Anda di halaman 1dari 3

Patofisiologi Nyeri Haid

Dismenorea (nyeri haid) merupakan nyeri abdomen yang berasal dari kram rahim
yang terjadi selama haid. Dismenorea terdiri dari dismenorea primer dan sekunder.
Dismenorea primer merupakan nyeri haid yang tidak didasari kondisi patologis, sedangkan
dismenorea sekunder merupakan nyeri haid yang didasari dengan kondisi patologis.
Dismenorea primer terjadi karena peningkatan prostaglandin (PG) F2-alfa yang merupakan
suatu siklooksigenase (COX-2) yang mengakibatkan hipertonus dan vasokonstriksi pada
miometrium sehingga terjadi iskemia dan nyeri pada bagian bawah perut. Adanya kontraksi
yang kuat dan lama pada dinding rahim, hormon prostaglandin yang tinggi, dan pelebaran
dinding rahim saat mengeluarkan darah haid sehingga terjadilah nyeri saat haid.1
Dismenorea sekunder merupakan nyeri haid yang berhubungan dengan berbagai
keadaan patologis di organ genitalia, misalnya endometriosis, adenomiosis, mioma uteri,
stenosis serviks, penyakit radang panggul, perlekatan panggul, atau irritable bowel
syndrome. Peningkatan produksi prostaglandin juga dapat berperan dalam dismenorea
sekunder, tetapi lebih sering terkait dengan patologis organ genitalia. Dismenorea sekunder
dipikirkan bila pada anamnesis dan pemeriksaan curiga ada patologi pelvis atau kelainan
bawaan.2
Dismenore yang dirasakan oleh wanita dengan endometriosis dikarenakan berbagai
sebab, salah satunya karena pengaruh hormon estrogen yang meningkat pada awal
menstruasi. Estrogen merangsang pembentukan jaringan-jaringan endometrium yang
menyebabkan nyeri. Ada tiga mekanisme nyeri yang diproduksi oleh endometriosis, yaitu:
1. produksi substansi seperti hormon pertumbuhan dan sitokin yang mengaktivasi
makrofag dan sel-sel lainnya yang berhubungan dengan berfungsinya implan
endometriosis;
2. efek langsung dan tidak langsung dari perdarahan aktif yang berasal dari implan
endometriosis;
3. iritasi atau akibat langsung dari nervus pelvik dasar atau akibat langsung dari nervus
yang menempel pada implan endometriosis.3

Pada endometriosis terjadi proses inflamasi di panggul dengan perubahan fungsi dan
aktivitas sel imun. Didapatkan peningkatan jumlah makrofag aktif di lingkungan mikro
peritoneum yang mensekresi berbagai produk lokal, misal faktor pertumbuhan dan sitokin.
Lesi endometriosis mensekresi sitokin proinflamasi, misal IL-1, IL-6, IL-8, TNF-a yang ikut
mengaktivasi makrofag dan sel T di peritoneum dan memfasilitasi respon inflamasi. Sel imun
seperti sel mast, makrofag, faktor pertumbuhan, misal nerve growth factor (NGF), dan sitokin
proinflamasi berkontribusi terhadap nyeri persisten. Proses inflamasi dan trauma jaringan
akan mengaktivasi silent nociceptor dan selanjutnya timbul nyeri. Pada perempuan dengan
endometriosis ditemukan serabut saraf tanpa mielin di lapisan fungsional endometrium
eutopik. Pada lesi endometriosis serabut saraf sensori tersebut juga ditemukan. Serabut saraf
yang ditemukan itu merupakan nosiseptor yang tidak ditemukan pada perempuan tanpa
endometriosis. Nosiseptor tersebut menginvasi lesi endometriosis yang berlokasi didaerah
panggul. NGF yang ditemukan di sekitar kelenjar endometriosis akan meningkatkan jumlah
serabut saraf. Reaksi inflamasi yang meningkat karena jumlah mediator inflamasi yang tinggi
akan menyebabkan sensitisasi nosiseptor dan saraf pusat sehingga memicu nyeri. Timbulnya
rasa nyeri sangat terkait dan melibatkan aktivitas sistem saraf pusat. Lesi endometriosis
menimbulkan nyeri dengan cara menekan dan menginfiltrasi saraf dekat lesi tersebut.4

