Anda di halaman 1dari 95

KARAKTERISTIK BIO-FISIK HABITAT PANTAI PENELURAN

TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR


PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PULAU PENYU PESISIR
SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

PUJI CINTAMI TAMBUN


130302078

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

Universitas Sumatera Utara


KARAKTERISTIK BIO-FISIK HABITAT PANTAI PENELURAN
TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR
PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PULAU PENYU PESISIR
SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

SKRIPSI

PUJI CINTAMI TAMBUN


130302078

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

Universitas Sumatera Utara


KARAKTERISTIK BIO-FISIK HABITAT PANTAI PENELURAN
TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR
PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PULAU PENYU PESISIR
SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

SKRIPSI

PUJI CINTAMI TAMBUN


130302078

Skripsi Sebagai Salah Satu diantara Beberapa Syarat untuk Dapat Memperoleh
Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Puji Cintami Tambun

NIM : 130302078

menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Karakteristik Bio-Fisik Habitat

Pantai Peneluran terhadap Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu

Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera

Barat” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Medan, November 2017

Puji Cintami Tambun


NIM. 130302078

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

PUJI CINTAMI TAMBUN : “Karakteristik Bio-Fisik Habitat Pantai Peneluran


terhadap Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat” dibawah bimbingan HESTI
WAHYUNINGSIH DAN YOES SOEMARYONO.

Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan reptil laut yang terancam punah
karena nilai ekonomisnya yang cukup tinggi. Ancaman utama populasi Penyu
Hijau akibat kegiatan manusia, seperti pencemaran pantai dan laut, perusakan
habitat peneluran, perusakan daerah mencari makan, gangguan pada jalur
imigrasi, penangkapan induk penyu secara ilegal, dan pengumpulan telur penyu.
Penelitian ini berlangsung pada bulan Mei – Juli 2017 di Pulau Penyu Pesisir
Selatan Provinsi Sumatera Barat. Hasil pengukuran diperoleh panjang pantai 1,53
km, lebar pantai berkisar 15,5 – 24,5 m, kemiringan pantai berkisar 23,8˚ – 29,2˚,
tipe pasang surut semi diurnal, jarak sarang dari pasang tertinggi berkisar 8 – 9,5
m, jarak sarang dari surut terendah berkisar 13,5 – 14,5 m, jarak sarang dari
tumbuhan berkisar 2 – 10 m, substrat sarang terdiri dari pasir, liat, dan debu yang
didominasi oleh pasir, ukuran sarang yang terukur selama penelitian berkisar L 62
– 65 cm, P 100 – 105 cm, D 36 – 38 cm, d 38 – 39 cm, t 23 – 25 cm, suhu sarang
yang terukur berkisar 27˚C - 30˚C, suhu udara yang terukur berkisar 27˚C - 29˚C,
nilai pH sarang 7, curah hujan yang terukur 400 mm/bulan, jumlah sarang yang
ditemukan ada 8 sarang, terdiri dari 4 sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan 4
sarang Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Persentase penetasan tertinggi yaitu
95,23% dan terendah 24,21%.

Kata kunci : Penyu Hijau (Chelonia mydas), karakteristik, bio-fisik, persentase


penetasan, Pulau Penyu

i
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT

PUJI CINTAMI TAMBUN: "Bio-Physical Characteristics of Habitat of Nursing


Coast to Success Rate of Green Turtle Egg Hatchery (Chelonia mydas) on Turtle
Island of South Coast of West Sumatera Province" under the guidance of HESTI
WAHYUNINGSIH AND YOES SOEMARYONO.

Green Turtle (Chelonia mydas) is an endangered marine reptile because of


its high economic value. The main threats to the Green Turtle population from
human activities, such as coastal and marine pollution, destruction of spawning
habitats, destruction of feeding areas, immigration disruption, illegal sea turtle
fishing and turtle egg collection. This research took place in May - July 2017 at
Turtle Island Pesisir Selatan West Sumatera Province. The measurements
obtained were 1.53 km of coastline, coastal width ranging from 15.5 - 24.5 m,
coastal slope ranging from 23.8 - 29.2˚, semi diurnal tidal type, nest distances
from the highest tides ranging from 8 to 9 , 5 m, the lowest nest distance from
13.5 - 14.5 m, the nest distance of the plant ranges from 2 to 10 m, the nest
substrate consists of sand, clay, and dust which is dominated by sand, measured
nest size during the study ranges from L 62 - 65 cm, P 100 - 105 cm, D 36 - 38
cm, d 38 - 39 cm, t 23-25 cm, measured temperature range 27 ° C - 30 ° C,
temperature measured 27 ˚C - 29˚C, pH value nest 7, measured rainfall 400
mm/month, nest number found 8 nests, consisting of 4 Green Turtle nest
(Chelonia mydas) and 4 Hawksbill turtle nests (Eretmochelys imbricata). The
highest hatching percentage was 95.23% and the lowest was 24.21%.

Keywords: Green Turtle (Chelonia mydas), characteristic, bio-physical, hatching


percentage, Turtle Island

ii
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Puji Cintami Tambun

lahir di Bp. Mandoge, Dusun II Sei Kopas 26

November 1995, merupakan anak pertama dari empat

bersaudara pasangan Bapak Simron Tambun dan

Darmawati Sirait. Penulis mengawali pendidikan formal

di SD Negeri 017123 Emplasmen Sei Kopas, SMP

Swasta Sultan Agung Pematangsiantar, dan SMA

Swasta Sultan Agung Pematangsiantar.

Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui

jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tahun 2013.

Selama menempuh pendidikan penulis aktif sebagai Asisten Laboratorium

Fisiologi Hewan Air tahun (2016 s/d 2017). Penulis juga aktif dalam berbagai

kegiatan organisasi baik internal dan eksternal kampus, diantaranya sebagai

anggota Ikatan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas

Sumatera Utara (IMASPERA USU) (tahun 2013 s/d sekarang), sebagai anggota

Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) (tahun 2014 s/d

sekarang), sebagai Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Putera-Puteri

Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara (PARINTAL FP USU) periode 2016-2017. Penulis juga pernah mengikuti

kegiatan-kegiatan atau menjadi delegasi ke berbagai universitas lainnya,

diantaranya menjadi delegasi dalam kegiatan HIMAPIKANI di Universitas Syah

Kuala Banda Aceh (tahun 2015), menjadi delegasi kegiatan HIMAPIKANI di

iii
Universitas Sumatera Utara
Universitas Teuku Umar Meulaboh (tahun 2016), menjadi delegasi Ekspedisi

Nusantara Jaya (ENJ) bersama dengan 24 peserta mahasiswa USU lainnya di

Kelurahan Saombo Gunungsitoli Kepulauan Nias (tahun 2017). Penulis

melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di UPT Konservasi Penyu

Pariaman, Sumatera Barat (tahun 2016).

Untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, penulis

melaksanakan penelitian dengan judul skripsi “Karakteristik Bio-Fisik Habitat

Pantai Peneluran terhadap Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu

Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera

Barat” yang dibimbing oleh Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si dan Bapak

Dr.Ir.Yoes Soemaryono, M.H., M.Sc.

iv
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan hikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Karakteristik Bio-Fisik Habitat Pantai

Peneluran terhadap Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau

(Chelonia mydas) di Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat”

dibawah bimbingan Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si dan Bapak Dr.Ir.Yoes

Soemaryono, M.H., M.Sc. Skripsi ini merupakan satu diantara beberapa syarat

untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Perikanan (S. Pi) di Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera

Utara.

Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati, penulis

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Universitas Sumatera Utara dan Program Studi Manajemen Sumberdaya

Perairan yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan

sarjana

2. Kedua orangtua yang penulis sayangi, Ayahanda Simron Tambun dan Ibunda

Darmawati Sirait atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan

3. Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Bapak Dr. Ir.Yoes Soemaryono, M.H., M.Sc selaku Anggota Komisi

Pembimbing yang telah membimbing selama penyusunan skripsi

4. Dosen Penguji Penulis yaitu Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc dan Ibu Desrita, S.Pi,

M.Si yang telah memberi saran dan masukan untuk skripsi ini menjadi lebih

baik

v
Universitas Sumatera Utara
5. Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc selaku Ketua Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan Universitas Sumatera Utara

6. Bapak dan Ibu staff pengajar serta pegawai Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan

7. Abangnda Oyong Hasanuddin selaku pendamping penelitian selama di lokasi

penelitian dan masyarakat kampung dalam Salido, Painan.

8. Rekan-rekan mahasiswa Universitas Bung Hatta (UBH) Padang yang

membantu penelitian selama di Provinsi Sumatera Barat

9. Saudara/i penulis, Yuni Astuti Tambun, Daniel Permata Tambun, dan Devan

Refandi Tambun

10. Kepada sahabat-sahabat saya Sari Marina Saragih, S.Pi, Angel G Pakpahan,

S.Pi, Desy Natalia Saragih, Erna L I Nababan S.Pi, Ira M Lumbangaol, dan

Christian Noverido Hutagalung, A.Md

11. Rekan-rekan (saudara) di UKM PARINTAL FP-USU

12. Teman-teman ENJ USU 2017 dan Kemeko Kemaritiman atas kesempatan

yang diberikan dalam kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya.

13. Teman-teman seperjuangan stambuk 2013 FP USU, terkhusus Winny

Simbolon, Arief P Bangun, Arif Nuhalin, Imam G Manik, dan M.Guntur atas

doa, semangat dan dukungan yang diberikan

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai

dasar penelitian selanjutnya dan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak yang

membutuhkan.

Medan, November 2017

Penulis

vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ................................................................................................ i
ABSTRACT .............................................................................................. ii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................... 1
Rumusan Masalah ............................................................................... 4
Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
Kerangka Pemikiran............................................................................. 6
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Pulau Penyu ................................................................ 8
Morfologi dan Klasfikasi Penyu Hijau ................................................ 8
Biologi Penyu Hijau ............................................................................. 10
Penyebaran Penyu Hijau ...................................................................... 13
Habitat Penyu Bertelur Secara Umum ................................................. 14
Karakteristik Biologi Habitat Pantai Peneluran ................................... 15
Karakteristik Fisik Habitat Pantai Peneluran ....................................... 17
Keberhasilan Penetasan Telur .............................................................. 21
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 24
Alat dan Bahan Penelitian .................................................................... 24
Prosedur Penelitian .............................................................................. 25
Penentuan Stasiun Pengamatan............................................................ 26
Pengukuran Parameter Bio-Fisik Habitat

vii
Universitas Sumatera Utara
Biologi ................................................................................... 28
Fisik ....................................................................................... 29
Jumlah Sarang ..................................................................................... 35
Analisi Data ......................................................................................... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ................................................................................................... 37
Pembahasan.......................................................................................... 45
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ..................................................................................... 62
Saran................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Klasifikasi Kemiringan Pantai ........................................................... 30

2. Klasifikasi Siameter Butiran Pasir ..................................................... 32

3. Parameter Bio-Fisik Habitat .............................................................. 35

4. Lebar Pantai di Pulau Penyu .............................................................. 37

5. Kemiringan Pantai di Pulau Penyu .................................................... 37

6. Substrat Sarang di Pulau Penyu ......................................................... 39

7. Ukuran Diamter Butiran Pasir Sarang di Pulau Penyu ..................... 39

8. Jarak Sarang dari Pasang Surut di Pulau Penyu ................................. 40

9. Jarak Sarang dari Tumbuhan di Pulau Penyu .................................... 40

10. Ukuran Sarang di Pulau Penyu .......................................................... 41

11. Pengukuran Suhu Sarang di Pulau Penyu .......................................... 41

12. Pengukuran Suhu Udara di Pulau Penyu ........................................... 42

13. Pengukuran pH di Pulau Penyu.......................................................... 42

14. Jumlah Sarang yang ditemukan di Pulau Penyu ................................ 43

15. Persentase Penetasan di Pulau Penyu ................................................. 44

ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 6

2. Susunan Sisik Penyu Hijau ..................................................................... 9

3. Penyu Hijau (Chelonia mydas) ............................................................... 10

4. Tahapan Penyu Bertelur ........................................................................... 12

5. Proses Penetasan ...................................................................................... 23

6. Peta Lokasi Penelitian .............................................................................. 24

7. Foto Lokasi Stasiun I ............................................................................... 26

8. Foto Lokasi Stasiun II .............................................................................. 27

9. Foto Lokasi Stasiun III ............................................................................. 27

10. Foto Lokasi Stasiun V ............................................................................ 28

11. Sketsa Kemiringan Pantai ...................................................................... 30

12. Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA) ........... 32

13. Cara Pengukuran Sarang Penyu Hijau ................................................... 33

14. Grafik Pasang Surut ............................................................................... 38

x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Alat dan Bahan ........................................................................................ 67

2. Jenis – Jenis Tumbuhan di Pulau Penyu ................................................. 68

3. Presator Alami di Pulau Penyu ............................................................... 69

4. Prosedur Penelitian ................................................................................. 69

5. Kondisi Umum Pulau Penyu ................................................................... 68

6. Data Curah Hujan di Pulau Penyu .......................................................... 74

7. Data Pasang Surut Periode 18 Mei – 01 Juni 2017 ................................. 77

xi
Universitas Sumatera Utara
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyu merupakan reptil yang hidup dilaut serta mampu bermigrasi dalam

jarak yang jauh disepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan

Asia Tenggara. Keberadaan penyu telah lama terancam, baik dari alam maupun

kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung yaitu

mengkonsumsi daging dan telurnya maupun tidak langsung dengan merusak

habitat peneluran.

Enam dari tujuh jenis penyu dapat ditemukan di Indonesia, yaitu Penyu

Belimbing (Dermochelys coriacea Linnaeus), Penyu Sisik (Eretmochelys

imbricata Linnaeus), Penyu Abu-Abu atau Lekang (Lepidochelys olivacea

Eschscholtz), Penyu Tempayan (Caretta caretta Linnaeus), serta Penyu Pipih

(Natator depressus Garman). International Union for the Conservation of Nature

(IUCN) menetapkan status Penyu Belimbing dan Penyu Sisik dalam kategori

kritis (criticaly endangered) sedangkan Penyu Hijau, Penyu Tempayan, dan

Penyu Abu-Abu dikategorikan hewan terancam punah (endangered) dan Penyu

Pipih dikategorikan rentan (vulnerable). Pemerintah Indonesia telah menetapkan

semua jenis penyu sebagai satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Liar (Agustina, 2009).

Faktor kehadiran penyu ke pantai karena kandisi biofisik pantai yang

sesuai untuk peneluran. Secara biologi kehadiran penyu pada suatu pantai

dipengaruhi kondisi sebaran ekosistem pesisir dan komposisi vegetasi pantai.

Universitas Sumatera Utara


2

Keberadaan hewan predator akan mempengaruhi tingkat jumlah telur penyu dan

tukik. Secara fisik, kehadiran penyu pada suatu pantai dipengaruhi oleh

kemiringan pantai, jenis sedimen pasir pantai, tingkat keterlindungan pantai

terhadap gempuran energi gelombang laut, dan kestabilan pantai (Nuitja, 1992).

