TESIS
Oleh
AHMAD SYOFYAN
077004002/PSL
K O L A
E
H
S
PA
A
N
C
A S A R JA
S
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
AHMAD SYOFYAN
077004002/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP)
Anggota Anggota
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang dengan luas 94.147 hektar
merupakan Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Wampu yang mempunyai luas
410.715 hektar, kawasan Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang seharusnya
merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk
komoditi tanaman pangan dan tanaman semusim dengan luas 80.169,822 hektar atau
85,06%, kawasan hutan yang seharusnya 30% (UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 8 ayat 2
tetapi kenyataannya luasnya hanya 10.780,081 hektar atau 11,43%, topografi 82,93%
dari luas lahan agak curam hingga sangat curam, hanya 0,96% yang datar dan 0,76%
yang landai, kondisi tanah umumnya tanah muda dan dangkal yang rentan terhadap
erosi serta curah hujan tinggi, rerata 3.000 mm/thn, oleh karena itu potensi pada
daerah ini erosinya dapat dikategorikan besar atau tinggi. Besarnya erosi pada suatu
lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu intensitas hujan (R), kepekaan tanah terhadap
erosi (K), bentuk lahan (LS), vegetasi penutup tanah (C), dan tingkat pengelolaan
tanah (P).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di Sub Daerah
Aliran Sungai Lau Biang yang meliputi 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Simalungun,
8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Karo. Penelitian dilaksanakan dengan
menggunakan metode survei deskriptif dan metode survai eksploratif. Metode survei
deskriptif di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan data hasil interpretasi peta
dari citra satelit dan data pendukung lainnya, sedangkan metode survai eksploratif
dilakukan dengan mengamati sifat-sifat fisika dan kimia tanah berdasarkan analisis
contoh tanah di laboratorium, pada lahan hutan, lahan pertanaman Agroforestry/
kebun campuran, lahan pertanaman kopi Arabika, lahan pertanaman jagung dan lahan
pertanaman jeruk manis. Sedangkan penetapan besarnya erosi tanah melalui
persamaan Prediksi USLE.
Hasil penelitian menunjukkan besarnya erosi yang terjadi paling kecil pada
kawasan hutan sebesar 36,07 ton/ha/thn dan yang paling tinggi pada kopi arabika
(Coffea arabica) (344,08 ton/ha/thn), rataan erosi yang diperbolehkan pada berbagai
jenis penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/ha/thn (pada
kawasan hutan) hingga 27,76 ton/ha/thn pada tanaman jeruk manis (Citrus sinensis),
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dengan kriteria sedang sampai sangat tinggi, teknik
konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua komoditi
yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontor dengan tanpa pengolahan tanah
sedangkan erosi terbesar terjadi pada teknik penanaman menurut garis kontor tetapi
dengan pengolahan tanah.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Sub DAS Lau Biang memiliki
potensi dan kelayakan untuk dikembangkan sebagai kawasan penelitian dan
pemantauan besarnya erosi, sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses
Kata Kunci: Sub DAS Lau Biang, Jenis Penggunaan Lahan, Teknik Konservasi
Tanah dan Air, Tingkat Bahaya Erosi.
Keywords: Lau Basin Sub Biang, Type of Land Use, Soil Conservation and Water
Erosion Rates.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas taufiq dan
hidyahNya sejak penulis menempuh pendidikan di Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, sehingga penulisan tesis ini sudah dapat diselesaikan dengan baik yang
berjudul “Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan
di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu)”. Tesis ini disusun sebagai
salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai derajat S-2, sekaligus
sebagai akhir studi di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Lau Biang, berada
di Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara yang
pada prinsipnya untuk menetapkan berapa besar tingkat bahaya erosi tanah yang
terjadi pada beberapa penggunaan lahan yang digunakan. Melalui pengukuran kelas
tingkat bahaya erosi tanah akan dapat dilakukan tindakan pengelolaan apabila
erosi yang terjadi sudah berada diambang batas yang masih dapat dibiarkan.
Kami menyadari bahwa hasil tesis ini hanyalah karya manusia yang tidak
luput dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Namun demikian, dengan
segala kerendahan hati penulis berharap agar keterbatasan dan kekurangan yang
ada dalam tesis ini, dapat dijadikan bahan masukan untuk diteliti lebih lanjut dan
hasilnya dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak, pada kesempatan yang berbahagia ini penghargaan dan rasa terima kasih
yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc.
Ph.D, Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, M.P selaku Dosen Pembimbing yang telah
Penulis
Ahmad Syofyan, dilahirkan pada hari Kamis tanggal 26 Mei 1960 di Medan
(Sumatera Utara), anak Ketujuh dari Sembilan orang bersaudara, orang tua bernama
Alm. H. Amir (Ayah) dan Alm. Hj. Zariah (Ibu). Menikah pada tanggal 9 Januari
1988 dengan istri bernama Suharsih, Bapak mertua bernama H. Yazid Bustami dan
Ibu mertua bernama Hj. Poniem. Dikaruniai tiga orang anak bernama Kartika Utami
(perempuan), Muhammad Faqih Lazuardi (laki-laki) dan Jihan Hidayah Putri
(Perempuan).
Tamat Sekolah Dasar (SD) Negeri No. 76 Pulau Brayan Medan tahun 1972,
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri IX Medan tamat tahun
1975 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Medan Putri Medan Jurusan IPA,
tamat tahun 1979. Mulai tahun 1980 s/d 1985 bekerja di Dirjen Kehutanan
Departemen Pertanian sebagai Petugas Lapangan Penghijauan di Kabupaten Karo,
tahun 1985 s/d 1992 Staf pada Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Wampu/Ular, tahun 1992 s/d 2001 staf pada Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Provinsi Sumatera Utara sambil bekerja pada tahun ini melanjutkan pendidikan tinggi
strata satu (SI) di Fakultas Ekonomi UMSU Medan, Jurusan Manajemen, tamat pada
tahun 1997, tahun 2001 s/d 2008 bekerja pada Balai Pengelolaan DAS Wampu Sei
Ular, sejak tahun 2007 melanjutkan studi pada Program Studi Magister Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (S2) di Sekolah Pascasarjana USU Medan. Tahun
2009 s/d sekarang bekerja pada Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
10. Nilai Faktor Kedalaman Tanah pada Berbagai Jenis Tanah ......... 46
17. Struktur dan Komposisi Hutan Sekunder di Sub DAS Lau Biang
(Kawasan Hulu DAS Wampu) yang Menjadi Objek Kajian
(Rerata dalam Setiap Hektar Hutan) ............................................. 77
2. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Pancur Kec. Simpang Empat 95
4. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe.......... 97
5. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe ...... 98
6. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Merek Kec. Merek........................ 99
7. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Merek Kec. Merek .................... 100
8. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah ........ 101
9. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah ..... 102
10. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe ........... 103
11. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe ........ 104
12. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sinabung Kec. Payung ................. 105
13. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Sinabung Kec. Payung .............. 106
18. Curah Hujan Bulanan Rata-rata, Hari Hujan Rata-rata, Curah Hujan
Maksimum Selama 24 Jam, dan Nilai Erosivitas Hujan di Sub-DAS
Lau Biang .................................................................................................... 108
20. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah pada Lahan Hutan ........................ 110
21. Tabel Nilai Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Hutan.................... 111
22. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Hutan .................................... 112
23. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Tanah Hutan.................... 113
24. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Lahan Hutan................................ 114
26. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Tanah Hutan ......................................... 116
27. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Hutan ....................................... 117
28. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Hutan .............................. 118
29. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Agroforestry ...... 119
30. Tabel Nilai Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Agroforestry......... 120
32. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Penggunaan Lahan
Tanaman Agroforestry................................................................................ 122
33. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Lahan Agroforestry..................... 123
34. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Teknik Konservasi (CP)
pada Lahan Agroforestri............................................................................. 124
35. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman
Agroforestri ................................................................................................ 125
36. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Agroforestri .. 126
37. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Agroforestri .................... 127
40. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Tanaman Pangan (Jagung) ... 130
41. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas (K) pada Lahan Tanaman Pangan
(Jagung) ...................................................................................................... 131
42. Tabel Nilai Faktor Topografi ( LS) pada Penggunaan Lahan Tanaman
Pangan (Jagung) ......................................................................................... 132
43. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Teknik Konservasi (P)
pada Lahan Jagung (Zea mays) .................................................................. 133
44. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman Jagung
(Zea mays) .................................................................................................. 134
45. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Jagung
(Zea mays) .................................................................................................. 135
46. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan pada Lahan Jagung (Zea mays) ... 136
47. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Tanaman Jeruk
Manis (Citrus sinensis)............................................................................... 137
49. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Tanaman Jeruk Manis
(Citrus sinensis).......................................................................................... 139
50. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Lahan Tanah Jeruk
Manis (Citrus sinensis)............................................................................... 140
51. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Penggunaan Lahan Jeruk Manis
(Citrus sinensis).......................................................................................... 141
52. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Teknik Konservasi (P)
pada Lahan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis).................................. 142
54. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Jeruk Manis
(Citrus sinensis).......................................................................................... 144
55. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan pada Lahan Tanaman Jeruk
Manis (Citrus sinensis)............................................................................... 145
56. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Tanaman Kopi Arabika
(Coffea arabica) ......................................................................................... 146
57. Tabel C-Organik Tanah pada Lahan Kopi Arabika .................................... 147
58. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Kopi Arabika ......................... 148
59. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) Pada Tanah Kopi Arabika ....... 149
60. Tabel Nilai Faktor Topografi ( LS) Untuk Kopi Arabika ........................... 150
62. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada tanah Kopi Arabika............................... 152
63. Tabel Erosi Yang Diperbolehkan (T) pada Kopi Arabika .......................... 153
64. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Kopi Arabika .................. 154
Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang dengan luas 94.147 hektar
merupakan Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Wampu yang mempunyai luas
410.715 hektar, kawasan Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang seharusnya
merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk
komoditi tanaman pangan dan tanaman semusim dengan luas 80.169,822 hektar atau
85,06%, kawasan hutan yang seharusnya 30% (UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 8 ayat 2
tetapi kenyataannya luasnya hanya 10.780,081 hektar atau 11,43%, topografi 82,93%
dari luas lahan agak curam hingga sangat curam, hanya 0,96% yang datar dan 0,76%
yang landai, kondisi tanah umumnya tanah muda dan dangkal yang rentan terhadap
erosi serta curah hujan tinggi, rerata 3.000 mm/thn, oleh karena itu potensi pada
daerah ini erosinya dapat dikategorikan besar atau tinggi. Besarnya erosi pada suatu
lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu intensitas hujan (R), kepekaan tanah terhadap
erosi (K), bentuk lahan (LS), vegetasi penutup tanah (C), dan tingkat pengelolaan
tanah (P).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di Sub Daerah
Aliran Sungai Lau Biang yang meliputi 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Simalungun,
8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Karo. Penelitian dilaksanakan dengan
menggunakan metode survei deskriptif dan metode survai eksploratif. Metode survei
deskriptif di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan data hasil interpretasi peta
dari citra satelit dan data pendukung lainnya, sedangkan metode survai eksploratif
dilakukan dengan mengamati sifat-sifat fisika dan kimia tanah berdasarkan analisis
contoh tanah di laboratorium, pada lahan hutan, lahan pertanaman Agroforestry/
kebun campuran, lahan pertanaman kopi Arabika, lahan pertanaman jagung dan lahan
pertanaman jeruk manis. Sedangkan penetapan besarnya erosi tanah melalui
persamaan Prediksi USLE.
