PERENCANAAN KEBUTUHAN
BARANG MILIK NEGARA
MODUL
PERENCANAAN KEBUTUHAN
BARANG MILIK NEGARA
Oleh:
TAHUN 2020
DAFTAR ISI
1
Adapun tujuan dari perencanaan kebutuhan BMN, menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, adalah merupakan salah satu dasar bagi
Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah dalam pengusulan
penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar
(baseline) serta penyusunan rencana kerja dan anggaran. Jadi tujuan perencanaan
kebutuhan adalah:
1) menentukan kebutuhan aset (BMN), dimana kegiatan yang dilakukan
adalah:
a. Menjelaskan ruang lingkup, standar, dan tingkat pelayanan yang akan
diberikan oleh organisasi;
b. Menyusun daftar aset yang diperlukan untuk mendukung strategi;
c. Mengidentifikasi sumber daya.
2) Melakukan evaluasi atas aset yang sudah ada, yaitu:
a. Melihat kondisi fisiknya apakah masih dapat digunakan untuk kegiatan
yang akan datang,
b. Melihat dari sisi fungsionalitasnya, apakah barang tersebut mendukung
kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
c. Melihat profil ketersediaannya, yaitu apakah barang tersebut saat ini
dapat siap dipakai untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi,
misalkan sebelumnya barang tersebut dilakukan pemanfaatan dan masa
pemanfaatan akan berakhir tahun yang akan datang.
3) Membandingkan kebutuhan dengan ketersediaan, yaitu:
a. Aset yang ada saat ini (existing) dalam kondisi baik yang masih
diperlukan dan masih mampu (capable) mendukung pelaksanaan tugas
dan fungsi dapat dioperasikan dan dipelihara;
b. Aset yang ada saat ini (existing) masih diperlukan, namun kondisinya di
bawah standar atau rusak ringan, dan dibutuhkan
perbaikan/pemeliharaan agar dapat dioperasikan untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi;
c. Aset yang berlebih (surplus) atau rusak berat dapat dihapuskan;
2
d. Aset yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi
namun belum dimiliki, dapat dilakukan pembelian
Gambar 1
Diagram Alur Integrasi Sistem Pengelolaan Aset dan Sistem Penganggaran
3
1. Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah;
2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150/PMK.06/2014 tentang
Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174/KM.6/2016 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 450/KM.6/2014 tentang Modul
Perencanaan Kebutuhan Barang Milik untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan
Barang Milik Negara;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227/KM.6/2016 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 452/KM.6/2014 tentang Modul
Perencanaan BMN untuk Penelaahan Rencana Kebutuhan BMN;
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 332/KM.6/2016 tentang Modul Tata
Cara Reviu Perencanaan Kebutuhan BMN oleh Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah Kementerian/Lembaga
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 577/KM.6/2017 tentang Modul
Perencanaan Kebutuhan BMN untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan BMN
berupa Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam
Negeri.
7. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.06/2016 tentang
Perubahan atas PMK Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan
Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Tanah dan/atau Bangunan.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015 tentang Standar Barang
dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Alat Angkutan Darat
Bermotor Operasional Jabatan di Dalam Negeri.
4
4) perencanaan pemindahtanganan BMN, dan
5) perencanaan penghapusan BMN.
Namun, menurut PMK Nomor 150/PMK.06/2014, perencanaan kebutuhan
BMN mencakup: (1) perencanaan pengadaan BMN dan (2) perencanaan
pemeliharaan BMN. Oleh karena itu, pada bahan ajar ini, pembahasan terbatas pada
perencanaan pengadaan BMN dan perencanaan pemeliharaan BMN. Yang
dimaksud dengan perencanaan pengadaan BMN adalah rencana kebutuhan
pengadaan BMN sesuai standar barang dan standar kebutuhan yang telah ditetapkan
dalam peraturan. Sedangkan perencanaan pemeliharaan BBMN adalah rencana
kebutuhan pemeliharaan terhadap BMN yang telah ada/dimiliki sesuai dengan
ketentuan peraturan. Perencanaan pengadaan BMN dan perencanaan pemeliharaan
BMN dapat diusulkan oleh Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang
dengan mengajukan dokumen Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara
(RKBMN). Jadi terdapat 2 (dua) jenis RKBMN, yaitu:
1) RKBMN untuk Pengadaan BMN. RKBMN Pengadaan memuat informasi
berupa unit BMN yang direncanakan untuk dilakukan pengadaan. RKBMN
Pengadaan ini masih terbatas untuk BMN yang sudah memiliki standar barang
dan standar kebutuhan (SBSK); dan
2) RKBMN untuk Pemeliharaan BMN.
