Anda di halaman 1dari 116

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA BERBAGAI

TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAERAH ALIRAN


SUNGAI LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

TESIS

Oleh

AHMAD SYOFYAN
077004002/PSL

K O L A
E
H
S
PA

A
N

C
A S A R JA
S

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara


KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA BERBAGAI
TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAERAH ALIRAN
SUNGAI LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMAD SYOFYAN
077004002/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE)
PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN
DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LAU BIANG
(KAWASAN HULU DAS WAMPU)
Nama Mahasiswa : Ahmad Syofyan
Nomor Pokok : 077004002
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(PSL)

Menyetujui:
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Sumono, MS)


Ketua

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP)
Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)

Tanggal lulus: 16 Februari 2010

Universitas Sumatera Utara


Telah Diuji pada
Tanggal 16 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Ir. Sumono, MS
Anggota : 1. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D
2. Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP
3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
4. Ir. Taruna Jaya, M.Sc

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang dengan luas 94.147 hektar
merupakan Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Wampu yang mempunyai luas
410.715 hektar, kawasan Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang seharusnya
merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk
komoditi tanaman pangan dan tanaman semusim dengan luas 80.169,822 hektar atau
85,06%, kawasan hutan yang seharusnya 30% (UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 8 ayat 2
tetapi kenyataannya luasnya hanya 10.780,081 hektar atau 11,43%, topografi 82,93%
dari luas lahan agak curam hingga sangat curam, hanya 0,96% yang datar dan 0,76%
yang landai, kondisi tanah umumnya tanah muda dan dangkal yang rentan terhadap
erosi serta curah hujan tinggi, rerata 3.000 mm/thn, oleh karena itu potensi pada
daerah ini erosinya dapat dikategorikan besar atau tinggi. Besarnya erosi pada suatu
lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu intensitas hujan (R), kepekaan tanah terhadap
erosi (K), bentuk lahan (LS), vegetasi penutup tanah (C), dan tingkat pengelolaan
tanah (P).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di Sub Daerah
Aliran Sungai Lau Biang yang meliputi 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Simalungun,
8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Karo. Penelitian dilaksanakan dengan
menggunakan metode survei deskriptif dan metode survai eksploratif. Metode survei
deskriptif di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan data hasil interpretasi peta
dari citra satelit dan data pendukung lainnya, sedangkan metode survai eksploratif
dilakukan dengan mengamati sifat-sifat fisika dan kimia tanah berdasarkan analisis
contoh tanah di laboratorium, pada lahan hutan, lahan pertanaman Agroforestry/
kebun campuran, lahan pertanaman kopi Arabika, lahan pertanaman jagung dan lahan
pertanaman jeruk manis. Sedangkan penetapan besarnya erosi tanah melalui
persamaan Prediksi USLE.
Hasil penelitian menunjukkan besarnya erosi yang terjadi paling kecil pada
kawasan hutan sebesar 36,07 ton/ha/thn dan yang paling tinggi pada kopi arabika
(Coffea arabica) (344,08 ton/ha/thn), rataan erosi yang diperbolehkan pada berbagai
jenis penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/ha/thn (pada
kawasan hutan) hingga 27,76 ton/ha/thn pada tanaman jeruk manis (Citrus sinensis),
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dengan kriteria sedang sampai sangat tinggi, teknik
konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua komoditi
yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontor dengan tanpa pengolahan tanah
sedangkan erosi terbesar terjadi pada teknik penanaman menurut garis kontor tetapi
dengan pengolahan tanah.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Sub DAS Lau Biang memiliki
potensi dan kelayakan untuk dikembangkan sebagai kawasan penelitian dan
pemantauan besarnya erosi, sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses

Universitas Sumatera Utara


perencanaan pengelolaan pertanian yang terencana sehingga sebagai hulu DAS
Wampu dapat benar-benar terjaga kelestariannya.

Kata Kunci: Sub DAS Lau Biang, Jenis Penggunaan Lahan, Teknik Konservasi
Tanah dan Air, Tingkat Bahaya Erosi.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Sub-Watershed (DAS) Lau Biang 94,147 hectares of area is the Upper


Regions Wampu Watershed which has 410,715 hectares of area, region Watershed
Sub Lau Biang which should form a conservation area, it became cultivated area,
especially for commodity crops and plants with wide seasonal 80,169.822 hectares or
85.06%, forest areas should be 30% (Law No. 41 of 1999 Article 8 paragraph 2 but
in reality only the extent of 10,780.081 hectares or 11.43%, 82.93% of the
topography area rather steep to very steep, just a flat 0.96% and 0.76% slope, soil
conditions are generally young and shallow soil vulnerable to erosion and high
rainfall, the average 3000 mm/year, therefore the potential to this area can be
categorized erosion large or high.
The amount of erosion on the land is determined by five factors of rain
intensity (R), the sensitivity of soil to erosion (K), the form of land (LS), vegetation
ground cover (C), and the level of land management (P). The study was conducted in
April and July 2009 in the sub watershed areas covering Biang Lau 2 (two) districts
in the County Simalungun, 8 (eight) districts in Karo District. Research carried out
by using survey method and descriptive exploratory survey method. Descriptive
methods in the field survey carried out by using the data interpretation of satellite
image maps and other supporting data, while the method of exploratory surveys
conducted by observing the physical properties and chemical analysis of soil based
on soil samples in the laboratory, the forest land, crop land Agroforestry/garden
mixture, Arabica coffee crop land, crop land and land corn planting oranges. While
the determination of the amount of land erosion by USLE prediction equation.
The results showed the amount of erosion that occurred in the smallest forest
area of 34.27 tons/ha/yr and the highest in arabica coffee (344.08 tonnes/ha/yr).
Erosion averaging is allowed on various types of land use in sub-watersheds ranging
Lau Biang 23.36 tons/ha/yr (the forest) to 27.76 tons/ha/yr (swee orange plants)
Erosion Hazard level (TBE) with criteria for moderate to very high soil conservation
techniques that can control erosion on the smallest of all the commodities under
study is kontor strip parallel with the plant without tilling the greatest erosion
occurred while the technique of planting according kontor line but with land
penolahan.
The results of this study concluded that the Sub Biang Lau Basin have the
potential and feasibility to be developed as a research area and monitoring the
amount of erosion, the main consideration in farm management planning process that
is planned so that the upstream watershed may Wampu awake sustainability.

Keywords: Lau Basin Sub Biang, Type of Land Use, Soil Conservation and Water
Erosion Rates.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas taufiq dan
hidyahNya sejak penulis menempuh pendidikan di Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, sehingga penulisan tesis ini sudah dapat diselesaikan dengan baik yang
berjudul “Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan
di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu)”. Tesis ini disusun sebagai
salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai derajat S-2, sekaligus
sebagai akhir studi di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Lau Biang, berada
di Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara yang
pada prinsipnya untuk menetapkan berapa besar tingkat bahaya erosi tanah yang
terjadi pada beberapa penggunaan lahan yang digunakan. Melalui pengukuran kelas
tingkat bahaya erosi tanah akan dapat dilakukan tindakan pengelolaan apabila
erosi yang terjadi sudah berada diambang batas yang masih dapat dibiarkan.
Kami menyadari bahwa hasil tesis ini hanyalah karya manusia yang tidak
luput dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Namun demikian, dengan
segala kerendahan hati penulis berharap agar keterbatasan dan kekurangan yang
ada dalam tesis ini, dapat dijadikan bahan masukan untuk diteliti lebih lanjut dan
hasilnya dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak, pada kesempatan yang berbahagia ini penghargaan dan rasa terima kasih
yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc.
Ph.D, Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, M.P selaku Dosen Pembimbing yang telah

Universitas Sumatera Utara


memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak persiapan
penelitian sampai tersusunnya tesis ini;
2. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan
seluruh Dosen serta Staf Administrasi yang telah menberi kemudahan dan
kelancaran selama penulis mengikuti pendidikan;
3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS., Ir. Taruna Jaya, M.Sc. selaku Pembanding/
Penguji dengan semua saran-sarannya sehingga penulisan tesis ini dirasakan lebih
sempurna;
4. Kepala Balai Pengeloaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei Ular beserta staf yang
selalu mendukung rencana studi penulis;
5. Terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karo dan
Kabupaten Simalungun, khususnya Dinas Kehutanan dan Dinas Pertanian beserta
staf dan masyarakat Desa Dokan dan Desa Merek Kecamatan Merek Kabupaten
Karo yang telah memberikan ijin dan tempat penelitian bagi penulis dalam
pengumpulan data sebagai bahan tesis dari lokasi tersebut;
6. Sembah dan sujud serta ucapan terima kasih yang tiada terhingga
penulis sampaikan kepada Almarhun ayahanda H. Amir Bin Abbas
dan ibunda penulis Hj. Zariah binti Wagimen yang telah membesarkan
dan mendidik penulis dengan cinta kasih berdasarkan pundi-pundi Ilahi
pada setiap detik dan detak napas kehidupan, pada setiap fajar hingga
penghujung malam, disertai doa yang tulus sehingga membuka
kelapangan jalan bagi penulis dalam mengarungi bahtera lautan
karier ini, menggapai ridho dan inayah-Nya di sepanjang masa.
7. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya tidak
akan luput dari hati dan bibir penulis kepada mertua penulis Yazid
Bustami dan ibunda Poniem yang dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran turut mendoakan dan memotivasi penuli s dalam

Universitas Sumatera Utara


menjal ani pendidikan ini;
8. Istriku tercinta Suharsih yang dengan tabah dan setia, dengan penuh
pengorbanan, selalu mendampingi, memberikan dukungan dan doa
untuk penulis, baik dalam keadaan suka maupun duka, juga kepada
anak-anak penulis Kartika Utami, Muhammad Faqih Lazuardi dan Jihan
Hidayah Putri, p a d a t e m p a t n ya p a p a m e n ya m p a i k a n u c a p a n t e r i m a
k a s i h d a n penghargaan yang tiada terhingga, semoga cucuran rahmat
Allah SWT tiada h e n t i k e p a d a k i t a a t a s k e t a b a h a n m a m a d a n
a n a k - a n a k k u d a l a m pengorbanan dan kesetiaan yang telah dipersembahkan;
9. Semua pihak yang telah membantu kami baik dukungan moril maupun
materi sehingga penelitian dan penulisan tesis dapat diselesaikan dengan baik.
Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga
semua kebaikan dan kerelaan hati yang telah diberikan semua pihak kepada
Penulis mendapat fadilah yang sesuai. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan
menambah ilmu pengetahuan yang tetap mengalir tiada habis-habisnya
sepanjang peradaban umat manusia.

Medan, Februari 2010

Penulis

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Ahmad Syofyan, dilahirkan pada hari Kamis tanggal 26 Mei 1960 di Medan
(Sumatera Utara), anak Ketujuh dari Sembilan orang bersaudara, orang tua bernama
Alm. H. Amir (Ayah) dan Alm. Hj. Zariah (Ibu). Menikah pada tanggal 9 Januari
1988 dengan istri bernama Suharsih, Bapak mertua bernama H. Yazid Bustami dan
Ibu mertua bernama Hj. Poniem. Dikaruniai tiga orang anak bernama Kartika Utami
(perempuan), Muhammad Faqih Lazuardi (laki-laki) dan Jihan Hidayah Putri
(Perempuan).
Tamat Sekolah Dasar (SD) Negeri No. 76 Pulau Brayan Medan tahun 1972,
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri IX Medan tamat tahun
1975 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Medan Putri Medan Jurusan IPA,
tamat tahun 1979. Mulai tahun 1980 s/d 1985 bekerja di Dirjen Kehutanan
Departemen Pertanian sebagai Petugas Lapangan Penghijauan di Kabupaten Karo,
tahun 1985 s/d 1992 Staf pada Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Wampu/Ular, tahun 1992 s/d 2001 staf pada Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Provinsi Sumatera Utara sambil bekerja pada tahun ini melanjutkan pendidikan tinggi
strata satu (SI) di Fakultas Ekonomi UMSU Medan, Jurusan Manajemen, tamat pada
tahun 1997, tahun 2001 s/d 2008 bekerja pada Balai Pengelolaan DAS Wampu Sei
Ular, sejak tahun 2007 melanjutkan studi pada Program Studi Magister Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (S2) di Sekolah Pascasarjana USU Medan. Tahun
2009 s/d sekarang bekerja pada Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xv

I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 7


2.1. Kajian Pustaka....................................................................................... 7
2.1.1. Lahan dan Penggunaan Lahan .................................................... 7
2.1.2. Pengertian DAS .......................................................................... 8
2.1.3. Kebijakan Umum Pengelolaan DAS........................................... 9
2.1.4. Erosi dan Sedimentasi pada Suatu DAS ..................................... 13
2.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Erosi............................................... 20
2.1.5.1. Faktor Iklim.................................................................... 20
2.1.5.2. Faktor Tanah .................................................................. 21
2.1.5.3. Faktor Topografi ............................................................ 24
2.1.5.4. Faktor Vegetasi .............................................................. 26
2.1.5.5. Faktor Manusia atau Tindakan Konservasi.................... 27
2.1.6. Laju Erosi Ditoleransikan (T) ..................................................... 32
2.1.7. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)....................................................... 32
2.2. Kondisi Umum DAS Wampu .............................................................. 34

III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 39


3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 39
3.2. Alat dan Bahan Penelitian..................................................................... 39
3.3. Prosedur Penelitian .............................................................................. 40
3.4. Metode Penelitian.................................................................................. 40
3.4.1. Pengamatan Lapangan ................................................................ 41

Universitas Sumatera Utara


3.4.2. Perhitungan (Prediksi) Laju Erosi Menggunakan
Persamaan USLE ........................................................................ 41
3.4.2.1 Faktor Erosivitas Hujan (R) ........................................... 42
3.4.2.2 Faktor Erodibilitas Tanah (K) ........................................ 42
3.4.2.3 Faktor Topografi (LS) .................................................... 43
3.4.2.4 Faktor Pengendali/Konservasi Lahan (P)....................... 44
3.4.2.5 Faktor Penutup Vegetasi (C) ......................................... 45
3.5. Laju Erosi yang Masih Dapat Ditoleransikan (T) ................................ 46
3.6. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)................................................................ 47
3.7. Parameter Penelitian ............................................................................ 47
3.8. Analisis Data ........................................................................................ 48

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 49


4.1. Kondisi Umum Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu...... 49
4.1.1. Letak dan Luas Sub DAS Lau Biang ........................................ 49
4.1.2. Penggunaan Lahan ..................................................................... 50
4.2. Penilaian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi............................ 51
4.2.1. Nilai Erosivitas Hujan (R) di Sub DAS Lau Biang.................... 52
4.2.2. Faktor Erodibilitas Tanah (K) .................................................... 55
4.2.3. Faktor Topografi (LS) ................................................................ 58
4.2.4. Faktor Vegetasi (C) dan Faktor Manusia/Tindakan Konservasi
(P) ............................................................................................... 60
4.3. Pengukuran Laju Prediksi Erosi.......................................................... 61
4.3.1. Erosi Prediksi ............................................................................. 61
4.4. Laju Erosi Ditoleransikan (T) ............................................................ 68
4.5. Tingkat Bahaya Erosi.......................................................................... 69
4.6. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi ....................... 70
4.7. Penerapan Teknik Konservasi Lahan (P) dan Vegetasi (C)
di Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Lau Biang ............ 75
4.7.1. Lahan Hutan................................................................................ 75
4.7.2. Lahan Sistem Agroforestri.......................................................... 79
4.7.3. Lahan Pertanaman Jagung (Zea mays) ...................................... 80
4.7.4. Lahan Pertanaman Jeruk manis (Citrus sinensis) ...................... 80
4.7.5. Lahan Pertanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) ................... 82

V. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 87


5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 87
5.2. Saran...................................................................................................... 88

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Luas Wilayah Kecamatan, Kabupaten dan Kota yang Masuk


ke dalam DAS Wampu .................................................................. 35

2. Luas Wilayah Kecamatan pada Sub DAS Lau Biang ................... 36

3. Kelas Kemiringan Lereng di Kawasan DAS Wampu ................... 37

4. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Setiap Sub DAS dalam


Kawasan DAS Wampu ................................................................. 38

5. Harkat Struktur Tanah.................................................................... 43

6. Harkat Permeabilitas Tanah ........................................................... 43

7. Nilai Faktor (P) untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah....... 44

8. Nilai Faktor (C) untuk Berbagai Tipe Pengelolaan Tanaman........ 45

9. Nilai CP dari Beberapa Tipe Penggunaan Lahan........................... 45

10. Nilai Faktor Kedalaman Tanah pada Berbagai Jenis Tanah ......... 46

11. Kriteria Tingkat Bahaya Erosi ....................................................... 47

12. Curah Hujan Bulanan Rata-rata, Hari Hujan Rata-rata, Curah


Hujan Maksimum Selama 24 jam, dan Nilai Erosivitas Hujan
di Sub DAS Lau Biang................................................................... 53

13. Rataan Besarnya Erosi Prediksi di Sub DAS Lau Biang


(Kawasan Hulu DAS Wampu) pada Kemiringan Lereng 34-37% 62

14. Perbedaan Rataan Erosi (ton/ha/thn) dari Masing-masing Jenis


Penggunaan Lahan di sub DAS Lau Biang pada Kemiringan
Lereng 34-37% .............................................................................. 63

Universitas Sumatera Utara


15. Besarnya Erosi Ditoleransikan dan Tingkat Bahaya Erosi pada
Lima Jenis Penggunaan Lahan di sub DAS Lau Biang ................. 70

16. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada Tiga


Jenis Penggunaan Lahan di Sub DAS Lau Biang ......................... 72

17. Struktur dan Komposisi Hutan Sekunder di Sub DAS Lau Biang
(Kawasan Hulu DAS Wampu) yang Menjadi Objek Kajian
(Rerata dalam Setiap Hektar Hutan) ............................................. 77

18. Tipe Agroforestri Berdasarkan Struktur Komponen Penyusunnya


di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu) yang
Menjadi Objek Kajian .................................................................... 78

19. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada


Pertanaman Jagung (Zea mays) di Sub DAS Lau Biang ............... 80

20. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada


Pertanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis) di Sub DAS Lau Biang 81

21. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada


Pertanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Sub DAS
Lau Biang ....................................................................................... 83

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Laju Deforestasi Versus Laju Rehabilitasi (Hutabarat, 2008) ......... 11

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Diagram Alir Pengukuran Laju Erosi Metode USLE ................................. 94

2. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Pancur Kec. Simpang Empat 95

3. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Tiga Pancur


Kec. Simpang Empat................................................................................... 96

4. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe.......... 97

5. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe ...... 98

6. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Merek Kec. Merek........................ 99

7. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Merek Kec. Merek .................... 100

8. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah ........ 101

9. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah ..... 102

10. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe ........... 103

11. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe ........ 104

12. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sinabung Kec. Payung ................. 105

13. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Sinabung Kec. Payung .............. 106

14. Data Rata-rata Curah Hujan Bulanan.......................................................... 107

15. Data Rata-rata Curah Hari Hujan Bulanan.................................................. 107

16. Data Curah Hujan Maksimal Harian Rata-rata ........................................... 107

17. Perhitungan Curah Hujan Erosivitas (R) .................................................... 108

18. Curah Hujan Bulanan Rata-rata, Hari Hujan Rata-rata, Curah Hujan
Maksimum Selama 24 Jam, dan Nilai Erosivitas Hujan di Sub-DAS
Lau Biang .................................................................................................... 108

Universitas Sumatera Utara


19. Contoh Perhitungan Erosivitas dari Data yang Diperoleh Selama
10 Tahun ..................................................................................................... 109

20. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah pada Lahan Hutan ........................ 110

21. Tabel Nilai Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Hutan.................... 111

22. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Hutan .................................... 112

23. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Tanah Hutan.................... 113

24. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Lahan Hutan................................ 114

25. Tabel Nilai Faktor CP untuk Hutan ........................................................... 115

26. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Tanah Hutan ......................................... 116

27. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Hutan ....................................... 117

28. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Hutan .............................. 118

29. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Agroforestry ...... 119

30. Tabel Nilai Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Agroforestry......... 120

31. Tabel Nilai Laju Permeabilitas di Lahan Agroforestry .............................. 121

32. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Penggunaan Lahan
Tanaman Agroforestry................................................................................ 122

33. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Lahan Agroforestry..................... 123

34. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Teknik Konservasi (CP)
pada Lahan Agroforestri............................................................................. 124

35. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman
Agroforestri ................................................................................................ 125

36. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Agroforestri .. 126

37. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Agroforestri .................... 127

Universitas Sumatera Utara


38. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Tanaman Pangan
(Jagung, Zea mays) .................................................................................... 128

39. Tabel C-Organik Tanah pada Lahan Tanaman Pangan (Jagung,


Zea mays).................................................................................................... 129

40. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Tanaman Pangan (Jagung) ... 130

41. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas (K) pada Lahan Tanaman Pangan
(Jagung) ...................................................................................................... 131

42. Tabel Nilai Faktor Topografi ( LS) pada Penggunaan Lahan Tanaman
Pangan (Jagung) ......................................................................................... 132

43. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Teknik Konservasi (P)
pada Lahan Jagung (Zea mays) .................................................................. 133

44. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman Jagung
(Zea mays) .................................................................................................. 134

45. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Jagung
(Zea mays) .................................................................................................. 135

46. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan pada Lahan Jagung (Zea mays) ... 136

47. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Tanaman Jeruk
Manis (Citrus sinensis)............................................................................... 137

48. Tabel C-Organik Tanah pada Lahan Tanaman Jeruk Manis


(Citrus sinensis).......................................................................................... 138

49. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Tanaman Jeruk Manis
(Citrus sinensis).......................................................................................... 139

50. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Lahan Tanah Jeruk
Manis (Citrus sinensis)............................................................................... 140

51. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Penggunaan Lahan Jeruk Manis
(Citrus sinensis).......................................................................................... 141

52. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Teknik Konservasi (P)
pada Lahan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis).................................. 142

Universitas Sumatera Utara


53. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman Jeruk
Manis (Citrus sinensis)............................................................................... 143

54. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Jeruk Manis
(Citrus sinensis).......................................................................................... 144

55. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan pada Lahan Tanaman Jeruk
Manis (Citrus sinensis)............................................................................... 145

56. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Tanaman Kopi Arabika
(Coffea arabica) ......................................................................................... 146

57. Tabel C-Organik Tanah pada Lahan Kopi Arabika .................................... 147

58. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Kopi Arabika ......................... 148

59. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) Pada Tanah Kopi Arabika ....... 149

60. Tabel Nilai Faktor Topografi ( LS) Untuk Kopi Arabika ........................... 150

61. Tabel Nilai Faktor CP Untuk Kopi Arabika ............................................... 151

62. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada tanah Kopi Arabika............................... 152

63. Tabel Erosi Yang Diperbolehkan (T) pada Kopi Arabika .......................... 153

64. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Kopi Arabika .................. 154

65. Analisis Data penerapan Teknik Konservasi Kopi ..................................... 155

66. Analisis data penerapan teknik konservasi Jagung ..................................... 158

67. Analisis data teknik konservasi jeruk.......................................................... 161

68. Foto Pengamatan di Lapangan .................................................................... 164

69. Peta ............................................................................................................. 166

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang dengan luas 94.147 hektar
merupakan Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Wampu yang mempunyai luas
410.715 hektar, kawasan Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang seharusnya
merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk
komoditi tanaman pangan dan tanaman semusim dengan luas 80.169,822 hektar atau
85,06%, kawasan hutan yang seharusnya 30% (UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 8 ayat 2
tetapi kenyataannya luasnya hanya 10.780,081 hektar atau 11,43%, topografi 82,93%
dari luas lahan agak curam hingga sangat curam, hanya 0,96% yang datar dan 0,76%
yang landai, kondisi tanah umumnya tanah muda dan dangkal yang rentan terhadap
erosi serta curah hujan tinggi, rerata 3.000 mm/thn, oleh karena itu potensi pada
daerah ini erosinya dapat dikategorikan besar atau tinggi. Besarnya erosi pada suatu
lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu intensitas hujan (R), kepekaan tanah terhadap
erosi (K), bentuk lahan (LS), vegetasi penutup tanah (C), dan tingkat pengelolaan
tanah (P).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di Sub Daerah
Aliran Sungai Lau Biang yang meliputi 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Simalungun,
8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Karo. Penelitian dilaksanakan dengan
menggunakan metode survei deskriptif dan metode survai eksploratif. Metode survei
deskriptif di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan data hasil interpretasi peta
dari citra satelit dan data pendukung lainnya, sedangkan metode survai eksploratif
dilakukan dengan mengamati sifat-sifat fisika dan kimia tanah berdasarkan analisis
contoh tanah di laboratorium, pada lahan hutan, lahan pertanaman Agroforestry/
kebun campuran, lahan pertanaman kopi Arabika, lahan pertanaman jagung dan lahan
pertanaman jeruk manis. Sedangkan penetapan besarnya erosi tanah melalui
persamaan Prediksi USLE.
Hasil penelitian menunjukkan besarnya erosi yang terjadi paling kecil pada
kawasan hutan sebesar 36,07 ton/ha/thn dan yang paling tinggi pada kopi arabika
(Coffea arabica) (344,08 ton/ha/thn), rataan erosi yang diperbolehkan pada berbagai
jenis penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/ha/thn (pada
kawasan hutan) hingga 27,76 ton/ha/thn pada tanaman jeruk manis (Citrus sinensis),
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dengan kriteria sedang sampai sangat tinggi, teknik
konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua komoditi
yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontor dengan tanpa pengolahan tanah
sedangkan erosi terbesar terjadi pada teknik penanaman menurut garis kontor tetapi
dengan pengolahan tanah.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Sub DAS Lau Biang memiliki
potensi dan kelayakan untuk dikembangkan sebagai kawasan penelitian dan
pemantauan besarnya erosi, sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses

Universitas Sumatera Utara


perencanaan pengelolaan pertanian yang terencana sehingga sebagai hulu DAS
Wampu dapat benar-benar terjaga kelestariannya.

Kata Kunci: Sub DAS Lau Biang, Jenis Penggunaan Lahan, Teknik Konservasi
Tanah dan Air, Tingkat Bahaya Erosi.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Sub-Watershed (DAS) Lau Biang 94,147 hectares of area is the Upper


Regions Wampu Watershed which has 410,715 hectares of area, region Watershed
Sub Lau Biang which should form a conservation area, it became cultivated area,
especially for commodity crops and plants with wide seasonal 80,169.822 hectares or
85.06%, forest areas should be 30% (Law No. 41 of 1999 Article 8 paragraph 2 but
in reality only the extent of 10,780.081 hectares or 11.43%, 82.93% of the
topography area rather steep to very steep, just a flat 0.96% and 0.76% slope, soil
conditions are generally young and shallow soil vulnerable to erosion and high
rainfall, the average 3000 mm/year, therefore the potential to this area can be
categorized erosion large or high.
The amount of erosion on the land is determined by five factors of rain
intensity (R), the sensitivity of soil to erosion (K), the form of land (LS), vegetation
ground cover (C), and the level of land management (P). The study was conducted in
April and July 2009 in the sub watershed areas covering Biang Lau 2 (two) districts
in the County Simalungun, 8 (eight) districts in Karo District. Research carried out
by using survey method and descriptive exploratory survey method. Descriptive
methods in the field survey carried out by using the data interpretation of satellite
image maps and other supporting data, while the method of exploratory surveys
conducted by observing the physical properties and chemical analysis of soil based
on soil samples in the laboratory, the forest land, crop land Agroforestry/garden
mixture, Arabica coffee crop land, crop land and land corn planting oranges. While
the determination of the amount of land erosion by USLE prediction equation.
The results showed the amount of erosion that occurred in the smallest forest
area of 34.27 tons/ha/yr and the highest in arabica coffee (344.08 tonnes/ha/yr).
Erosion averaging is allowed on various types of land use in sub-watersheds ranging
Lau Biang 23.36 tons/ha/yr (the forest) to 27.76 tons/ha/yr (swee orange plants)
Erosion Hazard level (TBE) with criteria for moderate to very high soil conservation
techniques that can control erosion on the smallest of all the commodities under
study is kontor strip parallel with the plant without tilling the greatest erosion
occurred while the technique of planting according kontor line but with land
penolahan.
The results of this study concluded that the Sub Biang Lau Basin have the
potential and feasibility to be developed as a research area and monitoring the
amount of erosion, the main consideration in farm management planning process that
is planned so that the upstream watershed may Wampu awake sustainability.

Keywords: Lau Basin Sub Biang, Type of Land Use, Soil Conservation and Water
Erosion Rates.

Universitas Sumatera Utara


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Erosi tanah (soil erosion) adalah proses penghanyutan tanah dan merupakan

gejala alam yang wajar dan terus berlangsung selama ada aliran permukaan. Erosi

semacam itu melaju seimbang dengan laju pembentukan tanah sehingga tanah

mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996).

Erosi tanah berubah menjadi bahaya jika prosesnya berlangsung lebih cepat

dari laju pembentukan tanah. Erosi yang mengalami percepatan secara berangsur

akan menipiskan tanah, bahkan akhirnya dapat menyingkap bahan induk tanah atau

batuan dasar ke permukaan tanah. Erosi semacam ini tidak hanya merusak lahan

daerah hulu (upland) yang terkena erosi langsung, akan tetapi juga berbahaya bagi

daerah hilir (lowland). Bahan erosi yang diendapkan di daerah hilir akan berakibat

buruk pada bangunan atau tubuh alam penyimpanan atau penyalur air sehingga

menimbulkan pendangkalan yang berakibat kapasitas tampung atau salurannya

menurun dengan cepat serta merusak lahan usaha dan pemukiman. Oleh

karenanya, usaha penanggulangan atau pengendalian erosi harus menjadi

bagian yang utama dari setiap rencana penggunaan lahan (land use planing).

Pelaksanaan dan perencanaan usaha pengawetan tanah dan air akan lebih efektif

dan lebih efisien jika dilakukan melalui sifat-sifat fisik lahan, kemudian

dilanjutkan secara agronomi, sosial ekonomi dan budaya.

Universitas Sumatera Utara


Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang merupakan bagian hulu dari

DAS Wampu yang mencakup wilayah Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta

di Kabupaten Simalungun, Kecamatan Merek, Tiga Panah, Kabanjahe, Barus Jahe,

Munthe, Tiganderket, Kuta Buluh dan Payung di Kabupaten Karo. Luas wilayah Sub

DAS Lau Biang sekitar 94.147 hektar atau sekitar 15,42% dari total luas wilayah

DAS Wampu (610.551 hektar). Selain Sub DAS Lau Biang, Sub DAS lainnya

di DAS Wampu adalah Sub DAS Wampu Hulu seluas 210.374 hektar (34.46%), Sub

DAS Batang Serangan seluas 138.727 hektar (22.72%), Sub DAS Sei Bingei seluas

81.511 hektar (13,35%), Sub DAS Wampu Hilir seluas 85.792 hektar (14,05%)

(Misran, 2008).

Permasalahan umum di DAS Wampu yang menyebabkan berbagai bencana

alam, diantaranya banjir bandang di Sub DAS Wampu Hulu Sub-Sub DAS Bahorok

pada November 2003 yang lalu adalah akibat banyaknya penggarapan liar yang

menyebabkan banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu,

sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir. Pola usaha tani

yang kurang mengikuti kaedah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang di Kabupaten

Simalungun dan Karo dengan komoditi utama tanaman pangan dan hortikultura.

Sedangkan pada bagian hilir terjadi penyempitan dan pendangkalan sungai,

khususnya di Sub DAS Wampu Hilir dan Sub DAS Sei Bingei di Kabupaten Langkat

dan Kota Binjai (Misran, 2008).

Hutabarat (2008) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab

degradasi DAS di Indonesia yaitu: (1) keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah,

Universitas Sumatera Utara


dan topografi) yang rentan terjadi erosi, banjir, tanah longsor, dan kekeringan;

(2) iklim, tarutama curah hujan yang tinggi dan potensial dapat menimbulkan daya

rusak terhadap hamparan lahan/tanah, yang menyebabkan erosivitas yang tinggi; dan

(3) aktivitas manusia dalam pemanfaatan/penggunaan lahan/hutan yang melampaui

daya dukung wilayah/lingkungan dan atau tidak menerapkan kaidah konservasi tanah

dan air yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan ketrampilan petani, serta

sikap mental orang-orang yang tidak bertanggung jawab (memiliki moral hazard).

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa bagian hulu DAS Wampu (Sub

DAS Lau Biang) yang seharusnya merupakan kawasan konservasi, justru menjadi

kawasan budidaya terutama untuk komoditi tanaman pangan (jagung, padi gogo,

umbi-umbian), hortikultura (sayuran, buah-buahan), dan tanaman industri (kopi,

cacao, dan kemiri). Sementara agroekoteknologi yang dikembangkan belum

sepenuhnya, bahkan dapat dikatakan sangat minimal, dalam menerapkan teknik

konservasi tanah dan air, dan kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi (rata rata

lebih dari 3000 mm/tahun) dengan jenis tanah yang rentan terhadap erosi (merupakan

tanah muda), serta kondisi relief yang bergelombang hingga bergunung (BPDAS

WU, 2008). Berkaitan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian guna

mendapatkan informasi sejauhmana tingkat bahaya erosi yang terjadi pada setiap tipe

penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang), untuk

kemudian diharapkan dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan lahan yang

berkelanjutan di daerah tersebut.

Universitas Sumatera Utara


1.2. Rumusan Masalah

Baik buruknya suatu kawasan DAS dalam arti masih mantap atau telah

terdegradasinya suatu kawasan DAS dapat dilihat dari fluktuasi air larian atau air

limpasan (sungai), besarnya erosi dan sedimentasi yang terjadi, dan tingkat

produktivitas lahan. Fluktuasi air larian yang tinggi antara musim hujan dengan

musim kemarau menandakan tanah memiliki kemampuan yang kecil dalam menyerap

dan menyimpan air (kapasitas infiltrasi rendah), sementara erosi dan sedimentasi

yang tinggi menandakan tanah memiliki kemantapan agregat yang rendah.

Kemampuan tanah yang rendah dalam menyerap dan menyimpan air, bukan

hanya menyebabkan tanaman akan mudah kekeringan pada musim kemarau, tetapi

juga menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah (run-off) pada musim

hujan menjadi lebih banyak dan akan menyebabkan lapisan tanah akan lebih banyak

terkikis akibat erosi.

Berbagai cara dapat dipergunakan dalam pengukuran erosi seperti pengukuran

air limpasan yaitu dengan menggunakan metode petak standar dan metode sendimen,

dengan menggunakan metode Universal Soil Loss Equation (USLE) perlu diuji untuk

mendapatkan metode pengukuran erosi mana yang tepat dalam mengukur besarnya

jumlah tanah yang tererosi berdasarkan penggunaan lahan pada kawasan Sub DAS

Lau Biang.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat dijadikan dasar

dalam penelitian ini adalah:

Universitas Sumatera Utara


1. Sejauhmana teknik konservasi tanah dan air yang telah diterapkan di kawasan

budidaya pada Sub DAS Lau Biang dan pengaruhnya terhadap erosi.

2. Sejauhmana penggunaan lahan lainnya (non-pertanian) di Sub DAS Lau Biang

dan pengaruhnya terhadap erosi.

3. Bagaimana indeks (tingkat) bahaya erosi yang terjadi pada berbagai tipe

penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang.

4. Seberapa besar erosi yang ditoleransikan pada setiap tipe penggunaan lahan

di Sub DAS Lau Biang.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui teknik konservasi tanah dan air yang telah diterapkan di Sub DAS

Lau Biang.

2. Mengetahui besarnya prediksi erosi pada setiap tipe penggunaan lahan di Sub

DAS Lau Biang.

3. Mengetahui sejauhmana pengaruh teknik konservasi yang diterapkan di Sub DAS

Lau Biang dalam mempengaruhi erosi.

4. Mengetahui erosi yang ditoleransikan (T) pada setiap tipe penggunaan lahan

di Sub DAS Lau Biang.

5. Mengevaluasi tingkat bahaya erosi (TBE) di Sub DAS Lau Biang.

Universitas Sumatera Utara


1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai:

1. Sumber informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang tingkat bahaya erosi

pada berbagai tipe penggunaan lahan, khususnya di kawasan hulu DAS Wampu

(Sub DAS Lau Biang).

2. Sebagai dasar dalam mengelola lahan pertanian secara berkelanjutan, dengan

tetap mempertimbangkan keuntungan ekonomis di satu sisi, tetapi tetap menjamin

kelestarian sumberdaya lahan di sisi lain.

Universitas Sumatera Utara


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi,

vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor

tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil

kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam

Arsyad, 1989).

Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia

terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi

kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989, Talkurputra, et.al.

1996).

Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar,

yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.

Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam

penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan.

Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan,

kebun, kebun campuran, lalang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan

pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman),

industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitian yang dilakukan Suharto (1994) tentang optimalisasi alokasi

penggunaan lahan di DAS Solo Hulu, Jawa Tengah, ditinjau dari segi erosi,

sedimentasi, dan debit menunjukkan erosi yang terbesar terjadi pada penggunan

lahan tegalan buruk, kemudian diikuti oleh lahan pekarangan, lahan tegalan

baik, lahan hutan, dan yang paling rendah lahan sawah. Limpasan permukaan dan

sedimentasi yang terjadi pada tiap sub DAS didominasi oleh penggunaan lahan

tegalan buruk. Kekritisan lahan yang termasuk tingkat kekritisan berat juga terjadi

pada penggunaan lahan tegalan buruk.

2.1.2. Pengertian DAS

Daerah aliran sungai (DAS) dalam bahasa Inggris diistilahkan

sebagai drainage area atau catchment area atau river basin atau

watershed.

DAS ialah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang

menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan ke sungai atau danau,

dan akhirnya ke laut. Kawasan itu dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh

pemisah topografis, yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama

formasi batuan. Suatu DAS yang sangat luas terdiri atas beberapa sub-DAS dan

masing-masing sub-DAS terdiri atas beberapa sub-sub DAS.

Bentuk DAS berbeda-beda dan masing-masing mempunyai sifat-sifat

yang berlainan. Bentuk-bentuk tersebut adalah: DAS berbentuk bulu burung. DAS

berbentuk paralel, DAS berbentuk radial (kipas atau lingkaran), dan DAS berbentuk

gabungan atau kompleks. Bentuknya merupakan campuran dari beberapa

Universitas Sumatera Utara


bentuk DAS (Sosrodarsono dan Takeda, 1977, dalam Asdak, 2002).

Soejono Paembonan (1982, dalam Dradjad, 1990) mengatakan DAS adalah

suatu ekosistem dengan unsur-unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air,

dan manusia yang mempunyai hubungan saling mempengaruhi dalam suatu

keseimbangan dinamik. Vegetasi, tanah dan air merupakan unsur-unsur yang

perlu didayagunakan dengan sebaik-b a i k n y a , a g a r d a p a t m e m e n u h i

k e b u t u h a n m a n u s i a s e c a r a berkesinambungan. Manusia berperan

sebagai pelaku di dalam pendayagunaan unsur-unsur tersebut.

Pengelolaan DAS perlu dilakukan agar daerah tersebut secara

keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara

lestari bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan

serta kesejahteraannya. Hal itu berarti bahwa untuk menangani suatu DAS, perlu

memandang DAS sebagai suatu sistem.

Den gan dem i ki an m el al ui pengel ol a a n DAS yan g t erp ad u

(pendekatan holistik) antara daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir dapat

diketahui keadaan erosi yang terjadi pada suatu wilayah akibat dari penggunaan lahan

yang ada (present land use), apakah erosi yang terjadi sudah membahayakan atau

masih dalam batas yang dapat dibiarkan (Sinukaban, 1986; Manik, et al, 1997;

Asdak, 2002).

2.1.3. Kebijakan Umum Pengelolaan DAS

Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan untuk melaksanakan

amanat Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Seperti diketahui

Universitas Sumatera Utara


terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, 60 DAS

merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong

prioritas III dalam upaya penanggulangan/rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis

di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat

kritis seluas 6.890.567 hektar, dan 23.306.233 hektar merupakan lahan kritis (Darori,

2008).

Berbicara tentang pengelolaan DAS, maka tidak akan terlepas dari

permasalahan pengelolaan hutan, meskipun seluruh titik di muka bumi ini merupakan

bagian dari DAS. Seperti diketahui bahwa luas kawasan hutan di Indonesia mencapai

120,35 juta hektar atau 63% dari luas daratan, dan terdiri dari hutan konservasi 20,50

juta hektar, hutan lindung seluas 33,50 juta hektar, dan hutan produksi seluas 66,35

juta hektar. Dari luas kawasan hutan tersebut kondisi kawasan yang tidak berhutan

(terjadi deforestasi) seluas 30,83 juta hektar atau 25,6% dari luas kawasan hutan.

Tercatat laju deforestasi pada tahun 2000 hingga 2005 mencapai 1,08 juta ha/tahun

(Gambar 1).

Kawasan hutan yang kritis semakin meningkat karena laju deforestasi tersebut

jauh lebih besar dibandingkan laju rehabilitasi yang hanya 500 ribu hingga 700 ribu

hektar per tahun (Hutabarat, 2008).

Khusus di Sumatera Utara, lahan kritis dan sangat kritis pada 21 kabupaten

seluas 2.126.780 hektar yang terbagi di DAS Asahan Barumun seluas 1.148.050

hektar dan DAS Wampu seluas 978.730 hektar (28,38% dari luas DAS di Provinsi

Universitas Sumatera Utara


Sumatera Utara seluas 7.491.695,34 hektar) (Hutabarat, 2008). Laju deforestasi dan

rehabilitasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Laju Deforestasi Versus Laju Rehabilitasi (Hutabarat, 2008)

Menurut Hutabarat, (2008), terdapat tiga faktor utama penyebab degradasi

DAS-DAS di Indonesia, yaitu:

1. Keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah, dan topografi) yang rentan

terjadi erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan (kemampuan lahan/daya

dukung wilayah).

2. Iklim/curah hujan tinggi yang potensial menimbulkan daya merusak lahan/

tanah (erosivitas tinggi).

3. Aktivitas manusia yang terdiri dari penebangan hutan ilegal (pencurian kayu

hutan), kebakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan dan lahan

berlebihan (HPH, tambang, kebun, industri, permukiman, jalan, pertanian dan

lain lain), penggunaan/pemanfaatan lahan tidak menerapkan kaidah

konservasi tanah dan air.

Universitas Sumatera Utara


Begitu luasnya lahan kritis di kawasan DAS yang menyebabkan terjadinya

DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak diperlukan.

Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan dalam

rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mendayagunakan

pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan keselarasan,

keserasian dan keseimbangan antara sumber daya manusia, dalam memanfaatkan

sumber daya buatan dan sumber daya alam, serta mengupayakan kelestarian fungsi

sumber daya alam dalam jangka panjang (Nasution, 2008).

Dengan demikian, tujuan pengelolaan DAS terdiri dari (Darori, 2008;

Hutabarat, 2008):

1. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antarmulti pihak

dalam pengelolaan SDA dan lingkungan DAS.

2. Terbentuknya kelembagaan pengelolaan DAS yang mantap.

3. Terwujudnya kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas, kualitas

dan distribusinya menurut ruang dan waktu.

4. Terjaminnya pemanfaatan/penggunaan hutan, tanah dan air yang produktif

sesuai daya dukung dan daya tampung DAS.

5. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tahapan pelaksanaan pengelolaan DAS terdiri dari kegiatan pengelolaan

DAS, sasaran lokasi kegiatan pengelolaan DAS dan pelaksanaan kegiatan

pengelolaan DAS itu sendiri. Kegiatan pengelolaan DAS meliputi: pemanfaatan dan

penggunaan hutan, lahan dan air, restorasi hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan

Universitas Sumatera Utara


lahan, konservasi hutan, tanah dan air. Sedangkan sasaran lokasi kegiatan

pengelolaan DAS meliputi: kawasan budidaya di bagian hulu dan hilir DAS, kawasan

lindung di bagian hulu dan hilir DAS. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS

didasarkan atas: a) kriteria teknis sektoral, b) persyaratan kelestarian ekosistem DAS,

dan c) pola pengelolaan hutan, lahan dan air.

