Anda di halaman 1dari 44

ESTIMASI SIMPANAN KARBON PADA EKOSISTEM

LAMUN PERAIRAN BATULAWANG DAN PULAU SINTOK,


TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Usulan Penelitian

untuk Menyusun Skripsi Sarjana S1

Oleh :
ANNISA RHAMADANY
26020116130146

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019

1
ESTIMASI SIMPANAN KARBON PADA EKOSISTEM
LAMUN PERAIRAN BATULAWANG DAN PULAU SINTOK,
TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Oleh :
ANNISA RHAMADANY
26020116130146

Usulan Penelitian untuk Menyusun Skripsi Sarjana S1 sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Derajat Sarjana S1 pada Departemen Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
ESTIMASI SIMPANAN KARBON PADA EKOSISTEM LAMUN DI
PERAIRAN BATULAWANG DAN PULAU SINTOK, TAMAN NASIONAL
KARIMUNJAWA

Oleh:
ANNISA RHAMADANY
26020116130146

Disetujui Oleh:

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Chrisna Adi Suryono, M.Phil Dr. Ir. Delianis Pringgenies


NIP. 196406051991031004 NIP. 196712251003032001

Ketua Program Studi

Dr. Agus Trianto, ST, M.Sc


NIP. 196903231995121001
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lapisan udara yang menyelimuti bumi atau atmosfer dari tahun ke tahun
semakin panas. Sektor industri dan kendaraan berbahan bakar minyak
menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (Rahadiarta et al., 2019). Emisi
gas rumah kaca yang paling besar adalah CO2. Gas CO2 menjadi perhatian
penting karena memiliki kontribusi yang paling tinggi terhadap kandungan gas
rumah kaca, yaitu sebesar 55% dari emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas
manusia ( Septiani et al.,2018). Keberadaan gas karbondioksida di atmosfer yang
semakin meningkat dan minimnya pengikatan oleh tumbuhan hijau dapat
menyebabkan pemanasan global. Karbon merupakan unsur yang berasal dari
pengikatan CO2 oleh tumbuhan dan disimpan di dalam biomassa tanaman melalui
proses fotosintesis ( Rahadiarta et al., 2019). Fenomena ini diyakini telah memicu
perubahan iklim yang dampaknya sangat luas, antara lain meningkatnya frekuensi
suhu ekstrim, banjir, topan, badai, kekeringan dan naiknya permukaan laut hingga
akhirnya makhluk hidup ( manusia dan hewan) merasakan dampak negatif dari
pemanasan global (Irawan,2017). Gas CO2 memiliki ciri – ciri tidak berwarna,
tidak berbau, sedikit asam, dan tidak mudah terbakar tetapi gas CO2 dapat larut
dalam air sehingga dapat di serap oleh tumbuhan air seperti lamun.
Meningkatnya emisi gas CO2 harus di imbangi dengan peningkatan
penyerapan oleh tanaman berfotosintesis. Adanya proses cahaya dan klorofil yang
merubah karbondioksida dan air menjadi gula dan oksigen dalam fotosintesis
menjadikan karbondioksida menjadi komponen vital. Manusia pada umumnya
hanya mengetahui bahwa hutan dan tanaman darat saja yang dapat melakukan
fotosintesis, sedangkan tanaman darat pada umumnya dan hutan pada khususnya
dari tahun ke tahun mengalami penurunan karena pembakaran dan alih fungsi
lahan. Secara geografis laut memiliki luas lebih besar dibanding daratan dengan
perbandingan 70% : 30%, oleh karena itu pentingnya laut untuk di berdayakan
karena didalamnya terdapat plankton dan tumbuhan sejati ( lamun) yang dapat
melakukan fotosintesis. Padang lamun adalah vegetasi tumbuhan laut yang
memiliki potensi besar dalam mengurangi dampak emisi karbondioksida di
lingkungan (Irawan,2017).
Lautan memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon, sekitar 93%
CO2 di bumi disimpan dalam lautan ( Rahadiarta et al., 2019). UNEP, FAO dan
UNESCO pada tahun 2009 telah memperkenalkan konsep blue carbon yaitu
menekankan pentingnya ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali iklim (
Hartati et al., 2017). Mangrove dan Lamun adalah tumbuhan pesisir laut yang
memiliki kemampuan sama dengan tumbuhan darat dalam menyerap CO2 dan
menghasilkan O2. Kemampuan lamun dalam melakukan fotosintesis memanfaatkan
karbondioksida (CO2) dan menyimpannya dalam biomasa dikenal sebagai karbon biru (blue
carbon) ( Rustam et al., 2014). Lamun merupakan tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan
yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki
rhizoma, daun, dan akar sejati ( Graha et al., ..). Padang lamun memiliki fungsi
ekologis diantaranya sebagai sumber makanan (penyu hijau, dugong,
beronang),daerah pemijahan, daerah pembesaran berbagaibiota laut ( Rustam et
al., 2014). Keberadaan lamun yang umunya di pesisir menjadikan lamun sebagai
peredam gelombang dan arus setelah terumbu karang dan sebelum mangrove.
Lamun pada khususnya juga termasuk tumbuhan yang pertumbuhannya cepat.
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah menyesuaikan
hidupnya terbenam di dalam laut ( Rahadiarta et al., 2019). Lamun terbagi atas
dua bagian, yaitu lamun bagian atas (above ground) dan lamun bagian bawah
(below ground). Lamun dalam melakukan fotosintesis memanfaatkan karbon inorganik yang
terlarut di kolom air (dissolved inorganic carbon/DIC) sehingga lamun dapat mereduksi CO2 (
Rustam et al., 2014)). Ekosistem padang lamun dapat menyimpan 83.000 metrik
ton karbon dalam setiap kilometer persegi, lebih tinggi dibandingkan kemampuan
hutan hujan tropis menyerap karbon yakni hanya sekitar 30.000 metrik ton/km2 (
Septiani et al.,2018). Potensi lamun sebagai karbon biru (blue carbon) terbesar
pada bagian bawah lamun yang terdiri dari rhizome dan akar lamun. Penyimpanan
karbon pada lamun terakumulasi banyak pada sedimen, karena pada bagian
rhizoma dan daun terdapat banyak gangguan seperti adanya berbagai biota seperti
ikan, penyu, dugong, dan crustasea yang mencari makanan dan faktor fisik laut
seperti gelombang dan arus.
Masyarakat pada umumnya belum mengetahui apa itu lamun, sehingga
pemahaman tentang manfaat lamun dan pentingnya melestarikan lamun masih
rendah. Pertumbuhan dan kepadatan lamun sangat dipengaruhi oleh pola pasang
surut, turbiditas, salinitas dan temperatur perairan, sedangkan kegiatan manusia di
wilayah pesisir seperti perikanan, pembangunan perumahan, pelabuhan dan
rekreasi, baik langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi eksistensi
lamun ( Tangke, 2010). Ekosistem karbon biru pesisir merupakan salah satu
ekosistem yang paling terancam di Bumi, dengan sekitar 340.000 hingga 980.000
hektar ekosistem ini dihancurkan setiap tahunnya. Diperkiraka sampai dengan
67% dan sedikitnya 35% dan 29% dari seluruh cakupan global hutan bakau, rawa
pasang surut, dan padang lamun, secara berurutan, telah hilang (Sondak,2015).
.Penelitian tentang potensi penyimpanan karbon pada lamun masih sedikit. Oleh
karena itu penting melakukan penelitian estimasi simpanan karbon pada lamun
agar masyarakat dapat mengetahui lamun dan manfaatnya serta yang utama dapat
melestarikan ekosistem lamun sehingga meminimalisir emisi gas CO2 dan
pemanasan global.
1.2. Rumusan Masalah
Padang lamun menjadi salah satu ekosistem yang terkena dampak dari
pemanasan global. Penyebab utama hal tersebut adalah meningkatnya suhu,
utamanya di beberapa tempat di habitat perairan dangkal yang berpengaruh
terhadap distribusi dan reproduksi lamun (Poedjirahardjoe, 2013). Menurunnya
jumlah lamun yang signifikan sangat disayangkan mengingat lamun memiliki
peranan penting dalam mengurangi jumlah karbon bebas di atmosfer.
Kemampuan penyerapan karbon pada setiap ekosistem berbeda-beda. Hal
ini menyebabkan nilai kandungan stok karbon pada setiap ekosistem pun berbeda
sesuai dengan kemampuannya (Ulumuddin et al., 2015). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Wicaksono et al. (2012), total luas penutupan lamun di Kepulauan
Karimunjawa sebesar 59,94% sehingga masih termasuk dalam kategori rapat atau
baik. Perairan Batulawan g, Pulau Kemujan menjadi salah satu objek penelitian
dikarenakan perairan ini cukup besar dan memiliki kerapatan lamun yang cukup
baik. Sedangkan Pulau Sintok dipilih karena pulau ini memiliki keragaman jenis
lamun yang tinggi serta kerapatannya masih cukup baik.
1.3. Hipotesis
Perbedaan spesies, kerapatan, tutupan, serta aktivitas manusia dapat
mempengaruhi nilai biomassa dan estimasi simpanan karbon yang terkandung.
1.4. Tujuan
1. Mengetahui jumlah spesies/jenis lamun yang ada di Perairan Batulawang,
Pulau Kemujan serta Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa.
2. Mengetahui kerapatan dan tutupan lamun yang ada di Perairan Batulawang,
Pulau Kemujan serta Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa.
3. Mengetahui nilai biomassa dan estimasi simpanan karbon dalam biomassa
pada lamun yang berupa jaringan di bagian atas substrat (daun) dan di bagian
bawah substrat (akar dan rhizoma) serta sedimen di Perairan Batulawang,
Pulau Kemujan serta Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa.
1.5. Manfaat
Penelitian estimasi karbon pada lamun ini bermanfaat mengetahui nilai
karbon pada setiap individu lamun dan pada jenis lamun yang berbeda, sehingga
kegiatan pelestarian lamun penting untuk dilakukan karena perannya sebagai blue
carbon.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lamun
Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
seluruh proses kehidupan berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal.
Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan tingkat tinggi yang dapat hidup di
perairan dengan salinitas tinggi. Tumbuhan ini memiliki akar, batang, daun yang
sejati. Lamun hidup dan berkembang biak bersama dengan individu lain, baik
yang sejenis maupun dengan jenis yang lain. Komunitas lamun dengan jenis yang
sama akan membentuk padang lamun homogen, sementara yang berbeda jenis
akan membentuk padang lamun heterogen (Dewi et al., 2017). Lamun hidup di
daerah sublitoral sampai kedalaman 0,5-10 m, dan melimpah di daerah sublitoral,
serta dapat ditemukan hingga kedalaman 40-90 m selama masih mendapatkan
cahaya matahari dan nutrien dari darat maupun laut itu sendiri (Den Hartog,
1970).
Tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup
di lingkungan laut, yaitu (Den Hartog, 1970 dalam Irawan, 2003) :
1. Mampu hidup di media air asin
2. Mampu hidup dalam keadaan terbenam dalam air
3. Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang
4. Mampu melaksanakan penyerbukan dalam air dan daur generative
Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi
oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara permanen
di bawah permukaan air laut (Tangke, 2010). Padang lamun merupakan
ekosistem perairan dangkal yang kompleks dan memiliki produktivitas hayati
yang tinggi. Oleh karena itu padang lamun merupakan sumberdaya laut yang
penting baik secara ekologi maupun ekonomi. Ekosistem lamun merupakan
habitat penting di daerah beriklim tropis dan memiliki fungsi ekologi bagi
masyarakat pesisir yaitu sebagai sumber utama produktivitas primer di perairan
dangkal, sebagai sumber makanan bagi organisme yang hidup di padang lamun,
sebagai habitat bagi sebagian organisme laut, sebagai perangkap sedimen dan
menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakarannya yang kuat serta
sebagai pelindung, daerah asuhan dan tempat pemijahan bagi beberapa spesies
ikan (Nybakken, 1992).
Ekosistem padang lamun adalah satu sistem (organisasi) ekologi padang
lamun yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik
(air dan sedimen) dan biotik (hewan dan tumbuhan) (Azkab, 2006). Hampir
semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai
berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat
lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.
Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen
biotik dan abiotik disebut Ekosistem Lamun (Seagrass ecosystem). Padang lamun
sebagai komponen floristik suatu komunitas mempunyai dua tipe vegetasi, yaitu
vegetasi yang monospesifik dan vegetasi campuran. Vegetasi monospesifik
adalah komunitas lamun yang hanya terdiri dari satu spesies atau dapat berupa
padang lamun yang luas dan lebat. Sedangkan vegetasi campuran adalah padang
lamun yang terdiri lebih dari satu spesies dan dapat mencapai delapan spesies
(Putri, 2004).