Hasil penelitian menunjukkan besarnya erosi yang terjadi paling kecil pada
kawasan hutan sebesar 36,07 ton/ha/thn dan yang paling tinggi pada kopi arabika
(Coffea arabica) (344,08 ton/ha/thn), rataan erosi yang diperbolehkan pada berbagai
jenis penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/ha/thn (pada
kawasan hutan) hingga 27,76 ton/ha/thn pada tanaman jeruk manis (Citrus sinensis),
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dengan kriteria sedang sampai sangat tinggi, teknik
konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua komoditi
yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontor dengan tanpa pengolahan tanah
sedangkan erosi terbesar terjadi pada teknik penanaman menurut garis kontor tetapi
dengan pengolahan tanah.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Sub DAS Lau Biang memiliki
potensi dan kelayakan untuk dikembangkan sebagai kawasan penelitian dan
pemantauan besarnya erosi, sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses
Kata Kunci: Sub DAS Lau Biang, Jenis Penggunaan Lahan, Teknik Konservasi
Tanah dan Air, Tingkat Bahaya Erosi.
Keywords: Lau Basin Sub Biang, Type of Land Use, Soil Conservation and Water
Erosion Rates.
Erosi tanah (soil erosion) adalah proses penghanyutan tanah dan merupakan
gejala alam yang wajar dan terus berlangsung selama ada aliran permukaan. Erosi
semacam itu melaju seimbang dengan laju pembentukan tanah sehingga tanah
Erosi tanah berubah menjadi bahaya jika prosesnya berlangsung lebih cepat
dari laju pembentukan tanah. Erosi yang mengalami percepatan secara berangsur
akan menipiskan tanah, bahkan akhirnya dapat menyingkap bahan induk tanah atau
batuan dasar ke permukaan tanah. Erosi semacam ini tidak hanya merusak lahan
daerah hulu (upland) yang terkena erosi langsung, akan tetapi juga berbahaya bagi
daerah hilir (lowland). Bahan erosi yang diendapkan di daerah hilir akan berakibat
buruk pada bangunan atau tubuh alam penyimpanan atau penyalur air sehingga
menurun dengan cepat serta merusak lahan usaha dan pemukiman. Oleh
bagian yang utama dari setiap rencana penggunaan lahan (land use planing).
Pelaksanaan dan perencanaan usaha pengawetan tanah dan air akan lebih efektif
dan lebih efisien jika dilakukan melalui sifat-sifat fisik lahan, kemudian
DAS Wampu yang mencakup wilayah Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta
Munthe, Tiganderket, Kuta Buluh dan Payung di Kabupaten Karo. Luas wilayah Sub
DAS Lau Biang sekitar 94.147 hektar atau sekitar 15,42% dari total luas wilayah
DAS Wampu (610.551 hektar). Selain Sub DAS Lau Biang, Sub DAS lainnya
di DAS Wampu adalah Sub DAS Wampu Hulu seluas 210.374 hektar (34.46%), Sub
DAS Batang Serangan seluas 138.727 hektar (22.72%), Sub DAS Sei Bingei seluas
81.511 hektar (13,35%), Sub DAS Wampu Hilir seluas 85.792 hektar (14,05%)
(Misran, 2008).
alam, diantaranya banjir bandang di Sub DAS Wampu Hulu Sub-Sub DAS Bahorok
pada November 2003 yang lalu adalah akibat banyaknya penggarapan liar yang
menyebabkan banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu,
sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir. Pola usaha tani
yang kurang mengikuti kaedah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang di Kabupaten
Simalungun dan Karo dengan komoditi utama tanaman pangan dan hortikultura.
khususnya di Sub DAS Wampu Hilir dan Sub DAS Sei Bingei di Kabupaten Langkat
degradasi DAS di Indonesia yaitu: (1) keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah,
(2) iklim, tarutama curah hujan yang tinggi dan potensial dapat menimbulkan daya
rusak terhadap hamparan lahan/tanah, yang menyebabkan erosivitas yang tinggi; dan
daya dukung wilayah/lingkungan dan atau tidak menerapkan kaidah konservasi tanah
dan air yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan ketrampilan petani, serta
sikap mental orang-orang yang tidak bertanggung jawab (memiliki moral hazard).
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa bagian hulu DAS Wampu (Sub
DAS Lau Biang) yang seharusnya merupakan kawasan konservasi, justru menjadi
kawasan budidaya terutama untuk komoditi tanaman pangan (jagung, padi gogo,
konservasi tanah dan air, dan kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi (rata rata
lebih dari 3000 mm/tahun) dengan jenis tanah yang rentan terhadap erosi (merupakan
tanah muda), serta kondisi relief yang bergelombang hingga bergunung (BPDAS
WU, 2008). Berkaitan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian guna
mendapatkan informasi sejauhmana tingkat bahaya erosi yang terjadi pada setiap tipe
penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang), untuk
Baik buruknya suatu kawasan DAS dalam arti masih mantap atau telah
terdegradasinya suatu kawasan DAS dapat dilihat dari fluktuasi air larian atau air
limpasan (sungai), besarnya erosi dan sedimentasi yang terjadi, dan tingkat
produktivitas lahan. Fluktuasi air larian yang tinggi antara musim hujan dengan
musim kemarau menandakan tanah memiliki kemampuan yang kecil dalam menyerap
dan menyimpan air (kapasitas infiltrasi rendah), sementara erosi dan sedimentasi
Kemampuan tanah yang rendah dalam menyerap dan menyimpan air, bukan
hanya menyebabkan tanaman akan mudah kekeringan pada musim kemarau, tetapi
juga menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah (run-off) pada musim
hujan menjadi lebih banyak dan akan menyebabkan lapisan tanah akan lebih banyak
air limpasan yaitu dengan menggunakan metode petak standar dan metode sendimen,
dengan menggunakan metode Universal Soil Loss Equation (USLE) perlu diuji untuk
mendapatkan metode pengukuran erosi mana yang tepat dalam mengukur besarnya
jumlah tanah yang tererosi berdasarkan penggunaan lahan pada kawasan Sub DAS
Lau Biang.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat dijadikan dasar
budidaya pada Sub DAS Lau Biang dan pengaruhnya terhadap erosi.
3. Bagaimana indeks (tingkat) bahaya erosi yang terjadi pada berbagai tipe
4. Seberapa besar erosi yang ditoleransikan pada setiap tipe penggunaan lahan
1. Mengetahui teknik konservasi tanah dan air yang telah diterapkan di Sub DAS
Lau Biang.
2. Mengetahui besarnya prediksi erosi pada setiap tipe penggunaan lahan di Sub
4. Mengetahui erosi yang ditoleransikan (T) pada setiap tipe penggunaan lahan
1. Sumber informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang tingkat bahaya erosi
pada berbagai tipe penggunaan lahan, khususnya di kawasan hulu DAS Wampu
Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi,
vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor
kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam
Arsyad, 1989).
Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia
kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989, Talkurputra, et.al.
1996).
Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan,
kebun, kebun campuran, lalang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan
penggunaan lahan di DAS Solo Hulu, Jawa Tengah, ditinjau dari segi erosi,
sedimentasi, dan debit menunjukkan erosi yang terbesar terjadi pada penggunan
lahan tegalan buruk, kemudian diikuti oleh lahan pekarangan, lahan tegalan
baik, lahan hutan, dan yang paling rendah lahan sawah. Limpasan permukaan dan
sedimentasi yang terjadi pada tiap sub DAS didominasi oleh penggunaan lahan
tegalan buruk. Kekritisan lahan yang termasuk tingkat kekritisan berat juga terjadi
sebagai drainage area atau catchment area atau river basin atau
watershed.
dan akhirnya ke laut. Kawasan itu dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh
formasi batuan. Suatu DAS yang sangat luas terdiri atas beberapa sub-DAS dan
yang berlainan. Bentuk-bentuk tersebut adalah: DAS berbentuk bulu burung. DAS
berbentuk paralel, DAS berbentuk radial (kipas atau lingkaran), dan DAS berbentuk
serta kesejahteraannya. Hal itu berarti bahwa untuk menangani suatu DAS, perlu
(pendekatan holistik) antara daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir dapat
diketahui keadaan erosi yang terjadi pada suatu wilayah akibat dari penggunaan lahan
yang ada (present land use), apakah erosi yang terjadi sudah membahayakan atau
masih dalam batas yang dapat dibiarkan (Sinukaban, 1986; Manik, et al, 1997;
Asdak, 2002).
merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong
di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat
kritis seluas 6.890.567 hektar, dan 23.306.233 hektar merupakan lahan kritis (Darori,
2008).
permasalahan pengelolaan hutan, meskipun seluruh titik di muka bumi ini merupakan
bagian dari DAS. Seperti diketahui bahwa luas kawasan hutan di Indonesia mencapai
120,35 juta hektar atau 63% dari luas daratan, dan terdiri dari hutan konservasi 20,50
juta hektar, hutan lindung seluas 33,50 juta hektar, dan hutan produksi seluas 66,35
juta hektar. Dari luas kawasan hutan tersebut kondisi kawasan yang tidak berhutan
(terjadi deforestasi) seluas 30,83 juta hektar atau 25,6% dari luas kawasan hutan.
Tercatat laju deforestasi pada tahun 2000 hingga 2005 mencapai 1,08 juta ha/tahun
(Gambar 1).
Kawasan hutan yang kritis semakin meningkat karena laju deforestasi tersebut
jauh lebih besar dibandingkan laju rehabilitasi yang hanya 500 ribu hingga 700 ribu
Khusus di Sumatera Utara, lahan kritis dan sangat kritis pada 21 kabupaten
seluas 2.126.780 hektar yang terbagi di DAS Asahan Barumun seluas 1.148.050
hektar dan DAS Wampu seluas 978.730 hektar (28,38% dari luas DAS di Provinsi
dukung wilayah).
3. Aktivitas manusia yang terdiri dari penebangan hutan ilegal (pencurian kayu
DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak diperlukan.
sumber daya buatan dan sumber daya alam, serta mengupayakan kelestarian fungsi
Hutabarat, 2008):
3. Terwujudnya kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas, kualitas
pengelolaan DAS itu sendiri. Kegiatan pengelolaan DAS meliputi: pemanfaatan dan
penggunaan hutan, lahan dan air, restorasi hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan
pengelolaan DAS meliputi: kawasan budidaya di bagian hulu dan hilir DAS, kawasan
lindung di bagian hulu dan hilir DAS. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS
Satu kalimat yang menjadi dambaan bagi kita semua untuk diwujudkan dalam
pengelolaan DAS adalah “Save Our Forest, Land and Water”, demi keberlangsungan
daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki konsekwensi ekonomi dan lingkungan
yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami akan
mempengaruhi pembentukan landskap suatu DAS dan sebaliknya bentuk dan kondisi
fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sedimentasi
Erosi merupakan salah satu penyebab utama degradasi lahan. Besarnya erosi
pada suatu lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu (Arsyad, 2006): (1) jumlah dan
intensitas hujan (erosivitas hujan), (2) kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas
tanah), (3) bentuk lahan (kemiringan dan pajang lereng), (4) vegetasi penutup tanah,
dan (5) tingkat pengelolaan tanah. Erosivitas hujan merupakan faktor alami yang
hampir tidak mungkin untuk dikelola, sedangkan erodibilitas tanah dapat diperbaiki
Kemiringan dan panjang lereng serta faktor vegetasi dan pengelolaan tanah
merupakan faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran
permukaan serta menurunkan laju dan jumlah erosi (Agus dan Widianto, 2004;
Arsyad, 2006).
Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi atau erosi normal
dan erosi yang dipercepat. Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi alami
alami. Biasanya terjadi pada keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah
yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses
Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Erosi
pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah
erosi yang dipergunakan menggambarkan erosi dipercepat yang disebabkan oleh air
Di daerah beriklim tropis basah, air merupakan penyebab utama erosi tanah,
sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses erosi air merupakan
kombinasi dua proses yaitu (1). Penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir
oleh air yang tergenang (proses dipersi), dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir
tanah oleh percikan hujan, dan (2). Penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan
terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas
permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di permukaan tanah tergantung pada
hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan
kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan
yang jatuh, dan daya dispersi dan daya angkut aliran di atas permukaan tanah.
tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan apakah tanah itu akan menjadi baik
Setelah penghancuran butir-butir tanah oleh energi kinetik curah hujan akan
terjadi aliran permukaan apabila kapasitas infiltrasi tanah berkurang. Jumlah aliran
sakit atau bahkan mati. Erosi pada awalnya akan memindahkan bahan organik dan
liat dari dalam tanah (selektivitas erosi) ke badan-badan air (sungai) yang kemudian
diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan. Erosi yang
terus berlanjut akan mengikis permukaan tanah atau bagian tanah yang lembut
(horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon R (batuan
Fenomena ini tejadi secara berkelanjutan pada hampir semua lahan pertanian
di Indonesia, terutama pada sistem pertanian lahan kering di kawasan hulu suatu
DAS. Pada tahap ini tanah dikategorikan sakit parah dan bahkan dapat dikatakan
model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978 dalam Arsyad, 2006)
yang diberi nama Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan persamaan sebagai
berikut:
A = R.K.L.S.C.P....................................................................................(1)
yang menyatakan:
R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi
hujan tahunan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E)
suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak
percobaan yang panjangnya 72,6 kaki (22,1 meter) terletak pada lereng
L = faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan
suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang
S = faktor kecuraman lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi
antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan vegetasi penutup dan
menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang
erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik.
Pengawetan Tanah dan Air”, penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan
Metode ini disebut “Pengukuran Erosi Petak Kecil”, metode ini ditujukan untuk
1. Besarnya erosi.
5. Pengelolaan tanah.
faktor-faktor tertentu untuk suatu tipe tanah dan derajat lereng tertentu
(Kartasapoetra, 1990).
rumus USLE bahwa perkiraan erosi pada Sub DAS Sumani, Lembang, Gawan,
Aripan dan Imang cukup besar yakni berkisar 141,94-436,7 ton/(ha.thn), kehilangan
tanah sebesar ini sudah cukup menghilangkan lapisan bagian atas hanya dalam tempo
yang sangat singkat, dengan demikian perlu diimbangi dengan tindakan konservasi
Erosi yang terjadi pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus dan
dan rumput pakan ternak sebesar 289,51 ton/(ha.thn) (Sutrisna dan Sitorus, 2009).
Aryanto, et al, (2008) melaporkan bahwa erosi pada hutan yang tidak terusik
di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebesar 34,2 ton/(ha.thn)
sementara erosi pada hutan yang terusik di kawasan yang sama sebesar 65,9
ton/(ha.thn).
Waduk Gajah Mungkur (di hulu DAS Bengawan Solo) sebesar 82,2 ton/(ha.thn),
sedangkan pada lahan pekarangan yang merupakan kebun campuran erosinya sebesar
138 ton/(ha.thn) dan pada lahan tegalan yang ditanami tanaman semusim (padi gogo,
jagung, kedele, kacang tanah dan ketela pohon) di sekitar Waduk Gajah Mungkur
Erosi yang terjadi pada sistem agroforestri atau kebun campuran di Sub DAS
Cibogo DAS Ciliwung sebesar 71-197 ton/(ha.thn) dan di Sub DAS Cigadog DAS
Rauf (2004) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi pada sistem
terutama pada tipe agrosilvikultur dengan kemiringan lereng 30-40% berkisar antara
agroforestri yang dapat menekan laju erosi menjadi rata-rata sebesar 79,84
Supangat dan Savitri (2001) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi
di lahan tegalan yang ditanami jagung di DAS Surakarta, tepatnya di DAS Miro
Wonosobo Jawa Tengah, sebesar 188,91 ton/(ha.thn), juga mendapatkan bahwa erosi
antara sengon muda dengan kopi muda di DAS Surakarta (lokasi kajian di DAS Miro
sengon tua dengan kopi tua sebesar 40,8 ton/(ha.thn), dan antara sengon tua dengan
pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila
dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang
agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan (Sinukaban, 1986). Menurut
Arsyad (1989), besarnya curah hujan serta intensitas dan distribusi butir hujan
menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran
permukaan, dan erosi. Air yang jatuh menimpa tanah-tanah terbuka akan
tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas
permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas
infiltrasi).
Besarnya hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh
karena itu, besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan luas
atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu milimeter. Besarnya curah
hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu seperti per hari, per
Kepekaan erosi tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang merupakan fungsi
dari berbagai interaksi sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju
infiltrasi; (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap
dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan.
Utomo (1989), tanah andosol terbentuk dari bahan abu vulkan muda dengan
kandungan bahan organik yang tinggi, tekstur lapisan tanah atas pasir berlempung
sangat porous, bersolum dalam sehingga kapasitas infiltrasi dan perkolasinya tinggi.
menunjukkan bahwa indeks erodibilitas andosol bervariasi dari 0,10 sampai 0,25.
mempunyai indeks erodibiltas sangat rendah sampai sedang. Jadi sebenarnya cukup
tahan terhadap erosi yang ditimbulkan oleh pukulan air hujan dan kikisan limpasan
permukaan. Tetapi karena umumnya andosol mempunyai sifat thixotropic, maka jika
jenuh air (karena intensitas hujan sangat tinggi), tanahnya mudah mengalami erosi
massa (creep dan slip erosion). Karena tingkat perkembangan tanahnya baru pada
adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat
kesuburan tanah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi yang menunjukkan mudah
atau tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika tanah.
Tekstur adalah ukuran tanah dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer
bagian mineral tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil
mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi dan jika tanah tersebut dalam, erosi dapat
cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, butir halus akan mudah
terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat
tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan
Struktur adalah ikatan butir primer kedalam butiran sekunder atau agregat.
Terdapat dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya dengan erosi. Pertama
adalah sifat-sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi dan yang
yang mantap.
Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang
butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan
mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat
menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan itu hanya
faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik
Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada
tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air
menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan demikian
Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah
tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeabel kurang peka
erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya
rendah.
Pertumbuhan tanaman yang lebih baik akan memperbaiki penutupan tanah yang lebih
baik dan lebih banyak sisa tanaman yang kembali ke tanah setelah panen.
tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya. Menurut Hodson
(1992), kepekaan erosi didefinisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk tidak
sebagai erosi per satuan indeks erosi hujan untuk suatu tanah dalam keadaan standar.
Kepekaan erosi tanah menunjukkan besarnya erosi yang terjadi dalam ton tiap hektar
tiap tahun indeks erosi hujan, dari tanah yang terletak pada keadaan baku (standar).
Tanah dalam standar adalah tanah yang terbuka tidak ada vegetasi sama sekali
terletak pada lereng 9% dengan bentuk lereng yang seragam dengan panjang lereng
72,6 kaki atau 22 m. Nilai faktor kepekaan erosi tanah yang ditandai dengan huruf K,
dengan K adalah nilai faktor kepekaan erosi suatu tanah, A adalah besarnya erosi
yang terjadi dari tanah pada petak standar (ton/(ha.thn)), dan R adalah EI30 tahunan.
Jika keadaan lereng di lapangan tidak sama dengan baku, maka faktor panjang
lereng dan kemiringan lereng harus dikembalikan pada keadaan baku, yaitu panjang
Dengan L adalah lereng dalam meter, S adalah persen kemiringan lereng dalam
keadaan baku.
besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan
air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu, lereng-lereng dengan
bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan
lereng-lereng pada kemiringan yang sama, tetapi mempunyai bentuk yang tidak
seragam dan pendek. Pada lereng yang panjang dan seragam, air yang mengalir
kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya tanah lereng bagian bawah
mengalami erosi lebih besar daripada lereng bagian atas. Sebaliknya, lereng yang
panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh lereng datar dalam jarak pendek.
Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng bawah tidak begitu besar dan erosi
yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan lereng yang panjang dan seragam
(Arsyad, 1989).
Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang
10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45º. Selain dari memperbesar
jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran
permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air. Dengan makin
curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan butir
hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan dua kali lebih curam, banyaknya erosi
suatu titik air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dengan kemiringan lereng
berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang mengalir
di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Dengan demikian, lebih banyak
air yang mengalir akan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng mengalami
erosi lebih besar daripada di bagian atas. Akibatnya adalah tanah-tanah di bagian
bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin panjang
lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran
kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula (Wischmeier dan Smith,
1978).
Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam
lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (b) mengurangi kecepatan
aliran permukaan dan kekuatan perusak air, (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan
stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (e) transpirasi yang mengakibatkan
terhadap erosi dan aliran permukaan karena berpengaruh terhadap penutupan tanah
dan produksi bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap tanah. Menurut FAO
(1965, dalam Sinukaban, 1986) pergiliran tanaman terutama dengan tanaman pupuk
memperbaiki struktur tanah karena sifat perakaran, dan produksi bahan organik yang
tinggi.
hal yang paling penting dilakukan, karena dapat mengetahui atau menduga potensi
suatu tegakan ataupun suatu komunitas tertentu pada hutan tersebut, diameter pohon
merupakan dimensi pohon yang sangat penting dalam pendugaan potensi pohon dan
tegakan. Data diameter bukan hanya diperlukan untuk menghitung nilai luas bidang
dasar suatu tegakan melainkan juga dapat digunakan untuk menentukan volume
pohon dan tegakan, berguna dalam pengaturan penebangan dengan batas diameter
tertentu serta dapat digunakan untuk mengetahui struktur suatu tegakan hutan
(Novarianti, 2009).
diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara
lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan
merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana sehingga menjadi lebih baik
dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka waktu yang tidak
pengetahuan dan penguasaan teknologi, (e) harga hasil usaha tani, (f) perpajakan,
(g) ikatan hutang, (h) pasar dan sumber keperluan usahatani, dan (i) infrastruktur dan
mendukung program konservasi. Faktor penting yang harus dilakukan dalam usaha
konservasi tanah, yaitu teknik inventarisasi dan klasifikasi bahaya erosi dengan
tekanan daerah hulu (upstream area). Untuk menentukan tingkat bahaya erosi suatu
bentang lahan diperlukan kajian terhadap empat faktor, yaitu jumlah, macam dan
waktu berlangsungnya hujan serta faktor-faktor yang berkaitan dengan iklim, jumlah
dan macam tumbuhan penutup tanah, tingkat erodibilitas di daerah kajian, dan
tanah berfungsi tidak saja untuk mempertahankan kesuburan tanah, tetapi juga dapat
meningkatkan kapasitas tanah untuk meretensi air, dan menstabilkan agregat tanah.
Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2 persen biasanya paling peka
terhadap erosi. Karena itu perlu penambahan bahan organik hingga angka tersebut.
