ada walaupun ternak tersebut sudah
mati. Hal ini menyebabkan proses oksidasi pada daging dan produk asal daging dapat ditunda (Faustman,

versi elektronik
dkk., 1989). Penundaan proses oksidasi tersebut sangat penting artinya karena dapat mencegah
perubahan flavor dan nilai gizi daging tersebut, baik dalam keadaan daging segar, daging beku, maupun
daging olahan.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Enam belas ekor
sapi jantan kastrasi Brahman Cross (BX) berumur antara 24-36 bulan dipilih dari PT Citra Agro Buana
Semesta di Malangbong, Garut. Rata-rata berat badan sapi adalah 293,69 kg (koefisien variasi 4,45%).
Sapi-sapi tersebut dibawa ke lokasi penelitian di Teaching Farm Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran, Jatinangor untuk di rekondisikan selama 15 hari. Selama masa rekondisi, sapi diberikan
ransum asal dan ransum penelitian secara gradual.
Sapi-sapi tersebut dipelihara di dalam kandang individual. Penempatan sapi dilakukan secara acak
setelah dikelompokan secara random ke dalam empat kelompok perlakuan. Perlakuan yang diberikan

versi elektronik
adalah pemberian ransum lengkap yang telah ditambahkan dengan 0,3 ppm Se organic dan diberikan
dalam jangka waktu yang berbeda, yaitu pemberian selama 25 hari (P25), 50 hari (P50) dan 75 hari (P75).
Kontrol perlakuan (P0) adalah pemberian ransum tanpa Se organik. Setiap perlakuan diulang empat kali.
Se organik yang dipakai adalah produk komersial dalam bentuk Selenium-yeast. Ransum penelitian
berupa Rumput Gajah (Penissetum purpureum) segar dan konsentrat yang tersusun dari ampas kecap,

157
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
bungkil kopra, dedak padi, gaplek, onggok dan polard. Ransum tersebut mengandung Protein kasar 16%
dan TDN 71,025%. Pemberian ransum dan air minum dilakukan secara adlibitum.
Pemotongan sapi dilakukan di RPH Karawaci, Kabupaten Tangerang. Sampel daging berasal dari otot

versi elektronik
longissimus dorsi yang diambil dari karkas yang telah mengalami aging selama 24 jam pada suhu 4oC.
Sampel daging dibawa ke laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan IPB untuk selanjutnya
dilakukan pengukuran pH, drip loss dan uji awal pembusukan.
Alat-alat yang Digunakan
1. pH meter untuk mengukur pH daging (TOA - DKK. HM – 20P)
2. Alat-alat pengujian Driploss: neraca kapasitas 10 g, gelas plastik, gunting, benang dan pinset
3. Alat-alat untuk uji awal pembusukan (Uji Postma): pinset, gunting/pisau, gelas Erlenmeyer,
corong kaca, cawan petri, pipet, timbangan kapasitas 5 g, stomacher, dan penangas air.
Bahan-bahan Penelitian
1. Sampel daging (loin) sebanyak 100 gr
2. Larutan standar pH 4, pH 7, dan akuades
3. Kertas saring, kertas lakmus merah, dan MgO

versi elektronik
4. Kantong plastik, benang, dan kawat
Variabel Penelitian:
pH daging
pH daging diukur dengan pH-meter pada daging post rigor. Nilai pH sampel merupakan rata-rata nilai
pH pada dua tempat pengukuran yang berbeda pada sampel.
Drip loss
Drip loss adalah cairan yang keluar dari daging tanpa adanya penekanan dari luar. Pengukuran dilakukan
pada sampel seberat 5 gram yang disimpan tergantung dalam gelas plastik tertutup selama 48 jam di
refrigerator bersuhu 7oC (Lukman dan Purnawarman, 2008).
Uji Awal Pembusukan (Uji Postma)

versi elektronik
Dilakukan untuk mengetahui awal terjadinya pembusukan. Gas NH3 yang dihasilkan dari proses
pembusukan daging akan dibebaskan melalui proses pemanasan dan penambahan MgO.
Prosedur Pengujian dilakukan menurut metode dari Lukman dan Purnawarman, 2008.
Data pengamatan pada parameter yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Perbedaan
antarperlakuan diuji dengan uji Duncan. Model matematika yang digunakan adalah model linier, dengan
persamaan Yij = µ + αi + εij (Gaspersz, 2006)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan menunjukan bahwa pH daging terendah terdapat pada perlakuan P50, yaitu 5,32. Nilai
pH semakin meningkat pada perlakuan P25, P0 dan P75 secara berturut-turut nilainya adalah 5,34; 5,35 dan
5,36. Nilai tersebut berada dibawah nilai pH ultimat daging, yaitu antara 5,41 – 5,80 (O’Grady, dkk.,
2001). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, perlakuan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata pada
pH daging (P>0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian O’Grady, dkk. (2001) dan Vignola,

versi elektronik
dkk. (2009) yang tidak mendapatkan adanya perbedaan yang nyata pada pH daging. Sementara itu,
O’Grady, dkk. (2001) melaporkan pH pada penelitiannya berada pada nilai 5,25 – 6,43.

158
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Hasil Pengamatan terhadap pH dan Drip loss Daging Sapi BX yang Berasal dari Penelitian
Pemberian Se Organik dalam Jangka Waktu yang Berbeda.

versi elektronik
Rataan Hasil Pengamatan
Parameter yang Diamati
P0 P25 P50 P75
pH Daging 5,35 5,34 5,32 5,36
Driploss (%) 11,46b 9,07a 8,84a 8,92a

Keterangan: huruf yang berbeda pada deret yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata

Rataan jumlah cairan daging yang hilang selama penyimpanan (driploss) akibat perlakuan yang terendah
adalah pada perlakuan P50 sebesar 8,84%. Persentase driploss menjadi lebih besar nilainya pada P75, P25
dan P0, yaitu 8,92; 9,07 dan 11,46. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(P<0,05) pada drip loss sebagai akibat dari perlakuan yang diberikan pada ternak.

versi elektronik
Driploss berkurang pada daging yang berasal dari ternak yang mendapatkan suplemen Se organik.
Penurunan drip loss pada penelitian ini berkaitan dengan kandungan Se pada daging, yaitu pada
kandungan Se yang lebih banyak, maka drip loss akan semakin rendah. Banyaknya kandungan Se pada
daging dipengaruhi oleh lama pemberian Se pada ternak tersebut Penurunan driploss terjadi karena
integritas membran sel otot (myofibril) dapat dipertahankan oleh adanya Se organik yang berfungsi
sebagai antioksidan, yang mencegah terjadinya oksidasi lipid (den Hertog-Meischke, dkk. dalam Vignola,
dkk., 2009). Myofibril yang tetap utuh menyebabkan protein-nya mampu mengikat air sehingga
mencegah pengerutan yang berarti penurunan driploss.
Penelitian lain yang menunjang hasil penelitian ini dilakukan oleh Gang-Li, dkk. (2010) yang
memberikan Se-yeast pada babi dengan dosis bertingkat. Dilaporkan mereka bahwa semakin meningkat
dosis pemberian Se, maka driploss semakin menurun. Penurunan driploss ini berkaitan dengan
peningkatan secara kuadratik gen Sepw1 pada rantai mRNA pada jaringan otot yang diamati.
Uji awal kebusukan (Uji Posma) telah dilakukan untuk mengetahui daya simpan daging. Hasil uji

versi elektronik
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Posma pada Daging Sapi BX yang Mendapatkan Suplementasi Se Organik
P0 P25 P50 P75
+ + - -
+ Dubius Dubius -
+ + - -
+ Dubius Dubius Dubius

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pada kelompok perlakuan kontrol (P0) sudah terjadi awal pembusukan
pada 24 jam penyimpanan di suhu ruangan, sementara pada perlakuan P25 terjadi pembusukan pada 50%

versi elektronik
sampelnya dan sisanya memberikan hasil dubius (berada diantara positif – negative). Pada waktu yang
bersamaan, sampel daging pada perlakuan P50 masih ada yang belum mengalami pembusukan, sedangkan
sebagian lainnya menunjukkan hasil dubius. Sebanyak 75% sampel daging pada perlakuan P75 masih
belum mengalami awal pembusukan, sedangkan sisanya dubius.
Kesegaran daging pada perlakuan P75 yang masih dapat dipertahankan dalam waktu 24 jam bersesuaian
dengan kandungan Se darah dan aktivitas GSH-Px darah yang nyata lebih tinggi daripada perlakuan

159
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kontrol (P0). GSH-Px berfungsi sebagai antioksidan sehingga dapat memelihara keutuhan membran sel
dari kerusakan oksidatif. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian DeVore dan Greene (1982) yang
melaporkan adanya korelasi positif antara kandungan selenium di dalam jaringan dan aktivitas GSH-Px
yang diperoleh dari suplementasi selenium pada ransum ternak, terhadap stabilitas oksidatif daging.

versi elektronik
Penelitian Juniper, dkk. (2009) meneguhkan hasil penelitian ini, dimana mereka membuktikan bahwa
stabilitas oksidatif daging meningkat dengan bertambahnya kandungan selenium di jaringan otot.

KESIMPULAN
Pemberian suplemen Se organik 0,3 ppm dalam ransum selama 25 hari, dapat menurunkan persentase
drip loss pada daging sapi BX sebanyak 2,39%. Pemberian yang lebih lama hingga 75 hari dapat
meningkatkan daya simpan daging sapi BX sebanyak 75%. Suplementasi Se organik dapat
direkomendasikan untuk digunakan pada ransum ternak agar memperlama daya simpan daging sapi.

DAFTAR PUSTAKA
Bender, A. E. 1975. Nutritional value of meat. Dalam: Meat. Ed. D.J.A. Cole and R.A. Lawrie.
Butterworth Pty. Ltd., Melbourne. Hal.: 443-449
Chan, K.M. and E.A. Decker. 1994. Endogenous skeletal muscle antioxidants. Crit. Rev. Food Sci.

versi elektronik
Nutr. 34(4):403-426.
Clyburn, B.S. 2002. Effect of Sel-Plex (organic selenium) and vitamin E on performance, immune
response and beef cut shelf life of feedlot steer. Disertasi. Texas Tech University.
Combs, G. F. and S. B. Combs. 1986. Selenium deficiency diseases of animals. Dalam: The role of
selenium in Nutrition. Academic Press, Inc. San Diego.
DeVore, V.R. and B. E. Greene. 1982. Gluthatione peroxidase in post-rigor bovine semitendinosus
muscle. J. Food Sci. 47:1406-1409.
Dilaga, S.H. 1992. Nutrisi Mineral Pada Ternak (Kajian khusus unsure selenium). Edisi pertama.
Akademika Pressindo. Jakarta.
Faustman, C. and R. G. Cassens. 1989. Strategies for improving fresh meat color. Proceeding 35th
International Congress of Meat Science and Technology, August 20-25, 1989, Copenhagen,

versi elektronik
Denmark.
Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat
Science. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Gang Li-Jun, Ji-Chang Zhou, Hua Zhao, Xin-Gen Lei, Xin-Jie Xia, Ge Gao and Kang-Ning Wang. 2010.
Enhanced water-holding capacity of meat was asscociated with increased Sepd Sepw1 gene
expression in pig fed selenium-enriched yeast. Meat Science. 87:95-100.
Gaspersz, V. 2006. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Cetakan ke-3. Penerbit Tarsito.
Bandung. 396 – 405.
Juniper, D.T., R.H. Phipp, E. Ramos-Morales and G. Bertin. 2009. Effect of dietary supplementation
with selenium enriched yeast or sodium selenite on selenium tissue distribution and meat quality
in lambs. Anim. Feed Sci. Technol. 149:228-239.
Lukman, D.W. dan T. Purnawarman (ed). 2008. Higiene Pangan. Penuntun Praktikum. Bagian

versi elektronik
Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen Ilmu Penyakit hewan dan Kesmavet. Fakultas
Kedokteran Hewan IPB
Mahan, D. C. 1999. Organic selenium: using nature’s model to redefine selenium supplementation for
animals. Dalam: Proceedings of Alltech’s 15th Annual Symposium. Nottingham University
Press. United Kingdom. 523.

160
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Mc Dowell, L.R., J.H. Conrad, G.L. Ellis and J.K. Loosli. 1983. Mineral for grazing ruminant in
tropical agriculture. Univ. of Florida.
Mulyani Nurwantoro,V., P. Bintoro, A. M. Legowo, A. Purnomoadi, L.D. Ambara, A. Prakoso dan S.

versi elektronik
Mulyani. 2012. Nilai pH, kadar air dan total Escheria coli daging sapi yang dimarinasi dalam jus
bawang putih. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 1 (2): 20-22.
O’Grady, M. N., F.J. Monahan, R. J. Fallon and P. Allen. 2001. Effects of dietary supplementation with
vitamin E and organic selenium on the oxidative stability of beef. J. Anim. Sci. 79:2827–2834.
Rayman, M.P. 2002. Selenium: Essential constituent of the human diet. Feeding times. 7(2): 3-4
Vignola, G., L. Lambertini, G. Mazzone, M. Giammarco, M. Tassinari, G. Martelli and G. Bertin. 2009.
Effect of selenium source and level of supplementation on the performance and meat quality of
lambs. Meat Science. 81:678-685.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 161


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 162


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 163


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

KERAGAAN MANAJEMEN USAHA KERBAU RAWA DI KECAMATAN BATI-BATI


KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN
Anis Wahdi

versi elektronik
Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Univ. Lambung Mangkurat; email : ent.anis@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya dugaan potensi yang besar menyangkut pengembangan ternak
kerbau rawa di kabupaten Tanah Laut, namun belum tersedia informasi yang memadai mengenai kondisi
eksisting dilokasi budidaya ternak tersebut. Tujuan yang ingin dicapai antara lain untuk mengeksplorasi
informasi menyangkut teknis budidaya, kelembagaan yang terlibat serta kemungkinan adanya masalah
dan peluang pengembangan. Metode yang digunakan adalah survey melakukan penambangan data primer
(terkait pengelolaan kerbau di lokasi pemeliharaan) maupun data sekunder (sumber sumber yang
kompeten). Lokasi penelitian ini di desa Banua Raya, kecamatan Bati-Bati Kabupaten Tanah Laut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara kelembagaan telah terpola pembinaan yang saling sinergis antara
beberapa instansi teknis serta kelompok ternak pemelihara kerbau rawa. Kerbau rawa dipelihara secara
ekstensif, untuk tujuan tabungan dan menambah pendapatan keluarga. Basis usaha yang dijalankan adalah
pembibitan, dan terlihat masih banyak kendala dalam penanganan reproduksi dan kesehatan ternak.

versi elektronik
(sering dijumpai kematian anak di musim hujan dan tingginya investasi cacing disaluran pencernaan).
Potensi pakan yang tersedia cukup berlimpah dipadang penggembalaan, yang ditumbuhi oleh paling tidak
13 jenis hijauan pakan ternak. Tiga jenis diantaranya yang paling disukai adalah Padi hiyang (Oryza
rofipogon), rumput minyak (Paspalum commersonii) dan rumput Banta (Panicum paludosum).
Disimpulkan potensi pengembangan masih terbuka jika dilihat potensi padang penggembalaan yang
tersedia, namun perlu diikuti dengan pengembangan sumber daya peternak dan pengembangan
infrasutruktur pemeliharaan. Disarankan perlunya revitalisasi kelompok ternak pemeliharaan kerbau
rawa, pengembangan usaha kearah pembesaran/penggemukan selain pembibitan yang sudah dijalankan.
Kata Kunci : Kerbau rawa, kabupaten Tanah Laut

PENDAHULUAN
Latar Belakang

versi elektronik
Potensi ternak kerbau di Indonesia saat ini menjadi penting sebagai sumber daging alternatif setelah
daging berasal dari sapi potong belum mampu mencukupi kebutuhan daging nasional. Program
Kementerian Pertanian untuk swasembada sapi potong tahun 2005 belum berhasil selanjutnya diteruskan
dengan program Percepatan Swasembada Daging Sapi 2010 dan yang terakhir Program Percepatan
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau.
Dilihat dari jenisnya, kerbau di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kerbau Rawa dan kerbau
sungai. Kerbau rawa mempunyai potensi pengembangan yang lebih luas, mengingat potensi lahan rawa di
Indonesia yang cukup besar.
Kalimantan Selatan dengan luas 36.985 km2, memiliki lahan rawa seluas 800.000 ha yang terdiri atas
rawa pasang surut seluas 200.000 ha, rawa monoton seluas 500.000 ha dan dataran banjir seluas 100.000
ha (Mursyid dan Rifani, 1998). Rawa di Kalimantan Selatan dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber
nafkah sehari-hari, seperti perikanan air tawar alami, peternakan itik, pertanian dan hortikultura, serta
peternakan kerbau rawa. Bagian rawa yang sulit dimanfaatkan untuk pertanian karena tingginya genangan

versi elektronik
air dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai padang penggebalaan kerbau rawa (Bubalus bubalis Linn)
(Hardiansyah dan Noorhidayati, 2001).
Peternakan kerbau rawa secara tradisional di Kalimantan Selatan terdapat di tiga kabupaten yaitu Hulu
Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Barito Kuala. Terbesar ada di Kecamatan Danau Panggang,
Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Populasi ternak kerbau rawa di Kalimantan Selatan saat ini ditaksir
sekitar 12.000 sampai 15.000 ekor (Anonim, 2001). Kecamatan Bati Bati, salah satu kecamatan di

164
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kabupaten Tanah Laut, juga mempunyai potensi pengembangan kerbau rawa. Oleh Pemerintah
kabupaten Tanah Laut potensi kerbau rawa tersebut bahkan telah dimanfaatkan untuk wisata.
Produktivitas ternak kerbau rawa saat ini masih rendah. Berat hidup ternak kerbau rawa dewasa yang

versi elektronik
dijual oleh petani rata-rata 450 kg (± 200 kg daging) (Anonim, 2001). Hal ini antara lain disebabkan oleh
pemeliharaan ternak kerbau rawa yang masih bersifat ekstensif dan tradisional. Kerbau rawa yang
digembalakan di padang penggembalan sepenuhnya tergantung pada vegetasi alam yang tumbuh di rawa-
rawa tersebut, sehingga produktivitasnya sangat tergantung kepada vegetasi rawa sebagai pakan utama
(Hardiansyah dan Noorhidayati, 2001).
Potensi kerbau rawa baik yang berada di daerah utama pengembangan maupaun di kecamatan Bati Bati
belum sepenuhnya dieksplorasi potensinya. Perlu dilakukan kajian menyangkut kondisi eksisting
tatalaksana pemeliharaannya. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan sebagai data awal (base line)
pola pengembangannya, yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
peternak kerbau rawa.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengeksplorasi kondisi eksisting pengelolaan kerbau rawa dikecamatan Bati Bati menyangkut

versi elektronik
aspek bibit, perkandangan, pakan, reproduksi, produktivitas, penanganan kesehatan serta nilai
ekonomis kerbau rawa.
2. Mengetahui arah kebijakan pemerintah kabupaten Tanah Laut terkait pengembangan kerbau rawa
di Bati Bati
3. Membuat rekomendasi menyangkut pengembangan kerbau rawa selanjutnya yang
memungkinkan peningkatan produksi dan reproduktivitas kerbau rawa.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Data yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar (base line) untuk
mengembangkan kerbau rawa selanjutnya, baik dari sisi teknis, kebijakan maupaun sosial
ekonominya.
2. Rekomendasi yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai masukan pemerintah daerah
dalam rangka pengembangan ternak kerbau rawa tersebut.
Tinjauan Pustaka

versi elektronik
Identifikasi Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn)
Camoens (1976) dalam jaelani (2011) menguraikan sistematika kerbau rawa sebagai berikut :
Kelas : Mamalia
Ordo : ungulata
Sub ordo : artiodactyla
Sub familia : bovinae
Genus : bubalus
Sub genus : bubalinae
Spesies : Bubalus bubalis

versi elektronik
Kerbau rawa adalah hewan berdarah panas (homoioterm) yang pusat pengaturan panas tubuhnya mulai
bekerja mempertahankan panas tubuh bila suhu lingkungan di atas atau di bawah zona nyaman. Menurut
Fahimuddin (1975), zona nyaman untuk kerbau berkisar antara 15,5 oC sampai 21 oC. Di atas suhu 24 oC
kerbau rawa sudah mengalami stress. Suhu lingkungan 36,5 oC merupakan batas kritis bagi mekanisme
termoregulasi.

165
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Karakteritik reproduksi jelas berbeda antara kerbau rawa dengan kerbau sungai, sebagaimana terlihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat-sifat Reproduksi Kerbau Rawa dan Kerbau Murrah

versi elektronik
Sifat-sifat Bangsa Kerbau
Reproduksi Kerbau Rawa Kerbau Sungai
Umur kawin pertama (tahun) 2,50 (1,6 – 3,0) -
Lama bunting (hari) 315 – 335 308 – 314
Umur beranak pertama (tahun) 4,30 (3,0 – 6,0) 4,00 – 4,30
Siklus berahi (hari) 20 – 28 22 – 37
Lama berahi (jam) 12 – 36 24 – 48
Angka kelahiran (%) 30 – 60 -
Selang beranak (tahun) 1,50 – 2,00 -
Servis perconseption * 1,60 – 2,00 1,40 – 2,10
Angka kebuntingan* 36,00 – 82,00
a. Secara alami 63,20
b. Inseminasi buatan 57,90

versi elektronik
Sumber : Chantalakhana, 1980 *) Toelihere, 1981 dalam Busono (1993)

Kerbau rawa di Kalimantan Selatan, telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu, yaitu sejak zaman
kerajaan Banjar, masa penjajahan hingga era pembangunan dewasa ini. Asal usul kerbau rawa ini tidak
ada yang mengetahui secara pasti. Kerbau ini menurut legenda, berasal dari daratan Cina yang dibawa
oleh orang-orang Cina yang datang ke Kalimantan untuk mengerjakan pahatan candi pada waktu itu,
tetapi ada pula sebagian yang mengatakan kerbau ini berasal dari Sulawesi Selatan (Anonim, 2001).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kerbau ini populer dengan nama kerbau kalang. Kalang adalah kandang
kerbau yang terbuat dari tumpukan kayu yang tahan terendam di dalam air. Tinggi kalang berkisar antara
3 - 5 m. Kalang ini merupakan pelataran tempat kerbau-kerbau tersebut beristirahat di tengah-tengah rawa
yang luas tanpa atap, sehingga dari jauh nampak seperti pulau di tengah rawa.
Populasi ternak kerbau rawa yang paling banyak terdapat di Desa Sapala Kecamatan Danau Panggang,
Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan jumlah populasi 1.379 ekor, diikuti oleh Desa Paminggiran dengan
jumlah populasi 556 ekor, Desa Tampakang 500 ekor, dan Desa Sungai Buluh sebanyak 437 ekor.

versi elektronik
Tingginya jumlah populasi ternak kerbau di empat desa tersebut juga didukung oleh ketersediaan lahan
seluas 380,62 km2 yang memiliki argroekosistem rawa terluas di Kalimantan Selatan, dan lahan ini
ditumbuhi oleh vegetasi rawa ang merupakan bahan pakan utama bagi ternak kerbau rawa (Putu dkk.,
1993).
Hasil penelitian Jaelani (2011) menyatakan bahwa Kotamadya Banjarmasin dan Kabupaten Tanah Laut
memiliki persentase pemanfaatan lahan yang cukup tinggi dibanding kabupaten lain, hal ini berarti selain
2 daerah tersebut memiliki kapasitas tampung yang cukup besar sehingga peluang penambahan satuan
ternak masih cukup tinggi.
Terhadap keberagaman fenotipik gan genetik kerbau rawa di Kalimantan Selatan hasil penelitian
Khairunnisa (2008) menunjukkan bahwa hasil analisis data keragaman fenotipberdasarkan pengukuran
dengan parameter lingkar badan, ukuran kepala, panjang leher, panjang ekor, panjang tanduk panjang
kaki, dan panjang tubuh total menunjukkan dari 7 sampel yang dianalisis terdapat variasi ukuran, namun
tidak berbeda jauh.

versi elektronik
Begitu pula data pengamatan fenotip berdasarkan parameter yang diamati seperti bentuk tubuh, warna
tubuh, warnamata, bentuk ekor, dan bentuk tanduk menunjukkan adanya variasi yang cukup terlihat pada
warna tubuh dan bentuk tanduk, sedangkan parameter lainnya tidak jauh berbeda. Selanjutnya untuk data
genetik terdapat keragaman genetik kerbau rawa Kalimantan pada tiga populasi yang diambil yaitu
Awayan, Telaga Selaba dan Sungai Buluh.

166
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Hasil pengamatan tersebut diperkuat oleh Tjatur Imbang Sasono (2011) yang menunjukkan bahwa variasi
kerbau rawa populasi Awayan, Telaga Selaba dan Sungai Buluh (tiga daerah utama pengembangan
kerbau rawa di Kalsel) hasil pengukuran dan pengamatan fenotip menunjukkan perkerabatan tidak terlalu
jauh, kerbau rawa Awayan dan Telaga selaba secara kebetulan menunjukkan monorfik karena baik

versi elektronik
frekuensi alel dan nilai heterozigositas serta nilai polimorfiknya rendah atau variasi genetik rendah berarti
perkerabatan sangat dekat
Pemeliharan Kerbau Rawa
Penggembalaan kerbau rawa yang dilakukan penduduk setempat adalah secara tradisional, yakni pada
siang hari kerbau di lepas ke rawa dan pada sore hari di giring ke kalang dengan menggunakan jukung
(sampan) (Noorhidayati dan Hardiansyah, 2001). Kerbau digembalakan pada saat air pasang berkisar
antara 8 – 9 jam, lama merumput sekitar 5 – 6 jam. Jarak yang ditempuh pada waktu merumput sekitar
2 km dari kalang yang digiring oleh penggembalanya. Kerbau pada saat berenang menyelam untuk
mencari batang rumput yang tumbuh saat air pasang. Pada saat istirahat, semua anggota kelompok
mencari tempat yang dangkal sebatas perut dan bisa sambil berbaring dan merumput. Pada musim
kemarau, semua kerbau turun dari kalang dan merumput ke hutan. Pada saat itu semua kerbau tidak
kembali ke kalangnya sampai musim penghujan tiba. (Putu dkk., 1993). Dengan demikian, produktivitas

versi elektronik
kerbau rawa tersebut sepenuhnya tergantung pada sumberdaya vegetasi rawa sebagai sumber pakan utama
(Noorhidayati dan Hardiansyah, 2001)
Cara pemeliharaan kerbau rawa ada dua sesuai dengan keadaan musim, yaitu cara musim hujan dan cara
musim kemarau. Rawa lebak merupakan habitat utama kerbau, sumber pakan sepenuhnya berasal dari
hijauan yang ada di rawa. Ketika musim hujan, rawa tersebut akan menjadi banjir dan vegetasi yang
palatable menjadi pakan utama ternak kerbau. Vegetasi tersebut akan tumbuh melimpah terutama padi
hiang, kumpai mining, kumpai minyak, dan purun tikus. Ketika musim kemarau, ketersediaan pakan di
rawa akan menjadi masalah serius bagi peternak. Kerbau yang dipelihara umumnya mencari ke tempat
yang cukup jauh dari kandang terutama pada puncak musim kemarau, akibatnya energi jelajah yang
dikeluarkan relatif besar, sehingga memerlukan ketersediaan energi yang lebih besar. Kondisi seperti ini
kerbau tidak lagi memilih pakan yang dimakan, jenis vegetasi yang non palatable akan menjadi pakan
alternatif yang akan dimakan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi tingkat produktivitas kerbau rawa
(Hardiansyah dan Noorhidayati, 2001).

versi elektronik
Bahan Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa
Pakan ternak kerbau rawa (kalang) berasal dari rumput-rumput rawa yang terbentang luas di padang
penggembalaan yang umumnya mengapung di permukaan air. Jenis-jenis rumput di padang rumput rawa
tidak begitu banyak bervariasi. Famili Gramineae tampil sebagai asosiasi paling dominan, sedang famili
Leguminoseae kehadirannya menjadi tumbuhan pengganggu (gulma) (Anonim, 2001).
Ternak kerbau mempunyai sifat selektif dalam merumput (Anonim, 2001). Hardiansyah dan Noorhidayati
(2001) telah berhasil mengidentifikasi vegetasi yang palatable (disukai) dan non palatable (yang tidak
disukai) oleh kerbau rawa di padang penggembalaan kerbau rawa. Selanjutnya dijelaskan bahwa, dari
lima jenis vegetasi yang disukai tersebut : purun tikus, padi hiang, dan kumpai mining sangat disukai
oleh kerbau rawa. Kumpai minyak tidak begitu disukai oleh kerbau rawa, karena rumput ini mengandung
lendir berminyak, dan bila banyak dikonsumsi akan menyebabkan kerbau mencret.
Andi Syarifuddin dan Anis Wahdi (2004) telah melakukan evaluasi kandungan nutrisi lima jenis pakan

versi elektronik
alami ternak kerbau rawa yang palatable tersebut disajikan pada Tabel 2, kemudian dilanjutkan dengan
evaluasi kecernaan pada tahun 2005, disajikan pada Tabel 3.

167
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 2. Evaluasi Kandungan Nutrisi Lima Jenis Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa yang Palatable
Kandungan Nutrisi (%)* Jenis Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa
Padi Hiang Kumpai Kumpai Sempilang Purun Tikus

versi elektronik
Mining Minyak
Bahan Kering 20,04 23,07 16,65 39,47 10,08
Protein Kasar 13,22 8,14 11,38 8,18 11,06
Serat Kasar 25,54 31,48 28,63 24,81 29,47
Lemak 1,97 1,81 1,80 1,22 1,27
BETN 38,29 50,44 44,89 56,98 39,65
Kadar Abu 20,98 8,13 13,30 8,81 18,55
Calsium (Ca) 0,40 0,40 0,51 0,33 0,29
Phospor (P) 0,84 0,69 0,85 0,80 0,77
ADF 56,14 61,41 54,18 48,88 53,80
NDF 72,95 74,78 73,01 80,48 71,24
Selulosa 41,60 25,08 22,32 21,97 23,48
Hemiselulosa 16,81 13,37 18,83 31,60 17,44
Lignin 14,54 36,33 31,86 26,91 30,32

versi elektronik
Keterangan : * ) semua hasil dinyatakan dalam persen bahan kering (0% air).
Tabel 3. Evaluasi Kecernaan In Vitro Empat Jenis Pakan Hijauan Alami Ternak Kerbau Rawa
Hasil Evaluasi Jenis Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa
(%)* Padi Hiang Kumpai Kumpai Sempilang
Mining Minyak
Bahan Kering 17,28 13,02 14,93 27,71
Kecernaan Bahan Kering 56,27 63,55 45,08 89,48
Kecernaan Bahan Organik 53,77 63,80 46,19 48,53
Kecernaan Protein Kasar 78,83 77,01 81,71 86,57
Kecernaan Serat kasar 20,15 50,38 43,81 32,90
Keterangan : * ) semua hasil dinyatakan dalam persen bahan kering (0% air).
Tabel 4. Kandungan nutrisi rumput lokal Kalimantan Selatan

versi elektronik
Jenis Rumput Kandungan Nutrisi
Lokal Bahan kering (%) Protein Kasar (%) TDN (%)
Petungan 84,66 11 52,22
Adas-adas 88,28 10 48,40
Gabusan 75,95 10,12 49,53
Kembangan 87,83 8,88 46,38
Pring-pringan 86,66 11 52,22
Abangan 58,25 11,12 52,22
Pahitan 80,65 12 52,20
Kerpaan 83,70 11,25 51,85
Jagungan 83,70 11,25 51,85
Banta 86,36 8,75 50,15
Teki 89,70 5,62 52,52

versi elektronik
Kerangkongan 57,94 12,69 49,69
Lulangan 82,80 9 45,30
Puyangan 81,32 9,12 51,42
Lamuran 88,84 8,81 50,51
Grinting 90,38 10,69 51,29
Gabusan Merah 67,32 12,38 52,38

168
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pahitan Keriting 87,36 9,31 47,21
Perumpungan 73,38 13,06 50,86
Lulangan Hijau 69,19 14,44 54,74
Sumber : Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, 2000

versi elektronik
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Bati Bati kabupaten Tanah Laut, yang melibatkan desa dan
kelompok ternak yang mengembangkan kerbau rawa. Penelitian ini berlangsung selama 1 (satu) bulan
yang dimulai pada minggu pertama sampaiminggu terakhir bulan Desember 2012.
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan metode survey. Survey
dilakukan didaerah sasaran untuk memperoleh data-data yang diperlukan. Selanjutnya data-data tersebut
akan dianalisis secara deskriptip untuk mengabarkan kondisi eksisting manajemen pemeliharaan, dan
kebijakan pemerintah daerah. Dari hasil deskripsi data-data tersebut selanjutnya dilakukan sintesa untuk
menghasilkan suatu rekomendasi pengembangan kerbau rawa.
Sumber dan Jenis Data

versi elektronik
Data penelitian diperoleh dari beberapa sumber sesuai dengan jenisnya. Data primer diperoleh dengan
cara melakukan penambangan data secara langsung di lapang. Metode yang digunakan antara lain
observasi langsung terhadap objek (lahan, jenis pakan, kandang, dan ternak) maupun melalui wawancara
dengan khalayak sasaran yang sesuai dengan data yang ingin diperoleh.
Data sekunder yang merupakan data dukung dalam penelitian ini diperoleh dengan cara menggali data
dari dokumen dokumen yang relevan.
Parameter yang diamati
Parameter yang diamati, antara lain :
• Letak geografis lokasi penelitian
• Dinamika klimatik, yang menggambarkan sebaran musim kemarau dan musim hujan, terkait
dengan pengelolaan ternak di padang penggembalaan

versi elektronik
• Peran kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan kerbau rawa
• Dampak sosial dan ekonomi pemeliharan kerbau rawa terhadap peternak kerbau rawa
• Aspek manajemen pemeliharaan, menyangkut : dinamika populasi selama 2 tahun terakhir, bibit
ternak, pakan dan pemberian pakan, perkandangan, penanganan kesehatan, reproduktivitas,
produktivitas dan pengelolaan secara umum yang dilakukan serta pemasaran ternak kerbau yang
dipelihara.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptip sesuai dengan bidang bahasan, dan selanjutnya
melakukan sintesa dari deskripsi tersebut untuk dapat membuat rekomendasi pengembangan yang sesuai.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Letak geografis lokasi penelitian

versi elektronik
Secara geografis, Kecamatan Bati-Bati terletak di Kabupaten Tanah Laut dengan posisi sebelah timur dan
selatan berbatasan dengan kecamatan Tambang Ulang, sebelah barat dengan kecamatan Kurau, sebelah
utara dengan wilayah Kota Banjarbaru dan kabupaten Banjar, dan. Di kecamatan Bati-Bati ini terdiri dari
14 desa, dimana salah satu desa bernama Benua Raya, terdapat pusat pengembangan ternak kerbau rawa.
Secara geografis, desa Benua Raya berbatasan sebelah utara dengan desa Bati Bati, sebelah selatan
dengan desa Gunung Raja, sebelah barat dengan desa Kalibesar dan sebelah timur dengan desa Martadah.

169
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Luas wilayah desa Benua Raya adalah 1.300 ha, yang terdiri dari :
Sawah tadah hujan 840 ha
Lahan gembala kerbau 200 ha

versi elektronik
Pemukiman/pekarangan 33 ha
Lahan rawa 222 ha
Tanah Kas Desa 5 ha
Desa Banua Raya tersebut mempunyai potensi rawa yang sangat luas dan terhubung dengan rawa di
kecamatan lain, baik kecamatan Kurau maupun Kabupaten Banjar. Lokasi rawa ini dilalui oleh sebuah
sungai yang bermuara langsung ke laut di kecamatan Kurau.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya pemasukan air laut saat pasang dan air menjadi payau. Hal tersebut
tampaknya cukup menguntungkan karena air di padang penggembalaan termasuk asam (pH < 5).
Dinamika Klimatik
Kondisi klimatik yang sangat penting terkait dengan pemeliharaan kerbau rawa adalah sebaran musim

versi elektronik
kemarau dan penghujan setiap tahunnya.
Kondisi klimatik menggambarkan sebaran musim kemarau dan musim hujan, sangat terkait erat dengan
pengelolaan ternak di padang penggembalaan. Kondisi klimatik di kecamatan Bati-Bati secara umum
terbagi menjadi 2, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau dalam dua tahun terakhir
berlangsung lebih lama (berkisar antara 6-8 bulan) dibandingkan musim hujan.
Musim kemarau bergeser dimana pada tahun 2011 musim hujan dimulai pada bulan Oktober – Juni/Juli
dan musim kemarau dimulai pada bulan Juli – September. Pada tahun 2012 musim kemarau Juli –
Nopember dan musim hujan baru mulai bulan Desember
Kondisi musim kemarau dan penghujan tersebut sangat mempengaruhi dinamika genangan air di padang
penggembalaan. Pada musim kemarau, genangan air menjadi sangat rendah dan bahkan membuat padang
penggembalaan menjadi kering sama sekali (tanpa genangan).
Hal tersebut menjadi sangat berbeda ketika musim hujan tiba, dimana gengan air bisa mencapai maksimal

versi elektronik
dan kerbau harus berenang saat digembalakan diareal padang penggembalaan. Genangan pada musim
hujan bisa mencapai kedalaman 1 – 2 m, atau rata-rata 1,5 m
Lamanya musim penghujan berkorelasi positif dengan tinggi dan lamanya genangan di padang
penggembalaan. Hal ini nantinya akan berpengaruh negative terhadap tingginya angka kematian anak
kerbau, akibat gagal bertahan hidup dalam kondisi tergenang sepanjang hari dan malam.
Peran kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan kerbau rawa
Kelembagaan yang berperan dalam menangani pengembangan kerbau rawa ini terbagi menjadi beberapa
bidang dengan tugsa pokok fungsi yang berbeda. Kelembagaan tersebut antara lain :
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan
Lembaga ini berperan dalam pembinaan dan fasilitasi pengembangan kerbau rawa di kecamatan Bati-
Bati. Salah satu bentuk kegiatan pengembangan adalah pemberian bantuan dalam bentuk Bantuan Sosial

versi elektronik
(Bansos) melalui dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) pada tahun 2012.
Dana tersebut digunakan untuk pengadaan ternak kerbau dewasa sebanyak 19 ekor, yang terdiri dari 18
ekor betina dara/induk dan 1 ekor kerbau jantan dewasa. Penambahan pengadaan kerbau yang
didatangkan dari JawaTimur tersebut selain dimaksudkan untuk penambahan populasi juga untuk
menambah ragam genetik kerbau yang dikelola di kelompok ternak kerbau rawa tersebut. Hal ini menjadi
penting mengingat penanganan reproduksi ternak terutama pengaturan perkawinan masih dilakukan

170
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
secara kawin alam, sehingga potensi inbreeding (kawin silang dalam) menjadi tinggi dan dalam jangka
panjang akan menurunkan kualitas genetik kerbau rawa yang dipelihara.
Oleh karenanya dana tersebut juga akan dimanfaatkan untuk mulai penanganan reproduksi ternak dengan

versi elektronik
aplikasi sinkronisasi birahi pada induk induk yang belum kawin dan selanjutnya setelah muncul birahi
akan dilakukan kawin buatan (artificial insemination). Pengadaan ternak jantan tersebut juga
dimaksudkan untuk implementasi program INKA (Intensifikasi Kawin Alam) dari Dinas Peternakan
Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Tanah Laut.
Dana tersebut juga dimanfaatkan oleh kelompok ternak kerbau rawa untuk membenahi kandang dan
padang penggembalaan. Saat ini kelompok sedang membuat shelter untuk tempat penjaga kerbau
bernaung saat mengawasi dan menggembalai kerbau. Shelter tersebut juga dimaksudkan sebagai tempat
pertemuan dan diskusi anggota kelompok ternak Suka Maju dilokasi pemeliharaan kerbau rawa.
Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Laut.
Lembaga ini yang langsung membawahi pembinaan terhadap kelompok ternak kerbau rawa. Berbagai
kegiatan teknis pembinaan telah dilakukan baik dalam bentuk bimbingan teknis, pembinaan kelompok
maupun bersama sama dengan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan memberikan bantuan

versi elektronik
sarana prasarana usaha peternakan.
Pada tahun 2011, Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Laut membantu kelompok ternak Suka Maju
dengan pengadaan 3 ekor kerbau jantan, yang dimaksudkan sebagai pejantan. Program ini merupakan
implementasi program INKA (Intensifikasi Kawin Alam). Program INKA sangat diperlukan oleh
peternak yang melakukan pemeliharaan ternaknya secara ekstensif, termasuk didalamnya ternak kerbau
rawa di kelompok ternak Suka Maju, desa Banua Raya kecamatan Bati Bati.
Kelompok merasakan perhatian yang lebih baik dari Dinas Teknis ini terutama pada kurun waktu 2 (dua)
tahun terakhir.
Dinas Pariwisata Kabupaten Tanah Laut.
Lokasi kelompok kerbau rawa di desa Benua Raya kecamatan Bati-Bati, sudah dinyatakan oleh
Pemerintah Kabupaten Tanah Laut sebagai salah satu tujuan kunjungan wisata agro di Kabupaten Tanah
Laut. Jenis wisata agro yang dikembangkan adalah wisata alam berupa pemandangan alami pemeliharaan

versi elektronik
kerbau rawa dihabitat alaminya dipadang penggembalaan seluas 200 ha.
Untuk menunjang maksud tersebut, Dinas Pariwisata Kabupaten Tanah Laut telah memberikan bantuan
berupa Perahu Wisata dengan kapasitas 10-15 orang dan perahu kecil (‘jukung’) untuk penggembalaan
kerbau rawa
Perahu tersebut dikelola oleh kelompok ternak Suka Maju, dan dimaksudkan untuk melayani wistawan
yang ingin melihat habitat asli kerbau rawa dengan menyusuri sungai Bati-Bati dan berkeliling disekitas
padang penggembalan sambil mengamati kerbau rawa yang sedang menggembala sambil berenang.
Potensi wisata ini masih belum dikembangkan secara intensif, dapat dilihat dari belum adanya sarana dan
prasarana pendukung sebagai areal wisata, misalnya darmaga wisata, pasar souvenir maupun belum
adanya pos retribusi untuk menarik tiket masuk keareal wisata.
Dilihat dari kunjungan aktual wisatawan, peneliti belum bisa memperleh data kunjungan per periode
waktu tertentu akibat belum adanya pencatatan dan penarikan retribusi masuk areal wisata. Namun

versi elektronik
demikian dari hasil wawancara di lapang tampak bahwa kunjungan wisatawan masih termasuk minimal.
BP3K (Badan Penyuluh dan Pembina Pertanian Kecamatan) kecamatan Bati-Bati.
Lembaga ini berada di kecamatan Bati-Bati mewadahi petugas teknis lapang (PPL) yang memiliki tugas
pokok fungsi pembinaan teknis secara langsung terhadap kelompok terak kerbau rawa, serta kelompok
tani atau ternak lain yang ada di 14 desa di kecamatan Bati-Bati.

171
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penyuluh di BP3K tersebut merupakan tenaga teknis lapang yang membantu Dinas Teknis serta lembaga
lain yang akan melakukan pembinaan ataupun kegiatan bersama-sama dengan kelompok ternak kerbau
rawa.

versi elektronik
Penyuluh tersebut yang secara intensiv mendampingi kelompok dalam melakukan kegiatan pengelolaan
kelompok ternak dan pengembangan kerbau rawa.
Penyuluh juga bertugas untuk memfasilitasi lembaga lembaga lain diluar lembaga pembinanya yang akan
berinteraksi dengan kelompok ternak.
Kelompok ternak.
Di Kecamatan Bati-Bati sentra pengembangan kerbau rawa hanya ada di kelompok ternak Suka Maju
yang berada diwilayah desa Banua Raya. Kelompok tersebut yang mengelola dan mengembangkan
kerbau rawa dalam suatu areal padang penggembalaan seluas 200 ha yang secara administratif semuanya
berada di wilayah desa Banua Raya.
Kelompok tersebut dikelola dengan pengaturan administrasi yang cukup memadai, dipimpin oleh seorang
ketua kelompok, dilengkapi dengan sekretaris dan bendahara kelompok. Anggota kelompok dengan total
25 orang terbagi menjadi dua, yaitu anggota aktif yang berjumlah 15 orang dan anggota tidak aktif yang

versi elektronik
berjumlah 10 orang. Profil kelompok dan struktur organisasinya seperti terlihat pada Lampiran 1.
Anggota aktif adalah anggota yang secara aktif mengurus dan terlibat kegiatan di kelompok ternak.
Anggota ini berdomisili di desa dimana kelompok tersebut berada. Sedangkan kelompok tidak aktif
adalah anggota kelompot yang umumnya tidak berdomisili di desa tersebut, dan keaktivannya bersifat
insidentil. Anggota ini adalah orang-orang yang mempunyai investasi kerbau rawa di kelompok ternak
tersebut.
Investasi yang dimaksudkan adalah ‘menitipkan’ kerbau rawa yang akan dikelola oleh anggota kelompok
aktiv, dengan sistem bagi hasil. Pola kerjasama tersebut dikenal dengan istilah kerjasama ‘menggaduhkan
ternak’. Bagi hasil yang disepakati biasanya adalah pembagian keuntungan dengan perbandingan 50%
untuk pemelihara dan 50% untuk anggota yang menginvestasikan kerbau rawanya.
Untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan kelompok, biasanya setiap hari rabu jam 14.00 – 17.00
wita, anggota kelompok berkumpul, berdiskusi sambil bergotong royong di lokasi pemeliharaan ternak

versi elektronik
kerbau rawa. Topik yang didiskusikan bervariasi, baik menyangkut program kerja, maupun dinamika
kelompok sehari-hari.
Aset yang dimiliki oleh anggota kelompok ternak Suka Maju dan dikelola baik masing-masing anggota
maupun bersama-sama di kelompok antara lain ternak kerbau sebanyak 235 ekor, lahan pertanian sawah
seluas 56 ha (milik anggota), perahu wisata dan sampan gembala masing-masing sebanyak 1 buah (milik
kelompok bantuan Dinas Pariwisata Pemkab. Tanah Laut, hand traktor sebanyak 1 buah (milik kelompok
bantuan Dinas Pertanian Pemkab. Tanah Laut) dan lahan gembala seluas 200 ha (milik desa dan dikelola
oleh kelompok ternak Suka Maju)
Lembaga lain-lain.
Lembaga lain dimaksud lembaga lain-lain adalah lembaga diluar kelompok, BP3K dan dinas teknis yang
membina sehari-hari. Lembaga lain tersebut yang pernah berinteraksi dengan kelompok antara lain
perguruan tinggi dan lembaga litbang. Lembaga pendidikan dan litbang tersebut melakukan kegiatan

versi elektronik
penelitian dan praktek kerja bagi siswa. Penelitian yang pernah dilakukan adalah kualitas susu kerbau
rawa yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Biologi FKIP UNLAM dan identifikasi pakan
kerbau rawa yang dilakukan oleh staf peneliti dari BPTP Kalimantan Selatan.
Dari kelembagaan yang terlibat dalam pembinaan kelompok, terlihat bahwa arah kebijakan Pemerintah
Daerah Tanah Laut ingin menjadikan lokasi pemeliharaan kerbau rawa sebagai sentra pengembangan
ternak kerbau sekaligus sebagai salah satu tujuan wisata.

172
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Secara umum peran kelembagaan yang terlibat sudah sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kelompok
ternak. Beberapa hal tampaknya masih perlu ditingkatkan, terutama dalam mengimplementasikan
kebijakan Pemerintah Kabupaten Tanah Laut untuk menjadikan lokasi pemeliharaan kerbau rawa sebagai
salah satu tujuan wisata agro di kabupaten tersebut.

versi elektronik
Pembenahan yang diperlukan tidak hanya masalah sarana dan prasarana, tetapi juga penyiapan sumber
daya manusia serta penataan kawasan untuk mempunyai nilai jual sebagai kawasan wisata agro.
Dampak sosial dan ekonomi pemeliharan kerbau rawa
Manfaat kelompok ternak kerbau rawa yang sekarang dirasakan oleh banyak pihak tidak terlepas dari
sejarah pendirian kelompok tersebut. Kelompok ternak ini berdiri pada tanggal satu Agustus 1978, karena
adanya kesepakatan beberapa warga yang memelihara ternak kerbau secara turun temurun dan alami.
Selanjutnya dengan niat bersama untuk bisa beternak lebih baik, maka Dinas Peternakan Kabupaten
Tanah Laut difasilitasi oleh Petugas Penyuluh Lapangnya mengukuhkan kelompok kelompok Suka Maju
pada bulan Mei 2006.
Dilihat dari aspek sosial, keberadaan kelompok tersebut memberikan banyak manfaat baik untuk
masyarakat sekitar dan terutama anggota kelompok sendiri baik yang aktiv maupun yang tidak aktiv.

versi elektronik
Dampak sosial yang bisa dilihat dan dirasakan antara lain tumbuhnya kebersamaan dalam kehidupan
berkelompok, terutama untuk anggota yang aktiv mengelola kelompok.
Tumbuhnya kesetiakawanan sosial karena peternak yang mempunyai ternak kerbau lebih dari 30 ekor
mengeluarkan zakat dan kurban pada hari raya ‘Idul Adha (bagi umat Islam) berupa ternak kerbau yang
bisa dinikmati oleh masyarakat sekitar yang kurang mampu, beberapa peternak yang sudah mampu
menunaikan kewajiban berhajinya sebagai umat Islam, dari hasil menjual ternak kerbaunya.
Dilihat dari sisi ekonomi, dampak yang jelas dirasakan adalah terpenuhinya kebutuhan insidentil tetapi
penting bagi keluarganya dari hasil penjualan ternak kerbau yang dipelihara. Kebutuhan hidup seperti
memperbaiki rumah, membeli kendaraan, biaya sekolah anak serta kebutuhan kebutuhan tidak rutin
lainnya bisa dipenuhi dengan menjual ternak kerbaunya.
Hal tersebut dimungkinkan karena ternak kerbau difungsikan sebagai tabungan yang bisa bertumbuh
dengan sendirinya, mengingat pemeliharaan ternak kerbau dilakukan secara ekstensif dengan cara
digembalakan di padang penggembalaan alam (bukan hasil budidaya).

versi elektronik
Dampak Terhadap Lingkungan Hidup
Dampak terhadap pengelolaan lingkungan hidup diarahkan pada potret pengelolaan padang
penggembalaan seluas 200 ha. Dilahan tersebut digembalakan sebanyak 235 ekor kerbau setiap harinya.
Dampak positif dapat dilihat dari beberapa aspek :
Kawasan rawa seluas 200 ha menjadi lebih tertata karena sudah mulai dilakukan pengaturan
penggembalaan, penataan kawasan dengan dibangunnya kandang penampungan dan shelter, serta
pemagaran seluruh kawasan.
Penggembalaan kerbau rawa secara permanen dikawasan tersebut memungkinkan asupan bahan organik
dan hara yang berasal dari kotoran dan urin ternak kerbau yang menggembala.
Dinamika populasi vegetasi menjadi lebih dinamis dan terseleksi secara alami dengan berkembangnya
jenis tanaman pakan ternak yang disukai dan penting bagi kehidupan ternak kerbau tersebut.

versi elektronik
Lahan rawa menjadi lebih produktif dengan banyaknya hasil yang diperoleh dari pengelolaan lahan rawa,
antara lain produksi ternak kerbau, produksi pakan ternak yang dijual keluar lokasi kelompok ternak, dan
peluang pengelolaan tempat wisata alam.
Aspek manajemen pemeliharaan
Jenis dan jumlah ternak

173
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Jenis ternak kerbau yang dipelihara adalah jenis kerbau rawa, sebagaimana ternak kerbau yang dipelihara
didaerah lain di Kalimantan Selatan. Kerbau ini berbeda dengan ternak kerbau sungai (river buffalo) yang
cenderung diambil produk susunya, kerbau rawa lebih diharapkan pada produksi anak dan daging.

versi elektronik
Kerbau ini berbeda dengan jenis kerbau sungai, dicirikan dengan pigmentasi kulit yang lebih gelap,
tanduk besar melingkar kebelakang, perototan masiv yang menandakan jenis kerbau tipe pedaging dan
tipe kerja.
Pemilihan kerbau jenis ini dilokasi penelitian, tidak didadasarkan pada pertimbangan tertentu. Menurut
sejarah pengembangannya, kerbau ini dipelihara secara turun temurun. Namun demikian dilihat dari
kesesuaian dengan lingkungan dan kemampuan pengelolaan dari peternak di kelompok Suka Maju,
tampaknya jenis kerbau ini sudah sangat cocok.
Kerbau rawa tidak menuntut tatalaksana pemeliharaan yang cenderung intensif seperti halnya kerbau
sungai. Hal tersebut yang menyebabkan kerbau ini bertahan dilokasi pemeliharaan yang sudah dimulai
sejak tahun 1958.
Dinamika populasi kerbau yang dipelihara selama hampir 50 tahun dilokasi tersebut, utamanya hanya
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kelahiran ternak, kematian ternak dan penjualan ternak. Faktor faktor

versi elektronik
lain seperti kehilangan karena tindak kejahatan serta penambahan populasi dari luar termasuk tidak
dominan.
Kehilangan karena tindak kejahatan terjadi sangat minimal, dikarenakan model pemeliharaan ternak
kerbau secara ekstensif dengan digembalakan, membuat ternak menjadi liar dan sulit untuk ditangkap.
Sedangkan dinamika populasi karena penambahan populasi dari luar, termasuk dalam kategori minor,
karena penambahan ternak dari luar hanya terjadi tahun 2011 – 2012 dengan total jumlah 22 ekor, terdiri
dari 18 ekor calon induk dan 4 ekor pejantan. Total populasi tahun 2012 ini adalah 235 ekor.
Pengelolaan padang penggembalaan
Padang penggembalaan yang dikelola oleh kelompok ternak adalah termasuk padang penggembalaan
alam. Padang penggembalaan alam mempunyai pengertian sebagai padang penggembalaan yang secara
alami tumbuh dan berkembang dan tanpa adanya sentuhan perbaikan (‘improoving’).
Dilahan penggembalan seluas 200 ha tersebut dikelola dengan tatalaksana yang masih sederhana.

versi elektronik
Pemagaran disekeliling padang penggembalaan untuk mencegah kerbau yang digembala keluar areal
gembala, telah diselesaikan secara swadaya dan bertahap oleh anggota kelompok Suka Maju pada tahun
1996-1997.
Bahan yang digunakan untuk pemagaran masih termasuk sederhana dikarenakan keterbatasan dana
swadaya. Tiang pagar setinggi 1-1,5 diatas permukaan tanah disesuaikan dengan kontur dan posisi lahan
terhadap sungai dan daratan. Tiang berasal dari bahan kayu ulin dan kayu galam yang dihubungkan
dengan bentangan kawat berduri dua tingkatan. Kondisi pagar saat ini sudah banyak bagian mengalami
kerusakan karena pelapukan, sehingga sering dijumpai kerbau keluar dari areal penggemalaan dan
mengganggu tanaman padi milik anggota kelompok.
Terhadap hijauan pakan ternak yang tumbuh alami di padang penggembalaan, belum dilakukan
penanganan yang memadai. Sudah terdapat rencana pemupukan terhdap rumput yang tumbuh, terutama
pada padang penggembalaan disekitar shelter, namun karena keterbatasan dana untuk pengadaan pupuk,
hal tersebut belum bisa dilakukan.

versi elektronik
Pengaturan penggembalaan secara rotasi juga belum dilakukan, disebabkan belum dimilikinya
pengetahuan tentang hal tersebut, serta penggembalaan rotasi membutuhkan tenaga untuk menggiring
ternak dan menjaganya di padang penggembalaan.
Pakan dan pemberian pakan

174
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pakan yang diberikan pada kerbau sepenuhnya adalah hijauan pakan ternak yang tumbuh di padang
penggembalaan. Dari hasil pengamatan di padang penggembalaan, setidaknya ada 13 jenis hijauan pakan,
yaitu :

versi elektronik
• Rumput Nika
• Purun Kudung
• Taji ayam
• Panting Belalang/rumput Minyak (Paspalum commersonii)
• Enceng gondok (Eichornia crassipes)
• Rumput Banta (Leersia hexandra)
• Rumput Bundung
• Rumput Kerak Nasi
• Rumput Janggut Kambing
• Rumput Daun Palas
• Rumput Juluk
• Rumput Halalang
• Padi hiyang (Oryza rofipogon)

versi elektronik
Diantara ke 13 rumput tersebut, rumput Minyak (Paspalum commersonii ), Banta (Leersia hexandra) dan
Padi hiyang (Oryza rofipogon) merupakan jenis rumput yang paling disukai oleh kerbau dan termasuk
dominan dalam populasinya dipadang penggembalan. Padi hiang merupakan pakan hijauan yang sangat
digemari oleh ternak kerbau rawa, bentuknya mirip sekali dengan padi, baik batang, daun maupun
bunganya, dan tingginya dapat mencapai 2 m. Batangnya berongga dengan diameter ± 2 mm, panjang
daun sekitar 35 cm dan lebar daun ± 5 mm. Padi hiang ini bila sudah tua berbuah seperti padi, tetapi
bulirnya tidak berisi (hampa) (Andi Sayarifuddin dan Anis Wahdi, 2004).

Rumput tersebut tumbuh dengan baik dan terlihat cocok untuk hidup bersama dalam suatu padang
penggembalaan. Secara umum, Padi Hiyang tumbuh lebih dominan dibanding yang laindibagian bagian
tertentu dari padang penggembalaan, sebaliknya rumput minyak dominan dibagian yang lain. Hal tersebut
cukup ideal karena jenis rumput tersebut sangat disukai kerbau rawa. Kondisi tersebut tampaknya sejalan

versi elektronik
dengan hasil penelitian Hardiansyah dan Noorhayati (2001) yang melakukan penelitian didaerah rawa
desa Sapala kecamatan Danau Pannggang kabupaten Hulu Sungai Utara, seperti terlihat pada Tabel 6.
Kerbau rawa tampaknya selektif dalam memilih hijauan dipadang penggembalaan sebagaimana Anonim
(2001), oleh karenanya sering kali terjadi padang penggembalaan yang tidak seimbang pertumbuhan
vegetasinya dan tertinggal hanya yang kurang palatabel. Kondisi tersebut tidak terjadi dipadang
penggembalaan di kelompok ternak Suka Maju. Hal ini dimungkinkan karena daya tampung padang
penggembalaan cukup ideal bahkan mungkin belebih jika dilihat rasio antara luasan dengan jumlah ternak
yang dipelihara. Jika diperbandingkan jumlah ternak terhadap luasan yang tersedia, maka tiap ekor dapat
menggembala diluasan 0,85 ha.

versi elektronik 175


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 6. Vegetasi Padang Penggembalaan Kerbau Rawa Di Desa Sapala Kecamatan Danau Panggang
berdasarkan palatabilitasnya.
No Nama Daerah Nama Ilmiah Suku

versi elektronik
Palatable
1. Padi hiang Oryza rofipogon Poaceae
2. Kumpai Mining Panicum paludosum Poaceae
3. Kumpai minyak Paspalum commersonii Poaceae
4. Sempilang Sacciolepis interupta Poaceae
5. Purun tikus Eleocharis dulcis Cyperaceae
Nonpalatable
1. Campahiring Cyperus platystylis Cyperaceae
2. Banta Leersia hexandra Poaceae
3. Ilung (Eceng gondok) Eichornia crassipes Pontederiacea
4. Kayapu Lemna sp Lemnaceae
5. Kayapu Salvinia cuculata Salviniaceae
6. Tanding (Teratai) Nymphaea lotus Nymphaeaceae

versi elektronik
7. Pepisangan Ludwigia octavalis Ludwigiaceae
Sumber : Hardiansyah dan Noorhidayati (2001).

versi elektronik

versi elektronik
Gambar 1. Kondisi genangan pada padang penggembalaan
Gambar 2. Kerbau Rawa dari program Bansos Dinas Peternakan Provinsi Kalsel
Gambar 3. Shelter yang sedang dibangun dipadang penggembalaan.
Gambar 4. Salah satu sisi penggembalaan didominasi rumput Padi Hiyang
Gambar 5. Kandang penampungan untuk ternak yang baru dibeli

176
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Daya tampung tersebut termasuk cukup besar, sehingga tekanan terhadap penggembalaan yang berat
(over grazing) dapat dihindarai dan rumput dapat tumbuh dengan baik.
Model pemeliharaan dengan digembalakan seperti tersebut diatas memberikan konsekuensi pakan yang

versi elektronik
dikonsumsi oleh kerbau sepenuhnya diperoleh di padang penggembalaan. Oleh karenanya produktivitas
dan reproduktivitas ternak sangat dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan rumput yang tumbuh di
padang penggembalaan. Belum pernah dilakukan pemberian pakan dalam bentuk selain pakan hijauan,
baik suplemen pakan maupun pakan tambahan (konsentrat).
Tatalaksana pemeliharaan
Aspek Perkandangan. Perkandangan dalam terminologi pemeliharaan ternak kerbau rawa dikelompok
Suka Maju adalah kandang terbuka dipadang penggembalaan yang dikelilingi oleh pagar diluasan 200 ha.
Pemetakan (paddocking) dilakukan untuk tujuan tertentu, misalnya untuk penyesuaian ternak ternak
kerbau yang baru dibeli dan akan dipelihara dipadang penggembalaan.
Pemeliharaan rutin. Pemeliharaan rutin ternak dilakukan dengan hanya menggembalakan ternak dipadang
penggembalaan. Setiap hari dilakukan pergiliran sebanyak 2 (dua) orang anggota untuk menjaga dan
mengatur penggembalaan ternak, khususnya untuk ternak yang baru dibeli dan masih dalam proses

versi elektronik
penyesuaian dengan lingkungan baru padang penggembalaan.
Untuk ternak yang sudah lama dipelihara dan menyesuaikan diri dengan kondisi padang penggembalaan,
kerbau dibiarkan lepas dan bebas menggembala. Dari jumlah sekitar 200 ekor populasi dipadang
penggembalaan bebas, terbagi 2 (dua) kelompok besar yang masing-masing dipimpin oleh seekor
pejantan yang paling dominan dibanding pejantan lainnya.
Ternak kelompok tersebut, relatif jarang berhubungan dengan pemelihara, kecuali ketika ada keperluan
keperluan tertentu. Keperluan tersebut misalnya ketika akan dilakukan pengobatan, pemeriksanaan
kesehatan ataupun ketika ternak akan dijual. Model pemeliharaan penggembalaan bebas menyebabkan
ternak menjadi liar, walaupun awalnya ternak kerbau jinak ketika didatangkan (dibeli dari luar).
Penangkapan ternak sering kali tidak mudah, dan dikelompok Suka Maju biasanya hanya dilakukan oleh
anggota tertentu yang mempunyai pengalaman dan keberanian menangkap kerbau yang liar. Kerbau
tersebut mudah stress dan tidak jarang menyerang orang yang dirasakan akan mengganggu.

versi elektronik
Reproduktivitas ternak. Kondisi eksisiting penanganan reproduksi ternak mengikuti pola pemeliharaan
ekstensif. Perkawinan pada induk-induk birahi dilakukan secara alami (kawin alam) dengan pejantan
yang ada. Model perkawinan alam tersebut didukung oleh Dinas Peternakan baik Pemkab. Tanah Laut
maupun Provinsi Kalimantan Selatan, dimana kelompok Suka Maju selama dua tahun terakhir telah
dikutsertakan dalam program INKA (Intensifikasi Kawin Alam). Pada program tersebut kelompok
dibantu pengadaan pejantan sebanyak 4 ekor (3 ekor pengadaan tahun 2011) dan satu ekor pengadaan
tahun 2012.
Model perkawinan ini secara aktual memerlukan campur tangan pemelihara yang baik, mengingat sifat
sosial ternak kerbau yang berkoloni dan dipimpin oleh satu kerbau jantan yang paling dominan. Kerbau
jantan tersebut biasanya dicirikan dengan postur dan berat tubuh yang paling besar, dan berjalan paling
didepan ketika sekawanan kerbau menggembala. Kerbau ini yang akan melakukan perkawinan terhadap
betina betina yang birahi (minta kawin). Kerbau jantan lain dikelompok tersebut sering kali tidak
mendapat kesempatan mengawini betina birahi.

versi elektronik
Dalam jangka panjang perkawinan alam secara bebas pada kerbau memunculkan tingginya intensitas
kawin silang dalam (inbreeding). Jenis perkawinan inbreeding ini jika tanpa diikuti dengan seleksi yang
ketat mempunyai potensi yang besar dalam menurunkan kualitas dan variabilitas genetik populasi kerbau
yang dipelihara.

177
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Campur tangan yang bisa dilakukan adalah melakukan pergiliran pejantan dan rotasi pejantan dalam
koloni kerbau yang berbeda, walaupun hal ini sulit dilakukan jika antar koloni masih menggembala
ditempat yang sama. Hal lain yang bisa dilakukan adalah memecah koloni dalam kelompok kelompok
induk yang lebih kecil dan diberikan masing-masing pejantan dan dilakukan rotasi atau diganti pejantan

versi elektronik
lain dari luar secara periodik.
Kejadian perkawinan induk dan pejantan terjadi sepanjang hari, dan tidak ditemukan pola waktu tertentu,
walaupun lebih sering terlihat pada pagi hari sebelum ternak menggembala. Selanjutnya setelah melewati
periode kebuntingan ternak melahirkan anak di padang penggembalaan. Jarak beranak cukup baik yaitu
dikisaran 1,5 tahun.
Anak kerbau yang dilahirkan masih sering menghadapi masalah berupa kematian yang tinggi. Kematian
anak (umur dibawah 6 bulan) sering dijumpai diakibatkan oleh tingkat genangan air yang tinggi dan
belum tersedianya kandang diareal padang penggembalaan. Anak sapi terendam sepanjang hari dan
mungkin juga malam, membuat tidak mampu bertahan hidup.
Untuk mengatasi masalah tersebut, anggota kelompok telah merencanakan pembuatan kandang panggung
dipadang penggembalaan, namun karena masih terbatasnya dana yang dimiliki rencana tersebut belum
bisa direalisasikan.

versi elektronik
Gangguan Kesehatan. Gangguan kesehatan yang terjadi selama masa pemeliharaan dipadang
penggembalaan, adalah terjadinya kematian ternak pada masa pergantian musim, terutama dari musim
kemarau ke musim penghujan. Kematian bisa terjadi pada anak maupun kerbau dewasa. Gangguan lain
yang cukup fenomenal terjadi pada tahun 1996 dimana terjadi kematian mencapai lebuh dari 100 ekor,
yang diduga disebabkan wabah penyakit Septichaemia epizootica (SE). Wabah tersebut sampai sekarang
tidak muncul kembali. Gangguan lain yang sering muncul tetapi wajar dialami ternak yang digembalakan
adalah tingginya infestasi cacing disaluran pencernaan kerbau.
Penanganan kesehatan belum bisa dilakukan secara intensif untuk kerbau kerbau yang bebas
menggembala, tetapi untuk kerbau yang di kandang khusus (paddock) bisa dilakukan penanganan dengan
baik.
Pasar dan Pemasaran.
Penjualan hasil pemeliharaan dilakukan secara insidentil tergantung kebutuhan dana oleh masing-masing

versi elektronik
anggota. Penjualan dilakukan pada ternak kerbau hidup dengan sistem taksiran. Harga kerbau dewasa
baik jantan maupun betina berkisar antara 10 – 15 juta/ekor, sedangkan kerbau muda berumur 1 – 2 tahun
harganya berkisar 6-8 juta/ekor.
Penentuan harga didasarkan pada kondisi tubuh ternak, terutama tingkat perdagingan dibangian punggung
dan belakang tubuh ternak. Hal tersebut wajar mengingat pembeli utama dari kerbau yang dipelihara
adalah pemotong ternak.

KESIMPULAN
Kesimpulan
• Dinamika lingkungan cukup mendukung untuk menjadikan lokasi yang diteliti sebagai lokasi
alternatif pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan
• Perlunya introdusir bangsa kerbau rawa dari lokasi pemeliharaan lain baik di Kalimantan Selatan

versi elektronik
maupun luar pulau untuk meningkatkan keragaman genetik dan menghindari perkawinan silang
dalam yang terlalu intensif tanpa diikuti kegiatan seleksi.
• Masih perlunya peningkatan kemampuan sumber daya manusia anggota kelompok, terutama
dalam penanganan reproduksi dan kesehatan ternak
• Penangan kesehatan belum dilakukan secara maksimal mengingat keterbatasan infrastruktur
pemeliharaan

178
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
• Potensi padang penggembalaan dengan dinamika vegetasinya yang masih ideal perlu diikuti
dengan pemeliharaan padang penggembalaan melalui teknis rotasi, pemupukan dan penyulaman
Saran

versi elektronik
• Perlu melanjutkan revitalisasi kelompok seperti yang telah dilakukan oleh Dinas Peternakan
melalui program INKA dan Bantuan Sosial, dengan pelatihan, pendampingan dan bantuan
pembuatan kandang panggung dipadang penggemlaan. Salah satu jenis pelatihan yang cukup
penting adalah penangana kesehatan ternak.
• Basis pemeliharaan ternak kerbau di kelompok Suka Maju adalah untuk tujuan pembibitan yang
memerlukan waktu lama untuk bisa menghasilkan anak dan dijual. Mempertimbangkan daya
tampung padang penggembalaan yang luas, akan lebih baik jika dilakukan juga usaha pemesaran
dan penggemukan kerbau dipadang penggembalaan.
• Keterbatasan modal merupakan salah satu masalah yang dihadapi, untuk itu perlu dibantu
membuka jaringan investasi ke kelompok Suka Maju, terutama untuk menambah populasi ternak
dengan kerbau pembesaran dan penggemukan.

DAFTAR PUSTAKA

versi elektronik
Andi syarifuddin, N dan Anis Wahdi. 2004. Evaluasi Kandungan Gizi Hijauan Pakan Alami Kerbau
Rawa di Kalimantan Selatan.. Banjarbaru
Andi syarifuddin, N dan Anis Wahdi. 2005. Kecernaan In Vitro Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa Di
Kalimantan Selatan. Banjarbaru
Anonim. 2001. Laporan Final Pelaksanaan Pekerjaan Studi Pengembangan Lahan Rawa lebak Di
Kabupaten Hulku Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kerjasama Antara Pemerintah daerah
labupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan dengan Lembaga Penelitian Institut
Pertanian Bogor.
Busono. W. 1993. Pengaruh beban kerja dan pakan tambahan terhadap perubahan bobot badan dan
beberapa aktifitas reproduksi kerbau lumpur betina (Bubalus bubalis). Disertasi. Program Pasca
sarjana IPB, Bogor
Dinas Peternakan Kalimantan Selatan. 2000. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Tahun 2010. Dinas

versi elektronik
Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru
Hardiansyah dan Noorhidayati. 2001. Padang Penggembalaan Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn) Di
Desa Sapala Kecamatan Danau Panggang : Struktur dan Komposisi Komunitas. Kalimantan
Agrikultura. Vol. 8 No. 1. April : 16 – 22.
Jaelani, A. 2011. Strategi pengembangan ternak kerbau rawa melalui pendekatan keunggulan
komparatif, ketersediaan pakan, kapasitas tampung wilayah dan analisis swot di propinsi
kalimantan selatan. Uniska. Banjarmasin
Mursyid, A. dan M. Rifani. 1998. Lahan Basah Sebagai Kajian Unggulan Universitas Lambung
Mangkurat. Makalah Seminar Sehari Apresiasi dan Pemberdayaan Lahan Basah untuk
Meningkatkan Daya SaingBangsa Pada Abad ke 21, Banjarmasin.
Noorhidayati dan Hardiansyah. 2001. Produkstivitas dan Daya Dukung Komunitas Padang
Penggembalaan Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn) Di Desa Sapala Kecamatan Danau

versi elektronik
Panggang. Kalimantan Agrikultura. Vol. 8 No. 3. Desember : 152 – 156.
Khairunnisa. 2008. Analisis Keragaman Genetik Kerbau Rawa Kalimantan Berbasis Restriction Fragment
Length Polymorphisms-DNA (RFLP-DNA) sebagai Sumber Belajar di Sekolah Menengah Atas
dan Perguruan Tinggi di Kalimantan Selatan. Tesis. Universitas Negeri Malang. Malang.

179
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Putu, I. G., M. Sabrani, M. Winugroho, T. Chaniago, Santoso, Tarmuji, Supriadi, dan P. Oktapiana.
1993. Peningkatan Produksi dan Reproduksi Kerbau Kalang Pada Agroekosistem Rawa Di
Kalimantan. Balai Penelitian Ternak Ciawi Bekerjasama dengan Proyek Pembangunan
Penelitian Pertanian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor

versi elektronik
Tjatur Imbang Sasono, 2011. Variasi Genetik Kerbau Rawa (Bubalus bubalis) Kalimantan Selatan
Berbasis Mikrosatelit Sebagai Pengembangan Bahan Ajar Biodiversitas di SMA. Tesis Program
Studi Pendidikan Biologi. Program Pasca Sarjana, Universitas Negeri Malang. Malang.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 180


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KAJIAN PENGARUH SUMBER DAYA LOKAL TERHADAP PENGEMBANGAN POPULASI
SAPI POTONG DI KABUPATEN BANYUMAS
Hermin Purwaningsih, Mochamad Socheh, dan Pambudi Yuwono

versi elektronik
Dosen Tetap Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah (a) dapat mengetahui peta penyebaran pengem-bangan populasi sapi potong
berdasarkan daya tampung; (b) dapat menentukan stratum kepadatan ternak berdasarkan daya tampung.
Penelitian dilaksanakan dengan metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pakan
tertinggi (26.170,48 ST/tahun) terdapat di Kecamatan Lumbir, sebaliknya yang terendah (116,36
ST/tahun di Kecamatan Purwokerto Timur. Wilayah Kabupaten Banyumas dapat dibagi menjadi lima
strata, yaitu: stratum 1, sangat padat ternak; stratum 2, padat ternak; stratum 3, sedang ternak; stratum 4,
sedikit ternak; serta stratum 5, sangat sedikit ternak. Kesimpulan penelitian adalah perkembangan
populasi sapi potong di Kabupaten Banyumas masih sangat memungkinkan terutama di wilayah-wilayah
padat ternak, sedang, sedikit, dan wilayah sangat sedikit ternak.
Kata kunci: satuan ternak, daya tampung, stratum, Kabupaten Banyumas

versi elektronik
ABSTRACT
The aims of this experiment is (a) to know the map of distribution development for cattle population
based on the carrying capacity; (b) to determine stratum of the livestock density based on the carrying
capacity. Survey methods was applied. The result of this experiment showed that the highest of the feed
availability (26,170.48 AU/year) found at the District of Lumbir and the lowest (116.36 AU/year at the
District of Purwokerto Timur. Banyumas Regency divided into 5 stratum, e.g., stratum 1, highly animal
density; stratum 2, animal density; stratum 3, animal medium; stratum 4, animal low; then stratum 5, the
lowest of animal. Conclusion of the experiment showed that the development of cattle in the Regency of
Banyumas was highly possible mainly at the area of animal density, medium, low, and area of the lowest
animal.
Key words: animal unit, carrying capacity, stratum, Banymas Regency

PENDAHULUAN

versi elektronik
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2005), Kabupaten Banyumas seba-gai suatu wilayah yang memiliki
karakteristik kaya akan sumber daya alamnya, serta kemampuan ekonomi/pasar yang cukup potensial.
Selanjutnya, khusus sub-sektor peternakan, besarnya pendapatan domestik regional bruto (PDRB) adalah
34,47% dari jumlah total sumbangan dari sektor pertanian 22,68%. Berdasarkan angka tersebut,
sumbangan dari sub-sektor peternakan masih relatif rendah.
Luas lahan sawah (wet-land) di Kabupaten Banyumas berturut-turut sebesar 32.770 Ha (24,68%) dari
wilayah Kabupaten Banyumas dan sekitar 10.505 Ha sawah dengan pengairan teknis. Sedangkan yang
75,32% atau sekitar 99.989 Ha adalah lahan bukan sawah (not wet-land) dengan 18.731 Ha (18,72%)
merupakan tanah untuk bangunan dan pekarangan/halaman. Lahan bukan sawah tersebut masing-masing
memiliki luas yang berupa tegalan/kebun 26.280 Ha, penggembalaan/padang rumput 13 Ha, hutan negara
27.095 Ha, dan luas perkebunan 12.353 Ha (BPS, 2005). Hal ini berarti di Kabupaten Banyumas tersedia
cukup banyak lahan yang dapat digunakan sebagai media penanaman tanaman pakan ternak, baik yang
berupa pakan rumput lapangan atau rumput unggul.

versi elektronik
Berdasarkan luas lahan bukan sawah tersebut, wilayah Kabupaten Banyumas sangat kondusif bagi upaya
perkembangan ternak potong. Kekayaaa sumber daya lokal tersebut, namun belum dimanfaatkan secara
optimal untuk mengembangkan ternak potong. Hal ini dapat dicermati, misalnya untuk populasi sapi
potong pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing sebanyak 18.210 ekor dan 18.245 ekor. Hal ini berarti
peningkatan populasi sapi potong hanya sebesar 0,19 persen.

181
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Keberhasilan usaha pengembangan peternakan di suatu daerah sangat tergantung pada tiga faktor utama,
yaitu : (1) kondisi fisik alami daerah (tanah, iklim dan ketersediaan sumber daya pakan), (2) kondisi sosial
masyarakat penduduk, terutama tingkat keterampilan dan pengetahuan peternak, (3) kondisi ekonomi
daerah yang bersangkutan (harga ternak, keadaan prasarana dan harga pasar (Soekartawi, 1986). Menurut

versi elektronik
Sands (1987), perencanaan pengembangan peternakan di suatu wilayah dapat dilakukan dengan mengacu
baik kepada faktor kekayaan sumber daya lokal (local natural resources), sosial (human resources), dan
faktor ekonomik (economic factor) yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan.
Wilayah Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan, penyebaran dan perkembangan populasi ternak
potong terutama yang mengkonsumsi pakan hijauan (sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, domba, dan
kambing) untuk masing-masing kecamatan dari tahun ke tahun tidak merata. Belum lagi ditambah dengan
perbedaan sumber daya lokal (faktor fisik, sosial, dan faktor ekonomi) yang ada di antara kecamatan yang
satu dengan kecamatan yang lain tidak sama. Hal ini menyebabkan wilayah kecamatan yang satu
memiliki sumber daya lokal berlebihan tetapi jumlah populasi ternak potong di wilayah kecamatan yang
bersangkutan sedikit dan atau sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas dalam hal
ini dinas terkait akan mendistribusikan atau memberikan bantuan ternak potong terutama sapi potong,

versi elektronik
kerbau, domba, dan atau kambing kepada peternak di suatu wilayah kecamatan perlu memperhatikan
beberapa faktor. Faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut: faktor fisik, sosial, dan faktor
ekonomi atau harga ternak di wilayah kecamatan yang bersangkutan.
Sehubungan dengan faktor fisik, maka berdasarkan daya tampung (DT) ternak Kabupaten Banyumas
dapat dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu: yakni wilayah (kecamatan) dengan DT >1, DT = 1, dan DT <1
(Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan, 1997). DT merupakan rasio
antara ketersediaan pakan (satuan ternak per tahun) atau (ST/th) dengan jumlah populasi ternak (PT) baik
sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, kambing, dan domba (ST/th) yang ada di dalam wilayah yang
bersangkutan.
Faktor sosial (keadaan peternak) dari masing-masing peternakan sapi potong, kerbau, domba, dan
kambing adalah berbeda baik ditinjau dari segi umur, pendidikan, keterampilan, dan ketersediaan tenaga
kerja. Harga dari masing-masing komoditi ternak (faktor ekonomi) di suatu wilayah kecamatan juga
berbeda. Hal ini menyebabkan perbedaan jumlah kepemilikan ternak (pengembangan populasi ternak) per

versi elektronik
peternak, yang sekaligus berperan juga dalam pengembangan peternakan di suatu wilayah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang "Kajian Pengaruh Sumber Daya
Lokal terhadap Pengembangan Populasi Ternak di Kabupaten Banyumas".
Tujuan penelitian adalah : (a) dapat mengetahui peta penyebaran pengem-bangan populasi sapi potong
berdasarkan daya tampung; dan (b) dapat menentukan stratum kepadatan ternak berdasarkan daya
tampung.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Obvek Penelitian
Penelitian ini dibiayai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas melalui Balitbangtelarda untuk
Tahun Anggaran 2007. Obyek penelitian ini adalah para peternak sapi potong, dan para petugas dinas
peternakan kecamatan di wilayah Kabupaten Banyumas.

versi elektronik
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei.
Metode Penetapan Sampel

182
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sampel wilayah penelitian ditentukan dengan berdasarkan pada rasio antara ketersediaan pakan (satuan
ternak per tahun) atau (ST/th) dengan jumlah populasi ternak (PT) baik sapi perah, sapi potong, kerbau,
kuda, kambing, dan domba (ST/th) yang ada di dalam wilayah yang bersangkutan. Rasio tersebut
selanjutya disebut dengan daya tampung (DT).

versi elektronik
Wilayah Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 buah kecamatan. Selanjut-nya, dengan Stratified Random
Sampling yang didasarkan pada DT wilayah Kabupaten Banyumas dibagi menjadi tiga golongan, yakni
wilayah dengan DT >1, DT = 1, dan DT <1. Sejumlah kecamatan yang berada di wilayah dengan DT
yang berbeda diambil 20 persen.
Para peternak sapi potong bertindak sebagai responden. Responden yang berada di wilayah dengan DT
yang sudah ditetapkan kemudian diambil 20 persen secara Simple Random Sampling.
Data Penelitian
Data penelitian berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan
para peternak. Hasil mengfoto kopi data dari Kantor BPS dan dari para petugas dinas peternakan
kecamatan adalah data sekunder.
Peubah yang Diamati

versi elektronik
1. Faktor fisik, ketersediaan pakan atau KP (ST/tahun), populasi ternak atau PT (ST), daya tampung
(DT), dan penyajian pakan hijauan (kg bahan kering per hari) kepada ternak.
2. Faktor sosial, pencurahan tenaga kerja keluarga peternak dengan ketentuan tenaga kerja seorang
pria =1,0 hari kerja (HK), wanita =0,8 HK, dan anak-anak = 0,5HK.
3. Faktor ekonomi, nilai jual sapi potong (Rp/ekor)
4. Pengembangan populasi ternak yang direfleksikan dengan jumlah popnlasi ternak per wilayah DT
dan jumlah kepemilikan sapi potong (ST) per peternak.
Analisis Data
Analisis deskriptif terhadap peubah sumber daya lokal (faktor fisik, sosial, dan faktor ekonomi) serta
pengembangan populasi ternak yang direfleksikan dengan jumlah populasi ternak per wilayah DT dan
jumlah kepemilikan sapi potong (ST) per peternak berdasarkan wilayah dengan DT >1, DT = 1, dan DT
<1 yang dilakukan secara proporsional. Kajian pengaruh sumber daya lokal terhadap pengembangan

versi elektronik
populasi (kepemilikan) sapi potong di Kabupaten Banyumas dianalisis dengan mengguna-kan persamaan
garis regresi linier berganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rasio Antara Ketersediaan Pakan (KP) dan Populasi Ternak (TT)
Berdasarkan Tabel 1 ketersediaan pakan tertinggi (26.170,48 ST/tahun) terdapat di Kecamatan Lumbir,
sebaliknya yang terendah (116,36 ST/tahun) di Kecamatan Purwokerto Timur.
Perhitungan terhadap populasi ternak, terutama yang pakan utamanya hijauan seperti sapi potong, sapi
perah, kerbau, kuda, kambing, dan domba ternyata populasi ternak (PT) tertinggi dan terendah di
Kecamatan Lumbir dan Kecamatan Purwokerto Barat berturut-turut sebesar 3895,87 ST dan 102,79 ST.
Berdasarkan rasio antara ketersediaan pakan dan jumlah populasi ternak diperoleh DT tertinggi dan
terendah masing-masing terdapat di Kecamatan Wangon 11,98 (ST/th) dan Kecamatan Purwokerto Timur

versi elektronik
0,81 (ST/th) (Tabel 3).
Berdasarkan tinggi rendahnya DT, wilayah Kabupaten Banyumas dapat dibagi menjadi lima strata dengan
rincian sebagai berikut:
• stratum 1, sangat padat ternak meliputi Kecamatan Cilongok, Karanglewas, Sumbang, Kembaran,
Purwokerto Selatan, Barat, Timur, dan Kecamatan Purwokerto Utara;

183
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
• stratum 2, padat ternak yaitu Kecamatan Tambak;
• stratum 3, sedang ternak meliputi Kecamatan Kebasen, Kalibagor, Banyumas, Pekuncen, dan
Kecamatan Baturraden;

versi elektronik
stratum 4, sedikit ternak meliputi Kecamatan Kemranjen, Sumpyuh dan Kecamatan Somagede;
serta
• stratum 5, sangat sedikit ternak meliputi Kecamatan Lumbir, Wangon, Jatilawang, Rawalo,
Patikraja, Purwojati, Ajibarang, Gumelar, Kedunguteng, dan Kecamatan Sokaraja.
Tabel 1. Rasio antara Ketersediaan Pakan (ST/tahun) dan Populasi
KP1 DT3
Kecamatan PT2 (ST) Stratum
(ST/tahun) (ST/th)
Lumbir 26.170,48 3.895,87 6,72 5
Wangon 14.728,97 1.229,68 11,98 5
Jatilawang 9.785,84 1.571,30 6,23 5
Rawalo 8.580,01 832,28 10,22 5
Kebasen 5.938,85 2.015,12 2,95 3

versi elektronik
Kemranjen 3.030,26 850,85 3,56 4
Sumpyuh 3.637,22 927,58 3,92 4
Tambak 2.433,95 955,71 2,55 2
Somagede 6.200,68 1.689,81 3,67 4
Kalibagor 4.955,76 1.512,02 3,28 3
Banyumas 4.596.06 1.763,87 2,61 3
Patikraja 6.266,49 640.08 9,79 5
Purwojati 5.735,42 1.060,38 5,41 5
Ajibarang 10.663,45 1.476,84 7,22 5
Gumelar 10.504,32 1.736,25 6,05 5
Pekuncen 4.778,37 1.557,26 3,07 3
Cilongok 3.124,11 2.548,92 1,23 1

versi elektronik
Karanglewas 1.319,46 1.250,01 1,06 1
Kedungbanteng 5.552,89 693,87 8,00 5
Baturraden 5.396,69 1.651,01 3,27 3
Sumbang 3.025,05 3.405,12 0,89 1
Kembaran 2.113,82 2.293,89 0,92 1
Sokaraja 4.049,76 713,49 5,68 5
Purwokerto Selatan 425,86 314,60 1,35 1
Purwokerto Barat 155,75 102,79 1,51 1
Purwokerto Timur 116,36 142,98 0,81 1
Purwokerto Utara 241,80 196,33 1,23 1
Keterangan : Stratum; 1 = sangat padat ternak Stratum; 4 = sedikit ternak; 2 = padat ternak; 5 = sangat sedikit
ternak; 3 = sedang ternak; 1Ketersediaan pakan; 2Sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing dan domba; 3Rasio antara
ketersediaan pakan (KP) dan populasi ternak (PT)

versi elektronik
Pengembangan atau penambahan sapi potong di Kabupaten Banyumas yang mengacu kepada tinggi
rendahnya DT masih sangat memungkinkan, terutama di wilayah-wilayah dengan stratum padat ternak,
sedang, sedikit, dan stratum sangat sedikit ternak. Kecamatan Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan,
Purwokerto Utara, Karanglewas, dan Kecamatan Cilongok sebagai wilayah sangat padat ternak
sebenamya masih memiliki DT > 1, yang berarti masih terjadi kelebihan ketersediaan pakan. Di wilayah

184
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
tersebut, namun sebaiknya tidak perlu lagi dilakukan pengembangan sapi potong, karena rasio antara KP
dan PT sudah hampir seimbang.

KESIMPULAN

versi elektronik
1. Berdasarkan pada tinggi rendahnya daya tampung atau kepadatan ternak, perkembangan populasi sapi
potong di Kabupaten Banyumas masih sangat memungkinkan terutama di wilayah-wilayah padat
ternak, sedang, sedikit, dan wilayah sangat sedikit ternak. Wilayah sangat padat ternak yaitu di
Kecamatan Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan, Purwokerto Utara, Karanglewas, dan Kecamatan
Cilongok tidak perlu lagi dilakukan pengembangan sapi potong karena di wilayah tersebut daya
tampung sudah hampir seimbang.
2. Berdasarkan pada tinggi rendahnya daya tampung, perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten
Banyumas masih sangat memungkinkan terutama di wilayah-wilayah padat ternak, sedang, sedikit,
dan wilayah sangat sedikit ternak.
3. Di Kecamatan Kembaran memiliki penyediaan calon bibit sapi potong baik jantan maupun betina
muda lebih tinggi dibanding dengan kecamatan Kecamatan Kalibagor, Kedungbanteng, Banyumas
dan Kecamatan Karanglewas.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2005. Banyumas Dalam Angka. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas.
Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan, 1997. Usaha Peternakan
Perencana Usaha, Analisa dan Pengelolaan. Departemen Pertanian, Jakarta. 123 pp.
Sands, L.D. 1987. Livestock Development Planning Systems (LDPS). A Micro-computer Based Planning
and Training Tool for Livestock Development Planners, AGDP Working Paper, FAO, Rome.
Soekartawi, A. Soeharjo, J.L. Dillon, dan J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk
Pengembangan Petani Kecil. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi. Australian Universities International Development Program. 253p.

versi elektronik

versi elektronik 185


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KARAKTERISTIK BIOLOGI SAPI RANCAH DI KABUPATEN SUKABUMI
Lisa Praharani, IGM Budiarsana, Elizabeth Juarini, dan Broto Wibowo
Balai Penelitian Ternak, Ciawi

versi elektronik
ABSTRAK
Sapi Rancah atau yang lebih dikenal sapi Pakidulan atau Pesisir merupakan salah satu plasma nutfah asli
Indonesia yang dapat ditemukan di sepanjang pesisir pantai selatan Jawa Barat. Sapi Rancah termasuk
sapi pedaging yang memiliki potensi untuk dikembangkan karena keunggulan adaptasi dan fertilitas yang
tinggi. Suatu penelitian awal karakterisasi biologik dan potensi pengembangan sapi Rancah telah
dilakukan di Kabupaten Sukabumi dengan tujuan mengkarakterisasi eksterior, ukuran tubuh dan
produktivitas sapi Rancah. Sebanyak 68 ekor sapi Rancah betina dan jantan digunakan dalam penelitian
ini. Parameter kuantitatif yang diamati meliputi tinggi badan, panjang badan, tinggi panggul, lebar
pinggul, lebar dada, dalam dada, lingkar dada, panjang kepala, lebar kepala, dan panjang kepala.
Parameter kualitatif meliputi pola warna bulu dan bentuk tanduk. Informasi pemeliharaan dan
produktifitas ternak diperoleh dari wawancara terhadap 23 peternak. Data dianalisa secara descriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rataan tinggi badan 94,75 cm, panjang badan 80,05 cm, lingkar dada
116,6 cm, tinggi panggul 98,2 cm, lebar panggul 22,6 cm, lebar dada 20,3 cm, dalam dada 40,2 cm,

versi elektronik
lingkar kepala 13,8 cm, panjang kepala 30,3 cm. Pola warna bulu merah bata 62%, merah kecoklatan
28%, coklat kehitaman 10%. Sapi rancah memiliki tanduk yang mengarah keluar dan kebelakang baik
betina maupun jantan. Umur kawin pertama betina 11 bulan, selang beranak 11-13 bulan, dan fertilitas
80%. Sapi Rancah memiliki potensi biologi yang besar untuk dikembangkan sebagai sapi potong karena
keunggulannya. Informasi karakterisasi biologi sapi Rancah dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi
pengembangannya baik secara in-situ maupun ex-situ.
Kata kunci: sapi Rancah, ukuran tubuh, warna bulu

PENDAHULUAN
Sapi Rancah atau yang lebih dikenal sapi Pakidulan atau Pesisir merupakan salah satu plasma nutfah asli
Indonesia yang dapat ditemukan di Jawa Barat. Sapi Rancah sering disebut juga sapi kacang karena
ukuran tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan sapi Bos indicus dan Bos taurus. Asal usul sapi Rancah
belum diketahui dengan pasti mengingat sedikitnya penelitian mengenai sapi Rancah. Namun diduga sapi

versi elektronik
Rancah merupakan keturunan Bos sondaicus, meskipun ada pula yang menduga merupakan persilangan
atau grading up antara sapi Jawa, sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (PO) dengan sapi Bali.
Informasi berdasarkan hasil penelitian sapi Rancah sangat sedikit dimana sebagian besar diperoleh dari
berbagai sumber atau wawancara dengan peternak.
Umumnya peternak sangat menyukai sapi Rancah karena keunggulannya antara lain tahan terhadap panas
atau kemarau ekstrim, tahan terhadap penyakit, efisiensi penggunaan pakan berkualitas rendah, fertilitas
tinggi. Selain itu produksi karkas sapi Rancah cukup tinggi yaitu 50% dengan kualitas daging yang baik
berwarna cerah, kesat, pigmentasi yang tinggi dan kadar air yang rendah. Keunggulan sapi Rancah seperti
yang terdapat pada sapi lokal atau sapi asli Indonesia (Wijono dan Aryogi, 2007). Sapi Rancah juga lebih
disukai peternak karena pemeliharaannya lebih mudah dibandingkan sapi persilangan (Brahman,
Simental, Limosine cross).
Populasi sapi Rancah saat ini diduga kurang dari 2000 ekor, beberapa sumber mengatakan populasinya
kurang dari 1000 ekor, meskipun belum ada data statistik yang akurat. Sapi Rancah tersebar hampir di

versi elektronik
seluruh Propinsi Jawa Barat yang meliputi daerah pesisir pantai selatan Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya,
Garut, Cianjur dan Sukabumi. Sedangkan penyebaran di kawasan hutan (bufferzone) meliputi Kabupaten
Majalengka Sumedang, Indramayu, Subang dan Purwakarta. Populasi sapi Rancah terus mengalami
penurunan disebabkan pemotongan dimana menurut hasil wawancara dengan pedagang pengumpul
sebanyak 30% sapi yang dijual untuk dipotong adalah sapi Rancah.

186
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pengembangan dan budidaya sapi Rancah belum sepenuhnya mendapat perhatian sehingga ternak belum
dapat menampilkan potensi genetik secara maksimal, terlebih populasinya yang semakin menurun baik
karena pemotongan dan inbreeding maupun kemurniannya akibat preferensi peternak akan
persilangannya dengan sapi eksotik. Namun demikian Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi melalui

versi elektronik
Dinas Peternakan telah melakukan penyelamatan dan pengembangan sapi Rancah dengan cara
pengangkaran dan pemeliharaan baik di UPTD (Unit Pembibitan Ternak Daerah) maupun di kelompok
peternak, sehingga memudahkan karakterisasi dan eksplorasi potensi genetiknya mengingat sedikitnya
data biologi sapi Rancah.
Tujuan penelitian adalah mengkarakterisasi eksterior, ukuran tubuh dan produktivitas sapi Rancah yang
dipelihara peternak di Kabupaten Sukabumi. Karakterisasi awal sebagai informasi potensi sapi Rancah
yang diperlukan untuk pengembangan sapi Rancah sebagai sapi pedaging secara komersial untuk
mendukung swasembada daging.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di kelompok peternak dan pedagang pengumpul sapi Rancah di Kecamatan
Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi. Sebanyak 68 ekor sapi Rancah muda dan dewasa baik jantan maupun
betina milik kelompok peternak digunakan dalam penelitian ini.

versi elektronik
Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif melalui pengukuran tinggi badan, panjang badan, tinggi
panggul, lebar pinggul, lebar dada, dalam dada, lingkar dada, panjang kepala, lebar kepala, dan panjang
kepala. Pengukuran dilakukan menggunakan pita ukur dan tongkat ukur. Pengumpulan data kualitatif
meliputi pola warna bulu, warna hitam/kecoklatan garis belut sepanjang punggung, bentuk tanduk,
gelambir dan punuk. Wawancara dengan peternak kelompok dan pedagang pengumpul dilakukan untuk
mendapatkan informasi produktivitas (umur pertama kawin, jarak beranak, kembali berahisetelah
beranak, fertilitas, mortalitas), manajemen (system pemeliharaan, pemberian pakan, penyakit) dan
pemasaran sapi Rancah.
Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan menghitung rataan data ukuran tubuh dan
pengelompokan data kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Budidaya Sapi Rancah

versi elektronik
Pada umumnya sapi Rancah biasa dipelihara secara ekstensif dimana ternak dilepas sepanjang hari di
padang penggembalaan sepanjang pesisir pantai. Ternak digembalakan di bawah pohon kelapa dengan
hijauan rumput lapang seadanya. Namun, sapi Rancah yang digunakan dalam penelitian dipelihara secara
intensif oleh peternak kelompok dalam kandang kelompok individu, karena pengukuran sulit dilakukan
pada sapi Rancah yang dipelihara ektensif, mengingat sapi Rancah tidak memiliki keluhan pada
hidungnya, selain tingkah laku kurang jinak. Skala pemilikan pada pemilharaan ekstensif lebih tinggi
yaitu 10-40 ekor dibandingkan pada pemeliharaan intensif 2-4 ekor.
Pemberian pakan berupa campuran rumput lapangan dan jerami padi yang diberikan pada saat musim
panen. Sedangkan pakan tambahan seperti konsentrat umumnya tidak diberikan. Akan tetapi, kelompok
peternak kadang memberikan dedak pada saat panen padi sebanyak 0,25-0,5 kg/ekor/hari selama 1- 2
bulan. Air minum tersedia dalam kandang bagi ternak yang dipelihara secara intensif, sementara ternak
yang dipelihara secara ektensif, umumnya air minum diperoleh dari genangan air pada padang

versi elektronik
penggembalaan sepanjang pesisir pantai.
Sistem perkawinan yang dilakukan melalui kawin alam dengan pejantan yang dipelihara dalam
kelompok. Pejantan sapi Rancah sangat sedikit jumlahnya, umumnya ternak dijual pada umur 2 tahun,
sehingga pejantan dalam kelompok digunakan sebagai pemacek dalam waktu lama yang dapat
menimbulkan perkawinan sedarah seperti yang diduga oleh beberapa sumber mengingat menurunnya
penampilan berat dan ukuran badan sapi Rancah akibat inbreeding. Perkawinan dengan inseminasi buatan

187
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(IB) belum banyak dilakukan karena belum tersedianya pejantan sapi Rancah terseleksi. Oleh karena itu
Pemerintah Daerah akan mengupayakan penyediaan semen beku sapi Rancah untuk program IB.
Pelayanan kesehatan ternak secara regular dilakukan oleh petugas kesehatan hewan (keswan) kecamatan

versi elektronik
dari Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi. Pemberian vitamin dan pengobatan cacing sedikitnya 2 kali
setahun. Sementara pelayanan pengobatan diberikan atas permintaan peternak bagi ternak sakit.
Morphology
Phenotipik ternak merupakan ekspresi dari pengaruh-pengaruh seluruh gen (G), lingkungan (E) dan
interaksi antara genotip dan lingkungan (GxE) (Hardjosubroto, 1994). Karakter fenotip ternak termasuk
warna bulu, tanduk, gelambir, dan punuk (Warwick et al, 1990; Riwantoro, 2005).
Secara umum warna bulu sapi Rancah terbagi dalam 3 kategori yaitu merah bata, merah kecoklatan dan
coklat tua kehitaman. Tabel 1 menampilkan eksterior sapi Rancah berdasarkan jenis kelamin ternak.
Tabel 1. Penampilan eksterior sapi Rancah berdasarkan jenis kelamin ternak
Merah bata Merah Coklat Garis Tanduk Gelambir Punuk
kecoklatan kehitaman punggung

versi elektronik
N % N % N %
Betina 35 51,5 15 22,1 2 2,9 jelas Ada Ada Tidak jelas
Jantan 7 10,2 4 5,8 5 7.3 jelas Ada Ada sedikit
Total 42 61,7 19 27,9 7 10,2

Penampilan warna bulu yaitu merah bata 62%, merah kecoklatan 28%, coklat tua 10%. Pola warna sapi
betina lebih dominan merah bata yaitu 52 %, sedangkan sapi jantan yang berwarna merah bata sebagian
besar adalah jantan muda dan warna bulu coklat kehitaman dalah sapi jantan dewasa. Garis belut pada
punggung dari pangkal pundak sampai pangkal ekor jelas terlihat berwarna hitam kecoklatan seperti yang
terdapat pada sapi Bali dan Jabres (Handiwirawan dan Soebandryo, 2004; Purbowati dkk, 2011).

versi elektronik
Warna bulu sapi Rancah mirip warna bulu sapi Bali dimana sapi betina dominan merah bata dan sapi
jantan dewasa (dewasa kelamin) kehitaman. Menurut Handiwirawan dan Subandryo (2004) sapi Bali
betina berwarna merah bata, sedangkan sapi Bali dewasa kelamin berwarna hitam dengan garis punggung
(belut) berwarna hitam. Sedangkan sapi Aceh memiliki warna bulu merah bata sebanyak 25% (Rizal,
2013) akibat tingginya variasi warna bulu seperti sapi Pesisir (Hosen, 2010) seperti warna sapi Jabres
(Purbowati dkk, 2011).
Karakteristik eksterior sapi Rancah ditandai dengan adanya tanduk pada ternak jantan dan betina,
meskipun tanduk ternak betina lebih kecil dibandingkan jantan. Bentuk tanduk pada ternak dewasa
mengarah keluar dan kebelakang. Demikian pula pada sapi lokal dan sapi asli Indonesia seperti Sapi PO,
sapi Bali, sapi Pesisir, sapi Aceh, sapi Madura, dan sapi Jawa (Jabres) memiliki tanduk baik ternak jantan
maupun betina (Astuti, 2004; Handiwirawan dan Subandryo, 2004; Hartuti, 2011).
Sapi Rancah memiliki gelambir baik pada ternak jantan dan betina, namun lebar atau besaran gelambir
tidak diamati dalam penelitian ini. Adanya gelambir pada sapi Rancah seperti yang dimiliki sapi PO, sapi

versi elektronik
Jabres, sapi Madura (Astuti, 2004; Purbowati dkk, 2011; Wijono dan Setiadi, 2004). Sementara pada sapi
Bali, gelambir tidak jelas terlihat (Handiwirawan dan Soebandryo, 2004).
Sapi Rancah betina dan jantan memiliki punuk namun tidak jelas atau kecil, dimana punuk sapi betina
lebih kecil dibandingkan sapi jantan. Berdasarkan bentuk dan besarnya punuk, sapi Rancah seperti sapi
Aceh (Rizal, 2013) meskipun punuk sapi Aceh jantan lebih jelas terlihat dibandingkan sapi betina.

188
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ukuran tubuh
Berdasarkan Tabel 2 diperoleh bahwa inggi badan 94,75 cm, panjang badan 80,05 cm, lingkar dada 116,6
cm, tinggi panggul 98,2 cm, lebar panggul 22,6 cm, lebar dada 20,3 cm, dalam dada 40,2 cm, lingkar

versi elektronik
kepala 13,8 cm, panjang kepala 30,3 cm. Ternak jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar dan tinggi
dibandingkan ternak betina, demikian pula ternak dewasa dibandingkan ternak muda.
Tabel 2. Ukuran tubuh sapi Rancah berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak
Sex Umur N TB PB LB TP LP LD DD LK PK
Betina Muda 20 87,7 71,3 110,1 92,7 19,7 18,7 37,7 13,0 28,9
Dewasa 32 96,4 81,7 118,2 99,9 22,4 20,8 40,1 13,7 30,0
Rataan 52 92,0 76,5 114,1 96,3 21,0 19,7 38,9 13,3 29,4
Jantan Muda 11 89.3 75,3 114,3 94,3 20,8 19,1 38,3 13,9 30,0
Dewasa 5 99,8 83,6 122,0 102,0 24,8 22,0 42,4 14,8 31,8
Rataan 16 99,8 79,4 118,1 98,1 22,8 20,5 40,3 14,3 30,9

versi elektronik
Rataan 68 94,7 80,0 116,6 98,2 22,6 20,3 40,2 13,8 30,3
Keterangan: TB: tinggi badan; PB: panjang badan; LB: lingkar badan; TP: tinggi panggul; LD: lebar
dada; DD: dalam dada; LK: lingkar kepala; PK: panjang kepala

Berdasarkan ukuran dan bentuk tubuh dala Tabel 2, Sapi Rancah lebih kecil dibandingkan sapi Bali, sapi
PO dan sapi Madura (Handiwirawan dan Subandryo, 2004; Hartati dkk, 2010; Wijono dan Setiadi, 2004).
Akan tetapi ukuran tubuh sapi Rancah sama besar dengan sapi Jabres (Purbowati dkk, 2011). Sedangkan
sapi Rancah lebih besar dibandingkan sapi Aceh dan Pesisir (Hosen dkk, 2010; Rizal, 2013).
Penelitian ini menunjukan bahwa bentuk kepala sapi Rancah lebih kecil dibandingkan sapi PO dan Bali.
Hartati dkk (2010) melaporkan rataan panjang kepala dan lebar kepalan sapi PO dewasa masing-masing
45,9-49,5 dan 19,5-22,3 cm.

versi elektronik
Produktivitas
Data produktivitas diperoleh berdasarkan wawancara dengan 23 peternak kelompok sapi Rancah. Hasil
wawancara menunjukan bahwa umur kawin pertama sapi betina 11 bulan, dan pejantantan digunakan
sebagai pemacek pada umur 2-3 tahun. Sapi betina kembali berahi setelah beranak 2-3 bulan, sehingga
selang beranak lebih pendek yaitu 11-12 bulan. Pada saat wawancara terdapat 15 ekor sapi betina dengan
12 ekor anaknya, sehingga diperoleh tingkat fertilitas (jumlah kelahiran dibandingkan jumlah induk)
sebesar 80%. Sementara tingkat kematian ternak termasuk dewasa dan anak sangat kecil (< 2%)
berdasarkan jumlah kematian ternak pada tahun sebelumnya.
Peternak melaporkan bahwa berat hidup sapi Rancah mengalami penurunan. Berat hidup sapi Rancah
betina dewasa dahulu (20-30 tahun yang lalu) mencapai 400-500 kg dan ternak jantan 500-700 kg.
Namun saat ini berat hidup betina antara 200-250 kg dan jantan 300-350 kg. Penurunan berat hidup
ternak mungkin disebabkan oleh faktor genetik akibat tingginya tingkat inbreeding dan faktor manajemen

versi elektronik
pemberian pakan.
Berat badan sapi Rancah dewasa baik jantan maupun betina tidak berbeda dengan sapi Jabres (Purbowati,
2011) dan sapi Bali (Handiwirawan dan Soebandryo (2004) dan sapi PO (Astuti, 2004), tetapi berat badan
sapi Rancah lebih besar dibandingkan sapi Pesisir di Sumatera Barat (Hosen dkk, 2010) dan sapi Aceh
(Rizal 2013). Demikian pula persentase karkas sapi Rancah sama dengan sapi asli atau lokal Indonesia
seperti yang dilaporkan dalam literature yaitu antara 48-52% dengan kualitas daging yang baik.

189
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sedangkan jarak beranak sapi Bali lebih tinggi dibandingkan sapi Rancah yaitu 450-530 hari, meskipun
fertilitas sapi Rancah dan sapi Bali antara 70-80%. Umur berahi pertama sapi Rancah lebih muda
dibandingkan sapi Bali yaitu 20-24 bulan. Namun secara umum kinerja reproduksi sapi Rancah tidak
berbeda dengan sapi lokal atau asli Indonesia seperti sapi Jabres, Madura, Aceh dan Pesisir.

versi elektronik
KESIMPULAN
Karakteristik warna bulu sapi Rancah Sukabumi adalah dominan merah bata, sebagian merah kecoklatan
dan sedikit coklat kehitaman dengan garis punggung berwarna hitam. Sapi Rancah memiliki tanduk,
gelambir dengan punuk yang tidak jelas.
Phenotipik bentuk dan ukuran tubuh sapi Rancah tidak berbeda dengan sapi lokal atau asli Indonesia.
Demikian juga berat badan, reproduktivitas dan persentase karkas sapi Rancah tidak berbeda dengan sapi
lokal lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti. M. 2004. Potensi Dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan Ongole (Po). Wartazoa
Vol. 14 No. 3

versi elektronik
Handiwirawan, E. Dan Subandriyo. 2004. Potensi Dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali.
Wartazoa Vol. 14 No. 3
Hartati, Sumadi, Subandriyo Dan T. Hartatik. 2010. Keragaman Morfologi Dan Diferensiasi Genetik Sapi
Peranakan Ongole Di Peternakan Rakyat. Jitv 15(1): 72-80.
Purbowati, E., A. Purnomoadi, C.M.S. Lestari Dan Kamiyat. 2011. Karakteristik Karkas Sapi Jawa (Studi
Kasus Di Rph Brebes, Jawa Tengah). Seminar Puslitbangnak. Bogor. 2011: 353-361
Didi Budi Wijono dan Bambang Setiadi. 2004. Potensi Dan Keragaman Sumberdaya Genetik. Sapi
Madura. Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004: 42-52
Rizal, F. 2013. Karakteristik Morfologi Dan Keragaman Sifat-Sifat Kualitatif Sapi Aceh. Dissertasi
Universitas Sumatera Utara. Sumut.
Hosen, N., Yanofi H. dan Nurnayetti. 2010. Identifikasi Sapi Lokal Pesisir Berpotensi Beranak Kembar
Di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan

versi elektronik
Veteriner 2010: 31.

versi elektronik 190


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENDUGAAN KUALITAS FISIK KARKAS DOMBA MELALUI PENGUKURAN TEBAL
LEMAK BERBASIS METODE ULTRASONIK
Mochamad Socheh, Agus Priyono, Hartoko, Paulus Suparman, dan Djoko Santoso

versi elektronik
Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah menduga komposisi fisik karkas domba melalui tebal le-mak berbasis metode
ultrasonik. Materi penelitian yang digunakan adalah ternak domba jantan lepas sapih sebanyak 18 ekor
yang ditempatkan di kandang tipe panggung. Semua ternak diberi pakan konsentrat yang mengandung
protein kasar 20,39% dan gross energi 3.887 kalori. Pengukuran tebal lemak dengan ultrasonik dilakukan
setiap minggu untuk selama 16 minggu. Analisis regresi dan korelasi digunakan untuk menduga
komposisi fisik karkas domba. Hasil pengukuran tebal lemak pada rusuk 5-6 dan rusuk 12-13 dengan
ultrasonik terhadap bobot daging, lemak+fascia, dan bobot tulang diperoleh koefisien determinasi secara
berturut-turut 0,697; 0,755; dan 0,893 dan 0,906; 0,775; dan 0,881. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
pengukuran tebal lemak pada rusuk 5-6 dan rusuk 12-13 berbasis metode ultrasonik dapat digunakan
sebagai penduga terhadap bobot daging, lemak+fascia, dan bobot tulang karkas.
Kata kunci: komposisi fisik karkas, tebal lemak, ultrasonik, domba

versi elektronik
ABSTRACT
The aims of this experiment is to predict the composition of phissically carcassess of sheep through the
fat thickness based on the ultrasound methods. Eighteen heads of post weaning male sheep were used and
of those kept in the stilted hous-ing type. All of the animals fed concentrate containing were randomly
assigned in the three kinds of concentrate containing crude protein 20,39% and gross energy 3.887 calory.
Regression and correlation analysis was applied for predicting the composition of physically carcassess
sheep. The result of fat thickness measurements on the 5-6th ribs and 12-13rd ribs by using ultrasound into
the weight of meat, fat+fascia, and of bone found the coefficient of determination was 0.697; 0.755; and
0.893 and 0.906; 0.775; 0.881, respectively. Conclusion of this experiment was the measurement of fat
thickness on the 5-6th ribs and 12-13rd ribs based on the ultrasound methods can be used as a predictor into
the weight of meat, fat+fascia, and of bone.
Key words: physically carcassess composition, fat thickness, ultrasound, sheep

versi elektronik
PENDAHULUAN
Pada umumnya, pendugaan komposisi tubuh dan fisik karkas ternak ru-minansia kecil yang dilakukan
baik oleh para pedagang maupun penjual sate di pasar hewan adalah dengan menggunakan metode
palpasi. Pendugaan komposisi tubuh dan fisik karkas dengan menggunakan metode penimbangan bobot
badan dan pengukuran ukuran linier tubuh sudah biasa dilaksanakan oleh para peneliti. Sedangkan
pendugaan dengan menggunakan metode ultrasonik jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komposisi tubuh yakni umur pemotongan, pemberian ransum
pra pemotongan, dan bobot potong. Di samping itu, ada faktor lain yang juga berpengaruh terhadap
komposisi tubuh seperti bangsa dan jenis kelamin. Sering dijumpai bahwa, pada umur yang sama
terdapat perbedaan secara nyata terhadap komposisi tubuh. Menurut Berg dan Butterfield (1976) dan
Socheh dkk., (1991), peubah yang paling berpengaruh terhadap komposisi tubuh adalah bobot potong.
Menurut Berg dan Butterfield (1976), Thwaites (1989), dan Socheh dkk., (1991), pengukuran komposisi

versi elektronik
tubuh dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran secara tidak langsung
dapat dilakukan tanpa membunuh (memotong) ternak terlabih dahulu, sedangkan pengukuran secara
langsung memerlukan prosedur pemotongan. Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa terdapat bermacam-
macam teknik telah dikembangkan guna menduga komposisi tubuh ternak hidup. Teknik ini mencakup
pemeriksaan visual tubuh, gelombang ultrasonik, teknik dilusi, pengukuran linier tubuh ternak serta peng-
hitungan keseluruan tubuh.

191
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ensminger (2002), mengembangkan persamaan bobot tubuh dengan mengkuadratkan ukuran lingkar dada
dikalikan dengan ukuran panjang tubuh kemudian dibagi 300. Dengan menggunakan formula ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara ukuran linier tubuh terhadap pendugaan bobot tubuh.

versi elektronik
Karkas merupakan bagian tubuh yang terdiri dari daging, tulang, dan lemak selain bagian kepala, kulit,
kaki (bagian sendi metatarsal dan sendi metacarpal ke bawah), darah dan isi saluran rongga dada dan isi
saluran rongga perut (Socheh dkk., 1991). Karkas disusun oleh jaringan daging, jaringan lemak, dan
tulang yang selanjutnya disebut dengan kualitas fisik karkas.
Lemak merupakan faktor yang terbesar pengaruhnya terhadap proporsi daging pada karkas ternak (Crown
dan Damon, 1960). Hal ini sesuai dengan penelitian Natasasmita (1979) bahwa, perlemakan yang terjadi
di depot-depot lemak biasanya memiliki korelasi dengan banyaknya daging yang dibentuk pada bagian-
bagian tubuh tertentu, misalnya di bagian urat daging punggung (Musculus longissimus dorsi). Lemak
yang terlalu sedikit berakibat jumlah daging yang diproduksi juga sedikit atau sebaliknya lemak yang
terlalu banyak mengakibatkan produksi dagingnya juga banyak. Depot lemak yang langsung di bawah
kulit sebelum urat daging disebut dengan lemak sub kutan (Vezinhet dan Prudhon, 1975).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, belum diperoleh informasi tentang komposisi fisik karkas (bobot
daging, lemak+fascia, dan bobot tulang) yang diduga melalui pengukuran tebal lemak dengan

versi elektronik
menggunakan ultrasonik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang:” Pendugaan Komposisi
Fisik Karkas Domba Melalui Pengukuran Tebal Lemak Berbasis Metode Ultrasonik”.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana ketepatan prosedur ultrasonik guna
menduga komposisi fisik karkas (bobot daging, lemak +fascia, dan bobot tulang karkas) domba.

MATERI DAN METODE


Tatalaksana Pemeliharaan Ternak
Domba lokal jantan dengan rentangan umur kurang lebih 4-6 bulan (sapihan) sebanyak 18 ekor digunakan
pada penelitian ini. Semua ternak dipelihara selama empat bulan bertempat di Laboratorium Ternak
Daging Rumi-nansia Kecil Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Ternak ditempatkan pada
kandang panggung yang terbagi menjadi 18 petak dengan ukuran 120x60 cm per petak. Tempat pakan
tersedia di luar kandang, sedangkan tempat minum menggunakan ember karet. Semua ternak diberi pakan
konsentrat sebagai sumber nutrisi tambahan bagi bahan pakan pokok yakni rumput lapangan. Hasil

versi elektronik
analisis laboratorium baik konsentrat dan rumput lapangan tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi nutrisi komponen ransum penelitian1
Komponen Bungkil Jagung CaCO3 BK2 PK3 GE4
ransum kedele
---------------------------- (%) ------------------------- (kal)
Rumput 16,28 1,93 4.325
Konsentrat 29,31 69,32 1,36 85,78 20,39 3.887
1
Hasil analisis laboratorium INMT-Fapet IPB; Bahan kering; Protein kasar; Gross energy

Pengukuran Ultrasonik
Pengukuran tebal lemak dilakukan terhadap semua ternak domba. Lokasi pengukuran adalah antara rusuk
5−6 (±5−10cm dari median dada) dan antara rusuk 12−13 (±5−10cm dari median punggung) sebelah kiri

versi elektronik
tubuh. Pengukuran tebal lemak dilakukan dengan menggunakan ultrasonik Scannoprobe model 731C,
Scanno Inc, Ithaca, New York.
Domba yang diukur tebal lemaknya terlebih dahulu bulu-bulu yang tumbuh di kedua lokasi pengukuran
dicukur sependek mungkin. Setelah pen-cukuran dilanjutkan dengan pengolesan dengan minyak kelapa
yang bertujuan agar diperoleh kontak yang baik antara kulit tubuh ternak dengan transducer dari

192
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
ultrasonik. Pengukuran tebal lemak dengan menggunakan ultrasonik setiap minggu mulai dari awal
penelitian sampai dengan tiga hari menjelang ternak dipotong.
Prosedur Pemotongan, Pengukuran Karkas, dan Komposisi Karkas

versi elektronik
Ternak ditimbang setiap minggu dan dipotong secara Islami dengan mela-lui pemuasaan selama kurang
lebih 13 jam. Pemotongan karkas mengikuti prose-dur Socheh dkk, (1991) dengan pengulitan yang
dilakukan secara hati-hati guna menghindari berkurangnya lapisan lemak subkutan. Karkas digantung
pada bagi-an Achiles tendon kemudian chilled selama 24 jam di bawah suhu 4oC. Pengukur-an karkas
dingin dilakukan pada setengah karkas kiri. Setengh karkas kiri dipo-tong menjadi delapan bagian, yakni
bagian neck, breast, shoulder, ribs, loin, leg, shank, dan bagian flank. Selanjutnya, masing-masing bagian
disayat dengan menggunakan scalpel untuk memisahkan jaringan daging, jaringan lemak + fascia, dan
tulang.
Peubah yang Diukur
1. Tebal lemak antara rusuk 5−6 (±5−10cm dari median dada) dan antara rusuk
12−13 (±5−10cm dari median punggung) sebelah kiri tubuh.

versi elektronik
2. Komposisi fisik karkas (bobot daging, lemak±fascia, dan bobot tulang).
Analisis Statistik
Regresi dan korelasi digunakan untuk menduga komposisi fisik karkas melalui pengukuran tebal lemak
berbasis metode ultrasonik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rataan hasil pengukuran tebal lemak dengan menggunakan ultrasonik dan komposisi fisik karkas (bobot
daging, lemak±fascia, dan bobot tulang) domba setelah pemeliharaan 16 mingu tersaji pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, rataan tebal lemak hasil pengukuran antara tebal lemak antara rusuk −6
5 adalah
lebih tebal dari pada antara rusuk 12−13. Hal ini menunjukkan bahwa, pada rusuk 5−6 atau pada bagian
dada sebagai salah satu komponen tubuh dan sebagai depot lemak memiliki akumulasi lemak lebih tebal
bila dibanding dengan komponen tubuh punggung (loin) yang terletak pada antara rusuk 12−13.
Tabel 2. Rataan hasil pengukuran tebal lemak dan komposisi fisik karkas domba

versi elektronik
Peubah Produksi
Tebal lemak (mm)
SPU 5−6 2,3083±0,0214
SPU 12−13 2,2540±0,0167
Setengah karkas kiri (kg) 4,6200±0,6743
Komposisi fisik karkas
Daging (kg) 2,7350±0,0423
Lemak + fascia (g) 1037,8000±0,2805
Tulang (g) 779,70±0,6074

Menurut Natasasmita (1979), perlemakan yang terjadi di depot-depot lemak biasanya memiliki korelasi
dengan banyaknya daging yang dibentuk pada bagian-bagian tubuh tertentu, misalnya di bagian urat

versi elektronik
daging punggung (Musculus longissimus dorsi).
Rataan setengah karkas kiri sebanyak (4,6200±0,6743) kg, yang terbagi menjadi tiga jaringan karkas
yakni daging, lemak + fascia, dan tulang secara berturut-turut 2,7350 kg (59,1991%); 1037,8000 g
(22,4632%); dan 779,70 g (16,8766%). Berdasarkan proporsinya, terlihat bahwa proporsi daging lebih
tinggi daripada proporsi lemak + fascia dan proporsi tulang. Lemak merupakan faktor yang terbesar
pengaruhnya terhadap proporsi daging pada karkas (Crown dan Damon, 1960). Lemak yang terlalu

193
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
sedikit berakibat jumlah daging yang diproduksi juga sedikit atau sebaliknya lemak yang terlalu banyak
mengakibatkan produksi dagingnya juga banyak.
Koefisien determinasi (R2) dan persamaan model garis regresi dari hasil pengukuran tebal lemak pada

versi elektronik
antara rusuk 5-6 dan antara rusuk 12-13 terhadap komposisi fisik karkas (bobot daging, lemak±fascia, dan
bobot tulang) tersaji pada Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat diperhatikan bahwa, pengukuran tebal lemak pada
antara rusuk 5-6 dengan ultrasonik diperoleh nilai R2=0,697 (P<0,01) dan persa-maan model regresi
untuk bobot daging Y = 0,449+1,380X. Nilai R2=0,697, artinya 69,7% keragaman pendugaan bobot
daging disebabkan oleh tinggi rendahnya hasil pengukuran tebal lemak sedangkan sisanya (30,3%) tidak
dapat diterangkan. Persamaan model Y =0,449+1,380X, apabila nilai X= 1 kg, berarti bobot daging yang
diduga adalah 1,829 kg.
Tabel 3. Tebal lemak (peubah bebas X), bobot komposisi fisik karkas (peubah tidak bebas Y), koefisien
determinasi (R2), dan persamaan model garis regresi
X Y R2 Persamaan model
SPU5-61 Daging (kg) 0,697** Y= 0,449+ 1,380X
Lemak+fascia (g) 0,755* Y=606,938+186,664X
Tulang (g) 0,893** Y=624,605+ 67,190X

versi elektronik
SPU12-132 Daging (kg) 0,906* Y= 1,416+0,304X
Lemak+fascia (g) 0,775** Y=615,8+110,008X
Tulang (g) 0,881* Y=775,504+60,013X
1
Tebal lemak yang diukur dengan Scanno Probe Ultrasonic pada antara rusuk 5-6
2
Tebal lemak yang diukur dengan Scanno Probe Ultrasonic pada antara rusuk 12-13
R2 = Koefisien determinasi
*P<0,05
**P<0,01

Selanjutnya, pengukuran tebal lemak pada antara rusuk 5-6 dengan ultrasonik diperoleh nilai R2=0,755
(P<0,05) dan persamaan model regresi untuk bobot lemak+fascia Y =606,938+186,664X. Nilai
R2=0,755, artinya 75,5% keragaman pendugaan bobot lemak+fascia disebabkan oleh tinggi rendahnya
hasil pengukuran tebal lemak sedangkan sisanya (24,5%) tidak dapat diterangkan. Persamaan model

versi elektronik
danY =606,938+186,664X, apabila nilai X= 1 g, berarti bobot lemak yang diduga adalah 793,602g.
Pengukuran tebal lemak pada antara rusuk 5-6 dengan ultrasonik diperoleh nilai R2=0,893 (P<0,01) dan
persamaan model regresi untuk bobot tulang Y=624,605+67,190X. Nilai R2=0,893, artinya 89,3%
keragaman pendugaan bobot lemak+fascia disebabkan oleh tinggi rendahnya hasil pengukuran tebal
lemak sedangkan sisanya (10,7%) tidak dapat diterangkan. Persamaan model dan Y=624,605+67,190X,
apabila nilai X= 1 g, berarti bobot lemak yang diduga ada-lah 691,795g.
Pengukuran tebal lemak pada antara rusuk 5-6 dengan ultrasonik guna menduga bobot daging dan bobot
tulang masing-masing diperoleh nilai R2 yang sangat signifikan (P<0,01), sedangkan untuk bobot
lemak+fascia memiliki nilai R2 yang signifikan (P<0,05). Berdasarkan signifikansi dari nilai R2, maka
persamaan model regresi yang dapat digunakan adalah persamaan model regresi untuk menduga bobot
daging dan bobot tulang. Rahman (2007), Attah et al. (2004), dan Thiruvenkadan dan Panneerselvam,
(2009) semuanya menemukan bahwa, pengukuran tebal lemak adalah berkorelasi secara nyata terhadap
bobot irisan karkas (bobot daging, lemak, dan bobot tulang).

versi elektronik
Pengukuran tebal lemak pada antara rusuk 12-13 dengan ultrasonik dipe-roleh nilai R2=0,906 (P<0,01)
dan persamaan model regresi untuk bobot daging secara berturut-turut R2=0,906 (P<0,01) danY =0,416
+1,304X. Nilai R2= 0,906, artinya 90,6% keragaman pendugaan bobot daging disebabkan oleh tinggi
rendahnya hasil pengukuran tebal lemak sedangkan sisanya (9,4%) tidak dapat diterangkan. Persamaan
model Y = 0,416 + 1,304X, apabila nilai X= 1 kg, berarti bobot daging yang diduga adalah 1,720 kg.

194
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pengukuran tebal lemak pada antara rusuk 12-13 dengan ultrasonik diperoleh koefisien determinasi dan
persamaan model regresi untuk bobot lemak+fascia secara berturut-turut R2=0,775 (P<0,01) dan Y =
615,8 +110,008X. Nilai R2= 0,775, artinya 77,5% keragaman pendugaan bobot lemak+fascia disebabkan
oleh tinggi rendahnya hasil pengukuran tebal lemak sedangkan sisanya (22,5%) tidak dapat diterangkan.

versi elektronik
Persamaan model Y =615,8+110,008X, apabila nilai X= 1 g, berarti bobot lemak yang diduga adalah
725,808g.
Pengukuran tebal lemak pada antara rusuk 12-13 dengan ultrasonik diperoleh koefisien determinasi dan
persamaan model regresi untuk bobot tulang secara berturut-turut R2=0,881 (P<0,05) dan
Y=775,504+60,013X. Nilai R2= 0,881, artinya 88,1% keragaman pendugaan bobot lemak+fascia
disebabkan oleh tinggi rendahnya hasil pengukuran tebal lemak sedangkan sisanya (11,9%) tidak dapat
diterangkan. Persamaan model dan Y=775,504+60,013X, apabila nilai X= 1 g, berarti bobot lemak yang
diduga adalah 836,299g.
Berdasarkan signifikansi dari nilai R2, maka persamaan model regresi yang dapat digunakan adalah
persamaan model regresi untuk menduga bobot lemak+fascia dan bobot tulang. Rahman (2007), Attah et
al. (2004), dan Thiruvenkadan dan Panneerselvam (2009) semuanya menemukan bahwa, pengukuran
tebal lemak adalah berkorelasi secara nyata terhadap bobot irisan karkas (bobot daging, lemak, dan bobot

versi elektronik
tulang).

KESIMPULAN
Pengukuran tebal lemak tubuh berbasis prosedur ultrasonik dapat dignakan untuk menduga komposisi
fisik karkas (bobot daging, lemak +fascia, dan bobot tulang) domba.

DAFTAR PUSTAKA
Attah, S., Okubanjo, A.O., Omojola, A.B., and Adesehinwa, A.O.K. 2004. Body and carcass linear
measurements of goats slaughtered at different weights. Live. Res.Rur.Dev. 16
:http//www.Irrd.org/Irrd16/8/atta16062.htm.Accessed Nov. 3.
Berg, R.T., and R.M. Butterfield. 1976. New concepts of cattle growth. Sydney University Press.
P.240.
Crown, R.M., and R.A. Damon, Jr. 1960. The value of the 12th rib cut for measuring beef carcass yield

versi elektronik
and meat quality. J. Anim. Sci. 19:109.
Ensminger, M.E. 2002. Sheep and goats Science. 6th ed. Interstate Publishers, Danville, IL.
Natasasmita, A. 1979. Aspek pertumbuhan-perkembangan daging produksi ternak daging. Ceramah
Ilmiah 17 Februari 1979. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. p6.
Rahman, F. 2007. Prediction of carcass weight from the body characteristics of black Bengal goats.
Int. J. Agr. & Biol. 9:431-434.
Socheh, M., T.R. Wiradarya., R.E. Gurnadi., dan K.M. Hasibuan. 1991. Pengu-jian beberapa prosedur
evaluasi karkas pada domba dan kambing lokal di bawah berbagai lingkung nutritif. Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. p92.
Thiruvenkadan, A.K. and S. Panneerselvam. 2009. Body weight and its asso ciation with body
measurements in Kanni Adu goats. Ind. Vet. J. 86:487-90.

versi elektronik
Thwaites, J. 1989. The importance of body composition and how to measure it. A paper of Meta
Workshop. IPB/Australias. Project. May/June 1989.
Vezinhet, A., and M. Prudhon, 1975. Evaluation of various adipose deposits in growing rabbits and
sheeps. Anim Prod. 20:363-370.

195
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PERFORMANS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KARKAS BERBAGAI GALUR ITIK
LOKAL
Ismoyowati dan Dattadewi Purwantini

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

ABSTRAK
Keragaman genetik yang tinggi pada berbagai galur itik lokal di Indonesia menyebabkan perbedaan
performans pertumbuhan dan produksi karkas yang dihasilkan. Penelitian ini adalah untuk
membandingkan performans pertumbuhan dan produksi karkas pada berbagai galur itik lokal. Penelitian
dilakukan secara eksperimental dengan menggunakan materi penelitian berbagai galur itik lokal jantan
dan betina yang terdiri atas: entok, itik magelang kalung, itik mojosari dan itik tegal. Itik yang digunakan
berumur satu dari atau day old duck dengan jumlah keseluruhan 80 ekor jantan dan 160 ekor betina.
Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan galur itik sebagai perlakuan
(entok/G1; itik magelang kalung/G2; itik mojosari/G3; itik tegal/G4). Setiap perlakukan diulang
sebanyak 5 kali dan setiap unit percobaan terdiri atas 4 ekor untuk itik jantan dan 8 ekor itik betina.
Variabel yang diukur meliputi bobot tetas, bobot badan mingguan, persentase karkas, lemak abdomen dan
tebal daging dada. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisi variansi dan bila pengaruh

versi elektronik
perlakuan nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa galur itik berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot tetas dan berpengaruh sangat nyata (P<0.01)
terhadap bobot badan itik lokal umur 4 dan 8 minggu dan tebal daging dada. Galur itik tidak berpengaruh
nyata (P>0.05) terhadap persentase karkas dan lemak abdomen itik lokal. Hasil penelitian dapat
disimpulkan entok memiliki performan pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan itik lokal
lainnya, sehingga sangat potensial sebagai itik pedaging. Persentase karkas dan lemak abdomen pada
berbagai itik lokal relatif sama. Entok dan itik magelang jantan memiliki daging dada yang lebih tinggi
dibandingkan dengan itik lokal lainnya.
Kata kunci: itik lokal, galur, bobot badan, persentase karkas.

ABSTRACT
High genetic diversity in various lines of local ducks in Indonesia led to a performance difference in the
growth and production of carcass. This study aims to compare the growth and production performance at

versi elektronik
various lines of local ducks. The study was conducted experimentally using research materials of various
lines of male and female local ducks consisting of: Muscovy, Magelang, Mojosari and Tegal ducks.
Ducks used was day old duck with a total of 80 males and 160 females. The experiment design using a
completely randomized design with duck lines as treatment (Muscovy/G1; Magelang duck/G2; Mojosari
duck/G3; Tegal duck/G4). Each treatment was repeated 5 times and each experimental unit consisting of
4 ducks of males and 8 of females. The variables measured including the hatching weight, weekly weight,
carcass percentage, abdominal fat and the thickness of breast meat. Data were analyzed using analysis of
variance and when the real treatment effect continued with test of Honestly Significant Difference (HSD).
The results of variance analysis showed that the lines of duck affect significantly (P < 0.05) on hatching
weight and highly significant (P < 0.01) to the local duck weight of 4 and 8 weeks age and the thickness
of breast meat. Duck lines had no significant effect (P > 0.05) on carcass percentage and abdominal fat of
local ducks. The results of this study concluded that the Muscovy ducks has the highest growth
performance compared to other local ducks, so it is potential to be broiler ducks. Carcass percentage and
abdominal fat at various local ducks are relatively the same. Muscovy and magelang ducks had breast

versi elektronik
meat higher than others native ducks.
Key words: native ducks, lines, body weight, carcass percentage.

196
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENDAHULUAN
Daging itik merupakan salah satu produk hasil peternakan yang mulai banyak diminati konsumen
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Dewasa ini terjadi perubahan tingkat kesukaan atau
preferensi dari daging ayam kedaging itik, sehingga terjadi peningkatan agibisnis peternakan itik di

versi elektronik
bidang peternakan. Peternak itik banyak yang melakukan perubahan budidaya itik dari itik petelur ke
itik pedaging. Itik yang dipelihara dengan tujuan sebagai penghasil daging sebagian besar adalah itik
lokal jantan yang dipelihara selama 8 sampai dengan 12 minggu. Ismoyowati et al., (2000) melaporkan
itik lokal memiliki potensi yang besar sebagai produksi daging apabila dipelihara secara intensif dan
pakan yang diberikan cukup mengandung protein selama periode pertumbuhannya. Itik jantan yang
diberi pakan dengan protein 16 % dapat menghasilkan rataan bobot badan sebesar 1295,34 g selama 8
minggu pemeliharaan dan persentase karkas sebesar 59,23%. Produksi itik di dunia antara tahun 2000 -
2009, meningkat hampir satu juta ton dengan rata-rata peningkatan 3,3%/ tahun. Industri peternakan itik
secara global didominasi oleh Asia, yaitu sebesar 80.3% dari produksi total di dunia pada tahun 2000
meningkat menjadi 83.5% pada tahun 2009, dengan pertmbuhan 3.8%/tahun. Indonesia merupakan
Negara dengan produksi daging itik yang rendah dibandingkan dengan Negara Asia lainnya, dengan
produksi daging sebesar 25.8 ribu ton pada tahun 2009 (http://www.thepoultrysite.com. 2014).
Itik lokal Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya

versi elektronik
untuk meningkatkan pendapatan peternak. Beberapa jenis itik lokal diberi nama sesuai dengan asalnya
dan mempunyai ciri-ciri morfologi yang khas, yaitu itik tegal, itik magelang, itik mojosari, itik cihateup,
itik rebon yang terdapat di Pulau Jawa, itik Bali terdapat di Pulau Bali, di Kalimantan Selatan dikenal itik
Alabio, di Sumatra Selatan dikenal itik pegagan, di Sumatera Barat dikenal itik pitalah dan itik kamang
serta itik talang benih di Bengkulu. Itik lokal yang ada saat ini merupakan keturunan dari persilangan
beberapa itik lokal dengan itik impor sehingga diperoleh beraneka ragam warna dan nama itik
(Ismoyowati, 2014). Keragaman genetik yang tinggi pada berbagai galur itik lokal menyebabkan
perbedaan performans pertumbuhan dan produksi karkas yang dihasilkan.
Pernelitian performan pertumbuhan dan produksi karkas pada berbagai galur itik lokal Indonesian penting
dilakukan mengingat semakin tingginya permintaan daging itik untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Informasi mengenai galur itik lokal yang paling potensial sebagai penghasil daging sangat diperlukan
agar peternak dapat memilih jenis itik sesuai dengan tujuan pemeliharaannya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk membandingkan performans pertumbuhan dan produksi karkas pada berbagai galur itik

versi elektronik
lokal.

METODE PENELITIAN
Materi penelitian adalah day old duck (DOD) berbagai galur itik lokal yaitu entok, itik magelang kalung,
itik mojosari dan itik tegal jantan masing-masing galur sebanyak 20 ekor dan betina masing-masing 40
ekor. Pakan yang digunakan adalah pakan komplit (complete feed) dengan kode BRI dengan kandungan
nutrient: protein kasar 20.5%, energy (ME) 3000 kcal/kg, lemak kasar 5%, serat kasar 4.5%, kalsium (Ca)
1% dan fosfor (P) 0.9%.
Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan rancangan percobaan Rancangan acak lengkap, dengan
perlakuan adalah 4 galur itik yaitu G1= entok G2= itik Magelang kalung, G3= itik Mojosari dan G4 itik
Tegal. Setiap percobaan diulang sebanyak lima kali dan setiap unit percobaan terdiri atas 4 ekor untuk
itik jantan dan 8 ekor untuk itik betina. Pengukuran bobot badan dan pertumbuhan dilakukan setiap
minggu dimulai pada minggu pertama sampai dengan 10 minggu. Pemotongan itik sebagai sampel untuk

versi elektronik
pengamatan produksi karkas dilakukan pada umur 10 minggu.Data pertmbuhan dan produksi karkas itik
dianalisis dengan analisis variansi dan apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
peubah yang diamati, maka dilakukan uji lanjut dengan uji BNJ.
Pemeliharaan itik dilakukan dengan pemberian pakan disesuaikan dengan umur itik yaitu: umur 1 hari
sampai dengan 1 bulan (periode starter) diberi pakan 80 - 100 g/ekor/hari, itik umur 1-10 minggu
(periode grower) diberi pakan 100 – 150 g/ekor/hari. Konsumsi pakan diukur setiap hari dengan

197
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
menimbang sisa pakan setiap pagi hari sebelum diberikan pakan yang baru. Air minum diberikan secara
adlibitum dan pembersihan kandang dilakukan setiap hari.
Pengambilan sampel itik untuk pengamatan produksi karkas hanya dilakukan padaitik jantan umur 10

versi elektronik
minggu, dengan cara itik diambil dari setiap unit percobaan sebanyak 1 ekor, sehingga sampel itik yang
dipotong sebanyak 20 ekor. Itik dipotong dengan metode Khoser, selanjutnya dilakukan prosessing
untuk memperoleh karkas dengan urutan: scalding, defethering, evicerasi dan pemotongan bagian non
karkas serta penimbangan karkas (Rose, 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Performans Pertumbuhan Itik Jantan dan Betina
Hasil analisis variansi menunjukkan bobot tetas entok jantan dan betina berbeda nyata dengan itik
magelang, mojosari dan tegal. Tiga jenis itik species Anas plathyrhinchos memiliki bobot tetas yang
relatif sama (Gambar 1).

60.00

versi elektronik
50.00
Bobot tetas (g)

40.00
30.00
20.00 Bobot tetas betina (g)

10.00 Bobot tetas jantan (g)

0.00

Galur itik

versi elektronik
Gambar 1. Grafik bobot tetas entok dan itik lokal lainnya jantan dan betina
Bobot tetas sangat berpengaruh terhadap bobot badan sampai dengan umur 8 minggu, karena adanya
korelasi positif antara bobot tetas dan bobot umur 4 dan 8 minggu. Besarnya korelasi bobot tetas dengan
bobot badan itik betina umur 4 minggu sebesar r = 0,528 sedangkan korelasi bobot umur 4 minggu
dengan 8 minngu sebesar r = 0,795. Pada itik jantan menunjukkan korelasi positif sebesar r = 0,688
antara bobot tetas dengan bobot umur 4 minggu dan r = 0,649 antara bobot umur 4 minggu dengan bobot
8 minggu.
Tabel 1. Bobot badan itik entok dan itik lokal lainnya betina umur 4 dan 8 minggu
Bangsa unggas Bobot tetas (g) Bobot badan 4 minggu (g) Bobot badan 8 minggu (g)
b b
Entog 52,93±4,71 510,25±82,64 1114,00±61,53d
Magelang 43,41±4,21a 503,42±13,26b 902,10±9,25c

versi elektronik
Mojosari 40,69±1,11a 243,52±10,77a 561,43±38,39a
Tegal 44,77±1,07a 452,48±6,46b 788,52±7,16b
Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji BNJ 0,05

198
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Rose (1997) menyatakan bahwa selama periode penetasan berat telur berkurang sebesar 12%. Etches
(1996) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara bobot badan dengan bobot telur, induk
yang mempunyai bobot badan besar menghasilkan telur yang besar sedangkan induk yang kecil
menghasilkan telur yang kecil. Ensminger (1992) menyatakan bahwa ukuran telur antara lain dipengaruhi

versi elektronik
oleh bobot unggas dan banyaknya peneluran pada suatu periode tertentu dibagi dengan jumlah hari
istirahat (besarnya cluth). Semakin besar induk, telur yang dihasilkan semakin besar dan semakin kecil
cluth, telur yang dihasilkan semakin besar. Szabone dan Willin (1995) melaporkan terdapat korelasi
positif antara bobot telur, bobot dod dan bobot anak itik sampai umur 6 minggu. Hubungan ini dapat
digunakan untuk melakukan seleksi berdasarkan bobot telur dan dod.

1600.00
1400.00
1200.00
Bobot badan (g)

1000.00
800.00 Entok

versi elektronik
600.00 Magelang
400.00 Mojosari
200.00 Tegal
0.00

Umur (minggu)

Gambar 2. Grafik pertumbuhan entok dan itik lokal betina

versi elektronik
Galur itik
Entog
Magelang
Tabel 2. Bobot badan entok dan itik lokal lainnya jantan umur 4 dan 8 minggu
Bobot tetas (g)
53,66±2,45
44,05±3,23a
b
Bobot badan 4 minggu (g)
665,17±70,46
549,12±42,90b
c
Bobot badan 8 minggu (g)
1421,60±103,61d
1131,00±43,14c
Mojosari 40,25±2,08a 279,21±16,98a 717,90±36,81a
Tegal 48,75±1,32a 380,97±5,41a 803,92±5,19b
Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji BNJ 0,05
Genetic yaitu species unggas berpengaruh sangat nyata terhadap bobot badan entok (Cairina moschata)

versi elektronik
dan itik lokal lainnya (Anas plathyrhinchos) umur 4 dan 8 minggu (Tabel 1 dan 2). Perbedaan laju
pertumbuhan pada entok dan berbagai itik lokal disajikan pada gambar 2 dan 3. Entok memiliki bobot
badan yang lebih tinggi sehingga lebih berpotensial sebagai unggas penghasil daging dibandingkan
dengan itik lokal lainnya. Pakan yang diberikan, baik kuantitas maupun kualitas antara entok dan itik
sama. Hasil pengamatan selama penelitian entok memiliki konversi pakan yang lebih rendah
dibandingkan dengan itik lokal lainnya. Entok jantan menghasilkan konversi pakan yang lebih rendah

199
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dibandingkan dengan entok betina maupun itik lokal lainnya. Rataan konversi pakan pada entok dan itik
selama 8 minggu pemeliharaan adalah 2,15 pada entok jantan, 2,24 pada entok betina, 2,55 pada itik
magelang jantan, 2,74 pada itik magelang betina, 2, 69 pada itik mojosari jantan dan 2, 76 pada itik
mojosari betina serta 2,3 dan 2,69 pada itik tegal jantan dan betina. Scoot et al. (1992) menyatakan

versi elektronik
bahwa pada periode pertumbuhan ternak itik mengkonsumsi protein untuk hidup pokok, pertumbuhan
jaringan dan pertumbuhan bulu.

1800.00
1600.00
1400.00
Bobot badan (g)

1200.00
1000.00
Entok
800.00
600.00 Magelang
400.00 Mojosari
200.00
Tegal
0.00

versi elektronik Umur (minggu)

Gambar 3. Grafik pertumbuhan entok dan itik lokal jantan


Pada penelitian ini anak entok dan itik dari dod sampai umur 8 minggu diberi pakan pakan BR I dengan
kandungan nutrien PK 21% dan ME 3000 kkal/kg. Leeson et al (1996) dan Husein et al (1996)
menyatakan bahwa semakin tinggi kadar energi dan protein dalam pakan maka konversinya akan semakin
baik disebabkan konsumsi pakan yang lebih rendah. Hasil penelitian ini lebih efisien dibanding dengan
hasil penelitian Bintang et al (1977) pada itik local umur nol minggu sampai empat minggu yang diberi
pakan dengan aras protein 16% menghasilkan konsumsi pakan sebesar 1259 g, pertambahan berat badan
353 g dan konversi pakan sebesar 3,57.

versi elektronik
Pada gambar 2 dan 3 terlihat bahwa entok memiliki laju pertumbuhan yang paling tinggi, sedangkan itik
lokal yang lain memiliki laju pertumbuhan paling cepat pada itik Magelang. Itik Magelang merupakan
itik dwiguna yang berpotensi sebagai pengasil telur pada itik betina dan daging pada itik jantan.
Ismoyowati dan Purwantini (2009) melaporkan itik Magelang betina dewasa memiliki bobot badan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan itik mojosari dan tegal (1734 g vs 1476; 1482 g).

Persentase karkas, lemak abdomen dan tebal daging dada itik lokal
Hasil pengukuran produksi karkas, persentase lemak abdomen dan tebal daging (otot) dada tersaji pada
tabel 3. Hasil analisis variansi menunjukkan persentase karkas dan lemak abdomen pada berbagai itik
lokal relatif sama yaitu 58,94-60,99% untuk persentase karkas dan 0,45-0,75% untuk lemak abdomen.
Tebal daging (otot) bagian dada merupakan indikator unggas sebagai penghasil daging. Hasil penelitian

versi elektronik
ini menunjukkan entok dan itik Magelang jantan berpotensi lebih tinggi sebagai penghasil daging
dibandingkan dengan itik mojosari dan tegal.

200
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 3. Rataan persentase karkas dan lemak abdomen serta tebal daging dada entok dan itik jantan.
Galur itik Persentase karkas (%) Persentase lemak Tebal daging dada (mm)
abdomen (%)

versi elektronik
Entok 59.44±3.65a 0.55±0.29a 14.00±1.00b
Magelang 58.94±5.26a 0.75±0.30a 12.60±1.14b
Mojosari 59.44±3.65a 0.45±0.06a 6.80±1.79a
Tegal 60.99±2.00a 0.53±0.06a 8.60±1.67a
Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji BNJ 0,05
Ismoyowati et al., (2001) melaporkan itik lokal memiliki potensi yang besar sebagai produksi daging
apabila dipelihara secara intensif dan pakan yang diberikan cukup mengandung protein selama periode
pertumbuhannya. Itik jantan yang diberi pakan dengan protein 16 % dapat menghasilkan rataan bobot
badan sebesar 1295,34 g selama 8 minggu pemeliharaan dan persentase karkas sebesar 59,23%. Unggas
air lainnya yang berpotensi sebagai pengahasil daging karena pertumbuhan dan perdagingannya yang
tebal adalah entok (Kleczek et al., 2006). Entok mempunyai persentase karkas sebesar 74% (Wawro et

versi elektronik
al., 2004).Kendala dalam pengembangan entok adalah adanya sifat mengeram pada entok sehingga
perkembangan populasinya kurang cepat karena produksi telurnya sangat rendah yaitu 8-12 butir per
periode bertelur.

KESIMPULAN
Entok memiliki performan pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan itik lokal lainnya,
sehingga sangat potensial sebagai itik pedaging. Persentase karkas dan lemak abdomen pada berbagai itik
lokal relatif sama. Entok dan itik magelang jantan memiliki daging dada yang lebih tinggi dibandingkan
dengan itik lokal lainnya.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Direktur Jenderal pendidikan Tinggi atas dana penelitian hibah
kompetensi DIKTI.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Bintang, I.A.K., M. Silalahi , T. Antawidjaja, dan Y.C. Raharjo. 1997. Pengaruh Berbagai Tingkat
Kepadatan Gizi Ransum terhadap Kinerja Pertumbuhan Itik Jantan Lokal dan Silangannya.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner., 2 (4): 237-241.
Ensminger, R.C. 1992. Poultry Science. The International Printer and Publisher Inc. New York, Toronto,
London.
Etches, R.J. 1996. Reproduction in Poultry. Cab International. University Press. Cambridge.
Husein, A.S., A.H. Cantor, A.J. Pescatore and T.H. Johnson. 1996. Effect of Dietary Protein and Energy
Level on Pullet Development. Poultry Science 75: 973-978.
Ismoyowati dan D. Purwantini. 2009. Isolasi dan Identifikasi DNA Itik Lokal untuk Memperoleh
Keragaman Genetik sebagai Sumber Gen-gen Unggul. Laporan Penelitian Fundamental.

versi elektronik
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Unsoed. Purwokerto.
Ismoyowati, Sidadolog, J.H.P. dan Nasroedin. 2001. Performans Pertumbuhan Itik Lokal berdasarkan
Pejantan, Induk, Aras protein Pakan dan Seks. Animal Production, Edisi Khusus, Pebruari 2001:
165-171.
Ismoyowati. 2014. Keragaman Genetik Itik Lokal Indonesia. Unsoed Press. Purwokerto

201
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Kleczek, K, K. Wawro, E. Wilkiewicz-Wawro, and W. Makowski. 2006. Multiple Regression Equations
to Estimate the Content of Breast Muscles, Meat, and Fat in Muscovy Ducks. Poultry Science,
85: 1318-1326.

versi elektronik
Leeson, S.L. Caston and J.D. Summers. 1996. Broiler Respon to Energy and Protein Dilution in Finisher
Diet. Poultry Science., 66: 1924-1928.
Rose, S.P. 1997. Priciples of Poultry Science. CAB International. London. UK.
Scott, M.L. and W.F. Dean. 1992. Nutrition and Management of Ducks. M.L. Scott of Ithaca, Ithaca,
New York.
Szabone and Willin. 1995. Relation Between Egg Weight and Intensity of Growth in Geese.
Proceedings 10th European Symposium on Water Fowl . Halle (Saale), Germani.
Wawro, K., E. Wilkiewicz-Wawro, K. Kleczek, and W. Brzozowski. 2004. Slaughter value and meat
quality of Muscovy and Pekin ducks and their crossbreds and evaluation of heterosis effects.
Arch. Tierz. 3:287–299.
www.thepoultrysite.com. 2014. Global Poultry Trends 2013: Record World Duck Meat Production in

versi elektronik
2013. Diakses 27 Mei 2014.

versi elektronik

versi elektronik 202


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH KANDANG DAN WARNA BULU TERHADAP KINERJA PRODUKSI TELUR
AYAM KAMPUNG
Sri Sudaryati1, Arrijal Hammi2, Jafendi Hasoloan Purba Sidadolog3, dan Wihandoyo4

versi elektronik
1
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada; email: daryati5@yahoo.com
2
Mantan mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, angkatan 2006
3
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada; email: sidadolog4@yahoo.com
4
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada; email: wihandoyo@rocketmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kandang kelompok, kandang individu, warna bulu
hitam, dan putih terhadap kinerja produksi telur ayam Kampung umur 40 minggu. Enam belas ekor ayam
berbulu hitam dan 16 ekor berbulu putih, masing-masing dibagi dalam 4 kelompok. Setiap kelompok
warna bulu dimasukkan kedalam kandang individu untuk ayam hitam (IH) dan ayam putih (IP) serta
kandang kelompok ayam hitam (KH) dan ayam putih (KP). Penelitian dilakukan selama 3 kali periode
peneluran 28 hari. Analisis variansi rancangan acak kelompok pola split plot digunakan dalam penelitian
ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur, berat telur, pertambahan bobot badan tidak
berbeda antara IH, IP, KH, dan KP untuk semua periode peneluran. Konsumsi pakan meningkat dengan

versi elektronik
bertambahnya umur ayam (P<0,01), secara berurutan adalah 110,19 ± 3,70; 122,59 ± 8,02; dan 135,13 ±
5,11 gram/ekor/hari. Konversi pakan periode 40 – 44 minggu (8,49 ± 2,97) berbeda (P<0,05) dengan
periode 48 – 52 minggu (18,03 ± 9,66), sedangkan periode 44 – 48 minggu (14,12 ± 5,02) tidak berbeda
dengan periode 40 - 44 dan 48 – 52 minggu. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan kandang individu,
kandang kelompok, warna bulu hitam, dan putih tidak mempengaruhi kinerja produksi telur. Semakin
bertambahnya umur ayam,, konsumsi dan koversi pakan meningkat.
Kata Kunci: Ayam Kampung, kandang, warna bulu, produksi telur).

ABSTRACT
This research aims were to know the effect of the group and individual cages, black and white plumage
color on egg production of native chicken age 40 week. Sixteen black and 16 white-plumage chickens,
each divided into 4 groups. Each group plumage color entered into individual cages for black (IH) and
white (IP) as well as a group cages of black (KH) and white (KP). Research conducted during 3 periods of
28 day egg production. Analysis of variance of group split plot were used in this study. The results

versi elektronik
showed that egg production, egg weight, body weight gain were not differ between the IH, IP, KH, and
KP for all the periods of egg production. Feed consumption increased with increasing age of the chickens
(P < 0.01), sequentially was 110,19±3.70; 122,59 ± 8.02; and 5.11 ± 135,13 g/bird/day. The feed
conversion of period 40 – 44 week (8,49±2.97) differed (P < 0.05) with period 48 – 52 week
(18.03±9,66), whereas periods 44 – 48 week (14,12±5,02) did not differ either period 40 - 44 or 48 - 52
week. It concluded that individual and group cages, black and white plumage did not affect the
performance of egg production. Feed conversion and feed consumption were increased with the
increasing chicken age.
Key Words: Native chicken, cage, color plumage, egg production

PENDAHULUAN
Ayam Kampung memiliki bulu yang berwarna-warni dengan kecepatan pertumbuhan dan reproduksi
yang rendah. Warna bulu diduga berpengaruh terhadap kinerja produksi maupun reproduksi ayam.

versi elektronik
Pemeliharaan ayam secara dikandangkan diharapkan akan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhan hidup sehingga diharapkan akan mengoptimalkan potensi genetiknya. Keragaman genetik
ayam Kampung masih tinggi yang berpengaruh terhadap kinerja produksi dan reproduksi.

203
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh warna bulu khususnya warna hitam dan
putih serta pemeliharaan dikandang secara individual maupun secara berkelompok terhadap kinerja
produksi telur.

versi elektronik
Tinjauan Pustaka
Berbagai jenis ayam lokal baik yang asli maupun hasil adaptasi yang dilakukan selama puluhan bahkan
ribuan tahun yang lalu ada di Indonesia. Indonesia memiliki sekurang-kurangnya ada 31 bangsa ayam
lokal atau dapat disebut sebagai suatu kelompok ayam lokal yang perbedaannya jelas antara kelompok
satu dengan kelompok lainnya (Nataamijaya, 2000). Ayam lokal yang tidak memiliki karakteristik khusus
disebut ayam Kampung (Nataamijaya, 2010), biasanya ayam Kampung dipelihara secara diumbar di
berbagai pelosok pulau Jawa (Rytzan et al. 2011).
Ayam Kampung yang dipelihara secara tradisional, hanya mampu bertelur sekitar 50 butir/ekor/tahun
(13,69%), namun apabila dipelihara secara intensif, hasil penelitian Sidadolog (1992), menunjukkan
bahwa ayam mampu bertelur 27 butir selama 105 hari (25,71%). Hasil penelitian Sri-Sudaryati (2010)
menunjukkan bahwa ayam yang dipelihara secara intensif, produksi telur berkisara antara 25,32 – 28,85%
dengan berat telur sekitar 36,79 – 37,24 g/butir, selanjutnya dilaporkan bahwa berat badan, berat telur,
konsumsi pakan ayam Kampung meningkat dengan bertambahnya umur.

versi elektronik
Lingkungan kandang dapat meningkatkan kesejahteraan karena ayam dapat berekspresi sesuai dengan
tingkah laku normal seperti bersarang, bertengger, dan menceker-ceker (Tactacan et al., 2009). Kandang
yang baik dapat meningkatkan kinerja produksi dan reproduksi dari ayam (Bayyari et al., 1997). Ayam
lebih banyak mematuk pakan saat ada temannya dibandingkan saat dia sendirian (Keeling and Hurink,
1996 cit. Blackshaw, 2003), hal ini didukung oleh hasil penelitian Meunier-Salaun and Faure, 1984 cit.
Blackshaw (2003), bahwa ayam petelur memilih untuk makan dekat dengan ayam yang lain saat ayam
diberi kesempatan untuk memilih lokasi tempat pakan, ini menunjukkan adanya ketertarikan sosial
diantara ayam betina.

METODE PENELITIAN
Ayam Kampung betina umur 40 minggu berbulu hitam dan putih masing-masing 16 ekor, dibagi dalam 4
kelompok masing-masing 4 ekor betina dikawinkan dengan 1 pejantan dengan umur yang sama.
Berdasarkan warna bulu, setiap kelompok dikandangkan kedalam kandang kelompok ukuran 3x2,5 m2

versi elektronik
atau kandang individu ukuran 1x0,75 dimana 4 betina secara bergiliran didatangi oleh 1 pejantan yang
sama. Setiap perlakuan diulang 2 kali. Pakan yang diberikan mengandung sekitar 14,62% protein, 2.815
kcal energy metabolis, 3,14% calcium dan 0,82% phosphor. Pakan diberikan secara bebas. Ayam
dipelihara selama 3 kali periode peneluran 28 hari. Data yang dikumpulkan setiap hari adalah jumlah
peneluran, konsumsi pakan, dan berat telur, sedangkan bobot badan ditimbang setiap seminggu sekali.
Analisis statistik yang digunakan adalah Analisis variansi rancangan acak kelompok pola split plot,
apabila ada perbedaan dilanjutkan dengan analisis Duncan`s multi range test.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produksi telur selama tiga periode peneluran 28 hari pada ayam berbulu hitan dan putih yang
dikandangkan di kandang individu maupun kandang kelompok ada pada Tabel 1. Tidak ada perbeda-an
produksi telur berdasarkan sistem kandang, warna bulu, maupun periode peneluran. Produksi telur
kandang individu (29,10±12,26%) cenderung lebih tinggi dari kandang kelompok (15,99±11,49). Ayam
berbulu putih (24,63±15,06) cenderung bertelur lebih banyak dari ayam

versi elektronik 204


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 1. Rerata produksi telur (%)
Periode Umur Warna bulu Kandang Rerata ± sd
Individu Kelompok

versi elektronik
1 40 - 44 Putih 41,07 28,57 34,82 ± 15,69
Hitam 30,80 20,09 25,45 ± 10,32
Rerata 35,94 ± 12,78 24,33 ± 12,57 30,13 ± 13,28
2 44 - 48 Putih 28,13 15,18 21,65 ± 10,80
Hitam 28,13 8,49 18,31 ± 15,51
Rerata 28,13 ± 13,05 11,83 ± 4,37 19,98 ± 12,50
3 48 - 52 Putih 29,47 5,36 17,41 ± 15,78
Hitam 16,97 18,31 17,64 ± 10,70
Rerata 23,22 ± 10,60 11,83 ± 13,03 17,52 ± 12,48
Rerata ± sd Putih 32,89 ± 12,71 16,37 ± 13,18 24,63 ± 15,06
Hitam 25,30 ± 11,60 15,63 ± 10,78 20,46 ± 11,89
Rerata ± sd 29,10 ± 12,26 15,99 ± 11,49

versi elektronik
berbulu hitam (20,46±11,89). Ayam Kampung umur 40 - 44 minggu cenderung sudah mulai menurun
produksinya dengan semakin sedikit produksi telurnya, namun penurunannya secara statistik belum nyata.
Hasil penelitian menunjukkan ayam Kampung masih sangat bervariasi ditunjukkan dengan nilai standar
deviasi yang tinggi.
Rerata berat telur ada pada Tabel 2. Tidak ada perbedaan berat telur ayam Kampung berbulu hitam dan
putih serta yang dikandangkan pada kandang individu maupun kandang kelompok selama tiga periode
peneluran. Rerata berat telur kandang individu (39,99 ± 1,98 g) tidak berbeda dengan berat telur kandang
kelompok (40,62 ± 2,06 g). Ayam berbulu putih memiliki berat telur 40,62 ± 2,06 g, sedangkan ayam
berbulu hitam memiliki rerata berat telur 41,33 ± 1,96 g. Ada kecenderungan bahwa ayam yang memiliki
produksi telur rendah akan memilik berat telur yang lebih baik. Berat telur cenderung meningkat dengan
semakin bertambah umur ayam, meskipun peningkatan berat telur belum menunjukkan signifikan.
Rerata konsumsi pakan (Tabel 3) menunjukkan perbedaan (P<0,05). Konsumsi pakan meningkat dengan
bertambahnya umur. Peningkatan konsumsi pakan sesuai dengan hasil penelitian Sri-Sudaryati (2010)

versi elektronik
yang mendapatkan bahwa konsumsi pakan meningkat bersamaan dengan meningkatnya berat telur,
maupun berat badan ayam. Hasil penelitian menunjukkan konsumsi pakan meningkat dengan nyata
(P<0,05) dari 110,19±370 g/ekor/hari umur 40 – 44 minggu, menjadi 122,59±8,02 g/ekor/hari umur 44 –
48 minggu dan 135,13±5,11 g/ekor/hari umur 48 – 52 minggu.
Konsumsi pakan berdasar kandang individu (126,45±12,44 g/ekor/hari) tidak berbeda dengan konsumsi
pakan di kandang kelompok (118,74 ± 12,21 g/ekor/hari), demikian pula konsumsi pakan ayam putih
(121,82±12,06 g/ekor/hari) tidak berbeda dengan konsumsi ayam hitam (123,37±12,07 g/ekor/hari). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kenyamanan ayam tidak berbeda antara ayam yang dipelihara di kandang
individu maupun di kandang kelompok. Pendapat Keeling and Hurink (1996) maupun Meunier-Salaun
and Faure (1984) yang keduanya disitasi oleh Blackshaw (2003) bahwa ayam petelur akan lebih banyak
mematuk dan makan ketika ada temannya menunjukkan bahwa meski dibatasi pembatas, ayam di dalam
kandang individu masih merasa mempunyai teman seperti ayam yang ada di kandang kelompok.

versi elektronik 205


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 2: Rerata berat telur (g/butir)
Periode Umur Warna bulu Kandang Rerata ± sd
Individu Kelompok

versi elektronik
1 40 – 44 Putih 37,82 39,61 38,72 ± 1,48
Hitam 41,37 40,06 40,72 ± 3,17
Rerata 39,59 ± 2,53 39,83 ± 2,91 39,72 ± 2,53
2 44 – 48 Putih 38,53 40,70 39,61 ± 2,04
Hitam 41,06 41,54 41,30 ± 1,17
Rerata 39,79 ± 2,19 41,12 ± 1,20 40,45 ± 1,78
3 48 - 52 Putih 39,57 39,43 39,50 ± 1,10
Hitam 41,60 42,37 41,99 ± 1,25
Rerata 40,58 ± 1,57 40,90 ± 2,09 40,74 ± 1,72
Rerata ± sd Putih 38,63± 1,74 39,91 ± 0,95 39,27 ± 1,50
Hitam 41,34 ± 1,10 41,32 ± 2,69 41,33 ± 1,96
Rerata ± sd 39,99 ± 1,98 40,62 ± 2,06

versi elektronik
Tabel 3: Rerata konsumsi pakan selama 84 hari produksi telur (g/ekor/hari)
Periode Umur Warna bulu Kandang Rerata ± sd
Individu Kelompok
1 40 - 44 Putih 110,97 106,15 108,56±3,67
Hitam 113,04 110,61 111,82±3,36
Rerata 112,01±3,10 108,38±3,67 110,19a±370
2 40 - 44 Putih 125,01 118,75 121,88±4,32
Hitam 131,08 115,54 123,31±11,40
Rerata 128,04±7,03 117,14±4,64 122,59b±8,02
3 40 - 44 Putih 140,00 130,00 135,00±5,90
Hitam 138,58 131,96 135,27±5,11
Rerata 139,29±2,62 130,98±2,86 135,13c±5,11
Rerata ± sd Putih 125,33±13,15 118,30±10,83 121,82±12,06

versi elektronik
Hitam 127,57±12,82 119,17±10,76 123,37±12,07
Rerata ± sd 126,45±12,44 118,74 ± 12,21
abc
superscrip pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan (P<0,05)

versi elektronik 206


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 4. Rerata pertambahan berat badan ayam selama 84 hari (g/ekor/hari)
Periode Umur Warna bulu Kandang Rerata ± sd
Individu Kelompok

versi elektronik
1 40 - 44 Putih 2,68 3,53 3,10±0,98
Hitam 2,59 1,92 2,25±1,10
Rerata 2,63±1,09 2,72±1,21 2,68±1,06
2 40 - 44 Putih 1,51 2,68 2,10±0,85
Hitam 1,96 2,28 2,12±0,47
Rerata 1,74±1,09 2,48±1,09 2,11±0,64
3 40 - 44 Putih 1,56 2,19 1,88±0,54
Hitam 3,35 3,93 3,64±1,37
Rerata 2,46±1,48 3,06±1,35 2,76±1,35
Rerata ± sd Putih 1,92±0,71 2,80±0,94 2,36±0,92
Hitam 2,63±1,34 2,71±1,15 2,67±1,19
Rerata 2,28±1,09 2,75±1,00

versi elektronik
Tabel 5. Rerata konversi pakan
Periode Umur Warna bulu Kandang Rerata ± sd
Individu Kelompok
1 40 - 44 Putih 6,49 7,68 7,08±2,05
Hitam 7,92 11,87 9,89±3,33
Rerata 7,21±2,10 9,78±3,43 8,49a±2,97
2 44 - 48 Putih 10,73 13,43 12,08±2,46
Hitam 11,74 20,58 16,16±6,46
Rerata 11,24±4,30 17,00±4,27 14,12ab±5,02
3 48- 52 Putih 11,34 30,38 20,86±11,30
Hitam 13,82 16,59 15,20±8,30
Rerata 12,58±3,38 23,49±11,27 18,03b±9,66
Rerata ± sd Putih 9,52±3,38 17,16±10,69 13,34±8,55

versi elektronik
Hitam 11,16±4,49 16,35±7,42 13,76±6,44
Rerata 10,34±3,88 16,76±8,78
abc
superscrip pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan (P<0,05)
Rerata pertambahan berat badan ayam (Tabel 4) menunjukkan tidak ada perbedaan pertambahan berat
badan ayam yang dikandangkan di kandang individu (2,28±1,09 g/ekor/hari) maupun yang dikandangkan
di kandang kelompok (2,75±1,00 g/ekor/hari). Konsumsi pakan ayam putih (2,36±0,92 g/ekor/hari) tidak
berbeda dengan konsumsi pakan ayam hitam (2,67±1,19 g/ekor/hari). Rerata pertambahan berat badan
periode 40 – 44 minggu adalah (2,68±1,06 g/ekor/hari), periode 44 – 48 minggu adalah (2,11±0,64
g/ekor/hari), dan periode 48-52 minggu adalah (2,76±1,35 g/ekor/hari), menunjukkan tidak saling
berbeda.
Berdasarkan periode peneluran ada perbedaan konversi pakan (Tabel 5) antara periode 40 – 44
minggu dengan periode 48 – 52 minggu (P<0,05). Konversi pakan periode 44 – 48 minggu (14,12±5,02)

versi elektronik
tidak berbeda dengan konversi pakan periode 40 – 44 minggu (8,49±2,97), maupun konversi pakan
periode 48 – 52 minggu (18,03±9,66). Konversi pakan meningkat dengan bertambahnya umur ayam.
Konversi pakan di kandang individu (10,34±3,88) dan di kandang kelompok (16,76±8,78), tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai konversi pakan ayam berbulu putih (13,34±8,55) dan berbulu
hitam (13,76±6,44) menunjukkan nilai yang hampir sama dan tidak saling berbeda.

207
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ayam Kampung masih sangat bervariasi sifat produksi dan reproduksinya ditandai dengan standar deviasi
yang tinggi dan perbedaan nominal yang besar tidak menyebabkan perbedaan diantara perlakuan. Umur
40 minggu ayam Kampung sudah menunjukkan penurunan produksi telur meskipun penurunannya tidak
nyata.

versi elektronik
KESIMPULAN
Kandang individu dan kandang kelompok serta warna bulu putih dan hitam tidak berpengaruh terhadap
produksi telur, berat telur, konsumsi pakan, konversi pakan, maupun pertambahan bobot badan ayam.
Konsumsi pakan dan konversi pakan meningkat dengan bertambahnya umur ayam

DAFTAR PUSTAKA
Bayyari, G. R., W. E. Huff, N. C. Rath, J. M. Balog, L. A. Newberry, J. D. Villines, J. K. Skeeles, N. B.
Anthony, and K. E. Nestor. 1997. Effect of genetic selection of turkeys for increased body
weight and egg production on immune and physiological responses. Poult. Sci. 76:289–296
Blackshaw. 2003. Chapter 3f BEHAVIOURAL PROFILES OF DOMESTIC ANIMALS
http://www.animalbehaviour.net/JudithKBlackshaw/JKBlackshawCh3f.pdf

versi elektronik
Nataamijaya, A. G. 2000. Ayam Indonesia. Bull Plasma Nutfah 6:1-6.
Nataamijaya, A. G. 2010. Pengembangan potensi ayam lokal untuk menunjang peningkatan kesejahteraan
petani. J. Litbang Pertan. 29:131–138.
Riztyan, T. Katano , T. Shimogiri , K. Kawabe , and S. Okamoto. 2011. Genetic diversity and population
structure of Indonesian native chickens based on single nucleotide polymorphism markers. Poult.
Sci. 90 :2471–2478
Sidadolog, J.H.P., Nasroedin, and T. Yuwanta. 1992. Waktu, frekuensi, dan sistem perkawinan terhadap
fertilitas, kualitas sperma dan performan ayam Kampung yang dipelihara secara semi intensif.
Laporan penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sri-Sudaryati. 2010. Pengaruh kandang litter terhadap kinerja reproduksi ayam Kampung berwarna hitam
dan putih. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal ke IV. Fakltas Peternakan Undip.
Semarang, 7 Oktober 2010. P. 216-221.

versi elektronik
Tactacan, G.B., W. Guenter, N.J. Lewis, J.C. Rodriguez-Lecompte, and J.D. House. 2009. Performance
and welfare of laying hens in conventional and enriched cages. Poult. Sci, 88:698-707.

versi elektronik 208


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KEMAMPUAN PREDIKSI SEL SOMATIK UNTUK DIAGNOSIS MASTITIS SUBKLINIS
PADA KAMBING PERANAKAN ETTAWA
Sulvia Dwi Astuti SW dan Wulandari

versi elektronik
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada; Email: sulviadwiastuti@yahoo.com,
wulan.dc2010@gmail.com

ABSTRAK
Jumlah sel somatik (somatic cell count atau SCC) dalam susu sering digunakan sebagai dasar deteksi
mastitis subklinis pada sapi maupun domba perah, yang disebabkan oleh adanya infeksi kelenjar ambing.
Akan tetapi, tingginya SCC dalam susu kambing dipengaruhi oleh beberapa faktor noninfeksius, misalnya
fase laktasi dan paritas. Neutrofil (polymorphonuclear leucocyte) merupakan bagian dari sel darah putih
yang berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan prediksi sel somatik untuk diagnosis mastitis subklinis pada kambing Peranakan
Ettawa (PE). Duapuluh sampel susu dari kambing PE laktasi digunakan dalam penelitian ini. Metode
Breed digunakan untuk menghitung SCC dan neutrofil. Penentuan mastitis subklinis berdasarkan
persentase neutrofil terhadap SCC (mastitis subklinis jika persentase neutrofil≥87%). Hasil penelitian
menunjukkan SCC pada kambing PE sangat tinggi (2044,2x103±1,1437 sel/mL) dengan persentase

versi elektronik
neutrofil sangat rendah (200±4,1789 sel/mL atau 0,009%). Hal ini dikarenakan partikel sitoplasma
merupakan unsur yang umum ditemukan pada susu kambing, bahkan konsentrasinya dapat mencapai
sepuluh kali lipatnya. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara SCC dengan jumlah neutrofil
pada kambing PE, sehingga SCC tidak dapat digunakan untuk deteksi mastitis subklinis pada kambing
PE.
Kata kunci: Sel somatik, Neutrofil, Mastitis subklinis, Kambing Peranakan Ettawa

ABSTRACT
Milk somatic cell count (SCC) is used to the basis of subclinical mastitis (SM) diagnosis in ewes and
cows due to intramammary infection. However, higher rate of milk SCC in goat are influenced by
noninfectious factors, such as lactation stage and parity. Neutrophils (polymorphonuclear leucocyte) is the
part of white blood cells associated with the body’s defense to bacterial infection. This study aimed to
determine the predictive ability of somatic cells for the diagnosis of SM in Ettawa Crossbred (EC).

versi elektronik
Twenty milk samples from lactating EC goats is used in this study. Breed method used to calculate the
SCC and neutrophils. The neutrophils percentage (NP) on SCC is used to determine the SM (SM if NP≥
87%). The result showed very hight SCC in EC goats milk (2044.2x103±1,1437 cells/mL) with a very low
of NP (200±4,1789 cells/mL or 0.009%). It is caused by cytoplasmic particles are normal constituents of
goat milk (the concentration is up to 10 times than ewe and cow milk). Thus, there was no correlation
between SCC and the number of neutrophils on EC goats milk, so that SCC can not be used for the
detection of SM in EC goats.
Keywords: Somatic cells, Neutrophils, Subclinical mastitis, Ettawa Crossbred goats

PENDAHULUAN
Mastitis merupakan masalah serius pada kambing perah karena menurunkan produksi dan kualitas susu,
yang menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan (Contreras et al., 1996) sehingga perlu dilakukan
deteksi mastitis subklinis sejak awal. Berbagai metode deteksi mastitis subklinis pada sapi perah telah
banyak dilakukan dan sudah dibakukan. Salah satu metode deteksi mastitis subklinis pada sapi perah

versi elektronik
adalah dengan menghitung jumlah sel somatik (somatic cell count atau SCC) dalam susu, karena
tingginya nilai SCC pada sapi perah biasanya merupakan indikator adanya infeksi kelenjar ambing oleh
bakteri penyebab mastitis. Oleh karena itu, nilai SCC sering digunakan sebagai dasar untuk program
kontrol kualitas susu dan diagnosis mastitis pada sapi perah. Akan tetapi, kemampuan SCC pada kambing
untuk memprediksi adanya infeksi di dalam kelenjar ambing masih rendah karena nilai SCC pada
kambing juga dipengaruhi oleh faktor-faktor noninfeksius, misalnya fase laktasi dan paritas, namun

209
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
mastitis adalah faktor utama yang menyebabkan peningkatan nilai SCC di dalam susu (Boettcher et al.,
2005). Neutrofil (polymorphonuclear leucocyte) merupakan bagian dari sel darah putih yang berhubungan
dengan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri serta proses peradangan kecil lainnya. Adanya
infeksi di dalam kelenjar ambing menyebabkan neutrofil banyak ditemukan di dalam susu. Tujuan

versi elektronik
penelitian ini adalah mengetahui kemampuan prediksi sel somatik untuk diagnosis mastitis subklinis pada
kambing Peranakan Ettawa (PE).
Tinjauan Pustaka
Mastitis merupakan penyakit radang ambing yang biasanya disebabkan oleh adanya infeksi bakteri
(Bergonier et al., 2003). Secara umum, mastitis diklasifikasikan ke dalam tiga golongan, yaitu klinis,
subklinis, dan kronis (Bergonier et al., 2003; Aires-de-Sousa et al., 2007). Mastitis klinis ditandai dengan
munculnya tanda-tanda patologis yang berpengaruh terhadap kondisi ambing, baik secara kuantitatif
(pengurangan jumlah hingga ketidakberadaan komponen susu) maupun kualitatif (perubahan
makroskopik dan komposisi susu). Mastitis subklinis dicirikan dengan adanya infeksi di dalam kelenjar
ambing tanpa disertai dengan munculnya gejala klinis. Mastitis subklinis sering disertai dengan
meningkatnya nilai SCC (White and Hinckley, 1999). Mastitis kronis didefinisikan sebagai peradangan
pada ambing yang terjadi secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Mastitis kronis dapat berupa

versi elektronik
mastitis klinis maupun subklinis. Persentase kejadian mastitis klinis biasanya kurang dari 5% (Contreras
et al., 1999; Bergonier et al., 2003), sedangkan mastitis subklinis antara 9 sampai 50% (Contreras et al.,
1995; McDougall et al., 2001).
Nilai SCC sering digunakan sebagai indikator kesehatan ambing pada sapi perah dan domba, akan tetapi
sulit diterapkan pada kambing perah karena adanya beberapa partikel sitoplasma yang berasal dari sekresi
kelenjar apocrine (Boettcher et al., 2005). Nilai SCC dalam susu sapi menunjukkan banyaknya leukosit di
dalam susu, yang meningkat ketika terjadi mastitis, sedangkan pada susu kambing, nilai SCC biasanya
dipengaruhi juga oleh proses sekresi kelenjar apocrine, yang mengandung partikel-partikel sel
nonleukosit yang tidak berhubungan dengan kondisi mastitis (Haenlein, 2002; Raynal-Ljutovac et al.,
2007). Beberapa faktor noninfeksius lain seperti: fase laktasi, kebiasaan pemerahan, umur, jumlah laktasi,
dan siklus estrus berpengaruh signifikan terhadap nilai SCC pada susu kambing (Bergonier et al., 2003;
Leitner et al., 2007). Meningkatnya nilai SCC menyebabkan penurunan produksi susu dan perubahan
komposisi susu, antara lain: meningkatnya albumin di dalam serum susu dan penurunan kasein, lemak,

versi elektronik
serta laktosa (Bernacka, 2006). Nilai SCC susu dari kambing yang sehat lebih tinggi daripada nilai SCC
susu dari sapi dan domba yang sehat, yaitu sekitar 270 sampai 2000 x 103 sel/mL (Tian et al., 2005).
Neutrofil (polymorphonuclear leucocyte) merupakan sistem pertahanan pertama terhadap infeksi bakteri
pada kelenjar ambing (Mehrzad et al., 2004). Segera setelah invasi bakteri patogen ke dalam kelenjar
ambing, leukosit dan sel-sel epitel memberi respon berupa peradangan atau inflamasi (Paape and Capuco,
1997; Paapee et al., 2002, 2003). Sel-sel tersebut kemudian melepaskan chemoattractants untuk segera
mengerahkan neutrofil dari darah menuju ke tempat terjadinya infeksi. Selama proses ini berlangsung,
nilai SCC meningkat, terutama jumlah neutrofil (Paape and Capuco, 1997), yang dapat mencapai 90%
dari nilai SCC (Morgante et al., 1996a; Cuccuru et al., 1997). Selama proses fagositosis, neutrofil
melepaskan oksigen reaktif ke dalam vakuola bakteri patogen untuk membunuhnya (Paape and Capuco,
1997; Paapee et al., 2002, 2003). Persentase neutrofil dari kambing yang terinfeksi mastitis adalah 85,5 ±
6,0% (Boulaaba et al., 2011).

