SKRIPSI
SKRIPSI
Skripsi Sebagai Salah Satu diantara Beberapa Syarat untuk Dapat Memperoleh
Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
NIM : 130302078
Barat” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan reptil laut yang terancam punah
karena nilai ekonomisnya yang cukup tinggi. Ancaman utama populasi Penyu
Hijau akibat kegiatan manusia, seperti pencemaran pantai dan laut, perusakan
habitat peneluran, perusakan daerah mencari makan, gangguan pada jalur
imigrasi, penangkapan induk penyu secara ilegal, dan pengumpulan telur penyu.
Penelitian ini berlangsung pada bulan Mei – Juli 2017 di Pulau Penyu Pesisir
Selatan Provinsi Sumatera Barat. Hasil pengukuran diperoleh panjang pantai 1,53
km, lebar pantai berkisar 15,5 – 24,5 m, kemiringan pantai berkisar 23,8˚ – 29,2˚,
tipe pasang surut semi diurnal, jarak sarang dari pasang tertinggi berkisar 8 – 9,5
m, jarak sarang dari surut terendah berkisar 13,5 – 14,5 m, jarak sarang dari
tumbuhan berkisar 2 – 10 m, substrat sarang terdiri dari pasir, liat, dan debu yang
didominasi oleh pasir, ukuran sarang yang terukur selama penelitian berkisar L 62
– 65 cm, P 100 – 105 cm, D 36 – 38 cm, d 38 – 39 cm, t 23 – 25 cm, suhu sarang
yang terukur berkisar 27˚C - 30˚C, suhu udara yang terukur berkisar 27˚C - 29˚C,
nilai pH sarang 7, curah hujan yang terukur 400 mm/bulan, jumlah sarang yang
ditemukan ada 8 sarang, terdiri dari 4 sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan 4
sarang Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Persentase penetasan tertinggi yaitu
95,23% dan terendah 24,21%.
i
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
ii
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tahun 2013.
Fisiologi Hewan Air tahun (2016 s/d 2017). Penulis juga aktif dalam berbagai
Sumatera Utara (IMASPERA USU) (tahun 2013 s/d sekarang), sebagai anggota
iii
Universitas Sumatera Utara
Universitas Teuku Umar Meulaboh (tahun 2016), menjadi delegasi Ekspedisi
Barat” yang dibimbing oleh Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si dan Bapak
iv
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan hikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
dibawah bimbingan Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si dan Bapak Dr.Ir.Yoes
Soemaryono, M.H., M.Sc. Skripsi ini merupakan satu diantara beberapa syarat
untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Perikanan (S. Pi) di Program Studi
Utara.
sarjana
2. Kedua orangtua yang penulis sayangi, Ayahanda Simron Tambun dan Ibunda
Darmawati Sirait atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan
3. Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
4. Dosen Penguji Penulis yaitu Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc dan Ibu Desrita, S.Pi,
M.Si yang telah memberi saran dan masukan untuk skripsi ini menjadi lebih
baik
v
Universitas Sumatera Utara
5. Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc selaku Ketua Program Studi Manajemen
6. Bapak dan Ibu staff pengajar serta pegawai Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan
9. Saudara/i penulis, Yuni Astuti Tambun, Daniel Permata Tambun, dan Devan
Refandi Tambun
10. Kepada sahabat-sahabat saya Sari Marina Saragih, S.Pi, Angel G Pakpahan,
S.Pi, Desy Natalia Saragih, Erna L I Nababan S.Pi, Ira M Lumbangaol, dan
12. Teman-teman ENJ USU 2017 dan Kemeko Kemaritiman atas kesempatan
Simbolon, Arief P Bangun, Arif Nuhalin, Imam G Manik, dan M.Guntur atas
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai
dasar penelitian selanjutnya dan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak yang
membutuhkan.
Penulis
vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................ i
ABSTRACT .............................................................................................. ii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................... 1
Rumusan Masalah ............................................................................... 4
Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
Kerangka Pemikiran............................................................................. 6
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Pulau Penyu ................................................................ 8
Morfologi dan Klasfikasi Penyu Hijau ................................................ 8
Biologi Penyu Hijau ............................................................................. 10
Penyebaran Penyu Hijau ...................................................................... 13
Habitat Penyu Bertelur Secara Umum ................................................. 14
Karakteristik Biologi Habitat Pantai Peneluran ................................... 15
Karakteristik Fisik Habitat Pantai Peneluran ....................................... 17
Keberhasilan Penetasan Telur .............................................................. 21
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 24
Alat dan Bahan Penelitian .................................................................... 24
Prosedur Penelitian .............................................................................. 25
Penentuan Stasiun Pengamatan............................................................ 26
Pengukuran Parameter Bio-Fisik Habitat
vii
Universitas Sumatera Utara
Biologi ................................................................................... 28
Fisik ....................................................................................... 29
Jumlah Sarang ..................................................................................... 35
Analisi Data ......................................................................................... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ................................................................................................... 37
Pembahasan.......................................................................................... 45
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ..................................................................................... 62
Saran................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
xi
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyu merupakan reptil yang hidup dilaut serta mampu bermigrasi dalam
jarak yang jauh disepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan
Asia Tenggara. Keberadaan penyu telah lama terancam, baik dari alam maupun
habitat peneluran.
Enam dari tujuh jenis penyu dapat ditemukan di Indonesia, yaitu Penyu
(IUCN) menetapkan status Penyu Belimbing dan Penyu Sisik dalam kategori
Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
sesuai untuk peneluran. Secara biologi kehadiran penyu pada suatu pantai
Keberadaan hewan predator akan mempengaruhi tingkat jumlah telur penyu dan
tukik. Secara fisik, kehadiran penyu pada suatu pantai dipengaruhi oleh
terhadap gempuran energi gelombang laut, dan kestabilan pantai (Nuitja, 1992).
persyaratan umum antara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus
cukup tinggi untuk mencegah telur terendam oleh air pasang, pasir pantai relatif
lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya lubang sarang
pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi ini agar telur berada dalam
lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik,
sehingga telur tidak tergenang air selama masa inkubasi (Dona, 2015).
maupun cangkang dan dapat menjadi sarana berbagi ilmu atau edukasi kepada
(Chelonia mydas) yang mempunyai penyebaran yang sangat luas, yaitu meliputi
perairan laut tropis dan sub tropis. Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur lebih
dari satu kali dalam satu musim dan akan mencari makan pada kedalaman tidak
melebihi tempat alga laut tumbuh dengan subur. Tempat yang paling disukai oleh
Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk bertelur adalah dibawah naungan pandan
peneluran, perusakan daerah mencari makan, gangguan pada jalur imigrasi, serta
penangkapan induk penyu secara ilegal dan pengumpulan telur penyu. Hampir
daging, dan telurnya. Tingginya nilai ekonomis dari penyu membuat manusia
mydas).
(Chelonia mydas) yang mendarat dan meletakkan telur pada pantai tersebut.
Selain predator alami seperti biawak, semut, dan lain-lain, tingkat keberhasilan
penetasan telur semakin rendah bila kegiatan manusia tidak diperhatikan dan
populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) akan semakin terus menurun maka
kelestariannya.
Sumatera Barat sebagai lokasi daerah peneluran penyu termasuk jenis Penyu
luasan kawasan 17,614 Ha. Secara administratif Pulau Penyu memiliki posisi
1o42’00” BT. Pulau Penyu memiliki kondisi lingkungan yang masih sangat
alamidan jauh dari campur tangan manusia sehingga sering juga ditemukan
Pulau Penyu meskipun dalam jumlah sedikit hampir disetiap malam Penyu Hijau
(Chelonia mydas) ada yang naik untuk bertelur ataupun hanya mendarat saja.