Pantai berpasir tempat peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas)

merupakan inkubator serta memiliki suasana lingkungan yang sesuai bagi

perkembangan embrio. Pantai peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) memiliki

persyaratan umum antara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus

cukup tinggi untuk mencegah telur terendam oleh air pasang, pasir pantai relatif

lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya lubang sarang

pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi ini agar telur berada dalam

lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik,

sehingga telur tidak tergenang air selama masa inkubasi (Dona, 2015).

Konservasi dan penangkaran merupakan salah satu kegiatan yang

diharapkan dapat mencegah punahnya habitat penyu, mencegah adanya

pemanfaatan penyu demi kepentingan komersial seperti penjualan telur, daging,

maupun cangkang dan dapat menjadi sarana berbagi ilmu atau edukasi kepada

masyarakat secara luas tentang pentingnya konservasi penyu demi menjaga

habitat penyu di Indonesia agar tidak punah (Ario dkk., 2016).

Satu diantara penyu yang terdapat di Indonesia adalah Penyu Hijau

(Chelonia mydas) yang mempunyai penyebaran yang sangat luas, yaitu meliputi

perairan laut tropis dan sub tropis. Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur lebih

dari satu kali dalam satu musim dan akan mencari makan pada kedalaman tidak

melebihi tempat alga laut tumbuh dengan subur. Tempat yang paling disukai oleh

Universitas Sumatera Utara


3

Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk bertelur adalah dibawah naungan pandan

sekitar (Agus, 2007).

Ancaman utama terhadap populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah

kegiatan manusia, seperti pencemaran pantai dan laut, perusakan habitat

peneluran, perusakan daerah mencari makan, gangguan pada jalur imigrasi, serta

penangkapan induk penyu secara ilegal dan pengumpulan telur penyu. Hampir

disetiap daerah-daerah penyu banyak diburu manusia untuk diambil karapas,

daging, dan telurnya. Tingginya nilai ekonomis dari penyu membuat manusia

semakin bersikeras untuk melakukan perburuan terutama Penyu Hijau (Chelonia

mydas).

Perusakan habitat peneluran sangat mempengaruhi jumlah Penyu Hijau

(Chelonia mydas) yang mendarat dan meletakkan telur pada pantai tersebut.

Selain predator alami seperti biawak, semut, dan lain-lain, tingkat keberhasilan

penetasan telur semakin rendah bila kegiatan manusia tidak diperhatikan dan

populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) akan semakin terus menurun maka

diperlukan pembinaan habitat peneluran (nesting site) untuk menjaga

kelestariannya.

Pulau Penyu adalah salah satu pulau di KabupatenPesisir Selatan, Provinsi

Sumatera Barat sebagai lokasi daerah peneluran penyu termasuk jenis Penyu

Hijau (Chelonia mydas) dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi

Perairan Daerah (KKPD) berdasarkan SK Bupati No.53 Tahun 2003 dengan

luasan kawasan 17,614 Ha. Secara administratif Pulau Penyu memiliki posisi

geografis terletak pada koordinat 100o03’48” – 100o39’35” LS dan 1o30’02” –

1o42’00” BT. Pulau Penyu memiliki kondisi lingkungan yang masih sangat

Universitas Sumatera Utara


4

alamidan jauh dari campur tangan manusia sehingga sering juga ditemukan

beberapa jenis penyu mendarat dan bertelur pada lokasi tersebut.

Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) terjadi disepanjang tahun di

Pulau Penyu meskipun dalam jumlah sedikit hampir disetiap malam Penyu Hijau

(Chelonia mydas) ada yang naik untuk bertelur ataupun hanya mendarat saja.

Umumnya daerah Indonesia bagian barat musim peneluran terjadi pada musim

kemarau (Mei – Oktober) sedang di Indonesia bagian timur musim peneluran

terjadi pada musim hujan (November – April).

Informasi mengenai kondisi habitat pantai Pulau Penyu sebagai tempat

peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) masih sangat sedikit. Oleh karena itu,

peneliti bertujuan untuk menganalisis kondisi umum habitat tempat peneluran

Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan untuk menganalisis hubungan kondisi umum

habitat dengan tingkat keberhasilan penetasan telur Penyu Hijau (Chelonia

mydas) secara alami di Pulau Penyu Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Hasil dari

penelitian ini akan dijadikan acuan habitat umum yang mencirikan lokasi Penyu

Hijau (Chelonia mydas) dapat bertelur di pulau tersebut. Selain itu, aspek ini juga

dapat dijadikan perbandingan untuk pulau lain sehingga upaya konservasi Penyu

Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Penyu akan tepat sasaran.

Rumusan Masalah

Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan biota langka yang harus dijaga

kelestariannya demi masa mendatang. Pemanfaatan biota penyu saat ini masih

terjadi, baik penangkapan untuk dikonsumsi dagingnya maupun perburuan telur-

telur. Akibat dari penangkapan yang berlangsung secara terus-menerus dapat

Universitas Sumatera Utara


5

menyebabkan kepunahan. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah menjaga

kelestarian habitat dan wilayah untuk penyu hidup dan bertelur. Berdasarkan hal

tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi umum karakteristik bio-fisik habitat Pulau Penyu Pesisir

Selatan Provinsi Sumatera Barat?

2. Bagaimana hubungan kondisi umum karakteristik bio-fisik habitat Pulau

Penyu dengan tingkat keberhasilan penetasan telur Penyu Hijau (Chelonia

mydas) di Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kondisi umum karakteristik bio-fisik habitat pantai

peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Penyu Pesisir Selatan

Provinsi Sumatera Barat.

2. Untuk menganalisis tingkat keberhasilan penetasan telur Penyu Hijau

(Chelonia mydas) di Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai kondisi

umum karakteristik bio-fisik habitat pantai peneluran Penyu Hijau (Chelonia

mydas) dan mengetahui hubungan tingkat keberhasilan penetasan telur Penyu

Hijau (Chelonia mydas) secara alami di Pulau Penyu serta acuan pelestarian dan

pengelolaan penyu di Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.

Universitas Sumatera Utara


6

Kerangka Pemikiran

Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan hewan perairan laut yang

hidupnya mulai dari perairan laut dalam hingga perairan laut dangkal. Penyu

Hijau (Chelonia mydas) juga berada di daerah pantai dan biasanya digunakan

untuk bertelur. Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur ketika terjadi air pasang

penuh, induk penyu akan berenang menuju ke pantai yang berpasir dan

melakukan beberapa tahapan proses peneluran, yaitu merayap, membuat lubang

badan, membuat lubang sarang, bertelur, menutup lubang sarang, menutup

lubang badan, memadatkan pasir di sekitar lubang badan, istirahat, membuat

penyamaran sarang dan kembali ke laut. Pemilihan lokasi ini agar telur-telur

berada dalam lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki pori-

pori atau ventilasi yang baik.

Pengelolaan penyu yang berkelanjutan saat ini masih terhambat oleh

informasi literatur dan basis data ilmiah tentang kondisi karakteristik bio-fisik

habitat pantai peneluran penyu. Sehingga dengan dilakukannya penelitian ini

dapat menjadi acuan Pemerintah Daerah dan peranan masyarakat dalam

menentukan kebijakan upaya perlindungan Penyu Hijau (Chelonia mydas) di

Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Kerangka pemikiran dapat

dilihat pada Gambar 1.

Universitas Sumatera Utara


7

Habitat Penyu Bertelur

Bio-Fisik

Biologi Fisik

 Ekosistem Perairan Laut  Panjang Pantai


o Terumbu Karang  Lebar Pantai
o Padang Lamun  Kemiringan Pantai
o Rumput Laut  Tipe Pasang Surut
 Tumbuhan Pantai  Tipe Substrat Pantai
 Predator Alami di Pantai  Ukuran Butiran Pasir
o Fauna Sarang
o Manusia  Jarak Sarang dari Pasang
Surut
 Jarak Sarang dari
Tumbuhan
 Ukuran Sarang
 Suhu Sarang
 Suhu Udara
 Derajat Keasaman (pH)
Sarang
 Curah Hujan

Jumlah Sarang

Persentasi Keberhasilan Penetasan Telur

Pengelolaan Pulau Penyu Secara Berkelanjutan


oleh Pemerintah Daerah dan Masyarakat

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara


8

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Pulau Penyu

Pulau Penyu adalah sebuah pulau kecil yang terdapat di Kabupaten Pesisir

Selatan, sesuai dengan namanya, Pulau Penyu merupakan salah satu tempat

peneluran penyu terutama jenis Penyu Hijau (Chelonia mydas). Luas Pulau Penyu

berkisar 17,614 Ha dengan garis pantai 218 km dan pulau ini tidak berpenduduk.

Topografi Pulau Penyu relatif datar, pantai berpasir putih, ditumbuhi tanaman

tingkat tinggi dan cukup lebat seperti kelapa, semak, dan rumput. Pulau Penyu

dapat dicapai melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor kapasitas

mesin 15 PK dan waktu perjalanan ± 2 jam dari Kota Painan

(Kurniawan dkk., 2015).

Penetapan Pulau Penyu sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah

(KKPD) sesuai dengan SK Bupati Pesisir Selatan No.53 Tahun 2003. Pulau

Penyu dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pendidikan, budidaya, dan wisata

terutama wisata bahari. Dikawasan perairan pulau ini ditemukan 10 genera

rumput laut, kondisi terumbu karang yang cukup baik, jenis ikan hias, jenis ikan

konsumsi, dan ragam biota laut lainnya. Pada musim puncak bertelur, Penyu

Hijau mendarat di Pulau Penyu rata-rata setiap malamnya 15 – 20 ekor

(Kementerian Kelautan Perikanan, 2017).

Morfologi dan Klasifikasi Penyu Hijau

Menurut Nuitja (1992), Penyu Hijau (Chelonia mydas) mempunyai ciri-

ciri: karapas (punggung) sebagai penutup tubuh merupakan kulit keras yang

terdiri dari 4 pasang sisik coastal, 5 sisik vertebal, 12 pasang sisik marginal, dan

Universitas Sumatera Utara


9

sepasang sisik prefiontal yang letaknya di atas hidung. Memiliki sepasang kaki

depan, sepasang kaki belakang, kuku pada kaki depan hanya satu, warna

karapasnya coklat atau kehitam-hitaman, dan letak bagian karapas tidak saling

menutupi satu sama lainnya. Bagian dorsal anak-anak penyu yang baru lahir

(tukik) adalah berwarna hitam dan bagian ventralnya putih mulai dari kaki atau

“flipper”.

Nama Penyu Hijau (Chelonia mydas) diambil dari warna jaringan

lemaknya yang hijau bukan dari warna eksternalnya. Bagian bawah karapas

(plastron) biasanya berwarna putih atau kuning. Warna Penyu Hijau (Chelonia

mydas) bervariasi dari hiaju ke abu-abu ke coklat dan karapas seringkali ditandai

ditandai dengan titik-titik yang lebih gelap atau loreng-loreng. Panjang ekor

Penyu Hijau (Chelonia mydas) jantan dewasa memanjang jauh lebih

karapas,sedangkan ekor Penyu Hijau (Chelonia mydas) betina tidak memanjang

sampai melebihi lengkung karapasnya (Agusta, 2014).

Gambar 2 . Susunan Sisik Penyu Hijau (Sumber : Rebel, 1974 diacu oleh
Agusta, 2014)

Universitas Sumatera Utara


10

Klasifikasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) menurut Hirth (1971) adalah :

Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Monera

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Class : Reptilia

Sub class : Anapsida

Ordo : Testudinata

Sub ordo : Cryptonia

Famili : Cheloniidae

Genus : Chelonia

Spesies : Cheloniamydas

Gambar 3. Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Sumber : IUCN diacu oleh Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009)

Biologi Penyu Hijau

Penyu dikatakan binatang purbakala karena penyu dari jutaan tahun yang

lalu hingga sampai sekarang masih hidup. Penyu ini terdiri atas kepala, leher,

cangkang, kaki yang digunakan untuk melakukan renang di laut. Walau termasuk

Universitas Sumatera Utara


11

reptilian, penyu bernafas dengan paru–paru. Mereka hidup di laut lepas dan ke

permukaan air untuk bernafas dan mencari makanan (Nuitja, 1992)

Reproduksi Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah proses regenerasi yang

dilakukan penyu dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran

sampai menghasilkan anak penyu (tukik). Tahapan reproduksi penyu dapat

dijelaskan sebagai berikut:Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu

jantan bertengger di atas punggung penyu betina. Tidak banyak regenerasi yang

dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor

penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa. Penyu

melakukan perkawinan di dalam air laut. Pada waktu akan kawin, alat kelamin

penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang

mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu jantan kemudian naik ke

punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama perkawinan berlangsung,

penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina

agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul

tenggelam di permukaan air dalam waktu cukup lama bisa mencapai 6 jam lebih

(Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009)

Pada umumnya Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur lebih dari satu kali

dalam satu musim bertelur (3-4 kali) dengan interval internesting kira-kira 2

minggu. Letak lintang, umur, dan kualitas makanan merupakan beberapa faktor

yang mempengaruhi interval internesting pada Penyu Hijau (Chelonia mydas).

Setelah selesai bertelur, penyu betina dewasa akan meninggalkan sarang dan telur-

telurnya untuk kembali beruaya mencari makanan untuk kemudian

Universitas Sumatera Utara


12

melangsungkan kembali siklus hidupnya dilaut dan tahapan penyu bertelur dapat

dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahapan Penyu Bertelur (Sumber : Direktorat Konservasi dan Taman


Nasional Laut, 2009)

Universitas Sumatera Utara


13

Penyu Hijau (Chelonia mydas) termasuk hewan peruaya dengan daerah

ruaya yang luas hingga mencapai jarak ribuan kilometer. Ruaya Penyu Hijau yang

berhubungan dengan perkembangbiakan disebut breeding migration, sedangkan

yang berhubungan dengan perkembangan individu disebut develoment migration.

Salah satu kemampuan khas Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah

kemampuannya untuk kembali ke pantai tempat asal ia dilahirkan, kemampuan ini

dinamakan homing orientation. Penyu Hijau (Chelonia mydas) melakukan

migrasi ribuan kilometer dan tempat mencari makan (feeding habit) menuju ke

satu pantai untuk kawin dan bertelur dengan cara berenang menyusuri garis pantai

hingga menemukan pantai tempat mereka dilahirkan (Mukminin, 2002).

Hasil dari beberapa studi tentang penyu menerangkan bahwa penyu kecil

sering dijumpai di daerah pertemuan massa arus dimana makanan mereka

umumnya terdapat secara pasif. Setelah mencapai ukuran 30 cm atau lebih, penyu

muda selanutnya mendiami habitat makannya selama beberapa tahun hingga

dewasa dan siap untuk melakukan migrasi reproduksi. Penyu Hijau dikatakan

dewasa pada ukuran karapas 80 cm atau lebih (Bustard, 1972).

