Anda di halaman 1dari 45

PELATIHAN E-LEARNING

PERENCANAAN KEBUTUHAN
BARANG MILIK NEGARA

MODUL
PERENCANAAN KEBUTUHAN
BARANG MILIK NEGARA

Oleh:

Widyaiswara Pusdiklat Kekayaan Negara dan


Perimbangan Keuangan

TAHUN 2020
DAFTAR ISI

PENGERTIAN, DASAR HUKUM, DAN JENIS-JENIS PERENCANAAN


KEBUTUHAN BMN 1
1.1. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERENCANAAN KEBUTUHAN BMN 1
1.2. DASAR HUKUM PERENCANAAN KEBUTUHAN BMN 3
1.3. JENIS-JENIS PERENCANAAN KEBUTUHAN BMN 4

MEKANISME PENYUSUNAN, PENELITIAN DAN PENELAAHAN RKBMN 6


1.1. MEKANISME PENYUSUNAN RKBMN 6
2.1. MEKANISME PENELITIAN RKBMN 8
2.2. MEKANISME PENELAAHAN RKBMN 9

PENYUSUNAN RKBMN PENGADAAN 14


3.1. JENIS-JENIS BMN YANG DIUSULKAN DALAM RKBMN PENGADAAN 14
3.2. STANDAR BARANG DAN STANDAR KEBUTUHAN BMN 14
3.3. ILUSTRASI PENYUSUNAN RKBMN PENGADAAN 32

PENYUSUNAN RKBMN PEMELIHARAAN 40


4.1. PENYUSUNAN RKBMN KUASA PENGGUNA BARANG DAN PENGGABUNGAN PADA
PENGGUNA BARANG 40
4.2. ILUSTRASI PENYUSUNAN RKBMN PEMELIHARAAN 41
Kegiatan Belajar 1:

Pengertian, Dasar Hukum, dan Jenis-Jenis Perencanaan


Kebutuhan BMN

1.1.Pengertian dan tujuan Perencanaan Kebutuhan BMN


Pengertian Barang Milik Negara (BMN) sesuai dengan pasal 1 angka 10 dan
11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah. Semua barang yang
digunakan untuk kegiatan operasional dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi,
yang direalisasikan dari belanja barang dan belanja modal yang telah dianggarkan
dalam dokumen anggaran (APBN yang dialokasikan dalam DIPA) disebut sebagai
Barang Milik Negara. Sedangkan, dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, BMN
yang berasal dari perolehan lain yang sah dimaksud dirinci dalam 4 (empat) bagian,
yaitu barang yang:
(a) diperoleh dari hibah/sumbangan/sejenisnya,
(b) diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak,
(c) diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, dan
(d) diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
BMN yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi, baik yang
akan dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau melalui mekanisme pemenuhan
yang lain, harus diusulkan melalui mekanisme perencanaan kebutuhan BMN.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150/PMK.06/2014 tentang
Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara, yang dimaksud dengan perencanaan
kebutuhan BMN adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk
menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang
berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang.

1
Adapun tujuan dari perencanaan kebutuhan BMN, menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, adalah merupakan salah satu dasar bagi
Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah dalam pengusulan
penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar
(baseline) serta penyusunan rencana kerja dan anggaran. Jadi tujuan perencanaan
kebutuhan adalah:
1) menentukan kebutuhan aset (BMN), dimana kegiatan yang dilakukan
adalah:
a. Menjelaskan ruang lingkup, standar, dan tingkat pelayanan yang akan
diberikan oleh organisasi;
b. Menyusun daftar aset yang diperlukan untuk mendukung strategi;
c. Mengidentifikasi sumber daya.
2) Melakukan evaluasi atas aset yang sudah ada, yaitu:
a. Melihat kondisi fisiknya apakah masih dapat digunakan untuk kegiatan
yang akan datang,
b. Melihat dari sisi fungsionalitasnya, apakah barang tersebut mendukung
kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
c. Melihat profil ketersediaannya, yaitu apakah barang tersebut saat ini
dapat siap dipakai untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi,
misalkan sebelumnya barang tersebut dilakukan pemanfaatan dan masa
pemanfaatan akan berakhir tahun yang akan datang.
3) Membandingkan kebutuhan dengan ketersediaan, yaitu:
a. Aset yang ada saat ini (existing) dalam kondisi baik yang masih
diperlukan dan masih mampu (capable) mendukung pelaksanaan tugas
dan fungsi dapat dioperasikan dan dipelihara;
b. Aset yang ada saat ini (existing) masih diperlukan, namun kondisinya di
bawah standar atau rusak ringan, dan dibutuhkan
perbaikan/pemeliharaan agar dapat dioperasikan untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi;
c. Aset yang berlebih (surplus) atau rusak berat dapat dihapuskan;

2
d. Aset yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi
namun belum dimiliki, dapat dilakukan pembelian

Perencanaan kebutuhan BMN merupakan bagian dari alur integrasi Sistem


Pengelolaan Aset dan Sistem Penganggaran. Perencanaan kebutuhan BMN menjadi
dasar dalam penyusunan anggaran periode berikutnya. Oleh karena itu, sebelum
masa penganggaran, perencanaan kebutuhan BMN yang tertuang dalam Daftar
Rencana Kebutuhan BMN (RKBMN) harus telah selesai yang kemudian masuk
dalam siklus penganggaran BMN. Jadi akan ada 2 (dua) siklus, yaitu siklus
perencanaan BMN, yang dilanjutkan dengan siklus penganggaran. Diagram alur
integrasi Sistem Pengelolaan Aset dan Sistem Penganggaran nampak pada Gambar
1.

Gambar 1
Diagram Alur Integrasi Sistem Pengelolaan Aset dan Sistem Penganggaran

1.2.Dasar Hukum Perencanaan Kebutuhan BMN


Untuk melakukan perencanaan kebutuhan BMN, Kuasa Pengguna
Barang/Pengguna Barang dan Pengelola Barang mendasarkan pada beberapa
peraturan, sebagai berikut:

3
1. Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah;
2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150/PMK.06/2014 tentang
Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174/KM.6/2016 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 450/KM.6/2014 tentang Modul
Perencanaan Kebutuhan Barang Milik untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan
Barang Milik Negara;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227/KM.6/2016 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 452/KM.6/2014 tentang Modul
Perencanaan BMN untuk Penelaahan Rencana Kebutuhan BMN;
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 332/KM.6/2016 tentang Modul Tata
Cara Reviu Perencanaan Kebutuhan BMN oleh Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah Kementerian/Lembaga
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 577/KM.6/2017 tentang Modul
Perencanaan Kebutuhan BMN untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan BMN
berupa Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam
Negeri.
7. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.06/2016 tentang
Perubahan atas PMK Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan
Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Tanah dan/atau Bangunan.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015 tentang Standar Barang
dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Alat Angkutan Darat
Bermotor Operasional Jabatan di Dalam Negeri.

1.3.Jenis-Jenis Perencanaan Kebutuhan BMN


Menurut Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2014, perencanaan
kebutuhan BMN meliputi:
1) perencanaan pengadaan BMN,
2) perencanaan pemeliharaan BMN,
3) perencanaan pemanfaatan BMN,

4
4) perencanaan pemindahtanganan BMN, dan
5) perencanaan penghapusan BMN.
Namun, menurut PMK Nomor 150/PMK.06/2014, perencanaan kebutuhan
BMN mencakup: (1) perencanaan pengadaan BMN dan (2) perencanaan
pemeliharaan BMN. Oleh karena itu, pada bahan ajar ini, pembahasan terbatas pada
perencanaan pengadaan BMN dan perencanaan pemeliharaan BMN. Yang
dimaksud dengan perencanaan pengadaan BMN adalah rencana kebutuhan
pengadaan BMN sesuai standar barang dan standar kebutuhan yang telah ditetapkan
dalam peraturan. Sedangkan perencanaan pemeliharaan BBMN adalah rencana
kebutuhan pemeliharaan terhadap BMN yang telah ada/dimiliki sesuai dengan
ketentuan peraturan. Perencanaan pengadaan BMN dan perencanaan pemeliharaan
BMN dapat diusulkan oleh Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang
dengan mengajukan dokumen Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara
(RKBMN). Jadi terdapat 2 (dua) jenis RKBMN, yaitu:
1) RKBMN untuk Pengadaan BMN. RKBMN Pengadaan memuat informasi
berupa unit BMN yang direncanakan untuk dilakukan pengadaan. RKBMN
Pengadaan ini masih terbatas untuk BMN yang sudah memiliki standar barang
dan standar kebutuhan (SBSK); dan
2) RKBMN untuk Pemeliharaan BMN.

5
Kegiatan Belajar 2:

Mekanisme Penyusunan, Penelitian dan Penelaahan RKBMN

1.1.Mekanisme Penyusunan RKBMN


Penyusunan Daftar Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN),
yang terdiri dari RKBMN Pengadaan dan RKBMN Pemeliharaan, dilakukan oleh
Kuasa Pengguna Barang (KPB). KPB Menyusun RKBMN Tingkat Satker dan
menyampaikan RKBMN secara berjenjang kepada Pengguna Barang.
Penyusunan RKBMN Pengadaan berpedoman pada:
1. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-K/L)
Renstra-K/L yaitu dokumen perencanaan yang memuat visi, misi, tujuan,
strategi, kebijakan, serta program dan kegiatan Kementerian/Lembaga untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya serta berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Penggunaan BMN
dilaksanakan untuk memastikan kesinambungan pelaksanaan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga. Untuk itu, diperlukan adanya relevansi atau keterkaitan
pengadaan BMN dengan program dan kegiatan Kementerian/Lembaga yang
konsisten dengan sasaran strategis Kementerian/Lembaga.
2. Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK)
Standar Barang merupakan spesifikasi barang yang telah ditetapkan dalam
peraturan, yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan pengadaan barang
yang diajukan dalam perencanaan kebutuhan Kementerian/Lembaga. Standar
kebutuhan adalah satuan jumlah barang yang dibutuhkan sebagai acuan
perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam perencanaan
Kementerian/Lembaga.
Perencanaan Kebutuhan BMN dimaksudkan sebagai proses evaluasi
hubungan antara kebutuhan BMN sesuai dengan program dan kegiatan
Kementerian/Lembaga dengan ketersediaan BMN. Dalam penyusunan RKBMN
perlu dilakukan koordinasi intensif mulai dari tingkat Satker yaitu Kuasa Pengguna
Barang dengan Kuasa Pengguna Barang sampai dengan tingkat
Kementerian/Lembaga, yaitu antara Pengguna Barang dengan Pengguna Barang.