Umumnya daerah Indonesia bagian barat musim peneluran terjadi pada musim
peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) masih sangat sedikit. Oleh karena itu,
Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan untuk menganalisis hubungan kondisi umum
mydas) secara alami di Pulau Penyu Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Hasil dari
penelitian ini akan dijadikan acuan habitat umum yang mencirikan lokasi Penyu
Hijau (Chelonia mydas) dapat bertelur di pulau tersebut. Selain itu, aspek ini juga
dapat dijadikan perbandingan untuk pulau lain sehingga upaya konservasi Penyu
Rumusan Masalah
Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan biota langka yang harus dijaga
kelestariannya demi masa mendatang. Pemanfaatan biota penyu saat ini masih
kelestarian habitat dan wilayah untuk penyu hidup dan bertelur. Berdasarkan hal
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hijau (Chelonia mydas) secara alami di Pulau Penyu serta acuan pelestarian dan
Kerangka Pemikiran
hidupnya mulai dari perairan laut dalam hingga perairan laut dangkal. Penyu
Hijau (Chelonia mydas) juga berada di daerah pantai dan biasanya digunakan
untuk bertelur. Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur ketika terjadi air pasang
penuh, induk penyu akan berenang menuju ke pantai yang berpasir dan
penyamaran sarang dan kembali ke laut. Pemilihan lokasi ini agar telur-telur
berada dalam lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki pori-
informasi literatur dan basis data ilmiah tentang kondisi karakteristik bio-fisik
Pulau Penyu Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Kerangka pemikiran dapat
Bio-Fisik
Biologi Fisik
Jumlah Sarang
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Penyu adalah sebuah pulau kecil yang terdapat di Kabupaten Pesisir
Selatan, sesuai dengan namanya, Pulau Penyu merupakan salah satu tempat
peneluran penyu terutama jenis Penyu Hijau (Chelonia mydas). Luas Pulau Penyu
berkisar 17,614 Ha dengan garis pantai 218 km dan pulau ini tidak berpenduduk.
Topografi Pulau Penyu relatif datar, pantai berpasir putih, ditumbuhi tanaman
tingkat tinggi dan cukup lebat seperti kelapa, semak, dan rumput. Pulau Penyu
dapat dicapai melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor kapasitas
(KKPD) sesuai dengan SK Bupati Pesisir Selatan No.53 Tahun 2003. Pulau
rumput laut, kondisi terumbu karang yang cukup baik, jenis ikan hias, jenis ikan
konsumsi, dan ragam biota laut lainnya. Pada musim puncak bertelur, Penyu
ciri: karapas (punggung) sebagai penutup tubuh merupakan kulit keras yang
terdiri dari 4 pasang sisik coastal, 5 sisik vertebal, 12 pasang sisik marginal, dan
sepasang sisik prefiontal yang letaknya di atas hidung. Memiliki sepasang kaki
depan, sepasang kaki belakang, kuku pada kaki depan hanya satu, warna
karapasnya coklat atau kehitam-hitaman, dan letak bagian karapas tidak saling
menutupi satu sama lainnya. Bagian dorsal anak-anak penyu yang baru lahir
(tukik) adalah berwarna hitam dan bagian ventralnya putih mulai dari kaki atau
“flipper”.
lemaknya yang hijau bukan dari warna eksternalnya. Bagian bawah karapas
(plastron) biasanya berwarna putih atau kuning. Warna Penyu Hijau (Chelonia
mydas) bervariasi dari hiaju ke abu-abu ke coklat dan karapas seringkali ditandai
ditandai dengan titik-titik yang lebih gelap atau loreng-loreng. Panjang ekor
Gambar 2 . Susunan Sisik Penyu Hijau (Sumber : Rebel, 1974 diacu oleh
Agusta, 2014)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Class : Reptilia
Ordo : Testudinata
Famili : Cheloniidae
Genus : Chelonia
Spesies : Cheloniamydas
Gambar 3. Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Sumber : IUCN diacu oleh Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009)
Penyu dikatakan binatang purbakala karena penyu dari jutaan tahun yang
lalu hingga sampai sekarang masih hidup. Penyu ini terdiri atas kepala, leher,
cangkang, kaki yang digunakan untuk melakukan renang di laut. Walau termasuk
reptilian, penyu bernafas dengan paru–paru. Mereka hidup di laut lepas dan ke
dilakukan penyu dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran
jantan bertengger di atas punggung penyu betina. Tidak banyak regenerasi yang
dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor
penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa. Penyu
melakukan perkawinan di dalam air laut. Pada waktu akan kawin, alat kelamin
penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang
penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina
agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul
tenggelam di permukaan air dalam waktu cukup lama bisa mencapai 6 jam lebih
Pada umumnya Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur lebih dari satu kali
dalam satu musim bertelur (3-4 kali) dengan interval internesting kira-kira 2
minggu. Letak lintang, umur, dan kualitas makanan merupakan beberapa faktor
Setelah selesai bertelur, penyu betina dewasa akan meninggalkan sarang dan telur-
melangsungkan kembali siklus hidupnya dilaut dan tahapan penyu bertelur dapat
ruaya yang luas hingga mencapai jarak ribuan kilometer. Ruaya Penyu Hijau yang
migrasi ribuan kilometer dan tempat mencari makan (feeding habit) menuju ke
satu pantai untuk kawin dan bertelur dengan cara berenang menyusuri garis pantai
Hasil dari beberapa studi tentang penyu menerangkan bahwa penyu kecil
umumnya terdapat secara pasif. Setelah mencapai ukuran 30 cm atau lebih, penyu
dewasa dan siap untuk melakukan migrasi reproduksi. Penyu Hijau dikatakan
dengan paru-paru. Hampir seluruh siklus hidup penyu berlangsung di laut, penyu
betina kembali ke pantai untuk meletakan telurnya. Jarak migrasi antara pencarian
makan dan sarangnya di pantai cukup jauh, umur penyu 20-250 tahun dan
Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah jenis penyu yang paling umum
ditemukan di perairan Indonesia dan memiliki distribusi paling luas diantara jenis-
jenis penyu lainnya. Penyu Hijau (Chelonia mydas) menyebar mulai dari 26o LU –
26o LS dan daerah perkembangannya terdapat di daerah yang memiliki suhu rata-
rata di atas 20o C. Penyebaran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Indonesia dangat
erat hubungannya dengan fase siklus hidup dan habitat hidupnya (Hirth, 1971).
bagian barat (Sulawesi Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung), bagian
tengah (Kepulauan Seribu, Kalimantan Timur, Jawa Timur), hingga bagian timur
siklus hidupnya, yaitu habitat makan, habitat kawin, dan habitat peneluran.
Habitat makan dan habitat kawin berada di perairan yang memiliki karang,
sedangkan habitat bertelur berada pada daerah pantai. Daerah yang lebih disukai
lagi adalah daerah yang mempunyai batu-batu sebagai tempat berlindung dan
dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban, curah hujan dan lingkungan lainnya.
Curah hujan dapat mempengaruhi fluktuasi suhu dan kadar air yang kemudian
keluarnya air dari dalam telur sedangkan kadar air lingkungan yang terlalu tinggi
keberhasilan penetasan adalah faktor reproduksi dan indukan. Faktor ini meliputi
hal pembuahan oleh jantan, kesehatan organ reproduksi, kesiapan induk pada
oleh kondisi biologi tempat tersebut. Karakteristik biologi habitat pantai peneluran
(Nuitja, 1992).
