Anda di halaman 1dari 5

Hiperglikemia akibat penggunaan steroid

Pendahuluan

Steroid sering digunakan sebagai obat anti inflamasi baik pada keadaan akut maupun kronik. Namun,
penggunaan steroid memiliki efek samping, salah satunya adalah hiperglikemia. Steroid menyebabkan
hiperglikemia baik pada penderita DM dan dapat menyebabkan DM pada pasien tanpa riwayat
peningkatan kadar glukosa sebelumnya. Beberapa factor risiko yang diketahui yaitu : dosis dan jenis
steroid yang digunakan, lamanya penggunaan, penggunaan glukokortikoid terus menerus, usia lanjut,
HbA1c, dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Pada penggunaan steroid di RS ditemukan bukti bahwa
separuh dari jumlah pasien yang mendapatkan steroid dosis tinggi akan mengalami hiperglikemia

Glukokortikoid merupakan steroid yang paling sering digunakan dalam mengobati inflamasi, dengan
efek samping antara lain dapat menyebabkan diabetes. Glukokortikoid juga paling sering
berhubungan dengan onset hiperglikemia dan DM. Glucocorticoid-induced diabetes mellitus (GIDM)
telah banyak ditemukan dalam 60 tahun terakhir ini. GIDM dapat terjadi pada pasien dengan riwayat
DM sebelumnya maupun pada pasien tanpa riwayat DM. Peningkatan gula darah pada penggunaan
glukokortikoid diharapkan akan menurun setelah berhenti menggunakan obat ini, namun penurunan
tersebut tidak selalu terjadi. Sebagian kasus berlanjut hingga menjadi DM.

Patofisiologi

Kortikosteroid akan meningkatkan produksi glukosa endogen, meningkatkan gluconeogenesis di


hepar akibat peningkatan counterregulatory hormones seperti glucagon dan epinefrin. Selain itu juga
menghambat kerja metabolic insulin, menurunkan uptake glukosa perifer pada otot dan jaringan
adiposa. Kortikosteroid akan menghambat produksi dan sekresi insulin pada sel β dan secara tidak
langsung akan menginduksi kegagalan sel β karena bersifat lipotoksik.

Efek glukokortikoid dalam homeostasis glukosa sangat kompleks dan belum dipahami sepenuhnya.
Efek negative yang diperkirakan dipengaruhi oleh : peningkatan resistensi insulin, peningkatan
intoleransi glukosa, penurunan massa sel beta akibat terganggunya fungsi sel beta, dan peningkatan
resistensi insulin hepatic yang kemudian menyebabkann terganggunya produksi glukosa hepatic.
Glukortikoid meningkatkan terjadinya lipolysis, proteolysis dan meningkatkan produksi glukosa di
hepar, serta menghambat produksi dan sekresi insulin di sel β sehingga terjadi resistensi insulin.
Penggunaan glukokortikoid dapat mengganggu metabolisme glukosa pada berbagai jalur mekanisme,
antara lain mengganggu fungsi sel beta. Penggunaan glukokortikoid yang lama akan merubah
komposisi tubuh, mencakup perubahan jaringan adiposa dalam tubuh.
Steroid menyebabkan resistensi insulin yang mempengaruhi GLUT4 pada otot skeletal menurunkan
uptake glukosa 30-50% dan menurunkan sintesis glikogen 70%. Steroid meningkatkan lipolysis yang
mengakibatkan peningkatan asam lemak bebas serum dan trigliserida. Hal ini menyebabkan
akumulasi lipid intramioseluler, menghambat masuknya glukosa dan penyimpanan glukosa di otot.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, GC menyebabkan resistensi insulin dan diikuti dengan
keadaan hyperinsulinemia. Pada orang sehat, mekanisme ini dikompensasi dengan sekresi insulin
pankreatik sehingga kadar glukosa tetap normal. Namun pada populasi yang rentan, seperti orang
yang memiliki sensitivitas insulin rendah dan produksi insulin yang rendah akibat penggunaan steroid,
mekanisme kompensasi tersebut tidak bekerja, sehingga menyebabkan hiperglikemia.

Diagnosis

Diagnosis steroid hiperglikemia sama dengan kriteria yang dikeluarkan oleh American Association of
Diabetes GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl, HbA1c > 6,5% atau GD 2 jam PP > 200 mg/dl. Karena
steroid-induced diabetes hanya terdeteksi pada keadaan postprandial, maka tidak direkomendasikan
pemeriksaan GDP untuk mendeteksi. Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa gula darah 2 jam
PP dan/atau HbA1c merupakan skrining penggunaan steroid dalam waktu lama. Glikemia postprandial
setelah makan siang memiliki sensitivitas pemeriksaan tinggi, terutama setelah pemberian GC kerja
sedang pada pagi hari.

Pemeriksaan HbA1c direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien yang diberikan GC > 2 bulan.
Pada pasien dimana kadar HbA1c tidak dapat digunakan karena mengalami penyakit seperti
hemoglobinopati, gagal ginjal, atau anemia, dapat dilakukan pemeriksaan fruktosamin.