Penambahan bahan organik ke tanah perlu memperhatikan jenis tanah, karena hal itu
berhubungan dengan faktor isohumik jumlah humus yang dihasilkan persatuan bahan
kontur atau memotong lereng, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur
menurut kontur. Pengolahan lahan menurut kontur akan lebih efektif apabila diikuti
dengan penanaman menurut kontur pula, yaitu larikan tanaman dibuat sejajar dengan
kontur.
pengangkutan tanah. Oleh karena itu, di daerah kering, pengolahan menurut kontur
Teras adalah suatu bangunan pengawetan tanah dan air secara mekanis yang
lebar melintang lereng tanah. Pengelolaan lahan dengan kontur tanah pertanian selalu
Fungsi teras adalah mengurangi panjang lereng, karena itu mengurangi sheet
dan riil, mencegah terbentuknya gully, dan menahan aliran permukaan di daerah
kurang hujan. Di sebagian besar daerah, graded teras lebih efektif dalam mengurangi
erosi daripada aliran permukaan (runoff), sedangkan level teras lebih efektif dalam
lain keadaan tata guna lahan pada daerah yang bersangkutan, pembuatan saluran
pembuangan (outlet), penentuan tata letak teras (terrace lay-out) dan rencana
intersepsi (interseption terrace), dan teras disversi (diversion terrace). Pada teras
intersepsi, aliran permukaan ditahan oleh saluran yang memotong lereng, sedangkan
pada teras disversi berfungsi untuk mengubah arah aliran sehingga tersebar ke saluran
lahan dan tidak terkonsentrasi kesuatu tempat. Menurut bentuknya teras dibedakan ke
dalam beberapa bentuk, yaitu teras kredit, teras guludan, teras datar, teras bangku,
Teras tradisional berupa teras adanya rorak penampung aliran permukaan dan
tanpa penguat bibir teras menggunakan rerumputan dapat mendorong lebih tingginya
erosi pada lahan kemiringan 34-37% ini. Apalagi teras yang dibangun kebanyakan
masih belum seluruhnya mengikuti garis kontur sesuai landskap yang ada sehingga
bidang teras pada salah satu atau kedua sisi horizontalnya selalu menjadi parit dari
bagian dasar teras yang lainnya. Hal ini jelas akan memperbesar terjadinya erosi yang
tinggi meskipun terdapat bangunan terasnya. Pembuatan teras bangku atau teras
gulud dengan standart desain dan bangunan yang baik disertai dengan penggunaan
mulsa sisa tanaman dan atau tanaman penutup tanah dengan kerapatan tinggi pada
lahan dengan kemiringan lebih dari 15% mutlak diperlukan agar degradasi lahan
tanah pada pertanaman kopi di lahan miring dapat dilakukan dengan pembuatan rorak
yang ke dalamnya dibenamkan bahan organik sisa tanaman (mulsa vertikal). Dengan
cara ini permeabilitas tanah dapat meningkat dari 3,69 cm/jam (pada perlakuan mulsa
secara tebar) menjadi 24,24 cm/jam pada perlakuan mulsa yang dibenamkan kedalam
rorak sedalam 30-45 cm. Dengan demikian, tanah dapat lebih banyak menyerap air
sehingga limpasan permukaan menjadi sangat kecil dan erosi dapat terkendali.
dengan teknik konservasi berupa teras bangku datar dapat meniadakan erosi sama
sekali (erosi = 0,0 ton/(ha.thn)) dari erosi sebesar 156,4 ton/(ha.thn) pada pertanaman
jeruk dengan pengolahan tanah bersih. Pada perlakuan konservasi tanah yang lain
seperti teras bangku miring menghasilkan erosi 6,54 ton/(ha.thn), penanaman rumput
bahia rapat disertai pemberian mulsa erosinya sebesar 0,94 ton/(ha.thn) dan
penanaman rumput bahia dalam strip di sertai pemberian mulsa erosinya hanya 2,8
bangku erosinya dapat ditekan menjadi 34-81 ton/(ha.thn). Pada pola pertanaman
erosi sebesar 136 ton/(ha.thn) sedangkan pada pola pertanaman yang sama yang
disertai teknik konservasi berupa teras gulud, erosinya dapat ditekan menjadi 89
ton/(ha.thn).
Laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara
memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang
masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan yang diberi lambang T. Batas tertinggi
erosi yang masih dapat dibiarkan kadang-kadang dapat juga ditetapkan dengan tujuan
utama untuk pengendalian kualitas air atau untuk mengendalikan laju pendangkalan
ditentukan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan untuk setiap penggunaan lahan
konservasi tanah salah satu informasi penting yang harus diketahui adalah tingkat
bahaya erosi (TBE) dalam suatu DAS atau sub-DAS yang menjadi kajian. Dengan
antara laju erosi tanah (A) dengan laju erosi erosi yang masih ditoleransikan.
Batas Toleransi Erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih
diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi
oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas tanah.
Evaluasi bahaya erosi merupakan penilaian atau prediksi terhadap besarnya erosi
tanah dan potensi bahayanya terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi ini
didasarkan dari hasil evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut Arsyad
(2000) evaluasi bahaya erosi atau disebut juga tingkat bahaya erosi ditentukan
berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan erosi tanah yang
dapat ditoleransikan (tolerable soil loss). Untuk mengetahui kejadian erosi pada
tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat
berat. Pada tanah dengan solum dalam (kedalaman >90 cm) seperti pada wilayah
kajian, tingkat bahaya erosi dikatakan sangat ringan (SR) bila jumlah erosi < 15
ton/(ha.thn), ringan (R) bila jumlah erosi antara 15-60 ton/(ha.thn), sedang (S) bila
jumlah erosi 60-180 ton/(ha.thn), berat (B) bila jumlah erosi 180-480 ton/(ha.thn) dan
sangat berat (SB) bila erosinya > 480 ton/(ha.thn) (Saptarini, dkk, 2007).
Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai tingkat bahaya erosi yang
tinggi (berat) hingga sangat tinggi (sangat berat) sebagaimana terjadi pada kawasan
hutan di DTA Waduk Sempor Kabupaten Jawa Tengah (Ariyanto, et al, 2008).
dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan erosi yang masih
dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang digunakan untuk pertanaman jagung
04º36’00” Lintang Utara dan 97º 48’ 03” – 98º38’50” Bujur Timur dengan luas
sekitar 410714,75 hektar atau 4107,15 Km2 (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008).
Simalungun dan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara (Gambar 2), dengan batas-
batas wilayah sebagai berikut (Misran, 2008; BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008):
Sebelah Selatan berbatas dengan DAS Lau Renun dan DTA Danau Toba
Sebelah Timur berbatas dengan DAS Belawan, Deli, Percut dan Ular
Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu dengan luas 410.714,75 hektar tersebut
terbagi ke dalam 4 (empat) wilayah Sub DAS (Gambar 2) yaitu (BP DAS WU,
2008): (a). Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.679,85 hektar (49,83%); (b). Sub DAS
Sei Bingei seluas 79.046,91 hektar (19,25%); (c). Sub DAS Wampu Hilir seluas
32.737,53 hektar (7,97%), (d). Sub Das Lau Biang seluas 94.250,45 hektar (22,95%).
Sementara wilayah kecamatan yang masuk ke dalam Sub DAS Lau Biang
pada Tabel 2.
Dari segi kemiringan lereng, bentuk lahan dominan di DAS Wampu adalah
agak curam hingga sangat curam (kemiringan > 26%) selaus 282.179,86 hektar atau
68,7% dari luas DAS Wampu. Bentuk kemiringan lereng lainnya berikut luasnya
Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan, Kabupaten dan Kota yang Masuk ke dalam
DAS Wampu
Luas
Kecamatan/Kabupaten
Ha %
Kabupaten Karo:
1. Barus Jahe 9548,74 2,32
2. Berastagi 2341,99 0,57
3. Dolat Rakyat 2042,32 0,50
4. Kaban Jahe 4311,29 1,05
5. Lau Baleng 3026,28 0,74
6. Mardingding 12808,45 3,12
7. Merdeka 2540,34 0,62
8. Merek 12130,48 2,95
9. Munte 7901,31 1,92
10. Namanteran 7698,06 1,87
11. Payung 3071,95 0,75
12. Kuta Buluh 23457,62 5,71
13. Tiga Binanga 6333,69 1,54
14. Tiganderket 12247,33 2,98
15. Tiga Panah 9516,64 2,32
16. Simpang Empat 7281,31 1,77
Jumlah 126257,80 30,73
Kabupaten Langkat:
1. Bahorok 103357,41 25,17
2. Binjai 2918,01 0,71
mm/thn sampai 4.127,2 mm/tahun. Debit sungai di DAS Wampu sebesar 180
m³/detik. Sedangkan penutupan lahan (Land Cover) DAS Wampu disajikan pada
Tabel 4.
lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu saat ini, sehingga
(2) Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaedah konservasi tanah di Sub DAS
(3) Pada bagian hilir DAS adalah terjadinya penyempitan dan pendangkalan
sungai di Sub DAS Wampu Hilir, Sub DAS Bingei Kabupaten Langkat dan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di kawasan hulu
DAS Wampu, yaitu Sub DAS Lau Biang yang meliputi 10 (sepuluh) wilayah
serta wilayah Kecamatan Merek, Tiga Panah, Kabanjahe, Barus Jahe, Munthe,
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System), altimeter, klinometer, bor tanah, ring sampel tanah, meteran, waterpass,
pisau pandu, kantong plastik dan karet gelang, kertas label, ember, derigen, parang,
cangkul, air, meteran 50 m, timbangan, alat tulis, perangkat komputer dan, kamera
digital.
(padi, sawi, cabai, dll), lahan tanaman pangan (jagung), lahan tanaman industri (kopi
arabika), lahan tanaman hortikultura (jeruk manis) dan lahan hutan, contoh tanah/
sedimen, contoh air larian, peta administrasi, peta jenis tanah, peta geologi, peta kelas
lereng, peta penutupan dan penggunaan lahan, data sekunder curah hujan dari BMG
mengetahui tingkat bahaya erosi di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau
Biang) melalui penghitungan dan pengukuran besarnya prediksi erosi dan erosi yang
beberapa tipe penggunaan lahan tanaman budidaya dan kawasan hutan. Pengukuran
erosi dan pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara purposive sampling
terutama dalam menetapkan lokasi yang meliputi lahan dengan tutupan hutan primer
Pengamatan pada berbagai teknik konservasi tanah yang dipilih adalah teknik
konservasi yang terbanyak diterapkan dan dilakukan oleh petani. Teknik konservasi
lahan hutan yang diamati dihitung jumlah tegakan yang ada pada lahan tersebut dan
dikelompokkan pohon yang sama dan sejenis, dan diukur diameternya setinggi dada
Penetapan erosi aktual pada setiap lahan yang dipilih untuk dijadikan sampel
Di mana:
L = Panjang lereng
S = Kemiringan lereng
Data curah hujan dari stasiun pengamatan hujan lokasi penelitian, selama 15
tahun terakhir. Data curah hujan ini digunakan untuk mengetahui faktor erosivitas
12
R EI 30 i .......................................................................................... (4)
i 1
Di mana:
bersangkutan.
Faktor erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah dihitung dengan
Di mana:
jika data yang tersedia hanya data % debu, % pasir, dan % liat, maka
% liat sangat halus diperoleh dari 20% dari % pasir (Sinukaban, 1986
lereng. Faktor S adalah rasio kehilangan tanah per satuan luas di lapangan terhadap
kehilangan tanah pada lereng eksperimental sepanjang 22,1 m (72,6 ft) dengan
mengacu pustaka hasil penelitian tentang nilai C dan nilai P pada kondisi yang
identik. Di samping itu juga akan ditentukan besarnya laju erosi yang masih dapat
ditoleransikan untuk lahan tanaman industri yang sedang diukur tingkat bahaya
erosinya.
Tabel 10. Nilai Faktor Kedalaman Tanah pada Berbagai Jenis Tanah
de. fd
T xBD ....................................................................................... (9)
W
Di mana:
Nilai faktor kedalaman tanah dipengaruhi oleh jenis tanah seperti disajikan
potensial (A) dengan erosi yang masih dapat ditoleransikan (T) di daerah itu dengan
rumus:
a. Jenis tanah.
e. Tekstur tanah.
f. Struktur tanah.
g. Kemiringan lereng.
prediksi, erosi diperbolehkan, dan indeks bahaya erosi, dilakukan analisis varian satu
arah (One Way Anova). Dengan demikian dapat diketahui rerata sampel berbeda
nyata atau tidak secara statistika (Pratisto, 2004). Perangkat lunak yang digunakan
4.1. Kondisi Umum Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu
Kawasan sub DAS Lau Biang merupakan kawasan hulu DAS Wampu yang
Bujur Timur dengan luas 94.250 hektar. Sub DAS Lau Biang terletak di 19
Utara, berbatasan dengan Kabupaten Langkat (Kec, Salapian dan Kec. Sei Bingei)
dan Kabupaten Deli Serdang (Kec. Kutalimbaru dan Kec. Sibolangit), di sebelah
Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang (Kec. STM Hulu dan Kec.