Ekosistem perairan laut adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk dari
proses interaksi timbal balik antar-makhluk hidup dalam suatu komunitas dalam
Penyu Hijau (Chelonia mydas), secara umum Penyu Hijau (Chelonia mydas)
Terumbu karang (coral reefs) adalah ekosistem di dasar laut tropis yang
dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapus (CaCO3) yang dihasilkan oleh
karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar
lainnya dari filum Cnidaria, ordo Scleractina yang hidup bersimbiosis dengan
zooxantellae, dan sedikit tambahan algae berkapur serta organisme lain yang
Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup
terendam di dalam laut. Padang lamun adalah hamparan vegetasi lamun yang
menutupi suatu area dan terbentuk dari suatu atau beberapa jenis lamun dengan
Rumput laut merupakan ganggang yang hidup dilaut dan tergolong dalam
divisio thallophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal
dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada
yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut, dan lain
sebagainya (Soegiarto et al., 1978). Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang bersifat
herbivora memakan rumput laut sebagai sumber makanannya di laut dan dianggap
sebagai biota pengganggu (hama) pada budidaya rumput laut. Tukik akan
berlindung diantara rumput laut hingga dewasa untuk menghindar dari predator
(Kamlasi, 2008).
Tumbuhan pada pantai mempunyai peran yang sangat penting bagi penyu
untuk melindungi sarang telur, agar tidak terkena langsung oleh sinar matahari.
Selain itu vegetasi dapat mencegah perubahan suhu yang tajam di sekitar sarang
terlepas dari adanya predator baik manusia dan fauna yang merupakan ancaman
pada malam hari dengan cahaya yang sedikit dengan harapan dapat
salah satu predator utama pada masa inkubasi telur hingga telur menetas dan tukik
merangkak ke luar sarang menuju laut. Kondisi ini dapat memengaruhi jumlah
mempunyai segi karakteristik setiap jenis penyu. Persyaratan umum untuk pantai
peneluran, yaitu pantai harus mudah dijangkau dari laut, posisi pantai harus cukup
tinggi untuk mencegah terendamnya telur-telur oleh air laut pasang, substrat pasir
memiliki aliran difusi gas, serta substrat berukuran sedang untuk mencegah
lubang sarang runtuh selama pembuatan sarang. Penyu laut umumnya memilih
daerah untuk bertelur pada dataran yang luas dan landai yang terletak di atas
bagian pantai dengan rata-rata kemiringan 30o serta di atas pasang surut antara 30
sampai 80 meter. Telur-telur diletakkan pada sarang yang dibuat antara 8 sampai
peneluran. Selain itu penyu merupakan hewan yang bersifat instingtif terhadap
pantai penelurannya, dimana penyu akan bertelur di pantai dimana dia pertama
kali ditetaskan. Masa awal reproduksi (bertelur) penyu cukup lama yaitu pada
umur 6-8 tahun, dan nilai kesintasan tukik (anak tetas) sampai menjadi dewasa
hempasan ombak jika angin bertiup kencang, terutama saat bulan mati dan
purnama. Angin kencang yang kadang disertai badai akan terjadi ketika angin
daerah peneluran akan lebih keras dan sulit digali. Hal tersebut menyebabkan
Penyu Hijau (Chelonia mydas) menunda proses bertelurnya. Cahaya petir dapat
mempengaruhi penyu untuk tidak mendarat sebab penyu sangat sensitif dengan
Penyu Hijau (Chelonia mydas) betina mulai naik ke pantai selang satu jam
sebelum hingga dua jam sebelum dan sesudah air laut pasang pada malam hari.
Jika tempat bertelur sudah dipilih, penyu betina segera membuat sarang. Pertama-
tama yang dikerjakan adalah membuat legokan tubuh (body pit). Dasar lubang
miring kedepan dengan bagian belakang lebih rendah dari permukaan pasir
lubang telur (egg hole). Diameter dan dalamnya lubang telur biasanya tergantung
besar extremitas, jadi tergantung oleh besarnya penyu. Lubang telur digali
berbentuk silindris dengan lubang bagian bawah lebih besar dari lubang bagian
korelasi positif dengan ukuran butir pasir. Penyu laut bertelur di pantai yang
berpasir halus, karena pasir halus lebih mudah digali daripada pasir kasar dan
penetasan. Pasir kasar lebih sedikit menyimpan air daripada pasir halus, karena
pasir kasar mempunyai pori yang lebih besar. Kondisi tersebut menyebabkan
perubahan suhu yang tajam disekitarnya, menghidari diri dari musuh, menjamin
situasi yang enak untuk tempat tinggal dan dalam rangkain berkembang biak.
Semakin dalam sarang, maka suhu semakin tetap bila dibandingkan dengan suhu
permukaan sarang, dan suhu pada bagian tengah sarang lebih tinggi dibandingkan
suhu pada bagian permukaan dan samping sarang. Semakin dalam sarang
semakinbesar pula energi yang dibutuhkan tukik yang menetas untuk merangkak
Suhu permukaan yang tinggi pada siang hari akan menghentikan tukik
keluar dari sarang. Pada malam hari tukik biasanya keluar dari sarang sambil
payah menuju laut. Walaupun baru menetas secara naluriah dan atas bantuan
bintang dan bulan yang berada pada arah lautan juga putihnya warna buih lautan,
tukik dapat mengetahui arah laut dengan benar. Setelah mencapai laut, tukik-tukik
menuju laut lepas hingga mencapai arus samudera. Fase awal berkelana ini sering
disebut sebagai “tahun yang hilang” yang lamanya bervariasi sesuai dengan jenis
Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat dimana perubahan cuaca dapat
mempengaruhi kondisi laut. Tingkah laku bertelur penyu juga berkaitan dengan
faktor cuaca, dimana ketika angin bertiup kencang menyebabkan ombak menjadi
besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir dan benda benda ringan lainnya di
sepanjang pantai. Selain itu ketika curah hujan tinggi pasir pada daerah peneluran
akan lebih keras dan lebih sulit untuk digali. Kesulitan dalam penggalian dan
hujan yang jatuh terus menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk
timur bertiup mulai bulan Mei sampai September sepanjang tahun dan angin
muson barat bertiup mulai bulan Desember sampai Maret. Pada bulan April-Mei
sebagai Musim Peralihan 1 dan Musim Peralihan 2atau pancaroba awal dan
pancaroba akhir tahun. Aktivitas peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) sangat
adalah suhu dan kadar air sarang tempat penetasan. Faktor biotik diantaranya
adalah predator dan mikro organisme (bakteri patogen dan jamur) yang dapat
menetaskan telur (nesting succsess) adalah presentase dari hasil bagi jumlah anak
penyu yang lahir dan berhasil hidup dengan jumlah keseluruhan telur yang
babi hutan (Sus scrofa), anjing hutan (Cuon alpinus), dan biawak air (Varanus
sarang mempunyai temperatur yang relatif konstan. Fluktuasi suhu terjadi pada
dari suhu ini sebagai akibat adanya intensitas cahaya yang mengenai permukaan
sarang pada waktu siang hari. Pada waktu malam hari, sinar tersebut tidak ada
Sesaat setelah telur dikeluarkan oleh induk, terjadi berbagai proses biologi.
