Anda di halaman 1dari 22

Teori Dasar Pola

Penggunaan Lahan
Ir. Anita Sitawati Wartaman, MSi

PENDAHULUAN

Pada bagian ini akan dijelaskan model desktiptif pola penggunaan dan teori-teori yang
melandasi terbentuknya pola penggunaan lahan tersebut (teori eksplanatoris penggunaan
lahan). Pembahasan dilakukan dalam dua kegiatan belajar, yaitu (1) Model deskriptif
pola penggunaan lahan, dan (2) Teori-teori yang melandasi terbentuknya pola
penggunaan lahan. Setelah mempelajari modul ini, secara umum diharapkan mahasiswa
dapat :
1. Memahami pola dasar penggunaan lahan di perkotaan sebagai perwujudan hasil
interaksi antara ke-tiga sistem (sistem aktivitas, sistem pengembangan dan sistem
lingkungan) yang mempengaruhi terbentuknya penggunaan lahan di perkotaan.
2. Memahami proses terbentuknya pola penggunaan lahan di perkotaan

1.1
Judul Mata Kuliah

Kegiatan Belajar 1

MODEL DESKRIPTIF POLA PENGGUNAAN LAHAN

Susunan penggunaan lahan pada suatu wilayah akan membentuk pola yang berbeda-
beda/tidak sama antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Menurut Bintarto
(1977:56), adanya perbedaan pola penggunaan lahan suatu wilayah disebabkan oleh luas
daerah kota, unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik dan faktor
ekonomi. Pembahasan pola penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
terbentuknya pola tersebut terbagi menjadi : (i) pola penggunaan lahan di kawasan
perkotaan, dan pola penggunaan lahan di wilayah perdesaan. Kawasan perkotaan adalah
wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU Penataan Ruang No.
26/2007). Sedangkan, kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pola Penggunaan Lahan di Kawasan Perkotaan.


Secara teoritis, terdapat tiga model pola penggunaan lahan di perkotaan, yaitu (a)
Concentric, (b) Sector, dan (c) Multiplei Nuclei Concept.

Teori Jalur Sepusat (Concentric Zone Theory) :


Teori ini berawal dari penelitian pembangunan kota Chicago oleh E.W. Burgess pada
tahun 1925. Atas dasar kajiannya terhadap struktur kota Chicago pada tahun 1920-an
maka Burgess mengemukakan teori Konsentris atau model Konsentris yang disebut juga

2
KODE MK/NO. MODUL

”Zoning Model”. Model ini mencerminkan struktur pertumbuhan spatial dari suatu kota
yang berupa zona zona yang konsentris. Menurut Burgess, kota Chicago meluas secara
merata dari suatu inti asli sehingga tumbuhlah zona zona yang masing masing meluas
sejajar dengan pentahapan kolonisasi kearah zona yang letaknya paling luar. Dengan
demikian, setiap saat dapat dapat ditemukan sejumlah zona yang letaknya konsentris,
sehingga strukturnya berbentuk gelang. Asumsinya : jarak adalah sama untuk segala arah
(bentuk lingkaran). Teori ini membagi lima zone penggunaan lahan dalam kawasan
perkotaan yaitu:
 Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau CBD),
yang terdiri atas : bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan
toko pusat perbelanjaan (1)
 Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih: rumah-rumah sewaan,
kawasan industri, perumahan buruh yang relatif sempit/kumuh. Zona ini disebut
juga dengan zona peralihan atau transition zone ( (2)
 Pada lingkaran tengah ke dua terletak jalur wisma buruh, yakni kawasan
perumahan untuk tenaga kerja pabrik. Penduduk pada zona ini terdiri dari buruh
rendahan, banyak yang berasal dari zona peralihan dan migran, serta buruh
menengah. Pertimbangan pemilihan lokasi sebagai tempat tinggal adalah karena
dekat dengan tempat kerja. Kondisi rumah rumah relatif tidak berdempetan lagi.
Zona ini disebut juga dengan Zone of working men’s home (3)
 Pada lingkaran luar terdapat jalur madyawisma, yakni kawasan perumahan yang
luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya (middle class). Zona ini disebut
juga dengan Zone of better residences (4)
 Di lingkaran luar terdapat jalur pendugdag atau jalur penglajon (jalur ulang
alik): sepanjang jalan besar terdapat perumahan masyarakat golongan madya
dan golongan atas atau masyarakat upakota. Zona ini disebut juga dengan Zone
of commuters (5)

1.3
Judul Mata Kuliah

Gambar 1. Pola Penggunaan Lahan Jalur Sepusat (Concentric Zone Theory)

Teori Sektor (Sector Theory) :