Penyebaran Penyu Hijau

Penyu hidup beradaptasi dengan baik di lingkungan laut dan bernafas

dengan paru-paru. Hampir seluruh siklus hidup penyu berlangsung di laut, penyu

betina kembali ke pantai untuk meletakan telurnya. Jarak migrasi antara pencarian

makan dan sarangnya di pantai cukup jauh, umur penyu 20-250 tahun dan

penyu hijau dapat mencapai 100 tahun (Nuitja, 1992)

Universitas Sumatera Utara


14

Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah jenis penyu yang paling umum

ditemukan di perairan Indonesia dan memiliki distribusi paling luas diantara jenis-

jenis penyu lainnya. Penyu Hijau (Chelonia mydas) menyebar mulai dari 26o LU –

26o LS dan daerah perkembangannya terdapat di daerah yang memiliki suhu rata-

rata di atas 20o C. Penyebaran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Indonesia dangat

erat hubungannya dengan fase siklus hidup dan habitat hidupnya (Hirth, 1971).

Penyebaran Penyu Hijau (Chelonia mydas) terdapat di dunia terdapat pada

Samudera Pasifik, Samudera Atlantik, dan Samudera Hindia. Penyu Hijau

(Chelonia mydas) sendiri di Indonesia dapat ditemukan pada wilayah Indonesia

bagian barat (Sulawesi Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung), bagian

tengah (Kepulauan Seribu, Kalimantan Timur, Jawa Timur), hingga bagian timur

(Bali, NTB, NTT, Sulawesi, dan Papua)

(Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).

Habitat Penyu Bertelur Secara Umum

Penyu Hijau (Chelonia mydas) membutuhkan tiga macam habitat dalam

siklus hidupnya, yaitu habitat makan, habitat kawin, dan habitat peneluran.

Habitat makan dan habitat kawin berada di perairan yang memiliki karang,

sedangkan habitat bertelur berada pada daerah pantai. Daerah yang lebih disukai

lagi adalah daerah yang mempunyai batu-batu sebagai tempat berlindung dan

menempelnya jenis makanan penyu (Nuitja, 1992).

Telur-telur penyu yang berada dalam sarang akan menetas karena

dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban, curah hujan dan lingkungan lainnya.

Curah hujan dapat mempengaruhi fluktuasi suhu dan kadar air yang kemudian

Universitas Sumatera Utara


15

mempengaruhi keberhasilan penetasan. Rendahnya kadar air sarang menyebabkan

keluarnya air dari dalam telur sedangkan kadar air lingkungan yang terlalu tinggi

akan mengakibatkan tumbuhnya jamur padabagian kulit telur dan mematikan

janin yang sedang berkembang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap

keberhasilan penetasan adalah faktor reproduksi dan indukan. Faktor ini meliputi

hal pembuahan oleh jantan, kesehatan organ reproduksi, kesiapan induk pada

proses produksi, makanan dan lain-lain (Srimulyaningsih, 2009).

Karakteristik Biologi Habitat Pantai Peneluran

Kehadiran Penyu Hijau (Chelonia mydas) pada lokasi pantai dipengaruhi

oleh kondisi biologi tempat tersebut. Karakteristik biologi habitat pantai peneluran

diantaranya adalah kondisi ekosistem perairan laut (terumbu karang, padang

lamun, rumput laut), tumbuhan pantai, dan predator alami di pantai

(Nuitja, 1992).

Ekosistem perairan laut adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk dari

proses interaksi timbal balik antar-makhluk hidup dalam suatu komunitas dalam

lingkungan abiotiknya. Ekosistem perairan laut merupakan sumber makanan bagi

Penyu Hijau (Chelonia mydas), secara umum Penyu Hijau (Chelonia mydas)

merupakan hewan herbivora (Muhtadi dkk., 2014).

Terumbu karang (coral reefs) adalah ekosistem di dasar laut tropis yang

dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapus (CaCO3) yang dihasilkan oleh

organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) khususnya jenis-jenis

karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar

lainnya dari filum Cnidaria, ordo Scleractina yang hidup bersimbiosis dengan

Universitas Sumatera Utara


16

zooxantellae, dan sedikit tambahan algae berkapur serta organisme lain yang

menyekresi kalsium karbonat (Nybakken, 1992).

Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Anthophyta atau

Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

terendam di dalam laut. Padang lamun adalah hamparan vegetasi lamun yang

menutupi suatu area dan terbentuk dari suatu atau beberapa jenis lamun dengan

kepadatan jarang atau tinggi (Fortes, 1989).Padang lamun merupakan tempat

Penyu Hijau (Chelonia mydas) melakukan aktifitasnya dan memanfaatkan lamun

sebagai sumber makanannya (Segara, 2008).

Rumput laut merupakan ganggang yang hidup dilaut dan tergolong dalam

divisio thallophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal

dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada

yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut, dan lain

sebagainya (Soegiarto et al., 1978). Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang bersifat

herbivora memakan rumput laut sebagai sumber makanannya di laut dan dianggap

sebagai biota pengganggu (hama) pada budidaya rumput laut. Tukik akan

berlindung diantara rumput laut hingga dewasa untuk menghindar dari predator

(Kamlasi, 2008).

Tumbuhan pada pantai mempunyai peran yang sangat penting bagi penyu

untuk melindungi sarang telur, agar tidak terkena langsung oleh sinar matahari.

Selain itu vegetasi dapat mencegah perubahan suhu yang tajam di sekitar sarang

dan melindungi sarang dari gangguan predator, serta memberikan pengaruh

terhadap kelembaban, kestabilan pada pasir (Kurniawan dkk., 2015).

Universitas Sumatera Utara


17

Berkurangnya populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di dunia tidak

terlepas dari adanya predator baik manusia dan fauna yang merupakan ancaman

bagi populasi Penyu Hijau(Chelonia mydas). Penyu melakukan kegiatan bertelur

pada malam hari dengan cahaya yang sedikit dengan harapan dapat

menghindarkannya dari predator.Sarang alami memiliki gangguan dari predator

lebih tinggi daripada sarang semi-alami. Biawak (Varanus salvator) merupakan

salah satu predator utama pada masa inkubasi telur hingga telur menetas dan tukik

merangkak ke luar sarang menuju laut. Kondisi ini dapat memengaruhi jumlah

penyu yang berhasil hidup di sarang alami (Wicaksono dkk., 2013).

Karakteristik Fisik Habitat Pantai Peneluran

Daerah peneluran sebagai ruang tempat bertelur bagi penyu laut,

mempunyai segi karakteristik setiap jenis penyu. Persyaratan umum untuk pantai

peneluran, yaitu pantai harus mudah dijangkau dari laut, posisi pantai harus cukup

tinggi untuk mencegah terendamnya telur-telur oleh air laut pasang, substrat pasir

memiliki aliran difusi gas, serta substrat berukuran sedang untuk mencegah

lubang sarang runtuh selama pembuatan sarang. Penyu laut umumnya memilih

daerah untuk bertelur pada dataran yang luas dan landai yang terletak di atas

bagian pantai dengan rata-rata kemiringan 30o serta di atas pasang surut antara 30

sampai 80 meter. Telur-telur diletakkan pada sarang yang dibuat antara 8 sampai

41 meter dari titik pasang tertinggi untuk menghindarkan terendamnya sarang

telur penyu (Nuitja, 1992).

Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada kehadiran penyu dipantai

peneluran. Selain itu penyu merupakan hewan yang bersifat instingtif terhadap

Universitas Sumatera Utara


18

pantai penelurannya, dimana penyu akan bertelur di pantai dimana dia pertama

kali ditetaskan. Masa awal reproduksi (bertelur) penyu cukup lama yaitu pada

umur 6-8 tahun, dan nilai kesintasan tukik (anak tetas) sampai menjadi dewasa

sangat rendah yaitu sekitar 3% (Yustina dkk., 2004).

Penyu Hijau (Chelonia mydas) tidak akan muncul dengan bantuan

hempasan ombak jika angin bertiup kencang, terutama saat bulan mati dan

purnama. Angin kencang yang kadang disertai badai akan terjadi ketika angin

musim barat. Angin kencang menyebabkan gelombang besar dan butiran-butiran

pasir beterbangan di sepanjang pantai. Curah hujan yang tinggi menyebabkan

daerah peneluran akan lebih keras dan sulit digali. Hal tersebut menyebabkan

Penyu Hijau (Chelonia mydas) menunda proses bertelurnya. Cahaya petir dapat

mempengaruhi penyu untuk tidak mendarat sebab penyu sangat sensitif dengan

cahaya dan benda bergerak yang dianggap sebagai predatornya

(Wicaksono dkk., 2013).

Penyu Hijau (Chelonia mydas) betina mulai naik ke pantai selang satu jam

sebelum hingga dua jam sebelum dan sesudah air laut pasang pada malam hari.

Jika tempat bertelur sudah dipilih, penyu betina segera membuat sarang. Pertama-

tama yang dikerjakan adalah membuat legokan tubuh (body pit). Dasar lubang

miring kedepan dengan bagian belakang lebih rendah dari permukaan pasir

sekitar. Setelah pembuatan lubang tubuh selesai dilanjutkan dengan pembuatan

lubang telur (egg hole). Diameter dan dalamnya lubang telur biasanya tergantung

besar extremitas, jadi tergantung oleh besarnya penyu. Lubang telur digali

berbentuk silindris dengan lubang bagian bawah lebih besar dari lubang bagian

atas (Bustard, 1972 diacu oleh Hatasura, 2004).

Universitas Sumatera Utara


19

Pemilihan letak sarang dan keberhasilan penetasan telur penyu terdapat

korelasi positif dengan ukuran butir pasir. Penyu laut bertelur di pantai yang

berpasir halus, karena pasir halus lebih mudah digali daripada pasir kasar dan

kerikil. Tekstur pasir pantai mempengaruhi penyerapan air dan keberhasilan

penetasan. Pasir kasar lebih sedikit menyimpan air daripada pasir halus, karena

pasir kasar mempunyai pori yang lebih besar. Kondisi tersebut menyebabkan

peningkatan mortalitas telur (Agustina, 2009).

Beberapa ahli berpendapat bahwa tumbuh-tumbuhan tidak dapat

dipisahkan dengan kehidupan binatang. Tanaman juga mempunyai

hubunganpenting lain dalam hal kemampuannya yang sederhana untuk

mensintesa organik yang sangat dibutuhkan bagi metabolisme protein, sember

makanan, alat melindungi diri dari pengaruh radiasi matahari, mencengah

perubahan suhu yang tajam disekitarnya, menghidari diri dari musuh, menjamin

situasi yang enak untuk tempat tinggal dan dalam rangkain berkembang biak.

Jenis Pandannus tectorius memberikan pengaruh terhadap naluri Penyu Hijau

(Chelonia mydas) untuk bertelur (Nuitja, 1992).

Kedalaman sarang erat kaitannya dengan suhu dan keberhasilan penetasan.

Semakin dalam sarang, maka suhu semakin tetap bila dibandingkan dengan suhu

permukaan sarang, dan suhu pada bagian tengah sarang lebih tinggi dibandingkan

suhu pada bagian permukaan dan samping sarang. Semakin dalam sarang

semakinbesar pula energi yang dibutuhkan tukik yang menetas untuk merangkak

dan sampai dipermukaan sarang, sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan

kemunculan tukik tersebut (Kushartono dkk., 2016).

Universitas Sumatera Utara


20

Suhu permukaan yang tinggi pada siang hari akan menghentikan tukik

keluar dari sarang. Pada malam hari tukik biasanya keluar dari sarang sambil

menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang kecil, ia berjalan dengan susah

payah menuju laut. Walaupun baru menetas secara naluriah dan atas bantuan

bintang dan bulan yang berada pada arah lautan juga putihnya warna buih lautan,

tukik dapat mengetahui arah laut dengan benar. Setelah mencapai laut, tukik-tukik

menuju laut lepas hingga mencapai arus samudera. Fase awal berkelana ini sering

disebut sebagai “tahun yang hilang” yang lamanya bervariasi sesuai dengan jenis

dan populasinya (Zamani, 1996 diacu oleh Sani, 2000).

Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat dimana perubahan cuaca dapat

mempengaruhi kondisi laut. Tingkah laku bertelur penyu juga berkaitan dengan

faktor cuaca, dimana ketika angin bertiup kencang menyebabkan ombak menjadi

besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir dan benda benda ringan lainnya di

sepanjang pantai. Selain itu ketika curah hujan tinggi pasir pada daerah peneluran

akan lebih keras dan lebih sulit untuk digali. Kesulitan dalam penggalian dan

hujan yang jatuh terus menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk

menunda proses penelurannya (Agustina, 2009).

Musim di Indonesia berada dalam pengaruh angin muson. Angin muson

timur bertiup mulai bulan Mei sampai September sepanjang tahun dan angin

muson barat bertiup mulai bulan Desember sampai Maret. Pada bulan April-Mei

dan Oktober-Novemberarah angin sudahtidak menentu, periode ini dikenal

sebagai Musim Peralihan 1 dan Musim Peralihan 2atau pancaroba awal dan

pancaroba akhir tahun. Aktivitas peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) sangat

tergantung pada kondisi lingkungan setempat, seperti musim dan

Universitas Sumatera Utara


21

tersedianyamakanan di laut maka dapat diduga adanya variasi waktu antara

“Nesting”dan “Peak season” (Segara, 2008).

Keberhasilan Penetasan Telur

Keberhasilan penetasan alami telur Penyu Hijau (Chelonia mydas)

memerlukan kesesuaian faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik diantaranya

adalah suhu dan kadar air sarang tempat penetasan. Faktor biotik diantaranya

adalah predator dan mikro organisme (bakteri patogen dan jamur) yang dapat

bersifat toksis terhadap perkembangan telur (Hatasura, 2004).

Tingkat keberhasilan penyu untuk bertelur dan menetaskan telur sangat

membantu dalam upaya pelestariannya. Tingkat keberhasilan penyu bertelur dan

menetaskan telur (nesting succsess) adalah presentase dari hasil bagi jumlah anak

penyu yang lahir dan berhasil hidup dengan jumlah keseluruhan telur yang

berhasil menetas. Kestabilan suhu pada perkembangan embrionik telur dalam

sarang berperan dalam keberhasilan menetas. Suhu sarang pada kedalaman 45 cm

berkisar antara 30-32 °C. Faktor-faktor lainnya yang juga mempengaruhi

keberhasilan menetas adalah keberadaan pemangsa. Pemangsa telur penyu adalah

babi hutan (Sus scrofa), anjing hutan (Cuon alpinus), dan biawak air (Varanus

salvator) (Diamond, 1976).

Telur-telur pada keadaan alami terletak pada kedalaman 45 – 50 cm,

sarang mempunyai temperatur yang relatif konstan. Fluktuasi suhu terjadi pada

kedalaman 15 cm dibawah permukaan. Makin kedalam fluktuasi suhu itu makin

berkurang behkan sediikit demi sedikit mencapai kestabilan. Pengaruh dominan

dari suhu ini sebagai akibat adanya intensitas cahaya yang mengenai permukaan

Universitas Sumatera Utara


22

sarang pada waktu siang hari. Pada waktu malam hari, sinar tersebut tidak ada

sehingga fluktuasinya juga berbeda (Nuitja, 1992)

Sesaat setelah telur dikeluarkan oleh induk, terjadi berbagai proses biologi.