2.2. Jenis-Jenis Lamun di Indonesia


Lamun di Indonesia terdiri dari 7 marga lamun. Tiga diantaranya
(Enhalus,
Thalassia, dan Halophila) termasuk suku Hydrocaritaceae, sedangkan empat
marga lainnya (Halodule, Cymodoceae, Syringodium, dan Thalassodendron)
termasuk suku Potamogetonaceae (Nontji, 1987). Terdapat 12 jenis lamun yang
terdapat di perairan pantai Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Enhalus acoroides
Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang kuat, memiliki daun yang
panjang dengan permukaan yang halus dan memiliki rhizoma yang tebal. Daun
lamun ini panjang serta tebal dengan permukaan yang halus dan terdapat bunga
yang besar dari bawah daun. Enhalus acoroides termasuk ke dalam famili
Hydrocharitaceae memiliki ukuran panjang yang dapat mencapai lebih dari 1
meter, helai daun linier (sejajar), buah berbentuk bulat, ujung daun membulat
kadang-kadang terdapat serat-serat kecil yang menonjol pada waktu muda, tepi
daun seluruhnya jelas, bentuk garis tepinya seperti melilit, tumbuh diperairan
dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur atau kadang-kadang diterumbu
karang (Dahuri, 2003).

Gambar 1. Enhalus acoroides (Sumber : seagrasswatch.org)

2. Thalassia hemprichii
Thalassia hempricii memiliki bentuk daun seperti selendang (straplike) yang
muncul dari stem yang tegak lurus dan penutup penuh oleh sarung daun (leaf
sheath). Ujung daun tumpul dan bergerigi tajam. Rhizoma tebal dengan node scar
yang jelas, biasanya berbentuk segitiga dengan Ieaf sheath yang keras (Waycott
et al., 2004). Thalassia hemprichii termasuk ke dalam famili Hydrocharitaceae
memiliki rhizoma tebal yang panjangnya dapat mencapai 5 mm, panjang daun
pada umumnya mencapai 40 cm dan lebar 0,4 – 1,0 cm (Dahuri, 2003). Daun
berbentuk pita, terdapat sepuluh sampai tujuh belas tulang-tulang daun yang
membujur, pada helaian daun terdapat ruji-ruji hitam yang pendek, ujung
daunnya membulat (Den Hartog, 1970). Lamun jenis ini seringkali ditemukan
mendominansi vegetasi campuran dengan sebaran vertikal yang dapat mencapai
25 m atau membentuk vegetasi monospesifik, serta dapat tumbuh pada berbagai
jenis substrat seperti pasir lumpur, pasir berukuran sedang dan kasar, sampai
pecahan karang (Nienhuis et al., 1991).
Gambar 2. Thalassia hemprichii (Sumber : seagrasswatch.org)

3. Thalassodendron ciliatum
Thalassodendron ciliatum memiliki daun yang berbentuk sabit. Rhizoma
sangat keras dan berkayu. Terdapat bekas-bekas goresan di antara rhizoma dan
tunas. Di temukan di Indo-Pasifik barat di seluruh daerah tropis (Den Hartog,
1970). Ujung daun membulat seperti gigi, tulang daun lebih dari tiga, rhizomanya
sangat keras dan berkayu, daun-daunnya berbentuk sabit dimana agak menyempit
pada bagian pangkalnya (Phillips dan Menez, 1988).

Gambar 3. Thalassodendron ciliatum (Sumber : seagrasswatch.org)

4. Cymodocea rotundata
Cymodocea rotundata memiliki kantong daun yang tertutup penuh dengan
daun muda, kadang-kadang berwarna gelap, daun biasanya muncul dari vertical
stem, ujung yang halus dan bulat. Bijinya berwarna gelap dengan punggung yang
menonjol, ditemukan di sepanjang Indo-Pasifik Barat di daerah tropis (Waycott et
al., 2004). Lamun ini termasuk ke dalam famili Potamogetonaceae memiliki
rhizoma berbentuk silinder, jumlah daun 3 – 4 buah, panjang daun berkisar antara
4 – 15 cm dan lebar 2 – 4 mm, pada helai daunnya terdapat 7 – 15 tulang daun,
ujung daun membulat dan tumpul, tiap fragmen (node) 1 – 4 buah, bunga tidak
nampak dan tumbuh di daerah intertidal (Dahuri, 2003). Helaian daunnya
berkembang baik dan berwarna ungu muda, memiliki rizhoma yang halus dan
bersifat herbaceous, tunas pendek dan tegak lurus pada setiap node, terdapat
lingula, ujung daunnya licin (halus) membulat dan tumpul dan terkadang
berbentuk seperti hati (Phillips dan Menez, 1988). Tipe substrat dengan tekstur
halus, sedikit berlumpur, bercampur pecahan karang yang telah mati merupakan
tipe substrat yang dapat menjadi indikator kuat tempat tumbuh lamun Cymodocea
rotundata, karena tipe substrat tersebut membantu menjadi tempat penancapan
perakaran yang kuat bagi jenis Cymodocea rotundata (Takaendengan dan Azkab,
2010).

Gambar 4. Cymodocea rotundata (Sumber : seagrasswatch.org)


5. Cymodocea serrulata
Cymodocea serrulata merupakan lamun yang memiliki daun berbentuk
selempang yang melengkung dengan bagian pangkal menyempit dan ke arah
ujung agak melebar. Ujung daun yang bergerigi memiliki warna hijau atau
orange pada rhizome. Memiliki rizoma yang halus dan bersifat herbaceous
(sedikit lebih kuat). Helai daun berwarna ungu muda berbentuk segi tiga yang
lebar dan menyempit pada pangkal. Jika helaian daun ini lepas atau gugur maka
meninggalkan bekas goresan yang berbentuk sirkuler (bundar) pada tunasnya.
Helaian daun sejajar (linier) sampai berbentuk kurva. Pada helai daun terdapat
13- 17 tulang-tulang daun yang membujur Pada bagian pangkal daun menyempit
dan ujungnya seperti gergaji. Tepi daun tampak jelas (Waycott et al., 2004).

Gambar 5. Cymodocea serrulata (Sumber : seagrasswatch.org)

6. Halophila ovalis
Halophila ovalis memiliki daun yang berbentuk seperti dayung dengan
pembagian yang bervariasi. Pinggiran daun memilik tekstur yang halus. Terdapat
sepasang daun pada petiole yang muncul secara langsung dari rhizoma. Daun
kadang-kadang memiliki titik-titik merah dekat bagian tengah vein. Lamun ini di
temukan di sepanjang Indo-Pasifik Barat sampai ke daerah temperatur Australia
(Waycott et al., 2004). Bagian tepi daun halus, seperti tanaman semanggi,
daunnya memiliki sepasang tangkai, daunnya mempunyai 10-25 pasang tulang
daun yang menyilang, rhizomanya tipis mudah dan halus, permulaan akarnya
berkembang baik di pangkal pada setiap tunas (Den Hartog, 1970).
Gambar 6. Halophila ovalis (Sumber : seagrasswatch.org)

7. Halophila minor
Halophila minor merupakan lamun yang memiliki daun berbentuk bulat
panjang seperti telur, daun memiliki empat sampai tujuh pasang tulang daun,
pasangan daun dengan tegakan pendek, panjang daun berkisar 0,5-1,5 cm (Den
Hartog, 1970).

