Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Prolonged jaundice adalah suatu keadaan jaundice menetap hingga melebihi 2


minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada bayi kurang bulan. Hal ini
dapat terjadi pada kurang lebih 15% bayi baru lahir. Membedakan jaundice
fisiologis dengan kelainan hepatobilier merupakan suatu hal yang tidak mudah.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa 1 dari 2.500 bayi lahir hidup mengalami
kelainan hepatobilier, karena itu setiap prolonged jaundice harus mendapatkan
perhatian khusus dan pemeriksaan lebih lanjut. Seringkali kita mendapatkan bayi
kuning yang datang sudah dalam keadaan terlambat. Ada banyak
penyebab penyakit kuning berkepanjangan pada neonatus. yang paling umum
adalah menyusui asi sekitar 40% bayi asi ekslusif didiagnosis dengan prolonged
jaundice, tetapi dalam beberapa kasus dapat menjadi penanda untuk berbagai
hepatobiliary, hematologi, metabolisme, endokrin, infeksi dan kelainan genetik
yang berhubungan dengan kematian yang signifikan dan morbiditas jika tidak
didiagnosis pada waktu. 1,2
Klasifikasi Hiperbilirubinemia terbagi atas dua yaitu fisiologis dan patologis.
Hiperbilirubinemia fisiologis memiliki karakteristik; timbul pada hari kedua-
ketiga, kadar bilirubin indirek tidak melebihi 12 mg/dl pada neonatus cukup bulan
dan 10 mg/dl pada bayi kurang bulan, kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak
melebihi 5 mg/dl / hari, gejala ikterus akan hilang pada kurang dari 10 hari.
Hiperbilirubinemia patologis memiliki karakteristik ; ikterus terjadi kurang dari
24 jam pertama kehidupan, ikterus dengan kadar bilirubin indirek 12 mg/dl pada
bayi cukup bulan dan 10 mg/dl pada bayi premature, ikterus dengan peningkatan
kadar bilirubin > 5 mg/dl per hari, ikterus yang menetap sesudah dua minggu
pertama kehidupan. Hiperbilirubinemia merupakan kejadian yang sering dijumpai
pada minggu-minggu pertama setelah lahir. Penyebab terbanyak
hiperbilirubinemia adalah karena peningkatan kadar Bilirubin Indirek Serum
(BIS). Secara umum dinyatakan bahwa seorang bayi dianggap ’bermasalah’ bila
kadar BIS >10 mg/dL, umumnya dapat ditemukan penyebab patologis pada bayi

1
ini. BIS bersifat neurotoksik bagi bayi pada kadar dan keadaan tertentu. Bilirubin
direk tidak bersifat neurotoksik namun kadar yang tinggi menunjukkan
kemungkinan adanya gangguan yang serius. Hiperbilirubinemia akan berpengaruh
buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak, sehingga terjadi
ensefalopati biliaris (Kernicterus) yang dapat mengakibatkan kematian atau
gangguan perkembangan neurologi dikemudian hari. 3,4
Pertumbuhan dan perkembangan otak dimulai dengan pembentukan lempeng
saraf (neural plate), pada masa embrio yaitu sekitar hari ke-16 yang kemudian
menggulung membentuk tabung saraf (neural tube) pada hari ke-22. Pada minggu
ke-5 mulailah terlihat cikal bakal otak besar di ujung tabung saraf. Selanjutnya
terbentuklah batang otak, serebelum dan bagian-bagian lainnya. Perkembangan
otak yang kompleks memerlukan beberapa seri proses perkembangan yang terdiri
atas: pembentukan tabung neural, kemudian neuron (sel saraf) berproliferasi pada
regio yang berbeda, terjadi migrasi neuron dari tempat pembentukannya ke tempat
yang permanen, diikuti agregasi sel sehingga membentuk bagian-bagian otak,
selanjutnya neuron-neuron imatur berdiferensiasi, dan terbentuk hubungan antar
neuron (sinaps), tahap berikutnya terjadi kematian sel dan eliminasi selektif,
penyempurnaan mielinasi (pembentukan mielin) Gangguan perkembangan
neurologis adalah kegagalan untuk memiliki kemampuan fungsi neurologis yang
seharusnya dimiliki, yang disebabkan oleh adanya lesi (defek) dari otak yang
terjadi pada periode awal pertumbuhan otak. Penyebab gangguan terjadi pada
masa pranatal, perinatal ataupun pasca natal. 3,5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Perkembangan Neurologis