5
Kegiatan Belajar 2:
6
RKBMN tersebut merupakan bagian dari perencanaan dan penganggaran terkait
BMN yang akan menjadi dasar penyusunan RKA-KL. Kementerian/Lembaga
bertanggung jawab atas kesesuaian program, kegiatan, dan keluaran (output)
dengan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga. Apabila pada saat penyusunan
RKBMN sudah ditetapkan Rencana Kebijakan Pemerintah, maka
Kementerian/Lembaga agar mempertimbangkan Rencana Kebijakan Pemerintah
tersebut dan melakukan sinergi antara penyusunan RKBMN dengan penyusunan
indikasi kebutuhan anggaran.
Kuasa Pengguna Barang (KPB) selain menyusun RKBMN pengadaan, juga
Menyusun RKBMN pemeliharaan. KPB Menyusun RKBMN KPB untuk
pemeliharaan BMN berupa:
a. Tanah dan/atau Bangunan;
b. Selain Tanah dan/atau Bangunan, untuk:
1) BMN berupa alat angkutan bermotor
a) Alat Angkutan Darat Bermotor (3.02.01);
b) Alat Angkutan Apung Bermotor (3.02.03); dan
c) Alat Angkutan Bermotor Udara (3.02.05).
2) BMN selain alat angkutan bermotor dengan nilai perolehan per satuan
paling sedikit sebesar Rp100.000.000,00 (serratus juta rupiah)
Pemeliharaan BMN berupa tanah telah termasuk dalam pemeliharaan bangunan di
atasnya. RKBMN untuk pemeliharaan disusun atas BMN tersebut di atas, sesuai
status BMN dalam tahun yang direncanakan untuk dihentikan penggunaannya,
dipindahtangankan, dimanfaatkan, dihapuskan, dan dimusnahkan serta BMN
berupa Konstruksi Dalam Pengerjaan maupun Aset Tak Berwujud Dalam
Pengerjaan dalam tahun yang direncanakan tidak dapat diusulkan pemeliharaannya.
Untuk BMN selain tersebut di atas, mekanisme pengajuan kebutuhan
pemeliharaannya berdasarkan mekanisme penganggaran sesuai ketentuan
peraturan.
Kuasa Pengguna Barang menyusun RKBMN Tingkat satker pada semester I
dua tahun sebelum tahun yang bersangkutan (t-2), dan paling lambat bulan Agustus
t-2, Kuasa Pengguna Barang menyampaikan RKBMN tingkat Satker kepada
7
Pengguna Barang secara berjenjang. Misal untuk Tahun Anggaran 2022,
perencanaan kebutuhan disusun oleh KPB pada Semester 1 Tahun 2020, dan akan
dianggarkan pada penyusunan anggaran Tahun 2021.
8
APIP K/L tidak menggantikan Pengguna Barang terkait tanggung jawab mutlak
untuk melakukan penelitian terhadap RKBMN.
APIP K/L melakukan reviu terhadap RKBMN untuk membantu
terlaksananya dokumen RKBMN yang bersifat tahunan dan memberi keyakinan
terbatas mengenai kesesuaian RKBMN yang ketentuan penyusunan RKBMN yang
berlaku kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, sehingga dapat menghasilkan
RKBMN yang berkualitas. Reviu RKBMN dilaksanakan setelah proses
penyusunan RKBMN oleh Pengguna Barang atau sebelum disampaikan oleh
Pengguna Barang kepada Pengelola Barang. Pelaksanaan reviu tidak mencakup
pengujian atas pengendalian intern, penetapan risiko pengendalian, dan pengujian
atas bukti yang menguatkan melalui aplikasi, pengamatan, atau konfirmasi dan
prosedur tertentu yang dilaksanakan dalam suatu audit.
Hasil penelitian RKBMN pengadaan tingkat satker akan digunakan oleh
Pengguna Barang untuk Menyusun RKBMN untuk pengadaan BMN tingkat
Pengguna Barang, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. unit satuan kerja (nama dan kode satuan kerja);
b. program;
c. kegiatan;
d. Standar Barang dan Standar Kebutuhan BMN;
e. Daftar barang pada Pengguna BArang dan/atau daftar barang pada Kuasa
Pengguna Barang;
f. Pertimbangan kebutuhan pengadaan; dan usulan skema pengadaan
Pengguna Barang menyampaikan RKBMN untuk pengadaan tingkat
Pengguna Barang kepada Pengelola Barang paling lambat minggu pertama bulan
Januari tahun anggaran sebelumya (t-1).