Proses tersebut sangat rentan terhadap faktor yang dialami selama masa
Morlock (1979) diacu oleh Rudiana dkk., (2004) jika telur penyu mengalami
perubahan posisi maka embrio akan mengalami kematian atau gangguan yang
dimiliki oleh telur ayam sehingga jika terjadi rotasi, embrio akan melipat dan
mengakibatkan kematianjika terjadi perubahan posisi telur penyu pada tahap awal
Perubahan posisi ini menyebabkan kematian embrio, kondisi sensitif telur penyu
Pengenalan kelamin penyu dapat dilihat dari bentuk ekornya. Pada usia
muda sangat sulit dikenal jenis kelaminnya karena memiliki bentuk ekor yang
sama. Penyu jantan memiliki ekor yang lebih panjang dan bentuk kepalanya lebih
atau bulat (spherical) berwarna putih dengan memiliki kulit telur yang kenyal
Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya,
masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan proses penetasan
hingga tukik keluar dari sarang menurut Yayasan Alam Lestari (2000) yaitu :
Keterangan :
3. Tukik mulai dapat aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput
embrio terlepas
mencapai permukaan
METODE PENELITIAN
Sumatera Barat pada bulan Mei sampai Juli 2017. Peta lokasi penelitian dapat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut : GPS
(Global Positioning System), tali rafia, roll meter, tongkat berskala, selang
bening, senter, oven, timbangan digital, spidol, label, katong plastik, soil survey
meter, kamera, alat tulis, dan jaring pelindung sarang. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: telur Penyu Hijau (Chelonia mydas),
Prosedur Penelitian
pengambilan data primer diantaranya: lebar pantai, kemiringan pantai, tipe pasang
surut, lebar sarang, kedalaman sarang, suhu sarang, suhu udara, derajat keasaman
(pH) sarang, jumlah sarang, persentase penetasan telur, jenis tumbuhan pantai dan
diantaranya: curah hujan dan ekosistem perairan laut meliputi terumbu karang,
padang lamun, dan rumput laut. Data panjang pantai diukur menggunakan
pada pukul 20.00 WIB – 06.00 WIB. Pengamatan dilakukan untuk melihat dari
awal penyu naik ke pantai, mencari lokasi bertelur, proses penggalian lubang
hingga bertelur. Lama waktu yang dibutuhkan hingga penyu selesai bertelur ± 2
jam dimulai saat naik ke pantai hingga penyu tersebut selesai bertelur. Penggalian
sarang alami dilakukan setelah penyu selesai bertelur dan meninggalkan sarang
hari kemudian kembali lagi ke lokasi penelitian dengan waktu 3 hari untuk
lokasi. Luas Pulau Penyu dapat dikelilingi hanya dengan waktu ± 45 menit.
Adapun batas wilayah Pulau Penyu, sebelah utara berbatasan dengan Kota
Padang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Solok dan Provinsi Jambi,
pengamatan dibagi menjadi 4 stasiun dengan luasan Pulau Penyu dibagi rata
menjadi 4 bagian, sebelah utara, timur, selatan, dan barat dengan titik koordinat
yaitu :
Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis
Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis
tumbuhan merambat di atas pasir serta butiran pasir yang lembut dan berwarna
putih.
Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis
pohonan sedang serta butiran pasir yang lembut dan berwarna putih.
Stasiun ini merupakan daerah pinggir pantai yang landai dan ditumbuhi jenis
tumbuhan pandan yang lebih mendominasi serta butiran pasir yang lembut dan
berwarna putih.
Biologi
ekosistem padang lamun, dan ekosistem rumput laut meliputi kondisi dan spesies
yang ada di Pulau Penyu. Data yang diambil adalah data sekunder yang diperoleh
Tumbuhan Pantai
dilakukan pada lokasi dimana Penyu Hijau (Chelonia mydas) bertelur. Hasil
bagi satwa lainnya yang merupakan predator bagi Penyu Hijau (Chelonia mydas).
penyu adalah biawak, kepiting, semut serta manusia yang memburu telur-telur
Penyu Hijau (Chelonia mydas). Pengambilan data predator yang terdapat di Pulau
Fisik
dengan aplikasi Fields Area Measure agar data lebih akurat. Untuk pengukuran
lebar pantai, pengukuran dilakukan menjadi tiga, yaitu lebar supratidal yang
diukur dari vegetasi terluar hingga batas pasang tertinggi, lebar intertidal diukur
dari batas pasang tertinggi hingga surut teredah dan lebar total hasil penjumlahan
Kemiringan Pantai
dimulai dari vegetasi terluar hingga ke pantai pertarna kali basah oleh gelombang
( )
mydas) di pantai disebabkan kawasan pantai mudah dijangkau dari laut saat air
laut pasang, sehingga kondisi pantai tersebut berpotensi sebagai lokasi peneluran
penyu.
Sampel substrat (pasir) sarang contoh diambil tiap lokasi peneluran yaitu
stasiun utara, timur, selatan, dan barat dengan menggunakan sekop kecil
metode fraksi pasir. Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat
yaitu :
2. Menarik garis lurus pada sisi presentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi
presentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di
titik 30% sejajar dengan presentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi
3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang
Pengukuran dilakukan saat terjadi pasang tertinggi dari sarang dan saat surut
Ukuran Sarang
Ukuran sarang yang dilakukan adalah panjang dan lebar sarang dengan
L
P D
d
Gambar 13. Cara Pengukuran Sarang Penyu Hijau (Sumber : Arianto, 1999)
Keterangan :
P = Panjang Sarang
L = Lebar Sarang
d = Kedalaman Sarang
Suhu Sarang
dilakukan pada dasar substrat, karena suhu sarang adalah suhu campuran antara
Suhu Udara
pengamatan. Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00 WIB, 12.00 WIB, 18.00
dilakukan satu kali dalam sehari ketika Penyu Hijau (Chelonia mydas) selesai
Curah Hujan
Sumatera Barat.
Jumlah Sarang
Seluruh Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang naik dan bertelur selama 7
pengamatan.
Analisis Data
penetasan telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) pada tiap stasiun. Persentase
menggunakan rumus bedasarkan Dobbs et al., 1999 diacu oleh Rofiah dkk., 2012
Keterangan :
Hasil
Fisik
Pulau Penyu memiliki panjang pantai sepanjang 1,53 km. Nilai lebar
pantai tertinggi terdapat pada Stasiun II dengan nilai 24,5 meter. Nilai lebar pantai
Kemiringan Pantai
(Chelonia mydas). Kemiringan pantai pada Pulau Penyu berkisar antara 3,703 % -
4,482 % dengan sudut kemiringan 23,8˚ - 29,2˚ dengan nilai pada tiap stasiun
Tipe pasang surut yang terjadi pada Pulau Penyu adalah tipe semi diurnal,
yaitu dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Dengan fluktuasi
berkisar 0,2 – 2,8 meter dan mencapai puncaknya pada saat bulan purnama terjadi.
Pasang surut air laut pantai berpengaruh pada frekuensi pendaratan Penyu Hijau
(Chelonia mydas). Grafik pasang surut di Pulau Penyu periode 18 Mei – 01 Juni
Gambar 14. Grafik pasang surut di Pulau Penyu periode 18 Mei – 01 Juni 2017
mendarat dan bertelur pada suatu lokasi peneluran. Berdasarkan hasil dari
penelitian ditemukan substrat sarang terdiri dari pasir, liat, dan debu. Namun di
lokasi tersebut. Tipe substrat sarang dari hasil analisis laboratorium dapat dilihat
pada Tabel 6.