Proses tersebut sangat rentan terhadap faktor yang dialami selama masa

transplantasi, terutama 2 jam setelah oviposisi. Sedangkan menurut Harless dan

Morlock (1979) diacu oleh Rudiana dkk., (2004) jika telur penyu mengalami

perubahan posisi maka embrio akan mengalami kematian atau gangguan yang

dapat mengancam kelangsungan perkembangannya. Telur penyu tidak

mempunyai kemampuan kembali ke posisi semula setelah rotasi seperti yang

dimiliki oleh telur ayam sehingga jika terjadi rotasi, embrio akan melipat dan

mengakibatkan kematianjika terjadi perubahan posisi telur penyu pada tahap awal

perkembangan embrio maka embrio akan berada di bawah kuning telur.

Perubahan posisi ini menyebabkan kematian embrio, kondisi sensitif telur penyu

terutama pada 2 hingga 72 jam setelah oviposisi. Walaupun pemindahan

dilakukan sesaat setelah oviposisi cenderung terjadi penurunan keberhasilan

menetas dibanding jika dilakukan inkubasi di sarang alami.

Pengenalan kelamin penyu dapat dilihat dari bentuk ekornya. Pada usia

muda sangat sulit dikenal jenis kelaminnya karena memiliki bentuk ekor yang

sama. Penyu jantan memiliki ekor yang lebih panjang dan bentuk kepalanya lebih

menyempit dibandingkan penyu betina. Telur penyu berbentuk elip (elliptical)

atau bulat (spherical) berwarna putih dengan memiliki kulit telur yang kenyal

(Krismono dkk., 2010).

Universitas Sumatera Utara


23

Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya,

masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan proses penetasan

hingga tukik keluar dari sarang menurut Yayasan Alam Lestari (2000) yaitu :

Gambar 5 . Proses Penetasan (Sumber: Yayasan Alam Lestari, 2000)

Keterangan :

1. Telur dalam sarang

2. Tukik memecahkan cangkang telur delur dengan mengggunakan paruh

(caruncle) yang terdapat di ujung rahang atas

3. Tukik mulai dapat aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput

embrio terlepas

4. Tukik bersama-sama dengan saudaranya berusaha menembus pasir untuk

mencapai permukaan

Universitas Sumatera Utara


24

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi

Sumatera Barat pada bulan Mei sampai Juli 2017. Peta lokasi penelitian dapat

dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut : GPS

(Global Positioning System), tali rafia, roll meter, tongkat berskala, selang

bening, senter, oven, timbangan digital, spidol, label, katong plastik, soil survey

meter, kamera, alat tulis, dan jaring pelindung sarang. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: telur Penyu Hijau (Chelonia mydas),

contoh pasir sarang, dan aquadest.

Universitas Sumatera Utara


25

Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode pengamatan

langsung (observasi) di lokasi penelitian. Prosedur kerja dari penelitian dilakukan

pengambilan data primer diantaranya: lebar pantai, kemiringan pantai, tipe pasang

surut, lebar sarang, kedalaman sarang, suhu sarang, suhu udara, derajat keasaman

(pH) sarang, jumlah sarang, persentase penetasan telur, jenis tumbuhan pantai dan

predator alami di pantai

Data sekunder diperoleh dari pemerintah setempat dan masyarakat

diantaranya: curah hujan dan ekosistem perairan laut meliputi terumbu karang,

padang lamun, dan rumput laut. Data panjang pantai diukur menggunakan

pengindraan jauh (Fields Area Measure), sedangkan untuk pengamatan tipe

substrat pantai dan ukuran butiran pasir dilakukan analisis di Laboratorium

Sentral Universitas Sumatera Utara.

Pengamatan Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang naik ke pantai dilakukan

pada pukul 20.00 WIB – 06.00 WIB. Pengamatan dilakukan untuk melihat dari

awal penyu naik ke pantai, mencari lokasi bertelur, proses penggalian lubang

hingga bertelur. Lama waktu yang dibutuhkan hingga penyu selesai bertelur ± 2

jam dimulai saat naik ke pantai hingga penyu tersebut selesai bertelur. Penggalian

sarang alami dilakukan setelah penyu selesai bertelur dan meninggalkan sarang

untuk menghitung jumlah telur.

Pengambilan data pertama di lokasi penelitian adalah 15 hari dan seletah 55

hari kemudian kembali lagi ke lokasi penelitian dengan waktu 3 hari untuk

pengambilan data kedua dilapangan.

Universitas Sumatera Utara


26

Penentuan Stasiun Pengamatan

Penentuan stasiun pengamatan di lakukan sesuai dengan hasil survey

lokasi. Luas Pulau Penyu dapat dikelilingi hanya dengan waktu ± 45 menit.

Adapun batas wilayah Pulau Penyu, sebelah utara berbatasan dengan Kota

Padang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Solok dan Provinsi Jambi,

sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Stasiun

pengamatan dibagi menjadi 4 stasiun dengan luasan Pulau Penyu dibagi rata

menjadi 4 bagian, sebelah utara, timur, selatan, dan barat dengan titik koordinat

yaitu :

Stasiun I : 100o26’18,740”E dan 1o29’54,180”S

Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis

pohonan besar serta butiran pasir yang lembut.

Gambar 7 . Foto Lokasi Stasiun I

Universitas Sumatera Utara


27

Stasiun II : 100o26’11,179”E dan 1o30’0,038”S

Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis

tumbuhan merambat di atas pasir serta butiran pasir yang lembut dan berwarna

putih.

Gambar 8. Foto Lokasi Stasiun II

Stasiun III : 100o26’23,950”E dan 1o30’0, 038”S

Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis

pohonan sedang serta butiran pasir yang lembut dan berwarna putih.

Gambar 9. Foto Lokasi Stasiun III

Universitas Sumatera Utara


28

Stasiun IV : 100o26’16,896”E dan 1o30’9,359”S

Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis

tumbuhan pandan yang lebih mendominasi serta butiran pasir yang lembut dan

berwarna putih.

Gambar 10. Foto Lokasi Stasiun IV

Pengukuran Parameter Bio-Fisik Habitat

Biologi

Ekosistem Perairan Laut

Ekosistem perairan laut yang diamati yaitu : ekosistem terumbu karang,

ekosistem padang lamun, dan ekosistem rumput laut meliputi kondisi dan spesies

yang ada di Pulau Penyu. Data yang diambil adalah data sekunder yang diperoleh

dari pemerintah setempat serta masyarakat.

Tumbuhan Pantai

Untuk mengetahui jenis – jenis tumbuhan pantai di Pulau Penyu

digunakan metode pengamatan langsung. Pemilihan lokasi jalur pengamatan

Universitas Sumatera Utara


29

dilakukan pada lokasi dimana Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur. Hasil

pengamatan kemudian dicatat.

Predator Alami di Pulau

Habitat peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) juga merupakan habitat

bagi satwa lainnya yang merupakan predator bagi Penyu Hijau (Chelonia mydas).

Ancaman predator merupakan faktor-faktor penurunan populasi Penyu Hijau

(Chelonia mydas). Predator yang sering terdapat di daerah habitat peneluran

penyu adalah biawak, kepiting, semut serta manusia yang memburu telur-telur

Penyu Hijau (Chelonia mydas). Pengambilan data predator yang terdapat di Pulau

Penyu dengan pengamatan secara lansung.

Fisik

Panjang Pantai dan Lebar Pantai

Pengukuran panjang pantaidilakukan menggunakan pengindraan jauh

dengan aplikasi Fields Area Measure agar data lebih akurat. Untuk pengukuran

lebar pantai, pengukuran dilakukan menjadi tiga, yaitu lebar supratidal yang

diukur dari vegetasi terluar hingga batas pasang tertinggi, lebar intertidal diukur

dari batas pasang tertinggi hingga surut teredah dan lebar total hasil penjumlahan

lebar supratidal dengan lebar intertidal.

Kemiringan Pantai

Kemiringan pantai diukur menggunakan tali berskala berukuran 20 m

untuk mengukur panjang, mistar berukuran 2 m untuk mendapatkanketinggian

Universitas Sumatera Utara


30

dan waterpass untuk mempertahankan kelurusan tali berskala. Pengukuran

dimulai dari vegetasi terluar hingga ke pantai pertarna kali basah oleh gelombang

dengan cara memproyeksikan titik yang ekstrim tegak lurus pantai.

Gambar 11. Sketsa Kemiringan Pantai (Sumber : Segara, 2008)

Nilai kemiringan pantai dihitung berdasarkan :

( )

Tabel 1. Klasifikasi Kemiringan Pantai

Nilai Kemiringan Tipe


0% - 3% Datar
3% - 8% Landai
8% - 16% Miring
16% - 30% Agak Curam
30% - 65% Curam
>65% Sangat Curam
(Sumber : Agustina, 2009)

Tipe Pasang Surut

Pengukuran pasang surut dilakukan setiap sejam sekali dengan

menggunakan tonggak berskala yang dipasang pada pasang terendah. Pengamatan

pasang surut dilakukan selama 15 hari. Keberadaan Penyu Hijau (Chelonia

Universitas Sumatera Utara


31

mydas) di pantai disebabkan kawasan pantai mudah dijangkau dari laut saat air

laut pasang, sehingga kondisi pantai tersebut berpotensi sebagai lokasi peneluran

penyu.

Tipe Substrat Pantai

Sampel substrat (pasir) sarang contoh diambil tiap lokasi peneluran yaitu

stasiun utara, timur, selatan, dan barat dengan menggunakan sekop kecil

secukupnya kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat agar

kandungan airnya tidak berubah. Sampel substrat kemudian dibawa ke

LaboratoriumCentral Universitas Sumatera Utara untuk dianalisismenggunakan

metode fraksi pasir. Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat

yaitu :

1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi subsrat. Misalnya fraksi

pasir 45%, debu 30% dan liat 25%.

2. Menarik garis lurus pada sisi presentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi

presentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di

titik 30% sejajar dengan presentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi

presentase liat 25% sejajar dengan sisi presentase pasir.

3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang

dianalisis, misalnya hal ini adalah lempung. Untuk analisis substrat

menggunakan Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)

dapat dilihat pada Gambar 14 .

Universitas Sumatera Utara


32

Gambar 12. Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)


(Ritung dkk., 2010)

Ukuran Butiran Pasir Sarang

Pengukuran ukuran butiran pasir juga dilakukan di laboratorium dengan

menggunakan mikroskop. Klasifikasi ukuran butiran pasir menurut sistem United

States Department of Agriculture (USDA) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Diameter Butiran Pasir

Klasifikasi Diameter Butiran Pasir (mm)


Pasir Debu Liat
Sangat Kasar Sedang Halus Sangat
Kasar Halus
2,00- 1,00- 0,50- 0,25- 0,10- 0,05- < 0,002
1,00 0,50 0,25 0,10 0,005 0,002

Universitas Sumatera Utara


33

Jarak Sarang Dari Pasang Surut

Jarak sarang dari pasang surut diukur menggunakan roll meter.

Pengukuran dilakukan saat terjadi pasang tertinggi dari sarang dan saat surut

terendah dari sarang.

Jarak Sarang Dari Tumbuhan

Jarak sarang dari tumbuhan diukur dengan menggunakan roll meter.

Tumbuhan terdekat menjadi batas ukuran dengan ditemukannya sarang.

Ukuran Sarang

Ukuran sarang yang dilakukan adalah panjang dan lebar sarang dengan

menggunakan penggaris. Kedalaman sarang yang diukur adalah kedalaman

lubang badan dan kedalaman telur yang paling dalam.

L
P D
d

Gambar 13. Cara Pengukuran Sarang Penyu Hijau (Sumber : Arianto, 1999)

Keterangan :

P = Panjang Sarang

L = Lebar Sarang

D = Kedalaman Lubang Badan

d = Kedalaman Sarang

t = Diameter Sarang Telur

Universitas Sumatera Utara


34

Suhu Sarang

Pengukuran suhu saranghanya dilakukan satu kali dalam sehari ketika

Penyu Hijau (Chelonia mydas) selesai bertelur dan meninggalkan sarang.

Pengukuran dilakukan dengan menggali pasir terlebih dahulu kemudian

membenamkan termometer ke dalam pasir lubang sarang selama kurang lebih 1

menit dan dilakukan 2 kali ulangan untuk menghindari bias. Pengukuran

dilakukan pada dasar substrat, karena suhu sarang adalah suhu campuran antara

suhu dasar substrat dengan suhu telur.

Suhu Udara

Pengkururan suhu udara dilakukan secara langsung pada lokasi

pengamatan. Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00 WIB, 12.00 WIB, 18.00

WIB, dan 24.00 WIB selama satu hari pengamatan.

Derajat Keasaman (pH) Sarang

Kadar pasir pH sarang diukur menggunakan alat pH tester dengan cara

ditancapkan pada dasar sarang dengan 2 kali pengulangan.Pengukuran pH hanya

dilakukan satu kali dalam sehari ketika Penyu Hijau (Chelonia mydas) selesai

bertelur dan meninggalkan sarang.

Curah Hujan

Pengambilan data curah hujan perbulan dilakukan secara ex situ yaitu

dengan mengambil data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Sumatera Barat.

