Akibatnya, para pejabat birokrasi tidak memmiliki insentif untuk menunjukkan kinerja sehingga
kinerja birokrasi cenderung menjadi sangat rendah. Pemerintah terhadap birokrasi seringkali
tidak ada hubungannya dengan kinerja birokrasinya. Misalnya, dalam menentukan anggaran
birokrasinya, pemerintah sama sekali tidak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi.
Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan output.
Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan , bukan
oleh hasil yang akan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya. Akibatnya, dorongan
untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik. Karena
anggaran sering menjadi driving force dari perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan
anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi
salah satu faktor yang mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik.
Para pejabat birokrasi yang ingin memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk
menunjukkan kinerja yang baik. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja
birokrasi publik pasti akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi lebih
mudah dilakukan.Kenyataannya, kepentingan birokrasi publik seringkali berbenturan satu
dengan yang lainnya. Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik.
Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena
ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima. Birokrasi yang memiliki
kinerja buruk dalam memberikan pelayanan kepada publik akan sangat mempengaruhi kinerja
pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu
negara pada era global.
1-5
Birokrasi pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The world competitiveness
Yearbook Tahun 1999 berada pada kelompok negara-negara yang memiliki Indeks
Competitiveness paling rendah diantara 100 negara paling kompetitif di dunia. Semakin buruk
dan semakin korup karena dengan semakin besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk kualitas
birokrasi disuatu negara. Kinerja birokrasi dapat kita lihat melalui berbagai dimensi, seperti
dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektifitas, responsifiitas, maupun responsibilitas.
Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan
substansial yakni untuk melihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan
oleh birokrasi pelayanan. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih
menerapkan standar nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian pelayanan
yang hanya berdasarkan pada petunjuk dan pelaksanaan sehingga kecenderungan yang terjadi
adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel terhadap masyarakat yang
dilayaninya. Salah satu faktor penyebab yang menjadikan rendahnya timgkat akuntabilitas
birokrasi adalah terlalu lamanya proses Indroktinasi Kultur birokrasi yang mengarahkan aparat
birokrasi untuk selalu melihat keatas.
Selama ini aparat birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada
kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi tidak pernah merasa bertanggungjawab
kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya. Pemberian
pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti yang terjadi di Unit Pelayanan
Terpadu juga menjadi indikasi masih rendahnya akuntabilitas dan birokrasi pelayanan yang ada.
Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap ( UPTSA) sebagai unit pelayanan yang pada
awalnya dirancang untuk memudahkan pelayanan masyarakat, pada kenyataannya justru
cenderung memperpanjang proses dan prosedur pelayanan.
Keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa merupakan indikator pelayanan
yang memperlihatkan bahwa produk pelayanan yang selama ini dihasilkan oleh birokrasi belum
dapat memenuhi harapan pengguna layanan. Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai
dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada customer atau lebih dikenal
dengan melakukan tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan
mempengaruhi pemikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dari atasan dan harus
berpegang teguh kepada petunjuk dan pelaksanaan sehingga ketika seorang pengguna jasa
memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu memenuhinya karena harus menunggu
instruksi atasan terlebih dahulu.
Hal ini menyebabkan pelayanan publik memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih lama.
Sebagai penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal dalam merespon dinamika
politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung menjadi tidak efisien dan tidak
responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Akibatnya, muncul banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan
2-5
yang sangat merugikan masyarakat. Kinerja pelayanan publik ini adalah hasil dan kompleksitas
permasalahan yang ada ditubuh birokrasi Indonesia.
Dalam mewujudkan birokrasi yang baik, perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-
egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan
nalar sehat dan menggunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner,
bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru
yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatifdan proaktif, cerdas membaca keadaan
kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat dimuka hukum, menghargai prinsip
kesederajatan kemanusiaan, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama
pentingnya.
Birokrasi Indonesia kedepan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan
memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. Birokrasi harus bertindak
profesional terhadap publik, berperan menjadi pelayanan masyarakat yang baik. Dalam
memberikan pelayanan kepada publik haruslah ada transparansi biaya dan tidak terjadinya
pemungutan liar. PNS perlu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat
dan bisa dimintai pertanggungjawabannya. Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta
dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus dan ketidakpedulian.
Jika ingin menciptakan birokrasi yang efisien, efektif, disiplin dan profesional, tentunya harus
mengutamakan tingkat pendidikan untuk melihat bagaimana dan sejauh mana mentalitas dan
moralitasnya para pelaksana birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Disamping itu, sebagai lembaga pelayanan publik tentunya juga sangat memerlukan pondasi
utama pada birokrasi yang bertujuan untuk memperkuat jalannya birokrasi dengan baik. Visi,
misi dan motivasi haruslah ada sebagai pegangan dalam menjalani kewajiban birokrasi, karena
berpengaruh terhadap peran birokrasi sebagai pemberi pelayanan publik yang baik agar tidak
melenceng dan merosot dalam kinerja yang tidak semestinya.***
3-5
Kasus 2.
4-5
"Indonesia masih menjadi negara yang menarik bagi investasi, tetapi banyak
pekerjaan rumah harus diselesaikan, seperti regulasi, birokrasi, dan infrastruktur,"
ujarnya.
Pertumbuhan Naik
5-5