Gambar 7. Halophila minor (Sumber : seagrasswatch.org)

8. Halophila spinulosa
Halophila spinulosa merupakan lamun yang memiliki struktur daun yang
berpasangan dan sejajar dalam satu tegakan. Setiap pinggiran daun bergerigi.
Ditemukan di Australis bagian utara, daerah Malaysia dan sepanjang daerah
tropis (Waycott et al., 2004). Daun berbentuk bulat panjang, setiap kumpulan
daun terdiri dari 10-25 helaian daun yang saling berlawanan, tepi daun tajam
rhizomanya tipis dan kadang-kadang “berkayu”.

Gambar 8. Halophila spinulosa (Sumber : seagrasswatch.org)

9. Halophila decipiens
Halophila decipiens lamun yang memiliki daun yang berbentuk seperti
dayung dan seluruh tepi daun bergerigi. Terdapat sepasang petiole secara
langsung dari rhizoma. Lamun jenis ini sering di temukan sepanjang daerah tropis
dan subtropis (Waycott et al., 2004). Memiliki daun yang berpasangan, helai-
helai daunnya berbulu, tembus cahaya dan tipis mencolok, pada bagian tengah
daun terdapat enam sampai sembilan pasang tulang yang menyilang, tepi daun
bergerigi, rhizomanya berbulu dan sering tampak kotor karena sedimen yang
menempel (Phillips dan Menez, 1988).
Gambar 9. Halophila decipiens (Sumber : seagrasswatch.org)
10. Halodule uninervis
Halodule uninervis merupakan lamun yang memiliki ujung daun yang
berbentuk trisula dan runcing, terdiri dari 1-3 urat halus yang jelas kelihatan,
memiliki sarung serat dan rhizoma biasanya berwarna putih dengan serat-serat
berwarna hitam kecil pada nodes-nya. Lebar dan panjang daunnya masing-
masing 0.2 – 4 mm dan 5 – 25 cm. Lamun di sepanjang Indo-Pasifik barat di
daerah tropis dan sangat umum di daerah intertidal (Waycott et al., 2004). Bagian
tengah tulang daun yang hitam biasanya mudah robek menjadi dua pada ujungnya
Tulang daun tidak lebih dari tiga, daun selalu berakhir pada tiga titik, yang jelas
pada ujung daun, ujung daun seperti trisula (Den Hartog, 1970).

Gambar 10. Halodule uninervis (Sumber : seagrasswatch.org)

11. Halodule pinifolia


Halodule pinifolia merupakan species terkecil dari genus Halodule. Bentuk
daun lurus dan tipis. Biasanya pada bagian tengah ujung daun robek. Lamun
ditemukan di sepanjang Indo-Pasifik Barat di daerah tropis dan sangat umum di
daerah intertidal (Den Hartog, 1970). Daunnya lurus dan tipis, tulang daunnya
tidak lebih dari tiga, biasanya pada bagian tengah dari tulang-tulang daun mudah
robek menjadi dua pada ujungnya, pada ujung daun terdapat tiga titik yang jelas
(Phillips dan Menez, 1988).
Gambar 11. Halodule pinifolia (Sumber : seagrasswatch.org)

12. Syringodium isoetifolium


Syringodium isoetifolium memiliki bentuk daun yang silinder dan terdapat
rongga udara di dalamnya. Daun dapat mengapung di permukaan dengan mudah.
Ditemukan di Indo-Pasifik Barat di seluruh daerah tropis (Waycott et al., 2004).
Lamun ini termasuk ke dalam famili Potamogetonaceae memiliki rhizoma antar
fragmen berkisar antara 1 – 5 buah, dengan panjang daun mencapai 16 cm
dengan lebar 1 – 3 mm, serta memiliki bunga jantan dan betina (Dahuri, 2003).
Daun lamun ini memiliki 7-10 vena tepi dengan diameter jauh lebih kecil
daripada urat pusat. Jenis lamun ini biasa ditemukan membentuk komunitas
padang lamun tunggal di dataran lumpur dekat ekosistem mangrove (Short dan
Coles, 2001). Wagey dan Sake (2013) menjelaskan karakteristik lamun
Syringodium isoetifolium memiliki daun runcing berbentuk silinder dengan
diameter 0,1-0,2 cm. Rhizomanya tipis dan bersifat herbaceous, pada setiap node
terdapat tunas tegak yang terdiri dari dua sampai tiga helai daun, daun-daunnya
dengan mudah dikenali (Den Hartog, 1970).
Gambar 12. Syringodium isoetifolium (Sumber : seagrasswatch.org)

2.3. Morfologi Lamun


Tumbuhan lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan
menyebarkan bibit seperti halnya tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah
berdasarkan karakter umbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis
memiliki morfologi yang berbeda sehingga perbedaan spesies dapat dilakukan
dengan dasar morfologi dan anatomi (Kasim, 2013). Tumbuhan lamun
mempunyai pembuluh secara struktur dan fungsi yang sama dengan tumbuhan
yang hidup di darat, secara morfologi tampak adanya daun, batang, akar, bunga,
dan buah . Rhizoma merupakan batang terbenam yang merayap secara mendatar
serta beruas-ruas, pada ruas-ruas tersebut tumbuh cabang-cabang berupa batang
yang panjangnya bervariasi mulai dari beberapa milimeter sampai dengan satu
meter atau lebih, pada batang pendek yang tegak ke atas tersebut muncul daun,
bunga, dan buah. Selain itu, pada ruas-ruas tersebut juga tumbuh akar (Azkab,
2006).
2.3.1. Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antar jenis
lamun yang dapat digunakan dalam kajian taksonomi lamun. Akar pada beberapa
jenis seperti Halophila dan Halodule memiliki karateristik tipis (fragile) seperti
rambut, sedangkan jenis Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu
dengan sel epidermal. Akar pada lamun memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh
endodermis. Stele mengandung phloem atau jaringan transport nutrien, dan xylem
atau jaringan yang menyalurkan air (Tuwo, 2011).
2.3.2. Rhizoma
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi
tergantung dari susunan di dalam stele masing-masing lamunnya. Rhizoma
seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara 7 ekstensif dan
memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif. Volume rhizoma
merupakan 60-80% dari biomasa lamun (Tuwo, 2011). Bentuk rhizome adalah
batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta berbuku, dimana pada
buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun, berbunga,
serta tumbuh akar. Rhizome juga memiliki peran dalam mempertahankan
individu lamun pada substrat dari hempasan gelombang dan arus (Nontji, 2007).

2.3.3. Daun
Daun lamun berkembang dari meristem basal yang terletak pada rhizoma
dan percabangannya. Secara morfologi daun pada lamun memiliki bentuk yang
hampir sama secara umum, dimana jenis lamun memiliki morfologi khusus dan
bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Daun lamun
mudah dikenali dari bentuk daun, ujung daun dan ada tidaknya ligula (lidah
daun). Daun lamun memiliki dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun.
Sedangkan secara anatomi, daun lamun memiliki ciri khas dengan tidak memiliki
stomata dan memiliki kutikel yang tipis (Tuwo, 2011).

2.4. Reproduksi Lamun


Tumbuhan lamun merupakan kelompok tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang bereproduksi secara generatif dan vegetatif. Struktur
reproduksi generatif terdiri dari bunga dan buah, serta terjadi di kolom air
(hydrophilous pollination). Serbuk sari yang dilepaskan di kolom air disebar oleh
arus. Sistem pembiakkan ini bersifat khas karena mampu melakukan
penyerbukan di dalam air. Buah dari tumbuhan lamun juga terendam dalam air
(Nontji, 1993). Proses penyerbukan tersebut juga dipengaruhi oleh pasang surut
(Epidrophily). Serbuk sari dilepaskan ke kolom air dan kemudian disebar oleh
arus. Sebagian besar lamun berumah dua, yang artinya hanya terdapat satu bunga
jantan atau bunga betina saja. Reproduksi seksual biasanya terjadi pada saat
lamun menempati habitat yang baru. Persebaran secara horizontal selanjutnya
lebih banyak terjadi secara vegetatif dengan menggunakan rhizomenya yang
disebut dispersal (King, 1981).