Lokasi Parameter
% - Teksture (Hydrometer)
Pasir Liat Debu Tekstur
Stasiun I 91 8 1 Pasir
Stasiun II 91 8 1 Pasir
Stasiun III 91 8 1 Pasir
Stasiun IV 91 8 1 Pasir
Ukuran butiran pasir sarang hasil analisis terdiri dari pasir sedang dengan
ukuran 0,50 mm dan pasir halus dengan ukuran 0,25 mm, pasir halus lebih
mendominasi pada setiap sarang telur yaitu sebesar 83,5%. Butiran pasir yang
lebih halus tentunya lebih dipilih karena mudah untuk digali. Nilai ukuran
diameter pasir sarang pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 7.
telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). Telur yang rentan terkena pasang air laut
Penyu rata-rata bertelur saat terjadi pasang tinggi, hal ini dikarenakan
semakin mudahnya penyu untuk mendarat ke permukaan pantai dibantu oleh air
laut yang naik. Jarak sarang dari tumbuhan mempengaruhi tingkat penetasan telur
Penyu Hijau (Chelonia mydas). Sarang yang dekat dengan naungan sebuah
yang jauh dari naungan tumbuhan rentan mengalami kegagalan penetasan. Nilai
Ukuran Sarang
Pengukuran sarang yang dilakukan adalah panjang sarang badan (P), lebar
sarang badan (L), kedalaman lubang badan (D), kedalaman sarang (d), dan
diameter lubang telur (t). Ukuran sarang yang terukur selama penelitian berkisar
Hasil dari pengukuran sarang tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 10.
metabolisme yang berasal dari proses embriotik. Hasil penetasan yang paling
mempengaruhi adalah suhu. Suhu sarang telur yang terlalu rendah dapat
Sebaliknya, suhu sarang yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian janin
dalam telur.
Nilai suhu sarang tertinggi terdapat pada Stasiun II yaitu 30˚C dan
terendah pada Stasiun I yaitu 27˚C. Hasil pengukuran suhu sarang pada setiap
pukul 06.00 WIB yaitu 27˚C. Nilai suhu udara pada setiap stasiun dapat dilihat
alat soil tester pada lubang dasar sarang saat dilakukannya penggalian. Rata-rata
Curah Hujan
Geofisika (BMKG) Sumatera Barat, curah hujan yang terjadi pada waktu
penelitian yaitu bulan Mei, Juni, dan Juli memiliki rata-rata 400 mm/bulan dengan
sifat hujan tinggi yaitu 200%. Bulan Mei memiliki tingkat curah hujan yang lebih
tinggi dibandingkan bulan Juni dan Juli. Data dari BMKG dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Jumlah Sarang
Jumlah sarang yang ditemukan selama penelitian ada 8 sarang, terdiri dari
4 sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan 4 sarang Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata). Jumlah sarang yang ditemukan pada lokasi penelitian dapat dilihat
Persentase Penetasan
terendah pada Stasiun II dengan nilai 24,21 %. Tabel persentase penetasan dapat
Biologi
karang yang sehat dan baik di Pulau Penyu. Data ini diperoleh dari Kementerian
Kelautan dan Perikan (KKP) tahun 2017. Jenis-jenis terumbu karang yang
foliose, mushroom, melipora, dan heliopera. Selain itu ditemukan juga disekitaran
selatan Pulau Penyu 10 genera rumput laut, diantaranya: Halimeda sp, Acaulerpa
sp, Sargasum sp, Turbinari sp, Padina australis, Laurentia sp, Udotea sp,
Tumbuhan Pantai
terdapat juga adanya kerusakan akibat pengaruh abrasi pantai. Dengan adanya
populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas). Pada habitat peneluran Penyu Hijau
Predator alami yang ditemukan di Pulau Penyu adalah jenis fauna, baik
fauna dilaut, fauna didarat dan di udara. Pulau Penyu tidak hanya menjadi tempat
tinggal bagi penyu yang mendarat tetapi banyak satwa lain yang hidup menjadi
predator bagi penyu. Jenis-jenis fauna yang ditemukan antara lain jenis ikan –
ikan karang, bulu babi (Diadema sp), elang laut ini adalah fauna yang menjadi
predator bagi tukik, sedangkan fauna yang hidup darat di sepanjang Pulau Penyu
adalah kepiting penggali dan biawak yang merupakan predator potensial bagi
Pembahasan
pada lokasi penelitian Pulau Penyu. Pulau Penyu yang ditumbuhi oleh rumput laut
menjadi sumber makanan bagi Penyu Hijau (Chelonia mydas). Sumber makanan
menjadi faktor utama Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk mendarat dan
meletakkan telur pada daerah lokasi peneluran terutama di Pulau Penyu. Hal ini
sesuai dengan Yustina dkk (2004) yang menyatakan populasi penyu akan banyak
dijumpai pada tempat yang ketersediaan makanan memadai dan adanya sarang
yang serasi.
Penyu menandakan kondisi perairannya yang masih tergolong baik. Penyu Hijau
mencari makan. Hal ini sesuai dengan Zakyah (2016) yang menyatakan Penyu
Hijau (Chelonia mydas) sering terdapat diantara terumbu karang pada daerah laut
lepas. Terumbu karang menjadi sumber makanan yang baik dan menjadi tempat
pencahayaan dan suara berisik juga menjadi kesenangan Penyu Hijau (Chelonia
mydas) bertelur. Hal ini sesuai dengan Krismono dkk., (2010) yang menyatakan
Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan hewan yang sensitif terhadap getaran,
memiliki kemampuan melihat obyek yang ada di depannya sampai sudut 30° dan
180° ke arah samping serta dapat berakomodasi dengan baik pada sudut 150° serta
Tumbuhan Pantai
meletakkan sarangnya. Akar-akar halus dari pandan laut dan kangkung laut dapat
mencegah runtuhnya sarang karena akar dapat mengikat butiran pasir. Hal ini
sesuai dengan Hermawan dkk., (1993) yang menyatakan sistem perakaran pandan
laut dapat meningkatkan kelembaban pasir dan memberikan kestabilan pada pasir.
fungsi untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembapan sarang Penyu Hijau
(Chelonia mydas). Sarang tidak langsung terkena paparan sinar matahari akibat
ditumbuhi oleh vegetasi disekitarnya. Hal ini sesuai dengan Langinan dkk., (2017)
Naungan tumbuhan pantai seperti pandan laut, kangkung laut, waru laut,
kelapa, ketapang, dan butun juga menjadi pelindung bagi sarang Penyu Hijau
(Chelonia mydas) dari jenis predator yang ada di Pulau Penyu. Hal ini sesuai
dengan Sheavtiyan dkk (2014) yang menyatakan beberapa sarang yang ditemukan
terhadap aktifitas peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang secara naluriah
Hijau (Chelonia mydas) yang ditemukan mendarat dan bertelur, terdapat pula
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang mendarat dan bertelur pada lokasi
menyukai lokasi Pulau Penyu sebagai tempat untuk bertelurnya. Hal ini sesuai
salah satu faktor yang berperan penting di daerah peneluran Penyu Sisik
Perusakan sarang oleh predator jenis fauna darat yang ditemukan di lokasi
tidak mencapai 100%. Hal ini sesuai dengan Arianto (1999) yang menyatakan
Tukik yang baru menetas tidak langsung keluar menuju pantai, tukik
tertahan di dalam waring (pelindung sarang) yang dibuat. Ketika tukik bergerak
bebas menuju pantai jenis burung elang laut, ikan di laut, serta bulu babi menjadi
ancaman tukik. Hal ini sesuai dengan Karnan (2008) yang menyatakan kelompok
tukik biasanya kehilangan arah, sehingga dimangsa oleh predator atau bahkan
adalah 1, 53 km, Pulau Penyu merupakan pantai yang memiliki luasan daerah
yang lapang dan berhubungan langsung dengan laut lepas sehingga jenis Penyu
Hijau (Chelonia mydas) melakukan pendaratan dan bertelur pada lokasi tersebut.