Pada pasien yang dirawat inap, perlu dilakukan pemantauan glukosa dimulai sebelum pemberian
steroid, untuk menentukan kadar glukosa awal sebelum pemberian steroid dan berlangsung selama
1-2 hari. Pada pasien nondiabetic, bila kadar gula darah menetap < 140 mg/dl maka pemantauan
dapat dihentikan. Sementara itu, pada pasien yang memiliki gula darah > 140 mg/dl dan memerlukan
insulin, dapat diberikan insulin basal/bolus.
Beberapa protocol untuk mendeteksi steroid-induced hyperglycemia masih sementara diteliti.
Penelitian dilakukan berdasarkan hipotesis abnormalitas sekresi insulin dan ganguan fungsi sel beta
pada orang prediabetes dapat diteliti sebagai respons peningkatan kebutuhan insulin akibat paparan
glukokortikoid. Pada penelitian Abdelmannan dkk menggunakan “stress test” dengan diberikan
deksametason 8 mg dapat dideteksi serum glukosa, c-peptide, dan insulin pada populasi berisiko dan
dapat memperkirakan komplikasi terkait dengan pemberian steroid dengan dosis biasa. Namun
penelitian ini masih harus dipelajari lebih lanjut.

Penatalaksanaan

Hingga saat ini masih belum ada consensus yang menetapkan penatalaksanaan hiperglikemia
sekunder akibat glukokortikoid yang optimal. Karena perbedaan dosis dan cara penggunaan steroid,
maka penatalaksanaan hiperglikemia disesuaikan pada masing-masing orang. Untuk memudahkan
perencanaan pemberian terapi, dapat dilihat pada bagan berikut.

Obat Hipoglikemik Oral

Pada pasien yang diberikan steroid kerja-sedang dua kali sehari atau lebih dengan sediaan masa kerja
lama seperti deksametason, perlu diberikan golongan sulfonylurea kerja panjang, dengan mengingat
efek hipoglikemik dari obat ini. Metformin merupakan salah satu pilihan karena kerjanya yang secara
langsung memperbaiki sensitivitas insulin. Namun, metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal ginjal dan hipoksia. Golongan insulin sensitizer lainnya dapat digunakan bila tidak dapat
menggunakan metformin. Dosis penggunaan obat-obatan ini tidak berbeda.

Tiazolidindion (TZD) digunakan sebagai terapi jangka panjang, dengan memperbaiki kerja insulin pada
jaringan adipose dan otot skeletal. Namun penggunaannya terbatas karena risiko edema, gagal
jantung, hepatotoksik, dan efek kardiovaskuler, dan efek osteopenik.

Selective DPP-4 dan glucagon-like-peptide 1 menunjukkan efektivitas kontrol glikemia memperbaiki


pelepasan insulin, menghambat sekresi glucagon, dan memperbaiki uptake perifer, kemudian
mempercepat pengosongan lambung, serta menurunkan selera makan dan asupan kalori. Pada
steroid hyperglycemia, DPP-4 menurunkan glycated haemoglobin hingga 24,6% dan kadar gula 32,6%.
Pemberian exenatide memperbaiki GIDM pada individu tanpa DM dengan memperbaiki sekresi insulin
dan menghambat sekresi glucagon. Namun, penggunaan golongan ini masih harus dipelajari.

Insulin

Insulin merupakan terapi pilihan bila GD menetap ≥ 200 mg/dl. Secara umum, hiperglikemia yang
berhubungan dengan resistensi insulin membutuhkan insulin dosis besar pada awal terapi, kemudian
dosis dapat diturunkan.

Penatalaksanaan Hiperglikemia pada Pasien Diabetes

Target gula darah pada pasien DM yaitu : GDP < 130 mg/dl, GD PP < 180 mg/dl, dan HbA1c < 7% tanpa
hipoglikemia. Karena terdapat risiko GIDM, maka pada pasien yang terkontrol dengan pola hidup saja,
dapat diberikan OHO, sedangkan pasien yang sudah mengonsumsi OHO, perlu ditingkatkan dosisnya
atau mulai diberikan insulin bila terjadi hiperglikemia persisten > 180 mg/dl. Terdapat risiko
hipoglikemia pada saat dosis kortikosteroid diturunkan. Perlu dilakukan evaluasi glukosa per hari
karena efek glikemik glukokortikoid bersifat kumulatif. Pada pasien dengan GD > 300 mg/dl perlu
diberikan pemberian insulin yang lebih agresif, seperti insulin intravena, atau dosis insulin yang lebih
tinggi.

Edukasi pada Pasien

Harus dipastikan bahwa semua pasien DM dan berisiko tinggi GIDM dimonitor gula darahnya untuk
mencegah terjadinya kegawatdaruratan hiperglikemia. Bila dosis glukokortikoid telah ditappering,
maka perlu dilakukan penyesuaian obat-obatan yang digunakan. Pemantauan pada pasien tanpa
riwayat DM sebelumnya adalah dengan pemeriksaan HbA1c setelah 12 minggu selesai terapi dengan
glukokortikoid untuk menilai status diabetesnya. Pasien dengan OHO perlu diperiksa gula darah
beberapa hari setelah dosis glukokortikoid diturunkan, karena perlu beberapa waktu penyesuaian
glikemik.

Kesimpulan

Skrining untuk GIDM perlu dilakukan pada pasien yang diberikan glukokortikoid dosis sedang sampai
dosis tinggi. Perlu dilakukan pemeriksaan gula darah sebelum pemberian terapi dengan kortikosteroid
untuk menentukan status glikemik, namun bila tidak memungkinkan, maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan gula bersamaan dengan pemberian terapi. Penatalaksanaan, baik dengan obat oral
maupun dengan insulin perlu mempertimbangkan derajat, pola hiperglikemia serta jenis dan dosis
kortikosteroid yang digunakan. Terapi kemudian dapat disesuaikan dengan kadar glikemia dan dosis
kortikosteroid yang digunakan. Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
mekansme pasti hiperglikemia dan resistensi insulin yang disebabkan oleh penggunaan steroid dan
juga pencegahan hiperglikemia pada penggunaan steroid.

Anda mungkin juga menyukai