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 menggunakan 20 sampel susu dari kambing PE laktasi
bulan ke-1 sampai ke-5 yang dipilih secara acak (menggunakan nomer undian) dari seluruh populasi
kambing yang ada di CV Sahabat Alam Sejati Farm, Sleman. Kambing dipelihara secara intensif di dalam
kandang individual yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum. Pemerahan kambing
dilakukan menggunakan tangan yang bersih. Sebelum pemerahan, ambing dicuci bersih menggunakan air
hangat kemudian dikeringkan menggunakan kain lap. Masing-masing sampel susu dimasukkan ke dalam

210
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
wadah steril kemudian dibawa ke Laboratorium Ilmu Ternak Perah dan Industri Persusuan Fakultas
Peternakan UGM menggunakan cooler box yang berisi air es selanjutnya dilakukan perhitungan SCC dan
neutrofil menggunakan metode Breed (Schalm et al., 1971). Sebanyak 0,01 mL susu disebarkan pada
bidang seluas 1 x 1 cm2 di atas gelas objek bebas lemak dengan bantuan ose siku kemudian dikeringkan

versi elektronik
di udara selama 10 sampai 15 menit dan difiksasi di atas api. Selanjutnya preparat dicelupkan ke dalam
methanol 95% selama 5 menit untuk membuang lemak susu dan diwarnai dengan 0,01% larutan
methylene blue Loeffler selama 3 menit. Kemudian preparat dibilas menggunakan alkohol 96% untuk
menghilangkan bahan pulasan yang tidak terikat. Nilai SCC diperoleh dengan cara menghitung jumlah sel
somatik di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 40x, dari 5 lapang pandang kemudian hasilnya
dirata-rata (Y). Jumlah sel somatik (SCC) yang terdapat dalam 1 mL susu dihitung dengan terlebih dulu
mengetahui diameter lapang pandang mikroskop. Luas lapang pandang mikroskop = π r2 (mm2) = (π
r2):100. Karena sampel susu sebanyak 0,01 mL disebarkan seluas 1 cm2, maka nilai SCC = [(π r2):100] x
0,01 x Y. Data dianalisis menggunakan analisis korelasi menurut Karl Pearson (Sokal and Rohlf, 1991).
Jumlah neutrofil diperoleh dengan cara menghitung banyaknya neutrofil dalam setiap 0,01 mL sampel
susu seperti halnya perhitungan SCC. Persentase neutrofil diperoleh dengan cara membagi jumlah
neutrofil dengan SCC dikalikan 100%.

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan rerata nilai SCC pada kambing PE sangat tinggi (2044,2 x 103 ± 1,1437
sel/mL) dengan persentase neutrofil sangat rendah (200 ± 4,1789 sel/mL atau 0,009%). Distribusi bivariat
normal parameter koefisien korelasi, yaitu nilai SCC dan jumlah neutrofil, (Gambar 1.) tidak mempunyai
kecenderungan membentuk lingkaran atau eliptis sehingga hubungan antara nilai SCC dan jumlah
neutrofil tidak terbaca dengan jelas. Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang tidak sempurna antara
nilai SCC dan jumlah neutrofil dalam susu kambing PE, dengan demikian peningkatan nilai SCC tidak
selalu diikuti oleh peningkatan jumlah neutrofil dalam susu.
Analisis statistik menggunakan model Karl Pearson diperoleh koefisien korelasi momen hasil kali sebesar
0,064 (P<0,01). Nilai koefisien korelasi mendekati nol menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata
antara nilai SCC dengan jumlah neutrofil pada susu kambing PE. Hal ini sesuai dengan pendapat
Boettcher et al. (2005) bahwa nilai SCC pada kambing yang sehat lebih tinggi daripada nilai SCC pada
sapi dan domba yang sehat. Kondisi ini dikarenakan partikel sitoplasma merupakan unsur yang umum

versi elektronik
ditemukan pada susu kambing. Faktor-faktor nonpatologis berpengaruh signifikan terhadap nilai SCC
susu kambing (Gonzalo et al., 2002), antara lain: paritas (Gonzalo et al., 1994; Haenlein, 2002 ), fase
laktasi (Cuccuru et al., 1997; Leitner et al., 2001), bangsa (Leitner et al., 2001; Paape et al., 2007), musim
(McDougall et al., 2001; Paape et al., 2001), produksi susu, jumlah anak (Gonzalo et al., 1994; Paape et
al., 2001; McDougall et al., 2001), frekuensi pemerahan (Nudda et al. 2002; Paape et al., 2007), cara
pemerahan, mesin atau tangan (Sinapsis, 2007), estrus (Haenlein, 2002; Paape et al., 2007; Talafha et al.,
2009), serta vaksinasi dan transportasi (Menzies and Ramanoon, 2001; Haenlein, 2002; Raynal-Ljutovac
et al., 2007; Canaes et al., 2009). Di antara faktor-faktor tersebut, fase laktasi merupakan faktor
noninfeksius utama yang menyebabkan tingginya nilai SCC pada susu kambing, diikuti oleh paritas
(Raynal-Ljutovac et al., 2007), meskipun mastitis faktor yang paling signifikan terhadap meningkatnya
nilai SCC, khususnya pada domba (González-Rodriguez et al., 1995; Leitner et al., 2001; Bergonier et
al., 2003; Paape et al., 2007; Raynal-Ljutovac et al., 2007).

versi elektronik 211


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Gambar 1. Distribusi bivariat normal parameter koefisien korelasi

KESIMPULAN
Terdapat perbedaan nilai SCC di antara ternak perah. Pada sapi, nilai SCC sangat dipengaruhi oleh

versi elektronik
adanya infeksi pada kelenjar ambing (mastitis). Pada kambing, selain dipengaruhi oleh adanya mastitis
pada kelenjar ambing, nilai SCC juga dipengaruhi oleh faktor-faktor noninfeksius. Tidak terdapat
hubungan yang nyata antara nilai SCC dan jumlah neutrofil dalam susu kambing PE. Dengan demikian,
nilai SCC pada kambing tidak dapat digunakan sebagai indikator terjadinya mastitis subklinis pada
kelenjar ambing.

DAFTAR PUSTAKA
Aires-de-Sousa, M., Parente, C.E., Vieira-da-Motta, O., Bonna, I.C., Silva, D.A., de Lencastre, H., 2007.
Characterization of Staphylococcus aureus isolates from buffalo, bovine, ovine, and caprine milk
samples collected in Rio de Janeiro State, Brazil. Appl. Environ. Microbiol. 73, 3845–3849.
Bergonier, D., De Crémoux, R., Rupp, R., Lagriffoul, G., Berthelot, X., 2003. Mastitis of dairy small
ruminants. Vet. Res. 34, 689–716.
Bernacka, H., 2006. Cytological quality of goat milk on the basis of the somatic cell count. J. Central Eur.

versi elektronik
Agric. 7, 773–778.
Boettcher, P.J., Moroni, P., Pisoni, G., Gianola, D., 2005. Application of a finite mixture model to
somatic cell scores of Italian goats. J. Dairy Sci. 88, 2209–2216.
Boulaaba, A., Grabowski, N., Klein, G., 2011. Differential cell count of caprine milk by flow cytometry
and microscopy. Small Ruminant Res. 97, 117–123.
Canaes, T.S., Negrão, J.A., Paiva, F.A., Zaros, M., Delgado, T.F.G., 2009. Physiologic and productive
responses of Alpine goats submitted to transportation to a new dairy location. Arq. Bras. Med.
Vet. Zootec. 61, 935–940.
Contreras, A., Paape, M.J., Miller, R.H., 1999. Prevalence of subclinical ntramammary infection caused
by Staphylococcus epidermidis in a commercial dairy goat herd. Small Ruminant Res. 31, 203–
208.

versi elektronik
Contreras, A., Sierra, D., Corrales, J.C., Sanchez, A., Marco, J., 1996. Physiological threshold of somatic
cell count and California Mastitis Test for diagnosis of caprine subclinical mastitis. Small Rumin.
Res. 21, 259–264.
Cuccuru, C., Moroni, P., Zecconi, A., Casu, S., Caria, A., Contini, A., 1997. Milk differential cell counts
in relation to total counts in Sardinian ewes.Small Ruminant Res. 25, 169–173.

212
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
González-Rodriguez, M.C., Gonzalo, C., San Primitivo, F., Cármenes, P., 1995. Relationship between
somatic cell count and intramammary infection of the half udder in dairy ewes. J. Dairy Sci. 78,
2753–2759.

versi elektronik
Gonzalo, C., Ariznabarreta, A., Carriedo, J.A., San Primitivo, F., 2002. Mammary pathogens and their
relationship to somatic cell count and milk yield losses in dairy ewes. J. Dairy Sci. 85, 1460–
1467.
Gonzalo, C., Carriedo, J.A., Baro, J.A., San Primitivo, F., 1994. Factors affecting variation of test day
milk yield, somatic cell count, fat, and protein in dairy sheep. J. Dairy Sci. 77, 1537–1542.
Haenlein, G. F. W. 2002. Relationship of somatic cell counts in goat milk to mastitis and productivity.
Small Ruminant. Res. 45:163–178.
Leitner, G., Chaffer, M., Zamir, S., Mor, T., Glickman, A., Winkler, M., Weisblit, L., Saran, A., 2001.
Udder disease etiology, milk somatic cell counts and NAGase activity in Israeli Assaf sheep
throughout lactation. Small Ruminant Res. 39, 107–112.
Leitner, G., Merin, U., Lavi, Y., Egber, A., Silanikove, N., 2007. Aetiology of intramammary infection
and its effect on milk composition in goat flocks. J. Dairy Res. 74, 186–193.

versi elektronik
McDougall, S., Murdough, P., Pankey, W., Delaney, C., Barlow, J., Scruton, D., 2001. Relationships
among somatic cell count, California mastitis test, impedance and bacteriological status of milk in
goats and sheep in early lactation. Small Ruminant Res. 40, 245–254.
Mehrzad, J., L. Duchateau, and C. Burvenich. 2004. Viability of milk neutrophils and severity of bovine
coliform mastitis. J. Dairy Sci. 87:4150–4162.
Menzies, P.I., Ramanoon, S.Z., 2001. Mastitis of sheep and goats. Vet. Clin. N. Am. -Food. A. 17, 333–
358.
Morgante, M., Ranucci, S., Pauselli, M., Beghelli, D., Mencaroni, G., 1996a. Total and differential cell
count by direct microscopic method on ewe milk. J. Vet. Med. A 43, 451–458.
Nudda, A., Bencini, R., Mijatovic, S., Pulina, G., 2002. The yield and composition of milk in Sarda
Awassi, and Merino sheep milked unilaterally at different frequencies. J. Dairy Sci. 85, 2879–

versi elektronik
2884.
Paape, M.J., Bannermann, D.D., Zhao, X., Lee, J.W., 2003. The bovine neutrophil structure and function.
Vet. Res. 34, 597–627.
Paape, M.J., Capuco, A.V., 1997. Cellular defense mechanisms in the udder and lactation of goats. J.
Anim. Sci. 75, p.556–p.565.
Paape, M.J., Mehrzad, J., Zhao, X., Detilleux, J., Burvenich, C., 2002. Defense of bovine mammary gland
by polymorphonuclear leukocytes. J. Mammary Gland Biol. 7, 109–121.
Paape, M.J., Poutrel, B., Contreras, A., Marco, J.C., Capuco, A.V., 2001. Milk somatic cells and lactation
in small ruminants. J. Dairy Sci. 84, E237–E243.
Paape, M.J., Wiggans, G.R., Bannerman, D.D., Thomas, D.L., Sanders, A.H., Contreras, A., Moroni, P.,
Miller, R.H., 2007. Monitoring goat and sheep milk somatic cell counts. Small Rumin. Res. 68,

versi elektronik
114–125.
Raynal-Ljutovac, K., Pirisi, A., De Cremoux, R., Gonzalo, C., 2007. Somatic cells of goat and sheep
milk: analytical, sanitary, productive and technological aspects. Small Rumin. Res. 68, 126–144.
Schalm, O.W., E.J. Carroll and N.J. Jain. 1971. Bovine Mastitis. Lea & Febiger. Philadelphia.

213
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sinapsis, E., 2007. The effect of machine or hand milking on milk production, composition and SCC in
mountainous Greek breed (Boutsiko) ewes. Small Ruminant Res. 69, 242–246.
Sokal, R.R. and F.J. Rohlf. 1991. Pengantar Biostatistika. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press.

versi elektronik
Yogyakarta.
Talafha, A.Q., Lafi, S.Q., Ababneh, M.M., 2009. The effect of estrus synchronization treatments on
somatic cell count of transitional-anestrus Awassi ewes’milk. Trop. Anim. Health Prod. 41, 161–
170.
Tian, S.Z., Chang, C.J., Chiang, C.C., Peh, H.C., Huang, M.C., Lee, J.-W., Zhao, X., 2005. Comparison
of morphology, viability and function between blood and milk neutrophils from peak lactating
goats. Can. J. Vet. Res. 69, 39–45.
White, E.C., Hinckley, L.S., 1999. Prevalence of mastitis pathogens in goat milk. Small Ruminant Res.
33, 117–121.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 214


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGGEMUKAN SAPI POTONG MENGGUNAKAN KANDANG KELOMPOK
Tri Agus Sulistya, Mariyono dan Noor Hudhia Krishna
Loka Penelitian Sapi Potong, Pasuruan – Jawa Timur; email: bapakelintang@gmail.com

versi elektronik
ABSTRAK
Usaha penggemukan sapi potong pada umumnya menggunakan sistem kandang individu. Hal ini
disebabkan adanya asumsi bahwa penggunaan kandang individu mampu mengefisienkan penggunaan
energi dengan cara membatasi pergerakan sapi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
pertambahan bobot harian (PBBH) sebagai indikator keberhasilan usaha penggemukan yang dilakukan
pada sistem kandang individu dengan sistem kandang kelompok. Sebanyak 20 ekor sapi dengan kisaran
bobot 400 kg di bagi menjadi 2 kelompok perlakuan kandang individu dan kandang kelompok. Pakan
diberikan pada pagi dan sore hari selama 3 bulan. Pemberian pakan terdiri dari pakan hijauan dan pakan
penguat. Kandungan pakan penguat yang diberikan adalah (Protein Kasar > 10%, Serat Kasar <20 % dan
Total Digestible Nutrien > 58%) serta diberikan secara adlibitum tercatat dengan minimal pemberian 2 %.
Penimbangan dilakukan 2 minggu sekali untuk penyesuaian jumlah pakan yang diberikan. Hasil uji-T
menunjukkan bahwa PBBH sapi penggemukan menggunakan sistem kandang kelompok dengan sistem
kandang individu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan tingkat konsumsi sapi

versi elektronik
penggemukan menggunakan sistem kandang kelompok menunjukkan kecenderungan lebih tinggi
dibanding kandang individu.
Kata kunci: Sapi Potong, Penggemukan, Kandang Kelompok

ABSTRACT
In General, beef cattle fattening systems use individual stall . It is caused the assumption that the
individual stall make efficient on energy usage. This study aimed to compare the daily weight gain
(ADG) as an indicator of fattening system is profitable. A total of 20 cows with 400 kg weight range is
divided into 2 treatment, individual stall dan group stall. Feeding consisted of forage and concetrate . The
feed was given in the morning and afternoon during 3 months. The content of the concentrate (Crude
Protein > 10 % , Crude Fiber < 20 % and Total Digestible Nutrients > 58 % ) was given adlibitum as
much as 2 % DM from body weight. Measurement their weight were conducted periodically. The
increasing of their average daily gain (ADG) was analyzed by t-test. The result of this study revealed that

versi elektronik
ADG of individual stall was not significantly differences with group stall. While the rate of consumption
of group group stall showed a higher tendency than individual stall.
Keywords: Beef Cattle, Fattening, Group Stall

PENDAHULUAN
Sudah menjadi lazim dalam usaha penggemukan sapi potong menggunakan sistem kandang individu. Hal
ini di dasarkan asumsi bahwa penggunaan kandang individu dapat membatasi jumlah gerakan sapi yang
mengakibatkan terbuangnya energi secara sia-sia. Disamping itu efektifitas penggunaan lahan juga
menjadi salah satu penyebab penggunaan kandang individu pada usaha penggemukan. Mengingat salah
satu hal pokok yang menjadi kendala adalah ketersediaan lahan untuk ternak semakin berkurang karena
perubahan struktur fungsi lahan dari lahan pertanian tanaman pangan menjadi lahan perkebunan dan
pemukiman (ELLA, 1993).
Kandang komunal atau kandang kelompok merupakan sistem perkandangan sapi dimana beberapa ekor

versi elektronik
sapi ditempatkan pada suatu ruangan luas baik teratapi maupun tidak tanpa diikat dan dan dilengkapai
dengan palungan pakan dan palungan air. Beberapa keuntungan dengan penggunaan kandang kelompok
antara lain; (i) memudahkan pengelolaan ternak dalam proses produksi seperti pemberian pakan, minum,
pengelolaaan kompos dan perkawinan dan (ii) meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja (Rasyid,
2012). Penggunaan kandang komunal atau kandang kelompok sudah bukan hal baru dalam usaha
peternakan, akan tetapi sebatas pada usaha pembibitan. Pada usaha pembibitan penggunaan sistem

215
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kandang kelompok yang dilengkapi dengan pejantan mampu memperpendek jarak beranak/calving
interval (CI) hingga 15,1 ± 1,9 bulan (Pratiwi, 2008). Dilain pihak penggunaan kandang kelompok untuk
usaha penggemukan sapi potong belum banyak dilaporkan. Mengingat beberapa keuntungan yang bisa
didapat dari penggunaan sistem kandang kelompok ini maka penelitian mengenai pengaruh kandang

versi elektronik
kelompok terhadap peningkatan bobot badan harian (PBBH) yang merupakan parameter utama usaha
penggemukan menjadi penting untuk dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan sistem kandang kelompok pada usaha
penggemukan sapi potong. Parameter yang dijadikan acuan keberhasilan usaha penggemukan ini adalah
perbandingan PBBH serta konsumsi pakan antara sapi penggemukan pada kandng kelompok dengan
kandang individu.

METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian dilakukan di Kandang Belajar Sapi Rakyat (KBSR) Bojonegoro selama tiga bulan,
yaitu pada bulan April sampai dengan Juni 2012. Materi yang digunakan adalah 20 ekor sapi silangan
penggemukan dengan kisaran bobot badan lebih dari 400 kg. Perlakuan yang diberikan berupa perbedaan
kandang, kandang individu dan kandang kelompok masing-masing sebanyak 10 ekor sapi. Pada kandang
individu berupa kandang tertutup dan setiap ekor sapi mendapat perlakuan berupa penambatan tali tongar

versi elektronik
dengan ketersediaan palungan pakan dan palungan air minum secara individu. Pada kandang koloni
dengan tertutup atap sebagian yaitu pada bagian palungan pakan dan sebagian kandang tidak teratapi
sebagai tempat umbaran sapi.
Seluruh materi penelitian diberikan pakan secara ad libitum dan tercatat, berupa pakan hijauan dan pakan
penguat. Pakan penguat yang diberikan merupakan formulasi dari berbagai bahan pakan antara lain;
dedak padi, gamblong, bungkil sawit, bungkil kopra, tumpi jagung, garam, kapur dan urea dengan
kandungan Protein Kasar > 10%, Serat Kasar <20 % dan Total Digestible Nutrien > 58%. Pakan penguat
diberikan secara ad libitum tercatat dengan minimal pemberian 2 % Bobot Badan dalam Bahan Kering.
Pakan hijauan yang diberikan berupa rumput gajah pada pagi hari.
Penimbangan dilakukan setiap dua minggu sekali untuk dasar penyesuaian jumlah pakan penguat
minimum yang diberikan. Parameter yang diambil adalah Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
setiap periode, Konsumsi pakan, dan Analisis ekonomi. Data PBBH dan konsumsi pakan diuji statistik
menggunakan t-Test untuk mengatahui perbedaan antara dua perlakuan jenis kandang.

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pakan konsentrat yang diberikan pada kegiatan penelitian ini disusun dari beberapa sumber pakan murah
dan tersedia berlimpah pada saat kegiatan penelitian. Seluruh bahan pakan yang digunakan dalam
penyusunan konsentrat merupakan limbah pertanian dan perkebunan. Penyusunan konsentrat dilakukan
dengan mengacu pada keseimbangan laju degradasi rumen yang seimbang. Hal ini sesuai dengan (Utomo,
2004) yang menyarankan bahwa karakteristik kandungan nutrien dan tingkat degradasinya di dalam
rumen adalah hal penting yang harus dipertimbangkan dalam upaya pemilihan bahan pakan hasil ikutan
pertanian dan atau perkebunan, sebagian besar merupakan bahan pakan yang banyak digunakan sebagai
sumber serat dan energi bagi pertumbuhan mikrobia rumen. Pencampuran pakan dilakukan sendiri di
KBSR dengan menggunakan mini mixer, sedangkan konsentrat hasil pencampuran pakan dianalisa
proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak milik Loka Penelitian Sapi Potong. Formulasi pakan
konsentrat yang diberikan pada sapi penggemukan materi penelitian tersaji pada tabel 1.

versi elektronik
Hasil analisis proksimat untuk formulasi pakan yang diberikan tersaji pada tabel 2. Konsentrat yang
diberikan masih memiliki kandungan Protein Kasar (PK) dan Total Digestible Nutrien (TDN) lebih
rendah daripada standar konsentrat sapi penggemukan yang telah ditetapkan oleh SNI.3148.2:2009
(Badan Standarisasi Nasional, 2009) yang menyatakan bahwa minimal konsentrat pakan penggemukan
mempunyai kandungan PK: 13 % dan TDN: 70%. Hal ini dikarenakan pertimbangan harga bahan pakan
sumber protein yang tinggi sehingga manajemen KBSR memutuskan untuk menurunkan kadar protein

216
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
konsentrat yang diberikan. Hijauan yang diberikan berupa rumput gajah dengan pemberian secara terbatas
(maksimal 7 kg/ekor/hari). Pemberian hijauan yang terbatas ini dikarenakan oleh keterbatasan lahan
Hjauan Pakan Ternak yang dimiliki KBSR. Meskipun terbatas, pakan hijauan yang diberikan sudah
cukup untuk menjaga kehidupan mikrobia rumen.

versi elektronik
Data konsumsi pakan hijauan dan konsentrat pada tiap jenis kandang tersaji pada tabel 3, sedangkan
grafik konsumsi pakan tersaji paga gambar 1. Tabel 3 dan gambar 1 menunjukkan bahwa konsumsi pakan
hijauan dan konsentrat pada sapi yang dipelihara pada kandang kelompok cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi yang dipelihara pada kandang individu. Mulai minggu ke-3 pada kandang
kelompok, seluruh pakan hijauan yang diberikan habis dikonsumsi oleh sapi. Kondisi ini dapat
menggambarkan tentang tingkat status kesehatan sapi yang lebih baik sehingga kemampuan
mengkonsumsi pakan cenderung lebih baik.
Tingkat konsumsi pakan tidak dapat dibandingkan antara kandang kelompok dengan kandang individu.
Hal ini dikarenakan data konsumsi pada kandang individu didapatkan dengan menghitung pemberian
pakan dikurangi sisa pakan tiap individu, sedangkan pada kandang kelompok hal ini tidak mungkin untuk
dilakukan, sehingga pada kandang kelompok hanya menggunakan nilai rata-rata. Pada gambar 1
menunjukkan grafik konsumsi pakan pada kandang kelompok tidak menunjukkan penurunan meskipun

versi elektronik
pada periode ke 3 dimana PBBH sapi pada kandang keompok turun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
cuaca yang ekstrim dan kandang yang terlalu becek tidaklah berpengaruh pada tingkat konsumsi
mingguan pada periode tersebut, namun hanya berpengaruh pada konsumsi harian dimana kondisi ekstrim
tersebut terjadi.
Tabel 1. Formulasi konsentrat.
Bahan Pakan Jumlah % BK
Dedak 10,5
Gamblong 21
Garam 1
Kapur 1
Bungkil sawit 20
Bungkil kopra 20
Tumpi jagung 25

versi elektronik
Urea 1,5
Jumlah 100

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan


Jenis Pakan BK (%) PK (%) SK (%) TDN (%)
Konsentrat 91,31 12,23 18,77 58,52
Rumput gajah 14,62 10,01 28,16 56,89

Tabel 3. Konsumsi pakan segar harian tiap perlakuan (kg/ekor/hari)


Perlakuan Jenis pakan Mgg 1 Mgg 2 Mgg 3 Mgg 4 Mgg 5 Mgg 6 Mgg 7 Mgg 8 Mgg 9

versi elektronik
Individu Konsentrat 9,5 11,7 11,6 12,9 14,2 12,4 13,0 12,2 11,8
Hijauan 6,3 6,4 6,3 5,8 5,0 6,3 6,6 6,6 6,8
Kelompok Konsentrat 10,7 12,3 13,5 15,0 14,7 14,5 14,6 15,4 18,0
Hijauan 6,6 6,3 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0

217
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Gambar 1. Grafik Konsumsi Pakan
Tabel 4. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dalam kg tiap periode penimbangan

versi elektronik
Perlakuan P2 P3 P4 P5 P6 Rata-rata
Individu 0,21 a 1,15 a 1,34 a 1,32 a 0,77 a 0,95
Kelompok 0,81 a 0,32 b 1,37 a 1,39 a 0,87 a 0,95
Rata-rata 0,51 0,73 1,35 1,35 0,82
Keterangan: - P2 s.d. P6 adalah periode penimbangan dengan selang waktu dua minggu

versi elektronik
Gambar 2. Grafik Konsumsi Pakan

versi elektronik
Data dalam tabel 4 dan gambar 2 menunjukkan, bahwa PBBH sapi jantan yang digemukkan dalam
kandang individu maupun kandang kelompok memberikan tampilan PBBH tiap periode penimbangan
yang tidak berbeda secara nyata (P<0,01) kecuali pada periode 3. Pada periode 3 PBBH kelompok sapi
pada kandang kelompok lebih rendah dibandingkan dengan PBBH kandang individu. Kejadian ini diduga
diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi selama 2 hari berturut-turut yang mengakibatkan beceknya
lantai kandang pada area ternaungi dan sangat berlumpur pada area umbaran. Namun pada periode

218
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
selanjutnya, sapi sudah lebih adaptif dan kondisi lingkungan sudah tidak berpengaruh pada PBBH. Secara
keseluruhan periode peristiwa beceknya lantai tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap PBBH
komultatif selama 6 minggu penggemukan.

versi elektronik
Rataan PBBH total dalam masa pemeliharaan baik kandang individu maupun kandang kelompok adalah
0,95 kg/ekor/hari. Hasil ini masih lebih rendah dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soeharsono et
al (2011) yang menggunakan sapi impor dengan ransum BK 67,65; BO 90,63; abu 9,37; SK 16,12; PK
8,01; LK 3,09; Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 63,41; dan TDN 65,09. Imbangan campuran
konsentrat dengan jerami padi adalah 80 : 20 % BK. Pakan diberikan sebanyak 2,76% dari bobot badan
(dasar BK) dengan sistem pemberian dua kali sehari dan air minum diberikan ad libitum, diperoleh PBBH
tertinggi pada penggemukan yang menggunakan sapi bakalan dengan BB < 450 kg yaitu sebesar 1,63 kg;
sedangkan PBBH terendah pada bakalan sebesar 1,28 kg. Hal ini diduga karena perbedaan jenis sapi yang
dipergunakan, dimana sapi yang dipergunakan pada penelitian ini adalah sapi silangan yang didapatkan
dari pasar sehingga masih mempunyai darah prosentase darah PO lebih besar. sedangkan pada penelitian
Soeharsono et al (2011) menggunakan sapi bakalan impor.
Rataan PBBH komulatif selama masa pemeliharaan tidak berbeda nyata antar perlakuan kandang. Dengan
demikian penggunaan sistem kandng kelompok tidak berpengaruh pada PBBH sapi penggemukan.

versi elektronik
Namun berdasarkan tingkat aktivitas pekerja kandang, penggunaan kandang kelompok lebih menghemat
penggunaan jumlah tenaga kerja, luangan waktu untuk penanganan ternak serta penggunaan air dalam
pembersihan kandang dan ternak dibandingkan dengan penggunaan kandang individu.

KESIMPULAN
Penggunaan kandang kelompok untuk usaha penggemukan menghasilkan PBBH yang tidak berbeda
nyata dengan PBBH penggemukan menggunakan kandang individu. Penggunaan kandang kelompok
relatif lebih menghemat biaya tenaga kerja perawatan sapi dan penggunaan sumber daya lain seperti air
untuk pembersihan kandang dan sapi.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional. 2009. Pakan Konsentrat Sapi Potong. SNI.3148.2:2009
ELLA, A. 1993. Evaluasi beberapa Jenis Rumput dan Leguminosa Pohon Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah
Sub Balitnak Gowa.

versi elektronik
Pratiwi W.C., Lukman Affandhy dan Dian Ratnawati. 2008. Pengaruh umur penyapihan terhadap
performans induk dan pertumbuhan pedet sapi potong di kandang kelompok. Prosiding Seminar
Nasional Sapi Potong-Palu.
Rasyid Ainur, Jauhari Effendhy dan Mariyono. 2012. “Sistem Pembibitan Sapi Potong Dengan Kandang
Kelompok “Model Litbangtan” Jakarta: IAARD Press.
Soeharsono, R.A. Saptati, DAN K. Diwyanto. 2011. Kinerja sapi persilangan hasil inseminasi buatan
dengan bobot awal yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor.
Utomo, R. 2004. Review Hasil – Hasil Penelitian Pakan Sapi Potong. Wartazoa 14 (3) 2004. Puslitbang
Peternakan. Badan Litbang Pertanian

versi elektronik 219


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PRODUKSI SUSU sDAN KONSUMSI PAKAN KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI
DATARAN RENDAH
Yuni Suranindyah, Rian Rosartio, Sigit Bintara, dan Ismaya

versi elektronik
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada; email: yuni.suranindyah@ugm.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi susu kambing Peranakan Etawah yang dipelihara di
daerah dataran rendah. Penelitian dilakukan di desa Sumbermulyo Bambanglipuro Bantul dan Gerbosari
Samigaluh Kulonprogo. Produksi susu diamati dari bulan ke 3 laktasi dengan mencatat produksi harian.
Konsumsi pakan diukur selama 7 hari berturut-turut pada tiap periode, masing-masing pada awal,
pertengahan dan akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi susu dan konsumsi
bahan kering kambing PE di dataran rendah lebih rendah dibanding kambing di dataran tinggi (P<0,05)
dengan rata-rata produksi susu 407 dan 487 ml/hari, konsumsi bahan kering 1,04 dan 1,48 kg/ekor/hari.
Frekuensi respirasi dan pulsus kambing di dataran rendah lebih cepat dari kambing dataran tinggi, rata-
rata 34 dan 65 kali/menit dibanding 31 dan 59 kali/menit. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah
kambing PE di lokasi dataran rendah menunjukkan produksi susu dan konsumsi pakan lebih rendah dari
kambing di dataran tinggi. Kondisi fisiologi kambing dipengaruhi oleh ketinggian lokasi.

versi elektronik
Kata kunci: Produksi susu, konsumsi pakan, kambing, dataran rendah

ABSTRACT
The study aimed to investigate milk production and feed consumption of Etawah Crossedbred goat raised
in the low land area. The study was conducted in the villages of Sumbermulyo Bambanglipuro Bantul
and Gerbosari Samigaluh Kulonprogo. Milk production was started to measure in the 3rd month of
lactation by recorded daily milk production. Feed consumption was measured for 7 consecutive days for
the beginning, middle and the end periods of study. The results showed that milk production and dry
matter consumption of goat in low land was lower than those in upland area with the mean value of 407
and 487 ml/day; 1.04 and 1.48 kg/day. Respiration rate and pulsus of goat in low land was faster than
those in upland area, with average of 34 and 65/minutes compared with 31 and 59/minutes. The results
of study showed that milk production and dry matter consumption of Etawah Crossedbred goats in low
land area was lower than those in the upland. Fisiological status of goat was influenced by location

versi elektronik
altitude.
Keywords: Milk production, feed consumption, goat, low land

PENDAHULUAN
Kambing pada dasarnya merupakan ternak yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kurang
subur, sehingga beberapa tahun yang lalu pemerintah melakukan pengembangan pemeliharaan kambing
pada masyarakat miskin di pedesaan dengan harapan dapat menghasilkan susu untuk konsumsi keluarga
(Djoharyani, 1996). Daya adaptasi kambing juga ditunjukkan dengan berkembangnya pemeliharaan
kambing yang bertujuan untuk menghasilkan susu di daerah semi arid (Costa et al., 2010).
Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, kambing Peranakan Etawah (PE) lebih banyak
dipelihara di daerah pegunungan yang bersuhu dingin. Hal ini terjadi karena kambing PE pada awalnya
dikembangkan di daerah pegunungan di sekitar kecamatan Girimulyo dan Samigaluh, Kulon Progo.
Sejalan dengan meningkatnya permintaan terhadap susu kambing, terjadi penambahan populasi dan

versi elektronik
penyebaran daerah pemeliharaan, bahkan sampai di daerah dataran rendah. Pemeliharaan kambing PE
di dataran rendah sebenarnya menguntungkan jika dilihat dari segi pemasaran hasilnya karena
mendekatkan jarak antara penghasil susu dan pembeli. Meskipun demikian, jaminan keberhasilan
pemeliharaan kambing PE di dataran rendah belum meyakinkan mengingat kondisi lingkungan yang lebih
panas. Perbedaan ketinggian tempat dan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi fisiologi kambing dan
produksi susunya. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui perbedaan kondisi

220
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
lingkungan, status fisiologi, konsumsi pakan dan produksi susu kambing PE di dataran rendah dan
dataran tinggi.
Tinjauan Pustaka

versi elektronik
Produksi susu kambing. Di seluruh dunia populasi kambing ada sekitar 921 juta ekor, meliputi 570
bangsa. Di Asia hanya ada 13 bangsa yang tergolong sebagai kambing perah. Di negara berkembang
terdapat lebih dari 30 bangsa kambing yang termasuk dalam improver breeds, yaitu bangsa kambing
yang mempunyai potensi untuk ditingkatkan produktivitasnya atau tahan terhadap kondisi tertentu. Salah
satu yang termasuk dalam improver breeds adalah kambing Etawah di Indonesia (Devendra and
Haenlein, 2011). Di negara berkembang, jumlah pemilikan kambing pada umumnya kecil, sekitar 2
sampai 3 ekor dan pemeliharaannya sering dilakukan oleh wanita (Bett et al., 2009 disitasi Phillips
2012).
Di Vietnam kambing perah lokal bangsa Bach Thao dengan berat badan 40 sampai 45 kg produksi
susunya mencapai 1,1 sampai 1, 4 kg/hari. Di Indonesia kambing PE yang termasuk dual purpose
dengan pengelolaan di kelompok peternak produksi susunya mencapai 0,97 liter/hari (Suranindyah et al.,
2009) sedangkan dalam kondisi penelitian rata-rata produksi susu 1,07 liter/hari (Astuti dan Sudarman,
2012).

versi elektronik
Pengaruh lokasi terhadap penampilan kambing. Pada saat ternak berada di luar zone thermoneutrality
dalam jangka waktu lama, ternak akan melakukan mekanisme akimatisasi. Makin besar intensitas dan
lama waktu pengaruh iklim, akan lebih sulit mempertahankan kondisi homeothermy, di luar batas dari
zone tersebut ternak akan mengalami hypothermy atau hyperthermy (Nardone et al., 2006). Suhu
lingkungan merupakan faktor yang dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap penampilan kambing.
Peningkatan temperatur tubuh dan kecepatan respirasi merupakan tanda dari terjadinya stres. Peningkatan
temperatur tubuh pada domba menunjukkan hubungan yang erat dengan penurunan konsumsi pakan,
aliran darah, perubahan pada fungsi endokrine dan akan menyebabkan efek negatif pada produksi
maupun reproduksi (Eltawill dan Narendran, 1990 disitasi Alam et al., 2011). Perbedaan antara
temperatur rektal normal dan lethal yang disebabkan oleh stres dingin berkisar antara 15 sampai 25°C
sedangkan karena stres panas hanya 3 sampai 6°C (Nardone et al., 2006).
Kambing PE merupakan hasil persilangan kambing lokal dengan kambing Etawah yang berasal dari
India. Menurut Rout et al. (2000), kambing Etawah berasal dari District Etawah, India yang mengalami

versi elektronik
suhu udara lebih dari 48°C saat musim panas dan pada musim dingin mencapai 2 sampai 3°C. Mulyono
(2003) menyatakan bahwa kambing PE lebih cocok di daerah ketinggian 500 sampai 700 m di atas
permukaan laut dan bersuhu antara 21 sampai 25°C. Kambing PE dapat beradaptasi dengan baik karena
memiliki keturunan kambing Kacang, yang daya adaptasinya sangat tinggi terhadap kondisi alam
setempat.
Pada lingkungan dengan suhu 34°C rata-rata kecepatan respirasi, pulsus dan temperatur rektal pada
kambing PE mencapai 92,9 kali/menit; 107,7 kali/menit dan 39,1°C (Qisthon dan Suharyati, 2007).
Kecepatan respirasi dan pulsus normal pada kambing adalah 26 sampai 54 dan 55 sampai 80 kali/menit
(Frandson, 1992). Iklim dan pakan merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
produktivitas kambing. Kurangnya sinar matahari dapat menyebabkan kurangnya vitamin D. Selain itu,
rendahnya produktivitas juga dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas hijauan (Astuti dan Suprayogi,
2005).

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Materi penelitian terdiri dari 20 ekor induk kambing PE, masing-masing sebanyak 10 ekor di
desa`Gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kulon Progo (dataran tinggi) dan 10 ekor di desa Sumbermulyo,
kecamatan Bambanglipuro, Bantul (dataran rendah), hijauan pakan kambing yang sehari-hari disediakan
oleh peternak dan kandang panggung individual. Peralatan yang digunakan terdiri dari alat untuk
mengukur kondisi lingkungan, status fisiologi, konsumsi pakan dan produksi susu kambing.

221
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pengamatan dilakukan dari bulan September sampai November 2012. Data lingkungan meliputi
temperatur dan kelembaban diukur setiap hari selama penelitian berlangsung, dilakukan pada pagi, siang
dan sore. Data ternak yang terdiri dari umur, berat badan dan masa laktasi diamati pada awal penelitian.
Data fisiologi ternak (respirasi, pulsus dan temperatur tubuh), konsumsi pakan dan produksi susu diukur

versi elektronik
selama 7 hari berturut-turut pada awal, pertengahan dan akhir penelitian. Data dianalisis statistik
menggunakan One Way Anova.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Topografi lokasi penelitian. Desa Gerbosari, kecamatan Samigaluh merupakan daerah dataran tinggi
dengan ketinggian ± 600 m di atas permukaan laut, sedangkan desa Sumberejo, Bambanglipuro termasuk
dataran rendah dengan ketinggian ± 300 m di atas permukaan laut. Temperatur dan kelembaban
lingkungan di desa Gerbosari berkisar antara 23 sampai 25ºC dan 78 sampai 83% sedangkan di
Sumberejo 26 sampai 30ºC dan 69 sampai 85%. Menurut Mulyono (2003) lokasi yang cocok sebagai
daerah pemeliharaan kambing PE adalah ketinggian antara 500 sampai 700 m di atas permukaan laut
dengan suhu lingkungan antara 21 sampai 25 ºC. Lokasi dataran tinggi dalam penelitian ini berdasarkan
ketinggian tempat dan mikroklimatnya lebih cocok untuk pemeliharaan kambing PE. Temperatur
lingkungan di dataran rendah dalam penelitian ini melebihi batas atas temperatur nyaman bagi kambing

versi elektronik
PE di samping itu kelembaban udara juga lebih tinggi, sehingga menyebabkan kondisi lingkungan kurang
nyaman.
Kondisi fisiologi kambing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kondisi lingkungan antara
dataran tinggi dan dataran rendah berpengaruh nyata terhadap status fisiologi (P<0,05). Pada Tabel 1
rata-rata frekuensi respirasi dan pulsus kambing di dataran rendah (34,7 dan 65,1 kali/menit) lebih tinggi
dibandingkan kambing di dataran tinggi (31,2 dan 38,4 kali/menit). Perubahan frekuensi respirasi dan
pulsus dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan pada penelitian serupa akibat stres panas. Alam et al.
(2011) melaporkan bahwa pada kambing yang diberi penyinaran panas selama 4 sampai 8 jam
mengalami peningkatan respirasi dari rata-rata 32,7 menjadi 111,0 sampai 119,3 kali/menit dan pulsus
dari rata-rata 74,3 menjadi 82,3 sampai 87,3 kali/menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kambing PE di dataran rendah meskipun mengalami peningkatan kecepatan respirasi, pulsus dan
temperatur rektal tetapi masih dalam kisaran normal, sehingga dapat dinyatakan tidak mengalami stres.
Menurut Frandson (1992) pada kondisi normal kecepatan respirasi pada kambing 25 sampai 56

versi elektronik
kali/menit dan pulsus 55 sampai 80 kali/menit.
Tabel 1. Perbandingan frekuensi respirasi, pulsus dan temperatur rektal induk kambing di dataran rendah
dan dataran tinggi
Variabel Lokasi
Dataran rendah Dataran tinggi
a
Frekuensi respirasi (kali/menit) 34,7 ± 1,7 31,2 ± 1,3b
Pulsus (kali/menit) 65,1 ± 1,6a 59,4 ± 0,8b
Temperatur rektal (ºC) 38,6 ± 0,2 38,4 ± 0,1
a, b
: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05)
Meskipun kondisi lingkungan dataran rendah lebih panas dan kelembaban lebih tinggi tetapi perubahan

versi elektronik
fisiologi yang terjadi pada kambing PE tidak melampaui batas normal. Kondisi ini menunjukkan bahwa
kambing PE dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dataran rendah. Menurut Mulyono (2003)
kambing PE lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kurang baik karena merupakan hasil
persilangan dengan kambing Kacang yang daya adaptasinya tinggi terhadap lingkungan setempat.
Pendapat serupa menurut Brown et al. (1983) disitasi Zahraddeen (2007) pada kambing Nubian yang
termasuk kambing tropik peningkatan temperatur menyebabkan lebih sedikit penurunan produksi susu,

222
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
bahan kering lemak dan nitrogen susu dibandingkan pada kambing Alpine yang termasuk bangsa
kambing temperate.
Konsumsi pakan dan produksi susu. Perbedaan kondisi lingkungan menyebabkan perbedaan pakan yang

versi elektronik
diberikan pada kambing PE di dataran rendah dan dataran tinggi. Jenis hijauan yang diberikan pada
kambing di dataran rendah terdiri dari glirisidia dan rumput sedangkan di dataran tinggi terdiri dari
Kaliandra, daun Ketela pohon dan daun Sengon. Pakan penguat di dataran rendah terdiri dari polar dan
kulit kedelai sedangkan di dataran tinggi terdiri dari polar, kulit kedelai dan bekatul.
Induk kambing PE yang diamati dalam penelitian ini rata-rata berumur 2 sampai 3 tahun, mengalami
laktasi 2 sampai 3 kali. Produksi susu diukur mulai pada laktasi bulan ke 3. Rata-rata berat badan induk
di dataran rendah 38,4 ± 2,9 kg dan di dataran tinggi 39,2 ± 7,1 kg, sehingga berat badan induk kambing
tidak berbeda nyata antar lokasi.
Tabel 2. Perbandingan konsumsi nutrien induk kambing PE di dataran rendah dan dataran tinggi
Konsumsi bahan Lokasi
Dataran rendah Dataran tinggi

versi elektronik
Bahan kering (g/kg berat badan) 27,4a 38,4b
Protein kasar (g/kg berat badan) 3,4a 5,6b
Energi (g TDN/kg berat badan) 15,8a 24,5b
Air (liter/ekor/hari) 0,7a 0,5b
a, b
: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05)

Tabel 2 menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering, protein kasar dan energi pada induk kambing di
dataran rendah lebih rendah dibanding konsumsi nutrien kambing di dataran tinggi. Perbedaan konsumsi
bahan kering ini dapat terjadi karena konsumsi air minum kambing di dataran rendah lebih banyak
dibandingkan kambing di dataran tinggi. Kondisi lingkungan yang panas menyebabkan kambing lebih
banyak minum, sehingga sebagian volume rumen terisi air dan mengurangi volume untuk menampung
pakan. Perbedaan jenis hijauan yang diberikan juga dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering. Di
dataran tinggi hijauan yang diberikan lebih disukai kambing, yaitu rambanan yang kadar proteinnya

versi elektronik
tinggi. Jenis pakan ini lebih sesuai dengan sifat kambing sebagai browser, sehingga lebih banyak
terkonsumsi. Sebaliknya konsumsi bahan kering induk kambing di dataran rendah lebih sedikit karena
hijauan lebih banyak rumput, sehingga kurang palatabel. Meskipun peternak memberikan pakan penguat
tetapi konsumsi bahan kering di dataran rendah hasil penelitian ini termasuk rendah. Hasil penelitian
serupa menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi bahan kering kambing PE dengan pakan Kaliandra,
Glirisidia dan pakan penguat mencapai 42,1 sampai 55,2 g/kg berat badan (Suranindyah et. al., 2013).
Perbedaan jenis hijauan yang diberikan juga mempengaruhi nutrien yang terkonsumsi. Konsumsi protein
kasar dan energi pada kambing di dataran rendah lebih sedikit dibandingkan kambing di dataran tinggi.
Kaliandra dan daun Ketela pohon merupakan hijauan sumber protein yang baik dengan kadar protein
16% dan 13,9% (Hartadi et al., 2005) dan disukai kambing.
Perbedaan konsumsi nutrien ini berpengaruh terhadap produksi susu. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata produksi susu kambing di dataran rendah lebih sedikit dibandingkan di dataran tinggi,

versi elektronik
masing-masing sebesar 0,407 dan 0,487 liter/ekor/hari. Produksi susu kambing dalam penelitian ini lebih
rendah dari produksi kambing di kelompok peternak, rata-rata mencapai 0,97 liter/ekor/hari (Suranindyah
et al., 2009). Rendahnya produksi susu dalam penelitian ini juga disebabkan masa laktasi yang sudah
lanjut, yaitu bulan ketiga, sehingga produksi susu sudah mulai menurun. Produksi susu ini merupakan
bagian yang sudah tidak dimanfaatkan oleh anak kambing karena pada umumnya penyapihan pada bulan
ketiga.

223
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Alam et al. (2011) mensitasi dari Holter et al. (1997) dan West ( 2003) menyatakan bahwa stres panas
menyebabkan penurunan konsumsi bahan kering dan produksi susu. Menurut Egbowon (2004) disitasi
Zahraddeen et al. (2007) menyatakan bahwa suhu lingkungan yang terlampau tinggi, yang ditunjukkan
dengan menurunnya konsumsi pakan dan produksi panas tubuh.

versi elektronik
Pada penelitian ini kondisi lingkungan yang lebih panas juga menyebabkan konsumsi air pada kambing di
dataran rendah lebih banyak dibandingkan di dataran tinggi. Kambing di dataran tinggi lebih banyak
mendapatkan air dari kadar air hijauan yang lebih beragam, sehingga konsumsi air minumnya lebih
sedikit.
Jika dihitung perbandingan antara bahan kering terkonsumsi (kg) dengan berat susu (kg) yang dihasilkan
pada kambing di dataran rendah sebesar 2,48 dan di dataran tinggi 2,96. Dari data ini dapat diketahui
bahwa pemanfaatan pakan pada kambing di dataran rendah lebih efisien dibandingkan dengan di dataran
tinggi meskipun dari segi volume lebih sedikit.
Berdasarkan data kondisi fisiologi, konsumsi pakan, produksi susu dan efisiensi pakannya pemeliharaan
kambing PE untuk produksi susu di dataran rendah dapat disaranka karena hasil yang ditunjukkan masih
dalam kisaran normal. Letak dataran rendah lebih menguntungkan untuk memasarkan susu kambing.
Dalam hal ini diperlukan peningkatan produksi atau pemerahan lebih awal sehingga susu yang diperoleh

versi elektronik
lebih banyak.

KESIMPULAN
Temperatur dan kelembaban lingkungan di dataran rendah mempengaruhi kondisi fisiologi kambing PE
tetapi nilai rata-rata frekuensi respirasi, pulsus dan temperatur rektal yang dicapai masih dalam kisaran
normal. Konsumsi bahan kering dan produksi susu lebih rendah pada kambing di dataran rendah, tetapi
efisiensi pemanfaatan pakannya lebih tinggi. Pemeliharaan kambing PE untuk produksi susu dapat
dianjurkan untuk dilakukan di dataran rendah.

DAFTAR PUSTAKA
Alam, M. M., M. A. Hashem, M. M. Rahman, M. M. Hossain, M. R. Haque, Z. Sobhan and M. S. Islam.
2011. Effect of heat stress on behavior, physiology and blood parameter of goat. Progress. Agric.
22: 37 – 45

versi elektronik
Astuti, D.A. and A. Sudarman. 2012. Dairy Goats in Indonesia: Potential, Opportunities and
Challenges. Proceedings of the 1st Asia Dairy Goat Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 9–12
April 2012
Astuti, D. A., dan A. Suprayogi. 2005. Studies on indigenous sheep productivity under the tropical
rain forest area. Prosiding of The Mini Workshop Southeast Asia Germany Alumni Network. Bogor
Costa, R. G., H. L. B. Dal Monte, E. C. P. Filho, E. V. Holanda Jr., G. R. Beltrão da Cruz, M. P. C.
Menezes. 2010. Typology and characterization of goat milk production systems in the Cariris
Paraibanos. R. Bras. Zootec. 39:
Devendra, C.2012. Dairy Goats in Asia: Multifunctional Relevance and Contribution to Food and
Nutrition Security. Proceedings of the 1st Asia Dairy Goat Conference, Kuala Lumpur, Malaysia,
9–12 April 2012

versi elektronik
Djoharjani, T. 1996. Survey on production systems of dual purpose Etawah goat and its potential for
development in East Java. Livestock Rural Research Development 9:
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke empat. Gadjah Mada University Press.
Terjemahan. Hal 446-511
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia.
Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press. Terjemahan. Hal 104-118

224
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Mulyono, S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Cetakan Ke -V. Penebar Swadaya. Jakarta
Mulyono, S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Cetakan Ke -V. Penebar Swadaya.
Jakarta

versi elektronik
Nardone, A., B. Ronchi, N. Lacetera and U. Bernabucci. 2006. Climatic Effects on Productive Traits in
Livestock. Veterinary Research Communications, 30(Suppl. 1): 75–81
Phillips, C.J.C. 2012. The Welfare of Dairy Goats. Proceedings of the 1st Asia Dairy Goat Conference,
Kuala Lumpur, Malaysia, 9–12 April 2012
Qisthon, A. dan S. Suharyati. 2007. Pengaruh Penggunaan Naungan terhadap Kualitas Semen Kambing
Peranakan Ettawa. Anim. Prod. 9 (2) : 73-78.
Rout, P. K, A. Mandal, L. B. Sing, and R. Roy (2002). Studies on behavioral patterns in Jamunapari
goats. Small Ruminant Research
Suranindyah, Y. Y., T. S. M. Widi, Sumadi, N. H. Tarmawati, dan U. Dwisepta. 2009. Production
Performance of Etawah Crossed Goats in Turi – Sleman, Yogyakarta. The 1st International
Seminar on Animal Industry. Yogyakarta

versi elektronik
Suranindyah, Y. , E. F. Astuti, D. T. Widayati. 2013. The Effects of Feed Dry Matter on Body Condition
Score and Post Partum Estrous of Goat. Proceeding of 2nd Animal Production International
Seminar, Malang, 29 Agustus – 1 September 2013
Zahraddeen, D., I. S. R. Butswat, and S. T. Mbap. 2007. Evaluation of some factors affecting milk
composition of indigenous goats in Nigeria. Livestock Rural Research Development 19:

versi elektronik

versi elektronik 225


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH BERBAGAI LEVEL KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) DALAM RANSUM
TERHADAP PRODUKSI, PH, DAN BERAT JENIS SUSU KAMBING PE
Yusuf Subagyo

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh berbagai level (tingkat) daun Kaliandra kering pada
pakan terhadap produksi susu, pH, dan berat jenis susu kambing PE. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Duapuluh ekor kambing laktasi dibagi menjadi 4
kelompok perlakuan, yaitu: R1(0% daun kaliandra kering), R2 (10% kaliandra kering), R3 (20%
kaliandra kering), dan R4 (30% kaliandra kering), dan masing-masing perlakuan terdiri dari 5 ekor
kambing PE laktasi sebagai ulangan. Kajian menunjukkan bahwa rataan produksi susu hariannya adalah :
R1 662 ml, R2 691 ml, R3 732 ml, dan R4 738 ml ; pH susunya adalah : R1 6,56, R2 6,60, R3 6,57, dan
R4 6,59; sedangkan berat jenisnya adalah : R1 1,032, R2 1,033, R3 1,033, dan R4 1,33. Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa level kaliandra kering di dalam pakan berpengaruh tidak nyata terhadap
produksi susu, pH, dan berat jenis susu kambing PE kambing laktasi. Disimpulkan bahwa penggunaan
daun kaliandra kering sampai taraf 30% di dalam pakan tidak mempengaruhi produksi, pH, dan berat

versi elektronik
jenis susu kambing PE.
Kata kunci: Calliandra calothyrsus, level, Kambing PE laktasi

ABSTRACT
This study aimed to evaluate the effect of various levels of dry Calliandra calothyrsus leaves on feed on
milk production, pH, and specific gravity of goat milk. The experimental design used was completely
randomized design (CRD). Twenty lactating ewes were divided into four treatment groups, namely: R1
(0% dried Calliandra), R2 (10% dried Calliandra), R3 (20% dried Calliandra), and R4 (30% dried
Calliandra), and each treatment consists of 5 goats PE lactation as replicates. Studies showed that the
average daily milk production were: R1 662 ml, 691 ml R2, R3 732 ml, 738 ml and R4; pH of milk was:
6.56 R1, R2 of 6.60, 6.57 R3, and R4 6.59; while its density was: 1.032 R1, R2 1.033, 1.033 R3, and R4
1.33. Statistical analysis showed that the levels in the feed dry Calliandra no real effect on milk
production, pH, and specific gravity of goat milk goat lactation. It was concluded that the use of dried

versi elektronik
Calliandra leaves to some 30% in the feed did not affect production, pH, and specific gravity of goat
milk.
Keywords: Calliandra calothyrsus, level, lactating goats

PENDAHULUAN
Salah satu tanaman di Indonesia yang mempunyai potensi tinggi sebagai pakan ternak adalah Kaliandra
(Callliandra calothyrsus). Tanaman ini termasuk leguminosa (kacang – kacangan) yang berbentuk semak
ataupun pepohonan, kandungan protein kasarnya tinggi, sehingga menjadi salah satu sumber penyediaan
protein yang murah untuk ruminansia.
Kinerja produksi dan reproduksi ternak ruminansia di Indonesia pada umumnya relatif, hal ini ditandai
antara lain dengan: pertambahan bobot badan rendah, produksi susu rendah, panjangnya calving interval,
dan lain - lain. Faktor utama yang meyebabkan rendahnya kinerja ini diduga adalah pakan. Pada
umumnya pakan yang dibutuhkan tidak tersedia secara memadai untuk sepanjang tahun, disamping itu

versi elektronik
mutu pakannya juga rendah, terutama kandungan proteinnya.
Kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan energi (TDN) tidak lebar (21%), namun kekurangan
sumber protein penting (54%) (Simbaya, 2001). Selanjutnya, sumber protein tradisional yang tersedia
digunakan terutama untuk memberi makan hewan perah (sapi dan kerbau). Hal ini telah mengakibatkan
rendahnya produktivitas ternak ruminansia kecil.

226
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Untuk mendapatkan produksi optimum pada ternak domba dan kambing, perhatian telah diberikan untuk
mengeksploitasi sumber protein alternatif. Konsentrat komersial telah digunakan sebagai suplemen untuk
diet basal kambing. Namun, biaya konsentrat terus meningkat karena ketersediaannya rendah dan
permintaan tinggi dari industri ternak non-ruminansia, yang juga berkembang pesat di Indonesia. Oleh

versi elektronik
karena itu, pengembangan sumber daya pakan non-tradisional untuk menggantikan konsentrat komersial
di negara ini penting. (Simbaya, 2001). Kaliandra bisa dijadikan salah satu alternatif penyedia protein
pakan ternak, sekaligus sebagai pengganti konsentrat tradisional yang makin mahal harganya (Palmer dan
Ibrahim, 1989).
Berdasarkan hal di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan
berbagai level daun Kaliandra dalam pakan terhadap produksi susu, pH, dan berat jenis susu kambing PE.

METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Eksperimental Farm, Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, dan
Laboratorium Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan UNSOED, Puwokerto, Jawa Tengah. Ternak
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor kambing PE yang sedang laktasi pada periode
pertama, yang berumur 1,5 – 2 tahun, dan berbobot badan sekitar 35 kg.

versi elektronik
Perkandangan
Masing-masing kambing ditempatkan pada kandang individu, yang berukuran sebagai berikut: panjang
140 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 110 cm. Jarak antara lantai dengan kandang individu adalah 150 cm.
Ukuran tempat pakan adalah: panjang 80 cm panjang, lebar 40 cm, dan tinggi 35 cm. Kandang-kandang
memiliki tempat pakan tersendiri dan terpisah dengan tempat air minum. Air minum diberikan dalam
ember plastik.
Pakan Perlakuan dan Manajemen
Pakan yang digunakan sebagai perlakuan dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: R1 (diet yang
mengandung 0% kering C. calothyrsus), R2 (10% kering C. calothyrsus), R3 (20% kering C. calothyrsus),
dan R4 (30% kering C. calothyrsus). Semua diet ditambahkan premix 1%, yang digunakan sebagai
sumber vitamin dan mineral. Bahan pakan dan komposisi gizi diet untuk percobaan ini disajikan pada
Tabel 1.

versi elektronik
Table 1. Bahan pakan dan komposisi ransum perlakuan (% BK)
Bahan pakan R1 R2 R3 R4
Rumput Gajah 60 60 60 60
Bungkil kelapa 15 10 5 0
Ampas tahu 15 10 5 0
Daun Kaliandra kering 0 10 20 30
Tepung jagung 9 9 9 9
Premix 1 1 1 1
Nutrient content
CP (%) 11.8 11.81 11.86 11.9
ME (MJ/kg DM) 9.50 9.30 9.12 8.84

Kambing laktasi diberi pakan perlakuan sebanyak 3,5% dari bobot badan berdasarkan kebutuhan bahan

versi elektronik
keringnya. Perbandingan antara rumput gajah rumput Gajah dengan konsentrat yang diberikan adalah
60% : 40%. Ransum diberikan sebanyak tiga kali sehari, yaitu jam 08.00 WIB berupa konsentrat, jam
12.00 dan 17.00 WIB berupa rumput Gajah. Air diberikan secara tidak terbatas. Ransum yang diberikan
disesuaikan dengan perubahan bobot badan setiap minggunya.

227
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Kambing PE
laktasi dikelompokkan menjadi empat perlakuan, berdasarkan perlakuan yang diberikan (R1 – R4), dan

versi elektronik
masing-masing kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor kambing laktasi sebagai ulangan.
Pengukuran Peubah Penelitian
Produksi susu harian diukur setiap hari dari pemerahan pagi (07.00 WIB) dan sore hari
(17.00 WIB) menggunakan sebuah gelas. pH susu dicatat setiap hari dua kali selama sepuluh minggu
penelitian menggunakan pH-meter Horiba. Berat jenis susu diukur dengan menggunakan laktodensimeter
Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis dengan ANOVA satu arah (Analisis varians), menggunakan Program
SPSS yang cocok untuk Rancangan acak lengkap / RAL (Steel and Torrie, 1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rataan data produksi susu, pH,dan berat jenis susu susu kambing PE selama sepuluh minggu perlakuan

versi elektronik
disajikan pada Tabel 2.
Table 2. Rataan produksi harian, pH, dan Berat jenis susu kambing PE laktasi yang diberi berbagai
ransum dengan kandungan daun Kaliandra yang berbeda, selama 10 minggu penelitian
Peubah R1 R2 R3 R4
Produksi susu (ml) 662a 691a 732a 738a
pH 6.56a 6.60a 6.57a 6.59a
Berat jenis 1.032a 1.033a 1.033a 1.033a

Pada Tabel 2. Terlihat bahwa level Kaliandra dalam Ransum tidak mempengaruhi (P <0,05) rataan
produksi susu harian, pH, dan berat jenis susu kambing PE selama sepuluh minggu perlakukan, namun
demikian terdapat kecenderungan hasil susu meningkat dari R1 ke R4. Hal ini berarti pula bahwa

versi elektronik
substitusi daun Kaliandra kering untuk bungkil kelapa dan ampas tahu tidak mempengaruhi hasil susu,
pH, dan berat jenis susu kambing PE.
Rataan produksi susu harian kambing PE pada riset ini adalah R1: 662 ml, R2 : 691 ml, R : 732 ml, dan
R4 : 738 ml / hari. Produksi susu kambing pada riset ini tergolong sedang, karena menurut Sutton (1989),
produksi susu harian kambing PE adalah 220 – 2858,71 ml per hari. Kisaran produksi susu kambing PE
sangat lebar. Alasan utamanya adalah karena pada dasarnya kambing PE ini belum dikhususkan sebagai
penghasil susu. Sejatinya kinerja produksi susu yang lebar pada kambing PE juga menunjukkan bahwa
variansi genetiknya sangat tinggi.
Produksi susu harian kambing PE pada riset ini pada semua perlakuan hampir sama, tetapi memang ada
kecenderungan kenaikan produksi pada kambing yang diberi pakan Kaliandra lebih banyak. Pengaruh
Kaliandra dalam peningkatan produksi susu diduga ada peningkatan relatif asupan protein pada kambing
yang diberi pakan Kaliandra lebih tinggi. Hasil riset ini sejalan riset Patterson dkk. (1996) yang
membuktikan bahwa sapi perah di Afrika Timur tidak terpengaruh produksi susunya karena penggantian

versi elektronik
sebagian konsentrat komersial dengan daun Kaliandra segar.
Pada Tabel 2. terlihat bahwa level Kaliandra sebagai substitusi bungkil minyak kelapa dan ampas tahu
dalam diet kambing menyusui tidak berpengaruh (P> 0,05) terhadap produksi susu kambing. Hal ini
mungkin terkait dengan kandungan protein dan energi dalam ransum yang hampir serupa, dari R1 ke R4.
Hasil ini selaras dengan pendapat Bocquier dan Caja (1993), yang menyatakan bahwa tingkat gizi,

228
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
terutama tingkat energi atau asupan pakan, adalah faktor positif utama yang mempengaruhi produksi susu
dan komposisi susu pada ruminansia. Produksi dan komposisi susu kambing dipengaruhi banyak hal,
diantaranya adalah pakan, periode laktasi, pemerahan, dan lain-lain (Flamant dan Morand-Fehr, 1982,
Treacher, 1989; Bocquier dan Caja, 1993). Selain itu harus diingat bahwa produksi dan komposisi susu

versi elektronik
(lemak, protein, kasein dan protein serum, tetapi tidak laktosa) berkorelasi negatif (Fuertes et al, 1998.).
Dari Tabel 2. terlihat bahwa pH susu kambing PE tidak dipengaruhi oleh semua perlakuan, ini bisa
diartikan bahwa kualitas susu secara higienes masih pada tataran normal, karena pH susu kambing yang
normal adalah 6,3 – 6,7. Selain itu pH susu memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor luar dan salah
satu sifat susu adalah sulit sekali mengalami perubahan karena adanya buffer (zat penyangga) yang ada di
dalamnya.
Berat jenis susu pada riset ini juga tidak dipengaruhi oleh kandungan Kaliandra di dalam pakan, berat
jenis susu kambing PE yang diberi pakan perlakuan R1 – R4 relatif sama. Hal ini berarti kualitas susu
ditinjau dari kandungan total solid-nya pada semua perlakuan sama karena berat jenis susu berbanding
lurus dengan total solid. Grummer (1991) menyatakan bahwa berat jenis susu adalah sebuah lemak dan
kandungan total solid susu.

versi elektronik
KESIMPULAN
Level daun Kaliandra kering sebanyak sampai 30% dari ransum tidak mempengaruhi produksi susu, pH,
dan berat jenis susu kambing PE.

DAFTAR PUSTAKA
Bocquier, F. and Caja G. 1993. Recent advances on nutrition and feeding of dairy sheep,Proceed. 5th. Int.
Symp. On Machine Milking of Small Ruminants, Budapest, May 14-20. Hungarian Journal of
Animal Production, 1 (Suppl.): 580-607.
Flamant, J.C. and Morand-Fehr, P. 1982. Milk production in sheep and goats. In: Coop, I.E. (Ed.),
Sheep and goat production, World Animal Science, C 1. Elsevier Science Publishing Company,
Amsterdam, pp. 275-295.
Fuertes, J.A., Gonzalo C., Carriedo, J.A. and San Primitivo. 1998. Parameters of test day milk yield and
milk components for dairy ewes. Journal of Dairy Science, 8 : 1300-1307.

versi elektronik
Grummer, R.R. 1991. Effect of feed on the composition of milk fat. Journal of Dairy Science, 74: 3244-
3257 Griinary, J.M., Chouinard, P.Y., Bauman, D.E. 1997. Trans fatty acid hypothesis of milk
depression revisited. In: Proceedings of Cornell Nutrition Conference, pp. 208-216.
Palmer, B. and Ibrahim, T.M. 1996. Calliandra calothyrsus forage for the tropics – a current assessment.
In: Evans, D.O. (Ed.). Proceedings of the International Workshop on the Genus Calliandra.
Forest, farm and Community Tree Research Reports (Special Issue). Winrock International,
Morrilton, Arkansas, USA. pp.183-194.
Patterson, R.T., Roothaert, R.L., Nyaata, O.Z., Akyeampong, E. and Hove, L. 1996. Experience with
Calliandra calothyrsus as a feed for livestock in Africa. In: Evans, D.O (Ed.). Proceedings of the
International Workshop on the Genus of Calliandra. Forest, Farm and Community Tree
Research Reports (Special Issue). Winrock International, Morrilton, Arkansas, USA. pp. 195-209.
Simbaya, J. 2001. Potential of fodder tree/shrub legumes as a feed resource for dry season

versi elektronik
supplementation of smallholder ruminant animals. National Institute for Scientific and Industrial
Research, Livestock and Pest Research Centre, Chilanga, Zambia.
Steel, R.G.and Torrie, J.H. 1990. Principles and procedures of statistics. 2nd ed. McGraw Hill Publishing
Company, New York.

229
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sutton, J.D. and Morant, S.V. 1989. A review of the potential of nutrition to modify milk fat and protein.
Livestock Production Science, 23: 219-237.
Treacher, T.T. 1989. Nutrition of the dairy ewe. In: W.J. Boyland (Ed.). North American Dairy Sheep

versi elektronik
Symposium. University of Minnesota, St-Paul. Pp. 45-55.

versi elektronik
.

versi elektronik

versi elektronik 230


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
AYAM SENTUL SEBAGAI PENGHASIL TELUR
Sukardi dan Sigit Mugiyono
Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto

versi elektronik
ABSTRAK
Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui produksi telur berbagai ayam sentul di Kabupaten
Ciamis. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dan pengamatan langsung berbagai ayam sentul
yang dipelihara oleh semua peternak anggota Gabungan Kelompok Ternak Ayam Setul Ciung Wanara
Desa Ciamis Kecamatan Ciamis Kabupaten Ciamis. Peubah yang diamati adalah produksi telur meliputi
bobot telur, produksi telur (butir), hen day production (HDP) dan hen house production(HHP). Data yang
diperoleh dianalisi dengan General Linier Model, sebagai fixed effect adalah berbagai (kategori) ayam
sentul yang terdiiiri atas 5 ( lima ) kategori : Ayam Sentul Abu = SA, Ayam Sentul Batu =SB, Ayam
Sentul Emas = SE, Ayam Sentul Debu = SD dan Ayam Sentul Geni = SG. Ulangan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah peternak (jumlah peternak 30 orang) dengan jumlah disesuaikan dengan
kepemilikan masing-masing kategori ayam sentul. Rataan bobot telur 42,31±4,45 g, produksi telur 15,34
±3,87 butir, HDP 36,52±9,19 % dan HHP 36, 12±9,16 %. Analiisis statistik menunjukkan bahwa
berbagai ayam sentul tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap bobot telur, berpengaruh sangat nyata

versi elektronik
( P<0,01 ) terhadap produksi telur (butir), HDPdan HHP. Disimpulkan bahwa ayam sentul SA, SB, dan
SD mempunyai produksi telur yang lebih baik dibandingkan SE dan SG.

ABSTRACK
A study was conducted to determine the performance of the production of various Sentul chicken in
Ciamis Regency. The research method used was survey and direct observation of the various Sentul
ckecken maintained by all members of the combined group of Livestock Sentul Chicken Ciung Wanara
Ciamis village, Ciamis District Ciamis Regency. Observed variables were eggs production (eggs weight,
egg productin, hen day production = HDP and hen haused production = HHP). Data were analyzed with
the General Linier Model, as a fixed effect is various of (categories) Sentul chicken consisting of five
(5) categories : Abu Sentul chicken = SA, Batu Sentul chicken = SB, Emas Sentul chicken = SE, Debu
Sentul chicken = SD and Geni Sentul chicken = SG. Replicates were used in this study were farmers(
number of farmers around 30 people), and the number of replications is adjusted to each ownership
category of Sentul chicken. Egg weight average 42,31±4,45 g, quantity of egg 15,34 ±3,87 eggs, HDP

versi elektronik
36,52±9,19 % dan HHP 36, 12±9,16 %. Statistic analysis showed that the various of Sentul chicken had a
non significant effect ( P > 0,05 ) on egg weight, highly significant effect ( P<0,01 ) on quantity of eggs,
HDP and HHP . It can be concluded that Sentul chicken SA, SB and SD have hight eggs production
versus SE and SG

PENDAHULUAN
Kebutuhan protein hewani asal ternak dari tahun ketahun selalu meningkat seiring dengan peningkatan
pertambahan penduduk, pendapatan perkapita dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnyan protein hewani asal ternak bagi kehidupan. Dari kebutuhan minimal protein hewani asal
ternak perkapita setiap hari yaitu 6 g . kapita/ hari baru terpenuhi sekitar 75 % ( Dirjen Peternakan , 2012
), Oleh karena berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi ternak. Salah satu jenis ternak
yang potensial untuk dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan tersebut adalah ternak unggas,
khusunya ayam lokal. Ayam lokal atau ayam kampung atau ayam bukan ras sangat potensial

versi elektronik
dikembangkan karena memiliki beberapa keunggulan antara lain populasinya yang banyak,dipelihara
tidak kurang dari 87 % jumlah keluarga di Indonesia dengan tingkat pemilikan ratan 5, 8 ekor, menyebar
merata diseluruh pelosok tanah air, produksinya ( daging dan telur disenangi masyarakat dengan harga
yang cukup tinggi (Sukardi dan Mugiyono, 2010 ).
Dalam upaya meningkatkan kinerja ayam kampung dilakukan ppemerintah dengan program intensifikasi
ayam buras ( INTAB ) antara lain dengan peningkatankulitas bibit melalui seleksi. Berbagai hasil seleksi

231
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dilakukan bberbagai daerah untuk meningkatkatkan kualitas bibit baik sebagai penghasil telur maupun
daging sehingga dihasilkan ayam lokal unggul seperti ayam Kedu, ayam Pelung, ayam Nunukan, ayam
Jantur, ayam Sentul dan sebagainya ( Sukardi dan Mugiyono, i,2010 ), Oleduksitelur dh karena itu
dilakukan penelitian untuk pengetahui produksi telur berbagai ayam Sentul

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Materi /sasaran penelitian ini berbagai ayam Sentul yang dimiliki oleh 30 peternak anggota Gabungan
Kelompok Tani Ternak Ayam Sentul Ciung Wanara Desa Ciamis, Kecamatan Ciamis Kabupaten Ciamis.
Metode penelitian yang digunakan adalah survei dan pengamatan langsung berbagai ayam sentul yang
dipelihara oleh semua peternak anggota” Gabungan Kelompok Ternak Ayam Setul Ciung Wanara” Desa
Ciamis Kecamatan Ciamis Kabupaten Ciamis. Peubah yang diamati adalah produksi telur meliputi bobot
telur, produksi telur (butir ), hen day production (HDP) dan hen house production (HHP). Data yang
diperoleh dianalisi dengan General Linier Model, sebagai fixed effect adalah berbagai (kategori) ayam
sentul yang terdiiiri atas 5 (lima) kategori : Ayam Sentul Abu = SA, Ayam Sentul Batu =SB, Ayam
Sentul Emas = SE, Ayam Sentul Debu = SD dan Ayam Sentul Geni = SG. Ulangan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah peternak (jumlah peternak 30 orang) dengan jumlah disesuaikan dengan
kepemilikan masing-masing kategori ayam Sentul. Data dilakukan analisi ragam dan bila berpengaruh

versi elektronik
nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produksi telur ayam sentul ( total produksi dalam butir, bobot telur per butir, % HDP dan % HHP )
selama enam minggu pengamatan dari berbagai ayam Sentul sebagai berikut :
Tabel 1 : Rataan Produksi Telur Ayam Sentul
Ayam Sentul Produksi telur Bobot telur HDP (%) HHP ( % )
( butir ) ( g)/ butir
SA 18,33±1,86b 45,07± 5,41c 43,64 ± 4,43c 43,64 ± 4,43c
SB 19,28± 2,06b 43,53 ± 1,32bc 45,91 ± 4,90bc 44,40 ± 3,52bc
SD 13,96± 0,81b 44,33 ± 4,74ab 33,03 ± 1,92ab 33,03 ± 1,92ab
SE 10,20 ±1,9ab 40,47 ± 2,91a 24,28 ± 4,56a 24,14 ± 4,61a
12,47± 1,05a 38,13 ± 2,58a 29,86 ± 2,50a 29,56 ± 2,54a

versi elektronik
SG
Rataan 15,34± 3,87 42,31 ± 4,45 36,52 ± 9,19 36,12 ± 9,16
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata ( P < 0,05 )

Selanjutnya setelah dilakukan analisis ragam menunjukkannbahwa berbagai ayam sentul berpengaruh
sangat nyata (P <0,01) terhadap produksi telur (butir), berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap
bobot telur ( g/ butir ), berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap produksi telur (% HDP dan %
HHP). Selanjutnya setelah dilakukan uji beda nyata jujur (BNJ) (Tabel 1).
Produksi telur ayam Sentul selama 6 minggu berkisar 15,34 ± 3,87 butir atau 135 butir pertahun dan
pemeliharaannya dilakukan secara semi intensif. Produksi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
ayam arab yang mencapai 225 butir /ekor / tahun (Ikromah, 2011). Hasil uji beda nyata jujur
menunjukkan bahwa ayam sentul Abu, ayam Sentul Batu, ayam Sentul Debu mempunyai produksi telur
yang lebih tinggi dibandingkan ayam Sentul Emas dan ayam sentul Geni (Tabel 1). Hal ini diduga ayam
Sentul mempunyai variasi genetik , khususnya yang mempengaruhi produksi telur . Perbedaan individu

versi elektronik
ayam Sentul diduga terjadi karena adanya perbedaan sifat yang diwariskan dari masing masing tetuanya.
Menurut Sartika (2005) besar kecilnya sifat individu yang diturunkan dari tetua dapat diketahui dari
heritabilitas. Sifat individu baik sifat kualitatif (warna bulu bentuk jengger) dan sifat kuantitatif (bobot
badan dan produksi telur) ditentukan dari gen dan allele nyayang tersusun dari pasangan DNAyang
ditemukan dalam inti sel.

232
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Rataan bobot telur ayam Sentul berkisar 42,31 ± 4,45 g per butir (Tabel 1). Setelah dilakulakan analisis
ragam berbagai ayam Sentul berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap bobot telur. Setelah dilakukan
uji beda nyata jujur (BNJ ) diketahui bobot telur ayam Sentul Abu, Sentul Batu dan Debu cenderung
lebih tinggin dibandingkan dengan bobot telur Sentul Emas dan Sentul Geni (Tabel 1). Hal ini diduga

versi elektronik
karena ayam Sentul Abu, ayam Sentul Batu dan ayam Sentul Debu mempunyai genetik yang lebih baik
dibandingkan dengan ayam Sentul Emas dan ayam Sentul Geni. Genetik ayam Sentul mempunyai reaksi
yang berbeda terhadap kondisi lingkungan, seperti yaang dikatekan Schliching dan Picliucci ( 1995 )
bahwa setiap individu mempunyai kepekaan allel yang berbeda yang merupakan pengaruh langsung
lingkungan dan regulatory control yaitu suatu kontrol dimana tidak semuaalokus gen diekspresikan
dalam setiap lingkungan. Ekspresi gen diatus memelui lokus regulator yang mengntrol ekspresi sejumlah
besar gen.
Rataan HDP ayam Sentul selama 6 minggu sebesaar 36,52 ± 9,19 % ( Tabel 1 ). Selanjutnya setelah
dilakukan analisis ragam menunjukkan bahwa beberapa ayam Sentum berpengaruh sangat nyata ( P <
0,01 ) terhadap HDP. Uji BNJ menunjukkan baHwa ayam Sentul Abu dan ayam Sentul Batu mempunyai
produksi telur (HDP ) yang lebih tinggi dibandingkan ayam Sentul Debu, ayam Sentul Emas dan ayam
Sentul Deni ( Tabel 1 ) . Perbedaan tersebut diduga masing-masing ayam Sentul mempuyai mutu genetik
yang berbeda yang diperoleh dari tetuanya. Sidadolog (2011) menyatakannbahwasetiap individu

versi elektronik
memiliki susunan gen ( 2n ) sesuai gen yang diperoleh dari tetuanya.
Ayam Sentul Abu dan ayam Sentul Batu mempunyai rataan produksi telur ( HDP ) yang lebih tinggi (
masing-masing 43,64 ± 4,43 % dan 45,91 ± 4,90 % ) dibandingkan ayam lokal yang dipelihara secara
intensif selama 10 minggu produksi secara HDP sebesar 39,51 % (Zainudin dan Wahyu , 1995 )
Rataan HHP ayam Sentul yang dipelihara selama 6 minggu sebesar 36,12 ± 9,16 %. Selanjutnya setelah
dilakukan analisis ragam menunjukkan bahwan macam ayam sentul berpengaruh sangat nyata ( P < 0, 01
) terhadap produksi HHP. Hasil uji BNJ antara jenis ayam Sentul menunjukkan ayam Sentul Abu dan
ayam Sentul Batu mempunyai produksi telur HHP yang lebihntinggi dibandingkan dengan ayam sentul
lainnya ( ayam Sentul Debu, ayam Sentul Emas dan ayam Sentul Geni ) ( Tabel 1 ). Perbedaan ini
diduga karena masing-masing ayam sentul memiliki mutu genetik yang berbeda yangberbeda dari
tetuanya. Rataan hasil produksi telur ( HHP ) ayam Sentul Abu dan ayam Sentul Debu masing-masing
43,64 ± 4,43 % dan 44,40 ± 3,52 % lebih tinggi lebih tinggi dari produksi ayam Arab HHP sebesar 31,11

versi elektronik
% ( Istinganah, dkk ( 2013 ) dan ayam Kampung sebesar 37,1 % ( Creswell dan Gunawan dalam
Sartika, dkk ( 2006 ).

KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapar disimpulkan ayam sentul Debu, ayam Sentul Batu dan Abu mempunyai potensi
sebagai penghasil telur dibandingkan ayam Sentul Emas dan ayam sentul Geni. Selanjutnya disarankan
untuk dilakukan seleksi kearah produksi telur.

DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Peternakan, 2012. Buku Statistik Peternakan. Ditektorat Jenderal Peternakan. Jakarta
Sartika, T. 2005. Peniningkatan Mutu Genetik Ayam Kampung Melalui Seleksi dan Pengkajian
Menggunakan Penanda Genetik Promotor Prolaktin Dalam Mas/ MarkerAssisred Selection Untuk
Mempercepat Proses Seleksi. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor

versi elektronik
Setioko, A.R. dan S. Iskandar, 2006. Review Hasil-Hasil Penelitian dan Dukungan Teknologi dalam
Pengembangan Ayam Lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Tenologi Pengembangan
Ayam Lokal. Bogor
Sidadolog, JHP, 2011. Pemuliaan Sebagai sarana Pelestarian dan Pengembangan Ayam Lokal.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

233
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sukardi dan S Mugiyono, 2010. Manajemen Ayam Buras. Faakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto.
PENGEMBANGAN KLASTER SAPI POTONG: RANCANGAN PROGRAM DAN KEGIATAN
Akhmad Sodiq

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Jln. Dr. Soeparno No.60, Purwokerto Jawa-Tengah; email: sodiq_akhmad@hotmail.com

ABSTRAK
Livestock On-Farm Trials pengembangan klaster sapi potong dirancang untuk peningkatan populasi sapi
potong dan mendukung program nasional Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS).
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan rancangan program dan kegiatan pengembangan klaster
sapi potong dan metode implementasinya. Lokasi kegiatan di empat kabupaten (Cilacap, Banyumas,
Purbalingga dan Banjarnegara) dengan melibatkan berbagai pihak yaitu Perwakilan Bank Indonesia
Purwokerto, Pemeritah Daerah, Universitas Jenderal Soedirman serta Kelompok Tani Ternak Sapi
Potong. Pada tahap awal, pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan lapang, studi catatan dari
periode sebelumnya dan Forum Group Discussion. Analisis deskriptip diterapkan pada penelitian ini.
Tiga lingkup program pengembangan klaster sapi potong meliputi (i) penguatan kelembagaan kelompok
tani, (ii) alih teknologi peternakan berorientasi pada penerapan good farming practice berbasis provent

versi elektronik
technology, dan (iii) penguatan modal.
Kata kunci: Sapi potong, klaster, pengembangan peternakan.

ABSTRACT
Livestock On-Farm Trials of beef cattle cluster development designed for the increasing beef cattle
population and to support national program of Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi
(P2SDS). The objectives of current study was to describe the programs and activities of the beef cattle
cluster development and its implementation methods. Representative of Bank Indonesia Purwokerto,
Local Governments (Cilacap, Banyumas, Purbalingga and Banjarnegara Regencies), Jenderal Soedirman
University and also Beef Cattle Farmer Group were involved in this activities. In this initial phase, data
was collected by field observations, previous regular reporting, and forum group discussion were
implemented. Descriptive analysis was applied in this study. Three development programs include (i)
strengthening the institutional farmer group, (ii) transfer of technology oriented to implementation of

versi elektronik
good farming practice provent based technology, and (iii) strengthening the capital.
Keywords: Beef cattle, cluster, livestock development.

PENDAHULUAN
Pada kurun periode sepuluh tahun terakhir permintaan daging terus meningkat dan telah melebihi
kemampuan produksi daging sapi dalam negeri (Ditjennak, 2008), serta diproyeksikan mengalami laju
peningkatan sebesar 2,7 persen selama tahun 2010-2014 (Ditjennak, 2010). Penurunan populasi sapi
potong nasional sangat berkorelasi dengan populasi di wilayah sentra populasi sapi potong di tujuh
provinsi (Sodiq dan Wakhidati, 2006). Pemenuhan kebutuhan daging sapi tidak mampu hanya
menggantungkan pada wilayah tersebut (Yusdja dkk., 2004), oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus
dalam kebijakan dan strategi pengembangannya. Pengembangan klaster Sapi Potong berbasis kelompok
di pedesaan menjadi prioritas yang implementasinya didukung dan menjadi tanggungjawab bersama
berbagai pihak yaitu Government, Academician, Businessman-Bank, Social Community (Sodiq dan

versi elektronik
Hidayat, 2014).
Pada saat ini, harga sapi potong per kilogram bobot hidup cenderung meningkat drastis mencapai kisaran
harga dari Rp 38.000 sampai Rp.45.000, dan diikuti oleh kenaikan harga daging sapi. Kondisi tersebut
dipicu dengan kelangkaan sapi siap potong di pasaran, demikian juga stock di beberapa feedloter. Harga
daging sapi potong juga cenderung meningkat sampai mencapai Rp.110.000 per kg utamanya menjelang
hari raya idul Fitri. Meningkatnya harga sapi potong menjadi kendala bagi petani terutama kesulitan

234
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
membeli kembali setelah periode penjaulan pada Hari Raya Qurban. Pada banyak kejadian, kandang
kelompok di wilayah Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnergara dan Kebumen
cenderung tidak optimal, bahkan banyak ditemukan kandang yang kosong.

versi elektronik
Program Perceptan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) menjadi agenda prioritas
pembangunan peternakan nasional. Target utama berupa peningkatan ketersedian daging sapi domestik
sebesar 90 persen. Program ini juga merupakan peluang untuk dijadikan pendorong dalam
mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti pada masa lalu. Program aksi yang dapat
dilakukan diantaranya dengan menumbuhkan klaster berupa kawasan-kawasan peternakan perbibitan dan
penggemukan sapi potong berbasis kelompok di pedesaan. Dalam rangka mewujudkan kemandirian dan
ketahanan pangan hewani secara berkelanjutan dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan peternak dan
daya saing produk peternakan, diperlukan pengembangan klaster sapi potong yang sesuai dengan
karakteritik sistim produksi dan kondisi agroekosistem masing-masing wilayah. Tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan rancangan program dan kegiatan pengembangan klaster sapi potong dan disertai
dengan metode implementasi khususnya pada periode awal kegiatan.

METODE PENELITIAN
Livestock On-Farm Trials (LOFT) dilakukan pada kelompok tani ternak sapi potong yang menjadi binaan

versi elektronik
pengembangan klaster sapi potong berlokasi di empat kabupaten yaitu Kabupaten Cilacap, Banyumas,
Purbalingga dan Banjarnegara. Pada tahun pertama Kelompok Tani Ternak Sapi Potong (KTTSP) yang
menjadi binaan adalah (1) KTTSP Lembu Sari (pusat klaster) Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten
Cilacap, (2) KTTSP Mugi Barokah (sub klaster 1) Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap, (3) KTTSP
Bina Karya Sejahtera (sub klaster 2) Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas, (4) KTTSP Jati Mulya
(sub klaster 3) Kecamatan Purbalingga Kabupaten Purbalingga, dan (5) KTTSP Sari Widodo (sub klaster
4) Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara. Pada tahap awal ini, metode pengumpulan data
dilakukan melalui pengamatan lapang, studi catatan dari periode sebelumnya dan Forum Group
Discussion. FGD dilakukan untuk menjaring dan merumuskan program dan kegiatan pengembangan
klaster sapi potong spesifik pada masing-masing lokasi. Analisis deskriptip kualitatip dan kuantitatip
diterapkan pada penelitian ini. Kegiatan pengembangan klaster ini dirancang bersifat multitahun (3 tahun)
dengan melibatkan berbagai pihak yaitu Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi dan masyarakat peternak sapi potong.

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Tujuan Kegiatan, Metode dan Roadmap Implementasi
Tujuan Kegiatan. Kegiatan pengembangan klaster sapi potong direncanakan multi tahun (3 tahun) dengan
tujuan jangka panjang sebagai berikut: (1) Peningkatan populasi sapi potong di wilayah klaster sebagai
sumber daging sapi domestik (bukan impor); (2) Peningkatan jumlah UKM peternakan sapi potong untuk
tujuan penghasil pedet (breeding, cow-calf-operation); (3) Peningkatan jumlah UKM peternakan sapi
potong untuk tujuan penggemukan (fattening); (4) Peningkatan skala usaha dan pendapatan UKM
peternakan sapi potong; dan (5) Berkembangnya industri (usaha) terkait dengan peternakan sapi potong
(usaha penyediaan hijauan dan pakan ternak, usaha pengolahan daging, usaha pengolahan pupuk kompos
kandang).
Secara bertahap, tujuan jangka pendek pengembangan klaster sapi potong meliputi: (1) Penguatan
kelembagaan kelompok tani ternak sapi potong mencakup (i) Peningkatan potensi individu peternak, dan

versi elektronik
(ii) Peningkatan dinamika kelompok; (2) Peningkatan alih teknologi peternakan: (i) Peningkatan
pengetahuan peternakan sapi potong (breeding, feeding, management), (ii) Peningkatan ketrampilan
peternakan sapi potong, dan (iii) Peningkatan penerapan teknologi peternakan sapi potong; (3) Penguatan
modal melalui akses pembiayaan perbankan dan investor meliputi (i) Peningkatan akses pembiayaan
perbankan, dan (ii) Perluasan jejaring kemitraan usaha.

235
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Metode dan Roadmap Implementasi. Implementasi pengembangan klaster sapi potong di wilayah empat
kabupaten dirancang dengan menerapkan metode dan roadmap sebagai berikut;
Penerapan Sistim Produksi Peternakan Ruminansia Berkelanjutan dan sinergi dengan Pemberdayaan

versi elektronik
Ekonomi Masyarakat.
Pengembangan Pusat Klaster Peternakan Sapi Potong (centre) sinergi dengan Sub Klaster untuk
akselerasi populasi sapi potong melalui model usaha breeding atau fattening, dan kombinasi breeding
dengan fattening.
Integrasi pertanian berbasis sumberdaya lokal menerapkan Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA) berorientasi pertanian berkelanjutan (pupuk kompos kandang unggul, biogas, dan lain-lain).
Pemanfaatan sumberdaya pakan lokal serta penerapan LEISA merupakan alternatif potensial dan
memiliki daya saing tinggi untuk mendukung pengembangan peternakan (Sodiq dkk., 2010).
Akselerasi pengembangan klaster sapi potong akan memperhatikan karakteristik sistem produksi yang
cenderung bersifat khas antar-daerah (Sodiq dan Setianto, 2007 dan 2009; Sodiq dkk., 2010) dengan
berorientasi kepada peternakan yang berkelanjutan Millennium Ecosystem Assessment (2005). Konsep
pengembangan pertanian berkelanjutan mencakup aspek ekologis, sosial ekonomi dan politik (Devendra,

versi elektronik
2007) dengan mengikuti conceptual framework keberlanjutan sistim produksi ternak ruminansia
(Devendra, 2010).
Perbaikan sistim produksi peternakan sapi potong menjadi fokus utama untuk pengembangan klaster sapi
potong. Tiga lingkup tahapan yang merupakan kesatuan dalam mewujudkan tujuan pengembangan
klaster mencakup aspek kelembagaan kelembagaan, alih teknologi good farming practice berbasis
provent technology, dan penguatan modal dan serta perluasan jejaring pasar. Adapun roadmap
pengembangan klaster sapi potong melalui pemberdayaan UKM kelompok tani ternak dilakukan melalui
tahapan sebagai berikut (Sodiq dan Setianto, 2008; Sodiq, dkk., 2012; Sodiq, 2009, 2010ab, 2014): (i)
Perkuat kelembagaan kelompok sapi potong, (ii) Fasilitasi Penguatan Ilmu Pengetahuan dan provent
technology, dan (iii) Fasiltasi penguatan modal melalui akses pembiayaan perbankan.
II. Rancangan Program dan Kegiatan
Rancangan Program dan Kegiatan Pusat Klaster. Rencana program dan kegiatan untuk pusat klaster
difokuskan sebagai berikut:

versi elektronik
Program pengembangan industri pakan sapi potong (kapasitas saat ini 100 ton per bulan). Aktivitas yang
diperlukan untuk program ini adalah sebagai berikut: (i) Penguatan pengetahuan dan ketrampilan
penyusunan ransum berbasis sumberdaya bahan pakan local; (ii) Peningkatan sumber informasi dan
jalinan kerjasama penyediaan bahan pakan lokal dengan harga terjangkau; (iii) Peningkatan kapasitas dan
kualitas produk pakan sapi potong. Peralatan untuk prosesing (mixer) dan pengepakan serta penyimpanan
(gudang) sangat dibutuhkan untuk menjamin kualitas dan peningkatan produksi; (iv) Jaminan
keberlanjutan usaha industri pakan membutuhkan ikatan legalitas kepemilikan dan produksi; (v)
Perluasan pasar disamping untuk keperluan mitra binaan, diperlukan promosi melalui media maupun
website; dan (vi) Penguatan tatakelola dan pembukuan dalam bidang industri pakan sapi potong.
Program pengembangan dan perluasan mitra binaan sapi potong. Aktivitas yang dibutuhkan untuk
program ini antara lain (i) Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mengenai good farming practice
budidaya sapi potong mencakup aspek breeding, feeding dan management; (ii) Peningkatan semangat dan

versi elektronik
motivasi untuk menerapkan provent technology melalui kunjungan (studi banding) ke industri feedloter;
dan (iii) Penguatan kelembagaan kelompok sebagai pusat pengembangan klaster sapi potong. Komponen
pendukung penguatan kelembagaan yang diperlukan antara lain (a) Sekretariat beserta perangkatnya yang
representatip sebagai pusat pertemuan, pelatihan, dan magang, (b) Kompetensi sumberdaya manusia yang
trampil berbasis ilmu manajemen; dan (c) Penguatan kemandirian untuk meningkatkan kinerja
produktivitas induk pada usaha perbibitan atau penghasil pedet (breeding, cow-calf-operation).

236
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Diperlukan tenaga trampil sebagai inseminator kawin suntik (artificial insemination) mandiri bagi
kelompok.
Program penguatan skala usaha. Aktivitas untuk akselerasi program penguatan skala usaha antara lain (i)

versi elektronik
Sosialisasi berbagai skim pembiayaan untuk UKM utamanya peternakan sapi potong; (ii) Mediasi dan
pendampingan untuk akses pembiayaan perbankan; (iii) Penguatan jejaring kepada sumber-sumber
pembiayaan dari investor; dan (iv) Penyusunan model (sistim) beserta aturan-aturan (perjanjian) untuk
kemitraan dengan investor yang saling menguntungkan.
Program penguatan LEISA untuk penyediaan hijauan dan pemanfaatan limbah pertanian dan ternak.
Beberapa aktivitas untuk program ini antara lain: (i) Penguatan jejaring kerjasama dengan pemangku
kepentingan (perhutani, LMDH, pengairan) untuk pengembangan hijauan pakan ternak model integrasi
maupun pemanfaatan lahan pinggiran sungai; (ii) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi
pengolahan limbah hasil pertanian/perkebunan maupun agroindutri menjadi pakan ternak berkualitas.
Aktivitas ini membutuhkan komponen (a) pelatihan penerapan teknologi pengolahan pakan berbasis
limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri, dan (b) ketersedianan sarana dan prasarana seperti gudang
pengolahan jerami amoniasi; (iii) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi pengolahan limbah
ternak menjadi kompos kandang unggul. Komponen pendukung kegiatan ini adalah (a) pelatihan

versi elektronik
pengolahan kompos kandang unggul, dan (b) rumah kompos beserta perlengkapannya.
Rancangan Program dan Kegiatan Sub-Klaster 1. Sesuai dengan karakteristik sistim produksi pada sub
klaster 1, maka rencana pengembangan difokuskan kepada program sebagai berikut:
Program revitalisasi dan pengembangan (perluasan) mitra binaan sapi potong. Aktivitas yang dibutuhkan
untuk program ini antara lain: (i) Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mengenai good farming
practice budidaya sapi potong mencakup aspek breeding, feeding dan management; (ii) Peningkatan
semangat dan motivasi untuk menerapkan provent technology melalui kunjungan (studi banding) ke
industri feedloter dan usaha perbibitan; (iii) Penguatan kelembagaan kelompok sebagai pengembang
klaster sapi potong. Komponen pendukung penguatan kelembagaan yang diperlukan antara lain (a)
Sekretariat beserta perangkatnya yang representatip, (b) Kompetensi sumberdaya manusia yang trampil
berbasis ilmu manajemen; (iv) Penguatan kemandirian untuk meningkatkan kinerja produktivitas induk
pada usaha perbibitan atau penghasil pedet (breeding, cow-calf-operation). Tenaga trampil sebagai
inseminator kawin suntik (artificial insemination) mandiri telah dimiliki kelompok. Dukungan

versi elektronik
ketersediaan Tabung N2 Cair untuk penampung semen (sperma) sangat dibutuhkan; dan (v) Penguatan
kandang kawasan untuk pengembangan mitra binaan (Mugi Barokah 2 dan 3). Kapasitas kandang saat ini
masih terbatas, untuk peningkatan skala usaha diperlukan perluasan kandang kawasan pada lahan yang
telah tersedia.
Program penguatan skala usaha. Aktivitas untuk akselerasi program penguatan skala usaha (i) Sosialisasi
berbagai skim pembiayaan untuk UKM utamanya peternakan sapi potong, (ii) Mediasi dan pendampingan
untuk akses pembiayaan perbankan, (iii) Penguatan jejaring kepada sumber-sumber pembiayaan dari
investor, (iv) Penyusunan model (sistim) beserta aturan-aturan (perjanjian) untuk kemitraan dengan
investor yang saling menguntungkan.
Program penguatan LEISA untuk penyediaan hijauan dan pemanfaatan limbah pertanian dan ternak.
Beberapa aktivitas untuk program ini antara lain (i) Penguatan jejaring kerjasama dengan pemangku
kepentingan (perhutani, LMDH, pengairan) untuk pengembangan hijauan pakan ternak model integrasi
maupun pemanfaatan lahan pinggiran sungai; (ii) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi

versi elektronik
pengolahan limbah hasil pertanian/perkebunan maupun agroindutri menjadi pakan ternak berkualitas.
Aktivitas ini membutuhkan komponen (a) pelatihan penerapan teknologi pengolahan pakan berbasis
limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri, dan (b) ketersedianan sarana dan prasarana seperti gudang
pengolahan jerami amoniasi. Kelompok ini telah memiliki gudang pengolahan amoniasi jerami; (iii)
Penguatan transportasi pengangkutan hijauan dari areal lahan Hijauan Pakan Ternak. Efisiensi akan
diperoleh bila pengangkutan menggunakan alat transportasi kolektip (bersama) yang memadai, pada saat

237
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
ini pengangkutan menggunakan sepeda motor; dan (iv) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi
pengolahan limbah ternak menjadi kompos kandang unggul. Komponen pendukung kegiatan ini adalah
(a) pelatihan pengolahan kompos kandang unggul, dan (b) rumah kompos beserta perlengkapannya.

versi elektronik
Rancangan Program dan Kegiatan Sub-Klaster 2. Sesuai dengan karakteristik sistim produksi pada sub
klaster 2 yang relatip lebih maju dibandingkan pada sub klaster 1 maka rencana pengembangan
difokuskan kepada program sebagai berikut
Program revitalisasi kelompok dan pengembangan (perluasan) mitra binaan sapi potong. Aktivitas yang
dibutuhkan untuk program ini antara lain: (i) Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mengenai good
farming practice budidaya sapi potong mencakup aspek breeding, feeding dan management; (ii)
Peningkatan semangat dan motivasi untuk menerapkan provent technology melalui kunjungan (studi
banding) ke industri feedloter dan usaha perbibitan; (iii) Penguatan kelembagaan kelompok sebagai
pengembang klaster sapi potong. Komponen pendukung penguatan kelembagaan yang diperlukan antara
lain (a) Sekretariat beserta perangkatnya yang representatip, (b) Kompetensi sumberdaya manusia yang
trampil berbasis ilmu manajemen; (iv) Penguatan kemandirian untuk meningkatkan kinerja produktivitas
induk pada usaha perbibitan atau penghasil pedet (breeding, cow-calf-operation). Tenaga trampil sebagai
inseminator kawin suntik (artificial insemination) untuk kemandirian kelompok sangat dibutuhkan; dan

versi elektronik
(v) Penguatan kandang kawasan untuk pengembangan mitra binaan (Sub Kelompok Bina Karya
Sejahtera). Kapasitas kandang saat ini masih terbatas, untuk peningkatan mitra binaan (sub kelompok)
diperlukan perluasan kandang kawasan pada lahan yang telah tersedia.
Program akselerasi penguatan skala usaha. Aktivitas untuk akselerasi program penguatan skala usaha
antara lain: (i) Mediasi dan pendampingan untuk akses pembiayaan perbankan, (ii) Penguatan jejaring
kepada sumber-sumber pembiayaan dari investor, (iii) Penyusunan model (sistim) beserta aturan-aturan
(perjanjian) untuk kemitraan dengan investor yang saling menguntungkan, (iv) Jalinan kerjasama dengan
pusat klaster (Kelompok Lembusari) untuk pengembangan usaha penggemukan sapi potong. Fasilitasi
penyediaan pakan, bakalan dan penjualan hasil; dan (v) Penguatan/renovasi kandang kawasan untuk
pengembangan skala usaha. Kapasitas kandang saat ini sudah mencukupi tetapi kondisinya perlu
perbaikan agar menjamin good farming practice.
Program penguatan LEISA untuk penyediaan hijauan dan pemanfaatan limbah pertanian dan ternak.
Beberapa aktivitas untuk program ini antara lain: (a) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi

versi elektronik
pengolahan limbah hasil pertanian/perkebunan maupun agroindutri menjadi pakan ternak berkualitas.
Aktivitas ini membutuhkan komponen (i) pelatihan penerapan teknologi pengolahan pakan berbasis
limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri, dan (ii) ketersedianan sarana dan prasarana seperti gudang
pengolahan jerami amoniasi; dan (b) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi pengolahan limbah
ternak menjadi kompos kandang unggul. Komponen pendukung kegiatan ini adalah (i) pelatihan
pengolahan kompos kandang unggul, dan (ii) rumah kompos beserta perlengkapannya.
Rancangan Program dan Kegiatan Sub-Klaster 3. Karakteristik sistim produksi pada sub klaster 1
memiliki kesesuaian dengan kondisi pada sub klaster 1. Rencana pengembangan difokuskan kepada
program sebagai berikut:
Program revitalisasi kelompok dan penguatan sub kelompok. Aktivitas yang dibutuhkan untuk program
ini antara lain: (i) Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mengenai good farming practice budidaya
sapi potong mencakup aspek breeding, feeding dan management; (ii)Peningkatan semangat dan motivasi
untuk menerapkan provent technology melalui kunjungan (studi banding) ke industri feedloter dan usaha

versi elektronik
perbibitan; (iii) Penguatan kelembagaan kelompok sebagai pengembang klaster sapi potong. Komponen
pendukung penguatan kelembagaan yang diperlukan antara lain (a) Sekretariat beserta perangkatnya yang
representatip, (b) Kompetensi sumberdaya manusia yang trampil berbasis ilmu manajemen; (iv)
Penguatan kemandirian untuk meningkatkan kinerja produktivitas induk pada usaha perbibitan atau
penghasil pedet (breeding, cow-calf-operation). Tenaga trampil sebagai inseminator kawin suntik

238
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(artificial insemination) untuk kemandirian kelompok sangat dibutuhkan; dan (v) Perluasan kandang
kawasan baru untuk pengembangan mitra binaan (Sub Kelompok baru).
Program penguatan skala usaha. Aktivitas untuk akselerasi program penguatan skala usaha antara lain: (i)

versi elektronik
Sosialisasi berbagai skim pembiayaan untuk UKM utamanya peternakan sapi potong, (ii) Mediasi dan
pendampingan untuk akses pembiayaan perbankan, (iii) Penguatan jejaring kepada sumber-sumber
pembiayaan dari investor; (iv) Penyusunan model (sistim) beserta aturan-aturan (perjanjian) untuk
kemitraan dengan investor yang saling menguntungkan. (v) Jalinan kerjasama dengan pusatklaster untuk
pengembangan usaha (vi) penggemukan sapi potong. Fasilitasi penyediaan pakan, bakalan dan penjualan
hasil; dan (vii) Perluasan kandang kawasan untuk pengembangan skala usaha.
Program penguatan LEISA untuk penyediaan hijauan dan pemanfaatan limbah pertanian dan ternak.
Beberapa aktivitas untuk program ini antara lain: (a) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi
pengolahan limbah hasil pertanian/perkebunan maupun agroindutri menjadi pakan ternak berkualitas.
Aktivitas ini membutuhkan komponen (i) pelatihan penerapan teknologi pengolahan pakan berbasis
limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri, dan (ii) ketersedianan sarana dan prasarana seperti gudang
pengolahan jerami amoniasi; (b) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi pengolahan limbah
ternak menjadi kompos kandang unggul. Komponen pendukung kegiatan ini adalah (i) pelatihan

versi elektronik
pengolahan kompos kandang unggul, dan (ii) rumah kompos beserta perlengkapannya.
Rancangan Program dan Kegiatan Sub-Klaster 4. Karakteristik sistim produksi pada sub klaster 4 relatip
lebih maju dibandingkan sub klaster 1, 2 dan 3. Program dan kegiatan untuk sub klaster 4 adalah sebagai
berikut;
Program revitalisasi kelompok dan penguatan mitra binaan sapi potong. Aktivitas yang dibutuhkan untuk
program ini antara lain: (i) Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mengenai good farming practice
budidaya sapi potong mencakup aspek breeding, feeding dan management; (ii) Peningkatan semangat dan
motivasi untuk menerapkan provent technology melalui kunjungan (studi banding) ke industri feedloter
dan usaha perbibitan; dan (iii) Penguatan kelembagaan kelompok sebagai pengembang klaster sapi
potong. Komponen pendukung penguatan kelembagaan yang diperlukan antara lain (a) Sekretariat beserta
perangkatnya yang representatip, (b) Kompetensi sumberdaya manusia yang trampil berbasis ilmu
manajemen; (iv) Penguatan kemandirian untuk meningkatkan kinerja produktivitas induk pada usaha
perbibitan atau penghasil pedet (breeding, cow-calf-operation). Tenaga trampil sebagai inseminator

versi elektronik
kawin suntik (artificial insemination) untuk kemandirian kelompok sangat dibutuhkan; dan (v) Perluasan
kandang kawasan baru untuk pengembangan mitra binaan (Sub Kelompok baru).
Program akselerasi penguatan skala usaha. Aktivitas untuk akselerasi program penguatan skala usaha
antara lain: (i) Mediasi dan pendampingan untuk akses pembiayaan perbankan; (ii) Penguatan jejaring
kepada sumber-sumber pembiayaan dari investor; (iii) Penyusunan model (sistim) beserta aturan-aturan
(perjanjian) untuk kemitraan dengan investor yang saling menguntungkan; (iv) Jalinan kerjasama dengan
pusat klaster (Kelompok Lembusari) untuk pengembangan usaha penggemukan sapi potong. Fasilitasi
penyediaan pakan, bakalan dan penjualan hasil; dan (v) Perluasan kandang kawasan untuk pengembangan
skala usaha.
Program penguatan LEISA untuk penyediaan hijauan dan pemanfaatan limbah pertanian dan ternak.
Beberapa aktivitas untuk program ini antara lain: (a) Penguatan ketrampilan dan penerapan teknologi
pengolahan limbah hasil pertanian/perkebunan maupun agroindutri menjadi pakan ternak berkualitas.
Aktivitas ini membutuhkan komponen (i) pelatihan penerapan teknologi pengolahan pakan berbasis

versi elektronik
limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri, dan (ii) ketersedianan sarana dan prasarana seperti gudang
pengolahan jerami amoniasi; (b) Penguatan transportasi pengangkutan hijauan dari areal lahan Hijauan
Pakan Ternak. Efisiensi akan diperoleh bila pengangkutan menggunakan alat transportasi kolektip
(bersama) yang memadai, pada saat ini pengangkutan menggunakan sepeda motor; (c) Penguatan
ketrampilan dan penerapan teknologi pengolahan limbah ternak menjadi kompos kandang unggul.

239
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Komponen pendukung kegiatan ini adalah (i) pelatihan pengolahan kompos kandang unggul, dan (ii)
rumah kompos beserta perlengkapannya.

KESIMPULAN

versi elektronik
Program dan kegiatan pengembangan klaster sapi potong mencakup tiga lingkup yaitu (i) fasilitasi
penguatan kelembagaan kelompok tani ternak sapi potong , (ii) fasilitasi alih teknologi peternakan sapi
potong, dan (iii) fasilitasi penguatan modal melalui akses pembiayaan berasal dari perbankan maupun dan
investor. Implementasi pengembangan klaster sapi potong memperhatikan karakteristik sistem produksi
dengan berorientasi mewujudkan peternakan yang berkelanjutan melalui penerapan good farming
practice berbasis provent technology.

DAFTAR PUSTAKA
Devendra, C. 2007. Perspectives on animal production systems in Asia. Livestock Science, 106: 1-18
Devendra, C. 2010. Food production from animals in Asia: priority for expanding the development
frontiers. Academy of Sciences Malaysia Sci. J. 4:173-184.
Devendra, C. 2010. Food production from animals in Asia: priority for expanding the development

versi elektronik
frontiers. Academy of Sciences Malaysia Sci. J. 4:173-184.
Ditjennak. 2008. Statistik Peternakan 2008. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian,
Jakarta.
Ditjennak. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014. Direktorat Jenderal
Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Millennium Ecosystem Assessment (MEA). 2005. Current State and trends (Eds. R. Hassan, R. Scholes
and N. Ash). 1:133-134.
Sodiq, A. 2009. Aksesibiltas terhadap Perbankan dalam Mendukung Pembangunan Peternakan. Makalah
Utama Sidang Pleno pada Pertemuan Teknis Fungsi-Fungsi Pembangunan Peternakan di
Indonesia, Mataram NTB, 23-25 April 2009.
Sodiq, A. 2010a. Improving Livestock Production System of Peranakan Etawah Goat Farming for
Increasing Accessibility to Bank. Proceedings International Seminar on Prospects and Challenges

versi elektronik
of Animal Production in Developing Countries in the 21st Century, Malang, March 23-25, 2010.
Sodiq, A. 2010b. Empowerment of Goat Farming: Lessons Learnt from the Development of Goat
Farming Group of Peranakan Etawah Gumelar Banyumas. The 5th International Seminar On
Tropical Animal Production, 19-22 October 2010, Yogyakarta, Indonesia.
Sodiq, A. 2014. Pengembangan Sistim Produksi Ternak Potong: Strategi dan Program Aksi untuk
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Bidang Ilmu Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman.
Sodiq, A. and N.A. Setianto. 2009. Production System of Peranakan Etawah Goat under Application of
Feed Technology: Productivity and Economic Efficiency. Animal Producion Journal, 11(3):202-
208.
Sodiq, A. dan N.A. Setianto. 2008. Keragaan Produktivitas dan Kelembagaan Peternakan Kambing serta

versi elektronik
Potensi Aksesibilitas terhadap Lembaga Perbankan. Laporan Penelitian. Program Pascasarjana
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Sodiq, A. and N.A. Setianto. 2007. A Beef-Cattle Development Assessment: Identification of Production
System Characteristics of Beef-Cattle in Rural Area. Journal of Rural Development, 7(1):1-8.
Sodiq, A. dan N. Hidayat. 2014. Kinerja dan Perbaikan Sistim Produksi Peternakan Sapi Potong Berbasis
Kelompok di Pedesaan. Agripet, 14(1):56-64.

240
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sodiq, A. dan Y.N. Wakhidati. 2006. Perkembangan Sapi Potong Nasional kaitannya dengan Populasi di
Wilayah Sentra dan Non-Sentra, serta Kebijakan Program Pengembangannya. J. Animal
Production 8(2):182–189.

versi elektronik
Sodiq, A., Munadi, dan S.W. Purbojo. 2010. Livestock Production System of Beef Cattle Based on Local
Resources at the Program of Sarjana Membangun Desa. J. Rural Development, 7(1):1-8.
Sodiq, A., P. Yuwono dan K. Muatip. 2012. Sistim Produksi Peternakan Sapi Potong Berbasis
Sumberdaya Lokal Pedesaan dan Strategi Pengembangannya untuk Peningkatan Produktivitas
dan Aksesibilitas Pembiayaan Perbankan. Laporan Penelitian Universitas Jenderal Soedirman.
Yusdja, Y., R. Sajuti, S.H. Suhartini, I. Sadikin, B. Winarso, dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program
dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Laporan Akhir. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor. 10 hal.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 241


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI PERSPEKTIF MANAJEMEN RANTAI PASOK


BERKELANJUTAN
Akhmad Mahbubi

versi elektronik
Prodi Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
email : akhmad.mahbubi@uinjkt.ac.id

ABSTRACT
This study is aimed to knowing the basic system of beef supply chain, to recognize the dynamic system
model of beef supply chain and produce an optimal scenario of sustainable supply chain management.
Type of secondary data has been collected from BPS and ministry of agriculture. Dynamic model used to
analyze the data. Four policy scenarios to be used in the analysis of the behavior of beef supply chain
systems in both social welfare, economical revenue aspects and the environment refers to a variety of
technical indicators achievement in the blueprint of beef self-sufficiency program. The results of this
study are most optimal policy scenario of the success indicator to beef upgrade productivity.
Keyword : dynamic models, supply chain, beef, sustainable

ABSTRAK

versi elektronik
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sistem dasar rantai pasok daging sapi, menyusun model sistem
dinamis rantai pasok daging sapi dan menghasilkan skenario optimal pengelolaan rantai pasok daging
sapi berkelanjutan dalam rangka swasembada daging sapi berkelanjutan di Indonesia. Jenis data adalah
data sekunder dan sumber data dari Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian. Analisis data
menggunakan simulasi model sistem dinamis. Hasil penelitian ini terdapat 4 skenario kebijakan
pengelolaan rantai pasok daging sapi berkelanjutan berdasarkan aspek sosial, pendapatan ekonomi dan
lingkungan. Terpilih skenario optimal pengelolaan rantai pasok daging sapi berkelanjutan di Indonesia
adalah skenario kebijakan dengan indikator keberhasilan peningkatan produktivitas daging karkas.
Kata Kunci : model dinamis, rantai pasok, daging sapi, berkelanjutan

PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Ketersediaan pangan
merupakan isu utama yang menjadi perhatian berbagai negara. Menurut laporan The Economist (2013),

versi elektronik
lebih 50 negara masih mengalami kerawanan pangan termasuk Indonesia dengan indeks ketahanan
pangan berada dibawah 50 yaitu 46,5 (nilai indeks 0 sampai 100). Posisi ketahanan pangan Indonesia ini
disebabkan antara lain belum tercapainya swasembada pangan salah satunya daging sapi yang hanya
mampu produksi 474,4 ribu ton,sedangkan kebutuhan mencapai 549,7 ribu ton (Kementerian Pertanian,
2013). Padahal pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mencanangkan Program Swasembada
Daging Sapi (PSDS) 2014 dengan kegiatan pokok yaitu penyediaan bakalan atau daging sapi lokal,
peningkatan produktivitas sapi lokal, pencegahan pemotongan sapi betina produktif dan penyediaan bibit
sapi serta pengaturan stock daging sapi di dalam negeri.
Swasembada daging sapi yang belum tercapai disebabkan tidak optimalnya implementasi kegiatan pokok
dan operasional program swasembada daging sapi (PSDS) 2014. Beberapa kendala pencapaian
swasembada daging 2014 yang cukup menonjol selama ini adalah (1) kematian pedet pada musim kering
di beberapa wilayah masih sangat tinggi berkisar antara 20-40 persen dan kematian induk masih lebih dari
10-20% akibat kurang pakan atau serangan penyakit, (2) ketidak pedulian sebagian jagal yang sering

versi elektronik
memotong sapi betina produktif (SBP) karena harganya lebih murah dibanding sapi jantan, (3) banyaknya
sapi muda yang dipotong pada saat belum mencapai bobot optimalnya sehingga sapi hanya memproduksi
daging sekitar 60-80 persen dari potensi maksimalnya, (4) produktivitas yang masih sangat variatif, antara
lain sapi persilangan hasil IB yang dipelihara dengan cara seadanya, serta (5) langkanya sapi jantan di
daerah sumber bibit pada pola pemeliharaan ekstensif (grazing/digembalakan), karena semua sapi jantan
dijual atau dipotong.

242
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Program Swasembada daging sapi perlu segera dibenahi guna mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Hal ini bisa tercapai bila kegiatan dilaksanakan berdasarkan prioritas yang memiliki dampak paling
signifikan terhadap pencapaian swasembada daging sapi dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial

versi elektronik
dan lingkungan sepanjang rantai pasok mulai dari breeder, peternak, pedagang atau distributor, rumah
potong hewan, industri daging sapi dan olahannya serta konsumen akhir baik rumah tangga maupun
industri. Penentuan prioritas kegiatan program swasembada dikaji melalui pendekatan manajemen rantai
pasok daging sapi berkelanjutan.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui sistem dasar rantai pasok daging sapi di Indonesia, (2)
menyusun model sistem dinamis rantai pasok daging sapi di Indonesia dan (3) menghasilkan skenario
optimal pengelolaan rantai pasok daging sapi berkelanjutan (mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kombinasi antara riset eksplanatori dan riset kausal yaitu kombinasi analisis data
skunder dan eksperimen. Riset eksplanatori dengan analisis data skunder untuk mengetahui
perkembangan industri daging sapi nasional, sedangkan riset kausal dengan eksperimen untuk mengetahui
hubungan antar fenomena dengan rmenerapkan simulasi sistem dinamik rantai pasok daging sapi untuk

versi elektronik
menghasilkan skenario optimal pencapaian swasembada daging sapi berkelanjutan (mempertimbangkan
aspek ekonomi, sosial dan lingkungan). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder
berupa data time series 10 tahun terakhir. Sumber data penelitian ini adalah Badan Pusat Statistik dan
Kementerian Pertanian. Analisis data menggunakan pemodelan dan simulasi sistem dinamis
menggunakan program powersim dan uji validasi menggunakan uji MAPE (Mean Absolute Persentage
Error).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pencapaian swasembada daging sapi 2014, sangat tergantung pada sektor hulu dari agribisnis daging sapi
yaitu kegiatan agribisnis peternakan sapi atau swasembada daging sapi tergantung dari pasokan daging
sapi dalam negeri yang berasal dari peternak sapi lokal. Permasalahan ketersediaan daging sapi
merupakan suatu permasalahan sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai komponen,
variabel di dalamnya yang saling berinteraksi dan terintegrasi. Ketersediaan daging sapi secara nasional

versi elektronik
dapat dipandang sebagai suatu masalah dinamika sistem yang berubah sepanjang waktu dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang juga bersifat dinamis.
Sistem Dasar Rantai Pasok Daging Sapi Nasional
Sistem rantai daging sapi nasional secara umum terdiri dari beberapa sub-sistem sebagaimana gambar 1,
antara lain sub sistem peternak sapi, produsen daging dan konsumsen. Aliran rantai pasok dari hulu
berupa sapi peternak ke hilir berupa daging sapi dan olahannya didistribusikan melalui pedagang. Aliran
sapi lokal ke produsen daging sapi umumnya melalui beberapa jenis pedagang yaitu pedagang
pengumpul, blantik dan pasar hewan. Sedangkan aliran daging sapi ke konsumen melalui pengecer,
pedagang daging skala besar, gerai daging sapi dan industri olahan serta horeka (hotel, restoran dan
kantin). Masing-masing sub-sistem terdiri dari unsur-unsur atau elemen-elemen yang lebih spesifik dan
sangat dipengaruhi oleh perkembangan waktu, sehingga sistem rantai pasok daging sapi bersifat dinamis.
Sistem rantai pasok daging sapi juga lintas sektoral karena meliputi berbagai institusi yang terkait, seperti
pada bagian sub sistem konsumsi daging sapi terkait dengan kependudukan dan pendapatan masyarakat.

versi elektronik
Sub sistem peternak terdiri dari ternak pembibitan, pembesaran dan penggemukan. Sub sistem peternak
terkait dengan masalah populasi sapi baik pedet maupun dewasa dan pengelolaan ternak. Menurut Badan
Pusat Statistik (2013), populasi sapi 12.686.280 ekor mengalami penurunan dibanding dengan tahun 2011
yang populasinya sebanyak 14.824.000 ekor. perkembangan populasi sapi nasional kurang signifikan
karena kematian sapi masih cukup tinggi dengan laju kematian pedet berkisar 20% – 40% dan induk
berkisar 10% – 20%, pemotongan sapi betina produktif, pemotongan sapi yang tidak menunggu bobot

243
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

optimal, keterbatasan sumber bibit dan semen beku, kendala pakan, lemahnya mekanisasi peternakan,
konversi lahan penggembalaan, kesehatan ternak belum terjamin.

versi elektronik
Pengecer
Peternak Pengumpul Produsen Konsumen
Gerai besar
Pembibitan Daging Daging
Pembesaran RPH Individu / RT
Penggemukan Blantik Jagal Ind. Olahan Industri
Pasar hewan Horeka

Gambar 1. Sistem Dasar Rantai Pasok Daging Sapi Nasional


Produsen daging sapi antara lain Rumah Pemotongan Hewan atau jagal baik skala rumah tangga maupun
korporasi. RPH atau jagal ini melakukan pemotongan sapi, memilah dan mengelompokkan potongan sapi
ke berbagai jenis seperti daging, tulang, jeroan dan sebagainya. Umumnya setiap ekor sapi yang dipotong
dengan berat badan 300 – 350 kg dengan rata-rata daging karkas 165 kg 250 – 300 kg. bahkan untuk jenis

versi elektronik
Sapi Madura berat badan sapi yang dipotong berkisar dibawah rata-rata nasional yaitu 250 – 300 kg dan
karkas 125 kg– 150 kg (Wijono dan Setiadi, 2004). produktivitas sapi lokal masih rendah karena
inefisiensi sistem manajemen dan pakan belum optimal
Konsumen daging sapi merupakan konsumen individu dan industri olahan. Besarnya konsumsi daging
individu bergantung pada tingkat konsumsi per kapita per tahun dan perkembangan populasi penduduk
Indonesia.Perkembangan penduduk Indonesia tergantung pada laju kelahiran dan kematian penduduknya.
Sedangkan konsumsi industri olahan adalah banyaknya industri olahan berbasis daging sapi seperti
industri sosis, hotel, restoran dan kantin
Model Sistem Dinamis Rantai Pasok Daging Sapi
Selanjutnya model sistem dinamis dikembangkan mengacu pada tiga sub sistem dasar rantai pasok daging
sapi diatas. Model ini dibuat berdasar identifikasi permasalahan yang dituangkan ke dalam diagram sebab
akibat (causal loop), diformulasikan dalam diagram alir (stock dan flow) dan disimulasikan dengan
menggunakan software Powersim. Selanjutnya, formulasi model dirumuskan ke dalam bentuk matematis

versi elektronik
yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah
diidentifikasi dalam model konseptual dengan bahasa simbolik. Formulasi model daging sapi
selengkapnya sebagaimana gambar 2 berikut :

versi elektronik 244


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Populasi SP induk pasokan daging sapi


Penambahan SP induk Kematian SP induk Total Produksi daging Konsumsi RT

versi elektronik
sapi
Laju kematian SP induk

Tingkat penambahan SP Sapi produktif dipotong


induk Tingka
Pemotongan
Konsumsi Industri
TK per RT
Total Konsumsi Daging sapi
RT Peternak ProduktivitasTingkat Konsumsi Industri
Keuntungan SP Per Ekor
Populasi Sapi

Pendapatan ternak
Pendapatan RPH
Sapi dipotong
wkt dly

Harga per Kg
Populasi SP pedet Populasi Pendud
Penambahan pedet kematian pedet Kematian

versi elektronik
A B C
Dimana A adalah Peternak, B adalah produsen dan C adalah Konsumen
Gambar 2. Model Sistem Dinamis Rantai Pasok Daging Sapi
Model sistem dinamis rantai pasok daging sapi diatas valid karena berdasar uji validasi nilai MAPE
(Mean Absolute Percentage Error) sebesar 5,64%. Ini berarti bahwa terdapat penyimpangan sebesar
5,64% antara hasil simulasi dengan data aktual. Validasi model dilakukan dengan membandingkan
keluaran model (hasil simulasi) dengan data aktual yang diperoleh dari sistem nyata (quantitative
behaviour pattern comparison). Validasi model dilakukan terhadap data aktual yaitu data populasi dan
produksi daging sapi selama satu dekade terakhir. Validasi model bertujuan untuk mengetahui kelayakan
suatu model yang dibangun, apakah sudah merupakan perwakilan dari relitas yang dikaji, yang dapat
menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan.

versi elektronik
Skenario Pengelolaan Rantai Pasok Daging Sapi Berkelanjutan
Beberapa skenario kebijakan yang akan digunakan dalam analisis perilaku sistem rantai pasok daging sapi
sampai tahun 2025 berdasar aspek ekonomi, sosial dan lingkungan mengacu berbagai indikator teknis
pencapaian program swasembada daging sapi 2014 sebagaimana tercantum dalam blue print swasembada
daging sapi 2014.
Skenario tanpa perubahan kebijakan
Skenario ini diasumsikan tidak terdapat kebijakan atau kegiatan yang mampu menekan kematian pedet,
menekan kematian induk, mencegah pemotongan sapi betina produktif dan pemotongan tidak mencapai
bobot optimal serta produktivitas karkas. Situasi ini menggambarkan masih belum terlaksananya semua
kegiatan operasional program swasembada daging sapi. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa
hingga tahun 2018 produksi daging sapi masih lebih rendah dari pada konsumsi, yaitu produksi daging
sapi sebanyak 553 ribu ton, sedangkan konsumsi 570 ribu ton sebagaimana ditunjukkan gambar 3 berikut

versi elektronik
ini :

245
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

32.000.000
900
30.000.000

800
28.000.000

versi elektronik
26.000.000
700
24.000.000

22.000.000
600

20.000.000
500
18.000.000

16.000.000 400
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
14.000.000

12.000.000 Produksi (ribu ton) Konsumsi (ribu ton )


14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Gambar 3. Proyeksi populasi sapi Madura, produksi dan konsumsi daging sapi – skenario tanpa
perubahan kebijakan
Berdasarkan skenario ini dari sisi berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek sosial yaitu peluang

versi elektronik
penambahan peternak sapi berkisar 114 ribu – 128 ribu rumah tangga peternak sapi dari tahun 2014
sampai tahun 2025. Berdasarkan aspek ekonomi dilihat dari peningkatan pendapatan mencapai 171
milyar rupiah pada tahun 2014 meningkat hingga 2025 mencapai 193 milyar rupiah. Sedangkan dari
aspek lingkungan berdasar pada pemotongan sapi betina produktif yang berpotensi mengurangi plasma
nutfah sapi local. Pemotongan sapi antara tahun 2014 sampai 2025 diproyeksikan berkisar 219 ribu ekor –
449 ribu ekor tiap tahunnya.
Skenario kebijakan dengan indikator keberhasilan tingkat kematian pedet menjadi 25% per tahun dan
tingkat kematian induk menjadi 15% per tahun.
Skenario ini diasumsikan program swasembada daging sapi dilaksanakan dan mampu menekan kematian
pedet menjadi 25% per tahun dan tingkat kematian induk menjadi 15% per tahun. Situasi ini
menggambarkan fokus kegiatan operasional program swasembada daging sapi yang bisa menekan
kematian pedet dan induk. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa populasi sapi terus meningkat
dari tahun ke tahun, sedangkan proyeksi produksi daging sapi sampai tahun 2016 belum mampu

versi elektronik
memenuhi kebutuhan konsumsi nasional yaitu produksi daging sapi 485 ribu ton dan konsumsi 558 ribu
ton. Baru pada tahun 2017 produksi daging nasional surplus dengan tren yang fluktuatif hingga tahun
2025 sebagaimana ditunjukkan gambar 4 berikut ini :

32.000.000
1,300
30.000.000 1,200
28.000.000 1,100
1,000
26.000.000

900
24.000.000
800
22.000.000
700
20.000.000
600
18.000.000 500
16.000.000 400

versi elektronik
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
14.000.000

12.000.000 Produksi (ribu ton) Konsumsi (ribu ton )


14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Gambar 4. Proyeksi populasi sapi nasional, produksi dan konsumsi daging sapi – skenario kebijakan
dengan indikator keberhasilan tingkat kematian pedet menjadi 25 % per tahun dan tingkat kematian induk
menjadi 15% per tahun.

246
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Berdasarkan skenario ini dari sisi berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek sosial yaitu peluang
penambahan peternak sapi yang disebabkan pertumbuhan populasi sapi maka proyeksi tren penambahan
peternak baru dari tahun 2014 sebesar 670 ribu rumah tangga peternak sapidan terus bertambah hingga

versi elektronik
tahun 2025 menjadi 1,3 jt rumah tangga peternak sapi. Berdasarkan aspek ekonomi dilihat dari
peningkatan pendapatan, bila kematian pedet dan induk bisa ditekan, maka akan mampu menambah
pendapatan rumah tangga peternak secara keseluruhan mencapai 1 triliun rupiah pada tahun 2014
meningkat hingga 2025 mencapai 2 triliun rupiah. Sedangkan dari aspek lingkungan, berdasarkan pada
pemotongan sapi betina produktif berpotensi mengurangi plasma nutfah sapi lokal. Pemotongan sapi
Madura antara tahun 2014 sampai 2025 diproyeksikan berkisar 220 ribu ekor – 680 ribu ekor tiap
tahunnya.
Skenario kebijakan dengan indikator keberhasilan tunda potong selama 5 bulan untuk mencapai bobot
potong optimal
Skenario ini diasumsikan terdapat kebijakan atau kegiatan yang mampu tunda potong selama 5 bulan
untuk mencapai bobot optimal. Situasi ini menggambarkan fokus kegiatan operasional program
swasembada daging sapi pada tunda potong selama 5 bulan untuk mencapai bobot optimal. Berdasarkan
hasil simulasi menunjukkan sampai tahun 2016, produksi daging sapi belum memenuhi kebutuhan

versi elektronik
konsumen Indonesia, yaitu produksi 532 ribu ton sedangkan konsumsi 558 ribu ton. Baru pada tahun
2017 sudah mulai surplus daging sapi hingga tahun 2025 sebagaimana ditunjukkan gambar 5 berikut :

32.000.000

30.000.000

28.000.000

26.000.000

24.000.000

22.000.000

20.000.000

18.000.000

16.000.000

versi elektronik
14.000.000

12.000.000
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Gambar 5. Proyeksi populasi sapi Madura, produksi dan konsumsi daging sapi Madura –Skenario
kebijakan dengan indikator keberhasilan tunda potong selama 5 bulan untuk mencapai bobot potong
optimal
Berdasarkan skenario ini dari sisi berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan aspek
ekonomi maka proyeksi tren penambahan peternak baru dan peningkatan pendapatan hasilnya sama
dengan skenario kebijakan dengan indikator keberhasilan menekan kematian induk menjadi 10% dan
menekan tingkat pemotongan betina produktif menjadi 2%. Sedangkan dari aspek lingkungan berdasar
pada pemotongan sapi betina produktif yang berpotensi mengurangi plasma nutfah sapi lokal
diproyeksikan berkisar 219 ribu ekor – 449 ribu ekor tiap tahunnya antara tahun 2014 sampai 2025.
Skenario kebijakan dengan indikator keberhasilan tingkat produktivitas karkas menjadi 180 kg per ekor

versi elektronik
sapi.
Skenario ini diasumsikan program swasembada daging sapi dilaksanakan dan mampu menghasil
produktivitas karkas 180 kg per ekor sapi. Situasi ini menggambarkan fokus kegiatan operasional
program swasembada daging sapi yang bisa meningkatkan produktvitas dari 165 kg per ekor sapi menjadi
180 kg per ekor sapi. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa populasi sapi terus meningkat dari

247
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

tahun ke tahun, sedangkan proyeksi produksi daging sapi memenuhi kebutuhan konsumsi nasional pada
tahun 2015 yaitu produksi daging sapi 561 ribu ton dan konsumsi 558 ribu ton dengan tren yang
meningkat hingga tahun 2025 sebagaimana ditunjukkan gambar 6 berikut ini :

versi elektronik
22.000.000

20.000.000

18.000.000

16.000.000

14.000.000

12.000.000
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

versi elektronik
Gambar 6. Proyeksi populasi sapi nasional, produksi dan konsumsi daging sapi – skenario kebijakan
dengan indikator keberhasilan tingkat produktivitas karkas menjadi 180 kg per ekor sapi.
Berdasarkan skenario ini dari sisi berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan aspek
ekonomi maka proyeksi tren penambahan peternak baru dan peningkatan pendapatan hasilnya sama
dengan skenario kebijakan dengan indikator keberhasilan menekan kematian induk menjadi 10% dan
menekan tingkat pemotongan betina produktif menjadi 2%. Sedangkan dari aspek lingkungan berdasar
pada pemotongan sapi betina produktif yang berpotensi mengurangi plasma nutfah sapi lokal
diproyeksikan berkisar 219 ribu ekor – 449 ribu ekor tiap tahunnya antara tahun 2014 sampai 2025.

KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah (1) sistem dasar rantai pasok daging sapi terdiri dari peternak
(pembibitan, pembesaran dan penggemukan), produsen (RPH atau jagal) dan konsumen daging sapi baik
rumah tangga maupun industry (2) model sistem dinamis dikembangkan mengacu pada tiga sub sistem

versi elektronik
dasar rantai pasok daging sapi (3) Skenario pengelolaan rantai pasok daging sapi berkelanjutan dalam
pencapaian swasembada daging sapi adalah skenario kebijakan dengan indikator keberhasilan
meningkatkan produktivitas karkas menjadi 180 kg per ekor melalui optimalisasi IB dan INKA,
penyediaan dan pengembangan pakan dan air serta penanggulangan gangguan reproduksi dan
peningkatan pelayanan kesehatan hewan.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2013. Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 (Pencacahan Lengkap). Badan Pusat
Statistik. Jakarta
De Lara, M dan Martinet, V. 2009. Multi-criteria Dynamic Decision Under Uncertainty : a stochastic
Viability Analysis and an Application to Sustainable Fishery Management. Journal Mathematical
Bioscience 217 : 118–124.

versi elektronik
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. 2010. Blue Print Program
Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian. Jakarta
Fritz, M dan Scheifer, G. 2008. Sustainability in Food Networks. Proceding Gewisola. Bonn, 24 – 26
September 2008.

248
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Linton, J.D., Klassen, R. dan Jayaraman, V. 2007. Sustainability Bio Product Supply Chain : An
Introduction. Journal of Operations Management 25 : 1079–1082.
Marimin dan Nurul M. 2011. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Manajemen Rantai Pasok.

versi elektronik
IPB Press. Bogor
Ortiz, O., Francese, C. dan Sonneman G. 2009. Sustainability in the Construction Industry, a Review of
Recent Developments based on LCA. Journal of Construction and Building Materials 23 : 28–
39.
The Economist. 2012. Global Food Security Index 2012. The Economist Intelligence Unit Limited. UK
Widodo, Kuncoro Harto., Kharies P dan Aang A. 2011. Supply Chain Management Agroindustri Yang
Berkelanjutan. Penerbit Lubuk Agung. Bandung
Wijono, D.B dan Setiadi, B. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Madura.
ProsidingLokakarya Nasional Sapi Potong 2004: 42 – 52.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 249


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

HUBUNGAN KETERGANTUNGAN KOPERASI TERHADAP ANGGOTANYA PADA


KOPERASI PETERNAK SAPI PERAH “PESAT” DI KABUPATEN BAYUMAS
Anisur Rosyad

versi elektronik
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
e-mail: anisurrosyad@yahoo.com

ABSTRAK
Koperasi Peternak Sapi Perah “Pesat” merupakan koperasi yang menghimpun para peternak sapi perah di
Kabupaten Banyumas. Koperasi ini mengalami permasalahan yaitu berkurangnya jumlah anggota pada
lima tahun terakhir ini. Meskipun demikian Koperasi “Pesat” tetap mampu menjalankan usahanya, yaitu
mengolah dan memasarkan susu dari para peternak anggotanya, di samping pula usaha penjualan pakan
konsentrat. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan derajad atau tingkat ketergantungan Koperasi
“Pesat” terhadap peternak anggotanya dalam perolehan susu dan pasar pakan konsentrat yang menjadi
basis usaha koperasi tersebut. Penelitian ini dilakukan di Koperasi “Pesat” dan 10 kelompok peternak sapi
perah, serta sebanyak 50 orang peternak. Analisis data dilakukan menggunakan analisis deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam perolehan susu Koperasi “Pesat” memiliki derajad ketergantungan
yang tinggi terhadap anggotanya. Sementara itu untuk bisnis pakan konsentrat sampai saat ini pangsa

versi elektronik
pasar yang paling besar adalah peternak anggota. Artinya bahwa derajad ketergantungan Koperasi “Pesat”
terhadap anggotanya dalam pemasaran pakan konsentrat pada tingkat yang tinggi. Dalam pemasaran susu
oleh anggota ditemukan beberapa peternak anggota koperasi yang menjual susunya kepada pedagang atau
pembeli di luar koperasi. Koperasi “Pesat” pun untuk beberapa tahun terakhir ini mengembangkan
kemitraan dengan peternak di luar anggota untuk membeli susu guna meningkatkan pasokan susu kepada
industri pengolahan susu.
Kata kunci : Koperasi, Sapi perah

ABSTRACT
Farmers Cooperative Dairy Cattle "Pesat" is a cooperative which brought together dairy farmers in
Banyumas. Cooperative is experiencing problems which reduced the number of members in the last five
years. Nevertheless Cooperative "Pesat" is still able to run their business, namely processing and
marketing of dairy farmers members, in addition to also feed concentrate sales efforts. This study aims to

versi elektronik
reveal the degree or level of dependency Cooperative "Pesat" to the dairy farmer members in the
acquisition and concentrate feed markets which are the basis of the cooperative effort. This research was
conducted at the Cooperative "Pesat" and 10 groups of dairy farmers, and ranchers as many as 50 people.
Data analysis was performed using descriptive analysis. The results showed that the acquisition of dairy
cooperative "Pesat" has a high degree of dependence on its members. Meanwhile for the businesses
concentrate feed to the current market share is greatest breeder members. This means that the degree of
dependence of the Cooperative "Pesat" to its members in marketing concentrate feed at a high level. In
the marketing of milk by members of the cooperative members found some breeders who sell milk to
traders or buyers outside the cooperative. Cooperative "Pesat" was for the last few years to develop
partnerships with farmers outside members to buy milk in order to increase the supply of milk to the dairy
processing industry.
Keywords: Cooperative, Dairy cattle

versi elektronik
PENDAHULUAN
Koperasi merupakan organisasi yang bergerak di bidang bisnis yang beranggotakan orang-orang dengan
kepentingan yang sama. Mereka adalah pemilik yang sekaligus menjadi pelanggan perusahaan koperasi,
sehingga dalam organisasi koperasi dikenal istilah identitas ganda (Ropke, 1987). Koperasi adalah
organisasi otonom, yang berada di dalam lingkungan sosial ekonomi, yang menguntungkan setiap
anggota melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama-sama (Hanel, 1989).
Koperasi memiliki peran strategis dalam mengangkat dan mengembangkan perekonomian rakyat

250
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

terutama kelompok masyarakat perdesaan. Bidang-bidang usaha yang banyak digeluti koperasi terutama
bidang usaha pertanian termasuk di dalamnya peternakan dan perikanan. Dalam perkembangannya
tidak sedikit koperasi pertanian yang mengalami pasang surut usahanya, bahkan kemudian tidak

versi elektronik
beroperasi lagi. Faktor utama yang menyebabkan kegagalan koperasi di perdesaan adalah kurangnya jiwa
kemandirian yang dikembangkan di kalangan koperasi.
Koperasi harus memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi bisnis lainnya agar dapat
bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif didefinisikan
sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan
dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif koperasi datang dari: (1) sumber-
sumber tangible seperti kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan dan kekuatan modal; (2)
sumber-sumber bukan tangible seperti brand name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan; dan
(3) kapabilitas atau kompetensi inti yakni kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian
pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif (Peterson, 2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa
yang harus dilakukan koperasi untuk bisa menang dalam persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya.
Keunggulan kompetitif koperasi adalah hubungannya dengan anggota dalam bisnis, seperti misalnya pada
koperasi produksi pertanian, koperasi tersebut bisa melacak bahan baku yang lebih murah, sedangkan
perusahaan non-koperasi harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan bahan baku.

versi elektronik
Sebagian besar koperasi pertanian terutama KUD sangat tergantung kepada program dan kebijakan
pemerintah dalam menjalankan usahanya. Banyak koperasi yang kemudian terjebak pada kemudahan dan
kenikmatan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Sementara upaya untuk mengadakan usaha yang
berbasis pada kebutuhan anggota dan potensi wilayah tidak pernah dilakukan. Akibatnya banyak
koperasi di perdesaan yang kemudian gulung tikar ketika pemerintah memutuskan untuk mengubah
pendekatannya dalam membina koperasi, yaitu pembinaan yang mengedepankan kemandirian koperasi.
Pengelola koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat koperasi unggul di pasar yang senantiasa
mengalami perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor termasuk kemajuan teknologi,
peningkatan pendapatan masyarakat, penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih
murah, dan makin banyaknya pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Dalam menghadapi perubahan
tersebut, faktor kunci yang menentukan keberhasilan koperasi adalah (1) posisi pasar yang kuat; (2)
pengetahuan yang unik mengenai produk atau proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari

versi elektronik
produk bersangkutan; (4) menerapkan strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan
cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang mempunyai trend yang
meningkat atau prospek masa depan yang baik (Loyd,2001).
Salah satu koperasi yang bergerak di bidang peternakan di Kabupaten Banyumas adalah Koperasi
PESAT. Koperasi PESAT merupakan koperasi yang didirikan untuk mendukung pengembangan usaha
peternakan sapi perah di daerah tersebut. Koperasi ini terlah berumur lebih kurang enam belas tahun, dan
mengalami pasang surut dalam perjalanan usahanya. Naik turunnya jumlah sapi perah yang dimiliki para
peternak anggotanya menjadi salah satu penyebab keadaan itu. Selain itu adanya persaingan usaha dengan
lainnya baik pada pasar produk susu olahan maupun pasar bahan pakan konsentrat turut memperparah
kondisi koperasi tersebut. Koperasi PESAT memiliki usaha menampung susu dari para peternak
anggota dan selanjutnya menjualnya dalam bentuk susu segar ke IPS (Industri Pengolahan Susu), dan
sebagian susu diolah untuk dijual dalam bentuk susu pasteurisasi. Produksi susu peternak anggota saat ini
sekitar 2.500 ltr/hari, masih lebih kecil dari kapasitas tampung cooling unit yang ada di koperasi yaitu
sebanyak 15.000 ltr/hari. Untuk menambah jumlah pasokan susu, koperasi membeli susu dari peternak

versi elektronik
bukan anggota yang ada di beberapa daerah seperti di Kabupaten Wonosobo. Pasokan susu dari anggota
semakin berkurang dengan adanya perilaku sebagian peternak anggota koperasi yang menjual sebagian
susu yang diproduksi keluar koperasi. Perilaku ini dipicu oleh perbedaan harga pembelian susu oleh
koperasi yang lebih kecil bila dibandingkan dengan harga pembelian pihak lain. Pada usaha pengadaan
pakan konsentrat, koperasi menghadapi kejadian serupa yaitu adanya sebagian peternak anggota yang
memilih membeli pakan konsentrat di luar koperasi atau membuatnya sendiri, dengan alasan kualitas

251
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

pakan konsentrat yang disediakan koperasi lebih rendah bila dibandingkan dengan pakan konsentrat yang
mereka beli dari luar koperasi atau mereka membuatnya sendiri.
Keadaan pada Koperasi PESAT seperti diuraikan tersebut di atas, mengindikasikan adanya permasalahan

versi elektronik
dalam hubungan ketergantungan koperasi terhadap anggotanya. Bahwa sesungguhnya hubungan
ketergantungan yang kuat diantara keduanya merupakan modal utama untuk pengembangan dan
penguatan usaha koperasi. Oleh karena itu jika derajad ketergantungan diantara keduanya itu rendah,
maka selanjutnya dapat mengganggu keberlangsungan usaha koperasi. Kalaupun usaha koperasi itu
berhasil tanpa ketergantungan dengan anggota, maka bukan berarti koperasi tersebut telah berhasil
sebagai sebuah koperasi. Demikian halnya bila peternak anggota koperasi mengalami kemajuan
usahanya, sedangkan ketergantungan mereka terhadap koperasi rendah, maka koperasi tidak bisa
melakukan klaim sebagai koperasi yang berhasil. Kurangnya kemampuan petani dan peternak dalam
mengelola produksi maupun pasar produknya sehingga memerlukan adanya peranan koperasi. Sebagai
gambaran dalam kasus komoditas susu sapi segar hasil produksi peternak di Kabupaten Banyumas, yang
menghadapi anggapan masyarakat bahwa susu tersebut berkualitas rendah. Namun bagi peternak anggota
koperasi hal tersebut tidak berlaku, mengingat bahwa dengan adanya koperasi maka pengelolaan ternak
maupun pemerahan susu sudah bisa dikerjakan dengan baik. Hal ini dikuatkan dengan hasil penelitian
Astuti, Nurhidayat dan Siswadi (2008) bahwa susu yang beredar di pedagang eceran yang berasal dari

versi elektronik
koperasi masih layak dikonsumsi.
Penelitian ini melakukan kajian mendalam mengenai hubungan usaha (bisnis) koperasi dengan peternak
anggotanya, yaitu dalam pemasaran susu segar dan pakan konsentrat untuk kebutuhan sapi milik peternak
anggota. Adanya persaingan usaha dengan pihak lain dan dorongan kepentingan lainnya bisa membuat
hubungan bisnis diantara koperasi dan peternak anggotanya melemah. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengukur derajad ketergantungan dalam hubungan bisnis antara Koperasi PESAT dengan peternak
anggotanya, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang bisa menjadi penguat maupun yang berpotensi untuk
melemahkan derajad hubungan diantara keduanya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode survey, dengan populasi sasaran peternak anggota koperasi yang
terdapat dalam 10 kelompok peternak di Kecamatan Pekuncen, Cilongok, Karangnangka, Karanglewas,
Kedungbanteng, Baturraden, dan Sumbang. Selain itu juga diteliti manajer dan sejumlah karyawan

versi elektronik
koperasi yang berkompeten dalam bidang pelayanan dan pemasaran. Sebanyak 50 orang peternak
anggota koperasi diambil sebagai sampel, dengan menggunakan metode klaster (Cluster sampling)
dengan kelompok peternak sebagai klaster.
Variabel yang diamati adalah variabel derajad ketergantungan koperasi terhadap peternak anggota dalam
pemasaran susu dan pakan konsentrat. Ketergantungan yang dimaksud adalah tingkat atau derajad
kebermaknaan pihak yang satu bagi yang lain dalam hubungan pemenuhan kebutuhan. Dalam penelitian
ini konsep ketergantungan diterapkan untuk menggambarkan seberapa penting dan kuatnya hubungan
bisnis dengan peternak anggota bagi koperasi terutama pada bisnis pemasaran susu dan pakan konsentrat.
Variabel ketergantungan diukur melalui besarnya persentase pangsa pasar anggota baik pada bisnis
pemasaran susu maupun pakan konsentrat. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode deskriptif.
Selain itu dijabarkan pula faktor-faktor yang menguatkan maupun melemahkan derajad hubungan yang
ada.

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketergantungan dalam pengadaan susu
Koperasi PESAT memiliki fungsi utama memasarkan susu produksi peternak anggotanya. Produksi susu
peternak anggota koperasi per hari mencapai 4.000 liter. Pasar utama yang dituju selama ini adalah IPS
(Industri Pengolahan Susu) besar di Yogyakarta dan beberapa IPS kecil di Tegal dan daerah lain.
Proporsi susu yang dipasarkan ke IPS mencapai 60 % dan sebanyak 38% untuk IPS kecil lainnya,

252
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

sedangkan 2% untuk produksi susu olahan (susu pasteurisasi). Pengiriman susu untuk IPS di Yogyakarta
dilakukan dua hari sekali. Guna meningkatkan pasokan susu kepada IPS, koperasi juga membeli susu dari
peternak di luar anggota koperasi. Pembelian susu dari peternak bukan anggota mencapai 500 – 900 liter

versi elektronik
per hari.
Harga pembelian susu oleh koperasi ditentukan berdasarkan mutu susu yang disetorkan oleh peternak.
Susu dengan kualitas grade A dibeli dengan harga Rp3.900,- per liter, adapun grade B dan C masing-
masing Rp3.700 dan Rp3.500,- per liter. Apabila kualitas susu yang disetorkan oleh peternak buruk,
koperasi tidak bersedia menerimanya. Namun untuk saat ini susu yang disetorkan peternak anggota
semuanya bisa diterima oleh koperasi, karena kualitasnya cukup baik. Bagi susu dengan kualitas yang
tidak memenuhi standar di atas, koperasi membayar dengan harga Rp3.000,- per liter. Terkait dengan
harga pembelian susu oleh koperasi, sebagian peternak anggota menganggap harga tersebut terlalu murah.
Oleh karena itu mereka tertarik untuk menjual susunya ke luar koperasi yang bersedia membeli susu
dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp5.000,- per liter. Perilaku yang seperti ini banyak dilakukan oleh
peternak anggota yang berdomisili di wilayah bagian timur Kabupaten Banyumas, yaitu di daerah
Kedungbanteng, Sumbang dan Baturraden. Lokasi tempat tinggal mereka yang relatif lebih dekat dengan
kota Purwokerto dan lokawisata Baturraden menjadi lebih mudah untuk berhubungan dengan pedagang
produk olahan susu maupun konsumen rumah tangga.

versi elektronik
Adanya sebagian peternak anggota yang menjual susu ke luar koperasi merupakan ancaman yang cukup
serius bagi keberlangsungan koperasi. Apabila hal itu dibiarkan, dan kemudian bahkan mempengaruhi
peternak lainnya, maka koperasi akan kehilangan pasokan susu dari anggota. Keadaan yang berbeda bisa
pula terjadi, apabila koperasi tidak memperbaiki pelayanan bagi anggotanya termasuk harga pembelian
susu, sementara koperasi lebih berkonsentrasi untuk membeli susu dari luar anggota, maka koperasi
menjadi tidak lagi memerlukan pasokan susu peternak anggotanya. Keadaan seperti ini menggambarkan
bahwa hubungan ketergantungan koperasi dan anggota sangat lemah. Adapun keadaan yang terjadi saat
ini Koperasi PESAT memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan susu dari peternak
anggota. Sebesar 82-89 % susu yang dipasarkan Koperasi PESAT berasal dari peternak anggota dan 11 –
18 % berasal dari bukan anggota.
Ketergantungan dalam pemasaran pakan konsentrat
Pakan konsentrat merupakan keperluan pakan untuk ternak sapi perah disamping pakan hijauan, ampas

versi elektronik
tahu dan lainnya. Peternak anggota memperoleh pakan konsentrat dari koperasi, dan ada pula yang
membeli konsentrat di luar koperasi, disamping sebagian lagi peternak yang membuat sendiri. Pembelian
konsentrat di koperasi melalui mekanisme jual beli biasa dan ada pula yang diperhitungkan berdasarkan
banyaknya susu yang disetorkan oleh peternak. Pada umumnya prosedur yang ditempuh yaitu hasil
penjualan susu akan dipotong untuk membayar sejumlah konsentrat yang dibeli anggota. Apabila
peternak menyetorkan susunya lebih sedikit dari biasanya, maka peternak tersebut hanya bisa membeli
konsentrat dalam jumlah yang lebih sedikit.
Peternak anggota koperasi yang membeli konsentrat di luar koperasi beralasan bahwa kualitas konsentrat
yang disediakan oleh koperasi kurang memuaskan. Demikian pula peternak yang membuat pakan
konsentrat sendiri, selain karena kualitasnya kurang baik juga mereka menilai bahwa dengan membuat
sendiri konsentrat, biaya pakan konsentrat menjadi lebih murah. Hasil penelitian terhadap 50 orang
peternak anggota koperasi yang tersebar di 10 kelompok peternak menunjukkan bahwa 60% peternak
anggota membeli pakan konsentrat dari koperasi, 24% peternak anggota membeli pakan konsentrat di luar

versi elektronik
koperasi, dan 16% peternak membuat pakan konsentrat sendiri. Sementara itu, jumlah pembeli pakan
konsentrat di koperasi 96% adalah peternak anggota koperasi, dan 4,0% peternak bukan anggota. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam bisnis pakan konsentrat ketergantungan koperasi terhadap
peternak anggota sangat tinggi. Ini dapat dimaknai bahwa koperasi telah mampu memuaskan kebutuhan
anggotanya, sehingga mayoritas anggota tetap membeli konsentrat di koperasi. Dapat pula dimaknai
bahwa koperasi tidak memiliki pasar yang lain selain peternak anggota koperasi.

253
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketergantungan


Berdasarkan pengamatan terhadap kegiatan transaksi produk susu dan pakan konsentrat oleh koperasi
dengan peternak anggotanya, penelitian ini mencatat faktor-faktor yang bisa menjadi penguat hubungan

versi elektronik
bisnis diantara keduanya, maupun yang berpotensi untuk melemahkannya. Pada hubungan bisnis produk
susu, koperasi memiliki ketergantungan yang tinggi atas produksi dan pasokan susu dari peternak anggota
koperasi. Dilihat dari sudut pandang kepentingan peternak anggota koperasi hubungan seperti itu berarti
bahwa koperasi merupakan pasar yang menjamin bagi keberlanjutan usaha peternakan sapi perah mereka.
Faktor penguat hubungan ini adalah pemberian harga yang wajar atau menguntungkan oleh koperasi,
pelayanan yang baik baik terkait dengan penanganan susu maupun pendukungnya, dan komitmen yang
tinggi pengelola koperasi terhadap kepentingan anggota.
Adapun faktor yang berpotensi untuk melemahkan hubungan tersebut bisa berasal dari peternak anggota
maupun pengelola koperasi itu sendiri. Selama ini koperasi hanya sedikit saja mengambil susu dari
peternak bukan anggota dan dengan harga pembelian yang relatif sama dengan harga susu dari anggota.
Akan tetapi bila koperasi di kemudian hari mendapatkan keuntungan yang lebih banyak bila mengambil
susu dari bukan anggota, misalnya harga pembelian yang murah, maka sedikit demi sedikit koperasi akan
meninggalkan anggotanya. Faktor lain yang berpotensi merusak hubungan adalah menurunnya kualitas

versi elektronik
usaha produksi susu oleh peternak anggota sebagai akibat kurangnya tenaga kerja, mahalnya harga pakan,
dan rendahnya keterampilan peternak dalam budidaya. Jika hal ini terjadi maka terjadi penurunan baik
kuantias maupun kualitas susu yang dihasilkan oleh peternak anggota koperasi. Akibatnya koperasi akan
kekurangan pasokan susu dari anggota, dan kemudian akan lebih bergantung kepada pasokan peternak
non anggota.
Dalam hubungan bisnis pakan konsentrat, koperasi sangat bergantung kepada permintaan konsentrat oleh
peternak anggota. Apabila koperasi mampu untuk mempertahankan mutu pelayanannya baik melalui
harga yang wajar, kualitas konsentrat yang baiik, dan cara-cara pelayanan lainnya yang disukai anggota,
maka hubungan ketergantungan dengan anggota menjadi sesuatu yang positip. Dalam hal ini koperasi
bisa memperoleh keuntungan dengan cara memberikan kepuasan yang tinggi kepada anggotanya. Adanya
persaingan dengan pelaku bisnis yang lain yang dapat menyediakan konsentrat dengan harga lebih murah
dan mutunya juga lebih baik, maka akan menjadi gangguan yang serius bagi koperasi. Kualitas konsentrat
yang kalah dibandingkan dengan yang disediakan bukan koperasi, dan harga konsentrat yang lebih mahal

versi elektronik
di koperasi bila dibandingkan dengan membeli di luar koperasi atau peternak membuatnya sendiri akan
melemahkan hubungan bisnis dengan anggota.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di muka, maka selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Koperasi PESAT memiliki ketergantungan yang tinggi atas pasokan susu dari peternak
anggotanya. Adanya permintaan susu segar yang meningkat telah mendorong koperasi untuk
melakukan hubungan bisnis dengan peternak bukan anggota, namun dalam proporsi yang relatif
kecil.
2. Koperasi PESAT memiliki ketergantungan yang tinggi atas permintaan pakan konsentrat dari
peternak anggota koperasi. Pangsa pasar koperasi untuk bisnis konsentrat hampir mutlak berupa
konsumsi peternak anggota koperasi. Sementara konsumen di luar anggota sangat sedikit.
3. Keandalan pelayanan dan harga beli susu yang menguntungkan peternak akan senantiasa menjadi
faktor penguat hubungan ketergantungan koperasi dan peternak anggotanya. Demikian pula

versi elektronik
halnya dalam pemasaran konsentrat, koperasi akan mampu memperkuat hubungan
ketergantungan dengan anggota jika mampu bersaing dengan pasar dalam menyediakan
konsentrat yang bermutu baik dan harganya wajar.

254
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

DAFTAR PUSTAKA
Astuti,Triana Yuni, Nunung Noorhidayat, Siswasdi (2008), Daya Tahan Susu Segar Pedagang eceran
Sebagai Indikator layak Konsumsi. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal

versi elektronik
Soedirman.
Hanel, Alfred (1989), Basic Aspect of Cooperative Organization and Policies for Their Promotion in
Developing Countries. Marburg: University of Marburg
Loyd, Bernard (2001), “Positioning for Peformance: Reshaping Co-ops for Success in the 21st Century”,
makalah dalam Farmer Co-operative Conference, Oktober 29, Las Vegas, McKinsey & Company
Peterson, Chris (2005), “Searching for a Cooperative Competitive Advantage”, mimeo, Michigan State
University.
Ropke, Jochen (1985), The Economic Theory of Cooperative Enterprises in Developing Countries. With
Special Reference of Indonesia, Marburg: University of Marburg

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 255


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

INTEGRASI SAPI POTONG TANAMAN KAKAO DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA


SUMATERA BARAT
Arfa`i 1) dan Yuliaty Shafan Nur 2)

versi elektronik
Program Studi Sosial Ekonomi 1 ), Nutrisi dan Teknologi Pakan 2), Fakultas Peternakan Universitas Andalas,
Padang

ABSTRACT
Integrated Farming System (IFS) emphasizes the integration between the various components by utilizing
the available resources in an efficient, economical and friendly environment. The basis of this concept is
the consideration of agricultural production of crops and livestock with the principles of zero waste,
optimize the resource utilization of farm-animal optimally to increase production and livestock-farming
income. The aim of the study was to analyze: (1) integration of beef cattle and cocoa plants and
development potential; and (2) the constraints faced in the implementation of integration programs of beef
cattle and cocoa plants. The study was conducted at farmer groups (Fadhila) in the vilage ofTaram, Harau
County, District of Limapuluh Kota. The study used survey method and direct observation to localized
research using questionnaires. The results showed that the integration between beef cattle and cocoa
plants not take place optimally, cocoa waste utilization for animal feed only reached 13.05%, while the

versi elektronik
use of organic vertilizer for cocoa crop has reached 100% in the form of unprocessed vertilizer. Obstacles
encountered in the implementation of the integration of beef cattle and crops are cocoa farmers lack
knowledge about integration and limited their knowledge of livestock waste treatment technology and
feed processing of cocoa crop waste, so that the application of the integration between beef cattle and
crop cocoa is not optimal.
Keywords:Beef cattle integration, Cocoa, District of Limapuluhkota

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan salah satu program utama
Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis
sumberdaya domestik. Tantangan ini tidak mudah, karena saat ini impor daging dan sapi bakalan sangat
besar, sekitar 30 persen dari kebutuhan daging nasional. Bahkan ada kecenderungan volume impor terus

versi elektronik
meningkat yang secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar. Bila kondisi ini tidak
diwaspadai, hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging
sapi semakin jauh dari harapan (Ditjen Peternakan 2010). Salah satu program pemerintah yang
mendukung pencapaian Swasembada Daging Sapi yakni Program Integrasi sapi dengan tanaman.
Setiawan (2000) mengemukakan konsep LEISA (Low External Input Suistinable Agriculture) yang
menekankan keterpaduan antar berbagai komponen dengan meman-faatkan sumberdaya yang tersedia
secara efisien, ekonomis dan ramah lingkungan, aplikasi secara sederhana menjadi Integrated Farming
System (IFS). Konsep ini melibatkan petani-ternak, pendekatan optimalisasi penggunaan bahan baku yang
terdapat di lingkungan sekitar secara terpadu, penggunaan sumberdaya ditekankan pada efisiensi untuk
meningkatkan pendapatan petani-ternak. Dasar pertimbangan konsep ini adalah kegiatan produksi
pertanian tanaman dan ternak dengan prinsip zero waste, yang dimaksud dengan zero waste adalah
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal, seperti jerami padi, pucuk tebu, kulit buah kakao, kulit
buah kopi, serat sawit sebagai pakan ternak melalui proses fermentatif agar mempunyai nilai guna yang

versi elektronik
lebih baik dan kotoran ternak sapi diproses menjadi pupuk organik. Artinya memperbaiki unsur hara
yang dibutuhkan tanaman sehingga tidak ada limbah yang terbuang (Ditjen Peternakan 2002).
Nagari Taram, Kecamatan Harau, kabupaten Lima Puluh Kota yang merupakan salah satu daerah yang
memiliki peluang dilaksanakannya integrasi antara tanaman dan ternak, mengingat daerah ini memiliki
populasi ternak sapi potong sebanyak 1031 ekor dan perkebunan coklat milik masyarakat mencapai luas
649,09 Ha (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota, 2011). Kelompok tani Fadhila yang terletak di Nagari

256
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Taram mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk melaksanakan program integrasi sapi potong dengan
tanaman kakao melalui dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2010.
Setelah lebih kurang ± 3 tahun program ini berjalan, terlihat bahwa pelaksanaan integrasi antara sapi

versi elektronik
potong dengan tanaman kakao belum berjalan secara optimal. Untuk mendapatkan informasi bagaimana
program integrasi ini dilaksanakan dan kendala-kendala yang dihadapi maka dilakukan penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) integrasi sapi potong dengan tanaman kakao dan potensi
pengembangannya; (2) kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program dan solusinya, pada
Kelompok Tani Tani Fadhila kenagarian Taram

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelompok Tani Fadhila kenagarian Taram, Kecamatan Harau, Kabupten Lima
Puluh Kota, Sumatera Barat, berlangsung selama tiga bulan.
Metode Penelitian

versi elektronik
Penelitian menggunakan metoda survey, melalui wawancara dan observasi langsung ke lokasi penelitian.
Wawancara dilakukan dengan mendatangi masing-masing responden berdasarkan kuesioner yang telah
disusun. Data sekunder di peroleh dari instansi-instansi terkait seperti BPS Kabupaten Lima Puluh Kota,
Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kantor Camat Harau.
Responden Penelitian
Responden pada penelitian ini yakni Anggota kelompok Tani Fadhila yang melaksanakan program
Integrasi Sapi Potong dengan Tanaman Kakao sebanyak 20 orang.
Peubah dan Pengukuran
Peubah yang di amati pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik kelompok pelaksana program
2. Alokasi Dana program

versi elektronik
3. Usaha sapi potong
4. Jumlah dan jenis ternak yang di pelihara (ST)
5. Pakan (jenis pakan yang diberikan, jumlah pemberian)
6. Tatalaksana pemeliharaan (sistem pemeliharaan, kandang dan peralatan)
7. Produksi feses dan Pengolahan
8. Usaha tanaman kakao
9. Luas tanaman kebun kakao di Kelompok Tani Maju Berkarya (ha)
10. Pemupukan (jenis dan jumlah pupuk yang diberikan)
11. Produksi limbah dan Pengolahannya
12. Pemanfaatan Limbah
13. Pemanfaatan limbah Kakao pakan ternak.
14. Pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk organik.
15. Kendala-kendala yang di hadapi dalam penerapan integrasi sapi potong dengan tanaman kakao
16. Pengetahuan peternak tentang integrasi ternak dan tanaman

versi elektronik
17. Pengetahuan Pengetahuan teknologi pengolahan limbah kakao dan limbah ternak.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam Tabel, Gambar dan Grafik, kemudian
dibandingkan dengan petunjuk teknis pelaksanaan integrasi ternak dan tanaman. Untuk mengetahui

257
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

permasalahan yang dihadapi oleh anggota dilihat dari alasan mereka terkait dengan pencapaian sasaran
program dan pengetahuan mereka terhadap penggunaan teknologi pendukung integrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

versi elektronik
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Nagari Taram merupakan salah satu nagari yang berada di kecamatan Harau, kenagarian ini berjarak ± 4
km dari pusat pemerintah kecamatan, ± 3 km dari ibu kota kabupaten Lima Puluh Kota, dan ± 122 km
dari ibu kota Propinsi Sumatera Barat. Luas Nagari Taram ± 60,59 Km2 dengan mata pencarian
penduduk sebagaian besar bergerak dibidang pertanian (90%).
Ketinggian Nagari Taram rata-rata mencapai 600 mdpl, beriklim tropis dengan temperatur bergerak
antara 25º – 31ºC dan rata-rata curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 1.308-3.333 mm per tahun.
Penggunaan lahan di Nagari Taram cukup beragam, penggunaan lahan terbesar sebagai lahan perkebunan
(34.42%), persawahan (33.83%), hutan (16.99%), kolam ikan (16.99%), dan lahan perumahan (0.63%).
Lahan yang diperuntukan untuk perkebunan ditanami dengan tanaman Kakao, sehingga upaya integrasi
antara sapi potong dengan tanaman kakao memilikki potensi yang besar dikembangkan di wilayah ini.

versi elektronik
Profil Kelompok Tani Pelaksana Program Integrasi
Profil kelompok tani ternak pelaksana program integrasi sapi potong dan tanaman Kakao disajikan pada
Tabel 1.
Kelompok tani Fadhila berdiri semenjak tahun 2005 mulai melaksanakan program integrasi pada bulan
Agustus 2010, hal ini menggambarkan bahwa kelompok sudah terbentuk jauh hari sebelum program
bantuan ini ada, bukan kelompok yang dibentuk dengan adanya program. Dari segi pembentukan
kelompok sangat mendukung adanya program integrasi antara sapi potong dan tanaman Kakao, jumlah
anggota yang terlibat dalam program bantuan sebanyak 20 orang.
Tabel 1. Karakteristik kelompok tani pelaksana bantuan integrasi
No Uraian Keterangan
1 Nama Kelompok Fadhila

versi elektronik
2 Tahun Berdiri 2005
3 Jumlah anggota 20
4 Tahun menerima bantuan sapi Agustus 2010
5 Kelembagaan Kelompok Tani
6 Status Kelompok Lanjut
Sumber: Hasil Peneltian (2014)

Alokasi Dana Bantuan Program Integrasi


Alokasi dana bantuan prorgam integrasi tanaman kakao dan ternak sapi potong disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alokasi dana bantuan program integrasi
No Uraian Volume Jumlah Persentase

versi elektronik
1 Sapi Peranakan Simental 24 ekor 248.500.000 82.83
2 Mesin pencacah kakao 1 unit 17.500.000 5.83
3 Mesin penepung 1 unit 12.500.000 4.17

258
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

4 Biaya pendamping 1 paket 11.500.000 3.83


5 Bahan dan alat pengolahan limbah Kakao 1 paket 10.000.000 3.34

versi elektronik
Jumlah 300.000.000 100.00
Sumber : Hasil Penelitian (2014)

Hasil penelitian di atas menjelaskan bahwa jumlah dana bantuan sosial (BANSOS) untuk kelompok tani
dalam melaksanakan kegiatan integrasi tanaman kakao dengan sapi potong pada kelompok tani Fadhila.
Pemanfaatan dana bantuan untuk pengadaan sapi potong masih kurang (82.83%), berdasarkan petunjuk
teknis integrasi sapi dan tanaman penggunaan dana untuk pengadaan sapi minimal 85 persen dan sisanya
digunakan untuk fasilitas penunjang integrasi. Dana bantuan ini diberikan oleh pemerintah Kabupaten
Lima Puluh Kota melalui Dinas Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota tanggal 19 Agustus 2010.
Dinas Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota memberikan bantuan kepada kelompok tani dalam bentuk
peralatan mesin pencacah buah kakao dan mesin penghalus buah kakao. Adapun gambar mesin pencacah
dan mesin penghalus buah kakao dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Karakteristik Petani-ternak

versi elektronik
Karakteristik peternak sapi potong penerima bantuan terdiri dari, peternak berada pa-da usia produktif
(91,30%), tingkat pendidikan SLTP (39,13%), memiliki pengalaman beternak > 10 tahun (52.23%), dan
pekerjaan utama sebagai petani-ternak (95,65%). Disam-ping umur produktif tingkat pendidikan formal
turut mempengaruhi petani ternak dalam mengelola usaha, semakin tinggi tingkat pendidikan akan
menambah wawasan, dengan demi-kian akan semakin mudah menerima inovasi teknologi. Sebagian
besar tingkat pendidikan responden adalah SLTP, hal ini meng-indikasikan masih rendahnya kualitas
sumberdaya manusia yang mengakibatkan rendahnya adopsi teknologi

versi elektronik Gambar 1. Mesin pencacah Kakao

versi elektronik Gambar 2. Mesin penghalus kakao

259
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

sebagai ukuran respon petani ternak terhadap perubahan teknologi. Sebagian besar responden memilih
bertani sebagai usaha pokok, dan memiliki pengalaman memelihara sapi potong di atas 10 tahun.
Usaha Ternak Sapi Potong

versi elektronik
Bibit dan Perkembangan sapi yang dipelihara. Bibit dan perkembangan sapi yang dipelihara disajikan
pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bibit yang dipelihara terdiri dari sapi Simental
(100%), ternak dikawinkan melalui IB, rata-rata kepemilikan ternak 5,21 ekor/peternak (2,8 ekornya dari
program). Bila dibandingkan dengan awal program sudah terlihat perkembangan sapi yang
dipelihara sebesar 133,33 persen selama tiga tahun (rata-rata pening-
Tabel 3. Bibit dan perkembangan sapi program integrasi
No Rincian Bangsa Awal Saat Penelitian
Sapi (ekor) (ekor)
1 Jantan Dewasa Simental - -
Betina Dewasa Simental 24 24
2 Jantan Muda Simental - 5
Betina Muda Simental - 5

versi elektronik
3 Anak Jantan Simental - 6
Anak Betina Simental - 4
Jumlah 24 56
Perkembangan (%) 133.33
Sumber : Hasil Penelitian (2014)

katan 44,44%), masih belum optimal. Alasan peternak memilih sapi Simental karena pertumbuhan-nya
cepat dan harga jual anak yang dihasilkan tinggi, keragaan reproduksi usaha ternak sapi potong disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Keragaan reproduksi usaha pembibitan sapi potong
No Komponen Keterangan
1 Calving Interval 15 bulan
2 Service per Conception (S/C) 1,9

versi elektronik
3 Masa Kosong 4,5 bulan
Sumber : Hasil penelitian (2014)

Calving interval yang didapat relatif panjang yaitu mencapai 15 bulan, sedangkan interval yang baik
adalah sekitar 12 bulan. Hal ini karena masih tebatasnya pelayanan IB oleh petugas (jumlah petugas yang
kurang), sehingga waktu IB terlambat dan molor. Siregar et al. (1998) menyatakan bahwa keberhasilan
IB dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni kondisi sapi, akseptor, keterampilan inseminator, keterampilan
peternak dalam mengamati siklus berahi, dan ketepatan waktu pelaksanaan IB.
Pakan yang diberikan. Jenis pakan yang diberikan terdiri dari hijauan, konsentrat dan limbah perkebunan
berupa limbah kakao yang sudah difermentasi. Hijauan yang diberikan berupa hijauan unggul (rumput
gajah, benggala, raja) dan rumput lapangan, dengan rata-rata pemberian 35 kg/ut/hari. Hijauan unggul
ditanam dilahan masing-masing peternak dengan luas lahan rata-rata 0,66 ha/peternak. Konsentrat yang
diberikan berupa dedak, dan ampas tahu dengan jumlah pemberian berkisar antara 0,25-0,5 kg/ut/hr,
sedangkan limbah kakao yang diberikan berupa limbah kakao yang sudah difermentasi sebanyak 5

versi elektronik
kg/ut/hr.
Tatalaksana Pemeliharaan. Sisitem pemeliharaan sapi dilakukan secara intensif sehingga memudahkan
pengontrolan terhadap ternak. Kandang ternak dibuat sesederhana mungkin dengan memanfaatkan bahan
lokal yang ada, sebagian besar bangunan kandang terbuat dari kayu, atap seng atau rumbia, lantai
kandang dari semen, dinding dari kayu dan bambu, ukuran kandang 2 x 1,5 m2 per unit ternak. Kandang
umumnya dibersihkan setiap hari, peralatan kandang terdiri dari tempat pakan, tempat minum dan

260
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

penampungan kotoran. Kotoran yang dihasilkan dimanfaatkan untuk memupuk lahan hijauan pakan
ternak, dan tanaman kakao. Sudah terlihat adanya peranan usaha ternak sapi terhadap usahatani dari
sumbangan pupuk kandang yang dihasilkan (walaupun pupuk kandang yang diberikan belum diolah) dan

versi elektronik
penggunaan limbah kakao fermentasi untuk pakan ternak. Menurut Nurawan et al. (2004), system
usahatani-ternak merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam rangka optimalisasi sumberdaya lokal,
karena input pakan ternak berasal dari output tanaman dan input pupuk bagi tanaman berasal dari output
ternak berupa kompos.
Produksi feses dan Pengolahannya. Jumlah kotoran sapi yang dihasilkan dapat diprediksi dari jumlah sapi
yang dipelihara. Apabila satu ekor sapi yang dipelihara rata-rata setiap hari menghasilkan 7 kg kotoran
kering (Budiyanto, 2011), maka kotoran kering yang dihasilkan dari 56 ekor sapi yang dipelihara
kelompok adalah sebesar 392 kg/ekor/hari, atau setara dengan 143,1 ton pupuk organik pertahun. Jika
kebutuhan pupuk organik untuk lahan coklat rata-rata 2 ton/ha/th, dengan pupuk organik yang dihasilkan
akan dapat memenuhi kebutuhan lahan coklat seluas 71,55 Ha.
Usaha Tanaman Kakao
Luas Tanam. Luas tanaman Kakao milik anggota kelompok sebesar 17 Ha, sehingga rata-rata luas
tanaman kakao yang dimilikki masing-masing anggota kelompok adalah sebesar 0.85 Ha, jarak antara

versi elektronik
kebun Kakao dengan kandang sapi potong cukup dekat lebih kurang 500 meter, sehingga memudahkan
dalam kegiatan integrasi.
Pemupukan. Pemupukan yang dilakukan oleh petani-ternak terhadap tanaman Kakao menggunakan
pupuk kandang yang dihasilkan. Jumlah pupuk kandang yang diberi-kan dengan dosis rata-rata 2
ton/ha/th, pupuk diberikan disekitar tanaman coklat dengan periode pemberian 2 kali per tahun.
Produksi Limbah. Dalam memperhitungkan potensi daya dukung kulit kakao sebagai pakan ternak
berpatokan pada produksi per tahun. Hasil penelitian Priyanto et al (2004) didapatkan bahwa 1 ha kebun
coklat menghasilkan 800 kg coklat kering, dengan konversi bahwa kakao kering mencapai 50% dari
produksi kakao basah maka produksi kakao basah yang dihasilkan 1.600 kg/ha/th, dari produksi kakao
basah sebanyak 1.600 kg ini dihasilkan buah kakao basah sebanyak 2.971 kg/ha/th (proporsi kulit buah
kakao sebanyak 65% dari buah kakao). Jika luas kebun coklat kelompok tani-ternak sebanyak 17 ha dan
peternak memberikan limbah coklat sebanyak 5 kg/ekor/hr dalam pakan ternak, maka potensi daya

versi elektronik
dukung ternak sapi berdasarkan produksi coklat adalah sebesar 26,35 UT/th.
Pemanfaatan Limbah di Lokasi Penelitian
Pemanfaatan Limbah Ternak Untuk Pupuk Tanaman Kakao. Hasil penelitian menun-jukan bahwa seluruh
anggota kelompok tani-ternak program integrasi telah memanfaatkan pupuk organik yang dihasilkan
untuk lahan tanaman coklat yang mereka miliki. Pupuk organik yang mereka gunakan berasal dari feses
ternak sapi yang dipelihara, diolah secara sederhana dengan cara : feses ditempatkan disuatu tempat
penampungan feses disekitar kandang (memiliki atap sederhana), feses disimpan selama 3 minggu sambil
dibalik tanpa ada perlakuan lain, setelah tiga minggu pupuk organik yang sudah jadi langsung digunakan
untuk tanaman coklat. Dengan penggunaan pupuk organik yang dihasilkan sendiri diharapkan dapat
mengurangi penggunaan pupuk an-organik dari luar usaha, sehingga biaya pupuk an-organik bisa
dikurangi dan efisiensi usaha dapat ditingkatkan. Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi
bakalan dalam negeri (cow-calf operation) 99% dilaku-kan oleh peternak rakyat, ternak sapi dipelihara
dalam suatu sistem yang terintegrasi dengan usahatani tanaman. Adanya keterkaitan antara usahatani

versi elektronik
tanaman dan usaha ternak dapat meningkatkan efisiensi usahatani-ternak sehingga dapat meningkatkan
produktivitas dan pendapatan (Diwyanto dan Priyanti, 2006).
Pemanfaatan Limbah Tanaman Untuk Pakan Ternak. Pemanfaatan limbah ta-naman Kakao untuk pakan
ternak disajikan pada Tabel 5.