Gunung Meriah), di sebelah Selatan berbatasan dengan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Danau Toba, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo (Kec. Merek, Kec.
Munthe, Kec. Tiga Binanga dan Kec. Kuta Buluh) (Lampiran Gambar 3 Peta
Sub DAS Lau Biang termasuk daerah yang topografinya digolongkan dalam
kondisi agak curam hingga curam. Hal ini sesungguhnya sangat tidak memungkinkan
untuk diolah menjadi lahan pertanian tanpa menerapkan pola konservasi tanah (P).
Di samping terjadinya erosi pada sub DAS Lau Biang akibat alih fungsi menjadi
penyempitan saluran DAS pada bagian hilir DAS Wampu akibat sedimen yang
Kondisi penggunaan lahan di kawasan Sub DAS Lau Biang sampai tahun
2009 secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut: Belukar 985,451 ha
pertanian lahan kering campur semak 805,643 ha (0,85%), pertanian lahan kering
(0,33%) sesuai dengan BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008 (Lampiran Gambar 4 Peta
Penutupan Lahan Kawasan Sub DAS Lau Biang (BP-DAS WU, 2009).
Dari data tersebut bahwa penggunaan lahan pertanian kering dan hutan
tanaman industri mempunyai potensi erosi tanah yang lebih besar dibandingkan
dengan jenis penggunaan lahan sawah dan belukar. Hal itu berkaitan dengan kanopi
tanaman yang menutupi permukaan tanah. Pada jenis penggunaan lahan terbuka,
lahan pertanian kering dan hutan tanaman industri tanaman lebih jarang dan banyak
ditanami sejajar lereng sehingga apabila terjadi hujan dengan kemiringan lereng yang
besar maka aliran permukaan akan semakin potensial untuk mengakibatkan erosi
tanah.
Secara umum dari kondisi topografi, iklim, hidrologi, dan penggunaan lahan
di sub DAS Lau Biang ada satu peluang untuk pengembangan perkebunan, kehutanan
Hasil prediksi besarnya erosi di setiap penggunaan lahan di sub DAS Lau
Biang menggunakan metode USLE diperoleh besar erosi tanah sangat bervariasi dari
dikarenakan penggunaan nilai-nilai tetapan faktor yang mempengaruhi erosi tanah itu
menggunakan prediksi USLE sangat tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh data curah
hujan yang diperlukan tidak lengkap. Dari data curah hujan yang tersedia dengan
jumlah curah hujan rata-rata sebesar 3137,8 mm/thn sehingga mengakibatkan faktor
Perhitungan laju erosi tanah dengan metode prediksi USLE semua faktor yang
erosi tersebut telah ditentukan sebelumnya, dengan kata lain mungkin faktor-faktor
tersebut tidak sesuai dengan lahan yang sedang diukur laju erosinya.
faktor yang mempengaruhi erosi tanah secara terurai atau dijabarkan. Sehingga setiap
faktor yang mempengaruhi erosi tanah di uraikan satu persatu. Hal ini bisa digunakan
laboratorium).
Erosi ditoleransikan (T) sangat berkaitan dengan tingkat bahaya erosi (TBE),
karena semakin besar nilai T dengan besar erosi tanah (A) sama, maka TBE akan
semakin rendah dan sebaliknya, jika T semakin kecil maka TBE akan semakin tinggi.
Jadi hubungan antara T dengan TBE sangat nyata dalam penentuan tingkat kepekaan
Dalam Arsyad (2006), besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan oleh lima
faktor utama yaitu, erosivitas hujan, erodibiltas tanah, bentuk lahan, vegetasi penutup
tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. Faktor-faktor ini sangat mempengaruhi laju
erosi tanah yang merupakan proses penting dalam pembentukan suatu daerah aliran
sungai serta memiliki konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS
tersebut, di mana bentuk dan kondisi fisik suatu DAS sangat berpengaruh terhadap
Data rata-rata curah hujan bulanan (Lampiran 14), jumlah hari hujan bulanan
(Lampiran 15) dan curah hujan maksimum selama 24 jam (Lampiran 16) untuk kurun
waktu 10 tahun. Selanjutnya rata-rata curah hujan bulanan, jumlah hari hujan
bulanan dan tahunan di Sub DAS Lau Biang disajikan pada Lampiran 17.
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai erosivitas hujan tahunan adalah
2065,17 cm/thn dengan distribusi nilai R bulanan tertiggi pada bulan Februari, yaitu
310,20 cm/bln, selanjutnya diurutan kedua dan ketiga pada bulan Mei dan bulan April
dengan nilai erosivitas (R) masing-masing 259,30 cm/bln dan 245,20 cm/bln.
Pada bulan Februari rata-rata curah hujan, rata-rata hari hujan, dan hujan
maksimum masing-masing sebesar 34,67 cm, 71,67 hari, dan 22,20 cm. besarnya
nilai-nilai itu menyebabkan adanya kemungkinan terjadi erosi tanah pada bulan
tersebut dengan potensi yang cukup besar. Demikian juga pada bulan Mei dan April.
Tabel 12. Curah Hujan Bulanan Rata-rata, Hari Hujan Rata-rata, Curah Hujan
Maksimum Selama 24 Jam, dan Nilai Erosivitas Hujan di sub-DAS
Lau Biang
Dari tabel juga dapat dilihat pada bulan Juli nilai erosivitas paling rendah,
diikuti bulan Agustus dan Juni, yaitu masing-masing sebesar 32,00 cm/bln, 71,39
rata-rata curah hujan maksimum masing-masing sebesar 8,64 cm, 44,80 hari, dan
4,82 cm. nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Juli peluang terjadinya
erosi tanah cukup rendah. Demikian pula pada bulan Agustus dan Juni.
Secara umum pada bulan Februari, Maret, April, Mei, Oktober, November,
dan Desember nilai erosivitas hujan tinggi, sedang pada bulan Januari, Juni, Juli,
Agustus dan September nilai erosivitas hujan rendah, data curah hujan dan
waktu pengelolaan lahan tanaman, sehingga dapat memperkecil terjadinya erosi tanah
yang mungkin terjadi. Pada bulan dengan nilai erosivitas hujan (R) yang tinggi
kalau bisa diterapkan penggunaan penutup permukaan lahan berupa mulsa, bisa
permukaan.
Sesuai dengan yang diungkapkan Agus dan Widianto (2004) dan Arsyad
(2006) erosivitas hujan merupakan faktor alami yang hampir tidak mungkin di kelola.
Jadi besarnya nilai erosivitas hujan yang terjadi di kawasan sub DAS Lau Biang
merupakan tetapan yang tidak mungkin diperkecil, kecuali memperkecil laju erosi
kepekaan tanah terhadap pukulan (energi kinetik) butiran air hujan dan penghanyutan
oleh aliran permukaan. Tanah yang erodibilitasnya tinggi akan rentan terkena erosi,
diperoleh dengan pengamatan sifat fisika dan kimia tanah. Erodibilitas pada lahan
hutan antara 0,18-0,75, pada lahan agroforestri antara 0,17-0,48, pada lahan jagung
(Zea mays) antara 0,15-0,33, pada lahan jeruk manis (Citrus sinensis) antara 0,15-
0,54 dan kopi arabika (Coffea arabica) antara 0,12-0,72. Nilai dan contoh
perhitungan erodibilitas (K) pada setiap penggunaan lahan dapat dilihat pada
lahan, yaitu:
1) Nilai tekstur tanah (M), Nilai ini mempengaruhi kepekaan tanah terhadap
dapat dilihat nilai tektur tanah (M) dan contoh perhitungannya setiap
tanaman jagung (Zea mays) 0,002-0,006, lahan tanaman jeruk manis (Citrus
sinensis) 0,006-0,007 dan lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) antara
mays), kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis) rendah
dikarenakan pada lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk
manis (Citrus sinensis) dominan bersih vegetasinya dan juga bersih dari
sumber bahan organik, karena diusahakan permukaan lahan bebas dari gulma
dan hanya ditumbuhi oleh tanaman utama. Penyinaran pun relatif merata
menahan air (sifat fisika tanah), meningkatkan daya serap dan kapasitas tukar
kation (KTK) (sifat kimia tanah), dan peningkatan jumlah dan aktivitas
Organik tanah di lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk
erosi. Hal ini sesuai dengan Rahim (2003), yang menyatakan bahwa tanah
dengan kandungan bahan organik tanah kurang dari 2 persen biasanya paling
minimal merupakan faktor yang secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang
perhitungannya seperti dapat dilihat pada Lampiran 21, 30, 39, 48, 57.
3) Struktur tanah (b), tanah yang diambil sebagai sampel pada setiap penggunaan
lempeng, bersudut, dengan nilai 4 pada Tabel 5. Struktur tanah juga turut
terjadi. Semakin besar nilai koefisien struktur tanah, maka tanah akan semakin
peka terhadap erosi dan sebaliknya, jika nilai koefisien struktur tanah kecil
Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (2000) bahwa beberapa sifat tanah
sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Tanah yang diteliti untuk
setiap penggunaan lahan pada sub DAS Lau Biang adalah sama, yaitu tanah
Hydrandepts merupakan tanah andosol yang berasal dari bahan induk abu dan
terhadap erosi yang besar, baik terhadap erosi air maupun erosi angin, nilai
(b), dapat dilihat pada Lampiran 21, 30, 39, 48, 57.
sangat cepat pada lahan hutan antara 183,53-424,62, pada lahan agroforestri
327,6923, pada lahan jeruk manis (Citrus sinensis) antara 174,71-283,2, pada
dalam Lampiran 22, 31, 40, 49, 58. Permeabilitas merupakan kemampuan
dalam prediksi erosi tanah, diperoleh bahwa pengaruh laju permeabilitas tanah
dengan kepekaan tanah terhadap erosi berbanding terbalik. Sehingga semakin tinggi
Ada dua hal yang mempengaruhi faktor topografi yakni kemiringan lereng (S)
dan panjang lereng (L). Nilai faktor topografi (LS) pada setiap penggunaan lahan
dapat dilihat pada Lampiran 24, 33, 42, 51, 60 dan Lampiran Gambar 6 Peta Lereng
Dari lampiran tersebut dapat dilihat bahwa kemiringan lereng pada setiap
penggunaan lahan tanaman rata-rata di atas 32,68%. Dengan kemiringan paling besar
lereng tersebut merupakan lereng yang curam sehingga rentan terhadap bahaya erosi.
Sesuai dengan pernyataan Sinukaban (1986) yang menyebutkan bahwa selain dari
kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air.
Dengan makin curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh
tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan dua kali lebih curam,
yang memiliki kemiringan lereng yang sama di lapangan. Air yang mengalir
di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng, dengan demikian lebih banyak
air yang mengalir akan makin besar kecepatan di bagian bawahnya sehingga erosi
lebih besar pada bagian bawah, hal ini diakibatkan karena bertambahnya kecepatan
aliran permukaan. Sehingga makin panjang lereng, makin tinggi potensial erosi yang
akan terjadi. Hal ini sesuai dengan Wischmeier and Smith (1978) yang menyatakan
bahwa makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena
akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin
tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula. Hal ini
sesuai dengan penyataan Suratman (2008), dengan lereng yang terjal pada bagian-
bagian tertentu suatu lahan sangat riskan terhadap bahaya erosi. Karena lereng >5%
merupakan lereng yang sudah mulai riskan apabila dikelola dengan pola pengelolaan
intensif.
penting dalam erosi. Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa vegetasi dan tindakan
konsrtvasi sangat beragam. Pada pengelolaan tanaman hutan nilai CP yakni 0,01
(Hutan tanpa tumbuhan rendah) dan Agroforestri Nilai CP yakni 0,07 (tanaman
campuran), seperti Lampiran 25 dan 34. Untuk tanaman jagung (Zea mays) nilai C
yakni 0.2, tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis)
lebih terbuka memungkinkan aliran air sulit ditahan oleh tanah sehingga dapat
mengakibatkan aliran air di permukaan tanah lebih cepat. Ini disebabkan kanopi
penutup tanah dari tajuk tanaman hutan sudah tidak ada dan digantikan dengan
melalui pengelolaan tanaman dapat dilakukan dengan tanaman penutup tanah yang
memiliki peranan besar dalam menghambat dan mencegah erosi karena dapat
aliran permukaan.