9
2. tahap pelaksanaan; dan
3. tahap tindak lanjut Hasil Penelaahan RKBMN dan Perubahan Hasil
Penelaahan RKBMN.
Penelaahan dilakukan terhadap:
1. RKBMN Untuk Pengadaan
Proses penelaahan RKBMN adalah melakukan telaahan terhadap:
a. relevansi program dengan rencana keluaran (output) Kementerian/Lembaga
berupa BMN;
b. optimalisasi penggunaan BMN yang berada pada Pengguna Barang; dan
c. efektivitas penggunaan BMN yang berada pada Pengguna Barang sesuai
peruntukannya dalam rangka menunjang tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga.
2. RKBMN Untuk Pemeliharaan
Proses penelaahan RKBMN adalah melakukan telaahan terhadap data BMN
yang diusulkan rencana pemeliharaannya terkait status dan kondisi barang.
10
b. menyiapkan kelengkapan dokumen penelaahan sebagaimana diuraikan pada
bagian selanjutnya;
c. menugaskan pejabat/pegawai untuk menghadiri forum penelaahan; dan
d. terlibat dalam forum penelaahan dengan jadwal penelaahan yang telah
ditetapkan oleh DJKN.
2. Pengguna Barang
Pengguna Barang menyiapkan dokumen untuk pelaksanaan kegiatan
penelaahan RKBMN sekurang-kurangnya terdiri atas:
a) Surat Tugas penelaahan RKBMN;
b) Renstra-K/L;
c) RKBMN tingkat Pengguna Barang beserta kelengkapannya sebagai berikut:
1) surat pengantar RKBMN;
2) RKBMN tingkat Kuasa Pengguna Barang;
3) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) atas kebenaran
RKBMN;
4) laporan hasil reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan
dokumen clearance APIP berkenaan dengan laporan hasil reviu APIP atas
RKBMN yang bersangkutan; dan
11
5) Arsip Data Komputer (ADK) RKBMN;
d) daftar barang pada Pengguna Barang yang memuat informasi status
penggunaan BMN, jangka waktu pemanfaatan BMN (apabila sedang
dimanfaatkan), dan kondisi BMN.
e) Hasil pengusulan penyediaan anggaran pada RKBMN tahun sebelumnya.
12
bermotor; dan
5) Tindak lanjut hasil reviu APIP-K/L
13
Kegiatan Belajar 3:
14
barang seperti apa yang dapat dibeli dalam pengadaan barang, pada kenyataannya
dirasakan cukup sulit oleh satker. Dengan bantuan pedoman standar barang maka
satker akan lebih mudah menentukan spesifikasi barang yang dibutuhkan dan yang
akan diajukan dalam anggaran (RKAKL).
Standar barang merupakan spesifikasi barang yang telah ditetapkan dalam
peraturan, yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan pengadaan barang
yang diajukan dalam perencanaan kebutuhan barang. Dalam pasal 1 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar
Kebutuhan Barang Milik negara berupa Tanah dan/atau Bangunan, definisi standar
barang adalah spesifikasi barang yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan
pengadaan BMN dalam perencanaan kebutuhan kementerian/Lembaga. Standar
barang fokus pada spesifikasi barang, bisa dalam kualitas, bentuk, luas, ataupun
model. Misal, mobil dinas jabatan perorangan bisa ditetapkan standarnya, yang
dibedakan untuk kendaraan dinas jabatan menteri/pejabat negara, pejabat eselon 1,
pejabat eselon 2 dan pejabat eselon 3. Standar kendaraan dinas jabatan perorangan
tersebut diberikan pembedaan antara kendaraan dinas jabatan menteri/pejabat
negara, pejabat eselon 1, pejabat eselon 2 dan pejabat eselon 3, yang dibedakan
berdasarkan spesifikasinya. Kendaraan dinas untuk menteri/pejabat negara
misalnya dapat ditentukan dengan spesifikasi sebagai berikut: bentuk sedan, ukuran
CC maksimal 3.500, interior super lux. Untuk pejabat eselon 1, misalnya ditetapkan
dalam spesifikasi sebagai berikut: bentuk MPV, ukuran cc maksimal 2.500, interior
lux. Demikian seterusnya, di mana akan diberikan pembedaan spesifikasi sesuai
dengan kewajaran fasilitas yang dapat diberikan kepada pejabat negara.
