Anda di halaman 1dari 18

Laporan Pendahuluan Typhoid

LAPORAN PENDAHULUAN

1. A.    PENGERTIAN
1. Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan, dan
gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
2. Typhoid adalah penyakit infeksi yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna
atau gangguan kesadaran (Mansjoer A, 2000).
3. Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan
kesadaran (Suriadi, 2001).
4. Typhoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh
kuman salmonella thypi (Juwono R, 1996).
5. Typhoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang
disebabkan oleh salmonella thypii (Hidayat, 2006).

1. B.     ETIOLOGI
1. Penyebab typhoid adalah kuman salmonella typosa dan salmonella paratyphi A,
B, dan C memasuki saluran pencernaan (Noer, 1996).
2. Penyebab typhoid adalah kuman salmonella typosa, yang merupakan basil gram
negatif bergerak dengan rambut getar dan tidak berspora. Kuman mempunyai 3
macam :
1. Antigen O (Ogne Houch) Somaus (terdiri dari rantai kompleks lipopoli
sakarida).
2. Antigen H (Houch) terdapat pola flagella.
3. Antigen Vi (Kapsul) merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis (Hasan, 1991).

Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 37oC dan mati pada
suhu 54,4oC.

1. C.    PATOFISIOLOGI

Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus. Melalui pembuluh limfe
halus masuk ke dalam peredaran darah sampai di organ-organ terutama hati dan limpa sehingga
organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk
kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar
limfoid usus halus menimbulkan plak peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan
dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala pada saluran
pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.
1. D.    MANIFESTASI KLINIK
1. Pada minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan pemeriksaan suhu tubuh.
2. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia,
lidah kotor, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran berupa somnolen
sampai koma (Rampengan, 1993).
3. Menurut Ngastiyah (2005), gejala prodromal ditemukan seperti perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan
berkurang. Gambaran klinis yang biasa ditemukan ialah :
1. Demam. Biasanya berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten, dan suhu
tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
naik setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam
keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut nafas berbau tidak
sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, perut kembung, hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan, dapat disertai konstipasi
atau diare.
3. Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun
tidak dalam yaitu apatis sampai somnolen, jarang terjadi sopor, koma atau
gelisah (kecuali penyakitnya berat). Pada punggung dan anggota gerak
dapat ditemukan roseola (bintik-bintik kemerahan).

1. E.     KOMPLIKASI

Pada usus halus. Umumnya jarang terjadi tetapi bila terjadi sering fatal.

1. Perdarahan usus. Bila sedikit, hanya dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika
perdarahan banyak terjadi melena, dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
2. Perforasi usus. Biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
3. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang.

Komplikasi di luar usus. Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia), yaitu
meningitis, koleosistisis, ensefalopati. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

1. F.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Menurut FKUI (2005) untuk memastikan diagnosis perlu dikerjakan pemeriksaan laboratorium
sebagai berikut :

1. Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis


1. Pemeriksaan darah tepi

Terdapat gambaran leukopeni, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit.
Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.

1. Pemeriksaan sumsum tulang

Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif (retikuloendotelial system) RES dengan
adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granolupoesis dan trombopoesis berkurang.

2. Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis

1. Biakan empedu

Basil salmonella typosa dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama
sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses dan mungkin akan tetap positif
untuk waktu yang lama. Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan
basil salmonella typosa pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh.

1. Pemeriksaan widal

Pada permulaan terjadi penyakit, widal akan positif dan dalam perkembangan selanjutnya, misal
1 – 2 minggu kemudian akan semakin meningkat meski demam typhoid telah diobati.
Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap O. Titer yang bernilai
1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat
diagnosis.
Menurut NN (2006) dikatakan meningkat dila titernya lebih dari 1/400 atau didapatkan kenaikan
titer 2 kali lipat dari titer sebelumnya dalam waktu satu minggu.
Hasil widal akan bertahan positif cukup lama (berbulan-bulan) sehingga meski sembuh dari
penyakit demam typhoid, widal masih mungkin positif. Tetapi tidak selalu pemeriksaan widal
positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita typhus abdominalis sebagaimana
terbukti pada autopsi setelah penderita meninggal dunia.
Titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut :

1. Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil coli
patogen dalam usus.
2. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
3. Terdapat infeksi silang dengan ricketsia (werl felix).
4. Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi
subklinis.

