Anda di halaman 1dari 30

Konsep Mega-

Urban, Peri-
urban, PUR, dan
Network Strategy
Halo!
Kami dari Kelompok
2!

M. Febtian Syah Mayang Puspita


Siska Brilliant R.
Putra
08211740000002 Salim
08211740000006 08211740000007
3

• Konsep Mega Urban dan Peri Urban


Mega Urban


Pengertian Mega Urban
Karakteristik Mega Urban
Faktor Penyebab Mega Urban
Peri Urban
Outline Pengertian Peri Urban
Karakteristik Peri Urban
Klasifikasi Peri Urban
• Keterkaitan Mega Urban dan Peri
Urban
• Konsep Network Strategy
Pengertian Network Strategy
Ilustrasi Penerapan Network Strategy
Karakteristik Network Strategy
• Studi Kasus
4

Konsep

Mega-Urban
5

Definisi Mega-Urban

Fenomena “menyatunya” beberapa metropolitan membentuk wilayah


perkotaan yang sangat besar dan melampaui batas administasinya.

Kawasan perkotaan yang mempunyai jumlah penduduk


lebih dari 10 juta jiwa, baik merupakan satu wilayah
administasi pemerintahan ataupun lebih.

Dampak terjadinya konurbasi di mana terjadi penyatuan secara fisik


(spasial) antara kota induk dengan kota kecil di sekitarnya, dan tidak
harus terjadi penggabungan secara politik dan administrasi.

Department of Urban and Regional


Planning 2018
6

Latar Belakang Mega-Urban


▫ Pada 2010, 12 dari 21 kota besar di dunia diperkirakan berada di Asia. Tokyo, yang terbesar, diproyeksikan memiliki populasi 35,4 juta, diikuti
oleh Mumbai (20,0 juta), Delhi (16,9), Shanghai (15,7), Kolkata (15,5), Jakarta (15,2), dan seterusnya. Namun, sekarang semakin diakui oleh
para peneliti dan otoritas pemerintah bahwa "bidang perkotaan" ditinjau dari pengaruh ekonomi, sosial dan teknologi dari kota-kota besar jauh
melampaui batas-batas formal mereka. Seperti dijelaskan oleh John Friedmann, bidang perkotaan biasanya memanjang keluar dari inti kota
hingga jarak lebih dari 100 km; mereka termasuk bandara kota, kawasan industri baru, daerah aliran sungai, area rekreasi, fasilitas
pengolahan air dan pembuangan limbah, pertanian sayuran intensif, daerah perkotaan baru yang sudah ada, kota-kota kecil yang sudah ada,
pembangkit listrik, kilang minyak bumi, dan sebagainya, yang semuanya sangat penting untuk kelancaran fungsi kota. Wilayah kota pada
skala ini sekarang dapat memiliki jutaan penduduk, beberapa di antaranya menyaingi negara-negara berukuran sedang. Ruang hubungan
fungsional / ekonomi ini dapat sepenuhnya berada dalam ruang politik / administrasi tunggal. Namun, kemungkinan besar, akan melintasi dan
tumpang tindih dengan sejumlah ruang administrasi politik kota, kabupaten, kabupaten, kota, provinsi, dll. (Friedmann, 1992).
T.G. McGee, mencatat fitur unik dari aglomerasi perkotaan Asia telah menciptakan istilah pengembangan “desakota” untuk menggambarkan
pertumbuhan mereka, menggabungkan istilah bahasa desa dan kota untuk menunjukkan karakteristik campuran desa-kota. Dia mengamati
bahwa wilayah-wilayah kota ini cenderung “menghasilkan bentuk tata ruang yang mirip amuba, tanpa batas batas geografis dan admistratif yang
ditetapkan. Jari-jari mereka kadang membentang 75 hingga 100 km dari inti perkotaan. Seluruh wilayah - yang terdiri dari pusat kota,
perkembangan dalam koridor transportasi, kota satelit dan proyek-proyek lain di pinggiran pinggiran kota dan zona lainnya - muncul sebagai satu
"wilayah mega-urban" yang terintegrasi secara ekonomi atau "wilayah metropolitan diperpanjang” , (McGee, 1995).

United Nation, 2007


7

Latar Belakang Mega-Urban

Sebagian besar kota-kota besar Asia telah berkembang menjadi daerah-daerah kota besar yang mencakup wilayah dan populasi yang jauh lebih
besar. Meskipun ada upaya pemerintah untuk membatasi atau bahkan membalikkan pertumbuhan kota-kota besar dengan menggunakan
berbagai langkah administratif dan ekonomi, misalnya sistem paspor internal yang membatasi manfaat bagi penduduk perkotaan yang bonafid di
Tiongkok dan Vietnam; penggunaan sabuk hijau untuk membatasi pertumbuhan di kota yang sangat urban di India dan Malaysia; penggusuran
dan pemukiman kembali penduduk kota dalam ke daerah-daerah terpencil di Filipina dan Bangladesh; dan skema transmigrasi untuk
memindahkan penduduk kota ke daerah lain yang terpencil di Indonesia, kawasan mega-urban akan terus tumbuh. Sementara beberapa daerah
pusat kota telah kehilangan populasi karena migrasi keluar dan pengusiran paksa, daerah pinggiran kota dan daerah sekitar kota-kota besar
terus tumbuh. Pola ekspansi “telapak tangan dan jari” ini telah melanda kota-kota kecil dan permukiman-permukiman lain di pinggiran kota,
bergabung dengan kota-kota lainnya, dan membentuk kelompok kota atau wilayah mega-urban yang luas (Laquian, 2005).

United Nation, 2007


8

Struktur Ruang Mega-Urban

Department of Urban and Regional


Planning 2018
9

Karakteristik Mega-Urban

Cakupan luas lahan dan ukuran populasi besar. beberapa kota besar terus
tumbuh pada tingkat yang lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan perkotaan,
menghancurkan batas-batas mereka, melompati sabuk hijau yang membatasi
dan menjadi daerah mega-urban

"ladang" pengaruh daerah mega-urban mencakup baik


daerah perkotaan maupun pedesaan

penyatuan secara fisik (spasial) antara kota induk dengan kota kecil
di sekitarnya, namun tidak terjadi penggabungan secara politik dan
administrasi.

United Nation, 2007


10

Permasalahan Mega-Urban
Penyediaan Lahan Masalah
Masalah Masalah Masalah
Industri dan Kelembagaan dan
Transportasi Kependudukan Lingkungan
Perumahan Pembiayaan

•Penyediaan •Tingginya tingkat •Penurunan daya •Keterbatasan


•Kemacetan lalu perumahan yang migrasi dukung lingkungan kemampuan
lintas akibat layak huni • Tenaga kerja (banjir, pemerintah dalam
“bottle neck” •Peningkatan harga migran kekeringan, pembiayaan
lahan yg sulit pencemaran pembangunan
dijangkau udara, air dan • Kesulitan
golongan ekonomi tanah) koordinasi
lemah • Berkurangnya pembangunan
•Prasarana dan daerah resapan yang bersifat lintas
sarana lingkungan daerah
•Konversi lahan dari (antardaerah)
pertanian ke
industri &
perumahan

Department of Urban and Regional


Planning 2018
11

Studi Kasus
The Continuity and Change in Mega-
Urbanization in Indonesia; A Survey of
Jakarta–Bandung Region (JBR)
Development
Wilayah Jakarta-Bandung (JBR) pada dasarnya terdiri dari dua konsentrasi terbesar
penduduk perkotaan dan kegiatan ekonomi perkotaan di Indonesia, yaitu Wilayah
Metropolitan Jakarta (JMA) dan Wilayah Metropolitan Bandung (BMA). Secara
total, Wilayah Jakarta-Bandung (JBR) mencakup area lebih dari 12.275 km2, sedangkan
Kota Jakarta dan Kota Bandung menempati area yang relatif kecil, yaitu masing-masing
hanya 164 km2 dan 81 km2
13

“ JMA dan BMA secara fisik terintegrasi


membentuk sabuk wilayah perkotaan dari
Jakarta ke Bandung yang membentang
sepanjang kurang lebih 200 km. Sabuk
perkotaan ini ditandai oleh campuran
kegiatan sosial-ekonomi, termasuk
pertanian, industri, perdagangan dan
perumahan, yang telah menciptakan
hubungan pedesaan-perkotaan yang sangat
kuat sehingga mengaburkan perbedaan di
antara keduanya (Firman & Dharmapatni,
1995: 181-3).
14

Perkembangan Aspek Sosial Kependudukan di Wilayah Jakarta-bandung (JBR)


Sensus Penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa Wilayah Metropolitan Jakarta
(JMA) telah menjadi tujuan bagi lebih dari 1,35 juta migran baru yang berasal
dari banyak daerah di Indonesia dan telah pindah ke Kabupaten dan Kota di
Wilayah Metropolitan Jakarta (JMA) dalam kurun waktu antara tahun 1995—
2000. Sementara itu, jumlah total pendatang baru ke Kota Bandung dan
Kabupaten Bandung masing-masing mencapai 315,8 ribu dan 200 ribu,
menjadikan total pendatang baru ke BMA 515,8 ribu selama periode yang sama.
Ini menunjukkan JMA dan BMA memiliki daya tarik yang sangat kuat
bagi migran yang mencari pekerjaan dan penghidupan baru.
15

Populasi perkotaan Wilayah Jakarta-Bandung (JBR) mencapai lebih dari 24 juta pada tahun 2000, dengan
laju pertumbuhan sekitar 3,5% selama periode 1990-2000. Diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk
perkotaan di pusat-pusat kota di wilayah ini, terutama di Jakarta dan Kota Bandung juga secara substansial
menurun, di mana untuk Jakarta menurun dari 3,1% selama periode 1980-1990 menjadi hanya 0,16%
selama periode 1990—2000, sedangkan pertumbuhan populasi perkotaan Kota Bandung menurun dari
3,3% menjadi hanya 0,40% dalam kurun waktu yang sama. Hal ini mencerminkan limpahan penduduk
secara cepat dari Jakarta dan Bandung ke daerah-daerah yang berdekatan.
16

Tingkat pertumbuhan populasi


perkotaan di Kota Bogor meningkat
secara signifikan dari hanya 1,0%
(1980-1990) menjadi hampir 11%
(1990-2000), karena perluasan
wilayah administrasi kota. Ini juga
tercermin dalam penurunan
substansial dari pertumbuhan
populasi perkotaan di Kabupaten
Bogor, wilayah yang berdekatan
dengan Kota Bogor, di mana Selain itu, pemisahan
beberapa kecamatan dianeksasi ke Kota Depok dari
kota tersebut, yang turun dari 11,7% Kabupaten Bogor pada
selama 1980-1990 menjadi hanya pertengahan 1990-an
0,46% di 1990—2000. membuat pertumbuhan
penduduk perkotaan di
Kabupaten Bogor
semakin menurun
dengan lebih cepat.
17

Pertumbuhan populasi perkotaan di


Kabupaten Tangerang dan Bekasi
secara signifikan menurun dari
20,9% menjadi 2,5%, dan dari
sekitar 20% menjadi 1,7%, masing-
masing, selama periode 1990-2000,
karena pusat-pusat kota dari kedua
kabupaten ini dipisahkan untuk
menjadi kota terpisah (Kota), yaitu
Kota Tangerang dan Bekasi pada
akhir 1990-an.
18

Situasi ini mengakibatkan


Sensus Penduduk 2000 penurunan pangsa Kota
(Badan Pusat Statistik, Jakarta dari total populasi
2001) mencatat bahwa JMA dari 54,9% pada tahun
selama tahun 1995-2000 1971 menjadi 39,9% pada
sekitar 190.000 penduduk tahun 2000, sedangkan
Jakarta telah pindah ke bagian Kabupaten dan Kota
Kabupaten dan Kota Bekasi dan Tangerang
Bekasi dan 192.000 masing-masing meningkat
penduduk ke Kabupaten dari 10,0% menjadi 15,3%,
dan dari 12,8% menjadi
dan Kota Tangerang.
19,6%.

Sementara
160.000 penduduk
Jakarta lainnya
pindah ke
Kabupaten Bogor
Kota Bogor dan
Kota Depok.
Perkembangan Aspek Fisik di Wilayah Jakarta-bandung (JBR)
Selama tiga dekade terakhir, pengembangan kegiatan ekonomi di
Wilayah Jakarta-Bandung (JBR) telah menghasilkan konversi lahan
yang luas dari lahan pertanian utama menjadi lahan non
pertanian, terutama oleh kota-kota baru, industri, san
perkebunan di daerah pinggiran. Sementara itu, di pusat-pusat
kota, banyak daerah perumahan telah dikonversi menjadi kantor,
kondominium, hiburan dan ruang bisnis.
Data penggunaan lahan di
Sebanyak 30 pusat Bogor-Puncak-Cianjur di selatan
perbelanjaan besar telah Kota Jakarta dan di Wilayah
dibangun pada tahun 2006 di Metropolitan Bandung (BMA)
Kota Jakarta, dan beberapa menunjukkan hutan primer
Di kawasan CBD Jakarta,
pusat perbelanjaan besar akan dan sekunder, sawah,
pembangunan Superblock
dibangun pada 2008. Area kebun, dan perkebunan di
Sudirman telah selesai
pusat perbelanjaan di Kota daerah tersebut menurun
baru-baru ini, yang terdiri
Jakarta telah meningkat secara substansial selama
dari sekitar 2 juta meter
secara signifikan dari 1,4 periode 1994-2001. Sebaliknya,
persegi perkantoran, hotel,
juta m2 di tahun 2000 luas lahan untuk kegiatan
dan perumahan spasi. Saat
menjadi 2,4 juta m2 di tahun industri dan pemukiman
ini juga telah ada 16 superblock
2005. Demikian juga, sejumlah meningkat secara
lain di CBD Jakarta.
pusat perbelanjaan telah signifikan. Selama periode ini,
dibangun di Kota Bandung, hampir 8.000 ha dan lebih dari
termasuk Bandung Super Mall 35.000 ha hutan primer di
dan Cihampelas Walks. Bopunjur dan BMA telah
dikonversi.
22

Perkembangan Kota-Kota Baru


Sejumlah daerah pemukiman berskala besar dan kota-kota baru telah
dikembangkan di Wilayah Jakarta-Bandung (JBR) sejak awal 1980-an. Selama
1990-an ada akses mudah bagi pengembang untuk menginvestasikan dana
karena pasar nasional dan internasional mendorong pertumbuhan
perkembangan kota baru dan sektor properti secara umum (Dijkgraaf, 2000).
Pada awal 2000-an saja sudah ada sekitar 25 proyek pengembangan kota baru
di wilayah Metropolitan Jakarta, berkisar dari 500 hingga 6000 ha.
23

Kota-kota baru di JMA dibangun oleh


pengembang yang berbeda,
menghasilkan situasi bahwa kota-
kota tidak memiliki hubungan yang
baik dengan sistem infrastruktur
yang ada di wilayah tersebut dan
terpisah satu sama lain. Secara
Pengembang tidak memiliki tujuan keseluruhan, pemisahan spasial
untuk mendesentralisasi kegiatan Alasan utama mengapa sejumlah yang terkait dengan
sosial ekonomi perkotaan dari Kota kelompok berpenghasilan pengembangan kota baru di
Jakarta ke daerah sekitarnya, menengah dan tinggi pindah ke Wilayah Jakarta-Bandung (JBR)
karena mereka tidak menyediakan kota-kota baru termasuk dapat disebut sebagai
tempat kerja bagi penduduk (lihat menghindari kemacetan, polusi 'segregasi spasial sukarela'
juga Leisch, 2000). Oleh karena itu, udara dan kendala ruang di pusat atau 'segregasi mandiri' (Fallah,
hampir semua kota baru telah kota, dan mengharapkan keamanan 1996; Greenstein, Sabatini, &
berfungsi sebagai kota asrama yang lebih andal, infrastruktur yang Smolka, 2000; UNCHS, 2002), di
dan secara sosial ekonomi lebih baik, dan lingkungan hidup. mana kelas atas dan menengah
tergantung pada Jakarta. membangun lingkungan perumahan
untuk diri mereka sendiri untuk
tujuan gaya hidup dan keamanan
eksklusif. Banyak penduduk kota-
kota baru JMA tidak ingin tinggal di
daerah yang bercampur secara
sosial dan budaya untuk alasan
keamanan.
24

Perkembangan Industri
Kawasan industri di Wilayah Metropolitan
Jakarta (JBR) menempati total lahan hampir
11.000 ha pada akhir 2005, sekitar empat
per sepuluh di antaranya berlokasi di
Kabupaten Bekasi, salah satu konsentrasi
terbesar kegiatan manufaktur di Indonesia.
Sepertiganya terletak di Kabupaten
Karawang, dan sisanya menyebar. Kawasan
Industri ini memiliki permintaan pasar yang
kuat karena kedekatannya dan akses mudah
ke Kota Jakarta.
25

Perkembangan Industri
Permintaan untuk lahan industri di Wilayah Metropolitan Jakarta (JMA) telah
sangat meningkat karena pengembangan investasi asing dan domestik
langsung di wilayah tersebut. Secara total, tingkat hunian kawasan industri di
wilayah ini mencapai 70%. Diperkirakan bahwa pada pertengahan 1990-an
sekitar setengah dari total investasi asing dan domestik di Indonesia di
antaranya terletak di JMA.

Sejauh ini tidak ada kawasan industri besar di Wilayah Metropolitan Bandung,
tetapi setidaknya ada dua zona industri, yang ukurannya lebih kecil
dibandingkan dengan sebagian besar kawasan industri di JMA, termasuk zona
industri Cibaduyut yang berspesialisasi dalam produk alas kaki, dan Gedebage.
26

Pengembangan Jalan
Sabuk Jakarta-Bandung adalah salah satu koridor transportasi paling padat di
Jawa bersama dengan sabuk Pantai Utara, yang dilayani oleh moda transportasi
kereta api, jalan dan udara. Koridor ini diperkirakan melayani lebih dari 78 juta
penumpang pada tahun 2004, sebagian besar bepergian dari Bandung ke
Jakarta dan sebaliknya untuk keperluan bisnis dan lainnya, sekitar 95% di
antaranya dilayani oleh moda jalan.

Jakarta dan Kota Bandung juga dihubungkan oleh beberapa jalan tol, termasuk
Padalarang — Purwakarta — jalan Cikampek dan Jakarta — Jalan Ciawi.
Perusahaan jalan tol milik negara (PT Jasa Marga) baru-baru ini menyelesaikan
pembangunan jalan tol Purwakarta-Padalarang, yang membuat waktu
perjalanan antara dua kota menjadi lebih singkat dari tiga menjadi hanya 2 jam.
27

Pengembangan Jalan
Pembukaan jalan tol baru Jakarta — Bandung telah membuat orang-orang dari
Jakarta melakukan perjalanan ke Bandung dengan mudah selama akhir pekan
untuk berbelanja dan rekreasi, yang pada gilirannya telah mendorong beberapa
kegiatan ekonomi untuk tumbuh di Bandung, termasuk hotel, restoran, toko
makanan, dan pabrik garmen gerai.

Perkembangan ini juga memicu perkembangan sosial ekonomi baru di beberapa


area samping di sepanjang jalan tol, termasuk area istirahat dan restoran.
Namun, itu juga memperburuk kemacetan lalu lintas di kota selama akhir
pekan.
28

Permasalahan yang Timbul Dalam Perkembangan


Mega-Urban Wilayah Jakarta-Bandung (JBR)

Pembangunan kota baru yang pengembangan kota baru di


kebanyakan tidak sesuai Wilayah Metropolitan Jakarta
dengan rencana tata ruang (JMA) yang didesain untuk
menyebabkan banyak intensif berinteraksi sehari-hari
pemisahan sosial antara antara Kota Jakarta dan kota-
orang dengan kelas kota baru di wilayah tersebut,
menengah ke atas dan yang pada gilirannya
menengah ke bawah. Banyak membuat masalah lalu
pengembang hanya lintas di wilayah ini semakin
mengundang orang-orang buruk. Kendaraan yang datang
terpilih untuk membeli dari Bogor, Tangerang dan
bangunan dan tanah di daerah Bekasi berkontribusi signifikan
yang sangat eksklusif ini di kota terhadap polusi udara di Kota
baru Jakarta setiap hari.
29

Permasalahan yang Timbul Dalam Perkembangan


Mega-Urban Wilayah Jakarta-Bandung (JBR)

Pengembangan lahan yang tidak


terkendali di pinggiran Jakarta
dan Kota Bandung telah pengembangan kota baru di
mengakibatkan banyak Wilayah Metropolitan Jakarta
masalah lingkungan, (JMA) yang didesain untuk
termasuk kemacetan lalu intensif berinteraksi sehari-hari
lintas yang dihasilkan dari antara Kota Jakarta dan kota-
arus lalu lintas komuter yang kota baru di wilayah tersebut,
padat antara kota-kota baru yang pada gilirannya
yang tersebar dan kota-kota, membuat masalah lalu
serta ekstraksi air tanah lintas di wilayah ini semakin
yang berlebihan dan polusi buruk. Kendaraan yang datang
udara di beberapa industri. dari Bogor, Tangerang dan
ruang terbuka hijau di Kota Bekasi berkontribusi signifikan
Jakarta telah sangat menurun terhadap polusi udara di Kota
dari 28,8% dari total wilayah Jakarta setiap hari.
pada tahun 1984 menjadi 9,4%
dan pada tahun 2000.
30

Kesimpulan dan Rekomendasi


Perkembangan fisik Wilayah Jakarta-Bandung / Jakarta–Bandung Region (JBR), yang terdiri dari Wilayah
Metropolitan Jakarta (JMA) dan Wilayah Metropolitan Bandung (BMA) dicirikan oleh pembentukan sabuk
perkotaan dari Jakarta ke Bandung sekitar 200 km, yang mencerminkan wilayah mega-urban yang
berkembang ditandai oleh campuran pedesaan dan kegiatan perkotaan dan mengaburkan perbedaan
desa-kota. Proses ini terus berlanjut didukung dengan berkembangnya kegiatan sosial ekonomi dan
perkembangan fisik. Namun, perkembangan pesat JBR mengakibatkan beberapa masalah lingkungan. JBR
juga menghadapi masalah konversi lahan yang tidak terkendali. Perkembangan kota baru telah
memperkuat pemisahan spasial berdasarkan gaya hidup dan status pendapatan sementara kawasan
industri juga tumbuh di wilayah tersebut.

Wilayah Jakarta Bandung (JBR) adalah kawasan perkotaan yang kompak yang harus dikelola sebagai
wilayah yang tidak terpisahkan melalui rencana tata ruang terpadu, untuk memastikan pembangunan
berkelanjutan di wilayah ini meskipun terdiri dari beberapa kabupaten dan kota yang memiliki otoritas
mereka sendiri. Perlu adanya kepemimpinan yang baik dari para pemimpin pemerintah daerah, termasuk
di Jawa Barat, pemerintah provinsi Banten dan Jakarta serta pemerintah pusat. Mereka harus memiliki visi
dan kesadaran bahwa wilayah tersebut harus dikembangkan melalui kerja sama semua pemangku
kepentingan dan membuat koordinasi kerja untuk diri mereka sendiri.

Anda mungkin juga menyukai