2.5. Habitat Lamun


Tumbuhan lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat.
Padang lamun di Indonesia dikelompokkan kedalam enam kategori berdasarkan
karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur
pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara et al.,
1985 dalam Hendra, 2011). Substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering
ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove
dan terumbu karang. Agar proses fotosintesis berjalan optimal, lamun perlu sinar
matahari yang cukup, karena itu lamun dapat tumbuh baik diperairan dangkal
yang berair jernih sampai kedalam sekitar 40 m atau sampai batas cahaya
matahari dapat masuk (sampai lamun dapat berfotosintesis). Lamun juga masih
dapat tumbuh di perairan yang relatif keruh. Di daerah pasang surut lamun tetap
dapat bertahan, meskipun daun-daunnya terjemur di terik matahari pada waktu air
surut rendah yang menyebabkan daun mengering. Daun lamun yang diatas muka
air boleh mengering, namun rimpang dan akarnya tetap bertahan hidup. Rimpang
dan akarnya ini juga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tipe dasar
perairan (Hutomo et al., 2009 dalam Herliandi, 2011).
Lamun jenis Enhalus acoroides, tersebar luas terutama pada sedimen
halus, tetapi dapat pula tumbuh pada substrat berbatu sedang dan besar (Hutomo,
1997). Enhalus acoroides biasanya membentuk vegetasi murni, meskipun
demikian spesies ini dapat ditemukan tumbuh dekat dengan spesies lain. Enhalus
acoroides hidup di zona intertidal sampai kedalaman 6 m. di daerah eulitoral
Enhalus acoroides mendiami daerah-daerah yang masih terendam air pada saat
air surut. Enhalus acoroides biasanya hidup berdekatan dengan mangrove
(Nienhuis et al., 1991 dalam Fauziyah, 2004).
Lamun jenis Thalasia hemprichii, hidup dalam semua jenis substrat,
bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak, bahkan pada lumpur cair,
tetapi akan menjadi dominan hanya pada substrat keras (Den Hartog, 1970 dalam
Fauziyah, 2004), dan dapat membentuk vegetasi monospesifik pada pasir kasar
(Nienhuis et al., 1991). Thalasia hemprichii mempunyai distribusi kedalaman
yang sempit, mulai daerah eulitoral bawah sampai kedalaman 5 m. Thalasia
hemprichii membentuk vegetasi tunggal pada bagian kearah laut (seaward) dari
hamparan karang di daerah intertidal yang mendapat tekanan dari gelombang dan
kecepatan arus pasut mencapai 2 m/det (Tomascik et al., 1997).
Lamun jenis Cymodocea rotundata, hidup pada daerah dangkal yang
tertutup pasir karang, tetapi dapat pula menjadi padat pada daerah berlumpur
(Den Hartog, 1970 dalam Fauziyah, 2004). Cymodocea rotundata mempunyai
toleransi tinggi pada daerah terbuka atau tidak terendam air dan paling banyak
ditemukan pada daerah intertidal dengan terumbu karang yang lebar (Tomascik et
al., 1997).
Lamun jenis Halodule uninervis, hidup pada substrat pasir halus-kasar di
zona intertidal dan subtidal (Hutomo, 1997 dalam Fauziyah, 2004).
Dibandingkan dengan lamun jenis Halodule pinifolia, Halodule uninervis
mempunyai distribusi kedalaman yang lebar, dari daerah bawah eulitoral hingga
8-10 (Tomascik et al., 1977 dalam Fauziyah, 2004). Halodule uninervis
merupakan jenis pelopor pada habitat yang terganggu antara lain oleh pengerukan
bahkan oleh badai, biasanya Halodule uninervis merupakan jenis pertama yang
muncul (Den Hartog, 1970).
Lamun jenis Syringodium isoetifolium, utamanya tumbuh pada dasar
berlumpur di daerah sublitoral, dapat membentuk suatu padang rumput bawah
laut. Namun jenis ini lebih sering ditemukan diantara spesies yang lebih dominan
(Den Hartog, 1970). Syringodium isoetifolium ditemukan pula di daerah
intertidal pada daerah dangka di hamparan terumbu. Lamun jenis ini hanya
mampu mentoleransi kekeringan dalam waktu yang sangat singkat (Phillips and
Menez, 1988 dalam Fauziyah, 2004).
2.6. Sebaran Lamun
Menurut Dahuri (2003), zonasi sebaran dan karakteristik lamun di
perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokkan menjadi:
1. Genangan air dan kedalaman
2. Kualitas Air
3. Komposisi jenis
4. Tipe substrat
5. Asosiasi dengan sistem lain
Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenisnya
(vegetasi tunggal atau campuran) maupun luas penutupannya. Tumbuhan lamun
tersebar luas pada perairan dangkal 18 mulai dari utara, kawasan Artik, sampai ke
sebelah selatan benua Afrika dan New Zealand. Konsentrasi sebaran tumbuhan
lamun ada di daerah Indo-Pasifik dan pantai-pantai Amerika Tengah di daerah
Karibia-Pasifik (Muhamaze, 2010 dalam Tuwo, 2011). Penyebaran padang
lamun di Indonesia mencangkup perairan Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Spesies yang dominan dan
dijumpai hampir diseluruh Indonesia adalah Thalassia hemprichii (Dahuri, 2003).
Luas padang lamun di Indonesia diperkirakan 30.000 km2 (Nontji, 2010 dalam
Tuwo, 2011). Tumbuhan lamun terdiri atas 2 famili, 12 genera dengan 49 jenis.
Dari 12 genera tersebut, 7 genera diantaranya hidup di perairan tropis yaitu
Enhalus, Thalassia, Thalassodendron, Halophila, Halodule, Cymodocea, dan
Syringodium (Den Hartog, 1970 dalam Tuwo, 2011).