Satu kalimat yang menjadi dambaan bagi kita semua untuk diwujudkan dalam

pengelolaan DAS adalah “Save Our Forest, Land and Water”, demi keberlangsungan

peradaban ummat manusia di muka bumi ini (Hutabarat, 2008).

2.1.4. Erosi dan Sedimentasi pada Suatu DAS

Erosi dan sedimentasi merupakan proses penting dalam pembentukan suatu

daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki konsekwensi ekonomi dan lingkungan

yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami akan

mempengaruhi pembentukan landskap suatu DAS dan sebaliknya bentuk dan kondisi

fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sedimentasi

(Linsley, dkk, 1996).

Erosi merupakan salah satu penyebab utama degradasi lahan. Besarnya erosi

pada suatu lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu (Arsyad, 2006): (1) jumlah dan

intensitas hujan (erosivitas hujan), (2) kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas

tanah), (3) bentuk lahan (kemiringan dan pajang lereng), (4) vegetasi penutup tanah,

dan (5) tingkat pengelolaan tanah. Erosivitas hujan merupakan faktor alami yang

hampir tidak mungkin untuk dikelola, sedangkan erodibilitas tanah dapat diperbaiki

Universitas Sumatera Utara


dengan meningkatkan/menjadikan kemantapan agregat tanah yang ideal melalui

penambahan bahan amelioran seperti bahan organik.

Kemiringan dan panjang lereng serta faktor vegetasi dan pengelolaan tanah

merupakan faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran

permukaan serta menurunkan laju dan jumlah erosi (Agus dan Widianto, 2004;

Arsyad, 2006).

Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi atau erosi normal

dan erosi yang dipercepat. Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi alami

merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi

alami. Biasanya terjadi pada keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah

yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses

geologi meliputi terjadinya pembentukan tanah di permukaan bumi secara alami.

Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Erosi

dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai

akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses

pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah

yang menjadi perhatian konservasi tanah. Dalam pembahasan selanjutnya, istilah

erosi yang dipergunakan menggambarkan erosi dipercepat yang disebabkan oleh air

(Rahim, 2003; Arsyad, 2006).

Di daerah beriklim tropis basah, air merupakan penyebab utama erosi tanah,

sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses erosi air merupakan

kombinasi dua proses yaitu (1). Penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir

Universitas Sumatera Utara


primer oleh energi tumbukan butir-butir hujan yang menimpa tanah dan perendaman

oleh air yang tergenang (proses dipersi), dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir

tanah oleh percikan hujan, dan (2). Penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan

butir-butir tanah tersebut oleh air yang mengalir di permukaan tanah.

Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah

terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas

permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di permukaan tanah tergantung pada

hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan

kapasitas penyimpanan air tanah (Rahim, 2003).

Tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas permukaan tanah dapat memperbaiki

kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan

yang jatuh, dan daya dispersi dan daya angkut aliran di atas permukaan tanah.

Perlakuan atau tindakan-tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan

tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan apakah tanah itu akan menjadi baik

dan produktif atau menjadi rusak (Rahim, 2003; Arsyad, 2006).

Setelah penghancuran butir-butir tanah oleh energi kinetik curah hujan akan

terjadi aliran permukaan apabila kapasitas infiltrasi tanah berkurang. Jumlah aliran

permukaan yang meningkat di samping menyebabkan erosi lebih besar, juga

mengurangi kandungan air tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan

tumbuhan menjadi kurang baik. Berkurangnya pertumbuhan berarti berkurangnya

sisa-sisa tumbuhan yang kembali ke tanah dan berkurangnya perlindungan, yang

mengakibatkan erosi menjadi lebih besar (Arsyad, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Erosi merupakan faktor eksternal penyebab tanah-tanah pertanian menjadi

sakit atau bahkan mati. Erosi pada awalnya akan memindahkan bahan organik dan

liat dari dalam tanah (selektivitas erosi) ke badan-badan air (sungai) yang kemudian

diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan. Erosi yang

terus berlanjut akan mengikis permukaan tanah atau bagian tanah yang lembut

(horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon R (batuan

induk) muncul ke permukaan (Arsyad, 2006).

Fenomena ini tejadi secara berkelanjutan pada hampir semua lahan pertanian

di Indonesia, terutama pada sistem pertanian lahan kering di kawasan hulu suatu

DAS. Pada tahap ini tanah dikategorikan sakit parah dan bahkan dapat dikatakan

sebagai tanah yang mati (Arsyad, dkk, 1992).

Sedangkan prediksi erosi pada sebidang tanah dapat dilakukan menggunakan

model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978 dalam Arsyad, 2006)

yang diberi nama Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan persamaan sebagai

berikut:

A = R.K.L.S.C.P....................................................................................(1)

yang menyatakan:

A = banyaknya tanah tererosi (ton/(ha.thn))

R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi

hujan tahunan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E)

dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30).

Universitas Sumatera Utara


K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indek erosi hujan (R) untuk

suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak

percobaan yang panjangnya 72,6 kaki (22,1 meter) terletak pada lereng

9%, tanpa tanaman.

L = faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan

suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang

lereng 72,6 kaki (22,1 meter) di bawah keadaan yang identik.

S = faktor kecuraman lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi

dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya

erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik.

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah

antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan vegetasi penutup dan

pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah

yang identik tanpa tanaman.

P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan

penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras

menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang

diberi perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap besarnya

erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik.

Saifuddin Sarief (1980) dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Masalah

Pengawetan Tanah dan Air”, penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan

pengikisan dan penghanyutan tanah menggunakan metode pengukuran besarnya

Universitas Sumatera Utara


tanah yang terkikis dan aliran permukaan (run-off) untuk satu kali kejadian hujan.

Metode ini disebut “Pengukuran Erosi Petak Kecil”, metode ini ditujukan untuk

mendapatkan data-data sebagai berikut:

1. Besarnya erosi.

2. Pengaruh faktor tanaman.

3. Pemakaian bahan pemantap tanah (soil conditioner).

4. Pemakaian mulsa penutup tanah, dan

5. Pengelolaan tanah.

Dengan berpegangan pada pendapat Konhke dan Bertrand (1959). Bahwa

petak kecil yang biasanya berbentuk persegi panjang dipergunakan untuk

mendapatkan besarnya pengikisan dan penghanyutan yang disebabkan oleh pengaruh

faktor-faktor tertentu untuk suatu tipe tanah dan derajat lereng tertentu

(Kartasapoetra, 1990).

Menurut penelitian Saidi (2001) hasil pendugaan erosi dengan menggunakan

rumus USLE bahwa perkiraan erosi pada Sub DAS Sumani, Lembang, Gawan,

Aripan dan Imang cukup besar yakni berkisar 141,94-436,7 ton/(ha.thn), kehilangan

tanah sebesar ini sudah cukup menghilangkan lapisan bagian atas hanya dalam tempo

yang sangat singkat, dengan demikian perlu diimbangi dengan tindakan konservasi

tanah dan air, terutama pada lahan yang berlereng terjal.

Erosi yang terjadi pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus dan

rumput pakan alami di Sub DAS Cikapundung Bandung Utara sebesar

Universitas Sumatera Utara


126,71ton/(ha.thn), sedangkan pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus

dan rumput pakan ternak sebesar 289,51 ton/(ha.thn) (Sutrisna dan Sitorus, 2009).

Aryanto, et al, (2008) melaporkan bahwa erosi pada hutan yang tidak terusik

di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebesar 34,2 ton/(ha.thn)

sementara erosi pada hutan yang terusik di kawasan yang sama sebesar 65,9

ton/(ha.thn).

Sukresno (1993) melaporkan bahwa erosi yang terjadi di kawasan hutan

Waduk Gajah Mungkur (di hulu DAS Bengawan Solo) sebesar 82,2 ton/(ha.thn),

sedangkan pada lahan pekarangan yang merupakan kebun campuran erosinya sebesar

138 ton/(ha.thn) dan pada lahan tegalan yang ditanami tanaman semusim (padi gogo,

jagung, kedele, kacang tanah dan ketela pohon) di sekitar Waduk Gajah Mungkur

tersebut erosinya berkisar antara 211,5-729,4 ton/(ha.thn).

Erosi yang terjadi pada sistem agroforestri atau kebun campuran di Sub DAS

Cibogo DAS Ciliwung sebesar 71-197 ton/(ha.thn) dan di Sub DAS Cigadog DAS

Ciliwung sebesar 65-170 ton/(ha.thn) (Pawitan dan Sinukaban, 2007).

Rauf (2004) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi pada sistem

agroforestri di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL),

terutama pada tipe agrosilvikultur dengan kemiringan lereng 30-40% berkisar antara

47,00-262,17 ton/(ha.thn) atau rata-rata sebesar 136,79 ton/(ha.thn). Sistem

agroforestri yang dapat menekan laju erosi menjadi rata-rata sebesar 79,84

ton/(ha.thn) di kawasan penyangga TNGL adalah sistem agroforestri dengan tipe

Universitas Sumatera Utara


agrosilvopastural yang merupakan kombinasi antara pepohonan hutan dengan

tanaman pertanian dan rumput pakan ternak di lahan selanya.

Supangat dan Savitri (2001) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi

di lahan tegalan yang ditanami jagung di DAS Surakarta, tepatnya di DAS Miro

Dukuh Kebondalen Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten

Wonosobo Jawa Tengah, sebesar 188,91 ton/(ha.thn), juga mendapatkan bahwa erosi

yang masih diperkenankan di lahan pertanaman tumpang sari (agrosilvicultural)

antara sengon muda dengan kopi muda di DAS Surakarta (lokasi kajian di DAS Miro

Dukuh Kebondalen Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten

Wonosobo Jawa Tengah) sebesar 42 ton/(ha.thn), sedangkan pada tumpang sari

sengon tua dengan kopi tua sebesar 40,8 ton/(ha.thn), dan antara sengon tua dengan

kopi muda sebesar 49,2 ton/(ha.thn). Erosi ditoleransikan (diperkenankan) pada

pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila

dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang

digunakan untuk pertanaman jagung sebesar 25,2 ton/(ha.thn).

2.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Erosi

2.1.5.1. Faktor iklim

Di daerah beriklim basah, faktor iklim yang menyebabkan terdispersinya

agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan (Sinukaban, 1986). Menurut

Arsyad (1989), besarnya curah hujan serta intensitas dan distribusi butir hujan

menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran

permukaan, dan erosi. Air yang jatuh menimpa tanah-tanah terbuka akan

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebahagian dari air hujan yang jatuh

tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas

permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas

infiltrasi).

Besarnya hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh

karena itu, besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan luas

atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu milimeter. Besarnya curah

hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu seperti per hari, per

bulan, per tahun atau per musim.

2.1.5.2. Faktor tanah

Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda.

Kepekaan erosi tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang merupakan fungsi

dari berbagai interaksi sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang

mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju

infiltrasi; (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap

dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan.

Utomo (1989), tanah andosol terbentuk dari bahan abu vulkan muda dengan

kandungan bahan organik yang tinggi, tekstur lapisan tanah atas pasir berlempung

sampai berlempung, tekstur lapisan bawah lempung berliat, memiliki thixotropi,

sangat porous, bersolum dalam sehingga kapasitas infiltrasi dan perkolasinya tinggi.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut, pengukuran erodibilitas tanah dengan nomograph

menunjukkan bahwa indeks erodibilitas andosol bervariasi dari 0,10 sampai 0,25.

Universitas Sumatera Utara


mengikuti klasifikasi kelas erodibilitas yang diusulkan Utomo (1985), maka andosol

mempunyai indeks erodibiltas sangat rendah sampai sedang. Jadi sebenarnya cukup

tahan terhadap erosi yang ditimbulkan oleh pukulan air hujan dan kikisan limpasan

permukaan. Tetapi karena umumnya andosol mempunyai sifat thixotropic, maka jika

jenuh air (karena intensitas hujan sangat tinggi), tanahnya mudah mengalami erosi

massa (creep dan slip erosion). Karena tingkat perkembangan tanahnya baru pada

tingkat lemah sampai sedang.

Menurut Arsyad (2000), beberapa sifat tanah yang mempengaruhi erosi

adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat

kesuburan tanah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi yang menunjukkan mudah

atau tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika tanah.

Tekstur adalah ukuran tanah dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer

bagian mineral tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil

mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi dan jika tanah tersebut dalam, erosi dapat

diabaikan. Tanah-tanah bertekstur pasir halus juga mempengaruhi kapasitas infiltrasi

cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, butir halus akan mudah

terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat

tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan

permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.

Struktur adalah ikatan butir primer kedalam butiran sekunder atau agregat.

Terdapat dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya dengan erosi. Pertama

adalah sifat-sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi dan yang

Universitas Sumatera Utara


kedua adalah adanya bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuk agregat

yang mantap.

Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang

menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak

butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan

mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat

menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan itu hanya

faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik

dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran,

peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah.

Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada

tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air

menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan demikian

mempengaruhi besarnya aliran permukaan.

Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah

permeabilitas lapisan tersebut. Permeabilitas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur

tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeabel kurang peka

erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya

rendah.

Perbaikan kesuburan tanah akan memperbaiki pertumbuhan tanaman.

Pertumbuhan tanaman yang lebih baik akan memperbaiki penutupan tanah yang lebih

baik dan lebih banyak sisa tanaman yang kembali ke tanah setelah panen.

Universitas Sumatera Utara


Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan keseluruhan sifat-sifat

tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya. Menurut Hodson

(1992), kepekaan erosi didefinisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk tidak

tererosi, sedangkan menurut Arsyad (2000), kepekaan erosi tanah didefinisikan

sebagai erosi per satuan indeks erosi hujan untuk suatu tanah dalam keadaan standar.

Kepekaan erosi tanah menunjukkan besarnya erosi yang terjadi dalam ton tiap hektar

tiap tahun indeks erosi hujan, dari tanah yang terletak pada keadaan baku (standar).

Tanah dalam standar adalah tanah yang terbuka tidak ada vegetasi sama sekali

terletak pada lereng 9% dengan bentuk lereng yang seragam dengan panjang lereng

72,6 kaki atau 22 m. Nilai faktor kepekaan erosi tanah yang ditandai dengan huruf K,

dinyatakan dalam persamaan berikut:

K= A/R, ................................................................................................. (2)

dengan K adalah nilai faktor kepekaan erosi suatu tanah, A adalah besarnya erosi

yang terjadi dari tanah pada petak standar (ton/(ha.thn)), dan R adalah EI30 tahunan.

2.1.5.3. Faktor topografi

Jika keadaan lereng di lapangan tidak sama dengan baku, maka faktor panjang

lereng dan kemiringan lereng harus dikembalikan pada keadaan baku, yaitu panjang

lereng 22 m dan kemiringan lereng 9 persen dengan persamaan berikut:

LS  L0,00138S 2  0,00965S  0,0138 .......................................... (3)

Dengan L adalah lereng dalam meter, S adalah persen kemiringan lereng dalam

keadaan baku.

Universitas Sumatera Utara


Lereng yang lebih curam, selain memerlukan tenaga dan biaya yang lebih

besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan

air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu, lereng-lereng dengan

bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan

lereng-lereng pada kemiringan yang sama, tetapi mempunyai bentuk yang tidak

seragam dan pendek. Pada lereng yang panjang dan seragam, air yang mengalir

di permukaan tanah akan terkumpul di lereng bawah sehingga makin besar

kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya tanah lereng bagian bawah

mengalami erosi lebih besar daripada lereng bagian atas. Sebaliknya, lereng yang

panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh lereng datar dalam jarak pendek.

Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng bawah tidak begitu besar dan erosi

yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan lereng yang panjang dan seragam

(Arsyad, 1989).

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang

berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng

10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45º. Selain dari memperbesar

jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran

permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air. Dengan makin

curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan butir

hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan dua kali lebih curam, banyaknya erosi

2 sampai 2,5 kali lebih besar (Sinukaban, 1986).

Universitas Sumatera Utara


Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai

suatu titik air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dengan kemiringan lereng

berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang mengalir

di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Dengan demikian, lebih banyak

air yang mengalir akan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng mengalami

erosi lebih besar daripada di bagian atas. Akibatnya adalah tanah-tanah di bagian

bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin panjang

lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran

permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi mengakibatkan

kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula (Wischmeier dan Smith,

1978).

2.1.5.4. Faktor vegetasi

Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam

lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (b) mengurangi kecepatan

aliran permukaan dan kekuatan perusak air, (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan

biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, (d) pengaruhnya terhadap

stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (e) transpirasi yang mengakibatkan

kandungan air berkurang (Arsyad, 2000).

Pola pertanaman dan jenis tanaman yang dibudidayakan sangat berpengaruh

terhadap erosi dan aliran permukaan karena berpengaruh terhadap penutupan tanah

dan produksi bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap tanah. Menurut FAO

(1965, dalam Sinukaban, 1986) pergiliran tanaman terutama dengan tanaman pupuk

Universitas Sumatera Utara


hijau atau tanaman penutup tanah lainnya, merupakan cara konservasi tanah yang

sangat penting. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada tanah untuk

mengimbangi periode pengrusakan tanah akibat penanaman tanaman budidaya secara

terus-menerus. Keuntungan dari pergiliran tanaman adalah mengurangi erosi karena

kemampuannya yang tinggi dalam memberikan perlindungan oleh tanaman,

memperbaiki struktur tanah karena sifat perakaran, dan produksi bahan organik yang

tinggi.

Pada lahan hutan pelaksanaan pencacahan dan pengukuran pohon merupakan

hal yang paling penting dilakukan, karena dapat mengetahui atau menduga potensi

suatu tegakan ataupun suatu komunitas tertentu pada hutan tersebut, diameter pohon

merupakan dimensi pohon yang sangat penting dalam pendugaan potensi pohon dan

tegakan. Data diameter bukan hanya diperlukan untuk menghitung nilai luas bidang

dasar suatu tegakan melainkan juga dapat digunakan untuk menentukan volume

pohon dan tegakan, berguna dalam pengaturan penebangan dengan batas diameter

tertentu serta dapat digunakan untuk mengetahui struktur suatu tegakan hutan

(Novarianti, 2009).

2.1.5.5. Faktor manusia atau tindakan konservasi (P)

Pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah tanah yang

diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara

lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan

merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana sehingga menjadi lebih baik

dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka waktu yang tidak

Universitas Sumatera Utara


terbatas, antara lain dengan (a) luas tanah pertanian yang diusahakan, (b) tingkat

pengetahuan dan penguasaan teknologi, (e) harga hasil usaha tani, (f) perpajakan,

(g) ikatan hutang, (h) pasar dan sumber keperluan usahatani, dan (i) infrastruktur dan

fasilitas kesejahteraan (Arsyad, 2000).

Rencana konservasi tanah harus mempertimbangkan keterbatasan atau

hambatan dalam pemanfaatan tanah disamping faktor-faktor yang bersifat

mendukung program konservasi. Faktor penting yang harus dilakukan dalam usaha

konservasi tanah, yaitu teknik inventarisasi dan klasifikasi bahaya erosi dengan

tekanan daerah hulu (upstream area). Untuk menentukan tingkat bahaya erosi suatu

bentang lahan diperlukan kajian terhadap empat faktor, yaitu jumlah, macam dan

waktu berlangsungnya hujan serta faktor-faktor yang berkaitan dengan iklim, jumlah

dan macam tumbuhan penutup tanah, tingkat erodibilitas di daerah kajian, dan

keadaan kemiringan lereng (Asdak, 1995)

Pengolahan tanah meliputi pemeliharaan kandungan bahan organik tanah,

praktek pembajakan, dan penstabilan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam

tanah berfungsi tidak saja untuk mempertahankan kesuburan tanah, tetapi juga dapat

meningkatkan kapasitas tanah untuk meretensi air, dan menstabilkan agregat tanah.

Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2 persen biasanya paling peka

terhadap erosi. Karena itu perlu penambahan bahan organik hingga angka tersebut.

Penambahan bahan organik ke tanah perlu memperhatikan jenis tanah, karena hal itu

berhubungan dengan faktor isohumik jumlah humus yang dihasilkan persatuan bahan

organik (Rahim, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Pada pengolahan lahan menurut kontur, pembajakan dilakukan menurut

kontur atau memotong lereng, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur

menurut kontur. Pengolahan lahan menurut kontur akan lebih efektif apabila diikuti

dengan penanaman menurut kontur pula, yaitu larikan tanaman dibuat sejajar dengan

kontur.

Efek utama pengelolaan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat

aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan

pengangkutan tanah. Oleh karena itu, di daerah kering, pengolahan menurut kontur

sangat-sangat efektif dalam pengawetan air.

Teras adalah suatu bangunan pengawetan tanah dan air secara mekanis yang

dibuat untuk memperpendek lereng dan atau memperkecil kemiringan, dan

merupakan suatu metode pengendalian erosi dengan membangun semacam saluran

lebar melintang lereng tanah. Pengelolaan lahan dengan kontur tanah pertanian selalu

dikombinasikan dengan teras. Karena penterasan memerlukan investasi tambahan dan

menyebabkan perubahan dalam prosedur bertani maka tindakan penterasan hanya

dipertimbangkan di mana tindakan pertanaman atau pengelolaan tanah lainnya,

sendiri-sendiri atau bersama, tidak memberikan pengendalian yang cukup.

Fungsi teras adalah mengurangi panjang lereng, karena itu mengurangi sheet

dan riil, mencegah terbentuknya gully, dan menahan aliran permukaan di daerah

kurang hujan. Di sebagian besar daerah, graded teras lebih efektif dalam mengurangi

erosi daripada aliran permukaan (runoff), sedangkan level teras lebih efektif dalam

mengurangi runoff di samping mengendalikan erosi.

Universitas Sumatera Utara


Di dalam perencanaan teras, diperlukan berbagai pertimbangan khusus, antara

lain keadaan tata guna lahan pada daerah yang bersangkutan, pembuatan saluran

pembuangan (outlet), penentuan tata letak teras (terrace lay-out) dan rencana

pertanian yang diusahakan.