Berkaitan dengan standar barang, saat ini kita telah memiliki peraturan yaitu
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.06/2016 tentang Perubahan
atas PMK Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar
Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Tanah dan/atau Bangunan. Peraturan
Menteri Keuangan tersebut baru mengatur standar untuk barang berupa tanah
dan/atau bangunan, yang itu pun masih terbatas pada Bangunan Gedung Negara
dalam bentuk gedung perkantoran (masih terbatas pada ruang kerja) dan rumah
negara. Meskipun disebutkan lagi berupa bangunan lainnya yang bersifat khusus,
15
tetapi tidak secara rinci standar dari bangunan lainnya yang bersifat khusus tersebut
dijabarkan dalam peraturan. Selain itu juga telah dikeluarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015 tentang Standar Barang dan Standar
Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Alat Angkutan Darat Bermotor
Operasional Jabatan di Dalam Negeri.
Dengan PMK Nomor 248/PMK.06/2011 yang telah diubah dengan PMK
Nomor 7/PMK.06/2016 dan PMK Nomor 76/PMK.06/2015 tersebut, setidaknya
telah ada acuan yang dapat digunakan oleh satker untuk menentukan spesifikasi
barang yang akan diajukan dalam perencanaan kebutuhan meskipun jenis barang
yang ditentukan standarnya masih terbatas pada standar BMN berupa tanah
dan/atau bangunan serta untuk alat angkutan darat bermotor operasional jabaran di
dalam negeri. Seperti apa standar barang yang diatur dalam PMK Nomor
248/PMK.06/2011 yang telah diubah dengan PMK Nomor 7/PMK.06/2016 dan
PMK Nomor 76/PMK,06/2015, di mana jenis-jenis barang yang telah ditetapkan
standarnya melalui Keputusan Menteri Keuangan adalah sebagai berikut:
1) Standar tanah dan/atau bangunan, yaitu:
a. Tanah yang diperuntukkan bagi Bangunan Gedung Negara;
b. Bangunan Gedung Negara, dikelompokkan menjadi:
(1) Gedung Perkantoran; dan
(2) Rumah Negara
2) Standar Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan Dalam
Negeri.
16
Kebutuhan BMN untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan BMN bahwa kebutuhan
jumlah unit Bangunan Gedung Kantor dibatasi yaitu:
(1) Kantor direktorat yaitu kantor instansi pusat dengan pejabat tertinggi yang
menempati secara permanen adalah eselon II dapat memiliki gedung
tersendiri apabila luas lantai bruto lebih dari 1.000 m2 (seribu meter
persegi).
(2) Kantor instansi vertikal dengan struktur pejabat tertinggi yang menempati
secara permanen adalah eselon III atau eselon IV adalah satu bangunan
untuk setiap unit.
Kebutuhan unit selebihnya adalah berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
Klasifikasi bangunan gedung perkantoran, standar luas ruang kerja. Standar luas
ruang penunjang, standar ketinggian gedung bangunan perkantoran dan standar luas
bangunan gedung perkantoran dengan memperhitungkan kebutuhan unit bangunan,
standar luas ruangan kerja, standar luas ruang penunjang, dan standar ketinggian
gedung, akan diuraikan berikut ini.
17
kantor setingkat Direktorat Jenderal; (b) Gedung kantor badan di bawah
Kementerian.
4. Tipe D
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe D adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Instansi pemerintah
pusat dengan pejabat tertinggi setingkat eselon II. Contoh: (a) Gedung
Kantor Direktorat; (b) Gedung kantor perwakilan; (c) gedung kantor
Wilayah; (d) Gedung Kantor balai Besar.
5. Tipe E1
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe E1 adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh instansi vertikal
pemerintah pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon III. Contoh:
(a) Gedung kantor Pelayanan; (b) gedung kantor daerah; (c) Gedung
kantor Balai.