261
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 5. Pemanfaatan limbah Kakao didaerah penelitian


No Rician Frekuensi Pemanfaatan

versi elektronik
Memanfaatkan % Tdk memanfaatkan %
1 Hijauan yg ada disekitar 20 100 -- --
tanaman
2 Daun kakao bekas pemang- -- -- 20 100
kasan
3 Kulit buah kakao 8 40 12 60
Sumber : Hasil penelitian (2014)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan yang tumbuh disekitar tanaman coklat (rumput lapangan)
seluruh peternak memanfaatkannya sebagai pakan ternak, daun kakao bekas pemangkasan belum
dimanfaatkan oleh peternak, sedangkan kulit buah kakao 40% peternak sudah memanfaatkan-nya sebagai
pakan (setelah melalui fermentasi). Peternak belum optimal memanfaatkan limbah kakao sebagai pakan
ternak, karena masih banyaknya hijauan pakan yang tersedia dilahan mereka.

versi elektronik
Kendala dalam Pelaksanaan Program Integrasi
Kendala yang dihadapi oleh petani-ternak dalam melaksanakan program integrasi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan integrasi
No Rincian Frekuensi Persentase
1 Kurangnya pengetahuan tentang integrasi 12 60
2 Penguasaan Teknologi pengolahan limbah ternak 20 100
3 Penguasaan teknologi pengolahan limbah kakao 8 40
Sumber : Hasil Penelitian (2014)

Hasil penelitian menunjukan bahwa masih kurangnya pengetahuan petani-ternak tentang integrasi antara

versi elektronik
tanaman dan ternak, hal ini terlihat dari pupuk organik yang digunakan masih belum diolah, pada hal jika
pupuk organik yang diolah potensi penggunaannya dapat ditingkatkan terutama kadar unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman. Selanjutnya penguasaan teknologi pengolahan limbah kakao untuk pakan
ternak juga masih kurang (40%), hal lain yang berkontribusi terhadap belum optimalnya pelaksanaan
integrasi karena hijauan yang tersedia masih mencukupi kebutuhan ternak yang dipelihara, hijauan
berasal dari lahan hijauan yang mereka punya, rata-rata luas lahan hijauan yang mereka punya adalah
sekitar 0.65 ha yang ditanami dengan rumput gajah.

KESIMPULAN
Pelaksanaan program integrasi sapi potong dan tanaman Kakao belum optimal, limbah ternak sapi sudah
dimanfaatkan untuk pupuk tanaman kakao akan tetapi pupuk organik yang digunakan masih
menggunakan pengolahan sederhana, sedangkan limbah kakao berupa kulit buah kakao baru
dimanfaatkan sebagai pakan ternak (40%).
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program integrasi sapi potong dan tanaman kakao pengetahuan

versi elektronik
petani-ternak masih rendah.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan program integrasi dimasa mendatang disarankan hal berikut
Peningkatan pengetahuan peternak tentang integrasi tanaman dan ternak melalui penyuluhan dan
pelatihan, terutama dibidang teknologi pengolahan limbah tanaman untuk pakan ternak dan pengolahan
limbah ternak untuk pupuk tanaman.

262
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

DAFTAR PUSTAKA
[BPS Kab. Lima Puluh Kota] Biro Pusat Statistik, Kabupaten Lima Puluh Kota. 2011. Kabupaten Lima
Puluh Kota dalam Angka. Payakumbuh; Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten Lima Puluh

versi elektronik
Kota.
Budianto, Krisno. 2011. Tipologi Pendayagunaan Kotoran Sapi dalam Upaya Mendukung Pertanian
Organik di Desa Sumbersari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Gamma 7 (1)
42-49
[Ditjen Pet] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Petunjuk Teknis Program Sarjana Membangun Desa,
Provinsi Sumatera Barat. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
[Ditjen Pet] Direktorat Jenderal Peternakan. 2002. Pedoman Teknis Bantuan Pinjaman Langsung
Masyarakat (BPLM) Berbasis Pemberdayaan Kelompok Peternak. Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Diwyanto, K., dan A, Priyanti. 2006. Kondisi, potensi dan permasalahan agribisnis peter-nakan
ruminansia dalam mendukung ketahanan pangan. Proc. Seminar Nasional Pem-berdayaan
Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Fakultas

versi elektronik
Peternakan UNDIP, Semarang 3 Agustus 2006, hal : 1-11
Nurawan, A., H, Hadiana., D, Sugandi., dan S, Bachrein. Sistem usahatani integrasi tanaman-ternak di
kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Proc. Seminar Nasional Nasional Sistem Integrasi Tanaman-
Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan BPPT-Bali dan
CASREN. Denpasar 20-22 juli 2004. Hal : 133-141
Priyanto, D., A. Priyanti dan I. Inonu. 2004. Potensi dan Peluang Integrasi Ternak Kambing dan
Perkebunan Kakao Rakyat. Pemda Lampung.
Setiawan. 2000. Sistem Pertanian Terpadu. Majalah AT Agribisnis 143:24-26.
Siregar, A.P., P. Situmorang, dan K. Diwyanto. 1998. Pemanfaatan teknologi IB dalam upaya
ppeningkatan produktivitas sapi potong di Indonesia. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, Puslitbangnak. Bogor.

versi elektronik

versi elektronik 263


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

URGENSI KEBUTUHAN KEBIJAKAN PENYULUHAN PERTANIAN SUBSEKTOR


PETERNAKAN DALAM PENCAPAIN SWASEMBADA DAGING SAPI YANG
BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT

versi elektronik
Basril Basyar
Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Kebijakan penyuluhan pertanian di Sumatera Barat kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ada di
Indonesia secara keseluruhan, apalagi kebijakan penyululuhan pertanian sub sektor peternakan sapi
potong. Sampai saat ini boleh dikatakan belum ada kebijakan-kebijakan berarti yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai pedoman dalam melaksanakan penyuluhan pertanian sub sektor peternakan. Proses
perumusan kebijakan yang membutuhkan waktu lama, serta banyaknya retorika pemerintah dengan
DPRD Provinsi Sumatera Barat mengakibatkan kebijakan penyuluhan di bidang tersebut tidak satupun
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Penelitian ini untuk melihat urgensi kebutuhan kebijakan penyuluhan
pertanian subsektor peternakan sapi potong untuk membantu pencapai tujuan Program Swasembada
Daging Sapi (PSDS) khususnya di Sumbar. Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober 2013 s/d Februari
2014, dimana kegitan ini merupakan penelitian pendahuluan untuk menyusun proposal disertasi di

versi elektronik
Pascasarjana UNAND. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan, dimana data yang digunakan
adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dokumentasi dan studi literatur.
Sedangkan teknik analisa data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif.
Kata Kunci: Kebijakan, Penyuluhan, Peternakan Sapi Potong, Swasembada Daing Sapi

PENDAHULUAN
Pembangunan dan kebijakan merupakan dua hal yang saling terkait, karena melalui pembangunan
kebijakan dapat beroperasi, sehingga tujuan dari pembangunan tersebut dapat dicapai dengan baik.
Kebijakan adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan)
dan kemungkinan-kemungkinan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya
untuk mencapai tujuan yang dimaksud (Carl Friedrich dalam Agustino, 2008). Dalam konteks
pemerintah, kebijakan lebih dikenal dengan sebutan kebijakan publik. Dimana kebijakan publik tersebut

versi elektronik
adalah apa saja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Brigman dan Davis,2005).
Kebijakan pemerintah Indonesia yang tertuang dalam RPJMN 2010-2014 menetapkan empat target utama
pembangunan pertanian diantaranya adalah swasembada daging sapi 2014 (Alisjahbana. S.A, 2013).
Adapun harapan besar dari pemerintah terhadap program tersebut yaitu upaya mewujudkan ketahanan
pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Program ini merupakan peluang untuk
dijadikan pendorong dalam mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti pada masa yang lalu,
walaupun hal itu tidak mudah karena saat ini impor daging dan sapi bakalan sangat besar (30 persen dari
kebutuhan daging nasional). Dengan terwujudnya swasembada daging sapi tersebut diharapkan impor
sapi bakalan dan impor daging sapi menurun sampai 10% sedangkan 90% dipenuhi melalui penyediaan
sapi lokal (Alisjahbana. S.A, 2013).
Untuk dapat mewujudkan tujuan pembangunan pertanian, pemerintah menyadari cukup banyak faktor
yang dapat mendukung terwujudnya tujuan program pembangunan pertanian, dalam kontek revitalisasi
pertanian dilakukan dengan enam fokus, salah satunya adalah pengembangan SDM pertanian, karena

versi elektronik
untuk mewujudkan tujuan pembangunan diperlukannya SDM petani yang handal (Tambunan.T, 2010).
Untuk melakukan pembangunan atau pengembangan SDM petani tersebut hanya bisa dilakukan dengan
kegiatan pendidikan non formal yang lebih dikenal dengan penyuluhan pertanian. Oleh karena itu
dilahirkanlah UU No.16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan .
Pendapat tersebut sebenarnya telah lebih dahulu diungkapkan oleh Mosher (1996) dimana dijelaskan
menyatakan kegiatan penyuluhan pertanian sangat diperlukan sebagai faktor pelancar pembangunan

264
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

pertanian. Bahkan Mardikanto (2009) justru menilai kegiatan penyuluhan sebagai faktor kunci dalam
menentukan keberhasilan pembangunan pertanian, karena penyuluhan selalu hadir sebagai pemicu
sekaligus pemacu pembangunan pertanian.

versi elektronik
Jika kebijakan diartikan sebagai pilihan terbaik yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola sumber
daya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam, maka pemerintah berkewajiban untuk
menetapkan kebijakan penyuluhan pertanian sub sektor peternakan sapi potong sebagai salah satu
kebijakan. Sebab secara empiris kebijakan itu memiliki peranan yang strategis sebagai pemicu maupun
pemacu/pelancar pembangunan pertanian umumnya dan khususnya perternakan sapi potong di Sumatera
Barat.
Kebijakan penyuluhan pertanian di Sumatera Barat kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ada di
Indonesia, apalagi kebijakan penyululuhan pertanian sub sektor peternakan sapi potong. Sampai saat ini
boleh dikatakan bahwa belum ada kebijakan-kebijakan berarti yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai
pedoman dalam melaksanakan penyuluhan pertanian sub sektor peternakan. Proses perumusan kebijakan
yang membutuhkan waktu lama, serta banyaknya retorika pemerintah dengan DPRD Provinsi Sumatera
Barat mengakibatkan kebijakan penyuluhan di bidang tersebut tidak satupun yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Oleh karena itulah, penulis merasa perlu melakukan penelitian dengan fokus kajian kepada

versi elektronik
”Urgensi Kebutuhan Kebijakan Penyuluhan Pertanian Sub Sektor Peternakan Sapi Potong Untuk
Membantu Pencapaian Swasembada Daging Sapi”. Berdasarkan deskripsi sebelumnya, maka penulis
mencoba untuk menuangkan ide berfikir penelitian dalam Figur 1.

versi elektronik

versi elektronik 265


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Kebijakan Pembangunan Peternakan : Program

versi elektronik
Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 yang tertuang
dalam RPJMN 2010-2014 oleh pemerintah pusat

SUMBAR sebagai salah satu wilayah


pelaksanaan untuk pencapaian PSDS 2014

PENDANAAN INFRASTRUKTUR/ SARANA & TEKNOLOGI SDA SDM


PRASARANA
telah banyak intervensi pemerintah dalam berbagai kebijakan

versi elektronik
Penyuluhan dapat dilaksanakan Bentuk kebijakan untuk Belum ada kebijakan
jika pemerintah mengeluarkan meningkatan kopetensi pemerintah Sumbar dalam
kebijakan tertulis sebagai peternak yaitu program peningkatan kopetensi
landasan hukum pelaksanaan penyuluhan sebagai wadah (kapasitas dan kapabilitas)
program pendidikan non formal peternak sapi potong)

Landasan hukum tertinggi untuk Penyuluhan sebagai faktor Perlu adanya kajian secara
membuat kebijakan penyuluhan Pemacu dan pemicu dalam teoritis dan empiris untuk
sub sektor peternakan sapi potong pencapai tujuan pembangunan mengatasi masalah kebijakan
yaitu UU no.16 Tahun 2006 pertanian sub sektor penyuluhan sub sektor
Tentang Sistem Penyuluhan peternakan sapi potong di peternakan sapi potong di
Pertanian, Perikanan dan Sumbar Sumbar
Kehutanan

versi elektronik
PERDA Tentang Penyuluhan Sub Sektor
Peternakan Sapi Potong

Landasan Dukungan APBD Program Penyuluhan Strategi implementasi


Hukum Penyuluhan

PERMASALAHAN YANG AKAN DIJAWAB DALAM PENELITIAN SEBAGAI WUJUD SUMBANGAN


TEORITIS DAN EMPIRIS

1. Kondisi kekinian dari penyuluhan di Sumbar


2. Kondisi kebijakan penyuluhan sub sektor peternakan sapi potong di Sumbar
3. Faktor pendukung dalam merumuskan kebijakan penyuluhan sub sektor peternakan sapi potong di Sumbar
4. Model proses perumussan kebijakan penyuluhan sub sektor peternakan sapi potong

versi elektronik
5. Rekomendasi aksi-aksi kebijakan penyuluhan sub sektor peternakan sapi potong
Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian

Figur 1. Kerangka berpikir

266
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober 2013 s/d Februari 2014, dimana kegitan ini merupakan
penelitian pendahuluan untuk menyusun proposal disertasi di Pascasarjana UNAND. Metode yang

versi elektronik
digunakan adalah studi kepustakaan, dimana data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan yaitu dokumentasi dan studi literatur. Sedangkan teknik analisa data
yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rujukan Kebijakan Publik Sebagai Landasan Teori
Kebijakan dan pembangunan merupakan dua konsep yang saling terkait. Pembangunan adalah konteks
dimana kebijakan beroperasi. Sementara itu, kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja
pembangunan, memberikan pedoman pada pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan kedalam
beragam program dan proyek (Suharto.E, 2010). Menurut Ealau, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku yang dicirkan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun
yang mentaatinya (Prewitt dalam Suharto.E, 2010). Menurut Carl Friedrich dalam Agustino (2008)
kebijakan adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan)

versi elektronik
dan kemungkinan-kemungkinan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya
untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Menurut Marzali.A (2012) kebijakan berkaitan dengan perencanaan, pengambilan dan perumusan
keputusan, pelaksanaan keputusan, dan evaluasi terhadap dampak dari pelaksanaan keputusan tersebut
terhadap orang banyak yang menjadi sasaran kebijakan. Kebijakan merupakan sebuah alat atau instrumen
untuk mengatur penduduk dari atas kebawah, dengan cara member rewards dan sanctions. Sedangkan
Ervin (2000) mendefenisikan kebijakan sebagai cetak biru bagi tindakan yang akan mengarahkan dan
memengaruhi perilaku orang banyak yang terkena dampak keputusan tersebut.
Kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan
atau suatu hal yang diperhatikan (Anderson.J, 1984). Menurut Brigman dan Davis (2005), kebijakan
publik adalah apasaja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Hogwood dan Gunn

versi elektronik
(1990) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk
mencapai hasil-hasil tertentu. Kebijakan publik “ keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan
pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi
keputusan tersebut” (Kenneth.P dalam Agustino, 2008).
Wahab (2008) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang secara sederhana dapat
dikelompokkan menjadi tiga:
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan UU No.10/2004
tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7, hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Thn
1945; (2) UUD/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Pereaturan Pemerintah; (4) Peraturan
Presiden; dan (5) Peraturan Daerah.
2. Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana, dimana kebijakan ini
dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati.
Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama antar Menteri, Gubernur dan

versi elektronik
Bupati/Walikota.
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau
implementai dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota.
Sedangkan Agustino.L (2008) menyatakan bahwa bentuk kebijakan publik berdasarkan maksudnya dan
guna yang melekat dalam dirinya ada 5 bentuk :

267
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

1. Kebijakan substansi atau kebijakan prosedural


Meliputi kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah, seperti: pendidikan, kesehatan, bantuan, dll.
Kebijakan subtantif: mengarah kepada upaya pengentasan suatu masalah yang dihadapi oleh warga

versi elektronik
masyarakat. Kebijakan procedural : meruapakan kebijakan yang berbicara siapa yang akan melakukan
kebijakan yang telah ditepakan.
2. Kebijakan Liberal dan Kebijakan Konservatif
Kebijakan liberal adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan-
perubahan social mendasar terutama diarahkan untuk memperbesar hak-hak persamaan. Lebih jauh,
kebijakan liberal menghendaki pemerintah melakukan koreksi atas kelemahan-kelemahan yang ada pada
aturan-aturan pemerintah sebelumnya. Kebijakan konservatif lebih menekankan pada aturan sosial yang
mereka anggap sudah baik dan mapan.
3. Kebijakan distributive, Kebijakan Restristributif, Kebijakan Regulator dan Kebijakan Self-
Regulatory.
Kebijakan distributive  terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor-sektor khusus,
baik untuk individu/kelompok/komunitas.Kebijakan redistributive  termasuk usaha hati-hati yang

versi elektronik
dilakukan pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan, pendapatan, pemilihan atau hak-
hak diantara kelompok penduduk contohnya dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Kebijakan
regulator  adalah kebijakan tentang penggunaan pembatasan atau larangan perbuatan atau tindakan bagi
orang atau kelompok orang. Kebijakan Self-Regulatory  semacam peraturan kebijakan yang berupaya
untuk membatasi atau mengawasi beberapa bahan atau kelompok.
4. Kebijakan material dan kebijakan simbolis
Kebijakan material adalah kebijakan yang berupaya untuk menyediakan sumber penghasilan yang nyata
atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang. Kebijakan simbolis secara jelas, membagikan
keuntungan atau kerugian yang memiliki dampak kecil kepada manusia.
5. Kebijakan kolektif (kebijakan untuk orang banyak, ex: pertanahan nasional) dan kebijakan privat
(kebijakan yang dapat dibagi menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan
dapat dipasarkan, ex: pelayanan pos, kesehatan.

versi elektronik
Sekilas Mengenai Kebijakan Pembangunan Peternakan Indonesia
Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra)
Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan pangan hewani dan
kesejahteraan peternak melalui kebijakan dan program pembangunan peternakan yang berdaya saing dan
berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal.
Secara khusus tujuan pembangunan peternakan adalah (1) Meningkatkan jaminan ketersediaan benih dan
bibit ternak yang berkualitas, (2) Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak ruminansia, (3)
Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak non ruminansia, (4) Meningkatkan dan mempertahankan
status kesehatan hewan, (5) Meningkatkan jaminan keamanan produk hewan dan (6) Meningkatkan
pelayanan prima kepada masyarakat. Sedangkan kegiatan prioritas Direktorat Jenderal Peternakan adalah
Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014, melalui kegiatan pokok: (1) Peningkatan kuantitas
dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, (2) Peningkatan produksi ternak

versi elektronik
ruminansia dan nonruminansia dengan pendayagunaan sumberdaya lokal, (4) Pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan menular strategis dan penyakit zoonosis, (5) Penjaminan pangan asal
hewan yang aman dan halal serta pemenuhan persyaratan produk hewan nonpangan dan (6) Peningkatan
koordinasi dan dukungan manajemen di bidang peternakan (Ditjennak, 2009).
PSDS Tahun 2014. Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 merupakan salah satu dari 21
program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal

268
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

ternak berbasis sumberdaya domestik. Saat ini kebutuhan daging sapi terus meningkat. Produksi daging
sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 mengalami fluktuasi. Dari tahun 2005 hingga
tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19,2%, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 menjadi

versi elektronik
18,8% dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata
peningkatan 9,1% per tahun. Kekurangan kebutuhan untuk konsumsi dipenuhi dari impor ternak bakalan
(feeder cattle) dan daging sapi. Selama kurun waktu tahun 2005 sampai dengan 2008 mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 10,6% per tahun dan pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5%
dibanding tahun 2008. Sementara itu, pertumbuhan populasi sapi potong dari tahun 2005 hingga 2009
mengalami kenaikan. Pada tahun 2005 populasi sapi sebanyak 10,5 juta ekor dan pada thaun 2006
menjadi 10,9 juta ekor, atau meningkat 2,8%. Kenaikan populasi meningkat tajam pada tahun 2007 dan
2008 yakni masing-masing 5,5% dan 6,9%. Kenaikan sapi ini kemudian melambat pada tahun 2009 yaitu
menjadi 2,4%. (Ditjennak 2010).
Isu strategis yang menjadi permasalahan sekaligus tantangan menuju swasembada daging sapi ini adalah
masih rendahnya produktivitas sapi lokal, yang ditunjukkan dengan (1) tingginya tingkat kematian sapi di
beberapa wilayah, yaitu untuk pedet antara 20 sampai 40% dan sapi induk 10 hingga 20 persen, (2) sapi
betina produktif yang dipotong mencapai 150-200 ribu ekor per tahun (3) banyak sapi-sapi muda yang
dipotong sebelum mencapai berat optimalnya, sehingga sapi hanya memproduksi daging sekitar 60-80%

versi elektronik
dari potensi maksimalnya, (4) produktivitas sapi yang masih sangat beragam, antara lain sapi persilangan
hasil inseminasi buatan (IB) yang dipelihara dengan cara seadanya dan (5) langkanya sapi jantan di
daerah sumber bibit dengan pola pemeliharaan ekstensif (digembalakan) karena semua sapi jantan dijual
atau dipotong.
PSDS 2014 ini diimplementasikan melalui lima kegiatan pokok, yaitu (a) Penyediaan sapi bakalan/daging
sapi lokal, (b) Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal, (c) Pencegahan pemotongan sapi
betina produktif, (d) Penyediaan sapi bibit, (e) Pengaturan stock daging sapi dalam negeri. Secara lebih
rinci, lima kegiatan pokok tersebut dijabarkan menjadi 13 kegiatan operasional yang meliputi: (1)
Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal, (2) Pengembangan pupuk organik dan
biogas, (3) Pengembangan integrasi ternak-tanaman, (4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas rumah
potong hewan, (5) Optimalisasi kegiatan IB dan intesivikasi kawin alam, (6) Penyediaan dan
pengembangan pakan dan air, (7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan
kesehatan hewan, (8) Penyelamatan sapi betina produktif, (9) Penguatan wilayah sumber bibit dan

versi elektronik
kelembagaan usaha perbibitan, (10) Pengembangan usaha perbibitan sapi potong melalui village breeding
center (VBC), (11) Penyediaan bibit sapi melalui subsidi bunga (program kredit usaha pembibitan
sapi/KUPS), (12) Pengaturan stock sapi bakalan dan daging, (13) Pengaturan distribusi dan pemasaran
sapi dan daging serta operasional kegiatan pusat/provinsi/kabupaten/kota.
Beberapa kegiatan operasional PSDS 2014 dalam mendukung kegiatan pokok sebagaimana tersebut di
atas, antara lain melalui (1) penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha perbibitan, (2)
pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui VBC dan (3) kegiatan optimalisasi IB. Khusus
kegiatan optimalisasi IB, ini dilakukan mengingat (1) potensi populasi ternak sapi induk yang ada, (2)
teknologi IB yang sudah dikuasai dan sudah banyak diadopsi oleh peternak, (3) jumlah SDM
(inseminator, pemeriksa kebuntingan dan asisten teknik reproduksi) yang tersedia dan (4) dukungan
infrastruktur (produksi semen, peralatan, kelembagaan IB dan peternak). Hal ini juga sejalan dengan visi
Direktorat Jenderal Peternakan 2009-2014, yaitu menjadi direktorat jenderal peternakan yang profesional
dalam mewujudkan peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan

versi elektronik
pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mewujudkan penyediaan dan keamanan pangan hewani serta
meningkatkan kesejahteraan peternak.

269
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Urgensi Pencapaiaan Swasembada Daging Sapi Yang Berkelanjutan


Sapi potong merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan protein
hewani penduduk Indonesia umumnya dan Sumbar khusunya. Adapun data populasi ternak sapi potong di

versi elektronik
Indonesia dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Populasi Sapi Potong Di Indonesia
No Indikator Wilayah Nama Wilayah Populasi ( ribu ekor)
1 Wilayah terbanyak Jawa Timur 4 727,3
2 Wilayah paling sedikit DKI Jakarta 1,7
3 Wilayah penelitian Sumatera Barat 327,0
4 Nasional Indonesia 14 824,4
Sumber: Statistik Indonesia 2012

Berdasarkan data di atas, Sumatera Barat memiliki sekitar 2,3 % dari total populasi ternak sapi potong di
Indonesia atau sekitar 327.000 ekor. Jumlah tersebut terbagi lagi menjadi beberapa kelompok, seperti

versi elektronik
yang terdapat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Populasi Sapi Potong Di Sumbar Berdasarkan Jenis Kelamin dan Rentang Umur Dengan
Rumpun Sapi Simental, Sapi Pesisir, Sapi bali, dll.
No Jenis Kelamin Rentang Umur
Anak Muda Dewasa Jumlah (ekor)
(ekor) (ekor) (ekor)
1 Jantan 32 997 41 785 25 864 100 646
2 Betina 31 686 45 640 149 041 226 367
Sumber: Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 Sumbar
Kondisi produksi daging sapi tahun 2012 di Indonesia sebanyak 465 824 ton/tahun, dimana Provinsi Jawa
Timur merupakan wilayah terbanyak memproduksi daging sapi yaitu sebanyak 109 487 ton/tahun,

versi elektronik
sedangkan wilayah yang paling sedikit memproduksi daging sapi adalah Provinsi Maluku Utara yaitu 265
ton/tahun. Produksi daging sapi di Sumatera Barat sebanyak 22 641 ton/tahun. Artinya Sumatera Barat
memiliki kemampuan produksi daging sapi sekitar 4,86 % /tahun dari total produksi di Indonesia
(Statistik Indonesia, 2012).
Sedangkan jika dilihat dari kebutuhan daging sapi di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 549.670 ton
dan perkirakan pada tahun 2014 kebutuhan daging sapi meningkat menjadi 593.040 ton
(www.investor.co.id). Konsumsi daging sapi di Indonesia per tahun mencapai 4 juta ekor dari impor dan
lokal. Sebanyak 4 juta ekor sapi itu setara dengan 600.000 ton daging sapi (http://finance.detik.com).
Rata-rata konsumsi kalori (kkal) dan protein (gram) per kapita sehari penduduk Indonesia yang
bersumber dari daging sapi pada tahun 2012 yaitu2,34 kalori dan protein 0,22 /kapita (BPS, 2012).
Konsumsi daging sapi di Sumatera Barat pada tahun 2011 yaitu sebanyak 11 553 ton atau sekitar 32 %
dari total sumber pemenuhan kebutuhan daging yang dihasilkan dari komoditi ternak lainnya (Sumbar
Dalam Angka, 2012).

versi elektronik
Dari kondisi konsumsi daging sapi baik yang ada di Indonesia, maka negeri ini masih belum mampu
memenuhi sendiri kebutuhan daging sapi secara mandiri. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan
tersebut pemerintah harus mendatangkan daging sapi dari luar. Padahal negeri ini memiliki potensi untuk
menciptakan kemandirian pangan, salah satunya pangan hewani. Oleh karena itu, swasembada daging

270
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

sapi semestinya dapat terwujud di negeri ini dengan catatan seluruh wilayah yang memiliki potensi untuk
dapat membantu pencapaian swasembada daging sapi harus di berdayakan seoptimal mungkin.
Secara data statistik, Sumbar sebenarnya telah mampu memenuhi kebutuhan daging sapi untuk

versi elektronik
masyarakatnya. Dimana total kebutuhan sapi untuk dapat memenuhi kebutuhan yaitu sebanyak ± 20.000
ekor/tahun. Secara kasat mata perbandingan populasi ternak sapi potong yang ada di Sumbar (327.000
ekor) dengan kebutuhan daging sapi, memang sudah aman. Akan tetapi, ada beberapa aturan yang
membuat tidak keseluruhan populasi tersebut yang bisa di potong, seperti betina produktif, sapi yang
berusia anak-anak dan muda. Artinya hanya peroh dari populasi tersebut yang dapat digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan daging sapi yaitu ± 163 500 ekor, dengan demikian kondisi tersebut hanya bisa
mengamankan kebutuhan daging sapi Sumbar ± 8 tahun kedepan.
Jika kondisi tersebut tidak dari sekarang difikirkan pengantisipasiannya, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa Sumbar suatu saat nanti tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan daging sapinya
secara mandiri. Selain itu, wilayah ini yang diharapkan mampu mendukung pencapaian swasembada
daging sapi Nasional juga tidak bisa diharapkan lagi. Konsep swasembada daging sapi yang berkelanjutan
harus difikirkan caranya untuk dapat diwujudkan, sehingga sampai kapanpun daerah ini mampu
mengahasilkan daging sapi secara mandiri atau bahkan mampu memenuhi kebutuhan daging sapi untuk

versi elektronik
provinsi tetangganya.
Kebijakan Pemerintah Sumbar Untuk Pencapaian Swasembada Daging Sapi
Pada kenyataannya pemerintah Sumatera Barat dari dahulu hingga saat sekarang ini telah banyak
mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan komoditi sapi potong. Kebijakan-kebijakan tersebut
dikeluarkan dalam berbagai bentuk dan kegunaannya. Untuk lebih memudahknya melihat apasaja
kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Kebijakan Pemerintah Sumbar Dalam Mendukung Pencapaian Swasembada daging Sapi.
No Kebijakan Tujuan Keterangan
1 KUR, KUPS, satu petani satu sapi Penguatan permodalan Nasional dan Sumbar
2 Inseminasi Buatan (IB), Embrio Teknologi Reproduksi Nasional dan Sumbar
Transfer (ET), Kawin Silang

versi elektronik
3 Sarjana Membangun Desa Pendampingan Nasional dan Sumbar
4 Penyelamatan sapi betina produktif, Penyelamatan populasi Nasional dan Sumbar
5 Pembuatan buku pemberdayaan Dokumen pemberdayaan Sumbar
kelompok tani ternak sapi
Sumber: hasil diskusi dengan Kadis Peternakan Sumbar, 2013

Dari data yang ditampilkan di atas, terlihat bahwasanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik
itu tingkat nasional, maupun daerah (Sumbar), belum ada yang berkaitan dengan kegiatan penyuluhan.
Pada hal kita sama-sama memahami, bahwa penyuluhan tersebut dibutuhkan sebagai pemacu dan pemicu
untuk pencapaian tujuan program, melalui kegiatan pemberdayaan dan pendidikan non formal. Dengan
kata lain penyuluhan akan membatu meyediakan SDM peternak yang handal dalam melakukan kegiatan
peternakan sapi potong yang berkualitas.
Pentingnya Kebijakan Penyuluhan Dalam Pencapaian Tujuan Program Swasembada Daging Sapi

versi elektronik
Berkelanjutan
Sepanjang sejarah, dan diseluruh dunia, telah ada pola tentang pertukaran pengetahuan pertanian, dengan
beberapa orang (misalnya pemimpin agama, pedagang, orang tua, dll). Istilah “penyuluhan” tersebut
berasal dari akademisi dan penggunaan yang biasa pertama tercatat di Inggris pada tahun 1840-an, dalam
konteks tentang “penyuluhan universitas. Kebanyakan Negara-negara yang berbahasa Inggris kini

271
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

menggunakan istilah Amerika “penyuluhan”. Belanda menggunakan kata voorlichting yang berarti
“penerangan jalan ke depan untuk membatu orang menemukan jalannya”. Indonesia juga menggunakan
istilah penyuluhan yaitu berbicara tentang penerangan jalan dengan obor. Sementara Malaysia, kata

versi elektronik
penyuluhan diartikan sebagai perkembangan. Ingris dan Jerman berbicara tentang penasehat atau
berating. Orang Australia berbicara tentang forderung yang berarti sesuatu seperti “menstimulir
seseorang untuk pergi kerah yang diinginkan. Di Korea menggunakan istilah “pedoman pedesaan dan
orang Prancis mengatakan vulgarization, yang menekankan tentang perlunya menyederhanakan pesan
untuk orang biasa. Sementara orang Spanyol menggunakan kata capacitacion , yang mengindikasikan
tentang maksud untuk memperbaiki keterampilan orang, walaupun biasanya digunakan untuk diartikan
sebagai “pelatihan” (Leeuwis.C, 2009).
Penyuluhan Pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah (orang dewasa) guna menumbuh
kembangkan kemampuan (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) petani, sehingga secara mandiri mereka
dapat mengelola unit usahataninnya yang lebih baik dan menguntungkan, sehingga dapat memperbaiki
pola hidup yang lebih layak dan sejahtera bagi keluarganya. Kegiatan penyuluhan pertanian sebagi proses
belajar bagi petani melalui pendekatan kelompok dan diarahkan untuk terwujudnya kemampuan
kerjasama yang efektif, sehingga mampu menerapkan inovasi, mengatasi berbagai resiko kegagalan usaha
menerapkan skala usaha yang ekonomis untuk memperoleh pendapatan yang layak dan sadar akan

versi elektronik
peranan serta tanggungjawabnya sebagai pelaku pembangunan, khususnya pembangunan pertanian, (Van
Den Ban dan Hawkins, 1999).
Berbicara tentang kedudukan penyuluhan, Timmer (1983) dengan tepat menyebutnya sebagai “perantara”
atau jembatan penghubung, yaitu penguhubung antara :
• Teori dan praktek, terutama bagi kelompok sasaran (penerima manfaat) yang belum memahami
“bahasa ilmu pengetahuan/tek-nologi”.
• Pengalaman dan kebutuhan, yaitu antar dua kelompok yang setara seperti sesama praktisi, sesama
tokoh masyarakat, dll.
• Penguasa dan masyarakat, terutama yang menyangkut pemecahan masalah dan atau kebijakan-
kebijakan pembangunan.
• Produsen dan pelanggan, terutama menyangkut produk-produk (sarana produksi, mesin/peralatan,
dll.

versi elektronik
• Sumber informasi dan penggunanya, terutama terhadap masyara-kat yang relatif masih tertutup
atau kurang memiliki aksesibilitas terhadap informasi.
• Antar sesama stakeholder agribisnis, dalam pengembangan jeja-ring dan kemitraan-kerja,
terutama dalam pertukaran informasi.
• Antara masyarakat (di dalam) dan “pihak luar”, kaitannya dengan kegiatan agribisnis dan atau
pengembangan masyarakat dalam arti yang lebih luas.
Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Lionberger (1983, 1991) meletakkan penyuluhan sebagai
“variabel antara” (interviening variable), dalam pembangunan (pertanian) yang bertujuan untuk
memperbaiki kesejahteraan petani dan masyarakatnya. Dalam posisi seperti itu, kegagalan pembangunan
pertanian untuk memperbaiki kesejahteraan petani bukan semata-mata disebabkan oleh lemah atau
rendahnya mutu/kinerja penyuluhan.

versi elektronik 272


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik
Figur 2. Kedudukan Penyuluhan Dalam Pembangunan Pertanian
Melihat gambar di atas, dapat kita simpulkan bahwa penyuluhan sebagai jembatan penghubung antara
pembuat program pembangunan dengan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan program
pembangunan tersebut. oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri lagi bahwasannya penyuluhan tersebut juga
dibutuhkan dalam pencapaian swasembada daing sapi. Untuk itu diperlukannya satu kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya pemerintah Sumbar terkait dengan penyuluhan pada sub sektor
peternakan sapi potong.
Merujuk pada defenisi kebijakan publik yaitu apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan. Serta kebijakan publik adalah sebuah intrumen pemerintah yang intinya merupakan
keputusan atau pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber
daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik (Suharto, 2010). Maka kebijakan penyuluhan

versi elektronik
pertanian merupakan salah satu bentuk kebijakan publik yang berfungsi untuk mengatur kegiatan
penyuluhan pertanian tersebut agar tujuan yang ditetapkan dalam penyuluhan pertanian tersebut dapat
tercapai dengan baik.
Pernyataan di atas mengenai kebijakan penyuluhan sebagai kebijakan publik tidaklah terlalu berlebihan
hal ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:
• Pelaku/aktor pengambil kebijakan penyuluhan pertanian adalah pemerintah.
• Kebijakan penyuluhan pertanian menyelesaikan permasalahan peningkatan SDM petani dalam
pembangunan pertanian.
• Bentuk kebijakan penyuluhan berupa UU, Perpu, Perda, Program, Juklak/Juknis, yang
keseluruhannya membutuhkan legalitas hukum untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan
tersebut.
• Tahapan dalam formulasi kebijakan penyuluhan pertanian tidak berbeda dengan kebijakan-
kebijakan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah.

versi elektronik
• Melalui kebijakan penyuluhan tersebut, diharapkan keluarnya berbagai macam bentuk program
atau kegiatan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan kopetensi para peternak sapi
potong yang terdapat di Sumatera Barat.
Dilihat dari unit usaha pemelihara ternak sapi potong yang terdapat di Sumatera Barat, kebanyakan adalah
rumah tangga pemelihara yaitu sebanyak 143 381 unit usaha, sedangkan perusahaan yang berbadan

273
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

hokum hanya 6 perusahaan (PSPK Sumbar, 2011). Dari kondisi tersebut, dapatlah kita lihat bahwasannya
untuk meningkatkan populasi dan produksi daging sapi, pemerintah menyandarkan pada unit usaha rumah
tangga sebagai pelaku utama dalam pencapaiaan swasembada daging sapi yang berkelanjutan.

versi elektronik
Bila dilihat dari aspek cara pemeliharaannya, rumah tangga pemelihara ternak sapi yang menggunakan
cara dikandangkan sebanyak 130 586 rumah tangga, dikandangkan dan lepaskan 184 090 rumah tangga,
dilepaskan sama sekali 9 257 rumah tangga. Sedangkan jika dilihat dari tujuan pemeliharaannya,
sebanyak 262 239 rumah tangga melakukan pengembangbiakan, untuk penggemukan sebanyak 56 397
rumah tangga dan pembibitan sebanyak 4 423 rumah tangga serta untuk perdagangan sebanyak 874
rumah tangga ( PSPKP Sumbar, 2011). Dari cara pemeliharaan dan tujuan pemeliharaan yang dilakukan
oleh rumah tangga usaha peternakan sapi, membutuhkan suatu kegiatan yang nantinya dapat membantu
pelaku usaha untuk meningkatkan kopetensinya dalam menjalankan usahanya tersebut.
Pelaku usaha ternak sapi potong pada unit usaha rumah tangga, memiliki keterbatasan baik dalam
manajemen, ilmu pengetahuan, teknologi dan akses informasi. Ditambah lagi sampai saat sekarang ini
belum ada satupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Sumbar terkait dengan penyuluhan sub
sector peternakan sapi potong. Oleh karena itu dibutuhkan penyuluhan sebagai jembatan penghubung,
peningkatan kopetensi dan akses informasi. Sehingga, unit usaha rumah tangga tersebut benar-benar dapat

versi elektronik
dijadikan sebagai basis atau pondasi dalam pencapaian swasembada daging sapi di Sumbar yang
berkelanjutan.
Pada akhirnya, kebijakan penyuluhan sub sektor peternakan tersebut diharapkan mampu melakukan:
1. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada pelaku utama pembangunan peternakan, yaitu
rumah tangga usaha peternakan sapi potong.
2. Menjadi jembatan penghubung antara pengambil kebijakan dengan rumah tangga usaha
peternakan sapi potong.
3. Penyebar informasi yang terkait dengan kegiatan peternakan sapi potong
4. Membuka akses pasar yang berpihak pada peternakan sapi potong
5. Membangun jaringan atau organisasi peternakan sapi potong usaha rumah tangga yang mampu
mengatasi nacaman pasar dari luar.
6. Pemberdayaan peternak sapi potong yang masih dalam skala kecil

versi elektronik
KESIMPULAN
Pada saat kebijakan diposisikan sebagai pilihan terbaik sebagai senjata untuk mencapai tujuan
pembangunan, maka kebijakan penyuluhan pertanian sub sektor peternakan adalah pilihan terbaik yang
harus diciptakan untuk pemacu pencapaian tujuan pembangunan peternakan sapi potong di Sumatera
Barat yaitu swasembada daging sapi yang berkelanjutan. Karena, melalui penyuluhaan akan terselenggara
kegiatan pendidikan non formal yang diberikan pada pelaku utama pembangunan peternakan. Selain itu,
kebijakan penyuluhan sub sektor peternakan dapat juga digunakan sebagai dasar hukum atau pedoman
bagi praktisi, dalam merumuskan kegiatan atau program penyuluhan yang dibutuhkan untuk mencapai
swasembada daging sapi yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Agustino.L. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Anderson, James E.2000. Public Policy Making. Boston. Houghton Mifflin.

versi elektronik
Alisjahbana. S.A. 2013. Ketahanan Pangan Dalam Program Pembangunan Nasional. Tempo Edisi
4235/28 Oktober-3November 2013 Halaman 127.
Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2012. Sumbar Dalam Angka 2012. Padang.

274
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Brigman.P & Glyn Davis.2004. The Australian Policy Handbook. Crows Nest: Allen and Unwin.
Deptan. 2011. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, Dan Kerbau 2011 (PSPK2011) Provinsi Sumatera
Barat.

versi elektronik
Deptan. 2007. Undang Undang No.16 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
www.deptan.go.id/feati/dokumen/uu_sp3k
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blue print program swasembada daging sapi 2014.
Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Ervin. A.M. 2000. Applied Anthropology:Tools and Perspectives for Contenporary Practice. Boston.
Allyn and Bacon.
Hogwood dan Gunn. 1990. Policy Analysis for the Real World. Oxford University Press Dubois. Boston.
http://finance.detik.com/read. Konsumsi Daging Indonesia Setiap Tahun Capai 4 juta ekor sapi.
Di unduh tanggal 4 April 2014.
http://www.investor.co.id. Agribusiness/Kebutuhan Daging Sapi-2014. Di unduh tanggal 4 April 2014.

versi elektronik
Leeuwis.C. 2009. Komunikasi Untuk Inovasi Pedesaan. “Berfikir Kembali Tentang Penyuluhan
Pertanian”. Kanisius. Yogryakarta.
Mardikato, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Kerjasama Lembag Pengembangan Pendidikan (LPP)
dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). Surakarta.
Marzali.A. 2012. Antropologi dan Kebijakan Publik. Kencana Prenanda Media Group. Jakarta.
Mosher, A.T. 1996. Getting Agriculture Moving. New York : A Praeger, Inc. Publisher.
Suharto.E, 2010. Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial.
Alfabeta. Bandung.
Tambuban, T. 2010. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia.
Jakarta.
Van Den Ban. A.W. dan H.S Hawkins., 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

versi elektronik
Wahab, A, S. 2008. Pengatar Analisis Kebijakan Publik. UMM Press. Malang.

versi elektronik 275


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

ANALISIS USAHA TERNAK DOMBA HASIL PEMULIAAN DITINGKAT LAPANG (STUDY


KASUS PETERNAKAN DOMBA DI DESA PANDANSARI, KECAMATAN PAGUYANGAN,
KABUPATEN BREBES)

versi elektronik
Broto Wibowo dan Sumanto
Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor

ABSTRAK
Penelitian pengembangan domba unggul (hasil pemuliaan dari Balitnak) dilaksanakan di desa Pandansari,
kecamatan Paguyangan di Kabupaten Brebes sejak tahun 2010 yang diawali dengan droping ( introduksi
ternak domba unggul) pada umur dewasa sebanyak 50 ekor ( jantan dan betina), peternak penerima
sebanyak 17 orang. Introduksi dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap pertama disebut Group A ( bulan
April 2010 dengan jumlah peternak 11 orang, dengan domba 32 ekor), tahap kedua disebut Group B
(bulan September 2011, jumlah peternak 6 orang dengan jumlah domba 18 ekor). Sampai dengan akhir
tahun 2012 maka lama waktu pemeliharaan ( Group A sebanyak 32 bulan sedangkan Group B sebanyak
15 bulan). Dalam kurun waktu tersebut dilakukan pembinaan dan pengawalan dalam bentuk peningkatan
pengetahuan tentang pemeliharaan domba melalui komunikasi langsung kepada peternak. Dilakukan
monitoring untuk mengetahui perkembangan ternak ( reproduksi, pertumbuhan, kematian, ) maupun (

versi elektronik
pendapatan dari penjualan, biaya yang dikeluarkan yang bersifat tunai maupun non tunai). Data yang
diperoleh digunakan untuk menghitung besarnya keuntungan dan manfaatnya. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa Group A memperoleh keuntungan sebanyak Rp 63.857.000, sedangkan Group B
sebanyak Rp 25.812.500 . Perlu diketahui bahwa dalam pemeliharaan domba maka petani tidak
mengeluarkan biaya pakan secara tunai, karena pakan hijauan melimpah dan mudah didapatkannya.
Kata Kunci: Domba Unggul, Kelompok Peternak, Populasi dan Nilai ekonomi.

ABSTRACT
A Study on the development of the composit sheep (superior product of Balitnak) implemented in
Pandansari village, subdistrict Paguyangan in the Brebes district since 2010 beginning with dropping of
the sheep (introduction of sheep superior) are 50 adult individuals (male and female) for 17 farmer
recipients. The introductions take of in 2 stages, the first stage is called Group A (in April 2010 consisting
of 11 farmers , with 32 head of sheep), the second stage is called Group B (In September 2011, covering

versi elektronik
6 people with 18 head of sheep). The end of 2012 the farming period of Group A was 32 months Group B
was 15 months. During this period coaching and escorting were conducted to increase the knowledge of
the farmers on the composit sheep through direct communication to the farmer. Monitoring conducted to
determine the development of sheep (reproduction, growth, death,) and (revenue from sales, total both in
cash and non-cash). The data obtained were used to calculate the amount of profits and benefits. The
calculations show that Group A gain of IDR 63,8570 million, while Group B IDR 25,8125 million. Keep
in mind that the farmers not to pay in cash for feed, because forage is abundant in available and easily
acquired.
Keyword: Composit sheep, farmer group, Population and economic value.

PENDAHULUAN
Peternakan merupakan kegiatan biologis yang dilakukan oleh manusia terhadap ternak dan lingkungan.
Manusia berfungsi sebagai pengelola ( mengatur) seluruh faktor yang mempengaruhi kehidupan ternak

versi elektronik
sehingga mampu berproduksi secara maximal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia melalui kegiatan
pasar. Komoditas ternak yang diusahakan masyarakat terdiri dari berbagai jenis dengan tujuan
pemeliharaannya untuk produksi daging, susu, telur dan kulit bulu ( fur), dan ternak kesayangan.
Iskandar S. .2010. Bagi manusia ternak mempunyai peran dan fungsi yang sangat banyak, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Djayanegara .A. dkk. (1993) bahwa secara nasional dan bagi petani, hampir
terdapat 12 poin manfaat ternak dimana salah satunya adalah sarana sumber pendapatan. Kenyataan

276
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

lapang menunjukkan bahwa produktivitas usahaternak domba yang sebagian besar dikelola oleh peternak
kecil masih sangat beragam dan umumnya relatif rendah. Rendahnya produktivitas antara lain
dipengaruhi oleh keragaman genetik, diantara permasalahan keragaman genetik karena peternak kurang

versi elektronik
memperhatikan aspek perbibitan yang didalamnya menyangkut aspek pemuliaan dan reproduksi.
Penggunaan bibit ternak yang mempunyai keunggulan genetik, akan memberikan manfaat peningkatan
produktivitas yang bersifat permanen.
Balai Penelitian Ternak telah melakukan penelitian untuk memperoleh rumpun baru domba yang
merupakan gabungan keunggulan dari berbagai rumpun domba di dunia. Rumpun domba baru yang
dibentuk antara lain domba Komposit Sumatera, Komposit Garut, Barbados Cross, dan St. Croix
Indonesia. Rumpun-rumpun domba tersebut dapat beranak sepanjang tahun dengan litter size sekitar 1,5;
mempunyai kerangka tubuh yang besar yang memberi peluang kepada pertumbuhan fetus secara optimal,
daya tahan terhadap cuaca panas dan lembab, relatif adaptif terhadap pakan lokal, serta komposisi
perdagingan yang baik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada kondisi lapang, produksi domba
komposit 20 – 50% lebih tinggi dibanding domba lokal yang dipelihara petani (Setiadi ,dkk., 2011).
Ternak domba merupakan salah satu komoditas yang perlu diperhitungkan sebagai sumber daging di
kabupaten Brebes, sebagai gambaran bahwa pada tahun 2011 populasi domba di Kabupaten Brebes

versi elektronik
mencapai 164.177 ekor ( Brebes Dalam Angka 2012). Balitnak pada tahun 2010 dan 2011 telah
mengintroduksikan domba unggul tersebut (50 ekor) di desa Pandansari dengan tujuan untuk perbaikan
produktivitas domba lokal dan peningkatan pendapatan. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap
kinerja ekonominya.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan sejak April 2010 hingga Desember 2012 pada kelompok peternak Domba Mugi
Lestari di Desa Pandansari , Kecamatan Paguyangan , Kabupaten Brebes. Ternak Domba unggul ( hasil
seleksi Balitnak) diintroduksi dalam 2 tahap , yaitu tahap I (group A) pada bulan April 2010 sebanyak 32
ekor (9 jantan dan 23 betina ) kepada 11 peternak , tahap II (group B) pada bulan September 2011
sebanyak 18 ekor (6 jantan dan 12 betina ) kepada 6 peternak. Bimbingan teknis diberikan melalui
pertemuan yang terencana. Monitoring dan recording dilakukan secara reguler guna memperoleh data
teknis ( reproduksi, produksi dan mortalitas) maupun finansial (penerimaan dan biaya ). Keuntungan
adalah selisih antara penerimaan dan biaya dalam kurun waktu tertentu. Data dan informasi yang

versi elektronik
diperoleh selanjutnya dianalisis secara diskriftif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes;Desa Pandansari bercirikan
, daerah subur ,bergelombang dengan elevasi 1300 – 1500 m dpl, curah hujan tinggi , sesuai untuk
pertanian hortikultura. Luas Wilayah sekitar 2.058 ha seluruhnya berupa lahan kering, sebanyak 770
hektar lahan digunakan untuk usahatani sayuran meliputi kentang, kubis, wortel dan bawang daun..Desa
ini bagian dari 12 desa di Kecamatan Paguyangan, dan dari 290 desa di Kabupaten Brebes (Brebes
Dalam Angka, 2012). Kepadatan penduduk mencapai 367 orang/km2. Tingkat pendidikan yang dominan
pada jenjang SD mencapai 80% (BPS Kabupaten Brebes,2012).
Identitas Peternak Domba ;Peternak penerima domba unggul telah membentuk kelompok “ Mugi
Lestari”. Rata-rata umur peternak 45 tahun, pendidikan setara SD, pengalaman memelihara 20 tahun.
Rata-rata jumlah ternak yang dipelihara sebanyak 6 ekor/peternak. Pembentukan kelompok ini

versi elektronik
dimaksudkan agar terwujud kebersamaan,effisiensi dan effektif dalam mencapai tujuan. Sinung
Rustiyarno (2010) mengatakan bahwa Program pengembangan kelompok peternakan berpeluang dalam
pengembangan kekuatan organisasi kelompok melalui kegiatan agribisnis dan jalinan kemitraan yang
saling menguntungkan dengan pihak terkait. Usaha berkelompok tersebut mempunyai pola spesifik sesuai
dinamika masyarakat.

277
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Budidaya Ternak Domba ; Peternak domba di desa Pandansari secara turun temurun telah mengenal dan
memelihara domba secara intensif. Mubyarto (1979) mengatakan bahwa intensifikasi dimaksudkan untuk
peningkatan produksi. Pola ini mempunyai konsekwensi antara lain; a)Penyediaan pakan : Hijauan yang

versi elektronik
diberikan dari jenis rerumputan yang berasal dari berbagai lahan yang terjangkau dengan cara mengarit
yang dilakukan pada waktu luang yaitu mulai jam 10 sampai jam 12.b)Penyediaan kandang : Peternak
telah menyediakan kandang panggung. Nilai kandang diperkiran Rp 3 juta, daya tahan 8 tahun dan
mampu diisi 12 ekor. c) Perawatan Kandang dan kesehatan : setiap hari pembersihan kotoran yang
berada dilantai kandang,sedangkan pembongkaran kotoran yang berada dibawah kandang dilakukan
setiap 15 hari sekali.
Analisa Finansial Usaha Domba : Analisa kedua tahap (Group A dan B) introduksi domba unggul
Balitnak ditampilkan pada Tabel 1. Dari kedua tahap introduksi tersebut terlihat bahwa usaha pembibitan
domba Balitnak di kelompok peternak desa Pandansari telah memberikan keuntungan yang berarti,
dimana tahap Group A telah memperoleh Rp 63.857.000,-/32 bln dan tahap Group B memperoleh Rp
25.812.500,-/15 bln.
Tabel 1.Analisa penerimaan dan biaya usaha pemeliharaan domba ( Rp )
Group

versi elektronik
Uraian
A B
Waktu  pemeliharaan 32 bln 15 bln
I.Biaya 64.043.000 31.987.500
Bibit Domba 49.600.000 28.200.000
Penyusutan
     - Bangunan kdg 10.725.000 2.812.500
     - Peralatan kdg
     -Cangkul 1.430.000 375
      -Sabit 1.430.000 375
      -pemikul rumput 858 225
Pakan 0 0
II.Penerimaan 127.900.000 57.800.000
Penjualan Domba 47.300.000 10.900.000
Aset ternak 80.600.000 46.900.000
III.Keuntungan

versi elektronik
(Penerimaan – Biaya) 63.857.000 25.812.500

KESIMPULAN
Peternak domba sudah membentuk kelompok dengan nama “Mugi Lestari”, pola pemeliharaan secara
intensif terkurung. Lokasi pemeliharaan sangat mendukung dengan adanya produksi hijauan yang
memadai yang berasal dari lahan perkebunan, lahan pekarangan dan lahan tanaman hortikultura.Group
peternak berdasarkan waktu penerimaan ternyata masing –masing group (A dan B) mempunyai
keuntungan dalam pemeliharaan domba.

DAFTAR PUSTAKA
Djajanegara.A, Suparyanto.A Dan Hanafiah .1993. Pola Usaha Pembesaran Domba. Pros. Pengolahan
dan Komonikasi Hasi-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi.
Bogor. Hal 55-61. Dalam Prospek dan Kendala Penerapan Teknologi Usaha ternak itik ( A.P
Sinurat dan A.R. Setioko). Proseding ; Pengolahan dan Komonikasi Hasil-hasil Penelitian

versi elektronik
Peternakan di Pedesaan. Januari 1993. Ciamis, Jabar. Balitnak , Puslit. 1993
Iskandar,S.2010. Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak TA 2006-2008. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung
Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
Peternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian . Kementrian Pertanian

278
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Kabupaten Brebes Dalam Angka. 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. BAPEDA Brebes.
Kecamatan Paguyangan Dalam Angka .2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. BAPEDA Brebes.
Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES.PT Intermasa . Jakarta

versi elektronik
Setiadi,B.,E.Juarini,Subandriyo, E.Romjali, D.Loebis Dan Syaeri, 2011. Penguatan Village Breeding
Centre Domba melalui Introduksi Domba Hasil Pemuliaan. Laporan Penelitian . Balai Penelitian
Ternak Ciawi, Bogor
Sinung Rustiyarno, 2010, Kelembagaan Agribisnis Pembibitan Sapi Potong Sistem Komunal di Wilayah
Pesisir Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner . Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Industrialisasi
Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Peternak. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementrian Pertanian.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 279


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

”SUCCESS STORY” USAHA SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN ENREKANG,


PROVINSI SULAWESI SELATAN
Dwi Priyanto dan Taty Herawati

versi elektronik
Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor

ABSTRAK
Profil usahaternak sapi perah peternakan rakyat sangat bervariasi yang ditentukan oleh kondisi agro-
ekosistem maupun maupun manajemen. Untuk meningkatkan pendapatan peternak dalam mendukung
swasembada susu nasional perlu dilakukan identifiksi profil usaha spesifik. Penelitian prospek
pengembangan usaha sapi perah di luar Jawa (Dataran sedang) dilakukan di Kabupaten Enrekang
(Sulawesi Selatan) yang merupakan salah satu areal pengembangan ternak sapi perah (di luar Pulau
Jawa). Penelitian dilakukan melalui survei terstruktur terhadap 31 peternak sapi perah yang meliputi
peubah teknis (skala usaha, produksi dan produktivitas) dan ekonomi (analisis ekonomi). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa skala usaha relatif tinggi rataan 8,85 ekor/peternak, dan proporsi induk dipelihara
sebesar 52,41 persen, dengan proporsi induk laktasi sebesar 41,34 persen. Hasil perhitungan dari 106 ekor
sapi yang dilakukan rekording dari hasil produksi ”dangke” (produk susu masyarakat Enrekang), dengan
rataan harga per buah mencapai Rp.12.586/buah, maka dapat diperhitungkan produksi susu hanya

versi elektronik
mencapai 7,03 liter/ekor/hari, tetapi harga susu sangat tinggi (Rp.10.072/liter) yang jauh lebih tinggi
dibanding di Pulau jawa (Rp.3.500/lt). Usaha ternak sapi perah tersebut sudah ditangani peternak sampai
pada industri pasca panen (dari hulu s/d hilir). Hasil keuntungan bersih mencapai Rp. 54.929.899, setara
dengan RP. 4.577.491/peternak/bulan (Cost and Return Analisis/tenaga kerja diperhitungkan). Industri
tersebut masih dinyatakan belum mampu memenuhi permintaan produk dangke di lokasi. Produksi susu
masih rendah karena pakan yang diberikan hanya berupa dedak padi dan belum memberikan konsentrat
hasil olahan, tetapi penanganan pasca panen memberikan prospek keuntungan spesifik lokasi.
Kata Kunci : Success story, Profil Usaha, Sapi Perah Rakyat, Enrekang.

ABSTRACT
Dairy cattle farm profile is varied and determined by condition of agro-ecosystems and management. To
increase the farmer’s income in supporting milk national self-sufficiency is necessary to identify business
profiles. Research to know the prospects of dairy business had been conducted in Enrekang (South

versi elektronik
Sulawesi), which is one of dairy cattle development area in outside Java. The study was conducted
through a structured survey of the 31 dairy farmers covering technical components (scale enterprises,
production and productivity) and also economic variables. The results showed that relatively high
business own 8.85 head/farmer, and the proportion of cow 52.41 per cent and 41.34% in lactation period.
The recording results from 106 cattle, showed that the average price of "dangke " (milk product in
Enrekang) is Rp.12.586/pc. So, based on this price, however milk production reached only 7.03
liters/head/day, but the price of milk is very high Rp.10.072/liter. It is much higher than in Java
(Rp.3.500/lt). Dairy cattle business has been handled by farmer from upstream to downstream that up to
post-harvest one. Therefore, it can be calculated that the net profit can reached Rp.54,929,899, equivalent
to Rp 4,577,491/farmer/month (Cost and Return Analysis/ with labor accounted). The industry still has
not been able to meet the demand of ‘dangke’ products on location. Milk production is still low because
of the feed given only in the form of rice bran without concentrat, but the prospect of post-harvest
handling has an advantages.

versi elektronik
Keywords: Success story, Business Profiles, Dairy Cattle Farmer, Enrekang.

PENDAHULUAN
Usahaternak sapi perah di Indonesia masih tertumpu pada usaha peternakan rakyat, yang sistem
managemen pemeliharaan masih mengandalkan pada potensi sumber daya yang ada sehingga tingkat
pendapatan secara umum masih belum optimal. Ditinjau dari produksi susu nasional selama ini masih

280
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

belum mampu memenuhi kebutuhan, yang hal tersebut masih dilakukan impor susu bubuk yang mencapai
70 persen dari kebutuhan (ANONYMOUS, 2008). Kasus tersebut terjadi karena ketidak seimbangan
antara kemampuan produksi susu nasional dibandingkan dengan permintaan konsumen. Produksi susu

versi elektronik
nasional selama periode tahun 200 – 2005 hanya mencapai rataan 485.717 ton/tahun, sedangkan
permintaan konsumen susu pada periode tersebut sudah mencapai rataan 1.921.383 ton/tahun (DITJEN
PETERNAKAN, 2006).
Kondisi demikian perlu dilakukan upaya dalam peningkatan produksi susu nasional, untuk mengantisipasi
kesenjangan antara produksi susu nasional dengan permintaan konsumen pada tahun kedepan. Hal
tersebut merupakan peluang yang terbuka luas bagi pengembangan peternakan sapi perah yang mengarah
pada usaha agribisnis sapi perah. Usaha dengan konsep agribisnis berprinsip dasar merobah keunggulan
komparatif (comparative advantage) menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage), dimana harus
ditangani dari sektor hulu sampai hilir, dan yang diutamakan adalah melalui pemberdayaan ekonomi
rakyat (SARAGIH, 2001). Fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana
produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agro-industri), dan pemasaran. Fungsi-fungsi
tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem, dimana fungsi-fungsi diatas menjadi subsistem dari
sistem agribisnis (SA’ ID, E.G. dan A.H. INTAN, 2001). Lebih lanjut ditegaskan banwa saat ini usaha
peternakan sudah harus memasuki dalam industri pertanian yang berbasis peternakan. Pembangunan

versi elektronik
tersebut harus tetap diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani peternak, mendorong diversifikasi
pangan, perbaikan mutu gizi masyarakat, dan mengembangkan ekspor (PAMBUDI, et. all., 2001). Untuk
mengetahui prospek pengembangan sapi perah di luar P. Jawa perlu dilakukan kajian analisis profil usaha
di peternakan rakyat yang telah direkomendasikan di lokasi pengembangan, dalam mendukung
swasembada susu nasional.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Pinang, Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang, yang merupakan
wilayah dataran sedang (300-700 m dpl). Penelitian dilakukan melalui 2 kegiatan yakni Participatory
Rural Appraisal (PRA), dan survei terstruktur terhadap 30 peternak sapi perah. Untuk mengetahui tingkat
produksi susu dan harga susu yang berlaku di lokasi diperhitungkan dari produksi dan harga “Dangke”
yang dihasilkan peternak.
Analisis yang dilakukan adalah analisis agro-ekosistem (CONWAY, 1985 ; GIBBS, 1985). Didalam

versi elektronik
analisis usahaternak tersebut dilakukan berdasarkan 2 katagori analisis yakni Net Cash Benefit (NCB)
yakni diperhitungkan berdasarkan pengaluaran dan penerimaan yang sifanya tunai (Cash), dan Cost and
Return Analysis (CRA) yakni memasukkan semua komponen yang diperhitungkan dalam usahatani
termasuk curahan tenaga kerja (alokasi tenaga kerja). Perhitungan alokasi tenaga kerja diperhitungkan
berdasarkan curahan harian (jam) yang dikonversikan dalam tahunan, dan dikalikan dengan upah buruh
tani di lokasi pengamatan (Rp.15.000,-/hari/5 jam kerja) yang dirumuskan sebagai berikut :
CH x 365
Nilai Tenaga Kerja/th = ---------------- x UBT
5
Dimana : CH = Curahan tenaga kerja selama sehari dalam usahaternak (jam)
365 = Konversi tahunan (365 hari kerja)

versi elektronik
5 = Curahan alokasi tenaga kerja 5 jam/Hari orang kerja (HOK)
UBT = Upah Buruh Tani (Rp.15.000,-/HOK, sesuai upah di lokasi).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perkembangan dan Distribusi Populasi Sapi Perah di Indonesia.

281
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Perkembangan populasi ternak ruminansia yang cenderung memiliki kepentingan dalam membutuhkan
pakan hijauan sebagai pakan sumber serat kasar. Populasi sapi perah menduduki populasi paling rendah

versi elektronik
dibandingkan populasi ternak ruminansia secara umum. Populasi sapi perah di Indonesia hanya mencapai
622.000 ekor, (DITJENNAK dan KESWAN, 2012). Dilihat dari trend peningkatan populasi selama 5
tahun terakhir (2008-2012), terlihat bahwa trend peningkatan populasi tertinggi terjadi pada ternak sapi
perah yang mencapai 8,95 persen/tahun. Ternak kerbau justru mengalami trend penurunan populasi cukup
tajam (-10,00 persen/tahun) (Gambar 1).
Tabel 1. Perkembangan populasi ternak ruminansia di Indonesia.
2012 Trend/th
Jenis Ternak 2008 3009 2010 2011
S. POTONG 12.257 11.760 13.582 14.824 16.034 7,70
S. PERAH 458 475 488 597 622 8,95
KERBAU 1.931 1.933 2.000 1.305 1.378 -10,00
KAMBING 15.147 15.815 16.620 16.946 17.862 4.48
DOMBA 9.605 10.199 10.725 11.791 12.768 8.23

versi elektronik
Distribusi penyebaran populasi sapi perah di Indonesia, masih terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa yakni
mencapai total populasi sebesar 616.554 ekor (97,92 persen), dan di luar Pulau Jawa hanya sebesar 5,406
(2,08 persen) (Gambar 2). Hal demikian patut menjadikan pertimbangan dalam rekomendasi kebijakan
pengembangan usahaternak sapi perah di luar Pulau Jawa mendukung kebutuhan susu nasional tanpa
ketergantungan akan impor. Pengembangan usaha sapi perah di luar Pulau Jawa dipandang tepat
karena faktor sumberdaya lahan yang sangat mendukung. Kondisi tersebut tidak mudah dicapai tanpa
adanya analisis potensi wilayah pengembangan yang meliputi analisis agro-ekosistem wilayah, yang
mengarah pada rekomendasi kebijakan baik dari aspek hulu (produksi) sampai dengan aspek hilir (pasar)
dan bahkan pada konsumen akhir.

20000

versi elektronik
18000
16000
SAPI POTONG 5406
14000
SAPI PERAH
12000
EKOR

KERBAU
10000
KAMBING
8000
DOMBA
6000
4000 616554

2000
0 P.JAWA LUAR P. JAWA

2008 2009 2010 1011 1012


TAHUN

Gambar1.Trend peningkatan populasi Gambar 2. Distribuasi populasi sapi perah


ternak ruminansia di Indonesia. di Indonesia.

versi elektronik
Pengembangan peternakan sapi perah di luar Pulau Jawa direkomendasikan di beberapa wilayah
(SETIAWATI, 2008), yakni di 9 provinsi yang terdistribusi di 13 wilayah Kabupaten (Tabel 2) walaupn
tingkat populasi masih rendah. Hal demikian perlu dibahas tentang perkembangan dan keberlanjutan
program tersebut dengan mempelajari permasalahan dan analisis ekonomi dan kelembagaan yang telah
terbentuk sebelumnya. Diharapkan studi tersebut mampu memperbaiki kinerja pengembangan peternakan

282
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

sapi perah khususnya di Luar Pulau Jawa yang telah dikembangkan oleh pihak pemerintah pusat maupun
daerah.
Tabel 2. Wilayah pengembangan sapi perah di luar Pulau Jawa.

versi elektronik
Provinsi Kabupaten
1. Sumetra Utara Karo
2. Sumatera Barat Padang Panjang
Tanah datar
3. Riau Kampar
4. Bengkulu Rejang Lebong
Kepahyang
5. Lampung Metro
Tanggamus
6. Kalimantan Selatan Banjaebaru
7. Sulawesi Selatan Enrekang
Sinjai
8. Bali Karang Asem

versi elektronik
9. Gorontalo Bone Bolango

Prospek Pengembangan Sapi Perah di Kabupaten Enrekang.


Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan adalah merupakan agro-ekosistem dataran sedang.
Kabupaten Enrekang adalah merupakan wilayah tertinggi tingkat populasi sapi perah di Provinsi Sulawesi
Selatan (Tabel 3). Di Provinsi Sulawesi Selatan populasi sapi perah mampu berkembang bagus adalah di
2 Kabupaten yakni Kabupaten Enrekang dan Sinjai, sedangkan di 2 kabupaten lainnya tidak mampu
berkembang, dimana di Makassar malah populasi cenderung menghilang, dan di kabupaten Lutrapun
demikian. Secara umum di Provinsi Sulawesi Selatan populasi sapi perah cenderung meningkat (pada
periode 2003 – 2008), dengan trend populasi tertinggi pada periode tahun 2005 – 2006 yang mencapai
84,5 persen dan 2006 – 2007 32,7 persen. Hal tersebut karena adanya program pengembangan oleh
pemerintah daerah dan pusat dalam program pengembangan sapi perah di luar Pulau Jawa.

versi elektronik
Tabel 3. Populasi sapi perah di Provinsi Sulawesi Selatan dan perkembangannya.
Kabupaten/kota Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008
ekor
Sinjai 73 117 139 328 501 397
Enrekang 500587 620 1.056 1.342 1.518
Makassar 29 29 15 14 - -
Lutra - - - - 12 2
Total 602662 735 1.398 1.855 1.917
Tren pnkt (%) 21,0 5,6 84,5 32,7 3,3
Sumber : DINAS PETERNAKAN SULAWESI SELATAN, 2011.

versi elektronik
Populasi sapi perah di Kabupaten Enrekang terdapat di wilayah Kecamatan Cendana 519 ekor, Alla 102
ekor dan wilayah lainnya (ENREKANG DALAM ANGKA, 2012). Di lokasi terdapat produk susu baik
dari susu kerbau awalnya maupun susu sapi yakni berupa produk ”Dangke”. Dangke adalah produk
olahan susu yang dibuat menyerupai tahu susu yang khusus dibuat di Kabupaten Enrekang yang bagus
untuk konsumsi. Produk dangke di Kabupaten Enrekang sekarang sekitar 3.000 biji setiap hari. ’Produk
dangke tersebut dinyatakan baru dapat memenuhi sekitar 20 persen dari kebutuhan lokal masyarakat di

283
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Bumi Massenrempulu (Istilah Kabupaten Enrekang). Bahkan bisa dijadikan sebagai brand daerah
Enrekang sebagai Kabupaten Dangke dengan alasan antara lain, dangke sebagai food cultur (makanan
tradisional) yang bergizi tinggi, produk lokal bernilai ekonomi yang hanya terdapat di Kabupaten

versi elektronik
Enrekang. Pengembangan produk dangke akan memberikan pertambahan nilai ekonomi yang cukup
tinggi di tengah masyarakat lantaran merupakan salah satu produk agribinis (diolah peternak). Dari usaha
peternakan sapi, menghasilkan susu, susu dijadikan dangke serta turunan produk lainnya berupa
pembuatan krupuk dangke yang kini mulai dicobakan di Kabupaten Enrekang.
Di masa-masa lalu, Dangke Enrekang lebih banyak dibuat dari susu kerbau. Akan tetapi dalam
perkembangannya kemudian lebih banyak dipilih bahan baku dari susu sapi yang kandungan lemaknya
2,6 – 2,8 persen. Dangke susu sapi lebih gurih dibandingkan menggunakan susu kerbau yang kandungan
lemaknya mencapai 3,2 persen. Saat ini di seluruh Kabupaten Enrekang terdapat sekitar 300 pengrajin
dangke. Keberadaan sapi perah didapatkan dari program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE).
Pihak perbankan telah mengucurkan bantuan permodalan usaha kepada 14 kelompok tani peternak dan
pengrajin dangke di Kabupaten Enrekang. KKPE diberikan kepada kelompok-kelompok tani yang dinilai
potensial di pedesaan dengan bunga 6 persen per tahun, dan nilai pemberian kredit bisa mencapai
maksimal Rp 100 juta. Persyaratan pemberian KKPE hampir sama dengan pemberian Kredit Usaha
Rakyat (KUR). Bedanya, bunga KUR 14 persen setahun dengan plafon kredit maksimum Rp 20 juta.

versi elektronik
KUR diberikan tanpa agunan, sedangkan KKPE selain hanya diberikan terhadap usaha yang sedang
berjalan (bukan usaha yang baru dimulai) dan juga harus ada agunan, lantaran dipertanggung jawabkan
oleh masing-masing individu dalam kelompok. Saat ini sudah ada dana permodalan usaha sekitar Rp 3
miliar melalui KKPE yang disalurkan kepada kelompok-kelompok tani peternak dan pengrajin dangke
yang direkomendasi pihak Dinas Peternakan dan Perikanan di Kabupaten Enrekang.
Analisis Agro-Ekosistem Lokasi Penelitian.
Desa Pinang adalah merupakan salah satu di wilayah kecamatan Cendana, kabupaten Enrekang, yang
terletak dalam wilayah kerja Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BPK) Kecamatan
Cendana dengan luas wilayah 14, 51 km2. Lokasi wilayah merupakan wilayah dataran sedang (300 – 700
m dari permukaan laut), dengan kemiringan lahan 3o – 6o, dan rataan curah hujan sekitar 50 – 500
mm/tahun. Untuk akses masuk ke Desa Pinang dibatasi oleh sungai besar (Sungai Sadang) yang
dihubungkan dengan jembatan gantung dan tidak dapat dilalui dengan kendaraan roda empat.

versi elektronik
Berdasarkan analisis pola ruang, Desa Pinang terletak pada ketinggian antara 400 – 700 m dari
permukaan laut (Gambar 3). Berdasarkan potongan melintang arah Barat ke Timur menunjukkan bahwa
semakin ke arah Timur lokasi semakin tinggi yang untuk mencapai lokasi paling Timur wilayah harus
melewati jembatan gantung (2 buah memotong sungai Sadang). Berdasarkan penggunaan lahan terlihat
bahwa terdapat areal sawah di areal paling rendah setelah lokasi penyeberangan sungai. Ada
kecenderungan bahwa pemanfaatan sebagai kebun tanaman pangan dan kebun hijauan terletak hampir di
seluruh wilayah desa, sedangkan keberadaan usahaternak sapi perah terletak di areal pemukiman yang
merupakan areal datar (disekitar rumah penduduk). Komoditas yang ditanam di kebun adalah jagung,
kakao, dan buah-buahan (pisang, dan mangga). Di areal dataran tinggi umumnya didominasi oleh hutan
jati maupun tanaman liar (semak belukar). Permasalahan yang masih terjadi adalah, pada kondisi
pertanaman masih belum intensif sehingga produktivitas masih rendah, sedangkan untuk usaha sapi perah
permasalahan pakan konsentrat masih sulit diperoleh, sehingga pakan konsentrat hanya berupa dedak padi
(didatangkan dari luar) wilayah, dan diberikan tambahan `air sisa pengolahan produk dangke.

versi elektronik 284


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik
Gambar 3. Peta Desa Pinang dan transek biofisik yang merupakan potensi pengembangan sapi perah di
Kabupaten Enrekang.

Profil “Success Story” Usahaternak Sapi Perah di Lokasi Pengamatan.


Aset Penguasaan Lahan dan Skala Usaha Dalam Mendukung Usahaternak Sapi Perah.
Sumberdaya lahan merupakan aset penting dalam mendukung sistem produksi usahatani oleh masyarakat
di pedesaan. Penguasaan lahan responden di Desa Pinang cukup luas yakni mencapai total luasan 9.952
m2/peternak. Pemilikan lahan berupa rumah, pekarangan, dan bahkan kebun rumput dimiliki oleh 100
persen peternak responden. Pemilikan lahan sawah hanya dimiliki oleh sebagian kecil peternak (24 persen

versi elektronik
peternak), dimana sawah tersebut hanya terdapat di bagian barat lokasi dengan pola tanam hanya satu kali
setahun. Terlihat bahwa aset kebun rumput sudah dikembangkan rumput unggul dan sudah 100 persen
dimiliki peternak dengan rataan luasan mencapai 9.051 m2 (sekitar 1 ha), yang dipersiapkan sebagai
sumber bahan pakan (Tabel 4). Kebun rumput tersebut pada umumnya dikembangkan di sekitar rumah
tetapi ada pula yang dikembangkan jauh dari rumah tinggal peternak.
Tabel 4. Aset Pemilikan lahan sebagai pendukung usahatani.
Penggunaan Luas (m2) Persen pemilik
Rumah 156 100
Pekarangan 145 100
Sawah 600 24
Kebun rumput 9.051 100

versi elektronik
Total 9.952 100

Ditinjau dari skala usaha sapi perah terlihat cukup tinggi yakni mencapai rataan 8,85 ekor sapi/peternak.
Dibedakan atas skala fisiologis terlihat bahwa skala pemilikan induk relatif banyak yakni mencapai 4,62
ekor, yang hal tersebut merupakan aset utama dalam usaha sapi perah. Ternak jantan dewasa relatif tidak

285
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

dimiliki oleh (Tabel 5). Demikian pula ternak jantan muda juga jarang dipelihara dan cenderung dijual,
tetapi untuk anak betina cenderung dipertahankan peternak yang dipersiapkan sebagai pengganti induk
(replacement). Ditinjau dari skala pemilikan yang relatif tinggi tersebut menunjukkan bahwa pola usaha

versi elektronik
sapi perah tersebut sudah merupakan pola usaha yang dipersiapkan sebagai sumber pendapatan utama
tumpuan ekonomi masyarakat di lokasi. Tingginya skala usaha tersebut juga karena faktor ekonomi yakni
sebagai produk dangke yang merupakan makanan unggulan di Enrekang.
Tabel 5. Rataan skala pemilikan sapi perah yang dikuasai peternak.
Status fisiologis Rataan (ekor) Persen pemilik
Dewasa Jantan 0,47 3,44
Betina 4,62 100
Muda Jantan 0,62 27,58
Betina 0,86 47,82
Anak Jantan 1,34 58,62
Betina 1,24 62,06
Total 8,85 100

versi elektronik
Rekapitulasi Penjualan Sapi Perah di Lokasi Sebagai Sumber Pendapatan Sambilan.
Pencatatan rekording penjualan ternak dilakukan 2 tahun untuk menghindari bias data yang dihasilkan
karena ternak sapi perah memiliki masa reproduksi yang relatif panjang. Penjualan ternak yang dilakukan
peternak adalah merupakan sumber ekonomi keluarga disamping dari penjualan susu sapi yang
dihasilkan. Penjualan yang dilakukan adalah merupakan hasil samping dari kelahiran induk-induk yang
dipelihara disamping sapi afkir. Semakin banyak induk yang dipelihara, semakin banyak pula ternak
anakan yang dapat dijual sebagai pendukung ekonomi rumah tangga. Dari hasil rekording penjualan
ternak selama 2 tahun terakhir terlihat bahwa penjualan sapi muda jantan adalah tertinggi yang disusul
anak jantan (25 ekor dan 16 ekor), yang hal tersebut menunjukkan bahwa ternak jantan yang dilahirkan
cenderung dijual. Sebaliknya penjualan sapi betina relatif rendah (14 dan 9 ekor) pada sapi anak dan
muda, sedangkan sapi betina dewasa yang dijual adalah sapi afkir atau yang dinyatakan tidak mampu
bereproduksi (majir) (Tabel 6). Rataan penjualan ternak selama 2 tahun mencapai 2,93 ekor/peternak,
yang hal tersebut cukup tinggi.

versi elektronik
Tabel 6. Penjualan ternak sapi perah yang dilakukan peternak (rekording 2 Tahun terakhir).
Status fisiologis Total Rat Rataan Pelaku Harga Rataan
dijual (ekor) Harga (Rp) penjualan Jual (Rp) Peternak/th
(Orang)
Dewasa Jantan 9 0,31 2.465.517 5 7.944.444 1.232.758
Betina 12 0,41 3.593.103 10 8.683.333 1.796.551
Muda Jantan 25 0,82 3.886.206 9 4.508.000 1943.103
Betina 9 0,31 1.017.241 4 3.277.777 508.621
Anak Jantan 16 0,55 2.610.344 6 4.731.250 1.305.172
Betina 14 0,48 2.051.724 7 4.250.000 1.025.862
Total 85 2,93 15.624.135 - - 7.812.067

versi elektronik
Tingkat Produksi Susu Yang Dipelihara Peternak.
Produksi susu di lokasi tidak dapat diperhitungkan langsung, karena produksi susu tersebut tidak
dilakukan pengukuran seperti layaknya di lokasi Pulau Jawa yang langsung disetor ke KUD, yang tercatat

286
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

langsung dalam penjualan susu oleh KUD. Di lokasi semua susu sapi yang dihasilkan langsung diolah
menjadi produk ”Dangke” yang dilakukan oleh peternak masing-masing, dan baru dilakukan penjualan
berupa produk dangke. Harga dangke yang dijual oleh peternak bervariasi dari yang harga tertinggi

versi elektronik
Rp.15.000,-/buah sampai terendah Rp.12.000,- yang tergantung pada besar kecilnya dangke yang dicetak
(pada tempurung kelapa) (Gambar 4). Hasil informasi bahwa untuk dangke yang harganya Rp.15.000,-
diperlukan susu segar sebanyak 1,5 lt, demikian susu segar yang dibutuhkan semakin kecil dengan
menurunnya harga dangke. Maka dri itu produksi susu sapi perah dan harga susu/lt diperhitungkan dari
total nilai jual dangke yang dipasarkan peternak.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 106 ekor sapi yang dilakukan rekording dan hasil produksi
dangke (597 buah), dengan rataan harga/buah mencapai Rp.12.586,-/buah, maka dapat diperhitungkan
produksi susu mencapai 7,03 liter/ekor/hari, dan harga susu sebesar Rp.10.072,-/liter (dirinci dari nilai
penjualan dangke) (Tabel 7). Tingginya harga susu tersebut karena produk susu telah diolah menjadi
produk dangke yang memiliki harga jual yang relatif tinggi. Hal tersebut berimplikasi bahwa nilai harga
susu di peternak sangat tinggi yang hal tersebut karena harga susu dikendalikan oleh peternak sendiri
menjadi produk bernilai jual tinggi. Nilai jual susu yang tinggi tersebut nantinya akan berpengaruh
terhadap tingginya keuntungan usahaternak. Di pulau Jawa harga susu di tingkat peternak hanya
mencapai Rp.3.000.- - Rp.3.500,-/liter, walaupun tingkat produksi susu di lokasi masih dinyatakan

versi elektronik
rendah.

versi elektronik
Gambar 4. Pengolahan dangke dari hasil susu sapi, dan cetakan (batok kelapa) di Lokasi pengamatan

Peubah Perhitungan
Desa Pinang.
Tabel 7. Perhitungan rataan produksi susu/ekor/hari (konversi dari produk dan harga dangke)
Total nilai Rataan harga
Jual (Rp) /Buah
Total sapi diperah (ekor) 106 - -
Total prod Dangke 597 7.513.824 12.586
Prod susu (lt) 746 (597x1,25, 1 dangke 1,25 lt) - -
Rataan Prod susu/ekor (Lt) 7.03 (746/106) - -
Harga susu (Rp) 10.072 (7.513.824/746) - -

versi elektronik
Analisis Usahaternak Sapi Perah Sebagai Produk Olahan ”Dangke”.
Hasil perhitungan analisis ekonomi usahaternak sapi perah di desa Pinang menunjukkan bahwa
penerimaan usahaternak yang sangat tinggi, yang hal tersebut karena dinilai berdasarkan hasil penjualan
dangke yang dikelola peternak sendiri. Nilai jual dangke tersebut dikonversi dengan harga susu mencapai

287
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Rp.10.072,-/liter, yang hal tersebut sangat memberikan keuntungan usaha, yang mencapai penerimaan
usaha sapi perah sebesar Rp.86.686.873,-/peternak/tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk operasional
pakan cukup tinggi (Rp. 22.633.475,-/peternak/tahun), walaupun secara umum peternak hanya

versi elektronik
memberikan pakan konsentrat berupa dedak padi saja. Dedak padi yang diberikan masih berasal dari luar
daerah yakni dari Kabupaten Pinrang atau Kabupaten Sidrap, yang didatangkan secara rutin. Harga dedak
di lokasi peternak sebesar Rp.2.000,- - Rp.2.500,-/kg. Kondisi kandang yang dibangun oleh peternak
adalah kandang terbuka sehingga biaya pembuatan kandang tidak terlalu mahal, dengan penyusutan
kandang rataan mencapai 637.500,-/peternak/tahun. Biaya tenaga kerja di lokasi masih cukup yakni
mencapai Rp.8.485.999,-/peternak/tahun, yang hal tersebut termasuk tenaga kerja dalam proses
pembuatan dangke (Tabel 8).
Tabel 8. Analisis usahaternak sapi perah di Desa Pinang, Kabupaten Enrekang.
Peubah (Rp/peternak/th) Keterangan
1. Usahaternak sapi perah
Penjualan susu 79.000.795 Survei produksi dan harga dangke
Penjulan sapi 7.686.068 berlaku
Penjualan sapi 2 tahun terakhir

versi elektronik
Sub total 86.686.873
2. Biaya dikeluarkan
Penyusutan kandang 637.500
Pakan konsentrat 22.633.475 Biaya pembelian konsemtrat ( )
Tenaga kerja
mengambil rumput 2.336.000 Diperhitungkan Hari Orang Kerja
Merawat sapi (pagi) 3.869.999 (HOK) x Upah buruh tani (Rp15..000,-
Merawat sapi (sore) 2.280.000 /HOK)
Sub total tenaga kerja 8.485.999
Sub total Biaya 31.756.974 Jumlah biaya curahan kerja
Analisis NCB/tahun 63.415.898 Net Cash benefit (biaya tunai)
/bulan 5.284.658
Analisis CRA/tahun 54.929.899 Cost and Return Analysis (tenaga kerja
/bulan 4.577.491 diperhitungkan)

versi elektronik
Pendapatan tunai yang diterima peternak sapi perah di Desa Pinang mencapai rataan Rp.63.415.898,-
/tahun, yang setara dengan Rp.5.284.658,-/peternak/bulan, dimana alokasi tenaga kerja tidak
diperhitungkan. Dalam proses usahaternak kenyataan bahwa tenaga kerja yang dicurahkan tersebut
umumnya masih bertumpu pada tenaga kerja keluarga. Selanjutnya apabila tenaga kerja diperhitungan
berdasarkan alokasi curahan dalam proses manajemen sapi perah meliputi perawatan sapi, mengambil
rumput, dan proses pembuatan dangke, akan diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 54.929.899,-/tahun
atau setara dengan Rp.4.577.491,-/peternak/bulan. Hal tersebut dapat dinyatakan sebagai pendapatan yang
cukup tinggi, yang salah satunya sebagai dampak industri rumah tangga pembuatan dangke, disamping
faktor skala usaha yang relatif memenuhi skala ekonomi (skala usaha tinggi).

versi elektronik 288


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

KESIMPULAN
Hasil penelitian tentang ”success story” pengembangan sapi perah rakyat di Kabupaten Enrekang dapat
disimpulkan bahwa :

versi elektronik
1. Analisis potensi daya dukung pakan dalam mendukung usahaternak sapi perah cukup potensial
dalam pengembangan populasi di lokasi, karena lahan yang tersedia masih sangat luas sebagai
peningkatan daya dukung pakan.
2. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa pendapatan usahaternak sapi perah di lokasi sangat
menjanjikan, yang ditunjukkan keuntungan usaha yang cukup tinggi. Hal tersebut karena produk
susu langsung diolah menjadi “Dangke” oleh peternak sendiri yang memiliki nilai jual yang
tinggi (produk pangan lokal), yang permintaannya tinggi.
3. Penanganan pasca panen dalam hal ini sangat dominan dalam memberikan kontribusi pendapatan
usaha, yang mempengaruhi nilai jual susu yang tinggi (Rp. 10.072,-/liter), walaupun produksi
susu per ekor masih rendah (7,03 lt/hari). Hal tersebut Karena pakan konsentrat yang diberikan
hanya berupa dedak padi.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, P. And Knipscheer. 1989. Conducting On-Farm Animal Research Procedure An Economic

versi elektronik
Analysis. Winrock International Institute For Agricultural Development And International
Development Research Centre. Morriton, Arkansas, Usa.
Anonymous, 2008. Masih Mengandalkan Susu Impor. Majalah Tani Merdeka.
Http://Www.Tanimerdeka.Com/Modules.Php?Name=News&File=Article&Sid=184
Conway, G.R., 1985. Agro-Ecosistem, Analysis For Research And Development. Winrock International.
Bangkok, Thailand.
Dinas Peternakan Sulawesi Selatan, 2011. Laporan Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2011. Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan.
Dinas Peternakan Dan Perikanan Kabupaten Enrekang, 2011. Laporan Dinas Peternakan Tahun 2011.
Dinas Peternakan Dinas Peternakan Dan Perikanan Kabupaten Enrekiang.
Ditjen Peternakan, 1996. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agribisnis Persusuan Dalam

versi elektronik
Menghadapi Era Pasar Bebas. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Ditjennak Dan Keswan (A). 2012. Program Pengembangan Sapi Perah Dalam Kesiapan Penyediaan
Susu. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Peringatan Hari Susu Nusantara.
Yogyakarta, 1 Juni 2012.
Ditjennak Dan Keswan (B). 2012. Program Pengembangan Budidaya Sapi Perah Diluar Pulau Jawa.
Disampaikan Pada Semiloka “Pembangunan Gizi Bangsa Melalui Gerakan Percepatan Produksi
Susu Nasional. Gedung D, Kementerian Pertanian. Jakarta, 27 Juni 2012.
Enrekang Dalam Angka, 2011. Statistik Kabupaten Enrekang. Kantor Pusat Statistik Kabupaten
Enrekang.
Gibbs, C. 1985. Rapid Rural Appraisal : An Overview Of Concepts An Application. Paper Presented In
The International Conference On Rapid Rural Appraisal, September 2-5, 1985. Khon Kaen,

versi elektronik
Thailand.
Pambudi, R., T. Sipayung, W.B. Priatna, Burhanuddin, A. Kriswantriyono, Dan A. Satria., 2001.
Kumpulan Pemikiran. Biasni Dan Kewirausahaan Dalam Sistem Agribisnis. Pastaka Wirausaha
Muda, Bogor. Cetakan Ketiga (Edisi Revisi).

289
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Sa’ Id, E.G. Dan A.H. Intan, 2001. Manajemen Agribisnis. Pt. Ghalia Indonesia Dengan Mma – Ipb.
Jakarta.
Saragih, B. 2001. Kumpulan Pemikiran. Agribisnis. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis

versi elektronik
Pertanian. Yayasan Mulia Persada Indonesia Dan Pt. Suveyor Indonesia Bekerjasama Dengan
Pusat Studi Pembangunan Ipb Dan Unit For Sosial And Economic Studies And Evaluation
(Usese) Foundation. Jakarta.
Setiawati, T., 2008. Revitalisasi Agribisnis Sapi Perah Yang Berdaya Saing Dan Ramah Lingkungan.
Prosiding : Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Peternakan Bekerjasama Dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan Dan
Perbankan Indonesia Stektpi. Jakarta.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 290


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PENENTUAN HARGA JUAL KERBAU BELANG BERDASARKAN KARAKTERISTIKNYA DI


PASAR HEWAN BOLU KABUPATEN TORAJA UTARA
Ikrar Mohammad Saleh dan Aslina Asnawi

versi elektronik
Staf Pengajar Bagian Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan UNHAS
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, Makassar

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kerbau Belang yang menentukan harga jual di
Pasar Hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara. Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih satu bulan terhitung
mulai dari bulan Mei sampai Juni 2013 di Pasar Hewan Bolu, Kecamatan Tallunglipu, Kabupaten Toraja
Utara. Jenis penelitan adalah kuantitatif deskriptif dengan metode Deplhi. Jenis data adalah kualitatif dan
kuantitatif. Sumber data adalah data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan harga jual
kerbau belang di Pasar Hewan Bolu berdasarkan karakteristik motif belang, warna mata, kondisi (model
dan warna) tanduk, kondisi ekor, dan letak pusaran bulu.
Kata kunci: penentuan harga jual,karakteristik, kerbau belang.

ABSTRACT

versi elektronik
This study aims to investigate the characteristics of Tedong Bonga that determine it’s prices in the Market
Animal Bolu North Toraja Regency. The research was conducted for approximately one month starting
from the month of May to June 2013 in the Market Animal Bolu, District Tallunglipu, North Toraja
Regency. Type of research was descriptive quantitative with Deplhi methods. This type of data wass
qualitative and quantitative. Sources of data are primary and secondary data. The results indicate that the
selling price in the Market Animal striped buffalo Bolu based motifs characteristic stripes, eyes color,
condition (model and color) horns, tail shape, and location of the navel.
Keywords: characteristics, determination, price, striped buffalo

PENDAHULUAN
Prospek pengembangan kerbau sangat baik disebabkan karena peran kerbau tidak hanya digunakan untuk
membajak sawah, tenaga kerja dan penghasil daging namun kerbau memiliki nilai sosial-budaya di
beberapa daerah seperti Batak, Tana Toraja dan bebrapa suku di Indonesia (Bo’do, 2008). Khusus di

versi elektronik
kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (pemekaran kabupaten Tana Toraja), populasi ternak kerbau
cukup besar yaitu sebesar 48.557 ekor atau 40% dari jumlah populasi kerbau di Provinsi Sulawesi Selatan
(Statistik Peternakan, Dinas Peternakan Sulawesi Selatan, 2011). Semakin besar jumlah kerbau yang
disembelih pada saat pesta adat menunjukkan status sosial seseorang semakin tinggi. Disisi lain besarnya
permintaan akan kerbau ini tidak diikuti oleh ketersediaan kerbau sehingga perlu didatangkan dari daerah
lain.
Jenis ternak kerbau yang digunakan dalam pesta adat di kabupaten Toraja Utara bukanlah kerbau biasa
akan tetapi kerbau yang memiliki karakteristik yang unik dan tidak dijumpai di daerah lainnya. Salah
satu kerbau yang digunakan adalah kerbau Belang. Disebut sebagai kerbau Belang karena disekujur
tubuhnya terlihat seperti Belang hitam putih. Harga kerbau Belang ini sangat mahal bahkan bisa
mencapai ratusan juta rupiah. Permintaan ternak kerbau biasanya sangat meningkat pada saat upacara
pesta adat kematian (Rambu Solo’) dan prosesi syukuran (Rambu Tuka”). Jumlah pemotongan kerbau
untuk keperluan ritual upacara adat kurang lebih 13.000 ekor per tahunnya (Sirajuddin, dkk, 2012) dan

versi elektronik
Rombe (2010).
Dewasa ini permintaan kerbau di kabupaten Toraja Utara menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang Toraja yang merantau dan sukses dari sisi finasinal ketika
meninggal dunia maka jenazahnya akan dibawa pulang ke Tana Toraja untuk dimakamkan di tanah asal
leluhurnya. Seiiring dengan hal tersebut maka terjadi kecenderungan peningkatan jumlah kerbau yang
disembelih pada acara ritual pemakamannya. Pada masa lalu, bagi seorang bangsawan jumlah kerbau

291
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

yang dibutuhkan cukup dengan dua ekor kerbau sebagai standar persyaratan tertentu (Sapu Randanan)
maka sekarang ini jumlahnya tergantung pada kemampuan finansialnya yaitu bisa sampai ratusan ekor
sebagai bentuk penghormatan kepada kerabatnya yang meninggal (Rombe, 2010; Saleh, dkk, 2013).

versi elektronik
Pasar Hewan Bolu yang terletak di kabupaten Toraja Utara merupakan tempat dimana kerbau Belang ini
diperjualbelikan. Pasar hewan ini sudah ada sejak zaman dahulu dan dikenal juga sebagai Pasar
Rantepao. Kegiatan pemasaran ternak kerbau di pasar tersebut berlangsung selama lima kali dalam
sebulan. Selain kerbau hitam dan kerbau Belang, di pasar ini juga banyak dipasarkan ternak babi.
Khusus untuk kerbau Belang, ada yang berasal dari daerah Tana Toraja namun ada pula yang didatangkan
dari luar daerah.
Penentuan harga jual kerbau Belang di daerah ini tidak hanya ditentukan oleh bobot badan dan umur
kerbaunya namun sangat tergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh kerbau Belang tersebut. Selain
motif belangnya, berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat Tana Toraja bahwa penilaian
harga terhadap kerbau ini ditentukan oleh karakteristik yang ada diseluruh tubuh kerbau tersebut. Hal
inilah yang mendasari mengapa peneilitian ini dilakukan.

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Toraja Utara yaitu di Pasar Hewan Bolu Kecamatan Tallunglipu
pada bulan Mei-Juni 2013. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi tersebut
merupakan pasar tempat transaksi penjualan hewan terbesar di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara
yang salah satu komoditinya adalah kerbau. Selain itu pertimbangannya adalah Tana Toraja merupakan
tujuan wisata dengan salah satu budaya yang menarik turis domestik dan manca negara adalah upacara
pesta adat kematian (Rambu Solo’) yang menggunakan cukup banyak kerbau Belang. Populasi dalam
penelitian ini adalah sejumlah pedagang yang berada di pasar Hewan Bolu sebanyak 150 orang dengan
jumlah sampelnya adalah 20% dari populasi yaiu 30 orang. Jenis penelitan adalah kuantitatif deskriptif
dengan pendekatan metode Deplhi.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif untuk melihat penilaian responden
terhadap karakteristik yang dianggap menentukan harga jual kerbau Belang di pasar Hewan Bolu di
kabupaten Toraja Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode delphi. Pada tahap pertama,
responden diberi kebebasan untuk menuliskan karakterisitk yang dianggap mendominasi penilaiannya

versi elektronik
terhadap penentuan harga jual. Tahap berikutnya, kuesioner diberikan kembali kepada responden untuk
memilih jawaban yang telah disiapkan dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang telah ada pada
kuesioner pertama. Pada tahap ini responden menentukan karakteristik yang sangat mendominasi (SM)
diberi skor 5, mendominasi (M) diberi skor 4, cukup mendominasi (CM) diberi skor 3, kurang
mendominasi (KM) diberi nilai 2 dan tidak mendominasi (TM) diberi nilai 1. Setelah diperoleh jawaban
pada tahap kedua maka selanjutnya tahap ketiga akan diberikan lagi kuesioner dengan pilihan
karakteristik yang sudah dikurangi berdasarkan kebutuhan, selanjutnya akan diberi skor yang sama
dengan tahap kedua.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penilaian karakterisitk kerbau Belang yang mendominasi dalam penentuan harga jual diperoleh
berdasarkan tahapan menurut Metode Delphi. Hasil penelitian, diperoleh ada enam kategori jawaban
penilaian yang berasal dari pedagang di Pasar Hewan Bolu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
1. Berdasarkan Tabel 1. penilaian karakteristik kerbau Belang yang menentukan harga jual ada enam

versi elektronik
karaktetistik yaitu motif belang, warna mata, model dan warna tanduk, kondisi ekor, pusaran bulu dan
postur tubuh. Dari keenam karakteristik tersebut, motif belang (letak antara warna hitam dan putih) di
kulitnya merupakan pilihan yang memiliki skor tertinggi yaitu sebesar 148 sedangkan yang memiliki skor
penilaian terkecil adalah postur tubuh sebesar 11. Hal ini berarti bahwa penentuan harga jual sangat
ditentukan oleh kriteria motif belang.

292
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 1. Karakteritik Kerbau Belang yang Menentukan Harga Jual di Pasar Hewan Bolu, Kabupaten Tana
Toraja
Skor Penilaian

versi elektronik
No Karakteristik
Tahap II Tahap III
1. Motif belang (letak warna hitam dan putih 148 148
pada kulitnya)
2. Warna mata 110 114
3. Model dan warna tanduk 66 95
4. Kondisi ekor (warna dan panjang ekor) 38 52
5. Pusaran bulu 37 44
6. Postur tubuh 11
Sumber: Data Primer setelah Diolah, 2013.

Postur tubuh merupakan karakteristik yang memiliki nilai paling kecil yaitu 11, sehingga pada tahapan

versi elektronik
III, responden diminta untuk memilih hanya lima karakteristik yang paling mendominasi sehingga
hasilnya nampak pada Tabel 1. Pada kolom keempat. Adapun hasil penilaian menurut lima karakteristik
kerbau Belang dan penilaian yang mendominasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2. maka dapat dikatakan bahwa penentuan harga jual kerbau Belang di Pasar Hewan
Bolu Kabupaten Tana Toraja didominasi oleh karakteristik sebagai berikut:
Motif Belang (Letak Warna Hitan dan Putih di kulitnya)
Motif belang merupakan karakteristik yang mendapatkan penilaian yang paling tinggi dalam menentukan
harga jual kerbau Belang dengan total nilai sebesar 140. Jumlah responden yang menjawab sangat
mendominasi sebanyak 28 orang (93,33%) dan 2 orang yang menjawab mendominasi dengan jumlah
responden sebanyak 2 orang (6,66%). Hal ini menunjukkan bahwa motif belang kerbau Belang memang
sangat menentukan dan mendominasi dalam penentuan harga jualnya.
Bagi masyarakat Tana Toraja, ada 8 jenis kerbau menurut motif belangnya (sura’). Bonga saleko dan

versi elektronik
Bonga doti merupakan jenis kerbau belang yang memiliki harga paling tinggi. Penilaian ini
didasarkan pada kombinasi hitam dan putih yang berada pada kulitnya dengan komposisi yang hampir
seimbang dan ditandai dengan taburan bintik-bintik di sekujur tubuhnya. Harga kerbau jenis ini sangat
mahal karena bisa mencapai 300-350 juta rupiah per ekornya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Yulius (2012) sebelumnya bahwa warna bulu pada kerbau Belang mempertimbangkan warna bulu dalam
penentuan harga jual kerbau Belang di pasar Hewan Bolu.
Warna Mata
Karakteristik kedua yang menentukan harga jual kerbau Belang adalah warna matanya. Pada tahapan
ketiga total nilainya adalah 114, responden yang menjawab sangat mendominasi sebanyak 1 orang
(3,33%) dengan nilai 5, mendominasi 22 orang (73,33%) dengan nilai 88 dan sebanyak 7 orang (23,33%)
yang menjawab cukup mendominasi dengan nilai 21. Penilaian warna mata didasarkan pada bola
matanya. Kerbau Belang yang memiliki warna mata putih akan memiliki harga jual yang tinggi. Bagi
masyarakat Tana Toraja, jenis kerbau Belang ini dikenal dengan sebutan mata gara’.

versi elektronik 293


versi elektronik
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani (Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto
14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 2. Jawaban Responden Berdasarkana Penentuan Harga Jual Kerbau Belang Menurut Karakteristiknya
Karaktersitik Kerbau Belang

Jawaban Motif Belang Warna Mata Model dan Warna Tanduk Kondisi Ekor Pusaran Bulu
Responden Frekuensi Nilai % Frekuensi Nilai % Frekuensi Nilai % Frekuensi Nilai % Frekuensi Nilai %
(Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang)
SM 28 140 93,33 1 5 3,33 1 5 3,33 0 0 0 0 0 0

versi elektronik
M 2 8 6,66 22 88 73,33 6 24 20,00 0 0 0 0 0 0
CM 0 0 0 7 21 23,33 19 57 63,33 2 6 6,66 2 6 6,66
KM 0 0 0 0 0 0 4 8 13,33 18 36 60,00 10 20 56,66
TM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10 33,33 18 18 36,66
30 148 100 30 114 100 30 95 100 30 52 100 30 44 100
Sumber: Data Primer setelah Diolah, 2013.

Keterangan:
SM = Sangat Mendominasi
M = Mendominasi

versi elektronik
CM = Cukup mendominasi
KM = Kurang mendominasi
TM = tidak mendominasi

294
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Model dan Warna Tanduk


Model dan warna tanduk dalam penilaian responden memiliki total nilai 94 sedangkan tingkat
penilaiannya sebanyak 19 orang (63,33%) yang menjawab cukup mendominasi, mendominasi 6 orang

versi elektronik
(20,00%), 4 orang (13,33%) menjawab kurang mendominasi dan hanya 1 orang (3,33%) yang menjawab
sangat mendominasi. Hal ini berarti bahwa karakteristik model dan warna tanduk cukup mendominasi
dan turut dipertimbangkan dalam penentuan harga jual.
Bagi masyarakat Tana Toraja, harga kerbau Belang ditentukan oleh bentuk tanduk yang proporsional
dengan postur tubuhnya dan berwarna putih ke kuning-kuningan. Jenis kerbau Belang ini akan memiliki
harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau dengan tanduk yang berwarna hitam. Hal ini sesuai
dengan penelitian Susanti (2000) bahwa kerbau yang memiliki model tanduk yang seimbang dengan
kepala akan memiliki harga yang tinggi.
Kondisi Ekor (Warna dan Panjang Ekor)
Karakteristik lainnya yang dipertimbangkan dalam penentuan harga jual kerbau Belang adalah kondisi
ekornya, adapun yang dinilai adalah warna dan panjang ekornya. Berdasarkan Tabel 2. terlihat bahwa
untuk karakterisitk ini nilai totalnya hanya 51 dengan komposisi jawaban yang menganggap karakteristik

versi elektronik
ini kurang dominan adalah yang paling banyak yaitu 18 orang (60,00%), disusul oleh jawaban tidak
mendominasi sebanyak 10 orang (33,33%) dan jawaban cukup mendominasi hanya 2 orang (6,66%).
Penilaian terhadap ekor kerbau Belang dilihat dari panjang ekornya yaitu jika melewati lutut maka
harganya akan lebih mahal. Selain itu bulu ekornya harus bersih dan berwarna putih, terlihat gemuk, dan
pada bagian ujung ekornya terdapat banyak bulu. Hal ini mengkomfirmasi penelitian Rombe (2010)
bahwa di lingkungan masyarakat Tana Toraja, kondisi ekor kerbau yang memiliki ekor yang panjang,
bersih, gemuk, dan bagian ujung ekornya terdapat banyak bulu akan memiliki nilai sosial-ekonomi yang
tinggi.
Pusaran Bulu
Karakteristik kelima yang menentukan harga jual seekor kerbau Belang adalah pusaran bulunya.
Meskipun hal tersebut dianggap menentukan namun berdasarkan Tabel 2. karakterisitk ini hanya
memperoleh nilai sebesar 44. Jawaban terbanyak dari responden adalah yang menyatakan tidak
mendominasi yaitu 18 orang (36,66%), disusul oleh jawaban kurang mendominasi sebanyak 10 orang

versi elektronik
(56,66%), dan jawaban cukup mendominasi sebanyak orang (6,66%).
Penilaian pusaran bulu dilihat dari letak pusaran bulu atau pusar rambutnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Batosamma, 1985) bahwa pusar rambut yang normal terdapat di bagian hidung, pundak dan
pinggul. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pusar rambut yang berada di bagian tengah leher sebelah atas
tidak disenangi karena menurut kepercayaan orang Tana Toraja, bahwa jika pusaran bulu tersebut
dipotong atau hilang maka pemiliknya akan cepat meninggal dunia. Sedangkan pusar rambut yang
terletak di bagian scapula, maka apabila kerbau tersebut pergi atau hilang maka kerbau tersebut tidak akan
kembali dan kerbau tersebut tidak panjang umur. Kepercayaan-kepercayaan tersebut diyakini dapat
dipertimbangkan dalam pemilihan kerbau dan penentukan harganya.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah bahwa
dalam penentuan harga jual kerbau Belang di pasar Hewan Bolu di kabupaten Tana Toraja adalah: motif

versi elektronik
belang, warna mata, model dan warna tanduk, kondisi ekor, dan pusaran bulu.

DAFTAR PUSTAKA
Batosamma, T.J. 1985. Penerapan Teknologi Insmeinasi Buatan untuk Pelestarian Sumber Daya Kerbau
di Tana Toraja. Disertasi. IPB, Bogor.

295
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Bo’do, S. 2008. Kerbau dalam Tradisi Orang Toraja. Pusat Kajian Indonesia Timur. Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Rombe, M.B. 2011. Nilai-nilai Sosial Ekonomi Kerbau Pendatang di Lingkungan Masyarakat Toraja.

versi elektronik
Makalah. Seminar Nasional dan Teknologi Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.
Saleh, I.M., Sirajuddin, S.N., Abdullah, A., Aminawar. 2013. Pengaruh Populasi dan Tngkat
Pemotongan terhadap Pengembangan Agribisnis Ternak Kerbau di Kabupaten Toraja Utara.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Peternakan Menuju Swasembada Protein
Hewani. Kerjasama Fakultas Peternakan UNSOED dan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, 8
Desember 2012.
Sirajuddin, S.N., Kasim, K., Mappigau, P., dan Rombe, M.R. 2012. Aspek Sosial Ekonomi pada
Pemasaran Ternak Kerbau di Kabupaten Tana Toraja (Toraja Utara). Laporan Peneilitan DPP.
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Susanti, B.E. 2000. Analisis Sikap Konsumen terhadap Ternak Kerbau Asal Daerah Lain di Pasar Hewan
Rantepao Kabupaten Tana Toraja, Universitas Hasanuddin, Makassar.

versi elektronik
Yulius, A.N. 2012. Penentuan Harga Jual Kerbau Belang Berdasarkan Karakteristik di Pasar Hewan
Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara. Fakultas Peternakan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

versi elektronik

versi elektronik 296


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

ANALISIS PEMASARAN SAPI POTONG PADA KELOMPOK PETERNAK PEMBIBIT DI


PROPINSI BALI
I.G.M. Budiarsana, Sumanto, dan Komarudin

versi elektronik
Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor PO Box 221 Bogor

ABSTRAK
Pemasaran merupakan semua aktivitas yang berhubungan dengan penyaluran barang atau jasa dari tempat
produsen ke tempat konsumen pada waktu yang tepat. Dengan menggunakan saluran pemasaran yang
tepat diharapkan dapat memberikan hasil akhir yaitu keuntungan yang optimum. Penelitian bertujuan
untuk; 1). mengetahui berbagai masalah yang dihadapi dalam pemasaran ternak sapi potong 2). berbagai
pola pemasaran dan biaya pemasaran ternak sapi potong oleh kelompok peternak sapi Bali di Provinsi
Bali. Penelitian dilakukan pada bulan September 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah survei,
analisis data dilakukan secara deskriptif. Responden terdiri dari para peternak sapi Bali yang
tergabung kedalam suatu kelompok peternak sapi Bali, para pelaku pemasaran sapi bali. Sampel
pedagang dipilih secara sengaja sebanyak masing-masing 5 orang dari berbagai pedagang dominan dan
sudah berpengalaman dalam berdagang sapi minimal 5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat saluran pemasaran yang melibatkan; peternak, blantik, pedagang pengumpul, pedagang besar dan

versi elektronik
pemotong/jagal. Margin pemasaran tertinggi terdapat pada saluran pemasaran yang melibatkan
(peternak - blantik - pedagang pengumpul - pedagang besar - jagal - konsumen). Saluran pemasaran yang
hanya melibatkan (peternak-konsumen) merupakan saluran yang paling efisien dengan tingkat
farmer’share yang paling tinggi yaitu 100%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin panjang
saluran pemasaran menghasilkan tingkat Farmer’s share semakin rendah.
Kata kunci : sapi Bali, saluran pemasaran dan margin pemasaran

ABSTRACT
Marketing is the activities related to the provision of goods or services from the producer to the consumer
at the right time. Marketing channels is related to best price of the product recived by the producer. The
aimed of this research was: 1). To study problems encountered in the beef cattle marketing system 2). To
study beef cattle marketing systems in Bali as well as its cost. The study was conducted in September
2013. The method of the Research was a survey. Respondents consisted of Bali cattle breeders farmers

versi elektronik
who are in a group of cattle ranchers. 5 cattle traders who has been experinced in cattle trading for at
least 5 years. The results showed that the marketing institutions involved in cattle trading were; breeder,
broker, traders, wholesalers and cutters / butchers. The highest Marketing margins was in the marketing
marketing system no 1. Which were (breeders - broker - middlemen - wholesalers - slaughterhouse - the
consumer). The most efficient channel and the highest farmer’s share was the marketing system no 3
which was 100%. The results also showed that the longer the marketing channel resulted in the lower
Farmer's share.
Keyword: Bali Catle, marketing Channels and Marketing Margin.

PENDAHULUAN
Provinsi Bali merupakan salah satu daerah sentra produksi sapi potong (sapi Bali). Selain untuk
memenuhi konsumsi lokal, produksinya sapi ini juga dipasarkan ke beberapa daerah lainnya terutama
pasar Jakarta dan sekitarnya.

versi elektronik
Secara umum dapat dikatakan bahwa peternakan sapi di Bali merupakan usaha rakyat. Tujuan
pemeliharaan yaitu memperoleh pendapatan. Dengan tujuan menghasilkan pendapatan ini maka usaha
peternakan sapi ini dapat dikatagorikan sebagai usaha yang bersifat komersial. Kondisi tersbut senada
dengan hasil penelitian yang pernah dilaporkan Sukanata, et. al. (2010), bahwa alasan peternak
memelihara sapi adalah untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

297
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Sumber pakan pada umumnya dengan memanfaatkan hijauan atau limbah pertanian hasil sampingan dari
sawah, kebun dan atau tegalan mereka. Laporan senada juga dilaporkan oleh Patrick, et. al. (2010) yang
menyatakan bahwa alasan utama peternak memelihara sapi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut, perhatian dalam beternak sapi tidak cukup hanya fokus pada

versi elektronik
teknis produksi, melainkan juga harus memperhatikan aspek pemasaran. Tingginya produksi tidak akan
mampu meningkatkan pendapatan peternak secara maksimal, jika tanpa diikuti dengan sistem pemasaran
yang efisien. Pemasaran yang lebih efisien sangat penting diperhatikan sehingga dapat memberikan harga
yang lebih tinggi bagi peternak.
Peningkatan pendapatan tersebut akan memotivasi peternak untuk memelihara sapi dalam skala yang
lebih besar dan juga mendorong peternak untuk melakukan pemeliharaan dengan cara yang lebih baik
sesuai petunjuk pemeliharaan ternak sapi perbibitan yang baik (good breeding practice), diantaranya
pemberian pakan yang lebih berkualitas, penerapan sistem kawin yang lebih baik (penarapan IB). Hasil
akhir dari semua harapan tersebut yaitu meningkatnya populasi dan kualitas sapi di Bali, seperti yang
diinginkan oleh pemerintah.
Dari usaha penggemukkan terlihat bahwa sapi Bali cukup efisien secara teknis. Kondisi hal ini dilaporkan
Sukanata, et. al. (2009) yang menyatakan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Bali cukup efisien

versi elektronik
yang ditunjukkan oleh kondisi usaha yang berada pada kondisi constant return to scale. Penggunaan
faktor-faktor produksi seperti pakan dan bibit juga sudah mendekati efisien secara ekonomis yang
ditunjukkan oleh nilai indeks efisiensinya yang mendekati satu. Namun demikian jika ditinjau dari
keuntungannya, peternakan sapi ini belum memberikan keuntungan yang layak. Hasil analisis finansial
pada usaha sapi penggemukan yang dilakukan oleh Sukanata, et. al. (2009) menunjukkan bahwa sapi di
Bali belum memberikan keuntungan yang layak bagi peternak. Salah satu penyebab perolehan tingkat
keuntungan usaha peternakan ini yaitu sistem pemasaran sapi di Bali yang belum efisien. Sistem
pemasaran sapi Bali ini diwarnai dengan berbagai masalah yaitu diantaranya kebijakan pemasaran yang
kurang tepat, struktur pasar yang cenderung mengarah ke pasar monopsoni, rantai pasar yang panjang dan
rendahnya jiwa enterpreneurship para peternak. Oleh karena itu maka kondisi ini harus diperbaiki.
Penelitian ini menganalisis sistem pemasaran sapi Bali di provinsi Bali dengan harapan dapat
menggambarkan sistem pemasaran yang berlaku, mengidentifikasi permasalahan yang ada. Harapan ke
depan yaitu sistem pemasaran sapi lebih menguntungkan bagi peternak.

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan study kasus pola pemasaran sapi Bali di Provinsi Bali. kegiatan ini dilakukan
dengan menggunakan metode survey mewawancarai para pelaku pemasaran yang terdiri dari peternak
sapi selaku produsen, pedagang perantara sampai konsumen). Wawancara dilakukan dengan
menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Jumlah responden dari kelompok produsen (peternak) yaitu
sebanyak 50 orang yang tersebar di 3 kelompok peternak sapi potong. Kelompok peternak ini merupakan
kelompok peternak sapi potong yang mendapat binaan dari BPTU sapi Bali Pulukan Jembrana Bali.
Responden pedagang pengumpul keliling sebanyak 5 orang, pedagang pengumpul sedang 3 orang dan
pedagang pengumpul besar 2 orang.
Jumlah sample ditentukan dengan metode (Snowballs sampling) yaitu pemilihan sample yang dimulai
dari beberapa orang. Orang yang telah terpilih menjadi sample tersebut kemudian menunjukkan orang
lain yang cocok sebagai sample. Selanjutnya orang yang telah menjadi sample tersebut kemudian diminta
menunjukkan orang lain lagi menjadi anggota sample (Sujanto, 2000).

versi elektronik
Daftar pertanyaan memuat pertanyaan tentang pola pemasaran yang ada di wilayah tersebut, preferensi
peternak terhadap berbagai pola pemasaran sapi potong, lembaga yang terlibat dalam pemasaran sapi,
jenis dan besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk pemasaran sapi. Jarak pasar yang ditempuh serta
perlakuan ternak sapi yang dipasarkan, sejak sapi dijual oleh peternak (produsen) sampai konumen,
termasuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan.

298
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Data yang berkaitan dengan pola pemasaran serta lembaga pemasaran yang terlibat, datanya dianalisis
secara deskriftif kualitatif sedangkan data yang menyangkut tentang nilai ekonomi pemasaran dianalisis
melalui pengukuran marjin pemasaran serta analisis efisiensi.

versi elektronik
Analisis Marjin Pemasaran dilakukan untuk menganalisis kinerja suatu pasar sehingga dapat diketahui
apakah ada kesesuaian antara proporsi kerja yang dilakukan dengan pendapatan yang diperoleh oleh
masing-masing lembaga menurut (Arshad, 1980)
M = Pr – Pf .....................................................................(1)
M = Bp + K ......................................................................(2)
n
Ki = Pji – (PB +∑Bpi)........................................................(3)
I=1
Untuk mengetahui besaran share keuntungan terhadap keseluruhan margin pemasaran dapat dirumuskan
dengan menggabungkan persamaan (1) dan (3).

versi elektronik
Persamaan menjadi
Ki Ki
Ski =-------------- x 100% atau Ski = ----- x 100% ............... (4)
Pr-Pf M
Untuk bagian (share) biaya lembaga pemasaran (Saefudin), 1982 sebagai berikut:
Bi
Sbi = ---------------- x 100% atau
Pr – Pf

Bi

versi elektronik
Sbi = --------- x 100% ........................................................(5)
M
Dimana :
M = Margin pemasaran
Pr = Harga tingkat pengecer (Konsumen akhir) (Rp/Kg)
Pf = Harga tingkat peternak (Produsen) (Rp/kg)
BP = Biaya pemasaran lembaga ke-i (Rp/kg)
K = Keuntungan pemasaran lembaga ke-i(Rp/kg)
Ki = Keuntungan Lembaga pemasaran i (1......m)
Pji = Harga jual lembaga lembaga pemasaran i
Pbi = harga beli lembaga pemasaran i dari jenis –jenis biaya pemasara i ke n
Si = Jenis Biaya ke –i

versi elektronik
Ski = bagian share keuntungan lembaga pemasaran i
Sbi = bagian (share) biaya pemasaran lembaga pemasaran ke- i
Bi = biaya pemasaran lembaga ke i.

Apabila perbandingan share keuntungan tiap lembaga yang terlibat dalam pemasaran tidak merata, maka
sistem pemasaran dikatakan tidak efisien

299
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Apabila perbandingan share keuntungan dengan biaya pemasaran tiap lembaga pemasaran yang terlibat
dalam pemasaran merata, maka pemasaran dikatakan efisien

HASIL DAN PEMBAHASAN

versi elektronik
Karakteristik Peternak Sapi di Provinsi Bali.
Gambaran karakteristik peternak sapi potong di berbagai lokasi pengamatan seperti ditunjukkan pada (Tabel
1). Secara umum peternak sapi di Provinsi Bali dapat dikatagorikan sebagai usaha peternakan rakyat.
Manajemen pemeliharaan diantara lokasi sangat bervariasi. Di Kabupaten Jembrana banyak ditemui
peternak yang tidak memiliki kandang untuk ternak sapinya, namun di beberapa Kabupaten kandang sapi
milik peternak sudah memenuhi persyaratan.
Pakan yang diberikan lebih banyak berupa hijauan yang sumbernya mengharapkan dari limbah hasil
pertanian milik peternak atau hijauan yang bersumber dari ladang maupun sawah. Pemberian pakan penguat
sangat jarang dan dapat dikatakan tidak pernah dilakukan.
Rataan skala pemilikan berkisar 2-5 ekor/peternak, dengan struktur populasinya sangat bervariasi diantara
wilayah kajian, namun demikian rataan pemilikan induk merupakan jumlah terbanyak yaitu mencapai (31-
67%). Kondisi ini mengindikasikan usaha yang dilakoni peternak yaitu usaha produksi anak (breeding).

versi elektronik
Yang menarik dari seluruh kelompok peternak di lokasi pengamatan yaitu tingkat pemilikan pejantan yang
sangat rendah. Di beberapa lokasi kajian kasus tidak terdapat ternak pejantan sering ditemui. Rendahnya
pemilikan pejantan harus didukung program Inseminasi buatan (IB) yang tangguh. Tidak hanya kualitas
SDM (inseminator) namun harus diikuti dengan sarana dan prasarana (Pos IB dan tangki berikut LN2 cair)
yang memadai.
Tabel 1. Karakteristik kelompok peternak.

Status Fisiologis Lokasi Kelompok peternak (Kabupaten)


Jembrana Badung Tabanan Bangli
Induk 1,4 (30,9) 1,8 (46,7) 1,4(57,9) 3,5 (63,6)
Pejantan - - - 0,3 (4,5)
Muda Jantan - - 0,1 (5,3) 0,3 (4,5)
Muda Betina 1,0 (21,6) 1,4 (36,6) 0,3 (10,5) 0,3 (4,5)

versi elektronik
Anak Jantan 1,2 (25,9) 0,4 (10,0) 0,6 (26,3) 1,0 (18,2)
Anak Betina 1,0 (21,6) 0,3 (6,7) - 0,3 (4,5)
Total 4,6 (100) 3,8 (100) 2,4 (100) 5,5 (100)
Jumlah Kelahiran (%/tahun) 61,4 51,9 72,0 50,7
Rataan BCS Induk 3,7 3,1 3,4 4,6

Pemasaran Ternak
Hasil wawancara dengan para peternak menunjukkan bahwa seluruh peternak mengandalkan para belantik
untuk memasarkan ternak sapinya. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Suparta (2009);
yang menyatakan bahwa peternak umumnya lebih senang konsentrasi di proses produksi yang senantiasa
dekat dengan ternaknya, sehingga mereka lebih senang menyerahkan pemasaran hasilnya kepada orang atau
lembaga lain.

versi elektronik
Harga berdasarkan taksiran dan tingkat harga disepakati tanpa ada tekanan dari salah satu pihak. Hampir
seluruh peternak menyatakan sangat mudah menjual sapi dengan mengadalkan Belantik. Begitu mudahnya
berurusan dengan belantik sampai-sampai para peternak berpendapat bahwa menjual ternak sapi lebih
mudah dibandingkan menjual emas atau barang lainnya. Pengalaman yang disampaikan oleh peternak
bahwa untuk menjual sapi mereka hanya mebutuhkan waktu tidak lebih dari 3 jam.

300
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Karakteristik Pemasaran Sapi di Bali


Secara umum kegiatan pemasaran sapi di Bali dapat dibagi menjadi dua, yaitu pemasaran lokal dan
perdagangan antar pulau.

versi elektronik
Pemasaran lokal meliputi kegiatan-kegiatan pemasaran sapi untuk memenuhi kebutuhan sapi yang
dipotong maupun yang dijadikan bibit untuk di wilayah Provinsi Bali. Pemotongan lokal merupakan
pemotongan sapi untuk memenuhi konsumsi masyarakat lokal di daerah Bali setempat, sedangkan
pemotongan industri merupakan pemotongan sapi untuk memenuhi kebutuhan industri seperti industri
pengalengan daging, sosis, dendeng, bakso, daging beku, restoran/hotel, swalayan, dan lain sebagainya.
Hasil olahan industri tersebut tidak hanya untuk memenuhi permintaan lokal, namun juga untuk
memenuhi permintaan pasar di luar Bali.
Perdagangan antar pulau merupakan kegiatan pemasaran sapi potong hidup. Pasar ternak hidup ini
umumnya untuk memenuhi permintaan dari luar Bali. Daging sapi bali sangat digemari oleh konsumen,
dan permintaannya terus meningkat.
Profil dan Peranan para pelaku tata niaga.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa peran belantik (pedagang perantara sapi) dalam pemasaran sapi milik

versi elektronik
peternak di Bali sangat dominan. Gambar 1. menggambarkan struktur perdagangan sapi di Bali. Dari
gambar tersebut dapat diketahui bahwa saluran pemasaran sapi di Bali yaitu terdiri dari ; 1) Peternak -
Belantik Desa - Belantik pasar – pedagang antar pulau. 2). Produsen (peternak) – belantik pasar hewan
dan pedagang antar pulau 3. Produsen – Pegadang antar pulau
Peran belantik desa yaitu mendatangi peternak untuk melakukan tawar menawar sapi yang akan dijual
oleh peternak. Lingkup kerja belantik desa yaitu hanya melakukan fungsi pembelian ditingkat peternak.
Selanjutnya hasil pembelian sapi dari peternak di salurkan langsung atau di simpan untuk sementara
waktu di suatu tempat. Pada akhirnya ternak akan dipasarkan ke pasar hewan melalui perantara belantik
pasar. Jual beli antara belantik desa dengan belantik pasar dapat terjadi di desa maupun di pasar hewan.
Belantik pasar ini berfungsi selain sebagai pelaku pasar juga berfungsi sebagai pengelola pasar ataupun
penyedia transportasi ternak. Belantik pasar ini akan berhubungan dengan pembeli regional (pedagang
antar pulau). Seluruh lembaga pemasar (belantik maupun pedagang antar pulau mempunyai peran yaitu
memindahkan ternak dari produksen ke konsumen. Alat angkut yang digunakan untuk angkutan ternak

versi elektronik
khususnya di daerah Bali yaitu truk atau kendaraan bak terbuka. Kemampuan angkut kendaraan truk yaitu
8-12 ekor sedangkan dengan bak terbuka hanya mampu mengangkut ternak sapi tidak lebih dari 6 ekor.
Pada sistem angkutan ternak sapi antar pulau jumlah kendaraan yang digunakan dengan kapasitas angkut
jauh lebih besar.
Dari semua pelaku pasar yang terlihat dalam saluran pemasaran ternak, terlihat bahwa petani mempunyai
posisi yang paling lemah. Hal ini karena petani pada umumnya tidak mempunyai akses terhadap
informasi pasar yang berlaku yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan tawar menawar, sementara itu
lembaga lainnya secara seksama mampu mengikuti perkembangan harga yang terjadi di tingkat
konsumen. Permasalahan pemasaran sapi yang terjadi terutama yang menggunakan sistem taksiran juga
sangat rentan bahwa jual beli ternak sapi tidak memihak pada peternak artinya harga yang diperoleh
peternak tidak optimal. Yusuf, et al.(2002), melaporkan bahwa jual beli dengan cara taksiran
menyebabkan peternak pada posisi tawar yang lemah.
Perubahan harga sapi melalui berbagai saluran pemasaran

versi elektronik
Hasil kajian menunjukkan terjadi perubahan harga sapi pada saat penyaluran sapi dari produsen ke
konsumen. Perubahan harga ini terjadi akibat adanya biaya maupun keuntungan di masing-masing
lembaga pemasaran. Pada saluran pemasaran 1. Tingkat harga sapi dari produsen ke konsumen yaitu
sebesar masing-masing berturut-turut sebesar Rp. 6 juta dan Rp. 8,9 juta. Atau bagian petani akibat dari
perubahan harga tersebut yaitu hanya 67,4% (Tabel 2).

301
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik Gambar 1. Struktur Perdagangan sapi di Provinsi Bali.


Tabel 2. Perkembangan harga sapi dari Produsen ke konsumen melalui saluran 1.
Lembaga Saluran Pemasaran
Keterangan Padagang antar
Peternak Belantik desa Belantik Pasar
pulau
Harga Beli (Rp) 6.200.000 6.750.000 8.000.000
Harga Jual (Rp) 6.000.000 6.500.000 8.000.000 8.900.000
Biaya-biaya (Rp) 55.000 75.000 500.000

versi elektronik
Keuntungan (Rp) 245.000 175.000 750.000
Perubahan harga sapi (%) 67,4% 73,0% 89,9% 100,0%
Sumber Data : Data Primer (diolah)

Dari Tabel 3, diketahui bahwa bagian harga yang diterima petani pada saluran pemasaran 2 yaitu 75,5%
(masih dikatagorikan sebagai saluran pemasaran panjang). Oleh karena merupakan saluran panjang, maka
harga di tingkat petani tetap ditekan sehingga bagian harga yang diterima petani masih lebih rendah
dibandingkan dengan bagian harga yang diterima petani pada saluran pendek yaitu 78,7% (Tabel 4).
Tabel 3. Perkembangan harga sapi dari Produsen ke konsumen melalui saluran 2.
Lembaga Saluran Pemasaran
Keterangan
Peternak Belantik Pasar Padagang antar pulau

versi elektronik
Harga Beli (Rp) 6.750.000 7.400.000
Harga Jual (Rp) 6.750.000 7.400.000 8.900.000
Biaya-biaya (Rp) 75.000 500.000
Keuntungan (Rp) 575.000 1.000.000
Perubahan harga sapi (%) 75,8% 83,1% 100,0%
Sumber Data : Data Primer (diolah)

302
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Berbeda halnya dengan saluran no. 3 nilai harga pada tingkat peternak sudah semakin tinggi yaitu
mencapai 78,7%. Hal ini tidak terlepas dari pendeknya rantai yang hrus dilalui sebagai pemasaran ternak
sapi.

versi elektronik
Tabel 4. Perkembangan harga sapi dari Produsen ke konsumen melalui saluran 3.
Lembaga Saluran Pemasaran
Keterangan
Peternak Padagang antar pulau
Harga Beli (Rp) 7.000.000
Harga Jual (Rp) 7.000.000 8.900.000
Biaya-biaya (Rp) 500.000
Keuntungan (Rp) 1.400.000
Perubahan harga sapi (%) 78,7% 100,0%
Sumber Data : Data Primer (diolah)

Biaya pemasaran
Pedagang perantara dalam rangka menyalurkan produknya untuk dipasarkan ke konsumen senantiasa

versi elektronik
harus mengeluarkan biaya. Nilai pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk masing-masing lembaga
akan berbeda yang dipengaruhi oleh jarak tempuh dari produsen ke konsumen dan banyaknya lembaga
pemasaran yang dilalui. Hal ini dapat dilihat dari pengorbanan (biaya ) yang harus dikeluarkan pada
saluran pemasaran 1. Total biaya yang harus dikeluarkan pada saluran 1 yaitu Rp. 670.000,-. Nilai
tersebut tersebar di 3 lambaga pemasaran.
Tabel 5. Biaya yang dikeluarkan pedagang perantara di berbagai saluran pemasaran (Rp/ekor).

Saluran Belantik desa Belantik Pasar Pedagang antar Pulau Jumlah

1 55.000 75.000 500.000 630.000


2 75.000 500.000 575.000
3 500.000 500.000

versi elektronik
Sumber Data : Data Primer (diolah

Keuntungan Pedagang
Keuntungan pedagang merupakan imbalan atas jasa yang dilakukan selama melakukan proses pemasaran.
Keuntungan pedagang berbeda-beda antara pedagang yang satu dengan pedagang yang lainnya. Hal ini
diduga karena jasa yang telah dilakukan oleh para pedagang tersebut berbeda beda.
Besarnya keuntungan pedagang dari berbagai jenis saluran pemasaran dapat dilihat pada (Tabel 6).
Terlihat bahwa keuntungan terbesar diperoleh dari pedagang adalah pada saluran 2 yaitu sebesar
Rp.1.557.000/ekor.
Tabel 6. Tingkat Keuntungan pedagang perantara di berbagai saluran pemasaran (Rp/ekor)

Saluran Belantik desa Belantik Pasar Pedagang antar Pulau Jumlah

versi elektronik
1 245.000 175.000 750.000 1.170.000
2 575.000 1.000.000 1.575.000
3 1.400.000 1.400.000
Sumber Data : Data Primer (diolah

303
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Margin Pemasaran
Margin pemasaran adalah merupakan perbedaan harga yang diterima antara lembaga pemasaran satu
dengan lembaga pemasaran lainnya.

versi elektronik
Harga yang diterima petani dengan pedagang perantara dalam pemasaran ternak potong berbeda
besarnya. Perbedaan ini disebabkan oleh kegiatan yang dilaksanakan pedagang perantara dalam fungsi
pemasaran berbeda dengan petani. Besarnya margin pemasaran untuk pedagang perantara dipengaruhi
oleh unsur- unsur biaya pemasaran dan target keuntungan pemasaran sebagai imbal jasa atas pedagang
perantara dalam memasarkan ternak. Rincian margin pemasaran pada berbagai saluran pemasaran
seperti pada (Tabel 7). Terlihat bahwa margin pemasaran yang paling besar adalah pada saluran 1 yaitu
sebesar Rp.2.450.000/ekor dan yang terkecil pada saluran 3 yakni Rp.1900.000,-/ekor. Besarnya margin
pemasaran pada saluran 1 di pengaruhi oleh banyaknya lembaga yang terlibat.
Tabel 7. Besaran nilai margin pemasaran pada berbagai saluran pemasaran. (Rp/ekor).

Saluran Belantik desa Belantik Pasar Pedagang antar Pulau Jumlah

1 300.000 1.250.000 900.000 2.450.000

versi elektronik
2 650.000 1.500.000 2.150.000
3 1.900.000 1.900.000
Sumber Data : Data Primer (diolah

Analisis Usaha pada Jagal/ Pedagang Pemotong Ternak


Analisis usaha Jagal/ Pedagang Pemotong Ternak diperlihatkan pada Tabel 8. Total biaya yang harus
dikeluarkan adalah sebesar Rp 42.097.500 untuk pembelian sapi dan retribusi di pasar hewan Bringkit,
pembayaran transport dari pasar hewan ke RPH Denpasar, pembelian tali/tambang untuk mengikat sapi,
pembelian pakan dan air minum, membayar tenaga perawat sapi, tenaga pengolahan dan retribusi di RPH.
Sementara penerimaan Jagal/Pedagang Pemotong Ternak berjumlah Rp.46.965.000,- yang terdiri dari
penjualan daging, kulit, kepala, jeroan, dan lain-lain. Dengan demikian, laba bersih yang diterima
Jagal/Pedagang Pemotong Ternak untuk 5 ekor sapi yang dibeli dan selanjutnya dipotong adalah sebesar

versi elektronik
Rp 4.867.500.yang hanya merupakan 2.31% dari total biaya. Persentase laba tersebut sangat kecil
sehingga jika Jagal/Pedagang Pemotong Ternak salah menafsir berat daging dan/atau ada pencurian
daging oleh pekerja pengolah, maka Jagal/ Pedagang Pemotong Ternak bisa menderita kerugian.
Analisis Usaha pada Pedagang Pengecer Daging Sapi
Hasil analisis usaha pedagang pengecer daging diperlihatkan pada Tabel 8, yang mengindikasikan bahwa
total biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 9.370.167. Dari 150 kg daging yang dibeli, hanya 145 kg
yang dapat dijual karena susut berat 5 kg sebagai akibat penurunan kadar air dan lemak yang dibuang.
Dengan susut tersebut, jumlah penerimaannya adalah sebesar Rp 9.725.000, sehingga laba bersih yang
diterima pedagang ini adalah Rp 354.833 yang hanya merupakan 3.8% dari total biaya.

versi elektronik 304


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 8. Analisis usaha pemotongan ternak di RPH Denpasar.

Uraian Satuan Volume Harga Nilai


(Rp/sat) (Rp)

versi elektronik
A. Biaya
1. Harga beli sapi di pasar hewan Beringkit
- Jantan (450 kg) ekor 3 8.900.000 26.700.000
- Betina (300 kg) ekor 2 7.000.000 14.000.000
2. Retribusi di pasar hewan ekor 5 12.000 60.000
3. Transport ke RPH ekor 5 70.000 350.000
4. Tali dll ekor 5 5.000 25.000
5. Pakan dan air minum 5 hr di RPH ekor 5 60.000 300.000
6. Tenaga kerja perawatan di RPH hok 5 65.000 325.000
7. Tenaga kerja pengolahan di RPH orang 5 50.000 250.000
8. Retribusi di RPH ekor 5 17.500 87.500
Total Biaya 42.097.500

versi elektronik
B. Penerimaan:
1. Daging kg 686 65.000 44.590.000
2. Kulit lembar 5 75.000 375.000
3. Kepala, jeroan, dll ekor 5 400.000 2.000.000
Total Penerimaan 46.965.000
C. Laba 4.867.500
Keuntungan per ekor (%) 2,31%
Sumber : Data Primer (diolah)
Tabel 9. Analisis usaha pengecer daging di Denpasar

Uraian Satuan Volume Harga Nilai


(Rp/sat) (Rp)
A. Biaya:

versi elektronik
1. Pembelian daging Kg 150 60.000 9.000.000
2. Tenaga kerja di lapak Orang 2 30.000 60.000
3. Biaya keamanan (Rp 5.000/bulan) Hari 1 167 167
4. Biaya kebersihan Hari 1 10.000 10.000
5. Biaya angkut dari RPH ke lapak Kg 150 2.000 300.000
Total Biaya 9.370.167
B. Penerimaan*):
1. Daging has Kg 30 75.000 2.250.000
2. Daging paha Kg 115 65.000 7.475.000
Total penerimaan 9.725.000
C. Laba Rp 354.833
% 3,8%

versi elektronik
Keterangan: *) Susut 5 kg (penurunan kadar air dan pembuangan lemak)

KESIMPULAN
1. Terdapat tiga bentuk aliran pemasaran ternak potong dari produsen sampai ke konsumen, yaitu
:(1) Produsen - blantik desa - blantik pasar hewan - pedagang antar pulau, (2) Produsen - blantik
pasar hewan - pedagang antar pulau, (3) Produsen - pedagang antar pulau.

305
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

2. Margin pemasaran yang paling besar adalah pada (saluran 1) yakni Rp.2.450.000/ekor, terbesar
kedua yaitu (saluran ke 2) dengan nilai Rp.2.150.000,- dan terkecil yaitu pada saluran 3 yakni
Rp.1.900.000/ekor.
3. Analisis usaha pemotongan dan analisis pengecer daging di pasar menunjukkan bahwa tingkat

versi elektronik
keuntungan relatif kecil dibandingkan dengan resiko yang ada. Resiko pada usaha
pemotongan yaitu kesalahan dalam menaksir prosentase daging yang diperoleh dari ternak.
Sedangkan pada usaha eceran resiko yang ada yaitu pada saat daging tidak terjual habis
sehinga perlu sarana pendingin untuk mengamankan daging tidak rusak.
4. Penting adanya perubahan sistem pemasaran sapi yang mendukung transparansi harga di
berbagai lembaga pemasar khususnya para peternak selaku produsen.

DAFTAR PUSTAKA
Arshad,F.M.,1980. The Integration of palm oil market in Penisular Malaysia. Indian Journal Agriculture
Development Council, Inc, New York.
Kotler (1992) mendefinisikan saluran pemasaran merupakan sauran distribusi yang terdiri dari
seperangkat pedagang yang melakukan semua kegiatan (fungsi) yang digunakan untuk
menyalurkan produk dari produsen ke konsumen.

versi elektronik
Patrick, I. W., G. R. Marshall., I G.A.A. Ambarawati., M. Aburahman. 2010. Social Capital and Cattle
Marketing Chains in Bali and Lombok, Indonesia. ACIAR Technical Report No 74. Australian
Centre for International Agriculture Research (ACIAR). Canberra, Australia.
Saefuddin, A.M., 1982. Pengkajian Pemasaran Komoditi, IPB, Bogor.
Sujanto, J. 200. Teknik Sampling, untuk Survey dan Eksperimen. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukanata I W., I G.N. Kayana., B.R.T. Putri., W. Parimartha. 2009. Analisis Efisiensi Ekonomis
Usahatani Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus di Desa Lebih, Kabupaten Gianyar). Laporan
Akhir Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
Sukanata, I W., Suciani, I G.N. Kayana., I W. Budiartha. 2010. Kajian Kritis terhadap Penerapan
Kebijakan Kuota Perdagangan dan Efisiensi Pemasaran Sapi Potong Antar Pulau. Laporan Akhir
Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.

versi elektronik
Suparta, I N. 2009. Tata Niaga Sapi Potong dan Distribusi Bisnis Peternakan Sapi Potong Lokal dan
Import. Makalah disampaikan pada acara public training ”Magemen Pembiayaan Bisnis Ternak
Sapi Potong”, yang diselenggarakan oleh PT. FABA Indonesia Konsultan, Tgl 18-20 Maret 2009.
Yusuf, B. de Rosari, dan C. Lie, 2000. Pemasaran Ternak Sapi Bali di Nusa Tenggara. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol. 5 No. 1, Januari 2002. Puslitbang
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang, Deptan

versi elektronik 306


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PENGARUH KEMAMPUAN KEWIRAUSAHAAN DAN SISTEM KEMITRAAN TERHADAP


MOTIVASI PETERNAK AYAM PEDAGING DI KECAMATAN BANTIMURUNG
KABUPATEN MAROS

versi elektronik
Ilham Rasyid, Amrulah, Muhammad Darwis
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin; Email: hilhamrasyid@yahoo.com; natjtjas@gmail.com;
darwism24@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh kemampuan kewirausahaan dan sistem kemitraan terhadap
motivasi peternak ayam pedaging di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. Penelitian ini
dilaksanakan pada Bulan April – Mei 2012. Jenis penelitian adalah eksplanasi yang bertujuan melihat
pengaruh variabel independen dengan variabel dependen. Populasi dalam penelitian ini seluruh peternak
ayam pedaging di Kecamatan Bantimurung berjumlah 155 orang, kemudian dilakukan penarikan sampel
dengan rumus Slovin sebanyak 61 orang peternak. Analisa data digunakan Regresi Linear Berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama kemampuan kewirausahaan dan sistem
kemitraan berpengaruh terhadap motivasi peternak ayam pedaging dan secara parsial faktor sistem
kemitraan lebih dominan mempengaruhi motivasi peternak ayam pedaging di Kabupaten Maros Provinsi

versi elektronik
Sulawesi Selatan.
Kata kunci: Kemampuan Kewirausahaan, Sistem kemitraan, Motivasi, Peternak Ayam Pedaging

ABSTRACT
The objectives of the research were to find out the impact of the entrepreneurship capability and the
business partnership system towards the motivation of the broiler farmers in Bantimurung District, Maros
Regency. The research was until April to May 2012. The research was explanatory to know influence
independen with dependen variabel. Population in research all broiler farmers in Bantimurung District
155 people and sample with Slovin method are 61 farmers. Data analysis used multiple linear regression.
Result of research indicate that by together ability of entrepreneurship capability and partnership system
have an effect on to motivation of broiler farmers and by parsial is factor of partnership system more
dominant influence the motivation of broiler farmers in Bantimurung District, Maros Regency.
Keywords: Entrepreneurship Capability, Partnership System, Motivation, Broiler Farmers

versi elektronik
PENDAHULUAN
Usaha peternakan ayam pedaging dimulai dengan usaha mandiri agar dapat memenuhi kebutuhan
keluarga yang umumnya diusahakan dalam skala kecil. Peternak memulai usahanya dengan modal sendiri
dan menanggung resiko sendiri. Seiring tuntutan ekonomi dan perkembangan teknologi, usaha peternakan
ini pun mulai dikembangkan dalam skala menengah dan besar. Keterbatasan dalam hal permodalan,
teknologi, dan sumberdaya manusia membuat terbentuknya kerjasama dalam agribisnis peternakan antara
peternak dengan perusahaan peternakan.
Kerjasama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kemitraan antara perusahaan inti dengan peternak
kecil, hal ini tidak saja bertujuan untuk meningkatkan pendapatan peternak tetapi juga bertujuan untuk
mewujudkan ketersediaan daging ayam dalam dimensi jumlah, kualitas, waktu, dan keterjangkauan.
Dengan adanya hubungan kemitraan tersebut dapat memotivasi peternak mandiri beralih bergabung
dengan sistem kemitraan.

versi elektronik
Kemitraan usaha ayam pedaging ini merupakan salah satu alat kerjasama yang mengacu pada terciptanya
suasana keseimbangan dan keselarasan serta didasari rasa saling mempercayai antara pihak yang
bermitra. Melalui kemitraan diharapkan terwujud sinergi yaitu terwujudnya hubungan yang saling
membutuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat dalam usaha. Oleh karena itu sangatlah
penting jika kemitraan didasari oleh pemahaman tentang kejujuran, kepercayaan, keadilan, dan

307
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

komunikasi terbuka yang terangkum dalam etika bisnis sehingga kemitraan akan kuat dan bertahan lama
(Dewi, 2006).
Selain itu, seorang peternak harus memiliki dan mengembangkan kemampuan kewirausahaan untuk

versi elektronik
meningkatkan jumlah populasi ternak ayam potong dengan menjajaki peluang baru melalui kombinasi
baru dari sumber daya yang sudah ada. Kemampuan kewirausahaan peternak melakukan proses
penciptaan kekayaan dan peningkatan nilai tambah, melalui gagasan-gagasan, meramu sumber-sumber
dan membuat segala sesuatunya menjadi kenyataan termasuk didalamnya bagaimana menjalin kemitraan
dengan perusahaan inti.
Kabupaten Maros merupakan salah satu daerah sentra produksi ayam ras pedaging di Sulawesi Selatan,
dengan jumlah populasi sebanyak 7.985.518 ekor yang diusahakan oleh sebanyak 1.774 orang peternak
(Badan Pusat Statistik Maros, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kemampuan kewirausahaan dan
sistem kemitraan terhadap motivasi peternak ayam pedaging di Kecamatan Bantimurung Kabupaten
Maros.

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai dengan Mei 2012 di Kecamatan Bantimurung
Kabupaten Maros. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian eksplanasi yang bertujuan
melihat pengaruh independen terhadap variabel dependen.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peternak pada usaha peternakan ayam pedaging di
Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros berjumlah 155 orang. Penarikan sampel dengan
menggunakan rumus Slovin sebanyak yaitu 61 orang. Metode pengumpulan data yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah
disiapkan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yaitu kemampuan
kewirausahaan, sistem kemitraan dan motivasi peternak ayam pedaging. Untuk sumber data meliputi data
primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara langsung dari peternak ayam pedaging sebagai
responden yang berpedoman dengan kuesioner dan data sekunder yaitu dari instansi terkait. Analisis
data yang digunakan. Analisa data yang digunakan untuk menganalisis pengaruh kemampuan
kewirausahaan dan sistem kemitraan terhadap motivasi peternak ayam pedaging digunakan Regresi

versi elektronik
Linear Berganda dimana :
Y= a + b1X1 + b2X2 + e (Sugiyono, 2004).
Y = Motivasi Peternak Ayam Pedaging
a = Konstanta
b1, b2 = Koefisien Regresi Variabel X1 dan X2
X1 = Kemampuan Kewirausahaan
X2 = Sistem Kemitraan
e = Standart kesalahan (Error)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Kemampuan Kewirausahaan dan Sistem Kemitraan terhadap Motivasi Peternak

versi elektronik
Untuk menganalisis pengaruh kemampuan kewirausahaan dan sistem kemitraan terhadap
motivasi peternak ayam pedaging di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros digunakan analisis
regresi linear berganda dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS for windows. Adapun
yang menjadi variabel pada penelitian ini yaitu terdiri atas variabel bebas (independen) meliputi
kemampuan kewirausahaan (X1) dan sistem kemitraan (X2). Sementara untuk variabel terikat (dependen)

308
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

adalah motivasi peternak ayam pedaging (Y). Hasil analisis regresi linear berganda dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Pengaruh Kemampuan Kewirausahaan dan Sistem

versi elektronik
Kemitraan terhadap Motivasi Peternak Ayam Pedaging di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros.
Variabel Koefisien
Variabel Bebas t Hitung Sig Keterangan
Terikat Regresi (B)
Konstanta Motivasi 16,970 10,406 0,000
Peternak (Y)

Kemampuan Kewirausahaan
(X1)
0,248 3,652 0,001 Signifikan
Sistem Kemitraan (X2)
0,290 4,433 0,000 Signifikan
Multiple R = 0,793; R Square = 0,629; FSign = 0,000; Fhitung = 49,258;
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2012; Keterangan : Signifikan pada α = 0,05

versi elektronik
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari hasil analisis regresi linear berganda dapat diketahui koefisien regresi
masing-masing variabel bebas (independen) dan nilai konstanta sehingga dapat bentuk persamaannya
sebagai berikut :
Y = 16,970 + 0,248X1 + 0,290X2 + e
Dari persamaan tersebut, diketahui nilai konstanta pengaruh variabel bebas X1 dan X2 terhadap Y sebesar
16,970. Hal ini menunjukkan bahwa jika nilai variabel bebas bernilai 0 atau tidak ada maka motivasi
peternak ayam pedaging sebesar 16,970. Sementara nilai koefisien regresi masing-masing variabel bebas
yang berpengaruh terhadap motivasi peternak ayam pedaging adalah sebagai berikut: (a) Koefisien regresi
variabel kemampuan kewirausahaan (X1) sebesar 0,248, artinya bahwa kemampuan kewirausahaan
memberikan pengaruh terhadap motivasi peternak ayam pedaging, yang berarti bahwa jika kemampuan
kewirausahaan meningkat sebanyak 1 satuan maka motivasi peternak ayam pedaging meningkat sebesar
0,248 satuan, dengan asumsi variabel lain konstant. (b) Koefisien regresi variabel sistem kemitraan (X2)
sebesar 0,290, artinya bahwa sistem kemitraan memberikan pengaruh terhadap motivasi peternak ayam

versi elektronik
pedaging, yang berarti bahwa jika sistem kemitraan meningkat sebanyak 1 satuan maka motivasi
peternak ayam pedaging meningkat sebesar 0,290 satuan, dengan asumsi variabel lain konstant.
Untuk menentukan variabel mana yang paling berpengaruh diantara variabel bebas yang ada terhadap
variabel terikat, maka digunakan metode analisis yang membandingkan besar koefisien regresi antar
masing-masing variabel bebas tersebut. Dari hasil koefisien regresi masing-masing variabel bebas maka
variabel sistem kemitraan memiliki koefisien regresi (B) yang paling besar yaitu 0,290. Dengan demikian
variabel sistem kemitraan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap motivasi peternak ayam
pedaging.
Kuatnya pengaruh dan besarnya sumbangan variabel bebas terhadap variabel terikat secara bersama-sama
dapat dilihat pada nilai koefisien korelasi berganda (R) dan koefisien determinasi (R2). Adapun nilai
koefisien korelasi berganda (R) 0,793, hal ini berarti bahwa pengaruh kemampuan kewirausahaan (X1)
dan sistem kemitraan (X2) hubungannya kuat dan positif terhadap motivasi peternak ayam pedaging di
Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. Sementara nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,629

versi elektronik
berarti bahwa pengaruh atau besarnya persentase sumbangan variabel bebas secara bersama-sama
mempengaruhi naik turunnya motivasi peternak ayam pedaging di Kecamatan Bantimurung Kabupaten
Maros sebesar 62,9%, sedangkan sisanya sebesar 37,1% dipengaruhi oleh faktor lain diluar model yang
digunakan pada penelitian ini.
Tabel 1 menunjukkan bahwa Fhitung sebesar 49,258 dan Fsignifikan sebesar 0,000 < 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel bebas kemampuan kewirausahaan (X1) dan sistem kemitraan (X2) secara

309
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap motivasi peternak ayam pedaging di Kecamatan


Bantimurung Kabupaten Maros.
Setelah melakukan pengujian pengaruh variabel bebas secara bersama-sama, maka selanjutnya dilakukan

versi elektronik
pengujian pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara sendiri-sendiri (parsial). Adapun
pengujian dilakukan dengan menggunakan uji t. pengujian ini dilakukan dengan membandingkan antara
nilai thitung variabel bebas Xi dengan ttabel atau nilai signifikansi < α = 0,05. Untuk melihat pengaruh
secara sendiri-sendiri masing-masing variabel bebas akan dipaparkan sebagai berikut:
Analisis Pengaruh Kemampuan Kewirausahaan (X1) terhadap Motivasi Peternak Ayam Pedaging.
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai signifikansi variabel X1 adalah (0,001) < (0,05). Hal ini berarti bahwa
variabel kemampuan kewirausahaan (X1) secara sendiri-sendiri berpengaruh signifikan (nyata) terhadap
motivasi peternak ayam pedaging (Y) di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros.
Analisis Pengaruh Sistem Kemitraan (X2) terhadap Motivasi Peternak Ayam Pedaging.
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai signifikansi variabel X2 adalah (0,000) < (0,05). Hal ini berarti bahwa
variabel sistem kemitraan (X2) secara sendiri-sendiri berpengaruh signifikan (nyata) terhadap motivasi
peternak ayam pedaging (Y) di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros.

versi elektronik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama (simultan) kemampuan kewirausahaan dan
sistem kemitraan berpengaruh signifikan (nyata) terhadap motivasi peternak ayam pedaging di
Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. Artinya tinggi rendahnya motivasi peternak ayam pedaging
tergantung pada kemampuan kewirausahaan dan sistem kemitraan. Hal ini sesuai dengan pendapat Harris
(2000), bahwa wirausaha yang sukses pada umumnya ialah mereka yang memiliki kompetensi, yaitu
seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kualitas individu yang meliputi sikap,
motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan/kegiatan. Wirausaha
tidak hanya memerlukan pengetahuan tapi juga keterampilan. Sedangkan menurut Hafsah (2000), bahwa
mekanisme pelaksanaan kemitraan usaha ayam ras pedaging didasarkan atas hubungan langsung antara
perusahaan dengan petani peternak. Permodalan petani peternak umumnya masih lemah dan
pengetahuan/keterampilan petani dalam berusaha tani ternak dengan baik juga masih rendah, oleh
karena itu perusahaan inti menyediakan DOC, pakan, obat-obatan, serta memberikan pembinaan teknis
dan manajemen kepada petani peternak.

versi elektronik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara sendiri-sendiri kemampuan kewirausahaan (X1) berpengaruh
nyata terhadap motivasi peternak ayam pedaging (Y). Hal ini berarti, bahwa peningkatan motivasi
peternak ayam pedaging tergantung kemampuan kewirausahaan peternak pada produksi usaha,
pemasaran, keuangan, memecahkan masalah-masalah usaha, pengambilan resiko, dan organisasi serta
kepemimpinan. Peternak menganggap kemampuan kewirausahaan yang dimiliki sekarang ini sesuai
dengan kebutuhan untuk berusaha peternakan ayam pedaging. Hal ini sesuai pendapat Meredith (1992),
bahwa potensi adalah kemampuan yang sebenarnya dimiliki oleh seseorang tetapi belum dimanfaatkan
sepenuhnya. Jadi pada dasarnya seorang peternak memiliki potensi wirausaha yang belum dimanfaatkan
dengan maksimal sehingga diperlukan bantuan pihak perusahaan mitra untuk menggali dan menemukan
potensi wirausaha peternak tersebut supaya lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan usaha peternakan
ayam pedaging.
Selain kemampuan kewirausahaan, sistem kemitraan (X2) juga berpengaruh nyata terhadap motivasi
peternak ayam pedaging (Y). Hal ini berarti, bahwa peningkatan motivasi peternak ayam pedaging

versi elektronik
tergantung pada sistem kemitraan karena peternak merasa adanya keterbukaan pihak perusahaan, jaminan
yang diperoleh peternak, sumber sarana produksi ternak, ketentuan harga garansi ayam hidup, ketentuan
jadwal panen, jadwal pengiriman sarana produksi ternak, penghitungan bagi hasil (keuntungan) antara
perusahaan inti dan peternak. Peternak menganggap sistem kemitraan usaha ayam potong yang berlaku
saat ini sesuai dengan keinginan para peternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharno (1999), yang
mengemukakan bahwa pola kemitraan merupakan suatu kerjasama antara pengusaha dengan peternak

310
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

dalam upaya pengelolaan usaha peternakan. Dalam kemitraan antara pihak pengusaha dengan peternak
harus mempunyai posisi yang sejajar agar tujuan kemitraan dapat tercapai.
Salah satu alasan peternak melakukan kemitraan adalah karena melalui sistem kemitraan usaha

versi elektronik
peternakan ayam pedaging dapat menguntungkan dan efisien. Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Prayogo (2006), menunjukkan bahwa usaha ayam pedaging pola kemitraan sangat
menguntungkan dan sangat efisien. Selain menguntungkan dan efisien bagi sebagian peternak
menganggap bahwa sistem kemitraan memberikan banyak manfaat diantaranya penyediaan sarana
produksi sehingga peternak dapat mengurangi biaya produksinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kurniawan (2005), menunjukkan bahwa biaya serta penerimaan peternak berpengaruh positif terhadap
keuntungan, banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan mengikuti usaha ayam potong pola kemitraan.
Disinilah peran dan pentingnya motivasi karena setiap pekerjaan dan usaha yang akan dilakukan
memerlukan motivasi. Pada umumnya tingkah laku manusia dilakukan secara sadar, artinya selalu
didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan. Menurut pendapat Alma (1999), mengemukakan bahwa
motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan dorongan
atau impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Motif dengan kekuatan yang
sangat besarlah yang akan menentukan prilaku seseorang. Motif yang kuat ini seringkali berkurang

versi elektronik
apabila telah mencapai kepuasan ataupun karena menemui kegagalan.

KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan kewirausahaan dan sistem
kemitraan baik secara bersama-sama (simultan) maupun secara sendiri-sendiri (parsial) berpengaruh
signifikan (nyata) terhadap motivasi peternak ayam pedaging di Kecamatan Bantimurung Kabupaten
Maros dan variabel yang memiliki pengaruh yang paling besar terhadap motivasi peternak ayam pedaging
di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros adalah sistem kemitraan. Disarankan sebaiknya
pengembangan usaha peternakan ayam pedaging perlu mendapat perhatian dari pemerintah kepada para
peternak di Kabupaten Maros, yaitu dengan memberikan pelatihan-pelatihan dan penyuluhan teknis
manajemen usaha peternakan ayam potong.

DAFTAR PUSTAKA
Alma B. 1999. Dasar-dasar Bisnis dan Pemasaran. Penerbit Alfabeta. Bandung.

versi elektronik
Badan Pusat Statistik. 2009. Maros Dalam Angka.
Dewi I. 2006. Kesinambungan Usaha Bisnis Kemitraan Ayam Ras Pedaging (Kasus di Tunas Mekar
Farm Bogor). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hafsah M.J. 2000. Kemitraan Usaha, Konsep dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Harris M. 2000. Human Recourses Management, USA.
Kurniawan A. 2005. Analisis Usaha Peternakan Ayam Potong Pola Kemitraan PT. Nusantara Unggas
Jaya (NUJ) Kabupaten Jember. http://www.sistemkemitraan ayam potong. diakses 27 Mei 2011.
Meredith G.G. 1992. The Practice of Entrepreneurship (Kewirausahaan Dalam Teori dan Praktek).
Penerjemah: Andre Aspar Sayogi. Penerbit PT. Pustaka Binaman pressindo, Jakarta.
Prayogo S.S. 2006. Analisis Usaha Peternakan Ayam Pedaging Pola Kemitraan Di PT. Ciomas Adisatwa

versi elektronik
Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto. http://www.sistemkemitraan ayam potong. diakses 27
Mei 2011.
Sugiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. ALFABETA, Jakarta.
Suharno B. 1999. Kiat Sukses Berbisnis Ayam. Penebar Swadaya, Jakarta.

311
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

HUBUNGAN ANTARA CURAHAN WAKTU KERJA WANITA DAN PENDAPATAN PADA


USAHA PENETASAN TELUR ITIK DI KELURAHAN MANISA, KECAMATAN BARANTI,
KABUPATEN SIDRAP

versi elektronik
Kasmiyati Kasim dan Sitti Nurani Sirajuddin
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara curahan waktu kerja wanita dan
pendapatan pada usaha penetasan telur itik. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Manisa, Kecamatan
Baranti, Kabupaten Sidrap selama 3 (tiga) bulan. Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Jumlah
sampel yang diambil adalah 30 responden. Data yang diperoleh bersumber dari data primer dan data
sekunder. Analisis data yang digunakan adalah statistik parametrik dengan menggunakan rumus Korelasi
Pearson Product Moment (r). Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya hasil korelasi yaitu 0,762
yang bermakna bahwa terdapat hubungan yang kuat antara curahan waktu kerja wanita dengan
pendapatan pada usaha penetasan telur itik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap.
Kata kunci: Curahan waktu, wanita, Pendapatan,penetasan,telur itik

versi elektronik
ABSTRACT
The purpose of this research was to know Between time allocation of woman and income of duck
hatchery. It was done in Manisa District, Baranti Sub district, Sidrap Regency for 3 months. Kind of the
research was quantitative. Numbers of sample were 30 duck farmers. Sources of data were primery date
and secondary. Data analysis used in this research was parametric statistic with using Correlation Person
Product Moment (r). Result of the research indicated that corelation between varible X and Y was 0,762.
there was strong correlation between utilizing of work time and income of duck hatchery.
Key words: Time allocation, woman, income,hatchery,duck eggs

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan peternakan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, peternak

versi elektronik
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya melalui peningkatan produksi baik kualitas maupun
kuantitas. Selain itu juga untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Untuk mencapai hal
itu, maka pembangunan peternakan diarahkan pada pengembangan peternakan yang lebih maju melalui
penerapan teknologi yang tepat guna. Pembangunan peternakan dilakukan untuk mencapai suatu
pengembangan yang diarahkan pada pendayagunaan sumber daya alam dan tenaga kerja manusia dalam
rangka meningkatkan poduksi dan pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu komoditi peternakan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah ternak itik. Di
Indonesia, ternak itik memegang peranan yang cukup penting bagi sebagian masyarakat pedesaan.
Pemeliharaan itik merupakan usaha sampingan bagi masyarakat pedesaan, yang sebagaian besar mata
pencahariannya adalah bertani. Ternak itik bersama dengan ternak unggas lainnya berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani yang berasal dari telur dan daging. Hasil penjualan telur dan
ternaknya sendiri dapat meningkatkan pendapatan keluarga petani.
Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang berpotensi untuk pengembangan usaha peternak itik adalah

versi elektronik
Kabupaten Sidrap. Usaha peternakan tersebut merupakan usaha peternakan rakyat yang dikelola oleh
rumah tangga peternak. Di daerah ini memiliki potensi lingkungan yang baik karena merupakan salah
satu daerah penghasil beras di Sulawesi Selatan, mempunyai areal persawahan dengan pengairannya yang
dapat menunjang pelaksanaan dan pengembangan usaha ternak itik. Jumlah populasi ternak itik di
Kabupaten Sidrap terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama kurung waktu 3 tahun yaitu

312
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

dari tahun 2009 – 2011 sebesar 361.540 meningkat menjadi 397.802 ekor (Statistik Peternakan
Kabupaten Sidrap, 2012)
Melihat populasi ternak itik di Kabupaten Sidrap yang cukup tinggi, maka diharapkan dapat melakukan

versi elektronik
usaha pemeliharaan itik dengan tujuan komersial. Untuk meningkatkan populai tetnak itik di Kabupaten
Sidrap maka diperlukan peningkatan produki bibit itik dalam hal ini menyangkut teknologi pembibitan
ternak itik untuk mempersiapkan generasi itik baru dari bibit yang mempunyai kulitas dan kuantita yang
tinggi. Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka memperoleh bibit itik yaitu usaha penetasan telur
itik.
Di Kabuapaten Sidrap, Kecamatan Baranti, khusunya Kelurahan Manisa, terdapat usaha penetasan yang
sudah digeluti oleh sebagian masyarakat . Usaha penetesan telur itik ini dilakukan oleh wanita peternak
itik. Adanya usaha tersebut dilakukannya untuk membantu mencari nafkah guna memperoleh pendapatan
tambahan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian wanita dilokasi penelitian mempunyai peran
ganda, sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah tambahan, dalam hal ini mereka harus
mampu mengatur waktunya. Melihat hal tersebut maka peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian mengenai: Hubungan curahan kerja wanita dan pendapatan pada usaha penetasan telur itik di
Kelurahan Mania, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap.

versi elektronik
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana curahan waktu kerja wanita pada usaha penetasan telur itik yang dilakukan selama 1
periode ?
2. Bagaimana pendapatan yang diperoleh pada usaha penetasan telur itik selama 1 periode ?
3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara curahan waktu kerja wanita dan pedapatan pada
usaha penetasan telur itik ?
Adapun tujuan dari penelitian kajian wanita ini adalah :
1. Untuk mengetahui cuarahan waktu kerja wanita pada usaha penetaan telur itik dalam 1 periode.
2. Untuk mengetahui pendapatan yang diperoleh pada usaha penetasan selama 1 periode.
3. Untuk mengetahui hubungan antara curahan waktu kerja wanita dan pendapatan pada usaha
penetasan telut itik.