Berdasarkan fungsinya, teras dibedakan kedalam dua jenis, yaitu: teras

intersepsi (interseption terrace), dan teras disversi (diversion terrace). Pada teras

intersepsi, aliran permukaan ditahan oleh saluran yang memotong lereng, sedangkan

pada teras disversi berfungsi untuk mengubah arah aliran sehingga tersebar ke saluran

lahan dan tidak terkonsentrasi kesuatu tempat. Menurut bentuknya teras dibedakan ke

dalam beberapa bentuk, yaitu teras kredit, teras guludan, teras datar, teras bangku,

teras kebun dan teras individu (Hardjoamidjojo dan Sukandi, 2008).

Teras tradisional berupa teras adanya rorak penampung aliran permukaan dan

tanpa penguat bibir teras menggunakan rerumputan dapat mendorong lebih tingginya

erosi pada lahan kemiringan 34-37% ini. Apalagi teras yang dibangun kebanyakan

masih belum seluruhnya mengikuti garis kontur sesuai landskap yang ada sehingga

bidang teras pada salah satu atau kedua sisi horizontalnya selalu menjadi parit dari

bagian dasar teras yang lainnya. Hal ini jelas akan memperbesar terjadinya erosi yang

tinggi meskipun terdapat bangunan terasnya. Pembuatan teras bangku atau teras

gulud dengan standart desain dan bangunan yang baik disertai dengan penggunaan

mulsa sisa tanaman dan atau tanaman penutup tanah dengan kerapatan tinggi pada

lahan dengan kemiringan lebih dari 15% mutlak diperlukan agar degradasi lahan

Universitas Sumatera Utara


tidak terjadi (erosi tidak melebihi erosi yang ditoleransikan) (Sinukaban, Suwardjo

dan Barus, 2007).

Erwiyono (2008) menyebutkan bahwa dalam mengendalikan kesuburan fisik

tanah pada pertanaman kopi di lahan miring dapat dilakukan dengan pembuatan rorak

yang ke dalamnya dibenamkan bahan organik sisa tanaman (mulsa vertikal). Dengan

cara ini permeabilitas tanah dapat meningkat dari 3,69 cm/jam (pada perlakuan mulsa

secara tebar) menjadi 24,24 cm/jam pada perlakuan mulsa yang dibenamkan kedalam

rorak sedalam 30-45 cm. Dengan demikian, tanah dapat lebih banyak menyerap air

sehingga limpasan permukaan menjadi sangat kecil dan erosi dapat terkendali.

Pertanaman jeruk di Taiwan pada kemiringan lereng 28% yang diperlakukan

dengan teknik konservasi berupa teras bangku datar dapat meniadakan erosi sama

sekali (erosi = 0,0 ton/(ha.thn)) dari erosi sebesar 156,4 ton/(ha.thn) pada pertanaman

jeruk dengan pengolahan tanah bersih. Pada perlakuan konservasi tanah yang lain

seperti teras bangku miring menghasilkan erosi 6,54 ton/(ha.thn), penanaman rumput

bahia rapat disertai pemberian mulsa erosinya sebesar 0,94 ton/(ha.thn) dan

penanaman rumput bahia dalam strip di sertai pemberian mulsa erosinya hanya 2,8

ton/(ha.thn) (Liao and Wu dalam Haryati, 2008).

Selanjutnya Harper and El-Swaify dalam Haryati (2008) menyebutkan bahwa

besarnya erosi pada pola pertanaman jagung-padi gogo-kedele dengan tanpa

perlakuan teknik konservasi pada lahan dengan kemiringan 35% di Thailand

menyebabkan erosi sebesar 155-284 ton/(ha.thn), sementara pada perlakuan teras

bangku erosinya dapat ditekan menjadi 34-81 ton/(ha.thn). Pada pola pertanaman

Universitas Sumatera Utara


padi gogo-jagung-sayuran yang tidak diberi tindakan konservasi tanah menyebabkan

erosi sebesar 136 ton/(ha.thn) sedangkan pada pola pertanaman yang sama yang

disertai teknik konservasi berupa teras gulud, erosinya dapat ditekan menjadi 89

ton/(ha.thn).

2.1.6. Laju Erosi Ditoleransikan (T)

Laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara

suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang

memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang

masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan yang diberi lambang T. Batas tertinggi

erosi yang masih dapat dibiarkan kadang-kadang dapat juga ditetapkan dengan tujuan

utama untuk pengendalian kualitas air atau untuk mengendalikan laju pendangkalan

waduk (Arsyad, 2006).

Besarnya erosi ditoleransikan (T) secara sederhana dapat dikatakan bahwa

tidak boleh melebihi proses pembentukan tanah. Sebagai bahan perbandingan

ditentukan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan untuk setiap penggunaan lahan

yang sedang diukur tingkat bahaya erosinya (Utomo, 1989).

2.1.7. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Asdak, 1995 menyatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan program

konservasi tanah salah satu informasi penting yang harus diketahui adalah tingkat

bahaya erosi (TBE) dalam suatu DAS atau sub-DAS yang menjadi kajian. Dengan

mengetahui TBE suatu DAS atau masing-masing sub-DAS, prioritas rehabilitasi

tanah dapat ditentukan.

Universitas Sumatera Utara


Tingkat bahaya erosi pada dasarnya dapat ditentukan dari perhitungan nisbah

antara laju erosi tanah (A) dengan laju erosi erosi yang masih ditoleransikan.

Batas Toleransi Erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih

diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi

oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas tanah.

Evaluasi bahaya erosi merupakan penilaian atau prediksi terhadap besarnya erosi

tanah dan potensi bahayanya terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi ini

didasarkan dari hasil evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut Arsyad

(2000) evaluasi bahaya erosi atau disebut juga tingkat bahaya erosi ditentukan

berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan erosi tanah yang

dapat ditoleransikan (tolerable soil loss). Untuk mengetahui kejadian erosi pada

tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat

diketahui dari tingkat bahaya erosi dari lahan tersebut.

Tingkat Bahaya Erosi dikategorikan ke dalam sangat ringan hingga sangat

berat. Pada tanah dengan solum dalam (kedalaman >90 cm) seperti pada wilayah

kajian, tingkat bahaya erosi dikatakan sangat ringan (SR) bila jumlah erosi < 15

ton/(ha.thn), ringan (R) bila jumlah erosi antara 15-60 ton/(ha.thn), sedang (S) bila

jumlah erosi 60-180 ton/(ha.thn), berat (B) bila jumlah erosi 180-480 ton/(ha.thn) dan

sangat berat (SB) bila erosinya > 480 ton/(ha.thn) (Saptarini, dkk, 2007).

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai tingkat bahaya erosi yang

tinggi (berat) hingga sangat tinggi (sangat berat) sebagaimana terjadi pada kawasan

hutan di DTA Waduk Sempor Kabupaten Jawa Tengah (Ariyanto, et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Erosi ditoleransikan (diperkenankan) pada pertanaman tumpang sari sengon

dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan erosi yang masih

dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang digunakan untuk pertanaman jagung

sebesar 25,2 ton/(ha.thn) (Supangat dan Savitri, 2001).

2.2. Kondisi Umum DAS Wampu

Secara geografis Daerah Aliran Sungai Wampu terletak antara 02º58’51”–

04º36’00” Lintang Utara dan 97º 48’ 03” – 98º38’50” Bujur Timur dengan luas

sekitar 410714,75 hektar atau 4107,15 Km2 (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008).

Sedangkan menurut administratif terletak di Kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang,

Simalungun dan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara (Gambar 2), dengan batas-

batas wilayah sebagai berikut (Misran, 2008; BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008):

Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka

Sebelah Selatan berbatas dengan DAS Lau Renun dan DTA Danau Toba

Sebelah Timur berbatas dengan DAS Belawan, Deli, Percut dan Ular

Sebelah Barat berbatas dengan Provinsi NAD

Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu dengan luas 410.714,75 hektar tersebut

terbagi ke dalam 4 (empat) wilayah Sub DAS (Gambar 2) yaitu (BP DAS WU,

2008): (a). Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.679,85 hektar (49,83%); (b). Sub DAS

Sei Bingei seluas 79.046,91 hektar (19,25%); (c). Sub DAS Wampu Hilir seluas

32.737,53 hektar (7,97%), (d). Sub Das Lau Biang seluas 94.250,45 hektar (22,95%).

Universitas Sumatera Utara


Wilayah kecamatan yang masuk ke dalam DAS Wampu meliputi 16

kecamatan di Kabupaten Karo, 11 kecamatan di Kabupaten Langkat, 2 kecamatan

di Kabupaten Deli Serdang, 2 kecamatan di Kabupaten Simalungun, dan 5 kecamatan

di Kota Binjai (Tabel 1).

Sementara wilayah kecamatan yang masuk ke dalam Sub DAS Lau Biang

sebanyak 19 kecamatan dengan luas wilayah masing-masing sebagaimana disajikan

pada Tabel 2.

Dari segi kemiringan lereng, bentuk lahan dominan di DAS Wampu adalah

agak curam hingga sangat curam (kemiringan > 26%) selaus 282.179,86 hektar atau

68,7% dari luas DAS Wampu. Bentuk kemiringan lereng lainnya berikut luasnya

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan, Kabupaten dan Kota yang Masuk ke dalam
DAS Wampu

Luas
Kecamatan/Kabupaten
Ha %
Kabupaten Karo:
1. Barus Jahe 9548,74 2,32
2. Berastagi 2341,99 0,57
3. Dolat Rakyat 2042,32 0,50
4. Kaban Jahe 4311,29 1,05
5. Lau Baleng 3026,28 0,74
6. Mardingding 12808,45 3,12
7. Merdeka 2540,34 0,62
8. Merek 12130,48 2,95
9. Munte 7901,31 1,92
10. Namanteran 7698,06 1,87
11. Payung 3071,95 0,75
12. Kuta Buluh 23457,62 5,71
13. Tiga Binanga 6333,69 1,54
14. Tiganderket 12247,33 2,98
15. Tiga Panah 9516,64 2,32
16. Simpang Empat 7281,31 1,77
Jumlah 126257,80 30,73
Kabupaten Langkat:
1. Bahorok 103357,41 25,17
2. Binjai 2918,01 0,71

Universitas Sumatera Utara


Lanjutan Tabel 1

3. Hinai 3791,08 0,92


4. Kuala 21379,31 5,21
5. Salapian 48314,93 11,76
6. Secanggang 12985,46 3,16
7. Sei Bingei 33029,15 8,04
8. Selesai 16468,91 4,01
9. Tanjung Pura 6969,22 1,70
10. Wampu 6225,41 1,52
11. Stabat 4894,16 1,19
Jumlah 260333,10 63,39
Kota Binjai:
1. Binjai Barat 1236,61 0,30
2. Binjai Kota 429,99 0,10
3. Binjai Selatan 3033,75 0,74
4. Binjai Timur 766,49 0,19
5. Binjai Utara 540,74 0,13
Jumlah 6007,58 1,46
Kabupaten Simalungun:
1. Dolok Silau 4933,66 1,20
2. Silimakuta 6872,22 1,67
Jumlah 11805,88 2,87
Kabupaten Deli Serdang:
1. Kutalimbaru 6265,20 1,53
2. Sunggal 45,21 0,01
Jumlah 6310,41 1,54
Jumlah 410714,75 100,00
Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)

Tabel 2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang

Kecamatan Luas (Ha) % dari luas Sub DAS Lau Biang


1. Silimakuta 6872,220 7,29
2. Dolok Silau 4933,664 5,23
3. Merek 12130,468 12,87
4. Barus Jahe 9548,745 10,13
5. Tiga Panah 9516,642 10,10
6. Kabanjahe 4311,296 4,57
7. Dolatrakyat 2042,315 2,17
8. Bersatagi 2341,986 2,48
9. Simpang Empat 7281,310 7,73
10. Merdeka 2366,886 2,51
11. Namanteran 7523,418 7,98
12. Munthe 7901,312 8,38
13. Payung 3071,953 3,26
14. Tiganderket 9283,204 9,85
15. Kuta Buluh 2863,562 3,04
16. Tiga Binanga 2185,782 2,32
17. Kutalimbaru 1,374 0,001
18. Salapian 24,847 0,03
19. Sei Bingei 49,473 0,05
Luas Sub DAS Lau Biang 94.250,454 100,00
Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008).

Universitas Sumatera Utara


Curah Hujan di kawasan Daerah Aliran Sungai Wampu antara 1.154,5

mm/thn sampai 4.127,2 mm/tahun. Debit sungai di DAS Wampu sebesar 180

m³/detik. Sedangkan penutupan lahan (Land Cover) DAS Wampu disajikan pada

Tabel 4.

Tabel 3. Kelas Kemiringan Lereng di Kawasan DAS Wampu

No Lereng (%) Bentuk Lahan Ha %


1 <2 Datar 30851,025 7,51
2 2–8 Landai 27809,410 6,77
3 9-15 Bergelombang 67114,834 16,34
4 16-25 Berbukit 2759,617 0,67
5 26-40 Agak Curam 104853,056 25,53
6 41-60 Curam 77465,902 18,86
7 > 60 Sangat Curam 99860,902 24,31
Jumlah 410714,747 100,00
Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008).

Permasalahan khusus di DAS Wampu antara lain adalah:

(1) Banyaknya penggarapan-penggarapan liar di era reformasi, sehingga banyak

lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu saat ini, sehingga

dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir;

(2) Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaedah konservasi tanah di Sub DAS

Lau Biang (tanaman hortikultural) Kabupaten Karo;

(3) Pada bagian hilir DAS adalah terjadinya penyempitan dan pendangkalan

sungai di Sub DAS Wampu Hilir, Sub DAS Bingei Kabupaten Langkat dan

Kota Binjai (Misran, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Setiap Sub DAS dalam Kawasan DAS Wampu

No Sub Das Penggunaan Lahan Ha %/Kec.


1 Lau Biang Belukar 985,451 1,05
Danau/air 123,127 0,13
Hutan Tanaman Industri 1069,320 1,13
Hutan lahan kering sekunder 9710,761 10,30
Pemukiman 504,698 0,54
Pert. lahan kering campur semak 805,643 0,85
Pertanian lahan kering 80169,822 85,06
Sawah 567,371 0,60
Terbuka 314,261 0,33
94.250,454 100,00
2 Sei Bingei Belukar 2706,732 3,42
Hutan lahan kering sekunder 12589,229 15,93
Pemukiman 3605,944 4,56
Perkebunan 11830,809 14,97
Pert. lahan kering campur semak 30411,443 38,47
Pertanian lahan kering 15494,856 19,60
Rawa 20,249 0,03
Sawah 1711,881 2,17
Terbuka 675,768 0,85
79046,911 100,00
3 Wampu Hilir Belukar 2199,217 6,72
Hutan belukar rawa 5111,674 15,61
Hutan mangrove sekunder 18,732 0,06
Pemukiman 1222,289 3,73
Perkebunan 4234,642 12,94
Pert. lahan kering campur semak 7914,319 24,17
Pertanian lahan kering 5960,24 18,21
Rawa 261,864 0,80
Sawah 1529,18 4,67
Tambak 3753,854 11,47
Terbuka 531,517 1,62
32737,528 100,00
4 Wampu Hulu Belukar 9883,575 4,83
Danau/air 7,167 0,004
Hutan lahan kering primer 40837,661 19,95
Hutan lahan kering sekunder 63941,95 31,24
Pemukiman 389,488 0,19
Perkebunan 24605,028 12,02
Pert. lahan kering campur semak 43683,562 21,34
Pertanian lahan kering 17639,344 8,62
Sawah 2444,487 1,19
Terbuka 1247,592 0,61
204679,854 100,00
Total DAS Wampu 410714,747
Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008).

Universitas Sumatera Utara


III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di kawasan hulu

DAS Wampu, yaitu Sub DAS Lau Biang yang meliputi 10 (sepuluh) wilayah

kecamatan yaitu Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta di Kabupaten Simalungun,

serta wilayah Kecamatan Merek, Tiga Panah, Kabanjahe, Barus Jahe, Munthe,

Tiganderket, Kuta Buluh dan Payung di Kabupaten Karo.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning

System), altimeter, klinometer, bor tanah, ring sampel tanah, meteran, waterpass,

pisau pandu, kantong plastik dan karet gelang, kertas label, ember, derigen, parang,

cangkul, air, meteran 50 m, timbangan, alat tulis, perangkat komputer dan, kamera

digital.

Sedangkan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya beberapa

lahan tanaman budidaya dan non-budidaya seperti lahan pertanaman agroforestry

(padi, sawi, cabai, dll), lahan tanaman pangan (jagung), lahan tanaman industri (kopi

arabika), lahan tanaman hortikultura (jeruk manis) dan lahan hutan, contoh tanah/

sedimen, contoh air larian, peta administrasi, peta jenis tanah, peta geologi, peta kelas

lereng, peta penutupan dan penggunaan lahan, data sekunder curah hujan dari BMG

Sampali selama 10 tahun terakhir.

Universitas Sumatera Utara


3.3. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian adalah:

1. Dihitung erosi menggunakan persamaan USLE.

a. Ditentukan titik pengambilan sampel tanah, diambil sampel tanah.

b. Dihitung laju permeabilitas tanah.

c. Dianalisis sifat fisika tanah (tekstur, struktur).

d. Dianalisis kandungan C-Organik tanah.

e. Dihitung besar prediksi.

2. Ditentukan laju erosi yang dapat ditoleransikan (T).

3. Ditentukan tingkat bahaya erosi (TBE).

3.4. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan metode deskriptif eksploratif yang dilakukan untuk

mengetahui tingkat bahaya erosi di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau

Biang) melalui penghitungan dan pengukuran besarnya prediksi erosi dan erosi yang

ditoleransikan serta bagaimana teknik konservasi tanah yang digunakan pada

beberapa tipe penggunaan lahan tanaman budidaya dan kawasan hutan. Pengukuran

erosi dan pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara purposive sampling

terutama dalam menetapkan lokasi yang meliputi lahan dengan tutupan hutan primer

(hutan lindung), lahan budidaya.

Pengamatan pada berbagai teknik konservasi tanah yang dipilih adalah teknik

konservasi yang terbanyak diterapkan dan dilakukan oleh petani. Teknik konservasi

Universitas Sumatera Utara


tersebut diketahui berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan (dilakukan

survei pendahuluan dalam menentukan konservasi dimaksud). Untuk menentukan

lahan hutan yang diamati dihitung jumlah tegakan yang ada pada lahan tersebut dan

dikelompokkan pohon yang sama dan sejenis, dan diukur diameternya setinggi dada

dengan menggunakan alat phiband.

3.4.1. Pengamatan Lapangan

Penetapan besarnya erosi dilakukan dengan cara penghitungan (prediksi)

menggunakan persamaan USLE.

3.4.2. Perhitungan (Prediksi) Laju Erosi Menggunakan Persamaan USLE

Penetapan erosi aktual pada setiap lahan yang dipilih untuk dijadikan sampel

penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan (prediksi) USLE menggunakan

persamaan sebagai berikut:

Di mana:

A = Besarnya erosi yang diperkirakan (ton/ha/tahun)

R = Faktor erosivitas hujan

K = Faktor erodibilitas tanah

L = Panjang lereng

S = Kemiringan lereng

C = Faktor pengolahan tanah dan tanaman penutup tanah

P = Faktor teknik konservasi tanah

Universitas Sumatera Utara


Masing-masing faktor tersebut akan ditentukan nilainya dengan

mempergunakan rumus, seperti berikut ini:

3.4.2.1. Faktor erosivitas hujan (R)

Data curah hujan dari stasiun pengamatan hujan lokasi penelitian, selama 15

tahun terakhir. Data curah hujan ini digunakan untuk mengetahui faktor erosivitas

hujan (R) melalui persamaan Bols (1978):

12
R   EI 30 i .......................................................................................... (4)
i 1

Di mana:

EI 30 = 6,119(CH)1,21 .(HH)-0.47 . (P.Max) 0.53 .......................................... (5)

CH = rata-rata curah hujan bulanan (cm)

HH = jumlah hari hujan per bulan

P.Max = curah hujan maksimum selama 24 jam pada bulan yang

bersangkutan.

3.4.2.2. Faktor erodibilitas tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah dihitung dengan

persamaan Wischmeier dan Smith (1978):

2,713 M 1.14  (10) -4 (12 - a) + 3,25(b - 2) + 2,5(c - 3)


K ..................... (6)
100

Di mana:

K = Faktor erodibilitas tanah

M = Ukuran partikel yaitu (% debu + % pasir sangat halus)

Universitas Sumatera Utara


(100 - % liat) ........................................................................ (7)

jika data yang tersedia hanya data % debu, % pasir, dan % liat, maka

% liat sangat halus diperoleh dari 20% dari % pasir (Sinukaban, 1986

dalam Girsang, 1998).

a = Bahan organik tanah (% C x 1,724) .......................................(8)

b = Kode struktur tanah (tabel 5)

c = Kode permeabilitas profil tanah (Tabel 6)

Tabel 5. Harkat Struktur Tanah

No. Kelas Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Harkat


Granular sangat halus 1
Granular halus 2
Granular sedang sampai kasar 3
Gumpal, lempeng, pejal 4
Sumber: Arsyad, (1989).

Tabel 6. Harkat Permeabilitas Tanah

No. Kelas Kecepatan Permeabilitas Tanah Harkat


Sangat lambat (<0,5 cm/jam) 6
Lambat (0,5-2,0 cm/jam) 5
Lambat sampai sedang (2,0-6,3 cm/jam) 4
Sedang (6,3-12,7 cm/jam) 3
Sedang sampai cepat (12,7-25,4 cm/jam) 2
Cepat (>25,4 cm/jam) 1
Sumber: Arsyad, (1989).

3.4.2.3. Faktor topografi (LS)

Faktor ini merupakan gabungan antara pengaruh panjang dan kemiringan

lereng. Faktor S adalah rasio kehilangan tanah per satuan luas di lapangan terhadap

kehilangan tanah pada lereng eksperimental sepanjang 22,1 m (72,6 ft) dengan

Universitas Sumatera Utara


kemiringan lereng 9%. Persamaan yang diusulkan oleh Wischmeier dan Smith (1978)

dapat digunakan untuk menghitung LS:

LS  L0,00138S 2  0,00965S  0,0138

Dengan : S = Kemiringan lereng (%)

L = Panjang lereng (m)

3.4.2.4. Faktor pengendali/konservasi lahan (P)

Faktor ini mempertimbangkan segi pengelolaan lahan. Termasuk dalam

pengelolaan ini adalah campur tangan manusia.