6
RKBMN tersebut merupakan bagian dari perencanaan dan penganggaran terkait
BMN yang akan menjadi dasar penyusunan RKA-KL. Kementerian/Lembaga
bertanggung jawab atas kesesuaian program, kegiatan, dan keluaran (output)
dengan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga. Apabila pada saat penyusunan
RKBMN sudah ditetapkan Rencana Kebijakan Pemerintah, maka
Kementerian/Lembaga agar mempertimbangkan Rencana Kebijakan Pemerintah
tersebut dan melakukan sinergi antara penyusunan RKBMN dengan penyusunan
indikasi kebutuhan anggaran.
Kuasa Pengguna Barang (KPB) selain menyusun RKBMN pengadaan, juga
Menyusun RKBMN pemeliharaan. KPB Menyusun RKBMN KPB untuk
pemeliharaan BMN berupa:
a. Tanah dan/atau Bangunan;
b. Selain Tanah dan/atau Bangunan, untuk:
1) BMN berupa alat angkutan bermotor
a) Alat Angkutan Darat Bermotor (3.02.01);
b) Alat Angkutan Apung Bermotor (3.02.03); dan
c) Alat Angkutan Bermotor Udara (3.02.05).
2) BMN selain alat angkutan bermotor dengan nilai perolehan per satuan
paling sedikit sebesar Rp100.000.000,00 (serratus juta rupiah)
Pemeliharaan BMN berupa tanah telah termasuk dalam pemeliharaan bangunan di
atasnya. RKBMN untuk pemeliharaan disusun atas BMN tersebut di atas, sesuai
status BMN dalam tahun yang direncanakan untuk dihentikan penggunaannya,
dipindahtangankan, dimanfaatkan, dihapuskan, dan dimusnahkan serta BMN
berupa Konstruksi Dalam Pengerjaan maupun Aset Tak Berwujud Dalam
Pengerjaan dalam tahun yang direncanakan tidak dapat diusulkan pemeliharaannya.
Untuk BMN selain tersebut di atas, mekanisme pengajuan kebutuhan
pemeliharaannya berdasarkan mekanisme penganggaran sesuai ketentuan
peraturan.
Kuasa Pengguna Barang menyusun RKBMN Tingkat satker pada semester I
dua tahun sebelum tahun yang bersangkutan (t-2), dan paling lambat bulan Agustus
t-2, Kuasa Pengguna Barang menyampaikan RKBMN tingkat Satker kepada

7
Pengguna Barang secara berjenjang. Misal untuk Tahun Anggaran 2022,
perencanaan kebutuhan disusun oleh KPB pada Semester 1 Tahun 2020, dan akan
dianggarkan pada penyusunan anggaran Tahun 2021.

2.1.Mekanisme Penelitian RKBMN


Setelah menerima RKBMN Tingkat Satker dari Kuasa Pengguna Barang,
Pengguna Barang melakukan penelitian atas RKBMN yang disampaikan oleh
Kuasa Pengguna Barang secara berjenjang melalui Pembantu Pengguna Barang –
Wilayah (PPB-W) atau Koordinator Wilayah dan PPB-E1/Koordinator Eselon I.
Pengguna Barang bertanggung jawab mutlak bahwa RKBMN telah disusun dengan
mempertimbangkan kesesuaian program, kegiatan, dan keluaran (output) berupa
BMN dengan Renstra-K/L dan optimalisasi existing BMN di lingkungan
Kementerian/Lembaga.
Optimalisasi existing BMN adalah ketersediaan BMN pada satuan kerja di
lingkungan Pengguna Barang, bisa berupa:
(a) sebagian tanah dan/atau bangunan sedang tidak digunakan dan/atau tidak
direncanakan untuk digunakan dalam rangka menyelenggrakan tugas dan
fungsi K/L sebelum berakhirnya tahun ketiga dan/atau tidak direncanakan
untuk dimanfaatkan sebelum berakhirnya tahun kedua terhitung sejak tahun
yang direncanakan;
(b) selain tanah dan/atau bangunan sedang tidak digunakan untuk
menyelenggrakan tugas dan fungsi K/L; dan/atau
(c) jangka waktu pemanfaatan BMN berakhir paling lama 5 (lima) tahun
terhitung mulai tahun yang direncanakan.
Dalam rangka melakukan penelitian, pengguna Barang dapat dibantu oleh
Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kementerian/Lembaga (APIP-K/L), untuk
melakukan review atas kebenaran, kelengkapan, dan kepatuhan penerapan kaidah
Perencanaan Kebutuhan BMN. Dalam hal diperlukan perbaikan/perubahan pada
RKBMN KPB, Pengguna Barang meminta KPB yang bersangkutan melalui PPB-
E1 untuk melakukan perbaikan atas RKBMN KPB atau melakukan perbaikan
secara langsung dalam proses penggabungan RKBMN Pengguna Barang. Tugas

8
APIP K/L tidak menggantikan Pengguna Barang terkait tanggung jawab mutlak
untuk melakukan penelitian terhadap RKBMN.
APIP K/L melakukan reviu terhadap RKBMN untuk membantu
terlaksananya dokumen RKBMN yang bersifat tahunan dan memberi keyakinan
terbatas mengenai kesesuaian RKBMN yang ketentuan penyusunan RKBMN yang
berlaku kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, sehingga dapat menghasilkan
RKBMN yang berkualitas. Reviu RKBMN dilaksanakan setelah proses
penyusunan RKBMN oleh Pengguna Barang atau sebelum disampaikan oleh
Pengguna Barang kepada Pengelola Barang. Pelaksanaan reviu tidak mencakup
pengujian atas pengendalian intern, penetapan risiko pengendalian, dan pengujian
atas bukti yang menguatkan melalui aplikasi, pengamatan, atau konfirmasi dan
prosedur tertentu yang dilaksanakan dalam suatu audit.
Hasil penelitian RKBMN pengadaan tingkat satker akan digunakan oleh
Pengguna Barang untuk Menyusun RKBMN untuk pengadaan BMN tingkat
Pengguna Barang, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. unit satuan kerja (nama dan kode satuan kerja);
b. program;
c. kegiatan;
d. Standar Barang dan Standar Kebutuhan BMN;
e. Daftar barang pada Pengguna BArang dan/atau daftar barang pada Kuasa
Pengguna Barang;
f. Pertimbangan kebutuhan pengadaan; dan usulan skema pengadaan
Pengguna Barang menyampaikan RKBMN untuk pengadaan tingkat
Pengguna Barang kepada Pengelola Barang paling lambat minggu pertama bulan
Januari tahun anggaran sebelumya (t-1).

2.2.Mekanisme Penelaahan RKBMN


2.2.1. Prinsip Penelaahan
Secara garis besar, prosedur penelaahan RKBMN terdiri atas 3 (tiga) tahap
yaitu:
1. tahap persiapan;

9
2. tahap pelaksanaan; dan
3. tahap tindak lanjut Hasil Penelaahan RKBMN dan Perubahan Hasil
Penelaahan RKBMN.
Penelaahan dilakukan terhadap:
1. RKBMN Untuk Pengadaan
Proses penelaahan RKBMN adalah melakukan telaahan terhadap:
a. relevansi program dengan rencana keluaran (output) Kementerian/Lembaga
berupa BMN;
b. optimalisasi penggunaan BMN yang berada pada Pengguna Barang; dan
c. efektivitas penggunaan BMN yang berada pada Pengguna Barang sesuai
peruntukannya dalam rangka menunjang tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga.
2. RKBMN Untuk Pemeliharaan
Proses penelaahan RKBMN adalah melakukan telaahan terhadap data BMN
yang diusulkan rencana pemeliharaannya terkait status dan kondisi barang.

2.2.2. Tahap Persiapan


a) Persiapan Awal
Guna kelancaran pelaksanaan penelaahan RKBMN, masing-masing
Pengelola Barang dan Pengguna Barang melakukan persiapan awal sebagai berikut:
1. Pengelola Barang
a. menyampaikan pemberitahuan jadwal pengajuan RKBMN tingkat
Pengguna Barang beserta kelengkapan dokumen;
b. menyusun jadwal penelaahan dan membuat undangan pelaksanaan forum
penelaahan;
c. menyiapkan kelengkapan dokumen penelaahan sebagaimana diuraikan pada
bagian selanjutnya; dan
d. memeriksa kelengkapan dokumen dan mengisi check-list kelengkapan
dokumen.
2. Pengguna Barang
a. mengajukan RKBMN sesuai jadwal yang telah ditetapkan;

10
b. menyiapkan kelengkapan dokumen penelaahan sebagaimana diuraikan pada
bagian selanjutnya;
c. menugaskan pejabat/pegawai untuk menghadiri forum penelaahan; dan
d. terlibat dalam forum penelaahan dengan jadwal penelaahan yang telah
ditetapkan oleh DJKN.

b) Kelengkapan Dokumen dan Data


1. Pengelola Barang
Pengelola Barang menyiapkan dokumen dan data penelaahan RKBMN
sekurang-kurangnya terdiri atas:
a) RKBMN beserta kelengkapan dokumen sebagaimana diatur dalam PMK
Perencanaan Kebutuhan BMN;
b) check-list kelengkapan dokumen penelaahan RKBMN;
c) daftar barang pada Pengguna Barang yang memuat informasi status
penggunaan BMN, jangka waktu pemanfaatan BMN (apabila sedang
dimanfaatkan), dan kondisi BMN; dan
d) daftar barang pada Pengelola Barang.

2. Pengguna Barang
Pengguna Barang menyiapkan dokumen untuk pelaksanaan kegiatan
penelaahan RKBMN sekurang-kurangnya terdiri atas:
a) Surat Tugas penelaahan RKBMN;
b) Renstra-K/L;
c) RKBMN tingkat Pengguna Barang beserta kelengkapannya sebagai berikut:
1) surat pengantar RKBMN;
2) RKBMN tingkat Kuasa Pengguna Barang;
3) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) atas kebenaran
RKBMN;
4) laporan hasil reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan
dokumen clearance APIP berkenaan dengan laporan hasil reviu APIP atas
RKBMN yang bersangkutan; dan

11
5) Arsip Data Komputer (ADK) RKBMN;
d) daftar barang pada Pengguna Barang yang memuat informasi status
penggunaan BMN, jangka waktu pemanfaatan BMN (apabila sedang
dimanfaatkan), dan kondisi BMN.
e) Hasil pengusulan penyediaan anggaran pada RKBMN tahun sebelumnya.

2.2.3. Tahap Pelaksanaan


Kegiatan pelaksanaan penelaahan RKBMN terdiri atas:
1. Analisis dan validasi data;
2. Forum penelaahan Pengelola Barang dan Pengguna Barang.
a. Analisis dan Validasi Data
1. Kegiatan
Analisis dan validasi data mencakup aspek administratif dan substantif
sebagai berikut:
a) Kegiatan Administratif
Secara prinsip, kegiatan administratif ditujukan untuk pencapaian:
1. kelengkapan dokumen dan data penyampaian RKBMN;
2. legalitas dokumen dan data RKBMN; dan
3. kesesuaian dokumen dan data penelaahan, khususnya antara softcopy
dan hardcopy.
b) Kegiatan Substantif. Kegiatan substantif ditujukan pada pencapaian
prinsip penelaahan RKBMN, yaitu:
1) Relevansi program dengan rencana keluaran (output)
Kementerian/Lembaga berupa BMN;
2) Optimalisasi penggunaan BMN pada Pengguna Barang
3) Efektivitas penggunaan BMN yang ada pada Pengguna Barang
sesuai peruntukannya dalam rangka menunjang tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga;
4) Kebenaran data BMN yang diusulkan rencana pemeliharaannya
terkait status, kondisi barang, dan nilai perolehan per satuan BMN
khusus untuk BMN berupa tanah, bangunan, dan alat agkutan

12
bermotor; dan
5) Tindak lanjut hasil reviu APIP-K/L

2.2.4. Tahap Tindak Lanjut


Pada tahap ini akan menghasilkan Konsep Hasil Penelaahan RKBMN yang
dilengkapi dengan check-list kelengkapan dokumen, kertas kerja, dan catatan hasil
forum penelaahan, yang ditandatangani oleh (1) pejabat eselon II di lingkungan
Pengelola Barang, yang mendapatkan delegasi wewenang dari Pengelola Barang
dan (2) Pengguna Barang.
Konsep Hasil penelaahan kemudian disampaikan kepada petugas penelaah
RKBMN untuk dimintakan tanda tangan dari Pengguna Barang. Setelah konsep
Hasil Penelaahan RKBMN ditandatangani oleh Pengguna Barang, konsep
dimaksud disampaikan kepada Pengelola Barang untuk ditandatangani oleh pejabat
eselon II di lingkungan Pengelola Barang yang mendapatkan delegasi wewenang
dari Pengelola Barang.
Naskah asli Hasil Penelaahan RKBMN yang ditandatangani pejabat eselon II
di lingkungan Pengelola Barang dan Pengguna Barang terdiri atas:
1. Hasil Penelaahan RKBMN Pengadaan. Hasil penelaahan atas RKBMN untuk
pengadaan BMN dituangkan dalam Hasil Penelaahan RKBMN untuk
pengadaan BMN yang sekurang- kurangnya memuat unit satuan kerja (nama
dan kode satuan kerja), jenis dan satuan BMN, peruntukan BMN sesuai
program, dan skema pengadaan BMN. Hasil Penelaahan RKBMN Pengadaan
ditandatangani pejabat eselon II di lingkungan Pengelola Barang dan Pengguna
Barang. Format Hasil Penelaahan RKBMN Untuk Pengadaan adalah sesuai
dengan Form IIA Lampiran II PMK Perencanaan Kebutuhan BMN.
2. Hasil Penelaahan RKBMN Pemeliharaan. Hasil penelaahan atas RKBMN
untuk pemeliharaan BMN dituangkan dalam Hasil Penelaahan RKBMN
Pemeliharaan BMN yang sekurang- kurangnya memuat unit satuan kerja
(nama dan kode satuan kerja) dan jenis dan satuan BMN. Hasil Penelaahan
RKBMN Pemeliharaan ditandatangani pejabat eselon II di lingkungan
Pengelola Barang dan Pengguna Barang.

13
Kegiatan Belajar 3:

Penyusunan RKBMN Pengadaan

3.1.Jenis-Jenis BMN yang diusulkan dalam RKBMN Pengadaan


Rencana pengadaan BMN yang harus disusun dokumen RKBMN adalah
BMN yang telah terdapat Standar Barang dan Standar Kebutuhan, yaitu:
a. Tanah untuk Bangunan Gedung Kantor;
b. Tanah untuk Bangunan Rumah Negara;
c. Bangunan Gedung Kantor;
d. Bangunan Rumah Negara; dan
e. Alat Angkutan Darat Bermotor berupa kendaraan dinas jabatan dalam
negeri.

3.2.Standar Barang dan Standar Kebutuhan BMN


1. Standar Barang
Barang-barang yang diperoleh atas beban APBN merupakan Barang Milik
Negara (BMN), yang diperoleh dengan tujuan untuk digunakan dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. BMN mestinya memiliki
standar spesifikasi yang sama antara kementerian/lembaga yang satu dengan
kementerian/lembaga yang lain. Barang dengan standar yang sama ini, selain untuk
memberikan standardisasi dalam pelayanan, juga untuk memberikan keadilan
dalam penyediaan sarana dan prasarana serta dapat menjadi standar dalam
menentukan anggarannya. Barang yang sama, yang dibutuhkan di Kementerian A
dan juga dibutuhkan di Kementerian B, mestinya memiliki standar yang sama
(misal kualitas, ukuran, bentuk) sehingga dibebankan dalam jenis dan jumlah
belanja yang sama. Ini sangat berguna untuk penghitungan anggaran, di mana untuk
kegiatan yang sama juga membutuhkan fasilitas BMN yang memiliki standar yang
sama.
Dengan demikian, pedoman standar barang sangat dibutuhkan instansi
pemerintah, selain untuk acuan dalam menetapkan barang yang dibutuhkan juga
untuk memudahkan penentuan anggaran belanjanya. Selama ini, untuk menentukan

14
barang seperti apa yang dapat dibeli dalam pengadaan barang, pada kenyataannya
dirasakan cukup sulit oleh satker. Dengan bantuan pedoman standar barang maka
satker akan lebih mudah menentukan spesifikasi barang yang dibutuhkan dan yang
akan diajukan dalam anggaran (RKAKL).
Standar barang merupakan spesifikasi barang yang telah ditetapkan dalam
peraturan, yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan pengadaan barang
yang diajukan dalam perencanaan kebutuhan barang. Dalam pasal 1 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar
Kebutuhan Barang Milik negara berupa Tanah dan/atau Bangunan, definisi standar
barang adalah spesifikasi barang yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan
pengadaan BMN dalam perencanaan kebutuhan kementerian/Lembaga. Standar
barang fokus pada spesifikasi barang, bisa dalam kualitas, bentuk, luas, ataupun
model. Misal, mobil dinas jabatan perorangan bisa ditetapkan standarnya, yang
dibedakan untuk kendaraan dinas jabatan menteri/pejabat negara, pejabat eselon 1,
pejabat eselon 2 dan pejabat eselon 3. Standar kendaraan dinas jabatan perorangan
tersebut diberikan pembedaan antara kendaraan dinas jabatan menteri/pejabat
negara, pejabat eselon 1, pejabat eselon 2 dan pejabat eselon 3, yang dibedakan
berdasarkan spesifikasinya. Kendaraan dinas untuk menteri/pejabat negara
misalnya dapat ditentukan dengan spesifikasi sebagai berikut: bentuk sedan, ukuran
CC maksimal 3.500, interior super lux. Untuk pejabat eselon 1, misalnya ditetapkan
dalam spesifikasi sebagai berikut: bentuk MPV, ukuran cc maksimal 2.500, interior
lux. Demikian seterusnya, di mana akan diberikan pembedaan spesifikasi sesuai
dengan kewajaran fasilitas yang dapat diberikan kepada pejabat negara.
Berkaitan dengan standar barang, saat ini kita telah memiliki peraturan yaitu
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.06/2016 tentang Perubahan
atas PMK Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar
Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Tanah dan/atau Bangunan. Peraturan
Menteri Keuangan tersebut baru mengatur standar untuk barang berupa tanah
dan/atau bangunan, yang itu pun masih terbatas pada Bangunan Gedung Negara
dalam bentuk gedung perkantoran (masih terbatas pada ruang kerja) dan rumah
negara. Meskipun disebutkan lagi berupa bangunan lainnya yang bersifat khusus,

15
tetapi tidak secara rinci standar dari bangunan lainnya yang bersifat khusus tersebut
dijabarkan dalam peraturan. Selain itu juga telah dikeluarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015 tentang Standar Barang dan Standar
Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Alat Angkutan Darat Bermotor
Operasional Jabatan di Dalam Negeri.
Dengan PMK Nomor 248/PMK.06/2011 yang telah diubah dengan PMK
Nomor 7/PMK.06/2016 dan PMK Nomor 76/PMK.06/2015 tersebut, setidaknya
telah ada acuan yang dapat digunakan oleh satker untuk menentukan spesifikasi
barang yang akan diajukan dalam perencanaan kebutuhan meskipun jenis barang
yang ditentukan standarnya masih terbatas pada standar BMN berupa tanah
dan/atau bangunan serta untuk alat angkutan darat bermotor operasional jabaran di
dalam negeri. Seperti apa standar barang yang diatur dalam PMK Nomor
248/PMK.06/2011 yang telah diubah dengan PMK Nomor 7/PMK.06/2016 dan
PMK Nomor 76/PMK,06/2015, di mana jenis-jenis barang yang telah ditetapkan
standarnya melalui Keputusan Menteri Keuangan adalah sebagai berikut:
1) Standar tanah dan/atau bangunan, yaitu:
a. Tanah yang diperuntukkan bagi Bangunan Gedung Negara;
b. Bangunan Gedung Negara, dikelompokkan menjadi:
(1) Gedung Perkantoran; dan
(2) Rumah Negara
2) Standar Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan Dalam
Negeri.

1.1. Standar Bangunan Gedung Perkantoran


Gedung perkantoran adalah bangunan gedung yang seluruh atau sebagian
besar ruangnya difungsikan sebagai ruang perkantoran dan ruang fasilitas
pendukung pelaksanaan fungsi perkantoran, seperti ruang rapat dan ruang
penyimpanan arsip (PMK Nomor 7/PMK/06/2016).
Menurut Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 174/Km.6/2016
tentang Perubahan KMK Nomor 450/KM,6/2014 tentang Modul Perencanaan

16
Kebutuhan BMN untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan BMN bahwa kebutuhan
jumlah unit Bangunan Gedung Kantor dibatasi yaitu:
(1) Kantor direktorat yaitu kantor instansi pusat dengan pejabat tertinggi yang
menempati secara permanen adalah eselon II dapat memiliki gedung
tersendiri apabila luas lantai bruto lebih dari 1.000 m2 (seribu meter
persegi).
(2) Kantor instansi vertikal dengan struktur pejabat tertinggi yang menempati
secara permanen adalah eselon III atau eselon IV adalah satu bangunan
untuk setiap unit.
Kebutuhan unit selebihnya adalah berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
Klasifikasi bangunan gedung perkantoran, standar luas ruang kerja. Standar luas
ruang penunjang, standar ketinggian gedung bangunan perkantoran dan standar luas
bangunan gedung perkantoran dengan memperhitungkan kebutuhan unit bangunan,
standar luas ruangan kerja, standar luas ruang penunjang, dan standar ketinggian
gedung, akan diuraikan berikut ini.

a. Klasifikasi Bangunan Gedung Perkantoran berdasarkan Penggunanya


Bangunan Perkantoran berdasarkan penggunanya, terdiri atas:
1. Tipe A
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe A adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh lembaga tinggi negara.
Seperti gedung MPR/DPR.
2. Tipe B
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe B adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Kantor Kementerian
Koordinator, kementerian negara, pejabat Setingkat Menteri, dan
lembaga pemerintah Non kementerian dengan wilayah kerja nasional.
3. Tipe C
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe C adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh instansi pemerintah
pusat dengan pejabat tertinggi setingkat eselon I. Contoh: (a) gedung

17
kantor setingkat Direktorat Jenderal; (b) Gedung kantor badan di bawah
Kementerian.
4. Tipe D
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe D adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Instansi pemerintah
pusat dengan pejabat tertinggi setingkat eselon II. Contoh: (a) Gedung
Kantor Direktorat; (b) Gedung kantor perwakilan; (c) gedung kantor
Wilayah; (d) Gedung Kantor balai Besar.
5. Tipe E1
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe E1 adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh instansi vertikal
pemerintah pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon III. Contoh:
(a) Gedung kantor Pelayanan; (b) gedung kantor daerah; (c) Gedung
kantor Balai.
6. Tipe E2
Bangunan gedung perkantoran yang termasuk Tipe E2 adalah gedung
perkantoran yang ditempati secara permanen oleh instansi vertikal
pemerintah pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon IV. Contoh:
(a) Gedung kantor Urusan Agama; (b) Gedung kantor Unit Pelayanan
Teknis (UPT).
b. Standar Luas Bangunan Gedung Perkantoran
Bangunan gedung perkantoran terdiri dari ruang kerja, ruang penunjang, dan
bangunan yang tidak dapat diutilisasi. Luas bangunan gedung kantor atau yang
disebut dengan luas bangunan bruto (Lbb) adalah jumlah dari luas ruang kerja
ditambah dengan luas ruang penunjang (disebut dengan luas bangunan netto = Lbn)
ditambah dengan Luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi (Lu). Rumus yang
digunakan untuk menghitung luas bangunnan bruto (Lbb) adalah sebagai berikut:

𝐋𝐛𝐧
𝑳𝒃𝒃 =
(𝟏 − 𝐋𝐮)

18
Ket: Lbb = luas bangunan bruto
Lbn = luas bangunan netto
Lu = luas bangunan yang tidak dapat dapat diultilisasi
Sedangkan untuk menghitung luas bangunan netto (Lbn) menggunakan
rumusan sebagai berikut:

𝑳𝒃𝒏 = ∑(𝑺𝒓 𝒙 𝑷) + ∑ 𝑳𝒇

Ket: Lbn = luas bangunan netto


Sr = standar luas ruang kerja
P = jumlah pegawai
Lf = luas ruang fasilitas
Perhitungan luas bangunan gedung kantor membutuhkan input data pegawai
yang akan menempati bangunan gedung kantor. Data pegawai tersebut merupakan
komposisi/struktur dan jumlah pegawai ideal berdasarkan peraturan perundang-
undangan mengenai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku. Apabila
komposisi/struktur dan jumlah pegawai ditetapkan/diputuskan berbeda dengan
komposisi/struktur dan jumlah pegawai ideal berdasarkan peraturan perundang-
undangan mengenai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku, maka
digunakan komposisi/struktur dan jumlah pegawai mana yang lebih besar. Berikut
ini akan dijabarkan standar untuk luas ruang kerja, standar luas ruang penunjang
dan standar bangunan yang tidak dapat diutilisasi untuk menghitung standar luas
bangunan gedung kantor.

b.1. Standar Luas Ruang Kerja


Standar luas ruang kerja (Sr) digunakan sebagai acuan untuk menentukan
jumlah luas keseluruhan ruangan yang akan menjadi luas netto bangunan. Standar
luas ruang kerja sebagaimana diatur dalam Lampiran I PMK Nomor
7/PMK.06/2016 adalah sebagai berikut:

19
Tabel 1
Standar Luas Ruang Kerja

No. Jabatan Luas Ruang


(m2)
1. Menteri 223
2. Wakil Menteri 102
3. Eselon IA 102
4. Eselon IB 79
5. Eselon IIA 70
6. Eselon IIB 58
7. Eselon III kepala kantor 37
8. Eselon III bukan kepala kantor 21
9. Eselon IV kepala kantor 31
10. Eselon IV bukan kepala kantor 11
11. Pejabat Fungsional Gol IV 17
12. Pejabat Fungsional Gol III ke bawah 11
13. Eselon V/Pelaksana 5

B.2. Standar Luas Ruang Penunjang


Ruang penunjang terdiri dari ruang rapat utama, ruang pertemuan/aula, ruang
arsip, ruang fungsional, toilet, ruang server, lobby/fasilitas lain dan ruang
pelayanan. Ruang rapat utama dapat disediakan untuk kementerian, Eselon I, dan
Eselon II. Ruang Pertemuan/Aula dapat disediakan untuk kementerian/lembaga,
Unit Eselon I, Unit Eselon II kepala kantor dan Unit Eselon III kepala kantor. Ruang
fungsional merupakan ruang yang dapat digunakan sesuai kebutuhan
kementerian/lembaga yang bersangkutan, di antaranya studio, ruang operator
komputer, musholla, gudang dan ruang laktasi. Luas ruang arsip, ruang fungsional,
toilet, dan ruang server didasarkan pada jumlah pegawai yang ideal dari instansi
yang bersangkutan. Sedangkan ruang pelayanan didasarkan pada target layanan
(pengunjung) per hari. Standar luas ruang penunjang, nampak dalam Tabel 2.

b.3. Standar Luas Bangunan yang Tidak Dapat Diutilisasi


Bangunan yang tidak dapat diutilisasi adalah bagian bangunan yang tidak
dapat difungsikan sebagai ruangan, merupakan bagian yang berkaitan dengan
fasilitas gedung seperti tangga, lift, dan fasilitas sejenis. Standar luas bangunan
yang tidak dapat dapat diutilisasi, besarannya disesuaikan dengan klasifikasi

20
bangunan tersebut berdasarkan tingkat kompleksitasnya. Berdasarkan tingkat
kompleksitasnya, bangunan dibedakan atas:
1. Bangunan Sederhana
2. Bangunan Tidak Sederhana, terdiri dari
a. Bangunan Tidak Sederhana Bertingkat Rendah, dan
b. Bangunan Tidak Sederhana Bertingkat Tinggi.

Tabel 2
Standar Ruang penunjang

No. Jenis Ruang Penunjang Standar Luas Ruang (m2)


1. Ruang rapat Utama kementerian 140
2. Ruang rapat Utama Eselon I 90
3. Ruang rapat Utama Eselon II 40
4. Ruang Pertemuan/Aula
kementerian/lembaga 400
5. Ruang Pertemuan/Aula padaUnit
Eselon I 150
6. Ruang Pertemuan/Aula pada Unit
Eselon II kepala kantor 100
7. Ruang Pertemuan/Aula pada Unit
Eselon III kepala kantor 80
2
8. Ruang arsip 0,4 m x jumlah pegawai
9. Ruang fungsional 0,8 m2 x jumlah pegawai
10. Toilet 5 m2/25 orang pegawai
11. Ruang server 0,02 m2 x jumlah pegawai, minimal 2
m2
12. Lobby/fasilitas lain 20 m2 /1.000 m2 luas netto yang tidak
termasuk lobby
13. Ruang Pelayanan:
a) <25 pengunjung/hari 25 m2
b) 25 – 100 pengunjung/hari 75 m2
c) 101– 200 pengunjung/hari 150 m2
d) >200 pengunjung/hari Dihitung berdasarkan analisis
kebutuhan ruang dengan persetujuan
Pengelola Barang

21
Tabel 3
Standar Ruang Bangunan yang Tidak Dapat Diutilisasi (Lu)

No. Klasifikasi bangunan Lu (%)


1. Bangunan Sederhana 20
2. Bangunan Tidak Sederhana Bertingkat Rendah 25
3. Bangunan Tidak Sederhana Bertingkat Tinggi 30

b.4. Standar Ketinggian Bangunan Gedung Perkantoran


Standar ketinggian/jumlah lantai Bangunan Gedung Perkantoran adalah
berdasarkan struktur pejabat tertinggi yang direncanakan akan menempati secara
permanen Bangunan Gedung Kantor yang bersangkutan. Standar ketinggian
Bangunan Gedung Perkantoran dalam PMK Nomor 7/PMK.06/2016, ditetapkan
sebagai berikut:
1) Gedung perkantoran Tipe A dan Tipe B paling tinggi 20 (dua puluh) lantai;
2) Gedung perkantoran Tipe C dan Tipe D paling tinggi 8 (delapan) lantai;
3) Gedung perkantoran Tipe E1 paling tinggi 4 lantai; dan
4) Gedung perkantoran Tipe E2 paling tinggi 2 (dua) lantai.

1.2. Standar Luas Tanah untuk Bangunan Gedung Kantor


Standar luas tanah untuk Bangunan Gedung Kantor merupakan batasan luas
tanah yang dibutuhkan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk
membangun unit bangunan gedung kantor beserta fasilitas pendukungnya dalam
rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang. Standar luas tanah untuk bangunan gedung kantor ditetapkan dengan
standar luas minimum dan standar luas maksimum.
Standar luas minimum tanah merupakan hasil perhitungan luas lantai dasar
bangunan dibagi dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang berlaku di daerah
setempat dengan tetap memperhatikan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).
Sedangkan standar luas maksimum tanah adalah hasil perhitungan lima kali luas
lantai dasar bangunan dibagi dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang
berlaku di daerah setempat dengan tetap memperhatikan Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR).

22
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah perbandingan antara luas lantai
dasar bangunan dengan luas semua lahan yang dimiliki (termasuk luas bangunan).
KDB dituliskan dalam bentuk persentase. Pemerintah daerah membuat kebijakan
dalam tata bangunan kota, dalam hal ini pemerintah memberikan standardisasi
kegiatan pembangunan didaerahnya (pembangunan rumah, toko, hotel, dsb.),
sebagai bentuk penyelarasan dengan alam, yakni untuk menghitung kemungkinan
terbaik air hujan yang turun dapat diserap oleh tanah, dan juga intensitas cahaya
matahari yang dibutuhkan oleh tumbuhan sekitar.
Luas lantai dasar bangunan adalah luas bangunan yang menempel di atas
tanah. Untuk menghitung luas tanah untuk bangunan harus diperoleh data besaran
luas lantai dasar bangunan dan data Koefisien Dasar Bangunan yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah setempat. Luas lantai dasar bangunan dapat dihitung
dengan membagi luas bangunan bruto dengan jumlah lantai yang dikehendaki dari
bangunan gedung yang bersangkutan.
Rumus untuk menghitung Luas lantai dasar bangunan adalah:

𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐛𝐫𝐮𝐭𝐨


𝑳𝒖𝒂𝒔 𝒍𝒂𝒏𝒕𝒂𝒊 𝒅𝒂𝒔𝒂𝒓 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏𝒂𝒏 = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒍𝒂𝒏𝒕𝒂𝒊 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏𝒂𝒏

Sedangkan rumus untuk menghitung luas minimum tanah untuk bangunan gedung
kantor adalah:

𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐥𝐚𝐧𝐭𝐚𝐢 𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧


𝑳𝒖𝒂𝒔 𝒎𝒊𝒏𝒊𝒎𝒖𝒎 𝒕𝒂𝒏𝒂𝒉 = 𝑲𝒐𝒆𝒇𝒊𝒔𝒊𝒆𝒏 𝑫𝒂𝒔𝒂𝒓 𝑩𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏𝒂𝒏 (𝑲𝑫𝑩)

Dengan demikian rumus luas maksimum tanah untuk bangunan gedung


kantor adalah:

Luas maksimum tanah = 5 x luas minimum tanah

23
1.3. Bangunan Rumah Negara
Menurut PMK Nomor 7/PMK.06/2016, Bangunan Rumah Negara
merupakan bangunan yang difungsikan sebagai tempat tinggal, yang
dikelompokkan berdasarkan tingkat jabatan dan tingkat kepangkatan penghuninya.
a. Klasifikasi Bangunan Rumah Negara
Bangunan Rumah Negara terdiri dari beberapa tipe, sebagai berikut:
1. Tipe Khusus
Rumah Negara Tipe Khusus adalah rumah negara yang diperuntukkan
bagi:
(a) Menteri;
(b) Pimpinan lembaga pemerintahan non kementerian;
(c) Pimpinan lembaga tinggi negara;
(d) Pejabat lain yang setingkat.
2. Tipe A
Rumah Negara Tipe A merupakan rumah negara yang diperuntukkan
bagi:
(a) Wakil Menteri;
(b) Sekretaris jenderal/Inspektur Jenderal/Direktur Jenderal;
(c) Kepala/Ketua Badan;
(d) Deputi;
(e) Pejabat setingkat Eselon I.
3. Tipe B
Rumah Negara Tipe C adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(a) Direktur/Kepala Pusat/Inspektur/Kepala kantor Wilayah/Asisten
Deputi;
(b) Pejabat setingkat Eselon II;
(c) Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/d dan IV/e.
4. Tipe C
Rumah Negara Tipe C adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(a) Kepala Sub Direktorat/Kepala bagian/Kepala Bidang/Kepala kantor
Pelayanan;

24
(b) Pejabat setingkat Eselon III;
(c) Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/a sampai dengan IV/c.
5. Tipe D
Rumah Negara Tipe D adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(b) Kepala seksi/kepala subbagian/kepala subbidang;
(c) Pejabat setingkat Eselon IV;
(d) Pegawai Negeri Sipil golongan III/a sampai dengan III/d.
6. Tipe E
Rumah Negara Tipe E adalah rumah negara yang diperuntukkan bagi:
(b) Kepala sub seksi;
(c) Pejabat setingkat Eselon V;
(d) Pegawai Negeri Sipil golongan II/d ke bawah.

b. Standar Bangunan Rumah Negara


Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang mengusulkan jumlah bangunan
rumah negara, keluasan tanah dan keluasan bangunan dalam perencanaan
kebutuhan BMN berdasarkan pembahasan bersama antara Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang bersangkutan dengan Kementerian yang
bertanggung jawab di bidang pekerjaan umum. Ketentuan jumlah maksimal
rumah negara untuk masing-masing satuan kerja dihitung berdasarkan
formula sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4
Jumlah Kebutuhan Maksimal Rumah Negara

No. Eselon Jumlah Kebutuhan (unit)


1. Pejabat Eselon I Sesuai jumlah jabatan eselon I
2. Pejabat Eselon II Sesuai jumlah jabatan eselon II
3. Pejabat Eselon III Sesuai jumlah jabatan eselon III
4. Pejabat Eselon IV Sesuai jumlah jabatan eselon IV
5. Pejabat Eselon V dan Pelaksana Sesuai jumlah jabatan eselon V +
(25% x Jumlah Pelaksana)

25
Standar luas maksimum bangunan rumah negara ditentukan dengan luas
sebagaimana nampak pada Tabel 5.

Tabel 5
Standar Luas Bangunan Rumah Negara

No. Tipe Rumah Negara Standar Luas


Bangunan (m2)
1. Tipe Khusus 400
2. Tipe A 250
3. Tipe B 120
4. Tipe C 70
5. Tipe D 50
6. Tipe E 36

1.4. Standar Luas Maksimum Tanah untuk Bangunan Rumah Negara


Standar luas maksimum tanah untuk bangunan rumah negara ditentukan
dengan luas sebagaimana nampak pada Tabel 6. Namun, apabila besaran luas tanah
telah diatur dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) pemerintah daerah
setempat maka standar luas tanah dapat disesuaikan dengan mengacu pada besaran
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam RUTR pemerintah daerah setempat.
Apabila rumah negara dibangun dalam bentuk bangunan gedung bertingkat/rumah
susun, luas tanah disesuaikan dengan kebutuhan sesuai dengan RUTR.
Tabel 6
Standar Luas maksimum Tanah untuk Bangunan Rumah Negara

No. Tipe Rumah Negara Standar Luas maksimum


tanah (m2)
1. Tipe Khusus 1.000
2. Tipe A 600
3. Tipe B 350
4. Tipe C 200
5. Tipe D 120
6. Tipe E 100

Tanah untuk rumah negara dapat memiliki luas melebihi batas maksimum
sebagaimana pada Tabel 6, dengan toleransi maksimum yang didasarkan pada
lokasi dari rumah negara tersebut, yaitu:

26
a. Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta : 20% (dua puluh persen)
b. Ibukota Provinsi : 30% (tiga puluh persen)
c. Ibukota Kabupaten/Kota : 40% (empat puluh persen)
d. Pedesaan : 50% (lima puluh persen)

1.5. Standar Barang Berupa Alat Angkutan Bermotor Dinas


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015 tentang Standar
Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Alat Angkutan Darat
Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri mengatur khusus standar alat
angkutan dinas bermotor jabatan, sedangkan standar alat angkutan bermotor dinas
operasional khusus di lingkungan kementerian keuangan di atur dengan Surat
Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-9/MK.01/2015 tentang Jumlah dan
Spesifikasi Kebutuhan Rumah Negara dan Kendaraan Dinas di Lingkungan
Kementerian Keuangan.

a. Standar Kendaraan dinas Jabatan


Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 21/KMK.01/2012 tentang
Pedoman Pengamanan dan Pemeliharaan Barang Milik Negara di Lingkungan
Kementerian Keuangan, kendaraan dinas bermotor terdiri dari kendaraan dinas
operasional jabatan dan kendaraan dinas operasional. Kendaraan dinas operasional
jabatan yaitu kendaraan bermotor perorangan milik negara yang digunakan untuk
pelaksanaan tugas pejabat negara dan pejabat struktural. Kendaraan dinas ini
meliputi kendaraan dinas bermotor roda empat dan kendaraan dinas bermotor roda
dua. Kendaraan dinas bermotor roda empat digunakan oleh menteri, wakil menteri,
pejabat eselon I, pejabat eselon II, pejabat eselon III sebagai kepala kantor, dan
pejabat eselon IV sebagai kepala kantor dengan wilayah kerja minimal 1 (satu)
kabupaten/kota. Sedangkan kendaraan dinas bermotor roda dua digunakan oleh
pejabat Eselon IV sebagai kepala kantor, yang wilayah kerja kurang dari 1 (satu)
kabupaten/kota. Adapun kendaraan dinas operasional adalah kendaraan dinas selain
kendaraan dinas operasional jabatan.

27
Standar untuk kendaraan dinas jabatan ini juga ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan sebagai acuan dalam mengusulkan kebutuhan berupa kendaraan
dinas jabatan yaitu dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015
tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Alat
Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri
sebagaimana nampak pada Tabel 7.

Tabel 7
Standar Kendaraan Dinas Operasional Jabatan
No. Kualifikasi Jumlah Jenis Kapasitas Silinder SBM
Mesin
1 A 2 Sedan/SUV 3.500 cc 6 -
(Menteri/setingkat)
2 A 1 Sedan/SUV 3.500 cc 6 -
(Wamen/setingkat)
B (Eselon I Sedan 2.500 cc 4
3 1
a/setingkat) SUV 3.000 cc 6 702 –
4 C (Eselon I 1 Sedan 2.000 cc 4 970
b/setingkat)
5 D (Eselon II 1 SUV 2.500 cc 4
a/setingkat) 400 –
6 E (Eselon II 1 SUV 2.000 cc 4 430
b/setingkat)
F (Eselon 2.000 cc 4
7 III/setingkat, 1 MPV 2.500 cc 4
kepala kantor
200 –
8 G (Eselon
500
IV/setingkat,
1 MPV 1.500 cc 4
kepala kantor > 1
kab/kota
9 G (Eselon 30 –
IV/setingkat, Sepeda 42
1 225 cc 1
kepala kantor ≤ 1 Motor
kab/kota
Keterangan:
SBM: Standar Biaya Maksimum (dalam jutaan rupiah)

Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Jabatan ini khusus di lingkungan


Kementerian Keuangan yang diatur l dalam Surat Edaran Nomor 9/MK.1/2015,
selain kualifikasi, jumlah, jenis, kapasitas mesin, silinder dan Standar Biaya

28
Maksimum, juga ditetapkan standar untuk spesifikasi/kelengkapan sebagaimana
pada Tabel 8 Berikut ini.
Tabel 8
Standar Spesifikasi/Kelengkapan Kendaraan Dinas Operasional Jabatan

No. Kualifikasi Jenis Spesifikasi


1 A (Menteri/setingkat) Sedan/SUV Full specifications
2 A (Wamen/setingkat) Sedan/SUV Full specifications
Sedan ABS (Anti-lock Braking
SUV System), EBD (Electronic
3 B (Eselon I a/setingkat)
Brakesforce Distribution), full
airbag, parking sensor
4 C (Eselon I b/setingkat) Sedan ABS, full airbag, parking
sensor, 4 x 2
5 D (Eselon II a/setingkat) SUV ABS, full airbag, parking
sensor, 4 x 2
6 E (Eselon II b/setingkat) SUV full airbag, parking sensor, 4
x2
F (Eselon III/setingkat,
7 MPV airbag, parking sensor
kepala kantor
8 G (Eselon IV/setingkat,
kepala kantor > 1 MPV Kelengkapan standar
kab/kota
9 G (Eselon IV/setingkat,
Sepeda Mesin 4 tak, rem double
kepala kantor ≤ 1
Motor cakram
kab/kota

b. Standar Kendaraan dinas Operasional


Standar alat angkutan darat bermotor dinas operasional khusus di
lingkungan kementerian keuangan di atur dengan Surat Edaran Menteri Keuangan
Nomor SE-9/MK.01/2015 tentang Jumlah dan Spesifikasi Kebutuhan Rumah
Negara dan Kendaraan Dinas di Lingkungan Kementerian Keuangan yang nampak
pada Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 9
Standar Kendaraan Dinas Operasional
No. Jenis Kapasitas Mesin Jumlah Kelengkapan
Silinder Tambahan
1. MPV 1.500 cc 4 Kelengkapan standar
2. Sepeda 225 cc 1 Mesin 4 tak, rem
Motor double cakram

29
Tabel 10
Jumlah Kebutuhan Maksimal Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas
Operasional

Jumlah Kebutuhan
No. Eselon (unit)
Roda 4 Roda 2
1. Setingkat Eselon I/Kantor Pusat A A
2. Setingkat Eselon II/kantor wilayah A A
3. Setingkat Eselon III/kantor pelayanan ½B B
4. Setingkat Eselon IV/kantor pelayanan - B+C

Keterangan:
A = Jumlah Jabatan Eselon III
B = Jumlah Jabatan Eselon IV
C = Jumlah jabatan Eselon V (bila ada)

2. Standar Kebutuhan dan Perencanaan Kebutuhan Pengadaan BMN


Apa dan berapa Barang Milik Negara yang dibutuhkan oleh Kementerian
Negara/Lembaga pada tahun anggaran tertentu dalam penyelenggaraan tugas dan
fungsi pemerintahan, mestinya dapat ditentukan didasarkan pada rencana strategis
(renstra) Kementerian Negara/Lembaga tahun yang bersangkutan dengan
berpedoman pada standar barang yang telah ditetapkan. Untuk mengajukan rencana
pengadaan Barang Milik Negara (BMN) harus dihitung standar kebutuhan dari
BMN yang bersangkutan. Standar kebutuhan adalah satuan jumlah barang yang
dibutuhkan sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam
perencanaan Kementerian/Lembaga.
Pengajuan kebutuhan BMN berupa gedung perkantoran harus didasarkan
pada standar bangunan gedung perkantoran. Seluruh kebutuhan ruang kerja dan
fasilitasnya, berupa ruang penunjang dan bangunan yang tidak dapat diutilisasi
harus dihitung dengan cermat sesuai dengan standar barang agar kebutuhan ruangan
tercukupi dengan baik dan memadai.
Perhitungan luas Bangunan Gedung Kantor memerlukan input data pegawai
yang akan menempati Bangunan Gedung Kantor yang diusulkan kebutuhan

30
pengadaannya. Data kepegawaian dimaksud berturut-turut merupakan
komposisi/struktur dan jumlah pegawai ideal berdasarkan peraturan perundang-
undangan mengenai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku. Dalam hal
komposisi/struktur dan jumlah pegawai ditetapkan/diputuskan berbeda dengan
peraturan perundang-undangan mengenai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang
berlaku, maka digunakan komposisi/struktur dan jumlah pegawai mana yang lebih
besar. Komposisi/struktur dan jumlah pegawai akan menentukan standar luas
bangunan maksimum yang dapat dipertimbangkan. Luas bangunan sesuai standar
telah mencakup ruang penunjang yang terdiri atas ruang rapat utama, ruang
pertemuan/aula, ruang arsip, ruang fungsional, toilet, ruang server, lobby/fasilitas
lain, dan ruang pelayanan.
Untuk menentukan standar kebutuhan bangunan gedung perkantoran
pertama-tama yang akan dihitung adalah kebutuhan luas ruang kerja dan ruang
penunjang, Total luas ruang kerja ditambah dengan total luas ruang penunjang
disebut dengan luas bangunan netto atau disebut juga dengan bangunan yang dapat
diutilisasi. Selain bangunan yang dapat diultilisasi, bangunan juga memerlukan
ruang (space) seperti untuk tangga, untuk tempat AC, yang disebut sebagai
bangunan yang tidak dapat diutilisasi. Bangunan yang dapat diutilisasi ditambah
dengan bangunan yang tidak diutilisasi itulah yang merupakan luas bangunan bruto
gedung perkantoran. Berikut ini disajikan alur perhitungan yang nampak pada
gambar berikut ini.

31
3.3.Ilustrasi Penyusunan RKBMN Pengadaan
Contoh kasus perhitungan standar kebutuhan luas bangunan gedung kantor
dan luas tanahnya berikut ini. Kuasa Pengguna Barang (KPB) Direktorat A, untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya, merencanakan untuk mengadakan tanah dan
bangunan gedung kantor yang berdiri di atasnya. Kepala kantor Direktorat A adalah
Eselon I. Adapun struktur/komposisi dan jumlah pegawai ideal disajikan dalam
Tabel 11 berikut ini:
Tabel 11
Komposisi/Struktur dan Jumlah Pegawai Ideal
Direktorat A

Satker : Kantor Direktorat A


Eselon I : Direktorat A (xx)
Kementerian : Keuangan (015)
Lokasi : Jakarta Pusat
No. Komposisi/Struktur Pegawai Jumlah
(orang)
1. Dirjen (Eselon I a) sebagai kepala kantor 1
2. Sekretaris Ditjen (Eselon II a) 1
3. Direktur (Eselon II a) 7
4. Tenaga Pengkaji (Eselon I b) 3
5. Eselon III 32
6. Eselon IV 128
7. Pejabat Fungsional Golongan IV 5
8. Pejabat Fungsional Golongan III 8
9. Pelaksana 768
10. Target layanan per hari 200

Koefisien Dasar Bangunan (KDB) untuk DKI Jakarta adalah 70%. Sesuai dengan
Alur perhitungan yang ada di gambar di atas, kita akan lakukan perhitungan standar
kebutuhan luas ruang kerja, sebagai berikut:

a. Perhitungan Standar Kebutuhan Luas Ruang Kerja


Sesuai dengan standar luas ruangan kerja yang telah dijelaskan dalam
Kegiatan Belajar I dan data komposisi/struktur dan jumlah pegawai ideal yang akan
menempati bangunan gedung kantor Direktorat A, maka dapat dihitung standar
kebutuhan kuas ruang kerja sebagaimana pada Tabel 12.

32
Tabel 12
Perhitungan Standar Kebutuhan Luas Ruang Kerja
Kantor Direktorat A
Ruang Standar Luas Jumlah Kebutuhan Luas
(m2) Orang (m2)
1 2 3 4 (2 x 3)
Eselon IA 102 1 102,00
Eselon II A 70 8 560,00
Eselon II B 58 3 174,00
Eselon III 21 32 670,00
Eselon IV 11 128 1.408,00
Fungsional Gol IV 17 5 85,00
Fungsional Gol III 11 8 88,00
Pelaksana 5 768 3.840,00
Jumlah Pegawai 953
Jumlah Luas Ruang kerja 6.927,00

b. Perhitungan Standar Kebutuhan Luas Ruang Penunjang


Ruang penunjang dihitung berdasarkan jumlah seluruh pegawai. Ruang
penunjang sebagaimana diatur dalam PMK 7/PMK.06/2016 yang dibutuhkan untuk
perhitungan kebutuhan luas ruang penunjang pada Direktorat A adalah
sebagaimana dihitung pada Tabel 13.
Tabel 13
Standar Kebutuhan Luas Ruang Penunjang
Kantor Direktorat A
No. Jenis Ruang Penunjang Standar Luas Ruang
(m2)
1. Ruang Rapat Utama Eselon I 90 m2
2. Ruang Rapat Utama Eselon II 40 m2
3. Ruang Aula Eselon I 150 m2
4. Ruang arsip 0,4 m2 x jumlah pegawai
5. Ruang fungsional 0,8 m2 x jumlah pegawai
6. Toilet 5 m2/25 orang pegawai
7. Ruang server 0,02 m2 x jumlah pegawai
minimal 2 m2
8. Lobby/fasilitas lain 20 m2 /1.000 m2 luas netto
sebelum lobby
9. Ruang Pelayanan:
e) <25 pengunjung/hari 25 m2
f) 25 – 100
pengunjung/hari 75 m2

33
No. Jenis Ruang Penunjang Standar Luas Ruang
(m2)
g) 101 – 200 150 m2
pengunjung/hari Dihitung berdasarkan
h) >200 pengunjung/hari analisis kebutuhan ruang
dengan persetujuan
Pengelola Barang

Ruang rapat utama dapat diajukan untuk kantor kementerian/lembaga, kantor


eselon I dan kantor Eselon II meskipun berada pada area kantor yang sama. Ruang
pertemuan/aula hanya bisa diajukan untuk kantor kementerian/lembaga, kantor
eselon I meskipun berada di area kantor yang sama. Sedangkan untuk kantor Eselon
II dan Eselon III, hanya bisa mengajukan ruang pertemuan/aula apabila
kedudukannya adalah sebagai kepala kantor.
Dengan mendasarkan pada standar luas ruang penunjang tersebut, maka
standar kebutuhan luas ruang penunjang untuk kantor Direktorat A dapat dihitung
sebagaimana Tabel 14 berikut ini:
Tabel 14
Perhitungan Standar Kebutuhan Luas Ruang Penunjang
Kantor Direktorat A

No. Jenis Ruang Perhitungan Standar


Penunjang Kebutuhan (m2)
1. Ruang Rapat Utama 1 x 90 90,00
Eselon I
2. Ruang rapat Utama 8 x 40 320,00
Eselon II
3. Ruang Aula/pertemuan 1 x 150 150,00
Eselon I
4. Ruang arsip 0,4 m2 x 953 381,20
5. Ruang fungsional 0,8 x 953 762,40
6. Toilet 5 m2 x 953/25 190,60
7. Ruang server 0,02 m2 x 953 19,06
8. Ruang Pelayanan untuk 150,00
pelayanan 200 orang/hari
2.063,26
2
9. Lobby/fasilitas lain 20 m x 179,81
8.990,26*/1.000
Luas Ruang Penunjang 2.243,07
*6.927,00 + 2.063,26 = 8.990,26

34
Untuk menghitung luas lobby, terlebih dahulu menghitung luas ruang
penunjang selain lobby ditambah dengan total luas ruang kerja, kemudian dikalikan
20% untuk tiap 1.000 m2.

c. Perhitungan Standar Kebutuhan Luas Bangunan Netto


Luas bangunan netto adalah seluruh luas ruangan yang dibutuhkan untuk
ruangan kerja beserta fasilitasnya berupa ruang penunjang, dengan rumus sebagai
berikut:

𝑳𝒃𝒏 = ∑(𝑺𝒓 𝒙 𝑷) + ∑ 𝑳𝒇

Ket: Lbn = luas bangunan netto


∑(𝑺𝒓 𝒙 𝑷) = standar kebutuhan luas ruang kerja
∑ 𝑳𝒇 = standar kebutuhan ruang fasilitas/penunjang

Dengan demikian luas bangunan netto (Lbn) yang dibutuhkan oleh kantor
Direktorat A adalah standar kebutuhan luas ruang kerja ditambah dengan standar
kebutuhan luas ruang penunjang, yaitu 6.927,00 + 2.243,07 = 9.170,07 m2.

d. Penentuan Tipe dan Standar Ketinggian Bangunan Gedung Kantor


Tipe bangunan untuk kantor Direktorat A sesuai dengan standar yang diatur
dalam PMK 7/PMK.06/2016 adalah Tipe C yaitu gedung perkantoran yang
ditempati secara permanen oleh instansi pemerintah pusat dengan pejabat tertinggi
setingkat eselon I. Sedangkan untuk ketinggian bangunan gedung kantor Tipe C
maksimal 8 lantai yang dikategorikan bangunan bertingkat tinggi.

e. Perhitungan Kebutuhan Luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi


Luas Bangunan gedung kantor (luas bruto) terdiri dari luas bangunan netto
ditambah dengan luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi. Sesuai dengan PMK
7/PMK.06/2016, luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi dibedakan dengan
ketentuan sebagai berikut:

35
- Bangunan sederhana : 20%
- Bangunan bertingkat rendah : 25%
- Bangunan bertingkat tinggi : 30%
Kantor Direktorat A dapat membangun 8 lantai yang dikategorikan bangunan
bertingkat tinggi. Luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi untuk bangunan
bertingkat tinggi adalah 30%. Dengan demikian luas bangunan yang tidak
diutlitilasi untuk kantor Direktorat A adalah 30% dari luas bangunan bruto
sedangkan luas bangunan netto adalah 70% dari luas bangunan bruto. Berapa luas
bangunan yang tidak dapat diutilisasi dapat dihitung bersamaan dengan perhitungan
luas bangunan bruto berikut ini.

f. Perhitungan Luas Bangunan Gedung Kantor (Luas Bangunan Bruto)


Luas bangunan gedung kantor (luas bruto) merupakan luas bangunan netto
ditambah dengan luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi, dengan rumusan
sebagai berikut:
𝐋𝐛𝐧 𝟗. 𝟏𝟕𝟎, 𝟎𝟕
𝑳𝒃𝒃 = =
(𝟏 − 𝐋𝐮) (𝟏 − 𝟑𝟎%)
𝐋𝐛𝐧 𝟗. 𝟏𝟕𝟎, 𝟎𝟕
𝑳𝒃𝒃 = =
(𝟏 − 𝐋𝐮) (𝟏 − 𝟑𝟎%)

𝟗.𝟏𝟕𝟎,𝟎𝟕
Hasilnya = = 13.100,10
𝟎,𝟕𝟎

Dengan demikian, standar kebutuhan luas bangunan gedung kantor


Direktorat A adalah 13.100,10 m2 (atau dibulatkan menjadi 13.100 m2) sedangkan
standar luas bangunan yang tidak dapat diutilisasi adalah 13.100,10 m2 - 9.167,07
m2 = 3.930,02 m2.

g. Perhitungan Standar Kebutuhan Tanah (Luas Lahan) untuk Bangunan


Gedung Perkantoran
Luas lahan adalah luas tanah yang menjadi batas tertinggi (luas maksimum)
dan/atau menjadi batas terendah (luas minimum) yang harus diikuti ketika

36
mendirikan bangunan di suatu kawasan tertentu. Untuk menghitung kebutuhan luas
tanah, tahap-tahap yang harus diketahui adalah:
1) Menghitung standar kebutuhan luas bangunan gedung kantor
2) Menentukan standar ketinggian/jumlah lantai bangunan gedung kantor
3) Menghitung luas dasar bangunan
4) Menentukan Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
5) Menghitung standar kebutuhan luas tanah minimum dan maksimum.

Standar kebutuhan luas bangunan gedung kantor dan standar jumlah lantai
bangunan sudah dihitung dan ditentukan di atas, langkah selanjutnya adalah
menentukan luas dasar bangunan dan koefisien dasar bangunan untuk dapat
menghitung luas kebutuhan tanah untuk bangunan gedung kantor.

(1). Luas Lantai Dasar Bangunan Gedung Kantor


Bangunan gedung kantor Direktorat A dikategorikan sebagai bangunan tidak
sederhana dan dapat bertingkat dengan jumlah lantai maksimal 8 lantai.
Apabila akan membangun gedung dengan ketinggian 8 lantai maka luas lantai
dasar bangunan gedung Direktorat A adalah luas bangunan bruto dibagi dengan
jumlah lantai, yaitu 13.100 m2: 8 = 1.637,50 m2.

(2). Koefisien Dasar Bangunan (KDB)


KDB adalah perbandingan antara luas lantai dasar (luas bangunan badar)
dengan luas semua lahan yang dimiliki (termasuk luas bangunan). KDB
dituliskan dalam bentuk persentase. Misal KDB adalah 70% artinya luas
bangunan dasar adalah 70% dari seluruh luas lahan/tanah untuk bangunan
tersebut. Kalau luas bangunan dasar adalah 70 m2 maka luas tanah untuk
bangunan sesuai dengan KDB 70 % adalah 100 m2. Pemerintah daerah
membuat kebijakan dalam tata bangunan kota terkait dengan KDB ini sebagai
standar kegiatan pembangunan di daerahnya sebagai bentuk penyelarasan
alam, seperti untuk penyerapan air hujan, intensitas cahaya matahari yang
dibutuhkan untuk kesehatan manusia dan tumbuhan sekitar.

37
(3). Perhitungan Luas Tanah untuk Bangunan Gedung Kantor
Dengan asumsi KDB adalah 70% untuk wilayah DKI Jakarta, maka luas
minimum tanah untuk kantor Direktorat A yang merupakan gedung bertingkat
dengan 8 lantai dengan luas lantai bangunan dasar = 1.637,50 m2 adalah Luas
bangunan dasar dibagi dengan KDB, yaitu 1.637,50 m2/70% = 2.339,30 m2
(dibulatkan menjadi 2.339 m2). Sedangkan luas maksimum adalah 5 kali luas
minimum, yaitu 5 x 2.339 m2 = 11.695 m2.
Berdasarkan perhitungan SBSK Bangunan Gedung Kantor Direktorat A
sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa SBSK Bangunan Gedung
Kantor adalah sebesar 13.100 m2 dan SBSK Tanah Bangunan Gedung Kantor
adalah luas minimum 2.339 m2 dan luas maksimum sebesar 11.675 m2. Perhitungan
SBSK tersebut akan dijadikan dasar untuk usulan pengadaan bangunan gedung
kantor dan tanahnya yang akan dituangkan dalam Daftar Rencana Kebutuhan
Barang Milik Negara (RKBMN). Bagaimana membuat daftar RKBMN akan
diberikan contoh berikut ini. Daftar RKBMN Bangunan Gedung Kantor dan Tanah
Bangunan Gedung Kantor dengan usulan untuk tanah seluas 10.000 m2 dan
bangunan gedung kantor seluas 13.000 m2 sebagai nampak pada Tabel 15.
Dari Tabel 15 tersebut, dapat kita lihat bahwa KPB Direktorat A mengajukan
usulan BMN berupa tanah seluas 13.000 m2 atau kurang dari jumlah tersebut tetapi
tidak boleh melebihi 13.100 m2 sedangkan gedung dan bangunan seluas 2.339 m2.
Usulan tersebut apabila disetujui mekanisme pemenuhannya dapat dengan
perolehan dengan cara pembelian tanah dan pembangunan gedung dan bangunan
atau pengalihan dari satker lain.

38
Tabel 15
RKBMN Pengadaan Tanah dan Bangunan Gedung Kantor
RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA
(RENCANA PENGADAAN)
KUASA PENGGUNA BARANG DIREKTORAT A
TAHUN 2018

KEMENTERIAN/LEMBAGA : XXX Kementerian X


UNIT ESELON i : XX Direktorat A
UNIT WILAYAH : XXXX Kanwil Y
UNIT SATUAN KERJA ; XXXXXX KPB Direktorat A
PROGRAM : XXXXXXX Program..............
KEGIATAN : XXXX Kegiatan.............
OUTPUT : 001 Tanah
998 Gedung dan Bangunan
JENIS BELANJA : 531111 Belanja Modal tanah
533111 Belanja Modal Gedung dan Bangunan
PERKIRAAN
NERACA/SUB-SUB Optimalisasi
Usulan Kebutuhan
No. KELOMPOK BARANG SBSK Existing KET.
BMN Riil
KODE Uraian BMN
Barang
A 135111 Tanah Tidak
1. 2010104001 Tanah 10.000 m2 11.675 0 m2 11.675 m2 terdapat
Bangunan m2 existing
Kantor BMN
Pemerintah berupa
JUMLAH USULAN TANAH 10.000 m2 11.675 0 m2 11.675 m2 tanah dan
m2 bangunan
B 133111 Gedung dan
Bangunan
1. 4010101001 Bangunan 13.000 m2 13.100 0 m2 13.000 m2
Gedung m2
Kantor
Permanen
JUMLAH USULAN BANGUNAN 13.000 m2 13.100 0 m2 13.000 m2
m2
<<kota>>, <<tanggal>>

Penanggung Jawab UAKPB


Kepala Satker,

Nama Kepala Satker


NIP xxxxxxxxxxxxxx

39
Kegiatan Belajar 4:

Penyusunan RKBMN Pemeliharaan

4.1.Penyusunan RKBMN Kuasa Pengguna Barang dan Penggabungan pada


Pengguna Barang
Perencanaan Pemeliharaan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan
Pemeliharaan atas BMN yang dikuasai, berdasarkan pada informasi
keberadaan/eksistensi, kondisi, dan status penggunaan BMN. Pemeliharaan BMN
yang diusulkan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melalui RKBMN
adalah:
a. BMN berupa tanah dan/atau bangunan;
b. BMN selain tanah dan/atau bangunan, untuk:
1) BMN berupa alat angkutan bermotor, meliputi:
a) Alat Angkutan Darat Bermotor (3.02.01);
b) Alat angkutan Apung Bermotor (3.02.03); dan
c) Alat Angkutan Bermotor Udara (3.02.05).
2) BMN selain angka 1), dengan nilai perolehan per satuan paling sedikit
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
RKBMN untuk pemeliharaan BMN tidak dapat diusulkan oleh Pengguna
Barang dan/Kuasa Pengguna Barang terhadap:
a. BMN yang berada dalam kondisi rusak berat
Hanya BMN yang kondisinya baik dam/atau rusak ringan yang dapat diusulkan
untuk dilakukan pemeliharaan.
b. BMN yang sedang dalam status penggunaan sementara
BMN dalam status penggunaan sementara yaitu BMN yang sedang digunakan
oleh KPB pada K/L lain. Pemeliharaan BMN dalam status penggunaan
sementara diusulkan oleh Kementerian/Lembaga yang menggunakan sementara
BMN.
c. BMN yang sedang dalam status dioperasikan pihak lain

40
Pemeliharaan BMN dalam status dioperasikan pihak lain menjadi beban pihak
yang mengoperasikan BMN. Untuk itu, KPB tidak dapat mengajukan RKBMN
untuk pemeliharaan BMN tersebut.
d. BMN yang sedang dalam status dilakukan pemanfaatan
BMN dalam status dimanfaatkan menjadi beban pihak yang menyewa,
meminjam pakai dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan, memanfaatkan
BMN dalam bentuk Kerjasama Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
maupun Kerjasama Pemanfaatan (KSP). KPB tidak dapat mengajukan RKBMN
untuk pemeliharaan BMN tersebut, kecuali untuk pemeliharaan BMN dalam
status pinjam pakai dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan.

4.2.Ilustrasi Penyusunan RKBMN Pemeliharaan


Suatu satker dari Daftar Barang Kuasa Pengguna Barang, memiliki BMN
sebagai berikut:
Tabel 16
Daftar BMN Kuasa Pengguna Barang
No Nama Barang Kode NUP Jumlah Luas Kondisi Keterangan
Barang
A Gedung dan Bangunan
1. Bangunan Gedung 4010101001 1 1 400 m2 B Digunakan
Kantor Permanen sendiri
2. Bangunan Gedung 4010101001 2 1 700 m2 RR Digunakan
Kantor Permanen sendiri
3. Bangunan Gedung 4010101002 1 1 900 m2 B Digunakan
Kantor Semi Permanen pihak lain-
pinjam pakai
jangka
waktu 3
bulan
4. Bangunan Gedung 4010109001 1 1 500 m2 B Digunakan
Pertemuan Permanen pihak lain-
sewa
5. Bangunan Gedung 4010108001 1 1 150 m2 B Digunakan
Tempat Ibadah Permanen sendiri
B Peralatan dan Mesin
1. Sedan 3020101001 1 B Digunakan
sendiri
2. Mini Bus 3020101003 1 B Digunakan
sendiri
3. Sepeda Motor 3020102001 1 RR Digunakan
pihak lain-
pinjam pakai
jangka
waktu 2
tahun

41
4. Kapal Patroli Polisi 3010101034 2 B Digunakan
pihak lain-
sewa
5. Kapal Patroli Polisi 3010101034 1 RB Rencana
Penghapusan
6. Helycopter 3020501012 1 B Digunakan
sendiri

Selanjutnya, atas BMN tersebut di atas akan dipilih mana BMN yang dapat
diusulkan pemeliharaannya mana yang tidak. BMN yang dapat diusulkan
pemeliharaannya harus memenuhi syarat, 1) status. 2) kondisi dan 3) eksistensi atau
keberadaan. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka BMN yang dapat diusulkan
pemeliharaan dan dimasukkan dalam Daftar RKBMN Pemeliharaan pada Tabel 17
dan Tabel 18 adalah sebagai berikut:
Tabel 17
RKBMN untuk Pemeliharaan Tanah dan Bangunan
RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA
(RENCANA PEMELIHARAAN)
KUASA PENGGUNA BARANG
TAHUN 20xx

KEMENTERIAN/LEMBAGA : XXX Kementerian X


UNIT ESELON I : XX Direktorat A
UNIT WILAYAH : XXXX Kanwil Y
UNIT SATUAN KERJA ; XXXXXX KPB Direktorat A
PROGRAM : XXXXXXX Program..............
JENIS BELANJA : 521111 Belanja Pemeliharaan

PERKIRAAN NERACA/ SUB-SUB KEBUTUHAN


KONDISI KET
No KELOMPOK BARANG PEMELIHARAAN
Kode Uraian Barang B RR RB Unit/bidang M2
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1. 4010101001 Bangunan Gedung 1 1 400
Kantor Permanen
2. 4010101001 Bangunan Gedung 1 1 700
Kantor Permanen
3. 4010101002 Bangunan Gedung 1 1 900
Kantor Semi
Permanen
4. 4010108001 Bangunan Gedung 1 1 150
Tempat Ibadah
Permanen
<<kota>>, <<tanggal>>
Penanggung Jawab UAKPB
Kepala Satker,

Nama Kepala Satker


NIP xxxxxxxxxxxxxx

42
Tabel 18
RKBMN untuk Pemeliharaan Selain Tanah dan Bangunan
RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA
(RENCANA PEMELIHARAAN)
KUASA PENGGUNA BARANG
TAHUN 20xx

KEMENTERIAN/LEMBAGA : XXX Kementerian X


UNIT ESELON I : XX Direktorat A
UNIT WILAYAH : XXXX Kanwil Y
UNIT SATUAN KERJA ; XXXXXX KPB Direktorat A
PROGRAM : XXXXXXX Program..............
JENIS BELANJA : 521111 Belanja Pemeliharaan

PERKIRAAN NERACA/ SUB-SUB KEBUTUHAN


KONDISI KET
No KELOMPOK BARANG PEMELIHARAAN
Kode Uraian Barang B RR RB Unit/bidang M2
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1. 3020101001 Sedan 1 1
2. 3020101003 Mini Bus 1 1
3. 3010101034 Kapal Patroli Polisi 1 1
4. 3020501012 Helycopter 1 1
<<kota>>, <<tanggal>>
Penanggung Jawab UAKPB
Kepala Satker,

Nama Kepala Satker


NIP xxxxxxxxxxxxxx

43

Anda mungkin juga menyukai