Universitas Sumatera Utara


35

Adapun pengambilan data parameter bio-fisik habitat pantai peneluran

dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Parameter Bio-Fisik Habitat

Parameter Satuan Alat Tempat Analisis


Biologi
Ekosistem perairan laut - - ex situ
Tumbuhanpantai - Roll meter in situ
Predator alami di pantai Kamera/visual in situ
Fisik
Panjang pantai Km Citra satelit ex situ
Lebar pantai M Roll meter in situ
Kemiringan pantai % Water pass in situ
Tipe pasang surut - Visual in situ
Tipe substrat pantai Mm Mikroskop ex situ
Jarak sarang dari pasang M Roll meter In situ
surut
Jarak sarang dari M Roll meter in situ
tumbuhan
Ukuran sarang Cm Mistar in situ
˚
Suhu sarang C Thermometer in situ
pH sarang - pH tester in situ
Ukuran butiran pasir Mm Mikroskop ex situ
sarang
Curah hujan Mm/bulan - ex situ

Jumlah Sarang

Seluruh Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang naik dan bertelur selama 7

hari pengamatan dihitung jumlahnya dan dicatat sesuai dengan stasiun

pengamatan.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah dengan mencari hubungan deskriptif

antara kondisi bio-fisik habitat pantai peneluran dengan tingkat persentase

penetasan telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) pada tiap stasiun. Persentase

Universitas Sumatera Utara


36

penetasan dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah telur yang menetas

dengan jumlah selurih telur yang diinkubasi dalam sarang. Pehitungan

menggunakan rumus bedasarkan Dobbs et al., 1999 diacu oleh Rofiah dkk., 2012

yaitu sebagai berikut :

Keterangan :

HSs = Tingkat keberhasilan menetas

JS = Jumlah telur yang menetas

TM = Jumlah telur yang gagal menetas

Universitas Sumatera Utara


37

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Karakteristik Habitat Penyu Bertelur

Fisik

Panjang Pantai dan Lebar Pantai

Pulau Penyu memiliki panjang pantai sepanjang 1,53 km. Nilai lebar

pantai tertinggi terdapat pada Stasiun II dengan nilai 24,5 meter. Nilai lebar pantai

keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Lebar Pantai di Pulau Penyu


Lokasi Nilai (m)
Stasiun I 15,5
Stasiun II 24,5
Stasiun III 15,5
Stasiun IV 15,5

Kemiringan Pantai

Kemiringan pantai berpengaruh pada pembuatan sarang Penyu Hijau

(Chelonia mydas). Kemiringan pantai pada Pulau Penyu berkisar antara 3,703 % -

4,482 % dengan sudut kemiringan 23,8˚ - 29,2˚ dengan nilai pada tiap stasiun

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kemiringan Pantai di Pulau Penyu

Lokasi Nilai (%) Sudut Kemiringan Kategori


Stasiun I 3,7 29,2˚ Landai
Stasiun II 4,5 23,5˚ Landai
Stasiun III 4,4 23,8˚ Landai
Stasiun IV 4,4 23,8˚ Landai

Universitas Sumatera Utara


38

Tipe Pasang Surut

Tipe pasang surut yang terjadi pada Pulau Penyu adalah tipe semi diurnal,

yaitu dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Dengan fluktuasi

berkisar 0,2 – 2,8 meter dan mencapai puncaknya pada saat bulan purnama terjadi.

Pasang surut air laut pantai berpengaruh pada frekuensi pendaratan Penyu Hijau

(Chelonia mydas). Grafik pasang surut di Pulau Penyu periode 18 Mei – 01 Juni

2017 dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Grafik pasang surut di Pulau Penyu periode 18 Mei – 01 Juni 2017

Tipe Substrat Pantai dan Ukuran Butiran Pasir Sarang

Tipe substrat pantai mempengaruhi Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk

mendarat dan bertelur pada suatu lokasi peneluran. Berdasarkan hasil dari

penelitian ditemukan substrat sarang terdiri dari pasir, liat, dan debu. Namun di

sepanjang pantai batas pasang tertinggi ditemukan pecahan – pecahan karang di

lokasi tersebut. Tipe substrat sarang dari hasil analisis laboratorium dapat dilihat

pada Tabel 6.

Universitas Sumatera Utara


39

Tabel 6. Substrat Sarang di Pulau Penyu

Lokasi Parameter
% - Teksture (Hydrometer)
Pasir Liat Debu Tekstur
Stasiun I 91 8 1 Pasir
Stasiun II 91 8 1 Pasir
Stasiun III 91 8 1 Pasir
Stasiun IV 91 8 1 Pasir

Ukuran butiran pasir sarang hasil analisis terdiri dari pasir sedang dengan

ukuran 0,50 mm dan pasir halus dengan ukuran 0,25 mm, pasir halus lebih

mendominasi pada setiap sarang telur yaitu sebesar 83,5%. Butiran pasir yang

lebih halus tentunya lebih dipilih karena mudah untuk digali. Nilai ukuran

diameter pasir sarang pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Ukuran Diamter Butiran Pasir Sarang di Pulau Penyu

Lokasi Ukuran Diameter Pasir Sarang (%)


Sedang Halus
Stasiun I 17,5 83,5
Stasiun II 17,5 83,5
Stasiun III 17,5 83,5
Stasiun IV 17,5 83,5

Jarak Sarang dari Pasang Surut

Jarak sarang dari pasang surut sangat mempengaruhi tingkat penetasan

telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). Telur yang rentan terkena pasang air laut

cenderung mengalami kegagalan menetas atau tidak berhasil menetas seluruhnya.

Nilai jarak pasang surut dapat dilihat pada Tabel 8.

Universitas Sumatera Utara


40

Tabel 8. Jarak Sarang dari Pasang Surut di Pulau Penyu

Lokasi Jarak Sarang dari Jarak Sarang dari


Pasang Tertinggi (m) Surut Terendah (m)
Stasiun I 8 13,5
Stasiun II 9,5 14,5
Stasiun III 9 13,5
Stasiun IV 8,5 13,5

Jarak Sarang dari Tumbuhan

Penyu rata-rata bertelur saat terjadi pasang tinggi, hal ini dikarenakan

semakin mudahnya penyu untuk mendarat ke permukaan pantai dibantu oleh air

laut yang naik. Jarak sarang dari tumbuhan mempengaruhi tingkat penetasan telur

Penyu Hijau (Chelonia mydas). Sarang yang dekat dengan naungan sebuah

tumbuhan menghasilkan tingkat penetasan yang tinggi, sebaliknya jarak sarang

yang jauh dari naungan tumbuhan rentan mengalami kegagalan penetasan. Nilai

jarak sarang dari tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Jarak Sarang dari Tumbuhan di Pulau Penyu

Lokasi Jarak Sarang dari Vegetasi


Stasiun I 2 meter
Stasiun II 10 meter
Stasiun III 2 meter
Stasiun IV 2 meter

Ukuran Sarang

Pengukuran sarang yang dilakukan adalah panjang sarang badan (P), lebar

sarang badan (L), kedalaman lubang badan (D), kedalaman sarang (d), dan

diameter lubang telur (t). Ukuran sarang yang terukur selama penelitian berkisar

antara L 62 – 65 cm, P 100 – 105 cm, D 36 – 38 cm, d 38 – 39 cm, t 23 – 25 cm.

Hasil dari pengukuran sarang tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 10.

Universitas Sumatera Utara


41

Tabel 10. Ukuran Sarang di Pulau Penyu

Lokasi Ukuran Sarang


L P D d t
(cm) (cm) (cm) (cm) (cm)
Stasiun I 65 105 37 38 23
Stasiun II 63 102 36 39 24
Stasiun III 65 100 37 39 24
Stasiun IV 62 102 38 38 25
Rata-rata 63,75 102,25 38,5 38,5 24

Suhu Sarang dan Suhu Udara

Suhu sarang merupakan perpaduan antara suhu lingkungan dengan

metabolisme yang berasal dari proses embriotik. Hasil penetasan yang paling

mempengaruhi adalah suhu. Suhu sarang telur yang terlalu rendah dapat

menyebabkan lama waktu inkubasi bertambah sehingga menyebabkan kematian.

Sebaliknya, suhu sarang yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian janin

dalam telur.

Nilai suhu sarang tertinggi terdapat pada Stasiun II yaitu 30˚C dan

terendah pada Stasiun I yaitu 27˚C. Hasil pengukuran suhu sarang pada setiap

stasiun dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Pengukuran Suhu Sarang di Pulau Penyu

Lokasi Pukul Suhu Sarang


Stasiun I 21.45 WIB 27˚C
Stasiun II 22.15 WIB 30˚C
Stasiun III 22.45 WIB 28˚C
Stasiun IV 21.30 WIB 28˚C
Suhu udara tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WIB yaitu 29˚C dan terendah pada

pukul 06.00 WIB yaitu 27˚C. Nilai suhu udara pada setiap stasiun dapat dilihat

pada Tabel 12.

Universitas Sumatera Utara


42

Tabel 12. Pengukuran Suhu Udara di Pulau Penyu

Lokasi Pukul Suhu Sarang


Stasiun I 06.00 WIB 27˚C
12.00 WIB 29˚C
18.00 WIB 28˚C
24.00 WIB 28˚C
Stasiun II 06.00 WIB 27˚C
12.00 WIB 29˚C
18.00 WIB 28˚C
24.00 WIB 28˚C
Stasiun III 06.00 WIB 27˚C
12.00 WIB 29˚C
18.00 WIB 28˚C
24.00 WIB 28˚C
Stasiun IV 06.00 WIB 27˚C
12.00 WIB 29˚C
18.00 WIB 28˚C
24.00 WIB 28˚C

Derajat Keasaman Sarang (pH)

Nilai derajat keasaman sarang (pH) di dapat dengan cara menancapkan

alat soil tester pada lubang dasar sarang saat dilakukannya penggalian. Rata-rata

nilai pH yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian yaitu 7. Nilai pH dapat

dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Pengukuran pH di Pulau Penyu

Lokasi Pukul pH Sarang


Stasiun I 21.45 WIB 7
Stasiun II 22.15 WIB 7
Stasiun III 22.45 WIB 7
Stasiun IV 21.30 WIB 7

Curah Hujan

Berdasarkan hasil penelitian dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan

Geofisika (BMKG) Sumatera Barat, curah hujan yang terjadi pada waktu

Universitas Sumatera Utara


43

penelitian yaitu bulan Mei, Juni, dan Juli memiliki rata-rata 400 mm/bulan dengan

sifat hujan tinggi yaitu 200%. Bulan Mei memiliki tingkat curah hujan yang lebih

tinggi dibandingkan bulan Juni dan Juli. Data dari BMKG dapat dilihat pada

Lampiran 6.

Jumlah Sarang

Jumlah sarang yang ditemukan selama penelitian ada 8 sarang, terdiri dari

4 sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan 4 sarang Penyu Sisik (Eretmochelys

imbricata). Jumlah sarang yang ditemukan pada lokasi penelitian dapat dilihat

pada Tabel 14.

Tabel 14. Jumlah Sarang yang ditemukan di Pulau Penyu

Hari/Tanggal Pukul Lokasi Jumlah Jenis Telur


Sarang
Rabu, 21.40 WIB Stasiun I 1 Penyu Sisik
17 Mei 2017
Kamis, 21.45 WIB Stasiun I 1 Penyu Hijau
18 Mei 2017
Jumat, 22.15 WIB Stasiun II dan III 2 Penyu Hijau
19 Mei 2017
Sabtu, 21.30 WIB Stasiun IV 2 Penyu Hijau dan
20 Mei 2017 Penyu Sisik
Minggu, 22.30 WIB Stasiun I 1 Penyu Sisik
21 Mei 2017
Senin, 22.45 WIB Stasiun III 1 Penyu Sisik
22 Mei 2017
Selasa, 22 - - - -
Mei 2017

Persentase Penetasan

Berdasarkan hasil pengamatan, telur Penyu Hijau (Chelonia mydas)

mentetas pada hari ke 55 – 62 setelah inkubasi. Persentase penetasan tertinggi

pada Stasiun IV dengan nilai persentase 95,23 % dan persentase penetasan

Universitas Sumatera Utara


44

terendah pada Stasiun II dengan nilai 24,21 %. Tabel persentase penetasan dapat

dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Persentase Penetasan di Pulau Penyu

Lokasi Jumlah Jumlah Persentase Masa


Telur Menetas penetasan Inkubasi
(butir) (butir) (%) (hari)
Stasiun I 120 110 91,67 55
Stasiun II 95 23 24,21 62
Stasiun III 100 92 92 57
Stasiun IV 105 100 95,23 55
Rata-rata 105 81,25 75,77 57,25

Biologi

Kondisi Ekosistem Perairan Laut

Habitat laut Penyu Hijau (Chelonia mydas) ditemukan hamparan terumbu

karang yang sehat dan baik di Pulau Penyu. Data ini diperoleh dari Kementerian

Kelautan dan Perikan (KKP) tahun 2017. Jenis-jenis terumbu karang yang

didapati yaitu: branching, tabulate, encrusting, massive, sub massive, digitate,

foliose, mushroom, melipora, dan heliopera. Selain itu ditemukan juga disekitaran

selatan Pulau Penyu 10 genera rumput laut, diantaranya: Halimeda sp, Acaulerpa

sp, Sargasum sp, Turbinari sp, Padina australis, Laurentia sp, Udotea sp,

Gracillaria sp, Euchema sp, Hypnea sp, dan lain-lain.

Tumbuhan Pantai

Kondisi lingkungan di Pulau Penyu pada habitat darat peneluran Penyu

Hijau (Chelonia mydas) ditemukan tumbuhannya masih sangat baik. Tetapi,

terdapat juga adanya kerusakan akibat pengaruh abrasi pantai. Dengan adanya

Universitas Sumatera Utara


45

tumbuhan di Pulau Penyu menjamin kestabilan keadaan pulau tersebut terutama

populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas). Pada habitat peneluran Penyu Hijau

(Chelonia mydas) ditemukan beberapa jenis tumbuhan diantaranya adalah sebagai

berikut: Pandan laut (Pandannus tectorius), Ketapang (Terminalia cattapa), Waru

laut (Hibiscus tiliaceus), Kangkung laut (Ipomea pescaprae), Kelapa (Cocos

nucifera), dan Butun (Baringtonia asiatica). Tumbuhan yang paling mendominasi

adalah pandan laut (Pandannus tectorius).

Predator Alami di Pantai

Predator alami yang ditemukan di Pulau Penyu adalah jenis fauna, baik

fauna dilaut, fauna didarat dan di udara. Pulau Penyu tidak hanya menjadi tempat

tinggal bagi penyu yang mendarat tetapi banyak satwa lain yang hidup menjadi

predator bagi penyu. Jenis-jenis fauna yang ditemukan antara lain jenis ikan –

ikan karang, bulu babi (Diadema sp), elang laut ini adalah fauna yang menjadi

predator bagi tukik, sedangkan fauna yang hidup darat di sepanjang Pulau Penyu

adalah kepiting penggali dan biawak yang merupakan predator potensial bagi

sarang telur-telur Penyu Hijau (Chelonia mydas).

Pembahasan

Ekosistem Perairan Laut

Berdasarkan hasil penelitian, Penyu Hijau (Chelonia mydas) dijumpai

pada lokasi penelitian Pulau Penyu. Pulau Penyu yang ditumbuhi oleh rumput laut

menjadi sumber makanan bagi Penyu Hijau (Chelonia mydas). Sumber makanan

menjadi faktor utama Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk mendarat dan

Universitas Sumatera Utara


46

meletakkan telur pada daerah lokasi peneluran terutama di Pulau Penyu. Hal ini

sesuai dengan Yustina dkk (2004) yang menyatakan populasi penyu akan banyak

dijumpai pada tempat yang ketersediaan makanan memadai dan adanya sarang

yang serasi.

Hamparan terumbu karang yang dijumpai pada daerah perairan di Pulau

Penyu menandakan kondisi perairannya yang masih tergolong baik. Penyu Hijau

(Chelonia mydas) menyukai terumbu karang sebagai tempat berlindung dan

mencari makan. Hal ini sesuai dengan Zakyah (2016) yang menyatakan Penyu

Hijau (Chelonia mydas) sering terdapat diantara terumbu karang pada daerah laut

lepas. Terumbu karang menjadi sumber makanan yang baik dan menjadi tempat

hidup (habitat) Penyu Hijau (Chelonia mydas).