6. Tipe E2
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe E2 adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh instansi vertikal
pemerintah pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon IV. Contoh:
(a) Gedung kantor Urusan Agama; (b) Gedung kantor Unit Pelayanan
Teknis (UPT).
b. Standar Luas Bangunan Gedung Perkantoran
Bangunan gedung perkantoran terdiri dari ruang kerja, ruang penunjang, dan
bangunan yang tidak dapat diutilisasi. Luas bangunan gedung kantor atau yang
disebut dengan luas bangunan bruto (Lbb) adalah jumlah dari luas ruang kerja
ditambah dengan luas ruang penunjang (disebut dengan luas bangunan netto = Lbn)
ditambah dengan Luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi (Lu). Rumus yang
digunakan untuk menghitung luas bangunnan bruto (Lbb) adalah sebagai berikut:
𝐋𝐛𝐧
𝑳𝒃𝒃 =
(𝟏 − 𝐋𝐮)
18
Ket: Lbb = luas bangunan bruto
Lbn = luas bangunan netto
Lu = luas bangunan yang tidak dapat dapat diultilisasi
Sedangkan untuk menghitung luas bangunan netto (Lbn) menggunakan
rumusan sebagai berikut:
𝑳𝒃𝒏 = ∑(𝑺𝒓 𝒙 𝑷) + ∑ 𝑳𝒇
19
Tabel 1
Standar Luas Ruang Kerja
20
bangunan tersebut berdasarkan tingkat kompleksitasnya. Berdasarkan tingkat
kompleksitasnya, bangunan dibedakan atas:
1. Bangunan Sederhana
2. Bangunan Tidak Sederhana, terdiri dari
a. Bangunan Tidak Sederhana Bertingkat Rendah, dan
b. Bangunan Tidak Sederhana Bertingkat Tinggi.
Tabel 2
Standar Ruang penunjang
21
Tabel 3
Standar Ruang Bangunan yang Tidak Dapat Diutilisasi (Lu)
22
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah perbandingan antara luas lantai
dasar bangunan dengan luas semua lahan yang dimiliki (termasuk luas bangunan).
KDB dituliskan dalam bentuk persentase. Pemerintah daerah membuat kebijakan
dalam tata bangunan kota, dalam hal ini pemerintah memberikan standardisasi
kegiatan pembangunan didaerahnya (pembangunan rumah, toko, hotel, dsb.),
sebagai bentuk penyelarasan dengan alam, yakni untuk menghitung kemungkinan
terbaik air hujan yang turun dapat diserap oleh tanah, dan juga intensitas cahaya
matahari yang dibutuhkan oleh tumbuhan sekitar.
Luas lantai dasar bangunan adalah luas bangunan yang menempel di atas
tanah. Untuk menghitung luas tanah untuk bangunan harus diperoleh data besaran
luas lantai dasar bangunan dan data Koefisien Dasar Bangunan yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah setempat. Luas lantai dasar bangunan dapat dihitung
dengan membagi luas bangunan bruto dengan jumlah lantai yang dikehendaki dari
bangunan gedung yang bersangkutan.
Rumus untuk menghitung Luas lantai dasar bangunan adalah:
Sedangkan rumus untuk menghitung luas minimum tanah untuk bangunan gedung
kantor adalah:
23
1.3. Bangunan Rumah Negara
Menurut PMK Nomor 7/PMK.06/2016, Bangunan Rumah Negara
merupakan bangunan yang difungsikan sebagai tempat tinggal, yang
dikelompokkan berdasarkan tingkat jabatan dan tingkat kepangkatan penghuninya.
a. Klasifikasi Bangunan Rumah Negara
Bangunan Rumah Negara terdiri dari beberapa tipe, sebagai berikut:
1. Tipe Khusus
Rumah Negara Tipe Khusus adalah rumah negara yang diperuntukkan
bagi:
(a) Menteri;
(b) Pimpinan lembaga pemerintahan non kementerian;
(c) Pimpinan lembaga tinggi negara;
(d) Pejabat lain yang setingkat.
2. Tipe A
Rumah Negara Tipe A merupakan rumah negara yang diperuntukkan
bagi:
(a) Wakil Menteri;
(b) Sekretaris jenderal/Inspektur Jenderal/Direktur Jenderal;
(c) Kepala/Ketua Badan;
(d) Deputi;
(e) Pejabat setingkat Eselon I.
3. Tipe B
Rumah Negara Tipe C adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(a) Direktur/Kepala Pusat/Inspektur/Kepala kantor Wilayah/Asisten
Deputi;
(b) Pejabat setingkat Eselon II;
(c) Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/d dan IV/e.
4. Tipe C
Rumah Negara Tipe C adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(a) Kepala Sub Direktorat/Kepala bagian/Kepala Bidang/Kepala kantor
Pelayanan;
24
(b) Pejabat setingkat Eselon III;
(c) Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/a sampai dengan IV/c.
5. Tipe D
Rumah Negara Tipe D adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(b) Kepala seksi/kepala subbagian/kepala subbidang;
(c) Pejabat setingkat Eselon IV;
(d) Pegawai Negeri Sipil golongan III/a sampai dengan III/d.
