Anda di halaman 1dari 13

Tugas : Individual Investor (Absen Genap)

Prof. Dr. Tri Widyastuti.,S.E., Ak., M.M

Nama : Gondo Awang Priyono


Mata Kuliah : Behavioral Finance
NIM : 5119220015
No. Absen : 4 (Empat)
Kosentrasi : Keuangan Semester III
Prodi : MM UP Borobudur

A. Investor Individu dan Institusional Investor


Pihak-pihak yang melakukan investasi disebut dengan investor. Investor pada
umumnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu investor individual (individual
investors) dan investor institusional (institutional investors). Investor individual terdiri
dari individu-individu yang melakukan aktivitas investasi. Sedangkan investor
institusional biasanya terdiri dari perusahaan-perusahaan asuransi, lembaga
penyimpanan dana, (bank dan lembaga simpan-pinjam), lembaga dana pensiun,
maupun perusahaan investasi.
Di negara-negara maju investor institusional banyak menggunakan pendekatan
institusional dalam melakukan aktivitas investasinya. sedangkan calon investor
individual bisa mengambil garis besarnya agar bisa lebih selektif dan mengetahui apa
sebenarnya yang harus diketahui. Pendekatan institusional terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Penetapan Kriteria
Dalam menetapkan kriteria, calon investor mencari faktor-faktor penting yang
menentukan hal-hal yang diinginkan dalam berinvestasi. Hal-hal tersebut bukan
hanya performa return tetapi dapat mencakup proses investasi, pengambilan
resiko, pelayanan terhadap investor, management fee, dan lain-lain.
Menetapkan kriteria dimulai dengan menggali masalah fundamental bagi calon
investor yang meliputi jenis asset class (saham, pendapatan tetap, pasar uang,
dll), gaya investasi (saham blue chip, obligasi swasta, obligasi pemerintah,
saham perusahaan kecil/menengah, internasional, dll), dan manajemen investasi
aktif (aktif dalam memilih saham/obligasi) vs. pasif (index fundz). Jenis asset
class sangat menentukan return dan resiko yang akan didapatkan. Beberapa riset
di Amerika menyebutkan bahwa 90%-95% return yang diperoleh ditentukan
oleh jenis asset class di mana investor berinvestasi. Jika investor memilih asset
class pendapatan tetap maka hasil maksimum investasi jangan diharapkan bisa
menyamai hasil maksimum investasi di saham. Namun pada saat yang
bersamaan, resiko yang dianut juga tidak sebesar resiko saham. Penentuan ini
harus sesuai profil resiko investor masing-masing. Gaya investasi (investment
style) bermanfaat jika calon investor mencari diversifikasi melalui alokasi aset
(asset allocation). Pada dasarnya setiap asset class dapat dibagi lagi menjadi
beberapa gaya investasi. Di negara-negara maju, diversifikasi alokasi aset
adalah lazim, tetapi di Indonesia praktek ini masih terbatas karena kendala
jumlah saham yang ada di dalam tiap kategori kapitalisasi (blue chip/kapitalisasi
besar, kapitalisasi menengah, dan kapitalisasi kecil), pengetahuan investor
individual, dan jenis produk reksa dana yang ditawarkan. Untuk jenis
pendapatan tetap, gaya investasi dapat terdiri dari investasi dengan fokus pada
obligasi pemerintah, obligasi swasta, atau obligasi internasional/asing.

2. Penyaringan (Screening)
Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, calon investor kemudian
menyeleksi para potensial manajemen investor. Daftar lengkap seluruh reksa
dana di Indonesia dan jenis-jenisnya dapat dilihat di website Bapepam
(www.bapepam.go.id/e-monitoring). Untuk lebih mengetahui informasi tentang
suatu perusahaan MI, calon investor dapat melakukan riset lebih jauh tentang
calon MI tersebut. Berita-berita tentang sebuah perusahaan MI jika
dikumpulkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang
perusahaan tersebut. Sumber lain yang layak digali adalah pengalaman pihak-
pihak lain dalam berinvestasi melalui MI tersebut. Informasi dan pengalaman
dari orang dalam juga sangat berguna dalam mengevaluasi MI. Berdasarkan
informasi yang telah dikumpulkan, calon investor bisa membandingkan
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dengan keadaan para MI yang
sebenarnya.

3. Seleksi
Proses screening menghilangkan sebagian besar MI dan menyisakan beberapa
saja yang akan dievaluasi lebih jauh. Dalam tahap seleksi, calon investor
memfokuskan dalam mendapatkan gambaran menyeluruh apa yang disebut
dengan P7 yaitu People, Process, Philosophy, Product, Progress, Price, dan
Performance.