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian.
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, Propinsi
Sulawesi Selatan dengan waktu penelitian dilaksanakan selama 3 bulan. Dan penentuan lokasi penelitian
dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terdapat banyak masyarakat
yang menggeluti usaha penetasan telur itik.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif yang ingin melihat gambaran jumlah curahan
waktu kerja wanita, jumlah pendapatan dan besarnya hubungan antara curahan waktu kerja wanita dan
pendapatan pada usaha penetasan telur itik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap.
Populasi dan Sampel

versi elektronik
Adapun jumalah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebesar 30 responden yang dianggap sudah
dapat mewakili populasi dalam penelitian.
Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara :

313
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

• Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian dengan melakukan
pengamatan dan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner.
• Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini serta
sumber-sumber pustaka penunjang lainnya.

versi elektronik
Analisa Data
Untuk mengetahui curahan waktu kerja wanita dalam usaha penetasan telur itik dilakukan analisis
statistik deskriptif dengan menggunakan rumus :
Curahan kerja Wanita = Jumlah jam kerja perempuan X HKSP
(HKSP Wanita = 0,8).
Untuk mengetahui besarnya pendapatan pada usaha penetasan digunakan dilakukan analisis statistik
deskriptif dengan menggunakan rumus pendapatan yaitu :
Pd = TR - TC (Soekartawi, 2003)
Dimana :

versi elektronik
Pd = Total Pendapatan yang diperoleh dalam usaha penetasan telur itik (Rp/periode)
TR = Total Revenue/Penerimaan yang diperoleh pada uasaha penetasan telur itik (Rp/periode)
TC = Total Cost/Biaya yang dikeluarkan pada usaha penetasan telur itik (Rp/periode)
Untuk mengetahui hubungan antara curahan waktu kerja wanita dan pendapatan pada usaha penetasan
telur itik dilakukan analisis korelasi dengan menggunakan rumus korelasi pearson product Moment yaitu
:

r =

Dimana :

versi elektronik
r = Koefisien Korelasi
n = Jumlah Sampel
'Σ X = Jumlah Data X
' ΣY = Jumlah Data Y

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan Umum Responden
Tingkatan Umur
Umur dapat mempengaruhi kemampuan fisik dan pola berpikir seeorang dalam mengelola usaha
peternakan dan usaha tambahan lainnya. Adapun keadaan umum responden berdasarkan tingkat umur
dapat dilihat pada Tabel 1.

versi elektronik 314


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 1. Klasifikasi Responden Berdasarkan Tingkat Umur di Kelurahan Desa Manisa,


Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap.
Tingkatan Umur (tahun) Jumlah (orang) (%)

versi elektronik
24 – 28 11 36,6
29 – 33 7 23,3
34 – 39 8 26,7
40 – 44 2 6,7
45 – 49 2 6,7
Jumlah 30 100.00
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2008.

Pada tabel 1 di atas, terlihat bahwa responden peternak yang berumur 24 – 28 tahun memiliki jumlah
yang terbesar yaitu 11 orang dengan persentase 36,6 % dan yang terkecil adalah pada tingkatan umur 40 –
44 tahun dan 45 – 49 tahun yaitu masing-masing 6,7 %. Berdasarkan keaadaan tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa responden rata-rata berada pada usia produktif yang masih memiliki kemampuan fisik
untuk melakukan pekerjaan dan mejalankan usaha pentasannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Swasta

versi elektronik
dan Sukotjo (1999) bahwa tingkat produktivitas kerja seseorang akan mengalami peningkatan sesuai
dengan pertumbuhan umur, kemudian akan menurun kembali menjelang usia tua. Selanjutnya dikatakan
pula bahwa umur seorang pengusaha dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja, sebab umur erat
kaitannya dengan kemampuan kerja serta pola pikir dalam menentukan pola manajemen yang diterapkan
dalam usaha.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan formal.
Tingkat pendidikan ini adalah salah satu indikator yang dapat mencerminkan kemampuan sesorang
dalam pengelolaan suatu usaha dalam menyelesaiukan suatu jenis pekeerjaan tertentu terutama dalam
hal penerimaan informasi dan teknologi serta inovasi yang relevan dengan usaha yang digelutinya.
Adapun keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Klasifikai Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kelurahan Manisa, Kecamatan

versi elektronik
Baranti, Kabupaten Sidrap.
Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) (%)
Tamat SD 10 33,3
Tamat SMP 14 46,7
Tamat SMA 6 20
JUMLAH 30 100,00
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2008.

Pada tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar responden menyelesaikan pendidikannya sampai pada tingkat
SMP yaitu sebanyak 14 orang dengan persentase 46, 7 %, dan persentase terkecil (20 %) yaitu tamat
SMA sebanyak 6 orang Melihat tingkat pendidikan responden rata-rata berada pada tingkat sekolah

versi elektronik
menengah ke bawah, maka diperlukan adanya upaya peningkatan keterampilan, wawasan dan
pengetahuan. Hal ini dapat diperoleh melalui pendidikan non-formal seperti mengikuti kursus-kursus,
aktif dalam mengikuti penyuluhan dari Dinas Peternakan atau pihak-pihak yang terkait (seperti LSM,
pengusaha di bidang peternakan yang sudah berhasil dan pihak swasta) sehingga peternak mendapatkan
inovasi baru dan informa baik mengenai teknologi, produksi, pemasaran dan lain-lain. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hariandja (2002) bahwa dengan latar belakang pendidikan formal yang relatif lebih

315
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

memadai akan terdapat kevcendrungan mereka lebih mampu melihat peluang dan bersifat dinamis dalam
melaksanakan kinerja dan aktifitasnya.,
Pengalaman Berusaha

versi elektronik
Pengalam berusaha merupakan salah satu faktor yang harus dimiliki oleh seeorang dalam meningkatkan
produktifitas dan kemampuan kerjanya. Adapun keadaan responden berdasarkan pengalaman berusaha
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi responden berdasarkan pengalaman pada usaha penetasan telur itik di Kelurahan
Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap.
Pengalaman Berusaha (tahun) Jumlah (orang) (%)
4 - 6 4 13.33
10 -12 24 80,0
13 -15 1 3,33
16 - 18 1 3,33

versi elektronik
Jumlah 30 100
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2008.

Pada tabel 3, terlihat bahwan jumlah responden terbanyak yaitu 24 orang mempunyai pengalaman
berusaha 10 - 12 tahun dengan perentase 80%,. Kenyataan ini menunjukkan bahwa usaha peternakan itik
di bidang usaha penetasan telur itik sudah sejak lama dilakukan oleh anggota masyarakat, walaupun cara
pengelolannya masih menggunakan lampu minyak tanah dan listrik sebagai sumber panas bagi usaha
penetasan telur itik. Responden yang mempunyai pengalaman yang cukup lama umumnya mempunyai
pengetahuan yang lebih banyak dibanding dengan responden yang baru saja menekuni usahanya. Dalm
hal ini mereka sudah dapat melihat bagaimana cara mengelola usah penetaan yang dapat meningkatkan
pendapatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukirno (1994) bahwa lamanya suatu usaha dapat
menibulkan pengalaman berusaha, dimana pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan seseorang
dalam bertingkah laku, serta lama seorang pelaku bisnis menekuni bidang usahnya akan mempengaruhi
produktivitasnya.

versi elektronik
Curahan waktu kerja wanita Pada usaha penetasan
Pada usaha penetasan telur itik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap sebagian
besar aktifitas kegiatan sehari-harinya dilakukan oelh wanita peternak. Disamping itu, juga tetap memakai
tenaga kerja dalam rumah tangga. Keterlibatan wanita untuk mencurahkan waktunya dalam usaha
penetasan tersebut guna membantu mencari nafkah untuk memperoleh tambahan pendapatan dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya . Di daerah tersebut, wanita berperan ganda, yaitu sebagai
ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan. Dalam hal ini mereka harus mampu mengatur waktunya,
yaitu waktu untuk bekerja dan waktu untuk mengurus rumah tangganya. Hal ini sesuai pendapat White
(1986) Kegiatan ekonomi rumahtangga sangat beragam, kepala rumahtangga dan anggota rumahtangga
bersama-sama akan mengerjakan berbagai macam pekerjaan. Mengingat rumahtangga adalah satu
kesatuan unit konsumsi dan produksi dengan lahan serta tenaga kerja yang terdapat dalam rumah tangga
tersebut sebagai faktor produksi utama (Firman, 1990).

versi elektronik
Dalam melakukan usaha penetasan telur itik, curahan waktu yang digunakan wanita dalam usaha
penetasanya selama 1 periode penetasan yaitu rata- ratanya 97,3 jam/periode atau rata-rata anatar 3- 4
jam perhari. Selebihnya digunakan untuk mengurus rumah tangga, kegiatan sosial dan istirahat. Jenis
kegiatan yang dilakukan adalah pembalikan telur, mengatur suhu penetasan, memeriksa telur,
membersihkan kandang, memberikan makanan dan minuman yang telah diberi vitamin setelah
menghasilkan DOD, sambil menunggu pembeli yang telah memesan DOD tersebut. Dalam usahanya ini

316
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

tetap menggunakan tenaga kerja keluarganya dengan upah yang diberikan sesuai dengan besar kecilnya
usaha penetesan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sajogjo (1988) bahwa peran wanita sebagai
ibu rumah tangga baik di desa sub-urban maupun rural pertanian dan semua lapisan ekonomi rumah
tangga masih cukup besar. Rata-rata 5–6 jam sehari dicurahkan wanita untuk pekerjaan rumah tangga,

versi elektronik
sedangkan pria mencurahkan waktu 0,5-2 jam sehari untuk pekerjaan yang sama. Selain itu, wanita juga
terlibat mencari nafkah yang berkisar 2-4 jam perhari sedangkan pria 5–6 jam perhari.
Pendapatan dari Usaha Peternakan Itik
Pendapatan merupakan hasil pengurangan antara rata-rata total penerimaan yang diperoleh dengan rata-
rata total biaya produksi yang telah dikeluarkan wanita peternak itik selama satu tahun. Dimana satu
periode lamanya adalah 34 hari yang terdiri dari 28 hari proses penetasan dari telur sampai menjadi DOD
dan 6 hari pemeliharaan menunggu pedagang DOD.
Adapun penerimaan yang diperoleh rata-rata totalnya adalah Rp. 13.371.750 per periode, dimana dalam
satu tahun rata-rata hanya berproduksi sebanyak empat periode, hal ini tergantung dari jumlah
permintaan. Sedangkan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi DOD yaitu terdiri dari biaya tetap
dan biaya varibel, dan rata-rata total biaya produksinya perperiode adalah Rp 8.809.453. Sehingga rata-
rata total pendapatan yang diperoleh dari usaha penetasan itik tersebut dari 30 responden selama 1

versi elektronik
periode adalah Rp 4.762.297. Hal ini sesuai dengan pendapat Cahyono (2000) bahwa pendapatan usaha
tani ada dua yaitu pendapatan kotor dan pendapatan bersih (keuntungan). Pendapatan kotor usaha tani
yaitu keseluruhan hasil atau nilai uang dari hasil usaha tani. Pendapatan bersih usaha tani yaitu jumlah
pendapatan kotor usaha tani dikurangi dengan biaya.
Hubungan antara curahan waktu kerja wanita dan pendapatan pada usaha penetasan telur itik
Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan analisis koefisien korelasi pearson dengan menggunakan
bantuan program SPSS mengenai hubungan antara curahan waktu kerja wanita dan pendapatan pada
usaha penetasan telur itik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Hasil korelasi sederhana mengenai hubungan antara curahan waktu kerja wanita dan
pendapatan pada usaha penetasan telur itik di Kel. Manisa, Kec. Baranti, Kab. Sidrap.
Variabel Penelitia Curahan Waktu

versi elektronik
Kerja Pendapatan

Curahan Waktu Kerja Pearson Correlation 1 .762**


Sig. (2-tailed) .000

N 30 30
Pendapatan Pearson Correlation .762** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 30 30

versi elektronik
Pada Tabel 3 terlihat bahwa hasil korelasi antara curahan waktu kerja dan pendapatan pada usaha
penetasan telur itik dari 30 responden adalah 0,762. Hal ini menunjukakkan bahwa hubungan antara
curahan waktu kerja dan pendapatan pada usaha penetasan telur itik kuat dan berkorelasi positif, artinya
apabila curahan waktu kerja wanita ditingkatkan maka pendapatan juga ikut meningkat. Dan setelah diuji
korelasi pada α = 0,01 maka terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara curahan waktu kerja
wanita dan pendapatan pada usaha penetasan telur itik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,

317
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Kabupaten Sidrap. Hal ini didukung oleh pendapat Damsar (2002) yang menyatakan bahwa perempuan
terdorong untuk melakukan kegiatan produktif karena mereka ingin mencukupi kebutuhan ekonomi
keluarga dan mereka juga ingin memanfaatkan keterampilan yang mereka punya dengan suatu keberanian
yang dimiliki serta merasa ikut bertanggung jawab terhadap roda ekonomi keluarga. Selanjutnya

versi elektronik
dikatakan pula bahwa wanita adalah ibu rumah tangga yang melakukan peran kodrati seperti melahirkan,
mengasuh dan mendidik anak, melakukan kegiatan domestic (tugas rumah tangga), tugas sosial
kemasyarakatan lainnya, juga terlibat secara aktif dan produktif berkarir dalam kegiatan ekonomi untuk
mendapatkan penghasilan. Dikatannya pula bahwa faktor yang mempengaruhi wanita bekerja di luar
rumah meliputi: menambah penghasilan keluarga, secara ekonomis tidak tergantung pada suami,
menghindari kebosanan di rumah atau mengisi waktu luang, memperoleh status dan penghargaan diri.

KESIMPULAN
Dari hasil hasil dan pembahasan penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil suatu kesimpulan :
1. Curahan waktu yang digunakan wanita dalam usaha penetasanya selama 1 periode penetasan
yaitu rata- ratanya dari 30 responden yaitu 97,3 jam/periode atau rata-rata anatara 3- 4 jam
perhari
2. Rata-rata pendapatan yang diperoleh dari usaha penetasan itik tersebut dari 30 responden selama

versi elektronik
1 periode adalah Rp 4.762.297
3. Besarnya hasil korelasi yaitu 0,762 yang bermakna bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
curahan waktu kerja wanita dengan pendapatan pada usaha penetasan telur itik di Kelurahan
Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Statistik Peternakan Kabupaten Sidrap. Sidrap.
Cahyono. 1995. Peternakan dan Permasalahannya. Bina Aksara, Jakarta..
Damsar. 2002. Sosiaologi Ekonomi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Firman, T, 1990. Strategi Alokasi Tenaga Kerja pada Rumahtangga Pedesaan: Studi Kasus Desa Slendro
Kabupaten Sragen. Prisma Nomor 2 LP3ES. Jakarta.
Hariandja, Marihot T.E. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit Grasindo, Jakarta.

versi elektronik
Sajogyo, P. 1998. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Rajawali
Press, Jakarta.
Swastha dan Sukotjo. 1999. Pengantar Bisnis Modern. Liberty, Yogyakarta.
Sukirno. 1994. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekartawi. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
White, B, 1979. Political Aspect of Poverty, Income Distribution and Their Measurement: Some Example
From Rural Java In : Development and Change No. 1.

versi elektronik 318


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

EFISIENSI BIAYA TERHADAP PENERIMAAN PETERNAKAN ITIK PETELUR DENGAN


JUMLAH TERNAK BERBEDA DI KECAMATAN WATANG SAWITTO, KABUPATEN
PINRANG

versi elektronik
Martha B. Rombe1, Ilham Rasyid2 dan Aidil Setiadi
1,2
Fakultas Peternakan Unhas; e-mail : martharombe@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efisiensi biaya dari pemeliharaan ternak itik
petelur dengan jumlah ternak yang berbeda di Kecamatan Watang Sawitto, Kabupaten Pinrang, Propinsi
Sulawesi Selatan. Penelitian ini merupakan studi kasus yang menggunakan tehnik deskriptif kuantitatif.
Sebanyak 36 responden sebagai sumber data ditentukan dengan proporsionate random sampling.Data
dikumpulkan dengan kuesioner meliputi data teknis dan data ekonomi berupa produksi telur,itik afkir,
biaya tetap, biaya variabel, harga dan penerimaan selama satu periode. Selanjutnya data ditabulasi dan
dianalisa menggunakan rasio pengeluaran dan penerimaan . Hasil penelitian memperlihatkan
pemeliharaan di bawah 500 dengan rata-rata 233 ekor sementara pemeliharaan di atas 500 rata-rata 753
ekor. Kedua jumlah pemeliharaan peternakan itik masih mendapatkan keuntungan per periode, namun
pemeliharaan di bawah 500 ekor dengan R/C ratio sebesar 1,79 lebih efisien dibandingkan pemeliharaan

versi elektronik
di atas 500 ekor dengan R/C sebesar 1,32 yang disebabkan perbedaan harga jual produk.
Kata kunci:efisiensi biaya,itik petelur

ABSTRACT
The aim of this study was to compare cost efficiency of large-scale and small-scale laying duck farms at
Watang Sawitto Residence, Pinrang District, South Sulawesi Province. This study uses quantitative
descriptive in technique case study. A total of 36 respondents as the source of the data have
determined by proportionate random sampling. Data were collected by questionnaire includes
technical data and economic data in the form of egg production, culled duck, fixed costs, variable costs,
price and income of admission for one period. Data was tabulated and analyzed by using output/input
ratio. The results showed an average of less than 500 maintain ducks while another average of more than
500 ducks. Both maintenance duck farms were profitable per period, the advantage of less than 500
maintenance system is more efficient than more 500 ducks,cause of diffren price of product.

versi elektronik
Key words: Cost efficiency, laying ducks

PENDAHULUAN
Usaha ternak itik merupakan salah satu mata pencaharian untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga
bagi masyarakat dipedesaan. Pada umumnya itik dipelihara secara tradisional (ekstensif) dengan
penggembalaan di lahan sawah atau rawa. Akhir-akhir ini ketersediaan pakan itik secara alami menjadi
berkurang, akibat semakin intensifnya pola tanam lahan sawah serta banyaknya bahan kimia yang
digunakan, bahkan termasuk kematian akibat keracunan pestisida. Salah satu upaya untuk mengatasi hal
tersebut adalah melalui budidaya intensifikasi atau semi-intensif.
Menurut Sri Hartati (2011), pemeliharaan semi intensif adalah pemeliharaan dengan cara mengurung itik
pada saat-saat tertentu, biasanya pada malam hari sampai pagi hari. Setelah itik dilepas disekitar halaman
kandang atau digembalakan ditempat penggembalan yang dekat. Pada pemeliharaan ini pengadaan pakan
sebagian besar disediakan oleh peternak sehingga penggunaan pakan masih kurang efisien.

versi elektronik
Namun, pemeliharaan itik dengan sistem tersebut memiliki beberapa keunggulan, diantaranya :
produktivitas telur lebih banyak, kesehatan dan keselamatan itik lebih terjamin, biaya pemeliharaan lebih
efisien serta menghemat tenaga. Beberapa bangsa itik lokal yang sudah dikenal masyarakat dan
mempunyai ciri tersendiri diberi nama sesuai daerah asalnya seperti itik Mojosari, Alabio, Tegal, Cirebon
dan Magelang (Anonim, 2011).

319
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Usaha ternak Itik petelur ini dapat dikatakan berhasil bila telah memberikan kontribusi pendapatan dan
dapat memenuhi kebutuhan hidup peternak sehari-hari, hal ini dapat dilihat dari berkembangnya jumlah
kepemilikan ternak,dan tambahan pendapatan keluarga. (Budiharjo dan Handayani, 2008). Namun skala
besar kecilnya usaha peternakan itik tersebut sangatlah menentukan.

versi elektronik
Pendapatan atau dapat juga disebut keuntungan, adalah merupakan selisih antara penerimaan total dengan
biaya total. Dimana biaya itu terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Secara matematis analisis
pendapatan dapat ditulis dan digambarkan sebagai berikut (Soekartawi, 1995) dalam Siswo( 2010):
Y = TR-TC
TR = PxQ
TC = TFC + TVC
Keterangan:
Y = Pendapatan (Rp)
TR = Total Penerimaan (Rp)
TC = Total Biaya (Rp)
P = Harga per satuan (Rp)

versi elektronik
Q = Jumlah Produksi (butir)
TVC = Total Biaya Variabel (Rp)
TFC = Total Biaya Tetap (Rp)
.
Kabupaten Pinrang merupakan salah satu daerah yang mempunyai prospek pengembangan itik sangat
baik, karena kabupaten Pinrang dari tahun 2009 sampai tahun 2011 keadaan peternakan itiknya
menduduki populasi unggas terbesar kedua di Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun sistim pemeliharaan
itiknya juga sudah semi-intensif dengan jumlah kepemilikan yang berbeda-beda, yaitu antara 100 ekor
sampai dengan 900 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Pinrang, 2012).
Keuntungan yang diperoleh petani merupakan hasil dari penjualan telur dan itik afkir dikurangi dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan selama masa produksi. Hal ini menurut pernyataan Wasito dan Eni (1994),
pada setiap akhir panen petani akan menghitung hasil bruto yang diperolehnya. Hasil itu harus dikurangi
dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya. Setelah semua biaya tersebut dikurangkan barulah petani

versi elektronik
memperoleh apa yang disebut dengan hasil bersih atau keuntungan.
Terdapat perbedaan keuntungan yang diperoleh masing-masing peternak, hal itu disebabkan karena
perbedaan jumlah populasi ternak itik yang dimiliki, dimana peternak yang memiliki jumlah populasi
ternak paling sedikit (skala kecil) yaitu 100 - 500 ekor memperoleh keuntungan rata-rata terendah,
sedangkan peternak yang memiliki jumlah ternak tertinggi yaitu >500 ekor ke atas (skala besar)
memperoleh rata-rata keuntungan tertinggi. Sampai sejauh mana kebenaran data ini, maka telah dilakukan
penelitian dengan cara membandingkan kelompok yang jumlah populasi ternak itiknya paling sedikit
(skala kecil) dengan kelompok yang jumlah populasi ternak itiknya banyak (skala besar).

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa survey dengan pengamatan pada peternak itik yang
menjadi anggota kelompok pemelihara kurang dari 500 ekor dan anggota kelompok lebih dari 500 ekor.
Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif dalam studi kasus teknik.

versi elektronik
Data yang diambil meliputi data teknis (sistem pemeliharaan skala besar dan skala kecil) dan data
ekonomi atau keuntungan bisnis yang didasarkan pada keuntungan input-output selama satu periode. Data
teknis dan ekonomi dikumpulkan, ditabulasi, dan dianalisis sederhana.
Setiap orang sebagai responden masing-masing jumlah ternak itik diwawancarai terhadap jumlah
kepemilikan itik, manajemen, pakan dan pemberiannya, pemasaran, pengetahuan peternakan,

320
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

pengetahuan tentang penyakit, harga DOD pembelian dan penjualan itik dewasa, itik afkir, dan biaya-
biaya lain dari penerimaan hasil operasi.
Sebaran responden peternak dikelompokan sebagai berikut :

versi elektronik
• Kelompok I, yaitu peternak dengan Skala pemeliharaan≤ 500 ekor itik terdapat responden
sebanyak 20 orang
• Kelompok II, yaitu peternak dengan Skala pemeliharaan < 500 itik terdapat responden sebanyak
16 orang
Tabel 1. Kriteria Responden Sesuai Kepemilikan Itik
No Kepemilikan itik (ekor) Jmlh responden (orang) Kriteria
1 100 6
2 200 5 Kelompok I
3 300 5 20 orang
4 400 4
5 500 4
6 600 4 Kelompok II

versi elektronik
7 700 3 16 orang
8 800 3
9 900 2
Jumlah Total 36 orang

Selanjutnya, dalam penelitian ini, variable-variabel yang digunakan didefinisikan sebagai berikut :
1. Biaya Variabel: Produksi dan Pemasaran
• Biaya Pakan = harga rata-rata per kg /periode
• Biaya DOD = yang dipelihara dalam satuan ekor/periode
• Biaya Tenaga Kerja = upah tenaga kerja sesuai curahan hari kerja/periode
• Biaya Obat-Obatan = total nilai pengeluaran untuk obat/periode
• Mortalitas = jumlah itik yang mati (dihitung dalam rupiah)/perode

versi elektronik
• Listrik = jumlah biaya penggunaan lampu/periode
• Biaya pemasaran = total nilai pengeluaran untuk pemasaran telur
2. Biaya Tetap: Investasi
• Investasi Fisik = Kandang (Biaya Kandang/Lama Pemakaian)
• Penyusutan Peralatan = Biaya Perawatan alat/Lama Pemakaian)
• Biaya Operasional = Harga awal – Harga Akhir/Lama Pemakaian
3. Total Pengeluaran = Biaya variable + Biaya tetap yang dikeluarkan sebagai biaya produksi
4. Penerimaan (Revenue) adalah:
• Penjualan Telur (Harga/butir x Jumlah Telur/ Periode)
• Penjualan Itik Afkir (Harga/ekor x Jumlah / Periode)
5. Keuntungan usaha = selisih antara total nilai output dengan total nilai input

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan struktur biaya yang ada pada kedua kelompok jumlah pemeliharaan itik tersebut, maka
dapat dihitung atau ditetapkan besaran ekonomi masing-masing seperti pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Analisa Keuntungan Usaha Ternak Itik Rata-rata Per Periode Pada Dua Sistim Skala Usaha
Pemeliharaan

321
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Uraian Jumlah (Rp .000)/jumlah kepemilikan


≤ 500 > 500
Penerimaan (Revenue) 943.286 1.798.563
Penjualan telur 764.856 1.440.023

versi elektronik
Penjualan itik afkir 178.430 358.540
Total Pengeluaran (Cost) 527.220 1.367.578
Produksi 468.023 1.298.121
Pemasaran 22.630 23.672
Investasi 36.567 45.785
Keuntungan 416.066 430.985

Analisa Ekonomi Usaha:


R – C rasio 1,79 1,32
B – C rasio 0,79 0,32

Tabel 2 memperlihatkan adanya penerimaan peternak dari hasil penjualan telur maupun dari penjualan
itik afkir, masing-masing untuk peternak kurang 500 ekor (= Rp 943.286,-) dan peternak lebih 500 ekor
(= Rp 1.798.563,-). Sedangkan biaya-biaya yang dikeluarkan terdiri dari: biaya produksi, biaya

versi elektronik
pemasaran serta biaya investasi berupa kandang, untuk masing-masing peternak kurang 500 ekor (= Rp
527.220,-) dan peternak lebih 500 ekor (= Rp 1.367.578,-).
Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh dari masing-masing peternak adalah :
Jumlah ≤ 500 ekor = Rp 943.286,- - Rp 527.220,- = Rp 416.066,-
Jumlah > 500 ekor = Rp 1.798.563, - Rp 1.367.578,- = Rp 430.985,-
Berdasarkan data tersebut, masing-masing kelompok peternak telah memperlihatkan adanya hasil
perolehan keuntungan. Namun untuk mengetahui segi efisiensi biaya dari masing-masing kelompok
peternak ini dilakukan pengujian R/C rasio dan B/C rasio yang hasilnya adalah :
Perhitungan R/C rasio
Jumlah ≤ 500 ekor = Rp 943.286,-/Rp 527.220,- = 1,79

versi elektronik
Jumlah > 500 ekor = Rp 1.798.563,-/Rp 1.367.578,- = 1,32
Perhitungan B/C rasio
Jumlah ≤ 500 ekor = Rp 416.066,-/Rp 527.220,- = 0,79
Jumlah > 500 ekor = Rp 430.985,-/Rp 1.367.578,- = 0,32
Hal ini menunjukkan bahwa baik R/C rasio maupun B/C rasio peternak ≤ 500 ekor lebih efisien
dibandingkan peternak > 500 ekor, yang ditandai dengan R/C rasio 1,79 > 1,32 dan BC rasio 0,79 > 0,32.

KESIMPULAN
1. Kedua kelompok peternak itik masih mendapatkan keuntungan per periode.
2. Pembiayaan peternak≤ 500 ekor dengan R/C ratio 1,79 lebih efisien disebabkan harga jual telur
maupun ternak afkir lebih tinggi dibandingkan dengan pembiayaan peternak yang memelihara > 500
ekor.dengan R/C ratio 1,32.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Analisa Budidaya Itik, Peluang Usaha Rumah Tangga Menjanjikan.http://www.analisa-
budidaya-itik-peluang-usaha-rumah-tangga menjanjikan.html. Diakses 19 september 2012.

322
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

_______ 2012. Laporan Data Populasi Ternak di Kabupaten Pinrang. Dinas Peternakan Kabupaten
Pinrang.
Budiraharjo, K Dan Migie Handayani. 2008. Analisis Profitabilitas Dan Kelayakan Finansial Usaha

versi elektronik
Ternak Itik. httpwww.google.co.idurlsa. Diakses 19 september 2012.
Siswo Agus Widodo. 2010. Teori Pendapatan.http://godagadoartikel. blogspot.com/ 2010/01/teori-
pendapatan.html. Diakses 19 september 2012.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Sri Hartati. 2011. Penyediaan Pakan Ternak Itik Petelur. http://cybex.deptan.go.id
/penyuluhan/penyediaan-pakan-ternak-itik-petelur. Diakses 15 0ktober 2012.
Wasito dan Eni Siti Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Penerbit Kanisius. Malang.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 323


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

POLA PENGELUARAN RUMAH TANGGA PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN


BANJARNEGARA
Moch. Sugiarto dan Oentoeng Edy Djatmiko

versi elektronik
Fakultas Peternakan UNSOED, Email: zoegic@yahoo.com

ABSTRAK
Pola pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah
tangga/keluarga peternak sapi potong. Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi besaran pengeluaran
rumah tangga peternak sapi potong dan (2) menganalisis pola pengeluaran rumah tangga peternak sapi
potong di Kabupaten Banjarnegara di dasarkan pada pola pemeliharaan (penggemukan dan pembibitan).
Pola pengeluaran rumah tangga tidak termasuk pengeluaran untuk usaha ternak sapi potong. Data yang
digunakan merupakan data primer dari 225 responden (peternak sapi potong) pada kedua pola
pemeliharaan tersebut yang terpilih melalui metode multistage sampling dengan tahapan (1) stratified
random sampling dan (2) quota sampling. Uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan berbagai
variabel pengeluaran rumah tangga peternak yang menggunakan pola pemeliharaan penggemukan dan
pembibitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong dengan
pola penggemukan sebesar Rp 1,561,212.75 per bulan dan Rp 1,400,493.58 pada peternak dengan pola

versi elektronik
pembibitan. Besaran pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong menunjukkan perbedaan (p<0.05)
antara pola penggemukan dan pembibitan. Pengeluaran untuk pangan pada rumah tangga peternak dengan
pola pembibitan lebih tinggi (57,3 persen) dibanding pada pola penggemukan (47.0 persen). Selanjutnya
secara lebih detail digambarkan bahwa pengeluaran peternak dengan pola penggemukan untuk kegiatan
sosial, rokok, alat mandi, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi bangunan dan bensin secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan peternak sapi potong pola pembibitan (P<0.05). Berdasarkan hasil tersebut
disarankan agar peternak sapi potong dengan pola usaha pembibitan perlu di diversifikasi dengan pola
usaha penggemukan untuk memperkuat pola pengeluaran rumah tangga peternak khususnya pengeluaran
non pangan.
Kata kunci : pola pengeluaran, sapi potong, penggemukan, pembibitan

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian khususnya bidang peternakan di Kabupaten Banjarnegara ditujukan untuk

versi elektronik
peningkatan populasi ternak dan pendapatan peternak. Secara ekonomi pembangunan peternakan
mengarah pada perubahan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator untuk mengukur
tingkat kesejahteraan peternak adalah tingkat pendapatan. Beragam pekerjaan di sektor pertanian yang
dilakukan masyarakat/peternak mendorong perbedaan sumber pendapatan yang dimiliki. Demikian
halnya pada masyarakat dan peternak di Kabupaten Banjarnegara yang memiliki lebih dari 1 sumber
pendapatan.
Peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara telah memberikan gambaran adanya manfaat ganda
dari agribisnis sapi potong untuk penguatan ekonomi wilayah dan masyarakat. Peternak mengusahakan
agribisnis sapi potong dengan pola penggemukan dan pembibitan serta sebagian besar (98 persen)
dilakukan sebagai usaha sampingan. Aktifitas kebun sayur hortikultura, karyawan, pegawai, dan pertanian
tanaman pangan masih menjadi pekerjaan utama peternak sapi potong. Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa rumah tangga peternak sapi potong memiliki lebih dari 1 sumber usaha dalam pengembanaan
ekonomi rumah tangga. Sejalan pendapat Nurmanaf (1988) bahwa di pedesaan sebagian besar masyarakat
memiliki dua atau lebih sumber pendapatan. Sementara itu sebaran pendapatan rumah tangga bervariasi

versi elektronik
antar darah dan antar tahun.
Pekerjaan merupakan faktor penting dalam suatu rumah tangga karena hal inilah yang nantinya akan
menentukan pendapatan yang diperoleh untuk kelangsungan hidup suatu rumah tangga peternak.
Pendapatan keluarga peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara diperoleh dari usaha sapi potong
dan non sapi potong yang terkait dengan pengeluaran rumah tangga peternak. Pola pengeluaran

324
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

merupakan struktur pengeluaran yang dibedakan atas pengeluaran pangan dan pangan. Struktur
pengeluaran merupakan salah satu indikator ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. Handewi dkk,
(2006) menyatakan bahwa. salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan keluarga adalah
melalui struktur pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan yang lebih

versi elektronik
tinggi tergolong rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan relaitf rendah dibandingkan dengan rumah
tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang rendah.
Terkait dengan hal tersebut kajian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi besaran pengeluaran rumah
tangga peternak sapi potong dan (2) menganalisis pola pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong di
Kabupaten Banjarnegara di dasarkan pada pola pemeliharaan (penggemukan dan pembibitan).

METODE PENELITIAN
Kajian tentang Pola Pengeluaran Rumah Tangga Peternak Sapi Potong Di Kabupaten Banjarnegara
dilakukan dengan metode survey melalui wawancara menggunakan kuisioner dan pengamatan terhadap
peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Metode survey digunakan untuk memperoleh fakta-
fakta sosial, ekonomi, atau teknis dari agribisnis sapi potong. 225 peternak yang melakukan usaha sapi
potong dengan pola penggemukan dan pola pembibitan dipilih sebagai responden dengan menggunakan
metode pengambilan sampel berjenjang (multistage sampling). Pertama, wilayah yang dijadikan sampel

versi elektronik
penelitian dipilih secara stratified random sampling berdasarkan tinggi tempat (tinggi, sedang dan
rendah). Pada masing masing strata dipilih 20 persen kecamatan sebagai sampel wilayah. Kedua,
responden (peternak) dipilih dengan metode Quota Sampling sebanyak 30 peternak pada masing masing
wilayah kecamatan terpilih.
Variabel yang diamati pada kajian ini adalah pengeluaran peternak yang meliputi pangan, pendidikan,
kesehatan, listrik, gas, pulsa, rokok, sosial, alat mandi, pajak kendaraan, bensin dan pajak bumi bangunan.
Varibel variable tersebut diamati pada peternak di dua pola usaha berbeda (penggemukan dan
pembibitan). Data dianalisis dengan statistic deskripsi dan uji t untuk mengetahui perbedaan pengeluaran
peternak pada pola penggemukan dan pembibitan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Karakteristik Peternak
Peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara menguasahakan sapi potong dengan pola penggemukan

versi elektronik
dan pembibitan. Sebagian besar peternak (81 persen) melakukan usaha menggunakan pola penggemukan
(periode 3-4 bulan produksi) dengan hasil utama daging/pertambahan bobot badan sapi. Sebanyak 19
persen usaha sapi potong dilakukan dengan pola pembibitan.
Peternak pada usaha sapi potong pola penggemukan mengusahakn ternak dengan kisaran 3-4 sapi bakalan
per periode. Sedangkan pada usaha pembibitan peternak memiliki induk sapi potong dengan rataan 2 ekor
per peternak. Rataan umur peternak sapi potong pola pembibitan 51,5 tahun dan rataan umur tersebut
lebih tua dibanding peternak yang berusaha di pola penggemukan (45,6 tahun). Peternak pada pola
penggemukan memiliki rataan pendidikan lulus Sekolah Dasar (SD) sedangkan pada pola pembibitan
terdapat 44 persen responden yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar. Namun demikian peternak
memiliki rataan pengalaman dan sejarah yang cukup lama (15,6 tahun) dalam berusaha ternak dengan
pola pembibitan.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa petani yang lebih muda dan pendidikan yang lebih tinggi banyak

versi elektronik
terlibat pada usaha sapi potong pola penggemukan. Insentiff ekonomi yang lebih banyak pada pola
penggemukan menjadi daya tarik untuk peternak yang lebih muda terlibat pada pola usaha tersebut.
Perkembangan teknologi pakan pada usaha pola penggemukan dan penyediaan pakan yang lebih intensif
membutuhkan tenaga dan kemampuan akademik lebih tinggi. Oleh karena itu peternak dengan umur yang
lebih muda dan pendidikan yang lebih tinggi pada usaha penggemukan diharapkan dapat menjadi driving
force perkembangan usaha sapi potong. Mardikanto, (2009) menyatakan bahwa umur petani akan

325
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal yang baru dalam menjalankan usaha
taninya. Hal tersebut di dukung pendapat Djamali (2000) bahwa pendidikan dan pengalaman yang
memadai akan membuka cakrawala pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis yang
menjadi syarat bagi keberhasilan seorang pengelola usahatani.

versi elektronik
2. Pengeluaran Rumah Tangga Peternak
Secara umum pengeluaran rumah tangga peternak meliputi pengeluaran untuk pangan dan non pangan.
Pendapatan yang diterima dari usaha tani dan non usaha tani digunakan rumah tangga peternak untuk
mengkonsumsi barang dan jasa dalam periode tertentu. Pada kondisi pendapatan yang terbatas, lebih
dahulu mementingkan kebutuhan konsumsi pangan. Hal ini sesuai dengan hukum engel yang
mengemukakan bahwa kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah akan menggunakan sebagian
besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan terlebih dahulu. Sugiarto (2008) menyatakan
bahwa pergeseran dan peningkatan pendapatan akan menurunkan tingkat pengeluaran untuk pangan dan
menaikkan tingkat pengeluaran non pangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong dengan pola
penggemukan sebesar Rp 1,561,212.75 per bulan dan Rp 1,400,493.58 pada peternak dengan pola
pembibitan. Besaran pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong menunjukkan perbedaan (p<0.05)

versi elektronik
antara pola penggemukan dan pembibitan. Besaran pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong
dengan pola penggemukan yang lebih tinggi dari pola pembibitan juga didorong dari pendapatan rumah
tangga yang lebih besar (Rp 2,252,235.2/bulan) dibandingkan pada pola pembibitan ( Rp
1,672,530/bulan). Proporsi pengeluaran rumah tangga pada pola penggemukan sebesar 69,3 persen
sedangkan pada pola pembibitan sebesar 83,7 persen dari pendapatan rumah tangga peternak. Putra
(2012) menggambarkan bahwa pendapatan petani mempengaruhi besaran pengeluaran rumah tangga
petani. Upaya peningkatan pendapatan usaha tani akan dapat meningkatkan skala konsumsi dan
pengeluaran rumah tangga petani.
Untuk rumah tangga peternak dengan skala kecil, pendapatan rumah tangga sangat mempengaruhi
besaran pengeluaran. Pendapatan dari berbagai ragam sumber sangat diperhatikan peternak dalam upaya
penggalian dana sebagai sumber pengeluaran. Sejalan dengan pendapat Sitorus (1994) bahwa rumah
tangga miskin menerapkan strategi nafkah ganda yang tidak mengharapkan hanya dari satu pekerjaan
melainkan dari beberapa macam pekerjaan tergantung musim dan kesempatan. Oleh karena itu

versi elektronik
pengembangan kegiatan di dalam dan di luar usaha peternakan sapi potong perlu diberikan perhatian yang
lebih besar guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak.
3. Pola Pengeluaran Rumah Tangga Peternak
Rumah tangga peternak merupakan proses interaksi dan integrasi dari beberapa individu dalam ikatan
keluarga dalam menjalankan kehidupan. Dalam menjalan kehidupan dibutuhkan korbanan yang harus
dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan masing masing individu. Pengeluaran rumah
tangga adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga.
Pengeluaran rumah tangga peternak digolongkan menjadi 2 yaitu konsumsi pangan dan non pangan tanpa
memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak
termasuk pengeluaran untuk usaha. Pola pengeluaran rumah tangga peternak sapi potong merupakan
gambaran biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga peternak untuk konsumsi pangan, pendidikan,
kesehatan, listrik, gas, pulsa, rokok, sosial, alat mandi dan bensin. Pengeluaran untuk pangan pada rumah

versi elektronik
tangga peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara dengan pola pembibitan lebih tinggi (57,3
persen) dibanding pada pola penggemukan (47.0 persen). Sedangkan untuk pengeluaran non pangan
terlihat bahwa pada usaha sapi potong dengan pola penggemukan sebesar (53 persen) dan pola
pembibitan hanya 42,7 persen). Kondisi ini sesuai hukum Engel bahwa jika pendapatan meningkat, maka
persentasi pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil. Sudaryanto, et al (1999) menyimpulkan

326
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

bahwa tingkat pendapatan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran untuk makanan, yang
artinya semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah porsi pengeluaran untuk makanan.
Tabel 1. Pengeluaran rumah tangga peternak pola penggemnukan dan pembibitan

versi elektronik
Jenis Usaha Penggemukan Usaha Pembibitan
Rataan Rataan
Pengeluaran D. Rendah D. Menengah D. Tinggi D. Rendah D. Menengah
Pangan 892,276.94 822,065.48 464,192.71 726,178.37 719,221.54 888,166.67 803,694.11
Pendidikan 328,118.24 215,083.33 34,702.78 192,634.78 105,795.45 150,897.44 128,346.45
Kesehatan 97,253.52 28,690.48 18,506.25 48,150.08 14,651.52 17,750.00 16,200.76
Listrik 58,902.08 57,371.43 39,495.83 51,923.12 32,215.45 62,755.56 47,485.50
Gas 36,980.00 30,742.86 22,761.46 30,161.44 24,658.54 25,200.00 24,929.27
Pulsa 224,406.59 117,857.14 55,906.25 132,723.33 89,732.46 117,272.73 103,502.59
Rokok 166,880.95 134,682.80 103,483.33 135,015.69 66,204.43 125,916.67 96,060.55
Sosial 49,702.08 42,415.85 40,159.09 44,092.34 36,195.12 45,550.00 40,872.56
Alat Mandi 46,170.42 36,352.38 30,339.58 37,620.79 41,058.94 38,811.11 39,935.03
Bensin 102,112.34 116,625.00 269,401.04 162,712.79 95,803.92 103,129.63 99,466.78

versi elektronik
Total 2,002,803.17 1,601,886.74 1,078,948.33 1,561,212.7 1,225,537.37 1,575,449.79 1,400,493.

Tampak pada table 1 bahwa pengeluaran rokok dan pulsa pada peternak sapi potong pola penggemukan
lebih tinggi dari pada peternak dengan pola pembibitan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa
interaksi sosial peternak sapi potong pola pengemukan lebih luas dari pada peternak dengan pola
pembibitan. Hampir semua peternak merokok dan tidak semua pengeluaran rokok untuk diri sendiri
namun juga untuk interaksi sosial dengan peternak lainnya. Demikian juga hal nya dengan pengeluaran
pulsa lebih banyak digunakan untuk komunikasi pemasaran produk (sapi) dan interaksi antar peternak.
Selanjutnya secara lebih detail digambarkan bahwa pengeluaran peternak pada pola penggemukan untuk
kegiatan sosial, rokok, alat mandi, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi bangunan dan bensin secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan peternak sapi potong pola pembibitan (P<0.05).

versi elektronik
KESIMPULAN
Berdasarkan studi Pola Pengeluaran Rumah Tangga Peternak Sapi Potong Di Kabupaten Banjarnegara
dapat disimpulan bahwa pengeluaran rumah tangga pada peternak sapi potong pola penggemukan lebih
tinggi dibanding pada peternak pola pembibitan. Perbedaan pendapatan antara kedua pola usaha tersebut
dapat mendorong perbedaan besaran pengeluaran. Peternak sapi potong pada pola pembibitan dengan
pendapatan yang lebih rendah memiliki struktur pengeluaran lebih banyak untuk makanan/pangan
keluarga/rumah tangga. Pendapatan rumah yang lebih tinggi akan mendorong peningkatan pengeluaran
non pangan rumah tangga peternak.
Berdasarkan hasil tersebut disarankan agar peternak sapi potong dengan pola usaha pembibitan perlu di
diversifikasi dengan pola usaha penggemukan untuk memperkuat pendapatan rumah tangga yang
akhirnya dapat meningkatkan pengeluaran rumah tangga peternak khususnya pengeluaran non pangan.
Selain itu eksplorasi pendapatan dari luar usaha sapi potong perlu ditingkatkan untuk mengembangkan
sumber sumber pendapatan rumah tangga.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Djamali. A., 2000. Manajemen Usahatani. Departemen Pendidikan Nasional. Politeknik Pertanian Negeri
Jember. Jember.
Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian . LPP UNS dan UNS Press. Surakarta

327
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Nurmanaf, A.R., 1988. Struktur Pendapatan Rumah tangga Petani padi Sawah di Pedesaan Sumatera
Barat (Editor: F. Kasryno dkk). Prosiding Patanas Perubahan Ekonomi Pedesaan menuju
Ekonomi Berimbang..

versi elektronik
Putra, A.Y, Djaimi Bakce dan Ahmad Rifai. 2012. Pengaruh Faktor-Faktor Internal Dan Eksternal
Terhadap Keputusan Ekonomi Rumahtangga Petani Karet Di Kabupaten Kuantan Singingi.
Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE). Volume 3, Nomor 1, Juli 2012
Rachman, H.,Tri B. Purwantini, dan Yuni Marisa. 2006. Prospek Diversifikasi Usaha Rumah Tangga
Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Dan Penanggulangan Kemiskinan. Forum Penelitian Agro
Ekonomi. Volume 24 No. 1, Juli 2006
Sitorus, M. T. F. 1994. Peranan Ekonomi Dalam Rumah tangga Nelayan Miskin di Pedesaan Indonesia.
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,21 (8)
Sudaryanto, I.W Rusastra dan P. Simatupang. 1999. The Impact of Economic Crisis and Policy
Adjusment on Food Crop Development Toward Ecinomic Globalization. Paper Presented on
“Roundtable Discussion on Food and Nutrition Task Force I; Food and Agricuklture” Pra WNPG
VII, 8 November 1999. Center For Agro-Socio Economic Research, Bogor.

versi elektronik
Sugiarto. 2008. Analisis Pendapatan, Pola Konsumsi dan Kesejahteraan Petani pada Basis Agroekosistem
Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan. Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Perdesaan dan
Pertanian : Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Bogor 19 Nopember
2008.

versi elektronik

versi elektronik 328


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN RUMAH PEMOTONGAN HEWAN


(RPH) DI KELURAHAN KAMBIOLANGI
Muhammad Aminawar1, Sitti Nurani Sirajuddin1, dan Rahmayani Sila2

versi elektronik
1
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin; email : maminawar@yahoo.co.id
2
Alumni Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Rumah Potong
Hewan (RPH) di Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang. Dilaksanakan pada bulan
Oktober 2012 sampai bulan Februari 2013 di Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten
Enrekang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif. Populasi masyarakat yang
bermukim pada jarak 1 sampai 2 KM dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut sebanyak 220
orang. Berhubung karena jumlah populasi yang cukup besar yaitu 220 orang, maka pada penelitian ini
dilakukan penarikan sampel dengan menggunakan rumus Slovin dan menghasilkan responden sebanyak
37 orang. Analisa data yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan menggunakan skala likert
sebagai skala pengukuran yaitu sangat mengganggu (1), cukup mengganggu (2), tidak mengganggu (3).
Untuk mengukur variabel persepsi masyarakat terhadap keberadaan RPH digunakan sub variabel bau,

versi elektronik
limbah, dan pencemaran air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap
keberadaan Rumah Potong Hewan (RPH) di Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten
Enrekang adalah cukup mengganggu, artinya masyarakat keberatan dengan adanya Rumah Potong Hewan
(RPH) yang berada di dekat pemukiman karena limbah dari RPH langsung dialirkan ke sungai dan
sebagian ditumpuk di sekitar RPH sehingga menimbulkan bau serta mencemari air dan lingkungan
sekitar.
Kata kunci : Persepsi Masyarakat, Rumah Potong Hewan (RPH)

ABSTRACT
This study aims to determine the existence of Public Perception Against Slaughterhouse (RPH) in the
Village District Kambiolangi Alla Enrekang District. Conducted in October 2012 to February 2013 in the
Village District Kambiolangi Alla Enrekang District. This research is descriptive quantitative research.
The population of people who live at a distance of 1 to 2 KM from abattoirs ( slaughterhouses ) that as

versi elektronik
many as 220 people. Because because the population is large enough that 220 people, then the sampling
study was conducted using Slovin formula and produce as many as 37 respondents. Analysis of the data
used is descriptive statistics using a Likert scale of measurement that is very disturbing (1), is quite
disturbing (2), does not interfere with (3). to gauge public perception of the existence of variables used
RPH sub-variables odor, waste, and water pollution. The results showed that the public perception of the
existence of Slaughter House ( RPH ) in the Village District Kambiolangi Alla Enrekang District is quite
disturbing meaning people objected to the Slaughter House (RPH) for the nearby settlement of
slaughterhouse waste directly into river and some stacked around RPH so cause odor and pollutes the
water and the surrounding environment.
Key words : Public Perception, Slaughter House (RPH)

PENDAHULUAN
Kebutuhan masyarakat terhadap produk industri peternakan semakin meningkat (termasuk produk
industri hasil pertanian dalam hal ini khususnya peternakan). Daging adalah salah satu produk industri

versi elektronik
peternakan yang dihasilkan dari usaha pemotongan hewan. Seiring semakin banyaknya permintaan
masyarakat terhadap daging yang sehat khususnya daging sapi sebagai sumber utama protein hewani
terus meningkat. Hal ini menyebabkan intensitas pemotongan juga meningkat. Oleh karena itu,
keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sangat diperlukan, yang dalam pelaksanaannya harus
dapat menjaga kualitas baik dari tingkat kebersihannya, kesehatannya, ataupun kehalalan daging untuk

329
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

dikonsumsi. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah mendirikan Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena tingginya permintaan akan produk

versi elektronik
peternakan. Usaha peternakan juga memberi keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber
pendapatan bagi banyak masyarakat perdesaan di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana usaha
lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber pencemaran. Oleh
karena itu, seiring dengan kebijakan otonomi maka pengembangan usaha peternakan yang dapat
meminimalkan limbah peternakan perlu dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga
kenyamanan permukiman masyarakatnya. Salah satu upaya ke arah itu adalah memanfaatkan limbah
peternakan sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha tersebut.
Berkembangnya kemajuan teknologi dalam pembangunan peternakan diantaranya dalam industri
pemotongan ternak akan membawa dampak positif dan negatif baik lingkungan maupun manusia, tumbuh
pesatnya industri juga berarti makin banyak limbah yang dikeluarkan dan mengakibatkan permasalahan
yang kompleks bagi lingkungan sekitar. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai tempat usaha
pemotongan hewan dalam penyediaan daging sehat seharusnya memperhatikan faktor-faktor yang
berhubungan dengan sanitasi baik dalam lingkungan RPH maupun lingkungan disekitarnya.

versi elektronik
Menurut Lestari (1994), bahwa perancangan bangunan RPH yang berkualitas sebaiknya sesuai dengan
standar yang telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional dan menjamin
produk sehat dan halal. RPH dengan standar internasional biasanya dilengkapai dengan peralatan modern
dan canggih, rapi, bersih dan sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk
sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan
potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan
secara tepat. Selain itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh
dari pemukiman dan memiliki saluran pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL.
RPH di Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang merupakan satu-satunya RPH
yang ada di daerah Kecamatan Alla sehingga RPH ini memiliki aktivitas pemotongan yang cukup besar
setiap bulannya. Hal ini dikarenakan RPH ini harus memenuhi permintaan daging di daerah Kecamatan
Alla dan sekitarnya, khususnya para pedagang makanan misalnya penjual coto, penjual nasu cemba, dan
penjual bakso. Adapun data tingkat pemotongan di RPH tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

versi elektronik
Tabel 1. Data Pemotongan Ternak Sapi per Bulan Rumah Pemotongan Hewan di Kelurahan
Kambiolangi, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang.
No. Bulan Jumlah Pemotongan per Bulan (Ekor)
1 Januari 16
2 Februari 17
3 Maret 12
4 April 18
5 Mei 20
6 Juni 24
7 Juli 22
8 Agustus 21
9 September 16

versi elektronik
10 Oktober 16
11 Nopember 14
12 Desember 19
Jumlah 104
Sumber : Data Sekunder yang Telah Diolah, 2011.

330
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Berdasarkan data pada tabel 1, jumlah pemotongan paling banyak terjadi pada bulan Juni yaitu sebanyak
24 jumlah pemotongan. Hal ini disebabkan karena banyaknya acara pernikahan yang terjadi pada bulan
tersebut menurut karyawan yang ada di RPH tersebut, sedangkan jumlah pemotongan yang paling sedikit
yaitu pada bulan Maret sebanyak 12 jumlah pemotongan.

versi elektronik
RPH di Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang merupakan rumah pemotongan
hewan yang cukup besar. Hal ini dibuktikan dari jumlah pemotongan yang terjadi setiap bulannya pada
rumah pemotongan hewan tersebut. Tetapi yang menjadi masalah pada RPH tersebut adalah limbah yang
dihasilkan seperti limbah padat seperti feces, dan limbah cair (urine + darah) yang dihasilkan dari
pemotongan tersebut dibuang di sekitar RPH bahkan saluran pembuangan dari RPH tersebut dibuang ke
sungai, sehingga menimbulkan keresahan dari masyarakat yang tinggal di sekitar RPH. Dengan adanya
pembuangan limbah di Rumah Pemotongan Hewan tersebut, maka menimbulkan beberapa persepsi di
masyarakat yang berada di sekitar Rumah Pemotongan Hewan tersebut.
Persepsi adalah proses pengolahan informasi dari lingkungan yang berupa stimulus yang diterima melalui
alat indera dan diteruskan ke otak untuk diseleksi, diorganisasikan sehingga menimbulkan penafsiran atau
penginterpretasian yang berupa penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Dimana
persepsi merupakan hasil interaksi antara dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu

versi elektronik
yang sudah diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung, dan diinterpretasikan
oleh sistem saraf di otak (Aditya, 2007). Berdasarkan pernyataan di atas, maka perlu diketahui bagaimana
persepsi masyarakat yang tinggal di sekitar RPH mengenai keberadaan RPH tersebut.
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, Maka dilakukan penelitian mengenai Persepsi
Masyarakat Terhadap Keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Kelurahan Kambiolangi
Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2012 hingga Februari 2012 di Kelurahan Kambiolangi
Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang, dengan pertimbangan bahwa adanya beberapa keluhan dari
sebagian anggota masyarakat terhadap keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu jenis penelitian yang menjelaskan atau menggambarkan
suatu fenomena, dalam hal ini persepsi masyarakat terhadap keberadaan Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) di Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang.

versi elektronik
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan masyarakat yang berada di sekitar RPH dari jarak 1
sampai 2 KM yaitu sebanyak 220 orang, sedangkan sampel yang digunakan adalah sebanyak 37 orang.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan observasi dan wawancara
dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Untuk sumber data meliputi data primer
yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan masyarakat sekitar RPH, sedangkan data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak atau instansi terkait.
Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah statistik deskriptif dalam hal ini tabel distribusi
frekuensi. Pada penelitian ini digunakan skala likert yang membantu peneliti untuk mengkuantitatifkan
data kualitatif dalam hal ini persepsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

versi elektronik
Bau
Indikator bau dapat dilihat dari :
• Aroma
• Bau pada waktu kemarau
• Bau pada waktu musim hujan

331
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

• Bau sangat menyengat


• Bau yang tidak mudah hilang
Hasil penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dari

versi elektronik
sub variabel bau, dapat dilihat pada tabel 2.
Pada tabel 2, total skor untuk sub variabel bau diperoleh 385 skor dengan kategori cukup mengganggu
artinya masyarakat keberatan dengan adanya rumah pemotongan hewan tersebut, tapi tetap dapat
memahami keberadaan RPH yang berada pada interval (308 – 431) yang berarti bahwa masyarakat cukup
terganggu dengan adanya bau yang ditimbulkan oleh rumah pemotongan hewan tersebut. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sudarma dalam Rachman (2012) yang menyatakan bahwa tanggapan seseorang
terhadap bau yang tercium tergantung individu seseorang, dimana bau yang ditimbulkan RPH tersebut
berasal dari limbah padat (feses), limbah cair (urine + darah), dan sisa pakan.
Tabel 2. Penilaian Persepsi Masyarakat Tentang Bau Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Kelurahan
Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang
Frekuensi
No. Kategori Skor Persentase (%) Bobot
(orang)

versi elektronik
1 Aroma
Mengganggu 3 14 37,83 42
Cukup Mengganggu 2 11 29,72 22
Tidak Mengganggu 1 12 32,43 12
Jumlah 37 100 76
2 Bau Pada Waktu Kemarau
Mengganggu
Cukup Mengganggu 3 15 40,54 45
Tidak Mengganggu 2 11 29,72 22
1 11 29,72 11
Jumlah 37 100 78
3 Bau Pada Waktu Musim
Hujan
Mengganggu 3 15 40,54 45
Cukup Mengganggu 2 10 27,08 20

versi elektronik
Tidak Mengganggu 1 12 32,43 12
Jumlah 37 100 77
4 Bau Sangat Menyengat
Mengganggu
Cukup Mengganggu 3 16 43,23 48
Tidak Mengganggu 2 9 24,32 18
1 12 32,43 12
Jumlah 37 100 78
5 Bau Tidak Mudah Hilang
Mengganggu
Cukup Mengganggu 3 15 40,54 45
Tidak Mengganggu 2 9 24,32 18
1 13 35,13 13
Jumlah 37 100 76
Total 385

versi elektronik
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2012.

Limbah
Indikator limbah dapat dilihat dari :
• Langsung dibuang / dialirkan ke sungai

332
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

• Ditumpuk
Hasil penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dari
sub variabel limbah, dapat dilihat pada tabel 3.

versi elektronik
Tabel 3. Penilaian Persepsi Masyarakat Tentang Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di
Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang
Frekuensi
No. Kategori Skor Persentase (%) Bobot
(orang)
1 Langsung dialirkan ke sungai
Mengganggu 3 11 29,72 33
Cukup Mengganggu 2 14 35,13 28
Tidak Mengganggu 1 12 32,43 12

Jumlah 37 100 73

versi elektronik
2 Ditumpuk
Mengganggu 3 10 27,02 30
Cukup Mengganggu 2 11 29,72 22
Tidak Mengganggu 1 16 43,24 16
Jumlah 37 100 68
Total 141
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2012.

Pada tabel 3, total skor untuk sub variabel limbah diperoleh 141 skor dengan kategori cukup mengganggu
artinya masyarakat keberatan dengan adanya rumah pemotongan hewan tersebut, tapi tetap dapat
memahami keberadaan RPH yang berada pada interval (123 – 172) yang berarti bahwa masyarakat cukup
terganggu dengan adanya pengolahan limbah dari RPH karena fesesnya hanya dibiarkan di saluran

versi elektronik
pembuangan saja atau langsung dibuang di sungai. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusnoputranto (1995)
yang menyatakan bahwa limbah ternak adalah suatu sumber daya yang bila tak dimanfaatkan dengan
baik, dapat menimbulkan masalah bagi peternak itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Semua limbah
peternakan adalah bahan yang dapat diperbaharui (renewable), tak akan habis selama ternak ada. Bila
limbah peternakan tidak dikelola dengan baik, maka akan mencemari atau memperburuk kondisi
lingkungan setempat.
Pencemaran Air
Indikator limbah dapat dilihat dari :
• Air berbau
• Air yang tercemar / keruh
Hasil penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dari
sub variabel pencemaran air, dapat dilihat pada tabel 4.

versi elektronik 333


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 4. Penilaian Persepsi Masyarakat Tentang Pencemaran Air Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di
Kelurahan Kambiolangi Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang
Frekuensi
No. Kategori Skor Persentase (%) Bobot

versi elektronik
(orang)
1 Air Berbau
Mengganggu 3 10 27,02 30
Cukup Mengganggu 2 11 29,72 22
Tidak Mengganggu 1 16 43,24 16
Jumlah 37 100 68
2 Air Tercemar / Keruh
Mengganggu 3 10 27,02 30
Cukup Mengganggu 2 12 32,43 24
Tidak Mengganggu 1 15 40,54 15
Jumlah 37 100 69
Total 137
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2012.

Pada tabel 4, total skor untuk sub variabel pencemaran air diperoleh 137 skor dengan kategori cukup
mengganggu artinya masyarakat keberatan dengan adanya rumah pemotongan hewan tersebut, tapi tetap

versi elektronik
dapat memahami keberadaan RPH yang berada pada interval (123 – 172) yang berarti bahwa masyarakat
cukup terganggu dengan adanya pencemaran air karena limbah yang dihasilkan oleh rumah pemotongan
hewan tersebut langsung dialirkan ke sungai. Hal ini sesuai dengan pendapat Lahamma (2006) yang
menyatakan bahwa harusnya ada pengolahan limbah yang benar agar tidak mengganggu warga dan
limbah tersebut sebaiknya diolah agar tidak mencemari lingkungan.

KESIMPULAN
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Kelurahan Kambiolangi
Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang adalah cukup mengganggu, artinya bahwa masyarakat keberatan
dengan adanya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut. Tetapi tetap dapat memahami keberadaan
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut karena hanya satu-satunya RPH yang ada di Kecamatan Alla
Kabupaten Enrekang dan dapat memenuhi kebutuhan / permintaan akan daging di seluruh Kecamatan
Alla dan sekitarnya.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Kusnoputranto, H., 1995. Limbah Industri dan B-3 Dampaknya Terhadap Kualitas Lingkungan dan
Upaya Pengelolaannya. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman,
Samarinda.
Lahamma, A., 2006. Persepsi Peternak Tentang Limbah Pertanian dalam Pemanfaatannya Sebagai Pakan
Ternak Sapi di Kecamatan Sukamaju Luwu Utara. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia. PT. Bina Aneka Lestari,
Jakarta.
Rachman, M., 2012. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Peternakan Babi di Kampung Katimbang
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Universitas Hasanuddin,
Makassar.

versi elektronik 334


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

KAJIAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PROGRAM SATU PETANI SATU


SAPI (SPSS) DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI SUMATERA BARAT1
Muhamad Reza

versi elektronik
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Email: muhamadreza@rocketmail.com

ABSTRAK
Program Satu Petani Satu Sapi (SPSS) telah menjadi ketetapan dan satu kebijakan dalam ranah gerakan
pensejahteraan petani (GPP) di propinsi Sumatera Barat, sejak tahun 2010 hingga saat ini. Program ini
berorientasi kepada percepatan pembangunan ekonomi berbasis rumah tangga di nagari, kelurahan dan
desa, melalui sektor peternakan. Sebab beternak bisa memanfaatkan lahan marginal dalam skala kecil,
dan limbahnya dapat kembali menyuburkan lahan secara berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk
memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat mendorong efektifitas keberhasilan usaha tani melalui
kegiatan ’satu petani satu sapi’. Penelitian ini dilaksanakan di empat Kabupaten (Padang Pariaman, 50
Kota, Pasaman Barat, Solok) dan 1 Kota ( Payakumbuh). Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data memadukan beberapa pendekatan yaitu wawancara,
observasi dan dokumentasi. Jumlah sampel penelitian sebanyak 160 orang. Teknik analisa data yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif.

versi elektronik
Kata Kunci: Pelaksanaan Program SPSS, Peningkatan Pendapatan.

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat tani agar meningkat
kesejahteraannya sekaligus meningkat pula kemandiriannya. Pembangunan pertanian dapat didefinisikan
sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status
dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi
sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan
(improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change).
Salah satu subsektor pertanian yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pembangunan oleh pemerintah
adalah bidang peternakan sapi. Dimana subsektor ini diyakini mampu membantu meningkatkan
perekonomian petani. Maka dari itu pemerintah Sumatera Barat menjadikan sektor peternakan sapi
sebagai salah satu alat untuk dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini dikarenakan potensi yang

versi elektronik
dimiliki oleh Sumatera Barat, baik potensi sumberdaya manusia (SDM) maupun sumberdaya alam
(SDA), berada dalam kondisi yang memadai untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Untuk sektor peternakan, pemerintah Sumbar meluncurkan program yang diberi nama Satu Petani Satu
Sapi (SPSS). Program tersebut resmi diluncurkan oleh Gubernur Sumatera Barat yaitu Prof. Irwan
Prayitno pada tanggal 19 Desember 2010 di Kota Payakumbuh dan keseluruhan Kabupaten/Kota juga
akan dilaksanakan program tersebut. Ide dasarnya bahwa 60,7 persen penduduk Sumatera Barat adalah
petani. Namun sayangnya rata-rata pendapatan mereka per tahun masih rendah dan belum sejahtera.
Penyebabnya adalah rata-rata petani kita hanya memiliki lahan 0,3 hektar lahan per KK. Fakta ini
menyebabkan jam kerja petani tidak optimal dan sudah tentu pendapatan yang diperoleh tidak juga
maksimal.
Program ’satu petani satu sapi’ (SPSS) telah menjadi ketetapan dan satu kebijakan dalam ranah gerakan
pensejahteraan petani (GPP) di propinsi Sumatera Barat, sejak tahun 2010. Gerakan ini berorientasi
kepada percepatan pembangunan ekonomi berbasis rumah tangga di nagari, kelurahan dan desa. Sebab

versi elektronik
jumlah keluarga yang menjadikan sektor pertanian sebagai sumber utama penghasilan mereka mencapai
1.136.874 unit.
Pengertian ’satu petani satu sapi’ tidaklah melulu untuk ’ternak sapi’ saja. Ia bisa menyesuaikan pada
beraneka jenis ternak dan ketersediaan sumber daya penunjang pada tiap daerah. GPP juga merupakan
upaya penambahan variasi sumber penghasilan keluarga; dari satu menjadi tiga. Sehingga, mata pencarian

335
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

petani banyak ragamnya, dalam sistem pertanian terpadu. Program berupaya meningkatkan alokasi jam
kerja anggota keluarga, dari rata rata 3.5 jam/hari menjadi lebih tinggi. Kemudian, ia bermuara kepada
perbaikan penghasilan keluarga sampai seputar Rp 2 juta/bulan yang setara dengan dua emas.

versi elektronik
Adanya variasi sumber penghasilan petani dalam satu sistem pertanian terpadu menempatkan
pemeliharaan ternak sebagai pilihan. Sebab beternak bisa memanfaatkan lahan kurus yang sekaligus
dapat kembali menyuburkannya melalui kotoran mereka. Disamping itu, tahi ternak bisa pula menjadi
sumber dan pemicu utama proses pembuatan pupuk organik. Tentu, dalam perspektif yang amat kental
dengan nuansa pembangunan pertanian berkelanjutan. Lagi pula, realitanya bahwa rata rata kepemilikan
lahan oleh petani kurang dari 0.3 ha tiap kepala keluarga.
Program ini memiliki tujuan yang baik dalam rangka peningkatan pendapatan petani, akan tetapi jika
tidak ada pedoman yang baik untuk melaksanakannya, maka tujuan tersebut sulit tercapai. Oleh karena
itu, perlu kiranya dilakukan kajian secara empiris untuk membantu pemerintah dalam mencapai tujuan
program tersebut. Maka dari itu, pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah ”Bagaimanakah
rekomendasi kebijakan yang dapat mendorong efektifitas keberhasilan usaha tani melalui kegiatan ’satu
petani satu sapi’ ?
CARA PANDANG PERTANIAN TERPADU SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN PROGRAM SPSS.

versi elektronik
Gerakan pensejahteraan petani (GPP) yang mengandung program satu petani satu sapi (SPSS) bertolak
dari pemikiran sistem pertanian terpadu (SPT). Seperti sajian Mollison (1990), SPT berlandaskan kepada
beberapa prinsip atau cara pandang, seperti;
1. Adalah kerjasama, tidak kompetisi dan persaingan, yang mendasari kehidupan dan keberlanjutan
sistem terpadu ini.
2. Perlu kepedulian pada semua makhluk hidup didalam unsur dari sistem agar keterpaduan bisa
berjalan dan semakin membaik. Kepedulian kepada semua pihak (petani, peternak, kelompok,
lembaga keuangan, pasar dan pengambil kebijakan) dalam hal akses sumberdaya mesti terjaga.
3. Gunakan daur ulang dengan cara memanfaatkan apa yang terbuang. Ganti apa yang dipakai
melalui proses perbaikan, rehabilitasi dan reboisasi dll.
4. Hidup dalam sistem terpadu harus ada pihak yang memberi dan menerima, tolak angsur dan
mengukur kinerja tidak dengan indikator ekonomi saja. Hal ini termasuk terbukanya peluang
kerja, mengurangi angka kemiskinan, bertambahnya daya tahan hidup dan upaya untuk

versi elektronik
membantu sesama.
5. Bekerjalah bersama dan bersahabat dengan alam, tidak menentang, mendorong, menekannya.
Kita bekerja ’dalam konteks membantu’ dan memelihara ketimbang sekedar membangun saja.
Langkah kerja untuk memulai keterpaduan adalah mengikuti prosedur berikut;
1. Proses keterpaduan mulai bekerja dari upaya mengatasi masalah sosial ketimbang kemegahan dan
uang semata mata.
2. Maka, nilai nilai pelaku adalah konservasi, pemeliharaan, kepercayaan diri, kemandirian dan
harmoni antara berbagai unsur. Ia tidak melulu memakai pertimbangan ekonomi dan keuntungan.
3. Pertimbangan pekerjaan integrasi adalah faktor sosial ekonomi dan biologi jangka panjang, tidak
nilai ongkos dan materi jangka pendek.
4. Cara meraihnya melalui konsultasi, penelitian aksi atau fasilitasi orang dan kelompok melalui
rancangan pendidikan. Ia tidak menggantungkan pada bantuan dana pihak luar, yang justru

versi elektronik
menelantarkan potensi petani peternak sendiri.
5. Suasana yang terbina adalah membuka kesempatan, bantuan keuangan, umpan balik untuk
memperbaiki kegiatan dan memungkinkan munculnya kebutuhan baru. Ia menghindari menjual
dan tidak bertanggungjawab pada hasil.

336
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tujuannya adalah suasana masyarakat peternak yang dinamis, sehat, mengerti dan berkuasa untuk sadar
melakukan perbaikan. Ia mencegah orang yang terpisah dan tidak berdaya. Sebaliknya ia menghindarkan
ketergantungan dan kekhawatiran menatap masa depan.

versi elektronik
METODE PENELITIAN
Lokasi kegiatan kajian pelaksanaan program SPSS ini berada pada wilayah administrasi provinsi
Sumatera Barat. Pengambilan sampel dalam wilayah menggunakan teknik purposive sampling atau
penetapan wilayah secara sengaja. Ada beberapa pertimbangan untuk memakai teknik itu, seperti;
alokasi ketersediaan waktu, jumlah tenaga pelaksana dan anggaran dana. Kemudian lokasi juga telah
menjadi wilayah kerja GPP. Meskipun begitu pakem ’mewakili karakter’ wilayah tetap menjadi prioritas
satu. Sebab pemilihan lokasi merujuk pada indikasi berikut ini;
1. Mencakup keragaman letak geografis wilayah dan karakter petani dan peternaknya (pantai,
perbatasan dan tengah, dataran rendah dan tinggi, kemajuan dalam teknis beternak).
2. Kehadiran dan perkembangan serta peran kelompok tani.
3. Kehadiran dan peran lembaga keuangan mikro.
Sesuai dengan indikator tersebut, maka lokasi kajian SPSS dapat dicermati seperti pada Tabel 1.

versi elektronik
Tabel 1. Lokasi Kajian Pelaksanaan Satu Petani Satu Sapi
NO KABUPATEN/KOTA NAGARI/KELURAHAN
1. Kabupaten Padang Pariaman 1. Cimpago
2. Lareh Nan Panjang

2. Kabupaten Pasaman Barat 3. Lingkung Aur (Bandar Rejo)


4. Kinali

3. Kota Payakumbuh 5. Padang Alai


Kabupaten 50 Kota 6. Guguak VIII Koto

4. Kabupaten Solok 7. Koto Gaek


8. Paninjauan

versi elektronik
Catatan : Pemilihan lokasi sesuai dengan juklak GPP Sumbar 2010.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak
160 orang, teknik pengumpulan data (baik primer atau sekunder) berlangsung dengan menggunakan 4
(empat) cara, yaitu : (1) pengamatan langsung atau observasi, (2) wawancara mendalam dan terstruktur
dengan menggunakan instrumen kuesioner, (3) diskusi kelompok terfokus (FGD) dan (4) studi
dokumentasi. Semua tahap berjalan secara berurutan dan saling menunjang satu sama lain. Teknik
analisa data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan menggunakan bantuan pendekatan 5 W + 1
H.
Dasar Pemikiran Program Satu Petani Satu Sapi (SPSS)
Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat, semenjak Gubernur Irwan Prayitno tahun 2010, membuat
kebijakan “Gerakan Pensejahteraan Petani (GPP)”. Pelaksana kegiatan ini berada pada gabungan 5
SKPD, yaitu; Dinas Pertanian Tanaman Panagan, Peternakan, Perikanan, Perkebunan dan Koperindag,

versi elektronik
dengan Ir. Djoni sebagai ketua.
Bersamaan dengan GPP ada program Satu Petani Satu Sapi (SPSS). Gubernur Sumbar telah meresmikan
pelaksanaan program SPSS melalui upacara yang mendapat liputan media massa di Payakumbuh tanggal
19 Desember 2010. Ketika itu secara simbolis petani peternak menerima sebanyak 80 ekor sapi.
Selanjutnya GPP dan SPSS berkembang dan akan berjalan pada semua kabupaten/ kota Sumatera Barat.
Tentu, ini tergantung kesiapan dan komitmen masing-masing daerah. Tiap kabupaten dan kota

337
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

mendapatkan kedua paket program seemenjak tahap awal kegiatan. Tahun 2011, akan ada pada 62
Nagari, yang terus meningkat sampai tahun 2015. Proses penambahan ini berlangsung sesuai pola ’proses
belajar sosial atau social learning process’.

versi elektronik
Gagasan program satu petani satu sapi muncul dari kenyataan bahwa 60,7 persen penduduk Sumatera
Barat adalah petani. Namun, rata-rata pendapatan mereka setiap tahun masih rendah dan belum masuk
kategori/tingkat sejahtera. Penyebabnya ialah rata-rata petani hanya memiliki lahan 0,3 hektar lahan per
kepala keluarga (KK). Akibatnya, jam kerja petani tidak optimal penggunaanya dan berujung pada raihan
pendapatan yang juga tidak maksimal. Maka, melalui pendekatan integrated farming (pertanian terpadu)
meluncurlah kedua program.
Memang, semenjak program SPSS resmi, terjadi pro dan kontra dari berbagai kalangan, seperti dari
akademisi, tokoh politik, dll. Harian Padang Ekspres, misalnya dua kali menerbitkan opini yang
membahas program SPSS. Pertama, tanggal 3 Maret 2011, Fery Adrianus (Dosen Fakultas Ekonomi
Unand) menuangkan beberapa ide mengatasi pendanaan program SPSS. Caranya adalah; (a) menggalang
dana dari masyarakat yang memiliki dana berlebih, (b) memanfaatkan pengadaan sapi korban, dan (c)
memanfaatkan dana CSR BUMN/BUMD atau perusahaan swasta di Sumatera Barat. Donard Games
(Direktur Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi) Unand pada harian Padek (9/4/2011) mempertanyakan

versi elektronik
keefektifan program SPSS. Ia lantas mengurai tiga penjabaran efektifitas SPSS, yaitu; (a) aspek
pembiayaan, (b) aspek keadilan dan (c) aspek penggerak ekonomi lokal.
Kedua, anggota DPRD Sumbar H. Novrizon (Singgalang, Minggu (9/1) menyatakan bahwa sesuai
pengalaman, kegiatan per-sedua-an ternak sapi tidak memberikan keuntungan nyata bagi petani. Namun,
jika jumlah ternak sapi yang diperseduakan ada 3 ekor atau lebih, maka petani baru nampak menikmati
manfaatnya. Karena itu, ia menyarakan agar kebijakan SPSS bisa mencocokkan jenis ternak yang sesuai
dengan kondisi nagari.
Kajian Program Terdahulu
Landasan SPSS dan GPP tentu dari hikmah dan kajian program sebelumnya. Bachtiar dkk (1996) telah
menuliskan sejumlah pola dalam koordinasi strategi pengembangan usaha sapi potong di Sumatera Barat.
Ia berangkat dari kebijakan diversifikasi, intensifikasi, ekstensfifikasi yang diberlakukan secara terpadu
untuk keberlanjutan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Pada perkembangan berikutnya,
seperti; poin D dalam misi RPJP Sumbar 2005-2025 berbunyi ’Mewujudkan Usaha Ekonomi Produktif

versi elektronik
dan Efisien Serta Mampu Bersaing Di Dunia Global’. Maka, pendekatan ‘keterpaduan’ menjadi icon
untuk meraih efisiensi dan produktifitas dalam perspektif ekonomi global tersebut. Hal serupa (terpadu)
menjadi basis pada GPP dan SPSS. Dengan demikian dasar kebijakan pengembangan sapi telah bertumpu
pada satu benang merah semenjak beberapa dekade yang lalu; yaitu ‘pendekatan terpadu’.
Kendati, semenjak dua dekade itu, beberapa nama pengembangan usaha ternak telah berjalan di Sumatera
Barat, seperti; village breeding centre (VBC), sapi IFAD (international fund for agricultural
development), gerakan pengembangan bibit sapi pedesaan (gerbang serba bisa) dan komponen sapi dalam
program kemiskinan dan transmigrasi, sedikitnya ada tiga pola pemeliharaan ternak sapi ini. Lagi pula
semua nama pengembangan ternak sapi ini mendapat biaya dari Jakarta (pusat). Karena, walau ada sapi
dengan pendekatan kawasan sentra produksi (KSP), sumber dananya tetap dari APBN.
Pertama, keterpaduan berupa mitra antara perkebunan (sawit dan coklat) skala besar dengan ternak sapi.
Pola ini semakin berkembang dengan kesepakatan fasilitasi GPP dengan sejumlah perusahaan perkebunan

versi elektronik
(BUMN) dan Semen Padang melalui CSRnya. Lokasi seperti Kabupaten Pesisir Selatan bagian Selatan,
Dharmasraya dan Pasaman Barat dekat dengan pola mitra ini. Pola mitra relatif baru di Sumbar, meskipun
di Riau telah berjalan sejak belasan tahun terakhir. Malah, kredit untuk pola ini telah tersedia dengan
syarat relatif mudah.
Kedua, keterpaduan berupa sistem tanaman pangan (jagung, padi, ubi) dengan ternak sapi. Hampir semua
daerah mempunyai potensi model pola ini. Misalnya yang terakhir antara perusahaan benih jagung kota

338
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Solok dengan pemeliharaan sapi dengan fasilitasi bank BNI. Kemudian, kebiasaan masyarakat peternak
sekitar kota Bukittinggi, yang memberikan kulit ubi kayu (sanjai) sebagai komplemen pakan ternak. Lalu,
usaha peternakan penggemukan sapi Roni dan Akmal di 50 Kota yang memberikan jerami padi sebagai
pakan utama. Sejumlah SMD yang marak sejak tahun 2007 juga masuk kategori ini dengan tambahan

versi elektronik
penanaman rumput unggul sekitar lokasi usaha mereka. Beberapa Bank, seperti BPD/ bank Nagari telah
mulai memasuki pasar model ini. Misalnya KUPS (kredit usaha pengembangan sapi) dan KUR (kredit
usaha rakyat).
Ketiga, keterpaduan berupa variasi sumber pendapatan seperti beragam jenis ternak (unggas, ikan, sapi,
kambing, kerbau) dengan tanaman pangan dan kebun skala kecil. Pola ini bersifat tradisionil dan belum
terlalu mengarah ke komersil. Umumnya usaha ternak sapi bertujuan untuk tenaga kerja dan tabungan
yang menjadi sumber pendapatan ketika sewaktu waktu ada perlu. Misalnya untuk kebutuhan
menyekolahkan anak, membangun dan rehabilitasi rumah, pesta perkawinan dan mencari pekerjaan.
Kelompok peternak kawasan Agam Timur, Padang Pariaman dan sejumlah daerah lain dekat dengan
kategori ini.
Rekomendasi Kebijakan
Ringkasan pelaku dan ranah kebutuhan kebijakan dari kerangka interaksi diatas tercantum pada Tabel 2.

versi elektronik
Sasaran Program SPSS
Sasaran utama kebijakan (tingkat produksi) adalah
1. Petani peternak yang menekuni aktivitas usaha dengan corak subsisten, dalam sebuah sistem
pertanian terpadu. Pilihan utama buat petani peternak ini ialah mereka yang memiliki: kejujuran,
tekun, disiplin dan, bertanggungjawab.
Kepada mereka tersedia paket SPSS – dan memang jenis ternak sapi, meskipun bagi kabupaten kota dapat
menyesuaikan dengan jenis ternak yang cocok dengan kebutuhan lokal. Jadi kebijakan pemda Sumbar
tentang SPSS hanya untuk kategori ternak sapi.
Ciri ciri petani / peternak sasaran adalah;
• Petani/peternak menempatkan usaha ternak sebagai bagian dari sistem usaha tani terpadu.
• Petani/peternak yang memiliki tujuan beternak sebagai simpanan ketika ada keperluan mendadak.

versi elektronik
Misalnya untuk; a) sumber dana mengatasi penyakit dan bencana; b) sebagai simpanan untuk
menyekolahkan anak anak; c) upaya mendukung penyelenggaraan pesta, dan merehabilitasi
rumah; d) Akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menunaikan tugas agama, seperti menfasilitasi
untuk pergi ke Mekkah menunaikan rukun Islam kelima.
2. Sasaran SPSS juga melibatkan pelaku pada (tingkat distribusi) dan pemasaran. Misalnya
pedagang/toke ternak, tukang potong dan petugas RPH. Karena SPSS merupakan bagian dari
GPP, maka cakupan sasaran meliputi tahap produksi dan distribusi. Kemudian, ia sinkron dengan
para pelaku pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, perdagangan dan para penjual produk
akhir.

versi elektronik 339


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 2. Ringkasan Rumusan Kebijakan SPSS propinsi Sumbar


Ranah kewenangan, pelaku dan kebutuhannya
Kriteria Kebijakan Propinsi Kabupaten/kota Wilayah Fungsional Kelompok dan
peternak

versi elektronik
1 2 3 4 5
On Farm
Teknis beternak Akses dan terlayani
Bibit BIB, disnak SKPD terkait Inseminator , ULIB, Tersedia dengan ‘tepat’
konsultan teknis
Pakan Teknologi nilai tambah Tersedia dan ada
gizi dan pakan alternatif sumber informasi
Pemeliharaan UPTD UPT Belajar dari sesama
Pencegahan penyakit UPT, petugas keswan Ada sumber informasi
Pemasaran Berfikir jangka panjang, Tunai dan Kontan
Jujur dan terbuka

Off Farm

versi elektronik
Kredit BPD/Nagari Cabang BPD BPR, LPN, BMT, LKMA Akses
 Hindari
system
target
Pinjaman lunak Utk produksi & distribusi Dapat via bank
(toke & pemotong)
Pasaduoan Bagi hasil Kelompok tani ternak Tidak melalui bank

Informasi SKPD terkait SKPD terkait Swasta Akses


Harga dan kebijakan Media massa
nas dan internas Penyuluh pemda
Penyuluh swasta
Pasar SKPD terkait SKPD terkait Swasta Akses dan informasi
Toke Kredit lunak/bagi hasil Tunai

versi elektronik
RPH modern Pyk Jejaring pada semua pasar, daerah, SMD dan kelompok Tunai
Tukang bantai Kredit lunak/bagi hasil Tunai

Teknologi SKPD terkait SKPD terkait Swasta Akses dan informasi


Biogas
Pakan
Pupuk organik
Kualitas lahan dan air Sinergi tiga pihak dengan para pelaku terkait
Keamanan berusaha SKPD terkait SKPD terkait
dan kendala sosial  Pungutan  Pungutan dan  Tingkat pencurian Peran moral, etika dan
budaya dan intevensi intevensi  Akses tanah ulayat agama
 Penakaran &
penimbangan

versi elektronik
Kelembagaan Tekad dukungan Fasilitasi dan Pengembangan kinerja
yang konsisten & kerjasama pada ranah kelompok dan asosiasi
sinkron administrasi dan kinerja

340
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Mendukung penerapan skim SPSS dalam GPP, pelaku berikut jadi penyangga meraih keberhasilan,
seperti;
1. Lembaga keuangan yang menawarkan jasa pinjaman modal usaha dan syarat serta jaminannya.

versi elektronik
Paket/skim pinjaman modal usaha ini mesti cocok dan jitu untuk mendorong usaha produksi dan
distribusi sampai kepasar. Ada dua kategori dukungan modal usaha; (a) pinjaman bersyarat lunak
dan (b) pinjaman dengan sistem perseduaan ternak sapi (bagi hasil). Mekanisme kerja kedua
bentuk dukungan modal usaha ini tercantum pada lampiran 2. Bank Nagari memainkan peran
utama (eksekutor) mengendalikan dan memantau pelaksanaan skim dukungan modal usaha ini.
BPR, LPN, dan BMT menyalurkan (channeling) paket pinjaman modal berkategori (a) dengan
bantuan kelompok tani. Sasarannya bisa petani, peternak, toke, pedagang dan petugas RPH.
Sedangkan LKMA dan kelompok tani menyalurkan dan mengendalikan paket dukungan dana
berkategori perseduaan (b). Sasarannya adalah petani dan peternak.
2. SKPD teknis, tingkat propinsi dan kabupaten kota, yang terkait dengan program GPP dan SPSS,
khusus yang tupoksinya melayani kebutuhan teknis beternak dan pencegahan penyakit hewan.
SKPD ini berkoordinasi menyelenggarakan dukungan teknis perbibitan, pakan, teknologi buat
nilai tambah, pencegahan dan pengobatan penyakit. Untuk kategori sapi bibit perannya
memperluas tugas inseminator dan petugas lapangan guna mencapai tujuan program. Simak

versi elektronik
misalnya peran H. Effendi Rasyid di Koto Hilalang, Panampuang dan Agustian di Kinali,
Simpangan Empat dan sekitarnya. Untuk kategori sapi kreman perannya menyesuaikan dengan
kebutuhan.
3. SKPD pendukung teknis adalah mengukuhkan peran revitalisasi distribusi dan pasar ternak.
Tugasnya memastikan bahwa pedagang, petugas RPH, dan toke ternak bisa mengkases paket
pinjaman SPSS. Kemudian, pelaku pasar ini membayar kontan / tunai kepada peternak pada
transaksi jula beli ternak. Selanjutnya memastikan produk yang diperjualbelikan di pasar masuk
kategori ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Berikutnya, mencegah; (a) monopoli dalam
distribusi dan perdagangan ternak dan produknya, (b) menimbun barang, (c) berlaku tidak jujur
dalam menakar dan menimbang. SKPD yang masuk kategori pendukung ini juga berperan untuk
upaya mengembangkan kelompok dan asosiasi kelompok tani. Targetnya ialah; (a) meningkatkan
kapasitas kelembagaan, daya tawar dan administrasi kelompok tani dan asosiasi, (b) menfasilitasi
kerjasama kelompok tani secara horizontal dan vertikal, (c) mendorong perbaikan kinerja
kelompok dan asosiasi petani peternak. Pada sisi off farm SKPD bertugas memastikan fungsi

versi elektronik
pengelolaan pasar, teknologi dan keamanan berusaha serta upaya mengatasi kendala sosial
budaya.
Tujuan Dan Ukuran Keberhasilan Program SPSS
Secara umum, tujuan kebijakan SPSS adalah;
1. Meningkatkan daya tahan dan kemampuan anggota keluarga tani untuk menghadapi dan keluar
dari tekanan bencana alam, kekurangan pangan dan gizi serta lingkaran kemiskinan.
2. Menjaga dan memperbaiki kualitas sumber daya insani dan ketahanan masyarakat melalui
diversifikasi sumber penghasilan dalam kerangka sistem pertanian terpadu.
3. Mengembangkan kapasitas pengelolaan aspek sosial ekonomi rumah tangga melalui instrumen
sumber dan lembaga keuangan alternatif dan inovatif.
4. Memfasilitasi anggota keluarga atau rumah tangga petani skala kecil di pedesaan Sumatera Barat
agar lebih dinamis dalam berusaha. Mereka bisa menggunakan sisa waktu luang, rumput

versi elektronik
lapangan dan sisa hasil pertanian.
Ukuran sukses atau indikator kinerja program SPSS mengacu kepada ukuran GPP. Karena SPPS
merupakan himpunan bagian dari GPP, yaitu;
1. Petani peternak mampu lebih mengoptimalkan daya guna rumput dan sisa hasil pertanian
tanaman pangan agar tidak terbuang percuma.

341
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

2. Menambah variasi sumber penghasilan keluarga; dari satu menjadi tiga mata pencarian pada
tahun 2015. Sehingga, jenis kegiatan petani dan jumlah sumber penghasilan mereka bertambah
dalam sistem pertanian terpadu.
3. Meningkatkan alokasi jam kerja anggota keluarga, dari rata rata 3.5 jam/ hari menjadi lebih tinggi

versi elektronik
atau sekitar 8 jam/hari pada tahun 2015. Sehingga petani bisa mengisi dan menggunakan waktu
luang mereka secara lebih bermanfaat.
4. Perbaikan penghasilan keluarga sampai seputar Rp 2 juta/bulan atau setara dua mas murni
sebulan pada tahun 2015. Sehingga petani bisa menerima pendapatan tambahan. Pada gilirannya
daya tahan petani dan keluarganya terhadap aneka bencana membaik.

KESIMPULAN
Berdasarkan kepada hasil kajian pelaksanaan SPSS, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Program Satu Petani Satu Sapi tidak bisa hanya dilihat dari sisi kacamata ekonomi atau aspek
komersial semata. Karena program ini menggunakan pendekatan terpadu antara berbagai unsur
dalam pertanian, seperti; tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan dan peternakan itu
sendiri. Kemudian, ia memadukan aspek dari hulu dan hilir dalam sistem agribisnis (on dan off

versi elektronik
farm). Sehingga komponen sosial, daya tahan pada bencana dan kelanjutan kehidupan dan usaha
masuk jadi pertimbangan. Ukuran suksesnya mengacu kepada kinerja GPP, yaitu; (a) menambah
jenis usaha petani melalui usaha ternak, (b) meningkatkan alokasi jam kerja petani mencapai 8
jam/hari dan (c) menambah pendapatan petani sampai Rp 2 juta/bulan atau setara dengan dua
emas.
2. Petani peternak responden masih menghadapi sejumlah masalah dalam menjalankan usahanya.
Misalnya, (a) keterbatasan akses permodalan, (b) tingkat pengetahuan dan teknis beternak masih
rendah, (c) sumber dan bibit sapi bakalan terbatas, (d) adanya perangkap informasi dan struktur
pasar, dimana peternak tidak kontan menerima bayaran transaksi jual beli dan (e) masalah
pencurian ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas. S. 1995. Sembilan Puluh Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian pada Pembangunan Jangka Panjang

versi elektronik
Tahap kedua. Bogor.
Anwar, Surya; Fuad Madarisa dan Amrizal Anas. 2009. Bahan Kuliah dan Buku Ajar. Ilmu Penyuluhan
Pertanian. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Solok. 2001. Laporan Pengkajian Pengembangan Potensi
Nagari Kab. Solok.
Badan Pusat Statistik Sumbar. 2010. Sumatera Barat Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Pariaman. 2009. Padang Pariaman Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasaman Barat. 2010. Pasaman Barat Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Solok. 2010. Solok Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota. 2010. Lima Puluh Kota Dalam Angka.

versi elektronik
Badan Pusat Statistik Kota Payakumbuh. 2010. Payakumbuh Dalam Angka.
Bachtiar, Nurzaman; M Kasim dan F Madarisa. 1996. Koordinasi Strategi Pengembangan Sapi Potong
dalam rangka kerjasma Petumbuhan Regional. Dinas Peternakan Sumatera Barat dan Lembaga
Penelitian Universitas Andalas. Padang.

342
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Dinas Peternakan Kabupaten Padang Pariaman. 2008. Road Map Komoditas Sapi Potong Kab. Padang
Pariaman.
Deptan. 2007. Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian. Jakarta.

versi elektronik
Dye, Thomas R. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall International, Englewood Cliffs, New
Jersey.
Kecamatan VII Koto Kab. Padang Pariaman. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Kenagarian Lareh Nan Panjang.
Kecamatan V Koto Kampuang Dalam. 2010. Profil Nagari Campago.
Kecamatan Kinali, Kab. Pasaman Barat. 2009. Profil Nagari Kinali.
Liem Siok Lan. 2008. Menuju Rakyat Berdaulat: Wawancara Adi Sasono, Ketua Dekopin. Penerbit
Republika. Jakarta.
Madarisa, Fuad. 2010. Perspektif Sosiologi Pembangunan Agribisnis. Fakultas Peternakan Universitas
Andalas. Padang.
Mardikanto, Totok. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP)

versi elektronik
UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS.
Miftah, Thoha. 2003. Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, cet. keVIII.
Mollison, Bill. 1990. Permaculture. A Practical Guide for a Sustainable Future. Island Press. Washington.
Mukerji. B. 1961. Objective and Methods of Community Development dalam Extension Education in
Comumunity Development. Directorate of Extension Ministry of Food and Agriculture.
Government of India, New Delhi.
North, Douglass. 2005. Understanding the Process of Economic Change. Princeton University Press.
Princeton.
Pambudy, Rahmat. 2000. Mengembangkan Wirausaha Peternakan Tangguh. Trobos.
Plopino, Ramiro F. 1987. The Adult Learner and Adult Learning dalam An Introdution to Extension

versi elektronik
Delivery System. Island Publishing House, Inc. Manila.
Rahardi dan Hartono Rudi. 2003. Agribisnis Peternakan. Penebar Swadaya. Jakarta
Rivera, William dan Gary Alex. 2004. Demand-Driven Approaches to Agriculture Extension: Case
Studies of International Initiatives. Agriculture and Rural Development Discussion Paper.
Extension Reform for Rural Development of World Bank. Volume 3. Washington.
Röling, Niels dan Janice Jiggins. 2007. Making Trans-disciplinary Science Work for Resource-poor
Farmers. Paper at Workshop Farmers First Revisited. Brighton 12-14 December 2007.
Saragih, Bungaran. 2000. Kumpulan Pemikiran: Agribisnis Berbasis Peternakan. USESE Foundation dan
PSP IPB. Bogor.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. PT. Refika Aditama. Bandung.
Slamet. M. 1987. Menetapkan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Prosiding. Kongres Penyuluhan

versi elektronik
Pertanian. PERHIPTANI . Subang.
Sonne, Lina. 2010. Financing pro-poor entrepreneur-based innovation: A review of existing literature.
United Nations University - Maastricht Economic and social Research and training centre on
Innovation and Technology Keizer Karelplein 19, 6211 TC Maastricht, The URL:
http://www.merit.unu.edu.

343
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Alfabeta. Bandung.


Suharto, Edi. 2005. Analisa Kebijakan Publik “ Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial.
CV. Alfabeta. Bandung.

versi elektronik
Sumardjo. 2009. Tantangan komunikasi pertanian di era globalisasi. Dalam Husodo, dkk. Pertanian
Mandiri; Pandangan strategis para pakar untuk kemajuan pertanian Indonesia. Penebar swadaya.
Jakarta.
Topatimasang, Roem; M Fakih; dan T Rahardjo. 2000. Merubah Kebijakan Publik. REaD Books.
Yogyakarta.
Wirartha, Made I. 2006. Metodologi Sosial Ekonomi. CV. Andi Offset. Yogyakarta

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 344


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

TINGKAT PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PEREMPUAN PADA USAHA TERNAK SAPI


POTONG JABRES DI KEBUPATEN BREBES
Nunung Noor Hidayat dan Imbang Haryoko

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Mengetahui tingkat produktivitas tenaga kerja perempuan pada
usaha ternak sapi Jabres di Kabupaten Brebes. (2) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja perempuan usaha ternak sapi jabres. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode Survey. Sample peternak dipilih menggunakan metode stratified random
sampling sebanyak 60 peternak. Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Perempuan dianalisis
dengan menggunakan perhitungan sederhana berupa nilai rata-rata, frekuensi distribusi, dan
tabulasi silang dan dilaporkan secara deskriptif. Untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Perempuan pada usaha ternak sapi Jabres,
data dianalisis menggunakan persamaan regresi berganda (multiple regression). Hasil Penelitian
menunjukkan Rata-rata pemeliharaan ternak sapi Jabres adalah 5,08 + 0,21 ekor. Curahan jam

versi elektronik
kerja tenaga kerja perempuan pada usaha ternak sapi potong rata-rata 3,62 + 2,25 JKSP dan
berkontribusi sebesar 37,10 + 16,45 %, sedangkan tingkat produktivitasnya sebesar Rp 18,678,-
+ 12.669,- per hari. Secara bersama-sama faktor jumlah ternak yang dipelihara, Jumlah anggota
keluarga, umur tenaga kerja perempuan, pakan hijauan dam konsentrat berpengaruh terhadap
tingkat produktivitas tenaga kerja perempuan pada tingkat kepercayaan 99 % (P < 0,01) dengan
koefisien determinasi R2 sebesar 62,71 % sedangkan secara parsial faktor yang berpengaruh
adalah : jumlah ternak (P < 0,01), jumlah anggota keluarga (P < 0,10), dan umur peternak (P <
0,05).
Kata Kunci : Survey, tingkat produktivitas tenaga kerja perempuan, sapi jabres,
ABSTRACT
The purpose of this study is: (1) Determine the level of woman labor productivity in the Jabres
cattle farming in Brebes district. (2) Knowing the factors that affect woman labor productivity

versi elektronik
jabres cattle farming. The study was conducted using a survey method. Sample farmers selected
using stratified random sampling of 60 farmers. Women Labor Productivity levels were analyzed
using a simple calculation of average values, frequency distributions and cross-tabulations and
reported descriptively. To determine the factors that affect the rate of Labor Productivity of
Women in the Jabres cattle farming, the data were analyzed using multiple regression equation.
Research results show average Jabres cattle raising is 5.08 + 0.21 tail. Outpouring of working
hours of women labor in the cattle farming an average of 3.62 + 2.25 JKSP and contribute for
37.10 + 16.45%, while the level of productivity of Rp 18.678, - + 12 669, - per day. Taken
together the number of animals kept factors, number of family members, age of women labor,
forage concentrate dams affect the level of women labor productivity at 99% confidence level (P
<0.01) with a coefficient of determination R2 of 62.71 % while partially influencing factors are:
the number of animals (P <0.01), number of family members (P <0.10), and age of farmers (P

versi elektronik
<0.05).
Keywords: Survey, level of women labor productivity, cow jabres,

PENDAHULUAN
Ternak sapi potong memegang peranan yang cukup strategis dalam rangka mencapai ketahanan pangan
produk hewani. Sampai saat ini produksi domestik ternak sapi potong belum mampu memenuhi

345
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

kebutuhan dalam negeri, dan kekurangannya harus impor. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2009)
Kebutuhan konsumsi daging segar maupun olahan belum sepenuhnya tercukupi oleh produksi dalam
negeri. Pada periode 2007-2008 terjadi peningkatan produksi daging (3,8%) dengan jumlah produksi pada
tahun 2007 sebesar 339.480 ton (berasal dari sapi lokal 263.458 ton dan sapi impor 76.022 ton), pada

versi elektronik
tahun 2008 sebesar 352.413 ton (berasal dari sapi lokal 251.941 ton dan sapi impor 100.472 ton).
Sapi Jabres merupakan sapi potong lokal yang pengembangannya terfokus di wilayah Kabupaten Brebes.
Seperti halnya sapi lokal yang lain (sapi Bali, Madura, Aceh dll), sapi Jabres merupakan tipe sapi potong
kecil dengan bobot badan sapi dewasa sekitar 300 kg. Namun demikian mempunyai kelebihan
diantaranya sangat cocok diternakan di wilayah Brebes, karkas lebih tinggi dibandingkan sapi PO.
Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Brebes, (2012), bahwa Sapi Jabres adalah nama populer yang
berasal dari singkatan Sapi Jawa Brebes dan merupakan aset ternak lokal khas Kabupaten Brebes yang
telah dibudidayakan oleh masyarakat secara turun temurun di Kabupaten Brebes. Sapi ini telah terbukti
dapat memberikan tambahan pendapatan pada rumah tangga petani dan limbahnya merupakan sumber
pupuk organik guna mendukung budidaya pertanian.
Usaha ternak sapi potong sebagian dilakukan oleh peternakan rakyat yang berada di pedesaan. Usaha
peternakan ini bersifat tradisional dan hanya sebagai usaha sambilan di sampai usahatani yang lain.

versi elektronik
Dalam pelaksanaannya usaha sapi potong banyak melibatkan tenaga kerja perempuan. Namun seberapa
besar produktivitas tenaga kerja perempuan dalam usaha ternak sapi potong Jabres belum banyak di
informasikan oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian. Dalam penelitian ini tujuan yang akan
dicapai adalah :
1. Mengetahui tingkat produktivitas tenaga kerja perempuan pada usaha ternak sapi Jabresdi
Kabupaten Brebes.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja perempuan usaha ternak
sapi jabres.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode survey. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peternak
dan ternak sapi Jabres yang ada di Kabupaten Brebes.Data dianalisis dengan perhitungan sederhana
berupa nilai rata-rata, frekuensi distribusi, dan tabulasi silang dan dilaporkan secara deskriptif. Untuk
mengetahui produktivitas tenaga kerja perempuan dalam usaha ternak sapi jabres digunakan rumus:

versi elektronik
P = Pendapatan usaha/Curahan jam kerja
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja perempuan dalam usaha
ternak sapi jabres, data dianalisis menggunakan persamaan regresi berganda, dengan rumus sebagai
berikut :
Y= f (X1.X2. …………..X9 D )
Y= Produktivitas tenaga kerja perempuan (Rp/jam); X1 = jumlah ternak sapi yang dipelihara (AU); X2 =
pakan hijauan rumput (kg); X3 = pakan hijauan jerami (kg); X4 = Pakan konsentrat (Kg); X5 = Curahan
jam kerja (Jam); X6 = Kepadatan kandang (m/ekor); X7 = Pengalaman beternak (tahun); X8 = Umur
peternak (tahun); X9 = Pendidikan formal peternak (tahun); D = Dummy untuk pola pemeliharaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

versi elektronik
Profil Peternak dan Usaha Ternaknya
Responden sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 41 orang (68,33 persen),
SLTP 15 orang (25 %) dan yang tidak pernah sekolah ada 4 orang (6,67 %). Jumlah anggota keluarga
peternak mempunyai range yang cukup besar yaitu berkisar antara 2 sampai dengan 15 orang dengan
rataan sebesar 5,12 + 2,57 jiwa. Pengalaman peternak dalam pemeliharaan sapi potong berkisar antara 3
sampai 50 tahun dengan lama rata-rata 16,17 + 10,56 tahun, dengan jumlah pemilikan ternak berkisar

346
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

antara 0,25 sampai dengan 8,75 ST dengan rata-rata jumlah pemilikan ternak 3,725 + 1,895 ST. Keadaan
tersebut lebih baik jika dibandingkan pendapat Soedjana (2005) bahwa sistem produksi daging sapi di
Indonesia secara tradisional dicirikan oleh skala usaha kecil yang memelihara hanya 1−3 ekor sapi/rumah
tangga.

versi elektronik
Produktivitas Usaha Ternak Sapi Jabres
Pendapatan Peternak
Pada usaha ternak sapi potong produktivitas dapat diukur dari pertambahan bobot badan harian (PBBH).
Sedangkan produktivitas tenaga kerja dapat dihitung berdasarkan nilai produktivitas usaha dibandingkan
dengan curahan jam kerjanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas usaha ternak sapi jabres masih sangat rendah, hal
tersebut dapat dilihat pada hasil mengukuran PBBH berkisar 0,2 sampai dengan 0,6 kg perhari, dengan
rataan sebesar 0,338 + 0,099 kg per hari. Jika dinilai dengan uang maka produktivitas usaha ternak sapi
potong Jabres berkisar antara Rp 3.000,- sampai dengan Rp 145.000,- per hari dengan rataan sebesar Rp
50.283,- + Rp 29.273,- per hari. Hasil pengkajian Ahmad et al. (2004) usaha penggemukan sapi potong
dengan sistem kereman selama 5 bulan dengan menggunakan teknologi introduksi, berupa perbaikan

versi elektronik
komposisi pakan dan penanggulangan penyakit, mampu meningkatkan pertambahan bobot badan harian
(PBBH) sapi bali dari 296,90 g menjadi 528 g/ekor/hari. Untuk sapi PO, rata-rata PBBH meningkat dari
381 g menjadi 697 g/ekor/hari. Pendapatan dari penggemukan sapi bali juga meningkat dari Rp 291.525
menjadi Rp 532.450/ekor/5 bulan, sementara pada usaha penggemukan sapi PO, pendapatan meningkat
dari Rp 346.500 menjadi Rp 667.375/ekor/5 bulan.
Tenaga kerja perempuan pada usaha ternak sapi potong dicurahkan untuk pekerjaan menggembalakan
ternak rata-rata sebesar 1,77 jam, untuk mencarri rumput 1,67 jam, member pakan dan minum 0,56 jam
dan membersihkan kandang selama 0,53 jam sehingga curahan jam kerja perempuan sebesar 4,52 jam per
hari atau sebesar 3,62 jam kerja setara pria (JKSP). Berdasarkan hal tersebut kontribusi tenaga kerja
perempuan pada usaha ternak sapi potong Jabres rata-rata sebesar 37,10 %. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa kontribusi tenaga kerja perempuan pada usaha sapi potong jabres cukup tinggi dan
lebih tinggi dibandingkan pada usaha sapi perah, hasil penelitian Mastuti dan Hidayat (2009) menyatakan
bahwa kontribusi curahan jan kerja perempuan sebesar 25,24 %.

versi elektronik
Produktivitas tenaga kerja perempuan dapat dihitung berdasarkan besarnya produktivitas usaha secara
keseluruhan dibandingkan dengan kontribusi tenaga kerja perempuan tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja perempuan pada usaha ternak sapi jabres berkisar
antara Rp 110,09 sampai dengan 57.435,90 per hari dengan rataan sebesar Rp 18.678,65 + 12.669,43 per
hari atau sebesar Rp 6.817.707,60 per tahun. Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
produktivitas tenaga kerja perempuan pada usaha sapi perah, menurut Mastuti dan Hidayat (2009)
produktivitas tenaga kerja perempuan dari hasil penjualan susu pada usaha ternak sapi perah sebesar Rp
8.505.230,00 per tahun.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Perempuan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja perempuan pada usaha
ternak sapi potong Jabres dilakukan analisis regresi berganda (multiple regression). Hasil analisis regresi
berganda yang diperoleh ada;ah sebagai yang terlihat pada Tebel 1.

versi elektronik
Dari Tabel 1 terlihat bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh sangat nyata terhadap
variabel dependen pada taraf kepercayaan 99 persen (P < 0,01). Koefisien Determinasi sebesar 0,6271
menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel dependen dapat diterangkan oleh variebel independen
sebesar 62,71 persen, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model.

347
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Berganda Faktor-faktor yang Mempengaruhi produktivitas tenaga kerja
perempuan pada usaha ternak sapi potong Jabres
Variabel Koefisien regresi Standard error T - hitung

versi elektronik
Intercept -12370.3 6776.847 -1.82537*
Jumlah Ternak 2767.311 999.9379 2.767483***
Jumlah Keluarga 794.1945 442.2424 1.795835*
Umur TK Perem 225.4363 103.434 2.179519**
Pakan Hijauan 310.5372 202.8382 1.53096
Pakan Konsentrat -3087.45 2410.682 -1.28074
R = 0,6271
F tabel 18,164***
Keterangan : ***) Nyata pada taraf kepercayaan 99 %; **) Nyata pada taraf kepercayaan 95 % *) Nyata pada taraf kepercayaan
90 %

Secara parsial variabel yang berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja perempuan pada usaha
ternak sapi potong Jabres adalah jumlah ternak, jumlah anggota keluarga dan umur tenaga kerja

versi elektronik
perempuan. Variabel yang lain berpengauh tetapi tidak nyata.
Variabel jumlah ternak berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas tenaga kerja perempuan pada
usaha ternak sapi potong Jabres pada tingkat kepercayaan 99 (P < 0,01). Besarnya koefisiensi regresi
sebesar 2767,311 berarti bahwa setiap penambahan satu unit sapi jabres akan meningkatkan produktivitas
tenaga kerja perempuan pada usaha ternak sapi potong Jabres sebesar Rp 2767,311 per hari, hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha semakin besar produktivitas tenaga kerja perempuan
pada usaha ternak sapi potong Jabres.
Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata terhadap produktivitas tenaga kerja perempuan pada
usaha ternak sapi potong Jabres pada tingkat kepercayaan 90 (P < 0,10). Besarnya koefisiensi regresi
sebesar 794,1945 berarti bahwa setiap penambahan satu anggota keluarga akan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja perempuan pada usaha ternak sapi potong Jabres sebesar Rp 794,1945 per hari,
hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota semakin besar produktivitas tenaga

versi elektronik
kerja perempuan pada usaha ternak sapi potong Jabres. Hal tersebut diduga semakin banyak jumlah
anggota keluarga maka akan semakin banyak tenaga yang akan membantu baik dalam pekerjaan sebagai
peternak maupun pekerjaan rumah tangga sehingga perhatian terhadap ternaknya lebih meningkat dan
dapat meningkatkan produktivitas.
Variabel umur tenaga kerja perempuan berpengaruh nyata terhadap produktivitas tenaga kerja perempuan
pada usaha ternak sapi potong Jabres pada tingkat kepercayaan 95 (P < 0,05). Besarnya koefisiensi
regresi sebesar 225,4363 berarti bahwa setiap penambahan umur peternak akan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja perempuan pada usaha ternak sapi potong Jabres sebesar Rp 225,4363 per hari,
hal tersebut menunjukkan bahwa semakin bertambah umur semakin besar produktivitas tenaga kerja
perempuan pada usaha ternak sapi potong Jabres. Diduga semakin tua semakin banyak waktu yang
dicurahkan untuk memelihara ternak sehingga produktivitasnya semakin meningkat

KESIMPULAN
1. Produktivitas tenaga kerja perempuan cukup tinggi dalam usaha ternak sapi potong jabres,

versi elektronik
kontribusinya sebesar 37,10 % dan dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 18.678,65 +
12.669,43 per hari atau sebesar Rp 6.817.707,60 per tahun.
2. Faktor-faktor yang berpengauh terhadap produktivitas tenaga kerja perempuan dalam usaha
ternak sapi potong jabres adalah jumlah ternak, jumlah anggota keluarga dan umur peternak.

348
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

3. Untuk dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja perempuan dalam usaha ternak sapi potong
jabres dapat dengan cara meningkatkan jumlah pemilikan ternak, meningkatkan perhatian dan
mengoptimalkan umur produktif peternak.
4. Peningkatan produktivitas akan lebih mudah dilaksanakan dengan adanya kandang kelompok,

versi elektronik
sehingga bisa dilakukan sharing penggunaan fasilitas dan dapat menekan biaya tetap.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.N., D.D. Siswansyah, dan O.K.S.Swastika. 2004. Kajian sistem usaha ternak sapi potong di
Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7(2): 155 −170.
Direktorat Jenderal Peternakan, 2009. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-
2014. Direktorat Jenderal Peternakan, Depatemen Pertanian. Jakarta.
Elly, FH., B.M. Sinaga, SU. Kuntjoro dan N. Kusnadi. 2008. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat
Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian, 27 (2), 2008.
Mastuti dan NN Hidayat, 2009. Peranan Tenaga Kerja Perempuan dalam Usaha Ternak Sapi Perah di
Kabupaten Banyumas. Jurnal Animal Production 11 (1): 40 – 47.

versi elektronik
Mersyah, R. 2005. Desain sistem budi daya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pe-laksanaan
otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi, Sekolah Pasca-sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan pertani-an berkelanjutan melalui kemitraan usaha. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Per-tanian 26(4): 126−130.
Sariubang, M.A., A. Syam, dan A. Nurhayu. 2003. Sistem Usaha Tani Tanaman-Ternak pada Lahan
Kering Dataran Rendah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Selatan. (http:/ /www.sulsel.litbang.deptan.go.id.) 2007.

versi elektronik

versi elektronik 349


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PERKEMBANGAN HARGA DAGING SAPI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI


SAPI POTONG DI PROPINSI JAWA TIMUR
Rini Widiati dan Tri Anggraeni Kusumastuti

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada; email: rini_w@ugm.ac.id; triaksp@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan (1) resiko dari perkembangan harga daging sapi di propinsi
Jawa Timur, dan (2) pengaruh harga daging sapi terhadap produksi sapi potong. Penelitian ini
menggunakan data time series harga daging sapi bulanan per kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2007-
2012, populasi dan produksi sapi potong. Analisis resiko dari perkembangan harga menggunakan
koefisien variasi (KV), jika KV > 0,5 terjadi peluang resiko bagi peternak dan sebaliknya KV< 0,5.
Analisis pengaruh harga daging sapi terhadap produksi sapi menggunakan regresi Cobb-Douglas dengan
model OLS yang sebelumnya dilakukan uji stasioner terhadap data time series menggunakan model akar
unit. Hasil analisis menunjukkan bahwa KV harga daging sapi per kg berat hidup di semua
kabupaten/kota terkecil adalah1,70 dan terbesar 1,96 , demikian juga KV harga per kg daging sapi terkecil
0,95 dan terbesar 0,99 . Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan harga daging sapi berpeluang terjadi
resiko. Resiko harga per kg berat hidup yang umumnya pada peternak lebih tinggi dibanding pemasar

versi elektronik
daging sapi. Hasil analisis regresi pengaruh harga terhadap produksi menunjukkan R2 = 0,29, secara
parsial harga daging per kg berat hidup berpengaruh positif lebih signifikan terhadap produksi sapi potong
(P<0,01) dibanding harga per kg daging sapi di pasar (P<0,1). Kebijakan dukungan harga untuk
meningkatkan produksi sapi potong perlu dipertimbangkan terutama harga berdasarkan berat hidup.
Kata kunci: Perkembangan harga, daging sapi potong, resiko, produksi, Jawa Timur

ABSTRACT
The objective of this study was to determine (1) the risk of price movements of beef in East Java
province; and (2) beef price effect on the beef cattle production. This research was done using monthly
time series data by regency/city in East Java in 2007-2012 of beef prices, population and the beef cattle
production. Risk analysis of beef price was using the coefficient of variation (CV), if CV> 0.5 occurred
risks prone to the farmer and vice versa CV <0.5. Quantitative analysis was performed to determine effect
of beef price to the cattle production using Cobb-Douglas in the form of linear regression with OLS

versi elektronik
models that previously conducted stationarity test for time series data using the model of unit root. The
result of this research showed that CV of live weight prices in all regency/city were 1.70 as the smallest
and 1.96 the largest , as well as CV of the beef price were 0.95 as the smallest and 0.99 the largest. The
risk of the live weight price generally higher than beef. The result of regression analysis showed that
R2 = 0, 29. The price of live cattle and beef had significant effect jointly to the beef cattle production.
Partially, price of live cattle showed more significant positive effect to the beef cattle production (P <
0.01) than the price of beef (P < 0.1 ). Price support policies to increase beef cattle production should be
considered especially for live cattle price.
Key words : Price movements, beef, risks, production, East Java

PENDAHULUAN
Data hasil sensus PSPK tahun 2011 menunjukkan bahwa kenaikan konsumsi daging sapi nasional secara
rata-rata dari tahun 2005 sampai dengan sensus tahun 2011 adalah sebesar 10,94%/tahun, sedangkan
kenaikan produksi dalam negeri rata-rata per tahun hanya sebesar 5,84 % ( Suswono,2012 ).

versi elektronik
Ketidakseimbangan produksi dan permintaan konsumsi berdampak pada kenaikan harga. Khusus harga
daging sapi tipikalnya tidak seperti komoditi pertanian lainnya, kenaikan harga daging sapi tidak pernah
turun kembali ke posisi awal, apabila harga turun kembali tetapi tidak pernah kembali seperti pada harga
awal (Ilham, 2009). Perilaku ini disebabkan karena perubahan harga yang cepat tidak segera diikuti oleh
perubahan pada sisi produksi disebabkan karena siklus produksi sapi potong sampai menghasilkan daging
membutuhkan waktu yang lama tidak seperti daging ayam broiler, teknologi budidaya yang rendah dan

350
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

proses produksi bersifat hanya sebagai sambilan karena hampir 95% suplai daging sapi dalam negeri
diproduksi oleh peternakan rakyat. Kebutuhan konsumsi daging sapi nasional lebih tinggi dari produksi,
akibatnya impor merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Kondisi tersebut
menjadikan pemenuhan konsumsi daging sapi nasional dan keinginan untuk berswasembada pangan

versi elektronik
daging sapi dimana komponen impor 10% dari konsumsi nasional, sampai saat ini masih belum teratasi
secara tuntas dan masih menghadapi banyak masalah ( Suswono,2012). Perkembangan harga daging sapi
nasional ditunjukkan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Komposisi pemenuhan konsumsi daging sapi nasional 2005-2011
Rata-rata
kenaikan
Keterangan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* /tahun(%)
Total konsumsi
(000 ton) 359.1 413.8 369.0 415.2 421.3 417.0 449.3 10,94
Produksi Lokal (000 ton) 247.8 294.6 244.2 264.8 278.5 195.8 292.45 5,84
Impor (000 ton) 111.3 119.2 124.8 150.4 142.8 221.2 156.85 5,56
Sumber : Diolah dari (Suswono, 2012), *) Hasil sensus PSPK (2011 dalam Suswono, 2012)

versi elektronik
Impor daging sapi secara rata-rata dalam kurun waktu 2005-2011 masih sekitar 36%/tahun dari konsumsi
nasional dan paling tinggi pada tahun 2010. Pada kurun waktu tersebut secara rata-rata kenaikan impor
daging sapi sebesar 5,56% per tahun. Meskipun demikian pada tahun 2012 -2013 Impor daging sapi
berupa sapi bakalan dan daging sapi beku turun sebesar 11,4% dan harga daging lokal merangkak naik
pada Nopember 2012 pada kisaran Rp.98.000 - Rp.105.000 per kg lebih tinggi dari kondisi normal
semula pada akhir bulan Oktober 2012 antara Rp.65.000 - Rp.75.000 per kg ( Nuryati dan Astrid, 2013).
Secara teori kenaikan harga daging sapi akan meningkatkan penerimaan peternak sebagai produsen, pada
gilirannya peternak akan terpacu untuk meningkatkan produksinya. Namun demikian yang menjadi
pertanyaan apakah dengan adanya perkembangan kenaikan harga daging sapi tersebut akan meningkatkan
produksi, dan dapat meningkatkan kesejahteraan peternak sehingga dapat memacu peternak untuk
meningkatkan produksinya.
Jawa Timur adalah salah satu propinsi di Indonesia yang mempunyai populasi sapi potong terbesar.

versi elektronik
Peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui (1) resiko dari
perkembangan harga daging sapi di propinsi Jawa Timur, dan (2) pengaruh harga terhadap produksi
daging sapi potong.
Hipotesis
• Perkembangan atau pergerakan harga daging sapi menimbulkan resiko produksi bagi peternak
sapi potong dan pemasar daging sapi.
• Diduga harga daging sapi berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi sapi potong.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Jawa Timur, dengan pertimbangan daerah ini mempunyai populasi sapi potong
terbesar diantara propinsi di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series
bulanan tahun 2007-2012 dari semua kabupaten dan kota di Jawa Timur yang diambil dari berbagai
sumber dengan metode survei, yaitu dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, BPS Jawa Timur, Buku

versi elektronik
Statistik Peternakan, Dinas Pertanian , dan Peternakan Jawa Timur tentang populasi sapi potong, harga
daging per kg berat badan sapi hidup dan harga daging. Pendekatan perhitungan produksi daging sapi
dihitung berdasarkan jumlah populasi sapi pada setiap kabupaten/kota dikalikan dengan natural increase
atau output sapi potong di Jawa Timur kemudian dikalikan rata-rata estimasi berat karkas sesuai dengan
hasil penelitian Sumadi, dkk. (2008).

351
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Selanjutnya metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui resiko dari perkembangan harga
dalam pemasaran daging sapi menggunakan analisis resiko dengan menghitung koefisien variasi (KV)
sesuai dengan Pappas dan Hirschey (1995); Nasaruddin (2000 ); Karmini (2005) ditentukan dengan cara
sebagai berikut :

versi elektronik
Harga (P)
Harga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga daging sapi lokal per kg berat hidup dan per kg
daging di pasar per kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Timur tahun 2007 – 2012.
2. Harga rata-rata (Pi)
Harga rata-rata dihitung dengan menggunakan rumus:
n

∑ Pt
Pi = 1
……………………………………………..…………. (1)
n
di mana,
Pi = harga rata-rata

versi elektronik
Pt = harga total selama n periode waktu;
n = jumlah waktu pengamatan.
3. Resiko
Ukuran ragam/varians dan simpangan baku dapat menjelaskan resiko dalam arti kemungkinan
menyebarnya hasil pengamatan sebenarnya di sekitar hasil rata-rata yang diharapkan.
Rumus untuk menghitung varians (V2) adalah:

V 2
=
∑ ( Pt − Pi) 2

……………………………………………………..… (2)
n −1
Rumus simpangan baku adalah

versi elektronik
V = V2 =
∑ ( Pt − Pi) 2

……………………………………………… (3)
n −1
Semakin tinggi nilai ragam dan simpangan baku maka semakin tinggi
pula tingkat
resiko dari perubahan harga.
4. Koefisien Variasi (KV)
Tingkat resiko usaha ternak sapi potong dari perubahan harga ditentukan berdasarkan nilai
koefisien variasi seperti rumus berikut :
........………………………………………………….............. (4)
V
KV =

versi elektronik
E
dimana,
KV = koefisien variasi
V = simpangan baku

352
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

E = harga rata-rata
Hasil dari rumus (4) menunjukkan jika KV > 0,5 terjadi peluang resiko kerugian bagi peternak sapi
potong atau pelaku pemasaran dan sebaliknya jika KV< 0,5 tidak menunjukkan adanya resiko.

versi elektronik
Analisis selanjutnya tentang pengaruh harga daging sapi terhadap produksi sapi menggunakan regresi
Cobb-Douglas yang dilinearkan dengan pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan model
Ordinary Least Square (OLS) yang sebelumnya dilakukan uji stasioner terhadap data time series
menggunakan model akar unit (unit root ), sesuai dengan Gujarati (2003). Model dituliskan dalam bentuk
persamaan sebagai berikut :
ln Prod DS = lnβ0 + β1 lnPDS + β2 lnPBH + μi ………………………………………………… (5)
dimana,
Dari persamaan tersebut variabel sebelah kiri adalah variabel tergantung dan sebelah kanan adalah
variabel bebas.
Prod DS = produksi daging sapi (ton/tahun)
PDS = harga daging sapi (Rp/kg)

versi elektronik
PBH = harga daging sapi dalam berat hidup (Rp/kg)
μi = variabel gangguan
β0, = intersep
β1 dan β2 = koefisien regresi
Untuk mengetahui apakah model yang digunakan dalam pendugaan garis regresi dapat diandalkan
mendekati garis regresi yang sebenarnya ditunjukkan dengan angka koefisien determinasi R2 yang
besarnya 0 < R2 < 1. Nilai R2 semakin mendekati 1 maka estimasi garis regresi semakin baik.
Uji hipotesis
Uji hipotesis untuk menguji koefisien regresi secara menyeluruh menggunakan uji F
Dengan hipotesis :
H0 : β1= β2 = 0, yang berarti bahwa ke dua variabel bebas secara bersama –sama tidak

versi elektronik
mempengaruhi variabel tergantung (produksi daging sapi)
Ha: β1≠ β2 ≠ 0, yang berarti bahwa ke dua variabel bebas secara bersama –sama
mempengaruhi variabel tergantung
Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan menerima Ha dan sebaliknya.
Uji hipotesis koefisien regresi secara parsial menggunakan uji t
Dengan hipotesis :
Ho : β1 = 0, Harga daging sapi dalam berat hidup tidak mempengaruhi produksi daging sapi.
Ha : β1 ≠ 0, Harga daging sapi dalam berat hidup berpengaruh terhadap produksi daging sapi.
Ho : β2 = 0, Harga daging sapi tidak mempengaruhi produksi daging sapi.
Ha : β2 ≠ 0, Harga daging sapi berpengaruh terhadap produksi daging sapi.
Jika t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan menerima Ha dan sebaliknya.

versi elektronik 353


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Sapi Potong di Jawa Timur
Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi dengan populasi sapi potong terbesar diantara propinsi yang ada

versi elektronik
di Indonesia, yaitu pada tahun 2012 mencapai 4 727 000 ekor atau merupakan 31,88% dari populasi sapi
potong Indonesia sejumlah 14 824 000 ekor. Jawa Timur merupakan sentra produksi sapi potong dan
sampai dengan tahun tersebut masih sebagai pemasok sapi potong ke DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Ditinjau dari peningkatan konsumsi daging sapi nasional secara rata-rata dari tahun 2005 sampai dengan
sensus tahun 2011 adalah sebesar 10,94%/tahun, sedangkan kenaikan produksi dalam negeri rata-rata per
tahun hanya sebesar 5,84 % ( Suswono,2012 ). Meskipun demikian peningkatan produksi daging sapi di
Jawa Timur masih lebih besar dibanding nasional yaitu dari tahun 2007 sampai dengan 2012 rata-rata
8,13%/tahun dan pada tahun 2011 menghasilkan 23,49% dari produksi daging sapi nasional ( Ditjen
Peternakan, 2012; Badan Pusat Statistik , 2012; Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur 2011).
Kondisi dimana permintaan daging sapi lebih besar dari produksi, secara teori ekonomi tanpa adanya
pasok daging sapi impor maka harga keseimbangan daging sapi dalam negeri akan meningkat dan
diharapkan memacu peningkatan produksi. Namun yang terjadi impor daging sapi nasional terus
meningkat karena harga daging sapi impor lebih murah dibanding daging sapi dalam negeri. Kondisi
tersebut berakibat produksi daging sapi lokal lambat ditingkatkan karena peternak tidak dapat bersaing

versi elektronik
dengan harga daging impor sehingga banyak mengalami resiko kerugian. Hal ini juga terlihat dari harga
daging sapi di Jawa Timur seperti tercermin pada Gambar 1.

versi elektronik
Gambar 1. Harga daging per kg berat hidup sapi potong lokal dan impor serta harga daging sapi dipasar
Jawa Timur tahun 2009 sampai 2013
Dari Gambar 1, terlihat bahwa harga daging sapi di Jawa Timur nampak stabil sampai tahun 2012 karena
impor terus meningkat disebabkan harga daging sapi impor lebih rendah dibanding daging sapi lokal. Hal
ini sejalan dengan (Nuryati dan Astrid, 2013) yang menunjukkan bahwa pada pertengahan tahun 2012
dan berlanjut 2013 secara nasional impor sapi bakalan dan daging sapi beku turun sampai 11,8%
sehingga harga daging sapi dalam negeri terus meningkat. Namun dikatakan pula bahwa penurunan impor
dan peningkatan harga daging sapi dalam negeri belum dapat diikuti peningkatan produksi secara cepat
karena pemeliharaan sapi sebagian besar ada di peternakan rakyat dengan skala kecil-kecil dan proses

versi elektronik
produksi daging sapi membutuhkan waktu yang relatif lama. Kondisi yang demikian dimungkinkan juga
banyak resiko yang dihadapi peternak

Resiko Dari Pergerakan Harga Daging Sapi di Jawa Timur

354
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Propinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Dalam penelitian ini ada 3 kota yang tidak
terdapat data secara lengkap sehingga dalam analisis hanya menggunakan data dari 35 kabupaten dan
kota. Hasil analisis resiko dari perkembangan harga bulanan daging sapi per kabupaten kota di Jawa
Timur tahun 2007-2012 berdasarkan koefisien variasi (KV) adalah seperti pada Tabel 2.

versi elektronik
Dari Tabel 2, menunjukkan bahwa nilai KV harga daging sapi per kg berat hidup di semua
kabupaten/kota terkecil 1,70 dan terbesar 1,96 , demikian juga KV harga per kg daging sapi di pasar
terkecil 0,95 dan terbesar 0,99. Semua nilai KV > 0,50 menunjukkan bahwa perkembangan harga
daging sapi berpeluang terjadi resiko, namun KV harga daging sapi per kg berat badan lebih besar dari
harga daging sapi. Resiko harga daging sapi dalam berat badan atau dalam bentuk ternak hidup yang
umumnya ditanggung peternak adalah lebih tinggi dibanding resiko bagi pemasar daging sapi di pasar.
Tabel 2. Nilai Koefisien Variasi (KV) harga daging sapi bulanan per kabupaten/kota di Jawa Timur tahun
2007-2012
Angka Koefisien Variasi (KV)
Keterangan Berdasarkan harga daging sapi per Berdasarkan Harga daging sapi
kg berat hidup di pasar
Tertinggi 1,96 0,99

versi elektronik
Terendah 1,70 0,95
Rata-rata 1,90 0,98

Pengaruh Harga Daging Sapi Terhadap Produksi Sapi Potong


Dalam penelitian ini menggunakan data time series, oleh karena itu sebelum dianalisis perlu diketahui
apakah data bersifat stasioner atau tidak dengan menggunakan metode unit root (akar unit). Pada tingkat
pertama ternyata ada 1 variabel bebas yang tidak stationer yaitu variabel daging sapi lokal (Prob
Augmented Dickey Fuller atau ADF > 0.05). Berhubung tidak semua data stationer maka untuk
menjadikan data tidak stationer menjadi stationer , data dideferensi pada tingkat deferensi pertama. Pada
analisis akar unit, tingkat deferensi pertama ternyata semua variabel bebas sudah stationer ( Prob ADF
<0.01). Data yang tidak stationer sebelum dideferensi namun stationer pada tingkat diferensi pertama
kemungkinan terjadi kointegrasi yaitu terdapat hubungan jangka panjang diantara variabel bebas dan
terikat. Pada pengujian kointegrasi dengan menggunakan Johansen Cointegration Test didapat variabel

versi elektronik
bebas yang saling berkointegrasi yaitu antara harga daging sapi lokal dan produksi sehingga dalam jangka
pendek ada kemungkinan terjadi ketidakseimbangan (disekuilibrium) sehingga diperlukan adanya koreksi
dengan model koreksi kesalahan Error Correction Model (ECM), sesuai dalam Gudjarati (2003).
Berdasarkan hasil analisis dengan ECM maka ternyata didapat nilai residual dengan P<0.01 sehingga data
bisa diteruskan untuk analisis lebih lanjut, yaitu analisis regresi. Hasil analisis regresi yang menunjukkan
hubungan antara harga daging sapi dan produksi sapi potong dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis regresi pengaruh harga terhadap produksi daging sapi di Jawa Timur

Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.

Ln C -12567,91 98190,91 -0,1280 0,8983


Ln PDS 25,5373 15.0873 1,6926 0,0920
Ln PBH 131,3103 31,2143 4,2067 0,0000

versi elektronik
RESIDUAL -0.1401 0,0368 -3,7995 0,0002
R-squared 0,2935 F-statistic 28,3889
Adjusted R-squared 0,2831 Prob (F-statistic) 0,0000

355
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Dari Tabel 3 didapat nilai R2 sebesar 0,2935. artinya variabel harga dapat menjelaskan variabel produksi
daging sapi sebesar 29.35%, sisanya dipengaruhi variabel lain yang tidak masuk dalam model penelitian
ini. Menurut Ardiyati (2012) pada kasus data deret ukur R2 yang sangat tinggi sering terjadi. Sebaliknya
pada data cross section, umumnya akan diperoleh R2 yang lebih rendah (0.30 s/d 0.80). Pada kasus

versi elektronik
penelitian sosial, R2 antara 0.30 – 0.60 juga sudah dapat dikatakan tinggi. Selanjutnya harga daging sapi
berdasarkan berat hidup sangat signifikan (P<0.01) dibanding harga daging di pasar dengan tingkat
signifikansi P<0.1. Elastisitas harga daging sapi berdasarkan berat hidup terhadap produksi lebih besar
atau 5 kali lipat dibanding elastisitas harga daging sapi di pasar. Hal ini disebabkan karena harga sapi
hidup berhubungan langsung dengan produsen daging sapi yaitu peternak dibanding pemasar daging sapi
di pasar tidak secara langsung berhubungan dengan peternak. Disamping itu pada tataniaga sapi potong,
umumnya peternak menjual dalam bentuk ternak hidup kepada pedagang, blantik dan pejagal.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa resiko harga daging sapi berdasarkan berat badan atau
ternak hidup yang umumnya pada peternak lebih tinggi dibanding pemasar daging sapi. Ditinjau dari
pengaruh harga daging per kg berat hidup sangat signifikan positif terhadap produksi sapi potong
dibanding harga daging sapi di pasar. Disamping itu elastisitas harga berat hidup terhadap produksi

versi elektronik
daging sapi juga lebih besar sekitar 5 kali lipat dibanding harga daging sapi di pasar. Oleh karena itu
kebijakan dukungan harga daging sapi untuk meningkatkan produksi sapi potong perlu diperhatikan
terutama harga daging dalam berat hidup yang berhubungan langsung dengan peternak yang menghadapi
resiko tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, P. and H. C. Knipscheer, 1989. Conducting On-Farm Animal Research. Procedure & Economic
Analysis. Singapore National Printer Ltd. Singapore.
Antoni, A.A. 2003. Kamus lengkap ekonomi. Gitamedia Press, Jakarta.
Ardiyati, A. 2012. Penawaran daging sapi di Indonesia (Analisis proyeksi swasembada daging sapi
2014). Tesis. Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Kekhususan Manajemen
Sektor Publik. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2012. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 2007-2011.

versi elektronik
Badan Pusat Statistik Indonesia-Jakarta.
Ditjen Peternakan, 2012. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Departemen Pertanian RI.
Gujarati, D.N., 2003. Basic Econometric. Fourth Edition. New York. Mc Graw-Hill.
Ilham, N. 2009. Kelangkaan Produksi daging : Indikasi dan Implikasi Kebijakan. Analisis Kebijakan
Pertanian. Vol 7 No.1, Maret 2009: 43-63
Karmini, 2005. The Risk of Price Fluctuation in Marketing of Local and Import Rice in Indonesia.
EPP.Vol.2.No.2.2005:33-39
Nasarudin. 2000. Ekonomi produksi. Universitas Terbuka. Jakarta.
Nuryati, Y. dan M. Astrid. 2013. Tinjauan Pasar Daging Sapi Desember 2013. Tim Komoditi Spesialis
Daging Sapi Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

versi elektronik
Pappas, JM., M. Hierschey, 1995. Ekonomi Managerial Edisi Keenam Jilid II. Bina rupaAksara. Jakarta.
Pakpahan, A.R.S. 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia.
EDAJ 1 (2) (2012). 1-9

356
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Pemda Provinsi Jawa Timur, 2011. Buku 4. Data Makro Sosial Ekonomi Jawa Timur 2007- 2011 :
Pengukuran Kinerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2009-2014.
Kerjasama Pemerintah Provinsi Jatim Dengan BPS Provinsi Jatim.

versi elektronik
Penson, Jr.J.B., Capps, Jr.O., and Rosson III,C.P., 2002. Introduction to Agricultural Economic. Third
Edition. Prentice Hall. New Jersey.
Soekartawi, Rusmadi dan E. Damarjati,. 1993. Resiko dan ketidakpastian dalam agribisnis. Raja
Grafindo, Jakarta
Sumadi, T. Hartatik, N. Ngadiyono, G.S. Budisatria, H. Mulyadi, B. Aryadi., 2008. Sebaran Sapi Potong
di Pulau Jawa dan Madura. Kerjasama Pengusaha Feedlod Indonesia (APFINDO) dengan
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Suswono, 2012. Blue Print Program Swa sembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014, Edisi Revisi.
Departemen Pertanian R I.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 357


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PENERAPAN SISTEM BAGI HASIL TRADISIONAL (TESANG ) PADA USAHA SAPI


POTONG DI KABUPATEN BARRU,PROVINSI SULAWESI SELATAN
S.N. Sirajuddin, S. Nurlaelah, A. Amrawaty, dan M. Aminawar

versi elektronik
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Universitas Hasanuddin; email: sitti_nurani@yahoo.co.id

ABSTRAK
Sistem bagi hasil tradisional (Tesang) merupakan suatu bentuk kerjasama masyarakat Bugis-Makassar
sebagai bentuk hubungan patron-klien dalam bisnis sapi potong. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
Soppeng Riaja, Kabupaten Barru yang merupakan daerah pemurnian sapi Bali (lokal). Penelitian
dilakukan sejak April 2014 hingga Mei 2014. Populasi adalah peternak yang melakukan sistem Teseng
dalam waktu lebih dari 5 tahun dan sampel berjumlah 30 orang. Analisa data yang digunakan adalah
analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan system Tesang sebagian besar dilakukan pada perbibitan
sapi potong dengan bentuk tesang sapi dan tesang biaya. Perlu penguatan system Tesang sebagai pola
kemitraan yang saling menguntungkan dan merupakan penguatan kelembagaan kearifan lokal .
Kata kunci : tradisional , sistem bagi hasil, Tesang , ternak, sapi

ABSTRACT

versi elektronik
Traditional sharing system (Tesang) is a form of cooperation Bugis-Makassar society as a form of
patron-client relationships in the cow business. This study was conducted at Soppeng Riaja
Village, Barru Regency because Barru purification Bali cattle (local). The study was conducted
from April 2014 until May 2014. Population are farmers who do Teseng system propagators
within 5 years and over were 30 samples. Analysis of the data used is descriptive analysis. The results
showed the system Tesang mostly in the form of beef cattle breeding cattle and tesang costs. Tesang need
reinforcement system as a mutually beneficial partnership and an institutional strengthening local
wisdom.
Keywords: traditional, profit-sharing, system ,Tesang, livestock,cow

PENDAHULUAN
Secara umum, peningkatan permintaan daging dan hasil olahannya tidak dibarengi oleh peningkatan
jumlah populasi sapi potong itu sendiri, sehingga produksi daging di dalam negeri tidak mampu

versi elektronik
memenuhi permintaan tersebut yang mengakibatkan pemerintah melakukan impor. Seiring dengan hal
tersebut maka perlu pengembangan usaha sapi potong. Sapi potong merupakan salah satu ternak
penghasil daging di Indonesia. Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi
kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah (Isbandi 2004; Direktorat Jenderal
Peternakan 2007; Syadzali 2007). Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian
besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa 2005;
Mersyah 2005; Suwandi 2005). Modal merupakan faktor pembatas. Pada saat ini tingkat kepemilikan
ternak dalam usaha tani relatif kecil yaitu sapi 1–3 ekor, kambing/domba 3-5 ekor, dan unggas 5–20
ekor. Pendapatan kotor petani peternak masih belum cukup memenuhi kebutuhan hidup petani dan
keluarganya. Usaha ternak merupakan sumber tambahan pendapatan yang penting untuk menopang
kebutuhan keluarga tani khususnya di pedesaan (Kusnadi, 2008) dalam Ardiansyah (2013). Pola usahanya
sebagian besar adalah perbibitan atau pembesaran anak, dan hanya sebagian kecil peternak yang
mengkhususkan usahanya pada penggemukan ternak. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan usaha
dengan pola kemitraan yang bersifat modern atau tradisional dengan sistem bagi hasil sehingga dapat

versi elektronik
memberikan keuntungan yang layak secara berkelanjutan.
Pola kemitraan atau kerjasama dalam suatu usaha sudah ada dimasyarakat petani/peternak sejak dahulu.
Kerjasama di bidang peternakan atas dasar bagi hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat yang
dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang lain untuk dipelihara baik-baik,diternakkan dengan perjanjian
bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut dibayar kembali berupa ternak keturunannya atau dalam

358
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak (Hadikusumah,2001). Pola kemitraan usaha tersebut
khususnya pada usaha ternak di kalangan petani/peternak sering dikenal dengan sebutan “Tesang” yang
berasal dari bahasa Bugis yaitu Teseng yang secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang
memberikan modal yang dimilikinya untuk dikembangkan orang lain. Teseng biasanya diterapkan pada

versi elektronik
peternakan dengan mekanisme bagi hasil antara peternak dengan pemilik modal akan tetapi
pelaksanaan dan bentuk perjanjian cenderung variatif. Keberagaman pelaksanaan dan bentuk perjanjian
(lisan-tertulis) tidak lepas dari adat istiadat yang berlaku disuatu daerah. Hasil usaha akan dibagi sesuai
dengan kesepakatan antara pemberi modal dan petani/peternak. Biasanya tidak ada ikatan/kontrak secara
tertulis tentang kerjasama usaha tersebut. Kerjasama antara pemilik modal dan Pa’teseng hanya secara
lisan dan didasarkan atas saling percaya dan biasanya adalah orang yang sudah dikenal baik oleh pemodal
ataupun yang dikenalkan oleh kerabat pemodal. Sistem Tesang ini menunjukkan bahwa nilai trust
(kepercayaan) dan norma-norma berperan sangat penting yang berlaku pada kedua belah pihak
(Sirajuddin,dkk;2013). Oleh karena itu menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis
dalam membangun karakter bangsa (Wagiran, 2012). Oleh karena itu perlu mengetahui penerapan sistem
bagi hasil tradisional (Tesang) pada usaha sapi potong di Kabupaten Barru.

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga bulan Mei 2014 di Kecamatan Soppeng Riaja, kabupaten
Barru karena merupakan pemurnian sapi Bali (sapi lokal). Jenis data adalah data kualitatif. Sumber data
yaitu data primer yaitu berupa data identitas responden, sistem bagi hasil dan data sekunder yaitu data
dari instansi terkait. Analisis data yang digunakan yaitu deskriptif. Populasi adalah semua peternak sapi
potong yang melakukan sistem bagi hasil pola tradisional (Tesang) dan sistem bagi hasil pola pemerintah
di Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru. Sampel adalah peternak sapi potong yang melakukan
sistem bagi hasil Tesang selama 5 tahun-10 tahun yang berjumlah 30 orang peternak.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Syarat Penerapan Sistem Bagi Hasil Tradisional (Tesang) Pada Usaha Sapi Potong
Dalam penerapan sistem bagi hasil(Tesang) di Kabupaten Barru secara umum sama dengan bagi hasil
tradisional yang berlaku di kehidupan peternak sapi potong di seluruh Indonesia. Di kalangan masyarakat
perdesaan dikenal istilah paroan/gadhuh yaitu penyedia bibit ternak dan pemelihara masing-masing
mendapatkan bagian separuh dari anak yang dihasilkan. Karena sistem bagi hasil ini sudah sangat umum

versi elektronik
berlaku dan sudah sejak lama diterapkan dalam setiap usaha bagi hasil peternakan sapi, masyarakat
beranggapan bahwa setiap usaha bagi hasil peternakan sapi harus menggunakan pola 50%:50%. Hal yang
paling utama pada penerapan sistem bagi hasil yaitu tingkat kepercayaan yang cukup tinggi dari pemilik
sapi(pemilik modal) kepada peternak(pa”teseng).
Sistem bagi hasil Tesang yang dilakukan oleh peternak sapi potong di Kabupaten Barru sudah turun
temurun dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan telah mengakar secara turun temurun walapun dalam
perkembangannya telah mengalami beberapa penyesuaian pada metode pembagiannya yaitu atas dasar
saling percaya ditambah hukum adat yang mendukung dalam penerapan sistem teseng membuat sistem
bagi hasil ini dapat bertahan lama dalam kehidupan masyarakat setempat. Menurut Saidari (2009)
menyatakan bahwa dalam perjanjian itu yang hukumnya berlaku sebagai ketentuan-ketentuan hukum adat
tertulis yaitu seseorang yang berhak atas suatu tanah karena suatu sebab tidak dapat mengerjakannya
sendiri, tetapi ingin mendapat hasilnya memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha
pertanian atas tanah tersebut, yang hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang sudah

versi elektronik
ditentukan sebelumnya
Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan system bagi hasil yang ada di Kecamatan Soppeng
Riaja, Kabupaten Barru adalah sebagai berikut:

359
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Antara pemilik dan peternak harus ada kepercayaan yang terbangun, karena dalam penerapan system ini
biasaya tidak ada kesepakatan yang tertulis. Semua kesepakatan yang terbangun hanyalah kesepakatan
lisan antara pemilik dan peternak. Biasanya peternak yang memelihara mempunyai tingkat pendapatan
rendah (miskin) sehingga pemilik modal membantu dengan memberikan sapi atau biaya untuk membeli

versi elektronik
sapi, hal ini sesuai pendapat Mosher dalam Tarigan (1996) bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat
dengan perjanjian 50 %:50%. Sistem ini banyak dilakukan karena kemiskinan dan kesukaran
mendapatkan modal memaksa seseorang untuk menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara
ternak yang bukan miliknya sendiri.
Bagi pemilik ternak yang biasanya sebelum mempercayakan sapinya untuk diternakkan pada orang yang
dipilih mempertimbangkan beberapa aspek seperti:
Peternak mempunyai hubungan kekerabatan kekeluargaan yang berdomisili di daerah sekitar tempat
pemilik modal sehingga mudah mengawasi ternak yang akan dipelihara
Peternak memiliki pengalaman beternak yang dinilai cukup oleh pemilik modal (pemilik sapi)
Memiliki lahan yang dapat dijadikan tempat menanam hijauan atau didaerah tempat tinggal peternak
ketersediaan hijauan cukup memadai dalam memenuhi kebutuhan sapi.

versi elektronik
Jangka waktu penerapan sistem Tesang tidak tentu atau disesuaikan dengan keadaan saat itu. Misalnya,
ketika peternak tiba-tiba membutuhkan biaya dan sistem Teseng telah berjalan 2 tahun maka pada saat itu
dapat dikatakan kesepakatan dikatakan berakhir dan hasil anak dari sapi yang diternakkan dibagi sesuai
dengan kesepakatan sebelumnya.
Bagian dari masing-masing pihak akan dibagi rata artinya pada tahun pertama jika ternak betina
melahirkan maka anak sapi dimiliki oleh pemiliknya dan tahun kedua diberikan kepada peternak atau
sebaliknya, hal ini sesuai pendapat Hadikusuma (2001) bahwa perjanjian bagi hasil peternakan menurut
hukum perjanjian adat sistem bagi hasil yang umum diterapkan selama ini adalah 50 % untuk penyedia
bibit ternak dan 50 % untuk pemelihara.
Mekanisme sistem bagi hasil tradisonal (Tesang) yang diterapkan oleh peternak sapi potong di
Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru
Pada masyarakat Bugis yang mendiami sebagian besar wilayah di Propinsi Sulawesi Selatan, maka istilah

versi elektronik
perjanjian bagi hasil biasa disebut dengan istilah”teseng/tesang”. Meskipun istilahnya sama bagi etnis
Bugis dan etnis Makassar akan tetapi pelaksanaan dan bentuk perjanjian cenderung bervariasi disebabkan
pemahaman dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat juga berbeda.
Adapun gambaran pola bagi hasil yang diterapkan oleh peternak sapi potong di Kecamatan Soppeng
Riaja,Kabupaten Barru yaitu :
1. Pola I (sapi betina induk)
Pada pola ini, sapi yang diberikan oleh pemilik sapi ke peternak untuk dipelihara adalah sapi betina
dewasa atau sapi betina yang telah beranak. Untuk sistem pembagian hasilnya yaitu pada tahun pertama
jika sapi betina tersebut melahirkan maka anak sapi pada tahun pertama diberikan kepada pemilik
sementara pada tahun kedua kepada peternak atau sebaliknya sesuai perjanjian lisan dan begitu seterusnya
hingga tahun kelima. Pola ini sebahagian besar diterapkan karena menurut pendapat peternak jika sapi
betina dewasa yang diternakkan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dapat dikembangbiakan.

versi elektronik
Dari hasil wawancara didapatkan hasil bahwa pemilik modal(ternak) sebelum menerapkan sistem bagi
hasil biasanya mencari peternak yang ingin memelihara sapinya atau seseorang yang menawarkan diri
sebagai peternak kepada orang yang dianggap memiliki modal. Pemilik hanya memberikan uang tunai
kepada peternak dan berharap agar uang yang telah diberikan akan dipakai untuk membeli sapi sesuai
dengan jenis sapi yang diinginkan oleh pemilik modal seperti membeli induk sapi atau sapi dara. Pada

360
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

posisi tersebut maka peternak biasanya membeli induk sapi dengan asumsi bahwa dengan memelihara
induk sapi akan lebih cepat mendapatkan keturunan dan berarti lebih cepat mendapatkan keuntungan.
1. Pola II (sistem biaya)

versi elektronik
Pada pola ini pemilik ternak atau pemilik modal memberikan kepada peternak sapi untuk memelihara sapi
jantan untuk digemukkan dalam waktu 3 – 6 bulan dan selanjutnya dijual dimana kewajiban pemelihara
yaitu menanggung seluruh pakan(hijauan makanan ternak dan konsentrat),pengobatan dan kandang.
Adapun contoh sistem bagi hasil tersebut jika dalam waktu tertentu sapi jantan tersebut akan dijual maka
hasil pembelian sapi dikurangi dengan biaya-biaya selama pemeliharaan selanjutnya hasil tersebut dibagi
dua antara peternak dan pemilik modal. Misalnya pembelian ternak jantan seharga 3 juta pada saat
diberikan kepada peternak setelah 3 bulan- 6 bulan kemudian sapi tersebut dijual seharga 5 juta maka
hasil yang diperoleh peternak yaitu 1 juta sebab 5 juta dikurangi 3 juta berjumlah 2 juta kemudian
pembagian 50% : 50%.
Sebenarnya pola apapun yang diterapkan pada sistem bagi hasil Tesang bagi peternak sapi bukan
merupakan masalah sebab mereka biasanya hanya menerima sapi yang diberikan oleh pemilik untuk
dipelihara dan mereka mendapatkan pendapatan dari sistem bagi hasil yang dilakukan, hal ini sesuai
pendapat Saidari (2009) bahwa selain perjanjian bagi hasil untuk tanah pertanian terdapat pula perjanjian

versi elektronik
bagi hasil dalam bentuk lain dimana bukan hasil tanaman yang menjadi objek perjanjian akan tetapi
ternak seperti sapi dan kerbau

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diberikan yaitu penerapan sistem Tesang pada usaha sapi potong di Kabupaten
Barru yaitu terbagi atas sistem pemberian betina bunting dimana anak sapi yang lahir diberikan sesuai
perjanjian yang berlaku antara peternak dan pemilik sapi dan sistem biaya dimana penjualan sapi potong
dibagi berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan selama pemeliharaan oleh peternak
Sedangkan saran yang diberikan sebaiknya sistem Tesang yang berlaku di Kabupaten Barru lebih
dikembangkan dengan penguatan pada tingkat kepercayaan antara peternak sapi dan pemilik modal

UCAPAN TERIMA KASIH


Peneliti mengucapkan terima kasih kepada LP2M Universitas Hasanuddin yang memberikan kesempatan

versi elektronik
memperoleh Hibah penelitian kompetensi BOPTN.

DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah,A,A. 2013. Sistem Bagi Hasil (Teseng) Usaha Sapi Potong di desa Batu Lappa,Kecamatan
Patimpeng, Kabupaten Bone. Skripsi. Fakultas Peternakan UNHAS.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan,
Jakarta.
Hadikusuma, Hilman. 2001. Hukum Perekonomian Adat Indonesia. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung
Isbandi. 2004. Pembinaan kelompok petani- ternak dalam usaha ternak sapi potong. J.
lndon. Trop. Anim. Agric. 29(2): 106-114.
Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman-ternak dalam perspective reorientasi kebijakan subsidi
pupuk dan peningkatan pendapatan petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68-80.

versi elektronik
Mersyah, R. 2005. Desain system budi daya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan
otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Saidari,R. 2009. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1960. Diakses
pada tanggal 24 Januari 2013.

361
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Sirajuddin, S.N., Saleh, I.M, Rasyid, I.2013. Peran Teseng (Sistem Bagi Hasil Tradisional) dalam
Peningkatan Populasi Sapi Potong di Kabupaten Bone.Prosiding. Seminar Nasional Kimia. Peran
Sains dan teknologi Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Energi Nasional.

versi elektronik
Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani pada Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten
Sragen. Pendekatan RAP-CLS. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Syadzali, M.J. 2007. Efektivitas Penyuluhan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Jeneponto Sulawesi
Selatan (Studi kasus Kecamatan Kelara). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Wagiran, 2012. Pengembangan Karakter berbasis kearifan local Hamemayu Hayuning
Bawana.J.Pendidikan Karakter.2(3):329-339

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 362


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PENGARUH FAKTOR SOSIAL EKONOMI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA


PETERNAK KERBAU (Studi Kasus di Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang)
Sri Mastuti, Syarifudin Nur, dan Hudri Aunurohman

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis besarnya produktivitas kerja usaha peternakan kerbau di
Kecamatan Taman, 2). Menganalisis faktor sosial ekonomi (umur peternak, pendidikan peternak, lama
beternak, dan sakala usaha) terhadap produktivitas kerja usaha peternakan kerbau di Kecamatan Taman.
Penentuan sampel desa, menggunakan metode purposive sampling berdasarkan daerah sentra pemeliharan
peternakan kerbau, sehingga terpilih Desa Kejambon, Desa Jebed Utara, dan Desa Jebed Selatan. Tahap
kedua, menentukan sampel responden menggunakan metode randdom sampling sebanyak 60 persen dari
masing-masing desa terpilih, sehingga diperoleh 45 responden. Produktivitas kerja peternak kerbau
dianalisis dengan membandingkan penerimaan (revenue) dengan curahan kerja dalam kurun waktu satu
tahun. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas kerja peternak usaha
kerbau digunakan model regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Prodktivitas
kerja peternak kerbau di Kecamatan Taman sebesar Rp. 7.816,79/ JKSP.; 2). Faktor skala usaha

versi elektronik
mempengaruhi besarnya tingkat produktivitas kerja peternak kerbau. Kesimpulan: 1). Produktivitas kerja
peternak kerbau cukup efisien karena nilainya di atas UMR daerah setempat. 2). Produktivitas kerja
peternak kerbau dapat ditingkatkan dengan jalan menambah skala usaha. Usaha ternak kerbau berarti
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif usaha sampingan yang bisa dipilih oleh petani untuk dapat
meningkatkan pendapatan keluarganya.
Kata kunci: produktivitas kerja, usaha ternak kebau

PENDAHULUAN
Kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi petani, yakni sebagai tabungan
hidup, menunjang status sosial, sumber tenaga kerja, penghasil daging, susu dan pupuk (DIWYANTO
dan SUBANDRIYO, 1995). Menurut YUSDJA et al. (2003), populasi kerbau sebagai penghasil daging
relatif lambat, sehingga produktivitasnya rendah. Perbaikan produktivitas kerbau yang dapat dilakukan
adalah perbaikan mutu genetik melalui intensifikasi inseminasi buatan. Kondisi ini menunjukan bahwa

versi elektronik
potensi usaha peternakan kerbau belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi
kebutuhan daging dalam negeri dan juga untuk ekspor.
Dalam rangka upaya meningkatkan produktivitas usaha ternak diperlukan adanya ketersediaan piranti-
piranti pendukung seperti teknologi siap pakai dan mempunyai tingkat kelayakan yang memadai untuk
mendukung proses produksi, dengan berpijak pada sumber daya ternak yang ada, dan peternak sebagai
objek yang harus ditingkatkan keterampilannya (ISBANDI dan PRIYANTO, 2004).
Kecamatan Taman merupakan salah satu daerah yang berpotensi untuk pengembangan usaha peternakan
kerbau. Potensi sumber daya alam seperti lahan yang cukup luas dan hijauan yang cukup melimpah dapat
menjadi faktor pendorong untuk pengembangan usaha. Namun, usaha peternakan kerbau tersebut masih
memiliki berbagai kendala yaitu jumlah kepelikan rilatif kecil antara 2-4 ekor, sistem pemeliharan masih
tradisional, dan hanya sebagai usaha sambilan.
Sejalan dengan perkembangan usaha ternak kerbau dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan
keluarga, tenaga kerja memegang peranan penting. Karena, baik kaulitas dan kuantitas tenaga kerja yang

versi elektronik
digunakan dalam kegiatan usaha peternakan kerbau akan memberikan dampak terhadap keberhasilan
usaha. Soekartawi (2003), menyatakan bahwa faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor produksi
yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah yang cukup, bukan saja
dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi juga kualitas dan macam tenaga kerja.

363
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Peternak sebagai sumber tenaga kerja dan pengelola akan mempengaruhi tingkat produksi yang
dihasilkan. Oleh karena itu tinggi rendahnya produksi yang dihasilkan tergantung kepada kemampuan
peternak sabagai sumber daya manusia, agar produksi bisa optimal dan mengahasilkan pendapatan yang
maksimal.

versi elektronik
Produktivitas kerja tergantung dari kemampuan fisik, wawasan dan ekonomi peternak seperti umur
peternak, tingkat pendidikan, lamanya beternak, dan skala usaha peternak. Berdasarkan hal tersebut di
atas dan mengingat besarnya peranan tenaga kerja dalam menentukan keberhasilan usaha, sehingga
peneliti tertarik untuk mengkaji seberapa besar tingkat produktivitas kerja peternak kerbau dan seberapa
besar faktor umur peternak, pendidikan peternak, lamanya beternak, dan skala usaha mempengaruhi
terhadap produktivitas kerja peternak kerbau di Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis besarnya produktivitas kerja peternak kerbau di
Kecamatan Taman, 2). Menganalisis faktor sosial ekonomi (umur peternak, pendidikan peternak, lama
beternak, dan sakala usaha) terhadap produktivitas kerja peternak kerbau di Kecamatan Taman.

METODE PENELITIAN
Metode Pengembilan Sampel

versi elektronik
Penentuan sampel desa, menggunakan metode purposive sampling berdasarkan daerah sentra pemeliharan
peternakan kerbau, sehingga terpilih Desa Kejambon, Desa Jebed Utara, dan Desa Jebed Selatan. Tahap
kedua, menentukan sampel responden menggunakan metode random sampling sebanyak 60 persen dari
masing-masing desa terilih, sehingga diperoleh 45 responden.
Analisis Data
Analisis data dilakukan sebagai berikut:
Produktivitas Kerja Dianalisis dengan Rumus:
P = Y/L
P = Produktivitas Kerja
Y = Peneriman
L = Jumlah Curahan Kerja (Henanto, 2003)

versi elektronik
Menganalisis pengaruh variabel bebas (umur peternak, pendidikan peternak, lama beternak, dan sakala
usaha) terhadap produktivitas kerja digunakan analisis Regresi Linier Berganda, dengan model
matematik :
Y = a + b1 X1 + b2 X2+ b3 X3+ b4 X4+ + ξ (Sukartawi, 2003)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penerimaan Usaha Ternak Kerbau
Mubyarto(1995), menyatakan penerimaan tunai pada usahatani merupakan perkalian antara produk yang
dihasillkan dengan harga jual dari produk tersebut, baik produk utama maupun produk sampingan. Hasil
analisis dapat ditunjukan pada Tabel 1
Tabel 1. Rataan Penerimaa Usaha Ternak Kerbau di Kecamatan Taman
No. Asal Penerimaan (Rp)/Th Pesentase (%)

versi elektronik
1. Pejualan ternak 15.511.111,11 73,34
2. Kenaikan nilai ternak 5.455.555,56 25,80
3. Penjualan feses 182.222,22 0,86
Jumlah 21.148.888,89 100,00
Sumber Data: Data Primer yang Diolah Tahun 2014

364
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Penerimaan utama terbesar adalah dari penjualan ternak, sedangkan penerimaan sampingan berasal dari
kenaikan nilai ternak (yaitu ternak yang tidak dijual dalam kurun waktu satu tahun mengalami kenaikan
nilai ekononomi), serta penjualan feses yang biasanya dijual setelah terkumpul beberapa bulan.

versi elektronik
Berdasarkan Tabel 1 bahwa penerimaan usaha ternak kerbau cukup baik yaitu sebesar
Rp.21.148.88,89/tahun, atau RP.1.762.407,41/bulan atau setara Rp.58.746,91/hari. Bila dibanding dengan
UMR di Kabupaten Pemalang masih relatif lebih tinggi walaupun masih belum dikuarangi biaya
produksi. Biaya produksi pada usaha ternak kerbau realatif kecil karena peternak tidak mengeluaran biaya
pakan hijauan dan biaya tenaga kerja. Sebagain besar peternak jarang memberikan pakan kosentrat untuk
makan tamabahan sehingga biaya produksi relatif rendah.
2. Curahan Kerja dalam Pengelolaan Usaha Ternak Kerbau.
Peternak kerbau di Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang mencurahkan waktunya dalam berternak
adalah untuk aktivitas merumput, membersihkan kandang, member pakan, serta memandikan ternak.
Rincian jenis pekerjaan dan banyaknya curahan kerja yang dibutuhkan dalam usaha ternak kerbau dalam
kurun waktu satu tahun, disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Rataan Curahan Kerja pada Usaha Ternak Kerbau Per Tahun di Kecamatan Taman Kabupaten

versi elektronik
Pemalang
No. Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Total C.Kerja Persentase
Jam Jam (JKSP) (%)
(TKSP) (TKSP)
1. Merumput 265,33 114,29 379,62 70,29
2. Memberi pakan 25,33 21,33 46,66 8,64
3. Membersihkan kandang 33,33 24 57,33 10,62
4. Memandikan ternak 31,11 25,33 56,44 10,45
Jumlah 2.160,60 528,03 2.688,29 100,00
Sumber: Data Primer Diolah 2014.

Berdasrkan Tabel 2. di atas menunjukan bahwa pekerjaan merumput merupakan pekerjaan yang menyita
waktu sebesar 70,29 persen, hal ini disebabkan pekerjaan merumput adalah pekerjaan yang paling berat
dibandingkan pekerjaan yang lain, disamping itu tempat merumput letaknya jauh dari lokasi kandang

versi elektronik
sehingga memerlukan waktu yang paling besar.
Produktivitas Kerja
Produktivitas kerja dalam penelitian ini adalah merupakan perbandingan antara penerimaan dengan
curahan kerja yang digunakan untuk pengelolaan usaha ternak kerbau selama kurun waktu satu tahun
yang dinyatakan dengan satuan kerja setara pria (JKSP). Adapun data selengkapnya mengenai
produktivitas kerja peternak kerbau Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang dapat ditunjukan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Produktivitas Kerja Peternak Kerbau di Kecamatan Taman Kabupaten Banyumas
No. Uraian Penerimaan (Rp) Total C.Kerja Produktivitas Kerja
(JKSP/th) (Rp/JKSP)
1. Maksimal 57.100.000,00 3.783,83 19.928,45
3. Minimal 5.000.000,00 1.776,33 2.221,40

versi elektronik
3. Rata-rata 21.148.888,89 2.688,29 7.816,79
Sumber: Data Primer Diolah 2014.

Berdasarkan Tabel 3. di atas diketahui bahwa produktivitas kerja peternak kerbau di Kecamatan Taman
cukup tinggi, hal ini dibuktikan dengan rata-rata produktivitas kerja sebesar Rp.7.816,79.,JKSP sebab jika
dikalkulasikan ada 7 jam kerja efektif per hari maka nilai produktivitas kerja peternak kerbau sebesar Rp.
54.747,53/hari, sehingga dalam satu bulan nilainya Rp. 1.641.526,02./bulan.

365
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tingginya nilai produktivitas kerja ini disebabkan, karena sumber penerimaan tidak hanya berasal dari
penjualan ternak, tapi dari kenaikan nilai ternak dari ternak yang tidak dijual, dan penerimaan sampingan
yaitu penjualan kotoran. Dari Tabel 1. menunjukan bahwa penerimaan terbesar berasal dari produk utama
yaitu penjualan ternak lebih dari 73,34 persen dan sisanya berasal dari produk sampingan sebesar 26,66

versi elektronik
persen.
Menurut Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, upah minimum rata – rata (UMR) Kabupaten Pemalang
pada tahun 2014 sebesar Rp 940.000,00/bulan. Apabila dibandingkan dengan nilai produktivitas kerja
peternak kerbau di Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, nilai tersebut lebih tinggi dari pada UMR di
daerah tersebut. Sehingga usaha ternak kerbau marupakan salah satu alternatif pilihan sebagai usaha
sampingan untuk dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Produktivitas Kerja Peternak Kerbau.
Pengaruh variabel bebas (umur peternak, pendidikan peternak, pengalaman beternak, dan sakala usaha)
terhadap produktivitas kerja digunakan analisis Regresi Linier Berganda. Hasil analisis produktivitas
kerja peternak kerbau diduga dipengaruhi oleh umur peternak (X1), pendidikan peternak (X2),
pengalaman beternak (X3), skala usaha (X4). Hasil analasis regresi selelengkapnya ditunjukan pada Tabel
4.

versi elektronik
Tabel 4. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja Peternak
Kerbau
Variabel Koefisien t- Hitung P- Value
Regresi
Umur peternak (X1) -34,5001 -0,32095 0,749918
Pendidikan peternak (X2) -48,8315 -0,16863 0,866938
Pengalaman beternak peternak (X3) -184,612 -0,4282 0,670805
Skala usaha (X4) 1439,584 2,980143 0,004882***
R2 = 0,240739
F signifikan = 0,02357**
Intersep = 4981,173
Sumber: Data Primer Diolah 2014; Keterangan:***) signifikan pada taraf 99 persen; **)signifikan pada taraf 95 persen

versi elektronik
Hasil analisis regresi:Y= 4981,173-34,5001 X1 – 48,8315 X2 -184,612X3 +1439,584 X 4 .

Analisis regresi pada Tabel 4 menunjukan bahwa persamaan garis dapat digunakan untuk mengestimasi
produktivitas kerja peternak kerbau dari variabel-variabel yang diambil dalam model tersebut. Karena
secara bersama-sama, variabel bebas berpengaruh nyata terhadap efisiensi kerja dengan tingkat signifikan
95 persen (P< 0,05), Koefisien determinasi R2 = 0,240739 menunjukkan bahwa 24,07 persen variasi
variabel terikat dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel bebas dan sisanya sebesar 75,93
merpakan variabel lain yang tidak dimasukan dalam model.
Secara parsial variabel umur peternak (X1) berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kerja. Hal ini
disebabkan tidak terdapat perbedaan curahan kerja antara responden yang masih berumur muda dengan
responden yang sudah berumur tua. Perbedaan curahan kerja lebih banyak dipengaruhi oleh banyaknya
ternak/skala usaha yang dimiliki. Tidak adanya perbedaan curahan kerja tentunya juga tidak akan

versi elektronik
berdampak terhadap besarnya produktivitas kerja peternak. Pada hal Lasminah(2005), menyatakan
bahwa semakin tinggi curahan kerja yang diberikan maka ternak akan lebih terawat sehingga siklus
produksi tidak terganngu. Maka produksi yang diperoleh peternak akan optimal sehingga produktivitas
kerja dapat maksimal.
Pendidikan peternak (X2) berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kerja. Kondisi ini mungkin
disebabkan karena sebagian besar peternak berpendidikan relatif rendah, sehingga kurang termotivasi

366
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

dalam mengelola usahanya. Sesuai dengan pendapat Kusumawati (2004), menyatakan bahwa tingkat
pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi. Masyarakat dengan tingkat
pendidikan rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan daya
pikirnya, sehingga sulit menerima informasi baru. Pada hal menurut Mulyadi (2003), menyatakan bahwa

versi elektronik
peningkatan kwalitas pekerja yang akan dicerminkan oleh tingkat pendidikan yang rara-rata semakin
baik, yang akan memberikan dampak posistif terdahadap produktifitas tenaga kerja.
Pengalaman beternak (X3) berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kerja peternak. Hal ini
disebabkan baik peternak lama atau peternak baru dalam memelihara ternaknya menggunakan metode
yang sama. Perbedaan lama beternak ternyata tidak berpengaruh terhadap peternak dalam mengelola
ternaknya yang masih saja menggunakan metode tradisional, sehingga antara responden yang sudah
berpengalaman ataupun yang belum berpengalaman tidak memiliki perbedaan dalam mengelola
ternaknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukono (2007), menyatakan bahwa rata-rata peternak masih
menggunakan teknologi yang sangat sederhana serta turun tumurun sehimgga pengalaman atau lama
beternak tidak memberikan sumbangan yang nyata bagi pendapatan peternak
Faktor skala usaha (X4) berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas kerja peternak pada tingkat
kepercayaan 99 persen (P<0,01). Koefisien regresi 1439,584, berarti bahwa penambahan jumlah ternak
sebanyak satu ekor ternak kerbau akan menaikan produktivitas kerja sebesar Rp. 1.439,584/JKSP. Sesuai

versi elektronik
pendapat Paturochman (2005), menyatakan bahwa besar kecilnya skala usaha sangat mempengaruhi
tingkat produksi. Makin tinggi skala usaha pemilikan, maka makin besar tingkat pendapatan peternak
Maka untuk meningkatkan pendapatan peternak sapi perah dapat ditempuh dengan meningkatkan skala
usaha pemilikan. Semakin banyak ternak yang dipelihara semakin efisien dalam penggunaan

KESIMPULAN
Besarnya nilai produktivitas kerja peternak kerbau di Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang cukup
tinggi bila dibanding dengan UMR yang berlaku di daerah setempat.
Faktor skala usaha berpengaruh terhadap produktivitas kerja peternak kerbau di Kecamatan Pemalang
Kabupaten Pemalang.
Pemerintah diharapkan lebih memperhatikan dalam pengembangan usaha ternak kerbau melalui berbagai
program, baik berupa bantuan modal atau kredit usaha, sehingga peternak dapat meningkatkan skala

versi elektronik
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan peternak.
Petugas penyuluh lapangan (PPL) lebih aktif dan peduli terhadap peternak dengan cara memberikan
program penyuluhan dan pelatihan yang sesuai, sehingga kemampuan peternak dalam mengelola usaha
ternak kerbaunya miningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Diwyanto, K. Dan Subandriyo. 1995. Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIV(4): 92-101.
Hernanto, F. 2003. Ilmu Usahatani. Panebar Swadaya. Cetakan ke-3. Jakarta. Hal. 157-212.
Isbandi dan D. Priyanto. 2004. Sumbangan subsektor usahaternak domba dalam mendukung ekosistem
rumah tangga di Desa Pasiripis dan Tegalsari, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. (Buku I). Pusat Penelitian dan

versi elektronik
Pengembangan Peternakan. Bogor. Hlm.314-322.
Kusumawati,Y. 2004. Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Berat Bayi Lahir di
RSUD. Dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Kesehatan Infokes Vol 8 No.1. Maret –September 2004.
Hal 1-9.
Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Yogyakarta. Hal. 25 – 34

367
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Mulyadi. S. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal: 59-60.
Paturochman, M. 2005. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan keluarga Peternak dengan Tingkat
konsumsi ( Kasus di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KBPS) Pangalengan)

versi elektronik
Sosiohumaniora, Vol. 7, 3, Nopember 2005. www.resources.unpad.ac.id. Diakses 5 Februari
2009.
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi (Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Produksi Cobb-
Douglas). Rajawali. Jakarta. Halaman 7-8, 142-143.
Sukono. 2007. Kontribusi Usaha Ternak Sapi Perah Terhadap Pendapatan Keluarga Petani di Kecamatan
Pekuncen Kabupaten Banyumas. Laporan Skripsi S1. Fakultas Peternakan Unsoed. Hal 45.
Yusja, Y., N. Ilham dan W. K. Sejati. 2003. Profil dan permasalahan peternakan. Forum Penelitian Agro
Ekonomi 21 (1): 44-56.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 368


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

KEUNTUNGAN EKONOMI PEMELIHARAAN SAPI SECARA INTENSIF DI PEDESAAN


DENGAN PAKAN KONSENTRAT: SUATU STUDI KASUS
Sri Nastiti Jarmani

versi elektronik
Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, P.O.Box 221 Bogor 16002; e-mail: srinastitijarmani@yahoo.com

ABSTRAK
Usaha pemeliharaan sapi secara intensif dengan pakan konsentrat menjadi pola usaha rakyat skala
menengah berorientasi mendapatkan keuntungan ekonomi. Pakan merupakan komponen biaya terbesar
setelah ternaknya sendiri didalam satu usaha ternak sapi. Respon ternak dalam bentuk pertambahan bobot
hidup harian terhadap pakan yang diberikan menjadi kriteria utama untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi usaha. Imbangan antara harga bobot hidup dengan nilai pakan yang dikonsumsi setiap hari
menjadi indikator besarnya keuntungan yang diperoleh. Pendapatan diatas biaya pakan (income over feed
cost) yang semakin besar akan menarik perhatian peternak untuk menilai keberhasilan usahanya. Tujuh
belas (17) ekor sapi jantan yang dipelihara peternak didesa Meteseh, Karanganyar, Jawa Tengah
digunakan sebagai kasus untuk mempelajari keberhasilan usaha ternak sapi secara intensif dengan pakan
konsentrat. Kisaran bobot hidup sapi pada awal pemeliharaan bervariasi dari 236 sampai dengan 338 kg
dengan harga berkisar antara Rp. 6,5 sampai dengan Rp.11,2 juta /ekor. Setelah masa pemeliharan, yang

versi elektronik
bervariasi dari 233 sampai dengan 640 hari dan penggunaan pakan konsentrat yang sama, menunjukkan
hasil usaha sebesar Rp. 10.632 sampai dengan Rp. 38.244 /ekor/hari diatas biaya pakan. Pengeluaran
biaya tenaga kerja, penyusutan kandang dan sarana, dan biaya-biaya lain masih harus diperhitungkan
untuk mendapatkan keutungan ekonomi bersih (nett income). Disimpulkan bahwa pemeliharaan sapi
secara intensif dengan pakan konsentrat masih memberikan keuntungan ekonomi yang cukup baik
sehingga pola pemeliharaan ini dapat disarankan kepada para peternak rakyat untuk mengembangkan
skala usaha mereka.
Kata kunci: sapi, intensif, pakan, keuntungan ekonomi

ABSTRACT
An intensive feeding system of cattle production has been developing recently in villages with ultimate
objective to increase the economic benefit. Feed cost is the highest proportion of production cost, only
second to the cattle component. The cattle weight gain as the responce to feeding management is the

versi elektronik
criteria to describe the economic benefit. The ratio between economic value of daily weight gain and the
cost of feed intake is used as the parameter of interest. A greater Income over feed cost is used by farmers
to evaluate the successfulness of the animal production. Seventeen (17) heads of cattle, male, kept by
farmer in Meteseh, Karanganyar, Central Java were used as source of data to study the economic benefit
of cattle production under an intensive system with special reference to the concentrate feeding system.
The live weight of cattle varied from 236 to 338 kg at the initiation of the study with prices ranged from
IDR 6.5 to 11.2 million per head. The cattle feeding time ranged from 233 to 640 days using the same
concentrate feed, resulting in income over feed cost ranged from IDR 10,632 to 38,244 per head per day.
However, other cost components such as labor, depreciation of houses and facilities, and others still need
to be determined to find the nett income. It was concluded that an intensive cattle production with special
reference to concentrate feeding system was economically profitable suggesting that the system can be
introduced to those farmers interested in developing their scale of cattle production.
Key words: cattle, intenssive, feed, economic benefit

versi elektronik
PENDAHULUAN
Sapi potong merupakan jenis ternak yang banyak dipelihara dipedesaan yang tujuannya adalah sebagai
bibit untuk menghasilkan anak. Bagi masyarakat di pedesaan memiliki sapi berarti mempunyai tabungan
dan menentukan tingkat status sosial di masyarakat karena sapi adalah “raja kaya” dimana semakin
banyak pemilikan sapi semakin tinggi tingkat status sosialnya di masyarakat. Pada umumnya sapi masih
dipelihara secara tradisional dimana ketersediaan pemberian pakannya disesuaikan dengan kondisi

369
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

setempat seperti yang dilakukan para pendahulunya. Sebagian pemilik sapi adalah juga petani tradisional
yang memiliki keterbatasan modal maupun pengetahuan dan sulit untuk diajak merubah kebiasaan,
sehingga untuk merubah kebiasaan tersebut memerlukan waktu (Mosher, 1978). Pemberian pakan yang
seadanya pada pemeliharaan tradisional cenderung memepengaruhi perkembangan organ reproduksi

versi elektronik
sehingga produktivitasnya rendah (Wiyono dan Umiyasih. 1998). Salah satu cara untuk meningkatkan
produktivitasnya adalah dengan merubah manajemen pakan karena menurut Mathius (2010) pemberian
pakan yang berkualitas akan diperoleh produktivitas yang tinggi. Jarmani et al. (2007) melaporkan bahwa
perbaikan manajemen pemberian pakan dengan memberikan 4 kg jerami padi difermentasi dan 2 kg
dedak pada sapi PO dapat meningkatkan pertambahan bobot badan 4,5 kali lebih tinggi dari sapi yang
diberi pakan seperti kebiasaan peternak dan hal yang sama juga dilaporkan oleh Haryanto et al. (2005)
bahwa perbaikan pemberian pakan pada sapi PO dengan memberikan jerami difermentasi sebanyak 6 kg
dan 2 kg konsentrat dapat meningkatkan bobot badan 0,7 – 1,0 kg per hari dibandingkan dengan
pemeliharaan tradisional.
Penghargaan perlu diberikan kepada peternak yang mau mencoba merubah cara membudidaya dari
tradisional ke intensif, menggunakan konsentrat sebagai pakan berorientasi bisnis dan mempunyai target
waktu untuk memasarkan hasilnya. Pakan merupakan biaya terbesar pada usaha penggemukan sehingga
respon ternak dalam bentuk pertambahan bobot hidup harian terhadap pakan yang diberikan menjadi

versi elektronik
kriteria utama untuk mendapatkan keuntungan ekonomi usaha. Imbangan antara harga bobot hidup
dengan nilai pakan yang dikonsumsi setiap hari menjadi indikator besarnya keuntungan yang diperoleh.
Semakin besar pendapatan diatas biaya pakan akan semakin jelas keberhasilan usaha penggemukannya
dan menambah semangat peternak untuk melanjutkan usahanya. Oleh karena itu makalah ini disajikan
untuk melihat seberapa besar pendapatan diatas biaya pakan dan keberhasilan usaha penggemukan yang
dilakukan oleh peternak di desa Meteseh, Karanganyar, Jawa Tengah.