Tabel 7. Nilai Faktor (P) untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah

No. Tindakan Khusus Konservasi Tanah Nilai P


1. Tanpa tindakan pengendalian erosi 1,00
2. Teras bangku
Konstruksi baik 0,04
Konstruksi sedang 0,15
Konstruksi kurang baik 0,35
Teras tradisional 0,40
3. Strip tanaman
Rumput bahia 0,40
Clotararia 0,64
Dengan kontur 0,20
4. Teras tradisional 0.40
5. Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur
Kemiringan 0-8 % 0,50
Kemiringan 8-20 % 0,75
Kemiringan > 20 % 0,90
6. Penggunaan sistem kontur 0,10-0,020
7. Penggunaan sistem strip (2-4 m lebar) 0,10-0,30
8. Penggunaan mulsa jerami (6 ton/ha) 0,01
9. Penggunaan pemantap tanah (60 gr/1/m2 (CURASOL) 0,20-0,50
10. Padang rumput (sementara) 0,10-0,50
11. Strip cropping dengan clotataria (lebar 1 m, jarak antar strip 4,5 m) 0,64
12. Penggunaan sistem strip (lebar 2 m-4 m) 0,20
13. Penggunaan mulsa jerami (4-6 ton/ha) 0,06-0,20
14. Penggunaan mulsa kadang-kadang (4-6 ton/ha) 0,20-0,40
Sumber: Arsyad, S. (1989), Seta, A. K. (1991), Kartasapoetra (1990).

Universitas Sumatera Utara


Faktor pengelolaan tanah dan tanaman penutup tanah (C) serta faktor teknik

konservasi tanah (P) diprediksi berdasarkan hasil pengamatan lapangan dengan

mengacu pustaka hasil penelitian tentang nilai C dan nilai P pada kondisi yang

identik. Di samping itu juga akan ditentukan besarnya laju erosi yang masih dapat

ditoleransi dan indeks bahaya erosi.

3.4.2.5. Faktor penutup vegetasi (C)

Tabel 8. Nilai Faktor (C) untuk Berbagai Tipe Pengelolaan Tanaman

No. Jenis Tanaman Nilai Faktor C


1 Padi sawah (oryza sativa) 0,1 – 0,2
2 Jagung (Zeamys-l) 0,2
3 Gerst (Setaria italic) 0,1 – 0,2
4 Padi-padian (Sercalea) 0,4 – 0,9
5 Singkong (Marihat utilliigima) 0,2 – 0,8
6 Kentang (Solanum-Tuberosuu) 0,2 – 0,3
7 Kacang Tanah (Arahis hypogaca) 0,2 – 0,8
8 Kopi (Coffea arabica) 0,1 – 0,3
9 Cokelat (Theobroma cacao) 0,1 – 0,3
10 Tebu (Saccharum officinanum) 0,3 – 0,6
11 Bit gula 0,2 – 0,3
12 Karet (Havea brazilienensis) 0,2
13 Kelapa Sawit (Elacis guineensis) 0,1 – 0,7
14 Kapas (Gossypium spp) 0,3 – 0,7
15 Rumput 0,004 – 0,01
16 Hutan/tanah hutan 0,001 – 0,002
17 Jeruk (Citrus-sinensis) 0,3
Sumber: Suripin, (2004).

Tabel 9. Nilai CP dari Beberapa Tipe Penggunaan Lahan

No. Tipe Penggunaan Lahan Nilai CP


1. Hutan tidak terganggu 0,01
2. Hutan tanpa tumbuhan rendah 0,01
3. Hutan tanpa tumbuhan rendah dan seresah 0,5
4 Semak/belukar tidak terganggu 0,01
5. Semak/belukar sebagian ditumbuhi rumput 0,1
6. Kebun campuran 0,07
7. Pekarangan 0,2
8. Perkebunan tanaman keras hanya sebagian tanaman penutup tanah 0,07
9. Pertanian umum dengan:
- Memaki mulsa 0,14
- Teras bangku 0,04
- Guludan 0,14
Sumber: Hammer, (1981).

Universitas Sumatera Utara


3.5. Laju Erosi yang Masih Dapat Ditoleransikan (T)

Sebagai bahan perbandingan ditentukan laju erosi yang masih dapat

ditoleransikan untuk lahan tanaman industri yang sedang diukur tingkat bahaya

erosinya.

Tabel 10. Nilai Faktor Kedalaman Tanah pada Berbagai Jenis Tanah

No. USDA Sub Order dan Kode Faktor Kedalaman Tanah


1 Udalfs (AD) 0.9
2 Ustalfs (AU) 0.9
3 Aquents (EQ) 0.9
4 Arents (ER) 1.0
5 Fluvents (EV) 1.0
6 Orthents (EO) 1.0
7 Psamments (ES) 1.0
8 Andepts (IN) 1.0
9 Aquepts (IQ) 0.95
10 Tropepts (IT) 1.0
11 Alballs (MW) 0.75
12 Aqualls (MQ) 0.9
13 Rendolls (MR) 0.9
14 Udolls (MD) 1.0
15 Ustolls (MU) 1.0
16 Aquox (OQ) 0.9
17 Humox (OH) 1.0
18 Orthox (OO) 0.9
19 Ustox (OU) 0.9
20 Aquods (SQ) 0.9
21 Ferrods (SI) 0.95

Untuk menghitung nilai laju erosi yang masih dapat ditoleransikan

dipergunakan rumus Hammer (1981), sebagai berikut:

de. fd
T xBD ....................................................................................... (9)
W

Di mana:

T = Laju erosi dapat ditoleransi (mm/ha.thn)

de = Faktor kedalaman tanah

Universitas Sumatera Utara


df = Kedalaman efektif tanah

W = Resource life (300 dan 400 tahun)

BD = Bulk density (kerapatan massa) (gr/cm3)

Nilai faktor kedalaman tanah dipengaruhi oleh jenis tanah seperti disajikan

pada Tabel 10.

3.6. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Tingkat bahaya erosi (TBE) ditentukan dengan membandingkan erosi

potensial (A) dengan erosi yang masih dapat ditoleransikan (T) di daerah itu dengan

rumus:

TBE = A/T ............................................................................................ (10)

Kriteria indeks bahaya erosi disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Kriteria Tingat Bahaya Erosi

Nilai Kriteria/Rating TBE


< 1.0 Rendah
1.10 – 4.0 Sedang
4.01 – 10.0 Tinggi
>10.01 Sangat Tinggi

3.7. Parameter Penelitian

Untuk penghitungan erosi menggunakan persamaan USLE, parameter yang

akan diamati diantaranya:

a. Jenis tanah.

b. Kedalaman efektif tanah.

Universitas Sumatera Utara


c. Permeabilitas tanah.

d. Kadar C-organik tanah.

e. Tekstur tanah.

f. Struktur tanah.

g. Kemiringan lereng.

h. Curah hujan tahunan, bulanan dan maksimal harian.

3.8. Analisis Data

Guna melihat pengaruh berbagai tipe/jenis penggunaan lahan terhadap erosi

prediksi, erosi diperbolehkan, dan indeks bahaya erosi, dilakukan analisis varian satu

arah (One Way Anova). Dengan demikian dapat diketahui rerata sampel berbeda

nyata atau tidak secara statistika (Pratisto, 2004). Perangkat lunak yang digunakan

untuk menganalis data adalah SPSS 12.

Universitas Sumatera Utara


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu

4.1.1. Letak dan Luas Sub DAS Lau Biang

Kawasan sub DAS Lau Biang merupakan kawasan hulu DAS Wampu yang

terletak pada posisi 02054,24’-03014,78’ Lintang Utara dan 98038,49’-98016,17’

Bujur Timur dengan luas 94.250 hektar. Sub DAS Lau Biang terletak di 19

kecamatan, 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Simalungun dan 16 (enam belas)

kecamatan di Kabupaten Karo, 1 (satu) kecamatan di Kabupaten Langkat. Di sebelah

Utara, berbatasan dengan Kabupaten Langkat (Kec, Salapian dan Kec. Sei Bingei)

dan Kabupaten Deli Serdang (Kec. Kutalimbaru dan Kec. Sibolangit), di sebelah

Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang (Kec. STM Hulu dan Kec.

Gunung Meriah), di sebelah Selatan berbatasan dengan Daerah Tangkapan Air (DTA)

Danau Toba, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo (Kec. Merek, Kec.

Munthe, Kec. Tiga Binanga dan Kec. Kuta Buluh) (Lampiran Gambar 3 Peta

Administrasi Kawasan Sub DAS Lau Biang (BP-DAS WU, 2009).

Sub DAS Lau Biang termasuk daerah yang topografinya digolongkan dalam

kondisi agak curam hingga curam. Hal ini sesungguhnya sangat tidak memungkinkan

untuk diolah menjadi lahan pertanian tanpa menerapkan pola konservasi tanah (P).

Di samping terjadinya erosi pada sub DAS Lau Biang akibat alih fungsi menjadi

lahan tanaman budidaya, khususnya tanaman industri juga akan mengakibatkan

penyempitan saluran DAS pada bagian hilir DAS Wampu akibat sedimen yang

Universitas Sumatera Utara


terbawa aliran permukaan dan mengendap. Sehingga jika terjadi hujan lebat di bagian

hulu akan mengakibatkan banjir pada bagian hilir.

4.1.2. Penggunaan Lahan

Kondisi penggunaan lahan di kawasan Sub DAS Lau Biang sampai tahun

2009 secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut: Belukar 985,451 ha

(1,05%), danau/air 123,127 ha (0,13%), hutan tanaman industri 1069,320 ha (1,13%),

hutan lahan kering sekunder 9710,761 ha (10,30%), pemukiman 504,698 ha (0,54%),

pertanian lahan kering campur semak 805,643 ha (0,85%), pertanian lahan kering

80169,822 ha (85,06%), sawah 567,371 ha (0,60%), dan lahan terbuka 314,261 ha

(0,33%) sesuai dengan BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008 (Lampiran Gambar 4 Peta

Penutupan Lahan Kawasan Sub DAS Lau Biang (BP-DAS WU, 2009).

Dari data tersebut bahwa penggunaan lahan pertanian kering dan hutan

tanaman industri mempunyai potensi erosi tanah yang lebih besar dibandingkan

dengan jenis penggunaan lahan sawah dan belukar. Hal itu berkaitan dengan kanopi

tanaman yang menutupi permukaan tanah. Pada jenis penggunaan lahan terbuka,

lahan pertanian kering dan hutan tanaman industri tanaman lebih jarang dan banyak

ditanami sejajar lereng sehingga apabila terjadi hujan dengan kemiringan lereng yang

besar maka aliran permukaan akan semakin potensial untuk mengakibatkan erosi

tanah.

Secara umum dari kondisi topografi, iklim, hidrologi, dan penggunaan lahan

di sub DAS Lau Biang ada satu peluang untuk pengembangan perkebunan, kehutanan

Universitas Sumatera Utara


dan juga sektor pertanian tanaman pangan sebagai sumber utama dalam memenuhi

kebutuhan hidup penduduk.

4.2. Penilaian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi

Hasil prediksi besarnya erosi di setiap penggunaan lahan di sub DAS Lau

Biang menggunakan metode USLE diperoleh besar erosi tanah sangat bervariasi dari

rendah sampai sangat tinggi.

Besarnya nilai erosi yang terjadi dengan menggunakan metode USLE

dikarenakan penggunaan nilai-nilai tetapan faktor yang mempengaruhi erosi tanah itu

sendiri. Yaitu nilai-nilai faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya erosi

tanah dalam prediksi USLE sudah ditetapkan sebelumnya. Penggunaan koefisien

tetapan-tetapan tersebut mengakibatkan erosi tanah yang terjadi dengan

menggunakan prediksi USLE sangat tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh data curah

hujan yang diperlukan tidak lengkap. Dari data curah hujan yang tersedia dengan

jumlah curah hujan rata-rata sebesar 3137,8 mm/thn sehingga mengakibatkan faktor

erosivitas tinggi (2065,17 cm/thn).

Perhitungan laju erosi tanah dengan metode prediksi USLE semua faktor yang

mempengaruhi erosi (erosivitas hujan, erodibilitas tanah, topografi, tanaman, dan

teknik konservasi) di uraikan secara terpisah. Nilai-nilai faktor yang mempengaruhi

erosi tersebut telah ditentukan sebelumnya, dengan kata lain mungkin faktor-faktor

tersebut tidak sesuai dengan lahan yang sedang diukur laju erosinya.

Universitas Sumatera Utara


Namun, prediksi USLE perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor-

faktor yang mempengaruhi erosi tanah secara terurai atau dijabarkan. Sehingga setiap

faktor yang mempengaruhi erosi tanah di uraikan satu persatu. Hal ini bisa digunakan

sebagai bahan pembelajaran di laboratorium (pengukuran laju erosi skala

laboratorium).

Erosi ditoleransikan (T) sangat berkaitan dengan tingkat bahaya erosi (TBE),

karena semakin besar nilai T dengan besar erosi tanah (A) sama, maka TBE akan

semakin rendah dan sebaliknya, jika T semakin kecil maka TBE akan semakin tinggi.

Jadi hubungan antara T dengan TBE sangat nyata dalam penentuan tingkat kepekaan

tanah terhadap erosi.

4.2.1. Nilai Erosivitas Hujan (R) di Sub DAS Lau Biang

Dalam Arsyad (2006), besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan oleh lima

faktor utama yaitu, erosivitas hujan, erodibiltas tanah, bentuk lahan, vegetasi penutup

tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. Faktor-faktor ini sangat mempengaruhi laju

erosi tanah yang merupakan proses penting dalam pembentukan suatu daerah aliran

sungai serta memiliki konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS

tersebut, di mana bentuk dan kondisi fisik suatu DAS sangat berpengaruh terhadap

laju erosi dan sendimentasi (Linsley, et al, 1996).

Data rata-rata curah hujan bulanan (Lampiran 14), jumlah hari hujan bulanan

(Lampiran 15) dan curah hujan maksimum selama 24 jam (Lampiran 16) untuk kurun

waktu 10 tahun. Selanjutnya rata-rata curah hujan bulanan, jumlah hari hujan

Universitas Sumatera Utara


bulanan, dan curah hujan maksimum selama 24 jam, serta nilai erosivitas hujan (R)

bulanan dan tahunan di Sub DAS Lau Biang disajikan pada Lampiran 17.

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai erosivitas hujan tahunan adalah

2065,17 cm/thn dengan distribusi nilai R bulanan tertiggi pada bulan Februari, yaitu

310,20 cm/bln, selanjutnya diurutan kedua dan ketiga pada bulan Mei dan bulan April

dengan nilai erosivitas (R) masing-masing 259,30 cm/bln dan 245,20 cm/bln.

Pada bulan Februari rata-rata curah hujan, rata-rata hari hujan, dan hujan

maksimum masing-masing sebesar 34,67 cm, 71,67 hari, dan 22,20 cm. besarnya

nilai-nilai itu menyebabkan adanya kemungkinan terjadi erosi tanah pada bulan

tersebut dengan potensi yang cukup besar. Demikian juga pada bulan Mei dan April.

Tabel 12. Curah Hujan Bulanan Rata-rata, Hari Hujan Rata-rata, Curah Hujan
Maksimum Selama 24 Jam, dan Nilai Erosivitas Hujan di sub-DAS
Lau Biang

Bulan CH Bulanan HH Bulanan CH maks. Nilai Erosivitas


Rata-rata (cm) Rata-rata (hari) Selama 24 Hujan (R)
*) *) jam/bln (cm) *) (cm/thn) **)
Januari 22,32 70,67 13,10 138,50
Februari 34,67 71,67 22,20 310,20
Maret 30,40 68,00 15,30 223,00
April 36,71 97,83 16,48 245,20
Mei 31,57 67,50 18,58 259,30
Juni 16,23 57,00 8,72 84,02
Juli 8,64 44,80 4,82 32,00
Agustus 16,28 52,50 5,92 71,39
September 24,50 50,70 7,53 135,00
Oktober 35,70 67,00 9,28 209,00
November 30,00 72,70 12,70 192,00
Desember 26,81 78,17 10,18 165,90
Total 313,78 778,50 144,80 2065,17
Ket : *) Data diperoleh dari BMKG Medan
**) Dihitung dengan Rumus Bols (1978)

Dari tabel juga dapat dilihat pada bulan Juli nilai erosivitas paling rendah,

diikuti bulan Agustus dan Juni, yaitu masing-masing sebesar 32,00 cm/bln, 71,39

Universitas Sumatera Utara


cm/bln, dan 84,02cm/bln. Pada bulan rata-rata curah hujan, rata-rata hari hujan, dan

rata-rata curah hujan maksimum masing-masing sebesar 8,64 cm, 44,80 hari, dan

4,82 cm. nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Juli peluang terjadinya

erosi tanah cukup rendah. Demikian pula pada bulan Agustus dan Juni.

Secara umum pada bulan Februari, Maret, April, Mei, Oktober, November,

dan Desember nilai erosivitas hujan tinggi, sedang pada bulan Januari, Juni, Juli,

Agustus dan September nilai erosivitas hujan rendah, data curah hujan dan

perhitungan curah hujan (erosivitas) pada Lampiran 2 s/d 19.

Distribusi nilai R bulanan dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan

waktu pengelolaan lahan tanaman, sehingga dapat memperkecil terjadinya erosi tanah

yang mungkin terjadi. Pada bulan dengan nilai erosivitas hujan (R) yang tinggi

diupayakan menghindari pengolahan lahan dan pembersihan dari gulma, bahkan

kalau bisa diterapkan penggunaan penutup permukaan lahan berupa mulsa, bisa

berupa seresah daun-daunan atau panambahan bahan organik lainnya, untuk

mepertahankan agregat tanah. Penggunaan mulsa akan memperlambat aliran

permukaan.

Sesuai dengan yang diungkapkan Agus dan Widianto (2004) dan Arsyad

(2006) erosivitas hujan merupakan faktor alami yang hampir tidak mungkin di kelola.

Jadi besarnya nilai erosivitas hujan yang terjadi di kawasan sub DAS Lau Biang

merupakan tetapan yang tidak mungkin diperkecil, kecuali memperkecil laju erosi

dengan mengelola faktor-faktor erosi yang lain.

Universitas Sumatera Utara


4.2.2. Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Nilai erodibilitas setiap penggunaan lahan bervariasi, erodibilitas merupakan

kepekaan tanah terhadap pukulan (energi kinetik) butiran air hujan dan penghanyutan

oleh aliran permukaan. Tanah yang erodibilitasnya tinggi akan rentan terkena erosi,

bila dibandingkan dengan tanah yang erodibilitasnya rendah. Nilai erodibilitas

diperoleh dengan pengamatan sifat fisika dan kimia tanah. Erodibilitas pada lahan

hutan antara 0,18-0,75, pada lahan agroforestri antara 0,17-0,48, pada lahan jagung

(Zea mays) antara 0,15-0,33, pada lahan jeruk manis (Citrus sinensis) antara 0,15-

0,54 dan kopi arabika (Coffea arabica) antara 0,12-0,72. Nilai dan contoh

perhitungan erodibilitas (K) pada setiap penggunaan lahan dapat dilihat pada

Lampiran 23, 32, 41, 50, 59.

Faktor yang mempengaruhi erodibilitas tanah dari berbagai tipe penggunaan

lahan, yaitu:

1) Nilai tekstur tanah (M), Nilai ini mempengaruhi kepekaan tanah terhadap

bahaya erosi. Di lahan hutan antara 1.804,65-6.643,17, di lahan agroforestri

antara 1.719,36-4.403,2, di lahan jagung (Zea mays) antara 1.506,75-3.097,5,

dilahan jeruk manis (Citrus sinensis) antara 1.522,29-4.949,91 dan di lahan

tanaman kopi arabika (Coffea arabica) antara 1.204,06-6.352,21. Di setiap

tipe penggunaan lahan, dijumpai bahwa kandungan debu sangat berpengaruh

terhadap nilai M, yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi seperti

dapat dilihat nilai tektur tanah (M) dan contoh perhitungannya setiap

penggunaan lahan pada Lampiran 20, 29, 38, 47, 56.

Universitas Sumatera Utara


2) Setiap Lahan di sub DAS Lau Biang memiliki kandungan C-Organik untuk

lahan hutan antara 0,0066-0,0072, lahan agroforestry 0,012-0,014, lahan

tanaman jagung (Zea mays) 0,002-0,006, lahan tanaman jeruk manis (Citrus

sinensis) 0,006-0,007 dan lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) antara

0,003-0,005, kandungan C-Organik pada tanah lahan tanaman jagung (Zea

mays), kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis) rendah

dikarenakan pada lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk

manis (Citrus sinensis) dominan bersih vegetasinya dan juga bersih dari

sumber bahan organik, karena diusahakan permukaan lahan bebas dari gulma

dan hanya ditumbuhi oleh tanaman utama. Penyinaran pun relatif merata

sehingga permukaan lahan kering dan dekomposisi bahan organik yang

jumlahnya sedikit malah membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan

dengan penggunaan lahan lainnya terutama di hutan, yang berpengaruh

terhadap kemampuan tanah untuk menahan erosi tanah. Di mana bahan

organik tanah berperan sebagai bahan untuk meningkatkan kemampuan tanah

menahan air (sifat fisika tanah), meningkatkan daya serap dan kapasitas tukar

kation (KTK) (sifat kimia tanah), dan peningkatan jumlah dan aktivitas

metabolik organisme tanah (sifat biologi tanah). Rendahnya kandungan C-

Organik tanah di lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk

manis (Citrus sinensis) menyebabkan tanah menjadi semakin peka terhadap

erosi. Hal ini sesuai dengan Rahim (2003), yang menyatakan bahwa tanah

dengan kandungan bahan organik tanah kurang dari 2 persen biasanya paling

Universitas Sumatera Utara


peka terhadap erosi. Menurut Suratman (2008), usaha konservasi yang sangat

minimal merupakan faktor yang secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang

lama akan menyebabkan erosi. Pengaruh dalam jangka pendek akan

menyebabkan terdegradasinya kesuburan tanah dan dalam jangka panjang

apabila tidak diatasi akan menyebabkan hancurnya lahan pertanian.