6. Tipe E
Rumah Negara Tipe E adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(b) Kepala sub seksi;
(c) Pejabat setingkat Eselon V;
(d) Pegawai Negeri Sipil golongan II/d ke bawah.
Tabel 4
Jumlah Kebutuhan Maksimal Rumah Negara
25
Standar luas maksimum bangunan rumah negara ditentukan dengan luas
sebagaimana nampak pada Tabel 5.
Tabel 5
Standar Luas Bangunan Rumah Negara
Tanah untuk rumah negara dapat memiliki luas melebihi batas maksimum
sebagaimana pada Tabel 6, dengan toleransi maksimum yang didasarkan pada
lokasi dari rumah negara tersebut, yaitu:
26
a. Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta : 20% (dua puluh persen)
b. Ibukota Provinsi : 30% (tiga puluh persen)
c. Ibukota Kabupaten/Kota : 40% (empat puluh persen)
d. Pedesaan : 50% (lima puluh persen)
27
Standar untuk kendaraan dinas jabatan ini juga ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan sebagai acuan dalam mengusulkan kebutuhan berupa kendaraan
dinas jabatan yaitu dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015
tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Alat
Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri
sebagaimana nampak pada Tabel 7.
Tabel 7
Standar Kendaraan Dinas Operasional Jabatan
No. Kualifikasi Jumlah Jenis Kapasitas Silinder SBM
Mesin
1 A 2 Sedan/SUV 3.500 cc 6 -
(Menteri/setingkat)
2 A 1 Sedan/SUV 3.500 cc 6 -
(Wamen/setingkat)
B (Eselon I Sedan 2.500 cc 4
3 1
a/setingkat) SUV 3.000 cc 6 702 –
4 C (Eselon I 1 Sedan 2.000 cc 4 970
b/setingkat)
5 D (Eselon II 1 SUV 2.500 cc 4
a/setingkat) 400 –
6 E (Eselon II 1 SUV 2.000 cc 4 430
b/setingkat)
F (Eselon 2.000 cc 4
7 III/setingkat, 1 MPV 2.500 cc 4
kepala kantor
200 –
8 G (Eselon
500
IV/setingkat,
1 MPV 1.500 cc 4
kepala kantor > 1
kab/kota
9 G (Eselon 30 –
IV/setingkat, Sepeda 42
1 225 cc 1
kepala kantor ≤ 1 Motor
kab/kota
Keterangan:
SBM: Standar Biaya Maksimum (dalam jutaan rupiah)
28
Maksimum, juga ditetapkan standar untuk spesifikasi/kelengkapan sebagaimana
pada Tabel 8 Berikut ini.
Tabel 8
Standar Spesifikasi/Kelengkapan Kendaraan Dinas Operasional Jabatan
29
Tabel 10
Jumlah Kebutuhan Maksimal Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas
Operasional
Jumlah Kebutuhan
No. Eselon (unit)
Roda 4 Roda 2
1. Setingkat Eselon I/Kantor Pusat A A
2. Setingkat Eselon II/kantor wilayah A A
3. Setingkat Eselon III/kantor pelayanan ½B B
4. Setingkat Eselon IV/kantor pelayanan - B+C
Keterangan:
A = Jumlah Jabatan Eselon III
B = Jumlah Jabatan Eselon IV
C = Jumlah jabatan Eselon V (bila ada)
30
pengadaannya. Data kepegawaian dimaksud berturut-turut merupakan
komposisi/struktur dan jumlah pegawai ideal berdasarkan peraturan perundang-
undangan mengenai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku. Dalam hal
komposisi/struktur dan jumlah pegawai ditetapkan/diputuskan berbeda dengan
peraturan perundang-undangan mengenai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang
berlaku, maka digunakan komposisi/struktur dan jumlah pegawai mana yang lebih
besar. Komposisi/struktur dan jumlah pegawai akan menentukan standar luas
bangunan maksimum yang dapat dipertimbangkan. Luas bangunan sesuai standar
telah mencakup ruang penunjang yang terdiri atas ruang rapat utama, ruang
pertemuan/aula, ruang arsip, ruang fungsional, toilet, ruang server, lobby/fasilitas
lain, dan ruang pelayanan.