METODE PENELITIAN
Studi kasus dilakukan di peternak di desa Meteseh, Karanganyar, Jawa Tengah dengan menggunakan 17
ekor sapi persilangan, jantan dengan bobot badan awal berkisar dari 236 hingga 338 kg. Harga beli sapi
per ekor bervariasi dari Rp 6,50 hingga Rp 11,20 juta. Lama pemeliharaan bervariasi dari 233 – 640
hari. Pakan yang diberikan adalah konsentrat yang formulanya disusun sendiri dengan kandungan protein
11,06% dengan harga per kg Rp 1969,50. Jumlah pemberian konsentrat sama untuk semua sapi yaitu 10
kg per hari per ekor yang diberikan 2 kali, pagi dan siang menjelang sore. Rumput dan jerami diberikan

versi elektronik
sebagai sumber serat, diberikan secara berlebih dan disajikan pada sore hari. Air minum tersedia setiap
saat. Sapi ditimbang setiap bulan dengan menggunakan timbangan digital elektrik. Keuntungan
pendapatan diatas biaya pakan (income over feed cost) dihitung berdasar harga pada saat pemeliharaan.
Data disajikan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penampilan budidaya
Sapi yang dipelihara adalah sapi persilangan, jantan yang dibeli dari pasar hewan setempat. Dipilih sapi
persilangan karena menurut peternak pertumbuhan badannya lebih cepat dibandingkan dengan sapi lokal.
Sapi-sapi tersebut dipelihara didalam kandang permanen, dan dilengkapi dengan tempat pakan dan air
minum untuk masing-masing individu sapi.
Pakan yang diberikan adalah konsentrat yang tersusun dari beberapa bahan seperti yang tertulis di Tabel

versi elektronik
1. Pemilihan bahan dan susunan formula konsentrat menurut peternak adalah berdasar dari informasi yang
disarankan oleh praktisi peternakan. Pencampuran bahan penyusun konsentrat dilakukan dengan mixer
oleh peternak setiap minggu sekali. Bahan-bahan penyusun konsentrat diperoleh dari luar Jawa
sedangkan rumput dan jerami sebagai sumber serat berasal dari wilayah setempat. Meskipun demikian,
pengetahuan peternak untuk mengetahui kualitas bahan masih perlu ditingkatkan. Cara termudah adalah
dengan pengenalan secara organoleptik. Hal ini terlihat pada gudang penyimpanan bahan dimana yang

370
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

disebut “katul” yang digunakan didalam formula konsentrat ternyata mengandung sekam yang cukup
banyak sehingga kandungan protein konsentrat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu bungkil
inti sawit masih tercampur dengan “cangkang/bathok” buah sawit sehingga perlu alokasi waktu khusus
untuk membersihkannya. Salah satu kriteria kualitas pakan yang baik, dapat dilihat dari kandungan

versi elektronik
protein dan formula pakan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kondisibahan pakan yang
digunakan mempunyai sifat fisika kimia yang berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi efisiensi
penggunaannya pada proses pencernaan didalam saluran cerna ternak. Mathius (2010) mengatakan bahwa
pemberian pakan yang berkualitas akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik.
Tabel 1. Formula konsentrat di peternak
Jumlah Protein (%) Harga (Rp)
Bahan
(kg) Bahan Total (gram) Bahan/kg Total
Bungkil Inti Sawit 240 18 4320 2000 480000
Onggok 200 3 600 1700 340000
Kulit Kopi 200 12 2400 900 180000
Sekam 150 4 600 1700 255000
Jagung 80 9 720 3700 296000

versi elektronik
Klentheng/biji kapok 50 18 900 3200 160000
Tetes 60 2 120 3000 180000
Mineral 5 0 0 2500 12500
Urea 5 280 1400 2000 10000
Minyak goreng 5 0 0 10000 50000
Garam 5 0 0 1200 6000
Total 1000 11060 1969500
(11,06%) (1969,50/kg)

Penampilan produksi
Usaha penggemukan sapi berarti juga sebagai usaha memproduksi daging yang dapat diperoleh dari
pertambahan bobot badan harian atau dengan menambah jumlah kepemilikan ternak. Pertambahan bobot
badan sangat dipengaruhi oleh kontinuitas ketersediaan pakan, jumlah dan kualitas pakan yang

versi elektronik
dikonsumsi, umur dan keturunan (Blakely dan Bade. 1994). Keputusan peternak dalam memilih sapi
persilangan untuk digemukkan merupakan hal yang positif karena beberapa penelitian menunjukkan
pertumbuhannya lebih baik dari sapi lokal. Pramono et al. (2012) melaporkan bahwa sapi hasil
persilangan bobot lahirnya lebih besar (26,4 + 1,63 kg) dibandingkan dengan sapi PO (25,4 kg) dan
pertumbuhannya juga lebih cepat walau harus diimbangi dengan penyediaan pakan yang memadai.
Besarnya biaya pakan yang dikeluarkan harus sesuai dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan
agar masih diperoleh keuntungan dari usaha tersebut. Data menunjukkan bahwa pertambahan bobot
badan sapi bervariasi dari 0,422 – 0,983 kg per ekor per hari dengan rata-rata 0,720 + 0,143 kg,
sebagaimana diilustrasikan dalam Grafik 1. Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Jarmani et al.
(2007) dan Haryanto et al. (2005) pada sapi peranakan ongole (PO). Kemungkinannya karena beberapa
bahan pakan yang digunakan tidak dapat dimanfaatkan secara optimum saat proses pencernaan di dalam
rumen sehingga tidak dapat membentuk daging secara efisien, selain itu pada umumnya sapi-sapi disini
ada kemungkinan mengalami kekurangan mineral mikro yang dapat mengganggu proses pencernaan dan
efisiensi metabolisme didalam jaringan tubuh. Upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan pakan melalui

versi elektronik
pemberian probiotik dapat meningkatkan keuntungan usaha pemeliharaan sapi terutama pada awal
pemeliharaan sebagai akibat dari penekanan pengaruh negatif selama transportasi (Jarmani dan Haryanto,
2010).

371
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

450

400

350

versi elektronik
300

PBB (kg
250

200

150

100

50

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nomer sapi

Grafik 1. Pertambahan bobot hidup sapi selama pemeliharaan


Grafik 1 menunjukkan angka pertambahan bobot hidup selama pemeliharaan. Pada umumnya
pertambahan bobot hidup hampir sama untuk ternak sapi nomer 4 sampai 17 karena lama pemeliharaan

versi elektronik
relatif sama yaitu antara 233 sampai 258 hari. Ternak sapi nomer 12 menunjukkan pertambahan bobot
hidup harian terendah (0,422 kg) sedangkan ternak sapi nomer 16 menunjukkan pertambahan bobot hidup
yang tertinggi (0,983 kg). Sementara itu, ternak sapi nomer 1, 2 dan 3 dipelihara selama 640 hari sehingga
menunjukkan pertambahan bobot hidup yang lebih tinggi. Hasil perhitungan pertambahan bobot hidup
harian relatif sama dengan rataan sebesar 0,720 kg.
Penampilan ekonomi
Lama pemeliharaan sapi bervariasi dari 233 hingga 640 hari dan diikuti dengan peningkatan bobot badan
berkisar dari 0,422 – 0,983 kg per ekor per hari atau rata-rata 0,720 + 0,143 kg. Angka tersebut
menunjukkan adanya koefisien variasi sekitar 20% yang berarti bahwa peluang untuk meningkatkan
produktivitas sapi masih terbuka cukup besar. Perhitungan keuntungan dari penggemukan sapi seperti
yang tertulis di Tabel 2.
Tabel 2. Penampilan ekonomi penggemukan sapi intensif di peternak (n=17 ekor)

versi elektronik
Parameter Rataan Mini Maksi Standar
mum mum Deviasi
Bobot awal sapi (kg) 283 236 338 32
Harga Beli /ekor (juta rupiah) 9,482 6,50 11,20 1,525
Lama pemeliharaan (hari) 312 233 640 152
Bobot Akhir (kg) 503 410 680 87
Harga Jual /ekor (juta rupiah) 22,382 17,500 30,000 3,919
Biaya pakan selama pelihara (juta rupiah) 6,160 4,558 12,604 2,997
Pendapatan / ekor (juta rupiah) 12,900 7,400 23,000 4,961
Keuntungan diatas biaya pakan (juta rupiah) 6,740 2,594 10,526 2,433
Keuntungan/ekor/hari (rupiah) 23.070 10.632 38.244 8.121

Keuntungan usaha penggemukan sapi dipengaruhi oleh harga beli, biaya pakan yang dikeluarkan selama

versi elektronik
pemeliharaan, harga jual serta faktor-faktor ekonomi lainnya, seperti tingkat permintaan konsumen serta
ketersediaan supply daging di pasar. Rataan harga beli sapi pada awal pemeliharaan adalah sekitar Rp.
9,482 juta dengan perhitungan harga per kg bobot hidup sapi antara Rp. 25.641,- sampai dengan Rp.
39.689,- tergantung pada kondisi ternak serta perkembangan harga pasar. Sementara itu, harga jual sapi
pada akhir pemeliharaan rata-rata adalah Rp. 22,382 juta per ekor dengan harga per kg bobot hidup
antara Rp. 43.750,- sampai dengan Rp. 45.000,- . Harga jual per kg bobot hidup relatif sama karena

372
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

berkaitan dengan waktu penjualan yang mendekati atau bertepatan dengan hari besar keagamaan nasional
Idul Adha. Biaya pakan yang dikeluarkan selama pemeliharaan bervariasi menurut lama waktu
pemeliharaan sementara harga per kg pakan konsentrat relatif sama untuk semua ternak. Keuntungan
diatas biaya pakan (income over feed cost) dari pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak dalam studi

versi elektronik
kasus ini rata-rata adalah Rp. 23.070,- per ekor per hari dengan variasi antara Rp. 10.632,- sampai dengan
Rp. 38.244,-. Besarnya kisaran keuntungan diatas biaya pakan ini disebabkan oleh berbagai hal, antara
lain kondisi tubuh ternak yang akan menentukan posisi tawar pada saat dilakukan transaksi jual-beli.
Melihat pada tingkat keuntungan diatas biaya pakan yang cukup besar tersebut, semestinya usaha
penggemukan sapi peternak rakyat dapat ditingkatkan skala pemilikannya sehingga mampu meningkatkan
pendapatan peternak. Namun demikian, perlu pula dipertimbangkan bahwa nilai keuntungan diatas biaya
pakan tersebut masih harus memasukkan biaya-biaya lain, seperti biaya tenaga kerja, depresiasi kandang
dan sarana serta biaya lain yang terkait sehingga akan diperoleh nilai keuntungan bersih yang semestinya.

KESIMPULAN
Disimpulkan bahwa pemeliharaan sapi persilangan menggunakan pakan konsentrat dapat memberikan
keuntungan yang bervariasi sesuai dengan jumlah pemberian pakan dan waktu pemeliharaan. Perbedaan
besarnya keuntungan per hari masih memungkinan ditingkatkan dengan pola pemberian pakan yang lebih

versi elektronik
tepat.
Pengetahuan peternak masih perlu ditingkatkan terutama dalam manajemen pakan dan pemberiannya,
memilih dan menggunakan bahan penyusun konsentrat agar tidak terjadi pemborosan, lebih sering
berkonsultasi dengan ahli pakan atau yang lebih berpengalaman.

UCAPAN TERIMAKASIH
Kepada Ibu Etty, Pak Bayu, Pak Raji dan Pak Giyanto terimakasih atas kerjasamanya dan membantu
memfasilitasi serta menyediakan data untuk terselenggaranya studi kasus hingga kesediaannya untuk
mencoba menerapkan perbaikan manajemen pakan sapi periode pemeliharaan tahun 2013 / 2014.

DAFTAR PUSTAKA
Blakely, J dan D.H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Haryanto, B., B. Hasan, D. Sisriyenni, A. Batubara dan Bestina. 2005. Penerapan teknologi pemanfaatan

versi elektronik
jerami padi dan pembuatan pupuk organik dari usaha pengembangan sapi potong di Kabupaten
Kampar. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil ppengkajian teknoligi pertanian. BPTP Riau.
Halaman. 45 -53
Jarmani, S. N. and B. Haryanto. 2010. Economic Advantage of Increasing Production of Cattle through
Enhancement of Rumen Fermentation. Seminar Nasional Ruminansia. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Jarmani, S.N., B. Haryanto., W. Puastuti., Hastono, Santiananda A.S, D. Pramono dan K. Sumanto.
2007. Laporan Penelitian. Perbaikan manajemen budidaya ternak berwawasan lingkungan
melalui penerapan teknologi bioproses limbah petanian dan pemanfaatan tanaman berkhasiat obat
di Blora. Balai Penelitian Ternak Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama
dengan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) Badan Litbang Pertanian
Departemen Pertanian.

versi elektronik
Mathius, I.W. 2010. Optimalisasi bungkil inti sawit untuk sapi yang diberi pakan dasar rumput lapang.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Teknologi Peternakan dan
Veteriner Ramah Lingkungan dalam mendukung swa sembada daging dan peningkatan
Ketahanan Pangan. Bogor, 3 – 4 Agustus 2010. Puslitbang Peternakan Badan Litbang Pertanian
Kementerian Pertanian. Hal 161 -169
Mosher, A.T. 1978. Pembangunan Pertanian Indonesia. Penerbit Balai Pustakan. Jakarta.

373
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Pramono, D., T.R. Parastuti dan S.Budi.S. 2012. Tampilan reproduksi sapi Peranakan Ongole (PO) dan
Brahman Cross (BX) pada peternakan rakyat di desa Kedaung, Kecamatan Bojong Kabupaten
Tegal. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Peternakan Menuju Swa Sembada
Protein Hewani. Fakultas Peternakan Universitas Djenderal Sudirman. Purwokerto.

versi elektronik
Wiyono, D.B dan U.Umiyasih. 1998. Tampilan status ternak reproduksi sapi perah pada tingkat kondisi
badan yang berbeda dan system pengelolaan di peternakan rakyat. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 374


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERDASARKAN BAGIAN-BAGIAN DAGING


SAPI (STUDI KASUS : PASAR TERONG MAKASSAR)
St. Rohani, Veronica Sri Lestari, dan Iranita Haryono

versi elektronik
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Kampus Unhas Tamanlanrea, Telp/Fax. (0411) 587 Makassar 90245

ABSTRAK
Penelitian dengan judul analisis permintaan dan penawaran berdasarkan bagian-bagian daging sapi ( studi
kasus : pasar terong makassar) untuk melihat bagaimana permintaan dan penawaran daging sapi
berdasarkan bagian-bagiannya. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan Juni 2013.
Tempat penelitian di Pasar Terong Kota Makassar. Jenis penelitian ini adalah Deskriptifi. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pedagang daging sapi yang ada di Pasar Terong Kota Makassar Sebanyak 54
orang, jumlah sampel 36 orang. Hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat perbedaan antara
penawaran dan permintaan daging sapi di Pasar Terong Kota Makassar dimana jumlah daging sapi yang
di tawarkan sebanyak 49.532,4 kg/bulan, dan jumlah permintaannya atau yang terjual yaitu sebanyak
36.642 kg/bulan dengan demikian dapat di katakan bahwa penawaran daging sapi lebih tinggi dari pada
permintaan daging sapi. Dapat dilihat pula bahwa pada masing-masing bagian daging, penjualan tertinggi

versi elektronik
terdapat pada bagian paha belakang yaitu sebesar 18.036 kg/bulan untuk penawaran dan 11.04 kg/bulan
untuk permintaan
Kata Kunci : Permintaan, penwaran, Bagian-bagian Daging Sapi

ABSTRACK
Research has been carried out with the title analysis based on demand and a supply on parts of the
beef (case study: terong market makassar) the purpase of this research was to find out sales the
equilibrium of supply and demand of parts of beef in terong market, makassar. This research was
conducted from april until june 2013. Population of this research was 54 people who were beef sellers.
The number of samples of 36 people. The results of this research it is known that there is a difference
between the supply and demand of beef in the market Town of Makassar where Eggplant beef amount on
offer as much as 49.532 4 kg/month And the number of his main demand or sold out, with 36.642 kg. /
month thus can be said that an offer beef higher than in demand for beef. t can be seen that on each piece

versi elektronik
of meat, the highest sales found in the hamstrings, i.e. amounting 18.036 kg/month for deals and at 11
kg/month to demand.
Keyword: supply, demand, parts of beef

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Peternakan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan pertanian, terutama
disaat adanya krisis ekonomi dan moneter, sehingga peranan petani peternak sangat menentukan
keberhasilan pembangunan tersebut. Tantangan utama yang dihadapi dewasa ini adalah bagaimana
menghasilkan produk peternakan yang berdaya saing tinggi baik dalam aspek kuantitas, kualitas, ragam
produk, kontinuitas, pelayanan maupun harga, sehingga dapat memenuhi tuntutan pasar domestik maupun
pasar global. Program Pembangunan Peternakan pada hakekatnya adalah merupakan rangkaian upaya
untuk memfasilitasi, melayani dan mendorong berkembangnya sistem agribisnis yang berdaya saing,

versi elektronik
berkerakyatan, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Annehira, 2010)
Tercatat sepanjang tahun 2008 sebanyak 651.196 ekor sapi harus di impor ke Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan daging. Sedangkan dinamika populasi sapi lokal selama kurun waktu 2005-2009 mengalami
kenaikan, dari 10,6 juta ekor menjadi 12,6 juta ekor. Produksi daging sapi di Indonesia meningkatan pada
tahun 2006-2007 yang mencapai 395.840 ton menjadi 418.210 ton. Akan tetapi, produksi daging sapi
nasional tidak dapat memenuhi tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia yang pada tahun 2007

375
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

mengalami peningkatan sebesar 383,6% atau mencapai 453.800 ton. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
berkoordinasi dengan Kementrian Pertanian (Ditjennakeswan), per tanggal 1 Juli 2011, ada sebanyak 16
juta ekor ternak ruminansia lebih (yang terdiri dari 14 juta ekor sapi potong; 500.000 lebih sapi perah dan
1,2 juta lebih kerbau). Dengan jumlah tersebut, sebetulnya Indonesia telah memenuhi kebutuhan sapi

versi elektronik
potong dalam negeri (SAC, 2011).
Kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari tiga sumber, yaitu peternakan rakyat ternak lokal,
industri peternakan rakyat ( hasil penggemukan sapi ex-import ), dan impor daging dari luar negeri. (
Soepranto, 2006 ). Menurut Anonim (2010), daging sapi (beef) merupakan sebuah jaringan otot yang
diperoleh dari sapi yang biasa dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan.
Pasar Terong merupakan salah satu pasar tradisional yang besar ada di kota Makassar. Letak pasar Terong
cukup strategis karena berlokasi di pusat perkotaan sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat baik
kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Disamping itu jumlah pedagang daging sapi di Pasar Terong
cukup banyak yaitu 54 orang. Berdasarkan survey awal di Pasar Terong, sering terjadi fluktuasi penjualan
daging sapi. Dimana pada hari-hari tertentu seperti mendekati hari raya dan tahun baru sering terjadi
pelonjakan permintaan daging sapi. Hal inilah yang melatar belakangi peneliti untuk melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Permintaan Dan Penawaran Berdasarkan Bagian-Bagian Daging Sapi (

versi elektronik
Studi Kasus : Pasar Terong Makassar)
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian
yaitu :
Bagaimana keseimbangan penawaran dan permintaan daging sapi berdasarkan bagian-bagiannya ( Studi
Kasus : Pasar Terong, Kota Makassar ) ?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana keseimbangan penawaran dan
permintaan daging sapi berdasarkan bagian-bagiannya.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai sumber pengetahuan dan informasi bagi peneliti

versi elektronik
2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2013, Tempat penelitian di Pasar Terong
Kota Makassar, dengan alasan di Pasar Terong terdapat pedagang daging sapi yang cukup banyak yaitu
sebanyak 54 orang.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan atau
mendeskriptifkan kondisi variabel penelitian yaitu volume penjualan berdasarkan bagian-bagian daging
sapi di Pasar Terong, Kota Makassar.
Populasi dan Sampel

versi elektronik
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pedagang daging sapi yang terdapat di pasar Terong sebanyak
54 orang. Untuk menentukan besarnya jumlah sampel digunakan statistik deskriptif dengan menggunakan
rumus Slovin menurut Soewadji (2012) sebagai berikut :

376
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

N
n=
1 + Ne2
Dimana :

versi elektronik
N = Jumlah Populasi
n = Jumlah Sampel
e = Tingkat Kelonggaran (10%)
Tingkat kelonggaran 10% digunakan dengan dasar jumlah populasi tidak lebih dari 2000 (Sugiyono,
2003). Sehingga jumlah sampel yang didapatkan yaitu
54
𝑛=
1 + 54 (10%)2
54
𝑛=
1 + 54 (0,01)
54
𝑛=
1,54

versi elektronik
n=35
Jadi sampel minimum yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebanyak 35 responden. Pengambilan
sampel dilakukan secara simple random sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana peneliti dalam
memilih sampel dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk di
tetapkan sebagai anggota sampel.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini adalah :
Observasi yaitu pengamatan langsung terhadap lokasi penelitian dalam hal ini pedagang daging sapi di
Pasar Terong, Kota Makassar.
Wawancara yaitu pengumpulan data dengan melakukan wawancara langsung kepada para pedagang
daging sapi di Pasar Terong Kota Makassar yang menjadi responden peneliti.

versi elektronik
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang meliputi volume penjualan
daging sapi.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pedagang / pengecer daging
yang meliputi volume penjualan.
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik yang
meliputi keadaan umum lokasi penelitian.
Analisa Data
Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa statistik deskriptif untuk mengetahui
volume penjualan daging sapi berdasarkan bagian-bagiannya dengan menggunakan tabel distribusi

versi elektronik
frekuensi sederhana.

377
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

HASIL DAN PEMBAHASAN


Permintaan dan Penawaran Daging Sapi Di Pasar Terong Kota Makssar
Penawaran daging sapi berdasarkan bagian-bagiannya dapat dilihat pada tabel1.

versi elektronik
Tabel 1. Penawaran Daging Sapi Berdasarkan Kg/Hari
Paha Has Has Daging Daging
Hari Paha Depan Jumlah (%)
Belakang Dalam Luar Tipis Punuk
Senin 1.323 3.165 149 761,5 781 1.021,5 7.201 14,55
Selasa 1.870 3.027,7 210 1018 1.078,5 1.429,5 8.634 17,44
Rabu 1.713,5 2.862 285,5 933,5 1.033 1.362,5 8.190 16,54
Kamis 1.341,5 2.187 150 727,5 816 1.012,5 6.235 12,59
Jum'at 1.297,5 2.160,5 148,5 720 774 1.025 6.126 12,37
Sabtu 1.493 2.436,5 177 807 876 1.157 6.947 14,03
Minggu 1.341,4 2.161 148 720,5 776 1.024 6.171 12,47
Jumlah 10.406,9 18.036 1.171 5.713 6.136,5 8.069 49.532,4 100

versi elektronik

versi elektronik
Gambar 1. Grafik Penawaran Daging Sapi di Pasar Terong Kota Makassar
Berdasarkan Tabel 1 dan gambar 1, dapat dilihat bahwa penawaran daging sapi berdasarkan bagian-
bagiannya yang di jual di Pasar Terong Kota Makassar yaitu jumlah daging sapi yang di tawarkan
sebanyak 49.532,4 kg/bulan, dari data yang telah diolah maka didapatkan hasil persentase penjualan dari
30 hari penjualan bagian bagian daging yaitu di dapat volume penjualan terbesar yaitu pada hari Selasa
sebanyak 8.634 kg (17,44%) dan volume penjualan terkecil pada hari Jum’at sebanyak 6.126 kg (12,37
%) hal ini di karenakan pada hari Selasa selama penelitian bertepatan dengan banyaknya jumlah daging
sapi yang masuk ke pedagang di Pasar Terong Kota Makassar sesuai dengan permintaan pedagang yang
ada di Pasar Terong Makassar sedangkan pada hari jumat jumlah daging sapi yang masuk ke Pasar
Terong makassar lebih sedikit.

versi elektronik 378


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 2. Data Permintaan Daging Sapi Berdasarkan Hari


Paha Paha Has Daging Daging
Hari Has Dalam Jumlah (%)
Depan Belakang Luar Tipis Punuk

versi elektronik
Senin 1.326,5 1.387 144 526 780 877 5.040,5 13,73
Selasa 1.808,5 1.949 188 603 928 1.161 6.637,5 18,08
Rabu 1.636 1.948 186 660 848 1.168 6.446 17,56
Kamis 1.385 1.696 145 454 643,5 872 5.195,5 14,16
Jum'at 1.114 1.545 134 471 588 749 4.601 12,54
Sabtu 1.090 1.210 128 471 615 690 4.204 11,45
Minggu 1.321 1.323 125 446 615 748 4.578 12,47
Jumlah 9.705,5 11.041 1.051 3.582 5.040,5 6.222 36.642 100,00
Sumber : Data primer yang telah diolah 2013

versi elektronik
Gambar. 2. Grafik Permintaan

versi elektronik
Berdasarkan Tabel 2 dan gambar 2, dapat dilihat bahwa permintaan daging sapi berdasarkan bagian-
bagiannya yang di jual di pasar Terong Kota Makassar yaitu pada hari Selasa sebanyak 6.637,5 kg
(18,08 %) dan volume penjualan terkecil pada hari sabtu sebanyak 4.204 kg (11,45 %).
Permintaan dan Penawaran daging sapi di pasar terong Kota Makassar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Pasar Terong Kota Makassar
Persentase
No Bagian daging Penawaran (kg/bulan) Permintaan (kg/bulan) Selisih (kg/bulan)
(%)
1 Paha Depan 10.406,9 9.705,5 701,4 5,44
2 Paha Belakang 18.036 11.041 6.995 54,27
3 Has Dalam 1.171 1.051 120 0,93
4 Has Luar 5.713 3.582 2.131 16,53
8,50

versi elektronik
5 Daging Tipis 6.136,5 5.040,5 1.096
6 Daging Punuk 8.069 6.222 1.847 14,33
Jumlah 49.532,4 36.642 12890,4 100
Sumber : Data Primer yang telah diolah 2013

379
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Gambar 3. Grafik penawaran dan permintaan daging sapi di Pasar Terong
Berdasarkan Tabel 3 dan gambar 3, dapat dilihat bahwa penawaran dan permintaan daging sapi
berdasarkan bagian-bagiannya yang dijual di pasar Terong Kota Makassar yaitu jumlah daging sapi yang
di tawarkan sebanyak 49.532,4 kg/bulan, dan jumlah permintaannya atau yang terjual yaitu sebanyak

versi elektronik
36.642 kg/bulan dengan demikian dapat di katakan bahwa penawaran daging sapi lebih tinggi dari pada
permintaan daging sapi, sedangkan untuk daging sapi yang tersisa disimpan di freezer (dibekukan) atau di
oper kepedagang lainnya. Dapat dilihat pula bahwa pada masing-masing bagian daging, penjualan
tertinggi terdapat pada bagian paha belakang yaitu sebesar 18.036 kg/bulan untuk penawaran dan 11.04
kg/bulan untuk permintaan

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penawaran dan permintaan daging sapi di
Pasar Terong Kota Makassar dimana jumlah daging sapi yang di tawarkan sebanyak 49.532,4 kg/bulan,
dan jumlah permintaannya atau yang terjual yaitu sebanyak 36.642 kg/bulan dengan demikian dapat di
katakan bahwa penawaran daging sapi lebih tinggi dari pada permintaan daging sapi. Dapat dilihat pula
bahwa pada masing-masing bagian daging, penjualan tertinggi terdapat pada bagian paha belakang yaitu
sebesar 18.036 kg/bulan untuk penawaran dan 11.04 kg/bulan untuk permintaan. Sebaiknya pedagang
daging sapi lebih cermat dalam melihat kondisi pasar agar penawaran dan permintaan terhadap daging

versi elektronik
sapi dapat seimbang.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. 2004. Penetapan Jumlah Produksi Ayam Broiler. www.halalguide.com Diakses pada tanggal 3
Maret 2013.
Annehira, 2010. Pembangunan Peternakan. http://www.anneahira.com/pembangunan-peternakan.htm.
Anonim.2010.file:///C:/Users/user/Documents/Jenis%20Daging%20Sapi%20di%20Pasaran%2.htm.
Diakses pada tanggal 11 mei 2013
Boone, Louise E. dan David L. Kurtz. 2002. Pengantar Bisnis, Edisi 1, Terjemahan Fadrinsyah Anwar,
Emil Salim, Kusnedi, Erlangga, Jilid 2, Jakarta.
Cahyo, A.D. 2013. Teori Permintaan Dan Penawaran. http://ri2-aff.blogspot.com/2010/02/pengertian-

versi elektronik
permintaan-dan-penawaran.html
Fathrozzi. 2003. Teori Ekonomi Mikro, dilengkapi beberapa bentuk fungsi produksi. Salemba Empat.
Jakarta
Hansen D, R, dan M, M. Mowen. 2000. Akuntansi Manajemen, Edisi Kedua, terjemahan : A. Hermawan,
Penerbit Erlangga, Jakarta

380
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Kanisius. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.


Kotler, P dan Susanto. 1999. Manajemen Pemasaran di Indonesia. Salemba Empat, Jakarta.
Kotler, P. 1994. Manajemen Pemasaran; Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Edisi

versi elektronik
Keenam. Jilid 2. Erlangga, Jakarta
Kotler, P. 2005. Manajemen Pemasaran .Jilid 2. Bumi Aksara. Jakarta.
Kurniawan, M.E. 2012. Pengaruh Harga Jual dan Volume Penjualan Terhadap Pendapatan Pedagang
Pengumpul Ayam Potong di Kota Makassar. Skripsi Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar
Lipsey, R, G. 1995. Pengantar Ilmu Makroekonomi. Alih Bahasa : Jaka Wasan dkk. Erlangga. Jakarta.
Mahdaliah, A. 2012. Kontribusi Curahan Waktu Kerja Perempuan Terhadap Total Curahan Waktu Kerja
Pada Usaha Peternakan Sapi Potong Di Perdesaan ( Study Kasus, Kelompok Tani Ternak Lonrae
Kelurahan Samaenre Kecamatan Sinjai Tengah Kabupaten Sinjai). Skripsi Program Studi Sosial
Ekonomi Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Mulyadi. 2001. Balance Scorecard : Alat Manajemen Komputer Untuk Pelipatganda Kinerja Perusahaan,

versi elektronik
Edisi Kedua, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Murtidjo, B. 2000. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.
Purnomo, A. 2009. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Skripsi Jurusan Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Sumatra Utara, Medan
Rianto dan Purbowanti. 2009. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
SAC.2011. PeternakanSapi Indonesia.http://www.sac-ina.org/id/pendidikan/fakta-permasalahan-
kesejahteraan-hewan/sapi/peternakan-sapi-indonesia
Santosa, U. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar. 2009. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta
Soeprapto, H. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi Potong. PT Agromedia Pustaka. Bintaro

versi elektronik
Soewadji, J. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Mitra Wacana Media. Jakarta
Sugiyono. 2003. Statistik Untuk Penelitian. Alfabet, Bandung.
Sukirno, S. 1997. Pengantar Teori Ekonomi Mikro. CV. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola
Kemitraan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarmasin. Jurnal
Litbang Pertanian,28 (1), 2009.
Swastha, B. 2000. Manajemen Penjualan. PT. BPFE, Yogyakarta.
Umar, H. 2001. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta.
Yulianto dan Saparianto. 2011. Penggemukan Sapi Potong Hari Perhari. Penebar Swadaya. Depok

versi elektronik 381


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

KELANGGENGAN USAHA SAPI POTONG RAKYAT POLA GADUHAN DI KALIMANTAN


SELATAN (STUDI KASUS DI KELOMPOK PETERNAK)
Sumanto, IGM Budiarsana, E. Juarini, dan Broto Wibowo

versi elektronik
Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor PO Box 221 Bogor ; email : sumanto_d@ymail.com

ABSTRAK
Program perkembangbiakan/ penggemukan sapi potong dari tahun ke tahun masih terus dilakukan di
Kalsel, dengan tujuan untuk peningkatan populasi dan pendapatan masyarakat yaitu melalui pola
perguliran dan gaduhan yang umumnya diarahkan pada suatu kelompok peternak di pedesaan. Tujuan
kajian ini adalah untuk melihat seberapa jauh kelanggengan usaha sapi potong pola tersebut di kelompok
ternak terpilih di Kalsel melalui survai yang dilakukan pada bulan September-Oktober 2012. Sumber dana
kegiatan usaha sapi pada kelompok ternak di pedesaan berasal dari pemerintah (APBN,APBD),
Kelembagaan Swasta (Bank,CSR) dan Pribadi. Dana pemerintah umumnya untuk tujuan usaha
pengembangbiakan sapi induk, kelembagaan swasta berminat pada usaha penggemukan atau pembesaran
sapi bakalan, dan pribadi bisa bertujuan dikedua usaha tersebut. Pengembangan sapi pola pemerintah
digunakan cara perguliran induk dalam waktu tertentu (umumnya 5 tahun), untuk kelembagaan swasta
untuk penggemukan/pembesaran dengan pola bagi hasil (50:50; 60:40) masing-masing untuk pengelola

versi elektronik
dan pemodal, dan untuk pola pribadi disesuaikan dengan pola pemeliharaan sapi yang ada, bisa perguliran
induk, kembali anak atau bagi hasil. Kelanggengan usaha sapi model pengembangbiak atau pembesaran
melalui gaduhan di dana pribadi menunjukkan lebih langgeng dibandingkan dengan pola pemerintah atau
kelembagaan swasta.
Kata kunci : sapi, pola gaduhan, kelanggengan usaha

ABSTRACT
Breeding and fattening program of beef cattle is still underway from year to year in South Kalimantan,
with aiming to increase its population and the farmers’ income through the pattern of revolving and
sharing system. This program is generally directed to a group of farmers in the countryside. A study was
conducted using a method of survey in September-Otctober 2012, to see the endurence of this beef cattle
business patterns still used by the selected farmers groups in South Kalimantan. Sources of funds of the
activities of this farm business come from government (state budget, budget), private institution (Bank,

versi elektronik
CSR) and personal. Government funds are generally for the purpose of holding cattle breeding business,
private institutions interested in raising and fattening of beef cattle business, and personal usually
involved in both business either breeding and fattening. To develop the populationn the government
usually conduct the revolving pattern, where the cow was revolved within a certain time (usually 5 years),
whereas private institutions conduct the pattern of sharing for fattening (50:50 or 60:40) 50% or 60% for
the farmer and 50% or 40% for the investor respectively), and personal investors usually tailor to the
existing pattern, wether revolving the cow, calf, or sharing the profit. The endurence of the cattle business
models through revolving or sharing pattern in personal funds showed more lasting than the pattern of
government or private institutions.
Keywords : cattle , sharing patterns , endurence of business

PENDAHULUAN
Saat ini beberapa provinsi di Indonesia, masih terjadi kekurangan jumlah persediaan dari kebutuhan
daging sapi dalam negeri per tahunnya. Untuk itu secara keseluruhan pemerintah melakukan strategi

versi elektronik
untuk menanggulangi masalah tersebut melalui berbagai kegiatan utama, diantaranya impor sapi bakalan
dan daging beku, serta peningkatan populasi dan produksi sapi lokal pada spesifik wilayah untuk
pengembangan sapi potong di Indonesia, seperti di Jawa dan luar Jawa (PSPK, 2011), tidak terkecuali di
Provinsi Kalimantan.

382
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Statistik Peternakan Kalsel 2011 melaporkan bahwa masih terdapat kekurangan ketersediaan daging sapi
potong sekitar 686 ton/tahun dan kekurangan tersebut didatangkan dari wilayah surplus sapi potong,
seperti dari NTB dan NTT. Untuk itu program perkembangbiakan/penggemukan sapi potong dari tahun
ke tahun masih terus dilakukan di Kalsel, dengan tujuan secara terus menerus untuk peningkatan populasi

versi elektronik
dan pendapatan masyarakat melalui pola perguliran dan gaduhan yang umumnya diarahkan pada suatu
kelompok peternak di pedesaan. Pola perguliran dan gaduhan bagi hasil program sapi potong tersebut
tentunya sulit diprediksi berapa jumlah dana yang telah dikeluarkan dan juga jumlah ternak yang sudah
disebarkan kepeternak. Tetapi yang jelas bahwa pola perguliran atau gaduhan bagi hasil ternak masih
terus bertahan dan berguna untuk membantu para peternak yang kurang punya modal untuk beternak sapi,
sementara potensi lahan tanaman pangan (padi, palawija) dan perkebunan (kelapa sawit, coklat, kelapa
dalam, karet) sebagai sumber hijauan pakan ruminansia di Kalsel masih cukup banyak yang ditandai
dengan nilai kemampuan tampung tambahan sekitar 645.238 Satuan Ternak setara 920.000 ekor sapi.
Integrasi tanaman-ternak telah memberikan tambahan kegiatan bagi ratusan ribu peternak dan pelaku
lainnya di beberapa tempat di Indonesia. Kegiatan ini tidak terlepas dari adanya peran kerjasama yang
baik dari pihak pemerintah, perusahaan swasta, dan kelompok peternak (Sumanto dkk., 2012).
Produksi sawit dan limbah olahannya juga cukup besar dan berpotensi sebagai bahan pakan ternak,
terutama untuk ternak ruminant (Umar S., 2009). Dengan melimpahnya potensi daya dukung pakan

versi elektronik
setempat berbasis limbah sawit, maka arah pengembangan sapi di perkebunan kelapa sawit adalah dapat
untuk usaha pembibitan, penggemukan dan industri pakan ternak berbasis limbah dan produk samping
kelapa sawit guna mendorong sebagai pusat wilayah pertumbuhan pengembangan sapi potong dalam
rangka revitalisasi dan akselerasi pembangunan peternakan berkelanjutan dan ramah lingkungan. Tujuan
kajian ini adalah untuk melihat seberapa jauh kelanggengan usaha sapi potong pola tersebut di kelompok
ternak terpilih di Kalimantan Selatan.

METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh tujuan kajian ini telah dilakukan survei secara “pusposive sampling” terhadap
beberapa kelompok peternak sapi potong penerima bantuan dari pemerintah (APBD, APBN), perusahaan
(Bank, CSR) dan pribadi di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan selama September-Oktober 2012.
Kajian ini bersifat deskriptif, karena mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi
peternak/kelompok peternak yang melakukan usaha pengembangbiakan atau penggemukan sapi potong
dalam suatu hubungan kemitraan dengan pola gaduhan. Pengumpulan data sekunder diperoleh di Badan

versi elektronik
Statistik setempat, Dinas-dinas terkait dan penelusuran di internet, sedangkan data primer diperoleh
melalui wawancara terhadap para anggota peternak dalam kelompok dengan menggunakan daftar
pertanyaan yang telah disediakan (profil kelompok, produktivitas sapi, pasar, pola gaduhan). Data
terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan dilakukan analisis secara deskriptif (Amir Pervaiz dan H.C.
Knipscheer, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pola Pengembangan Sapi Potong
Program pengembangan/penyebaran sapi dengan tujuan usaha pembibitan atau pengembangbiakan untuk
peningkatan populasi dan penggemukan/pembesaran sapi potong di Kalsel, umumnya dilakukan dengan
pola perguliran atau gaduhan bagi hasil baik yang didanai dari pemerintah melalui APBN/APBD,
perusahaan tambang melalui dana Community Social Responsibility (CSR), maupun swasta modal
sendiri/ perbankan. Pola tersebut diatas dapat ditemui di kelompok peternak di Kalimantan Selatan,

versi elektronik
seperti pada kelompok peternak Harapan Makmur. Pola pengembangan sapi potong melalui model
kemitraan Inti-plasma belum berkembang. Salah satu alasan adalah masih tingginya harga bakalan sapi
yang diperoleh dari luar Kalsel, karena sapi bakalan sampai di Kalsel perlu biaya transport yang tinggi,
sehingga dalam proses penggemukan dan nilai jual sapi belum memperoleh nilai tambah yang berarti bagi
pengelola.

383
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Program Pemerintah
Program pembibitan-pengembangan/ penggemukan sapi potong dari tahun ke tahun cenderung tidak
berubah di Kalsel, yaitu dengan pola perguliran yang umumnya diarahkan pada suatu kelompok

versi elektronik
peternak, seperti kegiatan penjaringan betina produktif, LM3, dan SMD. Tujuan pengembangan sapi
dilakukan dengan memberikan satu atau dua indukan sapi per Kepala Keluarga (KK) (alasan pemerataan)
yang tergabung dalam suatu kelompok peternak dan beberapa pejantan sebagai pemacek yang disesuaikan
dengan kondisi setempat. Model pemeliharaan sapi diarahkan untuk kandang berkelompok, namun tidak
tertutup pemeliharaan sapinya dilakukan pada kandang individu peternak. Secara umum pola perguliran
sapi adalah dalam jangka waktu 5 tahun setiap peternak penerima sapi harus sudah mengembalikan
sejumlah sapi yang diterima terdahulu dan hasil guliran tersebut oleh kelompok digulirkan lagi kepada
peternak yang belum memperoleh bagian guliran sapi.
Model pengembangbiakan sapi di peternak telah dianalisis banyak pakar bahwa hasil nilai tambah yang
dirasakan terlalu lama dan hanya memperoleh keuntungan sedikit oleh peternak. Peternak baru
memperoleh hasil anakan sapi minimal pada tahun kedua, sedangkan satu tahun sebelumnya peternak
perlu mengelola sapi yang tentunya minimal perlu biaya dan tenaga untuk membuat kandang dan sehari-
hari mencari pakan hijauan. Tujuan untuk memperoleh penghasilan dari sapi dalam kurun waktu tertentu

versi elektronik
tidak selalu menjadi sasaran utama, namun yang penting bahwa sapi dipakai sebagai alat tabungan
peternak yang sewaktu-waktu akan dijual bila diperlukan. Dengan kondisi umumnya seperti itu, maka
apabila dilakukan analisis secara bisnis tampaknya bisa berpotensi rugi. Untuk itu model pembibitan sapi
kurang diminati oleh pihak swasta, karena umumnya pertimbangan nilai untung-rugi selalu dipikirkan
dalam kelangsungan usahanya dan kecenderungan nilai sosial masih dinomor duakan.
Pengamatan Matatula MJ (2010) terhadap analisis usaha sapi potong pola gaduhan di Seram Bagian Barat
menyatakan bahwa pola gaduhan sapi potong merupakan salah satu model kemitraaan yang dapat
digunakan untuk pengembangan sapi potong dengan Benefit /Cost (B/C) ratio selama 6 tahun mencapai
1,4 dan Internal Rate of Return (IRR) 30,87% atau diatas tingkat bunga pasar (12%) yang berarti usaha ini
layak dilakukan. Namun meskipun usaha ini layak, tetapi karena waktu yang panjang maka kurang
diminati oleh para pengusaha swasta. Kegiatan seperti ini bisa terjadi sebaliknya, seperti di Kabupaten
Sekadau Kalbar, dimana program tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana dan belum optimal,
seperti yang dilaporkan oleh Wibowo MHS dkk. (2011). Ketidak optimalan pelaksanaan program tersebut
karena peternak belum sepenuhnya mengerti tujuan dan pelaksanaan program, seleksi calon penerima

versi elektronik
tidak sesuai kriteria, pembentukan kelompok tidak sesuai aturan dan spesifikasi ternak bantuan tidak
sesuai dengan kriteria yang tekah ditentukan. Hal ini berbeda dengan usaha penggemukan sapi yang
tampaknya tak bermasalah dalam proses pengelolaannya dan banyak masyarakat yang berminat dalam
usaha ini.
Perusahaan (CSR)
Keikutsertaan perusahaan dalam pengembangan ternak sapi melalui kelompok peternak di Kalsel, salah
satunya adalah Perusahaan Tambang Batubara PT. Adaro melalui dana CSR telah menyebarkan ternak
sapi potong dikelompok peternak, seperti kelompok peternakan Singkubut. Ternak diberikan secara hibah
oleh perusahaan kepada kelompok, tetapi dalam pengelolaannya yang meliputi penyebaran,
pengembangan dan pengawasan diatur oleh pemda masing-masing termasuk dukungan operasionalnya.
Usaha ternak sapi terutama penggemukan cukup mendatangkan keuntungan dari hasil pertambahan
bobiot badan dan kotoran sapi yang akan dipakai sebagai pupuk kandang atau kalau tersedia prasarananya

versi elektronik
dapat digunakan sebagai bahan bakar biogas. Hasil analisis oleh Anonimous (2011a) melaporkan bahwa
usaha penggemukan sapi (lama 3 bulan) mencapai B/Ratio sekitar 1,4 artinya layak diusahakan atau
usaha yang menguntungkan. Disamping itu peran perubahan pakan sangat berpengaruh dalam
meningkatkan nilai tambah untuk penggemukan sapi. Hasil aplikasi teknologi pakan pada penggemukan
sapi telah dianalisis juga oleh Anonimous (2011b) di kelompok Tunas Muda desa Lawas, kecamatan
Takisung Kabupaten Tanah Laut. Laju pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi PO dan Sapi Bali

384
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

yang diberi pakan tambahan dapat meningkat dari pola petani sekitar 0.48 kg/ekor menjadi 0,78 kg/ekor
untuk Sapi PO dan pola petani sekitar 0,28 kg/ekor menjadi 0,53 kg/ekor untuk sapi Bali. Dari hasil
PBBH tersebut, nilai ekonomi keuntungan untuk sapi PO adalah Rp 620.775,-/ekor/bulan dan untuk sapi
Bali Rp 244.775,-/ekor/bulan.

versi elektronik
Integrasi Tanaman-Ternak
Model integrasi usaha tanaman–ternak telah menjadi salah satu pilihan dalam pengembangan
pembangunan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan, dimana diyakini dapat meningkatkan
pendapatan petani/ pelaku usaha melalui diversifikasi usaha. Melalui diversifikasi usaha minimal resiko
adanya kegagalan usaha dari salah satu komoditi yang sedang dijalani dapat ditutupi dari usaha lain yang
masih memberikan nilai keuntungan. Di berbagai lokasi transmigrasi dari Jawa yang mendapat jatah
sejumlah lahan dan umumnya awal lahan digunakan untuk tanaman pangan (padi, jagung, ketela pohon)
dan juga kelapa sawit. Dengan melimpahnya pakan rumput dan limbah hasil tanaman pangan yang terjadi
di wilayah transmigrasi, maka ternak sapi dan kambing menjadi pilihan untuk diusahakan oleh para petani
sebagai tujuan tabungan. Alasan untung rugi tidak menjadi pertimbangan utama karena modal awal ternak
(sapi, kambing) diberikan secara bantuan dari pemerintah yang dikelola model ternak bergulir atau
memperoleh modal dari petani yang kaya dengan cara bagi hasil. Dengan tumbuhnya perkebunan sawit,

versi elektronik
ternak sapi terasa manfaatnya karena hasil kotoran sapi bisa digunakan untuk tambahan pupuk untuk
kelapa sawit dengan cara dicampur dengan pupuk anorganik yang harus membeli. Untuk itu input yang
diperlukan dalam memproduksi satu komoditi dapat dipenuhi sendiri dari output komoditi yang lain,
misalnya kotoran sapi untuk pupuk tanaman sawit, padi, jagung, dll. Apabila kondisi integrasi tanaman-
ternak dijalankan secara efektif dan efisien, niscaya nilai keuntungan keseluruhan usaha dapat meningkat
bila dibandingkan kalau petani hanya melakukan usaha dalam bentuk yang terpisah-pisah (Sumanto,
dkk., 2012).
Dengan demikian pola integrasi tanaman-ternak telah menjadi salah satu simbol program pengembangan
baik untuk komoditi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan dan dalam peternakan sendiri saat ini di
Kalimantan, termasuk di Kalimantan Selatan. Khusus pada lahan perkebunan sawit milik negara yang
diprediksi berpotensi sebagai sumber pakan, sedang dilakukan dalam rangka pemanfaatkan limbah sawit
untuk tujuan produksi dan pengembangan sapi potong secara massal pada tahun 2012 di beberapa
kabupaten terpilih. Kajian tersebut diharapkan tidak hanya dapat memberikan nilai tambah bagi dunia
persapian, tetapi juga nilai tambah kepada pihak perkebunan sawit secara keseluruhan yang awalnya

versi elektronik
hanya sebagai penguasa lahan sawit. Apabila kajian pemanfaatan ternak sapi tersebut dapat memberikan
nilai yang positif bagi usaha perkebunan sawit, maka ini memberi peluang yang besar dalam meningkatan
populasi sapi di Kalimantan Selatan. Apabila harapan ini dapat terwujud dimasa datang, maka Kalsel
sebagai wilayah kekurangan sapi potong saat ini yang selalu mendatangkan bibit/bakalan sapi dari luar
Kalsel akan beralih sebagai wilayah pemasok sapi (Sumanto, dkk., 2011).
Profil Kelompok Peternak Terpilih
Kerberhasilan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sapi potong sebagai upaya untuk
meningkatkan keseimbangan penyediaan dan kebutuhan ternak sapi sangat tergantung pada ketersediaan
bibit baik jumlah dan kualitasnya. Salah satu langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan bibit tersebut
adalah dengan membentuk, membina dan mengembangkan pembibitan sapi potong di berbagai wilayah
yang mempunyai potensi pakan yang memadai dan berbasis kelompok. Meluncurnya dana pemerintah
baik APBD dan APBN serta dana swasta (pribadi dan CSR) dalam bidang ternak sapi baik untuk

versi elektronik
pembibitan dan penggemukan, tampak telah memberikan peningkatan terhadap jumlah populasi sapi dan
membantu kecukupan ketersediaan daging sapi serta dapat menambah penerimaan peternak di Kalsel
yang umumnya kepada kelompok peternak transmigrasi dari P.Jawa. Secara umum penyebaran sapi
pemerintah untuk tujuan pembibitan dan hanya sebagian kecil untuk penggemukan atau dikatakan sebagai
usaha pembesaran sapi. Umumnya pola penyebaran sapi pemerintah dilakukan dengan cara perguliran

385
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

dan diarahkan pada wilayah transmigrasi baik yang sudah lama maupun wilayah transmigrasi baru. Model
ini juga terjadi pada pola gaduhan yang dananya berasal dari pribadi.
Hasil survai kajian ini terhadap kelompok peternak sasaran telah dilakukan pada 3 lokasi terpilih yang

versi elektronik
mewakili substansi sumber pandanaannya, yaitu pola gaduhan sapi potong yang berasal dari pemerintah,
perusahaan swasta dan pribadi. Profil kajian kelompok peternak di ketiga lokasi dipaparkan dalam Tabel
1.
Tabel 1. Profil Kelompok Peternak Sapi Potong
No Karakteristik Pemerintah Perusahan Swasta Pribadi
1 Nama Kelompok Harapan Makmur Singkubut -
2 Lokasi Desa Telaga, Kabupaten Batang Enau, Kabupaten Rantau Badau,
Tanah Laut Balangan Kabupaten Barito
Kuala
3 Jumlah Anggota 31 orang 15 orang -
4 Agroekosistim Lahan Sawit Lahan sawit Lahan sawit
5 Ternak Sapi Pengembangan, Jenis Penggemukan/Pembesar Pengembangan,
sapi ditentukan an. Jenis sapi sesuai jenis sapi sesuai
pemerintah. Umumnya keinginan peternak. keinginan peternak

versi elektronik
sapi Bali Penggemukan : Sapi (umumnya sapi Bali)
Bramman, Simental.
Pembesaran bakalan :
sapi Bali
6 Bentuk Bantuan Uang/ternak/alat (sesuai Uang/ternak Ternak
dgn pedum bantuan) (kesepakatan kelompok
& pemodal)
7 Pola Pemeliharaan Semi-intensif : rumput Intensif : dedak, ampas Semi-intensif :
tahu, rumput, pelepah rumput
daun sawit
8 Tenaga kerja Keluarga Keluarga Keluarga
9 Penanganan kotoran sapi Belum diolah Belum diolah Belum diolah
10 Tujuan usaha Tabungan Penggemukan : bisnis; Tabungan
pengembangbiakan:
tabungan

versi elektronik
Dari ketiga lokasi tersebut tampak bahwa profil usaha sapi potong pada kelompok peternak terletak sama-
sama pada kondisi agroekosistim lahan sawit. Sumber dana berasal dari pemerintah yang di gambarkan
pada kelompok “Harapam Makmur”, umumnya diperuntukkan pada tujuan pengembangan atau
pengembangbiakan sapi potong kepada anggota peternak berupa bantuan sapi betina Bali (induk).
Sumberdana bantuan yang berasal dari perusahaan swasta, yang terkenal dana CSR, umumnya ditujukan
kepada kelompok peternak untuk usaha penggemukan/pembesaran sapi, karena disamping resiko kegiatan
kecil, lebih dapat dikendalikan dan peternak penerima lebih cepat memperoleh hasil karena waktu sekitar
3-6 bulan/periode kegiatan. Untuk itu jenis sapi yang dipelihara adalah sapi Brahman, Simental dengan
pertimbangan dapat memberikan pendapatan yang lebih nyata dibandingkan dengan jenis sapi Bali atau PO.
Sumber dana pola gaduhan pribadi diamati pada peternak-peternak yang ada di Desa Rantau Badau,
Kabupaten Barito Kuala, dimana umumnya usaha sapi potong yang dipilih untuk tujuan
pengembangbiakan sapi jenis Bali dengan pola gaduhan - bagi hasil keuntungan 60% untuk peternak dan

versi elektronik
40% untuk pemodal. Pola pemeliharaan pengembangan/pengembangbiakan sapi kesehariannya dari
ketiga lokasi adalah sama, yaitu dengan pola semi intensif, dimana sapi digembalakan di lokasi terpilih
(lahan sekitar sawit) mulai jam 8.00-17.00 dan sisa waktu lainnya sapi kembali ke kandang tanpa
atau/dengan tambahan rumput yang diperoleh dari mengarit. Namun untuk kegiatan penggemukan sapi
bakalan, dilakukan pemeliharaannya secara intensif dikandang selain diberi pakan rumput ditambah
dengan dedak, ampas tahu/singkong, bungkil kelapa sawit, lumpur sawit sesuai yang ada dan mudah

386
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

didapat di sekitar lokasi. Penambahan pakan padat pada kegiatan penggemukan sapi dimaksudkan agar
pertumbuhan bobot badan harian sapi sesuai yang diharapkan (nilai ekonomis), seperti tidak kurang dari
0.5 kg/hari/ekor. Usaha sapi potong rakyat dikelola oleh keluarga peternak dan termasuk untuk kegiatan
pengembalaan sapi. Pendapatan peternak dari usaha ini hanya berasal dari penjualan sapi, belum dihitung

versi elektronik
dari pemanfaatan kotoran sapi.
Usaha sapi potong yang didanai swasta (misalnya bentuk CSR, seperti oleh PT Adaro yang bergerak
dalam usaha batubara) lebih banyak dalam bentuk usaha penggemukan atau pembesaran bakalan sapi
dengan alasan bahwa lebih menguntungkan dan waktunya lebih pendek sehingga waktu perputaran
modal lebih cepat dibandingkan untuk usaha pembibitan. Waktu penggemukan sapi bakalan sekitar paling
lama 6 bulan, tetapi untuk kegiatan pembesaran sapi dilakukan dalam kurun waktu 8-9 bulan dan
umumnya hasil pembesaran tersebut ditargetkan akan dijual pada bulan lebaran/ haji dengan harapan
harga jual sapi akan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, sehingga sisa hasil
pendapatannya akan lebih besar. Pola pengembalian usaha penggemukan atau pembibitan sapi dilakukan
dengan cara bagi hasil keuntungan melalui proses kesepakatan bersama antara pemodal dan penerima
modal/kegiatan. Sedangkan usaha sapi potong pola Inti-plasma yang terjadi seperti pada agribisnis ternak
ayam ras belum dapat berkembang, karena nilai bisnisnya belum nyata yang disebabkan nilai input tidak
seimbang (harga sapi bakalan tinggi karena ongkos tranport mahal) dengan nilai harga jualnya.

versi elektronik
Sumber Dana dan Kelanggenan Gaduhan
Sumber dana kegiatan usaha sapi pada kelompok ternak di pedesaan berasal dari pemerintah
(APBN,APBD), Kelembagaan Swasta (Bank, CSR) dan Pribadi. Dana pemerintah umumnya untuk tujuan
usaha pengembangbiakan sapi induk, kelembagaan swasta berminat pada usaha penggemukan atau
pembesaran sapi bakalan, dan pribadi bisa bertujuan dikedua usaha tersebut. Pola gaduhan di ketiga lokasi
disajikan pada Tabel 2. Bantuan sapi dari pemerintah atau perusahaan swasta selalu melalui proses
perjanjian tertulis, sedangkan yang bersumber dana pribadi bersifat lisan dan hanya saling menjaga
kepercayaan saja. Pengembangan sapi pola pemerintah digunakan cara perguliran induk dalam waktu
tertentu (umumnya 5 tahun). Untuk kelembagaan perusahaan swasta (CSR) dengan tujuan kegiatan
penggemukan/pembesaran dengan keuntungan pola bagi hasil (50:50 ; 70:30; 60:40) masing-masing
untuk pengelola dan pemodal, namun yang umum adalah porsi 60:40. Lama pola gaduhan ini dapat
bermitra dengan perusahaan swasta Antara 2-5 tahun. Dilihat dari keberlanjutan usaha kegiatan tersebut
di kelompok peternak kurang dapat dipantau setelah masa tenggang waktu gaduhan selesai, karena

versi elektronik
peternak merasa bahwa ikatan perjanjiannya sudah selesai dan kegiatan kelompok peternak selanjutnya
sudah tidak dipantau lagi.
Hal ini terjadi juga pada bantuan dari dana perusahaan swasta (CSR), karena perusahaan tidak selalu
dapat terus memantau kegiatan di kelompok peternak, karena keterbatasan petugas atau ketersediaan dana
bantuan untuk keperluan lainnya. Adapun untuk pola pribadi disesuaikan dengan pola pemeliharaan sapi
yang ada, bisa perguliran induk, kembali anak atau bagi hasil, dan yang umum adalah bagi hasil 50:50
dengan lama waktu gaduhan yang tidak dapat ditebak. Gaduhan sapi potong dana pribadi lebih bersifat
social kepada peternak penggaduh. Pemodal dan penggaduh biasanya mempunyai hubungan persaudaraan
yang baik, apalagi pemodal adalah tokoh masyarakat di wilayah tersebut dan tujuannya adalah untuk
membantu meringankan beban kebutuhan penggaduh, sehingga penggaduh merasa berhutang budi.
Dengan kondisi tersebut, pola gaduhan dari dana pribadi tidak dapat ditentukan berapa lama akan
berakhir. Berakhirnya pola gaduhan dan pribadi, akan terjadi bila penggaduh sudah tidak sanggup lagi
untuk melakukan pemeliharaan sapi karena sudah berumur tua dan untuk memperoleh pakan hijauannya

versi elektronik
sudah kesulitan atau dananya ditarik oleh pemodal karena sesuatu hal. Kelanggengan usaha sapi model
pengembangbiak atau pembesaran melalui gaduhan di dana pribadi umumnya menunjukkan lebih
langgeng atau lama dibandingkan dengan pola pemerintah atau kelembagaan swasta.

387
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 2. Pola Gaduhan Sapi di Kelompok Peternak terpilih


No Karakteristik Pemerintah Perusahan Pribadi
1 Nama Kelompok Harapan Makmur Singkubut Damar Wulan

versi elektronik
2 Tujuan Bantuan Pengembangan Pembesaran/Penggemuk Pengembangan,
an.
3 Bentuk Bantuan Uang/ternak/alat (sesuai Uang/ternak Ternak
dgn pedum bantuan) (kesepakatan kelompok
& pemodal)
4 Aturan Bantuan Bergulir, jangka waktu 5 Pengembangan : 1 ekor Bagi-hasil (50:50;
tahun. Ada perjanjian induk, kembali 1 ekor 60:40), tidak
tertulis dikelompok induk (waktu 5 tahun) + berbatas waktu,
bunga 6%/tahun. perjanjian tidak
Bagi hasil pembesaran : tertulis
(50:50; 70:30; 60:40),
berbatas waktu. Ada
perjanjian tetulis
dikelompok
5 Sangsi Kurang ketat Ketat Tidak ketat, sosial

versi elektronik
6 Monev Kurang Baik Baik
7 Hubungan bantuan Sosial Sosial, Bisnis Sosial, Bisnis
8 Lama keberadaan ternak Maks 5 tahun Tidak menentu Lama, tergantung
kemampuan
peternak
9 Pengaruh pemodal kurang kurang Kuat, ada hubungan
sosial

KESIMPULAN
Bantuan dana pemerintah dan perusahaan swasta dalam kegatan pengembangan dan penggemukan sapi
potong pola gaduhan adalah bersifat sementara (< 5 tahun) dan bermanfaat bagi kelompok peternak. Pola
gaduhan sapi potong dana pribadi akan lebih lama keberlanjutannya dibandingkan dengan kedua pola
yang diutarakan diatas, karena pola gaduhan pribadi ada keterikatan social yang kuat antara pemodal

versi elektronik
dengan penggaduh.

DAFTAR PUSTAKA
Amir Pervaiz dan H.C. Knipscheer. 1989. Conducting On-Farm Animal Research : Procedur and
Economic Analisis. Winrock International Institute, USA and IDRC-Canada.
Anonimous, 2011a. Analisa Usaha Peternakan. Dinas Peternakan. Pemerintah Provinsi Kalimantan
Selatan.
Anonimous, 2011b. Laporan Aplikasi Teknologi Pakan Ternak Ruminansia. Dinas Peternakan.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Matatula Michel Johan. 2010. Analisis Finansial Usaha Peternakan Sapi Potong Pola Gaduhan di
Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Agroforestri : volume V, Nomor :3
Umar Sayed. 2009. Potensi perkebunan kelapa sawit sebagai pusat pengembangan sapi potong dalam

versi elektronik
merevitalisasi dan mengakselerasi pembangunan peternakan berkelanjutan. Universitas Sumatera
Utara.
Sumanto, E. Juarini, Budiarsana, I.W. Mathius. 2011. Analisis Sosial-Ekonomi Pola Integrasi Sapi Sawit
(SISKA) di Lahan Perkebunan. Laporan Sementara Hasil Kegiatan 2011. Balai Penelitian
Ternak-Ciawi.

388
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Sumanto, I. Wayan M., E. Juarini Dan Lisa P. 2012. Laporan Kajian Sapi Potong Pola Inti Plasma di
Kalimantan. Puslitbangnak Peternakan
Wibowo MHS, Budi Guntoro dan Endang Sulastri. 2011. Penilaian Pelaksanaan Program Pengembangan

versi elektronik
Agribisnis Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Sekadau. Kalbar. Buletin Peternakan
Vol.35(2),143-153

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 389


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI SUSU DI JAWA TENGAH


Syarifuddin Nur, Moch Sugiarto, Oentoeng Edy Djatmiko dan Sri Mastuti
Fakultas Peternakan Unsoed; email: syarif_lppslh@yahoo.com

versi elektronik
ABSTRAKS
Tujuan penelitian adalah menghasilkan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri susu yang tepat
berdasarkan berbagai kriteria dan penilaian dari pakar. Sedangkan secara khusus bertujuan: 1)
Mengetahui kinerja kelembagaan agroindustri susu pada koperasi persusuan di Jawa Tengah, 2)
Menghasilkan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri susu pada koperasi persusuan.Metode
penelitian yang digunakan adalah metode survai. Sampel diambil dengan cara stratifed proporsional
random sampling. Variabel yang diamati adalah kinerja kelembagaan agroindustri susu pada koperasi
persusuan di Jawa Tengah.Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja kelembagaan
agroindustri susu pada koperasi persusuan di Jawa Tengah 75% berkategori baik. Hasil analisis strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri susu di Jawa Tengah menunjukkan bahwa strategi yang dapat
dilakukan agar tujuan pengembangan agroindustri persusuan dapat tercapai adalah pembinaan kelompok
usaha bersama (40,9 persen). Kemudian pembinaan sentra industri (33,6 persen) dan pembinaan melalui
pola kemitraan usaha (25,4 persen).

versi elektronik
Kata kunci : Strategi pengembangan , kinerja kelembagaan, agroindustri susu

ABSTRACT
The research objective is obtaining the appropriate development strategy for dairy agroindustry based on
various criterias and evaluation of experts. Specific objectives are described as follow : 1) Knowing of
dairy agroindustry institutions performace for koperasi persusuan (cooperative union of dairy farmers) in
Central Java, 2) Formulation of development strategy for dairy agroindustry institutions at koperasi
persusuan level. Research method applied is based on survey method . Samples are taken by stratifed
proportional random sampling method. Observed variables are institutional performance of koperasi
persusuan in Central Java. The research results indicate that 75% of institutional performance of koperasi
persusuan in Central Java have good performance. The analysis of institutional development strategy of
dairy agroindustrial in Central Java proves that the strategy to achieve agroindustrial development is the
construction of a joint venture group (40.9%). Followed by the construction of centralization site

versi elektronik
coaching of dairy agroindustry industry (33.6%) and through a partnership patterns effort (25.4%)
Keywords: strategy development, institutional performance , dairy agroindustry

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Strategi pembangunan peternakan dalam pengembangan agroindustri yang berkelanjutan menjadi
penggerak pertumbuhan sektor lain, yang pada akhirnya akan meningkatkan dinamika perekonomian
nasional. Indonesia sebagai negara agraris yang berlimpah dengan kekayaan alamnya sudah sewajarnya
apabila menempatkan subsektor peternakan sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan nasional.
Kontribusi subsektor peternakan ditunjukan dari 1) produksi pangan dan bahan mentah bagi proses
produksi di sektor hilir, 2) pasar utama bagi sektor di luar peternakan baik barang maupun jasa, 3)
penyerapan tenaga kerja, kapital dan meningkatkan kesejahteraan peternak, dan 4) neraca perdagangan,
serta 5) keseimbangan lingkungan (Departemen Pertanian, 2009)

versi elektronik
Agroindustri susu mempunyai posisi yang strategis sebagai jembatan yang menghubungkan sektor
peternakan, sektor industri dan sektor perdagangan. Prospek agroindustri susu sebagai salah satu andalan
peternak layak diperhitungkan sebagai sumber pendapatan karena memiliki beberapa keunggulan, antara
lain : (1) mudah dilakukan dan tidak memerlukan ketrampilan yang tinggi, (2) dapat dilakukan dalam
skala kecil maupun besar, (3) dapat dilakukan pada lahan sempit, (4) memberikan pendapatan rutin harian

390
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

dan tidak mengenal musim, dan (5) dapat dilakukan pada dataran tinggi maupun dataran rendah, (6)
spektrum dan prospek pemasaran sangat luas.
Sebagian besar aktor pembangunan peternakan sapi perah di Indonesia yang bergerak pada domain on-

versi elektronik
farm adalah masyarakat yang berada di pedesaan. Usaha peternakan ini sebagian besar merupakan
peternakan rakyat skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan sebagai usaha sambilan yaitu
sebagai sumber tambahan pendapatan, sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan untuk
memenuhi keadaan yang sifatnya mendadak, dan sebagai sumber pupuk organik. Melihat perannya yang
penting ini maka peternakan rakyat khususnya sapi perah seharusnya memperoleh perhatian dan
dukungan serius dari penentu kebijakan
Upaya memberikan masukan kepada penentu kebijakan pembangunan agroindustri susu, perlu dilakukan
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan. Pemahaman akan makna
kelembagaan menjadi penting karena aktivitas disektor peternakan sapi perah baik dalam sektor produksi,
pengolahan (agroindustri), distribusi dan konsumsi melibatkan banyak pihak yang berkepentingan.
Hambatan yang sering adalah upaya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang sering kali
bertentangan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem
yang memandang agroindustri persusuan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pendekatan kesisteman ini

versi elektronik
diharapkan mampu menghasilkan rumusan strategi pengembangan kelembagaan yang komprehensif dan
holistik.
2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah menghasilkan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri susu
yang tepat berdasarkan berbagai kriteria dan penilaian dari pakar serta mampu memberikan manfaat
secara proporsional terhadap pelaku usaha agroindustri susu skala kecil, sedangkan secara khusus
penelitian ini bertujuan sebagai berikut
1. Mengetahui kinerja kelembagaan agroindustri susu pada koperasi persusuan di Jawa Tengah
2. Menghasilkan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri susu pada koperasi persusuan di
Jawa Tengah

METODE PENELITIAN
Tahapan Penelitian

versi elektronik
Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem untuk merekayasa model kelembagaan pengembangan
agroindustri susu di Jawa Tengah. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan:
Tahap awal penelitian terdiri dari studi pustaka dan survai lapangan, analisis kebutuhan, perumusan
masalah dan identifikasi sistem kelembagaan agroindusti susu.
Tahap kedua adalah identifikasi dan klasifikasi kinerja kelembagaan agroindustri susu pada koperasi
persusuan di Jawa Tengah
Tahap penentuan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri susu di Jawa Tengah.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari survai lapang dengan melakukan wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dengan
pelaku terkait dan pakar. Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait dan publikasi dari lembaga-

versi elektronik
lembaga yang relevan dengan penelitian ini.
Metode Analisis
Data dan informasi hasil survey lapang diolah sesuai dengan rancangan metode analisis yang digunakan.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

391
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Metode analisis untuk identifikasi dan klasifikasi kinerja kelembagaan agroindustri susu pada koperasi
persusuan di Jawa Tengah digunakan klasifikasi koperasi menurut Peraturan Menteri Negara Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 22/PER/M.KUKM/IV/2007 tentang Pedoman
Pemerinkatan Koperasi

versi elektronik
Metode analisis strategi pengembangan kelembagaan agroindustri susu dilakukan dengan menggunakan
teknik Analitical Hierarcy Process (AHP)
Kerangka Konseptual Penelitian
Alur pemikiran peneliti dalam penelitian ini terangkai dalam kerangka pemikiran pada Gambar 1.

versi elektronik

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian

1. Agroindustri Susu pada Koperasi Persusuan di Jawa Tengah


Agroindustri susu merupakan industri yang mengolah susu sebagai bahan baku untuk menghasilkan suatu
produk yang mempunyai nilai tambah. Koperasi persusuan yang mengolah susu merupakan koperasi aktif
di unit usaha persusuan yang beranggotakan peternak sapi perah. Provinsi Jawa Tengah memiliki banyak
koperasi persusuan yang tersebar di bagian timur dan selatan wilayah teritorial yang tergabung dalam
organisasi Gabungan Koperasi Susu Indonesia. Sebaran koperasi susu diwilayah tersebut dikenal sebagai
jalur utama pemasaran susu (GKSI Jawa Tengah, 2011). GKSI Jawa Tengah kemudian membentuk
Koperasi Unit Desa (KUD) susu untuk membantu peternak dalam menyediakan sarana dan prasarana

versi elektronik
usaha sapi perah dan jaminan pemasaran susu. Provinsi Jawa Tengah memiliki 21 unit koperasi persusuan
dengan tingkat produksi bervariasi antara 500 sampai 5000 liter per hari (GKSI Jawa Tengah, 2011).
Pengembangan agroindustri susu pada koperasi persusuan masih relatif sangat sedikit terfokus pada
aktifitas produksi. Tahap pengolahan (agroindustri) ditangani oleh industri yang skala besar (Sugiarto dan
Purboyo, 2002). Tingkat ketergantungan koperasi persusuan pada Industri Pengolahan Susu (IPS) sangat

392
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

tinggi, 80 % dari produksi susu dalam negeri digunakan oleh Industri Pengolahan Susu (IPS), 5 % untuk
pedet, 5 % digunakan peternak dan keluarganya, hanya 10 % digunakan koperasi persusuan yang
memiliki usaha agroindustri susu (Luthan, 2011). Hal ini sesuai dengan Nur, S (2012) yang menyatakan
bahwa pemasaran produk susu oleh koperasi susu sebagian besar (86,6%) ke IPS dan hanya 13,4%

versi elektronik
produksi yang diolah menjadi produk lainnya seperti yoghourt, krupuk susu, permen karamel susu dll.
2. Kinerja Agroindustri Susu pada Koperasi Persusuan di Jawa Tengah
Kinerja agroindustri susu adalah hasil dari semua keputusan yang dilakukan secara terus-menerus yang
didasari dengan perencanaan yang telah dibuat oleh perusahaan. Koperasi sebagai badan usaha yang
mengelola persusuan di Jawa Tengah memerlukan pengukuran kinerja yang tepat sebagai dasar untuk
menentukan efektifitas kegiatan usahanya terutama efektifitas operasional bagian organisasi dan
karyawannya berdasarkan sasaran standar dan kriteria yang telah ditetapkan (Mulyadi, 2001). Adapun
tujuannya adalah mengidentifikasi kinerja koperasi pada masing-masing fungsi sehingga dapat berjalan
sesuai dengan yang digariskan (Prihatini, 2011). Penilaian kinerja perusahaan berbeda dengan penilaian
kinerja yang dilakukan pada instansi pemerintah, dimana kegiatan dari perusahaan berorientasi mencari
keuntungan, sedangkan instansi pemerintah berorientasi sosial, sehingga harus mengutamakan kepuasan
masyarakat secara adil dan merata. Himpuni (2008) menyatakan bahwa pengkajian kinerja pada koperasi

versi elektronik
didefinisikan sebagai pengkajian hasil karya koperasi dengan berpedoman pada tujuan dan sasaran yang
sebelumnya sudah ditetapkan bersama oleh para pembina koperasi dan gerakan koperasi. Salah satu
pendekatan untuk melihat kemampuan kinerja koperasi adalah klasifikasi koperasi. Klasifikasi koperasi
adalah suatu penilaian kinerja melalui suatu sistem penilaian yang obyektif dalam suatu periode
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Republik indonesia NOMOR 22/PER/M.KUKM/IV/2007 tentang pedoman pemeringkatan koperasi.
Penjabaran atas kinerja koperasi meliputi keanggotaan sukarela dan terbuka, pengendalian oleh
Pengendalian anggota secara demokratis, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian,
pendidikan dan pelatihan, kerjasama diantara koperasi, dan kepedulian terhadap komunitas. Hasil
penilaian masing-masing faktor utama tersebut disajikan pada Tabel 1
Tabel 1. Hasil penilaian masing-masing faktor pada koperasi persusuan yang tergabung dalam Gabungan
Koperasi Susu Indonesia Jawa Tengah
FAKTOR/INDIKATOR PENILAIAN Pering-

versi elektronik
No KOPERASI SUSU KS PD PP KAK OK PEA KTK SKOR kat
1 Koprasi Pesat 750 1700 1350 750 975 1050 1100 7675 B
2 KUD Jatinom 750 1700 1350 300 750 1050 800 7600 B
3 KUD Cepogo 1.100 1600 1200 575 1575 1050 1100 8200 A
4 KUD Musuk 750 1650 1125 725 1200 1050 1100 7600 B
5 KUD Kota 750 1650 1500 650 1050 1125 1100 7825 B
6 KUD Mojosongo 750 1550 1125 725 1500 1050 1100 7800 B
7 KUD Sumber Karya 900 1350 1500 750 1200 975 700 7375 B
8 KUD Mekar 750 1750 1425 725 1350 1125 1100 8175 A
9 KUD Banyumanik 800 1550 1200 725 1050 1050 1000 7375 B
10 Koperasi Andini 950 1450 1350 800 1200 1050 1100 7900 B
11 KSU Wahyu Agung 800 1650 1500 300 1200 1050 1100 7600 B
12 KUD Gotong Royong 750 1050 1200 300 600 975 1100 5975 C
Rata-rata 816,7 1554,7 1318,7 610,4 1137,5 1050 1033,3
Indikator Capaian 1200 1800 1500 800 2100 1500 1100

versi elektronik
Capaian (%) 68.06 86.34 87.90 76.30 54.16 70.00 93.94
KS : keanggotaan sukarela dan terbuka; PD : pengendalian oleh Pengendalian anggota secara demokratis; PP
: pendidikan dan pelatihan; KAK: kerjasama diantara koperasi; OK : otonomi dan kemandirian; PEA : partisipasi
ekonomi anggota; KTK : Kepedulian terhadap komunitas;

393
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan kinerja koperasi persusuan di Jawa
Tengah berkinerja Baik. Dua koperasi persusuan (16.67 %) yaitu koperasi Cepogo dan Koperasi Mekar
yang mempunyai kinerja Sangat Baik, 75 % berkinerja Baik, sedangkan satu koperasi persusuan (8.33 %)
yaitu koperasi Gotong Royong yang berkinerja Cukup. Hasil penelitian dari beberapa peneliti

versi elektronik
memperlihatkan hal yang sama bahwa kinerja koperasi berada dalam status baik, namun dari tahun ke
tahun cenderung menurun. Penurunan terutama dipengaruhi oleh indikator peningkatan jumlah anggota,
realisasi anggran belanja, keterkaitan usaha koperasi dengan usaha anggota, serta indikator pendidikan
dan pelatihan bagi anggota (Octaviani 2004)
Nilai rata-rata dari masing-masing faktor utama (kriteria penilaian) menunjukan nilai capaian yang
menggembirakan diatas 68 %, hanya satu faktor utama penilaian yaitu otonomi dan kemandirian (OK)
yang rendah baru mencapai nilai capaian sebesar 54.16 %. Faktor utama ini berkaitan dengan penilaian
yang menyangkut dengan kinerja keuangan dan permodalan yang bermuara ke aspek likuiditas yang
meliputi ratio lancar (current ratio); aspek solvabilitas yang meliputi ratio hutang terhadap equitas (debt
to equity ratio) serta aspek profitabilitas yang meliputi ratio margin laba bersih (net profit margin ratio)
return of asset (ROA) dan return of equity (ROE) .
3. Strategi Sistem Kelembagaan Agroindustri Susu pada Koperasi Persusuan

versi elektronik
Pengembangan agroindustri susu pada koperasi persusuan mempunyai peranan penting dalam
meningkatkan nilai tambah dan sekaligus membuka lapangan kerja. Berdasarkan hasil analisis dengan
metode AHP (Analytical Hierarchy Process) diperoleh bahwa strategi pengembangan sistem
kelembagaan agroindustri susu yang tepat adalah dikembangkannya pembinaan kelompok usaha bersama
dan pembinaan sentra industri susu di Jawa Tengah (Gambar 2).

versi elektronik
Gambar 2. Struktur Hirarki Pengembangan agroindustri susu pada koperasi persusuan

versi elektronik
Gambar di atas memperlihatkan bahwa hasil kajian terhadap aktor dengan metode AHP (Analytical
Hierarchy Process), diperoleh bahwa aktor yang mempunyai bobot tertinggi adalah aktor peternak. Oleh
karena itu perlu dikaji peran dan tanggungjawab dari aktor peternak dalam implementasi strategi sistem
kelembagaan agroindustri susu. Peternak merupakan pelaku yang akan menanggung risiko tertinggi
berkaitan dengan sistem jaminan mutu pasokan bahan baku agroindustri susu, karena jika bahan baku

394
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

yang diperolehnya tidak memenuhi standar kualitas akan menghasilkan produk yang mempunyai kualitas
rendah dan mengakibatkan penolakan produk oleh konsumen maupun koperasi persusuan. Selain itu
dengan bahan baku agroindustri susu yang bermutu rendah akan menurunkan nilai jual produk,
mengakibatkan kerugian pihak agroindustri susu.

versi elektronik
Untuk dapat melakukan jaminan mutu pengadaan bahan baku agroindustri susu perlu adanya kerjasama
antara koperasi persusuan dengan peternak sapi perah dalam penyediaan bahan baku yang berkualitas.
Dengan konsep kerjasama ini akan dapat menghindari adanya risiko kualitas yang ditanggung oleh pihak
agroindustri susu, karena risiko kualitas bahan baku telah dipindahkan ke pihak koperasi. Untuk
mendapatkan jaminan mutu dan keberlanjutan usaha yang adil antar kedua belah pihak maka perlu adanya
sistem kerjasama dalam bentuk kelembagaan yang disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak merugikan
pihak yang lain. Bentuk-bentuk kerjasama tersebut seperti kontrak jual beli dengan kualitas tertentu, atau
kontrak pengadaan dan pemrosesan bahan baku menjadi produk jadi secara sharing investasi (Starbird &
Amanor-Boadu, 2007).
Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Daerah Jawa Tengah dalam pengembangan agroindustri susu
yang berpedoman pada Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Bersama tentang Kerjasama Persusuan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur Jawa Tengah No 6 Tahun 2008 dan No 11 Tahun

versi elektronik
2008, yang kemudian dijabarkan dalam Grand Design Pengembangan Persusuan yang meliputi : 1).
Kebijakan Meningkatkan Kerjasama Kelembagaan dalam Upaya Menanggulangi Lost Generation; 2).
Kebijakan Meningkatkan Peluang Pasar Susu untuk Konsumsi Masyarakat; 3). Kebijakan Meningkatkan
Kesejahteraan Peternak Ternak Perah; 4). Kebijakan Meningkatkan Produktivitas Ternak Perah; 5).
Kebijakan Meningkatkan Kualitas Produk (Susu dari Peternak Ternak Perah) dan 6). Kebijakan
Meningkatkan Peluang Penciptaan Industri Susu/Peternakan Ternak Perah yang bisa menyerap tenaga
kerja

SIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kinerja kelembagaan agroindustri
susu pada koperasi persusuan di Jawa Tengah 75% berkategori baik. Berdasarkan indikator-indikator
standar penilaian kinerja koperasi persusuan terdapat satu indikator yang mempunyai nilai capaian rendah
yaitu otonomi dan kemandirian. Hasil analisis strategi pengembangan kelembagaan agroindustri susu di
Jawa Tengah menunjukkan bahwa strategi yang dapat dilakukan agar tujuan pengembangan agroindustri

versi elektronik
persusuan dapat tercapai adalah pembinaan kelompok usaha bersama (40,9 persen). Kemudian pembinaan
sentra industri (33,6 persen) dan pembinaan melalui pola kemitraan usaha (25,4 persen). Untuk
mewujudkan kelembagaan agroindustri susu pada koperasi persusuan yang kuat diperlukan pembinaan
kelompok usaha bersama dan pembinaan sentra industri susu yang berkelanjutan dan terarah

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Rencana Strategis Direktorat Jenderal
Peternakan 2010-2014. Jakarta
Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian Untuk Pascasarjana. : IPB Press. Bogor
GKSI Jawa Tengah. 2011. Profil GKSI Daerah Jawa Tengah. Gabungan Koperasi Susu Indonesia,
Boyolali.
Himpuni, Okwan. 2008. Analisis Kinerja Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber Alam Kecamatan Dramaga

versi elektronik
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Program Sarjana Agribisnis Penyelengaraan
Khusus Departemen 2004
Luthan, F. 2011. Pengembangan Agribisnis Persusuan. Direktotat Jenderal Peternakan. Kementerian
Pertanian. Jakarta
Nur S. 2012. Pelatihan Penerapan Model Pengembangan Klaster Agroindustri Susu Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian - Kementerian Pertanian. 15-19 Oktober 2012

395
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Nur S, E. Gumbira-Said, J.M. Munandar, and Mahfud. 2011. Traceability System Model for Quality of
Gelatine Raw Material of Cattle Hides. Journal Animal Production Vol 12 No 3 September
Octaviani S. 2004. Analisis Kinerja Koperasi pada Koperasi Badan Pusat Statistik Jakarta. Departemen

versi elektronik
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB Bogor.
Prihatini, D. 2011. Pemeringkatan Koperasi dalam Konteks Pemberdayaan Koperasi. Bisma Jurnal
Bisnis dan Manajemen. Vol 5 No. 1 April 2011
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk
Pengambilan Keputusan dalam Situasi Yang Kompleks. Setiono L, penerjemah; Jakarta: Pustaka
Binaman Presindo.Terjemahan dari: Decision Making for Leaders: The Analitical Hierarchy
Process for Decisions in Complex World.
Saxena JP, Sushil and Vrat P. 1992. Hierarchy and classification of program plan elements using
interpretative structural modelling: a case study of energy conservation in the Indian cement
industry. System Practice 7(4):651-670.
Starbird SA., Amanor-Boadu V. 2007. Contact Selectivity, Food Safety, and Traceability. Journal of
Agricultural & Food Industrial Organozation.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 396


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PENGARUH HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN TERHADAP PENDAPATAN


PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG
Tanrigiling Rasyid1, Sofyan Nurdin Kasim1, dan Muh. Erik Kurniawan2

versi elektronik
1
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin; email : villa_mandiri7@yahoo.com
2
Alumni Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin; email : muh.erikkurniawan@ymail.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh harga jual dan volume penjualan terhadap pendapatan
pedagang pengumpul ayam potong di Kota Makassar, untuk mengetahui besarnya kontribusi pengaruh
harga jual dan volume penjualan terhadap pendapatan pedagang pengumpul ayam potong di Kota
Makassar. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2011 – Januari 2012 di beberapa wilayah
Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan melakukan
pengujian hipotesis (eksplanatori). Analisa data yang digunakan adalah rumus pendapatan dan analisis
statistik regresi linier berganda dengan menggunakan dua variabel independen yang meliputi harga jual
dan volume penjualan terhadap variabel dependen pendapatan pedagang pengumpul ayam potong di Kota
Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga jual dan volume penjualan berpengaruh signifikan
terhadap pendapatan pedagang pengumpul ayam potong di Kota Makassar. Sedangkan kontribusi

versi elektronik
pengaruh harga jual terhadap pendapatan sebesar 0,327 atau 32,7% dan kontribusi volume penjualan
terhadap pendapatan sebesar 0,896 atau 89,6%.
Kata kunci : Pedagang Pengumpul Ayam Potong, Harga Jual, Volume Penjualan

ABSTRACT
The research was aimed to determine the effect of the sale price and the volume of sales to revenues of
broilers traders in Makassar City, to determine the contribution influence the selling price and sales
volume to earnings of broilers traders in Makassar City. The research was conducted in November 2011 -
January 2012 in several areas of Makassar City. The research is a quantitative study to test the hypothesis
(explanatory). Analysis of the data used is the formula of revenue and statistical analysis using multiple
linear regression with two independent variables which include the selling price and sales volume to the
dependent variable income of chicken traders in Makassar City. The results showed that the selling price
and sales volume have a significant effect on the income of chicken traders in Makassar City. While the

versi elektronik
contribution of the effect of the sale price to earnings of 0.327 or 32.7% of sales volume and contribution
to the revenues of 0.896 or 89.6% .
Key words : Broiler Traders, Sales Price, Sales Volume

PENDAHULUAN
Pembangunan bidang peternakan merupakan bagian dari pembangunan keseluruhan yang bertujuan untuk
menyediakan pangan hewani berupa daging, susu, serta telur yang bernilai gizi tinggi, meningkatkan
pendapatan, dan dapat menambah devisa serta memperluas kesempatan kerja. Hal inilah yang mendorong
pembangunan sektor peternakan sehingga di masa yang akan datang diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang nyata dalam pembangunan perekonomian bangsa.
Jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun terus diimbangi dengan kesadaran akan arti
penting peningkatan gizi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berimplikasi pada pola konsumsi makanan
terutama protein hewani juga mengalami peningkatan. Jadi, pengembangan subsektor peternakan harus

versi elektronik
dikembangkan melalui peningkatan populasi ternak dan peningkatan produksi.
Melihat kondisi seperti itu, secara ekonomi, pengembangan usaha ternak ayam broiler di Indonesia
khususnya di Propinsi Sulawesi Selatan memiliki prospek bisnis yang menguntungkan karena permintaan
yang selalu bertambah. Hal tersebut dapat berlangsung bila kondisi perekonomian berjalan dengan
normal. Lain halnya secara makro, terjadi perubahan-perubahan secara ekonomi yang membuat

397
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

berubahnya pasar sehingga mempengaruhi permodalan, produksi, dan pemasaran hasil ternak (Hamka,
2009).
Adapun jumlah ternak unggas yang dipotong pada daerah Kota Makassar dapat dilihat pada tabel 1.

versi elektronik
Tabel 1. Banyaknya Ternak Besar dan Kecil Serta Unggas yang di Potong Menurut Jenis Ternak di Kota
Makassar (dalam ekor).
TAHUN
JENIS TERNAK
2006 2007 2008 2009 2010
Sapi 17.701 10.302 8.728 8.732 6.206
Kerbau 2,500 5.741 6.301 3.467 3.471
Babi 5.648 - - 5.197 5.457
Kambing 772 1.017 1.003 724 1.395
Ayam Broiler 706.922 900,040 931.365 843.681 1.069.922
Itik 1.838 1.799 1.871 3.879 4.057
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011.

Adapun jumlah konsumsi dan kebutuhan daging ayam masyarakat Kota Makassar tiap bulannya, dapat

versi elektronik
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Produksi Daging Ternak Unggas Menurut Bulan di Kota Makassar (dalam kilogram).
PRODUKSI
BULAN EKOR
KOTOR (KG) KONSUMSI (KG)
Januari 62.948 47.211 44.064
Februari 12.223 9.167 8.556
Maret 88.441 66.331 61.909
April 77.198 57.899 54.039
Mei 62.019 46.514 43.413
Juni 87.851 65.888 61.496
Juli 95,970 71.978 67.179
Agustus 116.685 87.514 81,680
September 116.773 87,580 81.741

versi elektronik
Oktober 116.648 87.486 81.654
Nopember 116.569 87.427 81.598
Desember 116.597 87.448 81.618
1.069.922 (2010) 802.443 (2010) 748.947 (2010)
JUMLAH
843.681 (2009) 632.763 (2009) 590.570 (2009)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011.

Dari tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa jumlah pemotongan dan produksi daging ayam broiler di Kota
Makassar mengalami peningkatan yang cukup drastis. Maka dari itu terdapat beberapa wilayah di Kota
Makassar yang menjadi daerah penampungan dan pedagang pengumpul ayam potong (Broiler) seperti di
wilayah Kecamatan Mariso, Kecamatan Makassar, dan Kecamatan Biringkanaya. Daerah penampungan
yang dimaksud adalah daerah atau tempat dimana pedagang pengumpul membuat kandang guna untuk
menampung ayam potong untuk selanjutnya di jual ke pedagang selanjutnya.
Salah satu wilayah di Kota Makassar yang memiliki jumlah terbesar daerah penampungan dan pedagang

versi elektronik
pengumpul ayam potong (Broiler) yaitu di Kecamatan Makassar disusul oleh Kecamatan Biringkanaya
dan Kecamatan Mariso. Hal ini dapat dilihat bahwa rata-rata pedagang ayam di pasar, rumah/warung
makan, dan pedagang keliling mengambil serta membeli ayam potong pada pedagang pengumpul yang
terdapat di ketiga kecamatan tersebut. Selain itu, pedagang pengumpul yang terdapat di ketiga kecamatan
tersebut merupakan usaha dagang mitra. Hal ini dapat dilihat bahwa pedagang di daerah tersebut

398
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

memperoleh ayam potong dari beberapa perusahaan peternakan yang bermitra dengan para peternak di
daerah pedesaan.
Fakta lain yang terdapat di lapangan yaitu perbedaan kapasitas daya tampung yang dimiliki oleh setiap

versi elektronik
pedagang pengumpul. Para pedagang pengumpul yang terdapat di ketiga kecamatan tersebut memiliki
perbedaan kapasitas daya tampung mulai yang terkecil sebanyak 200 ekor dengan volume penjualan
berkisar antara 6000 ekor/bulan, sedangkan yang terbesar sebanyak 1000 ekor dengan volume penjualan
30.000 ekor/bulan.
Harga jual dasar ayam potong di daerah ini ditetapkan oleh suatu organisasi pedagang pengumpul
berdasarkan harga pembelian. Penetapan harga jual tersebut dimaksudkan untuk menjaga kestabilan
harga. Kedua hal inilah menyebabkan perbedaan pendapatan yang diperoleh masing-masing pedagang
pengumpul ayam potong di daerah tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dilakukan penelitian mengenai “ Pengaruh Harga
Jual dan Volume Penjualan Terhadap Pendapatan Pedagang Pengumpul Ayam Potong di Kota Makassar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pendapatan Pedagang Pengumpul Ayam Potong di Kota Makassar

versi elektronik
Pendapatan diperoleh setelah penerimaan total dikurangi dengan biaya total. Jadi, tentunya pendapatan
sangat dipengaruhi oleh kedua hal tersebut. Apabila nilai yang diperoleh positif maka usaha tersebut
memperoleh keuntungan. Sebaliknya, bila nilai yang diperoleh negatif berarti usaha tersebut mengalami
kerugian. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekartawi (2003) yang menyatakan bahwa pendapatan
(keuntungan) merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya.
Adapun besarnya pendapatan yang diperoleh pedagang pengumpul ayam potong di Kota Makassar dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Rata-Rata Pendapatan Pedagang Pengumpul Ayam Potong di Kota Makassar.
Volume Penjualan Total Penerimaan Total Biaya Pendapatan
No
(Ekor/Bulan) (Rp./Bulan) (Rp./Bulan) (Rp./Bulan)
1. 6000 111.780.000 106.576.361 5.203.639
2. 9000 192.261.600 186.239.527 6.022.073

versi elektronik
3. 10500 236.670.000 229.811.678 6.858.322
4. 12000 269.928.000 263.378.818 6.549.182
5. 13500 240.327.000 233.656.917 6.670.083
6. 15000 313.346.250 306.464.099 6.882.151
7. 21000 381.892.000 374.057.678 7.834.322
8. 22500 462.645.000 454.052.194 8.592.806
9. 24000 496.800.000 488.806.361 7.993.639
10. 30000 652.740.000 642.247.888 10.492.112
Sumber : Data primer yang telah diolah, 2012.

Pada tabel 3, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan rata-rata pendapatan yang diperoleh pedagang
pengumpul berdasarkan volume penjualan yang dilakukan. Semakin besar penampungan yang
dimilikinya, maka semakin bertambah pula pendapatan yang dimilikinya.
Tetapi lain halnya dengan pedagang pengumpul yang memiliki volume penjualan 12000 ekor dengan

versi elektronik
rata-rata pendapatan Rp. 6.549.182,- ; 13500 ekor dengan rata-rata pendapatan Rp. 6.670.083,- ; 21.000
ekor dengan rata-rata pendapatan Rp. 7.834.322,- dan volume penjualan 24000 ekor dengan rata-rata
pendapatan Rp. 7.993.639,-. Pedagang pengumpul tersebut masing-masing memiliki rata-rata pendapatan
yang lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang pengumpul yang memiliki volume penjualan lebih
kecil dari volume penjualan mereka. Hal ini dapat terjadi akibat pengalaman berdagang masih sedikit,
langganan atau konsumen yang masih sedikit sehingga harga jual yang diberikan tidak terlalu tinggi.

399
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Melihat kenyataan tersebut menunjukkan bahwa usaha dagang ayam potong merupakan usaha yang
potensial dalam memberikan pendapatan kepada pedagang pengumpul di Kota Makassar.
Pengaruh Harga Jual (X1) Terhadap Pendapatan (Y)

versi elektronik
Nilai koefisien regresi untuk variabel harga jual (X1) sebesar 12499,644. Artinya bahwa harga jual
memberikan pengaruh yang searah, dimana jika harga jual naik Rp. 1/kg maka pendapatan pedagang
pengumpul meningkat Rp. 12.499,644 per bulan dengan asumsi variabel lain tetap. Nilai koefisien
korelasi (r) variabel harga jual (X1) sebesar 0,572 menunjukkan bahwa harga jual memiliki keeratan
hubungan yang kuat dan positif terhadap variabel pendapatan pedagang pengumpul (Y). Nilai koefisien
determinannya (r2) yaitu sebesar 0.327 yang berarti bahwa parsial kontribusi variabel harga jual (X1)
sebesar 32,7% terhadap naik turunnya pendapatan pedagang pengumpul.
Nilai thitung variabel harga jual (X1) yaitu sebesar 4,462 dan nilai ttabel sebesar 1,680. Karena thitung > ttabel
(4,462 > 1,680), maka variabel harga jual ayam potong memberi pengaruh nyata terhadap pendapatan
pedagang pengumpul di Kota Makassar. Hal ini dikarenakan harga jual suatu produk akan mempengaruhi
besarnya pendapatan yang akan diterima oleh pedagang pengumpul. Hal ini sesuai dengan pendapat
Astuti (2005) yang menyatakan bahwa harga jual mempengaruhi pendapatan dan kelangsungan hidupnya.
Ini berarti bahwa harga dalam hal ini adalah harga jual suatu produk akan mempengaruhi kelangsungan

versi elektronik
hidup usaha dari pedagang pengumpul.
Pengaruh Volume Penjualan (X2) Terhadap Pendapatan (Y)
Nilai koefisien regresi untuk variabel volume penjualan (X2) sebesar 14563,925. Artinya bahwa volume
penjualan memberikan pengaruh yang searah, dimana jika volume penjualan bertambah 1 ekor maka
pendapatan pendapatan pedagang pengumpul meningkat Rp. 14.563,925 per bulan dengan asumsi
variabel lain tetap. Nilai koefisien korelasi (r) variabel volume penjualan (X2) sebesar 0,947 menunjukkan
bahwa volume penjualan memiliki keeratan hubungan yang sangat kuat dan positif terhadap variabel
pendapatan pedagang pengumpul (Y). Nilai koefisien determinannya (r2) yaitu sebesar 0,896 yang berarti
bahwa parsial kontribusi variabel volume penjualan (X2) sebesar 89,6% terhadap naik turunnya
pendapatan pedagang pengumpul.
Nilai thitung variabel volume penjualan (X2) yaitu sebesar 18,833 dan nilai ttabel sebesar 1,680. Karena thitung
> ttabel (18,833 > 1,680), maka variabel volume penjualan ayam potong memberi pengaruh nyata terhadap

versi elektronik
pendapatan pedagang pengumpul di Kota Makassar. Hal ini dikarenakan volume penjualan
mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pengumpul. Hal ini sesuai dengan pendapat Astuti (2005)
yang menyatakan bahwa semakin besar volume penjualan suatu produk, maka semakin besar pula
pendapatan yang diperoleh pedagang pengumpul. Dengan meningkatnya volume penjualan, maka secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh pedagang pengumpul.
Pengaruh Harga Jual (X1) dan Volume Penjualan (X2) Terhadap Pendapatan Pedagang Pengumpul Ayam
Potong di Kota Makassar
Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
pedagang pengumpul ayam potong di Kota Makassar adalah harga jual dan volume penjualan. Adapun
lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel 15.

versi elektronik 400


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Tabel 15. Rekapitulasi Data Hasil Regresi Linier Berganda.


Koefisien Koefisien T
Variabel Penelitian r2 Sig. Keterangan
Regresi Korelasi (r) Hitung

versi elektronik
Pendapatan (Y)
Harga Jual (X1) 12499.644 0.572 0.327 4.462 0.000 Signifikan
Volume Penjualan (X2) 14563.925 0.947 0.896 18.833 0.000 Signifikan
F Hitung = 197.950 R square = 0.906
F Tabel = 3.23 Constanta = -2,558.105
T Tabel = 1.466 Signifikan pada α = 0,05
Sumber : Data primer yang telah diolah, 2012.

Berdasarkan hasil tabel 14, maka dapat dibentuk suatu persamaan regresi linier berganda sebagai berikut :
Y = -2,558.105 + 12499,644X1 + 14563,925X2
Berdasarkan persamaan regresi di atas, maka diperoleh nilai konstanta sebesar -255.800.000. Hal ini

versi elektronik
menunjukkan bahwa jika tidak ada harga jual dan volume penjualan yang dilakukan oleh pedagang
pengumpul, maka pendapatan pedagang pengumpul akan menurun sebesar Rp. 255.800.000,-. Koefisien
regresi harga jual (X1) sebesar 12499,644 menyatakan bahwa setiap penambahan Rp. 1,- harga jual akan
meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 12.499,644. Sedangkan koefisien regresi volume penjualan (X2)
sebesar 14563,925 menyatakan bahwa setiap penambahan 1 ekor volume penjualan akan meningkatkan
pendapatan sebesar Rp. 14.563,925.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Rata-rata pendapatan yang diperoleh pedagang pengumpul berkisar antara Rp. 5.203.639,- sampai
dengan Rp. 10.492.112,- tiap bulan.
2. Harga jual dan volume penjualan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan pedagang
pengumpul ayam potong di Kota Makassar.

versi elektronik
3. Kontribusi pengaruh harga jual terhadap pendapatan sebesar 0,327 atau 32,7% sedangkan
kontribusi pengaruh volume penjualan terhadap pendapatan yaitu 0,896 atau 89,6%.
4. Volume penjualan paling dominan berpengaruh terhadap pendapatan. Ini dibuktikan dengan
koefisien korelasi volume penjualan yaitu 0,947.
5. Persamaan regresi linier berganda Y = -255.800.000 + 12499,644X1 + 14563,925X2, dimana jika
tidak ada harga jual dan volume penjualan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul, maka
pendapatan pedagang pengumpul akan menurun sebesar Rp. 255.800.000,-.

DAFTAR PUSTAKA
Akhinayasrin, 2011. Definisi Perdagangan dan Jenis Pedagang. http://id.shvoong.com Diakses pada
tanggal 24 September 2011.
Astuti, 2005. Skripsi : Pengaruh Nilai Margin Pemasaran Terhadap Pendapatan Pengrajin Gula Kelapa di
Desa Karang Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Universitas Negeri Semarang,

versi elektronik
Semarang.
Hanafiah, A. M., 2006. Tata Niaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia, Jakarta.
Samualson, A. Paul dan William D. Nordhaus, 1996. Mikroekonomi Edisi Keempat Belas. Penerbit
Erlangga, Jakarta.

401
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Soekartawi, 2002. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian Edisi Revisi. PT. Gajah
Grafindo Persada, Jakarta.
_________, 2003. Agribisnis, Teori, dan Aplikasinya. PT. Gajah Grafindo Persada, Jakarta.

versi elektronik
Swastha, B., 2000. Manajemen Penjualan. PT. BPFE, Yogyakarta.
Sukirno, S., 1997. Pengantar Teori Ekonomi Mikro. CV. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 402


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

PERSEPSI PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN


DI KABUPATEN SINJAI
Veronica Sri Lestari, Djoni Prawira Rahardja, dan Martha Buttang Rombe

versi elektronik
Prodi Peternakan, Fakultas Peternakan UNHAS, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245 Sulawesi
Selatan; email: veronicasrilestari@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi peternak sapi potong terhadap pemanfaatan limbah
pertanian sebagai pakan ternak di kabupaten Sinjai Timur, propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini
dilakukan selama dua bulan yaitu dari bulan Mei sampai Juni 2014. Total sampel adalah 24 peternak sapi
potong yang ditentukan secara random sampling. Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum peternak memelihara ternak sapi potong
secara tradisional. Menurut peternak, limbah pertanian a). bisa menjadi sumber pakan alternatif,
khususnya jika hijauan rumput tidak tersedia terutama saat musim kemarau, b) dijadikan sebagai stok
pakan dengan sentuhan teknologi pakan yaitu pakan komplit, silase dan urea molasses block (UMB).
Persepsi peternak yang menggunakan limbah pertanian sebagai pakan ternak yang diolah secara alami

versi elektronik
adalah termasuk kategori “tinggi”. Namun belum ada peternak yang memanfaatkan limbah pertanian
dengan teknologi fermentasi.
Kata kunci: Limbah pertanian, pakan komplit, persepsi, silase, UMB

ABSTRACT
This study aimed to determine perceptions of beef cattle farmers to use agricultural waste as animal feed
in Sinjai regency, South Sulawesi province. This study was conducted for two month which started from
May until June 2014. Total sample was 24 beef cattle farmers which was choosen through random
sampling. The data consisted of primary data and secondary data. The data were obtained through
observation and interviews by using questionnaires. Data were analyzed by descriptive statistics. The
results showed that in general beef cattle farmers were raising livestock traditionally. Beef cattle farmers
said that: a). crop by-product could be an alternative feed source, particularly if forage grass was not
available, especially during dry season, b) crop by-product can be used as stock feed through technology

versi elektronik
such as complete feed, silage and urea molasses block ( UMB ). Perception of farmers who used crop by-
product as animal feed can be categorized as “high” in natural way. However, they were no farmers
adopted crop by-product which used fermentation technology.
Keywords : agricultural waste, complete feed, crop by-product, perception, silage, UMB

PENDAHULUAN
Pengembangan sapi potong di suatu daerah perlu usaha untuk memanfaatkan limbah pertanian, mengingat
penyediaan rumput dan hijauan pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yang berasal dari limbah
tanaman pangan seperti jerami jagung, jerami padi dan lain-lain ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh
pola pertanian tanaman pangan di suatu wilayah (Febriani dan Liana, 2008).
Upaya pengawetan hijauan makanan ternak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dalam bentuk hay dan
silase. Pengawetan makanan dengan cara dikeringkan atau biasa disebut dengan hay. Hay adalah hijauan
makanan ternak yang sengaja dipotong potong dan dikeringkan dengan bantuan sinar matahari atau

versi elektronik
dengan panas buatan hingga kadar airnya berkisar antara 10 -15%. Pemberian hay untuk ternak sapi dapat
dilakukan secara langsung tanpa pemberian apa apa. Pemberiannya dapat dilakukan sepanjang hari.
Perbandingan antara hay dan rumput segar adalah 1 : 7 artinya 1 kg hay setara dengan 7 kg rumput segar
(UPTD, 2011).
Dari bermacam-macam limbah pertanian yang mempunyai potensi besar sebagai sumber hijauan adalah
jerami jagung. Kualitas jerami jagung sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan dengan teknologi silase

403
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

yaitu proses fermentasi yang dibantu jasad renik dalam kondisi anaerob (tanpa oksigin). Teknologi silase
dapat mengubah jerami jagung dari sumber pakan berkualitas rendah menjadi tinggi serta sumber energi
bagi ternak (Budimulya, 2012).

versi elektronik
Menurut Sariubang dkk (2000), pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak masih sangat rendah yaitu
berkisar antara 34-39%, sedangkan sisanya dibakar atau dikembalikan ketanah sebagai kompos.
Ditambahkan oleh Hidayat dan Purnama (2005), permasalahan pada pemanfaatan jerami padi adalah
rendahnya nilai gizi dan koefisien cerna padi yang merupakan pembatas selain palatabilitas yang rendah.
Untuk meningkatkan nilai gizi, kecernaan sekaligus palatabilitasnya dapat dilakukan melalui proses
fermentasi. Ali dan Noerjanto dalam Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2008) menambahkan bahwa
pemberian jerami hingga 50% dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sapi Madura
sebesar 0,597 kg/ekor/hari.
Kebutuhan ternak ruminansia akan pakan dapat dipenuhi dari pakan hijauan (rumput atau kacang-
kacangan) sebagai pakan basal (utama) dan konsentrat sebagai pakan penguat. Dalam rangka terus
membina pengembangan ternak, maka perlu dikenalkan berbagai teknologi tepat guna kepada
masyarakat. Salah satu teknologi dibidang pakan ternak adalah penggunaan urea molases blok (UMB)
sebagai pakan suplemen pada ternak ruminansia. Menurut Abutani dkk (2010), UMB dapat meningkatkan

versi elektronik
berat badan (0,2-0,45 kg) dan efisiensi penggunaan ransum (1.2 – 2.9), tetapi tidak meningkatkan
konsumsi ransum.
Menurut Simamora (2004), persepsi adalah suatu proses dengan mana seseorang mengorganisasikan, dan
mengintepretasi stimuli ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh. Rakhmat (2004)
menambahkan bahwa persepsi adalah pengalaman seseorang tentang obyek, peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dua faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan persepsi yaitu faktor struktural dan faktor fungsional. Faktor
struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan (stimuli) fisik dan efek-efek syaraf yang
ditimbulkannya pada sistem syaraf individu. Itu berarti secara struktural persepsi ditentukan oleh jenis
dan bentuk rangsangan yang diterima. Sedangkan faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman
masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk ke dalam faktor pribadi, jadi yang menentukan persepsi secara
fungsional ialah karakteristik orang yang memberi respons terhadap rangsangan tersebut.
Effendy (1993) menyatakan bahwa persepsi adalah penginderaan yang dipengaruhi oleh pengalaman,

versi elektronik
kebiasaan dan kebutuhan. Kemampuan mempersepsi antara orang yang satu dengan yang lain tidak akan
sama meskipun mereka sama sama dalam satu organisasi atau kelompok. Hal ini disebabkan persepsi
tersebut dipengaruhi oleh aktivitas komunikasi orang baik ia seorang komunikator atau komunikan.
Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling
baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seorang mengetahui adanya inovasi sampai
mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi
merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).
Kecamatan Sinjai Timur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sinjai dimana sektor
pertaniannya memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat. Penduduknya kebanyakan
adalah petani peternak, terutamanya ternak sapi potong. Kelompok tani-ternak Sipakainge yang berlokasi
di kelurahan Patalassang, kecamatan Sinjai Timur berdiri sejak 21 April 2009, memiliki jumlah anggota
kelompok sebanyak 140 orang. Tidak berbeda dengan para petani peternak dibeberapa daerah, masalah
yang dihadapi adalah ketersediaan pakan dimusim kemarau. Kebanyakan jerami padi yang berlebihan

versi elektronik
dimusim panen, hanya dikeringkan dan ditimbun di tempat penyimpanan untuk pakan ternak sapi potong,
dan sebagian jerami padi dibakar.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui persepsi peternak terhadap
pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak di kelurahan Patalassang, Kecamatan Sinjai Timur,
Kabupaten Sinjai.

404
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan terhitung mulai bulan Mei sampai Juni 2014 di kabupaten
Sinjai Timur, propinsi Sulawesi Selatan. Sampel sebanyak 24 peternak sapi potong diambil secara
random sampling. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Data diperoleh melalui observasi dan wawancara

versi elektronik
dengan peternak sapi potong. Sumber data berupa data primer dan data sekunder.
Analisis Data
Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah statistik deskriptif menggunakan pengelompokan,
penyederhanaan dan penyajian data seperti penggunaan tabel distribusi frekuensi dan pengukuran dengan
menggunakan skala likert (Sugiono,2002).
Menurut Riduwan (2005) skala likert digunakan untuk mengukur persepsi, sikap, dan pendapat seseorang
atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan menggunakan skala likert, maka variabel
yang akan diukur dijabarkan menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel kemudian sub
variabel dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Indikator yang terukur ini dapat
dijadikan titik tolak untuk membuat item instrumen yang berupa pertanyaan atau pertanyaan yang perlu
dijawab oleh responden. Setiap jawaban yang diungkapkan dengan kata-kata dikategorikan sebagai
berikut: Tinggi (3); Sedang (2); Rendah (1).

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi umum lokasi penelitian
Kabupaten Sinjai merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan yang secara administratif
terdiri dari 9 kecamatan, 13 kelurahan desa dan 67 desa. Kabupaten ini terletak 222 km dari Kota
Makassar.
Secara geografis, yang berupa dataran rendah adalah kecamatan Sinjai Utara, Tellu Limpoe dan Sinjai
Timur, sedangkan yang berupa dataran tinggi adalah kecamatan Sinjai Barat, Sinjai Tengah, Sinjai
Selatan dan Sinjai Borong. Salah satu kecamatan terunik adalah Pulau Sembilan yang berupa hamparan 9
pulau. Posisi wilayah kabupaten Sinjai berbatasan dengan kabupaten Bone dibagian Utara, Teluk Bone
dibagian Timur, Goa dibagian Barat dan Bulukumba dibagian Selatan.
Secara Administrasi luas wilayah kabupaten Sinjai adalah 819.96 km² dengan rincian lahan sebagai

versi elektronik
berikut: persawahan: 13.592 Ha, bukan sawah 46.288 Ha dan lain-lain 22.143 Ha. dengan jumlah
penduduk sebanyak 228.879 jiwa yang terdiri dari: pria sebanyak 110.771 jiwa dan wanita sebanyak
118.108 jiwa dengan kepadatan rata-rata 27.913 jiwa/km².
Kabupaten Sinjai menduduki urutan keempat setelah kabupaten Bone, Bulukumba dan Gowa sebagai
sentra produksi dan perbibitan sapi Bali, hal ini ditunjukkan dengan jumlah populasi sapi sebesar 52.477
ekor yang dimiliki oleh 7.836 peternak (Dinas Peternakan Kabupaten Sinjai, 2010) yang sistem
pemeliharaannya sebahagian besar secara tradisional. Pemerintah daerah setempat sangat mendukung
pengembangan ternak sapi yaitu dengan cara melakukan vaksinasi, pemberian obat-obatan, pembinaan,
penyuluhan dan dropping ternak sapi.
Kecamatan Sinjai Timur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sinjai yang memiliki potensi
pengembangan usaha peternakan dan pertanian. Salah satu upaya pemerintah daerah dalam
mengembangkan sektor peternakan dan pertanian di daerah ini adalah melalui pemberdayaan koperasi
tani dan kelompok tani ternak. Koperasi Sipakainge dan Kelompok Tani-Ternak (KTT) Bakka resmi

versi elektronik
dibentuk oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai cq Dinas Peternakan setempat 2 tahun yang lalu dan
berlokasi di kelurahan Pattallasang Kecamatan Sinjai Timur. Koperasi Sipakainge diketuai oleh bapak H.
Firdaus dan Kelompok Tani-Ternak Bakka oleh bapak Ismail.
Melihat potensi, struktur topografi dan pemanfaatan lahan di wilayah Kecamatan Sinjai Timur, maka
dapat dikatakan bahwa pengembangan usaha peternakan di wilayah ini memiliki potensi yang sangat
cerah, namun demikian masih rendahnya introduksi teknologi yang menyebabkan masih rendahnya

405
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

pengetahuan para petani/peternak tentang teknologi peternakan menyebabkan pengembangan usaha


peternakan berjalan lambat.
Karakteristik responden

versi elektronik
Rata-rata usia responden adalah 44 tahun, dengan usia paling muda adalah umur 30 tahun dan tertua
adalah 59 tahun. Rata-rata pengalaman responden adalah 15 tahun, terendah adalah 9 tahun dan paling
lama adalah 20 tahun. Rata-rata kepemilikan ternak adalah 4 ekor, yang terendah adalah 2 ekor dan
tertinggi adalah 8 ekor. Rata-rata pendidikan responden adalah lulusan SMP.
Persepsi peternak
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa persepsi peternak sapi potong terhadap pemanfaatan
limbah pertanian sebagai pakan ternak adalah 100% termasuk kategori tinggi terutama dalam bentuk hay.
Dalam penerapannya, 100% peternak memanfaatkan limbah pertanian khususnya jerami padi tanpa
sentuhan teknologi pengolahan limbah. Para peternak hanya melakukan proses penjemuran limbah
pertanian kemudian disimpan ditempat teduh, sehingga tidak ada peningkatan nilai gizi dari limbah
tersebut. Sebagian limbah pertanian dibakar. Faktor utama
rendahnya pemanfaatan limbah pertanian dengan sentuhan teknologi adalah faktor kurang motivasi dari

versi elektronik
peternak untuk melakukannya. Untuk mengatasi rendahnya motivasi peternak, diperlukan pembinaan dan
penyuluhan dari Dinas Peternakan setempat. Alasan kedua adalah tingkat kerumitannya. Peternak merasa
terlalu rumit untuk melakukan pengolahan limbah pertanian dengan teknologi fermentasi, disamping itu
para peternak sudah terlalu tersita waktunya sebagai petani dan peternak. Alasan ketiga adalah faktor
biaya terutama untuk pengadaan peralatan dan bahan baku. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Abdullah dkk (2014), yang mengatakan 55.21% peternak sapi potong di kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan tidak memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Peternak yang mengetahui
pemanfaatan limbah pertanian melalui sentuhan teknologi fermentasi adalah 56,25%. Persepsi peternak
terhadap pemanfaatan limbah pertanian termasuk kategori rendah karena pengetahuannya kurang.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa persepsi peternak sapi potong di desa Patalasang
kecamatan Sinjai Timur, kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan terhadap pemanfaatan limbah pertanian
secara alami termasuk kategori “tinggi”. Limbah pertanian bisa menjadi sumber pakan alternatif serta stok

versi elektronik
pakan dengan sentuhan teknologi fermentasi. Namun dalam penerapannya, diperlukan pembinaan dan
penyuluhan dari Dinas Peternakan setempat secara kontinyu untuk meningkatkan motivasi peternak.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A., H.M. Ali dan J. Syamsu. 2014. The farmer’s perception on crop-by product utilization as
feed for beef cattle in Bulukumba regency, South Sulawesi, Indonesia. Asian Journal of
Agricultural Extension, Economics & Sociology. 3(2): 129-137.
Abutani, S.A., S. Rahim dan Noverma. 2010. Respon pemberian “blok suplemen” berbasis bahan lokal
terhadap pertambahan bobot badan sapi. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 5(1): 65-69.
BPTP Gorontolo. 2008. Pemanfaatan Jerami Padi dan Jagung untuk Pakan Ternak. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, Gorontalo.
Budimulya. 2012. Teknologi Pembuatan Silase Jagung untuk Pakan Sapi Potong. http://www.total-

versi elektronik
fm.co.id/index.php/the-news/639-technologi-pembuatan-silase-jagung-untuk-pakan-sapi-potong.
Diakses pada tanggal 20 Mei 2014.
Dinas Peternakan Kabupaten Sinjai. 2010. Sinjai dalam Angka. Sinjai.
Effendy, O.U. 1993. Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung.

406
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto 14 Juni 2014. ISBN:978-979-9204-98-1

Febrina, D. dan M. Liana. 2008. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia pada peternak
rakyat di kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurnal Peternakan 5 (1): 28 – 37.
Hidayat dan R. Denny Purnama. 2005. Pemanfaatan Jerami Padi Fermentasi (Jpf) sebagai Pakan

versi elektronik
Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Banyu Resmi Kabupaten Garut. Prosiding Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. PT. Rosdakarya Group, Bandung.
Riduwan. 2007. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Cetakan Ketujuh. CV. Alfabeta.
Bandung.
Simamora, .2004. Perilaku Konsumen. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sugiyono. 2008. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.
Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran,
Yogyakarta.
UPTD. 2011. Hay (Rumput Kering). UPTD Berbibitan Ternak, Bantaeng.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 407


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PERFORMA CENTERING DATE METHOD DALAM PENAKSIRAN PRODUKSI SUSU SAPI
PERAH
Agus Susanto, Setya Agus Santosa, dan A.T. Ari Sudewo

versi elektronik
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK
Metode alternatif untuk mencatat produksi susu salah satunya adalah Centering Date Method (CDM).
Performa CDM dalam menaksir produksi susu per laktasi pada sapi perah kebanyakan dilakukan pada
data sesungguhnya sehingga hasilnya sangat tergantung dari contoh data yang digunakan Tujuan dari
penelitian adalah mengevaluasi performa CDM pada penaksiran produksi susu sapi perah. Dua ukuran
yang digunakan dalam mengevaluasi performa tersebut yaitu (1) persen deviasi dan (2) korelasi antara
total produksi per laktasi taksiran dan harian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik simulasi
kompter. Produksi susu sapi perah laktasi pertama disimulasikan menggunakan incomplete gamma
function dari Wood. Interval pencatatan yang diuji adalah satu (1M), dua (2M), tiga (3M), empat (4M),
lima (5M), enam (6M), tujuh (7M), dan delapan (8M) mingguan. Sebanyak 500 individu induk sapi perah
disimulasikan dalam penelitian ini yang kemudian diulang sebanyak 1000 kali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa CDM akan menghasilkan taksiran yang cenderung over estimate dibanding total

versi elektronik
produksi harian kecuali pencatatan dengan interval satu mingguan. Korelasi antara produksi taksiran
dengan produksi aktual harian masuk dalam kateogori positip rendah hingga sedang. Semakin panjang
interval pencatatan maka akan semakin rendah ketepatan CDM dalam menaksir produksi susu. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) hubungan antara produksi aktual harian dengan produksi
taksiran CDM akan menurun keeratannya sejalan dengan bertambahnya interval pencatatan (2)
penyimpangan antara produksi taksiran CDM dengan produksi aktual harian akan meningkat sejalan
dengan bertambahnya interval pencatatan dan (3) performa CDM dalam penaksiran produksi susu sapi
per laktasi lebih baik menggunakan koefisien korelasi antara produksi aktual harian dengan produksi
taksiran.
Kata kunci: Centering Date Method, produksi susu, sapi perah, fungsi incomplete gamma Wood

ABSTRACT
One of alternative methods of milk recording in dairy cattle is Centering Date Method (CDM). The

versi elektronik
performance of CDM in predicting milk production per lactation in dairy cattle were mostly studied
through on-farm data which are subject to sampling error and thus the results depend very much on the
samples used. The objectives of this study were to assess the performance of CDM in predicting milk
yield on different recording intervals. Two measures used in assessing the performance of CDM were
percent deviation and correlation between actual and the predicted milk yield of CDM. The study was
conducted through stochastic simulation approach. Milk yield of dairy dams of first lactation were
simulated following Wood incomplete gamma function. Intervals of recording tested were one (1W), two
(2W), three (3W), four (4W), five (5W), six (6W), seven (7W), and eight (8W) weeks. As many as 500
individual milk record were simulated in thi study and the the study was repeated 1000 times. The
resuklts showed that the predicted milk yield of CDM tended to be over estimated except that of with one
week (1W) recording interval. The correlations between the predicted and the the actual daily milk yield
were in the category of postive low to postiive medium. The longer recording interval the lower was the
accuracy of CDM in predicting milk yield. It can be concluded as follows: (1) the strength of relationship
between the actual and predicted milk diminshed as the recording interval was prolonged, (2) the

versi elektronik
deviation between the actual and predicted milk yield increased as the recording interval was prolonged,
and (3) the performance of CDM in predicting milk yield of dairy cattle per lactation is better done using
correlation ceofficient between daily actual milk yield and predicted milk yield.
Key words: Centering Date Method, milk yield, dairy cattle, Wood incomplete gamma function

408
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENDAHULUAN
Produksi susu sapi perah akan diperoleh mulai dari saat seekor induk sapi beranak hingga sampai ke masa
kering. Dalam suatu laktasi, produksi susu sapi didefinisikan mulai beberapa hari setelah beranak (paska
kolostrum) hingga masa kering ketika induk sapi mulai dikawinkan kembali untuk kebuntingan yang

versi elektronik
berikutnya. Masa laktasi standar sapi perah adalah sekitar 305 dan dengan masa kering 60 hari maka
diharapkan seekor induk sapi akan bisa beranak setiap tahunnya.
Produksi susu yang bisa diperoleh setiap hari tersebut membuat kegiatan pencatatan produksi susu
menjadi menyita tenaga dan waktu jika pencatatannya dilakukan setiap hari. Ditinjau dari aspek volume
data yang tersedia, maka hal ini akan menjadi masalah tersendiri ketika data yang banyak tersebut akan
digunakan misalnya pada kegiatan evaluasi mutu genetik ternak. Teknik pencatatan parsial (sebagian)
dari suatu masa laktasi induk sapi sudah diterapkan di negara-negara maju misalnya oleh Dairy Herd
Improvement Association (DHIA, USA). Beberapa metode sudah dikenalkan untuk menaksir produksi
susu per laktasi dari model pencatatan parsial misalnya Centering Date Method (CDM; Sargent et al.,
1968) dan Test Interval Method (TIM; Sargent et al., 1968), incomplete gamma function (Wood, 1967),
projection factors (Shook et al., 1980), dan Best Prediction (BP; Cole dan VanRaden, 2006). Kebanyakan
evaluasi mutu genetik ternak sapi perah di negara-negara maju sudah tidak menggunakan catatan penuh
satu periode laktasi tetapi menggunakan catatan parsial (test day) misalnya Vargas et al. (1998), Kaya et

versi elektronik
al. (2003), Bohmanova et al. (2009) dan Strabel dan Jamrozik( 2006). Meskipun aplikasi sistim
pencatatan produksi susu parsial sudah lama diterapkan di negara-negara maju, di Indonesia aplikasi
sistim ini belum pernah dipublikasikan.
Studi mengenai evaluasi performa CDM dalam penaksiran produksi susu sapi per laktasi telah dilakukan
dengan menggunakan produksi susu sapi yang sesungguhnya (misalnya Farhangfar dan Rowlinson, 2007)
yang hasilnya akan sangat tergantung dari pengambilan contoh dari data yang tersedia. Oleh karena itu,
penelitian ini akan mengevaluasi performa CDM dalam penaksiran produksi susu sapi per laktasi
menggunakan pendekatan simulasi komputer. Tujuan dari penelitian adalah mengevaluasi performa
CDM pada penaksiran produksi susu sapi perah. Dua ukuran yang digunakan dalam mengevaluasi
performa tersebut yaitu (1) persen deviasi dan (2) korelasi antara total produksi per laktasi taksiran dan
harian.

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian dilakukan melalui simulasi komputer dengan membuat produksi susu harian induk sapi selama
satu masa laktasi. Data produksi susu sapi harian selama 305 hari pada 1000 ekor induk sapi perah laktasi
pertama disimulasikan menggunakan incomplete gamma function dari Wood (1967) dengan parameter
mengikuti Congleton dan Everett (1980). Nilai galat (e~N[0,1]) ditambahkan pada fungsi incomplete
gamma function sehingga produksi seekor induk sapi pada hari pemerahan tertentu disimulasikan
mengikuti formula di bawah ini:
𝑦𝑡 = 𝑎𝑡 𝑏 𝐸 −𝑐𝑡 + 𝑒
yt = produksi susu induk sapi pada hari pemerahan t
a = 18.820 kg
b = 0.23576 kg
c = 0.005441 kg
t = hari pemerahan selama masa laktasi, t: 1, 2, … 305 hari
E = bilangan eksponensial (E=2,71828)

versi elektronik
e = angka acak normal dengan nilai tengah nul dan simpang baku 1 (e~N(0,1))
Nilai galat (e) disimulasikan menggunakan pembangkit angka normal random FORTRAN (Press, et al.,
1989) yang pada data yang besar akan memiliki nilai tengah nul dan simpang baku satu.
Persen deviasi dihitung menggunakan rumus:

409
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(𝑃𝐶𝐷𝑀 − 𝑃𝐻 )
𝐷= 𝑥 100 %
𝑃𝐻
PCDM produksi taksiran menggunakan metode CDM adalah dan PH adalah produksi harian aktual. Korelasi

versi elektronik
antara dua peubah diukur menggunakan koefisien korelasi Pearson (Steel dan Torrie, 1992). Simulasi
dilakukan dengan menggunakan ulangan 500 kali dan kode program ditulis dengan bahasa FORTRAN
90. Program simulasi dikompile menggunakan GNU FORTRAN Compiler (Stallman, 2003). Simulasi
dilakukan pada komputer HP ProBook 4341s yang memiliki Processor Intel® Core™ i5-3210MCPU @
2.50GHz, RAM 4.00GB dengan sistim operasi (Operating System) Linux Ubuntu 14.05.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Contoh data hasil simulasi data menggunakan fungsi incomplete gamma dari Wood (1967) disajikan pada
Gambar 1. Produksi susu induk sapi mulai dari hari pemerahan pertama hingga 305 membentuk kurva
laktasi seperti yang diharapkan. Produksi susu akan meningkat hingga sampai pada puncak produksi yang
dicapai kurang lebih pada pemerahan hari ke 50-60 selanjutnya akan menurun perlahan-lahan hingga
memasuki masa kering. Kurva laktasi sapi perah FH seperti ini sudah umum diketahui namun variasi di
lapang masih dijumpai yaitu produksi susu induk sapi tidak mengikuti kurva laktasi tersebut. Hal-hal
tersebut bisa disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya manajemen pemeliharaan dan infeksi mastitis.

versi elektronik
Efek interval pencatatan produksi baik pada persen deviasi dan korelasi produksi susu per laktasi taksiran
dan produksi aktual disajikan berturut-turut pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hubungan paling erat antara
produksi taksiran CDM dengan produksi per laktasi aktual dijumpai ketika interval pencatatannya adalah
satu mingguan dengan koefisien korelasi 0.37. Jika diukur dengan persen deviasi maka interval
pencatatan satu mingguan ini akan menghasilkan penyimpangan sebesar 0.94 % lebih rendah
dibandingkan dengan produksi harian aktual.
Plot data produksi aktual harian dengan produksi taksiran CDM dengan interval pencatatan 1, 4 dan 8
minggu disajikan berturut-turut pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4. Interval pencatatan yang
semakin panjang (1 minggu hingga 8 minggu) menyebabkan menurunnya keeratan hubungan antara
produksi aktual harian dengan produksi taksiran dengan metode CDM. Metode CDM dalam menaksir
produksi pada hari-hari yang tidak dilakukan pencatatan hanya menggunakan interpolasi datar dengan
mengalikan produksi susu pada pencatatan hari tertentu dengan jumlah hari interval pencatatannya.

versi elektronik
Metode CDM ini tidak mengadopsi trend baik peningkatan produksi sebelum puncak produksi dan trend
penurunan (persistensi) produksi pasca puncak produksi. Grafik hubungan antara interval pencatatan
dengan koefisien korelasi dan persen deviasi divisualisasikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Tabel 1. Statistik persen deviasi antara produksi aktual dengan produksi taksiran CDM
Statistik DH,1W DH,2W DH,3W DH,4W DH,5W DH,6W DH,7W DH,8W
Minimum -1.25 0.43 1.93 0.47 2.09 6.98 8.38 6.77
Maksimum -0.63 1.34 3.33 1.69 3.69 8.66 10.30 8.74
Mean -0.94 0.88 2.63 1.11 2.80 7.69 9.32 7.78
SD 0.11 0.16 0.20 0.23 0.27 0.29 0.31 0.34
Keterangan: DH,xW adalah persen deviasi antara produksi harian aktual dengan produksi taksiran interval pencatatan x minggu
(x=1, 2, …, 8); SD adalah simpang baku dari 1000 kali ulangan.

Tabel 2. Statistik korelasi antara produksi aktual dengan produksi taksiran CDM
Statistik rH,1W rH,2W rH,3W rH,4W rH,5W rH,6W rH,7W rH,8W

versi elektronik
Minimum 0.25 0.14 0.07 0.05 0.03 -0.01 0.02 0.01
Maksimum 0.48 0.43 0.34 0.34 0.29 0.29 0.31 0.26
Mean 0.37 0.27 0.22 0.19 0.17 0.16 0.15 0.14
SD 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.05 0.04 0.04
Keterangan: rH,xW adalah koefisien korelasi antara produksi harian aktual dengan produksi taksiran interval pencatatan x minggu
(x=1, 2, …, 8); SD adalah simpang baku dari 1000 kali ulangan.

410
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pengaruh interval pencatatan metode CDM pada persen deviasi berbanding terbalik dengan pengaruh
interval pencatatan pada korelasi antara produksi aktual harian dengan produksi taksiran metode CDM.
Hal ini seperti yang diharapkan bahwa semakin panjang interval pencatatan maka kesalahan taksiran
produksi dari metode CDM ini akan semakin besar. Namun demikian, pola peningkatan persen deviasi

versi elektronik
ketika interval pencatatan meningkat lebih fluktuatif dibanding dengan peningkatan koefisien korelasi
ketika interval pencatatannya diperpanjang. Hasil ini menunjukkan bahwa performa CDM dalam
penaksiran produksi susu lebih baik diukur menggunakan korelasi antara produksi aktual dengan produksi
taksiran CDM dibandingkan menggunakan persen deviasi. Pada populasi sapi perah dengan kurva laktasi
yang lebih datar (tidak memiliki puncak produksi yang terlalu tinggi dan persistensinya baik) diduga
taksiran produksi CDM dan produksi aktualnya akan memiliki hubungan yang lebih erat dan memiliki
simpangan yang lebih kecil untuk setiap interval pencatatan yang sama.

versi elektronik
Gambar 1. Plot hari saat pemerahan dengan produksi Gambar 2. Plot produksi susu aktual harian dengan
susu induk produksi taksiran CDM satu mingguan

versi elektronik

versi elektronik
Gambar 3. Plot produksi susu aktual harian dengan
produksi taksiran CDM empat mingguan

411
Gambar 4. Plot produksi susu aktual harian dengan
produksi taksiran CDM delapan mingguan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
.

0.40 10.00
Koefisien korelasi

versi elektronik
0.30

Persen deviasi
5.00
0.20
0.10
0.00
0.00 1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8
-5.00
Interval pencatatan (minggu) Interval pencatatan (minggu)

Gambar 5. Hubungan antara interval pencatatan dengan Gambar 6. Hubungan antara interval pencatatan dengan
koefisien korelasi persen deviasi
.

versi elektronik
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) hubungan antara produksi harian aktual dengan
produksi taksiran CDM akan menurun keeratannya sejalan dengan bertambahnya interval pencatatan (2)
penyimpangan antara produksi taksiran CDM dengan produksi aktual harian akan meningkat sejalan
dengan bertambahnya interval pencatatan dan (3) performa CDM dalam penaksiran produksi susu sapi
per laktasi lebih baik dievaluasi menggunakan kriteria koefisien korelasi antara produksi aktual harian
dengan produksi taksiran.

DAFTAR PUSTAKA
Bohmanova, J., F. Miglior and J. Jamrozik. 2009. Use of Test-Day Records Beyond Three Hundred Five
Days for Estimation of Three Hundred Five–Day Breeding Values for Production Traits and
Somatic Cell Score of Canadian Holsteins. J. Dairy Sci. 92 :5314–5325.
Cole, J.B. and P.M. VanRaden. 2006. Genetic Evaluation and Best Prediction of Lactation Persistency. J.
Dairy Sci. 89:2722–2728.

versi elektronik
Congleton JR, W.R. and R.W. Everett. 1980. Application of the Incomplete Gamma Function to Predict
Cumulative Milk Production. J Dairy Sci 63:109-119.
Farhangfar, H. and P. Rowlinson. 2007. Genetic Analysis of Wood’s Lactation Curve for Iranian
Holstein Heifers. Journal of Biological Sciences 7(1):127-135.
Kaya, I., Y. Akbas and C. Uzmay. 2003. Estimation of Breeding Value for Dairy Cattle Using Test-Day
Milk Yields. Turk. J. Vet. Anim. Sci. Vol 27: 459-464.
Press, W.H., B.P. Flannery, S.A. Teukolsky and W.T. Vetterling. 1989. Numerical Recipes: The Art of
Scientific Computing (FORTRAN Version). Cambridge University Press. Meulbourne, Australia.
Sargent, F.D., V.H. Lytton and O.G. Wall Jr. 1968. Test Interval Method of Calculating Dairy Herd
Improvement Association Records. J. Dairy Sci. 51:170–179.
Shook, G.E., E.L. Jensen, and F.N. Dickinson. 1980. Factors for Estimating Sample-Day Yield in AM-

versi elektronik
PM Plans. DHI Letters 56:25–30.
Stallman, R.S. 2003. Using the GNU Compiler Collection. GNU Press, Free Software Foundation.
Boston, USA.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1992. Principles and Procedures of Statistics. New York: McGraw-Hill.

412
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Strabel, T. and J. Jamrozik. 2006. Genetic Analysis of Milk Production Traits of Polish Black and White
Cattle Using Large-Scale Random Regression Test-Day Models. J. Dairy Sci. 89:3152–3163.
Vargas, B., E. Perez, and J.A.M. Van Arendonk. 1998. Analysis of Test Day Yield Data of Costa Rican

versi elektronik
Dairy Cattle. J Dairy Sci 81:255–263.
Wood, P.D.P. 1967. Algebraic Model of the Lactation Curve in Cattle. Nature, 216:164-165.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 413


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
EARLY PREGNANCY DIAGNOSIS OF COW WITH PSP – B LEVELS IDENTIFICATION
Aryogi, D. Ratnawati, dan Y. Adinata
Beef Cattle Research Station, Jl. Pahlawan, Grati – Pasuruan, East Java; email: aryogia@gmail.com;

versi elektronik
dian_sapo@yahoo.co.id; adinatayudi@yahoo.com

ABSTRACT
Delay information of pregnancy will less efficient reproductive performance of cow, so it is needed an
earlier pregnancy detect method. The presence of Pregnancy Specific Protein B (PSP – B) in blood of
cow since early pregnant, can be used for it. Aim of research to obtain data of PSP – B levels in Ongole
Crossing cow. Research done for 180 days at research stall of Beef Cattle Research Station and for 30
days at Veterinary Medicine Faculty in Airlangga University; using 20 heads cow who are not pregnant
and normal its follicle development, also 2 heads bulls. Observed 24 hours/day during 120 days for
mating events, every cow who mated is collected its blood sample on 2th, 4th, 8th, 16 th and 30 th days after
mated. Analysis blood serum using ELISA method and only carried out from pregnant cow. Parameters :
levels of PSP – B and progesterone in a few days pregnant. The data presented descriptively. The results
showed : PSP – B and progesterone levels at pregnant age : 2 days = 1.25 and 0.54 ng/ml; 4 days = 2.32
and 0.60 ng/ml; 8 days = 4.84 and 1.44 ng/ml; 16 days = 9.48 and 1.76 ng/ml; also 30 days = 8.24 and

versi elektronik
2.12 ng/ml. Conclusion: identification of early pregnancy for local beef cows, through PSP – B levels in
blood, can be performed on 2th day after occurrence of fertilization.
Keywords : Ongole Crossing cow, PSP – B, early pregnant diagnosis.

ABSTRAK
Informasi terjadinya kebuntingan yang terlambat akan menurunkan efisiensi performans reproduksi sapi
induk, sehingga diperlukan adanya metode untuk mendeteksi kebuntingan secara dini. Keberadaan
Protein B Spesifik Kebuntingan (PSP – B) di darah sapi induk sejak awal umur kebuntingan, dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kebuntingan dini tersebut. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data
kadar PSP – B pada sapi Peranakan Ongole (PO) induk. Penelitian berlangsung selama 180 hari di
kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong dan selama 30 hari di Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga, menggunakan 20 sapi PO induk yang tidak bunting dan perkembangan folikelnya
normal, serta dua sapi PO pejantan. Dilakukan pengamatan terjadinya perkawinan selama 120 hari; setiap

versi elektronik
hari selama 24 jam; kemudian setiap sapi induk yang dikawini di ambil sampel darahnya pada hari ke 2,
4, 8, 16 dan 30 dari perkawinannya. Analisis sarum darah menggunakan metode ELISA dan hanya
dilakukan terhadap sapi yang terbukti bunting. Parameter yang diamati : kadar PSP – B dan hormon
progesteron pada beberapa hari umur kebuntingan. Data disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan : kadar PSP – B dan progesteron pada umur kebuntingan : 2 hari = 1,25 dan 0,54 ng/ml; 4
hari = 2,32 dan 0,60 ng/ml; 8 hari = 4,84 dan 1,44 ng/ml; 16 hari = 9,48 dan 1,76 ng/ml; serta 30 hari =
8,24 dan 2,12 ng/ml. Disimpulkan : identifikasi kebuntingan secara dini pada induk sapi potong lokal,
melalui kadar PSP – B darah, dapat mulai dilakukan pada hari kedua setelah terjadinya kebuntingan.
Kata kunci : PO induk; PSP – B, diagnosis kebuntingan lebih dini.

INTRODUCTION
A cow who did not have reproductive process can still to normal life, but it have less/not efficiently
maintained. Efforts to improve to reproductive performance cow will be very important part in the effort
to increase population of cattle, if followed by ability to detect early pregnancy.

versi elektronik
Delay aware of a pregnancy at a cow, will become a negative impact on intake of nutrient deficiency and
pregnancy safety threat that already exists, so that is one factor that can cause of beef cattle reproductive
performance cow becomes less efficient (Lamaster et al., 2001). Therefore, ability to be able to identify
the earlier occurrence of pregnancy in a cow, is expected to a positive impact avoidance of feed nutrients
intake that do not enough to physiological needs of pregnant cows, as well as avoiding a young pregnant

414
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
cows to be mated again. The aim of this research was to obtain baseline data about presence (levels) of
specific protein B in early pregnant cows.
Pregnancy early detection in cattle can be done with identification of substances that are formed since

versi elektronik
beginning of pregnancy (known as early pregnancy factor (EPF), which it detect specific substances
contained in blood and milk as “Bovine Pregnancy Associated Glycoprotein” or bPAG (Hafez (2000),
also through identification of non specific substances in blood, urine or milk during pregnancy such as
progesterone, estrone sulfate (Samik and Safitri, 2010). Aulanni'am , et al. (2004) states, a specific
antigen that produced from insulating EPF and classified as a specific substance of bPAG , it was Protein
B or often called Pregnancy Specific Protein B (PSP-B)
Protein B is one of the specific substance in form of a glycoprotein, it is resulted and secreted into blood
by binukleat tropoblast cells of placenta stem (Green et al., 2000), is secreted into blood began less than
one day after fertilization, its level increases in next few days, then to decline and disappear after 21 to 30
days from fertilization, so its presence/levels in bovine blood has been used as a means of identifying
early pregnancy (DuPlants, 2000) .

RESEARCH METHODS

versi elektronik
This research was conducted for 180 days at an experimental stall of Beef Cattle Research Station
(BCReS) and for 30 days at Faculty of Veterinary Medicine, Airlangga University. The research is began
with prepare 20 heads of Ongole Crossing (OC) cow which its rectal palpation results indicate that not
pregnant and normal its follicle development, also with select 2 heads of OC bull who have been
accustomed to natural mating. Livestock are maintained in two stalls with comparison of cows : bull is 10
: 1 (Figure 1).

versi elektronik
Figure 1 . Cattles material and its stall of this research
Research in experimental stall of BCReS consists of 120 days for mating cows and blood samples
collecting, also 60 days for get enough of old pregnant to can be rectal palpation, in order to obtain
certainty and old pregnant cows.
Blood sampling technique is every cows that have been known of its time and date mating (resulted of
observation during 24 hours/day for 120 days), blood samples were taken immediately on the first day (as
a control ) and then day 2th, 4th, 8th, 16th and 30th after mating ; the section in jugular vein ; as much as 8
ml ; and using tubes without anti-coagulant. Samples were immediately stored at temperatures 50 C for
about 60 minutes, then centrifuge with 4000 rpm speed for 15 minutes. Serum is formed in upper layer
are transferred to evendoff and stored in freezer for waiting to be analyzed (Figure 2). Blood serum
samples that will be analysis of its protein B and progesterone levels at the end of the study, are only from

versi elektronik
cows that found positive pregnant.

415
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Figure 2. Blood collecting and process of making blood serum samples
Analysis of protein level using kit B CUSABIO from China and progesterone level using kit GB corp

versi elektronik
from Taiwan. Analysis of hormone progesterone is needed to ensure that cattles who analysis her protein
B level is positive and has remained pregnant.
During this study, cows were given ration that containing crude protein 9 – 10 %, crude fiber ≤ 22 % and
TDN 55 – 60 %, ad libittum control giving (dry matter more than 3% of its body weight cattle).
Observation of ration nutrient consumption is done during 2x24 hours/every month.
Parameters were observed :
a. time and body condition score (BCS) cows at mating
b. protein B and progesterone levels in some pregnant old
c. ration nutrients consumption .
Analysis of data : the data obtained are presented descriptively

versi elektronik
RESULTS AND DISCUSSION

Time and body condition score cows at mating


Data of time and BCS of cows at mating that produced pregnancy, in Table 1. The data shows that 19 of
20 cows had been mated and successful pregnant. To be suspected, it related with BCS of cattle that
supported estrous cycles is normal and fertile. BCS of not pregnant cow who is too low (according to
Barry, et al. ( 2007) under 5.5), tends to cause abnormalities of ovulation so cows are not able to show
signs of her estrus Putro, 2007). Kunkle and Sand (2003) provide guidance, cows who will be mated,
expected to have BCS between 5.5 to 6.5 (on a scale of 1 to 9).
Protein B and progesterone levels in some pregnant old
The data of analysis results for protein B and progesterone levels in some pregnant old, showed in Table 2
and in Figure 3. The data in Table 2 or Figure 3 shows that :

versi elektronik
a. at 2 days pregnant old, protein B presence/levels can already be detected. Protein B levels appear
higher and peaked at about 16 days of pregnant old, and then tended to decline in about 30 days pregnant
old. This results are identical to statement of DuPlants (2000), that is protein B has been produced by
zygote begin no more than 24 hours since fertilization, its levels will continue to rise in next few days,
than will decreases and disappears after 21 to 30 days of fertilization. DuPlants not mention how much
protein levels in several early mating old in cattle, while resulted of this study can inform it.

416
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Table1. Time and BCS cows at mating
Cows Time and BCS cows at mating
number dates Time Body weight (kg) BCS (1 – 9)

versi elektronik
01 17 april 12.47 379 6,0
02 4 april 14.00 and 20.15 374 5,5
03 28 april 08.15 and 10.00 379 5,5
04 07 april 05.45 376 6,0
05 06 mei 9.20 380 6,0
06 14 april 13.00 and 14.40 383 6,5
07 02 april 19.15 and 23.20 380 6,5
08 28 april 14.50 and 16.35 381 6,0
09 24 april 18.30 384 5,5
10 16 mei 07.35 385 6,5
11 13 april 16.30 382 5,5
12 07 mei 08.30 and 10.40 384 6,0
13 12 mei 6.30 385 6,0
14 13 april 10.30 and 11.00 381 5,5

versi elektronik
15 11 mei 23.05 and 24.45 383 6,0
16 06 april 11.30 and 12.45 379 6,0
17 12 mei 16.30 383 6,0
18 23 april 18.30 382 6,0
19 09 mei 20.10 and 22.20 384 5,5
20 -- Never mating 382 5,5

Table 2. Protein B and progesterone levels in some pregnant old (ng/ml)


Pregnant old (days)
Hormon
2 4 8 16 30
Protein B 1.25 ± 0.75 2.32 ± 1.21 4.84 ± 3.67 9.48 ± 7.45 8.24 ± 7.64

versi elektronik
Progesterone 0.54 ± 0.47 0.60 ± 0.43 1.44 ± 0.64 1.76 ± 0.56 2.12 ± 0.69

b . based on protein B content in above, effort toward identification of early pregnancy in cattle by
identifying its presence/level of protein B, can be performed after the 2th days until 30th days from mating.
c. progesterone hormone levels continue to rise slowly appear until about 30 days pregnant. Increased
levels of progesterone is one indicator, that cows that are analyzed its content protein B was experiencing
pregnancy. Hawsky (2008) explained, progesterone is produced by corpus luteum (CL), so that cow is
pregnant after ovulation, its CL will produce progesterone with higher and higher levels to suppress
hypothalamus, and anterior pituitary inhibits release of LH and FSH (Leslie, 2003) ; prevent subsequent
ovulation by inhibiting development and maturation of follicles (Britt, 2008), also prepare uterine
endometrium for implantation and care of early pregnancy (Atkins et al., 2010).

versi elektronik 417


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

10
9
8

versi elektronik
Level (ng/ml)

7
6 Protein B
5
4 Progesteron
3
2
1
0
2 4 8 16 30
Pregnancy (day)

Gambar 3. Protein B and progesterone level in some pregnant old


Ration nutrients consumption

versi elektronik
Data of ration nutrients consumption observed, are listed in Table 3. Appears that giving dry matter ration
more than 3% of body weight was not able to entirely consumed by cattle. However, when seen BCS
cow, ration nutrients intake is enough to cows, so it does not interfere with pregnancy.
Table 3 . Average of ration nutrients consumption of cow
Ration nutrients consumption (kg/head/day)
observation
Dry matter PK TDN
th
1 month 10.76 ± 2.11 1.04 ± 0.20 6.03 ± 1.08
2th month 10.91 ± 1.47 1.04 ± 0.18 6.00 ± 0.77
3th month 11.26 ± 1.39 1.10 ± 0.11 6.42 ± 0.69

versi elektronik
CONCLUSION
Identification of early pregnancy on local cattle through presence protein B levels in blood cattle, can be
performed on the second day after fertilization and formed zygote/embryo.

REFERENCES
Atkins, J.A., M.F. Smith, K.J. Wells and T.W. Geary. 2010. Factors affecting pre ovulatory follicle
diameter and ovulation rate after gonadotropin-releasing hormone in postpartum beef cows. Part
II: Anestrous cows. J. Anim. Sci. 88 :2311-2320. 3 November 2011.
Aulanni’am. 2004. Prinsip dan Teknik Analisis Biomolekul. Cetakan Pertama. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Press. Malang. Hal. 28-45.
Barry, D.P., K.A. MacDonald, K. Stafford, L. Matthews and J.R. Rache. 2007. Associations between
body condition score, body weight and somatic cell count and clinical mastitis in seasonally

versi elektronik
calving dairy cattle. J. Dairy Sci. 90: 637 – 648.
Britt, J.H. 2008. Oocyte development in cattle: physiological and genetic aspects. Re-vista Brasileira de
Zootecnia. R.Bras.Zootec, v.37,suplemento especial p.110-115.
DuPlants, L.J. 2000. Early Pregnancy Factor. Lifeissues. Net. Kochi, Japan. All Right Reserved. Pp 1-2.

418
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Green, J.A., S. Xie, X. Quan, B. Bao, X. Gan, N. Mathialagan, J.F Beckers and R.M Robert. 2000.
Pregnancy Associated Glycoproteins Exhibit Spatially and Temphoraly Distinct Expressions
Pattern During Pregnancy. Biol Reprod. 62 : 1624-1631.

versi elektronik
Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7th. Ed. Lippincott Williams and Wilkins. A Wolters
Kluwer Company. Philadelphia. 172-181.
Hawsky, W. H., 2008. Follicular Development. On-line Histology Lab Talk. 6 Nov 2011.
Kunkle, W.E. and R. S. Sand. 2003. Effect of Body Condition on Rebreeding. IFAS Extension.
University of Florida.
Lamaster, J.W., J.V. Yelich, J.R. Kemfler, J.K. Fullenwider, C.L. Bernett, M.D. Fanning and J.P. Selph.
2001. Effectifness of GnRH plus Prostaglandin F2 Alpha for estrus synchrozation in cattle of Bos
indicus breeding. J. Anim. Sci. 79. Issue 2:309 – 316.
Leslie, K.E. 2003. The Events of Normal and Abnormal Postpartum Reproductive Endocrinology and
Uterine Involution in Dairy Cows: Can Vet J. 1983; 24: 67-71. A Review. 6 November 2011.
Putro, P.P. 2007. Pengaruh defisiensi nutrisi pada reproduksi sapi betina. Apre-siasi Peternak Sapi

versi elektronik
Potong. Dinas Pertanian D.I.Y. Yogyakarta, 2 Juli 2007.
Samik, A. dan Safitri, E. 2010. Eksplorasi Protein Spesifik Pregnancy Associated Glyco-protein (PAG)
Air Susu Sapi Perah Sebagai Biomarker Untuk Pengembangan Diagnosis Kebuntingan Secara
Laboratoris. DIPA STRATNAS 2010.

versi elektronik

versi elektronik 419


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
EKSPRESI RESIDU GULA GLIKOPROTEIN PADA MUKOSA UTERUS DAN
PERUBAHANNNYA SELAMA PERKEMBANGAN OVIDUK AYAM PETELUR
Bambang Ariyadi1 dan Yukinori Yoshimura2

versi elektronik
1
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia; email: b_ari2005@yahoo.com
2
Graduate School of Biosphere Science, Hiroshima University, Japan

ABSTRAK
Residu gula pada mucin glikoprotein mempunyai peranan penting dalam pencegahan invasi
mikroorganisme pada mukosa epitelium di oviduk ayam. Residu gula tersebut dapat diidentifikasi dengan
menggunakan lectin. Lectin mengikat residu gula spesifik pada glikoprotein dengan afinitas tinggi. WGA
lectin mengikat N-acetylglucosamine (GlcNAc) dan N-acetilneuraminic acid (sialic acid). Jacalin lectin
mengikat galactose (Gal) dan N-acetylgalactosamine (GalNAc). MAA lectin mengikat α-2,3 sialic acid
Galactose (di kenal sebagai receptor virus avian influenza). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi
residu gula pada glikoprotein pada mucosa uterus ayam dan perubahannya selama perkembangan uterus
ayam. Penelitian ini menggunakan ayam petelur Leghorn putih pada fase bertelur (laying) dan fase
molting. Untuk mengetahui keberadaan WGA dan Jacalin lectin pada mucosa uterus ayam menggunakan
metode Western blot. Untuk mengetahui keberadaan MAA lectin pada mucosa uterus menggunakan

versi elektronik
metode histochemistry. Residu gula glikoprotein hasil dari MAA lectin pada fase laying terdeteksi pada
permukaan mukosa uterus ayam, dan intensitasnya meningkat pada fase molting. Dengan metode Western
blot, terlihat pita spesifik dari residu gula glikoprotein hasil dari WGA dan Jacalin lectin. Dimana pita
tersebut mengalami perbedaan berat molekul antara fase laying dan fase molting. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa permukaan mukosa pada uterus ayam mengandung GlcNAc, GalNAc, dan sialic
residu pada fase bertelur dan meningkat pada fase molting.
Kata kunci: Oviduct ayam, Molting, Gula glikoprotein, Lectin histochemistry, Western blot.

ABSTRACT
Sugar residues may be incorporated into the glycoprotein of mucin and also be responsible for the
attachment of microorganisms to the mucosal epithelium. Sugar residues could be identified and
characterized by lectins. Lectins bind to a specific sugar residue of glycoprotein with high affinity. WGA
lectin binds to N-acetylglucosamine (GlcNAc) and N-acetilneuraminic acid (sialic acid). Jacalin lectin
binds to galactose (Gal) and N-acetylgalactosamine (GalNAc). MAA lectin binds to α-2,3 sialic acid

versi elektronik
Galactose. The present study aimed to detect the sugar residues of mucin glycoprotein in the mucosa of
Isthmus, Uterus, Vagina and its changes by oviductal growth. White Leghorn hen and molting hens were
used. The presence of WGA and Jacalin lectin in the mucosal of uterus were examined by Western blot.
The presence of MAA lectin in the mucosal of uterus were examined by histochemistry. Sugar residues
stained by MAA lectins were expressed in surface epithelium of isthmus, uterus, vagina of laying hen,
whereas their density was likely increased in the non laying hen. In the Western blot analysis showed the
band of sugar residues for both WGA and Jacalin lectin, whereas there are differences on molecular
weight between laying and molting hen. These results suggest that the surface epithelium in the oviduct
contained GlcNAc, GalNAc, and sialic residues.
Key words: Hen oviduct, Molting, Glycoprotein, Lectin histochemistry, Western blot,

PENDAHULUAN
Jaringan mucosa pada oviduct berfungsi sebagai pertahanan fisik untuk menjaga agar jaringan yang

versi elektronik
berada di bawahnya tetap sehat. Sel-sel epitel pada jaringan mucosa membentuk garis pertahanan
terhadap invasi mikroorganisme dari luar jaringan. Permukaan sel epitel tersebut di lapisi oleh lapisan
mucus yang melindungi sel epitel dibawahnya dari invasi mikroorganisme (Corfield et al., 2000; Perez-
Vilar, 2007; Linden et al., 2008a). Lapisan tersebut mengandung glikoprotein mucin yang dihasilkan
(diproduksi) oleh sel-sel epitel jaringan mucosa (Gendler and Spicer, 1995; Linden et al., 2008a). Residu

420
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
gula pada glikoprotein mucin berperan penting dalam interaksi terhadap mikroorganisme untuk mencegah
invasi mikroorganisme tersebut pada jaringan mukosa (Van Poucke et al., 2010).
Residu gula pada glikoprotein dapat diidentifikasi menggunakan lectin. Lectin mampu mengikat residu

versi elektronik
gula pada glikoprotein dengan afinitas yang tinggi. Lectin wheat germ agglutinin (WGA), yaitu lectin dari
Triticum vulgaris, dapat mengikat secara spesifik terhadap N-acetylglucosamine (GlcNAc) dan N-
acetylneuraminic acid (sialic acid). Lectin jacalin, yaitu protein utama dari biji nangka (Artocarpus
heterophylus), dapat mengikat secara spesifik terhadap galactose (Gal) and N-acetylgalactosamine
(GalNAc) (Kabir, 1998; Tatsuzuki et al., 2009; Fallis et al., 2010). Jung et al. (2011) telah melaporkan
bahwa sel-sel epitelium dan sel-sel tubular gland pada magnum oviduk ayam bereaksi positif terhadap
lectin WGA. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengandung residu gula GlcNAc dan sialic
acid. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi residu gula pada glikoprotein pada mucosa uterus ayam
dan perubahannya selama perkembangan uterus ayam. Residu gula pada glikoprotein pada jaringan
mukosa pada oviduk ayam fase bertelur (laying) dan fase molting dideteksi menggunakan lectin WGA,
MAA, dan jacalin dengan metode western blot dan histochemistry.
Secara umum, sistem mucosal barrier yang dibentuk oleh lapisan mucus, sel-sel epitel yang diikat oleh
tight junction, dan aktivitas sel-sel leukosit, mempunyai peranan penting untuk mencegah invasi dari

versi elektronik
mikroorganisme pada jaringan mucosal oviduk ayam. Lapisan mucus, mengandung glikoprotein mucin,
mempunyai kemampuan untuk membentuk pertahanan fisik, dan agen pembusuk terhadap
mikroorganisme (Linden et al., 2008a). Glikoprotein mucin juga berperan mencegah invasi
mikroorganisme dengan cara menghambat adesi bakteri pada permukaan jaringan mukosa (Berry et al.,
2002). Glikoprotein mucin juga mempunyai aktifitas sebagai antimicrobial dan juga membawa agen
antimicrobial yang lain (Linden et al., 2008b). Glikoprotein mucin yang berlokasi pada permukaan sel
mukosa, juga berperan untuk menginisiasi intracellular signaling sebagai respon dari invasi bakteria.
Dengan demikian glikoprotein mucin dapat berperan sebagai penghalang fisik (barrier) dan reporting
function pada permukaan sel epitael pada mukosa oviduk ayam. (Linden et al., 2008a). Tight junctions
pada epithelial mukosa berfungsi sebagai paracellular barrier yang melindungi jaringan di bawahnya dari
invasi dan toxin mikroorganisme (Van Italie and Anderson, 2006; Forster, 2008; Goto and Kiyono, 2012).
Tight junctions pada epithelial mukosa tersebut membentuk variable barrier yang mengatur perpindahan
molekul melintasi epitelium secara paracellular dan menjaga homeostasis (Gonzales-Mariscal et al.,
2003; Itoh and Bissel, 2003; Angelow et al., 2008). Jika mikroorganisme tersebut mampu mengatasi dan

versi elektronik
melewati epithelial barrier, dan bereplikasi di jaringan mukosa, maka sel-sel darah putihn (sel fagosit)
termasuk monosit/ makrofag, atau polymorphonuclear leukocytes (PMNs) akan mendeteksi, menelan, dan
menghancurkan mikroorganisme tersebut (Murphy et al., 2007; Macia et al., 2012).

METODE PENELITIAN
Hewan percobaan
Penelitian ini menggunakan ayam petelur White Leghorn fase bertelur (laying) dan fase molting. Ayam -
ayam tersebut dipelihara dan diperlakukan (treatment) menurut aturan penelitian pada hewan percobaan
dari Hiroshima University, Jepang. Ayam-ayam tersebut berumur sekitar 500 hari dan ditempatkan pada
kandang individu. Pada kelompok ayam laying, yaitu telah menhasilkan 4 atau lebih telur dalam satu seri
peneluran, di beri akses pakan pakan dan minum secara ad libitum. Pada kelompok ayam molting, ayam
di beri pakan terbatas (25 g/d) dan air minum secara ad libitum. Perlakuan tersebut akan menginduksi
penghentian produksi telur setalah 5 – 7 hari setelah perlakuan. Ayam kelompok molting diambil

versi elektronik
sampelnya setelah 20 hari berhenti bertelur.
Lectin histochemistry
Sampel jaringan mukosa pada oviduk ayam fase laying dan fase molting diambil dan difiksasi dalam
formalin 10%. Jaringan tersebut kemudian dilakukan dehidrasi dalam alcohol berseri, dan dibenamkan
dalam larutan paraffin. Selanjutnya dilakukan irisan jaringan, dan diletakkan pada slide glass. Irisan

421
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
jaringan dideparafinasi dan diinkubasi dengan 5% (v/v) normal goat serum selama 30 menit. Kemudian
diinkubasi semalam dengan biotinylated MAA pada konsentrasi 20 μg/ml. Selanjutnya diinkubasi dengan
avidin-biotin-peroxidase complex selama 1 jam. Kemudian diinkubasi dengan DAB-H2O2., diwarnai
dengan hematoxylin, didehidrasi, dan di beri kaca penutup.

versi elektronik
Western blot analisis
Sampel jaringan mukosa pada oviduk ayam fase laying dan fase molting diambil dan dihomogenisasi
dengan lysis buffer. Kemudian larutan tersebut diukur kandungan protein dan dimasukkan dalam sumuran
sodium dodecyl sulfate-polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Setelah dielektroforesis dengan
SDS-PAGE, membrane dari SDS-PAGE tersebut dilakukan metode western blot. Membrane tersebut
diinkubasi dengan 5% (v/v) normal goat serum selama 30 menit. Kemudian diinkubasi semalam dengan
biotinylated WGA dan Jacalin pada konsentrasi 20 μg/ml. Selanjutnya diinkubasi dengan avidin-biotin-
peroxidase complex selama 1 jam. Kemudian diinkubasi dengan DAB-H2O2 untuk melihat pita spesifik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengamatan histologi menunjukkan bahwa permukaan epitelium pada mukosa oviduk terdapat ciliated
pseudostratified epithelium dan terdapat tubular glands pada lamina propria di isthmus and uterus pada

versi elektronik
kelompok laying. Pada kelompok molting, tinggi mucosal epithelium mengalami penurunan pada tiap
segmen oviduk, tubular glands pada isthmus and uterus mengalami regresi.
Hasil dari MAA -lectin histochemistry disajikan pada Gambar 1. Pada kelompok laying, jaringan positif-
MAA terdapat pada cilia yaitu pada permukaan mucosal epithelium di vagina, uterus and isthmus. Pada
kelompok molting, jaringan positif-MAA juga terdapat pada cilia pada permukaan mucosal epithelium di
vagina, uterus and isthmus. Pada kelompok molting ini intensitas jaringan positif MAA relative
meningkat dibandingkan dengan kelompok laying.
Pada analisis western blot WGA, jaringan mukosa vagina kelompok laying dan molting terdapat satu pita
spesifik, sedangkan pada jaringan mukosa uterus dan isthmus terdapat dua pita spesifik. Pada analisis
western blot Jacalin, jaringan mukosa vagina kelompok laying dan molting terdapat satu pita spesifik,
sedangkan pada jaringan mukosa uterus dan isthmus terdapat dua pita spesifik. Dengan metode western
blot, terlihat pita spesifik dari residu gula glikoprotein hasil dari WGA dan Jacalin lectin. Dimana pita
tersebut mengalami perbedaan berat molekul antara fase laying dan fase molting.

versi elektronik

versi elektronik
Gambar 1. Lectin histochemistry menggunakan MAA pada vagina, uterus and isthmus pada kelompok
laying (a-c) dan kelompok molting (d-f). Jaringan positif-MAA terdapat pada cilia pada permukaan
mucosal epithelium di vagina, uterus and isthmus. Pada kelompok molting, jaringan positif-MAA juga
terdapat pada cilia pada permukaan mucosal epithelium di vagina, uterus and isthmus.

422
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik

versi elektronik
Gambar 2. Analisis western blot menggunakan lectin wheat germ agglutinin (WGA) dan Jacalin pada
vagina, uterus dan isthmus pada kelompok laying (L) dan kelompok molting (M). a-c = lectin WGA; d-f
= lectin Jacalin . Pada analisis western blot dengan lectin WGA, jaringan mukosa vagina kelompok laying
dan molting terdapat satu pita spesifik, sedangkan pada jaringan mukosa uterus dan isthmus terdapat dua
pita spesifik. Pada analisis western blot dengan lectin Jacalin, jaringan mukosa vagina kelompok laying
dan molting terdapat satu pita spesifik, sedangkan pada jaringan mukosa uterus dan isthmus terdapat dua
pita spesifik.

KESIMPULAN

versi elektronik
Residu gula glikoprotein hasil dari MAA lectin pada fase laying terdeteksi pada permukaan mukosa
uterus ayam, dan intensitasnya meningkat pada fase molting. Dengan metode Western blot, terlihat pita
spesifik dari residu gula glikoprotein hasil dari WGA dan Jacalin lectin. Dimana pita tersebut mengalami
perbedaan berat molekul antara fase laying dan fase molting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
permukaan mukosa pada uterus ayam mengandung GlcNAc, GalNAc, dan sialic residu pada fase bertelur
dan meningkat pada fase molting.

DAFTAR PUSTAKA
Angelow S, Ahlstrom R, and Yu AS. 2008. Biology of claudins. American Journal of Physiology, Renal
Physiology, 295: 867-876.
Berry M, Harris A, Lumb R, and Powell K. 2002. Commensal ocular bacteria degrade mucins. The
British Journal of Ophthalmology, 86:1412-1416.
Corfield AP, Myerscough N, Longman R, Sylvester P, Arul S, and Pignatelli M. 2000. Mucins and

versi elektronik
mucosal protection in the gastrointestinal tract: new prospects for mucins in the pathology of
gastrointestinal disease. Gut, 47:589-594.
Fallis LC, Stein KK, Lynn JW, and Misamore MJ. 2010. Identification and role of carbohydrates on the
surface of gametes in the zebra mussel, Dreissena polymorpha. The Biological Bulletin, 218:61-
74.

423
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Forster C. 2008. Tight junctions and the modulation of barrier function in disease. Histochemistry and
Cell Biology, 130:55-70.
Gendler SJ and Spicer AP. 1995. Epithelial mucin genes. Annual Review of Physiology, 57:607-634.

versi elektronik
González-Mariscal L, Betanzos A, Nava P, and Jaramillo BE. 2003. Tight junction proteins. Progress in
Biophysics and Molecular Biology, 81:1-44.
Goto Y and Kiyono H. 2012. Epithelial barrier: an interface for the cross-communication between gut
flora and immune system. Immunological Reviews, 245:147-163.
Itoh M and Bissell MJ. 2003. The organization of tight junctions in epithelia: implications for mammary
gland biology and breast tumorigenesis. Journal of Mammary Gland Biology and Neoplasia,
8:449-462.
Jung JG, Lim W, Park TS, Kim JN, Han BK, Song G, and Han JY. 2011. Structural and histological
characterization of oviductal magnum and lectin-binding patterns in Gallus domesticus.
Reproductive Biology and Endocrinology, 9:1-11.
Kabir S. 1998. Jacalin: a jackfruit (Artocarpus heterophyllus) seed-derived lectin of versatile applications

versi elektronik
in immunobiological research. Journal of Immunological Methods, 212:193-211.
Linden SK, Florin THJ, and McGuckin MA. 2008a. Mucin dynamics in intestinal bacterial infection.
PLoS One 3:1-14.
Linden SK, Sutton P, Karlsson NG, Korolik V, and McGuckin MA. 2008b. Mucin in the mucosal barrier
to infection. Mucosal Immunology, 1:183-197.
Macia L, Thornburn AN, Binge LC, Marino E, Rogers KE, Maslowski KM, Vieira AT, Kranich J, and
Mackay CR. 2012. Microbial influences on epithelial integrity and immune function as a basis for
inflammatory diseases. Immunological Reviews, 245:164-176.
Murphy K, Travers P, and Walport M. 2007. Janeway’s immunobiology. 7th ed. Garland Science, Taylor
and Francis Group, New York and London.
Perez-Vilar J. 2007. Mucin granule intraluminal organization. American Journal of Respiratory Cell and
Molecular Biolology, 36:183-190.

versi elektronik
Tatsuzuki A, Ezaki T, Makino Y, Matsuda Y, and Ohta H. 2009. Characterization of the sugar chain
expression of normal term human placental villi using lectin histochemistry combined with
immunohistochemistry. Archives of Histology and Cytology, 72:35-49.
Van Italie CM and Anderson JM. 2006. Claudins and epithelial paracellular transport. Annual Reviews
Physiology, 68:403-429.
Van Poucke SGM, Nicholls JM, Nauwynck HJ, and Van Reeth KV. 2010. Replication of avian, human
and swine influenza viruses in porcine respiratory explants and association with sialic acid
distribution. Virology Journal, 7:38:1-14.

versi elektronik 424


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL DAN KUNING TELUR TERHADAP MOTILITAS
SPERMATOZOA AYAM KAMPUNG DAN FERTILITAS TELUR AYAM NIAGA PETELUR
Dadang Mulyadi Saleh

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui motilitas spermatozoa ayam kampong yang diberi gliserol
dan kuning telur pada larutan Tris (aminomethane) dan fertilitas telur ayam niaga petelur yang
diinseminasi secara intravagina dengan pengencer tris kuning telur gliserol. Semen dari 7 ekor ayam
kampung jantan dikumpulkan jadi satu tabung, kemudian ditaruh dalam 5 tabung perlakuan: T1= semen +
Tris + 0% KT + 0 % Glycerol; T2 = semen + Tris + 20 % KT + 0 % Glycerol; T3= semen + Tris + 20 %
KT + 5 % Glycerol; T4 = semen + Tris + 10 % Glycerol; T5 = semen + Tris + 15 % Glycerol. Semen dan
pengencer (1:4) dihomogenkan, setelah itu dibiarkan sekitar 30 menit pada temperature ruang. Setelah itu
setiap kelompok semen tersebut diinseminasikan ke masing-masing 8 ekor ayam betina niaga petelur, Isa
Brown yang berumur 30 minggu. Koleksi telur dimulai pada hari ke dua setelah inseminasi sampai hari
ke 8 peneluran. Data fertilitas telur diperoleh dengan cara candling pada hari ke tujuh dari masa inkubasi.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan kuning telur berpengaruh tidak nyata (P>0,05)

versi elektronik
terhadap penurunan motilitas spermatozoa ayam kampung dan menurunkan (P<0,05) fertilitas telur ayam
niaga petelur. Penambahan Glycerol mulai dari 5, 10 dan 15 % berpengaruh nyata (P<0,05) menurunkan
motilitas spermatozoa ayam kampung dan juga menurunkan fertilitas telur ayam niaga petelur.
Pemberian glycerol 5 vs 10 vs 15 % tidak berpengaruh nyata (P>0,05) baik pada motilitas maupun
fertilitas telur.
Kata kunci: Glycerol, Kuning telur, Motilitas, Fertilitas, Spermatozoa

ABSTRACT
The purpose of the study was to determine the sperm motility of kampung rooster given glycerol and egg
yolk in a solution of Tris (Aminomethane) and egg fertility of commercial laying hens that were
intravaginally inseminated of those extenders. A pooled semen from 7 kampung roosters was placed into
five tube of treatments, i.e. T1= semen + Tris + 0% EY + 0 % Glycerol; T2 = semen + Tris + 20 % EY +
0 % Glycerol; T3= semen + Tris + 20 % EY + 5 % Glycerol; T4 = semen + Tris + 20 % EY + 10 %

versi elektronik
Glycerol; T5 = semen + Tris + 20 % EY + 15 % Glycerol. Semen and diluent (1:4) is homogenized, and
left it is about 30 minutes at room temperature. After that each of the semen group inseminated into each
of 8 commercial laying hens, Isa Brown aged 30 weeks. Egg collection began on day 2 – 8 of
insemination. Egg fertility data obtained by candling on day seven of the incubation period. Egg fertility
data obtained by candling on day seven of the incubation period. Results of analysis of variance showed
that the addition of egg yolk did not affect (P >0.05) decreasing sperm motility. However, the fertility of
eggs was affected by adding egg yolk. Addition of Glycerol ranging from 5, 10 and 15 % had a
significant decrease (P < 0.05) on both of sperm motility and fertility of commercial laying hen eggs.
Adding glycerol of 5 vs. 10 vs. 15% had no significant effect (P> 0.05) on both the motility and fertility
of eggs.
Key words: glycerol, egg yolk, motility, fertility, sperm.