Gambar: Mekanisme nyeri pada endometriosis


Sumber: Hendarto H. Endometriosis dari Aspek Teori sampai Penanganan Klinis. Surabaya: Airlangga
University Press, 2015. 26 p.4

Keberadaan NGF di lesi endometriosis ikut berperan pada kejadian nyeri terutama
pada nodul deep endometriosis. Lesi endometriosis harus mendapat vaskularisasi pembuluh
darah agar dapat tumbuh. Pembuluh darah tersebut agar dapat berfungsi memerlukan inervasi
serabut saraf simpatis dan sensori serta melibatkan aktivitas vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan NGF. Lesi endometriosis yang terus tumbuh, berkembang, dan invasi
memerlukan vaskularisasi pembuluh darah melalui proses angiogenesis. Pembuluh darah
yang semakin banyak jumlahnya digunakan untuk pertumbuhan lesi endometriosis dan
dibutuhkan juga inervasi serabut saraf yang sekaligus akan menginvasi lesi endometriosis
tersebut. Infiltrasi lesi endometriosis dan pengaruh hormon pada serabut saraf akan
menyebabkan terjadi sensitisasi perifer. Saraf aferen yang berada didaerah lesi endometriosis
akan menyalurkan sinyal listrik ke sistem saraf pusat (SSP) pada berbagai level, sakral,
lumbar, toraks, servikal dan sampai di otak. Sensitisasi sentral ini akan meningkatkan
eksitabilitas SSP sehingga memicu respon berlebihan rasa nyeri.4
Nyeri dan infertilitas adalah dua gejala klinis yang menjadi keluhan utama penderita
endometriosis. Kedua keluhan tersebut saling terkait dan bila tidak ditangani dengan baik
akan sangat merugikan penderita. Penyebab pasti terjadinya endometriosis belum diketahui
dan ada banyak teori yang membahas terjadinya endometriosis, salah satunya adalah teori
retrograde menstruation atau menstruasi berbalik yang dikemukakan oleh Sampson. Pada
saat menstruasi, jaringan endometrium yang meluruh berbalik dan mengalir dari kavum uteri
melalui tuba fallopi ke kavum peritoneum dan berimplantasi pada permukaan peritoneum
secara spontan atau dapat pula berimplantasi di tempat lain. Selanjutnya jaringan
endometrium yang dalam hal ini disebut jaringan endometriosis tersebut menghasilkan
estrogen yang kemudian diubah menjadi prostaglandin. Prostaglandin tersebut dapat
menyebabkan nyeri. Jaringan endometriosis sendiri dapat menghasilkan serabut saraf dan
menghasilkan Nerves Growth Factor yang merupakan faktor penyebab nyeri. Selain itu,
lokasi perlekatan sendiri juga dapat menyebabkan nyeri apabila jaringan endometriosis
menempel pada saraf dan dapat menyebabkan nyeri. Teori yang dikembangkan oleh Sampson
ini telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laparoskopi yang memang terbukti bahwa terdapat
aliran balik darah haid pada sebagian besar perempuan.4
Selain teori retrograde menstruation, ada juga teori metaplasia yang menjelaskan
bahwa endometriosis berasal dari sel ekstra uteri yang secara abormal melakukan
transdiferensiasi atau transformasi menjadi sel endometriosis. Diduga hormon dan faktor
imunologi yang berperan menstimuli sel-sel peritoneum tersebut menjadi sel mirip
endometrium. Faktor biokimia dan imunologi endogen juga berperan menginduksi sel-sel
undifferentiated berdiferensiasi menjadi sel mirip endometrium di lokasi ektopik.4

Referensi:
1. Larasati TA, Alatas F. Dismenore Primer dan Faktor Risiko Dismenore Primer pada
Remaja. Majority. 2016 September;5(3): 79-84
2. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, et al. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2017. 182-183
3. Sakti IR, Hardianto G. Dismenore pada Pasien Endometriosis yang Menjalani
Laparoskopi[Internet]. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2016. Available
from: http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-msj12fccd8e82full.pdf
4. Hendarto H. Endometriosis dari Aspek Teori sampai Penanganan Klinis. Surabaya:
Airlangga University Press, 2015. 9-22 p.

Anda mungkin juga menyukai