2.7. Peranan Ekosistem Lamun


Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang memiliki
peranan penting secara ekologis. Peranan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Lamun sebagai produsen primer
Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar
memasuki rantai makanan, baik melalui pemangsaan langsung oleh
herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah. Lamun juga
memberikan sumbangan terhadap produktivitas terumbu karang. Serasah
yang diproduksi lamun 10 dapat meningkatkan kelimpahan fitoplankton
yang berada di perairan terumbu karang (Azkab, 2006).
2. Lamun sebagai habitat biota
Padang lamun memiliki peran sebagai tempat berlindung, mencari makan,
tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut. Beberapa
organisme menghabiskan hanya sebagian dari siklus hidupnya di padang
lamun di antaranya ialah ikan dan udang. Lamun juga dapat menjadi
sumber makanan bagi avertebrata seperti bulu babi, beberapa jenis ikan
Famili Scaridae dan Acanthuridae, serta berbagai jenis biota lain seperti
penyu dan duyung (Azkab, 2006).
3. Lamun sebagai perangkap sedimen
Tumbuhan lamun dapat mengikat sedimen dan menstabilkan substrat
lunak dengan perakaran yang padat dan saling menyilang. Daun lamun
yang lebat akan memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan
ombak sehingga perairan menjadi tenang (Bengen, 2001).
4. Lamun memegang peran penting dalam daur berbagai zat hara dan
elemen-elemen langka di lingkungan perairan (Azkab, 2000).
5. Lamun juga berfungsi sebagai pelindung bagi penghuni padang lamun
dari paparan sinar matahari yang berlebih (Azkab, 2000).
6. Lamun berperan sebagai pemenuh kebutuhan manusia dan hewan. Lamun
berfungsi sebagai sumber makanan tidak hanya bagi hewan, namun juga
manusia. Lamun sudah digunakan dalam bahan baku pembuatan kertas
dan atap rumah (Azkab, 2000).
7. Padang lamun juga dapat dijadikan objek wisata bahari dan wisata
pendidikan, apabila dikelola dengan baik dan benar (Azkab, 2006).
Fungsi fisik padang lamun adalah membantu mengurangi tenaga
gelombang dan arus terhadap aberasi pantai, menyaring sedimen yang larut dalam
air, menstabilkan dasar sedimen, pendaur nutrien dan memiliki kemampuan
berproduksi primer yang tinggi. Berdasarkan fungsi-fungsi diatas, keberadaan
lamun memiliki peranan penting bagi biota laut lainnya, manusia, dan lingkungan
sehingga kemungkinan penurunan kualitas dan kuantitasnya dapat mengurangi
manfaat yang dihasilkan oleh padang lamun dan memberikan dampak yang
cukup signifikan bagi lingkungan sekitarnya (Riniatsih, 2015).
2.8. Kerapatan Lamun
Kerapatan adalah jumlah individu suatu spesies tumbuhan dalam suatu
luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekuensi suatu spesies tumbuhan
adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah
petak contoh yang dibuat. Biasanya frekuensi dinyatakan dalam besaran
persentase. Basal area merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang
dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal dapat diduga dengan
mengukur diameter batang (Kusmana, 1997). Brower et al. (1990),
mendefinisikan kerapatan lamun (Di) sebagai jumlah total tegakan individu jenis
lamun dalam suatu area yang diukur. Kerapatan lamun sangat dipengaruhi oleh
pola pasang surut, turbiditas, salinitas dan temperatur perairan. Kegiatan manusia
di wilayah pesisir seperti perikanan, pembangunan, pelabuhan, dan rekreasi juga
dapat mempengaruhi kepadatan lamun (Tangke, 2010).
Perbedaan jumlah tegakan, frekuensi serta persen penutupan lamun
dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya faktor kualitas air dan faktor dari
aktivitas manusia. Kerapatan lamun sangat dipengaruhi oleh salinitas, semakin
tinggi salinitas, maka akan semakin tinggi pula tingkat kerapatannya (Hartati et
al., 2012). Menurut Short dan Coles (2001) kerapatan tegakan lamun dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti jenis lamun, kondisi substrat, musim, pasang surut,
kekuatan energi gelombang, kandungan bahan organik dalam sedimen serta
faktor lingkungan lainnya. Kerapatan lamun dapat mempengaruhi besarnya
produksi lamun, semakin tinggi kerapatan lamun maka produktivitasnya akan
semakin tinggi pula (Fortes, 1990). Riniatsih (2015) menyatakan bahwa semakin
tinggi kerapatan lamun, maka akan semakin banyak bahan organik yang terikat di
dasar perairan. Kondisi padang lamun yang rapat dapat menenangkan arus dan
gelombang, sehingga muatan padatan tersuspensi yang melayang di kolom air
cenderung lebih mudah mengendap di dasar perairan.
2.9. Cover Penutupan Lamun
Penutupan lamun merupakan parameter perhitungan data lamun yang
menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi suatu perairan atau luasan
yang diukur dan biasa dinyatakan dalam persen. Nilai persen penutupan tidak
hanya bergantung pada nilai kerapatan jenis lamun, melainkan juga dipengaruhi
oleh keadaan morfologi dari jenis lamun (Menajang et al., 2017). Menurut
Rahmawati et al. (2014) jenis Enhalus acoroides memiliki bentuk yang relatif
besar namun ramping sehingga pengamatan persentase penutupan relatif selalu
rendah. Hartati et al. (2012) menyatakan bahwa penutupan lamun berhubungan
erat dengan habitat atau bentuk morfologi dan ukuran suatu spesies lamun.
Kerapatan yang tinggi dan kondisi pasang surut saat pengamatan juga
dapat mempengaruhi nilai estimasi penutupan lamun. Individu lamun yang lebih
kecil seperti Halophila minor akan memiliki nilai persentase penutupan yang
lebih kecil (Short dan Coles, 2001). Metode yang digunakan untuk mengukur
persen penutupan lamun di lapangan biasanya berupa metode visual (McKenzie
et al., 2003). Pengamatan penutupan lamun menurut Brower et al. (1990) adalah
estimasi persentase luasan suatu jenis dalam plot transek yang tertutupi lamun.
Persentase tutupan lamun merupakan proporsi luas substrat yang ditutupi vegetasi
lamun dalam satu satuan luas yang diamati tegak lurus dari atas. Luas area
penutupan jenis lamun dapat dihitung dengan membandingkan penutupan jenis
lamun tertentu dengan luas total area penutupan seluruh jenis lamun (Kepmen,
2004). Dasar perairan dengan tutupan vegetasi lamun yang tinggi dapat
menenangkan perairan juga memperkecil terjadinya pengadukan sedimen substrat
dasar oleh arus (Riniatsih, 2015).
2.10. Karbon pada Ekosistem Lamun
Perubahan iklim yang kian meningkat drastis dari tahun ke tahun yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pembukaan lahan atas, industri, dan
faktor lainnya sehingga meningkatkan jumlah karbon bebas di udara. Tingginya
aktivitas anropogenik yang memproduksi karbondioksida dan terserap di atmosfer
menjadi salah satu penyebab utama peningkatan jumlah karbon (IPCC, 2007
dalam Runtuboi et al.,2018). Perubahan iklim dan bencana di berbagai belahan
dunia menyebabkan peningkatan CO2 di atmosfer terutama semenjak Revolusi
Industri. Hutan di daratan telah beralih fungsi sehingga kurang optimal dalam
mengurangi CO2 di atmosfer. Gas CO2 memiliki kontribusi tertinggi terhadap
pembentukan gas rumah kaca, sebesar 55% dari emisi karbon aktivitas manusia.
Jika emisi karbondioksida terus meningkat, dikhawatirkan konsentrasinya akan
mencapai angka 55% pada akhir abad ini (Solomon et al., 2009 dalam Septiani et
al., 2018).
Para ahli menjadikan laut sebagai upaya alternatif untuk mengurangi CO2
atmosfer terutama dengan ekosistem pesisir. Ekosistem yang berperan dalam stok
karbon atau disebut Blue Carbon adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun,
dan alga. Pratiwi et al. (2011) dalam Runtuboi et al. (2018) menyatakan bahwa
ekosistem lamun memiliki peran krusial sebagai penyerap karbon. Ekosistem
lamun mampu menyimpan karbon dua kali dari kemampuan tumbuhan hutan di
hutan. Sejumlah 83.000 metrik ton karbon dapat tersimpan dalam setiap kilometer
perseginya di ekosistem lamun, sedangkan hutan darat hanya mampu menyimpan
karbon sebesar 30.000 metrik ton karbon dalam setiap kilometer persegi
(Fourqurean et al., 2012 dalam Runtuboi et al., 2018). Seperti tanaman darat
lainnya, lamun juga memanfaatkan karbondioksida (CO2) untuk bahan bakar
fotosintesis dan disimpan dalam biomassa baik di daun, rhizome, akar atau dapat
disebut dengan blue carbon (Rustam et al., 2015).
Para peneliti di dunia saat ini sedang melakukan penelitian
berkesinambungan mengenai keberadaan dan peranan padang lamun sebagai
karbon biru dengan harapan akan menjadi salah satu alternatif upaya mitigasi
perubahan iklim. Berdasarkan penelitian oleh Rustam et al. (2015), sedimen yang
berasal dari daratan akan mengandung lebih sedikit karbon dibandingkan sedimen
yang berasal dari laut. Sedimen dari laut umumnya mengandung pecahan karang
dan cangkang biota laut sehingga mengandung lebih banyak karbon dan disebut
sedimen karbonat. Hal ini mempengaruhi kadar karbon pada setiap lokasi
ekosistem lamun, apakah dekat dengan sumber air tawar seperti muara atau tidak.
Persebaran karbon lamun yang tidak merata menunjukkan setiap jenis lamun
memiliki kemampuan menyerap karbon yang berbeda-beda. Padang lamun yang
memiliki kerapatan lebih tinggi tidak berarti memiliki stok simpanan karbon atau
biomassa yang lebih tinggi juga. Perbedaan morfologi daun pada setiap jenis
lamun akan mempengaruhi kerapatannya juga (Irawan, 2017 dalam Septiani et al.,
2018).
2.11. Ekosistem Lamun di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa
Secara geografis, Taman Nasional Karimunjawa terletak pada koordinat
5o40’39” – 5o55’00” LS dan 110o05’57” – 110o31’15” BT. Melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 7S/Kpts-II/1999 tanggal 22
Februari 1999, kawasan Cagar Alam Karimunjawa dan Perairan Laut di
sekitarnya dengan luas ±111.625 Ha yang terletak di Kabupaten Dati II Jepara
Propinsi Dati I Jawa Tengah menjadi Taman Nasional dengan nama Taman
Nasional Karimunjawa. Adapun wilayah Taman Nasional Karimunjawa meliputi
wilayah daratan di Pulau Karimunjawa yang berupa ekosistem hutan hujan tropis
dataran rendah, wilayah daratan di Pulau Kemujan yang berupa ekosistem hutan
mangrove, dan wilayah perairan dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1. Kawasan Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ, 2018)
Kawasan Luas (Hektar)
Wilayah daratan di Pulau Karimunjawa meliputi ekosistem 1.285,50
hutan hujan tropis dataran rendah
Wilayah daratan di Pulau Kemujan yang berupa ekosistem 222,20
hutan mangrove
Wilayah perairan yang dalam perkembangannya ditetapkan 110.117,30
sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) berdasarkan SK
Menhut No. 74/Kpts-II/2001 pada tanggal 15 Maret 2001
Total Luas Kawasan 111.625,00

Kawasan Taman Nasional Karimunjawa memiliki lima tipe ekosistem


berupa ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pantai, hutan bakau,
ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Luas penutupan
ekosistem padang lamun di Kepulauan Karimunjawa tergolong dalam kategori
sedang, yaitu 33,03% (BTNKJ, 2005 dalam Wicaksono et al., 2012). Taman
Nasional Karimunjawa memiliki sembilan jenis lamun. Adapun daftar jenis-jenis
lamun yang ada yaitu:
Tabel 2. Jenis Lamun di Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ, 2018)
No. Suku/Famili Nama Ilmiah Keterangan
1 Cymodoceae Cymodocea rotundata Padang Lamun
2 Cymodoceae Halodule pimifolia Padang Lamun
3 Cymodoceae Halodule uninervis Padang Lamun
4 Cymodoceae Syringodium isoetifolium Padang Lamun
5 Hydrocaritacea Enhalus acoroides Padang Lamun
6 Hydrocaritacea Halophila minor Padang Lamun
7 Hydrocaritacea Halophila ovalis Padang Lamun
8 Hydrocaritacea Thalassia hemprichii Padang Lamun
9 Hydrocaritacea Thalassodendron ciliatum Padang Lamun