Teori yang dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939) ini merupakan perluasan dari teori
zona konsentris dengan pola pembangunan yang tidak merata (irregular). Teori Homer
Hoyt tidak bertentangan dengan Burgess, hanya merupakan modifikasi saja. Dalam
struktur kota yang sektoral, pertumbuhan kota yang paling pesat terjadi disepanjang jalan
utama (arteri) dan pada koridor koridor kota. Ia mengatakan pengelompokan tata guna
lahan dikota itu menyebar dari pusat ke arah luar berupa sektor (wedges) yang bentuknya
menyerupai kue taart. Tata guna lahan di kota mengalir dari pusat ke luar menyerupai
bentuk taji (wedges). Menurut teori ini, suatu ketika perumahan untuk penduduk
berpendapatan tinggi akan ekspansi keluar dari pusat kota mengikuti jalur perjalanan
yang paling cepat. Berlawanan dengan golongan berpendapatan rendah, lokasinya sering
berdekatan dengan industri. Konsep yang dikemukakan Humer Hoyt ini menyatakan
bahwa kota tersusun sebagai berikut :
 Pada lingkaran pusat terdapat pusat kota atau CBD (1)
 Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan
(2)

4
KODE MK/NO. MODUL

 Dekat pusat kota dan dekat sektor tersebut, pada bagian sebelah menyebelahnya
terdapat sektor murbawisma, yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau
kaum buruh (3)
 Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan terletak sektor
madyawisma (4)
 Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, kawasan tempat tinggal golongan atas
(5).

Gambar 2. Pola Penggunaan Lahan Sektor

Teori Pusat Lipat Ganda (Multiplei Nuclei Concept) :


Teori Multiple-Nuclei atau teori Inti Ganda ini dikemukakan oleh C.D Harris dan F.L.
Ullman (1945). Teori yang dikemukakan oleh Harris dan Ullman ini menyatakan bahwa
kawasan pusat kota tidak dianggap satu-satunya pusat kegiatan atau pertumbuhan, tetapi
suatu rangkaian pusat kegiatan atau pusat pertumbuhan dengan fungsi yang berlainan
seperti industri, rekreasi, perdagangan dan sebagainya. Teori ini umumnya berlaku untuk
kota-kota yang agak besar. Menurut teori ini, kota terdiri atas :
 Pusat kota atau CBD (1)

1.5
Judul Mata Kuliah

 Kawasan niaga dan industri ringan (2)


 Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah (3)
 Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah (4)
 Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi (5)
 Pusat industri berat (6)
 Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran adiwisma (7)
 Upakota, untuk kawasan madyawisma dan adiwisma (8)
 Upakota (suburb) untuk kawasan industri (9)

Gambar 3. Pola Penggunaan Lahan Pusat Lipat Ganda

Dari ketiga teori di atas, tampak bahwa keberadaan kawasan murbawisma/tempat


tinggal berkualitas rendah/tempat tinggal buruh selalu berdekatan dengan pusat kota.
Aspek biaya transportasi lah yang menjadi pertimbangan buruh memilih tempat tinggal
berdekatan dengan lokasi tempat bekerjanya. Sedangkan, keberadaan kawasan adiwisma
(perumahan bagi middle-class ke atas) lebih memilih lokasi yang nyaman menjauh dari

6
KODE MK/NO. MODUL

pusat kota. Dari fenomena di atas, dapat diindikasikan bahwa faktor ekonomi menjadi
bahan pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi penggunaan lahan di perkotaan. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Jayadinata (Jayadinata, 1999:129), model pola penggunaan
lahan di atas (Concentric Zone Theory, Sector Theory dan Multiplei Nuclei Concept)
adalah model pola penggunaan lahan di perkotaan yang berhubungan dengan nilai
ekonomi. Tidak terlepas dari hal di atas, di satu sisi, biaya transport menjadi
pertimbangan utama pemilihan lokasi murbawisma. Di sisi lain, harga tanah semakin
dekat dengan pusat kota semakin mahal. Pemanfaatan lahan harus diupayakan
semaksimal mungkin. Untuk itu pembangunan secara vertikal biasanya menjadi solusi
pengadaan rumah bagi kaum murba/buruh.
Perbedaan antara model ke-3 (Multiplei Nuclei) dan kedua model lainnya
(Concentric dan Sector model) terletak pada banyaknya ‘inti’ yang terdapat pada suatu
kota. Jika pada model 1 dan 2, suatu kota hanya memiliki sebuah ‘inti’; maka pada model
penggunaan lahan ke-3, suatu kota dapat dijumpai beberapa ‘inti. Menurut Harris dan
Ullman, ada 4 (empat) faktor yang berpotensi menimbulkan sebuah ‘inti’ baru pada pola
penggunaan lahan di perkotaan. Ke-empat faktor tersebut adalah (Chapin, 1979:37) :
1. Adanya saling ketergantungan antara beberapa tipe aktivitas tertentu yang secara
fisik membutuhkan kedekatan.
2. Faktor keuntungan bila suatu aktivitas berada pada satu lokasi yang sama, sebagai
contoh pusat ritel, pusat kesehatan dan lain sebagainya.
3. Tidak ada ketertarikan antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya dan bahkan
bertentangan, namun membutuhkan fasilitas prasarana dan sarana yang sama,
sebagai contoh fasilitas jalan, fasilitas bongkar-muat dan lain-lain.
4. Faktor harga lahan yang semakin tinggi, yang dalam proses pembentukan ‘inti’
memiliki efek ‘menarik’ atau ‘menolak’ suatu pengguna lahan
Sebagai sebuah hipotesis, realitas model Multiplei Nuclei banyak dijumpai pada pola
penggunaan lahan kota metropolitan.
Selanjutnya, menurut Edy Darmawan (Edy Darmawan dalam Yusran, 2006:47)
pembagian ruang kota dalam zoning kawasan seperti tersebut di atas, mempunyai
beberapa keuntungan dan kelemahan. Beberapa keuntungan penataan penggunaan lahan
menjadi kelompok fungsional adalah:

1.7
Judul Mata Kuliah

a. Menjamin keamanan dan kenyaman atas terjadinya dampak negatif karena adanya
saling pengaruh antar zone
b. Memudahkan penataan, perencanaan dan penggunaan lahan secara mikro yang
ditentukan oleh kesamaan fungsi dan karakter pada setiap zone-nya.
c. Memudahkan implementasi dalam pengawasan dan kontrol pelaksanaannya.

Sedangkan beberapa kelemahan dari pembagian kelompok kawasan ini adalah:


a. Dikarena pembagian zone yang sudah sesuai dengan fungsinya, pencapaian dari satu
tempat ke tempat lain menjadi jauh dan memerlukan waktu yang lama.
b. Dibutuhkan sarana prasarana transportasi yang besar dan kemungkinan terjadi
kepadatan lalu lintas pada peak hours.
c. Timbulnya kesenjangan keramaian dan sepinya kegiatan di kawasan tertentu,
sehingga ditemukan kawasan mati pada jam-jam tertentu.
d. Kepadatan zone yang tak seimbang menyebabkan pemanfaatan lahan tidak optimal.

Pola Penggunaan Lahan di Kawasan Perdesaan


Penggunaan lahan di perdesaan terbagi menjadi penggunaan lahan bagi kehidupan
sosial dan penggunaan lahan bagi kehidupan ekonomi. Penggunaan lahan bagi
kehidupan sosial, seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berolah raga dan lain
sebagainya, dilakukan di dalam kampung. Sedangkan, kegiatan ekonomi seperti bertani,
berkebun, berternak, memelihara/menangkap ikan, menebang kayu dan lain sebagainya,
umumnya dilakukan di luar kampung. Jadi penggunaan lahan di wilayah perdesaan
adalah (i) untuk perkampungan dalam rangka kegiatan sosial dan (ii) untuk pertanian
dalam rangka kegiatan ekonomi (Jayadinata, 1999:59-61).
Bentuk perkampungan atau permukiman di perdesaan terbagi menjadi dua macam,
yaitu (a) Permukiman memusat (aglomerated rural settlement) dan (b) Permukiman
terpencar (disseminated rural settlement). Permukiman memusat, rumahnya
mengelompok, terdiri atas sekitar 40 unit rumah. Disekitar kampung terdapat tanah bagi
pertanian, perikanan, peternakan dan lain-lain, tempat dimana penduduk bekerja sehari-
hari untuk mencari nafkah. Dalam perkembangannya, suatu kampung dapat mencapai

8
KODE MK/NO. MODUL

berbagai bentuk, tergantung kepada keadaan fisik dan sosial. Bentuk perkampungan
pertanian umumnya mendekati bentuk bujur sangkar, sedangkan perkampungan nelayan
umumnya memanjang (satu baris atau beberapa baris rumah) sepanjang pantai atau
sepanjang sungai.
Permukiman terpencar, rumahnya terpencar menyediri, banyak terdapat di negara
Eropa Barat, Amerika, Kanada, Australia dan lain-lain. Perkampungan terpencar di
negara-negara tersebut terdiri atas farmstead, yaitu sebuah rumah yang terpencil tetapi
lengkap dengan gudang, alat mesin, penggilingan gandung, lumbung dan kandang ternak
(Jayadinata, 1999:65). Perusahaan pertanian atau peternakannya umumnya sangat luas,
dapat ribuan atau bahkan puluhan ribu hektar. Roadside suatu bangunan di tepi jalan yang
merupakan motel, pompa bensin sering dikategorikan ke dalam kelompok disseminated
rural settlement (Jayadinata, 1999:65). Gambar 4 mengilustrasikan macam-macam
perkembangan kampung.

Gambar 4 : Perkembangan Kampung

1.9
Judul Mata Kuliah

Sumber : Jayadinata, 1999

Kesesuaian lokasi kawasan pertanian relatif banyak bergantung pada faktor fisik
alamiah, antara lain iklim (kelembaban dan curah hujan), sifat fisik tanah, tekstur tanah,
kelerengan dan lain sebagainya. Namun, disamping faktor-faktor tersebut di atas,
berdasarkan pertimbangan ekonomi, Von Thuneni mengemukakan suatu teori bahwa
beberapa tanaman niaga cenderung untuk berlokasi menurut pola tertentu. Disekeliling
kota akan terbentuk berbagai tipe pertanian yang merupakan beberapa lingkaran sepusat.
Secara umum, Von Thunen mengemukakan penggunaan tanah kegiatan pertanian di
perdesaan mulai dari batas kota dan semakin menjauh dari kota adalah (1) pertanian
intensif dan ternak perah, (2) kebun pohon kayu untuk kayu bakar, (3) pertanian
ekstensif, dan (4) ternak potong. Lokasi ternak potong terjauh dari kota karena ternak
potong dapat digiring ke pasar tanpa biaya pengangkutan. Bahasan yang lebih rinci
terhadap teori-teori yang melandasi terbentuknya pola penggunaan lahan, antara lain teori
Von Thunen akan dijabarkan pada Kegiatan Belajar 2 di bawah ini.

10
KODE MK/NO. MODUL

Kegiatan Belajar 2

Teori Eksplanatoris Pola Penggunaan Lahan

eperti yang telah dijelaskan pada Kegiatan Belajar 1, secara teoritis terdapat tiga model
pola penggunaan lahan di perkotaan, yaitu (a) Concentric, (b) Sector, dan (c) Multiplei
Nuclei Concept. Pada Kegiatan Belajar 2 ini akan dibahas teori-teori yang melandasi
terbentuknya pola penggunaan lahan (teori eksplanatoris). Teori eksplanatoris
menjelaskan bagaimana proses terbentuknya pola penggunaan lahan, sehingga
membentuk struktur spasial suatu wilayah. Dalam menjelaskan bagaimana proses
terbentuknya pola penggunaan lahan ini, teori lokasi merupakan teori dasar dalam analisa
spasial. Pembahasan terhadap teori lokasi pada Kegiatan Belajar 2 ini akan dilakukan
secara umum, sebagai pengantar terhadap pembahasan teori lokasi yang akan dijelaskan
pada modul-modul selanjutnya.

Teori Von Thunen


Von Thunen merupakan pelopor teori lokasi yang berasal dari Jerman. Dengan
menggunakan 7 asumsi, yaitu (Jayadinata, 1999 : 75) :
1. Wilayah terasing (isolated stated), yang terdiri atas sebuah kota dan wilayah
pertanian sebagai wilayah belakangnya (hinterland),

1.11
Judul Mata Kuliah

2. Kota tersebut merupakan pasar bagi surplus hasil pertanian dari hinterland dan
tidak menerima hasil pertanian dari wilayah lain,
3. Hinterland tersebut hanya menjual hasil pertaniannya ke kota itu saja dan tidak
ke kota lain,
4. Hinterland mempunyai lingkungan alam yang homogen dan keadaan yang baik
bagi tanaman dan peternakan,
5. Hinterland dihuni oleh petani-petani yang menginginkan keuntungan maksimum
dan mampu menyesuaian tipe pertaniannya dengan permintaan pasar,
6. Hinterland hanya mempunyai 1 macam perangkutan darat tertentu (pada zaman
itu, gerobak ditarik kuda),
7. Biaya angkutan berbanding langsung dengan jarak perjalanan dan seluruh
pengangkutan hanya digunakan oleh para petani yang mengirimkan hasil
pertaniannya;
Von Thunen mengemukakan bahwa beberapa tanaman niaga cenderung untuk berlokasi
menurut pola tertentu. Disekeliling kota akan terbentuk berbagai tipe pertanian yang
merupakan beberapa lingkaran sepusat. Tipe pertanian ditentukan oleh kemampuan untuk
membayar sewa lahan yang ditentukan oleh besarnya profit. Keuntungan atau laba
(profit) adalah harga penjualan hasil pertanian (value) dikurangi oleh biaya produksi
pertanian (expenses) dan biaya angkutan (transport).

P = V - (E+T), dimana
P = profit atau keuntungan
V = value atau harga penjualan
E = biaya produksi
T = biaya transport

Dengan menggunakan perhitungan di atas, profit yang diperoleh dari hasil penjualan
padi-padian (dari luas 1 hektar) dapat lebih menguntungkan dari hasil penjualan kayu
dari luas tanah yang sama. Meskipun harga kayu jauh lebih mahal daripada harga padi-
padian, namun biaya angkutan kayu sangat tinggi, sehingga laba yang diperoleh menjadi
lebih sedikit. Dari ulasan ini, dapat terindikasi bahwa petani yang tinggal di dekat kota

12
KODE MK/NO. MODUL

akan mempunyai banyak pilihan dalam menanam tanaman untuk dijual ke kota,
sedangkan petani yang tinggal jauh dari kota terbatas pilihannya. Secara umum,
berdasarkan teori tersebut, Von Thunen mengemukakan penggunaan tanah kegiatan
pertanian di perdesaan mulai dari batas kota dan semakin menjauh dari kota adalah (1)
pertanian intensif dan ternak perah, (2) kebun pohon kayu untuk kayu bakar, (3)
pertanian ekstensif, dan (4) ternak potong. Lokasi ternak potong terjauh dari kota karena
ternak potong dapat digiring ke pasar tanpa biaya pengangkutan.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa menurut teori Von Thunen, pola penggunaan
lahan sangat ditentukan oleh biaya transportasi yang dikaitkan dengan jarak dan sifat
barang dagangan khususnya hasil pertanian. Teori Von Thunen ini memiliki kekurangan
yang antara lain bahwa semua kota tidak memiliki kondisi fisik lingkungan yang sama
(uniform plain). Sehingga kota akan memiliki pola penggunaan lahan yang berbeda-beda
sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Dewasa ini, secara hipotetis, dasar teori Von
Thunen masih berlaku (profit = hasil penjualan dikurangi biaya produksi dan biaya
angkutan), tetapi sukar mencari contoh yang sesuai karena antara lain biaya angkutan
tidak berbanding langsung dengan jarak dan tidak sama untuk berbagai arah, moda
transport lebih beragam dan tersedia alat-alat pengawetan makanan (misalnya lemari
pendingin sehingga barang yang cepat rusak dapat diangkut ke berbagai tempat dengan
bantuan alat pendingin tersebut).
Tidak terlepas dari hal di atas, mendahului teori penggunaan lahan, teori klasik
tentang nilai ekonomi lahan diperkenalkan oleh David Ricardo pada tahun 1821 dalam
bukunya “Principle of Political Economy and Taxation”. Teori Ricardo menekankan
perbedaan terutama dalam kesuburan tanah pertanian dan menganggap bahwa okupasi
penduduk biasanya terjadi pada wilayah pertanian yang subur yang ditemukan saat
pertama kali. Namun, teori ini memiliki banyak keterbatasan karena lebih memfokuskan
pada masalah kesuburan tanah daripada aksesibilitas suatu lokasi. Pembatasan utama
dari teori ini adalah bahwa faktor aksesibilitas lokasi tidak terlibat (Koestoer, 1997:21).
Dengan demikian, menurut Ricardo, sewa lahan (land rent) dipengaruhi oleh tingkat
kesuburan tanah dan mengabaikan faktor lokasi dari pusat kota. Problematik mungkin
akan muncul bila lokasi lahan terletak dipedalaman yang sukar dijangkau. Maka oleh
karena itu, Von Thunen kemudian memperkenalkan teori penggunaan lahan dimana

1.13
Judul Mata Kuliah

faktor akses lokasi merupakan salah satu dasar pertimbangan pemilihan lokasi. Johann
Heinrich von Thunen biasa disebut sebagai bapak teori lokasi.

Teori Klasik Penggunaan Lahan Alonso


Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa teori penggunaan lahan Von Thunen
memiliki kekurangan, antara lain semua kota tidak memiliki kondisi fisik lingkungan
yang sama (uniform plain). Berdasarkan kekurangan tersebut, William Alonso (1964)
kemudian mengembangkan teori lain, yaitu ‘Teori Bid Rent’ (Teori Sewa Tanah).
Asumsi Alonso dalam Teori Bid Rent adalah (1) one center; (2) flat, features less plain;
(3) biaya transportasi sebanding dengan jarak; dan (4) adanya highest bidder sehingga
dimungkinkan terjadinya free market competition (Wahyuningsih, 2008). Teori klasik
guna lahan Alonso ini bersumber pada teori ekonomi, yaitu adanya interaksi nilai lahan
dan penggunaan lahan (antara penyediaan dan permintaan). Sedikit perbedaannya dengan
Von Thunen, model Alonso tidak saja menekankan masalah perdesaan, namun juga
berkaitan dengan wilayah perkotaan. Jika Von Thunen menganalisis pelaku ekonomi
tunggal yaitu petani maka William Alonso menganalisis tiga pelaku ekonomi yaitu :
petani, rumah tangga dan industrialis. Pada dasarnya, masalah masing-masing ketiga
pelaku ekonomi diatas adalah sama, yaitu mencari lokasi terbaik dalam daerah perkotaan
sehingga mencapai sasaran.
Untuk pelaku rumah tangga di wilayah perkotaan; pendapatan rumah tangga pada
dasarnya digunakan untuk tiga hal, yaitu (1) pengeluaran untuk sewa/beli lahan, (2)
pengeluaran untuk biaya perjalanan, dan (3) pengeluaran untuk pembelian barang
lainnya. Dengan dasar pemikiran pendapatan individu membatasi jumlah pengeluaran,
maka :

Pendapatan individu = harga tanah + biaya perjalanan + seluruh jumlah pengeluaran


lainnya.

Hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Koestoer, 1997:60) :

Y = PzZ + P(d).q + K(d)

14
KODE MK/NO. MODUL

dimana
Y = Pendapatan
Pz = Harga barang
Z = Jumlah barang yang dibeli
P(d) = Harga tanah pada jarak d dari pusat kota
K(d) = Biaya perjalanan pada jarak d
d = Jarak dari pusat kota
q = Luas tanah

Dalam kendala pendapatan, keseimbangan (equilibrium) rumah tangga diperoleh


melalui kombinasi antara (1) luas lahan, (2) jarak lokasi perumahannya dari pusat kota
dan (3) kualitas serta kuantitas barang yang dikonsumsinya. Kombinasi tersebut
diperoleh melalui proses seleksi yang dilakukan berdasarkan fenomena : (1) harga lahan
akan semakin mahal bila semakin dekat dengan pusat kota dan semakin murah bila
menjauh dari pusat kota, (2) biaya perjalanan akan bertambah semakin jauh dari pusat
kota, dan (3) harga dan jumlah barang yang dibelinya. Harga dan jumlah barang yang
dikonsumsi bergantung pada preferensi individu yang berkaitan dengan derajat kepuasan
individu. Dengan demikian, satu rumah tangga menghadapi pilihan kombinasi antara luas
tanah yang akan digunakan, besaran kebutuhan barang yang dikonsumsinya (kualitas dan
kuantitas barang) dan jarak lokasi perumahan (tanah) dari pusat kota. Berdasarkan uraian
di atas, Alonso memberikan suatu model keseimbangan (equilibrium) umum dalam
hubungannya dengan lokasi tempat tinggal dan struktur spasial perkotaan.
Di dalam penetapan penggunaan lahan berdasarkan mekanisme pasar, model Alonso
menjelaskan kaitan antara sisi permintaan (yang merupakan turunan dari sistem
aktivitas) dan faktor lahan dan lokasi dari sisi penyediaan (yang merupakan turunan dari
sistem pengembangan lahan). Namun, kelemahan dari teori Alonso ini adalah transport
dianggap ada dimana-mana dan biaya transport berbanding lurus dengan jarak dari semua
lokasi.

Teori Penggunaan Lahan Yang Berorientasi Transportasi


Teori guna lahan yang berorientasi transportasi (Wingo 1961) berbasis teori ekonomi
yaitu keseimbangan antara aksesibilitas dengan nilai lahan. Aksesibilitas diukur dengan
waktu dan biaya yang besarannya bergantung pada jarak dan dan banyaknya perjalanan
yang dilakukan (Chapin, 1979). Dari sisi suplai, suatu lahan dengan jangkauan

1.15
Judul Mata Kuliah

transportasi yang baik mempunyai nilai ekonomi relatif lebih baik, karena akan
mengurangi biaya perjalanan (traveling cost) dan waktu tempuh. Jadi nilai lahan dapat
dikatakan merupakan fungsi dari aksesibilitas. Semakin tinggi aksesibilitas suatu lahan,
semakin tinggi nilai ekonomi lahan tersebut. Dengan demikian, dalam konteks
keseimbangan (equilibrium) rumah tangga, kemampuan membeli tanah dipengaruhi juga
oleh ke-aksesibelan suatu lokasi dalam struktur spasial perkotaan.

Nilai Sosial Dalam Teori Penggunaan Lahan


Dalam konteks model keseimbangan (equilibrium) umum dalam hubungannya
dengan lokasi tempat tinggal dan struktur spasial perkotaan; menurut Walter Firey
(1947), pemilihan lokasi dipengaruhi juga oleh nilai sosial, rasa (taste) dan simbol, yang
memiliki nilai sangat bervariasi bergantung pada strata sosial dan etnik grup dalam
masyarakat plural (Chapin, 1979). Teori ini dapat menjelaskan bahwa pemilihan lokasi
suatu kelompok masyarakat, tidak hanya ditentukan oleh ‘market consideration’ tapi juga
merupakan respon dari nilai sosial. Rasa kedekatan, nyaman dan kemudahan beradaptasi
dengan lingkungan merupakan salah satu faktor dari respon nilai sosial. Dengan
demikian, dapat dijelaskan bahwa suatu lokasi yang relatif jauh dari pusat kota dapat
memiliki nilai tanah yang relatif tinggi sebagai respon dari suatu simbol, misalnya lokasi
tersebut memiliki simbol sebagai lokasi permukiman golongan mewah misalnya dan
adanya pengelompokkan permukiman kelompok etnik tertentu dalam struktur spasial
perkotaan.

Teori Penggunaan Lahan Weber


Jika teori-teori sebelumnya menjelaskan pemilihan lokasi berdasarkan kemampuan
membayar harga tanah; maka Albert Weber (1929) mempelopori pembentukan teori
lokasi khusus untuk kegiatan industri pengolahan (manufacturing), yaitu mencari lokasi
industri yang terbaik (optimal) diantara lokasi bahan baku dan pasar, yang dapat
memberikan ongkos angkut minimal, yang besarannya ditentukan oleh perbandingan
antara ongkos angkut bahan baku dan hasil produksi per unit (Syahrizal, 2008:39).

Dengan menggunakan persamaan W = a n/ m (Weberian Locational Weight), dimana

16
KODE MK/NO. MODUL

a = koefisien input yang bersifat tetap


n = ongkos angkut bahan baku
m = ongkos angkut hasil produksi
maka :

Bila W>1 : industri dikatakan mempunyai sifat “Weight Loosing Industry”, yaitu
input untuk setiap kesatuan output lebih besar dari hasil produksi. Dengan
demikian, lokasi pabrik optimal untuk jenis industri ini adalah pada
sumber bahan baku, karena dengan memilih lokasi disini akan
meminimumkan ongkos angkut.
Bila W<1 : industri dikatakan mempunyai sifat “Weight Gaining Industry”, yaitu
input untuk setiap kesatuan produksi lebih ringan dari output. Dengan
demikian, lokasi pabrik optimal untuk jenis industri ini adalah di pasar.
Bila W=1 : industri dikatakan mempunyai sifat “Foot-loose Industry”, yaitu berat
input sama dengan output. Dengan demikian, lokasi pabrik optimal untuk
jenis industri ini dapat dimana saja.

Teori Penggunaan Lahan Berorientasi Market


Teori penggunaan lahan berorientasi market dipelopori oleh August Losch (1944),
yang mendasarkan analisa pemilihan lokasi optimal berdasarkan luas pasar yang dapat
dikuasai dan kompetisi antar tempat. Berdasarkan pandangan ini, sebuah perusahaan akan
memilih suatu tempat sebagai lokasi yang optimal berdasarkan kekuatan persingan antar
tempat dan luas pasar yang dikuasainya. Dengan demikian, permintaan dan penawaran
antar tempat merupakan unsur penting dalam menentukan lokasi optimal dari suatu
kegiatan perusahaan (Syahrizal, 2008).
Untuk memperjelas masalah pemilihan lokasi berorientasi market, secara sederhana
kasus penjual es krim di suatu pantai akan digunakan sebagai suatu ilustrasi. Pada waktu
hanya terdapat satu penjual es krim (A) di pantai, tidak terdapat permasalahan lokasi
karena penjual es krim tersebut bersifat monopoli dan pembeli terpaksa datang untuk
membeli es krim dimanapun penjual berada. Permasalahan lokasi baru timbul setelah
terdapat penjual es krim lain (B). Bila lokasi penjual es krim B mendekati lokasi penjual

1.17
Judul Mata Kuliah

es krim A, maka pasar A akan terpengaruh. Keuntungan penjual es krim A tidak


maksimum seperti sebelumnya. Untuk itu, dengan tujuan memperoleh keuntungan
maksimum, ke-dua penjual es krim tersebut harus mencari lokasi optimum dimana
masing-masing penjual es krim dapat menguasai pasar secara maksimal. Jika dikaitkan
dengan teoritis pola penggunaan lahan Multiplei Nuclei Concept, teori ini dapat
merupakan salah satu landasan terbentuknya ‘inti’ baru dalam struktur spasial perkotaan.
Asumsi yang digunakan oleh teori August Loast ini adalah (1) konsumen tersebar
relatif merata disemua tempat, (2) produk homogen, dan (3) ongkos angkut per kesatuan
jarak adalah sama. Dalam ruang, teori ini dapat diterapkan pada wilayah perkotaan
dimana konsentrasi penduduk relatif merata dibandingkan dengan wilayah perdesaan.
Dari beberapa teori eksplanatoris terbentuknya pola penggunaan lahan di atas,
dengan asumsi kondisi fisik lingkungan sama (uniform plain), dapat diindikasikan bahwa
(1) aspek ekonomi (antara lain kemampuan membeli tanah dan perhitungan perolehan
keuntungan maksimum), (2) aspek aksesibilitas dan (3) nilai sosial, rasa (taste) dan
simbol merupakan faktor penentu penggunaan lahan.

18
GLOSARIUM
Teori Konsentris atau model : Model ini mencerminkan struktur pertumbuhan spatial
Konsentris disebut juga dari suatu kota yang berupa zona zona yang konsentris.
”Zoning Model”.

Teori Sektor (Sector Theory) : Merupakan perluasan dari teori zona konsentris dengan
pola pembangunan yang tidak merata (irregular).
pengelompokan tata guna lahan dikota itu menyebar dari
pusat ke arah luar berupa sektor (wedges) yang
bentuknya menyerupai kue taart.

Teori Pusat Lipat Ganda : Kawasan pusat kota tidak dianggap satu-satunya pusat
(Multiplei Nuclei Concept) kegiatan atau pertumbuhan, tetapi suatu rangkaian pusat
kegiatan atau pusat pertumbuhan dengan fungsi yang
berlainan seperti industri, rekreasi, perdagangan dan
sebagainya. Teori ini umumnya berlaku untuk kota-kota
yang agak besar.

Aglomerated rural settlement : Permukiman memusat, dimana rumahnya


mengelompok, terdiri atas sekitar 40 unit rumah.
Disekitarnya terdapat tanah bagi pertanian, perikanan,
peternakan dan lain-lain, tempat dimana penduduk
bekerja sehari-hari untuk mencari nafkah.

Disseminated rural settlement : Permukiman terpencar, rumahnya terpencar menyediri,


banyak terdapat di negara Eropa Barat, Amerika,
Kanada, Australia dan lain-lain.

Farmstead : Sebuah rumah yang terpencil tetapi lengkap dengan


gudang, alat mesin, penggilingan gandung, lumbung dan
kandang ternak.

Roadside Suatu bangunan di tepi jalan yang merupakan motel,

1.19
Judul Mata Kuliah

pompa bensin sering dikategorikan ke dalam kelompok


disseminated rural settlement

Isolated stated : Wilayah terasing, yang terdiri atas sebuah kota dan
wilayah pertanian sebagai wilayah belakangnya
(hinterland)

“Weight Loosing Industry” : Suatu industri yang mempunyai sifat input untuk setiap
kesatuan output lebih besar dari hasil produksi. input
untuk setiap kesatuan output lebih besar dari hasil
produksi. Dengan demikian, lokasi pabrik optimal untuk
jenis industri ini adalah pada sumber bahan baku

“Weight Gaining Industry” : Suatu industri yang mempunyai sifat input untuk setiap
kesatuan produksi lebih ringan dari output. Dengan
demikian, lokasi pabrik optimal untuk jenis industri ini
adalah di pasar.

“Foot-loose Industry” : Suatu industri yang mempunyai sifat berat input sama
dengan output. Dengan demikian, lokasi pabrik optimal
untuk jenis industri ini dapat dimana saja diantara lokasi
pasar dan bahan baku

20
Daftar Pustaka

Bintarto R. 1977. Geografi Kota. Yogyakarta: UP. Spring.

Chapin, F. Stuart and Edward J. Kaiser. 1985. Urban Land Use Planning. Cichago:
University of Illinois Press.

Jayadinata, T.Johara. 1999. Tata guna Tanah Dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan
dan Wilayah. Penerbit ITB Bandung

Koestoer, Raldi, H. 1996. Penduduk dan Aksesibilitas Kota. UI Press

Koestoer, Raldi, H. 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota (Teori dan Kasus). UI Press

Syafrizal. 2008. Ekonomi Regional (Teori dan Aplikasi). Baduose Media

Wahyuningsih, Menik. 2008. Pola Dan Faktor Penentu Nilai Lahan Perkotaan Di Kota
Surakarta. Tugas Akhir. Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro Semarang

Yusran, Aulia. 2006. Kajian Perubahan Tata Guna Lahan Pada Pusat Kota Cilegon.
Tesis. Program Pascasarjana Magister Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas
Diponegoro Semarang

http://www.raharjo.org/nature/penutupan-dan-penggunaan-lahan.html-19 Juli 2012-7.30


WIB

httprepository.upi.eduoperatoruploads_geo_0705826_chapter2.pdf-19 Juli 2012-10.30


WIB

http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_i/07620074-ambar-ernawati.ps-13 nov 7.33

1.21
i
Sarjana geografi dan pengusaha pertanian di Jerman (1783-1850)

Anda mungkin juga menyukai