Kondisi Pulau Penyu yang masih terbilang baik meningkatkan pendaratan

Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk bertelur. Tidak terlalu banyaknya

pencahayaan dan suara berisik juga menjadi kesenangan Penyu Hijau (Chelonia

mydas) bertelur. Hal ini sesuai dengan Krismono dkk., (2010) yang menyatakan

Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan hewan yang sensitif terhadap getaran,

memiliki kemampuan melihat obyek yang ada di depannya sampai sudut 30° dan

180° ke arah samping serta dapat berakomodasi dengan baik pada sudut 150° serta

cahaya dengan panjang gelombang 520 nm (biru hijau).

Tumbuhan Pantai

Jenis tumbuhan Pandan laut (Pandannus tectorius) dan Kangkung laut

(Ipomea pescaprae) menjadi kesukaan Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk

meletakkan sarangnya. Akar-akar halus dari pandan laut dan kangkung laut dapat

Universitas Sumatera Utara


47

mencegah runtuhnya sarang karena akar dapat mengikat butiran pasir. Hal ini

sesuai dengan Hermawan dkk., (1993) yang menyatakan sistem perakaran pandan

laut dapat meningkatkan kelembaban pasir dan memberikan kestabilan pada pasir.

Banyaknya tumbuhan pantai yang terdapat pada Pulau Penyu merupakan

fungsi untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembapan sarang Penyu Hijau

(Chelonia mydas). Sarang tidak langsung terkena paparan sinar matahari akibat

ditumbuhi oleh vegetasi disekitarnya. Hal ini sesuai dengan Langinan dkk., (2017)

yang menyatakan tumbuhan-tumbuhan pantai penting berfungsi untuk menjaga

dan meningkatkan kelembaban pasir, stabilitas suhu, dan mengurangi penguapan

akibat radiasi sinar matahari.

Naungan tumbuhan pantai seperti pandan laut, kangkung laut, waru laut,

kelapa, ketapang, dan butun juga menjadi pelindung bagi sarang Penyu Hijau

(Chelonia mydas) dari jenis predator yang ada di Pulau Penyu. Hal ini sesuai

dengan Sheavtiyan dkk (2014) yang menyatakan beberapa sarang yang ditemukan

cenderung berada di bawah naungan pandan. Kondisi ini berpengaruh positif

terhadap aktifitas peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang secara naluriah

sangat menyukai vegetasi pandan sebagai vegetasi naungannya untuk bersarang.

Berdasarkan hasil penelitian, di lokasi Pulau Penyu tidak hanya Penyu

Hijau (Chelonia mydas) yang ditemukan mendarat dan bertelur, terdapat pula

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang mendarat dan bertelur pada lokasi

penelitian. Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) memiliki kesamaan yaitu

menyukai lokasi Pulau Penyu sebagai tempat untuk bertelurnya. Hal ini sesuai

dengan Hermawan dkk., (1993) yang menyatakan vegetasi pantai merupakan

salah satu faktor yang berperan penting di daerah peneluran Penyu Sisik

Universitas Sumatera Utara


48

(Eretmochelys imbricata). Jenis pohon perdu mempengaruhi kesukaan Penyu

Sisik (Eretmochelys imbricata) untuk membuat sarang.

Predator Alami di Pantai

Perusakan sarang oleh predator jenis fauna darat yang ditemukan di lokasi

penelitian yang mengakibatkan rusaknya waring untuk melindungi sarang. Jenis

kepiting penggali membuat lubang–lubang di sekitaran sarang sehingga terjadi

perubahan suhu di dalam sarang. Akibat perubahan suhu keberhasilan penetasan

tidak mencapai 100%. Hal ini sesuai dengan Arianto (1999) yang menyatakan

pengerusakan yang dilakukan kepiting hantu adalah dengan membuat lubang–

lubang pada sarang peneluran yang mengakibatkan bertambahnya masa inkubasi

telur–telur penyu sehingga menyebabkan kerusakan pada telur (pembusukan).

Tukik yang baru menetas tidak langsung keluar menuju pantai, tukik

tertahan di dalam waring (pelindung sarang) yang dibuat. Ketika tukik bergerak

bebas menuju pantai jenis burung elang laut, ikan di laut, serta bulu babi menjadi

ancaman tukik. Hal ini sesuai dengan Karnan (2008) yang menyatakan kelompok

tukik biasanya kehilangan arah, sehingga dimangsa oleh predator atau bahkan

mati karena faktor lain, misalnya terkena sengatan matahari.

Panjang Pantai dan Lebar Pantai

Berdasarkan pengukuran secara ex situ nilai panjang pantai Pulau Penyu

adalah 1, 53 km, Pulau Penyu merupakan pantai yang memiliki luasan daerah

yang lapang dan berhubungan langsung dengan laut lepas sehingga jenis Penyu

Hijau (Chelonia mydas) melakukan pendaratan dan bertelur pada lokasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara


49

Hal ini sesuai dengan Rohim (2017) yang menyatakan pantai yang panjang ini

sangat cocok dengan kebiasaan Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk memilih

lokasi sebagai habitat tempat bertelurnya di tempat luas dan lapang.

Nilai tertinggi lebar pantai terdapat pada Stasiun II yaitu 24,5 meter dan

dengan nilai rata-rata lebar pantai adalah 17,5 meter. Perbedaan nilai ini

disebabkan akibat kencangnya arus dan gelombang pada Stasiun II sehingga

menyebabkan substrat pasir mampu terbawa oleh air laut. Hal ini sangat berbeda

dengan Nuitja (1992) yang menyatakan kisaran lebar pantai yatempat pendaratan

penyu adalah 30–80 meter. Dalam Zarkasi dkk (2011) juga menyatakan lebar

pantai di daerah pantai Pulau Wie berkisar antara 15,84 m sampai dengan 27,44 m

dengan kondisi pasang terendah, daerah yang ada pada stasiun 1 dengan lebar

27,44 m dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 15,84 m, Hal ini diduga

disebabkan pada stasiun ini terjadi gerakan ombak yang lebih besar di

bandingkan dengan stasiun lainya sehingga gerakan ombak yang besar mampu

membongkar subtrat pasir yang ada di pantai.

Kemiringan Pantai

Nilai kemiringan pantai pada setiap stasiun pengamatan tidak terlalu

signifikan perbedaannya dan termasuk ke dalam kategori landai dengan rata-rata

4,3% atau sudut kemiringan 25,075˚. Penyu Hijau (Chelonia mydas) mendarat

dan meletakkan telur pada setiap stasiun pengamatan. Dengan kondisi pantai yang

landai memudahkan Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk naik. Hal ini sesuai

dengan Nuitja (1992) yang menyatakan bahwa penyu cenderung memilih tempat

bertelur dengan kemiringan ≤ 30˚. Pantai dapat dikatakan berpotensi sebagai

Universitas Sumatera Utara


50

habitat peneluran apabila pantai tersebut mudah dicapai dari permukaan laut, pasir

pantai yang lebih dominan dan pasang surut yang stabil.

Nilai kemiringan pantai pada Stasiun II adalah 4,5% dengan sudut

kemiringan 23,5˚. Terjadinya perbedaan yang cukup terlihat pada nilai kemiringan

Stasiun II disebabkan adanya gelombang sehingga menyebabkan penambahan

substrat pasir pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan Sheavtiyan dkk (2014)

yang menyatakan kemiringan Pantai Sungai Belacan yang tinggi disebabkan

karena kondisi perairan di sekitar pantai kuat berombak. Kondisi ini

memungkinkan adanya penambahan substrat pantai yang terbawa dari laut

menuju pantai. Berbeda dengan pantai Munggu Resak dan Tanjung Kemuning

yang memiliki ombak relatif lebih tenang sehingga meminimalisir adanya

penambahan substrat dan membuat pantai menjadi lebih landai.

Pada Stasiun I, III, dan IV ditemukan Penyu Sisik (Eretmochelys

imbricata) yang bertelur. Hal ini desebabkan landainya lokasi pengamatan

sehingga Penyu Sisik naik dan bertelur pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan

Hermawan dkk (1993) yang menyatakan kelandaian pantai dan komposisi butiran

pasir secara vertikal terlihat juga berpengaruh terhadap kesukaan Penyu Sisik

(Eretmochelys imbricata) untuk membuat sarang. Pantai di Pulau Peteloran Timur

yang lebih landai (5,5° -17,8°) dan mempunyai struktur butiran pasir yang lebih

bervariasi dibandingkan dengan di pulau Peteloran Barat (4,7° - 29,6°) memiliki

jumlah sarang yang lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara


51

Tipe Pasang Surut

Dari hasil penelitian, pasang surut yang terjadi pada lokasi pengamatan

adalah tipe semi diurnal. Dimana terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut. Terjadinya

pasang tertinggi membantu Penyu Hijau (Chelonia mydas) menghemat energi

untuk mencapai ke daerah supratidal (kering) kemudian membuat sarang dan

bertelur. Hal ini sesuai dengan Anshary dkk (2014) yang menyatakan pasang surut

air laut pantai berpengaruh pada frekuensi pendaratan penyu dan juga

berpengaruh pada jumlah Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang mendarat menuju

pantai. Berdasarkan pengamatan, Penyu Hijau (Chelonia mydas) di tiga pantai

umumnya aktif mendarat menuju pantai pada saat malam hari ketika matahari

mulai tenggelam yaitu mulai pukul 20.00 WIB sampai pukul 04.00 WIB.

Tipe Substrat Pantai dan Ukuran Butiran Pasir

Berdasarkan hasil penelitian, tekstur substrat contoh sarang pada stasiun

pengamatan didominasi oleh pasir yaitu 91%, liat 8%, dan debu 1%. Tipe substrat

yang didominasi oleh pasir mendukung keberhasilan penetasan telur karena pasir

memiliki pori – pori sebagai keluar masuknya udara dalam sarang. Hal ini sesuai

Nuitja (1992) yang menyatakan bahwa susunan tekstur daerah peneluran penyu

berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya debu dan liat.

Penyu Hijau (Chelonia mydas) membuat sarang dan bertelur dengan

persentase pasir yang lebih besar yaitu 91%. Hal ini dikarenakan pasir mudah

untuk digali, nilai debu dan liat yang rendah tidak menyebabkan pasir lengket

pada proses penggalian. Hal ini sesuai dengan Wisnuhamidaharisakti (1999) yang

menyatakan komposisi debu dan liat yang rendah memungkinkan pasir tidak

Universitas Sumatera Utara


52

lengket ketika penyu menggali lubang untuk sarang. Dan jika pada sarang

didominasi liat atau tanah maka teIjadi penempelan lapisan tanah pada kulit telur,

sehingga menghalangi proses embriologis pada telur bahkanmungkin dari tanah

yang menempel tersebut terdapat bakteri pembusuk yang merusak kulit telur.

Dengan demikian telur kemungkinan dapat menetas sangat kecil.

Secara umum Pulau Penyu mendukung proses penetasan telur Penyu Hijau

(Chelonia mydas) pada lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan Nugroho dkk

(2016) yang menyatakan hasil penelitian pada tekstur substrat sarang alami dan

sarang semi alami Pantai Paloh di dominasi oleh pasir, yaitu rata-rata 98,04% dan

sisanya debu dengan rata-rata 1,66% dan liat rata-rata 0%. Habitat ini yang

disukai penyu dan memberikan pengaruh tingkat keberhasilan penetasan yang

cukup baik yaitu butiran pasir kasar tidak lebih dari 97,6%.

Ukuran diameter butiran pasir sarang dari hasil analisis di stastiun

pengamatan dimonasi oleh pasir halus dengan ukuran 0,25 mm dan besar

persentase 83,5%. Pasir halus mampu menjadi penyangga yang bagik bagi sarang

telur.Hal ini sesuai dengan Listiani dkk (2015) yang menyatakan tekstur pasir di

habitat semi alami pada Stasiun 1 dan 2 didominasi pasir halus yang berukuran

0.1 - < 0.2 mm yaitu berturut-turut 50,81% dan 55,47 %. Karateristik pasir pada

kedua didominasi pasir halus. Hal ini disebabkan penetasaan semi alami jauh dari

pantai sehingga pasir yang halus tidak mudah terbawa ombak dan angin.

Jarak Sarang dari Pasang Surut

Nilai pasang tertinggipada Stasiun II lebih besar dibandingkan dengan

stasiun lainnya yaitu 9,5 meter. Semakin jauh jarak pasang tertinggi dengan

Universitas Sumatera Utara


53

sarang menyebabkan semakin besarnya tingkat penetasan terhadap telur Penyu

Hijau (Chelonia mydas). Namun, karena kenaikan muka air laut pada Stasiun II

pada saat bulan purnama, terjadi pasang tertinggi sehingga mencapai sarang.

Akibatnya,terjadi kegagalan penetasan telur. Kegagalan penetasan sarang telur

pada Stasiun II karena masuknya air laut ke dalam sarang yang mengakibatkan

terjadinya penambahan kadar air serta perubahan suhu maupun pH pada sarang.

Semakin sering sarang terkena air laut mengakibatkan telur mengalami

pembusukan. Hal ini sesuai dengan Satriadi dkk (2003) yang menyatakan lebar

pantai di stasiun 10 sangat sempit yaitu 7m, memungkinkan air pasang dapat

mencapai daerah vegetasi sehingga lokasi tersebut menimbulkan resiko bagi

sarang penyu berupa perubahan suhu dan kadar air karena terendam air laut dan

mengakibatkan kegagalan penetasan.

Pada Stasiun II terjadi perubahan bentuk fisik termasuk garis pantai ketika

pasang tertinggi terjadi pada bulan purnama. Adanya gelombang dan arus yang

kuat mengakibatkan penambahan struktur pasir pada lokasi pengamatan tersebut.

Hal ini sesuai dengan yang menyatakan Panjaitan dkk (2012) yang menyatakan

perubahan tinggi gelombang di sekitara perairan Pantai Pangumbahan tidak

banyak berubah sehingga tenaga gelombang yang memukul pantai cenderung

stabil sehingga pantai pun tidak banyak mengalami perubahan bentuk fisik.

Jarak Sarang dari Tumbuhan

Nilai jarak sarang dari tumbuhan pada Stasiun II lebih besar dibandingkan

stasiun lainnya yaitu sebesar 10 meter. Hal ini tidak sesuai dengan Susilowati

(2002) yang menyatakan Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang ditemukan di Pantai

Universitas Sumatera Utara


54

Pangumbahan selama penelitian, menunjukkan bahwa sebagian besar membuat

sarang didaerah supratidal bahwa naungan dan daerah supratidal bebas naungan

dengan jarak sarang dari vegetasi berkisar 2–4 meter.

Pada Stasiun IIterjadi kegagalan dalam penetasan telur pada sarang

tersebut.Jauhnya jarak sarang dengan tumbuhan pada Stasiun II dikarenakan

induk Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang tidak tepat dalam pemilihan lokasi

bertelurnya. Kondisi dilapangan saat ditemukannya Penyu Hijau (Chelonia

mydas) yang bertelur pada Stasiun II adalah angin kencang disertai gerimis

sehingga induk penyu yang sudah memang waktunya bertelur membuat sarang

dan bertelur jauh dari tumbuhan yang ada. Hal ini tidak sesuai dengan Nuitja

(1992) yang menyatakan induk penyu mempunyai insting yang baik dalam

memilih lokasi sarang untuk bertelurnya.