Kelestarian padang lamun perlu dijaga karena padang lamun memiliki


peranan penting di perairan. Sebagai penunjang bagi kehidupan laut dangkal, jika
ekosistem ini rusak, maka akan berpengaruh pada produktivitas perairan.
Pemeriksaan dan penelitian kembali terhadap ekosistem lamun di Kawasan
Taman Nasional Karimunjawa untuk mengetahui kondisi terbaru ekosistem
padang lamun di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa (Wicaksono et al.,
2012). Ada banyak faktor yang mempengaruhi jumlah atau luasan padang lamun,
diantaranya kegiatan pengembangan pantai berupa pengerukan, peningkatan
sedimentasi, hingga polusi perairan. Reklamasi, penggunaan alat tangkap yang
merusak, kegiatan budidaya yang membuang sisa pakan berlebih dan
menyebabkan penyakit pada lamun, limbah pabrik yang menyebabkan blooming
algae, dan kesadaran masyarakat juga menjadi faktor kerusakan dan penurunan
luas padang lamun (LIPI, 2018).
2.12. Parameter Ekologi Lamun
2.12.1. Suhu
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberlangsungan hidup suatu
ekosistem adalah suhu lingkungannya. Perubahan suhu pada ekosistem lamun
dapat mempengaruhi metabolism, penyerapan unsur hara, dan kelangsungan
hidup lamun itu sendiri. Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004, suhu
perairan yang sesuai dengan Baku Mutu Perairan adalah 28oC – 32oC. Fotosintesis
bersih dan respirasi akan meningkat pada kisaran suhu 25 oC – 30 oC (Zarfen et
al., 2017). Daerah tropis memiliki kisaran suhu perairan yang relatif sama,
termasuk Indonesia (Hoek et al., 2016).
Suhu perairan dapat mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti musim, iklim dan lama penyinaran matarahari. Selain itu, fluktuasi
suhu juga dapat disebabkan oleh metabolisme organisme laut, masukan air dari
muara, tinggi rendahnya curah hujan, kecepatan angin, kedalaman perairan, dan
lain-lain (Laevastu dan Hayes 1981 dalam Hartati et al., 2012). Perubahan suhu
pada suatu perairan dapat mempengaruhi beberapa proses seperti biokimia,
fotosintesis, ketersediaan dan penyerapan unsur hara, panjang daun lamun,
respirasi, dan faktor-faktor lainnya.
Menurut Philips dan Menes (1988) dalam Adli et al. (2016), lamun
memiliki suhu optimum untuk berfotosintesis berkisar antara 28 oC hingga 30 oC,
namun dapat mentoleransi suhu dari 20 oC hingga 36 oC. proses fotosintesis dapat
menurun tajam jika suhu berada di luar suhu optimal. Pada suhu 38 oC lamun
dapat mengalami stres dan pada suhu 48 oC dapat menyebabkan kematian
(McKenzie, 2008 dalam Fahruddin et al., 2017). Kematian masal lamun dapat
terjadi apabila suhu perairan mencapai 43 oC selama dua hingga tiga hari, hingga
mempengaruhi fungsi ekologis lamun terutama pada daerah tropis (Collier dan
Waycott, 2014 dalam Fahruddin et al., 2017).
2.12.2. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi seluruh larutan garam yang diperoleh dalam
air laut (Hamuna et al., 2018) yang merupakan derajat garam dalam gram yang
terkandung dalam satu kilogram air laut. Perairan yang beriklim tropis seperti
Indonesia memiliki kisaran antara 30 – 35 o/oo. Sebaran salinitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya curah hujan (presipitasi), aliran sungai (run off),
penguapan (evaporasi), dan pola sirkulasi air (Hartati et al., 2012). Menurut
Kepmen LH No. 51, kadar salinitas sesuai Baku Mutu Perairan yaitu 33-34 o/oo.
Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan alat refractometer dan hasil
pembacaannya dinyatakan dalam satuan o/oo (Zarfen et al., 2017).
Berdasarkan penelitian oleh Hamuna et al. (2018), daerah estuaria
merupakan daerah dimana kadar salinitas berkurang dikarenakan adanya pengaruh
air tawar yang masuk dari sungai dan terjadinya pasang surut di daerah tersebut.
Keberagaman salinitas dalam air laut mempengaruhi kehidupan jasad hidup
akuatik berdasarkan pengendalian berat jenis dan keragaman tekanan osmotik.
Tekanan osmotik air dipengaruhi oleh salinitas, semakin tinggi salinitas maka
akan semakin besar tekanan osmotik yang berpengaruh terhadap biota perairan
(Kordi dan Tancung, 2007 dalam Latuconsina et al., 2014). Salinitas memegang
peranan penting terhadap keberlangsungan sumberdaya hayati di perairan
khususnya laut. Pada osmoregulasi, salinitas yang terlalu rendah akan
menyebabkan biota laut mengalami hipo-osmoregulasi yang dapat menyebabkan
kematian dan akan mempengaruhi biota laut yang ada di suatu kawasan
konservasi perairan (Samawi et al., 2015).
Lamun dapat mentoleransi kadar salinitas pada angka 10 – 40 ppt dan akan
optimum pada salinitas 35 ppt. Kadar salinitas pada suatu perairan akan
mempengaruhi biomassa, produktivitas primer, kerapatan lebar daun, dan
kecepatan pulih. Kerapatan akan meningkat seiring meningkatnya salinitas, begitu
juga sebaliknya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hartati et al. (2012),
kerapatan di Pulau Kumbang, kerapatan lamun jenis Thalassia hemprichii
menurun dikarenakan salinitas menurun sehingga diperkirakan lamun tersebut
tidak dapat mentoleransi fluktuasi salinitas tersebut. Toleransi salinitas yang
dimiliki lamun sebagai tumbuhan laut cukup lebar (euryhaline). Lamun memiliki
adaptasi morfologi berupa kutikula tipis, sehingga nutrient dapat diabsorbsi secara
langsung di perairan oleh daun (Hoek et al., 2016). Biota laut khususnya karang
dan lamun hidup optimal pada kadar salinitas yang tinggi atau hipersalin (Samawi
et al., 2015).
2.12.3. Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi suatu perairan. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi kecerahan suatu perairan, salah satunya adalah intensitas
cahaya matahari. Jumlah cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan berperan
penting terutama dalam kegiatan asimilasi plankton dan tumbuhan dalam air.
Daya tembus cahaya matahari ke dalam air menentukan tingkat kesuburan suatu
perairan. Salah satu faktor yang menyebabkan cahaya matahari tidak menembus
hingga ekosistem lamun adalah adukan sedimen di sekitar lamun (Hartati et al.,
2012).
Tingkat transparansi perairan dapat diamati secara visual menggunakan
alat yang bernama secchi disk. Proses asimilasi di dalam air, lapisan-lapisan yang
tidak keruh hingga paling keruh dapat diketahui melalui pengukuran tingkat
kecerahan. Banyaknya partikel yang tersuspensi dapat terindikasi apabila pada
cuaca normal, suatu perairan memiliki nilai kecerahan yang rendah. Selain tingkat
suspense sedimen, bahan organik dan anorganik yang melalui aliran run off dari
daratan menyebabkan tingkat kekeruhan suatu perairan menjadi tinggi. Tingkat
kecerahan suatu perairan sangat berpengaruh terhadap fotosintesis biota laut,
khususnya lamun (Hamuna et al., 2018). Pada ekosistem lamun, kecerahan dapat
menurun apabila eutrofikasi meningkat (Dewi dan Prabowo, 2015).
Kecerahan suatu perairan juga mempengaruhi kegiatan wisata bahari.
Semakin tinggi tingkat kecerahan, maka akan semakin jernih perairan tersebut dan
segala keindahan dasar laut dapat terlihat dengan jelas, sehingga wisatawan pun
tertarik untuk mengunjungi wilayah tersebut. Muara sungai dapat mempengaruhi
tingkat kecerahan dikarenakan muara adalah pertemuan antara perairan sungai di
laut, dimana sungai membawa limbah dari daratan dan proses percampuran antara
air laut dan air sungai membuat kecerahan menurun karena teraduknya partikel-
partikel dari daratan maupun dari dasar muara (Moore, 1999; Sanusi , 2006 dalam
Saraswati et al., 2017).
2.12.4. Derajat Oksidasi (DO)
Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut adalah kandungan oksigen yang
terlarut di dalam air. Semua jasad hidup membutuhkan DO untuk proses
pernapasan, metabolisme atau pertukaran zat untuk menghasilkan energi guna
pertumbuhan dan pembiakan. Bahan organik dan anorganik juga membutuhkan
DO untuk proses aerobik. Oksigen pada umumnya dijumpai pada lapisan
permukaan karena oksigen dari udara dapat secara langsung larut dan berdifusi
dengan air laut (Hutabarat dan Evans, 1985 dalam Hamuna et al., 2018).
Seluruh biota air membutuhkan keberadaan DO karena tidak mampu
mengambil oksigen udara kecuali mamalia. Melalui permukaan, oksigen terdifusi
dari udara ke dalam air karena gerakan molekul-molekul udara yang tidak
berurutan yang disebabkan oleh benturan dengan molekul air sehingga oksigen
terikat di dalam air. Kandungan oksigen di beberapa daerah tropis bisa sangat
rendah sehingga sangat mempengaruhi ikan dan komunitas bentik yang lain. DO
juga berperan dalam migrasi beberapa jenis ikan (Hartati, 2012). Selain itu, proses
fotosintesis organisme atau biota yang hidup di dalam perairan juga berperan
dalam menghasilkan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut pada suatu
perairan berhubungan dengan tingkat pencemaran, jenis limbah, dan banyaknya
bahan organik di suatu perairan (Salmin, 2005 dalam Hamune et al., 2018).
Kebutuhan oksigen terlarut pada setiap organisme relatif bervariasi,
bergantung pada jenis, stadium, dan aktivitasnya (Gemilang et al., 2017 dalam
Kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan padang lamun memiliki nilai
yang selalu berfluktuasi. Fluktuasi oksigen terlarut pada ekosistem lamun
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pemakaian oksigen terlarut untuk respirasi
akar dan rimpang, respirasi biota air, dan pemakaian oleh bakteri nitrifikasi dalam
proses siklus nitrogen di padang lamun (Felisberto et al., 2015 dalam Fahruddin et
al., 2017).
2.12.5. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH adalah logaritma negative dari konsentrasi ion-
ion hidrogen yang terlepas dalam suatu cairan. pH merupakan salah satu indikator
kimia yang menunjukkan baik buruknya kondisi suatu perairan. Kestabilan
perairan dapat dilihat dari angka derajat keasamannya (Simanjutak, 2009 dalam
Hamuna et al., 2018). Biota perairan sangat dipengaruhi oleh variasi nilai pH
perairannya. Dominansi fitoplankton yang mempengaruhi tingkat produktivitas
primer suatu perairan dan ketersediaan nutrient juga dipengaruhi oleh tinggi atau
rendahnya pH.
Menurut Dojlido dan Best (1993) dalam Hamuna et al. (2018), pH air laut
relatif lebih stabil. Nilai pH yang ideal bagi suatu perairan adalah 7 – 8,5.
Menurut Odum (1971) dalam Hamuna et al. (2018), batas aman pH untuk
kehidupan biota di perairan adalah 6,5 – 8,0. Apabila perairan mengalami kondisi
yang sangat asam atau sangat basa, akan mengancam dan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena proses metabolisme dan respirasinya akan
terganggu.
Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
produktivitas suatu perairan. Suatu perairan dengan pH 6,5 – 7,5 termasuk dalam
perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 7,5 – 8,5 adalah perairan
dengan produktivitas normal, dan perairan dengan pH 7,5 – 8,5 merupakan
perairan dengan produktivitas tinggi. Kisaran pH yang ideal untuk lamun adalah
7,5 – 8,5. Pada saat pH berada di angka tersebut, ion bikarbonat yang dibutuhkan
saat lamun melakukan fotosintesis sedang dalam jumlah yang melimpah (Hoek et
al., 2016).
3. MATERI DAN METODE
3.1. Materi Penelitian
Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah kandungan karbon pada
lamun dengan jenis yang berbeda dan sedimennya. Sampel lamun diambil dengan
melakukan pencabutan lamun hingga ke akarnya serta sampel sedimen diambil
hingga kedalaman akar lamun. Ekosistem lamun yang akan diteliti berada di
Perairan Batulawang, Pulau Kemujan serta Pulau Sintok, Taman Nasional
Karimunjawa. Pengambilan data dilakukan pada saat air laut surut.
Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu pengambilan data lapangan
dan penelitian di laboratorium. Pengambilan data di lapangan meliputi
pengukuran kualitas perairan, komposisi sedimen, estimasi tutupan lamun,
identifikasi spesies lamun, serta estimasi tutupan alga dan epifit. Penelitian di
laboratorium yaitu melakukan pengukuran kadar karbon yang terdapat di
biomassa lamun beserta sedimennya yang akan diukur di Laboratorium Kimia
Dasar, Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro serta analisis butir sedimen yang akan dilakukan di
Laboratorium Mekanika Tanah, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro.
3.1.1. Alat dan Bahan Penelitian Lapangan
Alat dan Bahan yang digunakan pada pengambilan data dan pengambilan
sampel di Perairan Batulawang, Pulau Kemujan serta Pulau Sintok, Kepulauan
Karimunjawa.
Tabel 3. Alat dan Bahan Penelitian Lapangan
No Alat dan Bahan Fungsi
1 GPS Mengetahui koordinat lokasi
2 Transek Kuadran 50 x 50 cm Mengetahui kerapatan lamun
3 Transek Kuadran 20 x 20 cm Batasan pencuplikan sampel lamun
4. Papan Jalan Alas untuk mencatat data
5. Alat Tulis Mencatat data
6. Kantong Jaring Membawa sampel biomassa dari laut
7. Skin Dive Alat bantu melihat dibawah air
Lanjutan…
8. Cool Box Tempat menyimpan sampel
9. Kantong Plastik Wadah sampel
10. Pipa PVC Mengambil sampel sedimen
11. Kamera Alat dokumentasi
12. WQC (Water Quality Checker) Alat pengukur kualitas air
13. Label Menandai sampel
14. Ayakan Plastik Memisahkan biomassa dengan
substratnya
15. Sekop 20 cm Mengambil sampel biomassa
16. Pisau Plastik Membagi dan mengambil sedimen di
dalam core
17. Kertas Payung Membungkus sampel biomassa
lamun setelah dikering anginkan
18. Kertas Underwater Mencatat hasil survei lamun
19. Pensil Mekanik Menulis data
20. Neraca Digital Menimbang massa sampel
21. Ziplock Membungkus sampel sedimen
22. Kertas Label Menandai sampel
23. Roll Meter Mengukur jarak pendataan vegetasi
24. Secchi Disk Mengukur kecerahan perairan
25. Kertas Koran Alas mengeringkan lamun
26. Buku Identifikasi Lamun Panduan mengidentifikasi spesies
lamun
27. HVS Laminating Alas untuk mengidentifikasi lamun
28. GPS Mencatat titik koordinat
pengambilan data
29. Pelampung Penunjang keselamatan saat
pengambilan data lapangan
30. Pasak Menahan rollmeter agar tidak hanyut
Lanjutan…
32. Sepatu Booties Alas kaki saat pengambilan data
lapangan