Penggunaan lahan yang intensif sepanjang waktu juga sangat mendukung/

mempercepat proses erosi karena hilangnya penutup lahan (cover crops).

Nilai C-Organik yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi dan

perhitungannya seperti dapat dilihat pada Lampiran 21, 30, 39, 48, 57.

3) Struktur tanah (b), tanah yang diambil sebagai sampel pada setiap penggunaan

lahan yang dijadikan pengambilan data diperoleh struktur tanahnya gumpal,

lempeng, bersudut, dengan nilai 4 pada Tabel 5. Struktur tanah juga turut

dalam mempengaruhi kepekaan tanah terhadap besarnya erosi yang akan

terjadi. Semakin besar nilai koefisien struktur tanah, maka tanah akan semakin

peka terhadap erosi dan sebaliknya, jika nilai koefisien struktur tanah kecil

maka kepekaan tanah terhadap erosi juga akan rendah.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (2000) bahwa beberapa sifat tanah

yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman,

sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Tanah yang diteliti untuk

setiap penggunaan lahan pada sub DAS Lau Biang adalah sama, yaitu tanah

Hydrandepts merupakan tanah andosol yang berasal dari bahan induk abu dan

volkan yang berada di daerah dataran, bergelombang dan berbukit. Corak

Universitas Sumatera Utara


tanah ini bertekstur dari lempung hingga debu dan mempunyai sifat kepekaan

terhadap erosi yang besar, baik terhadap erosi air maupun erosi angin, nilai

(b), dapat dilihat pada Lampiran 21, 30, 39, 48, 57.

4) Di setiap penggunaan lahan nilai laju permeabilitas cepat sampai dengan

sangat cepat pada lahan hutan antara 183,53-424,62, pada lahan agroforestri

antara 144,29-433,33, pada lahan jagung (Zea mays) antara 94,2857-

327,6923, pada lahan jeruk manis (Citrus sinensis) antara 174,71-283,2, pada

lahan kopi arabika (Coffea arabica) antara 125,33-315,79, seperti tercantum

dalam Lampiran 22, 31, 40, 49, 58. Permeabilitas merupakan kemampuan

tanah dalam melewatkan air. Nilai permeabilitas tanah sangat dipengaruhi

oleh tekstur dan struktur tanah.

Dari hasil pengamatan di lapangan dan penggunaan data permeabilitas tanah

dalam prediksi erosi tanah, diperoleh bahwa pengaruh laju permeabilitas tanah

dengan kepekaan tanah terhadap erosi berbanding terbalik. Sehingga semakin tinggi

laju permeabilitas, maka kepekaan tanah terhadap erosi semakin rendah.

4.2.3. Faktor Topografi (LS)

Ada dua hal yang mempengaruhi faktor topografi yakni kemiringan lereng (S)

dan panjang lereng (L). Nilai faktor topografi (LS) pada setiap penggunaan lahan

dapat dilihat pada Lampiran 24, 33, 42, 51, 60 dan Lampiran Gambar 6 Peta Lereng

Kawasan Sub DAS Lau Biang (BP-DAS WU, 2009).

Dari lampiran tersebut dapat dilihat bahwa kemiringan lereng pada setiap

penggunaan lahan tanaman rata-rata di atas 32,68%. Dengan kemiringan paling besar

Universitas Sumatera Utara


(36,67%), sedangkan yang terendah sebesar 26,79%. Hal ini menunjukkan bahwa

lereng tersebut merupakan lereng yang curam sehingga rentan terhadap bahaya erosi.

Sesuai dengan pernyataan Sinukaban (1986) yang menyebutkan bahwa selain dari

memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar

kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air.

Dengan makin curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh

tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan dua kali lebih curam,

banyaknya erosi 2 sampai 2,5 kali lebih besar.

Panjang lereng yang diamati di lapangan merupakan panjang lereng seragam

yang memiliki kemiringan lereng yang sama di lapangan. Air yang mengalir

di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng, dengan demikian lebih banyak

air yang mengalir akan makin besar kecepatan di bagian bawahnya sehingga erosi

lebih besar pada bagian bawah, hal ini diakibatkan karena bertambahnya kecepatan

aliran permukaan. Sehingga makin panjang lereng, makin tinggi potensial erosi yang

akan terjadi. Hal ini sesuai dengan Wischmeier and Smith (1978) yang menyatakan

bahwa makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena

akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin

tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula. Hal ini

sesuai dengan penyataan Suratman (2008), dengan lereng yang terjal pada bagian-

bagian tertentu suatu lahan sangat riskan terhadap bahaya erosi. Karena lereng >5%

merupakan lereng yang sudah mulai riskan apabila dikelola dengan pola pengelolaan

intensif.

Universitas Sumatera Utara


4.2.4. Faktor Vegetasi (C) dan Faktor Manusia/Tindakan Konservasi (P)

Faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi tanah merupakan faktor

penting dalam erosi. Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa vegetasi dan tindakan

konsrtvasi sangat beragam. Pada pengelolaan tanaman hutan nilai CP yakni 0,01

(Hutan tanpa tumbuhan rendah) dan Agroforestri Nilai CP yakni 0,07 (tanaman

campuran), seperti Lampiran 25 dan 34. Untuk tanaman jagung (Zea mays) nilai C

yakni 0.2, tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis)

nilai C yakni 0,30 seperti Lampiran 43, 52, 61.

Berubahnya fungsi hutan menjadi penggunaan pertanian maupun usaha tani

lainnya menyebabkan perubahan kondisi fisika tanahnya. Permukaan tanah yang

lebih terbuka memungkinkan aliran air sulit ditahan oleh tanah sehingga dapat

mengakibatkan aliran air di permukaan tanah lebih cepat. Ini disebabkan kanopi

penutup tanah dari tajuk tanaman hutan sudah tidak ada dan digantikan dengan

kanopi tanaman budidaya yang lebih sedikit jumlahnya. Penanggulangan erosi

melalui pengelolaan tanaman dapat dilakukan dengan tanaman penutup tanah yang

memiliki peranan besar dalam menghambat dan mencegah erosi karena dapat

menghalangi tumbukan langsung butir-butir hujan dan dapat mengurangi kecepatan

aliran permukaan.

Teknik konservasi lahan (P) pada setiap penggunaan lahan masih belum

melaksanakan kegiatan tersebut, teknik konservasi yang diterapkan di kawasan sub

DAS Lau Biang di lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis

(Citrus sinensis) masih menggunakan teknik konservasi strip tanaman dengan kontur

Universitas Sumatera Utara


(0,2), teras tradisional (0,4) dan pengolahan tanah dan penanaman menurut garis

kontur (0,75) sedangkan pada tanaman jagung (Zea mays) menggunakan teknik

konservasi strip tanaman dengan kontur (0,2) dan pengolahan tanah dan penanaman

menurut garis kontur (0,75) seperti pada Lampiran 43, 52, 61. Hal ini menunjukkan

masih minimnya tindakan konservasi untuk mencegah terjadinya erosi.

Faktor tanaman dan pengelolaan lahan merupakan faktor erosi tanah yang

paling mungkin dikelola untuk menurunkan atau memperkecil laju erosi pada suatu

lahan. Karena kedua faktor ini merupakan hal yang mudah untuk dilakukan (dirubah)

terutama dalam menyesuaikan dengan kemampuan suatu lahan dalam

pengelolaannya. Dengan kata lain faktor tanaman dan teknik pengelolaan tanah bisa

disesuaikan dengan kemampuan lahan jika diketahui seberapa besar pengaruh faktor

erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi) dan faktor erosivitas hujan.

4.3. Pengukuran Laju Prediksi Erosi

4.3.1. Erosi Prediksi

Hasil penghitungan erosi menggunakan persamaan USLE pada lima jenis

penggunaan lahan di kawasan Sub DAS Lau Biang dari 22 titik pengamatan pada

lahan dengan kemiringan lereng 34-37%, diperoleh hasil untuk penggunaan lahan

hutan antara 15,45 – 68,49 ton/(ha.thn), pada lahan agroforestri antara 99,63 – 298,37

ton/(ha.thn), pada lahan tanaman jagung (Zea mays) 63,49 – 316,05 ton/(ha.thn), pada

lahan tanaman jeruk manis (Citrus sinensis) antara 86,37 – 609,86 ton/(ha.thn) dan

pada lahan tanaman kopi arabika (Coffea arabica) antara 109,76 – 688,61

Universitas Sumatera Utara


ton/(ha.thn), disajikan pada Lampiran 26, 35, 44, 53, 62. Perhitungan nilai erosi

prediksi (A) setiap penggunaan lahan.

Tabel 13. Rataan Besarnya Erosi Prediksi di Sub DAS Lau Biang (Kawasan
Hulu DAS Wampu) pada Kemiringan Lereng 34-37%

No. Jenis Penggunaan Lahan Rataan Erosi


(ton/(ha.thn))
1 Hutan sekunder 36,07
2 Sistem Agroforestri 182,75
3 Jagung (Zea mays) 168,95
4 Jeruk Manis (Citrus sinensis) 335,95
5 Kopi Arabika (Coffea arabica) 344,08
Sumber: Hasil Penghitungan Menggunakan Data Primer Pengukuran Lapangan (2009).

Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa rataan erosi terbesar terjadi pada

pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) sebasar 344,08 ton/(ha.thn) diikuti

kemudian pada pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis) sebesar 335,95 ton/(ha.thn),

Agroforestri 182,75 ton/(ha.thn), jagung (Zea mays) sebesar 168,95 ton/(ha.thn) dan

terkecil pada kawasan hutan sekunder sebesar 36,07 ton/(ha.thn). Rataan erosi

terkecil yang terjadi pada lahan yang digunakan untuk pertanaman jagung yang justru

lebih kecil dibandingkan pada lahan yang digunakan untuk sistem pertanaman

campuran hutan dan tanaman pertanian (sistem agroforestri). Kisaran besarnya erosi

di Sub DAS Lau Biang, sebagaimana tertera pada Tabel 13 lebih kurang sama dengan

erosi yang terjadi di Sub DAS Sumani Solok Sumatera Barat. Saidi (2001)

melaporkan bahwa erosi yang terjadi di Sub DAS Sumani, pada lima Sub-Sub DAS

yang ditelitinya yaitu Sub-sub DAS Lembang, Gawan, Aripan, Imang, dan Sumani,

berkisar antara 141,94 ton/(ha.thn) hingga 436,7 ton/(ha.thn).

Universitas Sumatera Utara


Perbedaan dan selisih besarnya erosi dari masing-masing jenis penggunaan

lahan cukup mencolok terutama antara erosi pada penggunaan lahan hutan sekunder

dengan erosi yang terjadi pada jenis penggunaan lainnya, sebagaimana dapat dilihat

pada Tabel 14.

Tabel 14. Selisih Rataan Erosi (ton/(ha.thn)) dari Masing-masing Jenis


Penggunaan Lahan di Sub DAS Lau Biang pada Kemiringan
Lereng 34-37%

No. Antar Jenis Penggunaan Lahan Selisih


Erosi
1. Agroforestry dengan Hutan 146,68
2. Jagung (Zea mays) dengan Hutan 132,88
3. Jeruk manis (Citrus sinensis) dengan Hutan 299,88
4. Kopi arabika (Coffea arabica) dengan Hutan 308,01
5. Agroforestry dengan Jagung (Zea mays) 13,78
6. Jeruk manis (Citrus sinensis) dengan Agroforestry 153,21
7. Kopi arabika (Coffea arabica) dengan Agroforestry 161,33
8. Kopi arabika (Coffea arabica) dengan Jagung (Zea mays) 175,11
9. Jeruk manis (Citrus sinensis) dengan Jagung (Zea mays) 166,98
10. Kopi arabika (Coffea arabica) dengan Jeruk manis (Citrus 8,12
sinensis)

Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa rataan erosi yang terjadi pada sistem

agroforestry, pertanaman jagung (Zea mays), jeruk manis (Citrus sinensis) dan kopi

arabika (Coffea arabica) lebih besar selisihnya dibandingkan rataan erosi pada sistem

hutan (selisihnya 132,88 – 308,01 ton/(ha.thn)). Dari Tabel 14 dapat pula diketahui

bahwa erosi yang terjadi pada sistem agroforestri dan pertanaman jagung (Zea mays)

serta erosi yang terjadi pada pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk

manis (Citrus sinensis) selisihnya tidak begitu besar, meskipun erosi yang terjadi

pada sistem agroforestri lebih besar dari erosi yang terjadi pada pertanaman jagung

Universitas Sumatera Utara


(Zea mays) dengan selisih 13,78 to/ha/thn dan erosi yang terjadi pada pertanaman

kopi arabika (Coffea arabica) lebih besar dari erosi yang terjadi pada pertanaman

jeruk manis (Citrus sinensis) dengan selisih 8,12 ton/(ha.thn).

Selanjutnya dapat diketahui bahwa erosi pada pertanaman jeruk manis (Citrus

sinensis) dan kopi arabika (Coffea arabica) selisihnya lebih besar bila dibandingkan

dengan erosi yang terjadi pada sistem agroforestri dan pertanaman jagung (Zea mays)

dengan selisih berkisar antara 153,21 – 175,11 ton/(ha.thn) (Tabel 14).

Besarnya rataan erosi yang terjadi pada masing-masing penggunaan lahan

di Sub DAS Lau Biang ini dapat saja terjadi karena kajian erosi ini dilakukan pada

lahan dengan kemiringan lereng yang tergolong curam (26-40%) atau persisnya pada

kemiringan lereng 34% hingga 37%. Namun demikian, erosi yang terjadi pada hutan

sekunder di lokasi kajian ini sebesar 36,07 ton/(ha.thn) (Tabel 13) masih lebih kecil

dibandingkan erosi yang terjadi pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus

dan rumput pakan alami di Sub DAS Cikapundung Bandung Utara sebesar 126,71

ton/(ha.thn), sedangkan pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus dan

rumput pakan ternak sebesar 289,51 ton/(ha.thn) (Sutrisna dan Sitorus, 2009).

Dibandingkan dengan erosi yang terjadi pada kawasan hutan di DTA Waduk

Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, erosi yang terjadi pada kawasan hutan

di Sub DAS Lau Biang (36,07 ton/(ha.thn)) ini masih sama dan bahkan lebih kecil.

Ariyanto, Sunarminto, dan Shiddieq (2008) melaporkan bahwa erosi pada hutan yang

tidak terusik di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebesar 34,2

Universitas Sumatera Utara


ton/(ha.thn) sementara erosi pada hutan yang terusik di kawasan yang sama sebesar

65,9 ton/(ha.thn).

Sebelumnya, Sukresno (1993) juga melaporkan bahwa erosi yang terjadi

di kawasan hutan Waduk Gajah Mungkur (di hulu DAS Bengawan Solo) sebesar 82,2

ton/(ha.thn), sedangkan pada lahan pekarangan yang merupakan kebun campuran

erosinya sebesar 138 ton/(ha.thn) dan pada lahan tegalan yang ditanami tanaman

semusim (padi gogo, jagung, kedele, kacang tanah dan ketela pohon) di sekitar

Waduk Gajah Mungkur tersebut erosinya berkisar antara 211,5-729,4 ton/(ha.thn).

Tingginya erosi yang terjadi pada sistem agroforestri yang masih lebih tinggi

dibandingkan pada pertanaman jagung (Zea mays), hal ini dapat terjadi karena sistem

agroforestri yang terdapat di wilayah ini merupakan sistem agroforestri yang belum

sepenuhnya bertujuan untuk perlindungan (proteksi) terhadap degradasi lahan

(lingkungan) terutama dalam mengendalikan erosi. Seperti telah diuraikan

sebelumnya bahwa sistem agroforestri di wilayah ini masih bersifat tradisional atau

subsistem yang terjadi karena tidak disengaja ataupun karena ada bagian lahan yang

tidak dapat digunakan untuk pertanaman tanaman semusim sehingga ditanami

tanaman pohon atau pada lahan bekas hutan yang sebagian pepohonannya diganti

untuk tanaman pertanian.

Namun demikian, rerata besarnya erosi yang terjadi pada sistem agroforestri

di lokasi kajian tersebut sebesar 182,75 ton/(ha.thn) (Tabel 13) atau pada kisaran

99,63-298,37 ton/(ha.thn) (Lampiran 35), tidak jauh berbeda dengan erosi yang

terjadi pada sistem agroforestri atau kebun campuran di Sub DAS Cibogo DAS

Universitas Sumatera Utara


Ciliwung sebesar 71-197 ton/(ha.thn) dan di Sub DAS Cigadog DAS Ciliwung

sebesar 65-170 ton/(ha.thn) (Pawitan dan Sinukaban, 2007). Rauf (2004) juga

mendapatkan bahwa erosi yang terjadi pada sistem agroforestri di kawasan

penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), terutama pada tipe

agrosilvikultur dengan kemiringan lereng 30-40% berkisar antara 47,00-262,17

ton/(ha.thn) atau rata-rata sebesar 136,79 ton/(ha.thn). Sistem agroforestri yang dapat

menekan laju erosi menjadi rata-rata sebesar 79,84 di kawasan penyangga TNGL

adalah sistem agroforestri dengan tipe agrosilvopastural yang merupakan kombinasi

antara pepohonan hutan dengan tanaman pertanian dan rumput pakan ternak di lahan

selanya.

Besarnya erosi pada pertanaman jagung (Zea mays) di lokasi kajian yang

berkisar antara 63,5-316,1 ton/ha/tahun (Lampiran 44) atau rerata 168,95 ton/(ha.thn)

(Tabel 13) tersebut masih lebih kecil bila dibandingkan dengan erosi pada

pertanaman jagung hasil penelitian Sinukaban (2007). Pada penelitian pengaruh

pengolahan tanah konservasi dan pemberian mulsa jerami terhadap produksi tanaman

pangan dan erosi hara di kebun percobaan konservasi tanah dan air IPB Bogor,

Sinukaban (2007) mendapatkan bahwa erosi pada pola pertanaman kacang tanah-

jagung yang diperlakukan dengan tanpa mulsa sebesar 916 ton/(ha.thn), sementara

yang diberi mulsa jerami sebanyak 30%, 60% dan 90% menyebabkan erosi masing-

masing sebesar 602 ton/(ha.thn), 408 ton/(ha.thn), dan 391 ton/(ha.thn). Coster dalam

Arsyad (2006) juga mendapatkan erosi yang tinggi sebesar 345 ton/(ha.thn) pada

lahan alang-alang yang diolah dan ditanami jagung-kacang tanah.

Universitas Sumatera Utara


Supangat dan Savitri (2001) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi

di lahan tegalan yang ditanami jagung di DAS Surakarta, tepatnya di DAS Mikro

Dukuh Kebondalem Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten

Wonosobo Jawa Tengah, sebesar 188,91 ton/(ha.thn) yang masih lebih besar bila

dibandingkan erosi yang terjadi pada lahan pertanaman jagung di lokasi kajian (Sub

DAS Lau Biang) ini dengan rata-rata sebesar 168,95 ton/(ha.thn) (Tabel 13).

Rerata erosi yang terjadi pada pertanaman kopi arabika (Coffea arabica)

di lokasi kajian sebesar 344,08 ton/(ha.thn) tidak berbeda jauh dengan rerata erosi

pada pertanaman jeruk manis sebesar 335,95 ton/(ha.thn) (Tabel 13) hal tersebut lebih

kurang sama dengan erosi yang terjadi pada perkebunan rakyat di Sub DAS Simbelin

Kabupaten Dairi Sumatera Utara, sebagaimana dilaporkan oleh Idris (2005) sebesar

320,2 ton/(ha.thn). Selanjutnya Sutrisna dan Sitorus (2009) melaporkan bahwa ladang

atau perkebunan campuran berbasis tanaman kopi di Sub DAS Cikapundung

Kawasan Bandung Utara menyebabkan erosi antara 141,23 ton/(ha.thn) hingga

203,45 ton/(ha.thn).

Besarnya erosi yang terjadi di lahan pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis)

dan kopi arabika (Coffea arabica) ini dapat terjadi karena seperti telah diuraikan

di atas, pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis)

di lokasi kajian pada lahan dengan kemiringan lereng 34-37% (curam) tersebut belum

sepenuhnya menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang efektif. Lahan sela

pada lahan kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis) dewasa

(tanaman menghasilkan) ini cenderung bersih dan bahkan sebagian ditanami tanaman

Universitas Sumatera Utara


semusim (sayuran). Teras yang adapun masih merupakan teras tradisional yang

belum sepenuhnya mengikuti garis kontur sehingga justru dapat lebih meningkatkan

erosi. Sistem pertanaman pada lahan miring (curam) seperti ini seharusnya disertai

tindakan konservasi tanah yang efektif seperti pembuatan teras bangku sejajar garis

kontur yang diperkuat dengan strip rumput pada bibir teras (Arsyad, 2006;

Sinukaban, Suwardjo, dan Barus, 2007).

4.4. Laju Erosi Ditoleransikan (T)

Dapat diketahui bahwa erosi yang ditoleransikan di lokasi kajian Laju erosi

yang ditoleransikan (T) pada setiap penggunaan lahan di Sub DAS Laubiang pada

lahan hutan berkisar antara 22,47-25,03 ton/(ha.thn), pada lahan agroforestri berkisar

antara 24,99-28,61 ton/(ha.thn), pada lahan tanaman jagung (Zea mays) berkisar

antara 21,83-27,12 ton/(ha.thn), pada lahan tanaman jeruk manis (Citrus sinensis)

berkisar antara 27,03-28,89 ton/(ha.thn) dan pada lahan tanaman kopi arabika

(Coffea arabica) 25,5-28,35 ton/(ha.thn). Dari data di atas diperoleh besar nilai erosi

yang ditoleransikan yang terendah sebesar 21,83 ton/(ha.thn) dan yang tertinggi

sebesar 28,89 ton/(ha.thn). Nilai erosi ditoleransikan di Sub DAS Lau Biang ini lebih

kurang sama dengan yang diperoleh Rauf (2004) di kawasan penyangga Taman

Nasional Gunung Leuser sebesar 27,63-31,55 ton/(ha.thn). Marwah, Sinukaban,

Murtilaksono, Sanim, dan Ginting (2008) juga mendapatkan bahwa erosi yang dapat

ditoleransikan (erosi ditoleransikan) di Sub DAS Konaweha Sulawesi Tenggara

berkisar antara 22,4 ton/(ha.thn) hingga 42,2 ton/(ha.thn).