PENDAHULUAN

versi elektronik
Kuning telur ayam sudah sejak lama digunakan sebagai tambahan dalam pengencer semen sapi yang
akan dibekukan. Kuning telur tersebut berguna untuk melindungi semen dari pengaruh cold shock
sewaktu pendinginan (Moreno et al., 2011), pembekuan dan juga waktu thawing (Aboagla and Terada,
2004). Selama proses pembekuan nampaknya memiliki pengaruh sinergis dengan krioprotektan
(gliserol), sehingga spermatozoa post thawing lebih banyak yang hidup (Pace and Graham, 1974).
Keuntungan ini menjadikan penggunaan kuning telur dan juga krioprotektan (gliserol) rutin digunakan
dalam pembekuan semen mamalia dan juga semen unggas (Holt, 2000; Madeddu et al., 2010;).

425
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Bagaimanapun keduanya kuning telur ayam dan gliserol menurunkan angka respirasi (Tai et al., 2001)
dan menurunkan kemampuan membuahi spermatozoa ayam dan kalkun. Tentu saja hal ini telah lama
diketahui bahwa kuning telur dan gliserol bersifat racun pada spermatozoa unggas (Purdy et al., 2009).
Hal ini masih belum jelas apakah pengaruh negative dari keduanya terhadap spermatozoa unggas akibat

versi elektronik
pengaruh langsung dari kuning telur dan gliserol terhadap spermatozoa selama pembekuan atau campur
tangan gangguan fertilisasi didalam saluran reproduksi unggas betina.
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, membuktikan pengaruh penggunaan kuning telur
dan gliserol terhadap motilitas dan fertilitas spermatozoa ayam kampong.

METODE PENELITIAN
Semen dari 7 ekor ayam kampong digabungkan menjadi satu tabung. Pengencer Tris ditambah kuning
telur dan juga gliserol dihomogenkan, kemudian ditaruh dalam 5 tabung perlakuan: T1= semen + Tris +
0% KT + 0 % Glycerol; T2 = semen + Tris + 20 % KT + 0 % Glycerol; T3= semen + Tris + 20 % KT + 5
% Glycerol; T4 = semen + Tris + 10 % Glycerol; T5 = semen + Tris + 15 % Glycerol. Pengencer
ditambahkan ke setiap tabung, dengan rasio antara semen dan pengencer (1:4), setelah itu dihomogenkan,
kemudian dibiarkan sekitar 30 menit pada temperature ruang. Setelah itu setiap kelompok semen tersebut
diinseminasikan ke masing-masing 8 ekor ayam betina niaga petelur, Isa Brown yang berumur 30

versi elektronik
minggu. Koleksi telur dimulai pada hari ke dua setelah inseminasi sampai hari ke 8 peneluran. Data
fertilitas telur diperoleh dengan cara candling pada hari ke tujuh dari masa inkubasi. Data motilitas dan
fertilitas dianalis dengan Analisis of variance, kemudian dilanjutkan dengan Uji beda nyata jujur.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data rataan motilitas spermatozoa ayam kampong tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan (%+std) motilitas spermatozoa ayam kampong dan fertilitas telur ayam niaga petelur,
koleksi telur hari ke 2-8 setelah inseminasi
PERLAKUAN MOTILITAS FERTILITAS
Semen+Tris+ 0% KT+ 0 % Glycerol 65±7,0a 72±15,5a
Semen + Tris + 20% KT + 0 % Glycerol 60±10,0a 45±17,2b

versi elektronik
Semen + Tris + 20% KT + 5 % Glycerol 40±12,2b 20±7,5c
Semen + Tris + 20% KT + 10 % Glycerol 40±8,9b 22±5,8c
Semen + Tris + 20% KT + 15 % Glycerol 38±9,5b 15±7,3c

Rataan motilitas spermatozoa ayam kampung berkisar dari 38% sampai 65 %. Nilai motilitas tertinggi
diperoleh pada semen tanpa penambahan kuning telur dan tanpa gliserol (65± 7,0 %). Nilai motilitas pada
perlakuan semen+Tris + 20 % Kuning telur (KT) 60±10,0 %. Hasil analisis menunjukkan bahwa
penambahan KT berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap penurunan motilitas spermatozoa ayam
kampung. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan ole
Sugiyatno dan Saleh (2009) dan Moreno et al (2011) yang menyatakan bahwa penambahan kuning telur
pada pengencer Na-Sitrat menurunkan motilitas spermatozoa ayam kampong. Tidak adanya perbedaan
penambahan kuning telur terhadap motilitas ini diduga karena pengamatan motilitas dilakukan segera

versi elektronik
dalam kurun waktu sekitar 30 menit setelah pencampuran antara semen dan pengencer. Hasil ini hampir
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Andrabi et al., 2007; Cullow et al., 2007 yang memberikan
20 % kuning telur baik pada pengencer Na-Sitrat ataupun Tris pada semen sapi menunjukkan rataan
motilitas yang sangat baik.

426
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Hasil analisis rataan motilitas spermatozoa ayam kampung yang diberi perlakuan gliserol menunjukkan
bahwa penambahan 5% -15 % gliserol berpengaruh nyata (P<0,05) dalam menurunkan motilitas
spermatozoa ayam kampung, sedangkan rataan motilitas yang diberi perlakuan gliserol 5% vs 10% vs
15% tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai rataan motilitas yang terendah diperoleh pada perlakuan

versi elektronik
penambahan 15 % gliserol. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Saleh (2004);
Saleh dan Sugiyatno, (2007) yang menyatakan bawa pemberian gliserol 7 % menurunkan motilitas
spermatozoa ayam. Peneliti lainnya menyatakan bahwa gliserol bersifat racun bagi spermatozoa, semakin
tinggi persentase gliserol semakin tinggi toksisitasnya yang mengakibatkan semakin tinggi menurunkan
tingkat motilitas semen ayam (Long and Kulkarni, 2004).
Data rataan fertilitas telur ayam niaga petelur, yang diinseminasi tunggal dengan jumlah spermatozoa/IB
sekitar 100 juta spermatozoa/0,1 ml dan koleksi telur mulai hari ke 2 – 8 setelah inseminasi buatan tetera
pada Tabel 1. Nilai rataan fertilitas berkisar dari 22 – 72 persen. Nilai Fertilitas tertinggi (72±15,5%)
diperoleh dari perlakuan kontrol, semen tanpa ditambah kuning telur dan tanpa gliserol. Nilai fertilitas
terendah (15±7,3%) diperoleh dari perlakuan semen yang ditambah 20 % kuning telur dan 15 % gliserol.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan Kuning telur berpengaruh nyata (P<0,05) dalam
menurunkan fertilitas telur ayam niaga petelur (75±15,5% vs 45±17,2%), dan penambahan gliserol (5-
15%) berpengaruh nyata (P<0,05) menurunkan fertilitas telur ayam niaga petelur. (45±17,2% vs 20±7,5%

versi elektronik
vs 22±5,8% vs15±7,3%). Fertilitas antar perlakuan semen yang ditambah gliserol 5%,vs 10 % dan 15 %)
tidak menunjukkan perbedaa yang nyata (P>0,05). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
beberapa hasil penelitian lainnya (Saleh 2004; Sugiyatno dan Saleh, 2009) kuning telur menurunkan
fertilitas telur, yang diduga penurunan ini terjadi sewaktu spermatozoa berada disaluran reproduksi betina.
Demikian pula halnya dengan glycerol yang mempunyai sifat toksik yang berakibat menurunkan fertilitas
telur (Saleh dan Sugiyatno, 2007).

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian kuning telur berguna untuk mempertahankan
motilitas spermatozoa ayam kampung dan menurunkan fertilitas telur, sedangkan penambahan gliserol 5
– 15 persen menurunkan motilitas spermatozoa ayam kampung dan menurunkan fertilitas telur ayam
petelur.

DAFTAR PUSTAKA

versi elektronik
Aboagla EM and T Terada, 2004. Effect of egg yolk during the freezing step of cryopreservation on the
viability of goat spermatozoa. Theriogenology 62:1160-1172.
Andrabi SMH., MS Ansari, N Ulah, M Anwar, A Mehmood and S Akter, 2007. Duck egg yolk in
extender improves the freezability in buffalo bull spermatozoa. Anim. Reprod. Sci. 104, 427-433
Clulow JR., WMC Maxwell, G Evans and LHA Morris, 2007. A comparison of duck and chicken egg
yolk for the cryopreservation of stallion sperm. Aust. Vet. J. 85, 232-235.
Holt W.V., 2000. Basic aspects of frozen storage of semen, Anim. Reprod. Sci. 62, 3–22.
Long JA and G. Kulkarni, 2004. An Effective Method for Improving the Fertility of Glycerol- Poultry
Semen. Poultry Science 83:1594–1601.
Madeddu, M., F. Berlinguer, V. Pasciu, S. Succu, V. Satta, C.G. Leoni, A. Zinellu, M. Muzzeddu, C.
Carru, S. Naitana, 2010. Differences in semen freezability and intracellular ATP content between

versi elektronik
the rooster (Gallus gallus domesticus) and the Barbary partridge (Alectoris barbara),
Theriogenology 74. 1010–1018.
Moreno J S., M.A. Coloma, A. Toledano-Díaz, J. Dorado, A. P.Pastor, A. L. Sebastián, 2008. A
comparison of the protective action of chicken and quail egg yolk in the cryopreservation of
Spanish ibex epididymal spermatozoa,Cryobiology 57, 25–29.

427
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Moreno JS, C Castano AT Diaz, MA Colona, AL Sebastian, MT Prieto and JL Campo. 2011. Semen
Cryopreservation for creation of a Spanish poultry breeds cryobank: Optimization of freezing rate
and equilibration time. Poultry Sci. 90: 2047-2053.

versi elektronik
Pace M.M., E.F. Graham, Components in egg yolk which protect bovine spermatozoa during freezing, J.
Anim. Sci. 39 (1974) 1144–1149.
Purdy PH., Y Song, FG Silversides and HD Blackburn, 2009. Evaluation of glycerol removal techniques,
cryoprotectant and insemination methods for cryopreserving rooster sperm with implications
regeneration of breed or line or both. Poult. Sci. 88, 2184-2191
Saleh DM., 2004. Optimization of semen processing and cryopreservation techniques in Philippine Native
Rooster (Gallus gallus domesticus L). Ph.D. Thesis University of The Philippines Los Banos
(UPLB) Philippines.
Saleh DM dan Sugiyatno, 2007. Pengaruh aras glycerol terhadap motilitas dan fertilitas spermatozoa
ayam kampong setelah dibekukan dengan Nitrogen cair. Jurnal Produksi Ternak. Januari 2007.
No. 1, Vol 9:45-48
Sugiyatno dan DM Saleh, 2009. Effect of various levels of egg yolk on semen quality and fertility of

versi elektronik
native chicken spermatozoa. Proceeding of AINI University of Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Tai J.J., J.C. Chen, K.C. Wu, D.S. Wang, C. Tai, 2001. Cryopreservation of gander semen,Br. Poult. Sci.
42, 384–388.

versi elektronik

versi elektronik 428


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENAKSIRAN PARAMETER GENETIK KARAKTERISTIK BOBOT TETAS DAN
PERTUMBUHAN ITIK MAGELANG
Dattadewi Purwantini, R. Singgih Sugeng Santosa, dan Ismoyowati

versi elektronik
Fakultas Peternakan. Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno Kampus Karangwangkal Kotak
Pos 110, Purwokerto 53123, Indonesia; email: dattadewi2002@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menaksir parameter genetik karakteristik bobot tetas dan pertumbuhan pada
itik Magelang. Parameter genetik yang diamati meliputi nilai heritabilitas (h2) dan korelasi genetik (rG).
Materi penelitian terdiri atas itik Magelang sebanyak 440 ekor terdiri atas 5 ekor pejantan, 50 ekor induk
dan 385 ekor keturunannya. Metode penelitian yang digunakan untuk penaksiran nilai h2 adalah dengan
kovariansi antar saudara kandung, sedangkan rG dengan pola searah Single Pair Mating. Induk itik
dikawinkan secara acak dengan pejantan dalam populasi tersebut. Tujuh ekor day old duck (dod) dari
setiap induk diukur bobot tetas dan pertumbuhannya sampai umur 8 minggu. Penelitian ini berhasil
memperoleh rataan dan simpang baku bobot tetas, bobot umur delapan minggu dan pertumbuhan relatif
pada itik Magelang masing-masing adalah 47,34 ± 2,29 g; 876,70 ± 43,28 g dan 0,22 ± 0,007. Nilai h2
dan standar error karakteristik bobot tetas bobot umur delapan minggu dan pertumbuhan pada itik

versi elektronik
Magelang masing-masing adalah 0,49 ± 0,073; 0,41 ± 0,098 dan 0,58 ± 0,032, sedangkan nilai rG antara
karakteristik bobot tetas dengan pertumbuhan dan bobot umur delapan minggu masing-masing 0,882 dan
0,796. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa parameter genetik yaitu nilai heritabilitas
dan korelasi genetik karakteristik bobot tetas dan pertumbuhan pada itik Magelang relatif tinggi.
Karakteristik bobot tetas dan, pertumbuhan dapat dipertimbangkan sebagai kriteria seleksi pada program
pemuliaan itik Magelang.
Kata kunci: Parameter genetik, bobot tetas, pertumbuhan, itik Magelang

PENDAHULUAN
Itik Magelang adalah salah satu itik lokal yang merupakan sumberdaya genetik ternak unggas di
Indonesia yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur dan daging yang penting sebagai sumber
protein hewani dengan warna bulu yang spesifik serta daya adaptasinya relatif tinggi terhadap
lingkungan baru sehingga mudah berkembang. Itik Magelang dapat berkembang di daerah dengan

versi elektronik
ketinggian antara 200-600 m diatas permukaan laut (dpl) atau dataran tinggi yang sejuk. Pemerintah telah
menetapkan itik Magelang melalui Keputusan Menteri Pertanian 70/kpts/PD.410/2/2013 tentang
penetapan rumpun itik Magelang (Dinas Peternakan dan Perikanan (Peterikan) Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah, 2013).
Kemampuan produksi itik di tingkat peternak pada umumnya relatif tinggi dan beragam, tetapi peternak
tidak mampu mempertahankan induk-induk yang mempunyai kemampuan produksi tinggi, karena tidak
mempunyai catatan atau informasi yang akurat (Purwantini et al., 2005). Pemilihan bibit itik pada
umumnya dilakukan secara visual berdasarkan penampilan tubuh atau performansnya, sehingga bersifat
sangat subyektif (Setioko dan Istiana, 1997). Perbaikan mutu genetik merupakan alternatif yang relatif
efektif karena akan memberikan dampak yang lebih permanen. Kemurnian dan peningkatan mutu genetik
jenis itik tersebut perlu dilakukan melalui seleksi dan perkawinan atau persilangan yang terencana
sehingga akan diperoleh bibit itik Magelang unggul, yang dapat digunakan sebagai tetua yang akan
datang. Seleksi untuk tujuan peningkatan mutu genetik ternak memerlukan suatu penaksiran parameter

versi elektronik
genetik. Parameter genetik yang paling banyak digunakan dalam penaksiran mutu genetik adalah nilai
heritabilitas (h2) dan korelasi genetik (rG).
Karakteristik bobot tetas dan pertumbuhan adalah ekspresi sifat kuantitatif yang pemunculannya
tergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Besarnya pengaruh faktor genetik terhadap suatu
karakteristik yang dapat diwariskan kepada keturunannya ditentukan oleh nilai heritabilitas, sedangkan
keeratan hubungan antar karakteristik yang dipengaruhi oleh faktor genetik adalah korelasi genetik.

429
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penaksiran nilai h2 dan rG karakteristik bobot tetas dan pertumbuhan pada itik Magelang sampai saat ini
belum banyak dipublikasikan, oleh karena itu pada penelitian ini ingin mengetahui taksiran nilai
heritabilitas (h2) dan korelasi genetik (rG) masing-masing dengan kovariansi antar saudara kandung dan
pola searah Single Pair Mating. Nilai h2 karakteristik produktif yang diperoleh dapat digunakan sebagai

versi elektronik
tolok ukur keberhasilan seleksi pada penelitian selanjutnya. Nilai h2 yang tinggi akan memberikan respon
seleksi yang tinggi pula. Sebaliknya apabila nilai h2 relatif rendah, maka program seleksi tidak akan
efektif sehingga program persilangan akan lebih baik (Cameron, 1997). Korelasi genetik dapat
dimanfaatkan untuk menentukan sifat produksi lain yang dapat dijadikan kriteria seleksi apabila sifat
pertama yang dipilih sebagai kriteria seleksi terlalu sulit atau terlalu mahal untuk dilakukan
(Martojo,1992).
Penelitian bertujuan untuk menaksir parameter genetik karakteristik bobot tetas dan pertumbuhan pada
itik Magelang. Parameter genetik yang diamati meliputi nilai heritabilitas (h2) dan korelasi genetik (rG).

METODE PENELITIAN
Materi penelitian terdiri atas itik Magelang sebanyak 440 ekor terdiri atas 5 ekor pejantan, 50 ekor induk
dan 385 ekor keturunannya. Catatan produksi itik tersebut terdiri atas silsilahnya, bobot tetas, bobot badan
mingguan sampai delapan minggu. Itik yang diamati, dipelihara di bawah pengaruh tatalaksana

versi elektronik
pemeliharaan yang seragam. Induk itik dikawinkan secara acak dengan pejantan dalam populasi tersebut.
Tujuh ekor day old duck (dod) dari setiap induk diukur karakteristik bobot tetas dan pertumbuhan
relatifnya sampai umur 8 minggu.
Pertumbuhan relatif dihitung berdasarkan Brody (1945):
w2 − w1 / t 2 − t1
LPR =
1
( w2 + w1 )
2
Keterangan :
LPR = Laju Pertumbuhan Relatif
W1 = bobot tetas

versi elektronik
W2 = bobot badan pada umur 8 minggu
Metode penelitian untuk penaksiran nilai h2 dan rG dengan kovariansi antar saudara kandung (full sib)
menggunakan rancangan acak lengkap pola satu arah Single Pair Mating dengan ulangan sama
berdasarkan petunjuk Becker (1992). Perkawinan pejantan dan induk sebagai perlakuan (m) dan dod
yang mempunyai hubungan saudara sekandung sebagai ulangan (n), pengamatan dilakukan pada bobot
tetas dan pertumbuhan relatif selama delapan minggu. Pada ternak unggas penggunaan analisis tersebut
dapat dilakukan, karena memungkinkan terdapat satu pasang perkawinan (famili) dimana setiap pejantan
mempunyai beberapa keturunan dalam waktu yang bersamaan hanya dari satu betina.
Model matematis yang digunakan adalah:
Yij = µ + αi + εij
Yij = Nilai pengamatan suatu karakteristik suatu dari anak ke j pada famili ke i.

versi elektronik
µ = nilai tengah populasi
αi = Pengaruh famili (perkawinan) ke i
εij = Pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol dan simpangan genetik anak (individu)
dalam kelompok famili.

430
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Nilai h2 suatu karakteristik ditaksir menggunakan kovariansi antar saudara kandung (full sib) (Becker,
1992) dengan formula: 1
σ2 + 1σ2
Cov FS = 12 σ A2 + 14 σ D2 dan t = 2 A 24 D
σP

versi elektronik
CovFS adalah kovariansi atau peragam antar saudara kandung (full sib), σ2A adalah ragam genetik aditif,
σ2D adalah ragam genetik dominansi, σ2P adalah ragam2 total dan t adalah korelasi fenotipik antar
anggota famili. Sehingga nilai heritabilitas adalah h = 2t
Salah baku taksiran heritabilitas yang menunjukkan kecermatan taksiran heritabilitas dihitung dengan
formula:
2(1 − t ) 2 {1 + (k − 1)t}2
SE (h ) = 4
2

k (k − 1)(m − 1)
SE (h2) adalah salah baku taksiran heritabilitas, k adalah koefisien jumlah anak setiap perkawinan dan m
adalah jumlah perkawinan.
Korelasi genetik (rG ) ditaksir dengan membandingkan peragam antar karakteristik dengan hasil kali
simpang baku dua karakteristik yang berkorelasi berdasarkan petunjuk Becker (1992) sbb:

versi elektronik
4Cov XY
rG =
4σ X 4σ 2 (YY )
2
( XX )

CovXY adalah peragam karakteristik pertama dan kedua, σ2X adalah ragam karakteristik pertama dan σ2Y
adalah ragam karakteristik kedua.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Performans produksi. Hasil penelitian diperoleh rataan dan simpang baku karakteristik bobot tetas,
bobot umur 8 minggu dan pertumbuhan relatif pada itik Magelang tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan dan simpang baku karakteristik bobot tetas, bobot umur 8 minggu dan pertumbuhan
relatif pada itik Magelang
Karakteristik Rataan dan simpang baku

versi elektronik
Bobot tetas (g) 47,34 ± 2,29
bobot umur 8 minggu (g) 876,70 ± 43,28
Pertumbuhan relatif 0,22 ± 0,007

Lestari et al. (2013) melaporkan bahwa rataan bobot tetas pada itik Magelang adalah 41,7 ± 3,09 g,
sedangkan Arifah et al. (2013) melaporkan bobot umur 4 dan 10 minggu masing-masing 349,68 ± 46,92
g dan 1021,23 ± 45,50 g dengan pertumbuhan relatif sebesar 0,17 ± 0,013. Perbedaan hasil yang
diperoleh diduga karena perbedaan jumlah populasi yang digunakan, waktu dan tempat pengukuran.
Nilai heritabilitas. Hasil penaksiran nilai heritabilitas dan salah baku karakteristik bobot tetas, bobot
umur 8 minggu dan pertumbuhan relatif itik Magelang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai heritabilitas dan standar error karakteristik bobot tetas, bobot umur 8 minggu dan
pertumbuhan relatif pada itik Magelang

versi elektronik
Karakteristik Nilai heritabilitas dan salah baku
Bobot tetas (g) 0,49 ± 0,073
bobot umur 8 minggu (g) 0,41 ± 0,098
Pertumbuhan relatif 0,58 ± 0,032

431
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai heritabilitas karakteristik bobot tetas, bobot umur 8 minggu dan
pertumbuhan relatif pada itik Magelang termasuk kategori tinggi dengan salah baku yang relatif
rendah. Menurut Warwick et al. (1995) dan Cameron (1997) nilai h2 berkisar antara 0 dan 1, h2 < 0,1
dikategorikan rendah, h2 < 0,1 < 0,3 adalah sedang dan h2 > 0,3 dikategorikan tinggi. Kondisi ini

versi elektronik
menunjukkan bahwa keragaman yang tampak dalam karakteristik tersebut dipengaruhi oleh keragaman
genetik dan relatif sedikit yang dipengaruhi oleh keragaman lingkungan. Karakteristik produksi dengan
nilai h2 yang relatif tinggi dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk memilih tetua itik Magelang
pada waktu yang akan datang.
Susanti dan Prasetyo (2008) melaporkan nilai heritabilitas yang dianalisis dengan animal model
Restricted Maximum Likelihood (REML) menggunakan program PEST dan VCE 4.2 untuk umur pertama
bertelur pada itik Alabio diperoleh sebesar 0,047 ± 0,043; bobot telur pertama 0,160 ± 0,098; produksi
telur 12 minggu 0,235 ± 0,087 dan h2 produksi telur 24 minggu adalah 0,127 ± 0,088 tampak bahwa
nilai heritabilitas sifat-sifat produksi telur itik Alabio termasuk kategori rendah. Mucha et al.
(2014) mengestimasi koefisien heritabilitas bobot karkas dan sifat tubuh pada itik Mulards yaitu
persilangan antara itik asli Pekin yang digunakan untuk produksi daging di Polandia dengan itik
Muscovy, dilaporkan bahwa koefisien heritabilitas yang tertinggi diperoleh untuk bobot badan umur 11
minggu yaitu sebesar 0,75, sedangkan otot dada (0.69), bobot sayap (0.70), bobot karkas (0.65), dan

versi elektronik
kulit dengan bobot subkutan lemak (0.57). Xu et al. (2011) memperoleh taksiran heritabilitas bobot
badan, bobot dada dan ketebalan daging dada itik Pekin menunjukkan nilai yang sedang sampai tinggi
(0,20-0,53), sedangkan bobot otot dada dan persentase daging dada adalah 0,50 dan 0,47. Menurut
Warwick et al. (1995) heritabilitas bukan suatu konstanta atau nilai absolut, sehingga nilainya relatif
berbeda tergantung pada populasi dan karakteristik yang diamati, perbedaan metode dan model analisis
yang digunakan.
Korelasi genetik. Keeratan hubungan antara dua variabel dapat dinyatakan dengan korelasi. Korelasi
fenotipe pada ternak dapat disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan. Korelasi genetik terjadi
karena adanya pengaruh gen-gen yang bersifat pleiotropy yaitu sebuah gen yang dapat
mempengaruhi dua sifat atau lebih, maupun karena adanya linkage gen yaitu dua gen atau lebih yang
saling mempengaruhi karena letaknya berdekatan dalam kromosom (Warwick et al., 1995). Nilai-nilai
korelasi genetik ini berperan dalam mengukur respon seleksi terkorelasi yaitu perubahan genetik atau
respon pada sifat kedua sebagai akibat seleksi pada sifat pertama. Nilai korelasi genetik yang diamati

versi elektronik
dalam penelitian ini adalah bobot tetas dengan pertumbuhan dan bobot umur delapan minggu pada itik
Magelang yang tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Korelasi genetik antar karakteristik bobot tetas dengan pertumbuhan dan bobot umur delapan
minggu pada itik Magelang
Korelasi genetik antar karakteristik Nilai Korelasi genetik
Bobot tetas dengan pertumbuhan 0,882
Bobot tetas dengan bobot umur delapan minggu 0,796.

Tabel 3 menunjukkan bahwa korelasi genetik antar bobot tetas dengan pertumbuhan dan bobot umur
delapan minggu pada itik Magelang relatif tinggi yaitu 0,882 dan 0,796. Kondisi ini menunjukkan bahwa
bobot tetas dapat digunakan sebagai kriteria seleksi pada itik Magelang. Bobot tetas yang tinggi didukung
dengan manajemen pemeliharaan yang optimal akan memberikan pertumbuhan yang relatif tinggi.

versi elektronik
Susanti dan Prasetyo (2008) memperoleh nilai korelasi genetik antara produksi telur 24 minggu dengan
umur pertama bertelur, bobot telur pertama dan produksi telur 12 minggu pada itik Alabio masing-masing
adalah 0,349; 0,016 dan 0,996. Xu et al. (2011) memperoleh korelasi genetik antara bobot badan dengan
bobot otot dada dan persentase daging dada itik Pekin adalah 0,74 dan 0,25 sedangkan korelasi genetik
antara persentase daging dada dengan ketebalan daging dada sebesar 0,71 sehingga dinyatakan bahwa
sifat ukuran tubuh dapat digunakan sebagai indeks seleksi pada itik Pekin. Mucha et al. (2014)

432
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
melaporkan korelasi genetik antara sifat otot dada, bobot sayap, bobot karkas, dan kulit pada itik Mulards
bernilai positif.

KESIMPULAN

versi elektronik
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa parameter genetik yaitu nilai heritabilitas dan
korelasi genetik karakteristik bobot tetas dan pertumbuhan pada itik Magelang relatif tinggi. Karakteristik
bobot tetas dan, pertumbuhan dapat dipertimbangkan sebagai kriteria seleksi pada program pemuliaan itik
Magelang.

DAFTAR PUSTAKA
Arifah, N., Ismoyowati and Ning Iriyanti, 2013. Tingkat Pertumbuhan dan Konversi Pakan pada berbagai
Itik Lokal Jantan (Anas Plathyrhinchos) dan Itik Manila Jantan (Cairrina moschata ). Jurnal
Ilmiah Peternakan 1(2): 718 - 725
Becker, W.A., 1992. Manual Quantitative Genetics. Eightth Edition. Student Book Corporation.
Washington.
Brody, S., 1945. Bioenergetics and Growth. Reinhold Pub.Corp., New York Halaman: 18.

versi elektronik
Cameron, D., 1997. Selection Indices and Prediction of genetic Merit in animal Breeding. Roslin
Institute. Edinburg, UK.
Dinas Peternakan dan Perikanan (Peterikan) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 2013. Bebek Kalung,
Potensi Besar Itik Magelang. Livestockreview.com, Bisnis.
Lestari, E., Ismoyowati and Sukardi, 2013. Korelasi antara Bobot Telur dengan Bobot Tetas dan
Perbedaan Susut Bobot pada Telur Entok (Cairrina moschata) dan Itik (Anas plathyrhinchos).
Jurnal Ilmiah Peternakan Vol 1, No 1
Martojo, H., 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktor Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.
Purwantini, D., Ismoyowati, Prayitno and A.T.A. Sudewo, 2005. Menciptakan Bibit Unggul Itik Lokal
Berproduksi Tinggi. Laporan Hibah Bersaing XII. Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan

versi elektronik
Nasional.
Mucha, S., E. Gornowicz, M. Lisowski, B. Grajewski, J. Radziszewska and T.
Szwaczkowski1, 2014. Genetic parameters of *carcass traits in ducks from a crossbred population.
Ann. Anim. Sci., Vol. 14, No. 1 43–53
Setioko, A. R. dan Istiana. 1997. Perbibitan itik Alabio di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Pros.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor.
Susanti, T dan L.H. Prasetyo, 2008. Pendugaan Parameter Genetik Sifat-Sifat Produksi Telur Itik Alabio

Warwick, E.J., M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

versi elektronik
Xu, T.S, , X.L Liu, W. Huang and S.S. Hou, 2011. Estimates of Genetic Parameters for Body Weight
and Carcass Composition in Pekin Ducks. Journal of Animal and Veterinary Advances 10 (1):
23-28,2011

433
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN KELINCI YANG TERINFEKSI Eimeria sp. KASUS
LAPANG DI KABUPATEN BANYUMAS
Diana Indrasanti, Mohandas Indradji, dan Sri Hastuti

versi elektronik
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman; email: dianaindrasanti@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran organ dan histopatologi dari hati, duodenum,
sekum dan ginjal kelinci yang mengalami perubahan akibat koksidiosis. Penelitian ini dilakukan di sentra
peternakan kelinci di Kabupaten Banyumas. Sembilan sentra peternakan kelinci telah di survai, yaitu di
Desa Kedung Banteng, Sumampir, Karanggintung, Rempoah, Banjarsari Kulon, Banjarsari Wetan,
Banyumas, Sumpiuh dan Sokaraja. Metode pengambilan sampel dengan selected sampling (convenient
sampling) dan data dianalisis secara deskriptif. Materi yang digunakan adalah kelinci yang menunjukkan
gejala klinis terinfeksi koksidiosis. Metode penelitiannya adalah pemeriksaan feses dengan metode natif
dan sentrifus serta pemeriksaan histopatologi dari 4 organ yaitu ren, hepar, duodenum dan sekum. Sampel
yang telah diperiksa sebanyak 52 buah, dimana 19 sampel dinyatakan positif terinfeksi Eimeria sp.
Pemeriksaan makroskopik organ kelici yang terinfeksi koksidiosis menunjukkan hasil yang beragam,
diantaranya adanya nodul-nodul putih pada hepar, sekum dan ren, dimana sebagian besar sampel

versi elektronik
menunjukkan gejala makroskopik yang tidak menciri. Analisis histopatologi organ yang terinfeksi
koksidiosis menunjukkan gejala degenerasi hidropik, nekrosis dan infiltrasi limfosit yang bersifat
multifokal, degenerasi melemak dan radang disekitar pembuluh darah hepar, pada duodenum terdapat
radang, nekrosis, limphoproliferatif dan oedema. Sedangkan pada sekum terdapat radang, oedema dan
terdapat stadium Eimeria sp. disertai infiltrasi eosinofil dan limfosit di mukosa, serta pada ren terdapat
nekrosis epithel tubulus, proliferasi sel mesangeal di glomerulus dan radang interstitialis.
Kata kunci: organ kelinci, koksidiosis, Eimeria sp.

ABSTRACT
The aim of the present study was to obtain histopathological changes of the liver, duodenum, coecum and
kidney of rabbits from field infected cases by Eimeria sp. in rabbit breeding centers in Banyumas District.
Survey of rabbit coccidiosis was conducted in nine rabbit breeding centers, located in Kedungbanteng,
Sumampir, Karanggintung, Rempoah, Banjarsari Kulon, Banjarsari Wetan, Banyumas, Sumpiuh and

versi elektronik
Sokaraja Villages. Sampling method was selected sampling (convenient sampling) and data was analyzed
using descriptive method. Material research was a rabbit showing clinical symptoms that were infected
with coccidiosis. Methods research were examination fecal samples from the collected rabbits by native
and centrifugal flotation, oocysts sporulation and histopathology analysis. The numbers of sample
examined were fecal from 52 rabbits. Coccidiosis occurred in 19 rabbits belonging to different ages, sexes
and breeds. Histopathological lesions in the liver showed hydropic degeneration, multifocal necrosis and
infiltration of lymphocytes, degeneration of fat and inflammation of the blood vessels surrounding the
liver. Histopathological lesions in the duodenum showed inflammation, necrosis, limphoproliferatif and
oedema. In the coecum, there were inflammation, oedema and developmental stages of Eimeria sp.
accompanied by infiltration of eosinophils and lymphocytes in the mucosa. Tubular epithelial kidney was
necrosis. There was mesangeal cell proliferation in glomerular and interstitial inflammation.
Keywords: rabbit organs, coccidiosis, Eimeria sp.

versi elektronik
PENDAHULUAN
Kelinci merupakan salah satu komoditi peternakan yang potensial sebagai penyedia daging.
Kecenderungan konsumen yang lebih menyukai daging berlemak dan berkolesterol rendah dapat
memperoleh alternatif melalui konsumsi daging kelinci (Ensminger, 1990). Koksidiosis penting secara
ekonomi dan merupakan penyakit pada kelinci muda, terutama dalam masa pencapaian usia kawin dan
tumbuh kembang apabila tingkat sanitasi buruk (mortalitas 5-100%). Beberapa dampak kerugian ekonomi
yang ditimbulkan berupa penurunan berat badan, metabolisme vitamin, lemak dan energi, penurunan

434
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
efisiensi makanan dan menghambat pertambahan berat. Tercatat sebelas spesies koksidia usus, coecum
maupun colon yang memiliki tingkat patogenesitas bervariasi (Iskandar, 2005; Yakhchali and Tehrani,
2007). Pada kelinci terdapat dua bentuk koksidiosis, yaitu koksidiosis hepar yang disebabkan oleh
Eimeria steidae dan koksidiosis intestinal yang disebabkan oleh E. magna, E. perforans, E. media, E.

versi elektronik
irresidua, E. piriformis, E. caecicola, E. intestinalis, E. elongata, E. nagpurensis, E. matsubayashii
(Coudert et al., 1995).
Histopatologi adalah pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan mikroskopik dengan
pewarnaan metode Mallory untuk menetapkan diagnosis kelainan degenerasi, radang, atau infeksi dan
neoplasma (Suntoro, 1983 yang disitasi Lestari et al, 2006). Pemeriksaan histopatologi koksidiosis dapat
mengetahui perubahan organ yang terjadi dan tahap perkembangan parasit secara mikroskopik (Al-
Rukibat 2001; Darzi, 2007; Al-Mathal, 2008; Amer, et al., 2010). Coccidiosis pada kelinci menyebabkan
kerusakan organ serta jaringan di mana hasil lesi histopatologi memperkuat pemeriksaan parasitologi
tentang keberadaan ookista (Al Mathal, 2008). Pada penderita koksidiosis, atropi villi dapat menyebabkan
malabsorpsi nutrisi dan elektrolit, mengacaukan hemostasis, anemia, hipoproteinemia dan dehidrasi. Hal
tersebut menimbulkan kerugian ekonomi pada kelinci komersial (Pellerdy, 1965). Koksidiosis kelinci
belum sepenuhnya dipelajari seperti halnya koksidia pada hewan ternak yang lain. Di Indonesia terutama
di Kabupaten Banyumas, masih sedikit informasi mengenai parasit ini, hanya beberapa penelitian yang

versi elektronik
telah dilaporkan (Iskandar, 2001; Iskandar, 2005; Setyawati dkk., 2012), sehingga studi mengenai
penyakit koksidiosis perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan temuan
histopatologi hati, duodenum, coecum, dan ginjal kelinci yang terinfeksi koksidiosis di Kabupaten
Banyumas. Hasil penelitian dapat meningkatkan informasi tentang koksidiosis terkini guna penelitian
pada masa yang akan datang dan untuk mengembangkan strategi pengendalian hewan domestik terutama
kelinci guna kepentingan ekonomi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini mensurvai ternak kelinci yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi koksidiosis yang berada
di beberapa sentra peternakan kelinci di Kabupaten Banyumas. Tempat penelitian adalah Laboratorium
Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan serta beberapa sentra peternakan kelinci di Kabupaten Banyumas.
Sentra tersebut terletak di Desa Kedung Banteng, Sumampir, Karanggintung, Rempoah, Banjarsari
Kulon, Banjarsari Wetan, Banyumas, Sumpiuh dan Sokaraja. Metode pengambilan sampel dengan

versi elektronik
selected sampling (convenient sampling) dan data dianalisis secara deskriptif. Bahan penelitian yang
digunakan antara lain formalin 10%, NaCl jenuh, gula jenuh, akuades, alkohol 70%, kalium dikromat
2,5%, larutan Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA) 10% . Alat yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain adalah gunting, scalpel, pinset, pisau, container sample, deck glass, sarung tangan, masker,
cawan petri, objek glass, beker glass, spuit 3 cc dan jarum, tabung reaksi, sentrifus, mortir, cawan
porselen, gelas ukur, tisu, microtube, pipet mikro, tip pipet, termos es, mikroskop, kandang kelinci dan
perlengkapannya, timbangan, plastik dan perlengkapan lain yang dibutuhkan.
Sampel feses dari kelinci yang disurvai, selanjutnya diperiksa dengan metode natif dan metode sentrifus
menggunakan larutan garam jenuh untuk mendeteksi keberadaan ookista Eimeria sp di dalam feses.
Penghitungan jumlah ookista dengan metode Mc. Master sesuai dengan metode Whitlock (1948), serta
sporulasi ookista menggunakan kalium dikromat 2,5 % (Al - Mathal, 2008; Amer, et al, 2010).
Eutanasi kelinci dilakukan dengan cara penyembelihan. Pemeriksaan organ dan pembuatan preparat
histopatologi dilakukan pada hepar dan saluran hepar, dan diinspeksi adanya nodul. Serta pembukaan

versi elektronik
abdomen untuk mengambil sebagian dari gastrium, duodenum, hepar dan ren. Sebagian dari organ
tersebut dimasukkan ke dalam larutan formalin 10%, untuk kemudian di proses menjadi preparat
histopatologi. Jaringan di fixed dalam parafin dengan irisan setebal 5 mikron dan diwarnai dengan
pewarnaan haematoxylin dan eosin (HE) (Al-Mathal, 2008). Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop
untuk mengamati dan mencatat perubahan organ secara mikroskopik.

435
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan makroskopik

versi elektronik
Penelitian ini telah mensurvai kelinci dari beberapa sentra peternakan kelinci di Kabupaten Banyumas
sebanyak 52 ekor. Koksidiosis terjadi pada 19 kelinci dengan berbagai umur, jenis kelamin dan ras.
Kelinci yang terinfeksi koksidiosis menunjukkan gejala klinis diare, gangguan pertumbuhan, anoreksia,
kelemahan, kekurusan, rambut kasar dan kematian. Kelinci dewasa yang terinfeksi, sebagian besar tidak
menunjukkan gejala klinis yang menciri. Hal ini merupakan sumber penularan bagi kelinci muda (Barriga
and Arnoni, 1981; Lakshmanan, et al., 2011). Prevalensi koksidiosis di Kabupaten Banyumas adalah
40,69%, dimana kelinci muda paling rentan terhadap penyakit tersebut. Kelinci dewasa yang terinfeksi
dapat berperan sebagai pembawa dan sumber infeksi koksidiosis, misalnya dari induk ke anaknya.
Penyakit koksidoisis paling sering terjadi pada peternakan kelinci dengan sanitasi yang buruk (Pramesti
dkk., 2013).
Secara makroskopik, hampir seluruh organ kelinci yang terinfeksi koksidiosis tidak memiliki ciri-ciri
yang spesifik. Hanya beberapa organ yang menunjukkan ciri yang spesifik. Gambar 1 menunjukkan organ
kelinci yang terinfeksi koksidiosis. Organ hati, ginjal maupun sekum menunjukkan adanya nodul-nodul

versi elektronik
berwarna putih kekuningan pada permukaan organ dengan berbagai ukuran dengan duodenum lebih
menebal dan pucat (Gambar 1). Nodul-nodul putih kekuningan (yellowish-white nodule) pada hepar
tersebut merupakan tempat bersarangnya Eimeria steidae (Iskandar, 2005; Darzi, 2007). Hati yang
terinfeksi koksidiosis akan membesar dan saluran empedu yang melebar. Lesi makroskopik utama pada
hati adalah nodul putih terlihat di permukaan (Pellerdy, 1965; Levine, 1985; Coudert et al., 1995). Hal
tersebut senada dengan pernyataan Al - Naimi et al (2012) dimana hepatomegali dikarenakan adanya
proliferasi dan distensi saluran empedu membentuk nodul yang muncul ke permukaan hati, hal itu
menyebabkan peningkatan sekresi lendir yang tampak seperti krim, cairan putih pada saat permukaan
organ disayat.
Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan feses dilakukan pada seluruh sampel yang diperoleh. Pada sampel yang positif dapat
ditemukan ookista Eimeria sp. yang bervariasi dengan morfologi dan ukuran yang berbeda. Ookista yang
didapatkan seluruhnya berbentuk oval dengan dinding mulus dengan atau tanpa topi, dan mempunyai

versi elektronik
ukuran dan morfologi yang berbeda, masing-masing berisi sebuah zigot berkembang. Hasil sporulasi
menunjukan ookista terdiri dari empat sporokista dengan masing-masing berisi dua sporozoit (Gambar 2).
Spesies Eimeria sp. pada kelinci di Kabupaten Banyumas berdasarkan pemeriksaan morfologi adalah
Eimeria magna, Eimeria stiedai, Eimeria perforans dan Eimeria flavescens (Indrasanti dkk., 2013).
Diagnosis koksidiosis pada hewan hidup dapat dilakukan dengan pemeriksaan sampel feses dan untuk
penelitian lebih lanjut dapat dilakukan sporulasi (Lakshmanan, et al., 2011).

versi elektronik 436


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Gambar 1. Organ hati, duodenum dan ginjal yang terinfeksi koksidiosis

versi elektronik
Gambar 2. Ookista Eimeria sp., a. Ookista telah bersporulasi, b. Ookista belum bersporulasi
Pemilihan sampel organ untuk pembuatan preparat histopatologi didasarkan pada pemeriksaan
makroskopik organ, dimana organ menunjukkan tanda-tanda makroskopik yang menciri serta dari

versi elektronik
pemeriksaan feses, dimana didapatkan jumlah ookista yang cukup banyak. Organ kelinci normal dan
organ kelinci yang menunjukkan gejala klinis koksidiosis, namun tidak ditemukan ookista di dalam feses,
dianalisis pula sebagai pembanding. Analisis histopatologi pada berbagai organ (hati, duodenum, sekum
dan ginjal) menunjukkan adanya degenerasi hidropik yang ditandai dengan adanya vakuolisasi berbatas
tidak jelas berbagai ukuran pada sitoplasma, radang yang ditandai adanya infiltrasi sel radang, sedangkan
multifokal nekrosis ditandai adanya nekrosis lebih dari satu tempat. Selain itu dapat diamati adanya
radang granulomatosa yang ditandai adanya sentral nekrosis kaseosa, infiltrasi sel radang dan proliferasi
jaringan ikat duodenum (Gambar 3).

versi elektronik
Gambar 3. Radang granulomatosa pada duodenum yang terinfeksi Eimeria sp. HE. (100x)
Nekrosis merupakan kematian sel yang ditandai dengan inti yang memekat (kariopiknotik), inti yang
pecah (karioreksis) dan inti yang lisis (kariolisis) serta infiltrasi limfosit serta sitoplasma yang lebih
eosinofilik. Nekrosis pada tubulus ginjal (Gambar 4), nekrosis interstitialis pada hati (Gambar 5), limfosit
infiltrasi multifokal pada Trigonum Kiernan dan degenerasi lemak pada hati (Gambar 6) dan nekrosis
serta limfoproliferatif pada duodenum (Gambar 7 dan 8).

versi elektronik 437


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Gambar 4. Ren yang mengalami nekrosis pada tubulusnya. HE (200x)

versi elektronik
Gambar 5. Nekrosis interstitialis pada hati. HE (200x)

versi elektronik
Gambar 6. Limfosit infiltrasi multifokal pada Trigonum Kiernan dan degenerasi lemak pada hati. HE
(200x)

versi elektronik 438


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

versi elektronik
Gambar 7. Duodenum yang mengalami nekrosis. HE (100x)

versi elektronik
Gambar 8. Limfoproliferatif pada duodenum. HE (100x)

versi elektronik
Gambar 9. Hati yang mengalami edema. HE (200x)

versi elektronik
Hati kelinci yang secara alami terinfeksi koksidiosis menunjukkan infiltrasi sel mononuklear dalam
parenkim hati (Al Naimi et al., 2012). Pada duodenum menunjukkan nekrosis serta proliferasi getah
bening. Limfoproliferatif ditandai adanya peningkatan jumlah limfosit di lempeng peyer di bagian sub
mukosa serta terdapat infiltrasi leukosit difus, yang terutama terdiri limfosit, dan eosinofil plasmasel,
yang diamati dalam koksidiosis usus (Yakhchali and Tehrani, 2007). Edema pada hati (Gambar 9)
ditandai dengan terpisahnya struktur jaringan satu dengan yang lain dan terdapatnya fibrin pada jaringan

439
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
hati. Hal itu sesuai dengan pernyataan Yakhchali dan Tehrani (2007) dimana diameter hati yang terinfeksi
koksidiosis akan memebesar hingga beberapa millimeter, serta adanya edema dan infiltrasi sel-sel
inflamasi (eosinofil, limphocytes dan plasmasel). Pemeriksaan histopatologi koksidiosis dapat
mengungkapkan perubahan yang terjadi pada organ dan tahap perkembangan parasit mikroskopis (Al -

versi elektronik
Rukibat 2001; Darzi , 2007, Al - Mathal, 2008; Amer, et al., 2010). Parasit Eimeria sp. terdeteksi dalam
berbagai tahap perkembangan pada sekum (Gambar 11).

versi elektronik
Gambar 11. Berbagai tahap perkembangan Eimeria sp.yang terdeteksi pada sekum. HE (200x)
Sebagian besar kelinci yang terinfeksi koksidiosis menunjukkan perubahan histopatologi pada organ
diperiksa (hati, duodenum, sekum dan ginjal). Koksidiosis menyebabkan kerusakan organ serta jaringan
di mana hasil dari lesi histopatologi memperkuat pemeriksaan parasitologi tentang keberadaan ookista (Al
Mathal, 2008). Atropi filli usus akan menyebabkan malabsorpsi nutrisi, mengacaukan keseimbangan
elektrolit, anemia, hipoproteinemia dan dehidrasi. Hal ini akan menimbulkan kerugian secara ekonomi
pada kelinci komersial (Pellerdy, 1965). Sanitasi pemeliharaan dan kontrol manajemen peternakan kelinci
memainkan peran penting dalam mengendalikan penyakit terutama koksidiosis.

KESIMPULAN

versi elektronik
Infeksi koksidiosis pada kelinci di Kabupaten Banyumas menyebabkan perubahan histopatologi pada hati,
duodenum, sekum dan ginjal. Koksidiosis kelinci di Kabupaten Banyumas adalah koksidiosis bentuk hati
dan usus.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mathal, E.M. 2008. Hepatic coccidiosis of the domestic rabbit Oryctolagus cuniculus domesticus L. in
Saudi Arabia. World J. Zool. 3 (1): 30-35.
Al-Naimi, R.A.S., O.H. Khalaf, S.Y. Tano and E.H. Al-Taee. 2012. Pathological study of hepatic
coccidiosis in naturally infected rabbits. AL-Qadisiya Journal of Vet.Med.Sci. 11 (1): 63-69.
Al-Rukibat, R.K., A.R. Irizarry, J.K. Lacey, K.R. Kazacos, S.T. Storandt and D.B. DeNicola. 2001.
Impression smear of liver tissue from a rabbit. Vet. Clin. Pathol. 30 (2): 57-61.
Amer, M.M., M.H.H. Awaad, R.M. El-Khateeb, N.M.T.N. Abu-Alezz, A. Sherein-Said, M.M. Ghetas

versi elektronik
and M.A. Kutkat. 2010. Isolation and identification of eimeria from field coccidiosis in chickens.
J. Am. Sci. 6 (10): 1107-1114.
Barriga, O.O. and J.V. Arnoni. 1981. Pathophysiology of hepatic coccidiosis in rabbits. Vet Parasitol. 8:
201-210.

440
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Coudert, P., L. Licois and F. Drouet Viard. 1995. Eimeria Species and Strain of Rabbits in:
Biotechnology, Guidelines on Techniques in Coccidiosis Research. European Commision.
Luxembroug. Pp: 52-73.

versi elektronik
Darzi, M.M., M.S. Mir, S.A. Kamil, N. Nashirudullah and Z.H. Munshi. 2007. Pathological changes and
local defense reaction occuring in spontaneous hepatic coccidiosis in rabbits (Oryctolagus
cuniculus). World Rabbit Sci. 15:23-28.
Ensminger, M.E., J.E. Oldfield and W. Heinemann. 1990. Feeds and Nutrition. The 2nd Ed. Ensminger
Publishing, USA
Indrasanti, D., S. Hastuti, dan S.J.A. Setyawati. 2013. Isolasi, identifikasi morfologi dan perbanyakan
Eimeria sp. pada kelinci dari kasus lapang di Kabupaten Banyumas. Prosiding Pengembangan
Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III. LPPM Unsoed. Purwokerto
Iskandar, T. 2005a. Beberapa penyakit penting pada kelinci di Indonesia. Prosiding, Lokakarya Nasional.
Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci, Puslitbang Peternakan, Bogor, 30
September 2005. Halaman 168-175.
Iskandar, T. 2005b. Masalah koksidiosis pada kelinci serta penanggulangannya. Prosiding, Lokakarya

versi elektronik
Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan, Usaha Agribisnis Kelinci, Puslitbang Peternakan,
Bogor, 30 September 2005. Hal. 180-188.
Lakshmanan, B., R. Ravindran, V.N. Vasudevan and K. Devada. 2011. Hepatic coccidiosis in rabbits in
Kerala. Clinical Report. JIVA. 9 (2): 56-57.
Levine, N.D. 1985. Veterinary Protozoology. Iwoa State University Press, Ames. 221-223.
Pellerdy, L.P. 1965. Coccidia and Coccidiosis. Akademia Kiado. Publishing House of the Hungarian
Academy of Sciences, Budapest. 323-358.
Pramesti, U.D., M. Indradji, D. Indrasanti. 2013. Umur dan sanitasi terhadap koksidiosis pada kelinci di
sentra peternakan kelinci di Kabupaten Banyumas. JIP. 1 (1) 359-364.
Setyawati, S.J.A., D. Indrasanti, S. Hastuti, E. Yuwono, M. Indradji dan D. Prabowo. 2012. Inventarisasi
penyakit ternak kelinci di sentra peternakan kelinci di Kabupaten Banyumas. Prosiding, Seminar

versi elektronik
Nasional. Teknologi dan Agribisnis Peternakan dalam Mendukung Pemenuhan Protein Hewani
Nasional. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 6 Juni 2012.
Soulsby, E.J.L. 1986. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. The 7th Ed. Bailiere
Tindall, London
Whitlock, H.V., 1948. Some Modifications of the Mc Master Helminth Egg-Counting Technique and
Apparatus. J. Counc. Sci. Indust. Res. 21: 117-118.
Yakhchali, M. and A. Tehrani. 2007. Eimeriidosis and Pathological Finding in New Zealand White
Rabbit. Int. J. Biol. Sci. 7 (8): 1488-1491.

versi elektronik 441


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
INTRODUKSI PEJANTAN DAN KANDANG MODEL LITBANGTAN TERHADAP ANGKA
KEBUNTINGAN SAPI DARA
Dian Ratnawati dan Ainur Rasyid

versi elektronik
Loka Penelitian Sapi Potong, Pasuruan Jawa Timur

ABSTRAK
Reproduction is a very important factor in the national beef cattle business. Heifer has an important
position to cow-calf operation system. Properly mating with high pregnancy rate is a key target in the
management of heifers. The constraints are silent estrus of heifers (at puberty) so that difficult to identify
fixed time for mating. Bulls as an estrous detector and apply Litbangtan pen models could be a solution of
this constraints. The purpose of this activity is to determine reproduction performance of heifer through
bull introduction and Litbangtan pen models. This research used 40 heifers which divided into 2 groups,
there are group I and II. Every group consist of 20 heifer and 1 bull. Analyzing fertility of bull was done
before treatment. Scoring BCS and monitoring of reproduction normality were done at the start and end
of activity. Identification of pregnant heifers was done after 3 months were mixed with bull by rectal
palpation. Duration of this research was started at June-October 2012. The results showed that heifers
with body condition score good (>5,5) and reproduction status normal (not hypofunction or atrophy

versi elektronik
ovaries) pretends to have higher pregnancy rate (50%). It can be concluded that introduction of bulls and
Litbangtan pen models result pregnancy rate 25% (group I) and 50% (group II). It still needs a feed
improvement to increasing body condition score and reproduction performance (pregnancy rate) of
heifers.
Keywords: reproduction, bull, litbangtan pen

PENDAHULUAN
Reproduksi merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha sapi potong nasional. Status reproduksi
ternak menentukan produktivitas ternak. Produktivitas sapi potong sangat erat kaitannya dengan
produktivitas betina sapi potong. Sapi dara mempunyai potensi yang besar dalam usaha cow-calf
operation. Salah satu permasalahan yang terjadi pada sapi dara diantaranya rendahnya efisiensi
reproduksi.
Perkawinan yang tepat dengan angka kebuntingan tinggi merupakan target utama pada manajemen sapi

versi elektronik
dara. Permasalahan yang terjadi sapi dara adalah estrus pertama saat pubertas terjadi secara tenang (silent
heat) dengan durasi antar siklus yang relative pendek 11 hari, sehingga sangat sult untuk mengidentifikasi
sapi birahi dan memperkirakan waktu kawin yang tepat. Hal ini menyebabkan waktu kawin yang tidak
tepat terutama apabila menggunakan IB sehingga angka kebuntingan sangat rendah.
Pendeteksi birahi dan pemacek kawin dengan pejantan alam dapat menjadi suatu pertimbangan untuk
mencapai target tersebut. Sistem kandang lepas model Litbangtan dengan introduksi pejantan didalamnya
memberikan kemungkinan permasalahan tersebut dapat diatasi. Berkumpulnya betina dengan pejantan
memberikan kemudahan pejantan untuk dapat mendeteksi betina birahi dan langsung dapat dikawini.
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui performans reproduksi sapi dara melalui kandang model
Litbangtan dan introduksi pejantan sapi PO.

METODE PENELITIAN
Efektifitas pemanfaatan pejantan pemacek sapi PO hasil seleksi Loka Penelitian Sapi Potong dilakukan

versi elektronik
dilakukan melalui uji sistem perkawinan menggunakan kandang kelompok ” Model Litbangtan” yang
dilakukan pada UPT Budidaya ternak – Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan. Penelitian ini
menggunakan 40 ekor sapi dara turunan (PO X Brahman Amerika) yang berumur diatas 2 s/d 3 tahun.
Penelitian dilakukan selama 5 bulan (Juni-Oktober 2012). Materi dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok I dan II. Setiap kelompok diletakkan dalam kandang tersendiri dengan mengadopsi tipe
kandang Litbangtan dan diberikan 1 ekor pejantan sapi potong. Pencampuran dara dengan pejantan

442
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dilakukan selama 3 bulan. Sebelum perlakuan diberikan, dilakukan pemeriksaan normalitas saluran
reproduksi melalui palpasi oleh petugas ATR. Pengukuran bobot badan dan skor kondisi tubuh (SKT 1-
9) dilakukan pada awal dan akhir pengamatan. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan pada satu periode
kawin sekitar 3 bulan setelah pencampuran dengan pejantan.

versi elektronik
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan parameter: skor kondisi tubuh, kondisi organ
reproduksi dan tingkat kebuntingan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Introduksi Pejantan
Pejantan yang diintroduksikan merupakan hasil seleksi dari Loka Penelitian Sapi Potong. Terdapat 2 ekor
sapi jantan PO yang diintroduksikan dalam kegiatan ini. Pejantan ditempatkan dalam 2 kandang model
Libangtan dan masing-masing dicampur dengan 20 ekor sapi dara. Pada kondisi awal, sapi dara sudah
pernah dikawin dengan IB, namun tidak berhasil bunting. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab
gagalnya kebuntingan, salah satunya adalah deteksi dini yang tidak tepat. Salah satu solusi untuk
mengatasinya permasalahan tersebut adalah dengan introduksi pejantan. Pejantan merupakan detektor
birahi yang tepat untuk sapi dara sehingga tidak perlu dilakukan deteksi birahi. Pejantan akan mengikuti

versi elektronik
betina birahi dan mengawini dengan sendirinya.
Pemilihan pejantan pemacek harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: performans fisik, umur
dan fertilitas. Performans fisik yang harus diperhatikan adalah: lingkar skrotum dan tidak adanya cacat
fisik. Lingkar skrotum menggambarkan volume semen yang dihasilkan. Volume semen yang lebih besar
dan fertile memberikan peluang keberhasilan kebuntingan yang lebih tinggi. Cacat fisik harus dihindari
karena menyulitkan saat terjadinya perkawinan.
Faktor umur juga harus dipertimbangkan, pejantan muda dan fertile merupakan pilihan paling bijaksana.
Hindari pemilihan pejantan yang besar karena menyulitkan saat handling sehingga rentan menjadi stress.
Stress yang terjadi pada pejantan akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap penurunan
fertilitasnya. Dibutuhkan waktu 2 bulan untuk memulihkan fertilitas pejantan dengan asupan pakan yang
baik secara kualitas dan kuantitas (Fordyce, 2011). Pertambahan umur pejantan berbanding lurus dengan
volume semen dan berbanding terbalik dengan motilitas dan konsentrasi sperma (Lestari et al., 2013).
Salah satu upaya mengukur fertilitas pada sapi jantan adalah dengan menganalisa kualitas semennya.

versi elektronik
Semen hasil tampungan pejantan tersebut sudah dianalisa sebelumnya di Laboratorium Reproduksi
Ternak (Loka Penelitian Sapi Potong) dengan hasil sebagaimana tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Semen Sapi Jantan PO Hasil Seleksi.
Pejantan 1 (Kandang I) Pejantan 2 (Kandang II)
Parameter 2010/26 2010/29
Ejakulasi 1 Ejakulasi 2 Ejakulasi 1 Ejakulasi 2
Motilitas (%) 85 85 85 80
Gerak massa 3 3 2-3 2
Sperma normal (%) 80 87 95 80
Sperma abnormal (%) 1 4 0 1
Konsentrasi (juta/ml) 1840 2180 1260 980

versi elektronik
Terdapat beberapa persyaratan sehingga seekor pejantan layak untuk mengawini betina sapi potong.
Hafez (2000) menyatakan bahwa kualitas semen minimal untuk seekor pejantan adalah: motilitas sperma
>50%, konsentrasi sperma >50 juta/ml dan abnormalitas sperma <20%. Berdasarkan standar tersebut
maka 2 ekor pejantan yang diintroduksikan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kualitas
sperma pejantan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: berat badan, umur, sifat genetik, suhu,
musim, frekuensi ejakulasi dan pakan (Susilawati et al., 1993). Bobot badan berpengaruh secara nyata

443
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
terhadap jumlah sperma semen segar dan berpengaruh sangat nyata terhadap volume dan dan konsentrasi
semen segar (Adyatma, 2013).
Skor Kondisi Tubuh dan Bobot Badan

versi elektronik
Kegiatan penelitian diawali dengan pencarian materi berupa sapi dara untuk dilakukan skoring dan
penimbangan bobot awal penelitian. Data skoring dan penimbangan bobot awal tersebut tertera dalam
tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Skor Kondisi Tubuh (SKT) dan Rataan Bobot Badan Sapi Dara.

Parameter Kelompok I Kelompok II


Jumlah sapi dara (ekor) 20 20
SKT >5,5 (ekor) 9 12
SKT <5 (ekor) 11 8

Sapi dara dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I dan II. Kelompok I didominasi oleh sapi

versi elektronik
dara dengan SKT <5 dan kelompok II didominasi sapi dara dengan SKT >5,5. Berdasarkan tabel diatas,
pada kelompok I terdapat 9 ekor sapi dara (45%) dengan skor kondisi tubuh >5,5 dan 11 ekor (55%)
dengan skor kondisi tubuh <5. Sedangkan pada kelompok II terdapat 12 ekor sapi dara (60%) dengan
skor kondisi tubuh >5,5 dan 8 ekor (40%) dengan skor kondisi tubuh <5. Penilaian skor kondisi tubuh
sapi dara dapat digunakan untuk estimasi lemak tubuh sapi dara. Persentasi lemak tubuh dapat digunakan
untuk menentukan tingkat kebuntingan, namun pada sapi dara sulit untuk dilakukan. Hasil penelitian
Morrison et al. (1992) menunjukkan bahwa SKT optimum pada sapi dara untuk dapat kawin adalah 5-6
(kisaran 1-9). Sedangkan untuk SKT 4 atau 7 yang terlalu rendah atau terlalu tinggi sering dikaitkan
dengan penurunan performans reproduksi ternak (Wilson, 1996). Terdapat 11 ekor pada kelompok I dan 8
ekor pada kelompok II sapi dara dengan SKT <5. Sedangkan untuk SKT >5.5 pada kelompok I terdapat 9
ekor dan kelompok II terdapat 12 ekor. Batasan SKT terendah dan tertinggi adalah 4,5 dan 7. Berdasarkan
hasil yang tertera pada tabel 2, sapi dara sudah memenuhi SKT untuk dapat kawin.
Bobot badan merupakan salah satu faktor penting untuk suatu betina mencapai estrus. Dibutuhkan suatu

versi elektronik
batas minimal bobot badan betina untuk dapat birahi, setidaknya 65% bobot badan dewasa (Bolze and
Corah, 1993). Hal ini senada dengan pernyataan Geoffrey (2011) bahwa pubertas terjadi apabila bobot
sapi sudah mencapai 2/3 bobot dewasanya.
Normalitas Saluran Reproduksi dan Tingkat kebuntingan
Normalitas saluran reproduksi sapi dara merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan
reproduksi sapi dara. Kondisi reproduksi sapi dara sebelum perlakuan tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Organ Reproduksi dan Tingkat Kebuntingan (Pregnancy Rate).

Parameter Kelompok I Kelompok II

Kondisi awal organ reproduksi


Normal (ekor) 17 16

versi elektronik
Hipofungsi Ovarium (ekor) 2 3
Atropi (ekor) 1 1
Pregnancy Rate (%)* 25 50
Keterangan: * data diperoleh setelah 3 bulan pencampuran dengan pejantan (introduksi pejantan)

444
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Beberapa sapi dara pada dua kelompok tersebut mempunyai saluran reproduksi normal (80-85%),
sebagian lainnya hipofungsi (10-15%) dan atropi ovari (5%). Hipofungsi merupakan suatu kondisi
ovarium lebih kecil dari ukuran normalnya dan sebagian disebabkan karena nutrisi yang kurang baik.
Perbaikan manajemen pakan yang optimal akan memperbaiki kondisi ovarium sehingga kejadian

versi elektronik
hipofungsi dapat dihindari. Sedangkan atropi ovari merupakan suatu kondisi dimana ovarium sangat kecil
dan tidak bisa diperbaiki dengan perbaikan pakan maupun perlakuan hormonal.
Pada kelompok I terdapat 10 ekor sapi dara yang bunting setelah dicampur dengan pejantan selama 3
bulan. Sapi dara yang berhasil bunting merupakan dara dengan skor kondisi >5,5. Diketahui bahwa
kondisi reproduksi sapi dara sebelum perlakuan adalah normal (9 ekor) dan hipofungsi uteri (1 ekor).
Sedangkan pada kelompok II terdapat 5 ekor sapi dara yang berhasil bunting dan semua dara tersebut
mempunyai SKT >5,5. Hasil pemeriksaan normalitas saluran reproduksi betina sebelum perlakuan adalah
normal (4 ekor) dan hipofungsi ovari (1 ekor). Sapi dengan SKT lebih baik cenderung menghasilkan
tingkat kebuntingan yang lebih tinggi. Hal ini saling terkait bahwa SKT yang baik menunjukkan status
pemenuhan nutrisi tubuh yang baik. Pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat mendukung fungsi reproduksi
ternak diantaranya normalitas saluran reproduksi dan keberhasilan kebuntingan.
Estrus pertama pada sapi dara (pubertas) umumnya adalah birahi tenang dengan jarak dengan siklus

versi elektronik
berikutnya lebih pendek. Sedangkan pada estrus berikutnya, birahi normal (jarang birahi tenang) dan fertil
dengan jarak antar ovulasi 18-24 hari. Waktu perkawinan saat estrus pertama (puber) mempunyai tingkat
kebuntingan lebih rendah (57%) daripada dikawinkan saat estrus ketiga (78%). Tingkat kebuntingan yang
didapat pada kelompok I dan II masih rendah yaitu 25% dan 50%. Hal ini kemungkinan disebakan karena
kondisi tubuh yang belum baik dan optimal sehingga kurang mendukung performans reproduksinya.
Kondisi pakan yang rendah atau medium akan berpengaruh terhadap capaian bobot badan yang rendah.
Sedangkan dara dengan kondisi pakan yang baik akan mendukung pencapaian bobot badan lebih
maksimal sehingga lebih cepat menunjukkan pubertas (83%). Tingkat kebuntingan sapi dara dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya: waktu kawin (estrus), pakan, SKT, dan kondisi saluran reproduksinya.
Pakan yang diberikan pada tiap ternak per hari pada 2 bulan awal penelitian adalah sebagai berikut:
rumput gajah 40 kg, rumput gajah kering (hay) 4 kg. Pada periode selanjutnya yang merupakan musim
kemarau, jumlah pakan yang diberikan sangat terbatas. Setiap ternak hanya mendapatkan jerami padi
kering (ad libitum) dan pakan penguat sebanyak 2-3 kg. Analisa pakan tidak dilakukan, namun secara

versi elektronik
kasar tingkat pemenuhan kebutuhan nutrisi masih kurang. Hal ini terindikasi menjadi penyebab kurang
optimalnya performans reproduksi pada sapi dara.

KESIMPULAN
Introduksi pejantan dan penerapan kandang model Litbangtan pada sapi dara mampu menghasilkan angka
kebuntingan (pregnancy rate) 25% pada kelompok I dan 50% pada kelompok II. Diperlukan adanya
perbaikan pakan secara kualitas dan kuantitas sehingga skor kondisi tubuh dan performans reproduksi
(pregnancy rate) sapi dara lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Adyatma, M., N. Isnaini dan Nuryadi. 2013. Pengaruh Bobot Badan Terhadap Kualitas dan Kuantitas
Semen Sapi Simmetal. Jurnal Ternak Tropika Vol. 14, No. 2: 53-62.
Corah. 1993. Selection and development of replacement heifers. Cooperative Extension Service, Kansas
State University, Manhattan.

versi elektronik
Fordyce, G. 2011. Oestrus Detection. Slides of Planning Meeting Project ACIAR. The University of
Queensland, Centre for Animal Science. Queensland Alliance for Agriculture and Food
Innovation, Charters Towers

445
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Lestari, S., D. M. Saleh dan Maidaswar. 2013. Profil Kualitas Semen Segar Sapi Pejantan Limousin
Dengan Umur Yang Berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa Barat. Jurnal Ilmu
Peternakan I(3): 1165-1172.

versi elektronik
Morrison, D. G., J. I. Feazel, C. P. Bagley, and D. C. Blouin. 1992. Postweaning growth and reproduction
of beef heifers exposed to calve at 24 or 30 months of age in spring and fall seasons. J. Anim. Sci.
70:622.
Short, R. E., and R. A. Bellows. 1971. Relationships among weight gains, age at puberty and reproductive
performance in heifers. J. Anim. Sci. 32:127. Bolze, R. and L. R.
Susilawati, T., Suyadi, Nuryadi, N. Isnaini dan S. Wahyuningsih. 1993. Kualitas Semen Sapi Fries
Holland dan Sapi Bali Pada Berbagai Umur dan Berat Badan. Laporan Penelitian. Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Wilson, L. A. 1996. Prediction of Fertility of Virginia Beef Heifers Using Expert Systems Technology.
Thesis submitted to the Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 446


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
DETEKSI BAKTERI INDIKATOR SANITASI LINGKUNGAN PETERNAKAN SAPI PERAH
YANG MENGOLAH LIMBAH MENGGUNAKAN BIOGAS
Ellin Harlia, Yuli Astuti, dan Firli

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Email : harliaelin@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi bakteri indikator sanitasi lingkungan peternakan sapi perah
yang mengolah limbah menggunakan biogas. pada reaktor biogas tipe fixed-dome dan fiber. Penelitian ini
dilakukan secara deskriptif. Metode pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling untuk
reaktor tipe fixed-dome diambil sebanyak 5 sampel dan metode sensus untuk reaktor tipe fiber diambil
sebanyak 3 sampel . Peubah yang diukur adalah jumlah bakteri total dari tiga titik yaitu sebelum masuk
biogas, lumpur yang keluar dari biogas dan lumpur akhir serta mendeteksi bakteri indikator sanitasi.
Hasil penelitian memperlihatkan Terdapat penurunan jumlah bakteri total dari ketiga titik pengambilan
sampel, penurunan jumlah bakteri ini disebabkan oleh suhu termofilik yang terjadi pada fase hidrolisis
dalam suasana anaerobik reaktor biogas. Hasil deteksi diperoleh bakteri E. coli, Coliform fecal dan
Enterococcus

versi elektronik
Kata Kunci: Feses sapi perah, biogas, lumpur, bakteri total, Eschericia coli,

ABSTRACT
This study aims to detect environmental sanitation indicator bacteria dairy farm waste using biogas, on
the reactor type fixed-dome biogas and fiber. The research was done descriptively. The sampling method
using simple random sampling for fixed-dome type reactor is taken as 5 samples and census methods for
fiber-type reactor is taken as 3 samples. The variables measured were the total bacterial counts of the
three points, namely before entering the biogas, biogas slurry and mud out of the end and detection
bacteria sanitation indicator. The results showed the reduction of the total bacterial counts of the three
sampling points, a decrease in the number of bacteria is caused by thermophilic temperatures that occur in
the atmosphere of the anaerobic hydrolysis phase biogas reactor. The results obtained by the detection of
the bacteria Escherichia coli, fecal coliform and Enterococcus.
Keywords: dairy cattle feces, biogas, sludge, total bacteria, Escherichia coli,

versi elektronik
PENDAHULUAN
Limbah ternak sapi perah di Kecamatan Tanjungsari mencapai 84 ton per hari, apabila dibiarkan
bertumpuk tanpa ada pengelolaan yang benar akan menjadi masalah bagi lingkungan yaitu pencemaran
terhadap sumber air, tanah. dan udara dapat mengganggu kesehatan karena adanya patogen zoonosis.
Satu ekor sapi perah dengan bobot badan 300-500 kg dapat menghasilkan limbah padat dan cair sebesar
7-8% dari bobot ttubuhnya. Sanitasi dan higiene penting untuk diterapkan di lingkungan peternakan sapi
perah dengan menggunakan pengolahan biogas mengingat limbah ternak mengandung berbagai macam
mikroorganisme, diantaranya adalah protozoa, fungi, bakteri, dan virus. Mikroorganisme ini berpotensi
menyebabkan penyakit pada manusia dan ternak ( Zbigniew Paluszak et al, 2012) . Lebih dari 150
bakteri patogen ditemukan dalam kotoran ternak menimbulkan resiko untuk manusia, termasuk
Campylobacter spp., Salmonella spp., Listeria monocytogenes, Escherichia coli O157:H7,
Cryptosporidium parvum and Giardia lamblia, dimana jumlahnya lebih dari 90% menyebabkan penyakit
terhadap manusia penularannya melalui makanan dan air (Cempirkova, R. 2007 ). Bakteri koliform dan

versi elektronik
merupakan bakteri yang merupakan penghuni normal saluran pencernaan manusia dan hewan, Oleh
karena itu digunakan sebagai bakteri indikator pencemaran oleh feses (Pelczar dan Chan, 2005).
Feses ternak sapi perah dapat diolah agar tidak mencemari lingkungan, menjadi pupuk organic dan
sumber energi alternatif yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Biogas merupakan gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik atau fermentasi dari bahan organic, gas

447
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
yang dominan dihasilkan adalah gas methan (CH4) dan karbondioksida (CO2) sehingga dapat
menurunkan emisi gas terhadap lingkungan (Simmamora, 1989; Umetsu, et al. 2009). Pembentukan
biogas memerlukan sebuah ruangan hampa udara yang menjadi media tempat terjadinya proses
fermentasi bagi bahan biogas. Terdapat beberapa tipe reaktor biogas yang banyak digunakan di Jawa

versi elektronik
Barat ini adalah reaktor tipe kubah tetap (fixed-dome) dan reaktor tipe fiber.Tiga kelompok bakteri yang
berperan dalam pembentukan biogas, yaitu kelompok hidrolisis, kelompok asetogenik, dan kelompok
methanogenik, masing-masing kelompok bekerja sesuai tingkatan proses tersebut (National Academy of
Science, 1977). pengolahan limbah ternak menggunakan biogas melalui proses anaerob memberikan
beberapa keuntungan yaitu menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile solid, nitrogen nitrat,
dan nitrogen organic, bakteri Coliform dan patogen lainnya, telur insek, parasit, bau juga dihilangkan
atau menurun (Caroline Cote, et al, 2006). Melalui fermentasi anaerob, diperoleh hasil ikutan berupa
lumpur dari biogas. Lumpur biogas atau sering disebut lumpur merupakan hasil sampingan dari biogas
dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang berkualitas. Penggunaan lumpur biogas sebagai
pupuk organik dikatakan baik apabila memenuhi spesifikasi mutu produk pupuk organik yang aman bagi
lingkungan dan kesehatan. Spesifikasi pupuk organik/kompos yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi
Nasional (BSN) Standar Nasional Indonesia 19-7030-2004 dan United States Environmental Protection
Agency (EPA) memberikan batas jumlah Eschericia coli dalam pupuk organik tidak lebih dari 1000

versi elektronik
MPN/gr dan untuk Salmonella sp. tidak lebih dari 4 MPN/gr. Kotoran ternak merupakan sumber
kontaminasi bakteri fecal terhadap lingkungan udara, air dan tanah (Zbigniew Paluszak et al, 2012).

METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah feses sapi perah segar, lumpur sisa proses biogas yang di ambil dari outlet
digester biogas (fixed-dome dan fiber), aquades, alkohol, NaCl Fisiologis, Lactose Broth (LB), dan Mac
Conkey Agar. Alat yang digunakan adalah cooling box, autoklav, erlenmeyer, timbangan, bunsen,
spiritus, alumunium foil, kapas, kantong plastik, karet pengikat, mikroskop, gelas ukur, tabung reaksi, rak
tabung reaksi, cawan petri, batang pengaduk, objek glass,ose, pipet tetes, colony counter, kertas label,
termometer.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, Metode pengambilan sampel untuk reaktor fixed-dome
(FD) menggunakan metode Random sampling karena jumlah reaktor tersebut berjumlah 50 dengan
penentuan sampel diambil 10% dari populasi, sehingga sampel dari reaktor fixed-dome (FD) tersebut

versi elektronik
diambil sejumlah 5 sampel. Untuk reaktor Fiber (F) didapat hanya 3 reaktor di seluruh wilayah penelitian
pengambilan sampel secara sensus. Perhitungan jumlah bakteri menggunakan Total Plate Count (TPC)
berdasarkan Fardiaz (1993) dengan media Nutrient Agar NA). Identifikasi bakteri indikator sanitasi
secara makroskopis menggunakan media selektif Mac Conkey, dan mikroskopis menggunakan
pewarnaan Gram.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah Bakteri Total
Hasil perhitungan jumlah bakteri total ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Jumlah Bakteri Total Sebelum dan Sesudah Proses biogas
Tipe Reaktor SMB SKDB LBA
....X 106 CFU/ml
Fixed dome 7,32 2,44 0,25

versi elektronik
Fiber
13,67 3,73 0,12
Keterangan : SMB = Sebelum masuk biogas; SKDB= Setelah keluar dari biogas; LBA = Lumpur biogas akhir

Tabel 1. Memperlihatkan terjadinya penurunan jumlah bakteri setelah keluar dari biogas dan jumlah
terendah diperoleh pada lumpur biogas akhir. Penurunan jumlah bakteri terjadi karena suhu termofilik dan
suasana anaerob. Proses anaerobik dapat berlangsung pada keadaan mesofilik pada temperatur 35⁰C dan

448
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
thermofilik pada temperatut 54⁰C (Engler et al., 2000). Dalam proses fermentasi didalam reaktor yang
terkendali, suhu akan meningkat secara bertahap mulai dari suhu mesofilik atau suhu awal yaitu < 40oC
kemudian meningkat sampai suhu thermofilik (40-70oC) dan kemudian turun kembali menjadi <40oC.
Diindikasikan temperatur termofilik pada tahap hidrolisis mereduksi bakteri pathogen ketika pada saat

versi elektronik
temperatur mesofilik tidak mempunyai efek terhadap bakteri pathogen (Bendixen, 1994).
Deteksi Bakteri Indikator Sanitasi
Hasil identifikasi bakteri indikator sanitasi secara makroskopis pada media selektif Mac Conkey diperoleh
koloni warna merah, Hasil pewarnaan Gram diperoleh bakteri Gram negatif bentuk batang berwarna
merah dan hasil uji biokimia disajikan pada Tabel 2. Hasil identifikasi bakteri indikator diperoleh bakteri
Gram negatif, didominasi oleh Eschericia coli,diikuti oleh fecal coliform dan Enterococcus. Hasil
perhitungan ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata penurunan bakteri Escherichia coli
Tipe reaktor Jumlah bakteri (X 105CFU/gram) Presentase
penurunan (%)
Awal akhir

versi elektronik
Fixed dome 37,2 1,5 95,464
Fiber 64,8 0,3 98,98

Terganggunya sanitasi lingkungan diungkapkan oleh D. I. Massé et al (2009) bahwa bakteri Eschericia
coli adalah suatu bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya kontaminasi feses dan kondisi sanitasi
yang tidak baik. Kotoran ternak merupakan sumber kontaminasi bakteri fecal terhadap lingkungan
udara, air dan tanah (Zbigniew Paluszak et al, 2012). Pengolahan limbah ternak menggunakan biogas
ternyata dapat menurunkan jumlah bakteri Escherichia coli, (Caroline Cote et al, 2006; JS.Rosenblum.
2013) menyatakan bahwa pada proses pembentukan biogas suasana anaerob dan suhu termofilik dapat
menurunkan bakteri kelompok Koliform dalam waktu beberapa hari dibandingkan dengan suasana anarob
pada suhu mesophilik dalam waktu beberapa minggu. Presentase penurunan jumlah bakteri Escherichia
coli lebih besar pada tipe reaktor fiber dibandingkan dengan reaktor fixed dome

versi elektronik
KESIMPULAN
Pengolahan limbah menggunakan biogas dapat mereduksi jumlah bakteri termasuk mereduksi bakteri
indikator sanitasi lingkungan yaitu bakteri Eschericia coli. Penurunan jumlah bakteri total dan presentasi
penurunan jumlah bateri Escherichia coli terbesar terjadi pada reaktor fiber.

DAFTAR PUSTAKA
Bendixen, H.J. 1994. Safeguards against pathogens in Danish biogas plants. Cape Town, South Africa.
Proceedings of the IAWQ Seventh International Symposium on Anaerobic Digestion.
Caroline Cote, Daniel I. Masse, Sylvain Quessy . 2006. Reduction of indicator and pathogenic
microorganisms by psychrophilic anaerobic digestion in swine slurries. Bioresource Technology
97 : 686–691
Cempirkova, R., Šoch M. 2007. The Analysis of Real Microbiological Risks for Dissociated Slurry.

versi elektronik
Agricultura Tropica et Subtropica. Vol. 40(4)
D. I. Massé, L. Masse, Y. Xia and Y. Gilbert Potential. 2009.of low temperature anaerobic digestion to
address current environmental concerns on swine production published online .ANIM SCI The
online version of this article, along with updated information and services, is located on
http://www.journalofanimalscience.org/content/early/2009/10/23/jas.2009-2432

449
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Dumontet, S., H. Dinel, and S.B. Balosa. 1999. Pathogen reduction in sewage sludge by composting and
other biological treatments: A review. Biological Agriculture and Horticulture 16:409-430.
Engler, C .R ., M.J. McFarland and R.D. Lacewell. 2000 . Economic and environmental impact of biogas

versi elektronik
production as a Manure Management Strategy. Texas: Departement of Agriculural Engineering,
Texas A&M University.
J.S. Rosenblum. 2013. The Relationships of Pathogenic Microbes, Chemical Parameters, and Biogas
Production During Anaerobic Digestion of Manure-based Biosolids.Dissertation in the Graduate
School of The Ohio State University
National Academy of Sciences 1977. Methane generation from human, animal and agricultural wastes.
National Academy of Sciences .Washington D. C. U.S.A
Simamora, S. 1989. Pengelolaan Limbah Peternakan (Animal Waste Management). Teknologi Energi
Gasbio. Fakultas Politeknik Pertanian IPB. Bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P dan K.
Zucconi, F. and M. de Bertoldi (1987). Compost specification for the production and characterization of
compost from municipal solid waste. In: de Bertoldi, M.; M. P. Ferranti; P. L. Hermite; F.

versi elektronik
Zucconi (Eds), Compost, production, Quality and Use. Elsevier Applied Science. pp, 30-50.
Umetsu, K, Kikuchi, S, Nishida, T, Kida, K,Ihara, I, Yamashiro, T 2009. The effect of anaerobic
digestion in biogas plants on survival of pathogenic bacteria Education for Sustainable
Development(ESD)on Agriculture and Livestock Production and Global Environmental Issues :
Obihiro Asia and the Pacific Seminar on Education for Rural Development(OASERD).: 31-40
Issue Date 200
Zbigniew Paluszak, Krzysztof Skowron, Halina Olszewska, Karolina Jadwiga Skowron, Justyna Bauza-
Kaszewska, Grzegorz Gryn. 2012.Sanitization efficacy of anaerobic digestion and aeration of
slurry from the aspect of limiting emission of Salmonella into the environment .Annals of
Agricultural and Environmental Medicine, Vol 19, No 3, 427-430

versi elektronik

versi elektronik 450


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KAJIAN ANTIMIKROBA SARANG LEBAH SEBAGAI PENGAWET KULIT TERNAK
Denny Suryanto dan Ellin Harlia
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran; email : harliaelin @yahoo.co.id

versi elektronik
ABSTRAK
Kulit kelinci memiliki potensi sebagai kulit samak untuk menjadi produk topi, tas dan hiasan. Pengawetan
kulit kelinci umumnya dilakukan menggunakan garam tanpa yodium dan menggunakan bahan kimia
seperti formalin. Penggunaan bahan kimia sebagai pengawet harganya mahal dan tidak ramah lingkungan.
Penelitian ini bertujuan mengkaji penggunaan antimikroba sarang lebah sebagai pengawet kulit ternak
kombinasi dengan pengeringan sinar matahari. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, hasil
penelitian dianalisis secara deskriptif. Bahan penelitian adalah kulit kelinci segar, yang terdiri dari
kontrol ( kulit segar); kulit yang diberi pengawet garam. Perlakuan terdiri dari kulit yang diawetkan
dengan garam kering 40% b/v; sarang lebah dengan pelarut air 50%, dan sarang lebah dengan pelarut
alcohol 70% dan ekstrak murni dari sarang lebah. Peubah yang diamati adalah jumlah bakteri total dan
jamur, tekstur kulit dan daya awet. Hasil penelitian adanya pertumbuhan bakteri berspora pada media NA,
jamur dan ragi pada media PDA serta bakteri E. Coli pada media Mac Conkey. Tekstur yang terbaik
diperoleh dari pengawetan menggunakan garam, ternyata penggunaan sarang lebah dengan pelarut air

versi elektronik
maupun alkohol 70% menjadikan kulit kaku.
Kata Kunci : Kulit kelinci, sarang lebah, alkohol, bakteri

ABSTRACT
Has potential as a rabbit skin into leather products for hats, bags and ornaments. Preservation is generally
performed using a rabbit skin salt without iodine and use of chemicals such as formaldehyde. The use of
chemicals as preservatives are expensive and not environmentally friendly. This study aims to examine
the use of antimicrobial preservative bee nest as animal skin with sun drying. This study was an
exploratory study, the results were analyzed descriptively. The research material is fresh rabbit skin,
which consists of the control (fresh skin); leather preservative salts are given. Treatment consists of skin
preserved with dry salt 40% w / v; bee nest with 50% water solvent, and bee nest with 70% alcohol
solvent and pure extract of the bee nest. Variables measured were the total number of bacteria, and
fungus, skin texture and duration. The results of bacterial spore growth on media NA, fungi and yeasts

versi elektronik
on PDA and E. coli on Mac Conkey media. The texture is best obtained from the use of pickling salt, it
turns out the use of bee nest with water or alcohol solvent 70% making the skin stiff.
Keywords: Skin rabbit, bee nest, alcohol, bacteria

PENDAHULUAN
Kulit ternak merupakan suatu produk bidang peternakan yang cukup memiliki prospek yang cerah
disamping sebagai bahan baku kulit samak. Kulit mentah yang baru dilepas dari tubuh ternak merupakan
bahan makanan yang ideal untuk berkembangbiaknya mikroorganisme. Kulit tersebut mengandung semua
zat-zat makanan yang sempurna, antara lain air, protein, lemak, mineral, vitamin dan sebagainya.
Kandungan air yang tinggi pada kulit mentah merupakan media yang baik bagi perkembangan biakan
mikroorganisme, dengan demikian apabila kulit mentah dibiarkan akan cepat mengalami kerusakan/busuk
sehingga akan menurunkan kualitas kulit dan tidak dapat diproses selanjutnya. Pada hewan yang masih
hidup, ada beberapa factor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di kulit yaitu keadaan kekeringan
permukaan kulit, pH, pengelupasan (deskuamasi) lapisan epidermis yang terjadi secara teratur, sekresi

versi elektronik
dari kelenjar-kelenjar keringat di lapisan dermis, imteraksi antar mikroba, dan system kekebalan kulit
yang khas sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikroba Namun demikian masih ada beberapa
jenis bakteri, kapang dan khamir yang mampu hidup. Jenis-jenis bakteri yang pernak diidentifikasi hidup
di permukaan kulit diantaranya Staphylococcus aureus, Staphylococcus intermedius, Staphylococcus
pyogenes, Corynebacterium sp, Propionibacterium sp, Pseudomonas aruginosa, Pseudomonas sp,
Bacillus sp, Bacillus sp, Fusobacterium sp, Bacteriodes sp, Escherichia coli dan proteus mirabilis, dari

451
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
jenis kapang diantaranya Microsporum sp, Trichophyton sp dan Pytysporum sp yang merupakan khamir-
khamir yang bersifat lipofilik (Nwufoh, dkk.,1982; Devriese, dkk.,1985; Biberstein dan Zee, 1990;
LaMa,2013).

versi elektronik
Kulit segar adalah bahan yang mudah menjadi busuk, penyebab utama dari kebususkan ini adalah
mikroorganisme, yaitu bakteri-bakteri pembusuk. Sifat inilah yang menunjukkan betapa pentingnya arti
dari tindakan-tindakan pengawetan( Fachriyan, dkk. 1998). Sehubungan dengan itu kulit mentah perlu
diawetkan agar dapat disimpan lebih lama dan jaringan-jaringan didalamnya seminimal mungkin
mengalami perubahan yang dimaksud pengawetan kulit mentah berlaku untuk semua macam jenis kulit
dari ternak besar maupun kecil. Pengawetan kulit mentah adalah perlakuan terhadap kulit segar yang
telah dibersihkan dari sisa-sisa daging dan lemak juga kotoran-kotoran yang lain dengan cara mengurangi
kadar air yang terkandung di dalamnya sampai batas minimum bagi kehidupan mikroorganisme sehingga
kulit dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Dalam pengawetan kulit tidak boleh menambah zat-zat
kimia yang dapat menimbulkan perubahan fisik, kimia dalam kulit. Di Indonesia mempunyai iklim tropis
sudah banyak dikenal macam-macam cara pengawetan kulit terutama pengeringan dibawah sinar
matahari yang sebelumnya direndam dengan air garam. Kelemahan garam dikhawatirkan akumulasi
Natrium yang dapat memicu timbulnya penyakit dgeneratif. Sehingga perlu dicari bahan pengawet lain
asal herbal yang tidak membahayakan kesehatan manusia. Pengawet tersebut berasal dari sarang lebah

versi elektronik
yang telah di panen madu, maka sarang lebah tersebut dibuang sebagai limbah. Limbah sarang lebah local
(Apis) masih mengandung propolis, mempunyai potensi sebagai alternatif pengawet yang tidak
mengandung racun sehingga aman untuk lingkungan (Musa Ozcan. 1999).. Lebah Apis banyak
dipelihara di daerah Bandung utara. Propolis atau lem lebah merupakan suatu bahan resin yang
dikumpulkan oleh lebah madu dari berbagai macam jenis tumbuhan. Senyawa kimia yang penting dalam
propolis sarang lebah adalah senyawa flavonoid bersifat sebagai antimikroba, memberikan efek
antibakteri terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negative (Grange and Davey, 1990; Rahman, et
al. 2010 ), antivirus serta antifungi (Musa Ozcan. 1999). Berdasarkan uraian tersebut di atas timbulnya
permasalahan yaitu bagaimana pengaruh flavonoid dalam limbah sarang lebah Apis sebagai pengawet
kulit ternak, sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati sampai sejauhmana aktivitas
antimikroba flavonoid dalam limbah sarang lebah terhadap penurunan jumlah mikroba pada kulit kelinci.
METODE PENELITIAN

versi elektronik
Penelitian pengawetan kulit kelinci menggunakan ekstrak sarang lebah merupakan penelitian eksploratif,
data hasil penelitian akan dinalisis secara deskriptif. Kulit kelinci diberi perlakuan setelah tiga jam
pengulitan. Perlakuan terdiri dari kulit yang diawetkan dengan garam kering 45% b/v (KG); sarang
lebah dengan pelarut air 50% (KSL), sarang lebah dengan pelarut alcohol 70%(KSLA) dan ekstrak murni
dari sarang lebah(KP) dan kulit kontrol (KK) dengan ulangan sebanyak 4 kali. Perlakuan menggunakan
garam kering ditaburkan pada kulit, untuk larutan yang mengandung sarang lebah dengan cara
disemprotkan. Setelah diberi bahan pengawet kulit kelinci dijemur selama dua hari. Media yang
digunakan adalah Nutrient agar, Mac Conkey agar, dan Potatoes dextrose agar. Peubah yang diukur :
perhitungan jumlah bakteri dan jamur dengan metode swab pada lima bidang usapan bagian dalam, tiap
bidang memiliki luas 5 x 5 cm2 dan dibiakkan pada media NA, PDA dan Mac Conkey menggunakan
metode TPC (total plate count) serta kuantitas kulit (bobot, panjang, lebar, tebal kulit ), daya awet kulit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

versi elektronik
Jumlah bakteri sebelum dan setelah pengawetan
Kulit dapat berperan sebagai media tempat tumbuhnya mikroba, sehingga kulit segar mudah mengalami
kerusakan. Pengawetan kulit yang umum dilakukan adalah menggunakan garam tanpa yodium. Sarang
lebah mempunyai potensi sebagai pengawet kulit. Hasil pengamatan makroskopis pada media Mac
Conkey tumbuh koloni berwarna merah, putih dan kuning. Hasil pengamatan mikroskopis dengan
pewarnaan Gram menunjukkan Koloni merah merupakan bakteri bentuk batang Gram negatif,

452
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
menunjukkan adanya bakteri Escherichia coli. koloni putih merupakan bakteri bentuk bulat dalam
rangkaian buah anggur menunjukkan adanya bakteri Staphylococcus. Hasil perhitungan bakteri pada
media NA ditampilkankan pada Tabel 1. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa jenis bakteri yang
berhasil di isolasi merupakan bakteri pencemar yang umum terdapat di lingkungan (Fachriyan, dkk.

versi elektronik
1998).
Tabel 1. Rata-rata jumlah bakteri sebelum dan sesudah pengawetan
No. Kode Sampel Jumlah Bakteri
Sebelum pengawetan Setelah pengawetan
.....x 106cfu/ml .......x 106cfu/ml
1 KK 9,85 0,33
2 KP 1,65 0,64
3 KSL 20,00 1,00
4 KSLA 1,09 0,24
5 KG 14,00 0,37
Keterangan : KK = kulit kontrol; KP = Pengawet Propolis; KSL = Pengawet sarang lebah; KSA = Pengawet Sarang lebah yang
telah diekstrak dengan alkohol 70%; KG = Pengawet Garam

Tabel 1. Memperlihatkan adanya penurunan jumlah bakteri sebelum dan sesudah pengawetan dan

versi elektronik
pengeingan pada berbagai jenis pengawetan sesuai pendapat Judoamidjojo yang menyatakan bahwa
tujuan pokok dari pengawetan adalah mematikan bakteri pembusuk dan/atau menon aktifkan bakteri yang
masih hidup. Penurunan jumlah bakteri menunjukkan adanya aktifitas flavonoid sebagai antimikroba
yang dapat menghambat dan mematikan bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Sesuai
dengan pendapat Grange and Davey (1990) dan Rahman et al (2010) bahwa sarang lebah mengandung
antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus dan bakteri Escherichia coli.
Jumlah jamur sebelum dan setelah pengawetan
Kapang mampu tumbuh pada kulit kelinci segar sebelum pengawetan dan setelah pengawetan. Hasil
pengamatan pada media PDA menunjukkan jamur yang tumbuh adalah jamur yang umum terdapat pada
lingkungan (Fahriyan, dkk. 1998). Tumbuhnya jamur pada kulit kelinci dapat merusak kulit dan spora
jamur dikhawatirkan dapat terhirup oleh manusia.
Tabel 2. Rata-rata jumlah Jamur Sebelum dan Sesudah Pengawetan

versi elektronik
No Kode Sampel Jumlah Jamur
Sebelum pengawetan Sesudah pengawetan
.....x 103 cfu/ml .....x 103cfu/ml
1 KK 7 2,5
2 KP 5,5 3
3 KSL 8 6,5
4 KSLA 8 7
5 KG 6 5

Tabel 2. Memperlihatkan adanya penurunan jumlah jamur pada kulit kelinci pada berbagai pengawetan,
penurunan ini disebabkan oleh adanya aktifitas antifungi yang dikombinasikan dengan pengeringan
matahari. Hal ini sejalan dengan pendapat Musa Ôzcan. (1999) dan Rashid et al (2008) bahwa sarang
lebah mengandung antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan miselium jamur.

versi elektronik
Kuantitas kulit Kelinci Sebelum dan Sesudah Pengawetan
Prinsip pengawetan kulit yang umum dilakukan adalah dengan pengeringan dan pemberian bahan
pengawet. Rata-rata Kuantitas kulit Kelinci Sebelum dan Sesudah Pengawetan dapat dilihat pada Tabel
3.

453
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 3. Rata-rata Kuantitas kulit Kelinci Sebelum dan Sesudah Pengawetan
Kode Bobot kulit Panjang kulit Lebar Kulit Tebal kulit
Sampel Sebelum setelah sebelum setelah sebelum setelah sebelum setelah

versi elektronik
pengawetan pengawetan pengawetan pengawetan pengawetan pengawetan pengawetan pengawetan
KK 207 108 31 19 14 31,5 1,41 1,33
KP 219 123 33 18,5 30 32 3,30 3.07
KSL 187 208 32,5 12 12,5 22 1,42 1,31
KSLA 116 56 30 26 15 30,5 1,41 1,35
KG 164 152 20 23 23 20 0,90 0,84

Tabel 3. Memperlihatkan adanya penurunan bobot kulit dan panjang kulit akibat dari penurunan kadar air
selama proses pengeringan. Tebal kulit tetap, sedangkan lebar kulit bertambah karena adanya pengaruh
dari pembentangan kulit pada kayu untuk keperluan pengeringan. Sejalan dengan pendapat Judoamidjojo
(1981) Pengeringan dapat menurunkan kadar air kulit maksimal sampai sekitar 12-15%. Pengawetan
menghasilkan kadar air kulit minimal 40%, sehingga perlu ada kombinasi dari pengawetan dan
pengeringan dapat menghasilkan kadar air kulit maksimal 25-30%. Ternyata apabila dilihat dari
penampilan fisik pengawetan menggunakan garam masih yang terbaik karena kulit lebih awet tetap

versi elektronik
lentur, sedangkan menggunakan pengawet sarang lebah menghasilkan kulit yang kaku

KESIMPULAN
Sarang lebah mempunyai potensi sebagai pengawet kulit ternak, tetapi hasil penelitian menunjukkan
apabila dilihat penampilan fisik kulit kelinci dari hasil pengawetan dengan garam memberikan hasil yang
terbaik karena kulit tetap lentur dan lebih awet. Bakteri dan jamur yang tumbuh pada kulit kelinci
sebelum dan sesudah pengawetan maupun pengeringan berasal dari lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Biberstein, E.LL dan Y.C.Zee, 1990. Review of Veterinary Microbiology. Blackwell Scientific
Publications, Inc.Boston.
Devriese, L.A.D. Nzuambe and C.Gorgard. 1985. Identification and Characterization of Staphylococci
Isolated from lesion and Normal Skin of Horses. Vet.Microbiol.,10 (3)

versi elektronik
Fachriyan H.P., E.S. Pribadi dan Sunardi. 1998. Temuan Bakteri dan Kapang Pada Kulit Sapi Mentah.
Makalh dalam Diskusi Kajian Kulit Samak dan Kulit Setengah Jadi sebagai Media yang Dapat
Menularkan Penyakit Hewan. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI.
GrangeJ.M and Davey R.W. 1990. Antibacteria of Propolis (bee glue). Journal of The Royal Society of
Medicine 83: 159-160
Judoamidjojo, R.M. 1981. Dasar teknologi dan Kimia Kulit. Jurusan Teknologi Industri. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor
LaMa, M. BateS, a. D. Covington,S. C. aLLen and a.p.M. antuneSAntunes, A. P. M. (2013) Methods of
isolation and identification of pathogenic and potential pathogenic bacteria from skins and
tannery effluents. Journal of the American Leather Chemists Association. 108(2), pp. 48-62.
0002-9726.
Rahman M. Motior, Allan Richardson and M. Sofian-Azirun. 2010. Antibacterial activity of propolis and

versi elektronik
honey against Staphylococcus aureus and Escherichia coli . Full Length Research Paper
.African Journal of Microbiology Research Vol. 4(16) pp. 1872-1878, Available online. ISSN
1996-0808 © 2010 Academic Journals

454
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
M. H. O. Rashid, M. P. Siddique*, M. A. Zinnah, M. A. Huq, M. A. Sa mad and M. M. Rahman. 2008.
Compliance Efficacy of Modiffied Curing Methods to Control Black Bengal Goat Skin
Deterioration .Bangl. J. Vet. Med. . 6 (2): 191–196

versi elektronik
Musa Ôzcan. 1999. Short Paper Antifungal properties of propolis. Grasas y Aceites Vol. 50. Fase. 5
(1999), 395-398
Nwufoh, K.J., S.F. Amakiri and M.O.Ojo.1982.Skin Bacterial Flora of Frissian Catle with an Advanced
Infection of Cutaneous Streptotrichosis in Nigeria . Bull of Anim. Health and Prod. In Africa,
30(3):265-267
V. Sivabalan and A. Jayanthi. 2009. A Study to Reduce Salt Usage in Preservation of Skins and Hides
with Alternate Use of Plant Extract. ARPN Journal of Agricultural and Biological Science
©2006-2009 Asian Research Publishing Network (ARPN). All rights reserved.
www.arpnjournals.com vol. 4, No. 6, ISSN 1990-6145

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 455


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
EFEK KADAR PENAMBAHAN TEPUNG SAGU TERHADAP NILAI GIZI BAKSO SAPI
Harapin Hafid, Nuraini, dan Pipit Anggraeni
Jurusan Peternakan Fapet Universitas Halu Oleo; email: harapinhafid@yahoo.co.id

versi elektronik
ABSTRACT
The objective of this experiment was to determine the nutrient value of meat ball added by different level
of sagoo meal. The experiment in was conducted in Laboratory of Animal Science Faculty and Chemistry
Laboratory of Haluoleo University, from February to March 2013. The experiment was designed in
completely randomized design, with 3 treatments and 4 replications. The levels of sagoo meal addition
were 15% (T1), 25% (T2) and 35% (T3). Parameters measured relate to nutrient value of meat ball
included water content, protein, fat and ash (anorganik matter) were measured using proximate analysis.
The result of experiment showed that the addition of different level of sagoo meal significantly ((p<0,01)
decreased the water content, protein, and fat of meat ball. Water contents of meat ball was significantly
higher (p<0,01) in T1 (72,99%) compared to T2 (71,62%) and T3 (69,00%), the protein contents of meat
ball was significantly higher (p<0,01) in T1 (19,59%) compared to T2 (16,70%) and T3 (13,07%), while
fat contents of meat ball was also significantly higher (p<0,01) in T1 (4,70%) compared to T2 (4,44%)
and T3 (3,42%). While the addition of different level of sagoo meal had no significant effect (p <0.05)

versi elektronik
the ash content of meat ball. It was concluded that the addition of sagoo meal on mount of 15% in the
could provide the best nutrient value.
Key words : Meat ball, sagoo meal, nutrient value

ABSTRAK
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui kadar gizi bakso daging sapi dengan penambahan tepung sagu
pada konsentrasi yang berbeda. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan
dan Laboratorium Kimia Dasar Universitas Haluoleo Kendari, pada bulan Februari sampai Maret 2013.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan.
Perlakuan yang digunakan adalah level penambahan tepung sagu 15%, 25%, 35% dari berat daging.
Peubah yang diamati adalah kadar gizi bakso menggunakan analisis proksimat (kadar air, protein, lemak
dan abu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung sagu dengan konsentrasi
yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap peubah kadar air, protein dan

versi elektronik
lemak. Dimana P1 (15%) sebesar 72,99% lebih tinggi dari P2 (25%) sebesar 71,62% dan lebih tinggi dari
P3 (35%) sebesar 69% terhadap kadar air bakso, P1 (15%) sebesar 19,59% lebih tinggi dari P2 (25%)
sebesar 16,70% dan lebih tinggi dari P3 (35%) sebesar 13,07% terhadap kadar protein bakso, dan P1
(15%) sebesar 4,70% lebih tinggi dari P2(25%) sebesar 4,44% dan lebih tinggi dari P3 (35%) sebesar
3,42% terhadap kadar lemak bakso. Sementara perlakuan penambahan tepung sagu tidak berpengaruh
nyata (p<0,05) terhadap kadar abu bakso. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan penambahan tepung sagu
sebanyak 15% dalam pembuatan bakso daging sapi memberikan nilai gizi yang terbaik.
Kata kunci : Bakso sapi, tepung sagu, kadar gizi

PENDAHULUAN
Daging merupakan salah satu produk peternakan yang bernilai gizi tinggi, diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan protein yang ada dalam tubuh manusia, namun daging memiliki sifat mudah rusak. Untuk
mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan suatu pengolahan yang bertujuan untuk memperpanjang

versi elektronik
masa simpan, memperbaiki sifat organoleptik, menambah variasi bentuk hasil olahan daging,
memungkinkan tersedianya produk daging setiap saat serta menghemat waktu dan energi untuk persiapan
daging sebelum dimakan.
Salah satu cara pengolahan yang dapat dilakukan dan telah umum dikenal oleh masyarakat adalah
pengolahan daging menjadi bakso. Ini terjadi seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat, berbagai jenis
makanan olahan telah banyak diproduksi baik oleh pabrik maupun perusahaan besar hingga industri

456
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
rumah tangga seperti bakso. Bakso merupakan produk makanan olahan dengan bahan utama daging atau
ikan yang umumnya berbentuk bulat.
Proses pembuatan bakso, bahan dasar yang digunakan berupa daging atau ikan yang dihaluskan terlebih

versi elektronik
dahulu, kemudian dicampurkan dengan beberapa bumbu dan bahan pengisi. Bahan pengisi yang umum
digunakan antara lain; tepung gandum, tepung tapioca, dan tepung maizena. Penggunaan bahan pengisi
dalam pembuatan bakso selain memiki kualiatas gizi yang baik juga secara ekonomi dapat terjangkau dan
ketersediaanya banyak, salah satunya adalah tepung sagu.
Tepung sagu berasal dari tanaman sagu yang merupakan salah satu tanaman yang ketersediaanya banyak
di Sulawesi Tenggara sebagai salah satu bahan pangan dimana sagu dijadikan sebagai makanan pokok
sebagian masyarakat Sulawesi Tenggara khususnya suku Tolaki. Selain itu, tepung sagu memiliki harga
yang relatif murah dan mudah didapatkan di pasaran, bahkan kita bisa menjumpai ibu rumah tangga yang
memproduksi tepung sagu dengan cara tradisional yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Tepung sagu mengandung sejumlah pati yang merupakan komponen kimia terbesar pada batang sagu,
yang mempunyai kadar karbohidrat 84,7% dan protein sekitar 0,7% dan mampu meningkatkan daya ikat
air karena memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan (Anonymous, 1996). Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pemanfaatan tepung sagu sebagai bahan pengisi pada bakso

versi elektronik
daging sapi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Dasar Teknologi Hasil Ternak Jurusan Peternakan
Fakultas Peternakan dan Laboratorium Kimia Dasar Universitas Haluoleo, Kendari pada bulan Februari
sampai Maret 2013.
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan bakso terdiri atas alat penggiling daging (food processor), hot
plate, timbangan digital, dandang, pisau, talenan, sendok, loyang, piring dan alat masak lainnya.
Peralatan untuk analisis kandungan gizi terdiri atas cawan porselin, oven, desikator, unit ekstraksi lemak,
labu kjehdahl, erlenmeyer, gelas ukur, kertas saring, alat ekstrak soxhhlet, pipet, tanur listrik, buret, dan
tabung reaksi, spektrofotometer.
Bahan yang akan digunakan terdiri atas bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama pembuatan
bakso dalam penelitian ini adalah daging sapi segar pre-rigor bagian paha yang diperoleh dari pasar

versi elektronik
tradisional kota Kendari dan tepung sagu sangrai. Bahan pendukung adalah garam, es batu, dan bumbu-
bumbu yang meliputi pala, merica (lada) dan bawang putih.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kandungan gizi antara lain larutan H2SO4 pekat, campuran
selen , aquades, larutan SPL, NaOH buffer, NaOH phenol, NaOCL 5% dan Heksan.
Pembuatan bakso daging sapi ini diterapkan tiga level perlakuan terhadap bahan pengisi dengan empat
kali ulangan yaitu penambahan bahan pengisi sebanyak 15%, 25% dan 35%. Daging tersebut
dibersihkan dan dipotong kecil-kecil kemudian digiling dengan menggunakan food processor. Pada
penggilingan pertama ditambahkan 20% es batu dari berat daging. Pada penggilingan kedua ditambahkan
tepung sagu 15%, 25% dan 35% pada masing-masing perlakuan, 20% es batu, bawang putih 2%, 2%
garam, 0,2% pala, 0,5% merica (lada). Dilakukan pembentukan bulatan-bulatan bakso dan direbus
selama 15 menit pada suhu 80°-1000C selama 15 menit.
Rancangan percobaan yang digunakan untuk penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yakni

versi elektronik
menggunakan 3 perlakuan dan 4 kali ulangan.
Perlakuan yang diterangkan adalah sebagai berikut :
• Perlakuan 1 (P1)= penambahan tepung sagu sebanyak 15% dari berat daging,
• Perlakuan 2 (P2)= penambahan tepung sagu sebanyak 25% dari berat daging
• Perlakuan 3 (P3)= penambahan tepung sagu sebanyak 35 % dari berat daging.

457
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
• Peubah yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu uji kadar gizi yang meliputi protein, lemak,
kadar air, abu serta karbohidrat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

versi elektronik
Kadar Air
Kadar Air merupakan salah satu komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kadar air dalam bahan pangan menentukan
kesegaran dan daya awet bahan pangan. Selain itu, sebagian besar dari perubahan-perubahan makanan
terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno, 1997). Nilai
rata-rata kadar air bakso dengan penambahan tepung sagu pada konsentrasi yang berbeda dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata-rata kadar air bakso dengan penambahan tepung sagu pada konsentrasi yang berbeda.

Perlakuan
Ulangan
1 2 3
1 72,91 72,51 69,12

versi elektronik
2 73,37 71,29 68,98
3 72,51 71,44 68,82
4 73,15 71,24 69,06
Jumlah = Y 291,94 286,48 275,98
Rata-rata = Y 72,99c± 0,27 71,62b±0,44 69,00a±0,09
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung sagu dengan konsentrasi berbeda pada
pembuatan bakso daging sapi berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air bakso. Persentase
Kadar air bakso dengan penambahan tepung sagu 35% (69,00) lebih rendah dibandingkan bakso dengan
penambahan tepung sagu 25% (71,62) dan 15% (72,99). Kadar air bakso dengan penambahan tepung
sagu 25% (71,62) lebih rendah dibandingkan dengan penambahan tepung sagu 15% (72,99). Hasil uji
Duncan diperoleh bahwa P1 berbeda sangat nyata lebih tinggi dengan P2 dan P3, P2 berbeda sangat nyata

versi elektronik
lebih tinggi dengan P3.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase tepung sagu maka kadar air bakso akan menurun.
Penurunan kadar air ini disebabkan karena tepung sagu berfungsi sebagai bahan pengikat yang dapat
meningkatkan daya ikat air, dimana tepung ini akan mengikat air yang berada dalam daging sehingga
kadar air bakso semakin menurun. Sebagaimana pendapat Maharaja (2008) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi persentase tepung yang digunakan maka massa tepung didalam bakso akan semakin besar
dan kadar air bakso akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Manullang et al (1995) yang
menyatakan bahwa penurunan kadar air akibat mekanisme interaksi antara pati dan protein sehingga air
tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai
untuk interaksi pati dan protein daging. Penurunan ini juga disebabkan karena pati yang terkandung
dalam tepung menambah berat total dan bersifat menyerap air, sedangkan kandungan air didalam daging
tetap akibatnya kandungan air menurun. Hal ini didukung oleh Sunarlim (1992) yang menyatakan bahwa
jumlah pati (tepung) dapat mempengaruhi kandungan air. Semakin banyak tepung pati yang ditambahkan

versi elektronik
atau semakin sedikit proporsi daging, maka kandungan airnya semakin rendah karena tepung berpati
mempunyai kadar air yang rendah yaitu 13, 17 persen.
Kadar air bakso dengan penambahan tepung sagu pada level yang berbeda berkisar 69%-72,99%.
Berdasarkan SNI 01-3818-1995 tentang bakso, kadar air maksimal 70%. Artinya, penambahan tepung
sagu dalam pembuatan bakso dapat digunakan pada taraf 35% yang diperoleh dipenelitian ini dengan
persentase kadar air sebesar 69%. Hasil penelitian Permatasari (2002) terhadap bakso dengan

458
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
menggunakan campuran daging dan jamur dalam pembuatannya menunjukkan persentase kadar air
sebesar 73,97%. Hasil penelitian Permatasari (2002) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis
laboratorium yang diperoleh. Menurut Buckle (2009) bahwa kadar air mempengaruhi daya awet dari
bahan pangan yang berdampak terhadap sifat fisik, kimia, dan kebusukan oleh mikroorganisme. dimana

versi elektronik
bahan pangan yang mengandung kadar air tinggi cenderung cepat mengalami kerusakan.
Kadar Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh yang terdapat di dalam bahan makanan
karena zat ini disamping sebagai bahan bakar dalam tubuh, juga berfungsi sebagai zat pembangun dan
pengatur. Protein dapat juga digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak
terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Winarno, 1997). Nilai rata-rata kadar protein bakso dengan
penambahan tepung sagu pada konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai rata-rata kadar protein bakso dengan penambahan tepung sagu pada konsentrasi yang
berbeda.
Perlakuan
Ulangan 1 2 3

versi elektronik
1 19,79 16,87 13,12
2 19,38 16,66 12,91
3 19,58 16,48 13,24
4 19,62 16,77 13,02
Jumlah = Y 78,37 66,78 52,29
Rata-rata = Y 19,59c±0,11 16,70b±0,12 13,07a±0,11
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung sagu dengan konsentrasi berbeda pada
pembuatan bakso daging sapi berpengaruh sangat nyata (p<0,05) terhadap kadar protein bakso. Jumlah
protein bakso dengan penambahan tepung sagu 35% (13,07) lebih rendah dibandingkan bakso dengan
penambahan tepung sagu 25% (16,70) dan 15% (19,59). Jumlah protein bakso dengan penambahan
tepung sagu 25% (16,70) lebih rendah dibandingkan dengan penambahan tepung sagu 15% (19,59).

versi elektronik
Hasil uji Duncan diperoleh bahwa P1 berbeda sangat nyata lebih tinggi dengan P2 dan P3, P2 berbeda
sangat nyata lebih tinggi dengan P3. Artinya, semakin tinggi penambahan tepung sagu akan menurunkan
kadar protein bakso. Hal ini disebabkan proporsi daging yang semakin sedikit seiring bertambahnya
proporsi tepung sagu akan menurunkan kadar protein bakso karena kadar protein yang terdapat dalam
daging lebih tinggi daripada kadar protein yang terdapat dalam tepung sagu. Sebagaimana pendapat
Soeparno (2009) bahwa protein bakso dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung, semakin tinggi
jumlah penambahan tepung maka kadar protein bakso semakin menurun.
Selain itu penurunan kadar protein mungkin disebabkan karena terjadinya denaturasi protein saat
pemanasan. Dimana pada penelitian ini suhu yang digunakan yaitu 1000C dengan lama 15 menit
sehingga menyebabkan protein dalam daging keluar dan larut dalam air rebusan. Ini sesuai dengan hasil
penelitian Dalilah (2006) yang menyatakan bahwa perebusan pada suhu 800C dan dengan waktu yang
relatif singkat menyebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas, yang menyebabkan
terlarutnya protein larut air ke dalam air rebusan sehingga ketika diuji sudah tidak terukur lagi. Ini

versi elektronik
diperkuat oleh Setiawaty (1985) bahwa pengolahan dengan cara perebusan menurunkan kadar protein
terlarut.
Kadar protein bakso dengan penambahan tepung sagu yang berbeda berkisar antara 13,07%-19,59%.
Berdasarkan SNI 01-38118-1995 bakso, protein bakso minimal 9%. Artinya, kadar protein bakso dengan
penambahan tepung sagu hingga taraf 35% memenuhi syarat mutu produk bakso sehingga layak
konsumsi.

459
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Kadar Lemak
Lemak merupakan salah satu zat nutrisi yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu
lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu

versi elektronik
gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan
4kkal/gram (Winarno, 1997). Nilai rata-rata kadar lemak bakso dengan penambahan tepung sagu pada
konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai rata-rata kadar lemak bakso dengan penambahan tepung sagu pada konsentrasi yang
berbeda.
Perlakuan
Ulangan
1 2 3
1 4,69 4,57 3,50
2 4,78 4,43 3,28
3 4,65 4,49 3,44
4 4,67 4,25 3,47

versi elektronik
Jumlah = Y 18,79 17,74 13,69
Rata-rata = Y 4,70c±0,04 4,44b±0,09 3,42a±0,07
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung sagu dengan konsentrasi berbeda pada
pembuatan bakso daging sapi berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kadar lemak bakso. Jumlah lemak
bakso dengan penambahan tepung sagu 35% (3,42) lebih rendah dibandingkan bakso dengan penambahan
tepung sagu 25% (4,44) dan 15% (4,70). Jumlah lemak bakso dengan penambahan tepung sagu 25%
(4,44) lebih rendah dibandingkan dengan penambahan tepung sagu 15% (4,70). Hasil uji Duncan
diperoleh bahwa P1 berbeda sangat nyata lebih tinggi dengan P2 dan P3, P2 berbeda sangat nyata lebih
tinggi dengan P3.
Kadar lemak bakso dengan penambahan tepung sagu yang berbeda paling tinggi yakni pada taraf 15%
(4,70) dan terendah pada taraf 35% (3,42). Hal ini dapat dimengerti karena kadar lemak tepung sagu
(0,2%) jauh lebih tinggi dibanding lemak daging sapi bali (2,01-6,68%). Sebagaimana hasil penelitian

versi elektronik
Maharaja (2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah tepung yang digunakan maka proporsi
daging semakin kecil sehingga kandungan lemak bakso yang dominan diperoleh dari daging akan
semakin menurun. Selain itu penurunan kadar lemak bakso mungkin disebabkan tepung sagu merupakan
bahan pengisi yang memiliki kemampuan selain untuk meningkatkan daya ikat air, juga dapat
meningkatkan stabilitas emulsi, karena bahan pengisi mampu mengikat lemak dan air yang berada dalam
daging. Hal ini didukung oleh Pearson dan Tauber (1984) bahwa bahan pengisi diantaranya tepung
berpati yang digunakan memiliki kemampuan untuk meningkatkan stabilitas emulsi dengan cara
meningkatkan daya mengikat air dan lemak.
Kadar lemak bakso dengan penambahan tepung sagu yang berbeda berkisar antara 3,42%-4,70%. Hasil
penelitian Maharaja (2008) terhadap penggunaan campuran tepung tapioka dengan tepung sagu dan
natrium nitrat dalam pembuatan bakso daging sapi diperoleh sebesar 4,46%. Penelitian Maharaja (2008)
relatif sama dengan hasil analisis laboratorium yang diperoleh. Hasil penelitian ini didukung oleh
Wibowo (2006) bahwa bakso daging sapi memiliki kadar lemak sebesar 4-8%.

versi elektronik
Kadar Abu
Abu dapat diartikan sebagai mineral bahan pangan. Bahan makanan terdiri dari atas 96% bahan organik
dan air, sedangkan sisanya sekitar 4% adalah abu (Winarno, 1997). Nilai rata-rata abu bakso dengan
penambahan tepung sagu pada konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.

460
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 7. Nilai rata-rata kadar abu bakso dengan penambahan tepung sagu pada konsentrasi yang berbeda.

Perlakuan
Ulangan
1 2 3

versi elektronik
I 1,60 0,65 1,51
2 1,74 1,43 1,36
3 1,61 1,57 1,44
4 1,50 1,49 1,70
Jumlah = Y 6,45 5,13 6,01
Rata-rata = Y 1,61±0,6 1,28±0,32 1,50±0,1
Keterangan : Superskrip pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung sagu dengan konsentrasi berbeda pada
pembuatan bakso daging sapi tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar abu bakso. Tidak
berpengaruhnya penambahan tepung sagu terhadap kadar abu bakso disebabkan kadar pemberian garam
dalam pembuatan bakso hanya 2%. Menurut Gaffar (1998), kadar abu bakso dapat dipengaruhi oleh

versi elektronik
jumlah garam dan tepung yang digunakan. Selain itu Kadar abu bakso dipengaruhi oleh kandungan
mineral daging dan garam-garam yang ditambahkan selama pengolahan (Octavianie, 2002).
Kadar abu bakso sagu dengan penambahan tepung sagu pada level yang berbeda berkisar 1,28%-1,60%.
Kadar abu hasil penelitian Sunarlim (1992) berkisar 2,07% dan Mujiono (1995) 2,10%. Hal ini karena
adanya perbedaan jumlah penggunaan garam sebesar 4% lebih tinggi dari penelitian ini. Ini sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Iswanto (1998) bahwa garam merupakan suplai abu utama (terbanyak)
pada pembuatan bakso.
Berdasarkan SNI 01-38118-1995 bakso, kadar abu yang ada pada produk bakso maksimal 3%. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa persentase kadar abu bakso sagu masih sesuai dengan syarat mutu
SNI.

KESIMPULAN
Berdasarkan HASIL DAN PEMBAHASAN dapat disimpulkan bahwa Penambahan tepung sagu

versi elektronik
sebanyak 15% dalam pembuatan bakso sapi menghasilkan bakso dengan kadar gizi yang tinggi.
Penggunaan bahan lokal berupa tepung sagu dapat menurunkan biaya pembuatan bakso.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1995. Dewan Standarisasi Nasional Indonesia 01-3818-1995, Jakarta.
Anonymous, 1996. Departemen Kesehatan RI. Daftar Komposisi Kimia Bahan Makanan. Bharata
Karya Aksara. Jakarta.
Dalilah, Elih. 2006. Evaluasi nilai gizi dan karakteristik protein daging sapi dan hasil olahannya. Skripsi.
Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging ayam dengan bahan pengisi tepung sagu dan tepung
tapioca. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Bogor IPB ,Bogor.
Gasperz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. CV Armco. Bandung.

versi elektronik
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Penuntun Praktikum Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Maharaja, M. Lisa. 2008. Penggunaan campuran tepung tapioka dengan tepung tepung sagu dan natrium
nitrat dalam pembuatan bakso daging sapi. Skripsi. Fakutas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Sumtera Utara.

461
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Manullang. M, M. Theresia dan H.E. Irianto. 1995. Pengaruh Konsentrasi Tepung Tapioka dan Sodium
Tripoliphosfat terhadap Mutu dan daya Awet Kamaboko Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen).
Buletin Teknologi dan Industri Pangan 6(2);21-26.

versi elektronik
Mujiono, R. 1995. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso daging sapi dan domba bagian paha lemusir.
Skripsi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Octavianie, Y. 2002. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso campuran daging dan jantung sapi. Skripsi
Sarjana. Fakultas peternakan IPB, Bogor.
Pearson, A. M., and F.W. Tauber. 1984. Processed Meats. The AVI Publishing Co. Inc, Westport.
Connecticut.
Permatasari, W. A. 2002. Kandungan gizi bakso campuran daging sapi dengan jamur tiram putih
(Pleurotus ostreatus) pada taraf berbeda. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Soeparno, 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan
natrium tripolifosfat terhadap perbaikan Mutu. Tesis. Program pasca sarjana IPB, Bogor.

versi elektronik
Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakso Daging dan Bakso Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

versi elektronik

versi elektronik 462


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PEMBERIAN HORMON SINKRONISASI ESTRUS TERHADAP KINERJA REPRODUKSI
SAPI MADURA YANG MENGALAMI CORPUS LUTEUM PERSISTEN (CLP)
Jauhari Efendy1 dan Budi Utomo2

versi elektronik
1)
Loka Penelitian Sapi Potong; Jl. Pahlawan No. 2 Grati Pasuruan – Provinsi Jawa Timur 67184; Telp. (0343)
481131, Faks. (0343) 481132; e-mail: effendy.jauhari@yahoo.com .
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah; d/a. Bukit Tegalepek Sidomulyo Ungaran Semarang -
Jawa Tengah 5050; email: utonobudi@yahoo.co.id

ABSTRACT
Optimally reproductive performance of beef cattle be the deciding factor in improving the genetic quality
and livestock populations. However, many cases of reproductive anomalies, especially on farmer so the
optimization is low. One of reproductive problems in Madura cattle were corpus luteum persistent (CLP).
This study aims to determine the effectiveness of the estrus synchronization hormone to cows that
suffered CLP. Materials research using 30 cows (BCS 5-7) who suffered CLP divided into three
treatments. The cows are owned farmer in the District of Waru, Pasean and Batumarmar Pamekasan
Madura. Synchronization of estrus using prostaglandin hormone and it’s combination with GnRH (Ov-
synch). The results showed that 96.67% of Madura cattle are injected with hormones are estrus. The high

versi elektronik
percentage of estrus showed that the treatment effective to decreased CL, followed by decreased levels of
progesterone in the early hours after application. Total number of pregnancy on all treatments were 14
cows or an average of 46.67%, the highest in treatment A (70%), then a row followed by treatment B
(50%) and C (28,57%). The low of pregnancy rate (especially in the treatment C) in a study allegedly
surge of luteinizing hormone (LH) secretion during estrus lasts abnormally so that ovulation can not
occur.
Keywords: Madura cows, estrus percentage, pregnancy rate, CLP

ABSTRAK
Kasus anomali reproduksi banyak terjadi pada peternakan sapi potong rakyat sehingga optimalisasi
usahatani menjadi rendah. Salah satu problema reproduksi pada sapi Madura yang banyak terjadi adalah
kasus corpus luteum persisten (CLP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian
hormon sinkronisasi estrus terhadap sapi Madura yang mengalami CLP. Materi penelitian menggunakan
30 ekor sapi Madura (SKT 5-7) yang mengalami CLP yang dibagi dalam tiga perlakuan. Sapi Madura

versi elektronik
adalah milik peternak rakyat yang ada di wilayah Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar Kabupaten
Pamekasan Madura. Hormon sinkronisasi estrus menggunakan prostaglandin dan kombinasi antara
prostaglandin dengan GnRH (Ov-synch). Hasil penelitian menunjukkan 96,67% sapi Madura yang
diinjeksi dengan hormon sinkronisasi estrus mengalami estrus. Tingginya persentase estrus menunjukkan
bahwa pemberian prostaglandin dan kombinasinya dengan GnRH cukup efektif untuk meregresi CL yang
diikuti penurunan kadar progesteron pada jam-jam awal setelah aplikasi sehingga terjadi peningkatan
kadar FSH. Jumlah total kebuntingan pada sapi Madura pada semua perlakuan sebanyak 14 ekor atau
rata-rata 46,67%; terbanyak pada perlakuan A (70%), kemudian berturut-turut diikuti perlakuan B (50%)
dan C (28,57%). Rendahnya angka kebuntingan (terutama pada perlakuan C) diduga lonjakan sekresi LH
pada saat estrus berlangsung secara abnormal sehingga ovulasi tidak dapat terjadi.
Kata kunci : Sapi Madura, Persentase Estrus, Angka Kebuntingan, CLP

PENDAHULUAN

versi elektronik
Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu ke waktu cenderung meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran gizi dan perbaikan tingkat
pendidikan. Sementara itu pasokan sumber protein hewani terutama daging sapi masih belum dapat
mengimbangi meningkatnya jumlah permintaan dalam negeri (Arfa’i dan Dirgahayu, 2007). Ditjen
Peternakan (2003) melaporkan bahwa populasi sapi potong di Indonesia menurun dalam lima tahun
terakhir sebesar -1,08% per tahun, sementara itu jumlah pemotongan meningkat +0,61% per tahun.

463
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sapi Madura merupakan sapi tipe dwiguna; yaitu sebagai ternak kerja dalam usahatani pertanian, penarik
gerobak, penghasil pupuk organik, juga sebagai ternak potong. Namun demikian, performans sapi Madura
sampai saat ini belum menunjukkan kondisi yang optimal sehingga produktivitasnya masih relatif rendah.
Listiani (2005) menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah masih banyaknya kasus gangguan

versi elektronik
reproduksi berupa corpus luteum persisten (CLP); yaitu corpus luteum (CL) yang tetap bertahan dan
secara terus-menerus pada hewan betina.
CLP sebenarnya bukan merupakan gangguan alat reproduksi tetapi lebih sebagai akibat adanya gangguan
di dalam uterus atau pada endometrium. Adanya gejala tersebut menyebabkan terjadi gangguan
pembebasan prostaglandin sehingga corpus luteum tetap ada (persist), progesteron akan terus dihasilkan
dan terjadilah anestrus (Putro, 1993).
CLP adalah CL yang mempunyai ukuran besar yang menetap dan tetap berfungsi menghasilkan
progesteron dalam waktu yang lama. Tertahannya CL seringkali terjadi karena adanya penyakit atau
gangguan pada uterus seperti pyometra, maserasi fetus, mucometra dan mumifikasi (Robert, 1971).
Ternak yang mengalami CLP mempunyai kadar progesteron yang tinggi dalam darahnya.
Gejala klinis pada ternak yang menderita CLP adalah selalu mengalami gejala anestrus dalam waktu yang
panjang sehingga proses reproduksi menjadi terhenti (Hardjopranyoto, 1995). Penanganan kasus CLP

versi elektronik
dapat dilakukan melalui pemijitan CL secara manual, tetapi cara ini tidak dianjurkan karena dapat
mengakibatkan terjadinya radang ovarium diikuti perlengketan ovarium dengan jaringan di sekitarnya.
Cara yang paling sering dilakukan adalah melalui pemberian PGF2α baik secara intramusculer,
intravagina maupun intrauteri (Listiani, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
pemberian hormon sinkronisasi estrus menggunakan Prostaglandin dan ov-synch (Prostaglandin dan
GnRH) terhadap sapi Madura yang mengalami CLP.

METODE PENELITIAN
Materi penelitian menggunakan 30 ekor sapi Madura (SKT 5-7) yang mengalami CLP yang dibagi dalam
tiga perlakuan (Tabel 1). Sapi Madura adalah milik peternak rakyat yang ada di wilayah Kecamatan
Waru, Pasean dan Batumarmar Kabupaten Pamekasan Madura. Hormon sinkronisasi estrus menggunakan
prostaglandin dan kombinasi antara prostaglandin dengan GnRH (Ov-synch).
Tabel 1. Jenis perlakuan pada sapi Madura yang diaplikasi hormon sinkronisasi estrus

versi elektronik
Jumlah ternak
Perlakuan Uraian jenis perlakuan
(ekor)
A 10 Hari ke-1 dan ke-11 disuntik Prostaglandin (dosis 2 ml). Hari ke 14-15 di-
IB.
B 6 Hari ke-1 dan ke-11 disuntik Prostaglandin (dosis 3 ml). Hari ke 14-15 di-
IB.
C 14 Hari ke-1 disuntik GnRH (dosis 2,5 ml); hari ke-8 disuntik Prostaglandin
(dosis 2 ml); hari ke-10 disuntik GnRH kedua (dosis 2,5 ml). Hari ke-11
di-IB.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Searah. Data diolah
secara statistik melalui prosedur analisis ragam (ANOVA). Aplikasi penyuntikan hormon sinkronisasi
estrus secara intramusculer. Parameter yang diamati adalah persentase estrus dan angka kebuntingan.

versi elektronik 464


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hormon Sinkronisasi Estrus terhadap Persentase Estrus
Penyuntikan hormon sinkronisasi estrus terhadap sapi Madura yang mengalami gangguan CLP

versi elektronik
memberikan hasil persentase estrus yang sempurna; terutama pada perlakuan A dan B (Tabel 2).
Tabel 2. Persentase estrus sapi Madura pada masing-masing perlakuan
Jumlah ternak (ekor)
Perlakuan Yang diberi
Estrus Persentase (%) Tidak estrus Persentase (%)
perlakuan
a
A 10 10 100 - -
B 6 6 100a - -
C 14 13 92,86a 1 7,14
Jumlah (ekor) 30 29 - 1 -
Rata-rata (%) - - 96,67 - 3,33
* Superscrip huruf sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata (P > 0,05)

Timbulnya gejala estrus pada sapi yang mengalami gangguan CLP didasarkan pada pemikiran bahwa
pemberian Prostaglandin akan meregresikan CL yang berakibat pada penurunan kadar progesteron yang

versi elektronik
akan diikuti peningkatan kadar FSH guna merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel (Listiani,
2005). Hafez (1993) menyatakan bahwa rendahnya kadar progesteron akan memberikan umpan balik
negatif berupa pelepasan hormon gonadotropin ke dalam sistem sirkulasi sehingga terjadi folikulogenesis
diikuti estrus (kadar progesteron basal). Putro (2009) juga menyatakan bahwa penanganan CLP umumnya
ditujukan untuk pengobatan penyebab gangguan pada endometrium dan penghancuran CL-nya; misalnya
dengan sediaan prostaglandin yang mampu memecah CL dan mengembalikan siklus reproduksi sapi
penderita.
Tingginya persentase estrus menunjukkan bahwa pemberian prostaglandin dan kombinasinya dengan
GnRH cukup efektif untuk meregresi CL yang diikuti penurunan kadar progesteron pada jam-jam awal
setelah aplikasi sehingga terjadi peningkatan kadar FSH. Peningkatan kadar FSH tersebut dimungkinkan
karena perubahan diameter CL yang berpengaruh terhadap penurunan kadar progesteron yang
memberikan umpan balik negatif terhadap FSH dan LH darah (Listiani, 2005). Hal ini sesuai dengan
pendapat Ernawati (1994) yang menyatakan bahwa pemberian prostaglandin secara intramusculer pada

versi elektronik
sapi Bali menurunkan kadar progesteron 0,2-0,4 ng/ml dalam waktu 24-120 jam yang kemudian juga
diikuti dengan penurunan diameter CL.
Hormon Sinkronisasi Estrus terhadap Angka kebuntingan
Jumlah total kebuntingan pada sapi Madura yang mengalami gangguan CLP setelah diinjeksi dengan
hormon sinkronisasi estrus pada semua perlakuan sebanyak 14 ekor atau rata-rata 46,67%; terbanyak pada
perlakuan A, kemudian berturut-turut diikuti perlakuan B dan C (Tabel 3).
Tabel 3. Angka kebuntingan sapi Madura pada masing-masing perlakuan
Jumlah ternak (ekor)
Perlakuan Yang diberi
Bunting Persentase (%) Tidak bunting Persentase (%)
perlakuan
a
A 10 7 70 3 30
B 6 3 50a 3 50

versi elektronik
C 14 4 28,57b 10 71,43
Jumlah (ekor) 30 14 - 16 -
Rata-rata (%) - - 46,67 - 54,33
* Superscrip huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (P > 0,05)

Apabila mencermati persentase estrus yang mencapai rata-rata 96,67%, maka angka kebuntingan pada
penelitian ini relatif rendah. Diduga respon estrus yang tinggi pada sapi Madura yang mengalami CLP

465
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
tersebut adalah estrus tanpa ovulasi (Kune, 1998). Namun yang mengherankan angka kebuntingan
terendah justru terjadi pada perlakuan C yang menggunakan hormon ov-synch. Menurut Ganong, (1980;
yang disitasi oleh Hernawan, 2003) program sinkronisasi estrus menggunakan GnRH dan prostaglandin
(ov-synch) menjamin hewan ovulasi dengan atau tanpa gejala birahi yang muncul. Hal ini karena GnRH

versi elektronik
akan menstimulasikan sel-sel gonadotroph kelenjar pituitari untuk mensekresikan Follicle Stimulating
Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). FSH dan LH selanjutnya akan bekerja pada sel target
dari gonad; FSH akan menstimulasikan sel-sel granulo untuk memfasilitasi proses oogenesis dan
bertanggung jawab atas perkembangan dan pematangan folikel, sedangkan LH berfungsi untuk ovulasi
(Ratnawati dan Affandhy, 2008).
Kemungkinan rendahnya angka kebuntingan sapi Madura pada perlakuan C diduga lonjakan sekresi LH
pada saat estrus berlangsung secara abnormal sehingga ovulasi tidak dapat terjadi. Menurut Chase et al.
(1998) walaupun terjadi penurunan konsentrasi hormon progesteron yang memungkinkan timbulnya
estrus tetapi apabila konsentrasi progesteron masih diatas level basal yang mampu menghambat lonjakan
sekresi LH, maka estrus dapat saja terjadi tetapi ovulasi sulit dicapai (estrus tanpa ovulasi), sedangkan
perkembangan folikel setelah luteolisis akan dimulai lagi apabila sekresi LH meningkat.

KESIMPULAN

versi elektronik
Pemberian hormon sinkronisasi estrus prostaglandin dan kombinasinya dengan GnRH dapat memperbaiki
kinerja sapi Madura yang mengalami CLP. Dari 30 ekor ternak yang mengalami CLP, 29 ekor (96,67%)
berhasil estrus setelah disuntik dengan hormon sinkronisasi estrus. Kemudian dari ternak yang estrus
tersebut 14 ekor (46,67%) berhasil bunting. Untuk mengetahui lebih lanjut dampak penyuntikan hormon
sinkronisasi estrus pada ternak sapi khususnya yang mengalami gangguan reproduksi berupa CLP, maka
dibutuhkan penelitian lanjutan terutama pada pemberian hormon sinkronisasi ov-synch (prostaglandin dan
GnRH).

DAFTAR PUSTAKA
Arfa’i dan E. Dirgahayu. 2007. Analisis Potensi Pengembangan Ternak Sapi Potong melalui Pendekatan
Ketersediaan Lahan dan Sumberdaya Peternak di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat.
Laporan Penelitian Dosen Muda – Fakultas Peternakan Program Studi Produksi Ternak
Universitas Andalas.

versi elektronik
Chase, C.C., C.J. Kirby., A.C. Hammond., T.A. Olson and M.C. Lucy. 1998. Pattern of Ovarian Growth
ang Development in Cattle with a Growth Hormone Receptor Deficiency. J. Anim. Sci. 76: 212-
219.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2003. Buku Statistik Peternakan. Jakarta : Direktorat Bina Penyebaran
dan Pengembangan Peternakan.
Ernawati, D.P. 1994. Pengaruh Pemberian PGF2α terhadap Penampilan Reproduksi Sapi Bali. Tesis
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animal 6th. Lea and Febiger. Philadelphia.
Hernawan, E. 2003. Peningkatan Kinerja Reproduksi pada Fase Kebuntingan melalui Teknik
Superovulasi pada Ternak Domba. Bogor. http://tumoutou.net. (17 Oktober 2008).
Kune, P. 1998. Sinkronisasi Estrus Memakai Progesteron, Prostaglandin dan Estrogen dalam

versi elektronik
Menimbulkan Estrus dan Konsepsi pada Sapi Potong. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Listiani, D. 2005. Pemberian PGF2α pada Sapi Peranakan Ongole yang Mengalami Gangguan Korpus
Luteum Persisten. Tesis Program Studi Magister Ilmu Ternak – Program Pasca Sarjana Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

466
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Putro, P.P. 2009. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi Induk Turunannya (Hasil Studi Klinis).
Lokakarya Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia: Aplikasi dan Implikasinya terhadap
Perkembangan Ternak Sapi di Indonesia, Lustrum VIII Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta 8 Agustus 2009.

versi elektronik
Ratnawati, D. dan L. Affandhy. 2008. Implementasi Sinkronisasi Ovulasi Menggunakan Gonadotrophin
Releasing Hormon (GnRH) dan Prostaglandin (PGF2α) pada Induk Sapi Bali. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 467


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
EFEK SUPLEMENTASI VARIASI HERBAL TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH DAN
BOBOT BADAN BROILER
Mei Sulistyoningsih1 dan Reni Rakhmawati2

versi elektronik
1
Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Univ. PGRI Semarang
2
Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan MIPA,Universitas PGRI Semarang; email: meisulis@yahoo.co.id;
rahmamashuri@yahoo.co.id

ABSTRACT
Demand for chicken meat increased every year. The increase is in line with the situation needs of
indonesian economy continues to grow. Consumption in 2013 was recorded at 2.2 billion tail. The
number is rising 15,79 % compared consumption purebred chicken along 2012 as many as 1.9 million
billion tail. Organic supplements of natural substances is expected to make a healthier broiler as a food
ingredient. The purpose of this research was to determine the influence of additional variations of herbal
supplementation (turmeric, ginger, and Lemon Basil) on blood glucose levels and body weight (BW)
broiler. The material used 80 tail DOC broiler. Experimental design using a complete Randomized Design
four treatments with four replicates. Treatments P1 (turmeric 2% commercial feed), P2 (6% commercial
feed Basil), P3 (6% commercial feed ginger), P4 (control). Data analysis using ANAVA, continued with

versi elektronik
the Double Distance Test Duncan. The result showed there is an influence upon blood glucose levels (P<
0.01 ) and there is no influence of treatment of broiler body weight (P > 0.05).
Keywords : blood glucose, body weight, herbal, broiler

ABSTRAK
Kebutuhan daging ayam broiler cenderung meningkat setiap tahun. Peningkatan kebutuhan ini sejalan
dengan situasi perekonomian Indonesia yang terus bertumbuh. Konsumsi pada tahun 2013 ini mencapai
2,2 miliar ekor. Jumlah tersebut naik 15,79% dibandingkan konsumsi ayam ras sepanjang 2012 sebanyak
1,9 juta miliar ekor. Suplemen organik dari bahan alami diharapkan mampu membuat broiler menjadi
lebih sehat sebagai bahan pangan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suplementasi variasi
tambahan herbal (kunyit, kemangi, dan jahe) terhadap kadar glukosa darah dan bobot badan (BB) broiler.
Materi yang digunakan 80 ekor DOC broiler. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) empat perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan P1 (pakan komersial + 2% kunyit), P2

versi elektronik
(pakan komersial + 6% kemangi), P3 (pakan komersial + 6% jahe), P4 (kontrol). Analisis data
menggunakan ANAVA, dilanjutkan dengan Uji Jarak Ganda Duncan (UJGD). Hasil penelitian
menunjukkan ada pengaruh perlakuan terhadap kadar glukosa darah ayam (P<0,01) dan tidak ada
pengaruh perlakuan terhadap bobot badan broiler (P>0,05).
Kata kunci: glukosa darah, BB, herbal, broiler

PENDAHULUAN
Bahan pangan berprotein yang digemari oleh masyarakat dan menjadi kesukaan masyarakat di berbagai
lapisan usia saat ini adalah daging ayam. Salah satu penyumbang daging ayam yang mengandung protein
hewani yang cukup tinggi adalah ayam broiler. Ayam broiler mempunyai peranan yang cukup besar
dalam menyumbang ketersediaan daging yang murah bagi masyarakat dari semua kalangan. Ayam broiler
(ayam pedaging) merupakan jenis ternak yang banyak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein
hewani. Ayam broiler merupakan ternak yang cepat pertumbuhannya, hal ini dikarenakan ayam broiler
merupakan hasil pengembangan teknologi sehingga memiliki sifat-sifat yang banyak menguntungkan

versi elektronik
(Pratikno, 2010). Faktor penentu keberhasilan beternak ayam selain pakan dan faktor genetik, adalah
faktor tatalaksana pemeliharaan, merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan dalam ternak broiler.
Kebutuhan daging broiler akan semakin meningkat jika saja diimbangi dengan produk daging yang
mememnuhi standar kesehatan masyarakat. Suplemen herbal adalah salah satu asupan pakan yang
dibutuhkan oleh ayam broiler untuk meningkatkan produktivitas ayam. Suplemen organik terbuat dari

468
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
bahan alami mampu menekan angka kematian, menghilangkan stress pada ternak, target bobot standar
cepat dicapai, mutu daging padat rendah lemak/kolersterol, kotoran tidak bau sehingga terhindar dari
polusi lingkungan, ternak sehat dana tahan penyakit, mutu daging padat dan rendah lemak/kolesterol,
meningkatkan nafsu makan sehingga cepat tumbuh besar, cepat panen dan otomatis bisa menghemat

versi elektronik
efesiensi pakan (FCR).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan bulan November 2013 – Januari 2014 dengan menggunakan DOC ayam broiler
CP 707 berjumlah 80 ekor dengan bobot badan awal 28,01 ± 1,57g. Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan
dan dengan 4 kali ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Perlakuan yang diterapkan yaitu P1 : pakan ayam komersial+2% kunyit; P2 : pakan ayam
komersial+6% kemangi; P3 : pakan ayam komersial +6% jahe; P4 : Pakan ayam komersial (kontrol).
Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis of Variance (ANAVA), dilanjutkan dengan Uji Jarak
Ganda Duncan (UJGD).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bobot Badan

versi elektronik
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh perlakuan berbagai herbal (kunyit, kemangi, dan jahe)
terhadap bobot badan ayam broiler pada pemeliharaan selama 5 minggu (P>0,05). Berdasarkan Tabel 1,
bobot badan tertinggi berturut turut pada perlakuan P1 (1371,12 g) yaitu perlakuan pakan ayam komersial
+ 2% serbuk herbal kunyit, lalu P2 (1299,81 g) pada perlakuan pakan komersial + kemangi 6%, kemudian
P3 (1293,33 g) pada perlakuan pakan komersial + jahe 6%, dan terakhir bobot badan paling rendah
terdapat pada perlakuan P4 (1256,750 g) yaitu perlakuan hanya diberi pakan komersial saja (kontrol).
Tabel 1. Rataan Bobot Badan Ayam Broiler pada Umur 5 Minggu (g)
Ulangan Jumlah
Perlakuan Rataan
1 2 3 4 Perlakuan
---------------------- g -------------------------
P1 1450,25 1308,00 1358,25 1368,00 5484,500 1371,12a
P2 1206,50 1285,33 1400,75 1306,67 5199,250 1299,81a
1293,33a

versi elektronik
P3 1323,25 1219,00 1281,75 1349,33 5173,330
P4 1158,75 1353,25 1207,50 1307,50 5027,000 1256,75a
Keterangan :
P1 : pakan ayam komersial + 2% serbuk herbal kunyit
P2 : pakan ayam komersial + 6% serbuk herbal kemangi
P3 : pakan ayam komersial + 6% serbuk herbal jahe
P4 : pakan ayam komersial (kontrol)
Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sidik et al. (1995), bahwa zat kurkumin yang terkandung di
dalam kunyit mempunyai khasiat anti bakteri yang merangsang dinding kantong empedu untuk
mengeluarkan cairan empedu supaya pencernaan lebih sempurna. Hal ini berakibat pada performans
ayam broiler, termasuk parameter bobot badan akhir yang lebih baik. Kunyit juga mengandung minyak
atsiri yang menyebabkan relaksasi pada saluran pencernaan, relaksasi pada saluran cerna menyebabkan
makanan lebih lama berada di saluran cerna karena gerakan peristaltik menjadi lebih lambat. Lambatnya
gerakan peristaltik, menyebabkan proses pencernaan menjadi lebih optimal selama di organ usus

versi elektronik
(Solichedi et al., 2003).
Hasil penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Bintang dan
Nataamijaya (2005) melaporkan bahwa penggunan tepung kunyit dosis 0,04% menghasilkan bobot hidup
lebih berat dibandingkan ayam yang diberi tepung kunyit dosis lebih dari 0,08%. Selanjutnya Bintang dan
Nataamijaya (2006), membuktikan bahwa pemberian kunyit sebanyak 0,04% yang dikombinasikan

469
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dengan lempuyang sebanyak 0,02%, nyata memperbaiki bobot karkas dari 1475g (pada kontrol) menjadi
1749 g.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh Samarasinghe et al. (2003) dan Al-Sultan (2003) melaporkan

versi elektronik
bahwa pemberian kunyit sebagai imbuhan pakan nyata meningkatkan efisiensi penggunaan pakan pada
ayam broiler. Hasil penelilitian oleh Sinurat et al. (2009), juga melaporkan imbuhan pakan dengan kunyit
menghasilkan bobot badan dan FCR tertinggi dibandingkan dengan pemberian temulawak, gabungan
kunyit + temulawak, maupun kontrol
Hasil penelitian oleh Suyanto et al. (2013) menyatakan, penggunaan tepung kemangi (Ocimum basilicum)
dalam pakan sampai level 6% belum dapat meningkatkan bobot karkas, persentase hati, persentase
jantung, persentase gizzard, persentase limfa (P>0,05), tetapi perlakuan tersebut dapat menurunkan kadar
kolesterol daging dada (P<0,01).
Kemangi memiliki kandungan minyak atsiri yang mampu meningkatkan relaksasi usus halus sehingga
menyerap zat-zat nutrisi untuk pertumbuhan optimum. Minyak atsiri dalam kemangi juga dapat
menghambat bakteri penyebab diare sehingga proses pencernaan dan penyerapan zat-zat nitrisi menjadi
lebih sempurna serta dapat memperbaiki saluran pencernaan (Nugroho, 1998). Kemangi diketahui
memiliki multi efek farmakologis yaitu mampu menurunkan panas, antidisentri, menambah nafsu makan,

versi elektronik
memperbaiki saluran pencernaan, memiliki sifat khas tajam, menghangatkan dan dapat melancarkan
peredaran darah (Sutarno dan Atmowidjojo, 2001).
Herawati (2006) menyatakan, laju penambahan bobot badan tertinggi dijumpai pada kelompok ayam
broiler yang mendapatkan tambahan pakan jahe merah 1,5%. Konversi pakan yang terbaik dijumpai di
perlakuan dengan penambahan jahe merah sebesar 2%. Penambahan herbal jahe menyebabkan proses
pencernaan berjalan dengan lebih baik. Penambahan jahe merah diduga menyebabkan proses pencernaan
pakan lebih terangsang, akibatnya berdampak konversi pakan lebih efisien. Bilamana konversi pakan
lebih efisien maka laju pertumbuhan baik, yang akhirnya menghasilkan bobot badan akhir lebih optimal
(Conley, 1997 seperti dikutip dari Herawati, 2006).
Hasil penelitian penambahan herbal jahe yang dilaporkan oleh Yadnya et al. (2010) menyatakan, bahwa
penambahan jahe sampai 8,26% pada ransum itik, berpengaruh nyata terhadap enam parameter yaitu
konsumsi ransum terendah, FCR terendah, berat karkas tertinggi, berat potong tertinggi, kadar air
terendah, serta susut masak terendah pada itik petelur (P<0,05).

versi elektronik
Secara umum pemberian tambahan herbal pada ransum ayam maupun unggas lain memberikan pengaruh
positif dan meningkatkan produktivitas unggas secara efisein, sebagaimana terlihat pada hasil penelitian
ini.
Kadar Glukosa Darah
Tabel 2. Rataan Kadar Glukosa Darah Ayam Broiler pada Umur 5 Minggu (mg/dl)
Ulangan Jumlah
Perlakuan Rataan
1 2 3 4 Perlakuan
------------------------- mg / dl ------------------------------
P1 178 170 172 179 699 174,75b
P2 213 239 242 229 923 230,75a
P3 197 264 253 218 932 233,00a

versi elektronik
P4 185 238 216 257 896 224,00a
Keterangan :
P1 : pakan ayam komersial + 2% serbuk herbal kunyit
P2 : pakan ayam komersial + 6% serbuk herbal kemangi
P3 : pakan ayam komersial + 6% serbuk herbal jahe
P4 : pakan ayam komersial (kontrol)
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

470
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh nyata pemberian herbal pada ayam broiler (Gallus domesticus)
terhadap kadar glukosa darah (P<0,05), seperti tampak pada Tabel 2. Pengaruh pemberian herbal sebagai
zat tambahan pada pakan ayam broiler terhadap kadar glukosa memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata pada perlakuan kemangi, jahe, dan control (P2, P3, dan P4). Hasil ketiganya berbeda nyata dengan

versi elektronik
perlakuan P1 (kunyit).
Gula darah merupakan gula bebas yang beredar di dalam darah. Kadar glukosa darah normal pada ayam
adalah 200-250 mg/dl darah. Darah ayam merupakan 8% dari berat badan anak ayam berusia satu minggu
sampai dua minggu sekitar 7% untuk ayam dewasa (Austic dan Nesheim, 1990).
Glukosa adalah yang terpenting dalam makanan hewan. Glukosa merupakan sumber dasar dari energi
pada hewan. Sejumlah kecil dari cadangan karbohidrat dalam tubuh hewan terdapat dalam hati dan urat
daging dalam bentuk glikogen yang mempunyai pati dalam sifat-sifat tertentu mampun dalam fungsinya.
Glukosa dalam peredaran darah umumnya secara terus menerus dikeluarkan untuk memberi makan
jaringan tubuh. Glikogen secara bertahap diubah kembali menjadi glukosa, untuk mengisi persendian
glukosa dalam darah. Zat tersebut kemudian dialirkan ke dalam darah untuk menjaga agar kadar glukosa
tetap (Anggorodi, 1980).
Menurut Almatsier (2001) kadar gula dalam darah dikendalikan oleh hormon, terutama insulin dan

versi elektronik
glukagon. Hormon insulin dihasilkan oleh sel-sel beta pancreas dan fungsinya untuk menurunkan kadar
glukosa dalam darah. Insulin meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel hati.
Kekurangan insulin dalam tubuh akan menurunkan tingkat katabolisma glukosa serta menurunkan sintesis
dan penyimpanan glikogen, yang mengakibatkan kadar gula dalam darah meningkat. Peningkatan kadar
gula dalam darah juga dapat disebabkan oleh adanya hormon glukagon, epinerfin, adrenokortikotropik
(ACTH), dan glukortikoid. Glukosa dihasilkan oleh sel alfa pada pankreas. Glukagon menyebabkan
peningkatan aktivitas enzim fosforilase, yaitu enzim yang diperlukan untuk pemecahan glikogen di hati.
Meningkatnya pemecahan glikogen akan menghasilkan lebih banyak glukosa yang akan dilepaskan ke
dalam aliran darah, yang mengakibatkan kadar glukosa dalam darah meningkat.
Hasil penelitian ini menunjukkan, kadar glukosa darah broiler pada perlakuan P2 (kemangi), P3 (jahe),
dan P4 (kontrol) tidak berbeda nyata, tetapi ketiganya berbeda nyata dengan perlakuan P1 (kunyit) (Tabel
2). Hal ini mengindikasikan tingkat metabolisme pada P1 lebih tinggi dibanding pada P2, P3, dan P4.
Metabolisme yang tinggi membutuhkan ketersediaan energi yang memadai. Penggunaan glukosa darah

versi elektronik
sebagai sumber energi utama dalam metabolism tubuh, mengakibatkan kadar glukosa darah P1 lebih
rendah daripada perlakuan yang lain. Metabolisme yang tinggi pada P1 ini, berdampak pada peningkatan
bobot badan (BB), dibandingkan pada perlakuan yang lain (Tabel 1).
Menurut Aris Wibudi, ada 5 cara untuk menurunkan gula darah. Kelima cara itu adalah menurunkan
produksi gula oleh liver, memicu sekresi insulin, menghambat pemecahan gula di usus, memperbaiki
sensitivitas sel-sel tubuh terhadap insulin, dan memperbaiki fungsi sel-sel beta pankreas (Fudji, 2013).
Kunyit memiliki sifat teraupotik obat yang kuat. Rimpang kunyit memiliki manfaat penyembuhan dan
sifat obat, yang dapat membantu mengobati penyakit seperti alergi, infeksi, radang, gangguan jantung,
osteoarthritis, gangguan pencernaan, dan diabetes. Kunyit juga dikenal memiliki sifat kuratif untuk
mengobati diabetes. Sifat Antioksidan, sifat antimikroba dan anti – glikemik pada kunyit terkait dengan
senyawa kurkumin yang dapat membantu mengatur produksi hormon insulin dalam tubuh (sebagaimana
pendapat Aris Wibudi di atas), mengontrol dan menyeimbangkan gula darah dan trigliserida, mencegah
pengembangan resistensi insulin atau sensitivitas insulin, meningkatkan kekebalan tubuh, mencegah

versi elektronik
infeksi dan radang, mengurangi lemak, dan mengurangi stres, hal ini berdampak pada penyembuhan dan
pencegahan diabetes.
Kelebihan berat badan atau obesitas merupakan faktor risiko terbesar diabetes. Curcumin dalam kunyit
akan membantu untuk mengontrol trigliserida dan kadar kolesterol dalam darah, menyeimbangkan gula
darah, memperbaiki pencernaan, menghilangkan dan mencegah akumulasi lemak, sehingga membantu

471
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
mengobati masalah obesitas, akibatnya kunyit akan sangat membantu untuk mencegah timbulnya
penyakit diabetes.
Pankreas adalah organ tubuh yang bertugas memproduksi insulin dalam tubuh manusia. Zat Anti

versi elektronik
glikemik dalam kunyit akan membantu untuk mempertahankan fungsi pankreas yang sehat, mengatur dan
menyeimbangkan kadar insulin, mencegah perkembangan resistensi insulin dalam tubuh, serta
menurunkan kadar gula darah dan trigliserida, sebagai upaya pengobatan diabetes secara efektif .
Bakteri Patogen jenis tertentu juga diyakini dapat memicu diabetes tipe 1. Sifat antivirus, antibakteri, dan
sifat antibiotik kunyit akan membantu untuk mengobati dan mencegah infeksi jenis bakteri, dengan
demikian akan membantu untuk menghindari diabetes. Kunyit juga bisa membantu menyembuhkan
penyakit metabolik dan peradangan, yang dapat menyebabkan masalah gula darah tinggi .
Daun kemangi mengandung beberapa senyawa dan nutrisi seperti Sineol, arigin, Apigenin fenkhona,
Cireol, estragol, eugenol, lineol, linalool, metha sinamat, asam caffeic, monoterpen, seskuiterpen, tannin,
vitamin A , dan Vitamin C. Kemangi memiliki efek yang Mendukung sistem saraf, meredakan depresi,
mengurangi peradangan, mencegah efek radikal bebas, mencegah pertumbuhan bakteri, menghambat
patogen, meredakan kram otot, stres, mengurangi gas perut & rasa mual, meningkatkan sirkulasi darah ke
seluruh tubuh, mempromosikan keringat, memberi nutrisi dan memperkuat sistem pencernaan,

versi elektronik
merangsang menstruasi, meningkatkan keluarnya lendir dari saluran pernapasan, mengurangi demam, dan
meningkatkan sekresi susu (Yuli, 2013).
Beberapa studi membuktikan daun kemangi dapat meningkatkan produksi hormon adrenalin dan
noradrenalin, serta menurunkan kadar serotonin yang memicu stres. Manfaat lain daun kemangi adalah
menurunkan kadar gula darah. Daun kemangi membantu kestabilan gula darah jika dikonsumsi secara
teratur sebagai teh ataupun lalapan (Fahrudin, 2014).
Minyak atsiri jahe termasuk jenis minyak yang mudah menguap dan merupakan suatu komponen yang
memberi bau harum khas jahe. Minyak atsiri jahe terdiri dari zingiberol, zingiberen, n-nonyl aldehida, d-
camphen, dbphellandren, methyl heptanon, sineol, stral, borneol, linalool, asetat, kaprilat, phenol, dan
chavicol (Koswara, 1995). Komponen fenol dalam rimpang jahe membantu mengontrol glukosa darah
dalam kisaran normal. Hasil studi menyatakan jahe mampu meningkatkan penyerapan glukosa darah ke
dalam sel sel otot.

versi elektronik
Terkait dengan hasil penelitian ini, meskipun kadar glukosa darah broiler pada perlakuan P2 (kemangi),
P3 (jahe), dan P4 (kontrol) berbeda nyata terhadap P1 (kunyit), data masih menunjukkan pada kisaran
kadar glukosa darah normal yang diharapkan (200-250 mg/dl darah), sesuai dengan pendapat Austic dan
Nesheim (1990). Hal ini berarti pemberian daun kemangi dan jahe tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Sebaliknya pemberian kunyit memberikan kadar glukosa darah yang berbeda nyata dengan kontrol
(P<0,05). Sejalan dengan pembahasan bobot badan di atas, manfaat pemberian kunyit lebih nyata terlihat.
Hal ini karena sifat antiglikemik, antivirus, antibakteri, dan sifat antibiotik pada kunyit, kemampuan
meningkatkan kekebalan tubuh, serta kemampuan perbaikan pencernaan, hal ini secara lengkap
mengoptimalkan peran kunyit dalam efisiensi pakan, dilihat dari perolehan bobot badan yang tertinggi
serta kadar glukosa darah yang rendah.

KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan tidak ada pengaruh pemberian kunyit, kemangi dan jahe terhadap bobot
badan ayam broiler (P>0,05) dan ada pengaruh suplementasi herbal pada pakan terhadap kadar glukosa

versi elektronik
ayam broiler (P<0,05).

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S.2001.Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

472
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Al-Sultan, S.I. 2003. The Effect of Curcuma longa (Tumeric) on overall performance of broiler chickens.
Int. J. Poult. Sci. 2: 351-353.
Anggorodi. 1994. IlmuMakanan Ternak Umum. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

versi elektronik
Austic, R.E. and M.C. Nesheim. 1990. Poultry Production. Lea and Febiger. Philadelpia. London.
Bintang, I.A.K. dan A.G. Nataamijaya. 2005. Pengaruh penambahan tepung kunyit terhadap performans
broiler. Pros, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September
2005. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm.773-777.
Bintang, I.K. dan A.G. Nataamijaya. 2006. Karkas dan lemak subkutan broiler yang mendapat ransum
dengan suplementasi tepung kunyit (Curcuma domestica val) dan tepung lempuyang (Zingiber
aromaticum val). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 5 – 6
September 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 623 – 628.
Fahrudin, I. 2014. 20 manfaat daun Kemangi yang Mengagumkan.
http://khasiatmanfaatsehat.blogspot.com/2014/04/20-manfaat-daun-kemangi-yang-
mengagumkan.html

versi elektronik
Fudji. 2013. Oyong dan Kemangi untuk Diabetes. http://fujiro.com/oyong-dan-kemangi-untuk-
diabetes.html
Herawati. 2006. Pengaruh penambahan fitobiotik jahe merah (Zingiber officinale Rose) terhadap produksi
dan profil darah ayam broiler. Jurnal Protein. Vol 14 No 2 Tahun 2006.
Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nugroho NA. 1998. Manfaat dan Prospek Pengembangan Kunyit. Ed ke-1. Ungaran: PT.Trubus
Agriwidya.
Pratikno, H. 2010. Pengaruh ekstra kunyit (Curcuma domestica vahl) terhadap bobot badan ayam broiler
(Gallus sp). Buletin Anatomi dan Fisiologi vol. XVIII, No. 2, oktober 2010.
Samarasinghe, K., C. Wenk, K.F.S.T. Silva and J.M.D.M. Gunasekera. 2003. Turmeric (Curcuma longa),
root powder and manano ligo Sacharides as alternatif to antibiotic in broiler chicken diets. Asian-
Aust. J. Anim. Sci. 16: 1495-1500.

versi elektronik
Sidik, Moelyono M.W. dan Ahmad Muhtadi, 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza). Yayasan
Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica.
Sinurat, A.P., , T. Purwadaria, I.A.K. Bintang, P.P. Ketaren, N. Bermawie, M. Raharjo dan M. Rizal.
2009. Pemanfatan Kunyit dan Temulawak sebagai Imbuhan Pakan untuk Ayam Broiler. JITV
Vol. 14 No. 2 Th. 2009 . p : 90-96.
Solichedi, K., U.Atmomarsono, dan V.D Yunianto. 2001. Pemanfaatan Kunyit (Curcuma domestica val)
dalam Ransum Broiler sebagai Upaya Menurunkan Lemak Abdominal dan Kadar kolesterol
Darah. J.Indon. Trop.Anim.Agric. 28 (3) September 2001.
Steel,R.G.D. and J.H.Torrie.1980. Principles and Procedures of Statistic. Ed. Mc.Graw-Hill International
Book Company, London.
Sutarno, H. Dan S. Atmowidjojo. 2001. Tantangan Pengembangan Dan Fakta Jenis Tanaman Rempah.

versi elektronik
Prosea Indonesia-Yayasan Prosea Bogor.
Suyanto, D., Achmanu, and Muharlien. 2013. The utilization of Ocimum basilicum in feed on broilers
carcass weight, internal organ percentages and meat cholesterol.
Yadnya, T.G.B., Ni M. S. Sukmawati, A.A.A. Sri Trisnadewi, dan A.A. Putu Putra Wibawa. 2010.
Pengaruh pemberian jahe (Zingiber officinale rosc) dalam ransum terhadap penampilan itik

473
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
petelur afkir. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2010, Hal 41-48 Vol. 5, No. 2.
ISSN. p : 1978 – 0303.
Yuli. 2013. Cara mememanfaatkan kunyit untuk mengobati diabetes.

versi elektronik
http://www.carakhasiatmanfaat.com/artikel/cara-memanfaatkan-kunyit-untuk-menyembuhkan-
diabetes.html
Yuli. 2013. Manfaat Daun Kemangi untuk Kesehatan.
http://www.carakhasiatmanfaat.com/artikel/manfaat-kemangi-untuk-kesehatan.html
-----. 2010. Manfaat Daun Kemangi. http://nensynema.blogspot.com/

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 474


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KARAKTERISTIK YOGHURT DAN KEFIR YANG DIPRODUKSI DARI SUSU KUDA
Nurliyani, Zanu Prasetya, M. Arti Wibawantari, dan Indratiningsih
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada; email:

versi elektronik
nurliyani@yahoo.com

ABSTRAK
Susu kuda mempunyai kandungan laktosa, laktoferin dan lisozim lebih tinggi dibanding susu sapi dan
susu kambing, sehingga akan berpengaruh pada produk susu fermentasi yang dihasilkan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik susu fermentasi yoghurt dan kefir yang dibuat dari bahan baku
susu kuda. Susu kuda yang digunakan untuk pembuatan yoghurt dan kefir, masing-masing dipasteurisasi
pada suhu 85oC selama 30 menit. Susu pasteurisasi untuk kelompok yogurt diinokulasi dengan 3 macam
perlakuan starter yang berbeda yaitu Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus, dan
kombinasi Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Selanjutnya setiap kelompok
perlakuan yoghurt diinkubasikan pada suhu 40oC sampai nilai pH sekitar 5,0. Susu pasteurisasi untuk
kelompok kefir diinokulasi dengan 2% kefir grain, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 12
dan 24 jam. Karakteristik susu fermentasi yang dievaluasi meliputi total bakteri, laktosa, keasaman, pH,
dan alkohol. Data hasil penelitian dianalisis statistik dengan one way ANOVA. Hasil penelitian

versi elektronik
menunjukkan Lactobacillus bulgaricus yang digunakan dalam pembuatan yoghurt susu kuda
menghasilkan karakteristik produk yang terbaik, sedangkan perbedaan waktu inkubasi tidak mempunyai
pengaruh terhadap karakteristik kefir, kecuali kandungan alkoholnya.
Kata kunci: Susu kuda, Yoghurt, Kefir

ABSTRACT
Lactose, lactoferrin and lysozyme in mare milk were higher than cow and goat milk, that it will affect the
resulting fermented milk products. This study aimed to evaluate the characteristics of fermented milk
yoghurt and kefir made from mare milk. Mare milk used for produce of yoghurt and kefir were
pasteurized at a temperature of 85oC for 30 minutes, respectively. Pasteurized milk for yoghurt group
inoculated with three different kinds of starter: Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus,
and the combination of Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophillus. Furthermore, each
treatment of yoghurt group was incubated at 40oC until a pH value of about 5.0. Pasteurized milk for kefir

versi elektronik
group inoculated with 2 % kefir grains, then incubated at room temperature for 12 and 24 hours. The
characteristics of fermented milk was evaluated in their total amount of bacteria, lactose, acidity, pH and
alcohol. The data were statistically analyzed by one-way ANOVA. The results showed that the best
yoghurt characteristic was obtained by Lactobacillus bulgaricus starter, whereas the different incubation
time had no effect on kefir characteristics, except in their alcocol content.
Keywords: Mare milk, Yoghurt, Kefir

PENDAHULUAN
Produksi susu dalam negeri belum dapat mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat di Indonesia,
sehingga sekitar 70% masih diimpor. Apabila kondisi ini tidak diwaspadai, kesenjangan tersebut dapat
menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan (food soverignty) semakin jauh dari harapan, yang
pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir. Artinya produksi susu dalam negeri
belum dapat mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat di Indonesia. Apabila kondisi ini tidak
diwaspadai, kesenjangan tersebut dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan(food

versi elektronik
soverignty) semakin jauh dari harapan. Hal ini berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir, yang
artinya pemenuhan asupan nutrisi dari susu sangat tergantung dari kondisi pasar negara eksportir (Farid
dan Sukesi, 2011).
Sebaiknya untuk mencukupi kebutuhan susu nasional dan meningkatkan pendapatan petani/peternak,
tidak hanya mengandalkan sapi perah, tetapi memanfaatkan potensi ternak perah lainnya seperti kambing

475
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Peranakan Ettawah (PE), kuda dan kerbau. Sebetulnya potensi kuda di Indonesia cukup besar yang
terkonsentrasi di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara, yang sejauh ini belum banyak dimanfaatkan
susunya. Menurut Badan Pusat Statistik (2012), populasi kuda tahun 2012 sebanyak 437 ribu ekor dan
populasi sementara tahun 2013 sebanyak 454 ribu ekor, sedangkan populasi sapi perah pada tahun 2012

versi elektronik
sebanyak 612 ribu ekor dan tahun 2013 populasi sementara 636 ribu ekor. Di daerah Sumbawa, susu
kuda telah dimanfaatkan dan bahkan sudah dipasarkan sampai di luar Sumbawa dengan nama “Susu Kuda
Liar”, yang harganya relatif mahal, walaupun sanitasi dan higiene produksinya belum banyak diungkap.
Potensi susu kuda di Yogyakarta ada di wilayah selatan, tepatnya di daerah wisata pantai Parangtritis. Di
daerah wisata Brastagi Sumatera Utara juga terdapat kuda yang susunya dimanfaatkan dan dipasarkan.
Ternak kuda dan pemanfaatan susunya dimungkinkan sangat potensial dikembangkan di daerah wisata.
Susu merupakan biofluid yang sangat bergizi. Susu kuda mempunyai karakteristik biofisik dan biokimia
serupa dengan air susu ibu (ASI). Oleh karena itu dengan mengkonsumsi susu tersebut dapat
meminimalkan alergi, hiperlipidemia, dan terjadinya abnormalitas terkait konsumsi susu sapi terutama
pada bayi, anak-anak dan individu usia lanjut (Akbar, 2012). Susu kuda bahkan disarankan digunakan
sebagai agen kuratif untuk penyakit pencernaan dan kardiovaskular. Disamping itu produk susu
fermentasi koumiss di Rusia yang dikombinasi dengan pengobatan lain digunakan untuk pencegahan dan
terapi penyakit tuberkulosis, saluran pencernaan dan kardiovaskular. Hal ini menjadikan suatu

versi elektronik
kemungkinan baru untuk menghasilkan pendapatan dari produksi susu kuda (Lozovich, 1995). Susu kuda
telah berhasil digunakan sebagai alternatif pangan bagi bayi dengan alergi susu sapi yang prevalensinya
sekitar 3% selama tiga tahun pertama kehidupan (Salimei and Fantuz, 2012).
Walaupun susu kuda mempunyai komposisi yang hampir mendekati ASI, terutama kandungan laktosanya
yang tinggi dan protein yang rendah, tetapi susu kuda mempunyai kandungan lisozim dan laktoferin yang
lebih tinggi dibanding susu sapi dan susu kambing. Lisozim dan laktoferin merupakan protein yang dapat
beraktivitas sebagai antimikrobia, yang berarti protein ini juga akan berpengaruh pada pertumbuhan
bakteri starter yang ditumbuhkan pada susu kuda. Permasalahannya apakah starter yoghurt dan kefir grain
yang diinokulasikan pada susu kuda pasteurisasi dapat tumbuh dengan baik sehingga dapat menurunkan
kandungan laktosa susu kuda. Oleh karena itu tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik
yoghurt dengan starter yang berbeda dan kefir dengan perbedaan lama fermentasi yang dibuat dari bahan
dasar susu kuda. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dalam
pengembangan produk susu kuda fermentasi yang dapat bermanfaat bagi kesehatan dan sekaligus dapat

versi elektronik
meningkatkan pendapatan.
Komposisi Susu Kuda
Berdasarkan komposisinya, susu kuda serupa dengan ASI dalam hal kandungan protein kasar, garam dan
laktosa, tetapi mempunyai kandungan lemak yang sangat rendah (Potocnik et al., 2011), dan kandungan
protein yang lebih rendah daripada susu sapi (Uniacke-Lowe et al., 2010). Karbohidrat utama dalam susu
kuda adalah laktosa dengan kandungan rata-rata 6,26%, lebih tinggi daripada susu sapi, kambing dan
domba. Oleh arena tingginya kandungan laktosa, maka susu kuda terasa manis dibanding tipe susu yang
lain (Čagalj et al., 2014). Susu kuda mempunyai nilai gizi yang penting dan sifat therapeutic yang
menguntungkan bagi individu lanjut usia dan individu yang dalam proses penyembuhan dari sakit
ataupun anak-anak yang baru lahir (Uniacke-Lowe et al., 2010).
Berdasarkan komposisinya, susu kuda serupa dengan ASI dalam hal kandungan protein kasar, garam dan
laktosa, tetapi mempunyai kandungan lemak yang sangat rendah (Potocnik et al., 2011), dan kandungan

versi elektronik
protein yang lebih rendah daripada susu sapi (Uniacke-Lowe et al., 2010). Karbohidrat utama dalam susu
kuda adalah laktosa dengan kandungan rata-rata 6,26%, lebih tinggi daripada susu sapi, kambing dan
domba. Oleh arena tingginya kandungan laktosa, maka susu kuda terasa manis dibanding tipe susu yang
lain yang dikonsumsi manusia (Čagalj et al., 2014). Susu kuda mempunyai nilai gizi yang penting dan
sifat therapeutic yang menguntungkan bagi individu lanjut usia dan individu yang dalam proses
penyembuhan dari sakit ataupun anak-anak yang baru lahir (Uniacke-Lowe et al., 2010).