Teknik konservasi lahan (P) pada setiap penggunaan lahan masih belum
DAS Lau Biang di lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis
(Citrus sinensis) masih menggunakan teknik konservasi strip tanaman dengan kontur
kontur (0,75) sedangkan pada tanaman jagung (Zea mays) menggunakan teknik
konservasi strip tanaman dengan kontur (0,2) dan pengolahan tanah dan penanaman
menurut garis kontur (0,75) seperti pada Lampiran 43, 52, 61. Hal ini menunjukkan
Faktor tanaman dan pengelolaan lahan merupakan faktor erosi tanah yang
paling mungkin dikelola untuk menurunkan atau memperkecil laju erosi pada suatu
lahan. Karena kedua faktor ini merupakan hal yang mudah untuk dilakukan (dirubah)
pengelolaannya. Dengan kata lain faktor tanaman dan teknik pengelolaan tanah bisa
disesuaikan dengan kemampuan lahan jika diketahui seberapa besar pengaruh faktor
erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi) dan faktor erosivitas hujan.
penggunaan lahan di kawasan Sub DAS Lau Biang dari 22 titik pengamatan pada
lahan dengan kemiringan lereng 34-37%, diperoleh hasil untuk penggunaan lahan
hutan antara 15,45 – 68,49 ton/(ha.thn), pada lahan agroforestri antara 99,63 – 298,37
ton/(ha.thn), pada lahan tanaman jagung (Zea mays) 63,49 – 316,05 ton/(ha.thn), pada
lahan tanaman jeruk manis (Citrus sinensis) antara 86,37 – 609,86 ton/(ha.thn) dan
pada lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) antara 109,76 – 688,61
Tabel 13. Rataan Besarnya Erosi Prediksi di Sub DAS Lau Biang (Kawasan
Hulu DAS Wampu) pada Kemiringan Lereng 34-37%
Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa rataan erosi terbesar terjadi pada
kemudian pada pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis) sebesar 335,95 ton/(ha.thn),
Agroforestri 182,75 ton/(ha.thn), jagung (Zea mays) sebesar 168,95 ton/(ha.thn) dan
terkecil pada kawasan hutan sekunder sebesar 36,07 ton/(ha.thn). Rataan erosi
terkecil yang terjadi pada lahan yang digunakan untuk pertanaman jagung yang justru
lebih kecil dibandingkan pada lahan yang digunakan untuk sistem pertanaman
campuran hutan dan tanaman pertanian (sistem agroforestri). Kisaran besarnya erosi
di Sub DAS Lau Biang, sebagaimana tertera pada Tabel 13 lebih kurang sama dengan
erosi yang terjadi di Sub DAS Sumani Solok Sumatera Barat. Saidi (2001)
melaporkan bahwa erosi yang terjadi di Sub DAS Sumani, pada lima Sub-Sub DAS
yang ditelitinya yaitu Sub-sub DAS Lembang, Gawan, Aripan, Imang, dan Sumani,
lahan cukup mencolok terutama antara erosi pada penggunaan lahan hutan sekunder
dengan erosi yang terjadi pada jenis penggunaan lainnya, sebagaimana dapat dilihat
Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa rataan erosi yang terjadi pada sistem
agroforestry, pertanaman jagung (Zea mays), jeruk manis (Citrus sinensis) dan kopi
arabika (Coffea arabica) lebih besar selisihnya dibandingkan rataan erosi pada sistem
hutan (selisihnya 132,88 – 308,01 ton/(ha.thn)). Dari Tabel 14 dapat pula diketahui
bahwa erosi yang terjadi pada sistem agroforestri dan pertanaman jagung (Zea mays)
serta erosi yang terjadi pada pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk
manis (Citrus sinensis) selisihnya tidak begitu besar, meskipun erosi yang terjadi
pada sistem agroforestri lebih besar dari erosi yang terjadi pada pertanaman jagung
kopi arabika (Coffea arabica) lebih besar dari erosi yang terjadi pada pertanaman
Selanjutnya dapat diketahui bahwa erosi pada pertanaman jeruk manis (Citrus
sinensis) dan kopi arabika (Coffea arabica) selisihnya lebih besar bila dibandingkan
dengan erosi yang terjadi pada sistem agroforestri dan pertanaman jagung (Zea mays)
di Sub DAS Lau Biang ini dapat saja terjadi karena kajian erosi ini dilakukan pada
lahan dengan kemiringan lereng yang tergolong curam (26-40%) atau persisnya pada
kemiringan lereng 34% hingga 37%. Namun demikian, erosi yang terjadi pada hutan
sekunder di lokasi kajian ini sebesar 36,07 ton/(ha.thn) (Tabel 13) masih lebih kecil
dibandingkan erosi yang terjadi pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus
dan rumput pakan alami di Sub DAS Cikapundung Bandung Utara sebesar 126,71
ton/(ha.thn), sedangkan pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus dan
rumput pakan ternak sebesar 289,51 ton/(ha.thn) (Sutrisna dan Sitorus, 2009).
Dibandingkan dengan erosi yang terjadi pada kawasan hutan di DTA Waduk
Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, erosi yang terjadi pada kawasan hutan
di Sub DAS Lau Biang (36,07 ton/(ha.thn)) ini masih sama dan bahkan lebih kecil.
Ariyanto, Sunarminto, dan Shiddieq (2008) melaporkan bahwa erosi pada hutan yang
tidak terusik di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebesar 34,2
65,9 ton/(ha.thn).
di kawasan hutan Waduk Gajah Mungkur (di hulu DAS Bengawan Solo) sebesar 82,2
erosinya sebesar 138 ton/(ha.thn) dan pada lahan tegalan yang ditanami tanaman
semusim (padi gogo, jagung, kedele, kacang tanah dan ketela pohon) di sekitar
Tingginya erosi yang terjadi pada sistem agroforestri yang masih lebih tinggi
dibandingkan pada pertanaman jagung (Zea mays), hal ini dapat terjadi karena sistem
agroforestri yang terdapat di wilayah ini merupakan sistem agroforestri yang belum
sebelumnya bahwa sistem agroforestri di wilayah ini masih bersifat tradisional atau
subsistem yang terjadi karena tidak disengaja ataupun karena ada bagian lahan yang
tanaman pohon atau pada lahan bekas hutan yang sebagian pepohonannya diganti
Namun demikian, rerata besarnya erosi yang terjadi pada sistem agroforestri
di lokasi kajian tersebut sebesar 182,75 ton/(ha.thn) (Tabel 13) atau pada kisaran
99,63-298,37 ton/(ha.thn) (Lampiran 35), tidak jauh berbeda dengan erosi yang
terjadi pada sistem agroforestri atau kebun campuran di Sub DAS Cibogo DAS
sebesar 65-170 ton/(ha.thn) (Pawitan dan Sinukaban, 2007). Rauf (2004) juga
ton/(ha.thn) atau rata-rata sebesar 136,79 ton/(ha.thn). Sistem agroforestri yang dapat
menekan laju erosi menjadi rata-rata sebesar 79,84 di kawasan penyangga TNGL
antara pepohonan hutan dengan tanaman pertanian dan rumput pakan ternak di lahan
selanya.
Besarnya erosi pada pertanaman jagung (Zea mays) di lokasi kajian yang
berkisar antara 63,5-316,1 ton/ha/tahun (Lampiran 44) atau rerata 168,95 ton/(ha.thn)
(Tabel 13) tersebut masih lebih kecil bila dibandingkan dengan erosi pada
pengolahan tanah konservasi dan pemberian mulsa jerami terhadap produksi tanaman
pangan dan erosi hara di kebun percobaan konservasi tanah dan air IPB Bogor,
Sinukaban (2007) mendapatkan bahwa erosi pada pola pertanaman kacang tanah-
jagung yang diperlakukan dengan tanpa mulsa sebesar 916 ton/(ha.thn), sementara
yang diberi mulsa jerami sebanyak 30%, 60% dan 90% menyebabkan erosi masing-
masing sebesar 602 ton/(ha.thn), 408 ton/(ha.thn), dan 391 ton/(ha.thn). Coster dalam
Arsyad (2006) juga mendapatkan erosi yang tinggi sebesar 345 ton/(ha.thn) pada
di lahan tegalan yang ditanami jagung di DAS Surakarta, tepatnya di DAS Mikro
Wonosobo Jawa Tengah, sebesar 188,91 ton/(ha.thn) yang masih lebih besar bila
dibandingkan erosi yang terjadi pada lahan pertanaman jagung di lokasi kajian (Sub
DAS Lau Biang) ini dengan rata-rata sebesar 168,95 ton/(ha.thn) (Tabel 13).
Rerata erosi yang terjadi pada pertanaman kopi arabika (Coffea arabica)
di lokasi kajian sebesar 344,08 ton/(ha.thn) tidak berbeda jauh dengan rerata erosi
pada pertanaman jeruk manis sebesar 335,95 ton/(ha.thn) (Tabel 13) hal tersebut lebih
kurang sama dengan erosi yang terjadi pada perkebunan rakyat di Sub DAS Simbelin
Kabupaten Dairi Sumatera Utara, sebagaimana dilaporkan oleh Idris (2005) sebesar
320,2 ton/(ha.thn). Selanjutnya Sutrisna dan Sitorus (2009) melaporkan bahwa ladang
203,45 ton/(ha.thn).
Besarnya erosi yang terjadi di lahan pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis)
dan kopi arabika (Coffea arabica) ini dapat terjadi karena seperti telah diuraikan
di atas, pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis)
di lokasi kajian pada lahan dengan kemiringan lereng 34-37% (curam) tersebut belum
sepenuhnya menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang efektif. Lahan sela
pada lahan kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis) dewasa
(tanaman menghasilkan) ini cenderung bersih dan bahkan sebagian ditanami tanaman
belum sepenuhnya mengikuti garis kontur sehingga justru dapat lebih meningkatkan
erosi. Sistem pertanaman pada lahan miring (curam) seperti ini seharusnya disertai
tindakan konservasi tanah yang efektif seperti pembuatan teras bangku sejajar garis
kontur yang diperkuat dengan strip rumput pada bibir teras (Arsyad, 2006;
Dapat diketahui bahwa erosi yang ditoleransikan di lokasi kajian Laju erosi
yang ditoleransikan (T) pada setiap penggunaan lahan di Sub DAS Laubiang pada
lahan hutan berkisar antara 22,47-25,03 ton/(ha.thn), pada lahan agroforestri berkisar
antara 24,99-28,61 ton/(ha.thn), pada lahan tanaman jagung (Zea mays) berkisar
antara 21,83-27,12 ton/(ha.thn), pada lahan tanaman jeruk manis (Citrus sinensis)
berkisar antara 27,03-28,89 ton/(ha.thn) dan pada lahan tanaman kopi arabika
(Coffea arabica) 25,5-28,35 ton/(ha.thn). Dari data di atas diperoleh besar nilai erosi
yang ditoleransikan yang terendah sebesar 21,83 ton/(ha.thn) dan yang tertinggi
sebesar 28,89 ton/(ha.thn). Nilai erosi ditoleransikan di Sub DAS Lau Biang ini lebih
kurang sama dengan yang diperoleh Rauf (2004) di kawasan penyangga Taman
Murtilaksono, Sanim, dan Ginting (2008) juga mendapatkan bahwa erosi yang dapat
sengon muda dengan kopi muda di DAS Surakarta (lokasi kajian di DAS Mikro
sengon tua dengan kopi tua sebesar 40,8 ton/(ha.thn), dan antara sengon tua dengan
pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila
dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang
digunakan untuk pertanaman jagung sebesar 25,2 ton/(ha.thn) (Supangat dan Savitri,
2001). Nilai erosi yang ditoleransikan (T) dapat dilihat pada Lampiran 27, 36, 45, 54,
63.
aktual dengan erosi ditoleransikan di kawasan Sub DAS Lau Biang bervariasi dari
tingkat sedang hingga sangat tinggi (Tabel 15). Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa
tingkat bahaya erosi pada penggunaan lahan untuk hutan sekunder tergolong sedang
(berada pada kisaran nilai TBE antara 0,68-2,85 atau persisnya 1,55), sedangkan pada
sistem agroforestri dan pertanaman jagung tergolong tinggi (berada pada kisaran nilai
TBE antara 4,01-10,00), dan pada pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis) dan kopi
arabika (Coffea arabica) tergolong sangat tinggi (berada pada nilai TBE >10,00).