B. Sikap Investor terhadap resiko


Dalam berinvestasi apapun berbagai risiko yang bisa mempengaruhi tingkat
keuntungan atau mengalami kerugian selalu akan menjadi pertimbangan bagi investor.
Sebanyak mungkin faktor risiko yang mungkin akan mempengaruhi tingkat
keuntungan dalam investasi saham harus selalu dideteksi agar seluruh gerak pasar bisa
diantisipasi. Untuk itu penasihat investasi dan investor professional sekalipun selalu
mencari informasi yang relevan dengan kondisi pasar. Di pasar modal, setidaknya risiko
yang patut dicermati investor secara umum, antara lain risiko inflasi, risiko tingkat suku
bunga, risiko pasar, risiko perusahaan dan risiko politik. Masing-masing risiko tersebut
ada kalangan saling kait mengkait, dan berjalan secara dominan. Namun adakalanya
sama sekali tidak berhubungan.
Dari risiko tersebut yang selalu berhubungan adalah risiko inflasi. Biasanya
begitu diketahui inflasi tinggi, akan diikuti dengan kebijakan perubahan tingkat suku
bunga. Jika inflasi tinggi, dapat dipastikan nilai uang turun. Turunnya nilai uang, bisa
karena jumlah uang yang beredar di masyarakat lebih melimpah. Untuk itu sehingga
agar mobilitas uang yang beredar turun, biasanya akan diikuti dengan kenaikan tingkat
sukubunga, naiknya tingkat suku bunga dengan sendirinya akan membawa dana-dana
kembali sistem perbankan, sehingga pada gilirannya bursa saham akan turun. Berikut
beberapa resiko yang mungkin dihadapi:

1. Risiko Inflasi
Dalam industri finansial khususnya dalam ekonomi berbasis uang, risiko yang
cukup mengkhawatirkan adalah ancaman akan penurunan nilai uang.
Penggerusan nilai uang ini terlalu banyak faktor yang bisa dijadikan alasan,
padahal aspek utamanya adalah menurunnya nilai uang. Contoh paling
sederhana soal inflasi ini adalah apabila uang bernominal Rp1.000 yang pada
kemarin lusa bisa membeli dua butir telur, tapi hari ini hanya dapat ditukar
dengan satu telur. Akibatnya untuk membeli dua butir telur kita harus
mengeluarkan kocek Rp1.000 lagi. Kalau itu terjadi berarti sudah terjadi inflasi,
turunnya nilai uang. Penurunan nilai uang tersebut juga terjadi tidak saja untuk
membeli produk, tapi juga dalam menggunakan jasa. Dalam kondisi saat ini,
pemerintah mengatakan akan mempertahankan bahwa target inflasi dipatok
pada bilangan lima persen. Itu berarti dalam berinvestasi, investor yang
memiliki dana Rp1.000 saat ini harus bisa memperkerjakan uangnya itu dengan
minimal penghasilan (return) di atas lima persen, sehingga pada akhir tahun
nilai uang tersebut tetap bisa digunakan dan memiliki nilai yang sama pada saat
ini. Nilai uang pada masa kini dan masa yang akan datang diharapkan bobot
(nilai atau harganya) tetap sama. Artinya kalau saat ini bisa membeli telur satu
butir maka tahun depan minimal nilainya tetap sama. Inflasi adalah suatu proses
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus. Penyebab inflasi
ini bisa berupa naiknya harga barang dan jasa, bisa juga karena turunnya nilai
uang yang terjadi secara mekanis. Inflasi yang disebabkan karena naiknya harga
barang, juga tidak bergerak sendirian. Bisa jadi karena bahan baku atas produk
itu sulit didapat, seperti BBM. Akibat tidak adanya subtitusi dari BBM ini
dipastikan kenaikan harga BBM akan menyebabkan naiknya harga barang-
barang dan jasa. Hal ini karena ketergantungan yang sangat tinggi atas produk
yang bernama BBM ini. Inflasi lainnya adalah karena terlalu banyaknya uang
yang beredar, sehingga secara mekanis akan mempengaruhi nilai uang. Untuk
inflasi yang disebabkan banyak uang beredar, Bank Sentral bisa melakukan
tindakan dengan cara membuat kebijakan meningkatkan suku bunga.
Peningkatan sukubunga ini dengan sendirinya akan menarik para pemilik dana
untuk kembali memarkir dananya di perbankan. Kendati upaya tersebut harus
diikuti oleh kebijakan lain, diantaranya membuat kebijakan guna terciptanya
iklim investasi. Bagi pasar modal risiko inflasi ini akan sangat mempengaruhi
keputusan investasi. Kalau inflasi tinggi, kita ibaratkan dalam setahun 10
persen, maka boleh jadi harga saham diciptakan oleh pasar itu sebenarnya sudah
terdiskon sebesar 10 persen. Kalau harga saham Rp1.000 maka akibat inflasi
yang 10 persen itu harga saham tersebut sebenarnya hanya Rp900. Akan tetapi,
kondisi yang sebenarnya terjadi akan bertambah kompleks akibat dampak
inflasi. Kalau kita ibaratkan harga BBM mengalami kenaikan dengan begitu
biaya produksi perusahaan akan mengalami kenaikan. Belum lagi dampak dari
BBM ini akan diikuti dengan melemahnya daya beli, sehingga barang yang
diproduksi tidak akan laku terjual. Kalau hal itu yang terjadi maka bisa
dipastikan pemutusan hubungan kerja, akibat pengurangan produksi hampir
pasti akan dilakukan perusahaan, sehingga pada gilirannya ekspektasi investor
saham atas saham perusahaan itu akan menurun.