476
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Susu kuda yang diperah secara hand milking mengandung 1,6% lemak, 1,85% protein dan 7,04% laktosa
(Well et al., 2012), serta mempunyai pH dengan kisaran 6,90-7,17 (Cagalj et al., 2014). Kandungan
total solid dan mineral susu kuda pada laktasi 1 – 4 bulan masing-masing berkisar 10,0- 10,5% dan
0,32 -0,45% (Schryver et al., 1986). Dua faktor genetik dan lingkungan dapat berpengaruh terhadap

versi elektronik
komposisi susu, termasuk breed mamalia, individu hewan, periode laktasi, frekwensi dan kesempurnaan
pemerahan, umur maternal, kesehatan dan tipe pakan (Uniacke-Lowe et al., 2010).
Protein susu dapat dikelompokkan menjadi dua kelas: 1) protein major yaitu termasuk kasein dan dua
protein whey yaitu α- laktalbumin dan β-laktoglobulin, dan 2) protein minor ( lisozim, laktoferin,
laktoperoksidase dan imunoglobulin) (Benkerroum, 2008). Fraksi protein whey susu kuda berkisar 50%
dari total protein, dengan jumlah asam amino esensial yang bagus, dan tinggi kadar lisozimnya (Jauregui-
Adell, 1975). Banyaknya protein whey tersebut menyebabkan secara fisik berbeda dengan susu sapi.
Presipitat kasein susu sapi merupakan sedimen yang tebal yang kelarutannya rendah dalam air, sementara
presipitat kasein susu kuda merupakan presipitat kecil-kecil (Lozovich, 1995).
Aktivitas antibakteri lisozim dan laktoferin susu
Lisozim akhir-akhir ini menarik perhatian karena potensinya sebagai antimikrobia terhadap kisaran luas
mikrobia, sehingga berpotensi dalam preservasi dan keamanan pangan. Lisozim dapat dimurnikan dari

versi elektronik
sel, sekresi dan jaringan semua organisme hidup dan virus. Protein lisozim telah dikenal memiliki sifat
fisiologis dan fungsional, aktivitas mikrobisidal yang tinggi, yang sejauh ini telah menjadi perhatian
ilmuwan dan stakeholder industri untuk aplikasi praktis dalam bidang kedokteran dan industri pangan
(Benkerroum, 2008).
Nama lain lisozim adalah N-asetilmuramidase (muramidase), merupakan enzim tipe hidrolase
(E.C.3.2.1.17) dengan berat molekul rendah (14,4 kDa) yang mengkatalisis pemecahan polimer
peptidoglikan dinding sel bakteri pada ikatan beta 1-4 antara asam N-asetilmuramat (NAM) dan residu
N-asetilglukosamin (Benkerroum, 2008; Krol et al., 2012). Rerata kadar lisozim pada ASI, susu sapi,
susu kambing dan susu kuda berturut-turut 100-890; 0,37-0, 60; 0,25 dan 400-890 mg/L (Krol et al.,
2012).
Aktivitas spesifik lisozim susu kerbau 10 kali dibanding lisozim susu sapi. Lisozim susu kerbau aktif
pada kisaran pH yang luas dan aktivitasnya sangat dipengaruhi oleh molaritas medium. Aktivitas
antibakteri lisozim susu kerbau telah ditentukan terhadap 11 spesies bakteri, dari 7 spesies bakteri

versi elektronik
ditemukan 4 spesies bakteri Gram positif terhambat sedangkan bakteri Gram negatif resisten terhadap
lisozim ( Priyadarshini and Kansal, 2002).
Aktivitas lisozim pada susu keledai yang masih segar dan susu yang beku menunjukkan aktivitas yang
sama, yang mengindikasikan bahwa proses pembekuan dan pencairan dalam susu keledai tidak
berpengaruh terhadap aktivitas lisozim. Selanjutnya apabila susu keledai disimpan pada suhu 4oC selama
1 bulan tidak mengurangi aktivitas lisozim. Namun apabila susu keledai dijadikan susu bubuk, maka
aktivitas lisozim tinggal 30% dibanding susu segar atau beku. Hal tersebut mengindikasikan proses kering
semprot (spray drying) yang digunakan dalam pembuatan susu bubuk sangat berpengaruh terhadap
aktivitas lisozim. Lisozim termasuk enzim yang relatif stabil terhadap panas, karena aktivitasnya masih
100% pada penyimpanan 4-50oC. Apabila suhu ditingkatkan maka enzim tersebut akan mulai menurun
dan pada suhu 70oC aktivitas lisozim tinggal 50%, karena terjadinya proses denaturasi enzim (Polidori
and Vincenzetti, 2010).

versi elektronik
Laktoferin adalah glikoprotein terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 77,80 - 80
kDa yang mengandung 650-700 asam amino. Glikoprotein tersebut mempunyai kemampuan karakteristik
mengikat 2 ion feri (Fe3+) secara reversibel per molekul (Lonnerdal and Iyer, 1995; Aguila and Brock,
2001). Kapasitas laktoferin untuk mengikat besi dengan afinitas tinggi walaupun pada pH rendah, sangat
krusial pengaruhnya pada mikrobiostatik (Aguila and Brock, 2001). Adapun muatan basis pada laktoferin
berimplikasi pada pengaruh bakterisidal, antiviral, sifat imunomodulator dan antiendotoksin (Aguila and

477
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Brock, 2001). Rerata kadar laktoferin pada ASI, susu sapi, susu kambing dan susu kuda berturut-turut
700-2000, 80-500, 98-150 dan 820 mg/L (Krol et al., 2012). Pemanasan pada suhu 72oC selama 15 detik
tidak berpengaruh pada aktivitas antibakteri laktoferin, tetapi perlakuan UHT (ultra high temperature)
pada suhu 135o C selama 4 detik akan menghilangkan sifat bakteriostatik laktoferin (Steijn, 2001).

versi elektronik
Produk Susu Fermentasi
Produk fermentasi susu kuda yang umum di Mongolia adalah airag (koumiss) yang dibuat secara
tradisional. Isolat terseleksi dari susu kuda fermentasi (airag/koumiss) dan yoghurt (tarag) menunjukkan
adanya aktivitas protease spesifik dari 7,9 μg/ml – 11,9 μg/ml (Munkhtsetseg et al., 2009). Koumiss
merupakan minuman susu fermentasi yang sedikit beralkohol yang mula-mula diperoleh dengan
menggunakan campuran starter alami yaitu bakteri asam laktat dan yeast. Tujuh strain Lactobacillus dari
koumiss kering beku telah diisolasi dan teridentifikasi sebagai L. salivarius, L. buchneri dan L. plantarum
(Danova et al., 2005).
Berdasarkan lama fermentasi, koumiss dapat dikelompokkan menjadi koumiss dengan flavor lemah,
medium dan kuat yang berturut-turut dengan kisaran keasaman dan alkohol 0,54-0,72% dan 0,7-1%;
0,73-0,90% dan 1,2-1,8%; 0,91-1,08% dan 1,8-2,5% (Robinson, 2002).

versi elektronik
Kefir adalah serupa dengan koumiss karena juga merupakan produk susu fermentasi dengan bakteri dan
yeast. Kefir merupakan minuman fermentasi effervescent, berasa asam dan sedikit alkoholik berasal dari
pegunungan Caucasia dan sudah popular di banyak negara Eropa (La Rivière et al., 1967; Timara. 2010).
Susu yang digunakan untuk pembuatan kefir difermentasi dengan campuran mikroflora dalam matriks
polisakarida kefir grain, dan banyak digunakan sebagai terapi atau kontrol berbagai penyakit di Rusia
(Otles and Cagindi, 2003; Timara. 2010). Kefir grain tersebut mempunyai variasi dan komposisi
mikrobia yang kompleks, terdiri dari spesies yeast, bakteri asam laktat, bakteri asam asetat dan fungi
bermiselia (Witthuhn et al., 2005).
Berbagai aktivitas bakteri dalam kefir berasal dari lactobacilli, lactococci, leuconostoc, acetobacteria),
sedangkan yeast berupa lactose-fermenting dan nonlactose-fermenting) yang terkandung dalam butiran
kefir (kefir grain) (Thoreux and Schmucker, 2001; Farnworth, 2005). Kefir dinyatakan sebagai probiotik
alami (Otles and Cagindi, 2003), dan bakteri di dalam kefir grain yang teridentifikasi berupa:
Lactobacillus lactis subsp. lactis, Streptococcus thermophillus, L. bulgaricus, L. helveticus, L. casei
subsp. Pseudoplantarum, dan L. brevis, sedangkan yeast yang teridentifikasi yaitu Kluyveromyces

versi elektronik
marxianus var.lactis, Saccharomyces cerevisiae, Candida inconspicua dan Candida maris (Simova et al.,
2002).
Produk kefir di Timur Tengah sangat popular dan merupakan produk yang agak kental, sedikit berkarbon
dan mengandung sejumlah kecil alkohol (etanol). Nilai pH kefir berkisar 4,2 – 4,6, etanol pada produk
akhir berkisar 0,01 – 0,1% atau sebanyak 0,85 – 1,05 g / L etanol dan CO2 (Otles and Cagindi, 2003).
Yoghurt merupakan produk susu fermentasi, yang secara tradisionil dibuat dari susu yang telah
dipanaskan untuk meningkatkan total solid dan kemudian difermentasi dengan mikroorganisme spesifik
Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgricus. Kualitas yoghurt tergantung pada keberhasilan
simbiosis antara S. thermophillus dan L. bulgaricus dalam produk (Rahman et al., 1999). Pertumbuhan S.
thermophillus yang lebih cepat pada awal fermentasi menghasilkan beberapa asam termasuk asam format
yang dapat menstimulasi pertumbuhan L. bulgaricus. Sebaliknya, L. bulgaricus mempunyai aktivitas
proteolitik lebih tinggi daripada S. thermophillus, sehingga asam amino yang dibebaskan dapat

versi elektronik
menstimulasi pertumbuhan S. thermophilus (Wood, 1985). Pembentukan curd terbagus pada yoghurt
dihasilkan dari rasio S. thermophillus dan L. bulgaricus 2:1, sementara itu curd tidak akan terbentuk pada
yoghurt dengan kultur tunggal. Keasaman dan diasetil yoghurt tertinggi dihasilkan dari rasio S.
thermophillus dan L. bulgaricus 1:2. Adapun waktu pembentukan curd pada yoghurt rata-rata diperlukan
lebih dari 3 jam. Berdasarkan sifat organoleptiknya, yoghurt terbaik diperoleh dari rasio S. thermophilus

478
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dan L. bulgaricus 1: 1 di produk akhirnya, namun berdasarkan aktivitas antibakterinya terhadap beberapa
patogen, yoghurt terbagus diperoleh dari rasio S. thermophilus yang lebih besar (Rahman et al., 1999).

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Variabel bebas dalam penelitian yoghurt susu kuda ini adalah 3 jenis starter yoghurt dengan variabel
terikatnya adalah total bakteri asam laktat, kadar laktosa, keasaman dan pH yoghurt. Adapun variabel
bebas pada penelitian kefir susu kuda adalah 2 macam lama fermentasi (inkubasi) dengan variabel
terikatnya kadar laktosa, keasaman, pH dan alkohol kefir.
Penelitian ini menggunakan bahan utama susu kuda komposit dari tiga ekor kuda yang berasal dari
peternak kuda di Bantul Yogyakarta dengan periode laktasi masing-masing 50; 70 dan 90 hari dengan
umur kuda berturut-turut 4,5; 15 dan 6 tahun. Setelah susu kuda diperah segera dimasukkan ke dalam
boks yang berisi es untuk dibawa ke laboratorium. Starter yoghurt berasal dari koleksi kultur di Pusat
Studi Pangan dan Gizi UGM, yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dalam
bentuk kering beku. Kefir grain diambil dari Balai Penelitian Ternak Bogor. Media yang digunakan
untuk penghitungan bakteri asam laktat yoghurt adalah media deMan, Rogosa and Sharpe (MRS) agar
(Merck).

versi elektronik
Yoghurt susu kuda dibuat menurut modifikasi metode Aswal et al. (2012). Susu kuda dipasteurisasi pada
suhu 85oC selama 30 menit. Susu kuda pasteurisasi ini dibagi menjadi empat kelompok penambahan
starter 5% (v/v) : 1) Lactobacillus bulgaricus (LB), 2) Streptococcus thermophillus (ST), 3) kombinasi
LB dan ST, dan 4) tanpa starter (kontrol). Pembuatan yoghurt dilakukan dengan tiga kali ulangan.
Starter yoghurt ditambahkan kedalam susu kuda pasteurisasi yang telah didinginkan sampai 40oC,
kemudian diinkubasikan pada suhu tersebut sampai pH mencapai sekitar 5,0. Selanjutnya karakteristik
yoghurt yang dievaluasi meliputi jumlah total bakteri asam laktat (BAL), kadar laktosa, keasaman
(persentase asam laktat) dan pH.
Preparasi kefir susu kuda dilakukan menurut modifikasi metode Otles and Cagindi (2003). Susu kuda
dipasteurisasi pada suhu 85oC selama 30 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Kefr grain
sebanyak 2% diinokulasikan kedalam susu kuda tersebut, kemudian diinkubasikan (difermentasi) selama
12 dan 24 jam pada suhu ruang. Kefir kontrol juga diinkubasikan pada 12 dan 24 jam. Selanjutnya kefir
disaring untuk memisahkan dari butiran kefir, dan karakteristik kefir yang dievaluasi meliputi kadar
laktosa, keasaman, pH dan alkohol. Pembuatan kefir susu kuda dilakukan dengan replikasi tiga kali.

versi elektronik
Setiap sampel yoghurt diambil 1 ml dan dilarutkan dengan 9 ml NaCl fisiologis, dan prosedur ini
dilanjutkan untuk memperoleh pengenceran khir10-6. Sebanyak 0,1 ml dari pengenceran10-5 dan 10-6
(pengenceran yang diinginkan) ditaburkan kedalam setiap cawan Petri steril yang telah berisi medium.
Cawan Petri tersebut kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Populasi bakteri asam
laktat (BAL) dihitung dari koloni yang terbentuk dan diekspresikan dalam cfu/ml (Roostita et al., 2011).
Kadar laktosa yoghurt dan kefir ditentukan secara volumetrik menggunakan chloramine-T. Prinsip
penentuan laktosa ini adalah dengan reagen untuk pengendapan protein sampel, dan dengan penyaringan
akan diperoleh filtrat yang mengandung laktosa. Selanjutnya laktosa dioksidasi dengan hypo-iodite yang
terbentuk oleh penambahan potassium iodide dan chloramine-T. Setelah asidifikasi, sisa hypo-iodite dan
chloramine-T dititrasi sebagai iodine menggunakan larutan standar sodium thiosulfat dengan pati sebagai
indikator. Dengan cara yang sama dibuat blanko. Apabila banyaknya chloramine-T yang digunakan
dalam reaksi dapat ditentukan, maka banyaknya laktosa mula-mula dapat dihitung (Early, 1998). Adapun

versi elektronik
prosedur analisis laktosa ditentukan menurut Sudarmadji et al. (1984).
Nilai pH yoghurt dan kefir susu kuda diukur menggunakan pH-meter (HANNA-HI 98103), sedangkan
keasamannya dianalisis dengan cara titrasi menurut Hashim et al. (2009) dengan sedikit modifikasi.
Keasaman diekpresikan sebagai persentase asam laktat, dan ditentukan dengan titrasi 9 g yoghurt atau
kefir dengan 0.1 N NaOH menggunakan fenolftalin sebagai indikator sampai warna sampel menjadi
pink.

479
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Keasaman (%) = (ml NaOH)x(N NaOH)(BM asam laktat) x 100
Berat sampel x1000 mg
Data hasil penelitian dianalisis statistik dengan One Way ANOVA menggunakan SPSS versi 12.0 (2003).

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan baku susu kuda pasteurisasi untuk pembuatan yoghurt dan kefir terdapat sedikit perbedaan, karena
susu kuda tersebut diambil dalam waktu yang berbeda dan merupakan komposit dari tiga ekor kuda yang
periode laktasinya juga berbeda. Berdasarkan Tabel 1, laktosa susu kuda berkisar 5,93- 6,84%, keasaman
0,05%, pH 6,87-6,96, protein 2,49-3,04% dan lemak 0,30-0,58%. Menurut Mariani et al. (2001), susu
kuda pada laktasi 20 -180 hari mempunyai kisaran laktosa 6,65-6,88%, pH 6,88-7,11, protein 1,63-
2,23%, dan lemak 0,44- 1,04%. Adapun keasaman susu kuda pada hasil penelitian ini sebesar 0,05%,
lebih rendah dibanding hasil penelitian Hakim et al. (2013),yaitu sebesar 0,43% pada susu kuda
Sumbawa. Hal ini dapat disebabkan perbedaan jarak waktu pemerahan dengan pengujian sampel dan
penanganannya sehingga selama perjalanan susu kuda sudah mengalami perubahan keasaman. Susu kuda
menurut Hakim et al. (2013) dibawa dari Sumbawa menuju tempat pengujian sampel di Bali, sedangkan
susu kuda hasil penelitian ini hanya berjarak satu jam dari pemerahan langsung diuji keasamannya.

versi elektronik
Penelitian sebelumnya bahkan menunjukkan bahwa susu kuda yang telah dipasteurisasi tidak terdeteksi
adanya asam laktat (Civardi et al., 2003).
Tabel 1. Karakteristik susu kuda pasteurisasi yang digunakan sebagai bahan baku yoghurt dan kefir
Karakteristik Bahan baku yoghurt Bahan baku kefir
7
Jumlah bakteri (TPC): cfu/ml 1,58x10 -
Laktosa (%) 5,93 6,84
Keasaman (%) 0,05 0,05
pH 6,96 6,87
Protein (%) 3,04 2,49
Lemak (%) 0,30 0,58

Karakteristik Yoghurt Susu Kuda

versi elektronik
Karakteristik yoghurt yang meliputi total BAL, laktosa, keasaman dan pH dapat dilihat pada Tabel 2.
Total bakteri asam laktat pada yoghurt dengan starter L. Bulgaricus lebih tinggi dibanding yoghurt
dengan starter S. thermophillus dan kombinasi L. bulgaricus dan S. thermophillus. Hal ini menunjukkan
bahwa L. bulgaricus secara individual mempunyai kemampuan tumbuh lebih baik pada media susu kuda
dibanding S. thermophilus, maupun kombinasinya sehingga dapat menghasilkan keasaman yoghurt yang
sedikit lebih tinggi dibanding yoghurt dengan starter S. thermophilus. L. bulgaricus mempunyai aktivitas
proteolitik yang lebih tinggi daripada S.thermophillus (Wood, 1985), sehingga mampu menggunakan
sumber nitrogen dari hidrolisat protein yang lebih bagus untuk pertumbuhannya. Jumlah bakteri asam
laktat yoghurt susu kuda hasil penelitian ini sesuai dengan kisaran bakteri asam laktat yoghurt komersial
yaitu berkisar 106-109 cfu/ml (Junxiao et al., 2009).
Hasil penelitian sebelumya menunjukkan bahwa yoghurt yang dibuat dari susu kuda juga mempunyai
kandungan laktosa yang relatif masih tinggi yaitu 6,11%, asam laktat yang rendah yaitu 0,51% dan pH
4,70 (Civardi et al., 2003). Menurut Codex Alimentarius (2011), keasaman yoghurt minimal 0,60%.

versi elektronik
Pengurangan laktosa setelah menjadi yoghurt pada penelitian ini dibanding bahan bakunya hanya sekitar
13,32% yang mendekati hasil penelitian terdahulu yaitu sekitar 11,45%, sedangkan pengurangan laktosa
pada yoghurt susu sapi sebesar 29,34% dengan kandungan asam laktat sebesar 1,03% (Civardi et al.,
2003). Penurunan kadar laktosa yang relatif kecil pada yoghurt susu kuda disebabkan starter yoghurt yang
ditumbuhkan pada susu kuda kurang optimum pertumbuhannya untuk memetabolisme laktosa menjadi
asam laktat, karena di dalam susu kuda mengandung lisozim yang lebih tinggi dibanding susu yang lain

480
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(Benkerroum, 2008). Lisozim tersebut masih mempunyai aktivitas sebesar 37% setelah dipanaskan 82oC
selama 30 menit (Jauregui-Adell, 1975). Disamping itu laktoferin susu kuda juga lebih tinggi daripada
laktoferin susu sapi, domba dan kambing (Krol et al., 2012). Laktoferin dapat berperan sebagai
antimikrobia dan ativiral (Zimecki and Kruzel, 2000) yang stabil terhadap panas. Proses pembuatan

versi elektronik
yoghurt susu kuda pada penelitian ini bahkan memerlukan waktu 20 jam untuk menghasilkan yoghurt
dengan pH sekitar 5, hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan starter yoghurt mengalami
penghambatan dalam pertumbuhannya. Lisozim tersebut merupakan antimikrobia yang kuat, terdapat
dalam berbagai level di dalam susu dari mamalia yang berbeda. Aktivitas penghambatan lisozim tidak
hanya terhadap bakteri yang mempunyai lapisan peptidoglikan pada dinding selnya, tetapi juga
penghambatan terhadap virus dan eukariotik, melalui mekanisme selain aktivitas hidrolitik yang diduga
melalui interaksi dengan lapisan lipid pada membran sebelah dalam (Benkerroum, 2008). Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa susu kuda yang difermentasi dengan starter Lactococcus lactis subsp.
lactis dan Lactococcus lactis subsp. cremoris pada suhu 30oC mencapai pH 4,6 setelah 14 jam inkubasi
(Bornaz et al., 2010).
Tabel 2 . Karakteristik yoghurt susu kuda dengan jenis starter yang berbeda
Jenis Starter

versi elektronik
Karakteristik L. bulgaricus S.thermophillus LB+ ST Kontrol (tanpa starter)
(LB) (ST)
Total BAL (cfu/ml) 4,15x 109 a 2,27x 109 b 2,45 x 109 b 0,04 x 109 c
Laktosa (%) 5,14a 5,37a 5,23a 5,91b
Keasaman (%) 0,43a 0,41b 0,43ab 0,35c
pH 5,12a 5,26b 5,23b 5,90c
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0,05)

Karakteristik Kefir Susu Kuda


Karakteristik kefir susu kuda dapat dilihat pada Tabel 3. Kefir hasil fermentasi selama 12 jam dan 24 jam
tidak ada perbedaan karakteristik, kecuali kandungan alkohol yang lebih tinggi pada kefir yang
difermentasi selama 24 jam. Hal ini mengindikasikan waktu inkubasi yang lebih lama akan memberikan
kesempatan yeast untuk tumbuh sehingga terjadi perubahan yang lebih besar dari gula menjadi alkohol.

versi elektronik
Namun demikian menurut Codex Alimentarius (2011), tidak ada spesifikasi kandungan alkohol dalam
kefir, sedangkan spesifikasi kefir untuk keasaman minimal 0,6%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Oner et al. (2010) menunjukkan produksi etanol kefir tidak dipengaruhi oleh jenis susu, tetapi tetapi lebih
dipengaruhi oleh mikroflora kefir, dan perubahan kuantitas etanol tergantung pada lama waktu
penyimpanan dan tipe kultur.
Tabel 3 . Karakteristik kefir susu kuda dengan lama inkubasi yang berbeda
Inkubasi 12 jam Inkubasi 24 jam
Karakteristik Kefir Kontrol Kefir Kontrol
Laktosa (%) 5,62 a 6,68 5,32 a 6,38
Keasaman (%) 0,63a 0,07 1,09 a 0,22
pH 4,73 a 6,71 4,11 a
6,15
Alkohol (%) 0,05 a 0,04 0,24 b 0,22
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0,05)

versi elektronik
Apabila dibandingkan dengan karakteristik yoghurt susu kuda pada penelitian ini, maka persentase
keasaman yang dihasilkan dalam fermentasi kefir susu kuda lebih tinggi, karena mikrobia yang terlibat
dalam fermentasi kefir lebih banyak dibanding fermentasi yoghurt. Mikrobia yang terlibat dalam
fermentasi kefir antara lain termasuk bakteri asam laktat dan yeast yang mampu menggunakan laktosa.
Demikian juga pH kefir susu kuda dalam penelitian ini lebih rendah daripada pH yoghurt susu kuda,

481
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
karena di dalam fermentasi kefir terdapat juga bakteri asam asetat yang juga berkontribusi dalam
penurunan pH disamping bakteri asam laktat dan yeast yang dapat menggunakan laktosa (Sarkar, 2008).
Nilai pH pada kefir susu kuda yaitu 4,73 (fermentai 24 jam) dan 4,11 (fermentasi 24 jam) (Tabel 3),
sedangkan pH kefir susu sapi, domba dan kambing berturut-turut 4,50; 4,29; 4,50 (Oner et al., 2010).

versi elektronik
Tipe kultur starter, periode penyimpanan dan spesies mamalia berpengaruh signifikan terhadap perubahan
pH (Oner et al., 2010).

KESIMPULAN
Lactobacillus bulgaricus mempunyai kemampuan adaptasi pada susu kuda lebih baik dibanding
Streptococcus thermophillus maupun kombinasinya, sehingga menghasilkan karakteristik yoghurt susu
kuda yang lebih baik. Adapun kefir susu kuda yang difermentasi selama 24 jam mempunyai karakteristik
yang sama dengan kefir yang difermentasi selama 12 jam, tetapi mempunyai kadar alkohol yang lebih
tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Aguila, L. O. A. and J.H. Brock, 2001. Lactoferrin: antimicrobial and diagnostic properties.
Biotechnologia Aplicada, 18(2): 76-83.

versi elektronik
Akbar, N., 2012. Equidae milk promises substitutes for cow and human breast milk. Turkish Journal of
Veterinary and Animal Sciences, 36: 470-475.
Aswal, P., A.Shukla, and S.Priyadarshini, 2012. Yoghurt: Preparation, characteristics and recent
advancements. Cibtech Journal of Bio-Protocols. 1: 32-44.
Badan Pusat Statistik, 2012. Populasi Ternak 2000- 2013.
(http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&notab=12).
Benkerroum, N., 2008. Antimicrobial activity of lysozyme with special relevance to milk. African J
Biotechnology, 7(25): 4856-4867.
Bornaz, S., N. Guizani, J. Sammari, W. Allouch, A. Sahli and H. Attia, 2010. Physicochemical
properties of fermented Arabian mare’s milk. International Dairy Journal, 20: 500-505.
Čagalj, M., A. Brezovečki, N. Mikulec, and N. Antunac, 2014.Composition and properties of mare’s

versi elektronik
milk of Croatian Coldblood horse breed. Mljekarstvo 64[1]: 3-11.
Civardi, G., T.M.P. Cattaneo, M. Orlandi, M.C. Curadi, R. Giangiacomo, 2003. Yoghurt fermentation
trials utilizing mare milk: comparison with cow milk. Italian J. Animal Science, 2[suppl. 1]: 598-
600.
Codex Alimentarius, 2011. Milk and Milk Products. WHO/FAO, Rome.
Danova, S., K. Petrov, P. Pavlov, and P. Petrova, 2005. Isolation and characterization of Lactobacillus
strains involved in koumiss fermentation. International Journal of Dairy Technology, 58[2]:
100-105.
Early, R. 1998. The Technology of Dairy Products. Second Edn., Blackie Acdemic & Professional
Farid, M dan H. Sukesi, 2011. Pengembangan susu segar dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan
nasional. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 5 (2): 196-221

versi elektronik
Farnworth, E. R., 2005. Kefir-a complex probiotic. Food Science and Technology Bulletin: Functional
Foods. 2: 1–17.
Hakim, N.S., I. K. Suada, I.P. Sampurna, 2013. Ketahanan susu kuda Sumbawa pada penyimpanan
suhu ruang ditinjau dari total asam, uji didih, dan warna. Indonesia Medicus Veterinus, 2: 369-
374.

482
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Hashim, I.B., A.H. Khalil and H.S. Afifi, 2009. Quality characteristics and consumer acceptance of
yogurt fortified with date fiber. J. Dairy Science, 92: 5403-5407.
Jauregui-Adell, J., 1975. Heat stability and reactivation of mare milk lysozyme. J Dairy Science, 58[6]:

versi elektronik
835-838.
Junxiao, M.A., K. Jian, J.I. Mingjie, 2009. Detection of the lactic acid bacteria in commercial yoghurts
by PCR-denaturating gradient gel electrophoresis. Chinese Journal of Applied Environmental
Biology, 15[4]: 534-539.
Król, J., A. Brodziak, Z. Litwińczuk and J. Barłowska, 2012.Selected factors determining the content
of lactoferrin, lysozyme and immunoglobulins G in bovine milk. Biochemistry, Genetics and
Molecular Biology “A Search for Antibacterial Agents”. Dr. Varaprasad Bobbarala (Ed.),
InTech. : 107-124.
La Rivière, J.W.M., P. Kooiman, and K. Schmidt, 1967. Kefiran, a novel polysaccharide produced in
the kefiir grain by Lactobacillus brevis. Archive für Mikrobiologie, 59: 269-78.
Lonnerdal, B. and S. Iyer, 1995. Lactoferrin: Molecular structure and biological function. Annual
Review of Nutrition, 15: 93-110.

versi elektronik
Lozovich, S., 1995. Medical uses of whole and fermented mare milk in Russia. Cultured Dairy Product
Journal, 18-21.
Mariani, P., A. Summer, F. Martuzzi, P. Formaggioni, A. Sabbioni, and A.L. Catalano, 2001.
Physicochemical properties, gross composition, energy value and nitrogen fractions of Haflinger
nursing mare milk throughout 6 lactation month. Animal Research, 50: 415-425.
Munkhtsetseg, B., M. Margad-Erdene and B. Batjargal, 2009. Isolation of lactic acid bacteria with high
biological activity from local fermented dairy products. Mongolian Journal of Biological
Sciences, 7: 61-68.
Oner, Z., A.G. Karahan, and M.L. Cakmakci, 2010. Effects different milk types and starter cultures on
kefir. GIDA, 35:177-182.
Otles, S., and O. Cagindi, 2003. Kefir: A probiotic dairy-composition, nutritional and therapeutic

versi elektronik
aspects. Pakistan J.Nutrition, 2: 54-59.
Polidori, P. and S. Vincenzetti. 2010. Differences of protein fractions among fresh, frozen and powdered
donkey milk. Recent Patents on Food, Nutrition & Agriculture. 2[1]: 56-60.
Potočnik,K., V. Gantner, K. Kuterovac, and A. Cividini. 2011. Mare’s milk: composition and protein
fraction in comparison with different milk species. Mljekarstvo, 61: 107-113.
Priyadarshini, S. and V.K. Kansal, 2002. Purification, characterization, antibacterial activity and N-
terminal sequencing of buffalo-milk lysozyme. J Dairy Research, 69[3]: 419-431.
Rahman, M., S. Gul, and W.A. Farooqi, 1999. Selection of starter culture for yogurt preparation and its
antibacterial activity. Pakistan J Biological Science, 2: 131-133.
Robinson, R.K., 2002. Dairy Microbiology Handbook. Third Edn. John Wiley and Sons, Inc., New York
Roostita, L.B., G.H. Fleet, S.P. Wendry, Z.M. Apon, and L.U.Gemilang, 2011. Determination of

versi elektronik
yeasts antimicrobial activity in milk and meat products. Adv. J. Food Science and Technology, 3:
442-445.
Salimei, E. and F. Fantuz , 2012. Equid milk for human consumption. International Dairy Journal 24:
130-142

483
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sarkar, S., 2008. Biotechnological innovations in kefir production: a review. British Food Journal, 110:
283-295.
Schryver, H.F., O.T. Oftedal, J. Williams, L.V. Soderholm, and H.F. Hintz, 1986. Lactation in the horse:

versi elektronik
The mineral of mare milk. J. Nutrition, 116: 2142-2147.
Simova, E., D. Beshkova, A. Angelov, Ts. Hristozova, G. Frenqova, and Z. Spasov, 2002. Lactic acid
bacteria and yeast in kefir grains and kefir made from them. Journal of Industrial Microbiology
& Biotechnology, 28: 1-6.
SPSS 12.0., 2003. Brief Guide. SPSS Inc., 233 South Wacker Drive, 11th Floor Chicago.
Steijns, J.M. 2001. Milk ingredients as nutraceuticals. International Journal of Dairy Technology, 54[3]:
81-88.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi, 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Edisi ke-3. Liberty, Yogyakarta.
Thoreux , K., and D.L. Schmucker, 2001. Kefir milk enhances intestinal immunity in young but not old
rat. Journal of Nutrition, 131: 807-812.

versi elektronik
Timara, A.V. 2010. Comparative study of kefir lactic microflora. Analele UniversităŃii din Oradea
Fascicula: Ecotoxicologie, Zootehniesi Tehnologii de Industrie Alimentară, 1-11.
Uniacke-Lowe, T., T. Huppertz, and P.F. Fox. 2010. Equine milk proteins: Chemistry, structure and
nutritional significance. International Dairy Journal, 20: 609-629.
Well, S., N. Ferwerda, and L.L. Timms. 2012. Evaluation of mare milk composition/qulity during
lactation. Animal Industry Report: AS658, ASL R2719.
Witthuhn, R.C., T. Schoeman, and T.J. Britz. 2005. Characterisation of the microbial population at
different stages of Kefir production and Kefir grain mass cultivation. International Dairy Journal
15: 383–389.
Wood, B.J.B. Microbiology of Fermented Foods. Volume 1. Elsevier Applied Science Publishers.
Zimecki, M. and M.L. Kruzel. 2000. Systemic or local co-administeration of lactoferrin with sensitizing

versi elektronik
dose of antigen enhanches delayed type hypersensitivity in mice. Immunology Letters, 74: 183-
188.

versi elektronik 484


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
APLIKASI Radioimmunoassay (RIA) DAN SUPLEMENTASI MULTINUTRIENT BLOCK UNTUK
PERBAIKAN REPRODUKSI Sapi Brahman Cross
Nursyam Andi Syarifuddin, dan Anis Wahdi

versi elektronik
Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
Email : nursyam_pronak@yahoo.com; ent.anis@yahoo.com

ABSTRAK
Anestrus post partum yang panjang dan kawin berulang telah diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya
efisiensi reproduksi Sapi Brahman Cross. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki munculnya berahi
post partum dan meningkatkan angka kebuntingan, melalui suplementasi multinutrient block yang didukung
oleh penerapan teknologi Radioimmunoasy. Identifikasi penyebab anestrus post partum pada sapi induk
Brahman Cross menggunakan 9 ekor sapi induk Brahman Cross yang mempunyai berahi post partum
melebihi 90 hari. Pengamatan berupa tatalaksana pemberian pakan, analisis kandungan nutrisi pakan,
analisis kadar glukosa darah, skor kondisi tubuh dan konsentrasi urea plasma darah serta kadar hormon
progesteron dengan teknologi RIA. Identifikasi penyebab kegagalan kebuntingan sapi induk Brahman
Cross setelah di IB menggunakan 14 ekor sapi induk Brahman Cross yang telah melahirkan dan telah di
IB lebih dari dua kali (S/C> 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, anestrus post partum pada sapi

versi elektronik
induk Brahman Cross ditinjau dari aspek pakan disebabkan kandungan nutrisi ransum dibawah standar
kebutuhan terutama kandungan protein, kandungan mineral makro berupa P yang defisien dan rasio Ca :
P tidak berimbang, serta mineral mikro yang diduga kuat defisien yaitu mineral Co dan I juga defisien,
walaupun secara eksternal tidak nampak. Kegagalan kebuntingan terutama disebabkan oleh ganguan
reproduksi dengan ovarium yang tidak bersiklus. Disimpulkan bahwa Pemberian pakan suplemen
multinutrient block dapat mempercepat 20 hari munculnya berahi post partum dan angka kebuntingan
sebesar 16,67%
Kata kunci : berahi, angka kebuntingan, multinutrient block, Radioimmunoassay

PENDAHULUAN
Permasalahan yang sering muncul dalam pengembangan/ pembibitan sapi Brahman Cross oleh peternak
di Kalimantan Selatan adalah lambat/susah muncul berahi kembali setelah melahirkan (estrus post
partum) yang panjang lebih 90 hari dan angka service per conception (jumlah pelayanan IB/perkawinan

versi elektronik
sehingga terjadi kebuntingan) yang tinggi (S/C > 2), sehingga efisiensi reproduksinya rendah. Andi
Syarifuddin (2005c) telah melakukan pengamatan terhadap 39 ekor sapi induk Brahman Cross milik
Fakultas Pertanian Unlam di Kabupaten Tanah Laut, diperoleh estrus post partum yang panjang yaitu
5,36 bulan dan service per conception yang tinggi yaitu 2,27, interval kelahiran (calving interval) 17,76
bulan dan angka kelahiran (calf crop) 48,57%. Permasalahan reproduksi sapi induk Brahman Cross ini
perlu segera ditanggulangi, karena estrus post partum yang panjang dan S/C yang tinggi akan menurunkan
kinerja reproduksi yang berakibat menurunnya jumlah kelahiran anak setiap tahun, sehingga target jumlah
populasi dan produksi daging menuju swasembada daging dari sapi potong tidak akan tercapai.
Menurut Peter and Balls (1987), ada beberapa faktor yang mempengaruhi lamanya anestrus post partum
antara lain menyusui, produksi susu, kondisi tubuh dan nutrisi. Mengingat bahwa sapi Brahman Cross
merupakan sapi pedaging, maka kemungkinan rendahnya tingkat reproduksi Sapi Brahman Cross di
Kalimantan Selatan sebagai akibat rendahnya nutrisi pakan. Menurut Zemjanis (1980) secara umum
kawin berulang disebabkan oleh dua faktor utama yaitu : kegagalan pembuahan/fertilisasi dan kematian
embrio dini. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai

versi elektronik
umur 40 hari kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik atau kekurangan
pakan (Hardjopranjoto, 1995).
Hasil pengamatan Andi Syarifuddin (2005b) menunjukkan bahwa sapi induk Brahman Cross dipelihara
oleh peternak di Kabupaten Tanah Laut dan Banjarbaru pada umumnya diberi pakan berkualitas rendah
misalnya rumput lapang atau jerami padi yang kadang-kadang diberi pakan tambahan hanya berupa dedak

485
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
atau ampas tahu atau ampas ubi kayu (onggok). Andi Syarifuddin dan Anis Wahdi (2008) meneliti lebih
lanjut penyebab anestrus post partum sapi induk Brahman Cross ditinjau dari aspek pakan menunjukkan
bahwa, kandungan nutrisi ransum yang diberikan dibawah standar kebutuhan terutama kandungan
protein, kemudian kandungan mineral makro berupa P yang defisien dan rasio Ca : P tidak berimbang,

versi elektronik
serta beberapa mineral mikro yang diduga kuat defisien yaitu Mn dan Zn sedang mineral Co dan I juga
defisien namun gejala defiensi dari mineral tersebut tidak nampak. Oleh karena itu, untuk mempercepat
munculnya estrus post partum, memperkecil rasio S/C, meningkatkan angka kebuntingan dan angka
kelahiran sapi Brahman Cross perlu perbaikan pakan yang ada dengan suplementasi pakan multinutrient.
Suplementasi pakan multinutrient tersebut berupa pakan yang mengandung sumber energi, sumber
protein, sumber mineral, dan sumber vitamin yang diberikan secara komplit kepada ternak. Sapi
Brahman Cross telah menyebar di masyarakat Kalimantan Selatan, sehingga untuk memudahkan dalam
pemberian, distribusi ke peternak dan proses penyimpanan, maka pembuatan pakan suplemen tersebut
dapat dalam bentuk blok yang disebut dengan Pakan Suplemen Multinutrient Block.
Manfaat teknologi Radioimmunoassay (RIA) adalah mendeteksi pubertas pada ternak, mendeteksi gejala
berahi setelah kelahiran, diagnosa kebuntingan dini, diagnosa kegagalan kebuntingan lebih awal,
mendukung program inseminasi buatan, dan diagnosa kelainan reproduksi ternak. Dampak sosial
ekonomi Teknik RIA adalah penghematan pelayan IB, bunting tepat waktu, produksi susu lebih tabil, dan

versi elektronik
perbaikan keturunan/ genetis (Tjiptosumirat, 2004). Oleh karena itu, dengan penerapan teknologi RIA ini
dapat membantu terutama dalam mendiagnosa kebuntingan dini, mendukung program inseminasi buatan,
dan mendiagnosa kelainan reproduksi pada sapi induk Brahman Cross yang mempunyai permasalahan
lambat/susah muncul berahi kembali setelah melahirkan dan angka service per conception tinggi (S/C >
2) melalui perbaikan pakan dengan suplementasi pakan multinutrien block.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempercepat munculnya berahi post partum dan
meningkatkan angka kebuntingan dengan memperkecil angka service per conception pada sapi induk
Brahman Cross, melalui perbaikan pakan dengan pemberian pakan suplemen multinutrient block yang
didukung oleh penerapan teknologi Radioimmunoassay, terutama dalam mendiagnosa kelainan reproduksi
ternak.
Sapi Induk Brahman Cross
Sapi Brahman merupakan keturunan sapi Nellore dari India (Entwistle dan Turnour, 1989). Menurut Pane

versi elektronik
(1993), sapi Brahman Cross betina di daerah tropis rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 12–14
bulan, dewasa tubuh pada umur 18–24 bulan, siklus estrus 20–21 hari, lama masa berahi antara 36–48
jam, lama bunting 280 hari dan interval kelahiran antara 12–14 bulan, lama munculnya berahi setelah
melahirkan antara 60 – 90 hari.
Sapi yang paling banyak berkembang di Kalimantan Selatan adalah sapi Bali, Brahman Cross dan Sapi
Peranakan Ongole (PO), sedangkan jenis-jenis yang lain populasinya tidak begitu banyak (Anonim,
2000). Sapi induk sapi Brahman Cross telah disebar ke masyarakat antara lain melalui bantuan pusat
(APBN) tahun 2007 sebanyak 200 ekor di Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah
(Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, 2008b). Sapi Brahman Cross merupakan salah satu
bangsa sapi potong cukup disenangi oleh masyarakat Kalimantan Selatan, karena menguntungkan
berkaitan dengan perkembangan tubuhnya yang cepat, mampu bertahan dalam kondisi suhu yang tinggi
dan ketahanannya terhadap ektoparasit (Anonim, 2000).
Efisiensi Reproduksi dan Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi

versi elektronik
Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu mahluk hidup, dimulai sejak bersatunya sel telur
mahluk betina dengan sel jantan menjadi mahluk hidup baru yang disebut zigot, disusul dengan
kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran (Hardjopranjoto, 1995). Efisiensi reproduksi dalam suatu
populasi ternak sapi tidak cukup diukur dengan jumlah ternak yang tidak produktif atau steril. Waktu

486
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
yang dibutuhkan induk untuk menjadi bunting dan melahirkan anak merupakan faktor yang penting juga
(Sumbung, 2002).
Menurut Hardjopranjoto (1995) bahwa, efisiensi reproduksi pada sapi yang dianggap baik bila angka

versi elektronik
kebuntingan dapat mencapai 65 - 75%, jarak antar melahirkan tidak melebihi 12 bulan atau 365 hari,
waktu melahirkan sampai terjadinya kebuntingan kembali 60 – 90 hari, angka perkawinan per
kebuntingan 1,65 dan angka kelahiran 45 – 65%.
Partodihardjo (1989) menjelaskan bahwa, kegagalan reproduksi dapat diklassifikasikan menjadi tiga
pokok, yaitu : pertama, kegagalan karena faktor pengelolaan, termasuk teknik inseminasi, tenaga
pelaksana yang kurang terampil, kurang makan, defisiensi mineral dan sebagainya. Kedua, faktor intern
hewan, hewan jantan maupun betina, dan daerah IB dan daerah non IB. Ketiga, faktor-faktor lain yang
bersifat aksiden (kecelakaan atau kelainan).
Menurut Hardjopranjoto (1995), beberapa ukuran yang dipakai untuk menyatakan adanya gangguan
reproduksi adalah :
• Jarak antar beranak melebihi 400 hari.
• Jarak antar melahirkan sampai bunting kembali melebihi 120 hari.

versi elektronik
• Angka kebuntingan kurang dari 50%.
• Rata-rata jumlah perkawinan per kebuntingan lebih besar dari dua.
• Jumlah induk sapi yang membutuhkan lebih dari tiga kali IB untuk terjadinya kebuntingan
melebihi 30%.
Untuk mencapai efisensi reproduksi yang optimum dari kawanan ternak sapi, maka setiap induk harus
bereproduksi sebanyak mungkin, seekonomis mungkin dan berumur produktif panjang, sehingga biaya
pemeliharaan dapat terbayar (Sumbung, 2002).
Berahi Postpartum
Berahi (estrus, oestrus) adalah gejala ternak betina yang menunjukkan keinginan dan kemauannya untuk
dikawini (Hardjosoebroto dan Astuti, 1993) atau periode/keadaan dimana ternak betina siap menerima
pejantan untuk mengawininya (Srigandono, 1995). Sesudah melahirkan ternak akan mengalami
pemulihan tubuh dan alat reproduksi, sebelum siklus berahinya dimulai lagi dan fase ini dikenal dengan
istilah anestrus. Lama fase tidak berahi sesudah melahirkan (anestrus post partum) menentukan jarak

versi elektronik
kelahiran anak (Sumbung, 2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi lamanya anestrus post partum
antara lain menyusui, produksi susu, kondisi tubuh dan nutrisi (Peter and Balls, 1987).
Menurut Sumbung (2002), sapi Brahman Cross yang menyusui dengan temperatur tinggi peka terhadap
anestrus. Induk yang menyusui anak lebih panjang masa anestrusnya di banding induk yang diperah dua
kali sehari. Ini menunjukkan bahwa, menyusui atau frekuensi pemerahan mempengaruhi aktivitas
hipofise. Demikian pula beberapa hasil penelitian yang disitasi oleh Salisbury dan Vandemark (1985)
menunjukkan bahwa, frekuensi rangsangan pada kelenjar susu mempengaruhi interval antara kelahiran
dan terjadinya estrus yang pertama postpartum. Kejadian ini mempunyai hubungan pelepasan LTH yang
menyebabkan persistensi corpus luteum.
Sedangkan menurut Winugroho (2002), jarak beranak yang lama merupakan kendala inefiesiensi
produktivitas sapi potong di Indonesia. Penyebab utamanya adalah keterlambatan estrus pertama post
partum. Tubuh induk yang terlalu kurus tidak saja mengurangi produksi susu tetapi juga memperlambat

versi elektronik
gejala berahinya. Kondisi tubuh induk erat hubungannya dengan status cadangan energi tubuhnya,
sedangkan cadangan energi tersebut erat hubungannya dengan gizi yang dikonsumsinya sebelum bunting
dan beranak. Hubungan antara kandungan nutrisi ransum dan cadangan energi tubuh induk
mempengaruhi munculnya estrus ini.

487
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sapi yang baru melahirkan akan memperlihatkan tanda-tanda birahi kembali (estrus post partum) setelah
anak sapi tersebut beumur 5 sampai 6 minggu. Sapi dapat dikawinkan kembali sebaiknya setelah 60 hari
sampai 90 hari setelah melahirkan yaitu pada saat birahi kedua atau birahi ketiga (Faisal, 2008).

versi elektronik
Percepatan Berahi Post Partum melalui Perbaikan Pakan
Menurut Latief (2002) efisiensi reproduksi pada ternak antara lain dipengaruhi oleh faktor manajemen
dan pakan. Perbaikan pakan melalui suplementasi UMMB pada induk yang sementara menyusui dapat
memperpendek interval anestrus post partum, menurunkan angka S/C dan meningkatkan angka
kebuntingan.
Mc. Donald dkk., (1995) menyatakan bahwa, kekurangan pakan menyebabkan penurunan fertilitas dan
dapat mengakibatkan terhentinya fungsi ovarium. Flushing dapat memperbaiki kondisi tubuh induk,
menggertak aktivitas hormon reproduksi, melancarkan estrus dan meningkatkan jumlah sel telur dilepas
dari kantung telur. Hasil pengamatan Suyasa dkk., (2008) terhadap birahi kembali post partus atau berahi
kembali pasca melahirkan dilakukan pada ternak sapi yaitu dengan memberikan perlakuan flushing yaitu
pemberikan pakan tambahan 2 bulan sebelum melahirkan dan 2 bulan setelah melahirkan.
Selanjutnya Ismadi dan Suhaeti (2002) meneliti sapi induk yang dipelihara pada musim kemarau dalam

versi elektronik
kondisi ketersediaan pakan yang menipis. Terbatasnya ketersediaan pakan pada saat kelahiran
menyebabkan cadangan energi dalam tubuh induk dirombak, sehingga induk mengalami penurunan berat
badan. Untuk menjamin kelancaran produksi air susu dan kondisi fisik induk, dilakukan aplikasi
teknologi probiotik khususnya pada musim kemarau. Demikian pula hasil penelitian Pramono dkk.,
(2008) menunjukkan bahwa, sapi induk yang mendapat perlakuan pakan memiliki kecepatan masa berahi
lebih cepat dibanding tanpa perlakuan pakan, yaitu : 73 hari perlakuan pakan pola petani, 54 hari
perlakuan pakan pola introduksi dengan konsentrat BPTP, dan 59 hari perlakuan pakan pola introduksi
dengan konsentrat BPTP + probion.
Meningkatkan Angka Kebuntingan
Pencatatan yang baik dapat bernilai bagi peternak dari segi diketahuinya waktu berahi, perkawinan,
kelahiran, dan bagi petugas pelaksana perkawinan maupun petugas medis dalam penanganan lebih lanjut
(Sugeng, 1996). Pengamatan terhadap berahi yang lebih sering akan menaikkan konsepsi. Beberapa sapi
dapat menunjukkan lama berahi yang singkat sehingga waktu perkawinan yang tepat sudah terlewat. Satu

versi elektronik
periode berahi yang terlewat atau tidak tepat dapat memperpanjang jarak waktu yang diinginkan
(Salisbury dan Vandemark, 1985).
Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), lama siklus berahi sapi berkisar antara 18 – 25 hari, dengan
interval rata - rata 21 hari, dan lama berahi berkisar antara 6 – 30 jam, dengan rata – rata 17 jam. Masa
estrus berlangsung rata–rata sekitar 19,3 jam pada sapi dewasa dan 16,1 jam pada dara, sehingga
pelaksanaan perkawinan terhitung antara pertengahan sampai menjelang akhir berahi. Hasil terbaik
diperoleh apabila dikawinkan dari pertengahan sampai enam jam sesudah akhir berahi. Beberapa
penelitian yang dilaporkan bahwa angka konsepsi akan menjadi lebih baik dengan 2 kali
perkawinan/inseminasi selama berahi, yaitu pada waktu pagi hari, lalu pada siang hari atau apabila
dikawinkan pada siang hari maka diulang kembali pada hari. Sapi-sapi yang baru melahirkan dianjurkan
agar dikawinkan pada 60 – 80 hari sesudah beranak.
Sapi kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang
normal yang sudah dikawinkan dua kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen

versi elektronik
pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981). Kawin berulang bisa menjadi faktor utama
ketidaksuburan. Kawin berulang dapat terjadi apabila sapi betina yang belum bunting setelah tiga kali
atau lebih kawin. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, dimana kecepatan pembuahan biasanya 50-
55%, kira-kira 9-12% sapi betina menjadi sapi yang kawin berulang (Brunner, 1984).

488
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Berulangnya betina kembali kawin (repeat breeder) sesudah dikawinkan dengan pejantan fertil
menunjukkan bahwa terjadi kegagalan fertilisasi. Pada ternak yang siklusnya normal kegagalan fertilisasi
mungkin disebabkan oleh transpor semen kurang baik, daya hidup spermatozoa atau ovum menurun,
kelainan pada oviduk atau kelainan saluran reproduksi (Sumbung, 2002).

versi elektronik
Kondisi kesehatan ternak sangat mutlak harus diperhatikan agar proses reproduksi dan kelangsungan
hidup ternak dapat berlangsung dengan baik. Penyakit yang muncul yang disertai menurunnya
pertumbuhan dan efisiensi reproduksi akan dapat berakibat pada kerusakan kesehatan ternak secara
berkepanjangan dan bahkan mampu menghentikan pertumbuhan dan proses reproduksi (Partodihardjo,
1989).
Teknologi Radioimmuno Assay (RIA)
Menurut Latief dan Yusuf, (2002) bahwa, untuk memahami proses reproduksi secara tepat maka
konsentrasi hormon-hormon yang berperan dalam proses reproduksi harus benar-benar diketahui. Oleh
sebab itu, analisis hormon-hormon dalam tubuh ternak bersangkutan harus dilakukan. Dewasa ini ada
dua teknik yang banyak digunakan untuk menganalisa secara kuantitatif kadar hormon dalam tubuh
ternak, yaitu teknik ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) dan teknik RIA (Radioimmuno Assay).
Teknik ELISA walaupun mempunyai keuntungan karena tidak menggunakan radioaktif, namun hasil

versi elektronik
yang diperoleh kurang stabil karena peka terhadap berbagai faktor, antara lain suhu udara, kualitas air dan
pengalaman teknisi. Sebaliknya teknik RIA menunjukkan hasil yang sangat stabil, namun masih harus
menggunakan zat radioaktif. Mengingat bahwa kondisi lingkungan kita di Indonesia dianggap kurang
stabil maka teknik analisa hormon dengan RIA dianggap yang lebih cocok, asalkan penanganan zat
radioaktif bisa dilakukan dengan baik.
RIA merupakan salah satu metode deteksi yang paling sensitif yang didasarkan pada interaksi antigen-
antibodi. Antigen (hormon) yang berlabel radioaktif dapat digunakan untuk mendeteksi kandungan
hormon dalam sampel. Isotop yang dapat digunakan untuk teknik RIA adalah 3H, 14C, 125I, dan lainnya.
Pada teknik ini sejumlah antibodi dimobilisasi pada suatu fase padat, misalnya dinding tabung plastik.
Sampel yang mengandung antigen (hormon progesteron) ditambahkan dengan sejumlah tertentu molekul
berlabel (125I) yang akan berinteraksi dengan antibodi pada tabung. Intensitas sinyal radiasi dari
biomolekul berlabel radioaktif yang terikat pada antibodi yang menempel pada dinding tabung akan
berbanding terbalik dengan konsentrasi biomolekul dalam sampel. Aplikasi RIA untuk litbang peternakan

versi elektronik
adalah untuk mengukur konsentrasi hormon progesteron dalam sampel serum darah atau susu. Tujuan
pengukuran progesteron ini adalah untuk mendeteksi pubertas ternak, mendeteksi gejala birahi, diagnosa
kebuntingan dini, mendukung program inseminasi buatan, dan diagnosa kelainan reproduksi ternak.
Dampak sosial ekonomi dari pengaplikasian teknik RIA adalah penghematan pelayanan IB, bunting tepat
waktu, produksi susu stabil, dan perbaikan keturunan (Sugoro, 2004).
Menurut Latief dan Yusuf (2002), teknik RIA dapat dipakai untuk mengukur hormon dalam serum atau
plasma dan susu. Teknik ini dikembangkan dengan maksud untuk memonitor siklus estrus dan atau
kebuntingan pada spesies domestikasi yang meliputi sapi, kuda, kambing, dan lain-lain. Selanjutnya
Latief (2004) menjelaskan bahwa untuk mengetahui profil hormon progesteron dalam mendiagnosa
kebuntingan dini dan atau diagnosa kelainan reproduksi ternak dapat dilakukan dengan melakukan tiga
kali atau dua kali pengambilan sampel darah. Cara interpretasi dengan tiga kali pengambilan sampel
darah disajikan pada Tabel 1 sedang cara interpretasi dengan dua kali pengambilan sampel darah
disajikan pada Tabel 2.

versi elektronik
Tjiptosumirat (2004) menjelaskan bahwa, acuan konsentrasi progesteron pada darah dan susu sebagai
berikut :
• < 1 nmol/l : tidak bunting dari IB sebelumnya atau tidak ada aktivitas
 Corpus luteum
• 1 – 3 nmol/l : selang meragukan.

489
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
• > 3 nmol/l : kemungkinan bunting atau adanya aktivitas Corpus luteum.
Sedang menurut Institute of Isotopes Ltd (2009) adalah : 0,6 – 3,8 nmol/l (0,2 – 1,2 ng/mL) untuk fase
folikuler, dan 10,5 - 58 nmol/l (3,3-18,2 ng/mL) untuk fase luteal (http://www.izotop.hu).

versi elektronik
Tabel 1. Cara interpretasi Data RIA dengan Tiga Sampel.
Hari 0 10 - 12 22 – 24 Diagnosa Interpretasi
(IB) Kebuntingan
L H H + Bunting
L H L - Tidak subur, kematian embrio dini dan di
inseminasi pada saat ternak tidak mengalami
berahi
L H H - Kematian embrio dan Corpus Luteum
Persisten
L L L - Ternak tidak mengalami berahi
H H H + IB sapi bunting

Tabel 2. Cara interpretasi Data RIA dengan dua sampel.

versi elektronik
Hari 0 (IB) 10 - 12 Interpretasi
L H Bersiklus
L L Tidak berahi, tidak ovulasi, fase luteal yang pendek
H H IB pada sapi bunting atau Corpus luteum persisten
H L IB pada fase luteal
Keterangan : L = Low = Rendah; H = High = Tinggi

Belli dan Holtz (2005) melaporkan kadar hormon progesteron postpartum pada sapi Bali yang sedang
bersiklus menunjukkan konsentrasi yang sangat rendah kemudian meningkat mencapai lebih dari 1,0
ng/mL selama 3–4 hari sebelum terjadi estrus pertama postpartum. Demikian pula Humprey et al (1983)
melaporkan bahwa, konsentrasi progesteron pada periode ini tak terdeteksi sampai sebelum estrus
pertama postpartum. McNeilly (1988) juga melaporkan bahwa, sebelum ovulasi pertama postpartum pada
sapi, konsentrasi progesteron yang tetap pada level basal, menunjukkan absennya CL fungsional.

versi elektronik
Lamming dan Bulman (1976) dalam Belli dan Holtz (2005) menyatakan bahwa, aktivitas ovarium bovine
umumnya direfleksikan oleh kehadiran atau absennya corpus luteum (CL), karenanya beberapa peneliti
memberikan perhatian terhadap pengukuran hormon progesteron. Konsentrasi progesteron dalam plasma
sapi yang berada di atas level basal yang rendah menunjukkan suatu kondisi keberadaan aktivitas sekresi
jaringan luteal, karena kemungkinan sumber progesteron lainnya tidak ada pada ternak yang tidak
bunting.
Pengamatan Efisiensi Reproduksi Sapi Induk Brahman Cross dan
Penerapan Teknolongi RIA
Efisiensi reproduksi sapi Brahman Cross di Kalimantan Selatan masih rendah. Andi Syarifuddin (2005c)
telah melakukan pengamatan efisiensi reproduksi sapi induk Brahman Cross dan menerapkan teknologi
RIA pada 39 ekor sapi induk Brahman Cross milik Fakultas Pertanian Unlam di Kabupaten Tanah Laut,
diperoleh estrus post partum yang panjang yaitu 5,36 bulan dan service per conception yang tinggi yaitu
2,27, interval kelahiran (calving interval) 17,76 bulan dan angka kelahiran (calf crop) 48,57%. Andi

versi elektronik
Syarifuddin (2005b) mengamati sapi induk Brahman Cross di Kabupaten Tanah Laut dan Banjarbaru
diperoleh estrus post partum yang panjang terutama disebabkan oleh deteksi berahi yang tidak intesif, dan
tatalaksana pemberian pakan yang kurang baik, sehingga skor kondisi induk yang rendah, sedang service
per conception yang tinggi, terutama disebabkan oleh pemberian pakan yang kurang berkualitas dan
deteksi berahi yang tidak intensif, sehingga waktu pelaksanaan IB/ perkawinan yang tidak tepat.
Tatalaksana pemberian pakan yang kurang baik berupa pemberian pakan pada umumnya pakan

490
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
berkualitas rendah misalnya rumput lapang atau jerami padi yang kadang-kadang diberi pakan tambahan
hanya berupa dedak atau ampas tahu atau ampas ubi kayu (onggok).
Andi Syarifuddin dan Anis Wahdi (2008) meneliti lebih lanjut penyebab anestrus post partum sapi induk

versi elektronik
Brahman Cross ditinjau dari aspek pakan dan penerapan teknologi RIA menunjukkan bahwa, penyebab
anestrus post partum disebabkan oleh kandungan nutrisi ransum yang diberikan di bawah standar
kebutuhan terutama kandungan protein, kemudian kandungan mineral makro berupa P yang defisien dan
rasio Ca : P tidak berimbang, serta beberapa mineral mikro yang diduga kuat defisien yaitu Mn dan Zn
sedang mineral Co dan I juga defisien namun gejala defiensi dari mineral tersebut tidak nampak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di sentra pengembangan sapi Brahman Cross di Kabupaten Laut dengan fokus
di Pusat Pelatihan dan Diseminasi Teknologi Peternakan dan Pertanian Terpadu (P2DTP2T) Faperta
Unlam, di Desa Sei Riam Kecamatan Pelaihari serta Kelompok Ternak Maju Bersama dan Kelompok
Tani Muda di Desa Ujung Batu, Kecamatan Pelaihari untuk pemeliharaan sapi percobaan. Analisis profil
hormon progesteron dengan teknologi Radioimmunoassay dilaksanakan di Labora-torium Radio Isotop,
Divisi Energi dan Isotop, Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar dan analisis bahan
pakan dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru.

versi elektronik
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai dengan Desember 2009.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan 24 ekor Sapi Induk Brahman Cross yang terdiri atas:
Kelompok 1 : Sapi induk yang telah melahirkan lebih dari 90 hari tapi belum muncul birahi sebanyak 10
ekor. Sapi induk tersebut kemudian 5 ekor dintaranya diberi pakan suplemen multinutrient block,
dibandingkan dengan 5 ekor yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block sebagai kontrol.
Kelompok 2 : Sapi induk yang telah di Inseminasi Buatan (IB) lebih dari dua kali tetapi tidak terjadi
kebuntingan (Service/Conception lebih dari dua) sebanyak 14 ekor. Sapi induk tersebut kemudian 9 ekor
diantaranya diberi pakan suplemen multinutrient block, dibandingkan dengan 5 ekor yang tidak diberi
pakan suplemen multinutrient block sebagai kontrol.
Pakan suplemen multinutrient block yang digunakan dengan formulasi : dedak padi 49%, bungkil

versi elektronik
kelapa 22%, mineral mix 11%, cangkang telur 4%, SP36 1%, urea 2%, semen 1%, dan tetes 12%.
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan. Persiapan dilakukan dengan mengidentifikasi sapi induk Brahman Cross dan
mengelompokkan sesuai kriteria yang telah ditentukan. Identifikasi dilakukan dengan cara wawancara
langsung ke peternak, melihat recording yang ada di peternak dan melihat langsung ternaknya. Sapi –
sapi induk Brahman Cross yang telah diidentifikasi kemudian dikelompokkan sesuai dengan
pengelompokannya dengan mencatat nomor telinga (ear tag) atau cap bakar di punggungnya.
Pembuatan Pakan Suplemen Multinutrient Block. Pembuatan pakan suplemen multinutrient block
meliputi : pengadaan bahan baku, pembuatan sesuai formulasi, dan distribusi ke peternak.
Penilaian skor kondisi induk. Penilaian skor kondisi induk bertujuan untuk menilai kondisi induk pada
awal penelitian sebelum dilakukan perlakuan. Penilaian skor kondisi induk berdasarkan Entwistle dan
Turnour (1989) sbb :

versi elektronik
Nilai 1 = Sangat kurus
Nilai 2 = Sedikit kurus
Nilai 3 = Kurus
Nilai 4 = Sedang
Nilai 5 = Gemuk

491
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Nilai 6 = Sangat gemuk
Pemberian Pakan Suplemen Multinutrient Block. Pemberian pakan suplemen multinutrient block pada
kelompok sapi yang telah ditentukan. Pelaksanaan IB. Sapi induk yang telah muncul berahi
dilakukan IB.

versi elektronik
Penerapan Teknologi RIA. Penerapan teknologi RIA berfungsi untuk men-diagnosa kegagalan
reproduksi pada sapi induk Brahman Cross dengan menganalisis profil hormon progesteronnya.
Penerapan teknologi RIA dilakukan pada awal kegiatan penelitian sebelum sapi induk diberi perlakuan.
Penerapan selanjutnya dilakukan pada sapi induk yang muncul berahi kemudian dikawinkan/ IB setelah
diberi perlakuan. Sapi induk yang telah diberi identifikasi, diambil darahnya sebanyak tiga kali yaitu
pada hari ke 0, ke 10, dan ke 20 sejak pengambilan sampel darah dimulai. Sampel darah yang telah
diambil (maksimal 2 jam setelah pengambilan) kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama
30 menit, sehingga menghasilkan serum darah. Serum darah selanjutnya disimpan di freezer sampai
serum darah terkumpul semuanya. Penerapan teknologi RIA untuk pada sapi induk yang telah muncul
berahi kemudian dilakukan IB, pengambilan sampel darah dimulai pada hari dilakukan IB sebagai hari ke
0, selanjutnya pada hari ke 10 dan 20 setelah dilakukan IB. Sampel darah yang telah diambil (maksimal
2 jam setelah pengambilan) kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2.500 rpm selama 30 menit,
sehingga menghasilkan serum darah. Serum darah kemudian disimpan di freezer sampai serum darah

versi elektronik
terkumpul semuanya. Serum darah kemudian di analisis di di Laboratorium Radio Isotop, Divisi Energi
dan Isotop, Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar dengan Teknologi RIA untuk
mengetahui profil hormon progesteronnya.
Peubah yang diamati. Peubah yang diamati pada masing-masing kelompok adalah : skor kondisi induk,
waktu muculnya berahi post partum (hari setelah melahirkan), profil hormon progesteron pada kondisi
awal dan setelah dikawinkan/ IB untuk mengetahui aktivitas ovarium (deteksi kelainan reproduksi),
jumlah inseminasi per kebuntingan (Service/Conception), jumlah induk yang tidak minta kawin kembali
(non return rate) setelah di IB, angka kebuntingan (conception rate).
Analisis Data
Perbedaan Sub Kelompok sapi yang diberi pakan suplemen multinutrient block dengan tidak diberi pakan
suplemen multinutrient block diuji dengan nilai tengah dengan menggunakan rumus Steel dan Torrie (1993)
sebagai berikut :

versi elektronik
Hipotesis yang diuji :
Ho : µ1 = µ2 lawan H1 : µ1 ≠ µ2
Statistik uji :
Ỹ1 - Ỹ2
t = ----------------
s Ỹ1 - Ỹ2
Dimana :
2s2
s Ỹ1 - Ỹ2 = -----
n
∑ Y21 - (∑ Y1)2/n + ∑ Y22 - (∑ Y2)2/n
s2 = ------------------------------------------------
2 (n – 1)

versi elektronik
Kaedah keputusan :
Apabila t hitung ≤ t tabel ( α/2 : n-2) maka hipotesis nol (H0) diterima, berarti pengaruh perlakuan tidak
terdapat perbedaan nyata. Sebaliknya apabila t hitung ≥ t tabel ( α/2 : n-2) maka hipotesis nol (H0)
ditolak, berarti rata-rata perlakuan berbeda nyata atau sangat nyata.

492
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Percepatan Berahi Post Partum pada Sapi Induk Brahman Cross
Hasil pengamatan sapi induk Brahman Cross yang mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari yang

versi elektronik
diberi dan tidak diberi pakan suplemen multinutrient block disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan sapi induk Brahman Cross yang mempunyai berahi post partum lebih dari 90
hari yang diberi dan tidak diberi pakan suplemen multinutrient block.
Nomor Lama tdk Waktu Profil hormon
Sapi SKI muncul munculnya S/C PKB Progesteron Interpretasi
berahi berahi (ng/mL)
Sapi induk yang diberi pakan suplemen multinutrient block
0,00 (L)
1. 4 ± 12 bulan 11 hari >1 Kosong 0,05 (L) Asiklus
0,13 (L)
0,14 (L)
2. 3 ± 3 bulan - - - - Asiklus
0,00 (L)

versi elektronik
0,00 (L)
3. 3 ± 12 bulan - - - 0,06 (L) Asiklus
0,00 (L)
0,16 (L)
4. 4 ± 12 bulan 57 hari 1 Bunting 3,00 (H) Bunting
4,10 (H)
0,00 (L)
5. 5 ± 12 bulan - - - 0,00 (L) Asiklus*
0,00 (L)
Rata- 3,8 ± 10,2 bulan 34 haria
rata
Sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block (kontrol)
3,33 (H)

versi elektronik
1. 4 ± 12 bulan - - Kosong 3,33 (H) CLP
4,80 (H)
0,06 (L)
2. 4 ± 4 bulan 99 hari > 1 Kosong 0,14 (L) Asiklus
0,15 (L)
0,00 (L)
3. 3 ± 8 bulan 62 hari > 1 Kosong 0,14 (L) Asiklus
0,00 (L)
0,00 (L)
4. 3 ± 7 bulan 51 hari > 1 Kosong 0,06 (L) Asiklus
0,00 (L)
7,75 (H)
5. 3 ± 8 bulan 3 hari > 2 Kosong 1,50 (L) Siklus*
7,25 (H)

versi elektronik
Rata- 3,4 ±7,8 bulan 54 haria
rata
Keterangan :
SKI = Skor Kondisi Induk S/C = Service per conception PKB = Pemeriksaan Kebuntingan
Superscrip pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata.
*) = sapi induk sudah dijual

493
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penilaian Skor Kondisi Induk (SKI)
Hasil penilaian secara eksterior menurut Entwistle dan Turnour (1989) terhadap SKI sapi Brahman Cross
yang mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari pada kondisi awal penelitian disajikan pada Tabel

versi elektronik
3. Sapi-sapi induk yang digunakan 50% mempunyai SKI = 4 dan 5 yaitu dapat berahi dan 50%
mempunyai SKI = 3 yaitu sukar berahi. Penilaian SKI menurut Entwistle dan Turnour (1989) adalah
SKI : 1 = sangat kurus, 2 = sedikit kurus, 3 = kurus, 4 = Sedang, 5 = gemuk dan 6 = sangat gemuk. Skor
kondisi induk 1 – 3 adalah sapi induk sukar berahi, sedang skor kondisi induk 4 – 6 sapi induk dapat
berahi. Walaupun demikian, sapi induk yang mempunyai SKI = 3 sukar berahi, namun masih tetap
memungkinkan untuk berahi.
Sapi-sapi induk yang digunakan adalah sapi-sapi induk yang bermasalah dalam reproduksinya yaitu telah
melahirkan lebih dari 90 hari tidak muncul berahi kembali. Sapi induk yang telah dikelompokkan diberi
pakan suplemen multinutrient block rata-rata ±10,2 bulan setelah melahirkan tidak muncul berahi, sedang
sapi-sapi induk yang telah dikelompokkan tidak diberi pakan suplemen multinutrient block rata-rata ±7,8
bulan tidak muncul berahi atau secara keseluruhan rata-rata ±9 bulan tidak muncul berahi setelah
melahirkan. Berdasarkan hasil penilaian SKI pada sapi-sapi induk tersebut, sapi-sapi yang telah
dikelompokkan mendapat pakan suplemen multinutrient block, terdapat 40% mempunyai SKI = 4 dan

versi elektronik
20% mempunyai SKI = 5 atau 60% dapat berahi serta 40% mempunyai SKI = 3 atau sukar berahi. Sapi-
sapi yang telah dikelompokkan tidak mendapat pakan suplemen multinutrient block, terdapat 40%
mempunyai SKI = 4 atau dapat berahi dan 60% mempunyai SKI = 3 atau sukar berahi.
Sapi-sapi induk yang digunakan 50% mempunyai SKI = 4 dan 5 yaitu dapat berahi namun tidak muncul
berahi, kemungkinan disebabkan oleh kandungan nutrisi ransum yang diberikan dibawah standar
kebutuhan terutama mineral makro berupa P yang defisien dan rasio Ca : P tidak berimbang, serta
beberapa mineral mikro yang diduga kuat defisien yaitu Mn dan Zn sedang mineral Co dan I juga defisien
namun gejala defiensi dari mineral tersebut tidak nampak sebagaimana hasil penelitian Andi Syarifuddin
dan Anis Wahdi (2008) pada lokasi yang sama. Kandungan nutrien tersebut sangat berpengaruh terhadap
munculnya berahi post partum pada sapi induk. Kemungkinan lain adalah peternak yang kurang intensif
dalam pengamatan berahi, yaitu peternak rata-rata hanya dua kali sehari yaitu pagi dan sore melakukan
pengamatan berahi pada ternaknya, sementara sapi Brahman Cross waktu munculnya berahi rata-rata
pada malam hari, sehingga waktu munculnya berahi akan terlewatkan. Waktu berahi yang terlewatkan

versi elektronik
menyebabkan peternak menganggap sapinya tidak muncul berahi. Sapi induk yang digunakan 50%
mempunyai SKI = 3 (sukar berahi), jelas akan memperpanjang anestrus post partum. Sapi induk yang
kurus akan sukar muncul berahi post partum karena dalam kondisi kekurangan pakan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Pakan yang sesuai kebutuhan baik kualitas maupun kuantitas akan
mempercepat munculnya berahi post partum.
Percepatan Waktu Munculnya Berahi Post Partum
Tabel 3 menunjukkan bahwa, sapi induk yang diberi pakan suplemen multinutrient block mempunyai
waktu tidak muncul berahi post partum rata-rata ± 10,2 bulan. Sapi-sapi induk tersebut kemudian diberi
pakan suplemen multinutrient block, 40% diantaranya lalu muncul berahi dengan rata-rata 34 hari setelah
pemberian. Sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block mempunyai waktu tidak
muncul berahi post partum rata-rata ± 7,8 bulan. Sapi-sapi induk tersebut, 80% diantaranya kemudian
beberapa muncul berahi dengan rata-rata 54 hari. Hasil uji nilai tengah menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata antara sapi induk yang diberi pakan suplemen multinutrient block dengan tidak

versi elektronik
diberi pakan suplemen multinutrient block terhadap percepatan waktu munculnya berahi post partum. Hal
ini disebabkan karena kebetulan sapi-sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block
mempunyai waktu tidak muncul berahi post partum rata-rata ± 7,8 bulan masih lebih baik dibanding
dengan sapi induk yang diberi pakan suplemen multinutrient block yang mempunyai waktu tidak muncul
berahi post partum rata-rata ± 10,2 bulan, sehingga peluang untuk munculnya berahi masih lebih besar.

494
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pemberian pakan suplemen multinutrient block pada sapi induk secara statistik tidak berbeda nyata
(Lampiran 2) dengan sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block terhadap
percepatan waktu munculnya berahi post partum, namun secara rata-rata sapi induk yang diberi pakan
suplemen multinutrient block lebih cepat dari pada yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block,

versi elektronik
yaitu lebih cepat 20 hari. Waktu 20 hari tersebut cukup berarti bagi sapi induk yaitu satu siklus berahi
lebih cepat. Satu siklus berahi apabila dinilai secara ekonomis nilainya sangat besar bagi petani, terutama
untuk biaya pemeliharaan yang antara lain meliputi biaya penyediaan pakan hijauan dan konsentrat, obat-
obatan serta upah pemeliharaan. Dengan demikian pemberian pakan suplemen multinutrient block
mempunyai nilai ekonomis lebih baik dalam mempercepat berahi post partum pada sapi induk Brahman
Cross.
Pemberian pakan suplemen multinutrient block pada sapi induk dapat mempercepat munculnya berahi
post partum, karena komposisi pakan suplemen multinutrient block yang mengandung sumber energi,
sumber protein, sumber mineral dan vitamin sehingga dapat memperbaiki kondisi tubuh, menggertak
aktivitas hormon reproduksi, melancarkan estrus, dan meningkatkan jumlah sel telur di lepas kantong
telur (McDonald dkk., 1995).
Jumlah Inseminasi per Kebuntingan (Service per Conception)

versi elektronik
Kelompok sapi induk yang telah diberi pakan suplemen multinutrient block kemudian muncul berahi, di
inseminasi buatan (IB) kemudian dilakukan pemeriksaan kebuntingan, terdapat satu ekor (50%) yang
bunting, sehingga service per conseptionnya setelah diberi pakan suplemen multinutrient block adalah
satu (S/C = 1). Sisanya terdapat satu ekor (50%) sapi induk yang telah di IB satu kali namun tidak terjadi
kebuntingan, sehingga service per conseptionnya setelah diberi pakan suplemen multinutrient block
adalah lebih dari satu (S/C > 1). Kelompok sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient
block terdapat 4 ekor yang muncul berahi, kemudian di IB dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan tidak
terdapat sapi induk yang bunting bahkan terdapat satu ekor yang telah di IB dua kali berturut-turut dalam
3 hari, namun tidak terjadi kebuntingan. Dengan demikian, terdapat 75% sapi induk yang akan
mempunyai S/C > 1 dan 25% sapi induk yang mempunyai S/C > 2.
Service per conception sebaiknya tidak lebih dari dua (S/C > 2), karena S/C > 2 dinilai tidak ekonomis
lagi. Menurut Toelihere (1993), nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 – 2. Semakin rendah
(mendekati 1) berarti semakin efisien karena semakin singkat periode kawin dan jumlah perkawinan yang

versi elektronik
diperlukan untuk meng-hasilkan suatu kebuntingan. Secara ekonomis hal tersebut memberikan arti yang
cukup besar karena tingkat efisiensi reproduksi yang tinggi menunjukkan lebih rendahnya biaya untuk
menghasilkan suatu kebuntingan, terutama jika perkawinan dilakukan dengan sistem sewa pejantan
maupun sistem IB.
Pengamatan berahi dan perkawinan serta pemeriksaan kebuntingan berikutnya pada beberapa sapi induk
yang telah muncul berahi tidak dapat dilakukan lagi karena sapi induk tersebut telah dijual oleh peternak
untuk dibelikan induk baru pengganti. Sapi-sapi tersebut dinilai tidak menguntungkan lagi dipelihara
sebagai sapi induk.
Jumlah Induk yang Tidak Minta Kawin Kembali (Non Return Rate) dan Angka Kebuntingan (Conception
Rate)
Non Return Rate adalah persentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau tidak ada permintaan
inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 atau 60 sampai 90 hari (Toelihere, 1993). Semakin

versi elektronik
tinggi angka NRR tersebut, maka menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan mempunyai tingkat
keberhasilan yang tinggi (menghasilkan suatu kebuntingan). Hal tersebut berarti bahwa semakin sedikit
jumlah induk-induk yang kembali minta kawin, baik pada periode 35 - 60 atau 60 - 90 hari post mating,
sehingga tingkat efisiensi reproduksi akan semakin tinggi.
Hasil perhitungan NRR pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa, sapi induk Brahman Cross yang
mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block

495
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
mempunyai nilai NRR lebih tinggi dari pada sapi induk Brahman Cross yang diberi pakan suplemen
multinutrient block yaitu 75% Vs 50%. Walaupun demikian, sapi-sapi induk yang telah di IB dan tidak
minta kawin kembali setelah tiga bulan dilakukan pemeriksaan kebuntingan ternyata tidak bunting
(kosong). Toelihere (1993) menyatakan bahwa, asumsi sapi-sapi yang tidak kembali kawin (non return)

versi elektronik
adalah bunting, tidak selalu benar. Selain bunting, sapi-sapi yang tidak dilaporkan minta kawin lagi
kemungkinan telah mati, dijual, hilang, atau mengalami berahi tenang (silent heat), corpus luteum
persisten, atau karena ganguan-ganguan lain.
Angka kebuntingan (CR) adalah persentase dari betina-betina yang telah bunting setelah dikawinkan atau
di IB pertama (Soenarjo, 1988). Hasil perhitungan CR pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa, sapi induk
Brahman Cross yang mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari yang kemudian diberi pakan
suplemen multinutrient block lalu muncul berahi dan di IB ternyata mempunyai nilai CR lebih tinggi
yaitu 50% Vs 0%. Dengan demikian, pemberian pakan suplemen multinutrient block pada sapi induk
Brahman Cross yang mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari akan meningkatkan angka
kebuntingan (CR).
Pemberian pakan suplemen multinutrient block pada sapi induk dapat mempercepat munculnya berahi
post partum dan meningkatkan angka kebuntingan karena komposisi pakan suplemen multinutrient block

versi elektronik
yang mengandung sumber energi, sumber protein, sumber mineral dan vitamin sehingga dapat
memperbaiki kondisi tubuh, menggertak aktivitas hormon reproduksi, melancarkan estrus, dan
meningkatkan jumlah sel telur di lepas kantong telur (McDonald dkk., 1995).
Profil Hormon Progesteron
Hasil analiss profil hormon progesteron untuk mendeteksi kelainan reproduksi pada sapi induk yang
mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari diberi pakan suplemen multinutrient block
menunjukkan bahwa, terdapat 80% sapi induk yang mengalami gangguan hormonal dengan ovarium
tidak bersiklus (asiklus). Sapi-sapi induk tersebut rata-rata ±10,2 bulan tidak muncul berahi setelah
melahirkan, yang seharusnya sudah muncul berahi 3 bulan setelah melahirkan. Kadar hormon
progesteronnya di bawah kadar hormon progesteron fase folikuler yang sedang bersiklus. Interpretasi
kadar hormon progesteron pada ternak sapi menurut Tjiptosumirat (2004) adalah rendah : < 1 nmol/L =
tidak bunting dari IB sebelumnya, tinggi : > 3 nmol/L = kemungkinan bunting, dan sedang/ intermediat :
1 – 3 nmol/L = meragukan. Sedang menurut Institute of Isotopes Ltd (2009) adalah : 0,6 – 3,8 nmol/l

versi elektronik
(0,2 – 1,2 ng/mL) untuk fase folikuler, dan 10,5 - 58 nmol/l (3,3-18,2 ng/mL) untuk fase luteal
(http://www.izotop.hu). Sapi-sapi induk tersebut mempunyai kadar hormon progesteron yang sangat
rendah yaitu 0,00 – 0,14 ng/mL, sehingga profil hormon progesteronnya menunjukkan ovarium tidak
bersiklus. Selanjutnya terdapat 20% sapi induk yang muncul berahi, kemudian di IB dan bunting. Hal ini
menunjukkan bahwa, pemberian pakan suplemen multinutrient block dapat menyebabkan terjadinya
berahi post partum dan kebuntingan pada sapi induk Brahman Cross yang mempunyai berahi post partum
lebih dari 90 hari. Hasil analisis profil hormon progesteron untuk mendeteksi kelainan reproduksi pada
sapi induk yang mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari yang tidak diberi pakan suplemen
multinutrient block menunjukkan bahwa, terdapat 60% yang mengalami gangguan hormonal dengan
ovarium tidak bersiklus, 20% mengalami corpus luteum persisten (CLP), dan 20% ovarium bersiklus,
namun tidak bunting.
Berdasarkan hasil analisis profil hormon progesteron tersebut, sapi-sapi induk yang telah diintepretasi
ovarium tidak bersiklus (asiklus), yang belum dijual oleh peternaknya sebaiknya dijual kemudian diganti

versi elektronik
dengan induk baru yang lebih baik untuk mengurangi kerugian. Sapi induk yang interpretasikan CLP,
masih dapat dipertahankan dan diobati dengan penyuntikan hormon Prostaglandin.
Peningkatan Angka Kebuntingan pada Sapi Induk Brahman Cross
Hasil pengamatan sapi induk Brahman Cross yang telah di IB lebih dari dua kali tetapi tidak terjadi
kebuntingan (Service/Conception lebih dari dua) yang diberi dan tidak diberi pakan suplemen

496
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
multinutrient block disajikan pada Tabel 5, sedang hasil perhitungan NRR (Non Return Rate) dan CR
(Conception Rate) dapat dilihat pada Lampiran 6.
Penilaian Skor Kondisi Induk dan Performans Reproduksi

versi elektronik
Tabel 5 menunjukkan bahwa, hasil penilaian SKI awal terhadap kelompok sapi induk Brahman Cross
yang mempunyai S/C lebih dari dua yang diberi pakan suplemen multinutrient block sebanyak 77,78%
mempunyai SKI = 4 (sedang) dan 22,22% mempunyai SKI = 5 (gemuk). Skor kondisi induk 4 dan 5
merupakan kondisi induk yang ideal dan memungkinkan untuk berahi. Hal ini ditunjukkan bahwa sapi-
sapi induk tersebut telah mengalami berahi dan di IB rata-rata lebih dari tiga kali (S/C > 3). Sedang
kelompok sapi induk Brahman Cross yang mempunyai S/C lebih dari dua yang tidak diberi pakan
suplemen multinutrient block, hasil penilaian SKI awal sebanyak 80% mempunyai SKI = 4 (sedang) dan
20% mempunyai SKI = 3 (kurus). Skor kondisi induk 4 merupakan kondisi induk yang ideal dan dapat
berahi sedang SKI = 3 (kurus) kurang ideal namun masih memungkinkan untuk berahi walaupun sukar,
dan sapi-sapi induk tersebut juga telah mengalami berahi dan di IB rata-rata lebih dari tiga kali (S/C > 3).
Sapi-sapi induk tersebut walaupun mempunyai kondisi tubuh yang ideal, namun apabila muncul berahi
dan dilakukan IB tidak terjadi kebuntingan. Kegagalan kebuntingan diduga karena sapi-sapi induk
tersebut dalam pakannya kekurangan zat nutrisi tertentu yang diduga kuat adalah mineral makro dan

versi elektronik
mikro yang penting untuk proses reproduksi. Sapi induk tersebut tidak diduga kekurangan protein dan
energi karena skor kondisi induknya masih ideal dan memungkinkan untuk berahi.
Sapi-sapi induk tersebut kemudian diberi pakan suplemen multinutrient block yang mengandung sumber
protein, sumber energi, sumber mineral makro dan mikro serta sumber vitamin yang penting untuk proses
reproduksi, muncul berahi dan dilakukan IB. Sapi-sapi induk yang telah muncul berahi dan di IB
sebanyak 88,89%, dan 57% diantaranya telah muncul berahi ≥2 dan dilakukan IB serta 28,56% yang
telah muncul berahi dan di IB hanya satu kali. Hasil pemeriksaan setelah ± 3 bulan terdapat 57,14%
bunting dan 42,86% tidak bunting. Disamping itu, terdapat dua ekor sapi induk yang sebelumnya telah di
IB kemudian diberi pakan suplemen multinutrient block juga bunting, sehingga angka kebuntingan
menjadi 66,67%. Sapi-sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block terdapat 40%
yang muncul berahi dan dilakukan IB. Hasil pemeriksaan setelah ± 3 bulan terdapat 50% bunting dan
50% tidak bunting. Berdasarkan hasil pemeriksaan kebuntingan, maka S/C sapi-sapi induk Brahman
Cross yang diberi pakan suplemen multinutrient block terdapat 44,44% yang mempunyai S/C = 1,

versi elektronik
kemudian 22,22% yang mempunyai S/C = 2 dan 22,22% yang mempunyai S/C > 3. Sedang sapi-sapi
induk Brahman Cross yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block terdapat 50% yang
mempunyai S/C = 1 dan 50% yang mempunyai S/C > 1.
Dengan demikian, sapi induk Brahman Cross yang mempunyai S/C > 2 yang diberi pakan suplemen
multinutrient block mempunyai angka kebuntingan (CR) lebih tinggi dari pada sapi induk yang tidak
diberi pakan suplemen multinutrient block yaitu 67,67% Vs 50% (Lampiran 5), sehingga pemberian
pakan suplemen multinutrient block dapat memperkecil angka service per conception dan meningkatkan
angka kebuntingan. Peningkatan angka kebuntingan setelah pemberian pakan pakan suplemen
multinutrient block disebabkan oleh pakan suplemen tersebut mengandung zat-zat nutrisi yang lengkap
yang dibutuhkan untuk bereproduksi secara normal. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Hardjopranjoto
(1995) bahwa, agar proses reproduksi dapat berjalan dengan normal, diperlukan ransum yang memenuhi
kebutuhan baik untuk pertumbuhan maupun untuk reproduksi. Ransum disebut berkualitas baik dan
lengkap bila di dalamnya mengandung karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi, protein sebagai zat
pembangun tubuh, mineral dan vitamin sebagai zat pelengkap untuk pertumbuhan badan. Kekurangan

versi elektronik
salah satu zat makanan di atas dapat mendorong terjadinya gangguan reproduksi dan kemajiran.
Selanjutnya dijelaskan bahwa, mineral yang umumnya mempunyai peranan dalam proses reproduksi baik
pada hewan betina maupun jantan antara lain adalah Ca, P, Se, Co, I, Mn dan Zn.

497
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 5. Hasil pengamatan sapi induk Brahman Cross yang mempunyai S/C lebih dari dua yang diberi
dan tidak diberi pakan suplemen multinutrient block.
Nomor Sapi SKI Jumlah IB PKB S/C Profil hormon Progesteron Interpretasi

versi elektronik
sebelumnya (ng/mL)
Sapi induk yang diberi pakan suplemen multinutrient block
6,5 (H)
1. 4 4 Bunting 1 10,25 (H) Bunting
8,13 (H)
0,00 (L)
2. 4 3 Kosong >3 0,21 (L) Asiklus
0,00 (L)
0,00 (L)
3. 4 2 Kosong - 4,68 (H) Siklus
0,36 (L)
2,50 (H)
4. 5 4 Bunting 2 4,58 (H) Bunting
4,80 (H)
2,75 (H)

versi elektronik
5. 4 5 Kosong >3 3,25 (H) CLP
3,25 (H)
0,00 (L)
6. 4 5 Bunting 1 7,88 (H) Bunting
7,50 (H)
12,75 (H)
7. 5 2 Bunting 1 13,00 (H) Bunting
7,63 (H)
3,93 (H)
8. 4 2 Bunting 2 0,33 (L) Bunting
5,03 (H)
9,13 (H)
9. 4 5 Bunting 1 6,75 (H) Bunting
0,81 (H)
Rata-rata 4,2 3,6 -

versi elektronik
Sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block (kontrol)
0,00 (L)
1. 3 2 Kosong 0,00 (L) Asiklus
0,00 (L)
2 12,38 (H)
2. 4 Kosong 6,13 (H) CLP
8,53 (H)
3 1 0,16 (L)
3. 4 Bunting 4,20 (H) Bunting
3,40 (H)
5 0 (L)
4. 4 Kosong >1 0,06 (L) Asiklus
0 (L)
3 + 1 Kawin 0,00 (L)
5. 4 Alam - 0,00 (L) Asiklus*

versi elektronik
0,00 (L)
Rata-rata 3,8 3,2 -
Keterangan : SKI = Skor Kondisi Induk S/C = Service per conception PKB = Pemeriksaan Kebuntingan
*) = sapi induk sudah dijual

Semua bahan mineral ini bila kekurangan dalam tubuh hewan akan diikuti oleh timbulnya gangguan
reproduksi khususnya pada betina yang diakhiri dengan dengan kemajiran. Kebutuhan mineral tersebut

498
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
sudah disuplai melalui pakan suplemen multinutrient block, sehingga pemberian pakan suplemen
multinutrient block dapat meningkatkan kebuntingan.
Profil Hormon Progesteron

versi elektronik
Hasil analiss profil hormon progesteron untuk mendeteksi kelainan reproduksi pada sapi induk yang
mempunyai S/C > 2 yang diberi pakan suplemen multinutrient block terdapat : 66,67% yang bunting,
11,11% ovariumnya normal bersiklus, 11,11% yang ovariumnya tidak bersiklus dan 11,11% mengalami
corpus luteum persisten. Pada kelompok sapi induk yang tidak diberi pakan suplemen multinutrient block
terdapat : 20% yang bunting, 60% yang ovariumnya tidak bersiklus, dan 20% mengalami CLP.
Berdasarkan hasil analisis profil hormon progesteron tersebut, sapi-sapi induk yang telah diintepretasi
ovarium tidak bersiklus (asiklus), yang belum dijual oleh peternaknya sebaiknya dijual kemudian diganti
dengan induk baru yang lebih baik untuk mengurangi kerugian. Sapi induk yang diinterpretasi CLP,
masih dapat dipertahankan dan diobati dengan penyuntikan hormon Prostaglandin. Sapi induk yang
diinterpretasi ovarium bersiklus dapat dilakukan pengamatan berahi yang intensif agar dapat dilakukan IB
pada saat yang tepat untuk meningkatkan angka kebuntingan.

KESIMPULAN

versi elektronik
Kesimpulan
• Pemberian pakan suplemen multinutrient block dapat mempercepat 20 hari munculnya berahi
post partum pada sapi induk Brahman Cross, dibandingkan sapi induk Brahman Cross yang tidak
diberi pakan suplemen multinutrient block yaitu 34 hari berbanding 54 hari.
• Pemberian pakan suplemen multinutrient block dapat meningkatkan angka kebuntingan 16,67%
pada sapi induk Brahman Cross yang mempunyai S/C lebih dari dua, dibandingkan sapi induk
yang tidak diberi multinutrient block yaitu 66,67% berbanding 50%.
Saran
• Pemberian pakan suplemen multinutrient block ini dapat diaplikasikan pada sapi-sapi induk
Brahman Cross yang mempunyai berahi post partum lebih dari 90 tidak muncul berahi dan sapi
induk Brahman Cross yang mempunyai S/C lebih dari dua untuk mempercepat munculnya berahi
post partum dan meningkatkan angka kebuntingan.

versi elektronik
• Formulasi pakan suplemen multinutrient block secara ekonomis berbasis bahan pakan lokal
dengan tetap memperhatikan imbangan antara protein dan energi serta kandungan mineral
khususnya mineral yang secara langsung diperlukan/ mempengaruhi proses reproduksi yaitu Ca,
P, Se, Co, I, Mn dan Zn perlu dilakukan.
• Berdasarkan hasil analisis profil hormon progesteron dengan menggunakan teknologi RIA, sapi-
sapi induk yang telah diintepretasi ovarium tidak bersiklus (asiklus), yang belum dijual oleh
peternaknya sebaiknya dijual kemudian diganti dengan induk baru yang lebih baik untuk
mengurangi kerugian. Sapi induk yang diinterpretasi CLP, masih dapat dipertahankan dan
diobati dengan penyuntikan hormon Prostaglandin. Sapi induk yang diinterpretasi ovarium
bersiklus dapat dilakukan pengamatan berahi yang lebih intensif agar dapat dilakukan IB pada
saat yang tepat untuk meningkatkan angka kebuntingan.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Syarifuddin, N. 2000. Produksi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Pada Berbagai Umur dan

versi elektronik
Nilai Gizinya Sebelum dan Setelah Ensilase. Thesis. Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Andi Syarifuddin, N. 2005a. Deteksi Gangguan Reproduksi Sapi Bali Betina Melalui Teknik
Radioimmunoassay (RIA) dan Analisis Tatalaksana Pemeliharaan. Laporan Pengembangan
Teknologi : Program Pendayagunaan dan Pengembangan Iptek Nuklir Bidang Peternakan Di

499
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005. Kerjasama Unlam, Batan dan Pemprop. Kalsel. Fakultas
Pertanian Unlam, Banjarbaru.
_________________. 2005b. Deteksi Gangguan Reproduksi Sapi Brahman Crosss Betina Melalui Teknik

versi elektronik
Radioimmunoassay (RIA) dan Analisis Tatalaksana Pemeliharaan. Laporan Pengembangan
Teknologi : Program Pendayagunaan dan Pengembangan Iptek Nuklir Bidang Peternakan Di
Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005. Kerjasama Unlam, Batan dan Pemprop. Kalsel. Fakultas
Pertanian Unlam, Banjarbaru
_________________. 2005c. Laporan Kegiatan Aplikasi Teknologi Reproduksi Ternak dan Kesehatan
Ternak pada Program Pendayagunaan dan Pengembangan Iptek Nuklir Bidang Peternakan Di
Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarbaru.
_________________ dan Anis Wahdi. 2003. Peningkatan Efisiensi Reproduksi Sapi Potong dengan
Teknik Radioimmunoassay (RIA). Laporan Pengembangan Teknologi : Program Pengembangan
Pusat Teknologi Peternakan Di Kalimantan Selatan Tahun 2003 Kerjasama Unlam, Batan dan
Pemprop. Kalsel. Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru.

versi elektronik
________________________________. 2004. Evaluasi Kandungan Nutrisi Pakan Alami Ternak Kerbau
Rawa Di Kalimantan Selatan. Penelitian Dosen Muda, Dikti. Fakultas Pertanian Unlam,
Banjarbaru.
________________________________. 2005. Kecernaan In Vitro Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa Di
Kalimantan Selatan. Penelitian Dosen Muda, Dikti. Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru.
________________________________. 2006. Kandungan Mineral (Na, Se, Co, Fe) Pakan Alami Ternak
Kerbau Rawa Di Kalimantan Selatan. Penelitian Dosen Muda, Dikti. Fakultas Pertanian Unlam,
Banjarbaru.
________________________________. 2008. Perbaikan Efisiensi Reproduksi Sapi Induk Brahman
Cross Melalui Percepatan Berahi Post Partum dan Penerapan Teknologi Radioimmunoassay
(RIA). Penelitian Hibah Pekerti, Dikti. Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru.
Anonim, 2000. Buku Statistik Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan

versi elektronik
Selatan, Banjarbaru.
Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan. 2004. Kebijakan Pembangunan Peternakan Di
Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari dalam rangka Bulan Bakti
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Banjarbaru 16 September 2004.
___________________________________________________. 2008b. Statistik Peterna-kan Tahun 2008.
Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru.
Entwistle, K.W. dan Tournour J. 1989. Pemeliharaan Sapi Brahman. G.R.M. Internasional Brisbane
Jakarta- Sidney.
Faisal. 2008. Pengenalan Masa Birahi pada Ternak Sapi. http://www.disnaksumbar.org. Diakses tanggal 1
Nopember 2008.
Hardjosubroto, W dan J. M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

versi elektronik
Jakarta.
Hardjopranjoto, H.S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak, Airlangga University Press, Surabaya.
Institute of Isotopes Ltd (2009). Progesterone[125I] RIA KIT (Ref: RK-460M). http://www.izotop.hu.
Diakses tanggal 21 Juni 2009.

500
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ismadi, D dan R. N. Suhaeti. 2002. Usaha Ternak Sapi Potong di Kalimantan Selatan .
http://groups.yahoo.com/group/ternak_sapi/message/2. Diakses tanggal 1 Nopember 2008.
Latief, A. 2002. Perbaikan Tingkat Reproduksi Ternak Ruminansia di Daaerah Tropis Melalui

versi elektronik
Suplementasi Pakan Urea Multinutrient Molasses Block (UMMB). Makalah Kursus Singkat
Penggunaan Teknologi Radioimmunoassay (RIA) dan Urea Multinutrient Molasses Block
(UMMB) dalam Biologi Reproduksi. Kerjasama Fakultas Peternakan Unhas dengan Ditjen Dikti,
Depdiknas, Makassar.
________. 2004. Teori Dasar Teknik Radioimmuno Assay dan Aplikasi Dalam Bidang Reproduksi
Ternak. Makalah Pelatihan Aplikasi Teknik RIA Bagi Staf Pengajar Faperta UNLAM dan Staf
Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru.
________ dan Yusuf. 2002. Aplikasi Teknik Radioimmuno Assay dalam Bidang Reproduksi Ternak.
Kursus Singkat Penggunaan Teknologi Radioimmuno Assay (RIA) dan Urea Multinutrisi
Molasses Blok (UMMB) dalam Biologi Reproduksi Ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional, Makassar.

versi elektronik
Mc. Donald, P., R. A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, C.A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. Fifth Edition.
Longman Scientific & Technical, New York.
Partodihardjo S. 1989. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Jakarta.
Pane, I. 1993. Pemuliaan Ternak Sapi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Pramono, D., U. Nuschati, B. Utomo, Subiharta, T. Prasetyo, Prawoto., J. Purmiyanto dan Sudarto. 2008.
Pengkajian Pengelolaan Usaha Perbibitan Sapi dengan Memanfaatkan Sumberdaya Pertanian.
http://jateng.litbang.deptan.go.id. Diakses Tanggal 1 Nopember 2008.
Salisbury, G.W. dan VanDemark N. L. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Srigandono, B. 1995. Kamus Istilah Peternakan. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

versi elektronik
Steel, R. G. D. Dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sugeng, Y.B. 1996. Sapi Potong, Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis, dan Analisis
Penggemukan. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugoro, I. 2005. Peran Teknik Nuklir di Bidang Peternakan.
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1085284506&19. Diakses tanggal 21 Agustus
2008.
Sumbung, F.P. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Reproduksi. Makalah Kursus Singkat
Penggunaan Teknologi Biologi Reproduksi dalam Meningkatkan Produktivitas Ternak.
Kerjasama Fakultas Peternakan Unhas dengan Ditjen Dikti, Depdiknas, Makassar.
Suyasa, N, I. A. Parwati dan W. Soethama. 2008. Pemberian Pakan Tambahan untuk Meningkatkan
Bobot Badan dan Memperpendek Interval Birahi Pasca Melahirkan pada Sapi Bali.

versi elektronik
http://peternakan.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 1 Nopember 2008.
Toelihere, M. R. 1981. Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi. Edisi Pertama. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
_____________. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.
_____________. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.

501
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tjiptosumirat, T. 2004. Peningkatan Kinerja Reproduksi dengan Memanfaatkan Teknik RIA Progesteron.
Makalah Pelatihan Aplikasi Teknik RIA Bagi Staf Pengajar Faperta UNLAM dan Staf Dinas
Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru.

versi elektronik
Soenarjo, Ch. 1988. Fertilitas dan Infertilitas pada Sapi Tropis dengan References Ternak-ternak Sapi di
Indonesia. CV. Baru. Jakarta
Winugroho, M. 2002. Strategi Pemberian Pakan Tambahan untuk Memperbaiki Efisiensi Reproduksi
Sapi induk. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. Vol. 21, No.1: 19-23.
Zemjanis, R, 1980, Repeat Breeding or Conception Failure in cattle; Current Theraphy in
Theorigenology.,Morrow, D.A, W.B Saunders Company Philadelphia.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 502


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENDUGAAN PARAMETER GENOTYPE DENGAN KORELASI GENETIK SAPI Peranakan
Ongole (PO) UMUR 205 DAN 365 HARI DI FOUNDATION STOCK
Prihandini P.W.1, L. Hakim 2 , V.M.A. Nurgiartiningsih 2 dan Yuli Arif Tribudi3

versi elektronik
1
Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan Grati No. 2-10, Grati-Pasuruan, Jawa Timur, email:
lolitsapi_litbang@yahoo.co.id
2
Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang, Jl. Veteran Malang, Jawa Timur,
email : webmaster@ub.ac.id
3
Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak, email: yuliariftribudi@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon seleksi bobot badan dan ukuran linier tubuh sapi PO
umur 205 dan 365 hari. Materi yang digunakan dalam penelitian ini sapi PO umur 205 hari dan 365 hari
sebanyak 310 ekor dari keturunan 27 pejantan dan 163 induk sapi PO. Variabel yang diamati adalah
bobot badan terkoreksi dan ukuran linier tubuh (lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan) pada
umur 205 hari dan 365 hari. Untuk mengetahui pengaruh tahun kelahiran, jenis kelamin dan paritas
terhadap sifat kuantitatif sapi PO digunakan analisis ragam Rancangan Acak Lengkap pola searah (one
way lay out). Komponen ragam untuk menduga nilai heritabilitas sifat kuantitatif dengan menggunakan

versi elektronik
Restricted Maximum Likelihood (REML) dengan pola Linear Mixed Model menggunakan program
GenStat 12.2. Pendugaan nilai heritabilitas menggunakan metode hubungan saudara tiri sebapak (paternal
half sib correlation). Respon seleksi diestimasi berdasarkan nilai heritabilitas yang diperoleh dan
intensitas seleksi yang telah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan secara umum nilai heritabilitas
yang dihasilkan tergolong sedang sampai tinggi (0,15 – 0,42). Respon seleksi terbaik jika didasarkan pada
bobot badan dan lingkar dada pada umur 205 hari. Atas dasar respon seleksi tersebut, seleksi dapat
berdasarkan bobot badan dan lingkar dada umur 205 hari untuk meningkatakan mutu genetik ternak sapi
PO.
Kata kunci: Heritabilitas, respon seleksi, sapi Peranakan Ongole (PO)

ABSTRACT
This research is aimed the body weigh and body length respon selection PO cattle aged 205 days and 365
days. The research materials used in this study were PO cattle of 205 days and 365 days old with 310
cows bred from 27 different sire and 163 PO dam. Variables observed in this study were corrected weight

versi elektronik
fenotype and body morphology (chest grid, body length and height) when the cows being observed
reached their 205 days and 365 days of age. The data in this research were analyzed by using Completely
Randomized Design (CRD) one-way analyzes of variance (one way lay out). Variance components used
to estimate the heritability trait was assessed by using Restricted Maximum Likelihood (REML) with the
GenStat 12.2 program. Respon selection calculation was based on heritability, deviation standard and
intensity selection. The best respon selection was based on the body weight and chest grid at the age of
205 days with 5 percent proportion of the selected sire. Therefore, it is recommended that the selection
will be performed based on body weight and body length at the age of 205 days to increase genetic
quality of beef cattle.
Key words: Heritability, respon selection, PO Cattle

PENDAHULUAN
Ternak memberikan kontribusi yang sangat penting untuk memproduksi protein hewani (daging dan susu)

versi elektronik
bagi manusia. Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah
masih rendahnya produktivitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar
peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan
teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah. Upaya peningkatan mutu genetik ternak
dilakukan melalui pengembangbiakan ternak yang memiliki potensi genetik yang baik dengan metode
seleksi, perkawinan, pemurnian dan atau kombinasi ketiganya. Peningkatan produktivitas ternak lokal

503
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dapat dilakukan melalui perbaikan lingkungan (mutu pakan dan tatalaksana) serta program pemuliaan.
Talib (2001) menyatakan bahwa untuk sapi potong lokal yang masih murni hanya dapat dilakukan dengan
cara seleksi dan pembentukan breeding stock.

versi elektronik
Salah satu sumberdaya genetik (SDG) utama sapi potong lokal yang perlu dilestarikan dan dikembangkan
keunggulannya, untuk kepentingan pemuliaan ternak dengan membentuk bibit unggul sesuai dengan
agroekosistemnya adalah sapi PO. Seleksi terhadap pejantan unggul sapi PO yang mempunyai mutu
genetik tinggi akan diwariskan kepada keturunannya dengan menampilkan sifat yang diharapkan.
Metode pengujian yang dilaksanakan adalah memilih ternak bibit berdasarkan sifat kualitatif dan
kuantitatif yang meliputi (1) pengukuran yaitu panjang badan, tinggi gumba, dan lingkar dada, (2)
penimbangan yaitu bobot badan, bobot lahir, bobot sapih (205 hari), bobot setahun, dan bobot 2 tahun, (3)
pengamatan yaitu warna rambut, bentuk rangka, bentuk kepala, bentuk kaki, bentuk kuku, bentuk
skrotum, dan kelainan yang lain seperti ekor panjut, cundang, dan injin. Seleksi individu dapat dilakukan
apabila nilai heritabilitas suatu sifat cukup tinggi, karena berkaitan dengan tingginya kecermatan seleksi.
Besarnya kecermatan seleksi dan respon seleksi ditentukan oleh besarnya heritabilitas suatu sifat.
Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat, semakin tinggi pula respon seleksi yang diperoleh. Oleh
karena itu, nilai heritabilitas suatu sifat dalam suatu populasi perlu diketahui.

versi elektronik
Penyusunan program pemuliaan yang baik memerlukan nilai-nilai parameter genetik dan metode seleksi
yang cocok. Parameter genetik yang diperlukan antara lain heritabilitas, ripitabilitas dan korelasi (genetik,
fenotip dan lingkungan). Secara teoritis heritabilitas, ripitabilitas dan korelasi bukan merupakan suatu
konstanta. Nilai-nilai tersebut sangat tergantung dari populasi, tempat dan metode penaksiran yang
digunakan. Heritabilitas digunakan dalam menaksir respon seleksi dan keakuratan seleksi sehingga
program pemuliaan yang disusun dapat diprediksi kemajuan genetiknya. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui respon seleksi bobot badan dan ukuran linier tubuh sapi PO umur 205 dan 365 hari.

METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan adalah data recording bobot badan dan ukuran linier tubuh 310 ekor sapi
Peranakan Ongole (PO) yang merupakan keturunan dari 27 ekor pejantan dan 163 ekor induk di Kandang
percobaan Loka Penelitian Sapi Potong dari tahun 2004 - 2010. Variabel yang diamati dalam penelitian
ini adalah sifat produksi meliputi bobot sapih, bobot satu tahun, tinggi badan, panjang badan dan lingkar
dada pada umur sapih dan satu tahun..

versi elektronik
Kriteria seleksi yang digunakan adalah bobot badan dan ukuran linier (panjang badan, lingkar dada dan
tinggi badan) pada umur 205 dan 365 hari. Data bobot badan yang diperoleh dikoreksi dengan prosedur
Hardjosubroto (1994) :
Bobot sapih dikoreksi ke bobot umur sapih 205 hari

Keterangan :
BB205 = bobot sapih terkoreksi (kg)
BB = bobot pada saat ditimbang pada waktu penyapihan (kg)
BL = bobot lahir (kg)

versi elektronik
Umur = umur pedet saat disapih (hari)
FKUI = Faktor Koreksi Umur Induk
Bobot satu tahun dikoreksi ke bobot umur 365 hari

504
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1

Keterangan :

versi elektronik
BB365 = bobot badan yang disesuaikan pada umur 365 hari (kg)
BS = bobot sapih (saat ditimbang) (kg)
BB = bobot badan umur + 1 tahun (saat ditimbang) (kg)
Tenggang waktu = waktu antara saat penimbangan dengan saat penyapihan (hari)
Estimasi Nilai Heritabilitas (h2)
Pendugaan komponen ragam menggunakan metode Restricted Maximum Likelihood (REML) pola
Linear Mixed Model dengan program GenStat 12.2. Pengaruh tetap adalah tahun kelahiran, jenis kelamin
dan paritas sedangkan pengaruh acak adalah pejantan.
Pendugaan nilai heritabilitas menggunakan metode hubungan saudara tiri sebapak (paternal half sib
correlation) menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan unbalanced design. Komponen-

versi elektronik
komponen korelasi dalam kelas yaitu suatu kemiripan antar saudara tiri, dapat ditentukan sebagai berikut :

σ S2
t = 2
σ S + σ E2
Nilai heritabilitas dihitung dengan rumus:

4σ S2
h² = 4t =
σ S2 + σ E2
Keterangan :
h² = heritabilitas

versi elektronik
t = korelasi dalam kelas
= ragam pejantan
= ragam error
Galat baku dari nilai heritabilitas (SE (h2)) dihitung dengan rumus:

Keterangan :

versi elektronik
k = koefisien
n = jumlah keturunan
s = jumlah pejantan
Estimasi Respon Seleksi

505
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Respon seleksi diestimasi berdasarkan nilai heritabilitas yang diperoleh dengan menggunakan rumus
(Hardjosubroto, 1994) :
=

versi elektronik
Keterangan:
= respon seleksi
= heritabilitas
i = intensitas seleksi
= galat baku fenotip

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bobot Badan dan Ukuran Tubuh
Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan bobot badan sapi PO terkoreksi pada umur 205 hari di Loka
Penelitian Sapi Potong Grati sebesar 109,10+18,35 kg. Angka ini hampir sama jika dibandingkan dengan

versi elektronik
penelitian Aryogi, et al (2006) yang melaporkan bobot 205 hari sapi PO yang dipelihara di peternakan
rakyat di Kecamatan Sukorejo, Purwosari dan Prigen sebesar 109 kg. Hasil ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan penelitian Wijono et al., (2006) serta Rasyid et al., (2009) dan Wijono (2007) yang
melakukan penelitian ditempat yang sama masing-masing sebesar 84,14+17,76 kg, 108,0+28,4 kg dan
104,00+11,35 kg. Bobot sapih banyak dipengaruhi faktor lingkungan diantaranya manajemen
pemeliharaan dan produksi susu induk (Maylinda, 2010). Bobot sapih merupakan sifat yang dipengaruhi
komponen genetik induk (maternal genetic effect) yaitu pengaruh gen yang mempengaruhi kondisi
lingkungan pada induk yang mempengaruhi performa individu. Pengaruh maternal genetik antara lain
adalah produksi susu dan tingkah laku menyusu induk sehingga bobot sapih juga dapat digunakan sebagai
kriteria seleksi induk yang memiliki mothering ability baik.
Tabel 1. Rataan Bobot Badan dan Ukuran linier Tubuh Sapi PO Terkoreksi pada Umur 205 dan 365 hari
di Loka Penelitian Sapi Potong

versi elektronik
Parameter 205 hari 365 hari
Bobot badan (kg) 109,10+18,35 132,70+19,93
Lingkar Dada (cm) 105,90+12,33 117,60+10,91
Panjang Badan (cm) 90,57+10,37 103,70+7,79
Tinggi Badan (cm) 98,93+10,96 110,30+9,00

Rataan bobot badan sapi PO umur 365 hari dari hasil penelitian ini di Loka Penelitian Sapi Potong Grati
(Tabel 1) lebih rendah daripada penelitian Wijono et al., (2007) ditempat yang sama sebesar
133,56+11,60 kg. Tidak berbedanya bobot badan sapi PO umur 365 hari dari penelitian Wijono et al.,
(2007) menunjukkan pola pemeliharaan sapi PO di Loka Penelitian Sapi Potong Grati sudah cukup stabil.
Ukuran linier sapi PO pada penelitian lebih tinggi dengan hasil penelitian Wijono et al., (2007) yang
melaporkan lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan sapi PO terkoreksi umur 205 hari di Loka
Penelitian Sapi Potong Grati masing-masing sebesar 105+12,1 cm; 84,87+7,61 cm dan 92,05+5,24 cm

versi elektronik
sedangkan pada umur terkoreksi 365 hari sebesar 111,38+6,98 cm; 95,31+7,38 cm dan 99,80+5,65 cm.
Falconer et al., (1997) menyatakan bahwa faktor genetik adalah gen dari kedua tetuanya/pejantan dan
induk (tetua memberikan gen mereka dan bukan memberikan genotip pada keturunannya, oleh karena itu
efek rata-rata dari gen kedua orang tua yang menentukan rata-rata nilai genotip dari keturunannya).
Tingginya bobot lahir hasil penelitian ini daripada penelitian Wijono et al., (2007) diduga karena telah

506
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
terjadi seleksi yang positif pada sapi PO sehingga terjadi peningkatan bobot sapih dan 1 tahun selain itu
juga faktor lingkungan yang berbeda (waktu yang berbeda).
Tampilan fenotipik (P) suatu ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (L), genotipe (G) serta interaksi

versi elektronik
lingkungan dan genotipe (GEI). Berbedanya ukuran tubuh sapi PO ini diduga disebabkan oleh faktor
lingkungan selain dari faktor genetik ternak. Perbedaan lingkungan saat pengukuran (sampel, alat yang
digunakan serta petugas pengukur yang lebih dari satu orang) dapat menyebabkan perbedaan ukuran-
ukuran tubuh sapi PO yang menjadi obyek penelitian
Heritabilitas
Estimasi heritabilitas bobot badan dan ukuran linier tubuh (lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan)
umur 205 hari dan 365 hari disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan heritabilitas yang dihasilkan tergolong sedang sampai
tinggi. Parameter yang termasuk dalam golongan heritabilitas sedang adalah bobot badan umur 205 hari
dan bobot badan umur 365 hari; heritabilitas tinggi yaitu pada ukuran tubuh (lingkar dada, panjang badan,
tinggi badan) pada umur 205 hari dan 365 hari.
Tabel 2. Estimasi heritabilitas dan galat baku bobot badan dan ukuran linier tubuh (lingkar dada, panjang

versi elektronik
badan dan tinggi badan) umur 205 hari dan 365 hari pada sapi PO di Loka Penelitian Sapi Potong.

No Parameter Nilai Heritabilitas (h2) + SE


1 BB 205 0,20+0,07
2 LD 205 0,29+0,09
3 PB 205 0,30+0,10
4 TB 205 0,23+0,07
5 BB 365 0,15+0,03
6 LD 365 0,30+0,09
7 PB 365 0,42+0,11

versi elektronik
8 TB 365 0,24+0,08

Pada aplikasinya di lapang dengan nilai heritabilitas sedang sampai tinggi menunjukkan program seleksi
akan lebih efektif digunakan dalam program pemuliaan karena respon yang dihasilkan lebih besar.
Menurut Muladno (2010), menyatakan sifat yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi atau sedang,
perbaikan mutu genetik dengan seleksi akan lebih efektif karena respon yang diberikan besar, sedangkan
sifat yang nilai heritabilitasnya rendah, maka program persilangan yang diikuti seleksi akan lebih tepat
dan respon yang diperoleh besar.
Heritabilitas merupakan nilai ukuran populasi, bukan merupakan suatu nilai yang berhubungan dengan
ternak secara individu. Nilai heritabilitas bervariasi pada setiap populasi maupun rumpun yang berbeda
serta bukan merupakan suatu nilai yang tetap. Heritabilitas yang tinggi akan menunjukkan lebih eratnya
korelasi antara nilai fenotip dan nilai pemuliaan suatu sifat. Jika nilai heritabilitas tinggi maka nilai

versi elektronik
pemuliaan dugaan akan lebih akurat. Nilai heritabilitas termasuk katagori rendah apabila nilainya antara 0
- 0,1 (0 - 10%); katagori sedang apabila lebih besar atau sama dengan 0,1 – 0,3 (10 – 30 %); sedangkan
katagori tinggi apabila lebih besar dari 0,3 % (30%) (Maylinda, 2010).
Nilai heritabilitas bobot badan dan ukuran tubuh pada sapi PO umur 365 hari lebih rendah dari penelitian
Supriyantono (2006) yang melaporkan heritabilitas bobot satu tahun dan ukuran tubuh pada umur 1 tahun

507
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan) pada sapi Bali masing-masing sebesar 0,27+0,13;
0,50+0,19; 0,34+0,28 dan 0,60+0,21. Karnaen (2004) menyatakan heritabilitas bobot sapih dan 1 tahun
sapi Madura masing-masing sebesar 0,87+0,45 dan 0,27+0,29.

versi elektronik
Perbedaan estimasi heritabilitas sifat kuantitatif pada sapi Madura disebabkan karena perbedaan populasi
yang mempunyai lingkungan yang heterogen sehingga mengurangi nilai heritabilitas dan frekuensi gen
yang juga berbeda (Kinghorn, 1992), disamping itu perbedaan metode analisis sehingga menyebabkan
perbedaan keakuratan. Pengaruh metode analisis akan menyangkut ragam genetik yang turut dianalisis,
sedangkan ragam lingkungan dialamai oleh individu selama hidupnya atau sampai individu tersebut
diamati. Nilai heritabilitas tergantung pada besarnya komponen-komponen ragam yang menyusunnya,
apabila ada perubahan pada komponen ragam yang menyusunnya, apabila ada perubahan komponen
ragam maka akan mempengaruhi nilai heritabilitas (Lasley, 1978) karena heritabilitas adalah bagian dari
keragaman total dari suatu sifat yang disebabkan oleh pengaruh genetik. Meningkatnya heritabilitas dapat
disebabkan turunnya ragam lingkungan atau meningkatnya ragam genetik, sebaliknya bila ragam
lingkungan meningkat atau ragam genetik menurun maka heritabilitas akan turun.
Pengaruh tetap untuk pendugaan nilai heritabilitas sifat kuantitatif berbeda satu sama lain, perbedaan
pengaruh ini diduga karena sebaran data yang tidak sama sehingga mempengaruhi terhadap sebaran nilai

versi elektronik
heritabilitas.
Nilai heritabilitas sifat kuantitatif sapi PO umur sapih dan 1 tahun hasil penelitian ini dikategorikan
sedang sampai tinggi karena lebih dari 0,3 (Maylinda, 2010). Menurut Warwick et al.,. (1995), nilai
heritabilitas yang dikategorikan sedang sampai tinggi dapat memberikan petunjuk, bahwa seleksi yang
dilakukan akan lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan perbaikan mutu genetik bila dibandingkan
dengan seleksi yang dilakukan pada nilai heritabilitas rendah.
Seleksi pada sapi potong lebih banyak digunakan pada bobot badan umur tertentu, kecepatan
pertumbuhan dan ukuran tubuh pada umur tertentu yang secara ekonomis menguntungkan. Bobot badan
yang sering digunakan sebagai kriteria seleksi adalah bobot lahir, bobot sapih dan bobot setahun;
kecepatan pertambahan bobot badan harian pra-sapih dan pasca sapih; sedangkan ukuran tubuh yang
sering digunakan adalah tinggi badan, panjang badan dan lingkar dada. Prinsip seleksi adalah memilih
ternak unggul secara genetik untuk dijadikan tetua pada generasi mendatang. Pada program pemuliaan
ternak, seleksi yang dilaksanakan secara konvensional akan membutuhkan waktu yang sangat lama,

versi elektronik
terutama pada ternak besar seperti sapi potong. Secara teoritis, bobot badan umur tertentu berkorelasi
genetik yang positif dengan bobot sapih; artinya bahwa apabila seleksi dilakukan untuk meningkatkan
bobot satu tahun dapat dilakukan lebih awal dengan menyeleksi sapi dengan karakter bobot sapihnya.
Bobotlahir tidak digunakan sebagai kriteria seleksi pada saat ini dikarenakan bobot lahir banyak
dipengruhi faktor induk sehingga untuk seleksi berdasarkan bobot lahir jarang digunakan.
Ukuran linier tubuh lebih baik digunakan untuk seleksi dilapang karena lebih praktis digunakan kaitannya
dalam menduga bobot badan suatu ternak. Hal ini sesuai penelitian Abdullah (2008) yang menyatakan
bahwa ukuran tubuh yang digunakan untuk menentukan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang
badan. Lingkar dada bisa menjadi pedoman untuk menduga bobot badan pedet karena badan dan rusuk
yang panjang memungkinkan sapi mampu menampung jumlah pakan yang banyak. Pada pedet,
peningkatan bobot badan karena adanya pertumbuhan otot dan tulang, sedangkan pada sapi dewasa
karena penimbunan lemak. Pertumbuhan tulang pada pedet, dominan pada tulang bagian dada dengan
arah memanjang

versi elektronik
Respon Seleksi
Kegiatan menduga respon seleski bobot badan dan ukuran linier tubuh (lingkar dada, panjang badan,
tinggi badan) sapi PO umur 205 hari dan 365 hari menggunakan intensitas seleksi yang didasarkan atas
berapa persen pejantan terpilih yang akan digunakan dalam program seleksi, seperti yang disajikan Tabel
3.

508
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa semakin kecil persentase pejantan yang diseleksi, maka semakin tinggi
respon seleksi. Selanjutnya, untuk simpangan baku yang sama, maka dengan heritabilitas yang tinggi
akan menghasilkan respon seleksi yang tinggi pula.

versi elektronik
Berdasarkan perhitungan respon seleksi pada Tabel 3, apabila kita melakukan seleksi berdasarkan bobot
badan maka yang terbaik didasarkan pada umur 205 hari karena akan terjadi peningkatan bobot badan
sebesar 7,57 kg per generasi jika menggunakan proporsi terseleksi pejantan 5 % dan 5,14 kg jika proporsi
terseleksi pejantan yang digunakan 20%.
Respon seleksi untuk ukuran linier tubuh (lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan) terbaik pada
lingkar dada umur 205 hari. Hal ini berarti bahwa jika kita melakukan seleksi ukuran tubuh lingkar dada
akan tejadi peningkatan 7,32 cm per generasi jika menggunakan proporsi terseleksi pejantan 5% dan 4,97
cm jika proporsi yang digunakan 20%.
Tabel 3. Estimasi respon seleksi langsung sifat produksi sapi PO di Loka Penelitian Sapi Potong.

PARAMETER h2 sd i R
P P P P 20% 15% 10% 5%

versi elektronik
20% 15% 10% 5%
BB 205 hari 0,2 18,35 1,4 1,554 1,755 2,06 5,14 5,70 6,44 7,57
PB 205 hari 0,3 10,37 1,4 1,554 1,755 2,06 4,36 4,83 5,46 6,42
TB 205 hari 0,23 10,96 1,4 1,554 1,755 2,06 3,53 3,92 4,42 5,20
LD 205 hari 0,29 12,23 1,4 1,554 1,755 2,06 4,97 5,51 6,22 7,32
BB 365 hari 0,15 19,93 1,4 1,554 1,755 2,06 4,19 4,65 5,25 6,17
PB 365 hari 0,42 7,79 1,4 1,554 1,755 2,06 4,56 5,05 5,72 6,72
TB 365 hari 0,24 9,00 1,4 1,554 1,755 2,06 3,02 3,36 3,79 4,46
LD 365 hari 0,3 10,91 1,4 1,554 1,755 2,06 4,58 5,09 5,74 6,75

versi elektronik
Berdasarkan perhitungan estimasi respon seleksi pada sifat kuantitatif sapi PO (Tabel 3) diketahui bahwa
besaran nilai respon seleksi tergantung pada nilai heritabilitas sifat yang diseleksi dan proporsi ternak
terseleksi. Semakin sedikit kelompok ternak terseleksi maka akan semakin besar respon seleksi yang
dihasilkan. Sebaliknya pada heritabilitas, makin besar nilai heritabilitas makin besar respon seleksi yang
diperoleh. Nilai heritabilitas tinggi yang diikuti dengan respon seleksi tinggi akan lebih meningkatkan
keberhasilan seleksi. Heritabilitas akan lebih bermanfaat bila dipandu dengan simpangan baku fenotipik
dan intensitas seleksi untuk mengetahui kemajuan genetik atau respon seleksi suatu karakter. Nilai
heritabilitas tinggi yang diikuti oleh respon seleksi tinggi merupakan hasil kerja gen aditif. Sebaliknya
suatu sifat yang memiliki nilai heritabilitas tinggi dan diikuti dengan respon seleksi rendah akibat
pengaruh gen bukan aditif (dominan, epistasis)
Respon seleksi dapat dijadikan petunjuk dalam penentuan kegiatan seleksi. Bila nilai respon seleksi suatu
karakter tinggi berarti besar peluang untuk dilakukannya perbaikan karakter tersebut melalui seleksi.

versi elektronik
Sebaliknya jika nilai respon seleksi rendah, maka kegiatan seleksi pada karakter yang bersangkutan dapat
dilakukan pada satu kali generasi untuk membentuk populasi yang seragam atau kegiatan seleksi dapat
dihentikan karena perbaikan yang akan dicapai relatif rendah.

KESIMPULAN
Dapat ditarik kesimpulan bahwa respon seleksi bobot badan terbaik didasarkan pada umur 205 hari
sedangkan pada ukuran linier tubuh didasarkan pada lingkar dada umur 205 hari. Respon seleksi pada

509
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
suatu sifat tergantung pada nilai heritabilitas, standar deviasi dan intensitas seleksi pada sifat yang akan
diseleksi. Atas dasar respon seleksi tersebut, seleksi dapat berdasarkan bobot badan dan lingkar dada
umur 205 hari untuk meningkatakan mutu genetik ternak sapi PO.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A.N., 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk,
daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit. Disertasi Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Aryogi, P.W. Prihandini dan D.B.Wijono. 2006. Pola Pembibitan Sapi Potong Lokal Peranakan Ongole
Pada Kondisi Peternakan Rakyat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006.
Departemen Pertanian. Bogor.
Falconer, D.S and T.F.C. Mackay., 1997. Introduction to Quantitative Genetics. Longman. Addison
Wesley Longman Limited. Edinburgh Gate.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapang. Gramedia. Jakarta.
Karnaen. 2004. Pendugaan Parameter Genetik, Korelasi Genetik dan Fenotipik Sapi Madura. Fakultas

versi elektronik
Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.
Kinghorn, B. 2002. Full Program with All Tecnologies and Fasilities Available. Working Papers: Bali
Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Lasley, J.F., 1978. Genetics of Livestock Improvement. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.
Muladno., 2010. Menata Perbibitan Ternak Indonesia Dalam Menjamin Ketersediaan Bibit/Benih Ternak
Di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Dalam Rangka Dies Natalis IPB Ke 47. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Maylinda, S., 2010. Pengantar Pemuliaan Ternak. Universitas Brawijaya Press. Malang
Rasyid, A, L, Affandhy dan W,C, Pratiwi. 2009. Peningkatan Mutu Genetik Sapi PO melalui Penyebaran
Pejantan Unggul Hasil Unit Pengelola Bibit Unggul (UPBU). Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor: 60-66.

versi elektronik
Supriyantono, A. 2006. Estimasi Parameter Genetik Kinerja Produksi dan Reproduksi sebagai Dasar
Penyusunan Program Pemuliaan pada Sapi Bali: Studi di P3Bali. Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya. Malang.
Talib, C. 2001. Pengembangan Sistem Perbibitan Sapi Potong Nasional. Wartazoa 11 (1): 10-19.
Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Wijono, B.D., Hartatik dan Mariyono. 2006. Korelasi Bobot Sapih Terhadap Bobot Lahir Dan Bobot
Hidup 365 Hari Pada Sapi Peranakan Ongole. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner 2006. Departemen Pertanian. Bogor.
Wijono, D.B. 2007. Pengaruh Seleksi Bobot Sapih Dan Bobot Setahun Terhadap Laju Pertumbuhan Sapi
Peranakan Ongole Di Foundation Stock. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2007. Departemen Pertanian. Bogor.

versi elektronik 510


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH PENGENCER DAN LAMA PENYIMPANAN SEMEN IN VITRO TERHADAP
KUALITAS SPERMATOZOA AYAM KAMPUNG
Rachmawati WS, Dadang Mulyadi Saleh, Sugiyatno, dan Mas Yedi Sumaryadi

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

PENDAHULUAN
Ayam kampung merupakan plasma nuftah Indonesia yang secara filogenetik berasal dari hasil
domestikasi ayam hutan merah atau Gallus gallus (Fumihito dkk, 1966; Sulandari dkk, 2007). Bentuk
tubuh ayam kampung adalah ramping, kaki panjang dengan warna bulu bervariasi dengan berat badan
dewasa jantan 1.5 – 1.8 kg dan betina 1.0 – 1.4 kg (Sartika, 2000) . Selain itu, ayam kampung rasa telur
dan daging spesifik , tahan penyakit, mampu berproduksi dengan kualitas pakan rendah, jumlah telur per
periode peneluran mencapai 100 butir per tahun, tetapi mempunyai sifat mengeram. Dewasa kelamin
ayam kampong dicapai umur 5 bulan, dan ayam jantan sudah dapat dikoleksi semennya pada umur 6
bulan. Akan tetapi, untuk digunakan sebagai pejantan dianjurkan untuk mulai ditampung semennya pada
usia 8 bulan – 2.5 tahun. Volume semen per ejakulasi hanya 0.2 – 0.5 ml, konsentrasi spermatozoa 3-7
milyard per ml ejakulat dengan dosis IB 100 -150 juta (Garner dan Hafez, 2008; Saleh, 2004).
Inseminasi buatan (IB) pada ayam kampung selain mempercepat penambahan populasi ayam, sekaligus

versi elektronik
dapat digunakan untuk memperbaiki mutu genetik ayam kampung menggunakan semen dari ayam jantan
unggul. Perbaikan mutu genetik terutama dilakukan untuk mengurangi sifat mengeramnya. Untuk
pelaksanaan IB ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kualitas awal semen segar, penggunaan
pengencer yang tepat, dan penyimpanan pada suhu rendah untuk mempertahankan kualitas semen lebih
lama. Penemuan tentang komposisi kimiawi plasma semen pertama (Lake, 1960), menyebabkan
penelitian tentang pengencer semen unggas terus diteliti. Berbagai pengencer semen ayam dapat
digunakan agar pada penyimpanan berupa chilled semen dapat tetap berkualitas (Botswala and Miles,
1992). Pengencer yang baik adalah yang mampu menyediakan sumber energi bagi spermatozoa, mampu
mempertahankan pH semen selama penyimpanan, dan bersifat isotonik yaitu memiliki osmolaritas yang
sama dengan plasma semen,sehingga kualitas semen dapat dipertahankan (Latief dkk, 2005).
Pengencer semen unggas, berbeda dengan komposisi pengencer untuk ternak lain, yaitu terutama harus
tersedia asam glutamat (Lake dan McIndoe, 1959). Selain asam glutamat, ditambahkan pula skim milk
atau albumin dari telur, antibiotic dan asam kaproik (Van Wambeke, 1967; Sexton dan Fewlass, 1978 dan

versi elektronik
Harries et al, 1963).
Penambahan pengencer sangat penting untuk mempertahankan kualitas semen ayam (Saleh, 2004).
Semen unggas yang telah diencerkan dapat disimpan hingga 24 jam tanpa merusak viabilitas dan
kemampuan membuahi (VanWambeke, 1967; Siudinzinska dan Lukaszewicz, 2008; Saleh dan Sugiyatno,
2007).
Penyimpanan secara invitro paling mudah dan sederhana dari semen yang telah diencerkan adalah pada
suhu 5o C atau pada lemari pendingin (refrigerator). Telah terbukti bahwa penggunaan pengencer mampu
mempertahankan kualitas spermatozoa (Saleh, 2006; Siudzinska dan Lukaszewick, 2008) sampai 24 jam
tanpa merusak viabilitas dan kemampuan membuahinya (VanWambeke,1967; Saleh dan Sugiyatno,
2007).
Alasan di atas merupakan landasan pemikiran untuk menguji pengencer mana yang lebih mampu
mempertahankan kualitas spermatozoa ayam kampung selama penyimpanan dan berapa lama

versi elektronik
penyimpanan mampu mempertahankan kualitas spermatozoa ayam kampung

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental laboratorium dengan materi semen dari delapan (8)
ekor ayam kampung jantan umtur 12- 18 bulan serta delapan unit kandang batere ukuran 50 X 50 X 60
cm

511
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Rancangan penelitian menggunakan pola faktorial (5X 6), dengan faktor pertama adalah pengencer (P)
yaitu: P0 (tanpa pengencer); P1 (Ringer laktat 100% tanpa putih telur); P2 (Ringer laktat 75% + 25%
putih telur); P3 (NaCL 100% tanpa putih telur) dan P4 (NaCl 75% + 25% putih telur); faktor ke dua
adalah lama penyimpanan (L), yaitu L1 (0 jam); L2 (24 jam); L3 (48 jam); L3 (72 jam); L4 (96 jam) dan

versi elektronik
L5 (120 jam)
Evaluasi hasil penelitian dilakukan menggunakan analisis variansi dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata
Terkecil
Parameter yang diamati:
• Motilitas
• Viabilitas
• Morfologi abnormal
Pengambilan data
• Koleksi semen menggunakan metode Burrows dan Quinn (1937). Data dikumpulkan setelah
semen dievaluasi secara mikroskopis (menggunakan mikroskop cahaya) dan makroskopis.
• Evaluasi semen (segar dan perlakuan)

versi elektronik
• Semen segar secara makroskopis  volume, warna, bau, pH dan viskositas; mikroskopis (semen
segar dan perlakuan) konsentrasi, motilitas massa, morfologi dan viabilitas

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil evaluasi semen segar in vitro secara makroskopis menunjukkan bahwa volume yang diperolh dari
tiap ekor ayam jantan per ejakulat adalah 0.2 – 0.5 ml dengan rataan 0.35 ml, viskositas kental, warna
putih seperti susu. Hasil evaluasi mikroskopis, rataan motilitas 85 persen, dan konsentrasi gabungan dari
delapan ekor ayam jantan adalah 2.85 – 4.6 milyar spermatozoa /ml ejakulat, dengan rataan 3.5 milyar.
Kualitas semen segar delapan ayam kampung jantan tersebut adalah baik dan memenuhi syarat untuk
keperluan inseminasi buatan (Lake, 1960; Saleh, 2004).
Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Motilitas, Viabilitas dan Abnormalitas Ayam Kampung
Setelah diberi perlakuan (Tabel 1), menunjukkan bahwa selama penyimpanan, semen ayam kampung

versi elektronik
akan mengalami penurunan, dengan kecenderungan makin lama penyimpanan maka kualitas semen
makin berkurang.
Tabel 1. Rataan persen motilitas, viabilitas dan abnormalitas spermatozoa ayam kampung pada lama
penyimpanan yang berbeda
Parameter Lama penyimpanan (jam)
0 24 48 72 96 120
Motilitas (%) 73.2+ 18.8a 63.0+ 23.2b 58.0+25.0c
43.8+24.4d 29.3+25.0e 23.3+ 9.0f
Viabilitas 79.7+18.2a 70.7+22.6b 66.2+24.9c
51.0+24.0d 36.8+26.3e 29.0+25.1f
(%)
Abnormalitas 8.1+1.0a 9.8 +1.0b 11.8+1.3c 13.2+1.5d 15.4+2.2e 18.7+ 1.9f
(%)
a-f
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

Motilitas tertinggi dicapai pada perlakuan nol jam , yaitu segera setelah pengenceran. Hasil analisis

versi elektronik
variansi menunjukkan bahwa makin lama penyimpanan, maka secara nyata menyebabkan motilitas
spermatozoa ayam kampung makin turun (P< 0.05). Hasil penelitian ini sesuai dengan Saleh 2004 ;
Siudzisk dan Lukaszewics, 2008) yang menemukan bahwa metabolisme spermatozoa berbanding positif
dengan lama penyimpanan. Makin lama penyimpanan energi yang tersedia makin menipis, sedangkan
metabolisme tetap tinggi dan sisa metabolism makin menumpuk, sehingga berakibat pada motilitas
spermatozoa semakin turun.

512
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Viabilitas spermatozoa ayam kampung adalah spermatozoa yang viable dan secara morfologi normal,
sehingga mampu membuahi ovum. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara nyata (P<0.05) lama
penyimpanan berpengaruh terhadap viabilitas spermatozoa ayam kampung. Hal ini sesuai dengan
pendapat Donoghue dan Wishart (2000). Pada penelitian ini, spermatozoa masih bertahan sampai

versi elektronik
penyimpanan selama 72 jam. Viabilitas dievaluasi menggunakan pewarnaan eosin, yang dianggap mati
adalah spermatozoa dengan setengah bagian kepala sampai ke ekor berwarna merah.
Abnormalitas spermatozoa ayam kampung, juga mengalami penurunan selama penyimpanan, meski
masih dianggap layak untuk inseminasi buatan karena angkanya masih < 20% (Garner dan Hafez, 2008).
Peneliti lain menunjukkan bahwa untuk mobilitas spermatozoa ayam, maka topografi dari permukaan
spermatozoa merupakan penentu keberhasilan fertilitas ayam jantan (Barbatao dkk, 1988). Spermatozoa
dianggap abnormal jika terjadi patah ekor, bentuk kepala dan ekor tidak normal atau selnya mengalami
kerusakan.
Pengaruh Macam Pengencer terhadap Motilitas, Viabilitas dan abnormalitas spermatozoa ayam Kampung
dapat dilihat pada Tabel 2.
Motilitas tertinggi dicapai pada perlakuan tanpa pengencer dan motilitas terendah dihasilkan oleh semen
yang ditambah dengan pengencer putih telur 100% (P6). Hasil analisis memperlihatkan macam pengencer

versi elektronik
memberikan perbadaan pengaruh yang sangat nyata (P< 0.01) terhadap motilitas dan viabilitas
spermatozoa ayam kampong. Penggunaan Ringer laktat 100% (P1) menghasilkan motilitas tertinggi
kedua. Akan tetapi, pengencer Ringer laktat 100% banyak digunakan untuk pelaksanaan Ib di lapangan,
karena fertilitas ayam yang di IB cukup tinggi. Hal ini disebabkan, pada semen yang tidak diencerkan
akan lebih cepat kering karena penguapan (Saleh, 2004; Lake dan Stewart, 1978; Siudzizka dan
Lukaszewicz, 2008).
Tabel 2. Rataan persen motilitas, viabilitas dan abnormalitas seprmatozoa ayam kampung pada pengencer
yang berbeda
Parameter Macam Pengencer
0 RL 100% RL 75%+ NaCl 100% NaCl 75% PT 100%
Pt 255 + PT 25%
Motilitas(%) 75.0+12.2a 68.5+11.4b 35.0+20.0c 51.2+29.8d 46.7+30.5e 14.3+10.1f
82.0+11.7a 75.3+11.5b 42.8+21.1c 58.5+29.5d 54.2+30.8e 21.3+15.6f

versi elektronik
Viabilitas(%)
Abnormalitas(%) 9.9 + 1.5a 10.8+1.2a 10.8+1.6 a
11.0+2.0a 11.0+2.0a 12.5+2.7a
a-f superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01)
a-a superskrip yang sama dalam baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0.05)

Pengencer putih telur menurut Sexton dan Fewlass, 1978; Bootwala dan Miles 1992, banyak mengandung
antibiotik. Akan tetapi, jika konsentrasinya terlalu tinggi akan berakibat toksik bagi spermatozoa. Selain
itu, konsistensi putih telur yang cukup kental akan mempersulit pergerakan spermatozoa, sehingga
diperlukan energy yang lebih banyak untuk motilitasnya.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa morfologi abnormal tidak dipengaruhi oleh macam pengencer
seperti pada motilitas. Hal ini disebabkan, macam pengencer yang digunakan cukup isotonis sehingga
pada penyimpanan jangka pendek tidak menyebabkan meningkatnya moirfologi abnormal spermatozoa
selama penyimpanan invitro. (Lukaszewicz, 1988; Sexton dan Fewlass, 1978)

versi elektronik
KESIMPULAN
Penyimpan semen pada suhu 50C hanya mampu mempertahankan kualitas spermatozoa selama 72 jam.
Meskipun secara tidak ada perbedaan yang mencolok antara pengencer, tetapi kualitas spermatozoa
terbaik dipertahankan dengan pemberian pengencer ringer laktat dan NaCl fisiologis. Untuk pelaksanaan
IB menggunakan semen ayam yang diencerkan dengan ringer laktat dan NaCl Fisiologis, sebaiknya
dilakukan sebelum 72 jam penyimpanan

513
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
DAFTAR PUSTAKA
Barbato GF, Cramer PG, and RH Hamerstedt. 1998. A practical in vitro sperm-egg binding assay that
defects subfertile males. Biol Reprod. 1998; 58: 686

versi elektronik
Botswala SM and RD Miles, 1992. Development of extenders for domestic fowl semen. World’s Poult.
Sci. j. 48:121 -128
Burrows WH and JP Quinn, 1937. The collection of spermatozoa from the domestic fowl and turkey.
Poutry Sci. 16:19-24.
Donoghue AM and GJ Wishart, 2000. Storage of Poultry Semen. Animal Reprod. Sci 62:213 -232.
Fumihito A, Milyake F, Sumi S, Takeda M, Ohno S and N Kondo 1994. One subspecies of red jungle
fowl (Gallus gallus gallus) suffices as the matriarchic ancestor of all domestic breeds. Proc. Natl.
Acad. Sci. USA. 91:12505 -12509
Garner DL and ESE Hafez, 2008. Spermatozoa and Seminal Plasma. Reproduction in Farm Animals. 7
ed . edited by Hafez ESE and B Hafez. Blackwell Publishing. 96 - 109

versi elektronik
Harries GC, Hobbs TD, Brown JE and LB Warren. 1963. The storage of turkey spermatozoa in sodium
citrate and carbon dioxide extenders. Poult. Sci. 42: 536 -538.
Lake PE, 1960. Studies on dilution and storage of fowl semen. J. Reprod. Fertil. 1:30 -35.
Lake PE and WM McIndoe, 1959. The glutamic acid and creatine content of cock seminal plasma.
Biochem. J. 71:303 -306.
Latief A, A. Ijaz, M. Aleem and A Mahmud. 2005. Effect of domestic pressure and pH on the shortterm
storage in the light. Lake PE. 1960. Studies on the dilution and storage of fowl semen. J. Reprod.
Fertil. 1: 30 – 35.
Lukaszewicz E, 1988. Study of extenders for cocks in the light of laboratory estimation and fertility rates
(in Polish). Zeszt. Nauk. AR we Wroclawiu. 168: 43- 59
Saleh DM dan Sugiyatno, 2006. Pengaruh Waktu Inseminasi Buatan (IB) Terhadap Fertilitas Ayam

versi elektronik
Petelur. 2005. Jurnal Produksi Ternak Mei 2006. 8: 83- 87
Saleh DM, 2004. Optimization of Semen Processing and Cryopreservation Techniques in Philippine
Native Roosters (Gallus gallus domesticus L). Doctoral Dissertation University of The
Philippines Los Banos.
Sartika T, 2000. Studi keragaman fenotipik dan genetic ayam kampong (Gallus gallus domesticus) pada
populasi dasar seleksi. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Sexton TJ and TA Fewlass, 1978. A new poultry semen extender: Effect of the extender components on
the fertilizing capacity of chicken semen stored at 5oC. Poult. Sci. 57:277 -284.
Siudinzinska A and E Lukaszewicz, 2008. Effects of semen extenders and storage time on sperm
morphology of four chicken breeds. J. Appl. Poultry Research, 17 : 101 -108
Sulandari S, Zein MSA, Paryanti S, Sartika T, Astuti M, Widyastuti T, Sujana E, Darana S, Setiawan I

versi elektronik
dan D Garnida, 2007. Sumber daya genetic ayam local Indonesia. Dalam Keragaman Sumber
Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia. Potensi dan Pemanfatannya. LIPI Press.
Van Wambeke F, 1967. Storage of fowl semen :1. Preliminary result with new extenders. J. reprod. Fertil.
13:571- 575

514
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENGARUH LAMA STIMULASI LISTRIK DENGAN ARUS SEARAH (DIRECT CURRENT)
TERHADAP KEEMPUKAN, DAYA IKAT AIR DAN SUSUT MASAK DAGING KELINCI
R. Singgih Sugeng Santosa dan Prayitno

versi elektronik
Fakultas Peternakan UNSOED
Jln. Dr. Suparno Kotak Pos 110 Telp. (0281) 638792 Purwokerto

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh lama stimulasi menggunakan arus searah terhadap
keempukan, daya ikat air dan susut masak. Materi yang digunakan adalah daging paha kelinci betina tua
(umur dua tahun) sebanyak 40 ekor. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini Rancangan Acak
Kelompok, sebagai perlakuan daging kelinci (L0) tanpa distimulasi listrik, (L1) distimulasi listrik selama
60 detik, (L2) distimulasi listrik selama 120 detik, (L3) distimulasi listrik selama 180 detik. Blok (bobot
badan) digunakan sebagai ulangan dan tiap kombinasi perlakuan diulang dua kali., Rataan dan simpang
baku keempukan, daya ikat air dan susut masak masing-masing untuk lama stimulasi 0, 60, 120 dan 180
detik adalah; 0,10 ± 0,04; 0,21 ± 0,02; 0,33 ± 0,03; 0,32 ± 0,01 (mm/g/dt), 45,19 ± 0,42; 44,25 ± 0,45;
43,76 ± 0,59; 42,26 ± 0,58 (persen), dan 35,14 ± 1,30; 38,15 ± 1,41; 39,20 ± 1,58; 39,06 ± 1,59 (persen).
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa stimulasi listrik dengan lama stimulasi yang berbeda

versi elektronik
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap keempukan dan susut masak tetapi berpengaruh tidak nyata
(P>0,05) terhadap daya ikat air. Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin lama waktu stimulasi
makin menaikan keempukan, tetapi menurunkan daya ikat air dan susut masak. Lama stimulasi yang
menghasilkan daging paling empuk adalah 120 detik
Keywords : Stimulasi Listrik, Keempukan, Daya Ikat Air, Susut Masak, Daging Kelinci

PENDAHULUAN
Kelinci merupakan ternak potensial penghasil daging karena pertumbuhannya yang sangat cepat
(Khotijah et al., 2004). Daging dari kelinci sangat mudah dicerna, lezat, rendah kalori dan lemak sehingga
sering direkomendasikan oleh ahli gizi bahwa daging kelinci lebih baik dibandingkan dengan jenis daging
lainnya (Dallezotte 2002), selain itu lemak di daging kelinci sangat tinggi kandungan asam lemak tidak
jenuhnyz (Dal Bosco et al., 2004). Kelinci muda umumnya dipelihara sebagai hewan peliharaan dan
untuk tujuan pembibitan, sedangkan kelinci yang sudah tidak produktif dan tua disembelih untuk

versi elektronik
dkonsumsi dagingnya.
Secara umum diketahui bahwa keempukkan daging dari hewan yang muda lebih empuk dibanding daging
dari hewan yang lebih tua. Keempukkan adalah salah satu karakteristik fisik penting yang menentukan
kualitas daging (Thompson, 2002). Keempukkan berhubungan erat
dengan karakteristik fisik daging lainnya, seperti pH, susut masak, dan daya ikat air. Penurunan pH
setelah ternak mati akan mempengaruhi pelepasan enzim protease. Enzim ini memecah protein daging
sehingga menyebabkan daging menjadi lebih empuk (Koohmaraie et al, 2002;. Thompson, 2002), dan
lebih lanjut akan berpengaruh pada susut masak dan daya ikat air.
Usaha untuk meningkatkan keempukkan daging ada dua metode, yakni secara kimia dan fisik. Stimulasi
listrik merupakan salah satu metode fisik yang paling praktis untuk meningkatkan keempukkan daging
(Simmons et al., 2006), karena stimulasi listrik mempercepat proses glikolisis postmortem (Alvarado
and Sams, 2000; Janz et al., 2001; Castañeda et al., 2005) selama konversi otot menjadi daging.
Stimulasi listrik umumnya menggunakan arus bolak balik (AC) dan telah lama dilaporkan dapat

versi elektronik
meningkatkan keempukan daging (Wiklund et al., 2001).
Pengempukan daging dengan metode stimulasi listrik menggunakan listrik arus searah (DC) belum
pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan tujuan mempelajari
pengaruh lama stimulasi listrik menggunakan arus DC terhadap keempukan, daya ikat air, dan susut
masak daging kelinci, serta mencari lama stimulasi listrik yang menghasilkan kualitas daging kelinci yang
terbaik.

515
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
METODE PENELITIAN
Materi penelitian yang digunakan adalah kelinci betina lokal tua (umur sekitar 2 tahun) sebanyak 40 ekor
dengan bobot kelinci minimal 1,4 kg. Peralatan yang digunakan antara lain stimulator listrik arus DC,
stabilizer tegangan listrik, seperangkat alat penentu daya ikat air, kertas saring whatman 41, penetrometer

versi elektronik
(precision), timer, termometer, waterbath, timbangan analitik, pisau, talenan, dan plastik polyethilene dan
tissue.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode experimental laboratorim. Kelinci betina tua sebanyak
40 ekor dibagi menjadi 5 kelompok berat badan yaitu K1: berat kelinci 1,4-1,65 kg ; K2: berat kelinci
1,66-1,91 kg ; K3: berat kelinci 1,92-2,17 kg ; K4: berat kelinci 2,18-2,43 kg dan K5: berat kelinci 2,44-
2,69 kg sehingga setiap kelompok berat badan terdapat 8 ekor kelinci. Delapan ekor kelinci dari setiap
kelompok dibagi menjadi 4 perlakuan (L0, L1, L2 dan L3) sehingga setiap perlakuan terdiri dua ekor.
Kelinci sebelum dipototong dipuasakan selama satu malam kemudian disembelih dengan cara memotong
vena jugularis, setelah dilakukan pemotongan dilanjutkan dengan pengulitan, pengeluaran visera atau
jeroan dan pengambilan karkas (Omojola and Adesehinwa ,2006). Masing-masing karkas pada kelompok
perlakuan diambil bagian paha kaki belakang kemudian distimulasi sesuai dengan perlakuan.Setelah
distimulasi sesuai perlakuan kemudian diukur keempukkan, daya ikat air dan susut masak. Arus listrik
yang digunakan untuk stimulasi adalah arus searah (DC) sebesar 1,5 ampere dengan voltase 16 Volt.

versi elektronik
Prosedur pengukuran keempukan
Keempukan daging diukur menggunakan alat penetrometer, daging bagian paha setelah distimulasi
diambil satu sentimeter kubik kemudian diletakkan pada meja penetrometer dan diseting atau diatur
sehinga penunjuk keempukkan pada penetrometer tepat menunjuk angka nol dan ujung jarum yang akan
menembus daging tepat bersinggunggan dengan permukaan daging. Selanjutnya batang pada
penetrometer diberi beban 50 gram (X) kemudian penetrometer di-ON-kan bersamaan dengan menekan
pencatat waktu dan dihentikan setelah 60 detik (t). Kedalaman jarum menembus daging (mm) dilihat pada
skala (Y). Keempukan daging dihitung menggunakan rumus = Y/X /t (mm/g/dt)
Prosedur pengukuran daya ikat air
Metode yang digunakan adalah metode Santosa dan Purwantini (2012) dengan prosedur sebagai berikut :
mengukur kandungan air bebas daging kelinci, caranya daging bagian paha yang sudah distimulasi
diambil sebanyak 0,3 gram (p) kemudian diletakkan di atas kertas Whatman 41dan diletakan diantara dua

versi elektronik
plat kaca. Beban seberat 35 kilogram diletakkan di atas plat kaca dan dibiarkan selama lima menit, setelah
itu beban diangkat dan daging yang telah dipres ditimbang beratnya (q). Kandungan air bebas diukur
dengan rumus :
p−q
KandunganAirBebas(%) = x100%
p
Mengukur kadar air total daging (AOAC,2000), caranya daging diambil lebih kurang lima gram
kemudian di oven pada suhu 105°C selama 10,5 jam atau sampai berat sampel konstan. Berat sampel
sebelum dioven (a) dikurangi berat sampel sesudah di oven (b) dibagi berat sampel sebelum di oven
dikalikan 100 % merupakan kadar air total (dalam persen).

a −b
KadarAirTotal (%) = x100%

versi elektronik
a
Daya Ikat Air = Kadar Air Total (%) - Kandungan Air Bebas (100%)
Prosedur pengukuran susut masak
Susut masak diukur menggunakan metode Soeparno (1994). Prosedur pengukuran susut masak
sebagai berikut : Sampel daging ditimbang seberat (X) gram, selanjutnya dimasukan ke dalam plastik,

516
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
diikat dan diberi label. Sampel daging tersebut kemudian direbus pada waterbath dengan temperatur 80oC
selama 1 jam, setelah itu sampel dikeluarkan dari plastik kemudian permukaan daging diseka dengan
kertas tissue tanpa tekanan dan ditimbang beratnya (Y) gram. Susut masak dihitung dengan rumus:

versi elektronik
X −Y
SusutMasak (%) = x100%
X

Rancangan percobaan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan menggunakan rancangan
percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan yang digunakan adalah lama stimulasi ( kuat
arus 1,5 amper dan tegangan 16 volt) yaitu (L0) tanpa stimulasi listrik, (L1) stimulasi listrik selama 60
detik, (L2) stimulasi listrik selama 120 detik dan (L3) stimulasi listrik selama 180 detik. Sebagai Blok
(kelompok) adalah berat kelinci sebanyak 5 kelompok yaitu K1: berat kelinci 1,4-1,65 kg ; K2: berat
kelinci 1,66-1,91 kg ; K3: berat kelinci 1,92-2,17 kg ; K4: berat kelinci 2,18-2,43 kg dan K5: berat kelinci
2,44-2,69 kg. Peubah yang diukur meliputi keempukan (mm/g/dt), daya iakt air (%) dan susut masak (%).

versi elektronik
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa keempukkan, daya ikat air dan susut masak kemudian dianalisis ragam
menggunakan program SAS (2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rataan dan simpang baku karakteristik fisik (keempukkan, daya ikat air dan susut masak) daging kelinci
yang distimulasi menggunakan arus searah (DC) dengan lama stimulasi berbeda ditunjukan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan dan simpang baku keempukkan, daya ikat air dan susut masak daging kelinci yang
distimulasi menggunakan arus searah (DC) dengan lama stimulasi berbeda
Keempukan Daya Ikat Air Susut Masak
Perlakuan
(mm/g/dt) (%) (%)
L0 (tanpa stimulasi listrik) 0,10a ± 0,04 45,19a ± 0,42 35,14a ± 1,30
0,21b ± 0,02 44,25a ± 0,45 38,15b ± 1,41

versi elektronik
L1 (stimulasi 60 detik)
L2 (stimulasi 120 detik) 0,33c ± 0,03 43,76a ± 0,59 39,20b ± 1,58
L3 (stimulasi 180 detik) 0,32c ± 0,01 42,26a ± 0,58 39,06b ± 1,59
Keterangan : superkrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa stimulasi listrik menggunakan arus searah dengan lama
stimulasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap keempukan dan susut masak tetapi
berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap daya ikat air.
Keempukkan. Tabel 1 menunjukkan bahwa stimulasi listrik menggunakan arus searah dapat
meningkatkan keempukan, hal ini dikarenakan stimulasi listrik memberikan energi dan energi ini
menyebabkan temperatur daging yang distimulasi meningkat dan akan mempercepat pemecahan ATP dan
kontraksi otot sehingga ATP menjadi berkurang dan serat otot strukturnya menjadi longgar dan daging
menjadi lebih empuk. Selain itu semakin lama waktu stimulasi berarti energi yang diberikan pada daging
semakin tinggi sehingga akan mempercepat proses glikolisis dalam daging. Hasil glikolisis adalah asam

versi elektronik
laktat sehingga pH daging menjadi rendah. pH yang rendah akan merangsang enzim Aktomiosin bekerja
utuk memisahkan ikatan aktin dan miosin pada daging sehingga pertautan antar serat daging menjadi
longgar dan daging menjadi empuk. Hopkins dan Thompson (2001) dan Thompson (2002) menyatakan
bahwa pH yang rendah pada daging yang stimulasi akan menyebabkan enzin aktomiosin menjadi aktif
untuk memecah ikatan aktin dan miosin sehingga diperoleh daging yang lebih empuk. King et al. (2004)
melaporkan bahwa peningkatan suhu daging selama stimulasi mempercepat pemecahan ATP dan

517
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kontraksi otot, sehingga susunan serat otot merenggang. Perenggangan serat otot meningkatkan
keempukan daging (Pospiech et al., 2003).
Daya ikat air. pH yang rendah karena percepatan proses glikolisis akibat stimulasi listrik selain

versi elektronik
merangsang enzin aktomiosin menjadi aktif untuk memecah ikatan aktin dan miosin, juga menyebabkan
protein daging terdenaturasi sehingga menyebabkan air dalam daging menjadi keluar, ini menunjukkan
bahwa kemampuan protein daging dalam mengikat air menjadi menurun. Pada penelitian ini lama
stimulasi listrik tidak berpengaruh nyata(P>0.05) terhadap daya ikat air daging kelinci (Tabel 1), namun
cenderung makin lama stimulasi menurunkan daya ikat air daging. Wiklund et al. (2001) melaporkan
bahwa stimulasi listrik tidak memiliki efek yang nyata merugikan pada drip loss, namun daging dengan
kemampuan mengikat air rendah berarti bahwa protein daging memiliki kemampuan yang rendah untuk
menahan air, dan ini akan menyebabkan lebih banyak air yang hilang atau dilepaskan pada saat daging
tersebut dimasak.
Susut masak (cooking loss). Hasil penelitian ini menunjukkan bawa stimulasi listrik berpengaruh sangat
nyata (P<0.01) meningkatkan susut masak. Susut masak merupakan kebalikan dari daya ikat air, ini
berarti daging yang mempunyai kemampuan mengikat air (daya ikat air) yang rendah maka daging
tersebut susut masaknya tinggi. Tabel 1 menunjukkan bahwa daging yang distimulasi lebih tinggi susut

versi elektronik
masaknya dibanding dengan daging yang tidak distimulasi, hal ini dikarenakan daging yang distimulasi
mengalami denaturasi protein yang mengakibatkan kemampuan protein daging dalam mengikat air
menurun. Daging dengan kemampuan mengikat air yang rendah akan banyak mengeluarkan air pada saat
daging tersebut mengalami proses pengolahan khususnya perebusan. Peningkatan lama stimulasi dari 60
detik sampai 180 detik tidak mempengaruhi susut masak begitu juga pada daya ikat air daging, hal ini
diduga peningkatan lama stimulasi dari 60 detik sampai 180 detik menghasilkan perubahan pH namun
relatif kecil sehingga pengaruhnya kecil terhadap daya ikat air dan susut masak. Maria et al. (2001)
menyatakan bahwa stimulasi listrik yang dilakukan pada 24 jam pos-mortem tidak berpengaruh nyata
pada perubahan pH.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa stimulasi listrik menggunakan arus searah (DC)
dapat memperbaiki kualitas daging kelinci khususnya keempukkan. Lama stimulasi terbaik yang
menghasikan keempukkan tertinggi adalah 120 detik.

versi elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Alvarado, C. Z., and A. R. Sams. 2000. Rigor mortis development in turkey breast muscle and the
effect of electrical stunning. Poult.Sci.79:1694-1698
AOAC (2000). Official Methods of Analysis, 19th Edition AOAC Inter. Inc. Washington, DC Pp 1219.
Castañeda, M. P., E. M. Hirschler, and A. R. Sams. 2005. Functionality of electrically stimulated
broiler breast meat. Poult. Sci.84:479-481.
Dal Bosco, A., C. Castellini, L. Bianchi and C. Mugnai. 2004. Effect of dietary [alpha]-linolenic acid
and vitamin e on the fatty acid composition, storage stability and sensory traits of rabbit meat.
Meat Sci. 66:407-413
Dallezotte A (2002). Perception of rabbit meat quality and major factors influencing the rabbit carcass
and meat quality. Livestock Prod. Sci.75: 11 - 32.

versi elektronik
Hopkins D. L and J. M Thompson. 2001.The relationship between tenderness, proteolysis, muscle
contraction and dissociation of actomyosin. Meat Sci. 57:1-12.
Janz, J. A. M, J. L. Aalhus and M. A. Price. 2001. Blast chilling and low voltage electrical stimulation
influences on bison (Bison bison) meat quality. Meat Sci. 57:403-411.

518
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Khotijah, L,, R, G. Pratas and E. Fiberty. 2004.Penampilan kelinci persilangan lepas sapih yang
mendapat ransum dengan beberapa tingkat penggunaan ampas teh. Media Peternakan 27:
25-29.

versi elektronik
King, D. A., K. L. Voges, D. S. Hale, D. F. Wildron, C. A. Taylor and J. W. Savell. 2004. High
voltage electrical stimulation enhances muscle tenderness, increases aging response, and
improves muscle colour from cabrito carcasses. Meat Sci. 68:529-535.
Koohmaraie, M., M. P. Kent, S. D. Shackelford, E. Veiseth and T. L. Wheeler. 2002. Meat tenderness
and muscle growth: Is there any relationship? Meat Sci. 62:345-352.
Maria, G., M. Lopez, R. Lafuente and M. L. Moce. 2001. Evaluation of electrical stunning methods
using alternative frequencies in commercial rabbits. Meat Sci. 57:139-143.
Omojola, A.B., and A. O. K. Adesehinwa. (2006). Meat Characteristics of Scalded, Singed and
Conventionally dressed rabbit carcasses World J. Zool.1(1): 24-29.
Pospiech, E., B. Grzes, A. Lyczynski, K. Borzuta, M. Szalata and Mikolajezak. 2003. Muscle
proteins and their changes in the process of meat tenderization. Anim. Sci. Rep 21:133-151

versi elektronik
Santosa, R. S. S. and D. Purwantini. 2012.. The Effect of Different Current of Electrical Stimulation on
Water Holding Capacity, Tenderness, Cooking Losses and pH of Spent Layer Meat. Proc. The
1st Poult. Int. Sem. Andalas University Press. Padang. p. 344-348
SAS (2002) Statistical Analysis System. SAS Stat. Version 9 SAS Institute Inc. Garry, NC, U.S.A.
Simmons, N. J, C. C. Daly, C. R. Mudford, I. Richards, G. Jarvis and H. Pleiter. 2006. Integrated
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
technologies to enhance meat quality - an australasian perspective. Meat Sci. 74:172-179.
Thompson, J. 2002. Managing meat tenderness. Meat Sci. 62:295-308.
Wiklund, E., J. M. Stevenson-Barry, S. J. Duncan, and R. P. Littlejohn. 2001. Electrical stimulation of
red deer (cervus elaphus) carcasses; effects on rate of ph-decline, meat tenderness, colour
stability and water-holding capacity. Meat Sci. 59:211-220.

versi elektronik

versi elektronik 519


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
LAMA SIMPAN SPERMA KAMBING PERANAKAN ETTAWA DALAM BAHAN
PENGENCER SUSU SKIM DAN AIR KELAPA PADA SUHU PENYIMPANAN 10οC
Sigit Bintara dan Yuni Suranindyah

versi elektronik
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada; email: sigitbintara@gmail.com;
y_suranindyah@hotmail.com

ABSTRAK
Salah satu permasalahan yang dijumpai di daerah terpencil jika kita ingin melakukan inseminasi buatan pada
kambing adalah pembuatan bahan pengencer sperma. Untuk itu perlu diteliti bahan pengencer yang sederhana
cara pembuatannya dan bahan yang mudah didapat di lapangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi lama simpan sperma kambing Peranakan Ettawa yang diencerkan dengan susu skim dan air
kelapa pada suhu penyimpanan 10οC. Dalam penelitian ini digunakan 5 ekor kambing Peranakan Ettawa
jantan dengan umur rata-rata 3 tahun yang memiliki konsentrasi sperma lebih dari 2.000 juta/ml, motilitas lebih
dari 70%, dan abnormalitas kurang dari 15%. Penampungan sperma dilakukan menggunakan vagina buatan
dengan frekuensi penampungan dua kali seminggu. Sperma hasil penampungan diencerkan menggunakan
berbagai level pengencer susu skim dengan air kelapa (P1=20% susu skim + 80% air kelapa; P2=15% susu
skim + 85% air kelapa; P3=10% susu skim + 90% air kelapa, P4=5% susu skim + 95% air kelapa; P5=100%

versi elektronik
air kelapa). Sperma yang telah diencerkan kemudian disimpan pada suhu 10οC dan diuji motilitasnya setiap
24 jam sekali sampai motilitas sperma kurang dari 30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level
pengencer susu skim dengan air kelapa berpengaruh (P<0,05) terhadap lama simpan sperma. Bahan pengencer
P2 mempunyai lama simpan yang paling lama (3,4±0,55 hari) dibandingkan dengan P1 (2,6±0,55 hari), P3
(2,6±0,55 hari), P4 (2,4±0,55 hari), dan P5 (2,2±0,45 hari).
Kata kunci: Pengencer sperma, susu skim, air kelapa, kambing Peranakan Ettawa

ABSTRACT
One of the problems encountered during artificial insemination on goats in remote areas is the sperm
diluent. For that reason, it is necessary to carry out study on spem diluent that is simple and easy to find.
The aim of the study is to evaluate the storage time of Ettawa bred goat sperm diluted in skim milk and
coconut water at the storage temperature of 100C. The study used 5 male Ettawa cross bred goats with the
average age of 3 years having sperm concentration more than 2.000 million/ml, motility more than 70%

versi elektronik
and abnormality less than 15%. The sperm was contained using artificial vagina with frequency of twice a
week. The contained sperm was diluted in various level of diluent of skim milk and coconut water
(PI=20% skim milk + 80% coconut water; P2=15% skim milk + 85% coconut water; P3=10% skim milk
+ 90% coconut water; P4=5% skim milk + 95% coconut water; P5=100% coconut water). The diluted
sperm was then stored at temperatur of 100C and was tested its motility every 24 hours until the sperm
motility reached less than 30%. The results showed that the level of diluent of skim milk and coconut
water influenced (P<0.05) the storage time of the sperm. Diluent P2 had the longest storage time
(3.4±0.55 days) compared to P1(2.6±0.55 days), P3 (2.6±0.55 days), P4 (2.4±0.55 days), and P5
(2.2±0.45 days).
Keywords: Sperm diluent, skim milk, coconut water, Ettawa cross bred goats.

PENDAHULUAN
Program inseminasi buatan (IB) dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing. IB
dapat digunakan sebagai sarana peningkatan mutu genetik pada suatu wilayah, karena dengan IB seekor

versi elektronik
pejantan unggul dapat mengawini lebih banyak betina. Namun demikian masih banyak terdapat kendala
terhadap program IB kambing tersebut terutama untuk daerah-daerah terpencil. Kendala tersebut antara
lain ketersediaan sperma beku yang sulit didapat atau ketersediaannya yang tidak kontinyu serta nitrogen cair
sebagai media penyimpan sperma beku yang juga sulit diperoleh. Selain itu bisa juga disebabkan oleh terbatasnya
persediaan semen beku yang ada, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perkawinan inbreeding yang akan
berakibat menurunnya produktivitas ternak. Untuk itu perlu dicari langkah strategis guna mensukseskan program IB

520
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kambing dengan pengembangan metode alternatif preparasi sperma cair yang dapat disimpan dalam waktu yang
relatif lebih lama dengan cara menambahkan bahan pengencer. Bahan pengencer tersebut harus mudah
pembuatannya serta harga yang murah.

versi elektronik
Penekanan penelitian ini adalah penggunaan bahan pengencer sperma yang pembuatannya relatif
mudah dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh di lapangan serta harga yang murah. Penyimpanan
sperma dilakukan dengan lemari pendingin biasa dengan suhu 100C. Motilitas dan fertilitas
spermatozoa hasil dari pengenceran ini diharapkan mempunyai kualitas yang bagus sehingga layak untuk
diinseminasikan pada betina.
Atas dasar permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan, untuk mengetahui pengaruh bahan pengencer
susu skim dan air kelapa terhadap lama simpan sperma kambing Peranakan Ettawa pada suhu 100C.
Kambing Peranakan Ettawa
Kambing PE merupakan kambing hasil perkawinan silang antara kambing Kacang dengan kambing
Ettawa. Kambing PE merupakan kambing yang cukup mudah untuk beradaptasi dengan kondisi dan
habitat di Indonesia dan dikenal juga sebagai kambing Jawa Randu (Budisatria dan Santosa, 2009).
Kambing PE merupakan tipe kambing dwiguna, yaitu yang memiliki fungsi ganda sebagai produsen
daging dan susu. Postur tubuh kambing PE berada di tengah-tengah antara kambing Ettawa dan

versi elektronik
kambing Kacang. Warna rambut dari kambing PE adalah bercak hitam, coklat, dan kadang ada warna
putih. Bentuk permukaan wajah concave, telinga panjang menggantung ke bawah sepanjang 15-30 cm,
beberapa diantaranya memiliki panjang 25-40 cm. Jantan dewasa memiliki tinggi badan 65-70 cm,
sementara betina 55-60 cm. Jantan memiliki rambut tebal dan panjang pada bagian leher dan shoulder.
Kambing PE jantan memiliki ukuran tubuh yang besar dan sangat bagus dikembangkan untuk produksi
daging. Di sisi lain, kambing betina jenis ini lebih sebagai ternak pabrik susu, permukaan tubuh segi
tiga simetris dengan ambing dan puting besar (Budisatria dan Santosa, 2009).
Sperma
Sperma merupakan cairan selular kental yang mengandung spermatozoa yang yang diejakulasikan oleh
pejantan. Spermatozoa merupakan bagian dari sperma yang dibentuk di dalam tubulus seminiferus testes.
Tubulus seminiferus mengandung satu rangkaian kompleks perkembangan sel benih yang akan
membentuk sel gamet jantan. Sel spermatozoa dewasa adalah sel panjang yang terdiri dari satu kepala

versi elektronik
yang mengandung inti dan satu ekor mengandung peralatan gerak untuk motilitas sel (Garner dan Hafez,
2000). Konsentrasi, persentase motilitas dan morfologi adalah merupakan kriteria penting pada evaluasi
sperma sebelum digunakan untuk IB (Bearden, et al., 2004).
Plasma seminal pada sperma berfungsi sebagai media kimiawi dari ejakulat. Plasma seminal
mempunyai fungsi sebagai penyediaan nutrisi dan meningkatkan motilitas spermatozoa. Vesikula
seminalis mensekresikan cairan yang mengandung berbagai protein dan fruktosa sebagai penyedia daya
untuk motilitas spermatozoa dan juga bertanggungjawab untuk membuat penyanggah alkali dalam
proporsi paling besar. Ekskresi kelenjar prostata mengandung protease untuk fluidizing sperma, yang
mendukung motilitas dan pematangan spermatozoa. Seminal plasma mempunyai volume 2-6 ml, pH 7-8
(Hill, 2008).
Motilitas spermatozoa
Motilitas atau daya gerak spermatozoa merupakan presentase dari spermatozoa yang bergerak maju ke
depan. Motilitas atau daya gerak spermatozoa digunakan sebagai alat pergerakan spermatozoa ke seluruh

versi elektronik
organ reproduksi betina. Motilitas ini juga berfungsi untuk menembuskan kepala spermatozoa ke dalam
sel telur. Faktor yang dapat mempengaruhi motilitas spermatozoa antara lain suhu, cahaya sinar matahari,
oksigen, metabolisme spermatozoa, elektrolit dan non elektrolit, pH, tekanan osmotik, serta pengenceran
(Toelihere,1985). Menurut Gomes (1977) motilitas spermatozoa kambing adalah 80% sedangkan Sunardi
(1989) mengungkapkan bahwa motilitas kambing Peranakan Ettawa adalah 55 sampai 80%.