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya Supangat dan Savitri (2001) juga mendapatkan bahwa erosi yang

masih diperkenankan di lahan pertanaman tumpang sari (agrosilvicultural) antara

sengon muda dengan kopi muda di DAS Surakarta (lokasi kajian di DAS Mikro

Dukuh Kebondalem Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten

Wonosobo Jawa Tengah) sebesar 42 ton/(ha.thn), sedangkan pada tumpang sari

sengon tua dengan kopi tua sebesar 40,8 ton/(ha.thn), dan antara sengon tua dengan

kopi muda sebesar 49,2 ton/(ha.thn). Erosi ditoleransikan (diperkenankan) pada

pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila

dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang

digunakan untuk pertanaman jagung sebesar 25,2 ton/(ha.thn) (Supangat dan Savitri,

2001). Nilai erosi yang ditoleransikan (T) dapat dilihat pada Lampiran 27, 36, 45, 54,

63.

4.5. Tingkat Bahaya Erosi

Tingkat bahaya erosi (TBE) yang diperoleh melalui pembandingan erosi

aktual dengan erosi ditoleransikan di kawasan Sub DAS Lau Biang bervariasi dari

tingkat sedang hingga sangat tinggi (Tabel 15). Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa

tingkat bahaya erosi pada penggunaan lahan untuk hutan sekunder tergolong sedang

(berada pada kisaran nilai TBE antara 0,68-2,85 atau persisnya 1,55), sedangkan pada

sistem agroforestri dan pertanaman jagung tergolong tinggi (berada pada kisaran nilai

TBE antara 4,01-10,00), dan pada pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis) dan kopi

arabika (Coffea arabica) tergolong sangat tinggi (berada pada nilai TBE >10,00).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 15. Besarnya Erosi Ditoleransikan dan Tingkat Bahaya Erosi pada Lima
Jenis Penggunaan Lahan di Sub DAS Lau Biang

Jenis Penggunaan Rataan Erosi Rataan Erosi Tingkat Tingkat


Lahan (ton/(ha.thn)) Ditoleransikan Bahaya Erosi Bahaya Erosi
(ton/(ha.thn)) (TBE) (TBE)
1. Hutan 36,07 23.36 1,47 Sedang
2. Agroforestri 182,75 26.82 6,80 Tinggi
3. Jagung (Zea mays) 168,95 23.88 7,13 Tinggi
4. Jeruk manis (Citrus 335,95 27.76 12,11 Sangat tinggi
sinensis)
5. Kopi abika (Coffea 344,08 26.76 12,92 Sangat tinggi
arabica)
Sumber: Hasil Penghitungan Menggunakan Data Primer Pengukuran Lapangan (2009).

Tingkat bahaya erosi yang sedang pada kawasan hutan di Sub DAS Lau Biang

masih tergolong lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat bahaya erosi yang tinggi

(berat) hingga sangat tinggi (sangat berat) sebagaimana terjadi pada kawasan hutan

di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Ariyanto, et al, 2008).

Sementara tingkat bahaya erosi yang tinggi pada sistem agroforestri di Sub DAS Lau

Biang sama dengan tingkat bahaya erosi pada sistem agroforestri di DTA Waduk

Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang juga tinggi atau berat dengan indeks

bahaya erosi antara 4,01-10,00 (Ariyanto, et al, 2008). Nilai TBE dapat dilihat pada

Lampiran 28, 37, 46, 55,64.

4.6. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi

Tiga tindakan konservasi tanah yang dilakukan pada pertanaman kopi arabika

(Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis) dan dua tindakan konservasi tanah

yang dilakukan pada pertanaman jagung (Zea mays) dan di Sub DAS Lau Biang

belum menunjukkan penurunan erosi yang berarti. Meskipun erosi pada strip tanaman

Universitas Sumatera Utara


sejajar kontur dengan tanpa olah tanah (TOT) menghasilkan erosi yang lebih kecil

dan berbeda nyata dibandingkan erosi pada teknik konservasi lainnya pada ketiga

jenis penggunaan lahan jagung (Zea mays), kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk

manis (Citrus sinensis), namun jumlah erosi yang dihasilkan masih tinggi (Tabel 16)

melebihi erosi yang ditoleransikan (Tabel 15), sehingga tingkat bahaya erosinya

masih tergolong sedang pada pertanaman jagung (Zea mays), tinggi (berat) pada

pertanaman kopi arabika (Coffea arabica), dan sangat tinggi (sangat berat) pada

pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis).

Erosi tertinggi terjadi pada teknik konservasi berupa penanaman menurut

garis kontur yang sebelumnya dilakukan pengolahan tanah. Hal ini dapat terjadi

karena tindakan pengolahan tanah yang intensif meskipun dilakukan penanaman

menurut garis kontur dapat mendorong besarnya tanah terangkut limpasan

permukaan, apalagi lahan selanya cenderung bersih dari tanaman penutup tanah

(cover crops). Tanaman penutup tanah yang kurang dan tindakan pengolahan tanah

yang intensif akan membantu memudahkan pemecahan (pendispersian) agregat

(butir-butir) tanah sehingga mudah terbawa oleh air limpasan (Arsyad, 2006;

Sinukaban, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 16. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada Tiga
Jenis Penggunaan Lahan di Sub DAS Lau Biang

Tindakan Konservasi Rataan Erosi pada Rataan Erosi pada Rataan Erosi
Tanah Lahan Jagung Lahan Jeruk pada Lahan
(ton/(ha.thn)) Manis Kopi Arabika
(ton/(ha.thn)) (ton/(ha.thn))
Strip tanaman sejajar
kontur (tanpa olah tanah) 86.90b 336.85b 203.15b
Pengolahan tanah dan
penanaman menurut garis 269.46a 403.93a 473.70a
kontur
Teras tradisional - 380.85ab 393.44ab
Ket: Rataan erosi pada setiap penggunaan lahan yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada p.05 secara statistika menggunakan post hoc tests one
way anova (SPSS).

Sumber: Hasil Penghitungan Menggunakan Data Primer Pengukuran Lapangan (2009)

Teras tradisional berupa teras tanpa adanya rorak penampung aliran

permukaan dan tanpa penguat bibir teras menggunakan rerumputan dapat mendorong

lebih tingginya erosi pada lahan dengan kemiringan 34-37% ini. Apalagi teras yang

dibangun kebanyakan masih belum seluruhnya mengikuti garis kontur sesuai

landskap yang ada sehingga bidang teras pada salah satu atau kedua sisi

horizontalnya selalu menjadi parit dari bagian dasar teras yang lainnya. Hal ini jelas

akan memperbesar terjadinya erosi yang tinggi meskipun terdapat bangunan terasnya.

Pembuatan teras bangku atau teras gulud dengan standar desain dan bangunan yang

baik disertai dengan penggunaan mulsa sisa tanaman dan atau tanaman penutup tanah

dengan kerapatan tinggi pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15% mutlak

diperlukan agar degradasi tanah tidak terjadi (erosi tidak melebihi erosi yang

ditoleransikan) (Sinukaban, Suwardjo dan Barus, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Erwiyono (2008) menyebutkan bahwa dalam mengendalikan kesuburan fisik

tanah pada pertanaman kopi di lahan miring dapat dilakukan dengan pembuatan rorak

yang ke dalamnya dibenamkan bahan organik sisa tanaman (mulsa vertikal). Dengan

cara ini permeabilitas tanah dapat meningkat dari 3,69 cm/jam (pada perlakuan mulsa

secara tebar) menjadi 24,24 cm/jam pada perlakuan mulsa yang dibenamkan ke

dalam rorak sedalam 30-45 cm. Dengan demikian, tanah dapat lebih banyak

menyerap air sehingga limpasan permukaan menjadi sangat kecil dan erosi dapat

terkendali.

Pertanaman jeruk di Taiwan pada kemiringan lereng 28% yang diperlakukan

dengan teknik konservasi berupa teras bangku datar dapat meniadakan erosi sama

sekali (erosi = 0,0 ton/(ha.thn)) dari erosi sebesar 156,4 ton/(ha.thn) pada pertanaman

jeruk dengan pengolahan tanah bersih. Pada perlakuan konservasi tanah yang lain

seperti teras bangku miring menghasilkan erosi 6,54 ton/(ha.thn), penanaman rumput

bahia rapat disertai pemberian mulsa erosinya sebesar 0,94 ton/(ha.thn) dan

penanaman rumput bahia dalam strip disertai pemberian mulsa erosinya hanya 2,8

ton/(ha.thn) (Liao and Wu dalam Haryati, 2008).

Selanjutnya Harper and El-swaify dalam Haryati (2008) menyebutkan bahwa

besarnya erosi pada pola pertanaman jagung-padi gogo-kedele dengan tanpa

perlakuan teknik konservasi pada lahan dengan kemiringan 35% di Thailand

menyebabkan erosi sebesar 155-284 ton/(ha.thn), sementara pada perlakuan teras

bangku erosinya dapat ditekan menjadi 34-81 ton/(ha.thn). Pada pola pertanaman

padi gogo-jagung-sayuran yang tidak diberi tindakan konservasi tanah menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


erosi sebesar 136 ton/(ha.thn) sedangkan pada pola pertanaman yang sama yang

disertai teknik konservasi berupa teras gulud, erosinya dapat ditekan menjadi 89

ton/(ha.thn).

Sistem agroforestri, yang sebenarnya merupakan salah satu teknik konservasi

tanah dan air, keberadaannya di lokasi kajian belum dapat mengendalikan erosi ke

tingkat yang tidak membahayakan, bahkan erosi yang terjadi masih jauh di atas erosi

yang ditoleransikan sehingga tingkat bahaya erosinya masing tergolong tinggi (Tabel

13). Hal ini dapat terjadi, sebagaimana telah diuraikan di atas, dikarenakan sistem

agroforestri yang ada belum diterapkan secara optimal sesuai kaidah dan teknologi

konservasi tanah yang benar. Sistem agroforestri di wilayah ini masih bersifat

subsistem yang keberadaannya lebih karena tidak disengaja atau karena adanya alih

fungsi sebagian tegakan hutan menjadi lahan budidaya.

Sistem agroforestri yang efektif dalam mengendalikan erosi dan degradasi

sifat tanah (sifat kimia, fisika dan biologi) adalah sistem agroforestri yang dirancang

secara proforsional mengikuti kaedah keberlanjutan dengan sasaran utama

mendapatkan hasil yang optimal tanpa merusak lahan dan lingkungan. Untuk ini

sistem agroforestri yang diterapkan harus bersifat komersial dari aspek ekonomi dan

harus bersifat proteksi (perlindungan) dari aspek kelestarian (Atmojo, 2008, Rauf,

2004; Marwah, et al, 2008). Beberapa tipe agroforestri yang efektif dan memenuhi

persyaratan ekonomis, sosial, dan lingkungan diantaranya tipe agrosilvopastural,

agroslivikultural berbasis pertanaman lorong (alley cropping), dan silvopastural

(Rauf, 2004; Marwah, et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Haryati, Abdurachman, dan Setiani (1993) mendapatkan bahwa sistem

pertanaman lorong (alley cropping) di Ungaran Semarang Jawa Tengah antara

tanaman pangan, tahunan, dan pakan ternak dengan tanaman Flemingia conesta,

Tephrosia candida, Calliandra sp, dan Vetiveria zizanoides sebagai tanaman

lorongnya, dapat menekan erosi menjadi hanya berkisar antara 0,0-18,2 ton/(ha.thn)

yang jauh lebih rendah dibandingkan erosi yang terjadi pada perlakuan kontrol (tanpa

tanaman lorong) sebesar 63,9-133,7 ton/(ha.thn).

4.7. Penerapan Teknik Konservasi Lahan (P) dan Vegetasi (C) di Berbagai
Tipe Penggunaan Lahan Di Sub DAS Lau Biang

Sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa kajian tingkat bahaya

erosi di Sub DAS Lau Biang ini dilakukan pada jenis penggunaan lahan untuk hutan,

untuk sistem agroforestri, untuk pertanaman jagung, untuk pertanaman kopi arabika

(Coffea arabica) dan untuk pertanaman jeruk manis. Kondisi setiap objek (jenis

penggunaan lahan) kajian ini yang meliputi struktur, komposisi, agroteknologi, dan

hal lain yang terkait diuraikan berikut ini.

4.7.1. Lahan Hutan

Kawasan sub DAS Lau Biang yang memiliki luas hutan (belukar) hanya

berkisar (985,451 ha), atau sekitar 1,05% dari total Sub DAS Lau Biang. Sedangkan

lahan keringnya atau areal pertaniannya justru lebih luas. Seharusnya Sub DAS Lau

Biang merupakan kawasan konservasi DAS Wampu, karena terletak di bagian hulu

DAS Wampu. Namun kondisi saat ini di Sub Das Lau Biang sedemikian

Universitas Sumatera Utara


memprihatinkan, sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan Sub Das Lau Biang bukan

lagi merupakan kawasan konservasi untuk DAS Wampu, terutama bagi bagian hilir.

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kawasan hutan yang menjadi

objek kajian adalah hutan sekunder yang ada di wilayah Sub DAS Lau Biang yang

umumnya merupakan hutan buatan atau hutan meranggas yang telah diperkaya

dengan tanaman hutan (terutama pinus) melalui program penghijauan dan atau

reboisasi. Dengan demikian, hutan yang terbentuk menyerupai hutan tanaman

(silvikultur), yaitu hutan dengan letak pepohonan yang (seperti) memiliki jarak

tanaman tertentu dan kebanyakan tanpa lapisan serasah lantai hutan sebagaimana

layaknya hutan primer atau hutan virgin.

Sebagian hutan memiliki tegakan semak belukar dan rerumputan di bawah

tegakan pepohonannya, dan sebagian lagi, terutama hutan dengan pepohonan tua

yang besar dan tinggi umumnya tidak memiliki tumbuhan bawah yang berarti. Pada

lahan hutan tidak ada teknik konservasi. Secara umum hutan sekunder yang dijadikan

objek (menjadi lokasi) kajian berada pada kemiringan lereng 34-37% dengan struktur

dan komponen sebagaimana disajikan pada Tabel 17.

Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa hutan sekunder di kawasan Sub DAS

Lau Biang memiliki populasi tegakan berkisar antara 227-463 pohon per hektar

dengan jenis dan jumlah masing-masing jenis bervariasi antara 8-11 jenis pepohonan.

Jenis pohon yang mendominasi hutan di daerah ini adalah Pinus (Pinus merkusii),

mencapai 25-35% dari total populasi pepohonan dan terdapat pada semua kawasan

hutan yang diamati. Jenis pohon yang umumnya juga terdapat pada setiap hutan yang

Universitas Sumatera Utara


diamati adalah Eucaliptus (Eucaliptus delugpa), Suren/Ingul (Tonna Sureni),

Kaliandra (Caliandra callothyrus), Bambu (Asparagus coc), Beringin (Ficus

benjamina), Aren (Arenga piñata), dan Jati putih (Gamelina – sp), sementara

beberapa hutan ada yang tidak memiliki pohon Meranti (Sorea – spp), Akasia

dekuren (Acascia decuren), dan Bira (Sorea – sp).

Tabel 17. Struktur dan Komposisi Hutan Sekunder di Sub DAS Lau Biang
(Kawasan Hulu DAS Wampu) yang Menjadi Objek Kajian (Rerata
dalam Setiap Hektar Hutan)

No. Jenis Pohon Diameter Batang Populasi


Setinggi Dada Pohon %
(Cm)
1 Pinus (Pinus merkusii) 30-40 80-115 25-35
2 Suren/Ingul (Tonna Sureni) 20-30 70-80 17-31
3 Kaliandra (Caliandra callothyrus) 10-20 50-53 11-22
4 Bambu (Asparagus coc) 5-10 10-15*) 3-4
5 Eucaliptus (Eucaliptus delugpa) 40-60 5-70 2-15
6 Beringin (Ficus benjamina) 50-100**) 2-20 1-4
7 Jati putih (Gamelina – sp) 20-60 5-10 2-2
8 Aren (Arenga piñata) 30-50 5-10 2-2
9 Akasia dekuren (Acascia decuren) 10-15 0-40 0-9
10 Meranti (Sorea – spp) 20-30 0-30 0-6
11 Bira (Sorea - sp) 20-30 0-20 0-4
Jumlah 227-463 -
Ket.: *) Rumpun
**) termasuk lilitan akar yang telah menyatu dengan batang utama

Sumber: Data Primer Hasil Pengamatan Lapangan (2009).

4.7.2. Lahan Sistem Agroforestri

Sistem agroforestri yang banyak terdapat di lokasi kajian adalah sistem

agroforestri yang secara ekonomi masih tergolong ke dalam tipe tradisional atau

subsistem yaitu sistem agroforestri yang terbentuk tanpa disengaja karena

Universitas Sumatera Utara


memanfaatkan lahan yang tidak dapat ditanami tanaman semusim, digunakan untuk

pertanaman pohon hutan. Pepohonan yang ditanaman ini tidak diberi masukan (input)

secara khusus atau hanya mengandalkan asupan alami dalam mendukung

pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu, sistem agroforestri yang terbentuk

banyak juga yang berasal dari lahan yang sebelumnya merupakan hutan terutama

hutan rakyat di tanah ulayat yang sebagian pepohonannya ditebang dan digantikan

dengan tanaman pertanian.

Tabel 18. Tipe Agroforestri Berdasarkan Struktur Komponen Penyusunnya


di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu) yang Menjadi
Objek Kajian

Tipe Jenis Pohon Hutan Jenis Tanaman Tahunan Jenis Tanaman


Semusim
A Pinus (Pinus merkusii), Kulit Manis (Cinamomum Padi Gogo (oryza sativa),
Suren (Tonna Sureni), burmanii), Jagung (Zea mays),
Beringin (Ficus benjamina), Kopi (Coffea arabica), Sawi (brassica rapa)
Mahoni (swetina mahogoni), Kemiri (Aleurites moluccana),
Kaliandra (Caliandra callothyrus), Cengkeh (Szygium aromaticum),
Bambu (swetina mahogoni) Jengkol (Pithecellobium lobatum)
Aren (Arenga Pinata)
B Pinus (Pinus merkusii), Kulit Manis Cinamomum Padi Gogo (oryza sativa),
Suren (Tonna Sureni), burmanii), Jagung (Zea mays),
Kaliandra (Caliandra callothyrus), Kopi (Coffea arabica), Sawi (Zea mays),
Mahoni (swetina mahogoni), Kemiri (Aleurites moluccana),,
Bambu (Asparagus coc) Jengkol (Pithecellobium lobatum)
C Pinus (Pinus merkusii), Kemiri (Aleurites moluccana),, Jagung (Zea mays),
Bambu (Asparagus coc) Kelapa (Cocos nucifera) Sawi (brassica rapa)
Jengkol (Pithecellobium lobatum)
D Pinus (Pinus merkusii), Kulit Manis Cinamomum Padi Gogo (oryza sativa),
Kaliandra (Caliandra callothyrus), burmanii), ,Jagung (Zea mays)
Jati putih (Gamelina), Bira (Sorea sp) Kopi (Coffea arabica),
E Kaliandra (Caliandra callothyrus), Jati putih (Gamelina – sp) Jagung (Zea mays),
Bambu (Asparagus coc), Kopi (Coffea arabica), Sawi (brassica rapa)
Semak belukar Cabai (capsicum-annuh)
F Pinus (Pinus Merkusii), Jeruk manis (Citrus sinensis), Kopi Jagung (Zea mays)
Semak belukar (Coffea arabica),
Sumber: Data Primer Hasil Pengamatan Lapangan (2009).

Berkaitan dengan itu, sistem agroforestri yang ada belum sepenuhnya

bertujuan untuk perlindungan (proteksi) terhadap degradasi lahan dan atau

Universitas Sumatera Utara


lingkungan terutama dalam mengendalikan erosi, tetapi baru sekedar bentuk

penggunaan lahan yang merupakan kombinasi antara tanaman pertanian (semusim

atau tahunan) dengan tanaman pohon hutan pada tapak lahan yang sama atau secara

berurutan dalam landskap yang sama. Pada lahan agroforestri belum ada teknik

konservasi. Secara umum sistem agroforestri yang dijadikan objek kajian berada pada

kemiringan lereng 34-37% dengan struktur dan komponen penyusunnya terdiri dari

beberapa tipe sebagaimana disajikan pada Tabel 18.

4.7.3. Lahan Pertanaman Jagung (Zea mays)

Pertanaman jagung (Zea mays) di lokasi kajian merupakan sistem pertanaman

monokultur yang sangat intensif dengan agroteknologi yang terus berkembang,

seperti penggunaan varietas unggul yang sesuai dengan agroekosistemnya,

pemupukan, baik pupuk anorganik maupun organik yang intensif, penggunaan

pestisida selektif untuk mengendalikan hama, penyakit dan gulma. Kebanyakan

persiapan lahannya dengan cara tanpa olah tanah (TOT), meskipun di beberapa

tempat masih terlihat serasah sisa tanamannya dibakar. Jarak tanamnya relatif lebih

rapat (umumnya 50 x 35 cm) dan rotasi pertanamannya dilakukan secara terus

menerus, tanpa ada masa bera. Lahan pertanaman jagung (Zea mays) yang menjadi

objek kajian juga dipilih yang berada pada kemiringan lereng 34-37%.

Terhadap lahan tanaman jagung (Zea mays), perlakuan pengolahan tanah dan

teknik konservasi yang digunakan ada dua jenis: 1) pengolahan dan penanaman

menurut garis kontur 2) strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah tanah). Teknik

konservasi pengolahan dan penanaman menurut garis kontur erosinya lebih tinggi

Universitas Sumatera Utara


sebesar 269,46 ton/(ha.thn) dan pada strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah tanah)

erosinya lebih rendah sebesar 86,90 ton/(ha.thn). Perbedaan tersebut sangat

mencolok, sehingga pada pertanaman jagung dengan tanpa olah tanah dapat dianggap

lebih baik walaupun dengan jarak tanam yang sama (Tabel 19).