2. Risiko tingkat suku bunga


Risiko tingkat suku bunga dapat menjadi bayangan hitam bagi pelaku pasar.
Tingkat bunga yang tinggi akan menjadikan perusahaan yang menjual
sahamnya di bursa pasti juga akan kedodoran. Apalagi bagi perusahaan yang
mendanai sebagian operasionalnya dengan pinjaman kredit. Dari sisi investasi
fluktuasi tingkat sukubunga yang gonjang-ganjing akan membuat bingung iklim
investasi. Kalau tingkat sukubunga tinggi maka investor akan dengan senang
hati untuk menempatkan dananya dalam bentuk deposito. Banyaknya uang yang
masuk dalam deposito akan membuat dunia perbankan kebingungan
menyalurkan dana pihak ketiga tersebut. Di sisi lain dana tersebut memang
harus diputar ke sektor-sektor produktif kalau tidak ingin kinerja bank tersebut
ambrol karena harus membayar bunga tinggi. Soal tinggi dan rendahnya tingkat
suku bunga, bagi pasar yang penting bahwa tingkat bunga itu stabil tidak
gonjang-ganjing dan kebijaksanaannya tidak situasional.

3. Risiko Pasar
Risiko pasar sering terjadi di pasar modal karena kondisi yang tidak bisa
dijelaskan secara ekonomi. Karena ekspektasi seseorang terhadap produk dan
jasa tertentu akan berbeda dengan ekspektasi pasar. Dalam konteks
perdagangan saham, ketika ekspektasi atas saham secara jangka panjang naik,
maka boleh jadi ekspektasi pasar atas saham pada saat pasar bereaksi justru
turun. Karenanya bagi investor saham yang perlu dipahami bahwa investasi
saham adalah investasi pada saham, sedangkan penciptaan harga saham yang
dibuat pasar adalah harga yang terjadi pada saat selama pasar berlangsung.
Penyebab ekspektasi pasar berbeda dengan kondisi sebenarnya atas nilai saham,
penyebabnya bisa beragam. Yang paling sederhana boleh jadi karena supply
dan demand yang tidak seimbang. Ketika supply atas saham berlebih, sementara
demand tetap maka dengan sendirinya harga saham akan turun. Di pasar modal
Indonesia sering terjadi begitu ada perusahaan yang akan melakukan penawaran
umum (IPO) biasanya akan diikuti dengan penurunan indikator perdagangan.
Turunnya indikator perdagangan itu lantaran investor menjual saham yang telah
menjadi portofolionya untuk kemudian membeli saham yang akan IPO.
Perilaku tersebut merupakan contoh yang paling sangat sederhana dari faktor
risiko pasar. Tidak sama besarnya posisi supply dan demand ini juga terjadi
apabila terjadi investor melakukan perubahan portofolio sebagaimana yang
kerap terjadi pada akhir tahun dan awal tahun bursa saham.
Untuk mengetahui apakah proses investasi yang dilakukan benar atau tidak, berikut
merupakan langkah-langkahnya:
a. Pengetahuan tentang pengembalian dan resiko investasi.
b. Mengetahui sikap investor terhadap resiko. Setiap investor harus mau menerima
resiko investasi yang terkadang di dalam aset riil maupun surat berharga, dan
dapat mengidentifikasi kombinasi pengembalian dan resiko yang dapat
diterima. Dengan kata lain, sebelum menerima resiko investasi, investor harus
berada pada posisi finansial yang logis, dan harus siap menggunakan alasan-
alasan yang masuk akal untuk proses pembuatan keputusan.
c. Pengetahuan dari setiap tipe surat berharga / aset yang tersedia untuk investasi,
termasuk pengembalian yang diharapkan dan resiko yang berhubungan dengan
tipe aset / surat berharga tersebut.
