Anda di halaman 1dari 5

Kisah 3 Tokoh Indonesia Teladan Antikorupsi

1. Mohammad Hatta

Nama Mohammad Hatta sudah tak asing lagi bagi bangsa Indonesia.
Ia adalah salah satu pahlawan proklamasi bersama Sukarno. Selain
berjasa besar bagi kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, sapaan
akrabnya, juga memiliki rekam jejak sebagai seorang sosok yang
sangat anti terhadap korupsi.

Salah satu kisahnya ada pada 1970, ketika Bung Hatta dan
rombongan mengunjungi Tanah Merah, Irian Jaya, tempat ia sempat
dibuang oleh kolonial Belanda. Di Irian Jaya, Bung Hatta disodori
amplop berisi uang. Uang tersebut sebenarnya bagian dari biaya
perjalanan Bung Hatta yang ditanggung pemerintah.

Namun, Bung Hatta menolaknya. "Uang apa lagi...? Bukankah semua


ongkos perjalanan saya sudah ditanggung pemerintah? Dapat
mengunjungi daerah Irian ini saja saya sudah bersyukur. Saya benar-
benar tidak mengerti uang apa lagi ini?" kata Bung Hatta.

Bung Hatta juga mengatakan bahwa uang pemerintah pun sebenarnya


adalah uang rakyat. "Tidak, itu uang rakyat, saya tidak mau terima..
Kembalikan," tegas Bung Hatta seperti dikutip dari buku
berjudul Mengenang Bung Hatta  (2002).

Ketegasan Bung Hatta perihal korupsi juga tecermin pada hal yang


sederhana. Pada suatu ketika, Hatta menegur sekretarisnya karena
menggunakan tiga lembar kertas kantor Sekretariat Wakil Presiden
untuk mengirim surat pribadi. Menurut Hatta, kertas itu adalah aset
negara yang merupakan uang rakyat. Hatta pun mengganti kertas
tersebut dengan uang pribadinya

2. Hoegeng

Gus Dur pernah berkata, "Hanya ada tiga polisi yang tidak bisa
disuap, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng." Kalimat
tersebut diutarakan Gus Dur lantaran Hoegeng memang merupakan
ikon polisi jujur dan antisuap. Sepak terjangnya sebagai seorang
polisi yang amanah memang patut ditiru.

Ketika menjabat sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet,


Hoegeng seharusnya mendapat mobil dinas dan mobil keluarga. Ia
menolak satu mobil, yaitu mobil keluarga. "Hoegeng mau simpan di
mana lagi, Mas Dharto? Hoegeng tak punya garasi lagi," katanya
kepada sekretarisnya dalam Hoegeng, Polisi dan Menteri
Teladan (2014).
Namun karena sudah ketentuan, mobil tersebut akhirnya diterima.
Akan tetapi, mobil tersebut disimpan di rumah sekretarisnya dan
hanya akan dipakai ketika perlu saja.

Selain itu, Hoegeng juga pernah menerima hadiah mobil dari


perusahaan Dasaad Musin Concern yang memegang lisensi beberapa
mobil merek Eropa dan Jepang. Namun, oleh Hoegeng surat
pemberitahuan hadiah tersebut tak ditanggapi dan malah diberikan
kepada seorang teman.

Selain mobil, Hoegeng juga pernah menolak hadiah dua motor. Oleh
Hoegeng, kedua motor tersebut langsung dikembalilan pada hari
kedatangan. Ia memang tak pernah mau menerima hadiah-hadiah yang
tidak jelas juntrungannya.

Ketika menjadi Kapolri, pemilik rumah yang disewa Hoegeng tidak mau
dibayar. Ia akhirnya harus membayarnya lewat wesel. Hoegeng
memang sangat menghindari politik balas budi meski dalam bentuk
yang paling sederhana.

Hoegeng berpesan mengenai cara memberantas korupsi yang


menurutnya efektif.

"Kalau mau menghilangkan korupsi di negara ini, sebenarnya gampang.


Ibaratnya, kalau kita harus dimulai dari atas ke bawah.
Membersihkan korupsi juga demikian. Harus dimulai dengan cara
membersihkan korupsi di tingkat atas atau pejabatnya lebih dulu, lalu
ke turun badan atau level pejabat eselonnya dan akhirnya ke kaki
hingga telapak atau ke pengawal bawah," kata Hoegeng kepada
anaknya Didit Hoegeng.
3. Baharuddin Lopa 

Baharuddin Lopa adalah sosok lain dalam ikon antikorupsi di


Indonesia. Namanya santer disebut sebagai Jaksa Agung yang tegas
dan tak pandang bulu dalam penegakan hukum. Lopa juga sangat galak
terhadap setiap tindak tanduk yang menjurus ke korupsi. Lopa adalah
Jaksa Agung Republik Indonesia pada 6 Juni 2001 hingga meninggal
dunia pada 3 Juli 2001.

Pernah suatu ketika, Lopa ingin membeli mobil pribadi karena tidak
mau menggunakan mobil dinas untuk kegiatan keseharian. Lopa
menghubungi Jusuf Kalla yang merupakan pengusaha otomotif dan
menginginkan sedan yang paling murah. Kalla pun membohongi Lopa
dengan menawarkan Corolla seharga Rp 5 juta. Padahal harga
sesungguhnya Rp 27 juta. Karena tidak mau membeli dengan harga
teman tersebut, Lopa akhirnya membayar mobil tersebut dengan
harga asli. Mobil tersebut lunas setelah dicicil selama tiga tahun.

"Ya... boleh terima mobil darimu karena memang tidak ada urusan apa
pun. Tapi, suatu saat kau atau temanmu punya urusan kemudian
datang dan minta tolong. Saya tidak tegak lagi karena telah
tersandera oleh pemberianmu waktu itu," ungkap Lopa kepada Kalla di
kemudian hari.
Baharuddin Lopa sangat anti terhadap suap. Lopa sering menerima
parsel ketika hari raya, tapi semua parsel yang dikirim ke rumahnya
selalu dikembalikan. Suatu kali, anak-anak Lopa mengambil cokelat
dalam parsel dan menutup kembali bungkus parsel tersebut. Namun
hal ini ternyata diketahui oleh Lopa.

"Jadi parsel itu mereka buka diambil cokelatnya, kemudian saya cari
bungkus cokelat itu di toko, kemasannya apa, mereknya apa harus
sama, saya masukkan kembali dan saya bungkus kembali parsel itu lalu
saya kembalikan," kata Lopa bercerita kepada seorang sahabatnya.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad menganggap Lopa adalah sosok


yang sangat bersahaja dan sederhana. Sebagai seorang pejabat, Lopa
pun tidak memiliki harta melimpah sampai akhir hidupnya.

"Rumahnya di Makassar sangat sederhana sebagai rumah seorang


pejabat tinggi negara pada saat itu, dibandingkan dengan para
pejabat tinggi saat itu dan sekarang ini," tulis Abraham Samad dalam
buku Apa dan Siapa Baharuddin Lopa (2012).

Anda mungkin juga menyukai