Hampir mirip seperti kelemahan kami di atas, lektor pun ada kalanya ngeblank di atas
mimbar. Lho kok bisa? Panik atau karena kurangnya persiapan, serta rasa gugup karena kami
ditatap ratusan pasang mata (plus kamera kadang-kadang), membuat kami terkadang
kehilangan fokus di atas mimbar. Terus gimana? Kami harus terus membaca dan bahkan
kadang diem sejenak, mencari kata-kata yang hilang gara-gara blank tadi, supaya perayaan
Ekaristi kembali berjalan.
3. Eh....keserimpet jubah di altar!
4. Jadi deket sama Romo
1
5. Punya adik-adik baru
Ya, jadi lektor artinya kami punya keluarga baru. Nggak hanya dari kalangan lektor aja, kami
juga dapat adik-adik baru yakni para misdinar. Mereka yang masih kecil-kecil dan imut-imut,
ikut menambah keceriaan waktu latihan dan perayaan Ekaristi di gereja. Nggak jarang, kami
juga ikut bercanda dengan mereka.
Jadi lektor artinya kita juga harus siap jadi mentor. Kenapa? Karena kami yang sudah jadi
lektor lebih lama, pasti akan tergerak untuk membimbing lektor-lektor baru. Memang tidak
sekaku seperti di sekolah atau di tempat les, kebanyakan dari kami membimbing lektor baru
dengan berbagi pengalaman. Bimbingan yang diberikan pun selow karena kami saling
berbincang seperti dengan teman sebaya. Oleh karenanya, dengan jadi mentor, para lektor
senior pun akan belajar untuk menjadi guru dan pembimbing yang baik, sekaligus belajar
bersama dengan para lektor baru.
7. Jadi tambah PeDe
Berdiri di hadapan ratusan umat dan belajar menjadi mentor para lektor baru, ternyata bisa
menambah rasa percaya diri lho. Karena memang, berbicara di hadapan orang banyak itu
membutuhkan rasa percaya diri yang besar. Dan itulah yang dapat kami peroleh dari
pelayanan yang satu ini. Nah, kepercayaan diri ini juga ikut kami bawa dalam kegiatan-
kegiatan lain.
Kalo dulu sebagai umat kami hanya sekedar mendengarkan Kitab Suci, ketika jadi lektor
kami mau nggak mau harus belajar, membaca sekaligus menyerapi inti dari setiap bacaan
Kitab Suci. Mulai dari kitab Deuterokanonika, surat-surat Rasul Paulus dan belajar
mendongeng lewat bacaan-bacaan Perjanjian Lama, semuanya harus kami kuasai. Dan kalau
kami nggak ngerti, kami pun bertanya sama lektor senior atau sama Romo.
Jadi lektor berarti harus siap menerima kritik dari semua kalangan. Kritikan bisa datang dari
teman sesama lektor, umat atau bahkan dari petinggi gereja dan Romo sekalipun. Sakit
nggak? Sakit lah pasti. Apalagi kalau pas kita jelek-jeleknya dan langsung dikritik abis. Tapi
ingat, kritikan itu membangun ya guys. Jangan down karena kritikan orang lain. Justru
dengan adanya kritik, kami para lektor bisa mengetahui kelemahan kami dan belajar lagi
untuk memperbaiki diri.
Bergabung dalam organisasi lektor membuka peluang untuk berkenalan dengan banyak
orang, termasuk dari beragam kalangan usia dan profesi. Ya, sebagai satu-satunya petugas
2
liturgi yang tidak dibatasi usia dan jenis kelamin tertentu, lektor membuka kesempatan bagi
siapa saja yang bersedia melayani dan mau berlatih untuk membaca Kitab Suci. Dari sini juga
kami bisa saling berbagi pengalaman dan sekaligus menjalin relasi dengan banyak orang
yang tergabung dalam organisasi lektor.
Ini nih salah satu keuntungan lektor yang lain. Kami bisa belajar dan lebih mendalami
agungnya perayaan Ekaristi. Kok bisa? Dengan menjadi bagian dari perayaan Ekaristi itu
secara langsung, kami bisa lebih menghargai dan menjalaninya, bahkan ketika kami sedang
tidak bertugas sekalipun. Saat gladi bersih untuk misa besar pun, kami secara nggak langsung
juga belajar tata cara liturgi yang benar.
Karena suara menjadi faktor penting dalam tugas pelayanan lektor, maka setiap lektor harus
menjaga kualitas suaranya. Caranya adalah dengan tidak terlalu sering makan gorengan dan
minum es serta menjaga daya tahan tubuh. Apalagi sebelum tugas besar pada hari-hari raya,
lektor harus benar-benar menjaga kesehatan dan suaranya agar bisa membaca dengan baik
pada hari H.
Membaca dengan hati? Membatin dong? Hehehehe..nggak lah. Membaca dengan hati artinya
para lektor harus mengerti dengan jelas inti dari setiap bacaan Ekaristi. Lektor harus
mengetahui latar belakang bacaan dan memposisikan diri sebagai orang atau penulis bacaan.
Itulah mengapa kami harus bisa ‘masuk’ ke dalam bacaan, baik itu bacaan berupa kisah
dengan berbagai macam karakter yang berganti-ganti maupun bacaan berupa surat seperti
surat Rasul Paulus. Lektor harus mampu membayangkan kondisi yang tertulis dalam bacaan,
mendalami setiap karakter dan menyampaikannya kepada umat.
Ya, menjadi lektor memang memberikan banyak sekali pengalaman yang luar biasa. Namun
sama seperti pelayanan lain, satu hal yang terpenting adalah kami harus tetap menjaga hati
dan etika, agar pelayanan kami tidak terhenti dalam perayaan Ekaristi di gereja kami masing-
masing, namun juga menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kami. Akhir kata, selamat
melayani dan Tuhan