d. Memilih beberapa surat berharga / aset yang dapat memberi suatu pengembalian
dan resiko yang dapat diterima berdasarkan kebutuhan -kebutuhan dari investor
tertentu.
Korelasi langsung antara pengembalian dengan resiko, yaitu: semakin tinggi
pengembalian, semakin tinggi resiko. Oleh karena itu, investor harus menjaga tingkat
resiko dengan pengembalian yang seimbang. Berikut beberapa faktor Risiko dalam
Analisis Finansial:
1. pengertian resiko sendiri yaitu penyimpangan hasil (return) yang diperoleh dari
rencana hasil (return) yang diharapkan.
2. Risiko invetasi adalah risiko yang dihadapi investor akan kemungkinan tidak
tercapainya hasil (keuntungan) yang diharpkan. Hal tersebut dikarenakan factor
uncertainty yang besar.
3. Sikap investor terhadap risiko yaitu ; senang (desire) menghadapi risiko, anti
risiko ( risk aversion), dan acuh (indifference) terhadap risiko.
Diperhitungkannya faktor risiko dalam keputusan keuangan, mempengaruhi
investor untuk menentukan hasil atau mensyaratkan hail (required rate of
return).
4. Risiko tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola agar risiko tersebut dapat
diminimalisasi (risiko terkontrol). Dan ada pula risiko yang tidak dapat
dikontrol/dikendalikan. Sehingga jenis risiko terbagi ke dalam:
i. Risiko Individual, yaitu risiko yang berasal dari proyek investasi secara
individu tanpa dipengaruhi proyek yang lain.
ii. Risiko perusahaan, yaitu risiko yang diukur tanpa mempertimbangkan
penganekaragaman (diversifikasi) atau portofolio yang dilakukan oleh
investor.
iii. Risiko pasar atau beta, yaitu risiko investasi ditinjau dari investor yang
menanamkan modalnya pada investasi yang juga dilakukan oleh
perusahaan dan perusahaan-perusahaan lain. Besarnya risiko ini tidak
dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi.

C. Formulasi Kebijakan Investasi (Tujuan, Kendala, dan Preferensi) Tujuan


Kebijakan investasi mengandung pernyataan mengenai return yang telah
disesuaikan dengan inflasi. Inflasi merupakan sebuah masalah bagi investor, karena
nominal uang pada masa sekarang berbeda dengan nominal uang di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, investor selalu berusaha mendapatkan return yang lebih tinggi
daripada tingkat inflasi. Saham, tidak selalu menjadi perlindungan terhadap inflasi,
karena nilai saham dapat berubah naik atau turun sewaktu-waktu. Masing-masing
investor juga memiliki kebutuhan dan keadaan yang unik, bersifat pribadi dan berbeda-
beda tiap investor, hal ini dapat menyebabkan pembatasan seorang investor untuk
melakukan investasi aset pada kelas tertentu.
1. Kendala dan preferensi
- Waktu
Tujuan investasi dari masing-masing investor berbeda. Oleh karena itu,
untuk mencapai tujuannya, investor memerlukan perencanaan waktu
melakukan investasi secara khusus. Investor bisa melakukan investasi
dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang, disesuaikan dengan
tujuan dari investasi yang dia lakukan.

- Kebutuhan Liquiditas
Investor dalam melakukan investasi kadang terbentur dengan kebutuhan
liquiditasnya. Dia dapat memerlukan uang sewaktu-waktu. Oleh karena
itu, investor sebaiknya mengetahui kebutuhan kas dia di masa yang akan
datang, sehingga tidak menghambat investasi yang telah dilakukan.