521
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Konsentrasi spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa merupakan jumlah spermatozoa per satuan volume sperma. Penghitungan
konsentrasi spermatozoa dapat dilakukan dengan cara langsung menggunakan alat haemocytometer

versi elektronik
(Partodiharjo, 1992). Konsentrasi spermatozoa kambing dan domba berkisar 1.000 sampai 6.000 juta per
ml (Toelihere,1993), 1.500 sampai 5.000 juta per ml (Evan dan Maxwell, 1987), 2.000 sampai 6.000 juta
per ml (Jainudeen dan Hafez, 1993), dan 2.900 sampai 3.700 juta per ml (Cheminieau et al. (1991).
Viabilitas spermatozoa
Guna menentukan jumlah spermatozoa yang hidup, harus dihitung sedikitnya 100-200 spermatozoa di
bawah mikroskop. Persentase spermatozoa yang hidup dalam sperma yang baik menurut Toelihere (1993)
adalah 90%, sedangakan Rachmawati (2010) dalam penelitiannya mendapatkan rata-rata spermatozoa
hidup pada kambing Peranakan Ettawa sebesar 81,09%.
Abnormalitas spermatozoa
Abnormalitas spermatozoa dapat diamati dengan pembuatan preparat apus. Abnormal primer adalah
bentuk abnormalitas spermatozoa sebagai akibat adanya gangguan pada testikuler contohnya abnormalitas
primer antara lain kepala kecil, kepala besar, kepala piriformis, kepala dua, ekor dua, bagian tengah dan

versi elektronik
ekor melingkar, dan pertautan abaxial. Abnormalitas sekunder adalah bentuk spermatozoa abnormal
terjadi karena kurang matangnya spermatozoa di dalam epididimis, dapat pula terjadi karena pengaruh
pendinginan atau pemanasan, contohnya kepala dan ekor terputus, leher terbelit, dan immature. Setiap
ejakulasi sperma kemungkinan terdapat beberapa spermatozoa abnormal. Jika tingkat abnormalitas
spermatozoa berada pada kisaran 8% sampai 10% tidak akan berpengaruh terhadap fertilitas tetapi jika
abnormalitas spermatozoa melampaui 25% dari total spermatozoa dalam satu ejakulasi maka akan
menurunkan fertilitas (Bearden dan Fuquay, 1997).
Bahan Pengencer Sperma
Bahan pengencer sperma. Menurut Toelihere (1993) bahwa spermatozoa tidak dapat hidup dalam waktu
lama kecuali bila ditambahkan pengencer di dalamnya, penambahan larutan pengencer di dalamnya untuk
menjamin kebutuhan fisik dan kimia untuk mempertahankan kehidupan spermatozoa secara invitro dan
waktu penyimpanan. syarat sebagai bahan pengencer sperma adalah bahan pengencer harus isotonik,
dapat berfungsi sebagai buffer, melindungi sperma dari cold shock, dapat mensuplai nutrien yang cukup

versi elektronik
untuk metabolisme spermatozoa, mengandung bahan yang dapat mengontrol kontaminasi mikrobia,
melindungi spermatozoa dari pendinginan dan proses thawing, dan dapat mempertahankan fertilitas
spermatozoa selama penyimpanan (Bearden dan Fuquay, 1997).
Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai pengencer sperma adalah susu skim. Susu skim
mengandung nutrisi yang dapat diperlukan oleh spermatozoa sebagai sumber energi. Selain itu, susu skim
juga mengandung zat lipoprotein dan lesitin yang dapat melindungi spermatozoa dari pengaruh cold
shock. Selain susu skim air kelapa juga bisa dijadikan bahan pengencer sperma. Air kelapa mengandung
karbohidrat 4,11%-7,27% (Afiati et al., 2003).
Penyimpanan sperma
Guna mempertahankan kualitas, sperma yang telah ditampung dapat dipreservasi dengan cara diencerkan
kemudian disimpan dalam tempat yang bertemperatur rendah. Namun demikian penyimpanan sperma pada
temperatur yang rendah dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sperma yang diakibatkan terjadinya cold shock.

versi elektronik
Kerusakan sperma karena cold shock dapat dikurangi dengan menggunakan bahan pengencer yang tepat. Menurut
Toelihere (1993), pengencer yang mengandung lechitin dan lipoprotein dapat melindungi spermatozoa dari cold
shock. Berdasarkan hasil penelitian suhu yang baik untuk penyimpanan sperma cair adalah 14°C
(Yeste, et al., 2008) dan atau 15-18°C (Bearden, et al., 2004).

522
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan 5 ekor kambing Peranakan Ettawa jantan dengan umur rata-rata 3 tahun yang
memiliki konsentrasi sperma lebih dari 2.000 juta/ml, motilitas lebih dari 70%, dan abnormalitas kurang dari
15%., serta kondisi ternak sehat. Penampungan sperma menggunakan vagina buatan, dengan frekuensi

versi elektronik
penampungan dua kali seminggu. Sperma hasil penampungan dievaluasi kualitas dan kuantitasnya untuk
mengetahui layak tidaknya untuk dilakukan perlakuan lebih lanjut. Sperma yang memenuhi syarat lalu
diencerkan menggunakan berbagai level pengencer susu skim dan air kelapa (P1=20% susu skim + 80% air
kelapa; P2=15% susu skim + 85% air kelapa; P3=10% susu skim + 90% air kelapa, P4=5% susu skim + 95%
air kelapa; P5=100% air kelapa). Konsentrasi hasil pengenceran ini dibuat seragam yaitu 300 juta
spermatozoa/ml. Pola perlakuan mengikuti rancangan latin square seperti yang terlihat pada Tabel 1. Selama
penyimpanan motilitas sperma diamati setiap 24 jam sekali. Pengamatan dilakukan mulai hari ke-1 (setelah
pengenceran) sampai motilitasnya kurang dari 30%.
Pemeriksaan terhadap motilitas spermatozoa dilakukan dengan cara meneteskan satu tetes sperma di atas
gelas objek lalu ditutup dengan kaca penutup. Motilitas ditentukan menurut kriteria Toelihere (1993),
yaitu:
0. Tidak ada gerak maju

versi elektronik
1. Jelek
2. Cukup, 30-50% yang bergerak maju
3. Baik, 50-75 yang bergerak maju
4. Baik sekali, 75-80% bergerak maju
5. Sempurna, >80% bergerak maju
Tabel 1. Rancangan Latin Square untuk mengetahui pengaruh 5 bahan pengencer ( P1=20% susu skim +
80% air kelapa; P2=15% susu skim + 85% air kelapa; P3=10% susu skim + 90% air kelapa, P4=5% susu
skim + 95% air kelapa; P5=100% air kelapa)
Penampungan ke
Kambing No.
I II III IV V
1 P1 P2 P3 P4 P5

versi elektronik
2 P2 P3 P4 P5 P1
3 P3 P4 P5 P1 P2
4 P4 P5 P1 P2 P3
5 P5 P1 P2 P3 P4

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik sperma segar
Hasil pengamatan dan penilaian secara makroskopis dan mikroskopis karakteristik sperma kambing
Peranakan Ettawa yang terdiri dari volume, pH, konsentrasi, motilitas, viabilitas, dan abnormalitas dapat
dilihat pada Tabel 2. Rata-rata volume sperma kambing Peranakan Ettawa pada penelitian ini adalah 1,38
± 0,37 ml (Tabel 2). Hasil tersebut berada pada kisaran normal sebagaimana yang dinyatakan Jainudeen
dan Hafez (1993) bahwa volume sperma kambing berkisar antara 0,1 sampai 1,5 ml. Volume sperma

versi elektronik
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain bangsa ternak, ukuran badan dan frekuensi penampungan.
Volume sperma merupakan hal yang sangat penting dalam penilaian kualitas sperma karena akan
menentukan tingkat pengenceran serta banyaknya betina yang dapat diinseminasi.

523
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 2. Karakteristik sperma segar kambing Peranakan Ettawa
Variabel Rerata (x ± sd)
Volume (ml) 1,38±0,37

versi elektronik
pH 6,87±0,63
Konsentrasi (106/ml) 3.100±266
Motilitas (%) 81,5±3,66
Spermatozoa hidup (%) 91,40±8,39
Abnormalitas spermatozoa (%) 3,66±1,98

Rata-rata pH sperma segar kambing Peranakan Ettawa pada penelitian ini adalah 6,87±0,63 (Tabel 2).
Hasil tersebut sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan Rahcmawati (2010) yang menyatakan bahwa
rata-rata pH sperma kambing Peranakan Ettawa adalah 6,62± 0,49. Namun demikian hasil penelitian ini
masih berada pada kisaran normal sebagaimana yang dinyatakan Bearden and Fuquay (1997) bahwa pH
sperma kambing berkisar antara 5,7 sampai 7,3. Salah satu faktor yang mempengaruhi pH sperma adalah
konsentrasi spermatozoa, semakin tinggi konsentrasi spermatozoa maka semakin rendah pH sperma. Hal

versi elektronik
ini disebabkan oleh spermatozoa dalam jumlah yang banyak akan menghasilkan asam laktat dalam
jumlah banyak pula sehingga sperma semakin asam atau pH semakin rendah.
Rata-rata konsentrasi sperma segar kambing Peranakan Ettawa pada penelitian ini adalah 3.100±266
juta/ml (Tabel 2). Hasil tersebut berada pada kisaran normal sebagaimana yang dinyatakan Evan dan
Maxwell (1987) bahwa konsentrasi sperma kambing berkisar antara 2.500 sampai 5.000 juta/ml.
Penghitungan konsentrasi spermatozoa sangat penting dalam penilaian kualitas sperma karena konsentrasi
spermatozoa bersama-sama dengan volume sperma dan motilitas spermatozoa akan menentukan tingkat
pengenceran dan banyaknya betina yang dapat diinseminasi.
Rata-rata motilitas sperma segar kambing Peranakan Ettawa pada penelitian ini adalah 81,5±3,66%
(Tabel 2). Hasil tersebut berada pada kisaran normal sebagaimana yang dinyatakan Evan dan Maxwell
(1987) bahwa motilitas sperma kambing berkisar antara 0 sampai 90%. Penghitungan motilitas
spermatozoa sangat penting dalam penilaian kualitas sperma karena motilitas spermatozoa bersama-sama
dengan volume sperma dan konsentrasi spermatozoa akan menentukan tingkat pengenceran dan

versi elektronik
banyaknya betina yang dapat diinseminasi.
Rata-rata viabilitas sperma segar kambing Peranakan Ettawa pada penelitian ini adalah 91,40±8,39%
(Tabel 2). Hasil ini dapat dikatakan baik karena sedikit lebih tinggi dari yang hasil penelitian yang
didapatkan oleh Noor (1998) rata-rata viabilitas sperma adalah 90,88±1,47. Menurut Toelihere (1993),
daya hidup spermatozoa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain sinar matahari, pH, tekanan osmotik,
pengaruh elektrolit dan non elektrolit, adanya kuman, temperatur penyimpanan, dan pengenceran
Rata-rata abnormalitas sperma segar kambing Peranakan Ettawa pada penelitian ini adalah 3,66±1,98%
(Tabel 2). Menurut Toelihere (1993) abnormalitas spermatozoa kambing dan domba yang fertil adalah 5
sampai 15 %. Pada dasarnya pada setiap ejakulasi akan dijumpai adanya spermatozoa yang abnormal.
Jika tingkat abnormalitas spermatozoa berada pada kisaran 8% sampai 10% tidak akan berpengaruh
terhadap fertilitas tetapi jika abnormalitas spermatozoa melampaui 25% dari total spermatozoa dalam satu
ejakulasi maka akan menurunkan tingkat fertilitas (Bearden dan Fuquay, 1997).

versi elektronik
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas sperma segar yang terdiri dari volume, pH, konsentrasi,
motilitas, viabilitas dan abnormalitas berada dalam kisaran yang normal sehingga sperma memenuhi
syarat untuk dilakukan proses lebih lanjut.
Lama Simpan Sperma

524
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
ο
Rata-rata lama simpan sperma kambing PE pada suhu 10 C dalam 5 macam bahan pengencer yang
berbeda tertera pada Tabel 3.
ο
Tabel 3. Rata-rata lama simpan sperma kambing PE pada suhu 10 C dalam 5 macam bahan pengencer

versi elektronik
( P1=20% susu skim + 80% air kelapa; P2=15% susu skim + 85% air kelapa; P3=10% susu skim + 90% air
kelapa, P4=5% susu skim + 95% air kelapa; P5=100% air kelapa)
Lama Simpan (hari)
Ulangan
P1 P2 * P3 P4 P5
1 2 3 3 2 2
2 2 4 3 2 2
3 3 3 2 2 2
4 3 3 2 3 2
5 3 4 3 3 3
Rata-rata 2,6 ±0,55 3,4 ±0,55 2,6 ±0,55 2,4 ±0,55 2,2 ±0,45
*)
Terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05)

Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa level pengencer susu skim dengan air kelapa berpengaruh

versi elektronik
(P<0,05) terhadap lama simpan sperma kambing PE. Dari kelima perlakuan, perlakuan P2 (15% susu skim +
85% air kelapa) mempunyai lama simpan yang paling lama yaitu 3,4±0,55 hari, dibandingkan dengan P1
(20% susu skim + 80% air kelapa) (2,6±0,55 hari), P3 (100% susu skim + 90% air kelapa) (2,6±0,55 hari),
P4 (5% susu skim + 95% air kelapa) (2,4±0,55 hari), dan P5 (100% air kelapa) (2,2±0,45 hari). Hal tersebut
diduga pada perlakuan P2 terdapat kombinasi yang ideal antara pemberian susu skim dengan air kelapa,
dimana terjadi substitusi antara zat-zat nutrisi yang terkandung di dalam susu skim dan air kelapa guna
mempertahankan motilitas spermatozoa pada suhu penyimpanan 10ºC.
Berdasarkan rata-rata masing-masing perlakuan terhadap sperma terlihat bahwa pada perlakuan P3, P4
dan P5 lama simpan sperma cenderung menurun, hal ini diduga karena semakin berkurangnya jumlah
nutrisi yang diperlukan untuk metabolisme spermatozoa yang disebabkan menurunnya level susu skim
sehingga akan menurunkan motilitas spermatozoa. Selain itu air kelapa saja tidak mampu melindungi
spermatozoa dari temperatur rendah, oleh karena itu perlu ditambah dengan susu skim. Sedangkan pada perlakuan
P1 dengan level susu skim yang lebih tinggi dari P2, lama simpan sperma justru lebih rendah hal ini
diduga karena terlalu tingginya level susu skim sehingga akan mengganggu metabolisme spermatozoa,

versi elektronik
yang mengakibatkan menurunnya motilitas spermatozoa. Lama simpan sperma pada penelitian ini sedikit
lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Siregar dan Hamdan (2004) yang menggunakan bahan
pengencer air kelapa dan sitrat kuning telur, dimana dihasilkan lama simpan 2,33±0,58 nari.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara susu skim dan air kelapa dapat
digunakan sebagai bahan pengencer sperma kambing Peranakan Ettawa. Kombinasi 15% susu skim
dengan 85% air kelapa memberikan lama simpan sperma yang paling baik.

DAFTAR PUSTAKA
Afiati, B.Tappa, dan Djuarsawidjaja. 2003. Pengaruh Perbandingan Kuning Telur dan Air Kelapa
terhadap Daya Tahan Hidup (Viabilitas) Spermatozoa Sapi Hasil Pemisahan. Media Peternakan
26(3):82-87

versi elektronik
Bearden, H.J. and J. W. Fuquay. 1997. Applied Animal Reproduction fourth edition. Prentice Hall.
United States of America.
Bearden, H. J., J.W. Fuquay, and S.T. Willard, 2004. Sperma processing, storage, and handling. In:
Applied Animal Reproduction, 6th edition, Prentice-Hall Inc., New Jersey.

525

61
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Budisatria, I.G.S. and K.A. Santosa, 2009. Germ Plasm of Goats in Indonesia. Faculty of Animal Science.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Chemineau, P., Y, Cagnie. Y, Guerin. P, Orgeur and J. C. Vallet. 1991. Training Manual on artificial

versi elektronik
Insemination in Sheep and Goat. Food and Agricultural Organization of The united Nations.
Rome.
Evans, G dan W. M. C Maxwell. 1987. Salamon’s Artificial Insemination of Sheep and Goats.
Butterworth Pty Ltd. Victoria.
Jainudeen, M. R. dan E. S. E. Hafez. 1993). Sheep and Goats. In: Reprpduction in Farm Animals. 6 th, E.
S. E. Hafez, ed. Lea and Febiger, Philadelphia. pp. 330-340.
Garner, D.L. and E.S.E. Hafez. 2000. Spermatozoa and seminal plasma. In: Reproduction in Farm
Animals. B.Hafez/E.S.E. Hafez. (Ed.) 7th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. P:
165-167.
Gomes, W., 1977. Artificial Insemination. In: Reproductive in Domestic Animals. H.H. Cole and P.T
Cupps, eds. Academic Press. New York. San Fransisco. London. p. 265.

versi elektronik
Hill, M. 2008. Spermatozoa capacitation. UNSW Embryology. University of New South Wales, Sydney,
Australia. http://embryology.med.au/people.htm., www. Wikipedia. Com/UNSW Embryology
ISBN: 978 0 7334 2609 4.
Noor, A.S. 1998. Pengaruh Bahan Pencuci Sperma Terhadap Motilitas Speramtozoa Dengan Lama
Penyimpanan Yang Berbeda Pada Kambing Peranakan Ettawa. Skripsi S-1, Fak. Peternakan
UGM. Yogyakata
Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Rachmawati, L. 2010. Perbandingan Kuantitas dan Kualitas Sperma Kambing Kacang, Kejobong dan
Peranakan Ettawa. Skripsi S-1, Fak. Peternakan UGM. Yogyakarta.
Siregar, T.N. dan Hamdan. 2004. Evaluasi daya tahan hidup spermatozoa kambing Peranakan Ettawah
dalam beberapa pengencer sederhana
Sunardi. 1989. Karakteristik Semen Kambing Peranakan Ettawa dan Lama Daya Hidup Spermatozoa

versi elektronik
dalam Pengencer Kuning Telur Sitrat. Bulletin Peternakan. 1: 19-22.
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa Bandung. Bandung.
Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa Bandung. Bandung.
Yeste, M., M. Briz, E. Pinart, S. Sancho, N. Garcia-Gil, E. Badia, J. Bassolsa, A. Pruneda, E. Bussalleu, I.
Casas and S. Bonet. 2008. Hyaluronic acid delays boar sperm capacitation after 3 days of storage
at 15 °C. J. Anim Reprod Sci. Volume 109, Issues 1-4, P.: 236-250.

versi elektronik 526


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
EFEKTIVITAS PUPUK ORGANIK CAIR USB SUPLEMENTASI HERBAL TERHADAP
PRODUKTIVITAS RUMPUT GAJAH
Sufiriyanto, Sri Hastuti, dan Endro Yuwono

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di Eksperimental Farm, membuat pupuk organik cair dari urine sapi betina
bunting difermentasi dengan penambahan herbal (buah nanas, temulawak dan mengkudu). Untuk
mengetahui uji kualitas dilakukan uji pada produktivitas rumput gajah . Proses teknologi pembuatan
dimulai koleksi urine sapi bunting masing-masing 60 liter. P(0) tanpa perlakuan, P(1) urine ditambah
buah nanas sebanyak 6 kg , P((2) urine 60liter ditambah buah nanas 6 kg dan temulawak seberat 6 kg dan
P(3) urine ditambah buah nanas, temulawak dan mengkudu masing-masing 6 kg, diaduk setiap hari
sampai tidak mengalami fermentasi. Diuji keberhasilannya dengan eksperimental Rancangan Acak
Lengkap dilanjutkan Uji beda nyata jujur produktivitas rumput gajah Penelitian dengan tiga perlakuan,
aras dosis 0.5ml, 1,5ml dan 4,5ml per liter air, ulangan 3 kali per unit dan setiap unit berisi 5 stek
tanaman. Variabel yang diamati meliputi : kandungan protein kasar, serat kasar, produksi bobot basah,
produksi bobot kering, imbangan daun dan batang, tinggi tanaman dan jumlah tunas anakan. Hasil

versi elektronik
penelitian menunjukkan bahwa pemupukan pupuk organik cair urine sapi bunting dengan suplemntasi
herbal menunjukkan produktivitas optimal 38 ton/ha (P<0,05) pada pupuk organik cair suplementasi
nanas (R3) dosis 4,5 ml/liter air selanjutnya R7, R9, R4, RR5 dan R8
Kata kunci : pupuk organik cair, urine, produktivitas, tinggi tanaman, tunas anakan,rumput gajah

PENDAHULUAN
Eksperimental Farm Fapet berfungsi untuk mendukung program Tri Darma Perguruan tinggi,
mempunyai luas lahan 3,6 Ha, lahan rumput 3 ha, lokasi kandang ternak 0,4 ha, ternak sapi perah 22 ekor
laktasidengan produksi sebanyak 180 liter /hari, sapi potong sebanyak 130 ekor, kambing 15 ekor dan
domba 8 ekor, ayam 5000 ekor dan unit pelayanan meliputi penelitian, kunjungan anak PAUD/TK
sebanyak 1890 orang/tahun, anak siswa SD sekitar 400 orang, siswa SMP sekitar 200 orang dan SMA
sekitar 150 orang. Sedangkan untuk praktikum mahasiswa peternakan sebanyak 1100 orang/tahun dan
kunjungan masyarakat atau kelompok peternak sebanyak 135 orang.tahun.

versi elektronik
Program pengembangan Eksperimental selama tiga tahun yaitu, pengolahan limbah padat (tahun
pertama), pengolahan limbah cair (tahun ke 2) dan peternakan berwawasan ramah lingkungan. Pada
tahun 2011 Eksperimental Farm sudah meneliti tentang pengolahan limbah membuat biogas menjadi
konversi listrik dan pembuatan pupuk granul yang ditelitikan pada rumput gajah, dilanjutkan tahun 2012
dilaksanakan penelitian pupuk cair organik dari urine sapi bunting dengan metode nanometer
(bekerjasama dengan Bapak Mutaqin Kudus). Adanya kunjungan kelompok peternak dan Petugas
Lapangan Pemalang dan peternak yang lain menyampaikan bahwa pupuk cair yang banyak diperlukan
dilapangan adalah yang dengan metode alami dan berfungsi ganda atau pupuk cair merangkap anti
insektisida atau anti bakterial dan atau anti tikus.Hal ini juga disampaikan oleh PPL Tulungagung, bahwa
di sana sudah marak menggunakan urine fermentasi digunakan untuk pupuk padi, sebagai pupuk organik
insektisida.
Pengusul peneliti bermaksud untuk membuat pupuk cair organik bahan dasr urine sapi bunting umur 4-6
bulan,, ditrambah rimpang temulawak dan buah mengkudu, sesuai dengan penelitian yang pengusul

versi elektronik
tahun 2003, 2007, 2008 dan 2009. Untuk mengurai bau amoniak urtine digunakan buah nanas, dibiarkan
satu minggu kemudian ditambahkan temulawak (Curcumae xanthoriza) dan mengkudu (Morinda
citrifolia). Dengan harapan, kandungan flavanoid dan sesquiterpentenoid temulawak dan kandungan
kimiawi fenol buah mengkudu yang matang dapat berfungsi sebagai insektisida, pengujian kualitas pupuk
cair organik USB diuji pada produktivitas rumput gajah

527
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
METODE PENELITIAN
Materi dan bahan penelitian
Rencana penelitian dibagi tiga kelompok , yaitu koleksi cairan sludge (1), koleksi nanas, temulawak dan

versi elektronik
mengkudu (2) proses pembuatan pupuk cair(3)., uji kualitas pupuk cair untuk NPK (4) dan uji
produktivitas rumput gajah (5)
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental, dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), Adapun
macam perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut :
Ro= kontrol
R1 = Pupuk cair organik nanas dosis 0,5 ml/liter
R2 = Pupuk cair organik nanas dosis 1,5 ml/liter
R3 = Pupuk cair organik nanas dosis 4,5 ml/liter
R4 = Pupuk cair organik nanas + temulawak dosis 0,5 ml/ liter
R5 = Pupuk cair organik nanas + temulawaky dosis 1,5 ml/liter
R6 = Pupuk cair organik nanas + temulawak dosis 4,5 ml/liter air

versi elektronik
R7 = Pupuk cair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 0,5 ml/ liter
R 8 = Pupukcair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 1,5 ml/liter
R 9 = Pupuk cair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 4,5 ml/liter
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali, penyemprotan ditujukan pada batang daun rumput
gajah, dilaksanakan satu kali per dua minggu
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (anova), bila terdapat pengaruh perlakuan
dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) dengan model matematis sebagai berikut (Steel dan
Torrie, 1993) :
Yij = µ + αi + εij
Yij : Nilai pengamatan
µ : Nilai tengah populasi

versi elektronik
αi : Pengaruh karbohidrat fermentabel dan bakteri asam laktat ke i
εij : Pengaruh galat percobaan
Prosedur Cara Penelitian
• Koleksi urine sapi perah betina bunting
• Koleksi nanas, temulawak dan buah mengkudu
• Membuat pupuk cair organik
• Persiapan lahan rumput gajah, penanaman rumput gajah
• Penyemprotan tanaman rumput gajah
• Pemanenan rumput gajah
• Analisis kualitas rumput gajah

versi elektronik
Adapun variabel yang diamati adalah :
• Produksi rumput gadjah
• Kandungan Protein kasar

528
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pupuk organik cair
Pembuatan pupuk cair organik dimulai dari koleksi urine sapi bunting umur 6 bulan, disimpan kedalam

versi elektronik
jerigen untuk dilakukan pembuatan pupuk organik cair masing-masing 60 lieter (P0,P1,P2 dan P3) Pada
waktu pembuatan pupuk bertahap pertama urine 60 liter ditambah nanas 6 kg untuk P1,P2 dan P3 setelah
urine dibiarkan 2 minggu , kedua ditambahkan temulawak sebanyak 6 kg untuk drum P2 dan P3,
fermentasi selama 2 minggu, selanjutnya ketiga penambahan buah mengkudu 6 kg untuk drum P3,
ditunggu sampai fermentasi selesai dengan tanda tidak ada panas, tutup drum tidak cembung dan pupuk
menjadi dingin atau ditumbuhi belatung. Setelah pupuk oeganik cair herbal jadi , dilakukan analisis
pupuk cair di Fakultas Pertanian bagian Laboratorium Sumber Daya Lahan/Ilmu tanah (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis pupuk organik cair
Parameter Satuan P0 P1 P2 P3 Permentan 2011
Karbon % 2,165 2,322 2,014 2,387 >6
organik
Nitrogen % 0,315 0,290 0,367 0,313 3-6
total

versi elektronik
C/N ratio % 6,87 8,01 5,49 7,63
Bahan % 3,733 4,003 3,472 4,115
organik
pH H20 % 4,41 3,98 4,05 4,04 4-9
P2O5 total % 0,133 0,113 0,074 0,075 3–6
K2O total % 0,723 0,697 0,729 0,674 3-6
Keterangan :
P0 urine kontrol tanpa herbal
P1 urine ditambah nanas
P2 urine ditambah nanas dan temulawak
P3 urine ditambah nanas, temulawak dan mengkudu

Berdasarkan hasil diatas menunjukkan bahwa pupuk cair urine sapi bunting suplemen nanas , temulawak
dan mengkudu mempunyai pH standart dan K2O total sebesar 0,729 lebih banyak dibanding kontrol

versi elektronik
sehingga memberikan pertumbuhan yang lebih baik . Hal ini sesuai dengan Rinsema (1983) yang
menyatakan bahwa tanaman akan tumbuh optimal pada sekitar netral sesuai dengan jenis tanamannya dan
apabila ph rendah kurang dari 5 tanaman tumbuh kurang baik. Sedangakan Syarif (1989) menyatakan
bahwa tanaman tumbuh optimal dengan ph tanah sekitar 5,5 sampai 7,5 Sedangkan. Pemanenan rumput
pada umur 91 hari, atau rumput menjelang berbungan sedikit mundur, hal ini dikarenakan kurangnya air
pada umur 1 hari sampai 56 hari Pemotongan yang berdasarkan umur akan mempengaruhi kualitas dan
produktivitas rumput, produksi rumput gajah optimal apabila dipotong umur sekitar 60 – 90 hari
(Reksohadiprodjo, 1994)
Pada hasil analisa pupuk cair organik urine sapi bunting suplementasi atau penambahan herbal nanas
menunjukkan C/N rasio 10,01. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi C/N ratio maka semakin
banyak unsur Carbon sehingga dapat meningkatkan proses fotosintesis di daun dan pertumbuhan
tanaman serta dapat meningkatkan produktivitas tanaman , pada rumput gajah memberikan produktivitas
seberat 70 ton per Ha dengan dosis 4,5 ml per liter air (P< 0,05) . Sesuai dengan Amirullah (2008)yang

versi elektronik
menyatakan bahwa urine sapi bunting dapat digunakan sebagai pupuk cair, sebaiknya urine dilakukan
fermentasi lebih dahulu, fermentasi menggunakan gula merah, rempah2 dan bantuan mikroba
dekomposer.Selain dapt meningkatkan perangsangan pertumbuhan akar dan daun , juga dapat bersifat
pembasmi hama atau pestisida untuk penyakit keriting daun akibat serangan serangga (thrip) Pada hasil
analisa pupuk organik cair menunjukkan N pada suplementasi nanas lebih rendah dengan yang lainnya
tetapi secara analisis menunjukkan signifikan berbeda (P,0,05) produksi paling optimal apad R 3 atau

529
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
suplementasi nanas. Hal ini sesuai dengan Unsur N diperlukan oleh tanaman, salah satunya sebagai
penyusun klorofil (Dwijoseputro, 1995). Tumbuhan menangkap cahaya menggunakan pigmen klorofil
yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Klorofil menyerap cahaya yang akan digunakan dalam proses
fotosintesis meskipun seluruh bagian dalam tumbuhan yang berwarna hijau mengandung kloroplas,

versi elektronik
namun sebagian energi dihasilkan di daun(Kimball, 1983). Peranan N bagi tanaman untuk merangsang
pertumbuhan, pembentukan warna hijau daun yang sangat berguna dalam proses fotosintesis. Fotosintesis
merupakan proses dimana H2O dan CO2 oleh klorofil dengan bantuan sinar matahari diubah menjadi zat
organik karbohidrat. Tanaman 90 % dari bobot bahan keringnya terdiri dari tiga macam elemen yaitu C,
H, dan O (dari udara dan air) yang ketiganya tergabung di dalam karbohidrat, hal ini berarti bobot kering
tanaman sebagian besar ditentukan oleh bobot dinding selnya, yang mana dinding sel sebagian besar
tersusun dari selulosa (Agustina, 1990).
Produktivitas rumput gajah meningkat akibat pengaruh unsur Nitrogen dari urine sapi bunting tersebut
pada R6 (P2 urine ditambah nanas dan temulawak) dengan dosis 4,5 ml/liter air, sesuai dengan Andi
Putranto (2009) yang mengatakan bahwa pupuk urine mempunyai kelebihan : mempunyai jumlah
kandungan Nitrogen, fosfor, kalium dan air lebih banyak dibanding pupuk dari kotoran ternak, sebagai
perangsang tumbuh, dan bau khas urine ternak dapat mencegah hama tanaman , serta urine mengandung
Nitrogen 1%, fosfor 0,5%, Kalium 1,5% dan air 92%. Didalam urine sapi mengandung hormon auksin

versi elektronik
atau hormon pertumbuhan tanaman karena sapi makan rumput dan hormon auksin letaknya di pelepah
daun (Sudarto, 2005)
Hasil kualitas pupuk organik cair sangat dipengaruhi cara pembuatan pupuk cair tersebut, hal ini sesuai
dengan Martinsari (2010) bahwa jika limbah peternakan urin sapi diolah menjadi pupuk organik
mempunyai efek jangka panjang yang baik bagi tanah, yaitu dapat memperbaiki struktur kandungan
organik tanah karena memiliki bermacam-macam jenis kandungan unsur hara yang diperlukan tanah
selain itu juga menghasilkan produk pertanian yang aman bagi kesehatan. Sehingga, diharapkan bahwa
usaha peternakan sapi yang dilakukan merupakan usaha peternakan yang zero waste dan ramah
lingkungan.. Pupuk cair organik berada pada posisi antara pupuk organik padat dan pupuk kompos.
Pupuk organik cair mempunyai keistimewaan mengandung 16 unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh
tanaman, yaitu : unsur hara makro primer meliputi C, H,O dan N ; unsur hara makro sekunder meliputi
Ca, S dan Mg ; unsur hara mikro meliputi Br, Cl, Cu, Mn, Zn dan Mb (Kamariah, dkk, 2008)
Pemanfaatan pupuk cair dapat ditambahkan rempah2 supaya dapat berfungsi ganda sebagai pupuk dan

versi elektronik
pestisida nabati (Sirajudin, , 2006)
Produktivitas Rumput Gajah
Penelitian rumput gajah dimulai sejak 21 Juli 2013, dilakukan penyiraman pertama umur tanaman 17 hari,
diharapkan akar sudah mulai tumbuh . Penyiraman dengan dosis 0,0 ml/l ; 0,5 ml/l; 1,5ml/l dan 4,5ml/l ,
setiap unit berisi 5 tanaman, setiap tanaman disiram air pupuk cair sebanyak 1 liter. Penyiraman
dilaksanakan setiap minggu karena musin kemarau, apabila musim hujan penyiraman dilakukan setiap 2
minggu sekali, karena musim kemarau maka penyiraman dilakukan 3X dalam satu minggu . Hasil panen
rumput gajah yang biasanya 60 hari sampai 90 hari defoliasi pertama ternyata mundur sampai 112 hari,
dalam arti rumput gajah dipanen setelah tinggi sekitar 1,5 meter bahkan sudah ada yang mencapai 2 meter
lebih,. Hal ini sesuai dengan Sumarsono dkk (2006) yang menyatakan bahwa produktivitas dan nilai gizi
rumput gajah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya faktor umur dan faktor kesuburan tanah
(Dhalika, dkk., 2005)

versi elektronik
Hasil analisa menunjukkan bahwa produktivitas optimal pada rumput gajah yang diberikan pupuk cair
urine sapi bunting dengan suplementasi nanas dosis 4,5 ml/liter air. Produksi rumput gajah per unit
sebanyak 70 ton/ha , sesuai dengan Reksohadiprodjo (1994) yang menyatakan bahwa produksi rumput
gajah pada interval pemotongan 60-90 hari adalah 62-72 ton/ha , diperkirakan penambahan nanas
berhasil membantu merombak protein sehingga terlihat kandungan Nitrogen sebanyak 0,290%
sedangkan kontrol sebanyak 0,315%. Buah nanas (Ananas ccomosus (L) Merr mempunyai efek sebagai

530
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
anti inflamasi, antioksidan, anti inmflamasi, antibakteri dan antifungi. Mengandung zat aktif vitamin A,
vit C, Calsium, Phospor, Mg, Fe, Na, K, dextraosa, sukrosa, enzim bromelin, saponin, flavonoid dan
polifenol. Saponin berefek anti fungi, antibakteri, anti inflamasi dan efek sitotoksik sedangakn flavonoid
bersifat anti bakteri, antifungi, anti viral, anticancer dan antioksidan, untuk polifenal berfungsi sebagai

versi elektronik
antiinflamasi, antifungi, antibakteri, anticancer dan antioksidan. Hal ini sesuai juga dengan Harjadi
(1993) yang mengatakan bahwa produktivitas rumput dipengearuhi oleh faktor vegetatif atau
pertumbuhan karena pada waktu tanaman tumbuh sangat membutuhkan unsur karbohidrat, apabila
karbohidrat berkurang maka pembelahan sel menjadi lambat maka perkembangan sel tanaman menjadi
lambat. Unsur Nitrogen berfungsi untuk pertumbuhan dan pembentukan sel vegetatif, meningkatkan
pertumbuhan tanaman, menyehatkan pertumbuhan daun, meningkatkan kadar protein dalam tubuh
tanaman, meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun serta meningkatkan mikroorganisme dalam
tanah
Hasil penelitian menunjukkan produktivitas cukup optimal pada pupuk organik cair dengan suplementasi
nanas, temulawak dan mengkudu (R7 dan R9) dengan produksi rumput basah sebesar 50 ton/ha , hal ini
dikarenakan kandungan kimiawi temulawak (fitokimiawi) kurkuminoid (kurkumin,
desmetoksikurkumin), minyak atsiri (Kamfer, sikloisopren, mirsen, p-tolilmetilkarbonol) dan xantoriza,
dimanfaatkan untuk peningkatan nafsu makan (Sirait, l983 ; Atih, 1993 ), sebagai kolagoga, menetralisir

versi elektronik
racun atau hepatotoksik dan untuk mengobati penyakit hati (Dalimarta, 2000 ; Sujono, 1993) Minyak
atsiri (thymol dan carvacral) berfungsi sebagai anti bakteri, anti oksidan, anti sititoksik, penghambat
pertumbuhan sel kanker dan antikoksidiosis (Gill, 1999). Sedangkan Atih (1993) mengatakan bahwa
rimpang temulawak mengandung air sekitar 75 %, karbohidarat 29-34% dan minyak atsiri 6-10 % dan
pigmen kurkuminoid sekitar 0.02-2% (kurkumin sekitar 50-71% dan desmeoksikurkumin sekitar 29-41%)
Kurkumin dapat mencegah Flu burung karena bersifat antisitokin, sedangkan ayam yang terinfeksi Flu
burung terjadi peningkatan sitokin (Nidom, 2005). Sedangkan Sumardi dan Lasmono (2006) mengatakan
ekstrak rempah ( temulawak, temu ireng, jahe, cabe jawa ) dan buah maja dapat untuk menanggulangi
virus dari Flu burung
Sedangkan produktivitas baik (P<05) terjadi pada R7 pemberian penambahan mengkudu pada pupuk
organik cair dikarenakan mengkudu bersifat antiviral, anti bakterial dan antikanker. Hal ini sesuai dengan
penelitian Sufiriyanto dkk (2002) bahwa pemberian ekstrak mengkudu dan temulawak 10 % b/v pada
ayam broiler dapat menurunkan kolesterol) dan meningkatkan titer antibodi terhadap penyakit ND

versi elektronik
(Pramono et.al., , 2002), menekan angka kematian atau mortalitas dan menekan konversi pakan (Guritno,
et al., 2002), secara kualitatif memberikan hasil positif pada gambaran darah (nilai vital hematologis)
yaitu jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin (Sufiriyanto dan Indradji, 2002) Sedangkan
pemberian ekstrak mengkudu dosis 1 g per liter dan probiotik 1 ml per liter air minum dapat
meningkatkan indeks produksi dan sebagai imunostimulator penyakit ND ( Sufiriyanto dan Indradji
2006), ekstrak temulawak dan kunyit dapat meningkatkan titer kekebalan AI (Sufiriyanto dan Indradji,
2007)
Kandungan Protein kasar
Protein kasar hasil analisis menunjukkan optimal pada pupuk organik cair dengan suplementasi buah
nanas pada dosis 4,5 ml/liter air , karena C/N rasio menunjukkan 8,01. Hal ini sesuai dengan Isroi (2009)
yang menyatakan bahwa pemupukan tanaman dengan unsur Nitrogen dan pospor akan mempercepat
pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, meningkatkan pertumbuhan tanaman, menyehatkan tanaman,
menyehatkan daun, meningkatkan kandungan protein dalam tanaman, meningkatkan kualitas daun serta

versi elektronik
meningkatkan unsur hara tanah. Pada penelitian pemanenan mundur 22 hari dikarenakan awal tanam
musin kemarau, sehingga kandungan protein kasar tampak menurun, Hal ini sesuai dengan Tillman, dkk
(1989) yang mengatakan bahwa penundaan panen selama sepuluh hari akan menurunkan protein kasar
tanaman sebesar 0,87%. Sedangkan Minson (1990) mengatakan lebih lanjut bahwa semakin tua tanaman
akan semakin menurun kandungan protein kasar pada daun dan batang. Selanjutnya Johnson, et al.(1973)
menyatakan bahwa pada musim kemarau terjadi peningkatan kimiawi serat kasar dan selulose pada

531
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
dinding sel tanaman. Hartadi, dkk. (1990) menyatakan bahwa kandungan nutrien yang dicerminkan dari
analisis rumput gajah (Pennisetum pupureum) bagian aerial berumur dewasa (setelah 30 hari) dalam
keadaan segar yaitu 16 % bahan kering, 11,5 % protein kasar, 31,3 % serat kasar, 40,1 % BETN, 3,2 %
lemak dan 15,9 % abu. Rumput gajah merupakan jenis tanaman perenial, tumbuh tegak, mempunyai

versi elektronik
perakaran dalam kuat dan berbentuk rumpun yang dapat mencapai tinggi 4 meter, serta tumbuh baik pada
tanah yang subur dan lembab.

KESIMPULAN
Kualitas pupuk organik cair bahan urine sapi bunting dengan suplementasi buah nanas lebih baik
dibanding suplementasi temulawak dan buah mengkudu dengan C/N rasio 8,01. Produktivitas rumput
gajah optimal pada pupuk organik cair dengan bahan dasar urine sapi bunting suplementasi buah nanas
pada dosis 4,5ml per liter air

DAFTAR PUSTAKA
Adrianto. 2010. Pertumbuhan dan Nilai Gizi Tanaman Rumput Gajah pada Berbagai Interval
Pemotongan. J. Agroland. 17 (3) : 192 – 197.
Agustina, L. 1990. Dasar Nutrisi Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta.

versi elektronik
Amar A.L. 1991. Pengantar Pengenalan dan Budidaya Tanaman MakananTernak. Fakultas Ilmu-Ilmu
Pertanian Universitas Tadulako. Palu Amar A.L. 1991. Pengantar Pengenalan dan Budidaya
Tanaman Makanan Ternak. Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Tadulako. Palu
Amirullah, 2006. Pupuk cair. Diakses dari html/cara mudah fermentasi urine sapi untuk, pp 180 2
yahoo.co.id
Andi Putranto, 2009.Pembuatan pupuk cair organik,File///d1.index.php.htm
Atih, 1993 Penggunaan Ekstrak Kunyit untuk infeksi bakteri saluran pencernaan Simposium Temulawak .
Universitas Padjajaran. Bandung
Dalimartha, S. 2000. Resep Tumbuhan Obat untuk Menurunkan Kolesterol. Panebar Swadaya, Jakarta
Dhalika,T.,B. Ayuningsih dan A.Budiman. 2005. Efisiensi Penggunaan Ransum Lengkap (Complete
Ration) Dengan Sumber Hijauan Daun Pucuk Tebu Pada Sapi Fries Holland Jantan Muda. J.

versi elektronik
Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan .7.(2): 76-84 15 Mei 2012)
Dwijoseputro, D. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Jakarta. Gramedia.
Gardner, F.P., R.B. Perace dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiology TanamanBudidaya. Indonesia University
Press. Jakarta.
Gill,C. 2000. Botanical Feed Additive. J Feed Int. 21 (4) : 4
_____. 1999. Her and Plant Extract as Growth Enhanchers. J. Feed Int. 22 (4) : 22-24
Gonggo, B. M, B. Hermawan dan D. Anggraeni. 2005. Pengaruh Jenis Tanaman Penutup dan Pengolakan
Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah pada Lahan Alang-Alang. Jurnal ilmu-ilmupertanian
Indonesia. 7(1):44-55.
Hartadi,H.,S.Reksohadiprodjo, AD Tillman. 1986. Tabel komposisi pakan Indonesia. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta

versi elektronik
Isroi.2009. Pupuk Organik Granul.http://isroi.wordpress.com/((diakses 15 Mei 2012)
Kamariah. 2009. Kombinasi Limbah Pertanian dan Peternakan sebagai Alternatif Pembuatan Pupuk
Organik Cair Melalui Proses Fermentasi Aerob. Htp/53@yahoo.com

532
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Kristanto, B. A, R. Kurniantono, dan D.W. Widjajanto. 2009. Karekteristik Fotosintesis umput Gajah
(Pennisetum purpureum) dengan Aplikasi Pupuk Organik Guano. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang

versi elektronik
Lamb.J.F.S.,C.C. Sheaffer, and D.A. Samac. (2003) Alfalfa: Population Density and Harvest Maturity
Effect on Leaf and Stem in Alfalfa. Agronomy Journal. Vol.95. P: 635-641
Minson,D.N. 1990. The Chemical Composition and Nutritive Value of Tropical Grasses.Tropikal
Grasses. Food and Agricultural Organization of TheUnited Nation. Roma
Murty, K.S., and G. Sahu. 1987. Impact of Low Ligh Stress on Growth and Yieldof Rice.p. 94.in S.K.
Dey and M.J. Baig (Eds), pp 94. Weather and Rice,Proc. International Workshop on impact of
Weather Parameters on Growth and Yield of Rice. IRRI. Los Banos. Phillipines.
Ni Ketut Sari, 2009. Produksi Bioethanol dari Rumput Gajah Secara Kimia.JurnalTeknik imia,Vol.4.No.1
Nur Hidayat, 2010. Aplikasi Pupuk Organik Cair Terhadap Produksi Bahan Kering, kandungan Protein
Kasar, dan Serat Kasar Rumput Gajah Varietas Thailand. Jurnal Ilmiah Inkoma, Volume 21.
Nomor 3.

versi elektronik
Poniman dan Mujiono (2004) Bertanam Rumput Gajah. Balai Pustaka . Jakarta
Pramono. , 2002. Pengaruh Pemberian Ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia) dan temulawak (Curcumae
xanthoriza) terhadap Jumlah Limfosit dan Titer Kekebalan ND pada Ayam Niaga Pedaging
Purbajati ED, S Anwar, S Widyati, dan F Kusmiyati. 2008. Kandungan Protein dan Serat Kasar Rumput
Benggala (Panicum Maximum) dan Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum) Pada Cekaman Stres
Kering. Animal Production. 11(2) 109-115
Reksohadiprodjo,S. 1988. Pakan Ternak Gembala. BPFE. Yogyakarta
Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Hal: 23-24
.Syarief,S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana . Bandung. Hal:3
Siregar, M. E. 1996. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum dengan Sistem Potong
Angkut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid. I. Pusat

versi elektronik
Siregar, M. E. 1989. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum Dengan Sistem Potong
Angkut.Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid. I. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Soebarinoto. 2003. Substitusi Urea dengan Bokasih Terhadap Produksi Rumput Raja. Jurnal Protein.
Nomor 19 : 1259-1266.
Sofyan, L. A., L. Abunawan, E. B. Laconi, A. D. Hasjmi, N. Ramli, M. Ridla dan A. D. Lubis. 2000.
Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sufiriyanto, Indradji M dan Prayitno, 2002. Penggunaan Ekstraks Rimpang Temulawak dan Buah
Mengkudu Untuk Meningkatkan Kualitas Kolesterol dan Trigliserida Darah Ayam Pedaging.-
dipublikasikan di Media Kedokteran Hewan, UNAIR, Surabaya.

versi elektronik
Sufiriyanto dan Indradji. M. 2005. Efektivitas Pemberian Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia) dan
Probiotik terhadap Produktivitas dan Titer Kekebalan ND Pada Ayam Niaga Pedaging
Sufiriyanto dan Indradji, 2006. Uji Coba Lapang Efektivitas Vaksin Avian Influenza (Flu Burung) Pada
Ayam Kampung di Kabupaten Banyumas (Laporan Penelitian)
Sufiriyanto dan M. Indradji. 2006. Efektivitas Vaksinasi AI (Flu Burung) pada Ayam Petelur Pasca
Wabah di Kab. Banyumas.

533
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Sumarsono,S. Anwar,S Budiyanto, D Permatasari dan D>W.Widjajanto, 2006. Penampilan Rumput
Gajah (Pennisetum Purpureum) dan Kolonjono (Panicum muticum) pada Lahan Salin yang
diperbaiki dengan Aplikasi Pupuk Urea dan Organik. Seminar Nasional Pengembangan Usaha
Pembibitan Ternak. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

versi elektronik
Sumarsono. 2006.Peranan Pupuk Organik untuk Perbaikan Penampilan dan Produksi Hijauan Rumput
Gajah Pada Tanah Cekaman Salinitas dan Cekaman Kemasaman. Fakultas peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang
Sirajuddin,S.Rohani,I.Rasyid1Proses Adopsi Pembuatan Pupuk Cair Dari Urine Sapi Oleh Kelompok
Ternak Sapi Potong di Kabupaten Sinjai, Propinsi Sulawesi Selatan (Naskah Publikasi,
Universitas Muhamadiyah Malang)
Taiz,L and E.Zeiger. 1998. Plant Physiology. Sinauer Associates. Inc. Publisher, Sunderland.
Massachussetts
Tillman,A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan Lebdosukojo.1989. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 534


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI KEFIR SUSU KAMBING DENGAN
KONSENTRASI BIJI KEFIR DAN LAMA FERMENTASI BERBEDA
Triana Setyawardani, Mardiati Sulistyowati , Zuhry Arbangi, dan Farid Dimiyati

versi elektronik
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Jl. Dr Suparno, Kampus Karangwangkal Purwokerto

ABSTRAK
Kefir merupakan produk minuman fungsional yang memiliki karakteristik sensori yang menyegarkan,
rasa asam dan sedikit bersoda. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh penambahan biji kefir
dengan konsentrasi dan lama fermentasi yang berbeda untuk mendapatkan kefir dengan karakteristik
kimia dan mikrobiologi yang baik. Materi penelitian berupa susu kambing PE sebanyak 24 liter dan biji
kefir. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Sebagai faktor pertama
adalah konsentrasi biji kefir yaitu : (A1 : 1 %; A2: 3 % dan A3: 5%) dan faktor kedua adalah lama
fermentasi (B1: 8 jam dan B2:16 jam). Peubah yang diukur adalah pH; kadar asam laktat; kadar alkohol;
jumlah mikroba dan jumlah bakteri asam laktat (BAL). Hasil penelitian menunjukkan persentase biji kefir
berpengaruh nyata P<0.05) terhadap kadar alkohol kefir tetapi tidak berpengaruh tidak nyata (P>0.05)
terhadap pH, kadar asam laktat, jumlah mikroba dan jumlah BAL. Lama fermentasi berpengaruh nyata

versi elektronik
(P<0.05) terhadap pH, kadar asam laktat dan kadar alkohol tetapi berpengaruh tidak nyata (P>0.05)
terhadap jumlah mikroba dan BAL kefir. Kesimpulan penelitian adalah penggunaan konsentrasi biji kefir
sampai dengan taraf 5 % menghasilkan pH, kadar asam laktat, jumlah mikroba dan BAL yang sama,
tetapi mampu meningkatkan kadar alkohol sampai dengan 0,33 %. Semakin lama fermentasi sampai
dengan 16 jam menurunkan pH, meningkatkan kadar asam laktat dan kadar alkohol, tetapi tidak
meningkatkan jumlah mikroba dan BAL kefir susu kambing.
Kata kunci : biji kefir, lama fermentasi, pH, alkohol, BAL

PENDAHULUAN
Trend konsumsi pangan fungsional berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran konsumen akan
perubahan pola pangan yang sehat dan teratur. Pangan fungsional disamping mempunyai nutrisi dasar
juga memiliki peran fisiologis dan dikonsumsi layaknya makanan. Kefir merupakan salah satu produk
fermentasi yang termasuk dalam katagori minuman fungsional. Beberapa peneliti telah membuktikan

versi elektronik
manfaat kefir bagi kesehatan antara lain : sebagai antitumor (Medrano et al.,2008 ); memiliki aktivitas
antimikroba (Vinderola et al., 2005); antiinflamasi dan anti alergi (Rodrigues et al., 2005).
Kefir merupakan produk fermentasi dengan menggunakan biji kefir sebagai starter ke dalam susu,
komposisi biji kefir terdiri dari bakteri asam laktat dan yeast. Hasil fermentasi kefir akan menghasilkan
produk yang mengandung asam laktat, karbondioksida, etanol, asetaldehid, diasetil dan asetoin yang
berkontribusi terhadap flavor dan aroma kefir yaitu rasa asam, menyegarkan dan sedikit, bersoda
(Beshkovaa, et al. 2003).
Kualitas kefir sangat beragam, karena biji kefir yang digunakan mempunyai jenis mikroflora heterogen.
Kefir yang dihasilkan akan memiliki karakteristik fisikokimiawi dan mikrobiologi yang khas, biji kefir
asal brazilia akan menghasilkan Brazilian kefir (Malgahaes et al., 2011) dengan karakteristik khas,
demikian juga Tibetan kefir (Jing li et al., 2011) dan Taiwan kefir. Tetapi secara umum komposisi
mikroflora biji kefir 80-90 % terdiri dari asam laktat dan 10-17 % adalah yeast (Tamimi et al., 2006).
Menurut FAO/WHO (2002) Persyaratan kefir sebagai produk susu fermentasi adalah sbb: kadar protein

versi elektronik
min 2.7 g/100 g, lemak min 1.5 dan 2.0 g/100 gr; tingkat keasaman min 0.6 ml/100 ml; jumlah bakteri
(tidak spesifik) dalam 1 g dan yeast min 102 cfu/g. Microflora khas terdiri dari bakteri dan yeast yaitu :
Lactobacillus kefir, Lactococcus spp., Leuconostoc spp., Acetobacter spp, Lactosa yang memfermentasi
yeast dan yeast (Codex STAN 243-2003)

535
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Selain asal biji kefir, konsentrasi biji kefir juga akan mempengaruhi kualitas produk kefir yang dihasilkan.
Penggunaan biji kefir yang ditambahkan dalam susu tidak distandarkan jumlahnya, karena masing-
masing biji kefir memiliki komposisi mikfroflora tidak sama. Beberapa peneliti telah melakukan dengan
menggunakan kisaran 1 (Sawitri 2011) sampai 5 % untuk mendapatkan kefir dengan kualitas yang baik

versi elektronik
(Chen et al 2005). Selama proses fermentasi kefir, terjadi perubahan spesifik yang antara lain : terjadi
penurunan pH (tingkat keasaman), konsistensi produk mengental karena mikroflora dalam biji kefir
tumbuh dan berkembang dan terbentuk flavor dan aroma segar. Umumnya proses fermentasi kefir
berlangsung selama 24 jam pada suhu ruang. Proses fermentasi dapat dimodifikasi dengan cara
memperpendek atau memperpanjang masa inkubasi yang dilakukan dengan tujuan tertentu.
Penggunaan konsentrasi biji kefir yang berbeda pada proses fermentasi yang berbeda akan menghasilkan
kefir dengan kualitas berbeda ditinjau dari karakteristik kimia dan mikrobiologisnya. Oleh karenanya
tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penambahan biji kefir pada berbagai konsentrasi dengan
lama fermentasi yang untuk mendapatkan kefir dengan karakteristik kimia dan mikrobiologi yang baik.

METODE PENELITIAN
Materi penelitian berupa susu kambing PE sebanyak 24 liter, biji kefir Media MRSA (de Man Rogosa
Sharp Agar), dan MRSB (de Man Rogosa Sharp Broth). Peralatan yang digunakan meliputi peralatan

versi elektronik
untuk membuat kefir, seperangkat alat pengujian organoleptik, oven, tabung kaca, pH meter (Hanna),
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap
pola faktorial (Steel and Torrie, 1996). Perlakuan terdiri dari 6 kombinasi, sebagai faktor pertama adalah
konsentrasi biji kefir A (A1 : 1 %; A2: 3 %; A3: 5%) dan faktor kedua adalah lama fermentasi (B1: 8 jam
dan B2:16 jam), masing-masing perlakuan diulang 4 kali.
Analisis data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Uji lanjut
Duncan dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17.0 dengan toleransi kesalahan ditetapkan pada
level 5%.
Prosedur pembuatan kefir

versi elektronik
Susu kambing dipasteurisasi pada suhu 72OC selama 15 detik, kemudian didinginkan sampai mencapai
suhu 20 - 28OC. Selanjutnya biji kefir dimasukkan sesuai dengan perlakuan (A1, A2 dan A3) dan lama
fermentasi (8 dan 16 jam). Seetelah diinkubasi, kefir disaring dengan menggunakan kain saring.
Pengukuran peubah
pH kefir. Nilai pH kefir diukur dengan menggunakan elektroda kaca pH-meter (Hanna Instrument).
Pengukuran pH kefir dilakukan secara langsung dengan mencelupkan sensor pH kedalam cairan kefir
(AOAC, 2005).
Total alkohol kefir. Sebanyak 25 ml sampel ditambahkan 50 ml aquades kemudian dimasukkan dalam
labu destilasi. Dalam wadah penampung diisi 25 ml aquades. Destilasi dilakukan sampai volume di
wadah penampung terisi 50 ml (James, 1995).
Titrasi asam laktat kefir

versi elektronik
Kadar asam laktat diukur dengan metode Mann’s Acid Test (Sudarmadji et al., 1997). Rumus yan
digunakan adalah Asam laktat=(volume NaOH yang dipakai xN NaOH x 0.09)/(Bobot sampel) x 100%.
Jumlah mikroba kefir
Sampel sebanyak 1 ml dari pengenceran yang diinginkan dipipet secara aseptik. Suspensi sampel
(pengenceran 10-1) dipipet sebanyak 1 ml ke dalam 9 ml larutan Butterfield's phosphate-buffered steril
diperoleh pengenceran 10-2 dan dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya

536
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
sampai pada tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil pemupukan didapat 25 – 250 koloni).
Sampel pada tingkat pengenceran yang sesuai, dipipet sebanyak 1 ml secara aseptik dan dipupukkan ke
dalam cawan steril (duplo), dituangkan PCA dan digoyangkan supaya rata selanjutnya diinkubasi suhu
37oC/24 jam. Pengamatan jumlah koloni yang tumbuh dengan menggunakan colony counter dihitung

versi elektronik
sebagai total mikroba.
Jumlah BAL
Sampel kefir dihomogenkan dalam stomacher selama tiga menit. Homogenat diambil sebanyak 1 ml dan
dilakukan pengenceran desimal hingga 108. Sampel dari tiga pengenceran tertinggi diambil sebanyak 1
ml secara aseptis dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Sampel dituang dengan media MRSA dan
diinkubasi suhu 37OC selama 48 jam. Penghitungan total BAL dihitung dengan metode BAM (2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik kimia kefir susu kambing
Proses fermentasi menyebabkan terjadinya penurunan pH susu segar, aktivitas mikroba penghasil asam
menyebabkan pH susu menjadi asam. Kadar asam laktat merupakan hasil metabolit bakteri penghasil
asam laktat. Rataan nilai pH dan kadar asam laktat terdapat pada gambar 1.

versi elektronik
7.00 5.98 5.73 5.54
6.00
5.15 5.00 5.01
5.00
4.00
3.00
2.00
0.15
1.00 0.29 0.17 0.32 0.29 0.20.24 0.34 0.42
0.18 0.12
0.00
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Perlakuan

versi elektronik
Gambar 1. Rataan nilai pH, kadar asam laktat dan alkohol kefir susu kambing pada konsentrasi biji kefir

pH kefir susu kambing


dan lama fermentasi berbeda.

Lama inkubasi pada proses fermentasi kefir mempengaruhi pH yang dihasilkan. Pada fermentasi kefir 8
jam nilai pH 5.75 dan pada fermentasi 16 jam, pH kefir mengalami penurunan sampai 5.05. Penurunan
pH terjadi karena pemecahan laktosa oleh bakteri asam laktat pada proses fermentasi berlangsung. Nilai
pH yang dihasilkan pada masa inkubasi 16 jam lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya oleh
Haryadi dkk (2013) dengan inkubasi 16 jam dan penambahan gula 7.5-10 % menghasilkan pH 5.16-5,17.
Hasil pH yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan karakteristik pH kefir secara umum yaitu 4.0;

versi elektronik
kadar alkohol 0.5 sampai dengan 2 % dan kadar lemak tergantung jenis susu yang digunakan (Irigoyen et
al. 2005).
Perlakuan penambahan biji kefir dan interaksi antara lama fermentasi pada konsentrasi biji kefir 1,3 dan 5
% tidak mempengaruhi pH yang dihasilkan (P>0.05). Biji kefir dengan konsentrasi berbeda
menghasilkan tingkat keasaman yang relatif sama yaitu 5.28 sampai dengan 5.56. Hasil tersebut berbeda
dengan penelitian sebelumnya oleh Irigoyen et al (2003) dan Irigoyen et al (2005) bahwa persentase biji

537
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kefir 1 dan 5 % yang diinokulasikan pada susu mempengaruhi pH kefir yang dihasilkan selama
penyimpanan.
Kadar Asam laktat kefir susu kambing

versi elektronik
Asam laktat terbentuk dari proses fermentasi oleh bakteri asam laktat dengan cara memecah laktosa susu
menjadi asam laktat. Pada kefir metabolit dihasilkan dari berbagai jenis bakteri asam laktat yang
bersifat heterofermentatif dan homofermentatif. Bakteri dan yeast akan menghasilkan metabolit asam
laktat, asetat, karbondioksida, etanol, asetaldehid, diasetil dan aseton yang berperan penghasil flavor dan
aroma khas kefir (Beshkovaa et al., 2002). Proses fermentasi dengan BAL ditandai terjadinya penurunan
pH dan peningkatan kadar asam laktat yang bisa dilihat dari nilai TAT .
Hasil penelitian menunjukkan lama fermentasi (8 dan 16 jam) mempengaruhi kadar asam laktat yang
dihasilkan pada kefir, tetapi konsentrasi biji kefir dan interaksi antara lama fermentasi dan konsentrasi
tidak mempengaruhi jumlah asam laktat. Semakin lama fermentasi sampai dengan 16 jam, jumlah asam
laktat semakin banyak dan pH semakin rendah. Asam laktat yang dihasilkan dengan lama fermentasi 8
jam mempunyai rataan 0.17 %, sedangkan untuk lama inkubasi 16 jam asam laktat yang dihasilkan
mempunyai rataan 0.32 %. Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kadar asam laktat pada
Magalhaes et al., (2011) yaitu 1,4 sampai 17,4 mg/ml dengan lama fermentasi 24 jam. Kefir mengandung

versi elektronik
0,6 % asam laktat pada akhir proses fermentasi yang berlangsung selama 24 jam. Bakteri yang
mendominasi untuk menghasilkan asam laktat adalah kelompok homofermentatif Farnworth (2005). Hasil
penelitian masih masuk dalam persyaratan asam laktat pada produk fermentasi dalam Codex (2002) yang
mensyaratkan tingkat keasaman min 0.6 ml/100 ml. Peningkatan persentase asam laktat diikuti dengan
penurunan nilai pH disebabkan adanya produksi asam organik, etanol, CO2 dan senyawa volatil lainnya
yang dihasilkan oleh biji kefir yang digunakan (Athanasiadis et al., 2004; Guzel-Seydim, et al., 2000).
Kadar alkohol kefir susu kambing
Biji kefir mengandung mikroflora kompleks terdiri dari berbagai spesies bakteri asam laktat dan yeast
yang bersimbiosis untuk menghasilkan karakteristik biokimia dan flavor kefir. Bakteri asam laktat
kelompok heterofermentatif menghasilkan asam organik, etanol dan CO2. Yeast seperti Kluyveromyces
sp berperan dominan dalam perombakan laktosa menjadi alkohol selama proses fermentasi berlangsung,
beberapa bakteri Lactobacillus kefir juga menghasilkan etanol (Guzel-Seydim et al., 2000).

versi elektronik
Penggunaan konsentrasi biji kefir yang berbeda (1,3 dan 5 %) menghasilkan kadar alkohol yang berbeda
dengan rataan 0.08 sampai 0.33%. Peningkatan penambahan biji kefir mampu meningkatkan kadar
alkohol kefir secara signifikan. Kadar alkohol kefir juga meningkat dengan semakin lama proses
fermentasi (8 dan 16 jam) dengan rataan 0.12 % dan 0.29. Interaksi antara konsentrasi biji kefir dan
lama fermentasi tidak mempengaruhi kadar alkohol kefir. Hasil tersebut lebih rendah dari penelitian
Magalhaes et al (2011) konsentrasi etanol meningkat selama proses fermentasi dan konsentrasi
maksimum adalah 0,5 mg/ml dan Saccharomyces cerevisiae berperan dominan terhadap produksi
alkohol. Meskipun beberapa strain Lactobacillus juga mampu menghasilkan etanol dengan kemampuan
aktivitas alkohol-dehidrogenase yaitu suatu enzim yang mampu mengubah asetaldehid menjadi etanol
(Beshkovaa et al., 2003).
Simova et al., (2002) menyatakan bahwa yeast berperan dominan pada proses pembentukan alkohol pada
kefir. Kadar etanol pada kefir bervariasi (0.01 sampai 1.00 %) tergantung pada kultur starter, lama
fermentasi dan suhu fermentasi. K. Marxianus pada kefir grain memetabolisme laktosa melalui fermentasi

versi elektronik
akkohol dan menghasilkan flavor dan aroma khas kefir.

538
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Mikrobiologi kefir susu kambing
12

versi elektronik
10

8
log cfu/ml
6
BAL
4 Mikroba

0
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Perlakuan

versi elektronik
Gambar 2. Rataan jumlah mikroba dan BAL kefir susu kambing pada konsentrasi biji kefir dan lama
fermentasi berbeda.
Komposisi mikroflora kefir sangat kompleks yang dipengaruhi oleh asal biji kefir dan kondisi
penyimpanan, sehingga produknya sangat bervariasi. Untuk mendapatkan kefir dengan kualitas seragam
sangat sullit karena ketidakstabilan serta kompleksitas mikroflora penyusun biji kefir.
Penggunaan konsentrasi biji kefir (1,3 dan 5 %) dan lama fermentasi (8 dan 16 jam) dan interaksinya
tidak menyebabkan perbedaan jumlah mikroba dan BAL kefir susu kambing. Rataan jumlah mikroba
pada fermentasi (8 dan 16 jam adalah) 9.05 dan 9.56 log cfu/ml. Rataan jumlah mikroba dengan
penggunaan biji kefir (1,3 dan 5 %) berturut-turut adalah 9.37; 9.60 dan 8,97 log cfu/ml. Jumlah mikroba
pada kefir lebih tinggi dibandingkan jumlah BAL, hal ini terjadi karena mikroflora kefir sangat kompleks
dan terdiri dari berbagai macam jenis BAL dan yeast serta beberapa moulds. Karakteristik kefir
dipengaruhi oleh komposisi mikroflora dalam biji kefir, seperti dalam produk Brazilian kefir, biji
kefirnya didominasi oleh BAL (60.5%) dan yeast (30.6%) and bakteri penghasil asam asetat (8.9%)

versi elektronik
(Margalhaes et al., 2011). Secara umum komposisi mikroflora biji kefir 80-90 % terdiri dari asam laktat
dan 10-17 % adalah yeast (Tamimi and Robinson 2007).
Peningkatan jumlah BAL terjadi dengan bertambahnya waktu fermentasi dan konsentrasi biji kefir, tetapi
belum menghasilkan perbedaan nyata. Proses fermentasi selama 8 dan 16 jam belum cukup untuk
menghasilkan mikroba dan BAL secara optimal. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian oleh Chen et al
(2005) bahwa peningkatan jumlah mikroflora dalam kefir dimulai pada inkubasi 20 jam fermentasi,
dengan jumlah Lactobacillus lebih tinggi dibandingkan yeast pada kefir susu kambing. Selanjutnya
Kroger (1993) menjelaskan bahwa biji kefir akan tumbuh pada susu dan akan terus tumbuh dan
menghasilkan komponen flavor dan metabolik lainnya dalam susu. Hasil penelitian memperlihatkan
jumlah BAL yang dihasilkan masih dalam kisaran persyaratan jumlah minimal total BAL dalam yogurt
sebesar 107 cfu/ml. Sebagai minuman fungsional kefir mengandung BAL yang merupakan bakteri
probiotik harus tetap hidup dan bertahan selama proses dan penyimpanan produk dalam jumlah yang
cukup yaitu 107 cfu.

versi elektronik
KESIMPULAN
Peningkatan penambahan biji kefir sampai dengan taraf 5 % menghasilkan pH, kadar asam laktat, jumlah
mikroba dan BAL yang sama, tetapi mampu meningkatkan kadar alkohol sampai dengan 0,33 %.
Semakin lama fermentasi sampai dengan 16 jam meningkatkan pH, kadar asam laktat dan kadar alkohol,

539
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
tetapi tidak meningkatkan jumlah mikroba dan BAL kefir susu kambing. Tidak terjadi pengaruh bersama
antara konsentrasi biji kefir dan lama fermentasi terhadap semua variabel yang diukur dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

versi elektronik
AOAC [Association of Official Analytical Chemists]. 2005. Official Method of Analysis. 15th Ed.
Association of Official Analytical Chemists Inc., Virginia USA.
Athanasiadis, I.; Paraskevopoulou, A.; Blekas, G.; Kiosseoglou, V.2004. Development of a novel whey
beverage by fermentation with kefir granules. Biotech. Progr. 20 (4): 1091-1095.
BAM [Bacteriological analytical manual online]. 2011. Bacteriological analytical manual online
www.fda.gov/.../BacteriologicalAnalyticalManualBAM/default.htm, (accesses 15 April 2011).
Beshkovaa, D.M., E.D. Simovaa, G.I. Frengovaa, Z.I. Simovb and Zh.P. Dimitrov, 2003 Production of
characterization volatile aroma compounds by kefir starter cultures. International Dairy J., 13:
529-535.
CODEX STAN 243-2003 http;// www.codexalimentarius net and
http://www.codexalementarius.net/advanced search.do

versi elektronik
Chen Ming-Ju , Je-Ruei Liu, Chin-Wen Lin and Yu-Tzu Ye. 2005. Study of the Microbial and
Chemical Properties of Goat Milk Kefir Produced by Inoculation with Taiwanese Kefir Grains.
Asian-Aust. J. Anim. Sci.18 : 711-715.
FAO/WHO (2002) Proposed Draft Standard A-11 for fermented Milks.
Farnworth, E.R. 2005. Kefir a Complex Probiotic. Food Science and Technology Bulletin : Funct. Foods.
2(1) : 613-620.
Guzel-Seydim, Z.B.; Seydim, A.C.; Greene, A.K.; Bodine, A.B. 2000. Determination of organic acids
and volatile flavor substances in kefir during fermentation. J. Food Compos. Anal., 13 (1): 35-43.
Haryadi, Nurliana, dan Sugito 2013. Nilai pH dan jumlah bakteri asam laktat kefir susu kambing setelah
difermentasi dengan penambahan gula dengan lama inkubasi yang berbeda. Jurnal Medika
Veterinaria 7 (1) : 0853-1943.

versi elektronik
Irigoyen A, Arana I, Castiella, M. Torre, P. Ibanez F.C. 2005. Microbiological, physicochemical, and
sensory characteristics of kefir during storage Food Chemistry 90 : 613–620.
Irigoyen, A., Ortigosa, M., Torre, P., Ibanez, F. C. 2003. Influence of different technological parameters
in the evolution of pH during fermentation in kefir. Milchwissenschaft, 11 (12): 631–633.
James, C. S. 1995. Analysis Chemistry of Food. Blackie Academic and Professional. Great Britain.
Li J, Ren F,Gu H, Li X, Gan B. 2011. Safety evaluation in vitro of Enterococcus durans from Tibetan
traditional fermented yalk milk. The Journal of Microbiology 49 (5) : 721-728.
Kroger, M. 1993. Kefir. Culture. Dairy Prod. Journal. 28:26-29.
Lee, M.Y.; Ahn, K.S.; Kwon, O.K.; Kim, M.J.; Kim, M.K.; Lee, I.Y.; Oh, S.R.; Lee, H.K. 2007. Anti-
inflammatory and anti-allergic effects of kefir in a mouse asthma model. Immunobiol., 212 (8):
647-654.

versi elektronik
Magalhaes K.T, Pereira G V, Campos C. R , Dragone G, Schwan R.F. 2011 Brazilian kefir: structure,
microbial communities and chemical composition. Brazilian Journal of Microbiology 42: 693-
702.
Medrano, M.; Pérez, P.F.; Abraham, A.G. (2008). Kefiran antagonizes cytopathic effects of Bacillus
cereus extracellular factors. Int. J. Food Microbiol., 122 (1): 1-7.

540
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Ming-Ju Chen, Je-Ruei Liu1, Chin-Wen Lin and Yu-Tzu Yeh 2005. Study of the microbial and chemical
properties of goat milk kefir produced by inoculation with Taiwanese kefir grains Asian-Aust. J.
Anim. Sci. 18 (5): 711-715.

versi elektronik
Rodrigues, K.L.; Caputo, L.R.G.; Carvalho, J.C.T.; Evangelista, J.; Schneedorf, J.M. 2005. Antimicrobial
and healing activity of kefir and kefiran extract. Int. J. Antimicrob. Ag., 25 (5): 404-408.
Sawitri M.E. 2011. Kajian konsentrasi kefir grain dan lama simpan dalam refrigerator terhadap kualitas
kimiawi kefir rendah lemak J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (1):24 – 30.
Simova, E., D. Beshkova, A. Angelov, Ts. Hristozova, G. Fregova and Z. Spasov. 2002. Lactic acid
bacteria and yeasts in kefir grains and kefir made from them. J. Indust. Microbiol. Biotechnol.
28:1-6.
Sudarmadji, S., B. Haryono, and Suhardi. 1997. Prosedur analisis untuk bahan makanan dan pertanian. 4
ed. Liberty, Yogyakarta.
Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1996. Principles and Procedures of Statistics; a Biometrical Approach.
McGraw-Hill Book Company, New York.

versi elektronik
Tamime, A.Y., Muir, D.D. and Wszolek, M. 2006. Kefir, koumiss and kishk. Dairy Industries
International 64: 32-33.
Tamime A.Y. and R.K. Robinson. 2007. Tamime and Robinson’s yoghurt Science and Technology.
Food Science, Technology and Nutrition Third Edition. A. Y. Tamime and R.K Robinson.
Woodhead Publishing Limited. Chambridge.
Vinderola, C.G.; Duarte, J.; Thangavel, D.; Perdigón, G.; Farnworth, E.; Matar, C. 2005.
Immunomodulating capacity of kefir. J. Dairy Res., 72 (2):195-202.

versi elektronik

versi elektronik 541


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
CEMARAN MIKROBA SUSU KAMBING DI PETERNAKAN RAKYAT (Studi kasus di
kelompok peternak kambing perah “Mendani” Kabupaten Tegal)
Triana Yuni Astuti, Sunarto, dan Pramono Soediarto

versi elektronik
Fakultas Peternakan, Unsoed; email: trianayuni_A@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian dengan judul “Cemaran Mikroba Susu Kambing di Peternakan Rakyat Kabupaten Tegal” telah
dilaksanakan selama 7 bulan (mulai bulan Mei sampai Nopember 2013). Sampel susu diambil secara
komposit dari kambing laktasi pada pemerahan pagi hari (jam 08.00 wib) sejumlah 4 liter (setiap
pengambilan sampel), dengan membedakan antara peternak yang melakukan pemerahan dan penanganan
pasca pemerahan sesuai standart yang ditentukan (secara saniter dan higenies) dan yang tidak sesuai
standart. Hasil penelitian menunjukkan ada kontaminasi mikroba pathogen susu kambing di peternakan
rakyat (anggota kelompok “Mendani”) Kabupaten Tegal, terbukti jumlah mikroba berkisar 4,95 – 8,23
log cfu/ml, dan jumlah koliform > 20 cfu/ml, jumlah yang lebih banyak ditemukan pada susu kambing
yang dihasilkan oleh peternak yang belum melakukan pemerahan dan penanganan pasca pemerahan
secara saniter dan higinies. Ditemukan pula pada sampel susu positip tercemar bakteri E.coli, dan
Salmonella Sp, bahkan beberapa sampel jumlah bakteri S. Aureus melebihi batas cemaran maxsimum

versi elektronik
menurut SNI (2000). Perlu pemantauan dan pendampingan terhadap peternak kambing perah agar
produksi susu kambing berkualitas baik dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
Kata kunci : cemaran mikroba, dan susu kambing

ABSTRACT
Research entitled "Microbial Contamination Dairy Goat Farm Ranch in Tegal Regency" was held for 7
months (from May to November 2013). Composite milk samples taken from goat milking lactation in the
morning ( 08.00 am ) a 4 liter ( each sampling ) , to distinguish between farmers who do the milking and
post- milking treatment according to standard specified (in sanitary and higenies) and are not according to
standard. The results showed no microbial pathogen contamination in dairy goat farm people Tegal
regency, proven microbial number ranges 4.95 - 8.23 log cfu/ml, and the number of coliform > 20 cfu/ml,
the amount of which is more commonly found in goat milk produced by farmers who have not done
milking and post- milking handling are sanitary and higinies. Also found in contaminated milk samples

versi elektronik
positive E. coli , and Salmonella Sp , even some samples of the bacteria S. Aureus contamination exceeds
maxsimum according to ISO (2000 ). Need monitoring and assistance to dairy goat breeders that goat
milk production of good quality and free from contamination of pathogenic bacteria.
Keywords: microbial contamination, and goat milk

PENDAHULUAN
Perlindungan konsumen terhadap kontaminasi bakteri patogen serta bahan-bahan lain yang berbahaya
tercantum dalam koridor keamanan pangan yang dituangkan pada peraturan persyaratan pangan hewani
dalam Standar Nasional Indonesia SNI No. 01-6366-2000 tentang batas maksimum cemaran mikroba dan
residu bahan berbahaya dalam pangan hewani. Untuk mencegah kontaminasi bakteri patogen sebagai
penyebab foodborne disease dapat dilakukan dengan meminimalkan pencemaran susu dan produknya
melalui tiga proses utama yaitu: (1) pra-produksi; (2) proses produksi; dan (3) pasca-produksi.
Keamanan pangan mampu menjamin pangan yang aman dan layak dikonsumsi. Ketersediaan pangan

versi elektronik
yang aman tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga meningkatkan kualitas generasi
muda.
Kasus ketidakamanan pangan yang disebabkan oleh cemaran mikroba patogen juga didukung oleh suhu
dan kelembaban yang cocok untuk berkembangnya mikroba patogen di daerah tropis. Beberapa jenis
bakteri yang dapat mencemari susu antara lain: Staphylococcus aureus, Salmonella sp, dan
Campylabacter, dan beberapa faktor yang menyebabkan pencemaran susu, antara lain (1) ternak yang

542
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
terinfeksi oleh Brucella, Mycobacterium bovis, Coxiella burnetti, (2) ternak yang terinfeksi oleh
Staphylococci baik secara langsung maupun tidak langsung dari manusia yang memerah dan (3) susu
dapat terkontaminasi oleh S. typhi, C. diphtheriae atau S. pyogenes setelah diperah.

versi elektronik
Produk susu tidak layak konsumsi apabila dalam susu terjadi perubahan rasa dan aroma, sebagai indikasi
awal terjadinya kerusakan produk yaitu adanya pertumbuhan bakteri dan peningkatan asam. Mikroba
patogen pencemar susu yang umum adalah E. coli dan Standar Nasional Indonesia tahun 2000
mensyaratkan bakteri E. coli tidak terdapat dalam susu dan produk olahannya, karena bakteri tersebut
dapat menyebabkan diare pada manusia bila dikonsumsi. Selain itu kontaminasi silang juga akan
meningkatkan perkembangan jumlah coliform yang memungkinkan gangguan kesehatan.
Susu kambing mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan susu sapi, antara lain kadar laktosanya
lebih rendah, ukuran globula lemaknya lebih kecil, kadar MCFA (Medium Chain Fatty Acid) dan kadar
nukleotida yang lebih tinggi. Susu kambing juga mempunyai sifat antiseptik alami serta mampu
membantu menekan pembiakan bakteri dalam tubuh, sehingga tidak menyebabkan diare (Sodiq dan
Abidin 2008). Keunggulan lain susu kambing adalah lebih mudah untuk dicerna dan diserap oleh tubuh
karena memiliki partikel lemak dan protein lebih kecil dibandingkan susu sapi, sehingga sangat
memungkinkan untuk dikonsumsi oleh bayi. Penelitian Prosser (2001; 2004) menyimpulkan, bahwa

versi elektronik
penggunaan susu kambing memberikan efek yang menguntungkan terhadap saluran pencernaan dan
pencegahan kerusakan villi usus, mampu mencegah atau mengurangi kerusakan usus akibat penggunaan
indometachin dan stress akibat suhu tinggi.
Bahaya foodborn disease yang ditimbulkan akibat cemaran mikroba patogen pada susu perlu segera
diatasi. Pasteurisasi merupakan cara olah minimal untuk mencegah kerusakan dan berkembangnya bakteri
patogen pada susu dalam jangka waktu tertentu. Cara ini diharapkan dapat mempertahankan kualitas susu
lebih lama sampai tangan konsumen, sehingga menjamin keamanan susu agar layak untuk dikonsumsi.
Namun untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam rangka menjamin keamanan pangan berbasis
susu perlu adanya langkah yang komperhensif. Langkah tersebut terutama terkait dengan belum adanya
standar kualitas susu kambing sebagai pangan hewani. Selama ini untuk mengetahui kulitas susu kambing
yang di persyaratan dalam Standar Nasional Indonesia SNI No. 01-6366-2000 masih didasarkan pada
susu sapi. Untuk memperoleh standar kualitas susu kambing diperlukan kajian yang mendalam mengenai
besarnya cemaran mikroba, sifat fisik, dan komposisi kimia susu kambing yang dipelihara di peternakan

versi elektronik
rakyat.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat cemaran mikroba berbahaya pada susu kambing meliputi
besarnya jumlah (total) mikroba, coliform, E.coli, Stapilococcus, dan Salmonella sp di peternakan
kambing perah rakyat yang berlokasi di Kabupaten Tegal. Diharapkan dengan penelitian ini konsumen
susu kambing dapat terlindungi dari kontaminasi mikroba berbahaya karena susu dibeli memenuhi
standar kelayakan untuk dikonsumsi.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan selama 7 bulan mulai tanggal 1 Mei sampai 20 September 2013. Tempat
penelitian di Laboratorium Produksi Ternak Perah dan Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fapet
Unsoed, dan Laboratorium Teknologi Hasil Ternak IPB.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kambing perah yang dipelihara di
peternakan rakyat Kabupaten Tegal yang terhimpun dalam kelompok peternak “Mendani” (dengan

versi elektronik
jumlah 4 liter untuk setiap pengambilan sampel). Sampel susu diambil secara komposit dari kambing
laktasi pada pemerahan pagi hari (jam 08.00 wib), dengan membedakan antara peternak yang melakukan
pemerahan dan penanganan pasca pemerahan sesuai standart yang ditentukan (secara saniter dan
higenies) dan yang tidak sesuai standart. Media untuk pengujian mikroba terdiri Eosin Methilyne Blue
Agar (EMBA), Lactose Broth (LB), Tetrathionate Broth (TTB), Rappaport Vassiliadis (RV), Xylose
Lysine Deoxycholate (XLD), Hektoen Enteric Agar (HEA), Bismuth Sulfite Agar (BSA), Triple Sugar

543
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Iron (TSI) dan Lysine Iron Agar (LIA), Nutrient Agar (NA). Bahan kimia yang digunakan alkohol 70%,
aquadestilata, buffer (dengan pH 7). Peralatan yang digunakan seperangkat alat untuk analisa bakteri,
incubator, outoclave, kompor listrik, timbangan analitik, mikropipet, pH meter, sentrifus, magnetic stirer,
vortex, lemari pendingin, dan labu Erlenmeyer 100 ml.

versi elektronik
Pengujian jumlah dan jenis mikroba pencemar susu, meliputi uji kuantitatif angka total mikroba (BAM,
2001), uji koliform dengan metode MPN (BAM, 2001), uji E. Coli, (AOAC 2006), uji Staphylococcus
aureus (BAM, 2001), dan uji Salmonella (BAM, 2001).
Penelitian dilakukan dengan metode experiment, dengan membedakan antara peternak yang melakukan
pemerahan dan penanganan pasca pemerahan dengan benar sesuai standart (secara saniter dan higinies)
dan yang tidak sesuai standart. Bahan utama adalah susu kambing yang diambil secara komposit dari
kambing yang laktasi sejumlah satu liter untuk setiap pengambilan sampel, sebagai ulangan adalah waktu
pengambilan sampel (yaitu tiga hari sekali selama 8 kali). Selain data utama juga diambil data pendukung
yang dilakukan dengan wawancara kepada peternak kambing secara terstruktur. Data yang diperoleh
(untuk jumlah cemaran mikroba) dianalisis dengan menggunakan uji “t” (Steel dan Torrie, 1991), serta
dilakukan pengujian secara deskriptif dengan menggunakan Standart Nasional Indonesi (SNI, 2000).

versi elektronik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Tegal merupakan daerah yang terletak di pesisir pantai Utara dengan ketinggian 135 meter di
atas permukaan laut, dengan rata-rata curah hujan sepanjang tahun sebesar 140,00 mm, suhu udara rata-
rata 26,9ºC, dan kelembaban udara 82%. Luas wilayah adalah 87.879 Ha yang berupa tanah sawah dan
tanah kering (Pemkab. Tegal, 2011). Kecamatan Dukuhturi merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Tegal dengan luas 1.748.389 Ha , Curah hujan di kecamatan ini tertinggi pada bulan Januari
584 mm dan terendah pada bulan November 141 mm. Kepadatan penduduknya 101.754 jiwa (6,52% dari
jumlah penduduk Kabupaten Tegal), dan 0,64% (67 orang) masyarakat di wilayah Kecamatan Dukuhturi
memanfaatkan untuk memelihara kambing perah dan sebagian besar (43 orang) tergabung dalam
Kelompok Peternak Kambing Perah “Mendani”.
Bangsa kambing yang dipelihara adalah Peranakan Etawa, Jawa Randu,Sapera dan Saanen dengan jumlah
kepemilikan berkisar 20-100 ekor, dengan lokasi kandang berada di sekitar pemukiman penduduk.

versi elektronik
Sumber pakan yang mereka dapatkan dengan cara membeli dari petani, namun ada beberapa peternak
yang memiliki lahan khusus yang disediakan untuk menanam tanaman pakan ternak dan memanfaatkan
limbah pertanian yang berada disekitar kandang. Sistem pemeliharaan tradisional, dengan model kandang
panggung.
Pemerahan dilakukan satu kali sehari, yaitu antara pukul 08.00 wib, dan setiap akan melakukan
pemerahan kandang dibersihkan, namun sebagian besar peternak tidak melakukan pemerahan sesuai
dengan standart yang ditentukan, misal tidak mencuci tangan dan ambingnya terlebih dahulu. Akibatnya
ambing akan tekontaminasi bakteri yang dapat menyebabkan penyakit mastitis begitu pula dengan susu
hasil pemerahana mudah terkontaminasi bakteri sehingga akan menurunkan kualitasnya (Millogo et al,
2008).
Tingkat Cemaran Mikroba Susu Kambing
Susu sangat bermanfaat bagi pemenuhan gizi terutama pada masa anak-anak untuk meningkatkan

versi elektronik
pertumbuhan dan kecerdasan. Generasi cerdas yang sehat, dianjurkan untuk mengkonsumsi susu secara
teratur, karena kandungan zat gizi lengkap yaitu protein, laktosa, lemak, vitamin dan mineral yang
berperan penting bagi pertumbuhan, penggantian sel rusak, dan meningkatkan sistim imun tubuh.
Komponen tersebut juga diperlukan untuk pertumbuhan mikroba, baik patogen maupun bakteri pembusuk
pangan, sehingga susu merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, karena susu mudah sekali
tercemar oleh mikroba (Ruegg, 2003).

544
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penyediaan susu yang berkualitas menjadi persyaratan untuk keamanan pangan bagi konsumen, antara
lain susu harus bebas dari pencemaran mikroba patogen, tidak mengandung toksin, kadar total bakteri
rendah, dan memiliki flavor khas susu (Tascy, 2011) Susu mudah tercemar mikroorganisme bila
penanganannya tidak memperhatikan aspek kebersihan. Tingginya jumlah bakteri dalam susu pada

versi elektronik
peternakan rakyat umumnya dipengaruhi oleh prosedur praktik manajemen pemerahan yang belum
mengikuti standar sanitasi dan higiene pangan. Jumlah cemaran mikroba susu kambing segar pada
peternakan rakyat yang tergabung pada kelompok “Mendani” Kabupaten Tegal terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata cemaran dan species mikroba pada susu kambing di peternakan rakyat Kabupaten
Tegal
Ulangan Total mikroba Total coliform S. aureus E.coli Salmonella Sp
ke (log cfu/ml) (cfu/ml) (logcfu/ml)
P*) TP**) P*) TP**) P*) TP**) P*) TP**) P*) TP**)
2 2
1 4.95 5.10 28 2,4 x 101 <2 x10 <2 x10 - + - -

2 4.58 4.71 3.6 21 <2 x102 <2 x102 - + - -


2 2
3 6.05 8.23 23 11 x 103 <2 x10 <2 x10 - + - +

versi elektronik
2 2
4 5.59 6.52 150 24 x 102 <2 x10 <2 x10 - + - +
2 2
5 5.56 6.33 3.6 43 <2 x10 <2 x10 - + - +
2 2
6 7.83 7.04 <3 24 x 102 <2 x10 3 x 10 - + - +
2 2
7 5.64 6.70 <3 24 x 102 <2 x10 <2 x10 - + - +
2 2
8 6.15 6.54 <3 11x 102 <2 x10 2.75x 10 - + - +
T hitng -1.685 -2.870 -1.305
Ttabel 2.042 2.042 2.042
Hasil Tidak berbeda nyata Berbeda nyata Tidak berbeda nyata
Keterangan :
*) Peternak yang melakukan pemerahan sesuai dengan standart yang ditentukan
**) Peternak yang melakukan pemerahan tidak sesuai dengan standart yang ditentukan

Tabel 1 menunjukkan, total mikroba berkisar 4,95 –8,23 log cfu/ ml, dan jumlah yang lebih banyak

versi elektronik
ditemukan pada susu kambing yang dihasilkan oleh peternak yang belum melakukan pemerahan sesuai
standart yang ditentukan, karena batas cemaran mikroba berdasarkan SNI (2000) yaitu <10 6 cfu/ml.
Tingginya jumlah cemaran mikroba, dimungkinkan karena proses pemerahan yang dilakukan tidak
memenuhi persyaratan sanitasi dan higienes, sehingga bakteri yang ada disekitar ambing ikut terbawa
selama proses pemerahan. Selain itu kontaminasi silang bisa terjadi oleh tangan pekerja, air yang
digunakan untuk mencuci maupun dari udara. Selain faktor eksternal, maka faktor internal dari hewan
itu sendiri yang menyebabkan terjadinya kontaminasi bakteri, sehingga meningkatkan jumlah total bakteri
pada susu segar (Hadiwiyoto, 1994). Jumlah cemaran yang melebihi ambang batas cemaran maksimum
untuk susu segar menurut SNI juga terjadi pada susu sapi pada skala peternakan rakyat oleh Penelitian
Balia dkk. (2006) menunjukkan, bahwa susu segar dari peternakan sapi perah rakyat di Lembang,
Bandung mengandung bakteri total pada susu segar adalah 3,70 x 10 6 cfu/ml.
Koliform merupakan kelompok bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan
kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan produk-produk susu. Adanya bakteri

versi elektronik
koliform di dalam susu menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat enteropatogeni
dan/atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (Fardiaz, 1989). Kelompok bakteri coliform
digunakan sebagai indikator sanitasi penanganan susu, jika bakteri coliform mengkontaminasi susu
maupun jumlah bahan pangan yang relatif besar akan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia,
sehingga Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2000 telah menetapkan Batas Maksimum Cemaran

545
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Mikroba dalam susu segar, untuk total bakteri pada susu segar <1 x 106 cfu/ml, dan untuk total bakteri
coliform pada susu segar < 2 x 101 cfu/ ml.
Jumlah koliform yang terdeteksi pada susu kambing segar (Tabel 1) pada sentra peternakan kambing

versi elektronik
perah di Kabupaten Tegal pada peternak yang sudah melakukan pemerahan sesuai dengan standart
berbeda nyata (tingkat kepercayaan 5%) lebih baik dibandingkan dengan yang belum sesuai standart.
Bahkan beberapa sampel susu yang diambil mempunyai jumlah koliform yang melebihi ambang batas
cemaran maksimum menurut SNI (1998), dimana cemaran maksimum koliform sebesar 20 cfu/ml.
Sampel susu yang mempunyai cemaran tinggi, kemungkinan disebabkan oleh peralatan yang tidak
saniter, sehingga dimungkinkan sebagai salah satu media terjadinya peningkatan jumlah coliform pada
susu segar. Adanya perbedaan jumlah coliform pada susu juga menunjukkan bahwa pendampingan dan
pelatihan yang dilakukan sudah ada peningkatan kualitas susu. Artinya bahwa apabila pemerahan
dilakukan dengan benar maka kontaminasi coliform bisa terjaga. Adapun prosedur pemerahan yang benar
adalah (a) mencuci ambing sebelum diperah; (b) melakukan perabaan/pemijatan pada ambing; (c)
menggunakan pelicin saat pemerahan; (d) melakukan dipping setelah pemerahan (e) melakukan
penyaringan susu; (f) sanitasi peralatan yang digunakan tetap terjaga; (g) pemerah harus dalam keadaan
sehat dan bebas dari penyakit menular.

versi elektronik
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Balia, dkk. (2006) pada susu sapi segar juga mengandung
jumlah coliform yang melebihi ambang batas cemaran maksimum SNI. Adanya coliform di dalam susu
segar dikhawatirkan dapat berkembang biak, sehingga keberadaannya di dalam suatu bahan pangan dapat
menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia. Semakin tinggi tingkat kontaminasi bakteri coliform,
semakin tinggi pula risiko kehadiran bakteri-bakteri patogen lain yang biasa hidup dalam kotoran manusia
dan hewan. Kehadiran coliform pada susu segar sangat tidak diharapkan, disamping itu kehadiran
coliform dapat dijadikan sebagai indikator adanya pencemaran feses manusia maupun hewan ke dalam
susu segar (Balia, dkk. 2006). Selanjutnya dijelaskan bahwa, pencemaran pada susu terjadi sejak proses
pemerahan, dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia,
peralatan, dan udara. Air susu yang masih di dalam kelenjar susu dapat dikatakan steril, setelah keluar
dari ambing dapat terjadi kontaminasi. Kontaminasi dapat terjadi dari ambing sapi, tubuh sapi, debu di
udara, peralatan yang kotor, dan manusia yang melakukan pemerahan.
Coliform mengakibatkan adanya kerusakan yang tidak diinginkan, sehingga menurunkunkan kualitas

versi elektronik
susu dan menjadikan susu tidak layak konsumsi. Usaha untuk mencegah adanya kerusakan dan adanya
bakteri patogen pada susu diperlukan suatu penanganan lebih lanjut antara lain dengan prosedur
pemerahan dan pasca pemerahan dengan benar. Penanganan ini diharapkan dapat memberi daya tahan
yang lebih lama terhadap susu dan menjamin keamanan susu agar layak untuk dikonsumsi.
Tabel 1 terlihat, beberapa sampel susu positip (terkontaminasi) oleh bakteri E.coli, dan Salmonella Sp
terutama pada peternak yang pemerahannya tidak mengikuti standart, sedangkan jumlah bakteri S.
Aureus melebihi batas cemaran mikroba (untuk peternak yang tidak mengikuti standart), yang telah
ditetapkan SNI (2000) yaitu < 1x102 cfu/ml susu, selanjutnya kandungan bakteri E.coli, dan Salmonella
Sp harus negatif. Artinya bahwa, sampel susu kambing yang diuji tidak aman dikonsumsi secara
langsung, karena adanya potensi bahaya mikrobiologis yang dapat ditimbulkan oleh E.coli, Salmonella
Sp, dan S. Aureus, sehingga dapat menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Diperlukan adanya pembinaan dan pendampingan pada peternak, mengingat saat ini
minat masyarakat untuk mengkonsumsi susu kambing semakin meningkat sehingga konsumen tidak
dirugikan.

versi elektronik
Adanya bakteri tersebut dapat dijadikan sebagai indikator, bahwa dalam susu segar telah tercemar oleh
feses apabila penanganan tidak higienes. Selain itu juga menandakan bahwa proses penanganan yang
tidak higienes, seperti kondisi kandang, sanitasi pemerahan, proses penampungan susu, dan kondisi
pemerah dapat berpengaruh terhadap susu yang dihasilkan. Sejalan dengan hasil penelitian Fitriyani

546
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
(2011) di peternakan sapi perah , bahwa ada hubungan kebersihan sapi, higiene pemerah, sanitasi
peralatan dengan jumlah bakteri S. aureus dalam susu segar.
E. coli jika masuk ke dalam saluran pencernaan dalam jumlah banyak dapat membahayakan kesehatan,

versi elektronik
walaupun E. coli merupakan bagian dari mikroba normal saluran pencernaan, tapi saat ini telah terbukti
bahwa galur-galur tertentu mampu menyebabkan gastroeritris taraf sedang hingga parah pada manusia
dan hewan.
Bakteri salmonella adalah bakteri yang menular dengan kecepatan luar biasa, dan bisa merusak bahan
pangan dalam waktu yang sangat cepat. Infeksi Salmonella, disebabkan oleh bakteri Salmonellosis, bisa
menyebabkan dehidrasi ekstrim dan juga kematian. Salmonella dapat mencemari hampir segala tipe
makanan. Pencemaran dan penyebaran infeksi dan bakteri Salmonella ini dapat berasal dari feces hewan
atau manusia yang berhubungan dengan makanan selama pemrosesannya atau panen. Racun-racun yang
dihasilkan oleh bakteri dapat merusak dan membunuh sel-sel yang melapisi usus-usus, yang berakibat
pada kehilangan cairan usus (diare).

KESIMPULAN
Bila pemerahan dan penanganan susu kambing pasca pemerahan secara higienes dan saniter terjaga,

versi elektronik
maka kontaminasi/cemaran mikroba dapat dihindari dan dapat memenuhi stadart SNI (2000), sehingga
konsumen akan terlindungi. Perlu pemantauan dan pendampingan terhadap peternak kambing perah agar
susu kambing yang diproduksi berkualitas baik dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPM) Unsoed atas dukungan dana yang diberikan untuk kelancaran pelaksaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC, Association of Official Analytical Chemist 2006. Official Methods of Analysis, Washington
DC.
[BAM] Bacteriological Analilytical Manual Online. 2001. http://www.cfsan.fda.gov/ ebam.html
[diakses tanggal 25 September 2009].

versi elektronik
Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 01-6366-2000, Batas Maksimum CemaranMikroba dan Batas
Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Balia R L., E. Harlia, dan D. Suryanto 2006. Jumlah Bakteri Total dan Koliform Pada Susu Segar
Peternakan Sapi Perah Rakyat Dan Susu Pasteurisasi Tanpa Kemasan Di Pedagang Kaki Lima.
Makalah Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020.
Dewan Standarisasi Nasional SNI Susu Segar nomor 01-3141-1998 .
Fardiaz S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan . Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor.
Fitriyani. 2011. Hubungan Higiene daan Sanitasi Pemerahan terhadap keberadaan Staphylococcus aureus
pada Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis (Studi di Peternakan Sapi Perah Desa Sruni
Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Thesis. Undip, Semarang

versi elektronik
Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty. 2: 160-169.
Millogo, V.G.A. Quedraogo, S. Agenasi, K. Svennersten-sjaunja. 2008. Survey on Dairy Milk Production
and Milk Quality Problems in Peri-Urban Area in Burkina. African Journal of Agricultural
Research 3 : 215-224.
Pemerintah Kabupaten Tegal. 2009. Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Wilayah Kabupaten
Tegal dari Tahun 2009 sampai 2014. http://www.tegal.go.id/pdf_files/rpjmd_kab_tegal_2009-

547
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
2014/BAB%20II.%20GAMBARAN%20UMUM%20KONDISI%20DAERAH.pdf. Diakses 11
Oktober 2011.
Prosser C , 2001. New Zealand goat milk reduces gut damage by indomethacin. Poster paper presented at

versi elektronik
the NZ Conference, Hamilton, New Zealand, 2001.
____ , K. Stelwagen, R. Cummins, P. Guerin, N. Gill and C. Milne. 2004. Reduction in heat-
induced gastrointestinal hyperpermeability in rats by bovine colostrum and goat milk powders.
J.Appl. Physiol 96: 650 – 654.
Ruegg. P.L. 2003. Practical food safety inteventions for dairy production. Journal. Dairy. Sci. 86 : E1-
E9.
Sodiq, A dan Z. Abidin 2008. Meningkatkan produksi susu kambing Peranakan Etawa. Cetakan
pertama. Agromedia Pustaka.
Steel, R.G, J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan B. Soemantri. Gramedia
Puataka Utama. Jakarta. Hal: 12
Tascy F, 2011. Microbiological and chemical properties of raw milk consumed in Burdur. Journal of

versi elektronik
Animal and Veterinary Advances 10 (5) : 635-641.

versi elektronik

versi elektronik 548


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
RESPON PROSTAGLANDIN TERHADAP KINERJA BERAHI PADA KAMBING PE DAN
SAPERA
Umi Adiati

versi elektronik
Balai Penelitian Ternak, Ciawi. PO Box 221; email: umiadiati@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penyerentakan berahi adalah memanipulasi proses reproduksi ternak hingga mengalami peristiwa berahi
secara bersamaan. Salah satu hormon penyerentakan berahi yang digunakan adalah prostaglandin yang
mampu menginduksi terjadinya regresi CL yang mengakibatkan estrus (Widianto, 1991). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh hormon prostaglandin terhadap kinerja berahi pada
kambing PE dan Sapera. Penelitian dilakukan di kandang Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Jumlah
ternak yang digunakan adalah 32 ekor PE dan 20 ekor Sapera yang dibagi atas empat level konsentrasi
hormon penyerentak birahi (PGF2α) Yaitu : (P1) = 0,50 mg, (P2) = 1,00 mg, (P3) = 1,25 mg dan (P4) =
2,50 mg. Hormon PGF2α disuntikan secara intra musculer sebanyak 2 kali dengan interval 11 hari.
Sebelum penyuntikan PGF2α kedua tiba dilakukan menyuntikan PMSG (Pregnan Mare Serum
Gonadrotopin). Deteksi berahi dimulai sejak penyuntikan PMSG dan diulang setiap 3 jam dengan
menggunakan pejantan Anglo Nubian dan pejantan Sapera yang langsung dikawinkan secara alami.

versi elektronik
Parameter yang diamati adalah persentase berahi, munculnya berahi dan lama berahi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penyerentakan berahi dengan menggunakan hormon prostaglandin (PGF2α)
memberikan hasil 71,9% kambing PE dan 95% kambing Sapera berahi. Rataan muncul berahi pada
kambing Peranakan Etawah sekitar 55,04 ± 48,52 jam dan kambing Sapera 98,53 ± 77,99 jam, sedangkan
lama berahi pada kambing PE 16,17 ± 8,08 jam dan pada kambing Sapera 24,32 ± 11,26 jam. Hasil
analisis statistik menunjukkan bahwa untuk interaksi antara bangsa ternak kambing dengan level
konsentrasi PGF2α pada onset berahi tergantung pada ternak tertentu dan level konsentrasi PGF2α
tertentu, sedangkan interaksi antara bangsa ternak kambing dengan level konsentrasi PGF2α pada lama
berahi tidak berbeda (P>0,05).
Kata Kunci : Kambing PE, kambing Sapera, Prostaglandin

ABSTRACT
Prostaglandin hormone is effective in inducing regression of the corpus luteum which resulted in oestrus.

versi elektronik
The purpose of this study was to determine the effect of prostaglandins on oestrus percentage in Etawah
grade (PE) and Sapera (Saanen x PE) goats. About 32 PE of and 20 Sapera does were used and divided
into four levels of the hormone concentration (PGF2α ): (P1) = 0,50 mg, (P2) = 1,00 mg, (P3) = 1,25 mg
and (P4) = 2,50 mg. Parameters measured were the percentage of oestrus, onset of oestrus and oestrus
duration . The results showed that PGF2α gave 71.9 % and 95 % oestrus for PE and Sapera, respectively.
Onset of oestrus appeared within 55.4 ± 48.52 hours for PE and 98.53 ± 77.99 hours for Sapera , while
duration of estrus were 16.17 ± 8.08 hours for PE and 24.32 ± 11.26 hours for Sapera goat. Statistical
analysis showed that For the interaction of between breed of goat by level is concentration PGF2α at
onset of oestrus depend on certain breed and level of concentration PGF2α certain, while interaction of
between breed of goat by level is concentration PGF2α at duration of oestrus did not differ (P>0,05).
Key words: Etawah Grade (PE), Sapera, Prostaglandin

PENDAHULUAN

versi elektronik
Ternak kambing Peranakan Etawah (PE) dan Sapera di Indonesia terutama digunakan sebagai penghasil
daging dan susu. Kambing Peranakan Etawah (PE) yang ada sekarang merupakan hasil persilangan
antara kambing Etawah dengan kambing Kacang yang terjadi pada jaman pendudukan Belanda yakni
sekitar tahun 1905, yang didatangkan oleh orang-orang Arab ke Indonesia, sedangkan kambing Sapera
merupakan hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawah dengan kambing Saanen. Menurut data
Ditjen Peternakan, populasi kambing nasional dalam 5 tahun terakhir terus meningkat yakni dari
15.815.000 ekor pada tahun 2009 menjadi 18.576.000 ekor pada tahun 2013. Namun sampai saat ini

549
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
penyebaran kambing Peranakan Etawah ini masih sangat terbatas dengan total populasi sekitar 12 juta
ekor, tersebar tidak merata diseluruh wilayah Indonesia dan hanya 60% dari populasi tersebut ada di
Pulau Jawa dan Madura (Direktorat Jenderal Peternakan, 2013).

versi elektronik
Untuk tujuan produksi susu secara kontinyu, kambing PE maupun Saanen diperlukan manajemen yang
teratur dan faktor yang sangat penting adalah meningkatkan produksi ternak melalui produksi anak yang
akhirnya menghasilkan susu, akan tetapi hal ini sangat tergantung pada kemampuan reproduksi induk.
Untuk mempercepat produksi anak dan akhirnya menghasilkan susu dalam jumlah banyak maka
diperlukan teknologi reproduksi yaitu dengan menyerentakkan ternak-ternak induk dan mengawinkan
baik secara alami ataupun secara inseminasi buatan agar dapat diperoleh anak secara masal dan produksi
susu yang sesuai dengan kebutuhan.
Hormon penyerentak berahi yang biasa digunakan pada ternak kambing diantaranya adalah progesteron
yang dikemas dalam bentuk CIDR ataupun spons, sedangkan hormon prostaglandin jarang digunakan
pada ternak ruminansia kecil (kambing dan domba). Keuntungan dari penyerentakan berahi adalah dapat
mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi berahi, pengaturan perkawinan, kelahiran dan
tatalaksana yang lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek/respon penggunaan prostaglandin terhadap kinerja berahi

versi elektronik
yang pada kambing PE dan Saanen.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di kandang kelompok Balai Penelitian Ternak Ciawi dengan menggunakan 52 ekor
ternak kambing betina dewasa (32 ekor kambing PE dan 20 ekor kambing Sapera). Semua ternak diberi
pakan rumput Gajah dan konsentrat GT03 300 – 400 gram/ekor/hari. Ternak dikelompokkan kedalam
empat (4) kandang kelompok penyerentakan berahi. Untuk mendeteksi berahi digunakan pejantan Anglo
Nubian untuk induk PE sedangkan induk Sapera dideteksi dengan pejantan Sapera. Bahan yang
digunakan untuk menyerentakkan berahi adalah hormon prostaglandin (PGF2α) yang dibagi atas empat
level konsentrasi yaitu : P1 = 0,50 mg, P2 = 1,00 mg, P3 = 1,25 mg dan P4 = 2,50 mg. Penyuntikan
PGF2α dilakukan secara intra musculer sebanyak 2 kali dengan interval 11 hari. Sebelum (48 jam) dan
setelah (0 jam) waktu penyuntikan PGF2α kedua tiba, kemudian dilakukan menyuntikan PMSG (Pregnan
Mare Serum Gonadrotopin) yang berfungsi untuk mempercepat agar ovum yang mulai membesar untuk
cepat matang.

versi elektronik
Deteksi berahi dimulai sejak penyuntikan PGF2α yang kedua dan diulang setiap 3 jam sekali dengan
menggunakan pejantan yang telah disiapkan dan dilakukan selama 10 hari. Kambing yang menunjukkan
tanda berahi kemudian langsung dikawinkan secara alami. Dua bulan setelah di kawinkan dilakukan
pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan teknik ultrasonografi. Peubah yang diamati adalah
jumlah ternak yang menunjukkan berahi setelah penyuntikkan PGF2α, onset berahi (munculnya berahi)
dan lama berahi.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan model linier umum yang dibantu dengan alat bantu paket
program SAS ver. 6.12. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan digunakan uji beda nyata Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada penelitian ini rataan bobot badan kambing PE yang digunakan adalah 38,87 ± 4,76 kg dan kambing
Sapera 33,69 ± 3,17 kg. Ternak kambing di kandang Balai Penelitian Tenak Ciawi secara umum terlihat

versi elektronik
bahwa dengan penggunaan hormon penyerentak berahi prostaglandin (PGF2α) yang disuntikkan secara
intra muscular menghasilkan ternak kambing berahi, dimana total ternak kambing PE yang menunjukkan
berahi sebanyak 71,9% dan kambing Sapera 95%, kemudian yang berhasil beranak 73,9% pada kambing
PE dan 63,2% pada kambing Sapera (Tabel 1). Dari hasil ini terlihat bahwa kambing Sapera memberikan
respon berahi yang lebih baik daripada kambing PE. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penyerentakkan
berahi yang menggunakan hormon progesteron baik dalam bentuk CIDR maupun spons dengan hasil

550
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
sekitar 70 - 100% ternak berahi (Artiningsih dkk, 1996; Adiati dkk., 2012). Keadaan ini menggambarkan
bahwa secara fisiologi kambing pengamatan tidak mengalami gangguan reproduksi (berahi). Dari ke
empat level konsentrasi PGF2α yang digunakan, maka konsentrasi 1,0 mg memberikan respon berahi
sampai beranak yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang lainnya (0,5 mg; 1,25 mg dan 2,50 mg)

versi elektronik
baik pada kambing PE (21% berahi dan 30,4% beranak) maupun Sapera (25% berahi dan 21,1%
beranak). Sedangkan berahi terendah pada kambing PE terjadi pada ternak yang diberi 2,5 mg PGF2α,
akan tetapi pada kambing Sapera terendah yang diberi 1,25 mg PGF2α.
Tabel 1. Respon level konsentrasi PGF2α terhadap kinerja berahi kambing
Level konsentrasi Peranakan Etawah Sapera
PGF2α Berahi Beranak Berahi Beranak
N % N % N % N %
0,5 mg 6 18,8 4 17,4 5 25 3 15,8
1,0 mg 7 21,8 7 30,4 5 25 4 21,1
1,25 mg 6 18,8 4 17,4 4 20 2 10,5
2,5 mg 4 12,5 2 8,7 5 25 3 15,8
Jumlah 23 17 19 12

versi elektronik
Persen 71,9 73,9 95 63,2

Onset Berahi (Timbul berahi)


Pada tabel 2. Nampak bahwa munculnya berahi (onset berahi) berkisar 2 - 4 hari setelah penyuntikan
PGF2α yang kedua dan PMSG. Rataan munculnya berahi pada ternak kambing Peranakan Etawah sekitar
55,04 ± 48,52 jam dan kambing Sapera berahi muncul 98,53 ± 77,99 jam. Munculnya berahi pada hasil
penelitian ini lebih lambat (lebih lama) dibandingkan hasil penelitian Adiati dkk (2012) yaitu 42,75 ±
11,57 jam pada kambing PE dan 53,25 ± 12,58 jam pada kambing Sapera.
Tabel 2. Pengaruh sinkronisasi terhadap munculnya berahi pada kambing PE dan Sapera
Jenis ternak Level konsentrasi PGF2α
0,5 mg 1,0 mg 1,25 mg 2,5 mg
58,00 ± 47,08ab 36,86 ± 28,66a 64,00 ± 60,88ab 69,00 ± 67,39ab

versi elektronik
Kambing PE (jam)
Kambing Sapera (jam) 178,80 ± 29,13c 79,20 ± 82,48ab 93,00 ± 92,85b 78,60 ± 46,06ab
Ket: Nilai superskrip pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Dari hasil analisis statistik bahwa interaksi bangsa ternak dengan level konsentrasi PGF2α positif, artinya
cepat lambatnya onset berahi pada bangsa tertentu tergantung dari level konsentrasi PGF2α yang
diberikan. Munculnya berahi tercepat terjadi pada ternak kambing PE yang diberi perlakuan 1,0 mg
PGF2α (36,86 ± 28,66 jam), sedangkan pada kambing Sapera yang diberi perlakuan PGF2α 1,0 mg dan
2,5 mg memberikan respon yang sama. Paling lambat muncul berahi pada kambing Sapera terjadi pada
ternak yang diberi 0,5 mg PGF2α. Munculnya berahi pada hasil penelitian ini lebih lambat (lebih lama)
dibandingkan hasil penelitian Kumar and Thomas (1994) dan El- Amrawi dkk. (1993a) yang sama-sama
memberikan hasil 48 jam ternak muncul berahi.
Lama Berahi

versi elektronik
Untuk rataan lama berahi pada kambing PE sekitar 16,17 ± 8,08 jam dan pada kambing Sapera 24,32 ±
11,26 jam. Berahi paling lama terjadi pada ternak kambing Sapera yang diserentakkan berahinya dengan
level konsentrasi PGF2α 0,5 mg dibandingkan dengan level yang lainnya. Pada tabel 3 dapat dilihat
bahwa dari hasil analisis statistik interaksi bangsa ternak dengan level konsentrasi PGF2α pada lama
berahi negatif, artinya lamanya berahi tidak tergantung/tidak berbeda nyata baik pada bangsa maupun
level konsentrasi PGF2α yang diberikan (P>0,05).

551
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 3. Pengaruh sinkronisasi terhadap lama berahi pada kambing PE dan Sapera
Jenis ternak Level konsentrasi PGF2α
0,5 mg 1,0 mg 1,25 mg 2,5 mg

versi elektronik
a a a
Kambing PE (jam) 15,00 ± 8,90 17,57 ± 6,35 14,00 ± 8,63 18,75 ± 10,78a
Kambing Sapera (jam) 40,00 ± 16,52a 29,00 ± 1,73a 26,25 ± 6,65a 32,40 ± 11,10a
Ket: Nilai superskrip pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Kebuntingan
Pada Tabel 4. dapat dilihat bahwa dari 32 ekor ternak kambing PE yang dikawinkan, diperoleh 21 ekor
ternak kambing PE bunting (65,6%), sedangkan dari 20 ekor ternak kambing Sapera yang dikawinkan 13
ekor bunting (65%). Dari hasil ini terlihat bahwa baik pada kambing PE maupun Sapera yang si
serentakkan berahinya dengan menggunakan PGF2α dan PMSG memberikan hasil yang sama dalam hal
kebuntingan yaitu sekitar 65%. Hasil ini lebih rendah dari penelitian yang dilaporkan oleh El- Amrawi
dkk. (1993a) yang memberikan tingkat kebuntingan 80%.

versi elektronik
Tabel 4. Persentase kebuntingan ternak kambing PE dan SAPERA hasil sinkronisasi berahi dengan
PGF2α dan PMSG.
Uraian PGF2α
0,5 mg 1,0 mg 1,25 mg 2,5 mg
Kambing PE
Jumlah ternak dikawinkan (ekor) 8 8 8 8
Ternak positif bunting (ekor) 5 7 5 4
Persentase kebuntingan (%) 62,5 87,5 62,5 50
Kambing SAPERA
Jumlah ternak dikawinkan (ekor) 5 5 5 5

versi elektronik
Ternak positif bunting (ekor) 4 4 2 3
Persentase kebuntingan (%) 80 80 40 60

Untuk ternak yang mendapat perlakuan PGF2α 1,0 mg memberikan kebuntingan yang lebih tinggi (80% -
87,5%) dibandingkan dengan level konsentrasi PGF2α yang lainnya. Pada kambing PE kebuntingan
terendah terjadi pada ternak yang mendapat perlakuan PGF2α 2,5 mg (50% bunting, akan tetapi pada
ternak kambing Sapera yang terendah pada konsentrasi PGF2α 1,25 mg (40% bunting).

KESIMPULAN
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sinkronisasi berahi menggunakan PGF2α membuat 71,9% ternak
kambing PE dan 95% kambing Sapera berahi. Cepat lambatnya onset berahi (muncul berahi) pada bangsa
tertentu tergantung dari level konsentrasi PGF2α yang diberikan dengan rataan munculnya berahi pada

versi elektronik
ternak kambing Peranakan Etawah sekitar 55,04 ± 48,52 jam dan kambing Sapera 98,53 ± 77,99 jam,
sedangkan lamanya berahi tidak tergantung pada bangsa maupun level konsentrasi PGF2α.

DAFTAR PUSTAKA
Adiati, U., 2012. Pengaruh konsentrasi medroxy progesterone acetate terhadap persentase berahi ternak
kambing PE. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Aspek Zooteknis untuk mendukung

552
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
sumberdaya dan ternak lokal. Semarang 19 – 20 Oktober 2011. Fakultas Peternakan, UNDIP.
Hal: 151 – 154.
Artiningsih, N.M., B. Purwantara, R.K. Achyadi dan I.K. Sutama. 1996. Pengaruh penyuntikan Pregnant

versi elektronik
Mare Serum Gonadotropin terhadap kelahiran kembar pada kambing dara Peranakan Etawah.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner vol 2 no 1: 11 -16.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Buku Statistik Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian, Jakarta.
El-Amrawi, G.A. Hussein, F.M. dan El Bawab, I.E. 1993a. Fertility of Saanen goats following induction
of oestrus using PGF2α. Assiut Veterinary Medical Journal 29, 241-248.
Kumar, s.s. dan Thomas, C.K. 1994. Syncronization of oestrus in goats. I. Effect on reproductive
performance and man hour requirement. Indian Journal of Animal Production and Management
10, 74-80.
Widianto, M.B. 1991. Dimanika Obat Edisi 5. ITB. Bandung.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 553


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
LAJU REPRODUKSI INDUK DOMBA KOMPOSIT SUMATERA DI LAPANG
Umi Adiati
Balai Penelitian Ternak. P.O. Box 221.Bogor 16002; email: umiadiati@yahoo.co.id

versi elektronik
ABSTRAK
Domba Komposit Sumatera merupakan domba hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba
St. Croix serta persilangan domba lokal Sumatera dengan Barbados Blackbelly untuk membentuk domba
komposit (K) dengan komposisi 50% domba lokal Sumatera, 25% domba rambut St. Croix dan 25% domba
rambut Barbados Blackbelly. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui data reproduksi domba Komposit
Sumatera yang telah disebarkan di lapang (Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten dan Kabupaten
Brebes, Propinsi Jawa Tengah). Materi yang digunakan adalah seluruh induk domba Komposit Sumatera
yang ada di lapang. Ternak diberi pakan rumput lapang dan limbah sayuran yang tersedia di lokasi serta
dedaunan. Parameter reproduksi yang diamati antara lain: jumlah anak sekelahiran (JAS), jarak beranak
dan tingkat kematian anak periode pra sapih. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
pemeliharaan induk yang dilakukan peternak baru sampai pada paritas ke 3 dan ke 4, dengan rataan
jumlah anak sekelahiran (litter size) di Kabupaten pandeglang (1,79 ekor) lebih tinggi dibanding di
Kabupaten Brebes (1,46 ekor), rataan jarak beranak lebih panjang di Kabupaten Brebes (11 bulan)

versi elektronik
dibanding di Kabupaten pandeglang (10 bulan) dan kematian anak pra-sapih sangat tinggi di Kabupaten
pandeglang yaitu 20,5% sedangkan di Kabupaten Brebes hanya 8,3%. Nilai laju reproduksi induk hasil
perhitungan yang diperoleh di Kabupaten pandeglang dan di Kabupaten Brebes masing-masing adalah
1,70 ekor vs 1,44 ekor. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penampilan induk-induk
domba Komposit Sumatera di kabupaten Pandeglang terlihat lebih bagus dibanding di kabupaten Brebes.
Kata kunci: Domba Komposit Sumatera, Laju reproduksi induk

ABSTRACT
Sumatera Composite Sheep represent the sheep of result of cross of between local Sumatra sheep with St.
Croix sheep and also local Sumatra sheep cross by Barbados Blackbelly to form the composite sheep ( K)
with the composition 50% local Sumatra sheep, 25% St. Croix sheep of hair and 25% Barbados
Blackbelly sheep of hair. This research aim to know the data reproduction the Sumatera Composite
Sheep which have been propagated in village Pandeglang Regency, Banten Province and Brebes Regency

versi elektronik
, Province Central Java). Items used is all Sumatera Composite Sheep of exist in villages. The sheep
given feed by grass and available vegetable waste in location and also leafs. Reproduction parameter
perceived by for example: Litter Size, calving interval and mortality pre-weaning. Result of perception in
field indicate that the mains conservancy done by a new breeder come up with the parity to 3 and to 4, by
average litter size in Pandeglang Regency ( 1,79 head) higher compared to in Brebes Regency (1,46
head), average of calving interval longer in Brebes Regency ( 11 month) compared to in pandeglang
Regency (10 month) and mortality pre-weaning very high in Pandeglang Regency that is 20,5% while in
Brebes Regency only 8,3%. Reproduction rate of result of calculation obtained in Pandeglang Regency
and Brebes Regency of each is 1,70 head vs 1,44 head. Conclusion from this research indicate that the
Sumatera Composite Sheep mains appearance in Pandeglang Regency seen nicer compared to in Brebes
Regency.
Key word: Sumatera Composite Sheep, Reproduction rate

versi elektronik
PENDAHULUAN
Domba Komposit Sumatera merupakan domba hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba
St. Croix serta persilangan domba lokal Sumatera dengan Barbados Blackbelly untuk membentuk domba
komposit (K) dengan komposisi 50% domba lokal Sumatera, 25% domba rambut St. Croix dan 25% domba
rambut Barbados Blackbelly. Domba komposit Sumatera ini dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan
domba yang dapat bertahan hidup sesuai iklim di Indonesia. Domba komposit Sumatera yang ada di Balitnak
beradaptasi baik dengan kondisi lingkungan di Indonesia. Namun sampai saat ini penyebaran domba

554
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Komposit Sumatera ini masih sangat terbatas dan baru hanya beberapa lokasi yang telah diujicobakan
antara lain di kabupaten Pandeglang serta kabupaten Brebes.
Keistimewaan/keunggulan domba Komposit Sumatera adalah menurunkan sifat tahan terhadap penyakit

versi elektronik
parasit cacing Haemoncus contortus dan Fasciola gigantica. Perkembangan perbanyakan bibit domba
komposit Sumatera ini masih perlu diupayakan untuk membantu para peternak domba dalam
meningkatkan usahatani ternak domba yang selama ini banyak dipelihara secara digembalakan, sehingga
pengembangan ternak ini secara luas akan dapat meningkatkan status gizi masyarakat di pedesaan.
Domba Komposit Sumatera selain tahan terhadap parasit cacing juga mempunyai bobot sapih 51,6% lebih
tinggi dari domba lokal Sumatera dan 12% lebih tinggi dibandingkan dengan domba persilangan St. Croix
dan Sumatera. Bobot domba Komposit Sumatera umur 48 minggu generasi pertama, kedua dan ketiga
adalah 25,24 kg, 27,98 kg; dan 25,69 kg yang lebih tinggi dibandingkan dengan domba Barbados x St.
Croix yaitu 22,30 kg. Pertumbuhan lepas sapih domba Komposit Sumatera berkisar antara 92,2 – 112,5
gram/ekor/hari (Subandriyo dkk, 1998; 2000).
Tingginya tingkat kematian domba anak pada fase pra- dan post sapih serta rendahnya laju pertambahan
bobot hidup, merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya laju produksi domba. Banyak faktor yang
berpengaruh terhadap masalah tersebut, disamping faktor genetik, faktor lingkungan terutama pakan yang

versi elektronik
dikonsumsi sangat berpengaruh. Ketersediaan pakan yang tidak berkesinambungan serta rendahnya
kualitas pakan menyebabkan domba akan kekurangan suplai nutrisi yang diperlukan untuk dapat
mengekspresikan potensi genetik yang dimiliki.
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai laju reproduksi induk (LRI) yang berfungsi untuk
mengetahui efisiensi reproduksi dari induk-induk domba Komposit Sumatera yang telah disebarkan di
lapang (pedesaan).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di dua lokasi penyebaran domba Komposit Sumatera di lapang yaitu di Desa Juhut,
Kecamatan Karangtanjung, Kabupaten Pandenglang, Propinsi Banten dan Desa Pandansari, Kecamatan
Paguyangan, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah yang dimulai pada tahun 2009. Pertimbangan
dipilihnya lokasi penelitian tersebut adalah (1) sudah ada kelompok ternak yang bersedia
mengembangkan domba hasil penelitian Balitnak dan (2) sumber pakan hijauan yang tersedia cukup

versi elektronik
banyak. Petani kooperator yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 13 orang di masing-masing
lokasi. Setiap petani diberi ternak induk domba Komposit Sumatera untuk dipelihara, sedangkan pejantan
domba Komposit Sumatera ditempatkan di ketua kelompok untuk dipinjamkan sebagai pejantan. Ternak
diberi pakan rumput lapang, daun-daunan dan limbah sayuran. Pengamatan dilakukan sejak tahun 2009
sampai dengan tahun 2013. Untuk mengetahui efisiensi reproduksi ternak domba komposit Sumatera
yang disebarkan maka diperlukan data-data atau faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah
jumlah anak sekelahiran, selang beranak dan mortalitas karena efisiensi reproduksi dapat dinyatakan
dengan laju reproduksi induk (LRI) yaitu dengan cara menghitung rataan jumlah anak hidup sampai sapih
per induk per tahun. Laju reproduksi induk secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Gatenby,
1986):
LS (1-M)
LRI = (ekor anak sapih/induk/tahun)
SB

versi elektronik
LS = Litter size (jumlah anak sekelahiran/induk)
M = Mortalitas
SB = Selang beranak (tahun)
Parameter reproduksi yang diamati antara lain: jumlah anak sekelahiran (JAS), tipe kelahiran, jarak
beranak dan tingkat kematian anak periode pra sapih.

555
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Reproduksi Induk Domba Komposit Sumatera
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase beranak kembar induk domba komposit Sumatera di

versi elektronik
Kabupaten Pandeglang lebih banyak dibanding beranak tunggal, sedangkan di kabupaten Brebes lebih
dari 50% induk beranak tunggal. Persentase kelahiran anak tunggal, kembar dua dan kembar lebih dari
dua di kabupaten Pandeglang masing-masing 41,26%; 39,04% dan 19,70%. Hasil ini lebih rendah
dibanding di kabupaten Brebes yang persentase kelahiran tunggal sebesar 56,11% dan kembar dua
42,42%, akan tetapi persentase kelahiran kembar diatas dua lebih tinggi.
Tabel 1. Kinerja reproduksi domba Komposit Sumatera induk pada dua lokasi pengamatan
Lokasi Paritas Rataan
1 2 3 4
I. Kab. Pandeglang
Jumlah induk (ekor) 13 11 2 -
Jumlah anak lahir (ekor) 17 17 5 -
Jumlah anak sapih (ekor) 15 12 4 -
JAS 1,31 1,55 2,5 - 1,79

versi elektronik
Persentase beranak (%)
1 69,23 54,54 - - 41,26
2 30,76 36,36 50 - 39,04
>2 - 9,09 50 - 19,70
Tingkat kematian pra-sapih (%) 11,76 29,41 20 - 20,5
1 5,88 - - - 1,96
2 5,88 11,76 - - 5,88
>2 - 17,65 20 - 12,55

II. Kab Brebes


Jumlah induk (ekor) 28 17 12 3
Jumlah anak lahir (ekor) 32 27 17 5
Jumlah anak sapih (ekor) 32 25 16 4

versi elektronik
JAS 1,14 1,59 1,42 1,67 1,46
Persentase beranak (%)
1 85,71 47,06 58,33 33,33 56,11
2 14,29 47,06 41,67 66,67 42,42
>2 - 5,88 - - 1,47
Tingkat kematian pra-sapih (%) - 7,4 5,9 20 8,33
1 - - - 20 5
2 - 7,4 5,9 - 3,33
>2 - - - - -

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pemeliharaan induk yang dilakukan peternak baru
sampai pada paritas ke 4 (maksimal melahirkan 4 kali). Berdasarkan hasil penelitian terhadap rataan
jumlah anak sekelahiran (litter size) domba Komposit Sumatera di kabupaten Pandeglang lebih tinggi
(1,79) dibanding di kabupaten Brebes yaitu 1,46 (Tabel 1). Hasil yang didapat di kabupaten Pandeglang

versi elektronik
lebih tinggi, sedangkan di kabupaten Brebes sebanding dengan hasil penelitian yang di lakukan di
kandang percobaan Balai Penelitian Ternak oleh Subandriyo dkk. (2004) yakni sebesar 1,48 ekor pada
turunan pertama dan hasil ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Adiati dkk. (2012, 2013) sekitar 1,31 –
1,39 ekor. Berdasarkan pengamatan di dua lokasi terlihat bahwa ada kecenderungan semakin
meningkatnya paritas induk maka akan diikuti dengan peningkatan jumlah anak sekelahiran, selain itu
jumlah anak sekelahiran cenderung meningkat pula dengan meningkatnya umur induk.

556
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Jarak Beranak Induk kambing PE
Hasil pengamatan jarak beranak yang diperoleh terlihat bahwa rataan jarak beranak sedikit lebih pendek
di kabupaten Pandeglang (10,04 bulan) dibanding di kabupaten Brebes yaitu 11,18 bulan (Tabel 2). Hasil

versi elektronik
ini lebih panjang dibandingkan dengan yang dipelihara di kandang percobaan Balai Penelitian Ternak
dengan jarak beranak rata-rata 8 bulan. Kondisi ini terjadi karena peternak cenderung sengaja
memperpanjang perkawinan ternaknya setelah melahirkan, dengan alasan memberikan susu pada anak
secara optimal agar dicapai pertumbuhan anak yang maksimal terutama peternak di kabupaten Brebes.
Tabel 2. Data Jarak beranak berdasarkan paritas induk di lokasi pengamatan
Lokasi Kel 1-2 Kel 2-3 Kel 3-4 Rataan
Kab. Pandeglang (bulan) 10,36 9,72 - 10,04
Kab. Brebes (bulan) 9,94 11,54 12,09 11,18

Mortalitas Anak

versi elektronik
Kematian anak pra-sapih di kabupaten Pandeglang cukup tinggi yaitu 20,5% sedangkan di kabupaten
Brebes relatif rendah 8,33%. Dari hasil ini terlihat bahwa domba komposit Sumatera periode pra pasih di
lapang masih sangat rentan kematian dan perlu diperhatikan management pemeliharaannya sehingga
tingkat kematian anak dapat ditekan sekecil mungkin karena kemampuan hidup anak domba merupakan
parameter yang penting dalam perkembangan produktivitas. Tingginya kemampuan hidup dalam satu
populasi ditunjukkan dengan rendahnya tingkat kematian. Hal ini terjadi karena di kabupaten Pandeglang
pemberian pakan hanya satu kali sehari sehingga induk kekurangan pakan yang menyebabkan air susunya
kurang produksinya untuk anak dan menyebabkan kematian anak periode pra sapih, sedangkan di
kabupaten Brebes hanya karena kurang terkontrol pada saat lahir terutama yang lahir pada malam hari.
Laju Reproduksi Induk
Dari data reproduksi ternak domba yang dihasilkan diatas dapat dinyatakan bahwa rataan jumlah anak
sekelahiran di kabupaten Pandeglang sebesar 1,79 ekor dengan laju mortalitas anak pra-sapih sebesar 20,4
persen dan selang beranak sebesar 10,04 bulan maka laju reproduksi induk berdasarkan komponen

versi elektronik
reproduksi tersebut dapat diperkirakan sebesar 1,70 ekor anak sapih/induk/tahun, sedangkan di kabupaten
Brebes dengan rataan jumlah anak sekelahiran 1,46 ekor, laju mortalitas 8,3 persen dan selang beranak
11,18 bulan maka diperoleh nilai laju reproduksi induknya sebesar 1,44 ekor. Disini terlihat bahwa nilai
kuantitatif penampilan induk-induk di lokasi pengamatan kabupaten Pandeglang terlihat lebih bagus
dibanding di kabupaten Brebes, hal tersebut akibat lebih tingginya jumlah anak sekelahiran yang didapat
dan selang beranak yang lebih pendek, walaupun mortalitas anak masih lebih tinggi.

KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan di lapang dapat disimpulkan bahwa penampilan induk-induk domba Komposit
Sumatera di kabupaten Pandeglang terlihat lebih bagus dibanding di kabupaten Brebes, yang terlihat dari
nilai hasil perhitungan LRI yaitu sebesar 1,70 ekor vs 1,44.

DAFTAR PUSTAKA
Adiati, U., Subandriyo dan B. Setiadi. 2012. Pemanfaatan bibit unggul ternak domba Komposit

versi elektronik
Sumatera. Laporan Hasil Penelitian, Nomor Protokol: 1806.013/011/A/R/UPBS/2012. 1986.
Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Adiati, U., Subandriyo dan B. Setiadi. 2013. Perbanyakan bibit unggul ternak domba komposit Sumatera
hasil rakitan Balitnak. Laporan Hasil Penelitian, Nomor Protokol : 1806.012.012/G-
01/R/UPBS/2013. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

557
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Gatenby, R.M. 1986. Sheep production in the tropic and sub tropic. Tropical Agricultural Series.
Longman, London and New York.
Subandriyo, B. Setiadi, M. Rangkuti, K. Diwyanto, M. Dloksaribu, L.P. Batubara, E. Romjali, S. Elieser

versi elektronik
dan Handiwirawan. 1998. Performa domba komposit persilangan antara domba lokal Sumatera
dan romba rambut. JITV 3(2): 78-88.
Subandriyo, B. Setiadi, E. Handiwirawan dan A. Suparyanto. 2000. Performa domba komposit hasil
persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba rambut pada kondisi dikandangkan,.
JITV 5(2): 73-83.
Subandriyo, B. Setiadi, B. Tiesnamurti, U. Adiati, E. Handiwirawan, M. Syaeri, S. Aminah dan E.
Sopian. 2004. Pemantapan domba komposit unggul generasi ketiga: Pemantapan domba
Komposit Sumatera melalui analisis genetik dan produktivitas. Laporan Hasil Penelitian, Nomor
Protokol: RK/BRE/B01/APBN2004. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

versi elektronik

versi elektronik

versi elektronik 558


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
ESTIMASI HERITABILITAS SIFAT KUANTITATIF PADA SAPI MADURA DI PULAU
MADURA
Yuli Arif Tribudi1 dan Peni Wahyu Prihandini2

versi elektronik
1
Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak; email: yuliariftribudi@gmail.com
2
Loka Penelitian Sapi Potong Grati; email: syahada01@yahoo.com

ABSTRAK
Indonesia mempunyai potensi plasma nutfah sapi lokal salah satunya adalah sapi Madura. Sapi Madura
banyak digunakan dalam kegiatan pertanian, selain itu juga sebagai sarana sosial dan budaya sebagai sapi
karapan dan sonok. Perlindungan dan pengembangan sapi Madura sangat penting disebabkan karena
breed lokal ini dapat memanfaatkan pakan mutu rendah serta tahan terhadap stress lingkungan dan
penyakit. Selain itu, sapi Madura sangat baik beradapatasi terhadap lingkungan dengan sumber daya alam
yang sangat terbatas dan manajemen yang sangat rendah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengestimasi nilai parameter genetik pada sifat kuantitatif bobot lahir dan sapih untuk menentukan
program pemuliaan sapi Madura kaitannya dalam peningkatan produktivitas pada Sapi Madura. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan langsung di empat kabupaten yaitu Bangkalan,
Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Variabel yang diamati sifat kuantitatif meliputi bobot lahir dan

versi elektronik
bobot sapih serta ukuran tubuh (lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan). Data sifat kuantitatif sapi
Madura yang diperoleh kemudian dihitung rata-rata dan simpangan bakunya. Untuk mengetahui pengaruh
lokasi penelitian, jenis kelamin dan sistem perkawinan terhadap sifat kuantitatif sapi Madura digunakan
analisis ragam dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah (one way lay out) menggunakan
program GenStat 12.2. Apabila hasil tersebut menunjukkan perbedaan, maka dilanjutkan dengan uji Beda
Nyata TerkeciL (BNT). Nilai heritabilitas sifat kuantitatif dengan menggunakan Restricted Maximum
Likelihood (REML) dengan pola Linear Mixed Model menggunakan program GenStat 12.2. Hasil
penelitian menunjukkan nilai heritabilitas untuk bobot lahir dan sapih pada sapi Madura adalah
0,31+0,19 dan 0,62+0,20. Sedangkan nilai nilai heritabilitas ukuran tubuh sapi Madura untuk umur lahir
tertinggi pada nilai heritabilitas panjang badan sebesar 0,72+0,29 sedangkan pada umur sapih tertinggi
pada tinggi badan sebesar 0,98+0,13. Berdasarkan hasil penelitian untuk peningkatan produktivitas sapi
Madura adalah seleksi berdasarkan bobot sapih.
Kata kunci: sapi Madura, sifat kuantitatif dan heritabiltas

versi elektronik
ABSTRACT
The research was conducted from September to December 2011 in Bangkalan, Sampang, Pamekasan and
Sumenep. This study aims to estimate of genetic parameter values (heritability and breeding value) and
responseto selection on quantitative traits to determine the Madura cattle breeding programs in terms of
increased productivity of Madura cattle. The material used in this study were Madura cattle with at birth
and weaning age. The method used in this study is a direct observation using purposive sampling,
Variables observed in this study were quantitative traits included birth and weaning weight as well as vital
statistic (chest girth, body length and withers height). Data were analyzed using Completely Randomized
Design (CRD) one-way analyzes of variance (one way lay out). Variance components to estimate the
heritability trait was estimated using by Restricted Maximum Likelihood (REML) with Linear Mixed
Models by using the program GenStat 12,2. Estimated heritability of body weight, chest girth, body
length and withers height at the age of birth each for is 0,31+0,19; 0,41+0,22; 0,72+0,29 and 0,40+0,22.
Heritability body weight, chest girth, body length and withers height at age weaning, each for respectively

versi elektronik
by 0,62 +0,20; 0,75+0,18; 0,83+0,12 and 0,98+0,13. The best selection response for body weight best if
based on the heritability age of weaning.
Key words: Madura cattle, quantitative traits and heritability.

559
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
PENDAHULUAN
Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014 (PSDSK-2014) merupakan salah satu dari 21
program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal
ternak berbasis sumberdaya domestik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Salah satu sapi lokal yang

versi elektronik
dapat dikembangkan dalam mendukung PSDSK 2014 adalah sapi Madura. Sumberdaya genetik ternak
lokal saat ini menghadapi tantangan ganda. Pada satu sisi, permintaan produk peternakan meningkat,
disisi lain sumberdaya genetik ternak semakin terancam keberadaannya.
Sapi Madura merupakan salah satu sapi lokal Indonesia. Sapi Madura banyak digunakan dalam kegiatan
pertanian, selain itu juga sebagai sarana sosial dan budaya sebagai sapi karapan dan sonok. Upaya
pengembangan dan pembinaan usaha sapi Madura dikatakan belum optimal dibandingkan dengan bangsa
sapi lokal lainnya di Indonesia seperti halnya sapi Bali yang telah mendapat dukungan luas baik dari
dalam negeri maupun luar negeri (Susilawati, Subagiyo, Aulani’am dan Kuswati, 2006).
Perlindungan dan pengembangan sapi Madura sangat penting disebabkan karena breed lokal ini dapat
memanfaatkan pakan mutu rendah serta tahan terhadap stress lingkungan dan penyakit. Selain itu, sapi
Madura sangat baik beradapatasi terhadap lingkungan dengan sumber daya alam yang sangat terbatas dan
manajemen yang sangat rendah.

versi elektronik
Peningkatan produktivitas ternak asli (native) dapat dilakukan melalui perbaikan lingkungan (mutu pakan
dan tatalaksana) serta program pemuliaan. Peningkatan produktivitas ternak melalui program pemuliaan
dapat dilakukan dengan program seleksi. Seleksi merupakan suatu tindakan untuk memilih ternak yang
dianggap mempunyai mutu genetik unggul untuk dikembangkan lebih lanjut dan ternak-ternak yang
kurang baik untuk diculling.
Penyusunan program pemuliaan yang baik memerlukan nilai-nilai parameter genetik dan metode seleksi
yang cocok. Parameter genetik yang diperlukan antara lain heritabilitas, ripitabilitas dan korelasi (genetik,
fenotip dan lingkungan). Heritabilitas digunakan dalam menaksir respon seleksi dan keakuratan seleksi
sehingga program pemuliaan yang disusun dapat diprediksi kemajuan genetiknya. Tujuan penelitian ini
untuk mengestimasi nilai parameter genetik pada sifat kuantitatif bobot lahir dan sapih untuk menentukan
program pemuliaan sapi Madura kaitannya dalam peningkatan produktivitas pada Sapi Madura.

METODE PENELITIAN

versi elektronik
Kegiatan penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Penelitian ini di mulai pada bulan September sampai Desember 2011. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengamatan langsung. Materi yang digunakan adalah sapi Madura umur lahir dan
sapih dengan jumlah per Kabupaten yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah sapi Madura yang digunakan dalam penelitian di setiap Kabupaten (ekor)
Kabupaten Umur Lahir Umur Sapih
Bangkalan 29 33
Sampang 12 54
Pamekasan 9 11
Sumenep 13 14
Total 63 112

versi elektronik
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sifat kuantitatif meliputi bobot lahir dan bobot sapih
serta ukuran tubuh (lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan)
Sifat Kuantitatif Sapi Madura
Data sifat kuantitatif sapi Madura yang diperoleh kemudian dihitung rata-rata dan simpangan bakunya.
Untuk mengetahui pengaruh lokasi penelitian, jenis kelamin dan sistem perkawinan terhadap sifat

560
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
kuantitatif sapi Madura digunakan analisis ragam dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah
(one way lay out) menggunakan program GenStat 12.2. Apabila hasil tersebut menunjukkan perbedaan,
maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata TerkeciL (BNT).

versi elektronik
Estimasi Nilai Heritabilitas (h2)
Komponen ragam untuk menduga nilai heritabilitas sifat kuantitatif dengan menggunakan Restricted
Maximum Likelihood (REML) dengan pola Linear Mixed Model menggunakan program GenStat 12.2.
Pengaruh tetap adalah kabupaten dan jenis kelamin sedangkan pengaruh acak adalah pejantan.
Pendugaan nilai heritabilitas menggunakan metode hubungan saudara tiri sebapak (paternal half sib
correlation) menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan unbalanced design (Becker,
1975).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur pada seekor ternak baik untuk sifat produksi seperti
bobot badan, ukuran morfologi tubuh, sifat produksi, daya tahan kerja dan tenaga tarik juga untuk sifat
reproduksi seperti lama kebuntingan, lama birahi dan produksi susu. Menurut Warwick et al. (1995), sifat

versi elektronik
kuantitatif dipengaruhi oleh beberapa atau oleh banyak pasang gen dan adanya pengaruh interaksi dengan
lingkungan.
Bobot Badan
Hasil penelitian terhadap rataan bobot badan sapi Madura masing-masing umur di empat Kabupaten di
pulau Madura disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan bobot badan sapi Madura berdasarkan Kabupaten
Kabupaten Bobot
Lahir Sapih
Bangkalan 18,07+1,60 73,39+5,78
Sampang 19,17+1,20 75,06+6,71
Pamekasan 18,78+1,09 72,73+3,16

versi elektronik
Sumenep 18,38+1,98 72,07+6,71
Rataan Total 18,44+1,72 73,96+6,21

Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa rataan bobot lahir dan bobot sapih sapi Madura di empat
Kabupaten tidak berbeda nyata. Tidak berbedanya bobot badan di empat Kabupaten menunjukkan bahwa
faktor lingkungan pemeliharaan sapi Madura pada keempat Kabupaten hampir sama atau seragam yang
meliputi manajemen pemeliharaan, jumlah dan jenis pakan yang turut mempengaruhi tampilan bobot
hidup dan ukuran tubuh antar subpopulasi serta kondisi peternak (sosial-ekonomi).
Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan total bobot lahir sapi Madura dari keempat Kabupaten sebesar
18,44+1,72 kg . Bobot lahir penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Karnaen (2004) yang melaporkan
bobot lahir sapi Madura di Bangkalan sebesar 14,51 tetapi lebih rendah dengan penelitian Kutsiya di
Pamekasan (2002) yang melaporkan seberat 19,78+1,224 kg. Perbedaan bobot lahir dipengaruhi beberapa
faktor diantaranya genetik dan lingkungan (jenis kelamin pedet, lama kebuntingan, umur induk dan bobot

versi elektronik
induk serta pakan). Falconer and Mackay (1997) menyatakan bahwa faktor genetik adalah gen dari kedua
orang tuanya/pejantan dan induk (orang tua memberikan gen mereka dan bukan memberikan genotip
pada keturunannya, oleh karena itu efek rata-rata dari gen kedua orang tua yang menentukan rata-rata
nilai genotip dari keturunannya).

561
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tingginya bobot lahir hasil penelitian ini daripada penelitian Karnaen diduga karena telah terjadi seleksi
yang positif pada sapi Madura sehingga terjadi peningkatan bobot lahir selain itu juga faktor lingkungan
yang berbeda (waktu, lokasi dan populasi penelitian yang berbeda).

versi elektronik
Rataan bobot sapihan sapi Madura hasil penelitian (Tabel 2) sebesar 40,58+7,80 kg; 73,96+6,21 kg.
Bobot sapih hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Karnaen dan Arifin (2004) melaporkan bobot
badan sapi Madura pada umur sapih seberat 62,36 kg. Perbedaan bobot badan ini dapat disebabkan karena
kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan tidak sama. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor genetik,
manajemen pemeliharaan serta kemampuan induk membesarkan anaknya. Pertumbuhan setelah lahir
sangat dipengaruhi oleh produksi susu induk. Produksi susu induk yang sangat terbatas maka
pertumbuhan anak-anaknya akan mengalami kelambatan.
Pada Tabel 2 dapat dikemukakan bahwa rataan bobot badan lahirdan sapih pada sapi Madura tertinggi
adalah di Kabupaten Sampang yaitu masing-masing sebesar 19,17+1,20 kg dan 75,06+6,71 kg
Ukuran Tubuh
Hasil rataan dan simpangan baku ukuran tubuh sapi Madura pada umur lahir dan sapih pada setiap
Kabupaten di pulau Madura disajikan pada Tabel 3.

versi elektronik
Tabel 3. Rataan lingkar dada sapi Madura berdasarkan Kabupaten
Kabupaten Umur
Lahir 5 bulan
a
Bangkalan 58,07+6,93 95,55+13,45a
Sampang 63,17+4,24a 100,40+10,23a
Pamekasan 61,67+3,24a 95,45+5,49a
Sumenep 75,77+9,75b 99,93+10,11a
Rataan Total 63,21+9,31 98,43+11,06
Keterangan: Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Tabel 3 menunjukkan bahwa lingkar dada pada umur lahir di setiap Kabupaten memberikan perbedaan
yang sangat nyata (P<0,01) sedangkan pada umur sapih tidak memberikan perbedaan antar Kabupaten.

versi elektronik
Tabel 4. Rataan panjang badan sapi Madura berdasarkan Kabupaten
Parameter Umur
Lahir 5 bulan
a
Bangkalan 54,10+7,83 83,82+9,96a
Sampang 53,00+4,34a 81,39+8,61a
Pamekasan 54,00+6,28a 87,27+6,90b
Sumenep 68,38+9,09b 88,36+9,72b
Rataan Total 56,83+9,36 83,55+9,27
Keterangan. Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan panjang badan umur lahir dan sapih tertinggi di Sumenep

versi elektronik
masing-masing sebesar 68,38+9,09 cm dan 88,36+9,72 cm. Hasil analisis statistik rataan panjang badan
antar Kabupaten menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01).

562
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 5. Rataan tinggi badan sapi Madura berdasarkan Kabupaten
Parameter Umur
Lahir 5 bulan

versi elektronik
Bangkalan 60,41+6,01a 88,61+9,74a
Sampang 62,75+2,70a 86,94+8,18a
Pamekasan 62,22+2,23a 90,82+6,17a
Sumenep 73,38+8,13b 91,64+8,76a
Rataan Total 63,79+7,50 88,40+8,64
Keterangan. Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa rataan tinggi badan pada umur lahir antar Kabupaten memberikan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) sedangkan pada sapih tidak memberikan perbedaan. Rataan tinggi
badan pada umur lahir dan sapih tertinggi adalah di Kabupaten Sumenep dengan nilai masing-masing
sebesar 73,38+8,13 cm dan 91,64+8,76 cm. Perbedaan ukuran tubuh di empat lokasi penelitian diduga
salah satunya disebabkan pengukuran yang dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga menyebabkan

versi elektronik
akurasinya berbeda.
Ukuran tubuh (lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan) sapi Madura di Kabupaten Sumenep pada
umur lahir dan sapih memiliki rataan tertinggi dibandingkan ketiga Kabupaten lainnya di pulau Madura.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Setiadi dan Dwiyanto (1997) yang menyatakan lingkar dada dan
panjang badan sapi Madura dewasa di Kabupaten Sumenep sebesar 149,89 cm dan 122,75 cm lebih
tinggi daripada Kabupaten lainnya sebesar 141,89 cm dan 118,23 cm, walaupun secara statistik tidak
berbeda nyata.
Heritabilitas
Estimasi heritabilitas bobot badan dan ukuran tubuh (lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan) sapi
Madura pada bobot lahir dan sapih disajikan pada Tabel 6 dan 7.
Tabel 6. Nilai heritabilitas bobot badan sapi Madura

versi elektronik
Parameter Nilai
Bobot lahir 0,31+0,19
Bobot sapih 0,62+0,20

Nilai heritabilitas bobot badan pada bobot lahirdan sapih (Tabel 6) tidak berbeda dengan penelitian
Karnaen (2001) yang melaporkan heritabilitas bobot lahir sapi Madura sebesar 0,331+0,242; Afroz, et al.,
(2011), heritabilitas sapi Red Chittagong umur lahir, 3 dan 6 bulan masing-masing sebesar 0,48+0,04;
0,49+0,06 dan 0,50+0,08;.
Seleksi pada suatu sifat akan lebih efisien jika sifat tersebut memiliki nilai heritabilitas yang tinggi.
Seleksi pada sapi Madura jika didasarkan pada nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada heritabilitas
bobot sapih, tetapi jika didasarkan pada galat bakunya dapat dilakukan pada bobot lahir. Hal ini
dikarenakan semakin kecil galat baku heritabilitas suatu sifat tertentu maka akan semakin akurat nilai
heritabilitasnya.

versi elektronik 563


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Tabel 7. Nilai heritabilitas ukuran tubuh sapi Madura
Parameter Lingkar dada Panjang badan Tinggi badan
Umur lahir 0,41+0,22 0,72+0,29 0,40+0,22

versi elektronik
Umur sapih 0,75+0,18 0,83+0,12 0,98+0,13

Pada Tabel 7 dapat dikemukakan bahwa nilai heritabilitas ukuran tubuh sapi Madura untuk umur lahir
tertinggi pada heritabilitas panjang badan sebesar 0,72+0,29 sedangkan pada umur sapih tertinggi pada
tinggi badan (0,98+0,13). Heritabilitas yang tinggi akan menghasilkan respon seleksi yang tinggi. Untuk
menentukan seleksi suatu sifat dapat dilihat dari nilai heritabilitasnya dan galat bakunya. Seleksi pada
ukuran tubuh jika didasarkan pada nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada lingkar dada umur 5
bulan sedangkan jika didasarkan nilai galat bakunya dapat dilakukan pada umur panjang badan umur 3
bulan.
Nilai estimasi heritabilitas ukuran tubuh sapi Madura pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian
Logar, Stepec and Potocnik (2011) yang melaporkan heritabilitas lingkar dada, panjang badan dan tinggi
badan umur lahir pada tiga bangsa sapi yaitu Brown, Simmental dan Holstein masing-masing sebesar

versi elektronik
0,253; 0,271 dan 0,160 untuk lingkar dada, 0,129; 0,285 dan 0,099 untuk panjang badan serta 0,115;
0,242 dan 0,102 pada tinggi badan.
Heritabilitas ukuran tubuh panjang badan umur lahir (0,72+0,29) dan sapih (0,83+0,12) serta tinggi
badan umur sapih (0,98+0,13) pada penelitian ini sangat tinggi dan mendekati nilai satu. Menurut
Warwick, dkk (1995), heritabilitas yang mendekati nilai satu dapat disebabkan oleh lingkungan yang
berbeda untuk kelompok keluarga yang berbeda; metode statistik yang tidak tepat sehingga tidak dapat
memisahkan ragam genetik dan lingungan dengan efektif atau kesalahan pengambilan contoh
Nilai heritabilitas sifat kuantitatif sapi Madura hasil penelitian ini dikategorikan tinggi karena lebih dari
0,3 (Maylinda, 2010). Menurut Warwick dkk. (1995), nilai heritabilitas yang dikategorikan sedang sampai
tinggi dapat memberikan petunjuk, bahwa seleksi yang dilakukan akan lebih efektif dan efisien dalam
meningkatkan perbaikan mutu genetik bila dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan pada nilai
heritabilitas rendah.

versi elektronik
Perbedaan estimasi heritabilitas sifat kuantitatif pada sapi Madura disebabkan karena perbedaan populasi
yang mempunyai lingkungan yang heterogen sehingga mengurangi nilai heritabilitas dan frekuensi gen
yang yang juga berbeda (Kinghorn, 1992), disamping itu perbedaan metode analisis sehingga
menyebabkan perbedaan keakuratan. Pengaruh metode analisis akan menyangkut ragam genetik yang
turut dianalisis, sedangkan ragam lingkungan dialami oleh individu selama hidupnya atau sampai individu
tersebut diamati. Nilai heritabilitas tergantung pada besarnya komponen-komponen ragam yang
menyusunnya, apabila ada perubahan pada komponen ragam yang menyusunnya, apabila ada perubahan
komponen ragam maka akan mempengaruhi nilai heritabilitas (Lasley, 1978) karena heritabilitas adalah
bagian dari keragaman total dari suatu sifat yang disebabkan oleh pengaruh genetik. Meningkatnya
heritabilitas dapat disebabkan turunnya ragam lingkungan atau meningkatnya ragam genetik, sebaliknya
bila ragam lingkungan meningkat atau ragam genetik menurun maka heritabilitas akan turun.
Pengaruh tetap untuk pendugaan nilai heritabilitas sifat kuantitatif berbeda satu sama lain, perbedaan
pengaruh ini diduga karena sebaran data yang tidak sama sehingga mempengaruhi terhadap sebaran nilai

versi elektronik
heritabilitas.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh kesimpulan nilai heritabilitas untuk bobot lahir dan sapih pada
sapi Madura adalah 0,31+0,19 dan 0,62+0,20. Sedangkan nilai nilai heritabilitas ukuran tubuh sapi

564
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan Hewani
(Seri II), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Madura untuk umur lahir tertinggi pada heritabilitas panjang badan sebesar 0,72+0,29 sedangkan pada
umur sapih tertinggi pada sifat tinggi badan sebesar 0,98+0,13.

DAFTAR PUSTAKA

versi elektronik
Afroz, M. A., Hoque and A. K. F. H. Bhuiyan., 2011. Estimation of heritability for growth traits of Red
Chittagong cattle in a nucleus herd. The Bangladesh Veterinarian (2011) 28(1) : 39 – 46
Becker, W. A., 1975. Manual Proscedures in Quantitative Genetics. Washington State University Press.
Washington.
Cucco, D.C., J.B.S. Ferraz., L.F.B. Pinto., J.P. Eler., J.C.C. Balieiro and E.C. Mattos., 2009. Genetic
parameters for pre-weaning traits in Braunvieh cattle. Genetics and Molecular Research 8 (1):
291-298 (2009)
Direktorat Jenderal Peternakan., 2010. Blue Print Swasembada Daging 2014. Kementerian Pertanian.
Jakarta.
Falconer, D.S and T.F.C. Mackay., 1997. Introduction to Quantitative Genetics. Longman. Addison
Wesley Longman Limited. Edinburgh Gate.

versi elektronik
Karnaen dan J. Arifin., 2004. Kajian Produktivitas Sapi Madura. Fakultas Peternakan Universitas
Padjajaran. Bandung.
Karnaen., 2004. Model Kurva Pertumbuhan Sapi Madura Betina dan Jantan Dari Lahir Sampai Umur
Enam Bulan. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.
Kinghorn, B., 2002. Full Program with All Tecnologies and Fasilities Available. Working Papers: Bali
Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Kutsiya, F., 2002. Analisis Performans Reproduksi pada Crossbreed (Sapi Madura x Limousin) dan
Purebreed (Sapi Madura) dan Performans Produksi Hasil Keturunannya. Tesis. Program
Pascasarjana Ilmu Ternak Universitas Brawijaya. Malang
Logar, B., Štepec, M., and Potočnik, K., 2011. Genetic Parameters of Conformation Traits in Brown,
Simmental and Holstein Breed Calves in Slovenia. Agriculturae Conspectus Scientifi cus | Vol.
76 (2011) No. 4 (271-274)

versi elektronik
Maylinda, S., 2010. Pengantar Pemuliaan Ternak. Universitas Brawijaya Press. Malang
Setiadi, B dan Diwyanto K., 1997. Karakterisasi morfologi sapi Madura. JITV 2(4):218-224.
Susilawati, T., Ifar. S., Aulaniam dan Kuswati., 2006. Potensi Produksi Plasma Nutfah Sapi Jawa, Bali-
Pandaan dan Sapi Madura. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur dan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Malang.
Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto., 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

versi elektronik 565


Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
INDEKS PENULIS

Penulis Institusi Halaman


A.Amrawaty Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 358

versi elektronik
A.T. Ari Sudewo Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 408
Soedirman
Aditya Hani Balai Penelitian Teknologi Agroforestry 34
Afridina Fitri Fakultas Peternakan-Universitas Andalas 113
Agus Priyono Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 191
Soedirman
Agus Susanto Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 408
Soedirman
Ahimsa Kandi Sariri Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun 52
Nusantara
Aidil Setiadi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 319

versi elektronik
Ainur Rasyid Loka Penelitian Sapi Potong 442
Akhmad Mahbubi Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif 242
Hidayatullah Jakarta
Akhmad Sodiq Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 234
Soedirman
Amrulah Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 307
Anis Wahdi Fakultas Pertanian Univ. Lambung Mangkurat 164, 485
Anisur Rosyad Fakultas Pertanian Universitas Jenderal 250
Soedirman
Arfa`i Fakultas PeternakanUniversitas Andalas 256
Arif Rachmat Fakultas Peternakan-Universitas Andalas 113

versi elektronik
Arrijal Hammi Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 203
Aryogi Beef Cattle Research Station, Grati 414
Aslina Asnawi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 291
Asmuddin Natsir Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 80
Badat Muwakhid Fakultas Peternakan Unisma 40
Bambang Ariyadi Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 420
Basril Basyar Balai Penelitian Ternak, Ciawi 264
Broto Wibowo Balai Penelitian Ternak, Ciawi 185; 276;
382
Budi Utomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa 463
Tengah
Caribu Hadi Prayitno Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 47; 139

versi elektronik
Soedirman
D. Ratnawati Beef Cattle Research Station, Grati 414
Dadang Mulyadi Saleh Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 425; 511
Soedirman
Dattadewi Purwantini Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 196; 429
Soedirman
David Arnold Kaligis Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi 120

566
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penulis Institusi Halaman
Denny Suryanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran 451
Denny Widaya Lukman Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian 155
Bogor
Dian Ratnawati Loka Penelitian Sapi Potong 442

versi elektronik
Diana Indrasanti Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 434
Soedirman
Djoko Santoso Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 191
Soedirman
Djoni Prawira Rahardja Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 403
Dwi Priyanto Balai Penelitian Ternak, Ciawi 280
Dyah Lestari Yulianti Fakultas Peternakan, Universitas Kanjuruhan 149
Malang
E. Juarini Balai Penelitian Ternak Ciawi 382
E. Sutedi Balai Penelitian Ternak Bogor 107
Efka Aris Rimbawanto Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 124

versi elektronik
Soedirman
Elizabeth Juarini Balai Penelitian Ternak, Ciawi 185
Ellin Harlia Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran 447; 451
Elly Roza Fakultas Peternakan-Universitas Andalas 113
Endang Yuni Setyowati Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran 155
Endro Yuwono Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 527
Soedirman
Engkus Ainul Yakin Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun 52
Nusantara
Farid Dimiyati Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 534
Soedirman

versi elektronik
Firli Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran 447
Hamam Burhanudin Putra Universitas Diponegoro 66
Harapin Hafid Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo 456
Harfiah Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 86
Hartoko Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 191
Soedirman
Hermin Purwaningsih Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 181
Soedirman
Hidayatullah JAPFA 27
Hudri Aunurohman Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 363
Soedirman
Ika Dewi Kartika Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 92

versi elektronik
Soedirman
IGM Budiarsana Balai Penelitian Ternak, Ciawi 185; 297;
382
Ikrar Mohammad Saleh Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 291
Ilham Rasyid Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 307; 319

567
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penulis Institusi Halaman
Imbang Haryoko Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 345
Soedirman
Indratiningsih Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 475
Ismail Jasin Fakultas Peternakan Universitas Darul Ulum 61

versi elektronik
Islamic Centre Sudirman GUPPI
Ismaya Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 101;219
Ismoyowati Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 101;196;429
Soedirman
Istna Mangisah Universitas Diponegoro 66
Jafendi Hasoloan Purba Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 203
Sidadolog
Jauhari Efendy Loka Penelitian Sapi Potong, Grati 145; 463
Johan Erikson Siregar Fakultas Peternakan, Universitas Kanjuruhan 149
Malang
Junaedah Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru 34

versi elektronik
Kasmiyati Kasim Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 312
Komarudin Balai Penelitian Ternak Ciawi 297
L. Hakim Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya 503
Lisa Praharani Balai Penelitian Ternak, Ciawi 185
Luthfi Djauhari Mahfudz Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas 132
Diponegoro
M. Arti Wibawantari Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 475
M.Aminawar Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 358
Mardiati Sulistyowati Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 534
Soedirman
Mariyono Loka Penelitian Sapi Potong 145; 215

versi elektronik
Martha B. Rombe Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 319; 403
Mas Yedi Sumaryadi Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 511
Soedirman
Mei Sulistyoningsih Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Univ. PGRI 468
Semarang
Moch Sugiarto Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 324; 389
Soedirman
Mochamad Socheh Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 181; 191
Soedirman
Mohandas Indradji Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 434
Soedirman
Muh. Erik Kurniawan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 397

versi elektronik
Muh. Irwan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 80
Muhamad Bata Fakultas Peternakan, Unsoed Purwokerto 74
Muhamad Reza 335
Muhammad Aminawar Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 329
Muhammad Darwis Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 307
Muhammad Zain Mide Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 86

568
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penulis Institusi Halaman
Munasik Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 92
Soedirman
N.D. Purwantari Balai Penelitian Ternak Bogor 107
Ning Iriyanti Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 96

versi elektronik
Soedirman
Noor Hudhia Krishna Loka Penelitian Sapi Potong, Pasuruan 215
Nunung Noor Hidayat Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 345
Soedirman
Nur Hidayat Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 139
Soedirman
Nuraini Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo 456
Nurliyani Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 475
Nursyam Andi Syarifuddin Fakultas Pertanian Universitas Lambung 485
Mangkurat
Nyoman Suthama Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas 66; 132

versi elektronik
Diponegoro
Oentoeng Edy Djatmiko Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 324; 389
Soedirman
Pambudi Yuwono Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 181
Soedirman
Paulus Suparman Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 191
Soedirman
Peni Wahyu Prihandini Loka Penelitian Sapi Potong Grati 559
Pipit Anggraeni Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo 456
Pramono Soediarto Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 542
Soedirman
Prayitno Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 515

versi elektronik
Soedirman
Prihandini P.W Loka Penelitian Sapi Potong 503
R. Singgih Sugeng Santosa Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 96; 429; 515
Soedirman
Rachmawati WS Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 511
Soedirman
Rahmayani Sila Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 329
Reni Rakhmawati Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan 468
MIPA,Universitas PGRI Semarang
Rian Rosartio Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 219
Rini Widiati Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 350

versi elektronik
Rosidi Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 101
Soedirman
S.N.O. Suwandyastuti Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 124
Soedirman
S.N.Sirajuddin Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 358
S.Nurlaelah Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 358

569
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penulis Institusi Halaman
Sajimin Balai Penelitian Ternak Bogor 107
Salam N. Aritonang Fakultas Peternakan-Universitas Andalas 113
Selvie Diana Anis Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi 120
Setya Agus Santosa Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 408

versi elektronik
Soedirman
Sigit Mugiyono Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 231
Soedirman
Sigit Bintara Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 219; 520
Sitti Nurani Sirajuddin Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 312; 329
Sjul Kartini Dotulong Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi 120
Sofyan Nurdin Kasim Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 397
Sri Hastuti Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 434; 527
Soedirman
Sri Mastuti Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 363; 389
Soedirman

versi elektronik
Sri Nastiti Jarmani Balai Penelitian Ternak, Ciawi 369
Sri Sudaryati Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 203
Sri Suhermiyati Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 96
Soedirman
St. Rohani Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 375
Sufiriyanto Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 527
Soedirman
Sugiyatno Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 511
Soedirman
Sukardi Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 231
Soedirman

versi elektronik
Sulvia Dwi Astuti SW Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 208
Sumanto Balai Penelitian Ternak, Ciawi 276; 297; 382
Sunarto Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 542
Soedirman
Suwarno Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 47
Soedirman
Syahdar Baba Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 1
Syamsuddin Hasan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 1; 80
Syarifudin Nur Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 363; 389
Soedirman
Tri Rahardjo Sutardi Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 92
Soedirman

versi elektronik
Titin Widiyastuti Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 92
Soedirman
Tanrigiling Rasyid Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 397
Taty Herawati Balai Penelitian Ternak, Ciawi 280
Titin Widiyastuti Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 139
Soedirman

570
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Penulis Institusi Halaman
Tri Agus Sulistya Loka Penelitian Sapi Potong 145; 215
Tri Anggraeni Kusumastuti Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 350
Tri Harsi Balai Embrio Ternak Cipelang Bogor 14
Tri Rahardjo Sutardi Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal 47

versi elektronik
Soedirman
Tri Yuwanta Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 101
Triana Setyawardani Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 534
Soedirman
Triana Yuni Astuti Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 542
Soedirman
Ujang Hidayat Tanuwiria Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran 155
Umi Adiati Balai Penelitian Ternak, Ciawi 549; 554
Undang Santosa Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran 155
V.M.A. Nurgiartiningsih Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya 503
Veronica Sri Lestari Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 403

versi elektronik
Veronica Sri Lestari Iranita Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 375
Haryono
Vinsensius Arivin Wea Fakultas Peternakan, Universitas Kanjuruhan 149
Malang
Wardhana Suryapratama Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 8
Soedirman
Wihandoyo Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 203
Wirawan Yudha Saputra Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas 132
Diponegoro
Wulandari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 208
Y. Adinata Beef Cattle Research Station, Grati 414

versi elektronik
Yukinori Yoshimura Graduate School of Biosphere Science, 420
Hiroshima University, Japan
Yuli Arif Tribudi Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura 503; 559
Pontianak
Yuli Astuti Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran 447
Yuliaty Shafan Nur Fakultas PeternakanUniversitas Andalas 256
Yuni Suranindyah Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 219; 520
Yusuf Subagyo Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 226
Soedirman
Zanu Prasetya Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 475
Zuhry Arbangi Fakultas Peternakan Universitas Jenderal 534
Soedirman

versi elektronik
571
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
INDEK SUBYEK
Subyek Halaman Subyek Halaman
agroindustri 389 glukosa darah 468
agronomi 107 glycerol 425

versi elektronik
agrosilvopastur 34 harga 350
angka kebuntingan 442; 463; 485 harga jual 291; 397
asam sitrat 132 hematologis 113
ayam arab 96 herbal 468
ayam kampung 203 heritabilitas 502; 559
ayam sentul 231 higroskopis 91
bahan pengikat 91 histopatologi 434
bakso sapi 456 hormon estrogen 101
bakteri asam laktat 42 hormon progesteron 101
BAL 535 integrasi sapi potong 256
berahi 485 intensif 369

versi elektronik
berat jenis susu 226 itik 66
biji kefir 535 itik lokal 196
biogas 447 itik magelang 429
bobot tetas 429 itik petelur 319
broiler 468 itik tegal 101
cemaran mikroba 542 jerami padi amoniasi 47
centering date method 408 kaliandra 226
curahan waktu kerja 312 kambing kacang jantan 86
daging sapi 350 kambing peranakan ettawa 209; 520
dataran rendah 219 kambing sapera 549
daun ubi kayu 113 kandang kelompok 214
daya tampung 181 karkas 191

versi elektronik
dedak padi 61 keambaan 138
deposisi protein 132 kebijakan penyuluhan 264
deteksi bakteri 447 kecernaan 74
domba komposit sumatera 554 kecernaan nutrien 124
domba unggul 276 keempukan daging 515
early pregnant diagnosis 414 kefir 474
efisiensi biaya 319 kelompok peternak 276
ekstrak kulit bawang putih 47 kerbau 113
ekstrak kunyit 149 kerbau belang 291
ensilase 42 kerbau rawa 164
fermentasi 52 kewirausahaan 307

versi elektronik
fitobiotik 149 klaster sapi potong 234
glikoprotein 420 konsentrat 369
konsumsi pakan 219 stimulasi listrik 515
koperasi 250 studi kasus 369
kualitas telur 96 susu kambing 542
kulit buah kakao 52 penggemukan 324
kulit kelinci 451 penyimpanan semen 511

572
Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Akselerasi Pemenuhan Pangan
Hewani II, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 14 Juni 2014.
ISBN:978-979-9204-98-1
Subyek Halaman Subyek Halaman
kulit pisang 138 permintaan 375
kuning telur 425 persentase estrus 463
lahan pasca tambang 80 persistensi 119
laju reproduksi induk 554 peternak kerbau 363

versi elektronik
lama fermentasi 535 peternak pembibit 297
legum rambat 119 peternakan rakyat 1
limbah biji coklat 12 pola gaduhan 382
limbah kelapa sawit 9 pola pengeluaran 324
limbah perkebunan 8 probiotik 66
limbah pertanian 403 produksi hijauan 107
mastitis subklinis 209 produksi susu 219; 408
minyak ikan lemuru 96 produksi telur 203
model dinamis 242 produktivitas kerja 363
molting 420 prostaglandin 549
motilitas 425 protein ransum 66

versi elektronik
multinutrient block 485 pupuk organik cair 527
neraca energi 74 radioimmunoassay 485
neutrofil 209 rantai pasok 242
organ kelinci 434 respon seleksi 502
oviduct ayam 420 rumah potong hewan 329
pakan komplit 86; 403 rumput gajah 61; 527
pakan penguat 145 sapi brahman cross 156
pakan step down 132 sapi madura 463; 559
pakan suplemen 113 sapi perah 250
parameter genetik 429 sapi po 74
pedagang pengumpul 397 sapi potong 1; 214; 297; 324; 382

versi elektronik
pelet pakan komplit 91 sapi rancah 186
penawaran 375 sarang lebah 451
pendapatan 334 satuan ternak 181
pengencer sperma 520 sel somatik 209
sistem bagi hasil 358 selenium organik 156
sistem kemitraan 307 sifat kuantitatif 559
spermatozoa 425 silase 61; 403
susu kuda 474 ukuran tubuh 186
susut masak 515 ultrasonik 191
swasembada daging 1; 264 usaha sapi perah 280
tanaman pakan 107 usaha ternak 345
teknologi perunggasan 26 utilitas protein 66

versi elektronik
tenaga kerja perempuan 345 volume penjualan 397
tepung jeroan sapi 101 waktu inkubasi 138
tepung sagu 456 wanita 312
tongkol jagung 86 warna bulu 186
transfer embrio 14 yeast 124

573

Anda mungkin juga menyukai