1. Definisi
Gangguan perkembangan neurologis (GPN) adalah kegagalan
untuk memiliki kemampuan fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki,
yang disebabkan oleh adanya lesi (defek) dari otak yang terjadi pada
periode awal pertumbuhan otak. Penyebab gangguan terjadi pada masa
pranatal, perinatal ataupun pasca natal. Pada umumnya dapat dipastikan
bahwa gangguan perkembangan neurologis mempunyai basis biologik
yaitu basis serebral. Beberapa hal disebutkan dapat mempengaruhi dan
merusak otak pada masa awal dari pertumbuhannya sehingga terdapat
lesi/defek pada otak yang menyebabkan terjadinya gangguan
perkembangan neurologis, dimana terdapat keterlambatan/kegagalan
untuk memiliki kemampuan fungsi-fungsi neurologis yang seharusnya
dimiliki. 5
2. Faktor resiko
Secara garis besar faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
gangguan perkembangan neurologis dapat dibagi menjadi 3 golongan
yaitu :
 Faktor prenatal
Termasuk dalam golongan ini adalah faktor genetik yaitu defek gen
atau defek kromosom, misalnya trisomi 21 pada sindrom Down.
Banyak sekali defek kromosom yang dapat menyebabkan gangguan
perkembangan neurologis. Penyimpangan ini sudah ada sejak dini
dan dalam bermacam-macam fase, menyebabkan malformasi
serebral, tergantung gen yang bersangkutan. Kesehatan ibu selama
hamil, keadaan gizi dan emosi yang baik ikut mempengaruhi
keadaan bayi sebelum lahir. Faktor pranatal lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya gangguan perkembangan neurologis

3
adalah penyakit menahun pada ibu hamil seperti: tuberkulosis,
hipertensi, diabetes mellitus, anemia, penggunaan narkotik, alkohol
serta rokok yang berlebihan. Usaha untuk menggugurkan kandungan
sering pula berakibat cacatnya bayi yang lahir yang seringkali dapat
disertai gangguan perkembangan neurologis. Infeksi virus pada ibu
hamil seperti rubella, citomegalovirus (CMV) dan toksoplasmosis
dapat mengakibatkan kerusakan otak yang potensial sehingga otak
berkembang secara abnormal. Anoksia dalam kandungan, terkena
radiasi sinar-X dalam kehamilan, abruptio placenta, plasenta previa
juga dapat mempengaruhi timbulnya gangguan perkembangan
neurologis.5
 Faktor perinatal
Keadaan-keadaan penting yang harus diperhatikan pada masa
perinatal adalah :
a. Asfiksia. Bila keadaan ini berat dapat menyebabkan kematian atau
kerusakan permanen pada otak (Hypoxic-Ischemic
Encephalopathy/HIE), sehingga bayi dapat mengalami gangguan
perkembangan neurologis bahkan menderita cacat seumur hidup.
b. Trauma lahir. Trauma lahir merupakan salah satu faktor potensial
terjadinya gangguan perkembangan neurologis karena terdapat risiko
terjadinya kerusakan otak terutama akibat perdarahan.
c. Hipoglikemia. Dikatakan hipoglikemia bila kadar glukosa darah
<45 g/dl Keadaan ini bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat
menyebabkan kerusakan otak berat bahkan kematian
d. Bayi berat lahir rendah (BBLR). Prognosis pada tumbuh-kembang
termasuk perkembangan neurologis pada bayi kecil masa kehamilan
(KMK) lebih kurang baik daripada bayi prematur, karena pada KMK
telah terjadi retardasi pertumbuhan sejak didalam kandungan, lebih-
lebih jika tidak mendapat nutrisi yang baik sejak lahir.
e. Infeksi. Infeksi berat dapat memberi dampak gejala sisa neurologis
yang jelas seperti : hidrosefalus, buta, tuli, cara bicara yang tidak