Tingkat bahaya erosi yang sedang pada kawasan hutan di Sub DAS Lau Biang
masih tergolong lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat bahaya erosi yang tinggi
(berat) hingga sangat tinggi (sangat berat) sebagaimana terjadi pada kawasan hutan
di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Ariyanto, et al, 2008).
Sementara tingkat bahaya erosi yang tinggi pada sistem agroforestri di Sub DAS Lau
Biang sama dengan tingkat bahaya erosi pada sistem agroforestri di DTA Waduk
Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang juga tinggi atau berat dengan indeks
bahaya erosi antara 4,01-10,00 (Ariyanto, et al, 2008). Nilai TBE dapat dilihat pada
Tiga tindakan konservasi tanah yang dilakukan pada pertanaman kopi arabika
(Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis) dan dua tindakan konservasi tanah
yang dilakukan pada pertanaman jagung (Zea mays) dan di Sub DAS Lau Biang
belum menunjukkan penurunan erosi yang berarti. Meskipun erosi pada strip tanaman
dan berbeda nyata dibandingkan erosi pada teknik konservasi lainnya pada ketiga
jenis penggunaan lahan jagung (Zea mays), kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk
manis (Citrus sinensis), namun jumlah erosi yang dihasilkan masih tinggi (Tabel 16)
melebihi erosi yang ditoleransikan (Tabel 15), sehingga tingkat bahaya erosinya
masih tergolong sedang pada pertanaman jagung (Zea mays), tinggi (berat) pada
pertanaman kopi arabika (Coffea arabica), dan sangat tinggi (sangat berat) pada
garis kontur yang sebelumnya dilakukan pengolahan tanah. Hal ini dapat terjadi
permukaan, apalagi lahan selanya cenderung bersih dari tanaman penutup tanah
(cover crops). Tanaman penutup tanah yang kurang dan tindakan pengolahan tanah
(butir-butir) tanah sehingga mudah terbawa oleh air limpasan (Arsyad, 2006;
Sinukaban, 2007).
Tindakan Konservasi Rataan Erosi pada Rataan Erosi pada Rataan Erosi
Tanah Lahan Jagung Lahan Jeruk pada Lahan
(ton/(ha.thn)) Manis Kopi Arabika
(ton/(ha.thn)) (ton/(ha.thn))
Strip tanaman sejajar
kontur (tanpa olah tanah) 86.90b 336.85b 203.15b
Pengolahan tanah dan
penanaman menurut garis 269.46a 403.93a 473.70a
kontur
Teras tradisional - 380.85ab 393.44ab
Ket: Rataan erosi pada setiap penggunaan lahan yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada p.05 secara statistika menggunakan post hoc tests one
way anova (SPSS).
permukaan dan tanpa penguat bibir teras menggunakan rerumputan dapat mendorong
lebih tingginya erosi pada lahan dengan kemiringan 34-37% ini. Apalagi teras yang
landskap yang ada sehingga bidang teras pada salah satu atau kedua sisi
horizontalnya selalu menjadi parit dari bagian dasar teras yang lainnya. Hal ini jelas
akan memperbesar terjadinya erosi yang tinggi meskipun terdapat bangunan terasnya.
Pembuatan teras bangku atau teras gulud dengan standar desain dan bangunan yang
baik disertai dengan penggunaan mulsa sisa tanaman dan atau tanaman penutup tanah
dengan kerapatan tinggi pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15% mutlak
diperlukan agar degradasi tanah tidak terjadi (erosi tidak melebihi erosi yang
tanah pada pertanaman kopi di lahan miring dapat dilakukan dengan pembuatan rorak
yang ke dalamnya dibenamkan bahan organik sisa tanaman (mulsa vertikal). Dengan
cara ini permeabilitas tanah dapat meningkat dari 3,69 cm/jam (pada perlakuan mulsa
secara tebar) menjadi 24,24 cm/jam pada perlakuan mulsa yang dibenamkan ke
dalam rorak sedalam 30-45 cm. Dengan demikian, tanah dapat lebih banyak
menyerap air sehingga limpasan permukaan menjadi sangat kecil dan erosi dapat
terkendali.
dengan teknik konservasi berupa teras bangku datar dapat meniadakan erosi sama
sekali (erosi = 0,0 ton/(ha.thn)) dari erosi sebesar 156,4 ton/(ha.thn) pada pertanaman
jeruk dengan pengolahan tanah bersih. Pada perlakuan konservasi tanah yang lain
seperti teras bangku miring menghasilkan erosi 6,54 ton/(ha.thn), penanaman rumput
bahia rapat disertai pemberian mulsa erosinya sebesar 0,94 ton/(ha.thn) dan
penanaman rumput bahia dalam strip disertai pemberian mulsa erosinya hanya 2,8
bangku erosinya dapat ditekan menjadi 34-81 ton/(ha.thn). Pada pola pertanaman
disertai teknik konservasi berupa teras gulud, erosinya dapat ditekan menjadi 89
ton/(ha.thn).
tanah dan air, keberadaannya di lokasi kajian belum dapat mengendalikan erosi ke
tingkat yang tidak membahayakan, bahkan erosi yang terjadi masih jauh di atas erosi
yang ditoleransikan sehingga tingkat bahaya erosinya masing tergolong tinggi (Tabel
13). Hal ini dapat terjadi, sebagaimana telah diuraikan di atas, dikarenakan sistem
agroforestri yang ada belum diterapkan secara optimal sesuai kaidah dan teknologi
konservasi tanah yang benar. Sistem agroforestri di wilayah ini masih bersifat
subsistem yang keberadaannya lebih karena tidak disengaja atau karena adanya alih
sifat tanah (sifat kimia, fisika dan biologi) adalah sistem agroforestri yang dirancang
mendapatkan hasil yang optimal tanpa merusak lahan dan lingkungan. Untuk ini
sistem agroforestri yang diterapkan harus bersifat komersial dari aspek ekonomi dan
harus bersifat proteksi (perlindungan) dari aspek kelestarian (Atmojo, 2008, Rauf,
2004; Marwah, et al, 2008). Beberapa tipe agroforestri yang efektif dan memenuhi
tanaman pangan, tahunan, dan pakan ternak dengan tanaman Flemingia conesta,
lorongnya, dapat menekan erosi menjadi hanya berkisar antara 0,0-18,2 ton/(ha.thn)
yang jauh lebih rendah dibandingkan erosi yang terjadi pada perlakuan kontrol (tanpa
4.7. Penerapan Teknik Konservasi Lahan (P) dan Vegetasi (C) di Berbagai
Tipe Penggunaan Lahan Di Sub DAS Lau Biang
Sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa kajian tingkat bahaya
erosi di Sub DAS Lau Biang ini dilakukan pada jenis penggunaan lahan untuk hutan,
untuk sistem agroforestri, untuk pertanaman jagung, untuk pertanaman kopi arabika
(Coffea arabica) dan untuk pertanaman jeruk manis. Kondisi setiap objek (jenis
penggunaan lahan) kajian ini yang meliputi struktur, komposisi, agroteknologi, dan
Kawasan sub DAS Lau Biang yang memiliki luas hutan (belukar) hanya
berkisar (985,451 ha), atau sekitar 1,05% dari total Sub DAS Lau Biang. Sedangkan
lahan keringnya atau areal pertaniannya justru lebih luas. Seharusnya Sub DAS Lau
Biang merupakan kawasan konservasi DAS Wampu, karena terletak di bagian hulu
DAS Wampu. Namun kondisi saat ini di Sub Das Lau Biang sedemikian
lagi merupakan kawasan konservasi untuk DAS Wampu, terutama bagi bagian hilir.
objek kajian adalah hutan sekunder yang ada di wilayah Sub DAS Lau Biang yang
umumnya merupakan hutan buatan atau hutan meranggas yang telah diperkaya
dengan tanaman hutan (terutama pinus) melalui program penghijauan dan atau
(silvikultur), yaitu hutan dengan letak pepohonan yang (seperti) memiliki jarak
tanaman tertentu dan kebanyakan tanpa lapisan serasah lantai hutan sebagaimana
tegakan pepohonannya, dan sebagian lagi, terutama hutan dengan pepohonan tua
yang besar dan tinggi umumnya tidak memiliki tumbuhan bawah yang berarti. Pada
lahan hutan tidak ada teknik konservasi. Secara umum hutan sekunder yang dijadikan
objek (menjadi lokasi) kajian berada pada kemiringan lereng 34-37% dengan struktur
Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa hutan sekunder di kawasan Sub DAS
Lau Biang memiliki populasi tegakan berkisar antara 227-463 pohon per hektar
dengan jenis dan jumlah masing-masing jenis bervariasi antara 8-11 jenis pepohonan.
Jenis pohon yang mendominasi hutan di daerah ini adalah Pinus (Pinus merkusii),
mencapai 25-35% dari total populasi pepohonan dan terdapat pada semua kawasan
hutan yang diamati. Jenis pohon yang umumnya juga terdapat pada setiap hutan yang
benjamina), Aren (Arenga piñata), dan Jati putih (Gamelina – sp), sementara
beberapa hutan ada yang tidak memiliki pohon Meranti (Sorea – spp), Akasia
Tabel 17. Struktur dan Komposisi Hutan Sekunder di Sub DAS Lau Biang
(Kawasan Hulu DAS Wampu) yang Menjadi Objek Kajian (Rerata
dalam Setiap Hektar Hutan)
agroforestri yang secara ekonomi masih tergolong ke dalam tipe tradisional atau
pertanaman pohon hutan. Pepohonan yang ditanaman ini tidak diberi masukan (input)
banyak juga yang berasal dari lahan yang sebelumnya merupakan hutan terutama
hutan rakyat di tanah ulayat yang sebagian pepohonannya ditebang dan digantikan
atau tahunan) dengan tanaman pohon hutan pada tapak lahan yang sama atau secara
berurutan dalam landskap yang sama. Pada lahan agroforestri belum ada teknik
konservasi. Secara umum sistem agroforestri yang dijadikan objek kajian berada pada
kemiringan lereng 34-37% dengan struktur dan komponen penyusunnya terdiri dari
persiapan lahannya dengan cara tanpa olah tanah (TOT), meskipun di beberapa
tempat masih terlihat serasah sisa tanamannya dibakar. Jarak tanamnya relatif lebih
menerus, tanpa ada masa bera. Lahan pertanaman jagung (Zea mays) yang menjadi
objek kajian juga dipilih yang berada pada kemiringan lereng 34-37%.
Terhadap lahan tanaman jagung (Zea mays), perlakuan pengolahan tanah dan
teknik konservasi yang digunakan ada dua jenis: 1) pengolahan dan penanaman
menurut garis kontur 2) strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah tanah). Teknik
konservasi pengolahan dan penanaman menurut garis kontur erosinya lebih tinggi
mencolok, sehingga pada pertanaman jagung dengan tanpa olah tanah dapat dianggap
lebih baik walaupun dengan jarak tanam yang sama (Tabel 19).