- Kesadaran atas Pajak


Tingkat pajak atas pendapatan berbeda dengan tingkat pajak atas
keuntungan atas penjualan aset. Investor mempunyai preferensi untuk
melakukan investasi untuk mendapatkan keringanan pajak dari
keuntungan penjualan aset. Pendapatan bekerja memiliki tingkat pajak
yang lebih tinggi. Tetapi, program-program pensiun biasanya
memberikan perlindungan tersendiri atas pajak (pengurangan
pendapatan). Investor mempertimbangkan hal ini dalam membuat
keputusan investasi, apakah melakukan investasi dalam instrumen
investasi (portofolio) atau melakukan investasi jangka panjang dalam
bentuk dana pensiun.

D. Implementasi Strategi Investasi (Alokasi Aset dan Optimisasi Portofolio)


1. Asumsi Tingkat Pengembalian
Investor memiliki asumsi atas tingkat pengembalian yang dapat diterima.
Argumen mengenai mean-reversion saham menyatakan bahwa harga saham
yang tinggi atau rendah hanya bersifat sementara, pada akhirnya harga saham
akan cenderung kembali ke tengah (rata-rata). Selain itu, return saham
mengandung risiko yang harus diperhitungkan. Tidak ada yang jaminan bahwa
return yang diharapkan investor akan didapatkan dengan mudah. Hal ini
menyebabkan investor berusaha mendapatkan return yang lebih tinggi dengan
melakukan optimisasi portofolio.

2. Membentuk Portofolio
Investor menggunakan kebijakan investasi dan ekspektasi pasar modal untuk
memilih portofolio atau aset. Pada pemilihan portofolio dan aset, investor harus
menentukan saham-saham mana saja yang sesuai untuk dimasukkan ke dalam
portofolionya. Investor juga menggunakan prosedur optimisasi untuk memilih
saham dari saham-saham yang sesuai dan menentukan berat (proporsi) saham
pada portofolionya. Model Markowitz adalah model formal dari investasi yang
dilakukan oleh investor.

3. Alokasi Aset
Alokasi aset berhubungan dengan keputusan untuk menentukan berat (proporsi)
bagi kas, obligasi, atau saham yang akan dimiliki oleh investor. Keputusan ini
sangat penting karena perbedaan alokasi atas aset akan menyebabkan perbedaan
performa dari portofolio itu sendiri.
Ada beberapa faktor yang harus diperhitungkan investor. Faktor-faktor itu antara lain
return yang disyaratkan, toleransi risiko dan umur dari investor itu sendiri. Investor
yang lebih muda cendering bersifat risk taker. Sebaliknya, investor yang lebih tua
cenderung bersifat risk averse. Perbedaan faktor yang diperhitungkan akan
mempengaruhi alokasi aset investasi.
1. Alokasi Strategis Aset
Investor perlu melakukan prosedur simulasi yang digunakan untuk menentukan
kemungkinan range hasil yang dihubungkan dengan tiap-tiap komposisi aset.
Simulasi ini akan memberikan gambaran mengenai keuntungan dan risiko yang
mungkin akan diperoleh investor apabila memilih komposisi aset tersebut.
Investor juga perlu membentuk strategi alokasi aset untuk jangka panjang.

2. Alokasi Taktis Aset


Perubahan atas komposiss aset yang dilakukan biasanya disebabkan oleh
perubahan tingkat pengembalian yang diharapkan investor. Selain itu
perubahan komposisi aset ini juga bisa dilakukan oleh investor dengan
pendekatan market timing (waktu dimana pasar bergerak). Investor cenderung
melakukan antisipasi atas perubahan pasar. Pada saat yang tepat, investor
melakukan perubahan atas komposisi asetnya untuk mendapatkan keuntungan
atau menjaga nilai asetnya.