Untuk menentukan standar kebutuhan bangunan gedung perkantoran
pertama-tama yang akan dihitung adalah kebutuhan luas ruang kerja dan ruang
penunjang, Total luas ruang kerja ditambah dengan total luas ruang penunjang
disebut dengan luas bangunan netto atau disebut juga dengan bangunan yang dapat
diutilisasi. Selain bangunan yang dapat diultilisasi, bangunan juga memerlukan
ruang (space) seperti untuk tangga, untuk tempat AC, yang disebut sebagai
bangunan yang tidak dapat diutilisasi. Bangunan yang dapat diutilisasi ditambah
dengan bangunan yang tidak diutilisasi itulah yang merupakan luas bangunan bruto
gedung perkantoran. Berikut ini disajikan alur perhitungan yang nampak pada
gambar berikut ini.
31
3.3.Ilustrasi Penyusunan RKBMN Pengadaan
Contoh kasus perhitungan standar kebutuhan luas bangunan gedung kantor
dan luas tanahnya berikut ini. Kuasa Pengguna Barang (KPB) Direktorat A, untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya, merencanakan untuk mengadakan tanah dan
bangunan gedung kantor yang berdiri di atasnya. Kepala kantor Direktorat A adalah
Eselon I. Adapun struktur/komposisi dan jumlah pegawai ideal disajikan dalam
Tabel 11 berikut ini:
Tabel 11
Komposisi/Struktur dan Jumlah Pegawai Ideal
Direktorat A
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) untuk DKI Jakarta adalah 70%. Sesuai dengan
Alur perhitungan yang ada di gambar di atas, kita akan lakukan perhitungan standar
kebutuhan luas ruang kerja, sebagai berikut:
32
Tabel 12
Perhitungan Standar Kebutuhan Luas Ruang Kerja
Kantor Direktorat A
Ruang Standar Luas Jumlah Kebutuhan Luas
(m2) Orang (m2)
1 2 3 4 (2 x 3)
Eselon IA 102 1 102,00
Eselon II A 70 8 560,00
Eselon II B 58 3 174,00
Eselon III 21 32 670,00
Eselon IV 11 128 1.408,00
Fungsional Gol IV 17 5 85,00
Fungsional Gol III 11 8 88,00
Pelaksana 5 768 3.840,00
Jumlah Pegawai 953
Jumlah Luas Ruang kerja 6.927,00
33
No. Jenis Ruang Penunjang Standar Luas Ruang
(m2)
g) 101 – 200 150 m2
pengunjung/hari Dihitung berdasarkan
h) >200 pengunjung/hari analisis kebutuhan ruang
dengan persetujuan
Pengelola Barang
34
Untuk menghitung luas lobby, terlebih dahulu menghitung luas ruang
penunjang selain lobby ditambah dengan total luas ruang kerja, kemudian dikalikan
20% untuk tiap 1.000 m2.
𝑳𝒃𝒏 = ∑(𝑺𝒓 𝒙 𝑷) + ∑ 𝑳𝒇
Dengan demikian luas bangunan netto (Lbn) yang dibutuhkan oleh kantor
Direktorat A adalah standar kebutuhan luas ruang kerja ditambah dengan standar
kebutuhan luas ruang penunjang, yaitu 6.927,00 + 2.243,07 = 9.170,07 m2.
35
- Bangunan sederhana : 20%
- Bangunan bertingkat rendah : 25%
- Bangunan bertingkat tinggi : 30%
Kantor Direktorat A dapat membangun 8 lantai yang dikategorikan bangunan
bertingkat tinggi. Luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi untuk bangunan
bertingkat tinggi adalah 30%. Dengan demikian luas bangunan yang tidak
diutlitilasi untuk kantor Direktorat A adalah 30% dari luas bangunan bruto
sedangkan luas bangunan netto adalah 70% dari luas bangunan bruto. Berapa luas
bangunan yang tidak dapat diutilisasi dapat dihitung bersamaan dengan perhitungan
luas bangunan bruto berikut ini.
𝟗.𝟏𝟕𝟎,𝟎𝟕
Hasilnya = = 13.100,10
𝟎,𝟕𝟎
36
mendirikan bangunan di suatu kawasan tertentu. Untuk menghitung kebutuhan luas
tanah, tahap-tahap yang harus diketahui adalah:
1) Menghitung standar kebutuhan luas bangunan gedung kantor
2) Menentukan standar ketinggian/jumlah lantai bangunan gedung kantor
3) Menghitung luas dasar bangunan
4) Menentukan Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
5) Menghitung standar kebutuhan luas tanah minimum dan maksimum.