Hal ini sesuai dengan pendapat Lal (1986) yang menyatakan bahwa persiapan
lahan dengan tanpa olah tanah (no-tillage) dapat menghemat tenaga kerja dan
sekaligus dapat mengendalikan erosi meskipun hasil yang diperoleh pada awalnya
sedikit lebih rendah dibandingkan pada pengolahan tanah sempurna (full tillage).
jeruk manis (Citrus sinensis) di lokasi kajian juga diawali dengan sistem pertanaman
ada yang menjadi pertanaman monokultur setelah tanaman dewasa. Lokasi kajian
dilakukan pada pertanaman jeruk manis dewasa atau tanaman menghasilkan (berumur
diantara 13-15 tahun) dengan jarak tanam 5 x 5 meter, dan karena alasan
bersih dari rerumputan (gulma). Di beberapa tempat, pertanaman jeruk manis dewasa
ini juga dikombinasi dengan tanaman semusim pada lahan selanya, seperti untuk
budidaya tanaman cabai, kacang tunggak, dan lain-lain. Lahan pertanaman jeruk
manis yang menjadi objek kajian juga dipilih yang berada pada kemiringan lereng 34-
37%.
Erosi Jarak
No. Teknik Konservasi Tanah (ton/(ha.thn)) Tanam
Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa erosi pada pertanaman jeruk manis
(Citrus sinensis) tertinggi terdapat pada tindakan konservasi tanah berupa pengolahan
dan penanaman menurut garis kontur sebesar 473,6969 ton/(ha.thn) dan terendah
pada perlakuan tanpa olah tanah dan strip tanaman sejajar kontur sebesar 203,1481
ton/(ha.thn).
erosi yang terjadi lebih kecil dari pada pengolahan dan penanaman menurut garis
kontur. Dalam jangka waktu yang panjang dengan menggunakan teknik konservasi
lebih sedikit dibandingkan kedua perlakuan lainnya, hal ini sesuai dengan pendapat
Sinukaban, dkk., (2007) yang menyatakan bahwa perlakuan terassering selain dapat
mengendalikan erosi tanah juga dapat menghemat penggunaan pupuk karena dapat
menekan terjadinya pencucian hara dan penghanyutan bahan organik dari lereng atas
oleh jenis kopi arabika (Coffea arabica). Sistem pertanaman kopi arabika (Coffea
arabica) di wilayah ini umumnya diawali dengan sistem pertanaman campuran pada
Lokasi kajian dilakukan pada pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dewasa atau
tanaman menghasilkan (berumur diantara 4-6 tahun) dengan jarak tanam 3 x 3 meter,
dan karena alasan pemeliharaan buah dan memudahkan panen, maka lahan sela
umumnya bersih dari rerumputan (gulma). Lahan pertanaman kopi arabika (Coffea
arabica) yang menjadi objek kajian juga dipilih yang berada pada kemiringan lereng
34-37%.
menggunakan teknik konservasi strip tanaman menurut garis kontur yang disertai
dengan pengolahan tanah, strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah tanah), dan teras
tradisional. Pada strip tanaman menurut garis kontur yang disertai dengan
strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah tanah) sebesar 336,85 ton/(ha.thn), dan teras
Jarak
No. Teknik Konservasi Tanah Erosi (ton/(ha.thn)) Tanam
Dapat dilihat dari data di atas bahwa pada tiap-tiap penggunaan lahan dari
berbagai tipe tanaman yang ada pada waktu dilaksanakan penelitian bahwa erosi yang
terjadi sangat berbeda, walaupun menggunakan faktor-faktor yang sama seperti faktor
erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas tanah (K), panjang lereng (L), kemiringan
lereng (S), yang membedakan dari prediksi erosi yang dilakukan hanyalah faktor
pengolahan tanah dan penutup tanah (C) dan faktor teknik konservasi tanah (P).
Seperti telah diuraian di atas bahwa erosi yang pada tanaman kopi arabika (Coffea
arabica) sebesar 344,08 ton/(ha.thn) dan jeruk manis (Citrus sinensis) sebesar 335,95
ton/(ha.thn) lebih besar dari agroforestri sebesar 182,75 ton/(ha.thn) dan tanaman
jagung (Zea mays) sebesar 168,95 ton/(ha.thn) serta hutan sebesar 36,07 ton/(ha.thn).
lebih besar erosinya, hal ini disebabkan oleh karena pada kedua tanaman ini teknik
konservasi yang digunakan sangat minim. Tipe konservasi lahan yang digunakan
adalah strip tanaman dengan kontur, teras tradisional dan pengolahan tanah dengan
sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi tanah (A) yang akan terjadi. Sedangkan
kemiringan lahan (S) di kategorikan agak curam hingga curam, sesuai dengan
kemiringan lereng yang diukur saat pengambilan sampel tanah dan pengukuran
permeabilitas tanah. Pada saat pengukuran dan pengamatan teknik konservasi yang
dilakukan pada lahan tanaman jeruk manis (Citrus sinensis), dan kopi arabika (Coffea
arabica) yang memiliki postur tanaman yang tinggi antara 2-3,5 meter. Dan kondisi
permukaan tanah ditutupi dengan sedikit seresah. Tipe teknik konservasi yang
diterapkan secara umum di lahan tamanan jeruk manis (Citrus sinensis) dan kopi
arabika (Coffea arabica) di kawasan sub DAS Lau Biang adalah strip tanaman
dengan kontur, teras tradisional dan pengolahan tanah serta penanaman menurut
kontur. Ketiga teknik konservasi yang diterapkan di lahan tanaman jeruk manis
(Citrus sinensis) dan kopi arabika (Coffea arabica) juga belum seutuhnya
menurunkan laju erosi tanah jika dilihat dari koefisien teknik konservasi tersebut.
Teknik konservasi yang diterapkan belum mampu mengimbangi besarnya nilai faktor
topografi, sehingga erosi tanah masih sangat potensial terjadi dengan jumlah yang
besar, walaupun sudah mulai ada pembuatan-pembuatan teras tradisional dan jarak
tanam yang jarang sehingga tajuk yang ada agak jarang juga ditambah lagi lahan
salah satu teknik konservasi tanah dan air, keberadaannya di lokasi kajian belum
dapat mengendalikan erosi ke tingkat yang tidak membahayakan, bahkan erosi yang
terjadi masih jauh di atas erosi yang ditoleransikan. Hal ini karena pada sistem
agroforestri ini belum menerapkan kaidah sistem agroforestri itu sendiri dengan baik
(masih sekedar kombinasi antara tanaman hutan dengan pertanian) tetapi teknik
pohon atau tanaman non pertanian berfungsi sebagai tanaman pagar yang ditanam
sejajar kontur dan diantara tanaman pagar ditanam tanaman pertanian yang juga gulu
Pada tanaman jagung (Zea mays) tingkat erosinya lebih rendah. Hal ini
teknik konservasi tanah dan yang dijumpai di lahan tanaman jagung (Zea mays)
adalah strip tanaman dengan kontur dan pengolahan lahan dengan penanaman
dengan herbisida), tanah tertutup vegetasi yang rapat, sehingga dapat memperlambat
konservasi tanah dan air yang diterapkan ini sangat umum dijumpai di seluruh
Hutan sudah tentu erosinya lebih kecil dari penggunaan lahan lainnya, hal ini
disebabkan pengelolaan lahan pada hutan memang tidak ada tetapi tanaman bawah
yang masih rapat dan lebat ditambah dengan serasah yang masih tebal menyebabkan
5.1. Kesimpulan
bahwa:
1. Teknik konservasi yang diterapkan di Sub DAS Lau Biang masih terbatas pada
Strip tanaman sejajar kontur dengan tanpa olah tanah, penanaman menurut garis
2. Erosi terkecil terjadi pada kawasan hutan sebesar 36,07 ton/(ha.thn) diikuti
3. Teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua
komoditi yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontur dengan tanpa
4. Rataan erosi yang ditoleransikan pada berbagai jenis penggunaan lahan di Sub
DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/(ha.thn) (pada kawasan hutan) hingga
5. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) terendah terjadi pada kawasan hutan (tergolong
5.2. Saran
1. Perlu peningkatan dan penyempurnaan teknologi konservasi tanah dan air pada
setiap penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang yang dapat mengendalikan erosi
sampai tingkat atau lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan. Untuk itu perlu
dan air yang lebih efisien dan adaptif sekaligus dapat mengendalikan erosi sampai
lebih kecil atau sama dengan erosi ditoleransikan di satu sisi dan tetap
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan curah hujan yang lebih
penelitian.
3. Penerapan teknik konservasi yang baik pada lahan yang dianggap curam dengan
pola tanam yang teratur. Karena pada saat ini sudah mulai terjadi alih fungsi lahan
dari lahan hutan awalnya menjadi lahan agroforestri, bila hal ini dibiarkan
berlanjut tanpa adanya pengawasan yang jelas dan terkoordinir dari pemerintah
Agus, F., dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian. World
Agroforestry Centre, ICRAF Southesst Asia. Bogor.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Atmojo, S.W. 2008. Peran Agroforestry dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor
Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Seminar The Indonesian Network
For Agroforestry Education (INAFE). Surakarta, 4 Maret 2008. Hal. 19-28.
BPDAS Wampu Sei Ular. 2008. Karakteristik DAS Wampu. Balai Pengelolaan DAS
Wampu Sei Ular Departemen Kehutanan.
Hammer, W.I. 1981. Soil Conservation Consultant Report Center for Soil Research.
LPT Bogor. Indonesia.
Hardjoamidjojo. S, dan Sukandi. S. 2008. Teknik Pengawetan Tanah dan Air. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi Rehabilitasi dan Reklamasi
Lahan Terdegradasi (dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering;
Penyunting: Abdurrachman Adimihardja dan Mappaona). Puslitanak, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Hal.
141-168.
Linsley, R.K., Jr., M.A. Kohler, J.L.H. Paulhus, Hermawan. 1996. Hidrologi untuk
Insinyur (Edisi Ketiga). Penerbit Erlangga. Jakarta.
Misran. 2008. Pengelolaan DAS secara terpadu DAS Wampu dan DAS Sei Ular.
Prosiding Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FP-
USU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan
Misran. Hal. 43-53.
Nasution, Z. 2008. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Harapan dan Kenyataan.
Prosiding Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FP-
USU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan
Misran. Hal.: 26-30.
Pawitan, H., dan N. Sinukaban. 2007. Karakteristik Hidrologi dan Daur Limpasan
Permukaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung; Konservasi Tanah dan Air
Kunci Pembangunan Berkelanjutan oleh Naik Sunukaban. Penerbit Direktorat
Jenderal RLPS Departemen Kehutanan. Hal. 154-170.
Pramono, I.B., U.H. Murtiono, A.B. Supangat, Mastur. 2000. Petunjuk Teknis
Analisis Data Hujan dan Aliran Sungai. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Surakarta.
Saidi, A. 2001. Kajian Degradasi Tanah di Sub DAS Sumani Solok Sumatera Barat.
Prosiding Kongres IV dan Seminar Nasional MKTI. Medan, 25-27 Mei 2000.
Hal. 145-159.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry
Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Kementrian
Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Sinukaban, N., Suwardjo, A. Barus. 2007. Pemilihan Teknik Konservasi Tanah dan
Air di Daerah Transmigrasi; Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan
Berkelanjutan oleh Naik Sunukaban. Penerbit Direktorat Jenderal RLPS
Departemen Kehutanan. Hal. 267-278.
Supangat, A.B., dan E. Savitri. 2001. Kajian Erosi dan Limpasan Permukaan pada
Lahan Tumpang Sari Kopi dan Sengon. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta. Surakarta, 8
Oktober 2001; Hal. 60-74.
Utomo. W. H., 1989. Konservasi Tanah di Indonesia, Suatu Rekaman dan Analisa.
Rajawali Pers. Jakarta.
Wischmeier W.H., and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses:
Aguide to Conservation Planning. USDA Handbook No. 537. Washington
DC.