Hal ini sesuai dengan pendapat Lal (1986) yang menyatakan bahwa persiapan

lahan dengan tanpa olah tanah (no-tillage) dapat menghemat tenaga kerja dan

sekaligus dapat mengendalikan erosi meskipun hasil yang diperoleh pada awalnya

sedikit lebih rendah dibandingkan pada pengolahan tanah sempurna (full tillage).

Tabel 19. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada


Pertanaman Jagung (Zea mays) di Sub DAS Lau Biang

No. Teknik Konservasi Tanah Erosi (ton/(ha.thn)) Jarak Tanam

1 Strip tanaman sejajar kontur


50 cm x 35 cm
(tanpa olah tanah) 86,90
2 Pengolahan dan penanaman
menurut garis kontur 269,46 50 cm x 35 cm

Sumber: Hasil Penghitungan Menggunakan Data Primer Pengukuran Lapangan dan


Olahan Statistik (SPSS).

4.7.4. Lahan Pertanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis)

Seperti halnya sistem pertanaman kopi arabika (Coffea arabica), pertanaman

jeruk manis (Citrus sinensis) di lokasi kajian juga diawali dengan sistem pertanaman

campuran (pada tanaman mudanya) dengan tanaman sayuran dan berangsur-angsur

ada yang menjadi pertanaman monokultur setelah tanaman dewasa. Lokasi kajian

dilakukan pada pertanaman jeruk manis dewasa atau tanaman menghasilkan (berumur

diantara 13-15 tahun) dengan jarak tanam 5 x 5 meter, dan karena alasan

Universitas Sumatera Utara


pemeliharaan buah dan memudahkan panen, maka sebagian lahan sela umumnya

bersih dari rerumputan (gulma). Di beberapa tempat, pertanaman jeruk manis dewasa

ini juga dikombinasi dengan tanaman semusim pada lahan selanya, seperti untuk

budidaya tanaman cabai, kacang tunggak, dan lain-lain. Lahan pertanaman jeruk

manis yang menjadi objek kajian juga dipilih yang berada pada kemiringan lereng 34-

37%.

Tabel 20. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada


Pertanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis) di Sub DAS Lau Biang

Erosi Jarak
No. Teknik Konservasi Tanah (ton/(ha.thn)) Tanam

1. Strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah


5mx5m
tanah) 203,1481
2. Pengolahan dan penanaman menurut
garis kontur 473,6969 5mx5m
3. Teras tradisional 393,4427 5mx5m
Sumber: Hasil Penghitungan Menggunakan Data Primer Pengukuran Lapangan dan
Olahan Statistik (SPSS).

Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa erosi pada pertanaman jeruk manis

(Citrus sinensis) tertinggi terdapat pada tindakan konservasi tanah berupa pengolahan

dan penanaman menurut garis kontur sebesar 473,6969 ton/(ha.thn) dan terendah

pada perlakuan tanpa olah tanah dan strip tanaman sejajar kontur sebesar 203,1481

ton/(ha.thn).

Perlakuan teknik konservasi tanah dengan menggunakan teras tradisional

erosi yang terjadi lebih kecil dari pada pengolahan dan penanaman menurut garis

kontur. Dalam jangka waktu yang panjang dengan menggunakan teknik konservasi

Universitas Sumatera Utara


teras tradisional ini dalam penggunaan pupuk, baik pupuk organik maupun anorganik

lebih sedikit dibandingkan kedua perlakuan lainnya, hal ini sesuai dengan pendapat

Sinukaban, dkk., (2007) yang menyatakan bahwa perlakuan terassering selain dapat

mengendalikan erosi tanah juga dapat menghemat penggunaan pupuk karena dapat

menekan terjadinya pencucian hara dan penghanyutan bahan organik dari lereng atas

ke lereng bagian bawah.

4.7.5. Lahan Pertanaman Kopi Arabika (Coffea arabica)

Budidaya tanaman kopi arabika (Coffea arabica) di lokasi kajian didominasi

oleh jenis kopi arabika (Coffea arabica). Sistem pertanaman kopi arabika (Coffea

arabica) di wilayah ini umumnya diawali dengan sistem pertanaman campuran pada

tanaman mudanya dengan tanaman sayuran dan berangsur-angsur menjadi

pertanaman monokultur setelah tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dewasa.

Lokasi kajian dilakukan pada pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dewasa atau

tanaman menghasilkan (berumur diantara 4-6 tahun) dengan jarak tanam 3 x 3 meter,

dan karena alasan pemeliharaan buah dan memudahkan panen, maka lahan sela

umumnya bersih dari rerumputan (gulma). Lahan pertanaman kopi arabika (Coffea

arabica) yang menjadi objek kajian juga dipilih yang berada pada kemiringan lereng

34-37%.

Teknik konservasi pada pertanaman kopi arabika (Coffea arabica)

menggunakan teknik konservasi strip tanaman menurut garis kontur yang disertai

dengan pengolahan tanah, strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah tanah), dan teras

tradisional. Pada strip tanaman menurut garis kontur yang disertai dengan

Universitas Sumatera Utara


pengolahan tanah mrenyebabkan erosi sebesar 403,93 ton/(ha.thn) lebih besar dari

strip tanaman sejajar kontur (tanpa olah tanah) sebesar 336,85 ton/(ha.thn), dan teras

tradisional sebesar 380,85 ton/(ha.thn) sebagaimana tertera pada Tabel 21.

Tabel 21. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada


Pertanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Sub DAS Lau Biang

Jarak
No. Teknik Konservasi Tanah Erosi (ton/(ha.thn)) Tanam

1. Strip tanaman sejajar kontur (tanpa 336,85


3mx3m
olah tanah)
2. Pengolahan dan penanaman menurut 403,93 3mx3m
garis kontur
3. Teras tradisional 380.85 3mx3m
Sumber: Hasil Penghitungan Menggunakan Data Primer Pengukuran Lapangan dan
Olahan Statistik (SPSS).

Dapat dilihat dari data di atas bahwa pada tiap-tiap penggunaan lahan dari

berbagai tipe tanaman yang ada pada waktu dilaksanakan penelitian bahwa erosi yang

terjadi sangat berbeda, walaupun menggunakan faktor-faktor yang sama seperti faktor

erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas tanah (K), panjang lereng (L), kemiringan

lereng (S), yang membedakan dari prediksi erosi yang dilakukan hanyalah faktor

pengolahan tanah dan penutup tanah (C) dan faktor teknik konservasi tanah (P).

Seperti telah diuraian di atas bahwa erosi yang pada tanaman kopi arabika (Coffea

arabica) sebesar 344,08 ton/(ha.thn) dan jeruk manis (Citrus sinensis) sebesar 335,95

ton/(ha.thn) lebih besar dari agroforestri sebesar 182,75 ton/(ha.thn) dan tanaman

jagung (Zea mays) sebesar 168,95 ton/(ha.thn) serta hutan sebesar 36,07 ton/(ha.thn).

Universitas Sumatera Utara


Pada tanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan jeruk manis (Citrus sinensis)

lebih besar erosinya, hal ini disebabkan oleh karena pada kedua tanaman ini teknik

konservasi yang digunakan sangat minim. Tipe konservasi lahan yang digunakan

adalah strip tanaman dengan kontur, teras tradisional dan pengolahan tanah dengan

penanaman menurut kontur. Minimnya teknik konservasi yang diterapkan, akan

sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi tanah (A) yang akan terjadi. Sedangkan

kemiringan lahan (S) di kategorikan agak curam hingga curam, sesuai dengan

kemiringan lereng yang diukur saat pengambilan sampel tanah dan pengukuran

permeabilitas tanah. Pada saat pengukuran dan pengamatan teknik konservasi yang

dilakukan pada lahan tanaman jeruk manis (Citrus sinensis), dan kopi arabika (Coffea

arabica) yang memiliki postur tanaman yang tinggi antara 2-3,5 meter. Dan kondisi

permukaan tanah ditutupi dengan sedikit seresah. Tipe teknik konservasi yang

diterapkan secara umum di lahan tamanan jeruk manis (Citrus sinensis) dan kopi

arabika (Coffea arabica) di kawasan sub DAS Lau Biang adalah strip tanaman

dengan kontur, teras tradisional dan pengolahan tanah serta penanaman menurut

kontur. Ketiga teknik konservasi yang diterapkan di lahan tanaman jeruk manis

(Citrus sinensis) dan kopi arabika (Coffea arabica) juga belum seutuhnya

menurunkan laju erosi tanah jika dilihat dari koefisien teknik konservasi tersebut.

Teknik konservasi yang diterapkan belum mampu mengimbangi besarnya nilai faktor

topografi, sehingga erosi tanah masih sangat potensial terjadi dengan jumlah yang

besar, walaupun sudah mulai ada pembuatan-pembuatan teras tradisional dan jarak

tanam yang jarang sehingga tajuk yang ada agak jarang juga ditambah lagi lahan

Universitas Sumatera Utara


bawah/vegetasi penutup tanah yang bersih hampir tidak ada serasah tanaman

sehingga air larian kurang begitu tertahan.

Bila dibandingkan dengan sistem agroforestri, yang sebenarnya merupakan

salah satu teknik konservasi tanah dan air, keberadaannya di lokasi kajian belum

dapat mengendalikan erosi ke tingkat yang tidak membahayakan, bahkan erosi yang

terjadi masih jauh di atas erosi yang ditoleransikan. Hal ini karena pada sistem

agroforestri ini belum menerapkan kaidah sistem agroforestri itu sendiri dengan baik

(masih sekedar kombinasi antara tanaman hutan dengan pertanian) tetapi teknik

penempatan tanaman itu sendiri belum sepenuhnya berorientasi pada pencegahan/

pengendalian erosi. Seharusnya pertanaman diatur sedemikian rupa sehingga tanaman

pohon atau tanaman non pertanian berfungsi sebagai tanaman pagar yang ditanam

sejajar kontur dan diantara tanaman pagar ditanam tanaman pertanian yang juga gulu

dan barisan tanamannya dibuat sejajar kontur.

Pada tanaman jagung (Zea mays) tingkat erosinya lebih rendah. Hal ini

disebabkan penanamannya dilakukan dengan jarak yang rapat sekitar 50 cm x 35 cm,

teknik konservasi tanah dan yang dijumpai di lahan tanaman jagung (Zea mays)

adalah strip tanaman dengan kontur dan pengolahan lahan dengan penanaman

menurut kontur dan tidak ada dilakukan penyiangan (rumput/gulma dikendalikan

dengan herbisida), tanah tertutup vegetasi yang rapat, sehingga dapat memperlambat

limpasan dan juga menghambat pengangkutan partikel tanah. Kedua teknik

konservasi tanah dan air yang diterapkan ini sangat umum dijumpai di seluruh

Universitas Sumatera Utara


kawasan sub DAS Lau Biang. Kondisi tersebut menyebabkan erosi pada tanaman

jagung lebih kecil dari pada sistem tanaman lainnya.

Hutan sudah tentu erosinya lebih kecil dari penggunaan lahan lainnya, hal ini

disebabkan pengelolaan lahan pada hutan memang tidak ada tetapi tanaman bawah

yang masih rapat dan lebat ditambah dengan serasah yang masih tebal menyebabkan

erosi relatif kecil.

Universitas Sumatera Utara


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan

bahwa:

1. Teknik konservasi yang diterapkan di Sub DAS Lau Biang masih terbatas pada

Strip tanaman sejajar kontur dengan tanpa olah tanah, penanaman menurut garis

kontur dengan pengolahan tanah dan teras tradisional.

2. Erosi terkecil terjadi pada kawasan hutan sebesar 36,07 ton/(ha.thn) diikuti

kemudian pada perataman jagung (Zeamys-l) (168,95 ton/(ha.thn)), agroforestri

(182,75 ton/(ha.thn)), jeruk manis (Citrus-sinensis) (335,95 ton/(ha.thn)) dan

terbesar pada kopi arabika (Coffea arabica) (344,08 ton/(ha.thn)).

3. Teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua

komoditi yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontur dengan tanpa

pengolahan tanah sedangkan erosi terbesar terjadi pada teknik penanaman

menurut garis kontur tetapi dengan pengolahan tanah.

4. Rataan erosi yang ditoleransikan pada berbagai jenis penggunaan lahan di Sub

DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/(ha.thn) (pada kawasan hutan) hingga

27,76 ton/(ha.thn) (pada tanaman jeruk manis).

5. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) terendah terjadi pada kawasan hutan (tergolong

sedang) diikuti kemudian oleh sistem agroforestri dan pertanaman jagung

Universitas Sumatera Utara


(Zeamys-l) (tergolong tinggi) dan yang terjadi pada pertanaman jeruk manis

(Citrus-sinensis) dan kopi arabika (Coffea arabica) (tergolong sangat tinggi).

5.2. Saran

1. Perlu peningkatan dan penyempurnaan teknologi konservasi tanah dan air pada

setiap penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang yang dapat mengendalikan erosi

sampai tingkat atau lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan. Untuk itu perlu

dilakukan pengkajian/penelitian lebih seksama tentang teknologi konservasi tanah

dan air yang lebih efisien dan adaptif sekaligus dapat mengendalikan erosi sampai

lebih kecil atau sama dengan erosi ditoleransikan di satu sisi dan tetap

mendapatkan produksi yang optimum di sisi lain.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan curah hujan yang lebih

akurat, penggunaan/penetapan nilai C dan nilai P sesuai dengan kondisi tempat

penelitian.

3. Penerapan teknik konservasi yang baik pada lahan yang dianggap curam dengan

menggunakan teknik penanaman menurut garis kontur membuat terasering serta

pola tanam yang teratur. Karena pada saat ini sudah mulai terjadi alih fungsi lahan

dari lahan hutan awalnya menjadi lahan agroforestri, bila hal ini dibiarkan

berlanjut tanpa adanya pengawasan yang jelas dan terkoordinir dari pemerintah

setempat maka akan terjadi degradasi hutan yang sangat cepat.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman, A., S. Sutono, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi Pengendalian Erosi


Lahan Berlereng (dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering; Penyunting:
Abdurrachman Adimihardja dan Mappaona). Puslitanak, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Hal. 101-140.

Agus, F., dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian. World
Agroforestry Centre, ICRAF Southesst Asia. Bogor.

Arsyad, S. 1986. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

_________.1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

_________. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

_________. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Arsyad, S., I. Amien, T. Sheng, and W. Moldenhauer. 1992. Conservation Polices


for Sustainable Hillslope Farming. Soil and Water Conservation Society.
Ankeny, Iowa, USA.

Ariyanto, D.P., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq. 2008. Pengaruh Perubahan Tegakan


terhadap Erosi, Nisbah C/N, Bahan Organik dan Berat Volume Tanah di DTA
Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Prosiding Seminar The
Indonesian Network For Agroforestry Education (INAFE). Surakarta, 4 Maret
2008. Hal. 59-67.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Atmojo, S.W. 2008. Peran Agroforestry dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor
Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Seminar The Indonesian Network
For Agroforestry Education (INAFE). Surakarta, 4 Maret 2008. Hal. 19-28.

BPDAS Wampu Sei Ular. 2008. Karakteristik DAS Wampu. Balai Pengelolaan DAS
Wampu Sei Ular Departemen Kehutanan.

Universitas Sumatera Utara


Darori. 2008. Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Pidato Pembukaan pada
Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak (Prosiding). Kerjasama FP-
USU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan
Misran. Hal. iii-viii.

Erwiyono, R. 2008. Pemanfaatan Rorak untuk Optimasi Pengelolaan Bahan Organik


dan Konservasi Tanah dan Air di Kebun Kopi. Prosiding Seminar dan Kongres
Nasional MKTI VI. Bogor, 17-18 Desember 2007. Hal. 109-118.

Hammer, W.I. 1981. Soil Conservation Consultant Report Center for Soil Research.
LPT Bogor. Indonesia.

Hardjoamidjojo. S, dan Sukandi. S. 2008. Teknik Pengawetan Tanah dan Air. Graha
Ilmu. Yogyakarta.

Haryati, U. 2008. Strategi Implementasi Sistem Usahatani Konservasi di Lahan


Kering Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Prosiding Seminar dan Kongres
Nasional MKTI VI. Bogor, 17-18 Desember 2007. Hal. 15-37.

Haryati, U., A. Abdurachman, dan C. Setiani. 1993. Alternatif Teknik Konservasi


Tanah untuk Lahan Kering di DAS Jratunseluna Bagian Hulu. Risalah
Lokakarya Pengembangan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
Konservasi di Lahan Kering Hulu DAS Jratunseluna dan Brantas.
Tawangmangu, 7-8 Desember 1992. P3HTA. Hal. 83-106.

Hudson, N. 1992. Soil Conservation. BT Batsford Ltd, London.

Hutabarat, S. 2008. Kebijakan Umum Pengelolaan DAS. Prosiding Semiloka


Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FP-USU dan BP-DAS
Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan Misran. Hal. 1-6.

Idris, M. 2005. Model Dinamika Penetapan Tingkat Bahaya Erosi Berdasarkan


Penggunaan Lahan di Sub DAS Simbelin Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera
Utara. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi Rehabilitasi dan Reklamasi
Lahan Terdegradasi (dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering;
Penyunting: Abdurrachman Adimihardja dan Mappaona). Puslitanak, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Hal.
141-168.

Universitas Sumatera Utara


Kurnia, U., Y. Sulaeman, dan A.K. Muti. 2004. Potensi dan Pengelolaan Lahan
Kering Dataran Tinggi (dalam Sumberdaya Lahan di Indonesia dan
Pengelolaannya; Penyunting: Abdurrachman Adimihardja, Istiqlal Amien,
Fahmuddin Agus, dan Djaenuddin). Puslitanak, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Lal, R. 1986. No-tillage and Surface-Tillage Systems to Alleviate Soil Related


Constraints in the Tropics. In No-Tollage and Surface-Tillage Agriculture;
Edited by: M.A. Sprague and G.B. Triplett. John Wiley & Sons, Inc., Canada,
pp. 261-317.

Linsley, R.K., Jr., M.A. Kohler, J.L.H. Paulhus, Hermawan. 1996. Hidrologi untuk
Insinyur (Edisi Ketiga). Penerbit Erlangga. Jakarta.

Marwah, S., N.Sinukaban, K.Murtilaksono, B.Sanim, dan A.Ng. Ginting. 2008.


Kajian Sistem Agroforestry dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
di Sub DAS Konaweha Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar dan Kongres
Nasional MKTI VI. Bogor, 17-18 Desember 2007. Hal. 173-187.

Misran. 2008. Pengelolaan DAS secara terpadu DAS Wampu dan DAS Sei Ular.
Prosiding Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FP-
USU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan
Misran. Hal. 43-53.

Nasution, Z. 2008. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Harapan dan Kenyataan.
Prosiding Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FP-
USU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan
Misran. Hal.: 26-30.

Pawitan, H., dan N. Sinukaban. 2007. Karakteristik Hidrologi dan Daur Limpasan
Permukaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung; Konservasi Tanah dan Air
Kunci Pembangunan Berkelanjutan oleh Naik Sunukaban. Penerbit Direktorat
Jenderal RLPS Departemen Kehutanan. Hal. 154-170.

Pramono, I.B., U.H. Murtiono, A.B. Supangat, Mastur. 2000. Petunjuk Teknis
Analisis Data Hujan dan Aliran Sungai. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Surakarta.

Pratisto, A. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan


Percobaan dengan SPSS 12. Penerbit PT.Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Rahim, S. E. 2003. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Rauf, A. 2004. Kajian Sistem dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Agroforestry


di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Disertasi Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.

Saidi, A. 2001. Kajian Degradasi Tanah di Sub DAS Sumani Solok Sumatera Barat.
Prosiding Kongres IV dan Seminar Nasional MKTI. Medan, 25-27 Mei 2000.
Hal. 145-159.

Saptarini, C.L., B. A. Kironoto, dan R. Jayadi, 2007. Kajian Perubahan Erosi


Permukaan Akibat Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Areal
Pencadangan HTI Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat. UGM
Press,Yogyakarta.http//:www.pustaka.deptan.go.id/publikasi/p3222032.pdf+ti
ngkat+bahaya+erosi. [24 November 2009].

Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry
Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Kementrian
Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.

Sinukaban, N., 1986. Dasar-dasar Konservasi Tanah dan Perencanaan Pertanian


Konservasi. Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sinukaban, N., Suwardjo, A. Barus. 2007. Pemilihan Teknik Konservasi Tanah dan
Air di Daerah Transmigrasi; Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan
Berkelanjutan oleh Naik Sunukaban. Penerbit Direktorat Jenderal RLPS
Departemen Kehutanan. Hal. 267-278.

Sinukaban, N. 2007. Pengaruh Pengolahan Tanah Konservasi dan Pemberian Mulsa


Jerami terhadap Produksi Tanaman Pangan dan Erosi Hara; Konservasi
Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan oleh Naik Sunukaban.
Penerbit Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan. Hal. 1-14.

Sukresno. 1993. Pengaruh Kegiatan Konservasi Tanah terhadap Pengurangan


Sedimen di Waduk Gajah Mungkur. Prosiding Lokakarya Nasional
Pembangunan Daerah Dalam Rangka Pengelolaan Usahatani Lahan Kering
dan Perbukitan Kritis. Jakarta, 2-4 Februari 1993. Hal. 265-276.

Supangat, A.B., dan E. Savitri. 2001. Kajian Erosi dan Limpasan Permukaan pada
Lahan Tumpang Sari Kopi dan Sengon. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta. Surakarta, 8
Oktober 2001; Hal. 60-74.

Universitas Sumatera Utara


Sutrisna, N., dan S.R.P. Sitorus. 2009. Tingkat Kerusakan Tanah di Hulu Sub DAS
Cikapundung Kawasan Bandung Utara. Prosiding Semiloka Nasional Strategi
Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan
Pangan dan Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Hal. 189-201.

Utomo. W. H., 1989. Konservasi Tanah di Indonesia, Suatu Rekaman dan Analisa.
Rajawali Pers. Jakarta.

Wischmeier W.H., and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses:
Aguide to Conservation Planning. USDA Handbook No. 537. Washington
DC.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai