Anda di halaman 1dari 60

TEORI DESAIN II (DS6202)

ZAHA HADID : FORM IN MOTION

Diajukan sebagai salah satu syarat Ujian Akhir Semester


mata kuliah Teori Desain (DS6202)
Semester 2 – 2019/2020

Oleh
Fiona Yasmine 17516006
Firman Mutaqin 27119025
Eka Arifianty Puspita 27119029
Mandhe Sekar Nurindah 27119037
Silmy Ni'mah Fadhilah 27119053
(Program Studi Magister Desain)

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
I. SEJARAH............................................................................................................................1
I.1 Zaha Hadid....................................................................................................................1
I.2 Latar Belakang Zaha Hadid...........................................................................................4
II. PERGERAKAN DESAIN INSPIRASI ZAHA HADID....................................................8
II.1 Modernisme..................................................................................................................8
II.1.1 Form Follow Function...........................................................................................9
II.1.2 Less is More........................................................................................................11
II.1.3 Modernist Material..............................................................................................12
II.2 Suprematisme.............................................................................................................13
II.3 Post Modernisme........................................................................................................16
II.4 Dekonstruksi...............................................................................................................19
II.5 Neo Futurisme............................................................................................................22
III. PROSES KREASI ZAHA HADID.................................................................................25
III.1 Gagasan Zaha Hadid terhadap Arsitektur..................................................................25
III.2 Gagasan Zaha Hadid Terkait Lansekap.....................................................................27
III.3 Gagasan Zaha Hadid Terkait Material.......................................................................32
III.4 Gagasan Zaha Hadid Terkait Bentuk.........................................................................34
IV. KARYA ZAHA HADID................................................................................................39
IV.1 Arsitektur..................................................................................................................39
IV.2 Product/Interior.........................................................................................................42
IV.3 Fashion......................................................................................................................46
V. KESIMPULAN................................................................................................................50
V.1 Zaha Hadid : Form in Motion.....................................................................................50
V.2 Relevansi Kajian pada Topik Masing-Masing Desainer.............................................51
V.2.1 Gagasan Inovasi untuk Manusia dan Masa Depan...............................................51
V.2.2 Inovasi pada Material Serta Pencitraannya..........................................................52
VI. DAFTRA PUSTAKA.....................................................................................................54
I. SEJARAH

I.1 Zaha Hadid

Gambar 1.1 Zaha Hadid


(Sumber : www.architizer.com. 2020)

Zaha Hadid, dikenal sebagai ratu garis lengkung, merupakan seorang arsitek
kelahiran Baghdad, Iraq, yang berhasil mendobrak dunia arsitektur pada abad ke-21.
Zaha Hadid, dikenal pula sebagai arsitek perempuan terbaik karena berhasil
memenangkan penghargaan Pritzker Prize pada tahun 2001, sebuah penghargaan di
dunia arsitektur yang dinilai setara dengan penghargaan Nobel. Selain itu, ia pun
mendapatkan penghargaan Royal Institute of British Gold Medal pada tahun 2016
dan dinobatkan sebagai Dame Zaha Hadid oleh Ratu Elizabeth II pada tahun 2012,
oleh karena dedikasinya dalam bidang arsitektur.
Sepanjang karirnya, Hadid dikenal sebagai desainer yang kontroversial karena
gagasan arsitekturnya menantang segala formalitas arsitektur yang ada sebelumnya.
Ia menentang batasan akan fungsionalitas, dan desainnya yang avant-garde pun
menantang segala pemahaman struktur, hingga material. Seorang arsitek asal New
York, Garo Gumusyan, dalam tulisannya dalam Huffpost pada tahun 2016,
membandingkan gebrakan yang Zaha Hadid hadirkan di dunia arsitektur dengan
revolusi Bauhaus yang terjadi pada sekitar tahun 1920-an. Ia menyatakan bahwa
revolusi estetik sekelas revolusi yang diciptakan oleh Zaha Hadid hanya terjadi pada
masa lahirnya Bauhaus. Karya Hadid yang ikonik, sarat akan unsur fluiditas dan
fragmentasi, menambah perbendaharaan gaya baru dalam dunia arsitektur, serta
mendobrak batasan nilai baru pada sebuah arsitektur.
Keunikan arsitektur Zaha Hadid kerap kali diasosiasikan dengan karya seniman
avan-garde asal Rusia Kazimir Malevich. Pada kenyataanya, Hadid memang
memiliki obsesi pada gagasan suprematisme, yang dipelopori oleh Malevich.
Berdasarkan inspirasinya tersebut, Zaha Hadid mengintervensi lansekap dengan
komposisi arsitektur yang seakan terpecah, melayang, namun memiliki sensasi
terkontrol. Layaknya Malevich, Hadid pun berupaya untuk mendapatkan bentuk
murni pada lansekap yang ia olah. Kini, bentuk-bentuk murni yang hadir dalam
tampilan organis, dan mengalir tersebut menjadi ciri khas-nya.
Untuk merealisasikan mimpi arsitektur avant garde-nya, Hadid perlu melewati
banyak tantangan. Karyanya kerap kali dianggap tidak realistis hingga ia perlu
melewati 20 tahun untuk merealisasikan karyanya. Dibutuhkan hadirnya
perkembangan teknologi arsitektur yang signifikan untuk merealisasikan karyanya
tersbut. Oleh karena itu, bersama rekan kerjanya dalam Zaha Hadid Architecture
(ZHA), Patrick Schumacher, ia mengembangkan metode parametric. Kini ia dikenal
sebagai pelopor dari penggunaan metode permodelan berbasis computer ini.
Lewat karya monumentalnya, Hadid ingin mentransformasi kondisi social. Ia ingin
manusia dapat terinspirasi lewat karyanya, serta dapat memiliki pengalaman yang
berbeda saat melihat maupun saat berada di dalam karyanya. Menurutnya,
pengalaman yang inspiratif mampu melahirkan semangat progresifitas. Tujuan yang
ingin ia ingin gapai tersebut, ternyata selaras dengan apa yang pengunjung rasakan.
Hanif Kara, pendiri AKTII, pada wawancaranya dengan BBC untuk film dokumenter,
Legacy of Zaha Hadid, menyatakan bahwa karya arsitektur yang Hadid hadirkan
berhasil mengubah pandangan manusia pada arsitektur. Kini manusia tidak lagi
menggunakan arsitektur sebagai tempat berlindung, namun juga sebagai tempat
membangun inspirasi. Menurutnya, karya Hadid yang ikonik selalu berhasil
memberikan pengalaman antara manusia dengan arsitektur yang berbeda dan multi
perspektif. Tiap pengunjung dapat memiliki interpretasi yang berbeda-beda setelah
menikmati hasil karyanya tersebut.
Kini telah banyak karya yang ia hasilkan dan telah tersebar di berbagai belahan dunia.
Tidak hanya mampu direalisasikan, kini karyanya telah terbuti mampu menginspirasi
banyak orang hingga selalu menjadi arsitektur yang ikonik ditempatnya. Aquatic
Centre di London, Opera House di Guangzhou, Riverside Museum di Glasgow, dan
beberapa karya Hadid lainnya kini menjadi bukti keberhasilannya untuk berani
bereksperimen dan bereksplorasi. Selain itu, karya-karyanya tersebut merupakan
bukti keberhasilanya untuk memperluas segala asumsi maupun repertoire suatu

arsitektur di tengah masyarakat.

Gambar 1.2 MAXXI Museum


(Sumber : www.architizer.com. 2020)
I.2 Latar Belakang Zaha Hadid
Zaha Mohammad Hadid lahir di Bagdad, Irak, pada tahun 1950 dari keluarga
politikus terpandang. Ayah Zaha Hadid, Mohamed Hadid, merupakan pemimpin
partai nasional demokrat Irak yang berpikiran liberal dan memiliki selera yang
cosmopolitan. Sejak usia 6 tahun, ayahnya telah mengenalkan Zaha Hadid dengan
karya desain dan arsitektur yang mengadopsi gaya internasional. Pengalaman masa
kecilnya di kota Baghdad inilah yang membentuk ketertarikannya akan arsitektur.
Tahun 1950-an merupakan periode keemasan kota Baghdad. Pemerintah kota
Baghdad memiliki ketertarikan yang besar untuk mengembangkan ibukota Irak
tersebut menjadi sebuah dunia modern yang baru. Pembangunan arsitektur bergaya
modern dilihat sebagai salah satu jalan untuk membangun identitas baru serta
merepresentasikan harapan akan kehidupan yang progresif bagi kota Baghdad.
Beragam arsitek ternama dunia, seperti Frank Lloyd Wright, Walter Gropius, Le
Corbusier dan Alvar Aalto diundang untuk merealisasikan kepercayaan kota Baghdad
akan nilai progresif dibalik arsitektur modern.

Gambar 1.3 Zaha Hadid Muda


(Sumber : www.architizer.com. 2020)
Tumbuh dalam periode revolusi modern di kota Baghdad, dan disertai latar belakang
keluarga yang berpikiran liberal membentuk Zaha menjadi individu yang mandiri dan
berpendirian teguh. Oleh karena itu, untuk mengejar mimpinya menjadi seorang
arsitek, ia pun menimba ilmu arsitektur di Association of Architecture London, segera
setelah ia menyelesaikan kuliahnya di Department of Mathematics, American
University Beirut.
Association of Architecture London, dikenal sebagai sekolah arsitektur dunia yang
memiliki pemikiran radikal dan inovatif, bahkan sering kali dianggap anti-arsitektur
maupun anti-desain. Di tengah masa pembelajarannya di AA school tersebut, ia
bertemu dengan Rem Koolhaas dan Elia Zenghelis, dua mentornya yang kemudian
mengenalkannya pada pergerakan seni Rusia Suprematisme. Pergerakan seni asal
Rusia yang dipelopori oleh Kazimir Malevich ini membuka perspektif Zaha Hadid
akan penggunaan elemen bentuk murni, serta komposisi abstrak dan fragmentasi.
Ketertarikannya akan komposisi yang dilahirkan oleh Malevich, kemudian
dituangkan dalam proyek tugas akhirnya yang berjudul Achitecton. Sebuah proyek
hotel bergaya suprematis di jembatan Hungerford di atas sungai Thames, London.

“I was very fascinated by abstraction and how it really could lead to abstracting
plans, moving away from certain dogmas about what architecture is. That project
really liberated me, freed me from all these rules.”
Gambar 1.4 Zaha Hadid dan Asosiasinya
(Sumber : www.architizer.com. 2020)

Setelah menyelesaikan masa studinya di AA, ia menerima tawaran menjadi rekan


kerja mentornya, Rem Koolhaas, di Office for Metropolitan Architecture (OMA).
Namun kemudian ia membangun perusahaan arsitekturnya sendiri, Zaha Hadid
Architecture (ZHA), di London pada 1979. Karir Zaha Hadid bukanlah karir yang
mulus. Beragam diskriminasi gender dan etnis pun terus dihadapi sepanjang karirnya,
bahkan hingga akhir hidupnya di usia 65 tahun. Gaya estetik dari arsitektur Zaha
Hadid yang kental dengan unsur fragmentasi dan futuristic pun kerap kali ditentang
banyak pihak untuk direalisasikan, hingga ia dikenal dengan julukan “paper
architect”. Namun karya Zaha Hadid mulai dikenal banyak public pada tahun 1982,
saat ia memenangkan sebuah kompetisi internasional untuk suatu Leisure Club di
Hong Kong.
Penghargaan internasional tersebut membuat nama Zaha Hadid dikenal oleh public
lebih luas. Gaya suprematis dari karya arsitektur Zaha Hadid mendapatkan banyak
sorotan dan menginspirasi banyak mahasiswa arsitektur. Salah satu mahasiswa
arsitektur yang sangat terinspirasi akan gaya suprematis yang diolah oleh Zaha Hadid
adalah Patrik Schumacher, mahasiswa arsitektur asal Jerman yang kemudian menjadi
rekan kerja Zaha hingga akhir hidupnya. Kini studio arsitekturnya, ZHA, telah
memiliki ratusan pegawai, dan telah berhasil menyelesaikan ratusan proyek arsitektur
yang tersebar di berbagi belahan dunia.
II. PERGERAKAN DESAIN INSPIRASI ZAHA HADID

II.1 Modernisme

Gambar 2.1 Les Demoiselles d’Avignon (1907) Pablo Picasso


(Sumber: www.theartstory.com. 2020)

Modernisme dikenal sebagai pergerakan seni dan desain yang marak digunakan pada
periode awal abad ke-20. Gerakan modernisme ini mengacu pada pencarian akan
nilai dan pandangan baru dalam kehidupan, khususnya pada periode pasca perang.
Tampilan visual baru tanpa adanya elemen tradisional, eksplorasi material yang
berbeda, serta penggunaan teknik produksi berbasis industrial secara progresif
dikembangkan pada masa pergerakan modernism. Revolusi seni dan desain ini
diperjuangkan, karena dirasa mampu merefleksikan kenyataan akan kebutuhan public
pada masa itu dan dirasa tepat untuk menggambarkan harapan kehidupan masyarakat
pasca perang.
Salah satu artikel di situs milik galeri ternama Inggris, Tate Modern, menyatakan
bahwa terdapat beragam gaya dalam bidang seni yang tergolong modernisme seperti
kubisme, konstruktivisme, suprematisme, minimalisme, serta beberapa gaya lainnya.
Gaya-gaya seni tersebut lahir dari negara yang berbeda, namun memiliki semangat
akan zaman modernisasi yang sama, yaitu penolakan akan sejarah dan nilai
konservatif. Beragam gaya seni dalam pergerakan modernisme ini pun kemudian
memberi dampak yang lebih luas, hingga mempengaruhi pandangan social dan politik
masyarakat pada masa tersebut.
Istilah modernisme, yang berkembang di Jerman, Belanda, serta Moscow dan Paris,
digunakan tidak hanya dalam bidang seni, namun juga digunakan di bidang arsitektur,
desain, hingga literatur. Namun secara umum, berbagai bidang tersebut menjunjung
prinsip modernisasi yang serupa, yaitu mengacu pada perspektif utopia akan kondisi
social yang ideal. Mereka mereka akan kehidupan masyarakat yang progresif untuk
mencapai masa depan yang ideal, dan langkah pertama yang perlu dilakukan untuk
mencapai mimpi tersebut adalah dengan mencari kemurnian baru dan meninggalkan
romantisme akan sejarah masa lalu.
Gagasan akan modernisme memiliki pengaruh kuat dalam bidang arsitektur. Ludwig
Mies van der Rohe, Frank Lloyd Wright, Walter Gropius dan Le Corbusier
merupakan contoh arsitek perintis pergerakan desain modern yang kemudian juga
mempelopori beberapa standarisasi akan prinsip dasar arsitektur modern. Royal
Institute of British Architects (RIBA), dalam situsnya, melansir bahwa terdapat
beberapa filosofi desain yang menjadi identitas khas dalam gaya modernism yaitu
Form Follows Function, Less is More, dan Modernist Material.

II.1.1 Form Follow Function


Pada tahun 1896, seorang arsitek berkebangsaan Amerika, Louis Sullivan
mempublikasikan sebuah tulisan terkait arsitektur modern berjudul “The Tall Office
Building Artistically Considered”. Dalam tulisannya tersebut ia menyatakan suatu
frase berpengaruh yang menjadi salah satu prinsip arsitektur modern, yaitu Form
Follow Function. Istilah Form Follow Function inilah yang kemudian marak dikaji
lebih lanjut dan menginspirasi para arsitek dan desainer di generasi berikutnya.
Kemudian istilah tersebut dikembangkan lagi oleh penerus Sullivan, Frank LLyod
Wright, menjadi Form and Function are one, yaitu bentuk dan fungsi merupakan
suatu kesatuan. Gagasan modernisme dalam arsitektur umumnya diasosiasikan
dengan pendekatan analisis akan fungsi suatu ruang. Penggunaan material pun
didasari oleh pertimbangan rasional untuk mendapatkan titik efisiensi terbaik. Oleh
karena itu, penolakan akan adanya elemen ornamen serta penekanan akan tampilan
yang minimalis pun ditujukan untuk mampu menjawab gagasan pentingnya
fungsionalitas.
Gagasan akan bentuk yang minimalis dan penekanan konteks fungsionalitas pun
kemudian semakin digaungkan oleh Walter Gropius lewat sekolah desain yang
dibangunnya pada tahun 1916. Walter Gropius menginisiasi didirikannya Bauhaus di
Weimar, sebuah sekolah berprinsip modernisme. Dalam metode pembelajarannya,
Bauhaus menekankan prinsip penyederhanaan bentuk dan fungsionalitas, baik dalam
arsitektur, produk, tekstil maupun seni. Dalam metode pembelajaran Bauhaus, Form
Follows Function diberlakukan sebagai prinsip dasar dalam merancang ataupun
berkreasi.

Gambar 2.2 The Fagus Factory (1910)


(Sumber: www.theartstory.com. 2020)

II.1.2 Less is More


Tampilan minimalis bahkan tanpa imbuhan ornament, serta kecenderungan
penggunaan warna putih dan warna-warna netral merupakan manifestasi dari
ungkapan terkenal Mies van der Rohe untuk menggambarkan gagasanya dalam
berkarya yaitu Less is More. Ungkapan Less is More, pertama kali diungkapkan oleh
seorang penyair asal Inggris pada abad ke-18. Namun Mies berhasil mempopulerkan
idiom tersebut menjadi gagasan yang tepat untuk mengilustrasikan arsitektur bergaya
modern. Gagasan Less is More tersebut kemudian menjadi prinsip universal gaya
modern yang hingga kini masih digunakan.
Sebagai upaya untuk mendapatkan bentuk termurni, Mies selalu menginvestigasi
konteks fundamental dari fungsi perancangan. Oleh karena itu dalam proses
berkaryanya, Mies cenderung mempertimbangkan bentuk akhir sebagai hasil dari
proses konstruksi dan kebutuhan fungsi. Filosofi akan “kejelasan” merupakan prinsip
dasar Mies untuk menciptakan ruang yang fungsional, fleksibel, hingga mudah
dipahami. Arsitektur yang dipenuhi dengan rangkaian kaca serta rangka baja hitam
menjadi pilihan Mies untuk menyatakan prinsip kejelasan dalam Less is More

tersebut.

Gambar 2.3 German Pavilion, Exposicio Internacional, Barcelona, Spain (1929)


(Sumber: www.theartstory.com. 2020)

II.1.3 Modernist Material

Gambar 2.4 Modernist Material


(Sumber: www. weburbanist.com. 2020)

Kebutuhan akan suatu pembangunan yang ekonomis dan efisien dalam arsitektur
bergaya modern, melahirkan inovasi material berbasis industrial. Beton, kaca, hingga
rangka baja menjadi material yang umum digunakan pada masa tersebut.
Dibandingkan beragam material masa modern lainnya, beton merupakan material
yang memiliki nilai ekonomi paling konsisten. Le Corbusier, merupakan salah satu
arsitek modern yang sangat tertarik dengan penggunaan beton. Ia tertarik dengan
kekokohan karakter beton serta bagaimana beton dapat dicetak mengikuti segala
bentuk. Ketertarikannya akan beton pun menjadi salah satu aspek yang mendorong
lahirnya gagasan 5 prinsip arsitektur modern Le Corbusier yaitu, pilotis, free facades,
open floor plan, ribbon windows, dan roof garden. Le Corbusier terus
mengembangkan penggunaan beton, hingga akhirnya ia mempelopori beton brute
hingga mendorong lahirnya pergerakan arsitektur brutalisme.
Selain beton, kaca dan baja merupakan material yang ikonik dengan gaya modern.
Mies van der Rohe, merupakan salah satu arsitek modern yang mempelopori
penggunaan rangkaian kaca. Mies melihat penggunaan kaca transparent dan luas
dengan rangka baja memiliki kemampuan untuk meminimalisir segala batasan antara
manusia dengan alam di luar bangunan tersebut. Gagasan Mies dalam pemilihan
material kaca transparan tersebut, cukup mempengaruhi pandangan arsitek di
generasi selanjutnya tentang bagaimana pengguna akan menikmati, dan
mendefinisikan suatu ruang. Hingga saat ini penggunaan kaca khususnya pada
gedung-gedung pencakar langit masih marak digunakan.

"We must remember that everything depends on how we use a material, not on the
material itself. Also, new materials are not necessarily superior. Each material is
only what we make of it."
-Mies van der Rohe

II.2 Suprematisme
Gambar 2.5 Suprematist Painting, Eight Red Rectangles (1915)
(Sumber: www.theartstory.com. 2020)
Sekitar tahun 1913, setelah maraknya karya seni dengan gaya Cubo-Futurist, seorang
seniman berkebangsaaan Rusia, Kazimir Malevich memulai revolusinya dalam karya
abstrak yang kemudian dikenal dengan suprematisme. Suprematisme didasari dengan
gagasan untuk mencari kemurnian yang terdasar. Kemudian gagasan suprematisme
tersebut, kemudian direpresentasikan dalam karya lukis berbentuk persegi berwarna
hitam berjudul Black Square. Menurutnya, persegi merupakan elemen bentuk yang
terdasar dan tersederhana. Kemudian ia mulai mengomposisikan bentuk-bentuk
persegi tersebut dengan elemen bentuk lain, seperti lingkaran dan bentuk geometris
lainnya, serta ia pun menambah imbuhan garis dan garis lengkung. Pada karya-karya
awal suprematisme-nya, ia menggunakan warna hitam, putih, abu dan merah. Namun
kemudian ia mulai melebarkan skema warna dalam karya suprematisme-nya tersebut,
seiring dengan semakin rumitnya komposisi yang ia ingin tampilkan. Dalam karya
suprematisme-nya, ia mengkomposisikan bentuk-bentuk “murni” diatas warna putih,
seakan menampilkan sensasi mengalir dan terbang. Komposisi yang memberikan
sensasi mengalir diatas suatu ruang hampa tersebut merupakan aspek penting dalam
karya suprematisme Malevich.

“Suprematism is the beginning of a new culture. Our world of art has become new
non-objective, pure. Everything has disappeared.”
- Kazimir Malevich,1915.

Karya suprematisme Malevich pertama kali ditampilkan dalam sebuah pameran


berjudul 0.10: The Last Futurist Exhibition, pada December 1915 di St. Petersburg.
Pameran tersebut menampilkan 35 lukisan abstrak suprematisme karya Malevich.
Diantara berbagai karyanya tersebut, terdapat salah satu karya populernya, Black
Square. Karya ikonik Black Square yang tersebut terpajang di sudut atas ruangan,
tempat dimana gambar dari figure utama Rusia ataupun pemuka agama pada
umumnya ditempatkan. Tentunya penempatan Black Square menuai kontroversi
hingga keputusan Malevich tersebut dikenal sebagai sebuah penistaan. Namun,
menurutnya Black Square merupakan cerminan dari tercapainya puncak
penyederhanaan hingga ke titik terdasar, dan sebagai bentuk dari berakhirnya rezim
masa lalu.

“My black square is a bare and frameless icon for our time. Arise comrades and free
yourselves from the tyranny of objects”
-Kazimir Malevich, 1916.

Pergerakan suprematisme pun menjadi salah satu momen penting dalam pergerakan
seni modern di Rusia karena erat terkait dengan munculnya revolusi Rusia lainnya.
Karya Suprematisme Malevich memiliki filosofi estetika yang sangat sesuai dengan
pemikiran revolusioner muda pada masa tersebut yang ingin mengekspresikan
harapan mereka akan kondisi kehidupan yang baru. Pada masa tersebut, seniman
menjadi salah satu figure penting yang mendorong perubahan lewat gagasan
karyanya. Namun, setelah Stalin berhasil memerintah pada tahun 1924, karir
Malevich pun menurun, begitu pula suprematisme. Stalin menekankan penerapan seni
realisme sosial dan melarang adanya bentuk revolusi seni lainnya. Hingga pada masa-
masa akhir hidupnya pun, Malevich melukis gambar-gambar realis.
Pada tahun 1927, Malevich menerbitkan karya tulisnya yang berjudul The Non-
Objective World. Buku tersebut menjadi salah satu dokumen teori seni abstrak
penting hingga saat ini. Beberapa seniman ternama yang turut serta terasosiasi dengan
seni abstrak suprematisme antara lain adalah Ilya Chashnik, Ivan Kliun, El Lissitzky,
Liubov Popova, Ivan Puni, Aleksandr Rodchenko, Olga Rozanova, dan juga salah
satu seniman Bauhaus kelahiran Hungaria, Laszlo Moholy Nagy.
Gambar 2.6 Black Square (1915)
(Sumber: www.theartstory.com. 2020)
II.3 Post Modernisme

Gambar 2.7 Portland Building (1982) Michael Graves


(Sumber: www.wikipedia.org. 2020)
Pergerakan postmodern, atau dikenal dengan sebutan postmo, identic akan gaya seni
maupun desain yang mencampurkan beragam referensi gaya hingga memiliki
tampilan visual penuh warna, ataupun bentuk yang tak lazim. Pergerakan ini mulai
marak dikenal secara umum pada tahun 1970-an. Secara filosofis, postmodern
dikenal sebagai bentuk pemberontakan akan gaya modern. Gagasan postmodernisme
memiliki kecenderungan anti-authoritarian dan menolak segala kategorisasi gaya
yang bersifat tunggal maupun absolut. Oleh karena itu, postmodernisme sarat akan
makna skeptis, ironic, dan kritis, khususnya terhadap konsep kebenaran yang bersifat
universal, formal, dan baku, yang kerap kali diusung dalam pemahaman modern.
Istilah postmodern dalam bidang arsitektur telah dikenal sejak tahun 1945. Istilah
tersebut dipelopori oleh Joseph Hudnut dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul
“The Postmodern House”. Dalam esai tersebut ia mencoba mengangkat isu tentang

relasi akan sisi kemanusiaan dengan ekspresi dalam sebuah arsitektur. Hudnut
mengkritisi perspektif rekan kerjanya di Harvard University’s Graduate School of
Design saat itu, Walter Gropius, yang merupakan salah satu pelopor arsitektur
modern. Menurutnya, pemahaman modern terlalu membatasi nilai dalam sebuah
arsitektur. Selain itu, pandangan modern Gropius dirasa terlalu formal dan praktis,
serta cenderung mendiskriminasi nilai budaya dan sejarah. Secara pribadi, Hudnut
mengagumi sosok para pelopor modernisme seperti Gropius, Mies van der Rohe dan
Le Corbusier, namun ia menyayangkan doktrin baku dan standarisasi yang diusung
oleh para pelopor arsitek modern tersebut.
Pada tahun 1966, seorang arsitek Amerika, Robert Venturi, mempublikasikan sebuah
karya tulis yang selaras dengan pemikiran Hudnut, yaitu Complexity and
Contradiction in Architecture. Dalam tulisannya, Venturi memuji adanya konteks
ambiguitas, inkonsistensi dan kompleksitas. Venturi pun kemudian dikenal oleh
kritiknya pada pepatah popular Mies van der Rohe “Less is More” menjadi “Less is
Bore”, sebagai bentuk penentangan akan paham modernisme yang terlalu
menekankan konteks murni, jelas, tunggal dan absolut. Sebaliknya ia mengusung
nilai percampuran, distorsi, serta plural sebagai aspek yang menarik bahkan penting
dalam sebuah desain.
Namun, pemikiran Charles Jencks terkait arsitektur postmodern lah yang kemudian
marak digunakan sebagai acuan postmodern hingga saat ini. Bukunya yang berjudul
The language of Post Modern Architecture dikenal sebagai karya tulis yang berhasil
merangkum respon kritis akan pergerakan modernism. Dalam karya tulisnya ini,
Jencks mengenalkan istilah kode ganda, yang merujuk pada pemahaman bahwa
postmodernisme perlu dapat dipahami dan dinikmati oleh public, namun juga perlu
memberikan ruang “persetujuan yang kritis”. Hasil dari suatu arsitektur, produk,
maupun seni, seharusnya dapat dipahami oleh masyarakat umum, khususnya
pengguna, dan tidak hanya dapat dimengerti oleh kalangan perancang saja.

“Double coding, the combination of modern techniques with something else (usually
traditional building) in order for architecture to communicate with the public and a
concerned minority, usually other architects”
-Charles Jencks
Pemaknaan ganda dalam postmodernisme kemudian membuka nilai dan makna yang
kaya. Selain itu, kode ganda menjadi pintu untuk adanya percampuran makna, baik
itu merupakan hasil dari kolaborasi maupun kombinasi. Percampuran makna tersebut,
yang kemudian dikenal dengan istilah hibriditas, bertujuan bukan untuk menampilkan
suatu hirarki, namun untuk meraih pluralisme dan menghasilkan pendekatan inklusif
yang menantang pandangan diskriminatif dari modernitas. Berdasarkan pemahaman
tersebut mulai muncullah fenomena eklektisisme dalam arsitektur. Sejumlah desain
arsitektur didominasi oleh symbol dan metafora, menghasilkan karya dengan multi
sensasi seperti sensasi dominan dan keras dengan sensasi lembut dan halus dalam
satu komposisi.
Berdasarkan RIBA, arsitektur bergaya postmodern dapat diidentifikasi dengan
karakter visual yang cenderung menggunakan elemen motif klasik, warna cerah,
struktur bangun yang sangat berbeda dari struktur tradisional, ataupun pemilihan
material dan bentuk yang tidak umum dan beragam. Selain itu, desain
postmodernisme cenderung meninggalkan beragam sensasi bagi penikmatnya, seperti
menyenangkan hingga menakutkan.
II.4 Dekonstruksi

Gambar 2.8 Weisman Art Museum


(Sumber: : www.pixabay.com. 2020)

Dekonstruksi mengacu kepada suatu gaya yang lahir di era postmodern sekitar tahun
1980 an. Paham akan dekonstruksi sendiri lahir dari bidang sastra dan merujuk pada
pemikiran seorang filsuf asal Perancis, Jacques Derrida. Gagasan dekonstruksi oleh
Derrida ini hadir sebagai ungkapan kritis dari filsafat modern yang identic dengan
kebenaran absolut, tunggal, dan mutlak. Menurutnya, kita tidak bisa menemukan
kebenaran yang sesungguhnya karena kita hanya mampu mengetahui dan menemui
jejak dari kebenaran tersebut.
Dalam kritis lebih jauhnya, Derrida pun sepakat dengan gagasan Foucault bahwa
kebenaran yang berdasar pada pengetahuan tidak bisa lepas dari kepentingan
kekuasaan. Sehingga melalui gagasan dekonstruksinya, Derrida ingin menyampaikan
bahwa ‘kebenaran’ dapat dibongkar dan terbongkarnya ‘kebenaran’ mampu memicu
kebenaran alternative lainnya sehingga kebenaran yang baru dapat lahir. Oleh karena
itu, Derrida menginginkan suatu transformasi pada suatu konstruksi yang telah
dipahami secara umum sebelumnya. Transformasi dalam bentuk dekonstruksi
tersebut ditujukan untuk mendukung adanya pluralitas pemikiran dan penyikapan
baru dalam berbagai bidang kehidupan. Karena pandangan dekonstruksi inilah
kemudian Derrida dikenal sebagai salah seorang tokoh postmodernisme yang pluralis.
Sama halnya dengan seorang arsitek, dimana karyanya mampu memberi bentuk dan
menciptakan ruang baru pada sebuah kota, penulis pun berupaya untuk memberi
bentuk baru pada suatu bahasa dan makna agar membuka suatu ruang pemikiran baru
yang dapat didiskusikan. Lahirnya pergerakan dekonstruktif ini pun membuka pintu
kebebasan yang luas, sehingga melahirkan kekayaan tafsiran. Namun gagasan
dekonstruktif ini tidak luput dari kritik, karena pemahaman manusia akan suatu
gagasan cenderung menjadi tidak menyeluruh bahkan terkesan kabur. Tiap individu
seolah bermain dengan makna-makna yang ia tafsirkan.
Dalam bidang arsitektur, dekonstruktivisme dikenal sebagai salah satu gaya pada era
postmodern yang identic dengan gagasan terpecah belah (fragmentation). Selain
terfragmentasi, dekonstruktivisme juga cenderung memanipulasi permukaan
bangunan dan membentuk tampilan non-rectilinear. Bangunan yang mengadopsi gaya
dekonstruktivisme pada umumnya dibentuk dari komponen-komponen yang
dipisahkan dan kemudian disatukan kembali dengan cara yang tidak umum. Oleh
karena itu, arsitektur dekonstruktif menampilkan kesan kacau jauh dari komposisi
presisi namun terkendali.
Tampilan bangunan dekonstruktivisme yang memiliki bentuk ambigu seperti distorsi
maupun terpecah, bertujuan untuk mempertanyakan teori struktur tradisional. Secara
umum, gaya dekonstruktivisme dalam arsitektur didasari oleh gagasan untuk
mengkritisi pakem-pakem formal arsitektur, terutama yang terbentuk pada periode
modernisme. Munculnya gaya dekonstruktivisme dalam bidang arsitektur seakan
berupaya untuk mendorong lahirnya pakem pluralisme di dunia arsitektur.
" The hallmark of deconstructivist architecture is its apparent instability. Though
structurally sound, the projects seem to be in states of explosion or
collapse(....)Deconstructivist architecture, however, is not an architecture of decay
or demolition. On the contrary, it gains all of its force by challenging the very values
of harmony, unity, and stability, proposing instead that flaws are intrinsic to the
structure."
- Phillp Johnson

Dalam bidang arsitektur, terdapat dua kategori dekonstruktif yang terbagi


berdasarkan pandangan pencipta dalam memaknai istilah dekonstruktif, yaitu
arsitektur dekonstruktif yang mengacu pada filsafat Derrida, maupun arsitektur
dekonstruktif yang tidak merujuk pada pemikiran Derrida. Beberapa arsitek ternama
yang mengadopsi gagasan dekonstruksi Derrida adalah Bernard Tschumi, Peter
Eisenman, dan Coop Himmelblau. Dalam karya arsitekturnya, para arsitek
dekonstruktif Derrida tersebut memiliki kecenderungan untuk merepresentasikan
paham dekonstruktivismenya dengan elemen garis yang tidak beraturan, pemilihan
tampilan struktur yang seakan runtuh, dan adanya unsur bentuk-bentuk geometris
yang tidak proporsional (ambigu). Tampilan ambigu dari arsitektur dekonstruksi
Derrida ini hadir karena adanya batasan untuk memaknai nilai absolut pada bentuk
geometri ‘murni’. Sedangkan arsitek bergaya dekonstruksi yang tidak terkukung
dengan pandangan Derrida, dikenal dengan sebutan arsitek dekonstruktif non-
Derrida, cenderung mengutamakan eksplorasi berbasis estetis. Beberapa arsitek
dekonstruktif non-Derrida adalah Rem Koolhaas, yang sangat terpengaruh oleh gaya
konstruktivisme Rusia, Zaha Hadid, yang terinspirasi oleh gagasan suprematisme,
dan Frank Gehry, yang mengadopsi gaya post-strukturalisme alam.
II.5 Neo Futurisme

Gambar 2.9 Weisman Art Museum


(Sumber: : https://pixabay.com/id/photos/weisman-art-museum-minneapolis-
395049/. 2020)

Neo-futurisme merupakan salah satu pergerakan di bidang seni, desain dan arsitektur
yang lahir pada akhir abad ke-20 dan popular pada abad 21. Walaupun pergerakan ini
mulai berkembang ditengah maraknya semangat postmodernisme, namun pergerakan
neo-futurisme kerap kali dilihat sebagai penyimpangan dari pemahaman postmodern.
Secara filosofi, pergerakan neo-futurisme memiliki gagasan yang berlawanan dengan
pandangan postmodern, khususnya pandangan postmodern yang cenderung skeptis
serta sarat akan multi-referensi.
Pergerakan ini berawal dari lahirnya desain bergaya structural ekspresionis atau
dikenal juga dengan sebutan modernisme berteknologi tinggi (High-tech modernism).
Gaya yang dipelopori oleh arsitek asal Finlandia, Alvar Aalto dan Eero Saarinen,
arsitek berkebangsaan Denmark, Henning Larsen dan Jorn Utzon, serta Buckminster
Fuller, merupakan suatu keluaran desain dengan gagasan untuk menampilkan elemen
struktur secara murni dan jelas, baik bagian luar maupun dalam. Fitur yang kerap kali
terlihat dalam gaya ini adalah rangka yang terpisah dan terbuka. Oleh karena itu,
semakin rumit bentuk dari desain tersebut, maka semakin tidak lazim juga detail
struktur yang ditampilkan. Pada umumnya, desain dengan gagasan gaya ini
cenderung menampilkan elemen metalik, sangat kontras dengan gaya modernism
yang hadir sebelumnya, yaitu brutalisme, yang didominasi oleh penggunaan beton.
Neo-futurisme, yang juga dikenal sebagai pergerakan avant-garde, memiliki gagasan
yang mirip dengan structural ekspresionis, yaitu mengacu pada keyakinan akan
adanya hubungan antara modernitas dan penggunaan teknologi terdepan. Neo-
futurisme melihat persilangan gagasan modernitas dengan penggunaan teknologi
tercanggih, sebagai bentuk pencapaian masa depan yang idealis. Visi akan
persilangan antara desain dan teknologi termutakhir tersebut kemudian melahirkan
beragam tema dan gagasan desain yang berkonteks fantasi akan masa depan.
Gagasan-gagasan akan masa depan ideal dalam sudut pandang neo-futurisme ini pun
kemudian menimbulkan pemikiran kritis terkait fungsi hingga estetika dari perkotaan-
perkotaan yang ada.
Sedangkan seorang arsitek asal Perancis, Jean-Louis Cohen, mendefinisikan neo-
futurisme sebagai dampak dari berkembangnya teknologi. Menurutnya, sejumlah
struktur yang terbangun hari ini merupakan produk dari lahirnya material-material
baru dan juga merupakan hasil dari persepsi fungsi baru yang ada di tengah
masyarakat terhadap sebuah arsitektur. Sedangkan Etan J. Ilfeld menyatakan dalam
tulisannya, bahwa dalam estetika neo-futurisme terdapat nilai dimana mesin dilihat
sebagai elemen integral dari proses kreatif itu sendiri. Oleh karena itu, neo-futurisme
menghasilkan gaya artistic yang tidak mungkin terjadi sebelum berkembangnya
teknologi computer.
Kini, neo-futurisme dikenal sebagai suatu gaya yang merepresentasikan rasa antusias
pencipta terhadap perkembangan teknologi dan space age. Pergerakan ini
menghasilkan gaya yang penuh dengan imajinasi bebas akan masa depan dan bersifat
eksperimental karena menantang pemahaman yang konvensional. Ditengah
perkembangan teknologi yang pesat saat ini, pergerakan neo futurism tentunya
banyak menginspirasi para pencipta, khususnya arsitek, di generasi berikutnya.
Beragam arsitek berlomba-lomba untuk mendemonstrasikan kecerdasan serta visi
mereka akan masa depan lewat karya desainnya.
Dalam dunia arsitektur, Zaha Hadid digadang sebagai salah satu arsitek bergaya neo-
futuristic terbaik hingga akhirnya ia mendapatkan penghargaan bergengsi Pritzker
Prize. Sebagai seorang arsitek Zaha Hadid, dikenal karena rancangannya yang selalu
menantang batas kemampuan desain dan produksi, khususnya dalam bentuk
konstruksi. Dengan bantuan metode berbasis computer, parametric, Hadid berhasil
mewujudkan pandangan dan visinya akan masa depan dalam suatu karya arsitektur.
Sebagai contoh kasus adalah karya arsitekturnya di The Jockey Club Innovation
Tower di Universitas Polytechnic, Hongkong, dimana konstruksi dari arsitektur
tersebut seakan terlepas dari pemahaman akan struktur gedung yang ada sebelumnya.
Tampilan Gedung tersebut seakan menyerupai bongkahan es dengan detail-detail
yang menyerupai pesawat luar angkasa. Akan tetapi inovasi utama dari arsitektur
tersebut bukan terletak pada tampilan luarnya yang futuristic, namun pada desain
interiornya. Beragam sudut ruang dari interior bangunan tersebut dirancang agar
beragam disiplim ilmu di universitas tersebut dapat terhubung satu sama lainnya,
seolah sebagai perwujudan dari perpektif Zaha Hadid akan masa depan yang
multidisiplin. Saat ini, Hadid telah menghasilkan beragam arsitektur neo-futuristik
seperti London Aquatics Centre, Riverside Museum di Glasgow dan Heydar Aliyev
Cultural Centre di Baku, dan beberapa karya lainnya.
III. PROSES KREASI ZAHA HADID

III.1 Gagasan Zaha Hadid terhadap Arsitektur


Arsitekur karya Zaha Hadid dikenal sangat ikonik, hingga membuat orang yang
melihat terhenti sejenak, kemudian meluangkan waktu untuk mengagumi
keindahannya. Tiap karyanya dikembangkan secara detil hingga tiap sisinya
menghasilkan visual mengagumkan tanpa adanya tampilan yang berulang. Kedetilan
pengolahan tiap sisi arsitekturnya, tidak hanya mampu menginspirasi, namun mampu
menstimulasi gagasaan pemikiran yang multi perspektif. Tiap kalangan masyarakat
yang melihat arsitektur Zaha Hadid dapat memiliki beragam perspektif, setelah
menikmatinya. Karya-karya arsitekturnya sangat radikal dan menantang pemikiran
serta pemahaman orang pada umumnya.

“There are 360 degrees. Why stick to one?”

Dalam mengembangkan gagasan arsitektur, Zaha Hadid terinspirasi oleh beragam


gagasan teoritis yang hadir pada masa sebelumnya namun ia sangat kritis pada segala
pakem dan batasan yang diusung oleh gagasan-gagasan tersebut. Pada dasarnya ia
sangat terinspirasi oleh semangat progresif dari pergerakan modernisme, namun ia
bertolak belakang pada batasan penekanan elemen fungsional yang diusung pada era
modernisme. Namun, ia sangat terinspirasi oleh gagasan pencarian “kemurnian
bentuk” suprematisme karya Malevich, seorang seniman asal Rusia. Tidak hanya
terinspirasi oleh karena gagasan yang dipelopori oleh Malevich, namun ia pun
terinspirasi oleh beragam komposisi yang dihasilkan oleh Malevich. Menurutnya
komposisi Malevich memberinya sensasi kebebasan dan keseimbangan yang baru,
dimana terdapat unsur kemurnian bentuk yang kemudian dikomposisikan secara acak
seakan ter-fragmentasi, menghasilkan sensasi melayang dan mengalir. Gagasan
suprematisme sangat menginspirasinya hingga kemudian ia mengembangkan karya
Malevich Tectonic sebagai proyek karya akhirnya AA School.
“I was very fascinated by abstraction and how it really could lead to abstracting
plans, moving away from certain dogmas about what architecture is. That project
really liberated me, freed me from all these rules.”

Gagasan komposisi visual fragmentasi dengan unsur fluiditas, kemudian menjadi


identitas visual dari karya-karyanya hingga kini. Dalam mengembangkan suatu
desain arsitektur, ia selalu menantang bentuk-bentuk formalitas yang ada pada dunia
arsitektur. Oleh karena gagasannya tersebut, ia pun kerap kali dikenal sebagai arsitek
yang tidak peduli terhadap batasan fungsionalitas dalam suatu bangunan, karena
baginya fungsionalitas itu membosankan. Selain itu, adanya batasan-batasan dalam
arsitektur hanya akan mengurung kemampuan desain arsitektur itu sendiri.
Menurutnya aristektur memiliki potensi social yang besar jika ia mampu menantang
segala formalitasnya. Oleh karena itu sebagai arsitek ia memiliki misi untuk mampu
menghasilkan suatu arsitektur terbaik, yang mampu melampaui segala batasan
pemahaman arsitektur. Sedangkan visinya adalah untuk mampu menginspirasi
kehidupan social dengan menghadirkan sensasi kehidupan yang berbeda lewat karya
aristekturnya.
Quotes ZAHA visi on arsitecture
Berdasarkan visi dan misinya tersebut, Zaha Hadid terus berupaya mendorong
batasan-batasan pemahaman terkait manusia dengan ruang dan bangunan. Selain itu
ia pun menantang segala kemampuan penggunaan struktur hingga kerap kali diyakini
mustahil oleh orang pada umumnya. Menanggapi komentar terkait karyanya, Zaha
Hadid tetap beranggapan bahwa seorang arsitek tidak perlu berkompromi terkait
konsep ataupun desain yang dibuatnya, baik dikarenakan adanya kendala ekonomi,
proses pembuatan ataupun teknologi yang perlu diterapkan. Menurutnya, arsitektur
perlu mengikuti perkembangan logika dan merespon siklus inovasi yang dihasilkan
oleh perkembangan sosial dan teknologi. Oleh karena itu, ia tidak hanya diam dan
menolak keluhan akan desain yang ia tampilkan. Bersama rekan kerjanya, Patrik
Schumacher, ia kemudian mengembangkan metode permodelan desain berbasis
algoritme yang kemudian disebut parametic. Metode parametric ini kemudian
menjadi salah satu metode khas studio Zaha Hadid Architect (ZHA) hingga kini, dan
menjadi pendekatan desain yang menginspirasi banyak generasi arsitektur berikutnya.
Hingga akhir hidupnya, Zaha Hadid tidak mendefinisikan gaya estetik arsitekturnya
dengan gaya apapun yang telah ada. Namun karyanya kerap kali diasosiasikan
dengan gaya- gaya arsitektur yang lahir pada era postmodern, seperti dekonstruktif,
dan neo-futuristik oleh karena karya-karya arsitekturnya selalu menampilkan bentuk
bebas yang menantang, serta karena karyanya selalu mampu menghadirkan sensasi
akan adanya bentuk kehidupan yang baru. Lewat karya-karya monumentalnya, Zaha
Hadid berhasil menghasilkan karya yang lebih dari sekedar kebutuhan fungsional.
membuka pintu-pintu perspektif baru dalam dunia arsitektur.

III.2 Gagasan Zaha Hadid Terkait Lansekap


Zaha Zaha Hadid melihat lansekap sebagai suatu wadah yang dapat dimanfaatkan
sebagai ruang berekspresi. Pada umumnya orang menganggap bahwa penggunaan
lansekap yang baik ditujukan untuk pembangunan suatu gedung bersifat ekonomis
dan efisien, namun tidak untuk Hadid. Baginya upaya pemanfaatan lansekap yang ia
lakukan tidak untuk terbuang sia-sia hanya untuk suatu arsitektur yang terkungkung
kebutuhan fungsional. Menurutnya, lansekap dapat digunakan untuk arsitektur yang
penuh konteks serta mampu menginspirasi atau bahkan mampu mengubah suatu
pandangan social.
Oleh karena itu, dalam pemanfaatan lansekap Hadid sangat memperhatikan berbagam
unsur, baik alam maupun social, yang berada di lingkungan sekitar karyanya
ditempatkan. Beragam elemen tersebut kemudian digunakan sebagai elemen
konstruktif dalam proses kreasinya. Zaha Hadid sangat peka dan imajinatif dalam
pemilihan elemen-elemen yang akan ia olah, seperti arah angin gravitasi dan pantulan
cahaya. Selain itu, dikarenakan oleh ambisinya untuk mampu menghasilkan suatu
arsitektur berdampak signifikan secara social, ia pun cenderung menekankan sensasi
dominasi yang dihasilkan oleh karyanya.
Dalam pandangannya, untuk menghasilkan suatu aristektur yang menimbulkan
sensasi dominasi, dibutuhkan penggunaan skala yang besar. Oleh karena itu,
pengkomposisian elemen ruang padat dan ruang kosong arsitektur yang ia lakukan
tidak hanya terpaku pada ruang lingkup gedung yang ia ciptakan saja, namun dalam
skala perkotaan. Salah satu contoh karya Hadid yang dirasa telah secara menyeluruh
mewujudkan gagasannya terkait skala yang mendominasi serta komposisi padat dan
hampa dalam skala perkotaan, adalah bangunan Heydar Aliyev Cultural Center, di
Baku, Azerbaijan.

“The scale is very important, you can’t do simplicity in small scale like chair. City is
a messy environment, build in a large scale, the another thing will occur. …It is very
interesting how the shift of scale affects the meaning of the pieces. Object becomes
dominating in space ”

Gambar 3.1 Heydar Aliyev Cultural Centre (2012) Iwan Baan


(Sumber: www.inexhibit.com. 2020)
Gambar 3.2 Heydar Aliyev Cultural Centre (2012) Iwan Baan
(Sumber: www.inexhibit.com. 2020)

Gambar 3.3 Heydar Aliyev Cultural Centre (2012) Iwan Baan


(Sumber: www.inexhibit.com. 2020)
Bagi Hadid, lansekap merupakan canvas kosong yang akan ia lukis. Oleh karena itu,
dalam pemanfaatan lansekap, Zaha sangat mempertimbangkan komposisi dari
bentuk-bentuk yang akan ia tampilkan. Dalam mengomposisikan bentuk-bentuk yang
ia inginkan, ia kerap kali menggunakan konsep komposisi abstraksi dan fragmentasi,
dimana aka ada unsur-unsur yang seakan terpecah dan bertabrakan, tanpa adanya
unsur yang berulang. Komposisi yang ia hasilkan untuk karya arsitekturnya berasal
dari studi topografi perkotaan dimana karyanya ditempatkan. Sebagai proses
pencarian ide, ia akan melukis untuk mendapatkan komposisi abstrak dan
fragmentasi, namun memiliki sensasi fluiditas, terinspirasi dari komposisi karya
suprematisme. Sehingga dapat disimpulkan, komposisi abstrak dan fragmentasi yang
ia hasilkan tidak hanya terpaku pada ruang lingkup bangunannya saja, namun juga
merespon topografi kota terkait.

Gambar 3.4 Karya Lukis untuk The Peak Leisure Club (1983) Zaha Hadid
(Sumber: www.Zaha-Hadid.com. 2020)
Gambar 3.5 Karya Lukis untuk The Peak Leisure Club (1983) Zaha Hadid
(Sumber: www.Zaha-Hadid.com)

Gambar 3.6 Karya Lukis untuk The Peak Leisure Club (1983) Zaha Hadid
(Sumber: www.Zaha-Hadid.com)
III.3 Gagasan Zaha Hadid Terkait Material
Penggunaan material pada karya-karya bangunan Hadid sebagian besar didominasi
oleh material beton. Ketertarikannya akan material beton, dikarenakan
kemampuannya untuk mengikuti segala jenis bentuk, khususnya bentuk fluiditas yang
ia inginkan. Beton, pada umumnya memiliki citra yang terasosiasi pada gaya
brutalisme Le Corbrusier. Namun lewat penggunaan material beton pada bentuk
arsitektur fluiditas ala Zaha Hadid, beton kini menampilkan nilai yang baru. Hadid
berhasil mengolah material beton hingga memiliki kesan futuristic.
Namun ia memahami karakter beton yang berat, yang kerap kali menghalangi
keinginannya untuk menampilkan sensasi ringan pada beberapa arsitekturnya. Oleh
karena out, ia pun menggunakan inovasi beton baru yang mengandung serat kaca
untuk menghasilkan keringanan dan fluidistas yang lebih bebas. Selain beton, dalam
arsitektur Hadid juga menggunakan banyak material kaca sebagai upaya untuk
menghasilkan komposisi ruang kosong dan menimbulkan efek futuristic.

Gambar 3.7 Karya Kolaborasi dengan ETH Zurich3D, Knitted Concrete (2018) Zaha
Hadid
(Sumber: www. dezeen.com. 2020)
Selain karya arsitektur, Zaha Hadid pun merambah dunia furniture, produk hingga
fashion. Pada umumnya, dalam mengembangkan desain diluar arsitektur, ia
berkolaborasi dengan beragam desainer yang sudah mahir di bidangnya, seperti
Melisa, Louis Vuitton, Swarovski, dan beberapa lainnya. Menurutnya proyek
kolaborasinya dengan beragam pencipta di luar bidang arsitektur membuka
kesempatannya untuk bereksperimen dengan material-material baru dan dalam skala
ukuran yang berbeda-beda.
Dalam karya kolaborasinya untuk bidang fashion, Zaha pernah menggunakan
material yang kuat namun memiliki efek glossy seperti kulit, logam, dan kaca ataupun
material sintetis seperti plastic dan nylon. Tidak jauh berbeda dengan karya
fashionnya, dalam desain produk dan furniture pun ia menggunakan material yang
cenderung serupa seperti kaca, logam, baja hingga beton. Pada dasarnya ia tertarik
dengan material yang berkarakter kuat, mampu diolah dengan metode cetak serta

yang mampu menghasilkan efek fluiditas.

Gambar 3.8 Karya H-Line Hat dengan Material Nylon (2018) Zaha Hadid Architecs
(Sumber: www.dezeen.com. 2020)
Gambar 3.9 Karya Candle Holder dengan Material Stainless (2019) Zaha Hadid
(Sumber: www.Zaha-Hadid.com. 2020)

III.4 Gagasan Zaha Hadid Terkait Bentuk


Zaha Hadid dikenal akan karya arsitekturnya yang menggunakan bentuk-bentuk
ekstrim organis serta bentuk-bentuk tajam dengan ukuran yang besar. Dalam
pemilihan bentuk, Zaha Hadid cenderung ingin menampilkan keindahan dan juga
kekuatan. Elemen bentuk organis, maupun geometris kemudian dikomposisikan
dengan konsep berlapis, melengkung, atau mengalir tanpa putus. Selain itu, untuk
mendapatkan bentuk, Zaha Hadid kerap kali terinspirasi oleh bentuk yang berasal dari
alam, atau bahkan bentuk yang hadir saat ia merasakan kondisi alam pada lansekap
yang akan ia olah. Topografi, unsur pencahayan alam, arah udara, serta gravitasi
menjadi pertimbangan Hadid saat akan menghasilkan suatu bentuk. Kemudian unsur-
unsur yang hadir dari studinya akan kondisi alam lansekap, baik yang terlihat maupun
tak terlihat, akan dia komposisikan dengan konsep fragmentasi.
Gambar 3.10 Karya Lukis untuk Vitra Fire Station (1993) Zaha Hadid
(Sumber: www.Zaha-Hadid.com. 2020)

Gambar 3.11 Arsitektur Vitra Fire Station (1993) Zaha Hadid


(Sumber: www.Zaha-Hadid.com. 2020)
Walaupun menggunakan konsep komposisi yang seakan terpecah maupun meledak,
namun ia mengimbangi tampilan karya arsitekturnya dengan bentuk-bentuk dasar
yang seakan mencair, mengalir tanpa putus yang dikenal dengan sebutam seamless
dan fluid. Bentuk yang ia tampilkan ini tentunya menambah tantangan dalam proses
produksi. Oleh karena itu, ia bersama rekan kerjanya, Patrik Schumacher,
mengembangkan metode permodelan berbasis algoritme, yaitu paramateric. Bentuk-
bentuk yang ia ingin tampilkan kemudian dikaji lebih lanjut dengan permodelan
computer parametric, untuk menemukan parameter-parameter baru yang sesuai dan
efisien untuk diproduksi. Selain itu, metode permodelan ini pun membantu Hadid
untuk menemukan karakter dan bentuk dasar pada alam, sehingga kemudian ia dapat
merespon kondisi alam tersebut. Menurut Schumacher, walaupu metode ini rumit,
namun penggunaannya sangat mendukung proses kreasi Zaha karena hampir mampu
mereplika alam. Oleh karena itu, dengan bantuan metode permodelan ini, bentuk
yang Zaha hadirkan pada arsitekturnya tidak hanya mampu menghasilkan fungsi,
namun melampaui kebutuhan fungsi yaitu keindahan. Form powers function,
merupakan istilah yang Schumacher berikan pada karya arsitektur Zaha Hadid yang
berbasis permodelan parametric ini, karena setiap keindahan dari bentuk yang Hadid
tampilkan mampu memberi fungsi.
Keindahan karya arsitektur Zaha Hadid, tentu juga menginspirasi bidang kreasi
lainya, mulai dari produk hingga fashion. Lewat kolaborasinya dengan beragam
desainer diluar arsitektur, keindahan karyanya pun dapat hadir pada skala yang
mampu bersinggungan langsung dengan tubuh manusia. Bentuk organis fluiditas khas
Hadid diaplikasikan dalam desain produk, furniture, lampu, perhiasan, dan juga
aksesoris fashion. Dalam produk berskala lebih kecil ini pun, ia tetap menonjolkan
konsep bentuk curved edge, serta bentuk-bentuk yang terinspirasi dari bentuk alam,
serta tetap menampilkan komposisi yang menghasilkan kesan asymmetrical balance.
Gambar 3.12 Houseware Collection untuk Harrods (2014) Zaha Hadid
(Sumber: www.architect magazine.com. 2020)

Gambar 3.13 Karya Kolaborasi dengan United Nute, 3D-Printed Footwear (2013)
Zaha Hadid
(Sumber: www.Zaha-Hadid.com. 2020)
Gambar 3.2 Karya Kolaborasi dengan Zumbotel , Vortexx Lighting(2005) Zaha
Hadid
(Sumber: www.Zaha-Hadid.com. 2020)
IV. KARYA ZAHA HADID

IV.1 Arsitektur
a. Heydar Aliyer Centre, Baku Azerbaijan - 2007

Gambar 4.1 Heydar Aliyer Centre


(Sumber : www.idntimes.com. 2020)

Bangunan yang memiliki desain struktur fleksibel ini melambangkan


optimisme dan harapan agar Negara Azerbaijan akan meninggalkan gaya
pemerintahan komunisme yang kaku di masa lampau. Bangunan ini memiliki
sebuah auditorium untuk pentas, sebuah ruangan galeri dan sebuah museum.
Hingga kini Heydar Aliyev Center menjadi pusat budaya dan pendidikan yang
bermanfaat bagi kota dan penghuninya.
b. Vitra Fire Station, Jerman – 1993

Gambar 4.2 Vitra Fire Station


(Sumber : https://idea.grid.id. 2020)

Tidak seperti bangunan pos pemadam lainnya, Vitra Fire Station (Kantor
Pemadam Kebakaran) dibangun dengan beton miring. Dalam merancang
gedung ini, Zaha Hadid menekankan pada kesederhanaan dalam setiap
aspeknya. Ini terlihat dari bentuk dinding beton yang dibuat miring dan nyaris
tanpa ornamen. Namun kesederhanaan inilah yang membuat Vitra Fire Station
berbeda dari gedung di sekitarnya.
c. The Riverside Museum, Skotlandia

Gambar 4.3 The Riverside Museum


(Sumber : https://idea.grid.id. 2020)

Riverside Museum merupakan salah satu museum dengan desain bangunan


unik. The Riverside Museum merupakan museum transportasi yang
menyajikan lebih dari tiga ribu pameran model kendaraan. Eksteriornya
dirancang dengan pola zig-zag yang menyerupai riak sungai yang terlihat
transparan dan seakan mengeluarkan cahaya pada malam hari.

d. Pierresvives, Montpellier – 2002

Gambar 4.4 Pierresvives


(Sumber : www.idntimes.com. 2020)
Di karyanya ini, Hadid mempersatukan tiga identitas dalam satu karya.
Bangunan ini menaungi perpustakaan arsip, perpustakaan, dan tempat
berolahraga. Kualitas beton dan geometris Pierresvives adalah aspek yang
meyakinkan untuk arsip dan perpustakaan, namun bentuk-bentuk yang meluas
dan memproyeksikan mewujudkan aspek olahraga.

e. London Aquatics Centre, London, Inggris – 2012

Gambar 4.5 London Aquatics Centre


(Sumber : www.arch2o.com. 2020)

Konsep arsitekturnya terinspirasi oleh geometri air yang bergerak,


menciptakan ruang dan lingkungan di sekitarnya yang mencerminkan ruang
dan lingkungan di sekitarnya yang mencerminkan lanskap tepi sungai dari
taman Olimpiade. Atap bergelombang yang menyapu dari tanah sebagai
gelombang menutupi kolam-kolam di Pusat dengan gerakan fluiditas yang
menyatukan, sementara juga menggambarkan volume kolam renang dan
kolam selam.

IV.2 Product/Interior
Passion yang dimiliki Zaha Hadid tidak berhenti pada arsitek bangunan saja, banyak
produk yang juga diciptakanya, seperti furniture, perabot interior, pameran dagang
pavilion, desain dan benda sehari-hari. Berikut beberapa karyanya yang sangat unik
meskipun tidak jauh berbeda dengan produk karya tokoh lain.

a. Zephyr Sofa

Gambar 4.5 Zephyr Sofa


(Sumber : ://neufert-cdn.archdaily.net. 2020)

Sofa ini di desain oleh Zaha Hadid dengan Patrik Schumache pada tahun
2013, dan dengan team lain seperti Fulvio Wirz Mariagrazia Lanza Maha
Kutay. Material yang digunakan pada produk ini berupa painted fiberglass dan
upholstery.
b. Vehicle Z-Car II

Gambar 4.6 Vehicle Z-Car II


(Sumber : http://neufert-cdn.archdaily.net. 2020)

Z-car pun didesain oleh tokoh yang sama yaitu Zaha Hadid dan Patrik
Schumacher pada tahun 2005-2008. Tetapi dengan tim yang berbeda yaitu
Jens Borstelman dan David Seeland. Adapun material utama yang digunakan
adalah carbon fibre composite, EPS PU dan Paint.

c. Aqua Platter

Gambar 4.7 Aqua Platter


(Sumber : www.aasarchitecture.com. 2020)

London 2012 Olympic Aquatics Centre, Aqua Platter menyampaikan irama


fluida air yang bergerak. Berat piring didistribusikan di tiga lengkung poin
pada permukaan piring, setiap titik divariasikan dengan warna untuk
menciptakan efek visual yang secara bersamaan dasar air dan mengungkapkan
kekuatan fluida yang menentukan bentuk dari karyanya. The Aqua platters
terbentuk dari akrilik padat dengan hasil akhir transparan.

d. CITCO Zaha Hadid Collection

Gambar 4.9 CITCO Zaha Hadid Collection

(Sumber : www.design-milk.com. 2020)

Zaha Hadid merancang sebuah koleksi vas patung dari marmer untuk merek
batu Italia Citco. Koleksinya memulai debutnya di Salone del Mobile 2015.
Bentuknya hampir menyerupai kelopak bunga yang mekar, dengan sejumlah
lipatan pada badan vas terinspirasi oleh Haute Couture. Zaha Hadid selalu
punya ide untuk fashion, dan daktilitas kain, yang dapat ia direplikasi dengan
bahan kaku seperti marmer.
IV.3 Fashion
Ketika dunia fashion bertemu seorang Zaha Hadid seorang desainer dalam bidang
arsitektur, ia menerapkan unsur garis yang mencirikan bangunan yang menentang
gravitasinya yang mendefinisikan kembali prinsip monumentalisme. Oleh karena itu,
tidak heran bahwa arsitek berhasil mengukir ciri khas untuk dirinya sendiri di dalam
dunia mode. Zaha Hadid telah bergabung dengan beberapa nama terbesar dalam
mode selama bertahun-tahun, dalam karya fashionnya cenderung menggunakan gaya
avant garde yang ia coba bergabung dengan beberapa retail besar. Berikut adalah
beberapa kolaborasi mode futuristik oleh Zaha Hadid

a. Charlotte Olympia x Zaha Hadid – 2017

Gambar 4.10 Charlotte Olympia x Zaha Hadid


(Sumber: www.vogue.com. 2020)

Dalam penghormatan terakhir kepada Zaha Hadid yang meninggal pada


tanggal 31 Maret 2016, Charlotte Olympia, meluncurkan koleksi kapsul yang
terinspirasi oleh kurva tanda tangan Zaha Hadid, sepasang sepatu serta
Plexiglas minaudières yang dimodelkan dalam gelas cair.
b. Louis Vuitton Icone Bag x Zaha Hadid – 2006

Gambar 4.11 Louis Vuitton Icone Bag x Zaha Hadid


(Sumber: www.architecturaldigest.in. 2020)

Pada 2006, label Perancis LV yang ikonik meminta Zaha Hadid untuk
menafsirkan kembali tas Bucket LV yang terkenal. Perpaduan warisan desain
Louis Vuitton dan gaya arsitek yang unik menghasilkan tas dengan model tas
kurva yang khas. Yang di desain sebagai wadah, tas ember, dengan warna
putih mempesona Louis Vuitton bermotif logo-Colorway, dengan warna
fuchía di dalamnya. Menampilkan kedua cut-out dan Ekstrusi dari LV
monogram.
c. Fendi Peekaboo Bag x Zaha Hadid – 2014

Gambar 4.12 Fendi Peekaboo Bag x Zaha Hadid


(Sumber: www.vogue.com,. 2020)

Mille foglie '(seribu daun). Inilah yang Zaha Hadid Bayangkan ketika dia
mengerjakan tas Peekaboo untuk Fendi. Pada 2014, arsitek ternama
memasukkan visi dunia ultra-grafinya ke dalam Bagian lambang rumah Italia.
Tas ini terbuat dari kulit hitam, kantong unik tas tangan ini dibuat dengan
menggunakan beberapa lapisan yang ditumpangkan.

d. Nova Shoe United Nude x Zaha Hadid – 2013

Gambar 4.13 Nova Shoe United Nude x Zaha Hadid


(Sumber: www.architecturaldigest.in 2020)
Edisi terbatas baru Haute Couture sepatu yang dirancang oleh Zaha Hadid
diluncurkan di Paris, pada tanggal 2 Juli 2013. Zaha Hadid dan United nude
Direktur kreatif rem D Koolhaas telah berbicara tentang sepatu sejak mereka
pertama kali bertemu tahun lalu. Desain revolusioner Sepatu NOVA
menggabungkan materialisasi inovatif dan pertimbangan ergonomis dengan
dinamika bentuk arsitektur Zaha Hadid untuk menyampaikan rasa yang
melekat pada gerakan mengungkapkan eksperimentasi dan penemuan proses
Hadid melalui setiap tahap desain dan konstruksi. Desain NOVA
menggabungkan striations rumit, membangun hubungan formal langsung
dengan struktur utama sepatu dan mengekspresikan kekuatan dinamis yang
diterapkan oleh setiap langkah pemakainya. Sebagai ekspresi terbaru Hadid
dari karya ini, desain Sepatu NOVA melampaui disiplin mode dan arsitektur.

e. Flames Shoe United Nude x Zaha Hadid - 2015

Gambar 4.14 Flames Shoe United Nude x Zaha Hadid


(Sumber: www.vogue.com. 2020)

Untuk kolaborasi kedua label sepatu elegan dari United nude, Reem D.
Koolhaas bekerja sama dengan Zaha Hadid untuk menciptakan Flames,
sepasang sepatu dengan kurva pijar. Meniru bentuk nyala api, potongan
diciptakan berkat sistem cetak 3D, menggabungkan bentuk lengkung dan
desain yang tajam.
V. KESIMPULAN

V.1 Zaha Hadid : Form in Motion


Zaha Hadid merupakan sosok yang memiliki kepribadian tegas, penuh inisiatif serta
berpikiran orisinil. Sosoknya berhasil memperluas kancah arsitektur ke ranah yang
belum pernah terjamah oleh ‘permainan’ arsitektur sebelumnya. Dikenal dengan
reputasi sebagai arsitek tercanggih, Zaha Hadid berhasil membuka titik kebebasan
baru bagi desainer, dimana keberanian untuk terus bereksplorasi dan berekspresi pada
akhirnya akan mematahkan segala keterbatasan.

“She is amongst a handful of architects that truly transformed the field within my
lifetime. In doing so, she became as well-known as her buildings. To the world, she
was Zaha.”
-Marc Kushner, Pendiri Architizer

Besar dalam pengaruh modernisme, terinspirasi secara mendalam oleh bahasa visual
suprematisme, serta berkembang menjadi seorang arsitek ditengah lahirnya gagasan
postmodern, Zaha Hadid menjadi seorang pencipta yang mampu menciptakan
gagasan dan gayanya sendiri. Karya avant garde-nya seakan tidak dapat didefinisikan
dalam kategori apapun yang pernah ada sebelumnya. Ia terus mengeksplorasi segala
kemungkinan untuk desain dapat berperan lebih di tengah masyarakat dan agar desain
dapat berkolaborasi dengan teknologi terdepan. Lewat metode desain berbasis
algoritma yang terus ia promosikan, yaitu parametric, ia berhasil menghasilkan visual
organis dengan sensasi gerak cepat (form in motion) namun seakan terhenti, suatu
komposisi tampilan yang dinilai tidak mungkin untuk direalisasikan sebelumnya.
Zaha Hadid tidak hanya menghasilkan bangunan yang ikonik, namun juga
memberikan sensasi akan identitas dari lingkungan kota dimana karyanya
ditempatkan. Karyanya seakan menjadi katalis budaya lingkungan tersebut. Oleh
karena itu, tergambar jelas bahwa kemampuannya merancang tidak berhenti pada
gagasan gedung sebagai ruang perlindungan, namun pada pemikiran yang jauh lebih
besar. Karya arsitekturnya menunjukan sejauh apa bangunan dapat berperan di tengah
masyarakat sebagai ruang inspirasi yang layak untuk dikagumi. Lewat karya
arsitekturnya pula lah, ia seolah mengenalkan masyarakat akan bentuk masa depan.
Keindahan bangunan yang seolah hidup dari alam sekitarnya, terasa menawarkan
suatu bentuk kehidupan baru. Selain itu, sensasi disrupsi namun terkontrol dari
komposisi arsitektur yang ia tampilkan pun seakan merespon kondisi padat, dan
rumitnya dinamika kehidupan di perkotaan.
Karya-karya arsitektur Zaha Hadid, merupakan simbol dari kecintaan lama para
arsitek akan eksperimen dan eksplorasi. Semangat akan penggalian suatu gagasan
yang inovatif, pengujian material-material baru, eksplorasi komposisi spasial yang
berbeda, serta percobaan akan sistem konstruksi tercanggih terus diupayakan tanpa
henti, demi satu tujuan utama, yaitu memperkaya kehidupan manusia melalui desain.

V.2 Relevansi Kajian pada Topik Masing-Masing Desainer

V.2.1 Gagasan Inovasi untuk Manusia dan Masa Depan


Proses kreasi Zaha Hadid yang detail dan sarat akan gagasan inovatif menginspirasi
tidak hanya kalangan pencipta lainnya namun juga masyarakat pada umumnya.
Ketidak terbatasannya proses kreasi Hadid yang berhasil diwujudkan dalam karya
nyata, melahirkan semangat untuk berekspresi serta memicu semangat berinovasi,
khususnya pada ruang lingkup desain dan arsitektur.
Zaha Hadid merupakan seseorang yang sukses mengejawantahkan kompilasi dari
ide-ide liar menjadi suatu bahasa yang dapat dinikmati banyak orang. Pengolahan
gagasan desain, metode pengolahan bentuk, pemilihan material serta yang dilakukan
Zaha Hadid bersama perusahaanya ZHA, mendefinisikan tingkat proses kreasi yang
baru. Tak hanya itu, gagasan Hadid dalam merancang, mengajarkan desainer di
generasi berikutnya akan pentingnya mengembangkan visi dibalik suatu desain dan
proses kreasi sehingga mampu mendorong lahirnya karya penuh totalitas seperi yang
Zaha Hadid lakukan.
Desain sepatutnya lekat dengan konteks manusia, tidak hanya karena manusia
merupakan target pasar, namun juga karena manusia merupakan pengguna utama.
Oleh karena itu, desain perlu lahir untuk memperkaya kehidupan manusia dengan
memfasilitasi kebutuhan manusia pengguna desain tersebut. Terkait dengan konteks
tersebut, Zaha Hadid memiliki kesadaran penuh akan bagaimana pengaruh suatu
arsitektur berskala besar pada manusia dan perkembangan sosialnya. Ia ingin
karyanya tidak hanya menjadi suatu benda fungsional, tapi juga mampu
menghidupkan manusia secara keseluruhan dengan menawarkan imajinasi, inspirasi,
serta rasa optimis yang diharapkan mampu membangun sensasi progresif bagi
penggunanya.
Keputusan Hadid untuk membawa konteks bentuk masa depan (benda maupun non-
benda) pada karya arsitekturnya mengingatkan kami para desainer untuk
menghasilkan karya yang tidak terhenti pada gagasan akan kebutuhan saat ini. Desain
seharusnya ditujukan untuk mampu memfasilitasi kebutuhan manusia di masa depan.
Oleh karena itu, desain perlu memiliki konteks gagasan yang bersifat spekulatif,
namun tentunya perlu didukung oleh penelitian yang bersifat rasional.

V.2.2 Inovasi pada Material Serta Pencitraannya


Material merupakan elemen penting yang dapat membangun bentuk dari sebuah
desain. Oleh karena itu, dalam penggunaan material, Zaha Hadid pun melakukan
berbagai inovasi agar rancangannya mampu terbangun sempurna. Inovasinya pada
material tidak hanya dalam konteks pencarian akan material yang belum pernah ada
sebelumnya, namun ia pun berinovasi dengan merekonstruksi citra dari suatu
material. Oleh karena itu, dalam proses kreasinya ia pun menggali pemahaman yang
mendalam akan sifat dan karakter dari suatu material yang ia akan gunakan, baik dari
segi fisik maupun non-fisik.
Sebagai contoh adalah pendekatannya dalam menggunakan beton. Ia memahami
karakter kuat dan lentur yang beton mampu hasilkan, namun ia pun mengerti sifat
berat dari material beton, serta citra lama yang telah terbangun pada material beton
tersebut. Oleh karena itu, bersama dengan tim kreatifnya ia berupaya untuk
menghasilkan suatu material alternatif yaitu beton yang terbuat dari pencampuran
serat kaca. Ia mengadopsi karakter dasar dinamis dan kuat pada beton, namun
berupaya untuk mengurangi sifat berat dari beton. Lewat inovasinya, material beton
kini mencapai tingkat kelenturan yang baru. Walaupun secara tampilan, material
beton baru tersebut memiliki visual yang serupa dengan beton pada umumnya, namun
oleh karena aplikasinya pada arsitektur rancangan Zaha, yang penuh unsur lengkung
dan lentur, kini beton memiliki citra barunya yang seakan terasosiasi dengan
teknologi masa depan.
Kemampuan Hadid dalam memahami material, tentu menginspirasi kami untuk lebih
peka terhadap karakter murni akan suatu material yang akan kami gunakan maupun
eksplorasi. Tentunya setiap material memiliki citranya tersendiri, namun penting bagi
kami untuk mempelajari lebih lanjut karakter dasar (murni) dari material tersebut dan
tidak hanya terpaku akan pemahaman yang ada sebelumnya. Selain itu, sangat
diperlukan untuk desainer agar terus bereksperimen sehingga mampu menghasilkan
suatu olahan material baru, yang mungkin dapat melampaui batasan-batasan karakter
material yang telah dipahami sebelumnya. Layaknya Hadid yang memahami peran
material sebagai salah satu elemen penting pembangunan karyanya, pemahaman
mendalam yang desainer miliki akan suatu material tentu akan sangat diperlukan
untuk menentukan bentuk akhir hingga penggunaan dari keluaran desain masing-
masing desainer.
Gambar 5.1 Zaha Hadid Form in Motion
VI. DAFTRA PUSTAKA

1) Abdullah Amatalraof, Said Bin Ismail, Ossen Dilshanremas (2013): Zaha Hadid’s
Techniques of Architectural Form-Making.Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia.
2) Abdullah Amatalraof (2013): Zaha Hadid Form Making Strategies For Design.
Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia.
3) Asim Farhan, Shree Venue (2018): A Century of Futurist Architecture : From Theory
to Reality, National Institute of Technology, India.
4) Giovanni Joseph (2016) : ‘Under Schumacher, Zaha Hadis’s architectural DNA will
live on’, The Architects’s Journal, New York.
5) Klasto Cathryn (2019) : Zaha Hadid : Spatializing Identity Through The
Architechture Monster, The University of Sheffield.
6) Kentgens Margret. (2018) : Nowhere Did The Heritage of The Bauhaus Find Ground
as Fertile as in America, Dezeen.
7) Ladd Cathryn (2019): Zaha Hadid : Spatializing Identity Through The Architectural
Monster, The University of Seffield, London.
8) Lee Youngjin (2015) :The Parametric Design Genealogy og Zaha Hadid, Boston
Architectural College, USA.
9) Mull Olivia (2016) : “Zaha Stood Out From The Start” Says Son of Former AA
Head, Dezeen.
10) anothermag.com/fashion-beauty/9329/when-architecture-met-fashion-in-the-hands-
of-zaha-hadid
11) https://www.dezeen.com/2016/04/01/rem-koolhaas-exclusive-interview-friendship-zaha-
hadid-beauty-strength/
12) https://www.bauhaus100.com/magazine/follow-the-bauhaus-into-the-world/the-art-of-
revolution/
13) https://www.e-flux.com/journal/54/59858/repetition-compulsion-world-historical-rhythms-
in-architecture/
14) https://thethinkingarchitect.wordpress.com/2015/12/19/the-placelessness-of-
parametricism/
15) https://birdinflight.com/inspiration/sources/20191125-bauhaus-2-society-and-
progress.html
16) http://exceptionalalien.com/sara-klomps/
17) https://www.pinterest.co.uk/pin/308144799487967483/
18) https://www.archdaily.com/530641/zaha-hadid-on-russian-artist-kazimir-malevich
19) https://news.artnet.com/art-world/architect-zaha-hadid-legacy-1383145
20) https://www.propertyinside.id/2018/02/24/zaha-hadid-dan-karyanya-yang-terus-dikenang/
21) https://www.harpersbazaar.com/uk/culture/culture-news/a36804/zaha-hadid-dies-at-the-
age-of-65/
22) https://www.1843magazine.com/culture/look-closer/zaha-hadid-on-paper
23) https://www.arch2o.com/zaha-hadid-awarded-royal-gold-medal-riba/
24) https://www.kingsnews.org/articles/zaha-hadid-biography
25) https://www.spiked-online.com/2016/04/04/zaha-hadid-an-architectural-visionary/
26) https://www.theguardian.com/artanddesign/2016/mar/31/zaha-hadid-maverick-architect-
designer-appreciation
27) https://www.theguardian.com/artanddesign/2013/sep/08/zaha-hadid-serpentine-sackler-
profile
28) https://www.curbed.com/2016/3/31/11339752/zaha-hadid-obituary
29) https://www.gensler.com/research-insight/gensler-research-institute/reimagining-cities-
year-1-redefining-the-town-square
30) https://www.guggenheim.org/blogs/checklist/painting-for-the-guggenheim-zaha-hadids-
exhibition-design-process
31) https://www.gensler.com/research-insight/gensler-research-institute/office-building-of-the-
future
32) https://newhumanist.org.uk/articles/962/design-for-living
33) http://www2.uiah.fi/opintoasiat/history2/ebauha.htm
34) https://www.z33.be/en/artikel/a-school-of-schools-transcending-the-bauhaus/
35) https://www.archipanic.com/2019-best-architecture/
36) https://www.edb.gov.hk/attachment/tc/curriculum-development/kla/arts-
edu/references/ad006/20160606a.pdf
37) https://freshome.com/inspiration/10-inspirational-and-architectural-lessons-from-zaha-
hadid/
38) https://freshome.com/inspiration/10-inspirational-and-architectural-lessons-from-zaha-
hadid/
39) https://www.dezeen.com/2019/02/08/zaha-hadid-design-activewear-odlo-fashion/?
li_source=LI&li_medium=rhs_block_2
40) https://www.londondesignfestival.com/event/zahahadidgallerytour
41) https://architizer.com/brands/zaha-hadid-design/products/cell-candleholder/
42) https://www.bocadolobo.com/en/inspiration-and-ideas/pulse-glass-collection-zaha-
hadid-design/
43) https://www.dezeen.com/2013/05/28/zaha-hadid-design-gallery-open-to-public/
44) https://divisare.com/projects/334801-zaha-hadid-architects-luke-hayes-zaha-hadid-
design-gallery
45) https://zaha-hadid-design.com/
46) https://aasarchitecture.com/2018/03/zaha-hadid-design-design-shanghai-2018.html/
47) https://www.slideshare.net/nicholasdennydharmawan/arsitektur-dekonstruksi-
83493715

Anda mungkin juga menyukai