Hal ini sesuai dengan Rohim (2017) yang menyatakan pantai yang panjang ini
sangat cocok dengan kebiasaan Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk memilih
Nilai tertinggi lebar pantai terdapat pada Stasiun II yaitu 24,5 meter dan
dengan nilai rata-rata lebar pantai adalah 17,5 meter. Perbedaan nilai ini
menyebabkan substrat pasir mampu terbawa oleh air laut. Hal ini sangat berbeda
dengan Nuitja (1992) yang menyatakan kisaran lebar pantai yatempat pendaratan
penyu adalah 30–80 meter. Dalam Zarkasi dkk (2011) juga menyatakan lebar
pantai di daerah pantai Pulau Wie berkisar antara 15,84 m sampai dengan 27,44 m
dengan kondisi pasang terendah, daerah yang ada pada stasiun 1 dengan lebar
27,44 m dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 15,84 m, Hal ini diduga
disebabkan pada stasiun ini terjadi gerakan ombak yang lebih besar di
bandingkan dengan stasiun lainya sehingga gerakan ombak yang besar mampu
Kemiringan Pantai
4,3% atau sudut kemiringan 25,075˚. Penyu Hijau (Chelonia mydas) mendarat
dan meletakkan telur pada setiap stasiun pengamatan. Dengan kondisi pantai yang
landai memudahkan Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk naik. Hal ini sesuai
dengan Nuitja (1992) yang menyatakan bahwa penyu cenderung memilih tempat
habitat peneluran apabila pantai tersebut mudah dicapai dari permukaan laut, pasir
kemiringan 23,5˚. Terjadinya perbedaan yang cukup terlihat pada nilai kemiringan
substrat pasir pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan Sheavtiyan dkk (2014)
menuju pantai. Berbeda dengan pantai Munggu Resak dan Tanjung Kemuning
sehingga Penyu Sisik naik dan bertelur pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan
Hermawan dkk (1993) yang menyatakan kelandaian pantai dan komposisi butiran
pasir secara vertikal terlihat juga berpengaruh terhadap kesukaan Penyu Sisik
yang lebih landai (5,5° -17,8°) dan mempunyai struktur butiran pasir yang lebih
Dari hasil penelitian, pasang surut yang terjadi pada lokasi pengamatan
adalah tipe semi diurnal. Dimana terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut. Terjadinya
bertelur. Hal ini sesuai dengan Anshary dkk (2014) yang menyatakan pasang surut
air laut pantai berpengaruh pada frekuensi pendaratan penyu dan juga
berpengaruh pada jumlah Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang mendarat menuju
umumnya aktif mendarat menuju pantai pada saat malam hari ketika matahari
mulai tenggelam yaitu mulai pukul 20.00 WIB sampai pukul 04.00 WIB.
pengamatan didominasi oleh pasir yaitu 91%, liat 8%, dan debu 1%. Tipe substrat
yang didominasi oleh pasir mendukung keberhasilan penetasan telur karena pasir
memiliki pori – pori sebagai keluar masuknya udara dalam sarang. Hal ini sesuai
Nuitja (1992) yang menyatakan bahwa susunan tekstur daerah peneluran penyu
berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya debu dan liat.
persentase pasir yang lebih besar yaitu 91%. Hal ini dikarenakan pasir mudah
untuk digali, nilai debu dan liat yang rendah tidak menyebabkan pasir lengket
pada proses penggalian. Hal ini sesuai dengan Wisnuhamidaharisakti (1999) yang
menyatakan komposisi debu dan liat yang rendah memungkinkan pasir tidak
lengket ketika penyu menggali lubang untuk sarang. Dan jika pada sarang
didominasi liat atau tanah maka teIjadi penempelan lapisan tanah pada kulit telur,
yang menempel tersebut terdapat bakteri pembusuk yang merusak kulit telur.
Secara umum Pulau Penyu mendukung proses penetasan telur Penyu Hijau
(Chelonia mydas) pada lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan Nugroho dkk
(2016) yang menyatakan hasil penelitian pada tekstur substrat sarang alami dan
sarang semi alami Pantai Paloh di dominasi oleh pasir, yaitu rata-rata 98,04% dan
sisanya debu dengan rata-rata 1,66% dan liat rata-rata 0%. Habitat ini yang
cukup baik yaitu butiran pasir kasar tidak lebih dari 97,6%.
pengamatan dimonasi oleh pasir halus dengan ukuran 0,25 mm dan besar
persentase 83,5%. Pasir halus mampu menjadi penyangga yang bagik bagi sarang
telur.Hal ini sesuai dengan Listiani dkk (2015) yang menyatakan tekstur pasir di
habitat semi alami pada Stasiun 1 dan 2 didominasi pasir halus yang berukuran
0.1 - < 0.2 mm yaitu berturut-turut 50,81% dan 55,47 %. Karateristik pasir pada
kedua didominasi pasir halus. Hal ini disebabkan penetasaan semi alami jauh dari
pantai sehingga pasir yang halus tidak mudah terbawa ombak dan angin.
stasiun lainnya yaitu 9,5 meter. Semakin jauh jarak pasang tertinggi dengan
Hijau (Chelonia mydas). Namun, karena kenaikan muka air laut pada Stasiun II
pada saat bulan purnama, terjadi pasang tertinggi sehingga mencapai sarang.
pada Stasiun II karena masuknya air laut ke dalam sarang yang mengakibatkan
terjadinya penambahan kadar air serta perubahan suhu maupun pH pada sarang.
pembusukan. Hal ini sesuai dengan Satriadi dkk (2003) yang menyatakan lebar
pantai di stasiun 10 sangat sempit yaitu 7m, memungkinkan air pasang dapat
sarang penyu berupa perubahan suhu dan kadar air karena terendam air laut dan
Pada Stasiun II terjadi perubahan bentuk fisik termasuk garis pantai ketika
pasang tertinggi terjadi pada bulan purnama. Adanya gelombang dan arus yang
Hal ini sesuai dengan yang menyatakan Panjaitan dkk (2012) yang menyatakan
stabil sehingga pantai pun tidak banyak mengalami perubahan bentuk fisik.