4
jelas dan retardasi mental. Gejala sisa yang ringan seperti gangguan
penglihatan, kesukaran belajar dan kelainan tingkah laku dapat pula
terjadi.
f. Hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia akan berpengaruh buruk
apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak, sehingga terjadi
ensefalopati biliaris (Kern icterus) yang dapat mengakibatkan
gangguan perkembangan neurologis dikemudian hari. 5
 Faktor Pascanatal
Banyak sekali faktor pasca-natal yang dapat menimbulkan kerusakan
otak dan mengakibatkan terjadinya gangguan perkembangan
neurologis. Termasuk diantaranya adalah infeksi intra kranial,
trauma kapitis, tumor otak, gangguan pembuluh darah otak, kelainan
tulang tengkorak (misalnya kraniosinostosis), kelainan endokrin dan
metabolik, keracunan otak, malnutrisi. Otak anak dengan malnutrisi
lebih kecil daripada otak normal seumurnya, jumlah sel neuron dan
jumlah lemak otak juga berkurang. 5

3. Penilaian Gangguan Perkembangan Neurologis


Deteksi dini adanya kelainan perkembangan ini sangat penting
artinya agar diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan lebih
awal, sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung seoptimal
mungkin. Salah satu alat skrining yang dapat digunakan untuk menilai
perkembangan neurologis adalah BINS (Bayley Infant
Neurodevelopmental Screener). Alat skrining ini dibuat untuk menilai
anak umur 3–24 bulan. Akurasi tes ini tiap kelompok umur adalah 75-86
%, membutuhkan waktu 10-15 menit dan mudah dilakukan. Tujuan dari
program skrining perkembangan ini adalah untuk menetapkan tingkat
perkembangan neurologis, menjaring adanya gangguan atau
penyimpangan dari perkembangan yang normal dan mendeteksi faktor
risiko gangguan perkembangan dikemudian hari. Sektor-sektor yang
dinilai dalam BINS meliputi :

5
a. Neurologis : sektor ini menilai ‘keutuhan’ fungsi-fungsi neurologis
dari perkembangan otak. Termasuk dalam kategori ini adalah : evaluasi
dari tonus otot (hipo/hipertonia), kontrol kepala/leher, gerakan asimetri,
mengeluarkan air liur yang berlebihan dan gerakan motorik yang
berlebihan.
b. Reseptif : sektor ini meliputi masuknya informasi ke dalam otak yaitu
sensasi dan persepsi, yang masuk lewat proses penglihatan, pendengaran
dan taktil.
c. Ekspresif : sektor ini ditunjukkan sebagai aktivitas-aktivitas yang
meliputi : motorik halus (kemampuan memegang, memanipulasi suatu
obyek dengan jari-jari, koordinasi mata-tangan), motorik oral
(vokalisasi, verbalisasi) termasuk fungsi verbal kognitif dan motorik
kasar (duduk, merangkak, berjalan).
d. Kognitif : sektor ini meliputi fungsi memori, kemampuan belajar,
berpikir dan menganalisa, termasuk perhatian, kemampuan memecahkan
masalah dan integrasi dari fungsi otak yang bervariasi. 6
Pada periode perkembangan pasca natal, perkembangan motorik
awal pada bayi adalah refleks primitif dan refleks postural. Refleks
primitif timbul sejak masa 4 bulan terakhir masa pranatal sampai 4 bulan
postnatal, mulai menghilang dalam umur ±3 bulan, diganti oleh refleks
postural yang terdiri dari refleks righting yang mulai muncul pada umur
3-9 bulan serta refleks proteksi dan keseimbangan pada umur 6-18
bulan, dan akhirnya berkembang menjadi gerak yang sempurna. Refleks
tersebut berasal dari daerah subkorteks yaitu, medula spinalis dan batang
otak. Gerak bersifat cepat, difus, involunter, tidak bertujuan dan
stereotipi. Fungsi refleks primitif terutama untuk survival. Refleks ini
akan menghilang dan digantikan oleh refleks postural yang merupakan
dasar untuk perkembangan gerak volunter yang dikontrol korteks
serebri. Refleks ini melatar belakangi perkembangan motorik anak
seperti berguling, duduk, merangkak, berdiri, dll. Refleks primitif dan
refleks postural penting untuk menentukan tingkat kematangan susunan