Berdasarkan hasil penelitian, jarak sarang dengan tumbuhan pada Stasiun

I, III, dan IV bernilai 2 meter. Penyu Hijau (Chelonia mydas) membuat sarang

dekat dengan naungan tumbuhan agar sarang tetap stabil dari kondisi cuaca. Hal

ini sesuai dengan Anshary dkk (2014) yang menyatakan vegetasi pantai juga

mendukung untuk dijadikan sebagai habitat peneluran Chelonia mydas. Vegetasi

pantai merupakan salah satu ciri dari pantai peneluran penyu. Setiap jenis penyu

menyukai vegetasi yang berbeda-beda. Vegetasi pantai berfungsi sebagai naungan

bagi sarang penyu agar tidak terkena sinar matahari yang berlebihan. Sinar

matahari yang berlebihan akan meningkatkan suhu substrat sarang sehingga dapat

mematikan embrio. Pantai peneluran Chelonia mydas umumnya didominasi oleh

jenis tumbuhan pandan laut (P. tectorius).

Universitas Sumatera Utara


55

Ukuran Sarang

Kedalaman sarang (d) yang terukur pada stasiun pengamatan berkisar 38 –

39 cm dan diameter lubang telur (t) berkisar 23 – 25 cm. Kedalaman sarang dan

diameter lubang telur pada stasiun pengamatan mempengaruhi masa inkubasi

telur. Hal ini sesuai dengan Rafiza dkk (2014) yang menyatakanhasil penelitian

yang telah dilakukan bahwa masa inkubasi telur Penyu Hijau (Chelonia mydas)

dengan kedalaman sarang 30 cm, waktu penetasan telur terjadi pada hari ke 57.

Nilai kedalaman sarang dan diameter lubang telur dipengaruhi ukuran besar

kecilnya ukuran tubuh Penyu Hijau (Chelonia mydas), semakin besar ukuran

penyu semakin besar flipper penyu sehingga sarang yang dibuat akan semakin

besar pula. Hal ini sesuai dengan Kushartono dkk (2016) yang menyatakan hasil

pengamatan secara visual terhadap morfometri dan performa lokomotori, tukik

yang ditetaskan pada kedalaman 60 dan 80 cm lebih baik dibandingkan tukik yang

ditetaskan pada kedalaman 40 cm baik dari ukuran maupun lokomotori agresifitas

ayunan flipper.

Keseluruhan kedalaman sarang yang terukur pada lokasi penelitian adalah

berkisar 75-76 cm. Keseluruhan kedalaman yang dimaksud adalah total jumlah

ukuran lubang badan ditambah ukuran kedalaman lubang telur. Hal ini sesuai

dengan Bidasari dkk., (2016) yang menyatakan data kedalaman sarang dan jumlah

Penyu Hijau di Pantai Pulau Jemur selama penelitian, sarang yang diukur selama

penelitian berjumlah 229 sarang dengan kisaran kedalaman 60 cm – 80 cm

dimana kedalaman masih diantara kisaran yang sesuai dengan kedalaman sarang

penyu.

Universitas Sumatera Utara


56

Suhu Sarang dan Suhu Udara

Nilai suhu pada stasiun pengamatan berkisar antara 27˚ C - 30˚ C. Suhu ini

termasuk dalam kategori optimal dalam penetasan telur Penyu Hijau (Chelonia

mydas). Hal ini sesuai dengan Nuitja (1992) yang menyatakan bahwa kisaran

normal suhu sarang penetasan penyu adalah 24 –34°C. Jika suhu sarang kurang

atau melebihi kisaran normal, telur akan gagal menetas yang disebabkan karena

tidak dapat tumbuh atau mati.

Nilai suhu sarang pada Stasiun II yaitu 30˚ C. Tingginya suhu pada

Stasiun II dibanding stasiun lainnya dikarenakan pengaruh tidak adanya naungan

tumbuhan pada lokasi sarang.Pada stasiun lainnya ditemukan jarak sarang dengan

tumbuhan dekat sehingga sarang berada pada tempat yang teduh, sedangkan pada

Stasiun II kondisi sarang selalu terkena paparan sinar matahari secara langsung.

Hal ini sesuai dengan Listiani dkk (2015) yang menyatakan perbedaan suhu pada

tiap sarang dipengaruhi oleh banyak sedikitnya intensitas cahaya yang diterima

permukaan sarang karena sebagian panas akan diserap dan dirambatkan ke

permukaan tanah yang lebih dalam dan sebagian lagi akan dipantulkan.

Suhu udara tertinggi hasil pengukuran pada setiap stasiun pengamatan

yaitu 29˚C pada pukul 12.00 WIB dan terendah pada pukul 06.00 WIB yitu 27˚C.

Suhu udara ditentukan oleh besar kecilnya energi panas yang ada pada udara

tersebut. Suhu udara sangat peka terhadap perubahan energi dipermukaan bumi.

Hal ini sesuai dengan Pradana dkk (2014) yang menyatakan hasil pengukuran

suhu udara pada lokasi penelitian terdapat rerata yaitu pada pada pukul 06.00

dengan rerata sebesar 27,8˚C sedangkan pada pukul 12.00 dengan rerata sebesar

30˚C dan pada pukul 18.00 dengan rerata sebesar 26,4˚C. Dari hasil tersebut suhu

Universitas Sumatera Utara


57

tertinggi dicapai pada pukul 12.00 dan terendah pada pukul 18.00. Hal ini sesuai

dengan Anshary dkk (2014) yang juga menyatakan faktor lingkungan menentukan

bagi aktivitas pendaratan penyu untuk bertelur. Suhu udara dilokasi penelitian

berkisar antara 26˚C - 28˚C.

Derajat Keasaman (pH) Sarang

Nilai derajat keasaman (pH) sarang pada setiap stasiun di Pulau Penyu

adalah 7. Nilai pH 7 pada sarang menunjukkan bahwa substrat pasir sarang

tergolong normal tidak asam ataupun basa dan ideal untuk penetasan telur Penyu

Hijau (Chelonia mydas). Hal ini sesuai dengan Sheavtiyan dkk (2014) yang

menyatakan hasil analisis derajat keasaman (pH) substrat sarang menunjukkan

bahwa pH substrat tertinggi berada pada sarang di lokasi pengamatan Tanjung

Kemuning (6,16) dan pH terendah berada di Sungai Belacan (5,74). Hasil analisis

menunjukkan bahwa pH substrat sarang di Pantai Sebubus berada pada kondisi

agak masam, namun mendukung keberhasilan penetasan. Curah hujan menjadi

salah satu penyebab substrat sarang menjadi masam.

Nilai fraksi pasir pada sarang telur juga mempengaruhi nilai pH didalam

sarang. Hal ini sesuai dengan Sheavtiyan dkk (2014) yang menyatakan komponen

substrat sarang yang dibuat Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk meletakkan

telurnya sangat menentukan proses perkembangan telur di dalamnya. Komponen

substrat sarang yang terdiri dari pasir dan liat juga mempengaruhi nilai pH

substrat.

Universitas Sumatera Utara


58

Curah Hujan

Data yang diperoleh dari BMKG Sumatera Barat menunjukkan tingginya

tingkat curah hujan di Pulau Penyu pada bulan Mei, Juni, dan Juli tahun 2017.

Faktor lingkungan menjadi penentu dalam tingkat keberhasilan penetasan telur

Penyu Hijau (Chelonia mydas). Perubahan cuaca yang kadang tidak menentu

mengakibatkan tinggi rendahnya tingkat penetasan. Hal ini sesuai dengan

Sheavtiyan dkk (2014) yang menyatakan curah hujan memberikan pengaruh yang

besar terhadap keberhasilan penetasan telur penyu. Curah hujan yang tinggi akan

mengakibatkan suhu di sekitar sarang menjadi lebih rendah. Suhu sekitar yang

lebih rendah akan mempengaruhi suhu inkubasi yang berakibat pada fluktuasi

suhu yang ekstrim.

Curah hujan yang tinggi akan memepengaruhi suhu, pH didalam sarang

dan mengakibatkan tingginya muka air laut sehingga terjadi pasang tertinggi yang

mengenai sarang. Kegagalan penetasan yang terjadi pada sarang di Stasiun II juga

terjadinya akibat perubahan cuaca. Hal ini sesuai dengan Parinding dkk (2015

yang menyatakan hal ini disebabkan cuaca yang ekstrim (curah hujan tinggi dan

mendung), dan pengaruh pasang air laut yang tinggi dengan kencangnya

kecepatan angin. Selain itu, cahaya sinar matahari pada siang hari dibawah pohon

cemara laut dan perdu papaceda diduga sebagai pilihan Jelepi bertelur. Oleh

karena bayangan sinar jatuh mengurangi panas suhu pada pantai pasir tak

bervegetasi dan pantai pasir bervegetasi.

Universitas Sumatera Utara


59

Jumlah Sarang

Dari hasil penelitian selama waktu 7 hari dilapangan ditemukan 8 sarang

pada lokasi pengamatan yang terdiri dari sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas)

dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Pada Stasiun I didapati 1 sarang Penyu

Hijau dan 2 sarang Penyu Sisik, Stasiun II hanya didapati 1 sarang Penyu Hijau,

Stasiun didapati III 1 sarang Penyu Hijau dan 1 sarang Penyu Sisik, Stasiun IV

didapati 1 sarang Penyu Hijau dan 1 sarang penyu Sisik. Hal ini membuktikan

Pulau Penyu yang memiliki kemiringan pantai landai tidak hanya menjadi lokasi

peneluran Penyu Hijau saja. Hal ini sesuai dengan Pradana dkk (2015) yang

menyatakan kemiringan pantai sebesar 6 – 12% nilai tersebut menujukkan bahwa

Kawasan TWA Sungai Liku termasuk dalam kategori pantai landaiSelama

penelitian berlangsung ditemukan 6 sarang telur penyu, identifikasi penyu

dilakukan terhadap 4 ekor Penyu Hijau dan 2 ekor Penyu Sisik.

Persentase Penetasan

Dari hasil penelitian tingkat penetasan telur pada Stasiun I yaitu 91,67%,

Stasiun II 24,21%, Stasiun III 92%, dan tingkat penetasan telur tertinggi terdapat

pada Stasiun IV yaitu 95,23%. Tingginya tingkat penetasan telur pada Stasiun IV

dikarenakan suhu sarang yang stabil yaitu 28˚C. Hal ini sesuai dengan Rafiza dkk

(2014) yang menyatakan suhu sarang juga mempengaruhi perkembangan dan

metabolisme embrio, karena perkembangan dan metabolisme embrio akan

terganggu apabila suhu sarang melebihi kisaran normal, yaitu 24 – 34ºC. Faktor

yang mempengaruhi lama tidaknya masa inkubasi telur penyu selain waktu

pemindahan saat inkubasi juga kecepatan tumbuh embrio.

Universitas Sumatera Utara


60

Rendahnya tingkat penetasan pada Stasiun II yaitu 24,21% dikarenakan

suhu pada sarang telur yaitu 30˚C. Suhu yang tinggi ini diakibatkan tidak adanya

naungan tumbuhan pada sarang. Hal ini tidak sesuai dengan Rudiana dkk (2004)

yang menyatakan kondisi sarang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan

menetas telur penyu. Terdapat 2 faktor utama yang berpengaruh langsung

terhadap keberhasilan menetas telur penyu selama masa inkubasi yaitu suhu dan

kadar air dalam sarang. Hasil pengukuran berkisar 28 – 32˚C dengan rata-rata

suhu yaitu 30˚C.

Keberhasilan penetasan telur pada Stasiun I, III, dan IV dipengaruhi oleh

adanya tumbuhan disekitaran sarang. Naungan tumbuhan mampu menjaga

kestabilan suhu dan kadar air dalam sarang walaupun terdapat lubang-lubang kecil

yang dibuat oleh kepiting penggali. Tumbuhan yang terdapat di sekitar kawasan

Pulau Penyu tergolong tipe hutan pantai. Jenis tumbuhan yang mendominasi

adalah pandan (Pandanus tectorius). Hal ini sesuai dengan Langinan dkk (2017)

yang menyatakan lokasi bertelur penyu di pantai Taturian berada di areal

perkebunan kelapa, di atas wilayah pasang teringgi. Tercatat tanaman yang

dominan adalah kelapa (Cocos nucifera) yang masih produktif, tinggi pohon ±10

m, pandan pantai (Pandanus tectorius) tinggi pohon ± 3 - 5 m, ketapang

(Terminalia catappa) tinggi 2 - 5 m, pohon bitung (Barringtonia asiatica) dengan

tinggi 12 m. Tumbuhan-tumbuhan tersebut penting berfungsi untuk menjaga dan

meningkatkan kelembaban pasir, stabilitas suhu dan mengurangi penguapan

akibat radiasi sinar matahari.

Pada saat pasang tertinggi bulan purnama, air laut mengenai sarang pada

Stasiun II. Hal ini menyebabkan sarang terendam oleh air pasang, akibatnya telur

Universitas Sumatera Utara


61

– telur dalam sarang banyak yang mengalami pembusukan dan waktu inkubasi

menjadi lebih lama dibanding dengan stasiun lainnya. Ketika air pasang tertinggi

mengenai sarang telur terjadi pengangkutan substrat sehingga sarang telur

menjadi lebih condong ke arah air laut. Hal ini sesuai dengan

Wisnuhamidaharisakti (1999) diduga karena pada sarang alami memiliki suhu

yang lebih rendah dan kadar air tanah yang lebih tinggi baik pe rmukaan maupun

dasar sarang. yaitu 28.32 % dan 30.50 % bila dibandingkan dengan kadar air

tanah pada sarang semi clami. yaitu sebesar 21.96 % dan 27.37 %. Dengan

kondisi demikian mcnyebabkan lamanya masa inkubasi pada sarang alami.

Disamping itu juga, sarang alami terletak pada batas pasang tertinggi, sehingga

telur-telur pada sarang alami terkena pereikan air laut yang menyebabkan

kegagalan dalam penetasan.

Sesuai faktor lingkungan, keberhasilan penetasan pada Stasiun I, II, III,

dan IV dengan rata-rata persentase 75,77% tergolong tinggi dan membuktikan

bahwa kondisi lingkungan di Pulau Penyu masih baik serta mendukung penetasan

secara alami di lokasi tersebut. Namun, bila ditemukan Penyu Hijau (Chelonia

mydas) yang bertelur pada Stasiun II perlu dilakukan penggalian untuk

memindahkan telur ke sarang buatan (semi alami) untuk menjaga telur terkena

pasang air laut. Hal ini sesuai dengan Syaiful dkk (2013) yang menyatakan hasil

penelitian ditemukan bahwa hanya pada daerah pasir pantai arah ke darat yang

menetas lebih dari 50% yaitu sedangkan pada daerah pasir pantai arah ke laut

kurang dari 50%. Hal ini membuktikan bahwa kemiringan pantai diduga suatu

faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat bertelur oleh penyu.