Nilai jarak sarang dari tumbuhan pada Stasiun II lebih besar dibandingkan
stasiun lainnya yaitu sebesar 10 meter. Hal ini tidak sesuai dengan Susilowati
(2002) yang menyatakan Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang ditemukan di Pantai
sarang didaerah supratidal bahwa naungan dan daerah supratidal bebas naungan
induk Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang tidak tepat dalam pemilihan lokasi
mydas) yang bertelur pada Stasiun II adalah angin kencang disertai gerimis
sehingga induk penyu yang sudah memang waktunya bertelur membuat sarang
dan bertelur jauh dari tumbuhan yang ada. Hal ini tidak sesuai dengan Nuitja
(1992) yang menyatakan induk penyu mempunyai insting yang baik dalam
I, III, dan IV bernilai 2 meter. Penyu Hijau (Chelonia mydas) membuat sarang
dekat dengan naungan tumbuhan agar sarang tetap stabil dari kondisi cuaca. Hal
ini sesuai dengan Anshary dkk (2014) yang menyatakan vegetasi pantai juga
pantai merupakan salah satu ciri dari pantai peneluran penyu. Setiap jenis penyu
bagi sarang penyu agar tidak terkena sinar matahari yang berlebihan. Sinar
matahari yang berlebihan akan meningkatkan suhu substrat sarang sehingga dapat
Ukuran Sarang
39 cm dan diameter lubang telur (t) berkisar 23 – 25 cm. Kedalaman sarang dan
telur. Hal ini sesuai dengan Rafiza dkk (2014) yang menyatakanhasil penelitian
yang telah dilakukan bahwa masa inkubasi telur Penyu Hijau (Chelonia mydas)
dengan kedalaman sarang 30 cm, waktu penetasan telur terjadi pada hari ke 57.
Nilai kedalaman sarang dan diameter lubang telur dipengaruhi ukuran besar
kecilnya ukuran tubuh Penyu Hijau (Chelonia mydas), semakin besar ukuran
penyu semakin besar flipper penyu sehingga sarang yang dibuat akan semakin
besar pula. Hal ini sesuai dengan Kushartono dkk (2016) yang menyatakan hasil
yang ditetaskan pada kedalaman 60 dan 80 cm lebih baik dibandingkan tukik yang
ayunan flipper.
berkisar 75-76 cm. Keseluruhan kedalaman yang dimaksud adalah total jumlah
ukuran lubang badan ditambah ukuran kedalaman lubang telur. Hal ini sesuai
dengan Bidasari dkk., (2016) yang menyatakan data kedalaman sarang dan jumlah
Penyu Hijau di Pantai Pulau Jemur selama penelitian, sarang yang diukur selama
dimana kedalaman masih diantara kisaran yang sesuai dengan kedalaman sarang
penyu.
Nilai suhu pada stasiun pengamatan berkisar antara 27˚ C - 30˚ C. Suhu ini
termasuk dalam kategori optimal dalam penetasan telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas). Hal ini sesuai dengan Nuitja (1992) yang menyatakan bahwa kisaran
normal suhu sarang penetasan penyu adalah 24 –34°C. Jika suhu sarang kurang
atau melebihi kisaran normal, telur akan gagal menetas yang disebabkan karena
Nilai suhu sarang pada Stasiun II yaitu 30˚ C. Tingginya suhu pada
tumbuhan pada lokasi sarang.Pada stasiun lainnya ditemukan jarak sarang dengan
tumbuhan dekat sehingga sarang berada pada tempat yang teduh, sedangkan pada
Stasiun II kondisi sarang selalu terkena paparan sinar matahari secara langsung.
Hal ini sesuai dengan Listiani dkk (2015) yang menyatakan perbedaan suhu pada
tiap sarang dipengaruhi oleh banyak sedikitnya intensitas cahaya yang diterima
permukaan tanah yang lebih dalam dan sebagian lagi akan dipantulkan.
yaitu 29˚C pada pukul 12.00 WIB dan terendah pada pukul 06.00 WIB yitu 27˚C.
Suhu udara ditentukan oleh besar kecilnya energi panas yang ada pada udara
tersebut. Suhu udara sangat peka terhadap perubahan energi dipermukaan bumi.
Hal ini sesuai dengan Pradana dkk (2014) yang menyatakan hasil pengukuran
suhu udara pada lokasi penelitian terdapat rerata yaitu pada pada pukul 06.00
dengan rerata sebesar 27,8˚C sedangkan pada pukul 12.00 dengan rerata sebesar
30˚C dan pada pukul 18.00 dengan rerata sebesar 26,4˚C. Dari hasil tersebut suhu
tertinggi dicapai pada pukul 12.00 dan terendah pada pukul 18.00. Hal ini sesuai
dengan Anshary dkk (2014) yang juga menyatakan faktor lingkungan menentukan
bagi aktivitas pendaratan penyu untuk bertelur. Suhu udara dilokasi penelitian
Nilai derajat keasaman (pH) sarang pada setiap stasiun di Pulau Penyu
tergolong normal tidak asam ataupun basa dan ideal untuk penetasan telur Penyu
Hijau (Chelonia mydas). Hal ini sesuai dengan Sheavtiyan dkk (2014) yang
Kemuning (6,16) dan pH terendah berada di Sungai Belacan (5,74). Hasil analisis
Nilai fraksi pasir pada sarang telur juga mempengaruhi nilai pH didalam
sarang. Hal ini sesuai dengan Sheavtiyan dkk (2014) yang menyatakan komponen
substrat sarang yang dibuat Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk meletakkan
substrat sarang yang terdiri dari pasir dan liat juga mempengaruhi nilai pH
substrat.
Curah Hujan
tingkat curah hujan di Pulau Penyu pada bulan Mei, Juni, dan Juli tahun 2017.
Penyu Hijau (Chelonia mydas). Perubahan cuaca yang kadang tidak menentu
Sheavtiyan dkk (2014) yang menyatakan curah hujan memberikan pengaruh yang
besar terhadap keberhasilan penetasan telur penyu. Curah hujan yang tinggi akan
mengakibatkan suhu di sekitar sarang menjadi lebih rendah. Suhu sekitar yang
lebih rendah akan mempengaruhi suhu inkubasi yang berakibat pada fluktuasi
dan mengakibatkan tingginya muka air laut sehingga terjadi pasang tertinggi yang
mengenai sarang. Kegagalan penetasan yang terjadi pada sarang di Stasiun II juga
terjadinya akibat perubahan cuaca. Hal ini sesuai dengan Parinding dkk (2015
yang menyatakan hal ini disebabkan cuaca yang ekstrim (curah hujan tinggi dan
mendung), dan pengaruh pasang air laut yang tinggi dengan kencangnya
kecepatan angin. Selain itu, cahaya sinar matahari pada siang hari dibawah pohon
cemara laut dan perdu papaceda diduga sebagai pilihan Jelepi bertelur. Oleh
karena bayangan sinar jatuh mengurangi panas suhu pada pantai pasir tak
Jumlah Sarang
pada lokasi pengamatan yang terdiri dari sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas)
dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Pada Stasiun I didapati 1 sarang Penyu
Hijau dan 2 sarang Penyu Sisik, Stasiun II hanya didapati 1 sarang Penyu Hijau,
Stasiun didapati III 1 sarang Penyu Hijau dan 1 sarang Penyu Sisik, Stasiun IV