3.1.2. Alat dan Bahan Penelitian Laboratorium


3.1.2.1. Alat dan Bahan Pengukuran Karbon Metode Loss on Ignition (LOI)
Alat dan Bahan yang digunakan pada pengukuran karbon dengan
metode Loss on Ignition yang dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Ilmu Pakan,
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro.
Tabel 4. Alat dan Bahan Penelitian Pengukuran Karbon
No Alat dan Bahan Fungsi
1 Oven Mengeringkan dan menghilangkan
kadar air dalam sampel
2 Desikator Mendinginkan sampel setelah dioven
3 Mortar Menghaluskan sampel agar homogen
dan ukuran partikel menjadi sama
4. Neraca Analitik Menimbang massa sampel
5. Aluminium Foil Wadah sampel yang akan dioven dan
6. Tanur Mengabukan sampel
7. Cawan Porselen Wadah sampel yang akan ditanurkan

3.1.2.2. Alat dan Bahan Analisis Butir Sedimen


Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis butir sedimen yang akan
dilakukan di Laboratorium Geologi Laut, Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Tabel 5. Alat dan Bahan Analisis Butir Sedimen
No Alat dan Bahan Fungsi
1 Oven Mengeringkan dan menghilangkan
kadar air dalam sampel
2 Aluminium Foil Tempat sampel sedimen saat dioven
3 Stopwatch Mengukur waktu
Lanjutan…
6. Saringan diameter 2mm; 0,5 Mengayak sampel sedimen di
mm; 0,312 mm; 0,125 mm; dan metode Dry Sieving
63 µm
7. Alat Tulis Mencatat data pengamatan
3 Gelas Ukur 1 L Wadah sampel

3.2. Prosedur Penelitian


3.2.1. Pengambilan Data Ekosistem Lamun
Penentuan titik sampling dilakukan dengan metode Purposive Sampling
Method, yaitu penentuan titik sampling berdasarkan tujuan tertentu. Stasiun
pengamatan ditentukan berdasarkan informasi keberadaan ekosistem lamun,
analisis citra satelit, dan mencari luasan lamun yang cukup untuk pemantauan.
Penentuan sampling transek garis dan kuadrat dapat sejajar maupun tegak lurus
garis pantai dengan panjang 50m atau 100m. Penentuan lokasi sampling secara
acak perlu memperhatikan kondisi lokasi. Setelah menentukan lokasi, titik
sampling dicatat posisinya, didokumentasikan, dan dilakukan pengukuran.
Metode pendataan lamun yang digunakan pada penelitian ini mengacu
pada Buku Panduan Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan mengadopsi
metode SeagrassWatch yang ditulis oleh Mc Kenzie et al., 2003. Pada lokasi
yang telah ditentukan, ditarik tiga transek paralel dengan jarak antar transek yaitu
25 m dan tegak lurus dengan garis pantai. Identfikasi dilakukan setiap 5 m dengan
transek kuadrat persegi yang berukuran 50 cm x 50 cm dimulai dari 0 m hingga
50 m ke arah laut lepas dengan total 11 kuadrat.
Pada setiap kuadrat, hal-hal yang perlu dilakukan adalah
mendokumentasikan kuadrat yang diambil pada 5 m, 25 m, dan 45 m, mengamati
komposisi sedimen, mengestimasi tutupan lamun, mengestimasi komposisi
spesies lamun, mengukur tinggi kanopi lamun, mengestimasi persentase tutupan
alga, mengestimasi tutupan epifit, mengukur parameter perairan, dan menguraikan
ciri-ciri lain.
Gambar 2. Penentuan Jarak Transek
3.2.2. Pengambilan Sampel Biomassa Lamun
Pengambilan sampel biomassa lamun dilakukan di luar plot kuadrat
terdekat dan diperkirakan mewakili jenis yang ada di dalam plot. Plot yang
digunakan untuk mengambil sampel biomassa lamun adalah kuadrat berukuran 20
cm x 20 cm yang dimasukkan ke dalam substrat yang terdapat lamun di atasnya.
Sekop kecil yang memiliki ukuran lebar 20 cm dibenamkan ke dalam substrat di
setiap sisi kuadrat 20 cm x 20 cm untuk kemudian diambil sampelnya. Sampel
yang telah diambil dibersihkan dari substrat dan kotoran lainnya dengan cara
memasukannya ke dalam kantong jaring dan diayak sampai bersih. Sampel yang
telah bersih disimpan di kantong plastik/ziplock dan diberi label.
Sampel yang telah diambil dibersihkan kembali dari pasir atau epifit yang
masih menempel dengan menggunakan air tawar. Sampel dipisahkan sesuai jenis
spesies lamunnya dan disimpan di nampan plastik. Sampel dihitung jumlah
individunya, khusus lamun yang berukuran besar seperti Enhalus acoroides
perhitungan dilakukan pada saat pengamatan di lapangan dalam bingkai kuadrat
50 x 50 cm.
Sampel dipisahkan per jenis dan dibagi menurut biomasasanya, yaitu
biomassa bagian atas meliputi pelepah dan helai daun serta biomassa bagian
bawah yaitu akar dan rimpang. Sampel basah ditimbang berat basahnya kemudian
disimpan dalam kertas payung. Pada kertas osmon dicantumkan tanggal, lokasi,
transek, plot, jenis, dan bagian atas atau bawah.
3.2.3. Pengambilan Sedimen
Sampel sedimen diambil menggunakan pipa/paralon dengan mengetuknya
kemudian bagian atas ditutup dan diputar sambil diangkat ke atas. Sampel
sedimen di dalam paralon dipindahkan ke dalam tabung plastik. Besaran
kompaksi selama pengambilan sampel sedimen dan ketebalan sedimen juga
dihitung. Sedimen dimasukan ke dalam ziplock kemudian disimpan di dalam cool
box. Sedimen akan digunakan untuk dua pengukuran, yaitu pengukuran
kandungan karbon dan analisis butiran sedimen.
3.2.4. Analisis Kandungan Karbon Metode Loss of Ignition (LOI)
Pengukuran kandungan karbon pada biomassa dan substrat lamun
menggunakan metode LOI (Loss of Ignition). Prinsip dari metode ini adalah
menghilangkan bahan organik melalui proses pembakaran di dalam tanur/tungku
(furnace). Nilai bahan organik yang diperoleh merupakan berat sampel yang
hilang karena pembakaran pada suhu tertentu.
Untuk menghilangkan kandungan air dalam sampel, sampel dikeringkan
dengan cara diangin-anginkan, ditimbang beratnya, dan dipanaskan dalam oven
pada suhu 100-105oC selama 12 – 24 jam. Kemudian sampel didinginkan dalam
desikator dan ditimbang lagi beratnya. Sampel inilah yang akan digunakan untuk
analisis konsentrasi karbon. Sampel dihomogenasi dengan cara dihaluskan dengan
mortar agar homogen. Cawan porselen dipanaskan di dalam tanur pada suhu
900oC selama 15 menit kemudian di didinginkan, ditimbang, serta dicatat
beratnya. Sampel yang telah dikeringkan dan dihomogenasi dimasukkan sebanyak
± 1 gram ke dalam cawan porselen dan dicatat beratnya. Sampel dalam cawan
porselen dimasukkan ke dalam tanur dan dipijarkan pada suhu 450 – 550 oC
selama ± 4 jam. Sampel dalam cawan porselen didinginkan di dalam desikator
kemudian ditimbang.
3.2.5. Analisis Butir Sedimen
Analisis butir sedimen dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu mengetahui
ukuran butir sedimen dan mengetahui jenis sedimen di lokasi tersebut berdasarkan
ukuran butir sedimennya. Analisis grain size dilaksanakan dengan menggunakan
metode dry sieving (pengayakan) dan wet shieving (pemipetan) (Buchanan, 1979
dalam McIntyre dan Holme, 1984).
Tahapan untuk melakukan analisis butir sedimen menggunakan metode
Eleftherioudan Mc Intyre (2005). Sampel sedimen dikeringkan dalam oven
dengan temperature 100oC. Setelah dioven, sampel diayak dengan saringan
berukuran 2 mm; 0,5 mm; 0,312 mm; 0,125 mm dan 63 µm. Masing-masing
ukuran ditimbang massanya. Sampel sedimen yang lolos oleh saringan berukuran
63 µm digabungkan dengan sampel berukuran 0,125 mm.
Ukuran butir sedimen yang lebih kecil diukur dengan melakukan
pemipetan. Sampel sedimen dicampur dengan aquades, sampel dimasukan ke
dalam gelas ukur bervolume 1 liter kemudian diaduk sampai homogen.
Selanjutnya dilakukan proses pemipetan dengan jarak dan waktu pemipetan
dicatat. Lakukan perhitungan untuk memperoleh nilai persentase pada setiap
fraksi.
Hasil dari analisis butir diplotkan dan dilakukan penamaan sesuai dengan
klasifikasi Wenworth dan segitiga penaman sedimen.