6
saraf pusat. Pada perkembangan normal, reflek primitif spinal dan
batang otak akan berkurang secara bertahap seiring perkembangan
kemampuan lokomosi dan reaksi keseimbangan yang terbentuk
kemudian. Bila kontrol inhibisi dari pusat yang lebih tinggi mengalami
kerusakan atau keterlambatan maka pola primitif akan tetap
mendominasi sensori motor. Refleks-refleks yang menetap, tidak
muncul, lemah atau asimetri menunjukkan adanya gangguan
perkembangan susunan saraf pusat sehingga memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut. 5,6

Bila jaringan otak mengalami kerusakan, akan terjadi plastisitas yaitu


kemampuan susunan saraf untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan
atau kerusakan yang disebabkan faktor internal maupun eksternal.
Sehubungan dengan plastisitas tersebut, stimulasi sedini mungkin akan
merangsang pertumbuhan saraf menjadi lebih fungsional dan kompleks.
Adanya sifat kompetitif dari sel-sel dan platisitas otak menyebabkan
pentingnya deteksi dan stimulasi dini. 6
Namun penting untuk diingat bahwa dengan skrining dan
mengetahui adanya masalah pada perkembangan neurologis anak tidak
berarti diagnosis pasti dari kelainan tersebut telah ditetapkan. Skrining
dipergunakan untuk memberi petunjuk apakah bayi atau anak yang
diperiksa perkembangan neurologisnya sesuai atau kurang dari normal. 6

7
2.2 Prolonged Jaundice
1. Definisi
Hiperbilirubin adalah akumulasi bilirubin dalam darah yang berlebihan
yang ditandai dengan adanya perubahan warna kekuningan pada kulit dan
sclera. Hiperbilirubin mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar plasma
bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi. Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai
peningkatan kadar bilirubin serum total >5 mg/dL.8,9
Prolonged jundice pada sebagian besar bayi dikaitkan dengan ASI tetapi
dalam beberapa kasus dapat menjadi penanda untuk berbagai hepatobiliary,
hematologi, metabolisme, endokrin, infeksi dan kelainan genetik yang
berhubungan dengan kematian yang signifikan dan morbiditas jika tidak
didiagnosis pada waktu. 10
Ikterus yang hadir pada usia lebih dari 2 minggu untuk bayi aterm atau 3
minggu untuk bayi prematur dapat dianggap sebagai ikterus
berkepanjangan. Pertama, perlu ditentukan apakah penyakit kuning tidak
terkonjugasi atau terkonjugasi. Penyebab kuning yang tidak terkonjugasi
adalah: ikterus ASI karena peningkatan reumopati enterik; Dapat
berlangsung selama beberapa bulan hipotiroidisme biasanya diidentifikasi
pada pemeriksaan sekunder tempat lahir bayi yang baru lahir, mis. Stenosis
pyloric sepsis gangguan enzim hati. Penyakit kuning konjugasi (bilirubin
langsung 1,5 mg / dL, 25Hmo / L), bayi akan mengeluarkan feses berwarna
pucat dan urin berwarna gelap (dari bilirubin) yang disebabkan oleh: atresia
empedu, namun penting untuk diidentifikasi sebagai penundaan dalam
operasi merugikan mempengaruhi hasil sindroma neonatal hepatitis. 8

2. Epidemiologi
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa
rumah sakit pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus
pada bayi baru lahir tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5
mg/dL dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu

8
pertama kehidupan, RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi
sehat cukup bulan mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8%
mempunyai kadar bilirubin ≥13 mg/dL. Kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi cukup bulan sekitar 60-70%, bahkan pada bayi kurang bulan
atau bayi berat lahir rendah jauh lebih tinggi.3
Faktor resiko yang merupakan penyebab tersering ikterus
neonatorum di wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain,
inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis
neonatorum, dan prematuritas.9

3. Etiologi
Ada banyak penyebab Penyakit kuning berkepanjangan penyakit
kuning pada neonatus. yang paling umum adalah ASI tetapi dalam
beberapa kasus dapat menjadi penanda untuk berbagai hepatobiliary,
hematologi, metabolisme, endokrin, infeksi dan kelainan genetik yang
berhubungan dengan kematian yang signifikan dan morbiditas jika tidak
didiagnosis pada waktu. Berikut adalah daftar dari beberapa penyebab
lainnya :

9
Penyebab hiperbilirubinemia:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB)
pada neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari,
setelah itu berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi
lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar puncak
lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang,

10
mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat
mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik menjadi
>15 mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan
mencapai <2 mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan
maupun prematur. Hiperbilirubinemia fisiologis dapat disebabkan
beberapa mekanisme:
a. Peningkatan produksi bilirubin, yang disebabkan oleh:
- Masa hidup eritrosit yang lebih singkat
- Peningkatan eritropoiesis inefektif
b. Peningkatan sirkulasi enterohepatik
c. Defek uptake bilirubin oleh hati
d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukuronil transferase
(UDPG-T) yang rendah
e. Penurunan ekskresi hepatik
2. Hiperbilirubinemia nonfisiologis
Keadaan di bawah ini menandakan kemungkinan hiperbilirubinemia
nonfisiologis dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut:
- Awitan ikterus sebelum usia 24 jam
- Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi
- Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam
- Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL
- Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,
penurunan berat badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)
- Ikterus yang menetap >2 minggu. 9

4. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin
yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan
pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan
adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pembagian

11
yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme
bilirubin menjadi 5 fase, yaitu:
1. Pembentukan bilirubin
2. Transport plasma
3. Liver uptake
4. Konjugasi
5. Ekskresi bilier. 1
Fase Prahepatik
1. Pembentukan bilirubin
Sekitar 250-300mg bilirubin atau sekitar 4 mg/kgBB terbentuk setiap
harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang,
sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein hem lainnya yang terutama
berada di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem
dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantara enzim
hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin
menjadi bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi dalam sistem
retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel
darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan
bilirubin. 1
2. Transport plasma
Bilirubin tidak larut air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui
membrane glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan
melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa bahan
seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin. 1

Fase Intrahepatik
1. Liver Uptake
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci
dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum

12
jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. 1
2. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronidase membentuk bilirubin
diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini
yang dikatalisasi oleh enzim microsomal glukoroniltransferase
menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapan keadaan reaksi
ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian
asam glukoronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui
system enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap
fisiologik. 1

Fase Pascahepatik
Ekskresi Bilirubin
Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama
bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi
proses yang kompleks ini. Dalam usus, flora bakteri mendekonjugasi dan
mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya
sebagaian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian
diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah
kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan
bilirubin diglukoronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni gelap yang khas pada gangguan
hepatoseluler atau kolestasis intrahepatic. Bilirubin tak terkonjugasi
bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak, karenanya dapat
melewati barrier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel
hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalai proses konjugasi dengan gula
melalui enzim glukoroniltranseferase dan larut dalam empedu cair.1

13
5. Manifestasi Klinis
Gejala yang menyertai meliputi warna kulit (pucat), petekiae,
ekstravasasi darah (misalnya sefalhematoma atau memar), tinja
berwarna pucat atau urin gelap, hepatosplenomegali (karena anemia
hemolitik atau infeksi), tanda sepsis neonatorum, kehilangan berat
badan, dan tanda dehidrasi. Ingat penyakit kuning berkepanjangan dapat
disebabkan oleh kondisi yang dapat dikaitkan dengan infeksi berat
(galaktosemia) dan masalah jantung (anemia hemolitik, sindrom
Alagille ini). Menilai Airway, Breathing, Circulation dan Cacat untuk
mengidentifikasi potensi yang mengancam jiwa8,9

6. Diagnosis
Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan
oleh peningkatan bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia
5-7 hari. Bayi yang mengalami peningkatan kadar biliribin direk akan
mengalami ikterus setelah usia dua minggu. Manifestasi klinis yang
dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan
mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin
berwarna lebih gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai
berwarna dempul (akholik). Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat
dijumpai hepatomegali, splenomegali, gagal tumbuh, dan wajah
dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan
kolestasis adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit
metabolik, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan
oleh karena defisiensi vitamin K, hiperkolesterolemia, xanthelasma,
sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan. Kolestasis dicurigai
apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang tidak
menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan
lebih dari dua minggu pada bayi cukup bulan. 1

14
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk
mengetahui tipe kolestasis. Pada pemeriksaan penunjang terdapat
beberapa metode pemeriksaan yang mencakup pemeriksaan
laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi
intraoperative. 8
A. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium
rutin yang dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan
mengetahui hasil dari komponen bilirubin kita dapat membedakan
antara kolestasis dengan hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan
kolestasis apabila didapatkan kadar billirubin direk lebih dari 1 mg/dl
bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau kadar billirubun direk
lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5 mg/dl.\
b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan
gamma GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler,
sedangkan apabila dari hasil laboratorium didapatkan peningkatan
SGOT/SGPT 5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis
ekstrahepatik.
B. Ultrasonografi Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah
satu teknik pemeriksaan untuk mendeteksi kolestasis pada pasien.
Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran, keadaan hati, dan
kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan teknik
yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%.
Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord dibagian
atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%,
spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier
ekstrahepatik.
C. Biopsi hati Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk
mendiagnosis bayi dengan kolestasis. Berdasarkan data-data yang
didapatkan dari penelitian sebelumnya, pasien kolestasis yang

15
disebabkan oleh atresia bilier dapat dideteksi sekitar 90%-95% dengan
biopsi hati.
D. Kolangiografi intraoperatif Kolangiografi merupakan prosedur yang
tidak selalu dikerjakan pada kolestasis, karena merupakan prosedur yang
sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat tinggi sekitar 98%
untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan dengan metode
kolangiografi intraoperatif sangat tergantung terhadap hasil histopatologi
hati.

8. Penatalaksanaan
Tidak ada manajemen spesifik dari ikterus neonatal
berkepanjangan itu sendiri, tidak memerlukan fototerapi seperti ikterus
dini yang dilakukan karena penghalang otak darah telah matang sekitar
10-14 hari dan mencegah kernikterus. Namun, perawatan diperlukan
untuk banyak penyebab yang mendasarinya (paling mendesak prosedur
operasi Kasai untuk atresia bilier) jika ditemukan. 2
Satu hal yang paling penting untuk diperiksa adalah tingkat
bilirubin terkonjugasi. Hiperbilirubinaemia konjugasi didefinisikan
sebagai bilirubin terkonjugasi > 25mmol/L atau jika fraksi terkonjugasi
lebih dari 20% dari tingkat total. Jika ini ditemukan maka keseluruhan
tes harus dilakukan, mencari berbagai penyakit bawaan, hati dan
metabolik. Penyebab umum perlu untuk diketahui. 2
Ikterus neonatal berkepanjangan mungkin muncul secara
kebetulan. Sebagai contoh, anemia dan neutrofil rendah cukup umum
terjadi pada neonatus dan umumnya hanya diulang dalam seminggu /
beberapa minggu. 2
Jika tinja pucat selama 3 hari berturut-turut, atresia bilier dicurigai,
harus dilakukan:
a) Ultrasound hati. Sebaiknya dilakukan setelah 4 jam puasa, dilatasi
saluran empedu intrahepatik dan tidak ada kandung empedu sangat
curiga terhadap atresia empedu ekstra hati.

16
b) Scan HIDA (jika tersedia) setelah 5 hari fenobarbiton. Serapan lambat
dengan ekskresi normal: Neonatal Hepatitis syndrome. Serapan
normal dengan ekskresi absen: EH Biliary Atresia
c) Biopsi hati (hampir tidak pernah dilakukan sekarang) Dengan atresia
bilier patologis yang baik dapat dikonfirmasi pada 85% oleh biopsi.
Pastikan PT dan aPTT normal. Jika tidak beri Vit K 1 mg IV. Jumlah
trombosit setidaknya 40.000
d) Operasi Cholangiogram diikuti dengan operasi definitif jika perlu. Ini
sekarang investigasi pilihan di sebagian besar pusat. 2

Pada kolestasis neonatal yang tidak rumit, pastikan nutrisi dan


dukungan vitamin yang optimal. Pertumbuhan yang tidak memadai -
melibatkan ahli gizi anak, diet berkalori tinggi 120-125% dari perkiraan
rata-rata, idealnya ASI, jika tidak maka peningkatan persentase lemak
sebagai trigliserida rantai menengah seperti peptijunior. Dukungan
Vitamin-vitamin larut lemak harus diresepkan saat cholestasis hadir dan
selama 3 bulan. Setelah itu, untuk memungkinkan terbentuknya aliran
empedu normal vitamin K 1-2mg setiap hari, vitamin A - 2500-5000IU
setiap hari, vitamin E 100mg sehari, Alfacalcidol – 30mg / kg setiap
hari, Asam uroksoksikol - 10mg / kg diberikan 3 kali sehari bila bilirubin
terkonjugasi lebih besar dari 50mmol / L. Pemberian enteral bahkan
pada volume kecil, efek trofik pada usus mengurangi translokasi bakteri
dan meningkatkan aliran empedu. 2

9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin
indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita
mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala
ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau
baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus
gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan

17
minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik
dan ditemukan epistotonus.9

18
Daftar Pustaka
1. Sukadi A. Hiperbilirubinemia dalam Buku Ajar Neonatologi IDAI. Edisi
pertama. Jakarta: IDAI; 2014. h. 69-147
2. Grawal V et al. Int J Contemp Pediatr. 2017 May; International Journal of
Contemporary Pediatrics | May-June 2017 | Vol 4 | Issue 3 Page 986
3. Martin CR, ClohcrtyJ. Neonatal hyperbilirubinemia. Cloherty JP, Eichcnwald
EC.Stark AR, penyunting. Manual of nconatal carc. Edisi kc 6. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins; 2008. h. 185-221
4. Blackbun ST , penyunting. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal
physiology. a clinical perspective. Edisi ke 3. Saunders. Misouri;2007.
5. Wiranto G. Gangguan perkembangan bayi dengan riwayat hiperbilirubinemia.
Dalam : Rusdidjas, Tjipta GD, Dimyati Y, Yusroh Y, Putra DS, Ramayani
OR, editor. Makalah lengkap Kongres Nasional VIII Perinasia dan Simposium
Internasional. Medan : Perinasia ; 2007. h.496-9.
6. Shapiro SM. Bilirubin toxicity in the developing nervous system. Ped Neurol
2010 ; 29 (5) : 410-21.
7. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Dalam : Ranuh ING, editor. Surabaya
:EGC ; 2011 h.63-78.
8. Martiza I. Ikterus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi IDAI Jilid 1.
Jakarta: IDAI; 2012
9. Salem L. Rh incompatibility. www. Neonatology.org. 2001
10. WHO. Penatalayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO; 2009
11. Moeslichan et al. Tatalaksana Ikterus Neonatus. Kemenkes. [internet] 2004
[dikutip 29 agustus 2016] diunduh dari http:// buk. depkes.go.id/
index.php?option=com_docman&task=doc_details&gid=263&Itemid=142
12. National Institute for Clinical Excellence. National Jaundice and
Phototherapy. 2010 May.

19

Anda mungkin juga menyukai