didapati 1 sarang Penyu Hijau dan 1 sarang penyu Sisik. Hal ini membuktikan
Pulau Penyu yang memiliki kemiringan pantai landai tidak hanya menjadi lokasi
peneluran Penyu Hijau saja. Hal ini sesuai dengan Pradana dkk (2015) yang
Persentase Penetasan
Dari hasil penelitian tingkat penetasan telur pada Stasiun I yaitu 91,67%,
Stasiun II 24,21%, Stasiun III 92%, dan tingkat penetasan telur tertinggi terdapat
pada Stasiun IV yaitu 95,23%. Tingginya tingkat penetasan telur pada Stasiun IV
dikarenakan suhu sarang yang stabil yaitu 28˚C. Hal ini sesuai dengan Rafiza dkk
terganggu apabila suhu sarang melebihi kisaran normal, yaitu 24 – 34ºC. Faktor
yang mempengaruhi lama tidaknya masa inkubasi telur penyu selain waktu
suhu pada sarang telur yaitu 30˚C. Suhu yang tinggi ini diakibatkan tidak adanya
naungan tumbuhan pada sarang. Hal ini tidak sesuai dengan Rudiana dkk (2004)
terhadap keberhasilan menetas telur penyu selama masa inkubasi yaitu suhu dan
kadar air dalam sarang. Hasil pengukuran berkisar 28 – 32˚C dengan rata-rata
kestabilan suhu dan kadar air dalam sarang walaupun terdapat lubang-lubang kecil
yang dibuat oleh kepiting penggali. Tumbuhan yang terdapat di sekitar kawasan
Pulau Penyu tergolong tipe hutan pantai. Jenis tumbuhan yang mendominasi
adalah pandan (Pandanus tectorius). Hal ini sesuai dengan Langinan dkk (2017)
dominan adalah kelapa (Cocos nucifera) yang masih produktif, tinggi pohon ±10
Pada saat pasang tertinggi bulan purnama, air laut mengenai sarang pada
Stasiun II. Hal ini menyebabkan sarang terendam oleh air pasang, akibatnya telur
– telur dalam sarang banyak yang mengalami pembusukan dan waktu inkubasi
menjadi lebih lama dibanding dengan stasiun lainnya. Ketika air pasang tertinggi
menjadi lebih condong ke arah air laut. Hal ini sesuai dengan
yang lebih rendah dan kadar air tanah yang lebih tinggi baik pe rmukaan maupun
dasar sarang. yaitu 28.32 % dan 30.50 % bila dibandingkan dengan kadar air
tanah pada sarang semi clami. yaitu sebesar 21.96 % dan 27.37 %. Dengan
Disamping itu juga, sarang alami terletak pada batas pasang tertinggi, sehingga
telur-telur pada sarang alami terkena pereikan air laut yang menyebabkan
bahwa kondisi lingkungan di Pulau Penyu masih baik serta mendukung penetasan
secara alami di lokasi tersebut. Namun, bila ditemukan Penyu Hijau (Chelonia
memindahkan telur ke sarang buatan (semi alami) untuk menjaga telur terkena
pasang air laut. Hal ini sesuai dengan Syaiful dkk (2013) yang menyatakan hasil
penelitian ditemukan bahwa hanya pada daerah pasir pantai arah ke darat yang
menetas lebih dari 50% yaitu sedangkan pada daerah pasir pantai arah ke laut
kurang dari 50%. Hal ini membuktikan bahwa kemiringan pantai diduga suatu
Kesimpulan
1. Pulau Penyu memiliki karakteristik bio-fisik yang tergolong cukup baik dan
alami sebagai daerah peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas). Habitat laut
Penyu adalah jenis fauna. Pulau Penyu memiliki panjang pantai 1,53 km.
kategori landai.Tipe pasang surut yang terjadi adalah semi diurnal. Nilai jarak
sarang dari pasang tertinggi berkisar antara 8 – 9,5 m dan surut terendah
berkisar antara 13,5 – 14,5 m. Nilai jarak sarang dari tumbuhan berkisar
cm. Suhu sarang berkisar antara 27˚ - 30˚C dan suhu udara berkisar antara 27˚
– 29˚C. Nilai pH yang terukur adalah 7. Tipe substrat sarang di dominasi oleh
pasir. Curah hujan rata-rata pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2017 berkisar 400
mm/bulan dan termasuk dalam kategori tingkat curah hujan yang tinggi.
3. Dari hasil penelitian tingkat penetasan telur pada Stasiun I yaitu 91,67%,
Stasiun II memiliki tingkat penetasan telur terndah yaitu 24,21%, Stasiun III
92%, dan tingkat penetasan telur tertinggi terdapat pada Stasiun IV yaitu
95,23%.
Saran
penetasan semi alami dan alami, dan puncak bertelurnya Penyu Hijau (Chelonia
DAFTAR PUSTAKA
Harless, M and H.Morlock. 1979. Turtle Perspective and Research. John Wiley &
Sons, New York.
Hatasura, I.N. 2004. Pengaruh Karakteristik Media Pasir Sarang Terhadap
Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hermawan, D., S. Silalahi., dan H. M. Eidman. 1993. Studi Habitat Peneluran
Penyu Sisisk (Eretmochelys imbicata) di Pulau Peteloran Timur dan
Barat Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Vol 1(1) : 33 – 37.
Hirth, H.P. 1971. Synopsys of Biologi Data on The Green Turtle, Chelonia mydas
(Lineaus, 1758). FAO, Fisheries Synopsys.
Krismono, A. S. N., A. Fitriyanto., dan N. N. Wiadnyana. 2010. Aspek Morfologi,
Reproduksi, dan Perilaku Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Purwakarta. Vol
3(2) : 93 – 101.
Kurniawan, I., H. Damanhuri., dan Suparno. 2015. Aspek Ekologi Habitat
Peneluran Penyu Di Pulau Penyu Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera
Barat. [Skripsi]. Universitas Bung Hatta, Padang.
Kushartono, E. W., R. Chandra., dan R. Hartati. 2016. Keberhasilan Penetasan
Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi – Alami
Yayasan Alam Lestari (YAL). 2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alam Lestari dan
Keidaren Nature Conservatiion Fund (KNCF) Jepang, Jakarta.
Waring Kayu
GPS Kamera
Kepiting penggali
Pengukuran pH sarang
Lampiran 6. Data Curah Hujan di Pulau Penyu (Mei, Juni, dan Juli 2017)
No Day 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
1 18/05/2017 1,5 1,2 0,9 0,8 0,9 1,1 1,4 1,7 1,9 2 1,9
2 19/05/2017 1,9 1,4 0,9 0,6 0,6 1,8 1,1 1,5 1,9 2,1 2,1
3 20/05/2017 1,2 1,7 1,1 0,6 0,4 1,4 0,8 1,2 1,7 2 2,2
4 21/05/2017 2,5 2,1 1,5 0,8 0,4 0,4 0,4 0,8 1,4 1,8 2,2
5 22/05/2017 2,7 2,4 1,8 1,2 0,6 0,2 0,2 0,5 1 1,5 2
6 23/05/2017 2,7 2,6 2,2 1,6 0,9 0,2 0,2 0,3 0,7 1,2 1,7
7 24/05/2017 2,6 2,6 2,4 1,9 1,3 0,4 0,3 0,2 0,4 0,9 1,4
8 25/05/2017 2,4 2,5 2,5 2,2 1,7 0,7 0,6 0,3 0,4 0,6 1,1
9 26/05/2017 2,1 2,3 2,4 2,2 1,9 0,1 0,1 0,6 0,5 0,5 0,8
10 27/05/2017 1,8 2 2,1 2,2 2 1,5 0,4 1 0,7 0,6 0,7
11 28/05/2017 1,5 1,7 1,9 2 2 1,7 1,6 1,3 1,1 0,9 0,8
12 29/05/2017 1,3 1,4 1,6 1,7 1,8 1,9 1,7 1,6 1,4 1,2 1
13 30/05/2017 1,3 1,2 1,3 1,4 1,5 1,8 1,7 1,7 1,6 1,5 1,3
14 31/05/2017 1,4 1,2 1,1 1,1 1,2 1,6 1,6 1,7 1,8 1,7 1,6
15 01/06/2017 1,5 1,2 1 0,9 1 1,4 1,4 1,6 1,8 1,9 1,8