Universitas Sumatera Utara


62

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pulau Penyu memiliki karakteristik bio-fisik yang tergolong cukup baik dan

alami sebagai daerah peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas). Habitat laut

menjadi penyedia makanan bagi penyu. Tumbuhan yang mendominasi adalah

Pandan laut (Pandannus tectorius). Predator alami yang terdapat di Pulau

Penyu adalah jenis fauna. Pulau Penyu memiliki panjang pantai 1,53 km.

Nilai lebar pantai berkisar antara 15,5 - 24,5 m.

2. Kemiringan pantai yang berkisar antara 23,8˚ - 29,2˚ termasuk kedalam

kategori landai.Tipe pasang surut yang terjadi adalah semi diurnal. Nilai jarak

sarang dari pasang tertinggi berkisar antara 8 – 9,5 m dan surut terendah

berkisar antara 13,5 – 14,5 m. Nilai jarak sarang dari tumbuhan berkisar

antara 2 – 10 m. Nilai ukuran sarang yang terukur selama penelitian berkisar

antara L 62 – 65 cm, P 100 – 105 cm, D 36 – 38 cm, d 38 – 39 cm, t 23 – 25

cm. Suhu sarang berkisar antara 27˚ - 30˚C dan suhu udara berkisar antara 27˚

– 29˚C. Nilai pH yang terukur adalah 7. Tipe substrat sarang di dominasi oleh

pasir. Curah hujan rata-rata pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2017 berkisar 400

mm/bulan dan termasuk dalam kategori tingkat curah hujan yang tinggi.

3. Dari hasil penelitian tingkat penetasan telur pada Stasiun I yaitu 91,67%,

Stasiun II memiliki tingkat penetasan telur terndah yaitu 24,21%, Stasiun III

92%, dan tingkat penetasan telur tertinggi terdapat pada Stasiun IV yaitu

95,23%.

Universitas Sumatera Utara


63

Saran

Dari hasil penelitian dapat disarankan beberapa hal yaitu diperlukannya

penelitian lanjutan mengenai: vegetasi tumbuhan pantai, perbandingan tingkat

penetasan semi alami dan alami, dan puncak bertelurnya Penyu Hijau (Chelonia

mydas) di Pulau Penyu Pesisir Selatan Sumatera Barat.

Universitas Sumatera Utara


64

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, A., E. 2009. Habitat Bertelur Dan Tingkat Keberhasilan Penetasan


Telur Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea Eschsholtz 1829) Di
Pantai Samas Dan Pantai Trisik Yogyakarta. [Skripsi]. Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta.
Anshary, M., T. R. Setyawati., A. H. Yanti. 2014. Karakteristik Pendaratan Penyu
Hijau (Chelonia mydas, Linnaeus 1758) di Pesisir Pantai Tanjung
Kemuning Api dan Pantai Belacan Kecamatan Paloh Kabupaten
Sambas. Universitas Tanjungpura. Pontianak. Vol 3(2) : 232 – 239.
Ario, R., E. Wibowo., I. Pratikto., dan S. Fajar. 2016. Upaya Pelestarian Habitat
Penyu Dari Ancaman Kepunahan di Turtle Conservation And
Education Center (TCEC), Bali. Universitas Diponegoro, Semarang.
Vol 19 (1) : 60 – 66.
Bustard, R.H. 1972. Sea Turle : Natural History and Conservation. Collins, Press
Inc. Sidney.

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. 2009. Pedoman Teknis


Pengelolaan Konservasi Penyu. Jakarta Timur.

Harless, M and H.Morlock. 1979. Turtle Perspective and Research. John Wiley &
Sons, New York.
Hatasura, I.N. 2004. Pengaruh Karakteristik Media Pasir Sarang Terhadap
Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hermawan, D., S. Silalahi., dan H. M. Eidman. 1993. Studi Habitat Peneluran
Penyu Sisisk (Eretmochelys imbicata) di Pulau Peteloran Timur dan
Barat Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Vol 1(1) : 33 – 37.
Hirth, H.P. 1971. Synopsys of Biologi Data on The Green Turtle, Chelonia mydas
(Lineaus, 1758). FAO, Fisheries Synopsys.
Krismono, A. S. N., A. Fitriyanto., dan N. N. Wiadnyana. 2010. Aspek Morfologi,
Reproduksi, dan Perilaku Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Purwakarta. Vol
3(2) : 93 – 101.
Kurniawan, I., H. Damanhuri., dan Suparno. 2015. Aspek Ekologi Habitat
Peneluran Penyu Di Pulau Penyu Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera
Barat. [Skripsi]. Universitas Bung Hatta, Padang.
Kushartono, E. W., R. Chandra., dan R. Hartati. 2016. Keberhasilan Penetasan
Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi – Alami

Universitas Sumatera Utara


65

Dengan Kedalaman Yang Berbeda Di Pantai Sukadame, Banyuwangi,


Jawa Timur. Universitas Diponegoro. Vol 19 (2) : 123–130.
Mardiana, E., A. Pratomo., dan H.Irawan. 2013. Tingkat Keberhasilan Penetasan
Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Pulau Wie Tambelan DI Lagoi.
Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang.
Mukmini, A. 2002. Studi Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas, L) Di
Pulau Sangkali, Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nuitja, I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press,
Bogor.
Panjaitan, R.A., Iskandar., dan S. Alisyahbana. 2012. Hubungan Perubahan Garis
Pantai di Pangumbahan Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi.
Universitas Padjadjaran. Bandung. Vol 3(3) : 311 – 320. ISSN : 2088 –
3137.
Rebel, T. 1974. Sea Turtle and Turtle Industry of The Western Indies, Florida,
and The Gulf of Mexico. University of Miami Press, Florida.
Rudiana, E., Dwi, H.I., dan Nirwani. 2004. Tingkat Keberhasilan Pentasan dan
Masa Inkubasi Telur Penyu Hijau, Chelonia mydas L Pada Perbedaan
Waktu Pemindahan. Universitas Diponegoro, Semarang. Vol 9 (4) : 202
– 205.
Sani, A.A. 2000. Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Dan Hubungannya
Dengan Sarang Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) Di Pantai
Sindang Kerta, Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat. [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Satriadi, A., E. Rudiana., dan N. Af-idati. 2003. Identifikasi Penyu dan Studi
Karakteristik Fisik Habitat Penelurannya di Pantai Samas, Kabupaten
Bantul, Yogyakarta. Unoversitas Diponegoro. Semarang. Vol 8(2) : 69
– 75.
Segara, R.A. 2008. Studi Karakteristik BiofisiK Habitat Peneluran Penyu Hijau
(Chelonia mydas) Di Pangumbahan Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Susilowati, T. 2002. Studi Parameter Biofisik Pantai Peneluran Penyu Hijau
(Chelonia mydas, L) di Pantai Pengumbahan Sukabumi Jawa Barat.
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syaiful, B.N., J. Nurdin., I. J. Zakaria. 2013. Penetasan Telur Penyu Lekang
(Lepidochelys olivacea Eschcholtz, 1829) Lokasi Berbeda di Kawan
Konservasi Penyu Kota Pariaman. Universitas Andalas. Padang. Vol 2
(3) : 175-180. ISSN : 2303-2162.

Universitas Sumatera Utara


66

Wicaksono, M.A., D. Elfidasari., dan A. Kurniawan. 2013. Aktivitas Peletarian


Penyu Hijau (Chelonia mydas) Di Taman Pesisir Pantai Penyu
Pangumbahan Sukabumi Jawa Barat. Universitas Al Azhar, Jawa Barat.

Wisnuhamidaharisakti, D. 1998. Penetasan Semi Alami Telur Penyu Sisik


(Eretmochelys imbricata) di Pulau Segamat Besar Kabupaten Lampung
Tengah. [Skripsi]. Intsitut Pertanian Bogor. Bogor.

Yayasan Alam Lestari (YAL). 2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alam Lestari dan
Keidaren Nature Conservatiion Fund (KNCF) Jepang, Jakarta.

Yustina., Suwondo., Arnentis., dan Y. Hendri. 2004. Analisis Distribusi Sarang


Penyu Hijau Chelonia mydas Di Pulau Jemur Riau. Universitas Riau,
Pekanbaru. Vol 1(1) : 31 – 36.

Zakarsi, M., T. Efrizal., L. W. Zen. 2011. Analisi Distribusi Sarang Penyu


Berdasarkan Karakteristik Fisik Pantai Pulau Wie Kecamatan Tambelan
Kabupaten Bintan. Universitas Maririm Raja Ali Haji. Tanjungpinang.
Zamani, N.p. 1996. Ulasan Ilmiah Penyu Laut, Reptil Yang Mendekati
Kepunahan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Vol 4(2) : 91 – 97.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


67

Lampiran 1. Alat dan Bahan

Waring Kayu

Roll meter Soil tester

GPS Kamera

Telur Penyu Hijau Contoh Pasir Sarang

Universitas Sumatera Utara


68

Lampiran 2. Jenis – Jenis Tumbuhan di Pulau Penyu

Pandan laut (Pandannus tectorius) Ketapang (Terminalia cattapa)

Kangkung laut (Ipomea pescaprae) Waru laut (Hibiscus tiliaceus)

Butun (Baringtonia asiatica) Kelapa (Cocos nucifera)

Universitas Sumatera Utara


69

Lampiran 3. Predator Alami di Pulau Penyu

Kepiting penggali

Lampiran 4. Prosedur Penelitian

Pengamatan Penyu Hijau yang selesai bertelur

Pembongkaran sarang Penyu Hijau yang selesai bertelur

Universitas Sumatera Utara


70

Pengukuran suhu sarang

Pengukuran pH sarang

Pengukuran kedalaman sarang

Universitas Sumatera Utara


71

Pembuatan waring (pelindung) sarang

Pengukuran jarak pasang surut dari sarang

Pengukuran jarak sarang dari tumbuhan

Universitas Sumatera Utara


72

Pengamatan tukik yang telah menetas di dalam waring

Perhitungan tukik yang telah menetas

Pelepasan tukik ke laut

Universitas Sumatera Utara


73

Lampiran 5. Kondisi Umum Pulau Penyu

Pulau Penyu dilihat dari sisi utara

Sarang pada Stasiun II yang terkena pasang

Universitas Sumatera Utara


74

Lampiran 6. Data Curah Hujan di Pulau Penyu (Mei, Juni, dan Juli 2017)

Curah hujan di bulan Mei

Sifat hujan di bulan Mei

Universitas Sumatera Utara


75

Curah hujan di bulan Juni

Sifat hujan di bulan Juni

Universitas Sumatera Utara


76

Curah hujan di bulan Juli

Sifat hujan di bulan Juli

Universitas Sumatera Utara


77

Lampiran 7. Data Pasang Surut periode 18 Mei – 01 Juni 2017


No Day 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00
1 18/05/2017 1,4 1,1 0,9 0,8 0,9 1,1 1,5 1,8 2,1 2,3 2,3 2,2 1,9
2 19/05/2017 1,7 1,4 1,1 0,8 0,7 0,8 1,2 1,6 2 2,3 2,5 2,4 2,2
3 20/05/2017 2 1,7 1,3 0,9 0,6 0,6 0,8 1,3 1,8 2,2 2,5 2,6 2,5
4 21/05/2017 2,3 2,1 1,7 1,2 0,8 0,5 0,6 0,9 1,5 2 2,4 2,7 2,7
5 22/05/2017 2,3 2,3 2 1,5 1 0,6 0,5 0,7 1,1 1,7 2,2 2,6 2,8
6 23/05/2017 2,3 2,4 2,3 1,9 1,4 0,9 0,5 0,5 0,8 1,3 1,9 2,4 2,7
7 24/05/2017 2,1 2,3 2,4 2,2 1,8 1,2 0,8 0,6 0,7 1 1,5 2 2,4
8 25/05/2017 1,8 2,1 2,3 2,3 2 1,6 1,1 0,8 0,7 0,9 1,3 1,7 2,1
9 26/05/2017 1,5 1,9 2,1 2,2 2,2 1,9 1,5 1,1 0,9 0,9 1,1 1,4 1,8
10 27/05/2017 1,2 1,6 1,9 2,1 2,1 2,1 1,8 1,5 1,2 1 1,1 1,2 1,5
11 28/05/2017 1 1,3 1,6 1,8 2 2,1 2 1,8 1,5 1,3 1,2 1,2 1,3
12 29/05/2017 0,9 1,1 1,3 1,5 1,8 1,9 2 2 1,8 1,6 1,4 1,3 1,3
13 30/05/2017 0,9 1 1,1 1,3 1,5 1,7 1,9 2 2 1,9 1,8 1,6 1,4
14 31/05/2017 1,1 1 1 1,1 1,2 1,5 1,7 2 2,1 2,1 2 1,8 1,6
15 01/06/2017 1,4 1,2 1 1 1 1,2 1,5 1,8 2,1 2,2 2,2 2,1 1,9

Universitas Sumatera Utara


78

No Day 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
1 18/05/2017 1,5 1,2 0,9 0,8 0,9 1,1 1,4 1,7 1,9 2 1,9
2 19/05/2017 1,9 1,4 0,9 0,6 0,6 1,8 1,1 1,5 1,9 2,1 2,1
3 20/05/2017 1,2 1,7 1,1 0,6 0,4 1,4 0,8 1,2 1,7 2 2,2
4 21/05/2017 2,5 2,1 1,5 0,8 0,4 0,4 0,4 0,8 1,4 1,8 2,2
5 22/05/2017 2,7 2,4 1,8 1,2 0,6 0,2 0,2 0,5 1 1,5 2
6 23/05/2017 2,7 2,6 2,2 1,6 0,9 0,2 0,2 0,3 0,7 1,2 1,7
7 24/05/2017 2,6 2,6 2,4 1,9 1,3 0,4 0,3 0,2 0,4 0,9 1,4
8 25/05/2017 2,4 2,5 2,5 2,2 1,7 0,7 0,6 0,3 0,4 0,6 1,1
9 26/05/2017 2,1 2,3 2,4 2,2 1,9 0,1 0,1 0,6 0,5 0,5 0,8
10 27/05/2017 1,8 2 2,1 2,2 2 1,5 0,4 1 0,7 0,6 0,7
11 28/05/2017 1,5 1,7 1,9 2 2 1,7 1,6 1,3 1,1 0,9 0,8
12 29/05/2017 1,3 1,4 1,6 1,7 1,8 1,9 1,7 1,6 1,4 1,2 1
13 30/05/2017 1,3 1,2 1,3 1,4 1,5 1,8 1,7 1,7 1,6 1,5 1,3
14 31/05/2017 1,4 1,2 1,1 1,1 1,2 1,6 1,6 1,7 1,8 1,7 1,6
15 01/06/2017 1,5 1,2 1 0,9 1 1,4 1,4 1,6 1,8 1,9 1,8

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai