Anda di halaman 1dari 6

SEMINAR NASIONAL:

MENCAPAI 80% TINGKAT PENGUMPULAN SAMPAH DI INDONESIA DENGAN TATA KELOLA


YANG STABIL DAN KUAT DAN PENDANAAN YANG MEMADAI DAN STABIL

22 JUNI 2021

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pengumpulan sampah merupakan salah satu fondasi utama dalam sistem pengelolaan sampah, dan merupakan
faktor terpenting untuk menjaga agar sampah plastik dan sampah berbahaya lainnya tidak masuk ke lingkungan
termasuk ke laut.

Berdasarkan laporan Kemitraan Aksi Plastik Nasional Indonesia atau National Plastic Action Partnership
(NPAP) yang berjudul “Mengurangi Polusi Plastik Secara Radikal di Indonesia - Rencana Aksi Multipemangku
Kepentingan” yang secara resmi diluncurkan pada bulan April 2020 oleh Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Investasi, disebutkan bahwa rata-rata tingkat pengumpulan sampah di Indonesia masih 39%
sementara 61% sisanya tidak terkumpulkan (berdasarkan baseline 2017). Hal ini berarti sekitar 40 juta ton total
sampah terbuang ke lingkungan tiap tahunnya. Selain itu, jika melihat status infrastruktur pengelolaan sampah di
Indonesia, lebih dari 70% TPS3R dan 40% TPST di Indonesia terbengkalai atau tidak diketahui statusnya, dan
setiap tahun nya, semakin banyak TPA saniter dan terkendali berubah menjadi fasilitas open dumping.

Di dalam laporan NPAP yang sama, Pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk menggandakan tingkat
pengumpulan sampah dari 39% menjadi lebih dari 80% pada 2025. Komitmen ini sejalan dengan target-target
yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia yang juga menjadi landasan hukum untuk mendukung komitmen
pemerintah yaitu: 1) pengurangan sampah sebanyak 30% dan penanganan sampah sebanyak 70% pada tahun
2025 (Peraturan Presiden/Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga); dan 2) pengurangan 70% sampah plastik
laut pada tahun 2025 (Perpres No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut).

Melalui kerjasama dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Asosiasi
Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) dan didukung oleh Kedutaan Besar Norwegia di Indonesia,
SYSTEMIQ telah melakukan kajian yang komprehensif untuk memahami akar penyebab di balik permasalahan
sistem pengelolan sampah di Indonesia, dan telah mengidentifikasi faktor-faktor penentu utama yang dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, serta pada akhirnya dapat mendukung Pemerintah Indonesia
dalam menggandakan tingkat pengumpulan sampah ke 80% pada tahun 2025 dan secara permanen,
menghentikan 40 juta ton sampah mencemari lingkungan.

Hasil dari kajian ini mengidentifikasi tiga faktor penentu utama bagi Indonesia untuk meningkatkan tingkat
pengumpulan sampah dua kali lipat di Indonesia, yaitu:

1. Tata kelola pengelolaan sampah yang stabil dan kuat,


2. Pendanaan pengelolaan sampah yang memadai dan stabil, dan
3. Peningkatan kapasitas pengelolaan sampah.

Kajian ini difokuskan kepada faktor pertama dan kedua.

1. Tata Kelola Pengelolaan Sampah yang Stabil dan Kuat

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain dengan ekonomi yang mirip dengan Indonesia (peer countries),
Indonesia bukan negara satu-satunya yang memiliki tantangan tingkat pengumpulan sampah yang masih rendah.
1
Tren yang sama terlihat dalam tingkat pengumpulan sampah dengan negara-negara lain seperti India, Thailand
dan Myanmar. Akan tetapi beberapa negara lain memiliki tingkat pengumpulan sampah yang cukup tinggi seperti
Filipina, Malaysia, Afrika Selatan dan Yordania. Dengan mengkaji tingkat pengumpulan sampah yang rendah
dan tinggi di peer countries, kajian ini mengidentifikasi tiga perubahan tata kelola yang penting dalam
meningkatkan sistem persampahan yaitu:

1. Susunan tata kelola pengelolaan sampah,


2. Koordinasi tata kelola pengelolaan sampah, dan
3. Penegakan hukum larangan membuang/membakar sampah.

1. Susunan tata kelola pengelolaan sampah:

Saat ini keberhasilan pengelolaan sampah di Indonesia umumnya bergantung kepada kemauan dan kemampuan
individu pemimpin (bupati, kepala desa), tidak kepada sistem, sehingga kinerja pengelolaan sampah rawan
terhadap perubahan politik, misalnya pergantian pemimpin. Hal ini dialami oleh SYSTEMIQ dalam Program
STOP Muncar-Banyuwangi yang berbasis desa dengan kelembagaan BumDes. Sebagai contoh, desa yang sudah
bagus kinerja pengelolaan sampahnya dapat berubah seketika setelah kepala desa berganti. Contoh lainnya,
kepala desa tidak bersedia untuk meningkatkan tarif iuran sampah yang diperlukan untuk keberlanjutan program
karena khawatir berdampak kepada elektabilitas pemimpin tersebut dalam pemilihan kepala desa.

Untuk menjawab hambatan susunan tata kelola ini, kajian ini mengusulkan penerapan Badan Layanan Umum
Daerah/BLUD (pada Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD) sebagai kelembagaan pengelolaan sampah karena
BLUD berpotensi menjadi kelembagaan yang lebih professional dan berkelanjutan dan tidak bergantung figur
pemimpin daerah karena BLUD:

• Dapat mencakup layanan sampah se-kabupaten/kota


• Menerima pendanaan APBD dari pemerintah dan potensi pendanaan dari berbagai sumber lain termasuk
iuran, penjualan material sampah dan juga swasta
• Dapat mengelola pendapatan secara mandiri tanpa harus masuk ke APBD sehingga pendapatan dapat
dialokasikan sepenuhnya ke sistem persampahan; dan
• Dapat menjadi bank sampah induk dan off-taker untuk sampah daur ulang dari TPST/3R, bank sampah dan
sektor informal.

Tantangan utama BLUD adalah proses penerapannya memakan waktu dan proses yang rumit, pertama UPTD
perlu dibentuk dulu sebelum penerapan BLUD. Oleh karena itu kajian ini mengusulkan:

Usulan kebijakan jangka pendek:


Bermitra dengan Kemendagri, APKASI, dan APEKSI untuk:
➢ Sosialisasi manfaat kelembagaan BLUD pengelolaan sampah ke kabupaten/kota (telah berjalan).
➢ Piloting penerapan PPK-BLUD pengelolaan sampah pada UPTD di 1 s/d 3 kabupaten/kota (sedang
berjalan).
➢ Membuat panduan teknis pembentukan BLUD pengelolaan sampah (sedang berjalan).

Usulan kebijakan jangka panjang:


➢ Mengusulkan proses percepatan penerapakan PPK BLUD pada UPTD dengan memasukan klausul di
persyaratan Administratif, Pasal 36 Permendagri 79/2018: “dalam mengelola UPTD, dapat diusulkan
sistem/pola Administrasi dan Keuangan UPTD dengan penerapan PPK BLUD”, sehingga ketika UPTD
baru terbentuk, dapat langsung menerapkan PPK BLUD.
➢ Memisahkan peran DLH sebagai regulator dan BLUD sebagai operator persampahan.
➢ Memperkuat landasan hukum BLUD pengelolaan sampah melalui:
a) Tambahan pasal tentang pengaturan UPTD Pengelolaan Sampah di Permendagri 12/2017 Tentang
Pembentukan UPT, seperti UPTD Kesehatan di Pasal 23.
b) Memasukkan layanan pengelolaan sampah dalam penjelasan PP 23/2005 Tentang BLU agar menjadi
pertimbangan dalam perubahan Permendagri 12/2017 untuk mengamanatkan penerapan BLUD pada
UPTD Pengelolaan Sampah.
2
2. Koordinasi tata kelola pengelolaan sampah:

Kajian ini menemukan bahwa masalah utama tingkat pengumpulan sampah rendah ada wilayah pedesaan, bukan
di perkotaan. Salah satu alasan perbedaan tingkat pengumpulan sampah antara wilayah perkotaan dan perdesaan
adalah perbedaan koordinasi tata kelola nya. Tingkat pengumpulan sampah yang lebih tinggi di wilayah
perkotaan dapat dicapai karena sistem tata kelola yang lebih terpusat di pemerintah kabupaten/kota, dalam hal ini
oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) atau dinas terkait, membuatnya lebih mudah untuk melembagakan
pengelolaan sampah di basis populasi yang lebih besar. Sementara di pedesaan, pengelolaan sampah dilakukan
oleh masyarakat (desa/Rukun Tetangga/Rukun Warga). Jika ditelusuri lebih lanjut hal ini karena peraturan-
peraturan daerah (perda) pengelolaan sampah membagi tanggung jawab pengumpulan sampah antara pemerintah
kabupaten/kota dengan masyarakat dan pasal pembagian tanggunjawab ini diambil dari Permendagri No. 33
Tahun 2010 yang sudah dicabut pada 2016.

Untuk itu kajian ini mengusulkan pengubahan tata kelola dari yang berbasis masyarakat ke berbasis institusi,
dengan mengusulkan diterbitkannya Permendagri baru pengganti Permendagri No. 33 Tahun 2010 untuk:

➢ Mengubah sistem kelembagaan pengelolaan sampah dari yang berbasis masyarakat ke berbasis institusi,
serta memberikan tanggung jawab pengelolaan sampah sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota
termasuk untuk pengumpulan dan pengangkutan sampah dari sumber; dan
➢ Memberikan peran utama kepada masyarakat/desa dalam hal kampanye perubahan perilaku untuk
pengurangan sampah atau 3R – reduce (pembatasan), reuse (pemanfaatan kembali), dan recycle (pendauran
ulang) sampah.

3. Penegakan hukum larangan membuang sembarangan/membakar sampah

Penegakan hukum akan efektif jika cakupan layanan sampah memadai. Saat ini pengelolaan sampah termasuk
Urusan Pemerintahan Wajib – Non Pelayanan Dasar sehingga pengelolaan sampah tidak prioritas utama, dan
tidak ada Standar Pelayanan Minimal (SPM) pengelolaan sampah.

Untuk itu, kajian ini mengusulkan agar pengelolaan sampah dipertimbangkan menjadi Urusan Pemerintahan
Wajib – Pelayanan Dasar (dengan revisi UU 23/2014), agar:

➢ Anggaran akan meningkat,


➢ Pelayanan terstandardisasi melalui SPM, dan
➢ Pemenuhan hak setiap orang dalam mendapatkan lingkungan hidup dan pengelolaan sampah yang baik,
sesuai UUD 45 dan UU 18/2008.

Sebagai tambahan, penegakan hukum harus dibaringi dengan:


➢ Kampanye dan informasi pengurangan sampah (3R - reduce, reuse, recycle) yang memadai,
➢ Sistem pertanggungjawaban pemerintah misalnya sistem pengaduan dari masyarakat, dan
➢ Regulasi yang efektif dan SDM untuk penegakan aturan.

2. Pendanaan Pengelolaan Sampah yang Memadai dan Stabil

Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa target terkait pengelolaan sampah yang harus dicapai pada
tahun 2025 termasuk menggandakan tingkat pengumpulan sampah ke 80%. Untuk mencapai target ini, kajian ini
menyimpulkan bahwa agar Indonesia dapat mengandakan pengumpulan sampah di 2025, ada selisih pendanaan
yang signifikan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Berdasarkan kajian ini, Indonesia akan membutuhkan
sekitar Rp. 54-67 triliun untuk total biaya investasi (CAPEX) antara 2017 s/d 2025 dan sekitar Rp. 7-12 triliun
untuk biaya operasional (OPEX) setiap tahunnya antara 2017 s/d 2025. Mencari pendanaan ini tidaklah mudah,
namun memungkinkan.

Studi kami telah mengkaji gap atau celah pendanaan CAPEX dan OPEX secara rinci dengan mempertimbangkan
dua pertanyaan rancangan sistem: 1). Model sistem apa yang mau dikembangkan, linier atau sirkular (BOX 1),
dan 2). Ukuran sistem apakah kecil/terdesentralisasi, sedang/terpusat atau besar/terpusat (BOX 2).
3
BOX 1. PERBANDINGAN SISTEM LINIER DAN SIRKULAR

Untuk pertanyaan pertama, kajian ini menemukan bahwa secara umum untuk jangka panjang, sistem sirkular
membutuhkan investasi yang lebih tinggi demi memberikan manfaat yang besar di aspek sosial-ekonomi,
kesehatan dan lingkungan. Dari sisi dampak sosial-ekonomi, kesehatan dan lingkungan, sistem sirkular
mengurangi pengunaan lahan untuk TPA dan dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, mengurangi
dampak pencemaran tumpukan sampah tercampur termasuk plastik kepada kesahatan dan memperbaiki struktur
dan kualitas tanah. Akan tetapi dari sisi finansial, sistem sirkular memiliki dua kelebihan: 1). Total CAPEX sistem
sirkuler lebih murah dari sistem linier, dan 2). Sistem sirkular memberi pendapatan tambahan dari penjualan
sampah.

BOX 2. PERBANDINGAN UKURAN SISTEM PERSAMPAHAN

Untuk pertanyaan kedua, analisa kajian menemukan bahwa ketika sistem memanfaatkan prinsip skala eknomis,
awalnya sistem akan jadi lebih mahal dan kemudian menjadi lebih murah dari sistem yang kecil, manual, dan
berbasis masyarakat (SEE BOX 3). Tren inversed U-shape ini dapat dijelaskan dengan prinsip skala ekonomis.
Dalam sistem yang kecil dan terdesentralisasi, operasi masih didominasi secara manual, yang mengakibatkan
biaya per unit yang kurang optimal. Saat sistem bertransisi ke sistem berukuran sedang, otomatisasi mulai
diperkenalkan pada skala yang lebih besar. Namun, karena peningkatan sistem bersifat parsial, sistem tersebut
4
belum mencapai skala ekonomis yang optimal sebagaimana tercermin dari biaya per ton yang lebih tinggi antara
ketiga sistem baik di CAPEX maupun OPEX. Sehingga, efek penuh dari skala ekonomi kemudian dapat dilihat
sebagai transisi sistem lebih lanjut ke sistem besar yang terpusat. Hal ini dikarenakan semakin terpusatnya sistem
persampahan, ekonomi sistem akan lebih stabil karena nilai end-to-end yang lebih baik, dan aset akan lebih sedikit
terbengkalai karena sistem akan lebih berkelanjutan secara keuangan.

BOX 3. PERBANDINGAN BIAYA CAPEX DAN OPEX BERDASARKAN UKURAN SISTEM

Catatan: Biaya sistem linier terdiri atas kegiatan pengumpulan, transport dan TPA, sementara sirkular mencakup juga pemilahan.

Untuk biaya per kapita, berdasarkan kajian ini, untuk mencapai 80% tingkat pengumpulan sampah pada tahun
2025, dibutuhkan biaya investasi (CAPEX) sekitar Rp. 22.000/kapita/tahun dan biaya operasional (OPEX) sekitar
Rp. 43.000/kapita/tahun. Berdasarkan kajian, saat ini belanja rata-rata pemerintah kabupaten/kota untuk
pengelolaan sampah adalah sekitar Rp. 24.000 (Rp. 5.000 untuk CAPEX dan Rp.19.000 untuk
OPEX)/kapita/tahun atau rata-rata sekitar 0.7% dari total APBD. Oleh karena itu untuk ada selisih sebesar Rp.
17.000/kapita/tahun untuk CAPEX, dan selisih sebesar Rp. 24.000/kapita/tahun untuk OPEX.

Kajian ini telah mengidentifikasi empat sumber pendapatan potensial yang dapat menutupi selisih tersebut, antara
lain melalui:

➢ Retribusi: Dari implementasi Program STOP yang dijalankan oleh SYSTEMIQ retribusi mewakili porsi
terbesar untuk pendanaan pengelolaan sampah, sekitar 50% s/d 80%. Kajian ini mengusulkan untuk
menjalankan pengumpulan retribusi tidak langsung dengan menggabung retribusi ke tagihan utilitas untuk
memastikan pendapatan sistem persampahan yang dapat diandalkan dan memadai (berkelanjutan), misalnya
dengan tagihan listrik, air atau pajak bumi dan bangunan (PBB) seperti yang sudah umum dilakukan negara-
negara lain, dengan langkah berikut: (1) Melaksanakan pilot sistem pengumpulan retribusi tidak langsung di
1 atau lebih kabupaten/kota besar, dan (2) Mengkaji implementasi sistem pengumpulan retribusi tidak
langsung secara nasional untuk menunjang akses layanan sampah universal dengan membuat peraturan yang
mendukung.

➢ Pendanaan Pemerintah: Saat ini rerata alokasi APBD pemerintah kabupaten/kota untuk pengelolaan sampah
adalah 0.7% dari total APBD. Pengelolaan sampah berada dibawah di bawah urusan Lingkungan Hidup yang
merupakan Urusan Pemerintah Wajib Non Pelayanan Dasar yang jika melihat di kabupaten Program STOP
(Banyuwangi, Pasuruan dan Jembrana) anggarannya berada antara 1%-2% dari total APBD, jauh di bawah
urusan-urusan Pemerintah Wajib Pelayanan Dasar lain seperti Pendidikan (23% s/d 34%), Kesehatan (13%
s/d 21%), pekerjaan umum dan tata ruang (9% s/d 19%). Oleh karena itu, kajian ini mengusulkan pengelolaan
sampah menjadi Urusan Pemerintahan Wajib Pelayanan Dasar (dengan revisi UU 23/2014) agar pengelolaan
sampah menjadi prioritas alokasi anggaran agar tercapai akses universal layanan pengelolaan sampah dan
memenuhi hak setiap orang mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah secara baik sesuai amanat undang-
undang.
5
➢ Pendanaan Sektor Swasta (OPEX): Menggali potensi kontribusi kerja sama pendanaan (co-funding) sektor
swasta dalam pengelolaan sampah (seperti Packaging Recovery Organization (PRO) atau Extended Producer
Responsibility (EPR) di negara lain) untuk menutupi selisih pendanaan OPEX yang tersisa dalam sistem
persampahan dengan mengusulkan implementasi Permen LHK 75/2019 dalam penarikan kembali plastik oleh
produsen bersifat wajib sehingga meningkatkan potensi pendanaan ke sistem sampah lewat operator-operator
pengelola sampah di kabupaten dan kota. Langkah awal dengan melakukan pilot di 1 atau lebih
kabupaten/kota dan mengeksplorasi sistem yang sesuai dengan konteks peraturan dan kelembagaan
Indonesia.

➢ Pendanaan Sektor Swasta (CAPEX): Menggali potensi pendanaan dari pihak swasta memalui mekanisme
plastic credits, dan implementasi Permen LHK 75/2019 dalam penarikan kembali plastik oleh produsen untuk
membagi beban pendanaan CAPEX oleh pemerintah dengan sektor swasta dengan melakukan beberapa
piloting di kabupaten/kota. Plastic credits dan penarikan kembali plastik (khususnya jika diwajibkan)
berpotensi menutupi 50% dari biaya CAPEX infrastruktur persampahan baru.

Anda mungkin juga menyukai