1. G.    PENATALAKSANAAN

Pasien yang dirawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus dianggap dan
diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis dan diberikan pengobatan sebagai
berikut :

1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta.


2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah,
anoreksia, dan lain-lain.

1. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat
total), kemudian boleh duduk ; jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian berjalan di
ruangan.
2. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak
menimbulkan gas. Susu 2 gelas sehari. Bila kesadaran pasien menurun diberikan
makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan anak baik dapat
juga diberikan makanan lunak.
3. Obat pilihan ialah kloramfenikol, kecuali jika pasien tidak cocok dapat diberikan obat
lainnya seperti kortikoksazol. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100
mg/kg BB/hari (maksimum 2 gram per hari), diberikan 4 kali sehari per oral atau
intavena. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi tersebut mempersingkat waktu
perawatan dan mencegah relaps. Efek negatifnya adalah mungkin pembentukan zat anti
kurang karena basil terlalu cepat dimusnahkan.
4. Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi dehidrasi
dan asidosis diberikan cairan secara intravena dan sebagainya.

Pembedahan
Pembedahan kurang diperlukan bila penggunaan obat-obatan dan dekompresi usus gagal
mengatasi perdarahan saluran cerna yang berat. Tindakan tersebut juga dibutuhkan bila terjadi
perforasi usus.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. A.    PENGKAJIAN

Pada pengkajian anak dengan typhoid seperti ditemukan timbulnya demam yang khas yang
berlangsung selama kurang lebih 3 minggu dan menurun pada pagi hari serta meningkat pada
sore dan malam hari, nafsu makan menurun, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor ujung dan
tepinya kemerahan, adanya meteorismus, terjadi pembesaran hati dan limfa, adanya konstipasi
dan bahkan bisa terjadi gangguan kesadaran seperti apatis sampai somnolen, adanya bradikardia,
kemungkinan terjadi komplikasi seperti pendarahan pada usus halus, adanya perforasi usus,
peritonitis, peradangan pada meningen, bronkhopneumonia, dan lain-lain. Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan leukopenia dengan limfositosis relatif, pada kultur empedu
ditemukan kuman pada darah, urin, feses, dan uji serologis widal menunjukkan kenaikan pada
titer antibodi O lebih besar atau sama dengan 1/200 dan H 1/200.

1. B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi).


2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dari intake yang tidak
adekuat.
3. Resiko cedera berhubungan dengan gangguan kesadaran.
4. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah.

1. C.    RENCANA KEPERAWATAN

Dx. I
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan suhu tubuh dalam batas yang
normal (36 – 37 o C).
NOC : Termoregulasi

Kriteria Hasil :
 Suhu tubuh dalam batas normal
 Nadi dan respirasi dalam batas normal
 Tidak ada perubahan warna kulit
 Tidak ada pusing

Indikator Skala :
1.         : ekstrem
2          : berat
3          : sedang
4          : ringan
5          : tidak ada gangguan
NIC : Regulasi suhu
Intervensi :

1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam.


2. Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi.
3. Monitor warna kulit dan suhu.
4. Monitor hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran mukosa).
5. Kolaborasi dengan pemberian antibiotik, yaitu kloramfenikol.

Dx. II
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nutrisi pasien adekuat.
NOC : Status nutrisi
Kriteria Hasil :

 Tidak terjadi penurunan berat badan.


 Asupan nutrisi adekuat.
 Tidak terjadi tanda-tanda malnutrisi.

Indikator Skala     :
1.      : Tidak adekuat
2.      : Ringan
3.      : Sedang
4.      : Kuat
5.      : Adekuat total
NIC : Manajemen nutrisi
Intervensi :

1. Kaji status nutrisi pasien.


2. Ketahui makanan kesukaan pasien.
3. Timbang berat badan pada interval yang tepat.
4. Anjurkan makanan sedikit tapi sering.
5. Sajikan makanan selagi hangat dan dalam bentuk yang menarik.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet yang tepat.
7. Berikan informasi kepada keluarga tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana untuk
memenuhinya.

Dx. III
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan cedera tidak terjadi.
NOC : Menjadi orang tua : Keamanan sosial
Kriteria Hasil :

 Keluarga akan mempersiapkan lingkungan yang aman.


 Keluarga akan mengenali resiko untuk menghindari cedera fisik.

Indikator Skala :
1              : tidak pernah menunjukan
2        : jarang menunjukkan
3        : kadang menunjukkan
4        : sering menunjukkan
5        : selalu menunjukkan
NIC : Pencegahan jatuh
Intervensi :

1. Kaji status neurologis (GCS)


2. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari tindakan pengamanan.
3. Jaga keamanan lingkungan pasien.
4. Libatkan keluarga untuk mencegah bahaya jatuh.
5. Observasi tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital.
6. Dampingi pasien.
7. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk meminimalisis efek samping dari
medikasi / pengobatan yang menyebabkan jatuh.

Dx. IV
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri berkurang / hilang.
NOC : Kontrol nyeri
Kriteria Hasil :

 Nyeri berkurang / hilang.


 Ekspresi wajah tidak tegang.
 Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif.
 Mengenali faktor penyebab nyeri.

Indikator Skala  :

1. : ekstrem
2. : berat
3. : sedang
4. : ringan
5. : tidak ada gangguan

NIC : Manajemen nyeri


Intervensi :

1. Kaji skala nyeri yang komprehensif, meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
2. Gunakan teknik non farmakologi, misalnya teknik relaksasi.
3. Observasi isyarat ketidaknyamanan non verbal.
4. Berikan analgetik sesuai kebutuhan.
5. Kondisikan lingkungan yang nyaman dengan membatasi pengunjung.

Dx. V
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tidak terjadi kekurangan volume
cairan.
NOC : Keseimbangan cairan
Kriteria Hasil :

 Intake dan output seimbang.


 Tidak ada tanda-tanda dehidrasi.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal

Indikator Skala     :
1.      : Berat
2.      : Substansial
3.      : Sedang
4.      : Ringan
5.      : Tidak ada gangguan
NIC : Pengelolaan cairan
Intervensi :

1. Monitor mual dan muntah.


2. Observasi tanda-tanda dehidrasi.
3. Anjurkan untuk minum yang banyak.
4. Monitor dan catat asupan dan haluaran cairan.
5. Monitor tanda-tanda vital.
6. Kolaborasi pemberian cairan parenteral.
7. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
1. D.    EVALUASI

Dx. I

 Suhu tubuh dalam batas normal                                                                4


 Nadi dan respirasi dalam batas normal                                                     4
 Tidak ada perubahan warna kulit                                                              4
 Tidak ada pusing                                                                                       4

Dx. II

 Tidak terjadi penurunan berat badan.                                                       4


 Asupan nutrisi adekuat.                                                                            4
 Tidak terjadi tanda-tanda malnutrisi.                                                        4

Dx. III

 Keluarga akan mempersiapkan lingkungan yang aman.                           4


 Keluarga akan mengenali resiko untuk menghindari cedera fisik.            4

Dx. IV

 Nyeri berkurang / hilang.                                                                          4


 Ekspresi wajah tidak tegang.                                                                    4
 Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif.                                             4
 Mengenali faktor penyebab nyeri.                                                            4

Dx. V

 Intake dan output seimbang.                                                                    4


 Tidak ada tanda-tanda dehidrasi.                                                             4
 Tanda-tanda vital dalam batas normal                                                      4

DAFTAR PUSTAKA

Behirman, Richard E. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 12. Jakarta : EGC.
Betz, Cecily L. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta : EGC.

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

Suriadi dan Yulaini, Rita. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 1. Jakarta : PT Fajar
Intan Pratama
http://solusikeperawatan.blogspot.com/2013/07/laporan-pendahuluan-typhoid.html

LAPORAN PENDAHULUAN
DEMAM THYPOID
A.   Konsep Dasar Medis
1.    Definisi
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
infeksi Salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi
kuman Salmonella ( Brunner and Sudart, 1994 ).
Typhus abdominalis atau demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang
pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan
diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak (5%-10%). (Mansjoer, Arif. 1999).
Demam typhoid atau Typhus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari
satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Price A. Sylvia &
Lorraine M. Wilson, 1995).
2.    Etiologi
Menurut (Rahmad Juwono, 1996) :
a.    Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak
bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
1)    antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida)
2)    antigen H(flagella)
3)    antigen V1 dan protein membrane hialin
b.    Salmonella parathypi A
c.    Salmonella parathypi B
d.    Salmonella parathypi C
e.    Faces dan Urin dari penderita thypus
3.    Patofisiologi
Menurut (Suriadi, 2001) :
a.    Kuman masuk melalui mulut, sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus (terutama di ileum bagian distal), ke jaringan limfoid
dan berkembang biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke peredaran
darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel retikula endotelial, hati, limpa dan
organ-organ lainnnya.
b.    Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikula endotelial
melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk
kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama
limpa, usus dan kandung empedu.
c.    Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar
limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi
ulserasi plaks peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat
menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi
usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar.
d.    Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan
disebabkan oleh kelainan pada usus halus.

4.    Gejala Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala
prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) (Mansjoer,
Arif, 1999):
a.    Perasaan tidak enak badan
b.    Lesu
c.    Nyeri kepala
d.    Pusing
e.    Diare
f.     Anoreksia
g.    Batuk
h.    Nyeri otot
Menyusul gejala klinis yang lain demam yang berlangsung 3 minggu (Rahmad Juwono,
1996) :
a.    Demam
1)    Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore
dan malam hari
2)    Minggu II: Demam terus
3)    Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur - angsur.
b.    Gangguan pada saluran pencernaan
1)    Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang
disertai tremor
2)    Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
3)    Terdapat konstipasi, diare
c.    Gangguan kesadaran
1)    Kesadaran yaitu apatis–somnolen
2)    Gejala lain “Roseola” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit )
5.    Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium (Rahmad Juwono, 1996) :
a)    Pemeriksaan darah tepi : dapat ditemukan leukopenia,limfositosis relatif, aneosinofilia,
trombositopenia, anemia.
b)    Biakan empedu : basil salmonella typhii ditemukan dalam darah penderita biasanya
dalam minggu pertama sakit.
c)    Pemeriksaan WIDAL - Bila terjadi aglutinasi
 1/200- Diperlukan titer anti bodi terhadap antigeno yang bernilai   4 kali antara masa
akut dan konvalesene mengarahatau peningkatan  kepada demam typhoid.
6.    Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi dalam (Patriani Sarasan, 2008) :
a.    Komplikasi intestinal
1)    Perdarahan usus
2)    Perforasi usus
3)    Ileus paralitik
b.    Komplikasi ekstra intestinal
1)    Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis,
dan tromboflebitie.
2)    Darah : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik
3)    Paru : pneumonia, empiema, pleuritis.
4)    Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.
5)    Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
6)    Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.
7)    Neuropsikiatrik : delirium, meningiemus, meningitie, polineuritie, perifer,
sindrom Guillan-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi
sering terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum, terutama bila
perawatan pasien kurang sempurna.
7.    Penatalaksanaan Medik
Adapun penatalaksanaan adalah (Pakdhe, 2009) :
a.    Obat
Sampai saat ini masih menganut Trilogi penatalaksanaan demam thypoid, yaitu:
1)    Kloramphenikol : dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan
selama demam berkanjut sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan
menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari kemudian.
2)    Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramphenikol
masih memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat– obat terbaru
dari jenis kuinolon.
3)    Ampisilin/Amoksisilin : dosis 50 – 15- mg/Kg/BB/hari, diberikan selama 2 minggu.
4)    Kotrimoksasol : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametosazol-80 mg
trimetropim), diberikan selama dua minggu.
b.    Diet
1)    Cukup kalori dan tinggi protein
2)    Pada keadaan akut klien diberikan bubur saring, setelah bebas panas dapat diberikan
bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi sesuai tingkat kesembuhan. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan secara
aman.
3)    Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif
dengan nutrisi parenteral total.
c.    Istirahat
Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Klien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan kondisi. Klien dengan
kondisi kesadaran menurun perlu diubah posisinya setiap 2 jam untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu perhatian
karena kadang – kadang terjadi obstipasi dan retensi urine.
d.    Perawatan sehari – hari
Dalam perawatan selalu dijaga personal hygiene, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
peralatan yang digunakan oleh klien.
8.    Pencegahan
            Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan
setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan,
hindari minum susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah,
rebus air sampai mendidih dan hindari makanan pedas (Abdi, 2008).

B.   Konsep Keperawatan
1.    Pengkajian
a.    Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang
tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang
ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila
klien makan tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah, makan
makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan, dari wc dan menyiapkan makanan (Abdi, 2008).
2.    Diagnosa keperawatan (Doenges, 2002):
a.    Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
b.    Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia.
c.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest.
d.    Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah).
3.    Intervensi dan Implementasi (Doenges, 2002):
.    Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella typhi
Tujuan :
Suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil :
1)    Pasien melaporkan peningkatan suhu tubuh.
2)    Mencari pertolongan untuk pencegahan peningkatan suhu tubuh.
3)    Turgor kulit membaik.
Intervensi :
1)    Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh.
Rasional :
Agar klien dan keluarga mengetahui sebab dari peningkatan suhu dan membantu
mengurangi kecemasan yang timbul.
2)    Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat
Rasional :
Untuk menjaga agar klien merasa nyaman, pakaian tipis akan membantu mengurangi
penguapan tubuh.
3)    Batasi pengunjung
Rasional :
Agar klien merasa tenang dan udara di dalam ruangan tidak terasa panas.
4)    Observasi TTV tiap 4 jam sekali
Rasional :
Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien2,5 liter /
24 jam
5)    Anjurkan pasien untuk banyak minum
Rasional :
Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
6)    Memberikan kompres hangat
Rasional :
Untuk membantu menurunkan suhu tubuh
7)    Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian  antibiotik dan antipiretik.
Rasional :
Antibiotik untuk mengurangi infeksi dan antipiretik untuk mengurangi panas.
b.    Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia.
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
Kriteria hasil :
1)    Nafsu makan meningkat
2)    Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan.
Intervensi :
1)    Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.
                        Rasional :
Untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk makan
meningkat.
2)    Timbang berat badan klien setiap 2 hari.
Rasional :
Untuk mengetahui peningkatan dan penurunan berat badan.
3)    Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang,
maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat.
Rasional :
Untuk meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.
4)    Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional :
Untuk menghindari mual dan muntah.
5)    Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral.
Rasional :
Antasida mengurangi rasa mual dan muntah.
Nutrisi parenteral dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral sangatkurang.
c.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bed rest.
Tujuan : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Kriteria hasil :
1)    Kebutuhanpersonalterpenuhi
2)    Dapat melakukan gerakkan yang bermanfaat bagi tubuh memenuhi AKS dengan teknik
penghematan energi.
Intervensi :
1)    Beri motivasi pada pasien dan kelurga untuk melakukan mobilisasi sebatas
kemampuan (misalnya : Miring kanan, miring kiri).
Rasional :
Agar pasien dan keluarga mengetahui pentingnya mobilisasi bagi pasien yang bedrest.
2)    Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum).
Rasional :
Untuk mengetahui sejauh mana kelemahan yang terjadi.
3)    Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya.
Rasional :
Untuk mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas.
4)    Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang.
Rasional ;
Untuk menghindari kekakuan sendi dan mencegah adanya dekubitus.
d.    Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan cairan
yang berlebihan (diare/muntah).
Tujuan : tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan
Kriteria hasil :
1)    Turgor kulit meningkat.
2)    Wajah tidak nampak pucat.
Intervensi :
1)    Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga.
Rasional :
Untuk mempermudah pemberian cairan (minum) pada pasien.
2)    Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
Rasional :
Untuk mengetahui keseimbangan cairan 2,5 liter / 24 jam.
3)    Anjurkan pasien untuk banyak minum.
Rasional :
Untuk pemenuhan kebutuhan cairan.
4)    Observasi kelancaran tetesan infuse.
Rasional :
Untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan mencegah adanya odem.
5)    Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral).
Rasional :
Untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi (secara parenteral).
4.    Evaluasi (Doenges, 2002):
Dari hasil intervensi diatas, evaluasi yang diharapkan :
a.    Suhu tubuh normal (36 0C) atau terkontrol.
b.    Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
c.    Pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari optimal.
d.    Kebutuhan cairan terpenuhi

http://aryoxkeperawatanuit.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-demam-thypoid-dt.html

Anda mungkin juga menyukai