Gambar 3. Segitiga Penamaan Sedimen (McIntyre and Holme, 1984)


DAFTAR PUSTAKA

Adli, Andi, A. Rizal, dan Z. R. Ya’la. 2016. Profil Ekosistem Lamun sebagai
Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang Tende Tolitoli.
Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, 5 (1) : 49 – 62.
BTNKJ. 2018. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2018.
Semarang: BTNKJ.
Duarte, Carlos M., J. Borum, F. T. Short, dan D. I. Walker. 2008. Seagrass
Ecosystems: Their Global Status and Prospects. Jurnal Ekosistem Akuatik.
Fahruddin, Muhammad, F. Yulianda, dan I. Setyobudiandi. 2017. Kerapatan dan
Penutupan Ekosistem Lamun di Pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 9 (1) : 375 – 383.
Graha, Y. Ibnu, I. W. Arthana, dan I. W. G. A. Karang. 2016. Simpanan Karbon
Padang Lamun di Kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. Jurnal Ecotrophic,
10 (1) : 46 – 53.
Hamuna, Baigo, R. H. R. Tanjung, Suwito, H. K. Maury, dan Alianto. 2018.
Kajian Kualitas Air Laut dan Indeks Pencemaran berdasarkan Parameter
Fisika-Kimia di Perairan Distrik Depapre, Jayapura. Jurnal Ilmu
Lingkungan, 16 (1) : 35 – 43.
Hartati, Retno, Ali Djunaedi, Haryadi, dan Mujiyanto. 2012. Struktur Komunitas
Padang Lamun di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Ilmu
Kelautan, 17 (4) : 217 – 225.
Hoek, Franklyn. A. D. Razak, Hamid, Muhfizar, A. M. Suruwaky, M. A. Ulat,
Mustasim, dan A. Arfah. 2016. Struktur Komunitas Lamun di Perairan
Distirk Salawati Utara Kabupaten Raja Ampat. Jurnal Airaha, 5 (1).
Holme, M.G. and N.D. McIntyre. 1984. Methods for Study of Marine Benthos,
second edition. Blackwell Scientific Publication. Oxford.
Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Dalam:
Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun Tanggal 18 November
2009. Jakarta, Indonesia.
KKP. 2019. Pedoman Pengukuran Karbon pada Ekosistem Lamun. Bandung: ITB
Press.
Latuconsina, Husain, M. Sangadji, dan La Sarfan. 2014. Struktur Komunitas Ikan
Padang Lamun di Perairan Pantai Wael Teluk Kontania Kabupaten Seram
Bagian Barat. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan, 6 (3).
LIPI. 2014. Panduan Monitoring Padang Lamun. Bogor : Sarana Komunikasi
Utama.
LIPI. 2017. Status Padang Lamun Indonesia 2017. Jakarta: LIPI.
LIPI. 2018. Status Padang Lamun Indonesia 2018 Versi 02. Jakarta: LIPI.
Noor, Djauhari. 2012. Pengantar Geologi. Bandung: Pakuan University Press.
Phillips, R. C. dan N. A. Milchakova. Seagrass Ecosystems. Jurnal Ekologi
Kelautan, 2 (2).
Poedjirahardjoe, E., N.P.D. Mahayani, B.R. Sidharta dan M. Salamuddin. 2013.
Tutupan Lamun dan Kondisi Ekosistemnya di Kawasan Pesisir Madasanger,
Jelenga, dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, 5 (1) : 36 – 46.
Pratiwi, Rianta. 2010. Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan
Teluk Lampung. Ilmu Kelautan, 15 (2) : 66 – 76.
Rahmawati, Susi. 2011. Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di
Pulau Pari, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Segara, 7 (1)
: 1 – 12.
Rahmawati, Susi dan Wawan Kiswara. 2012. Cadangan Karbon dan Kemampuan
sebagai Penyimpan Karbon pada Vegetasi Tunggal Enhalus acoroides di
Pulau Pari Jakarta. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38 (1) :
143 – 150.
Ramlan, Mohammad. 2002. Pemanasan Global (Global Warming). Jurnal
Teknologi Lingkungan, 3 (1) : 30 – 32.
Riniatsih, Ita. 2016. Struktur Komunitas Larva Ikan pada Ekosistem Padang
Lamun di Perairan Jepara. Jurnal Kelautan Tropis, 19 (1) : 21 – 28.
Runtuboi, Ferawati, J. Nugroho, Y. Rahakratat. 2018. Biomassa dan Penyerapan
Karbon oleh Lamun Enhalus acoroides di Pesisir Teluk Gunung Botak
Papua Barat. Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik, 2 (2).
Rustam, Agustin, T. L. Kepel, M. A. Kusumaningtyas, R. N. A. Ati, A. Daulat, D.
D. Suryono, N. Sudirman, Y. P. Rahayu, P. Mangindaan, A. Heriati, dan A.
A. Hutahean. 2015. Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di
Pulau Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Biologi Indonesia, 11 (2) :
233 – 241.
Rustam, Agustin, T. L. Kepel, R. N. A. Afiati, H. L. Salim, M. Astrid, A. Daulat,
P. Mangindaan, N. Sudirman, Y. P. Rahayu, D. D. Suryono, dan A.
Hutahean. 2015. Peran Lamun sebagai Blue Carbon dalam Mitigasi
Perubahan Iklim, Studi Kasus Tanjung Lesung, Banten. Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Samawi, Muh. Farid, A. Faisal, dan C. Rani. 2015. Parameter Oseanografi pada
Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara.
Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan II, Universitas
Hasanuddin.
Septiani, Elga Fitria, A. Ghofar, dan S. Febrianto. 2018. Pemetaan Karbon di
Padang Lamun Pantai Prawean Bandengan Jepara. Majalah Ilmiah Globe,
20 (2) : 117 – 124.
Setiawan, Firman, S. A. Harahap, Y. Andriani, dan A. A. Hutahean. 2012. Deteksi
Perubahan Padang Lamun Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan
Kaitannya dengan Kemampuan Menyimpan Karbon di Perairan Teluk
Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3 (3) : 275 – 286.
Supriadi, R. F. Kaswadji, D. G. Bengen, dan M. Hutomo. 2012. Produktivitas
Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar. Jurnal Akuatika, 3 (2)
: 159 – 168.
Supriyadi, I. Happy, M. Y. Iswari, dan Suyarso. 2018. Kajian Awal Kondisi
Padang Lamun di Perairan Timur Indonesia. Jurnal Segara, 14 (3) : 169 –
177.
Syukur, Abdul. 2015. Distribusi, Keragaman Jenis Lamun (Seagrass) dan Status
Konservasinya di Pulau Lombok. Jurnal Biologi Tropis, 15 (2) : 171 – 182.
Ulumuddin, Y.I., Sulistyawati, E., Hakim, D.M., dan Harto. A.B. 2005. Korelasi
Stok Karbon dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus
Gunung Papandayan. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV
“Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh untuk Peningkatan Kesejahteraan
Bangsa” Tanggal 14 – 15 September 2005, Surabaya.
Wicaksono, S.G., Widianingsih, dan S. T. Hartati. 2012. Struktur Vegetasi dan
Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Kepulauan Karimunjawa Kabupaten
Jepara. IJMS: Vol I. (2): 1 – 7.
WMO. 2006. Green House Gas Bulletin. No. 1.
Zarfen, F. Lestari, dan L. W. Zen. 2017. Hubungan Parameter Kualitas Perairan
terhadap Kerapatan Lamun di Perairan Desa Kelong Kecamatan Bintan
Pesisir Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Zulfikar, Alfian, A. Hartoko, dan B. Hendrarto. 2016. Distribusi dan Kandungan
Karbon pada Lamun (Enhalus acoroides) di Pulau Kemujan Taman
Nasional Karimunjawa berdasarkan Citra Satelit. Diponegoro of Journal
Maquares Management of Aquatic Resources, 5 (4) : 165 – 172.

Anda mungkin juga menyukai