Standar kebutuhan luas bangunan gedung kantor dan standar jumlah lantai
bangunan sudah dihitung dan ditentukan di atas, langkah selanjutnya adalah
menentukan luas dasar bangunan dan koefisien dasar bangunan untuk dapat
menghitung luas kebutuhan tanah untuk bangunan gedung kantor.
37
(3). Perhitungan Luas Tanah untuk Bangunan Gedung Kantor
Dengan asumsi KDB adalah 70% untuk wilayah DKI Jakarta, maka luas
minimum tanah untuk kantor Direktorat A yang merupakan gedung bertingkat
dengan 8 lantai dengan luas lantai bangunan dasar = 1.637,50 m2 adalah Luas
bangunan dasar dibagi dengan KDB, yaitu 1.637,50 m2/70% = 2.339,30 m2
(dibulatkan menjadi 2.339 m2). Sedangkan luas maksimum adalah 5 kali luas
minimum, yaitu 5 x 2.339 m2 = 11.695 m2.
Berdasarkan perhitungan SBSK Bangunan Gedung Kantor Direktorat A
sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa SBSK Bangunan Gedung
Kantor adalah sebesar 13.100 m2 dan SBSK Tanah Bangunan Gedung Kantor
adalah luas minimum 2.339 m2 dan luas maksimum sebesar 11.675 m2. Perhitungan
SBSK tersebut akan dijadikan dasar untuk usulan pengadaan bangunan gedung
kantor dan tanahnya yang akan dituangkan dalam Daftar Rencana Kebutuhan
Barang Milik Negara (RKBMN). Bagaimana membuat daftar RKBMN akan
diberikan contoh berikut ini. Daftar RKBMN Bangunan Gedung Kantor dan Tanah
Bangunan Gedung Kantor dengan usulan untuk tanah seluas 10.000 m2 dan
bangunan gedung kantor seluas 13.000 m2 sebagai nampak pada Tabel 15.
Dari Tabel 15 tersebut, dapat kita lihat bahwa KPB Direktorat A mengajukan
usulan BMN berupa tanah seluas 13.000 m2 atau kurang dari jumlah tersebut tetapi
tidak boleh melebihi 13.100 m2 sedangkan gedung dan bangunan seluas 2.339 m2.
Usulan tersebut apabila disetujui mekanisme pemenuhannya dapat dengan
perolehan dengan cara pembelian tanah dan pembangunan gedung dan bangunan
atau pengalihan dari satker lain.
38
Tabel 15
RKBMN Pengadaan Tanah dan Bangunan Gedung Kantor
RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA
(RENCANA PENGADAAN)
KUASA PENGGUNA BARANG DIREKTORAT A
TAHUN 2018
39
Kegiatan Belajar 4:
40
Pemeliharaan BMN dalam status dioperasikan pihak lain menjadi beban pihak
yang mengoperasikan BMN. Untuk itu, KPB tidak dapat mengajukan RKBMN
untuk pemeliharaan BMN tersebut.
d. BMN yang sedang dalam status dilakukan pemanfaatan
BMN dalam status dimanfaatkan menjadi beban pihak yang menyewa,
meminjam pakai dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan, memanfaatkan
BMN dalam bentuk Kerjasama Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
maupun Kerjasama Pemanfaatan (KSP). KPB tidak dapat mengajukan RKBMN
untuk pemeliharaan BMN tersebut, kecuali untuk pemeliharaan BMN dalam
status pinjam pakai dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan.
41
4. Kapal Patroli Polisi 3010101034 2 B Digunakan
pihak lain-
sewa
5. Kapal Patroli Polisi 3010101034 1 RB Rencana
Penghapusan
6. Helycopter 3020501012 1 B Digunakan
sendiri
Selanjutnya, atas BMN tersebut di atas akan dipilih mana BMN yang dapat
diusulkan pemeliharaannya mana yang tidak. BMN yang dapat diusulkan
pemeliharaannya harus memenuhi syarat, 1) status. 2) kondisi dan 3) eksistensi atau
keberadaan. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka BMN yang dapat diusulkan
pemeliharaan dan dimasukkan dalam Daftar RKBMN Pemeliharaan pada Tabel 17
dan Tabel 18 adalah sebagai berikut:
Tabel 17
RKBMN untuk Pemeliharaan Tanah dan Bangunan
RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA
(RENCANA PEMELIHARAAN)
KUASA PENGGUNA BARANG
TAHUN 20xx
42
Tabel 18
RKBMN untuk Pemeliharaan Selain Tanah dan Bangunan
RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA
(RENCANA PEMELIHARAAN)
KUASA PENGGUNA BARANG
TAHUN 20xx
43