E. Perilaku Keputusan Investasi Individu


Menurut Aminatuzzahra (2014) keputusan investasi ini didasarkan pada dua hal yaitu
portofolio dan profitabilitas (keuntungan). Portofolio itu sendiri merupakan pembelian
saham dengan momentum harga pada saat yang sama mengabaikan prinsip supply and
demand yang sebenarnya sudah diketahui dalam financial behavior sebagai herd
behavior (perilaku serentak). Perilaku keuangan menurut Pompian (2006) dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku Keuangan Mikro (BFMI) meneliti perilaku atau bias dari investor
individu yang membedakan individu dari para segi rasional digambarkan dalam
teori ekonomi klasik. Teori ini mengatur bahwa manusia membuat keputusan
ekonomi sangat rasional di setiap saat.
2. Perilaku Makro Keuangan (BFMA) mendeteksi menjelaskan anomali dalam
pasar efisien bahwa model perilaku dapat menjelaskan hipotesis. Pasar yang
efisien pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai pasar dimana sejumlah
investor besar bertindak secara rasional untuk memaksimalkan keuntungan ke
arah sekuritas individual.
Dua hal tersebut BFMI dan BFMA didasarkan pada gagasan bahwa individu bertindak
secara rasional dan mempertimbangkan semua informasi yang tersedia dalam proses
pengambilan keputusan investasi. Perilaku ekonomi dan psikologi keuangan telah
mengeksplorasi berbagai tingkat rasionalitas dan perilaku irasional di mana individu
dan kelompok dapat bertindak atau berperilaku berbeda di dunia nyata , berangkat dari
asumsi yang dibatasi rasionalitas dan didukung oleh literatur standar keuangan. Disiplin
alternatif perilaku keuangan, ekonomi, dan akuntansi berangkat dari model murni
tradisional statistik dan matematika di mana rasionalitas (yaitu, teori keputusan klasik)
telah menjadi pusat dari teori yang diterima di seluruh spektrum disiplin ilmu yang
berbeda (misalnya, standar nilai keuangan, ekonomi konvensional, akuntansi
tradisional). Perspektif alternatif dikenal sebagai teori perilaku keputusan (BDT), yang
memiliki sejarah akademis yang luas dalam ilmu-ilmu sosial seperti psikologi kognitif
dan eksperimental yang telah memberikan model yang lebih deskriptif dan realistis
perilaku manusia bahwa individu secara sistematis melanggar prinsip-prinsip normatif
dari ekonomi keuangan rasionalitas oleh: (1) miscalculating (salah perhitungan)
probabilitas, dan (2) membuat pilihan antara pilihan yang berbeda berdasarkan faktor
non ekonomi (non finansial).
Olson, (2001) memberikan perspektif perilaku keuangan dari proses pengambilan
keputusan sebagai berikut:
1. Preferensi pengambil keputusan keuangan cenderung terbuka untuk perubahan
dan sering terbentuk selama proses pengambilan keputusan itu sendiri.
2. Pengambil keputusan keuangaan tidak ada pengoptimalan.
3. Pengambil keputusan keuangan yang adaptif berarti sifat keputusan dan
lingkungan berpengaruh terhadap jenis proses yang digunakan.
4. Pengambil keputusan keuangan secara neurologis cenderung untuk
menggabungkan mempengaruhi emosi terhadap proses pengambilan keputusan.
Perilaku keuangan itu sendiri juga berasal dari ekonomi neoklasik, Homo economicus
adalah model perilaku ekonomi manusia yang sederhana mengasumsikan bahwa
prinsip-prinsip kepentingan pribadi sempurna, rasionalitas yang sempurna, dan
informasi yang sempurna mengatur keputusan ekonomi individu (Pompian, 2006).
Penggunaan konsep manusia ekonomi (homo economicus) rasional terdapat dua alasan
utama:
1. Homo economicus membuat analisis ekonomi yang relatif sederhana. Dan
kebanyakan orang mungkin mempertanyakan bagaimana model yang sederhana
dapat berguna sederhana.
2. Homo economicus memungkinkan ekonom untuk mengukur temuan individu,
membuat pekerjaan individu lebih elegan dan lebih mudah untuk dicerna. Jika
manusia yang sangat rasional memiliki informasi yang sempurna dan
keuntungan pribadi yang sempurna, maka perilaku individuere dapat diukur.
Menurut Pompian (2006) terdapat tiga asumsi yang mendasari sempurna rasionalitas,
keuntungan pribadi yang sempurna, dan informasi yang sempurna antara lain:
1. Rasionalitas sempurna (Perfect Rationality). Ketika rasional manusia memiliki
kemampuan memberikan alasan dan membuat penilaian yang menguntungkan.
Namun, rasionalitas bukan pendorong tunggal dalam perilaku manusia. Pada
kenyataannya mungkin bukan pendorong utama, karena banyak psikolog
percaya bahwa intelektualitas manusia sebenarnya tunduk kepada emosi
manusia. Individu berpendapat bahwa perilaku manusia kurang menggunakan
logika ketika dorongan bersifat subyektif, seperti rasa takut, cinta, benci,
kesenangan, dan rasa sakit. Manusia menggunakan kecerdasannya hanya untuk
mencapai atau untuk menghindari hasil dari emosional.
2. Keuntungan pribadi yang sempurna (Perfect Self-Interest). Banyak penelitian
telah menunjukkan bahwa orang tidak sempurna mementingkan diri sendiri.
Jika individu Philanthropy tidak akan ada penilaian agama yang tidak
mementingkan diri sendiri, pengorbanan, dan kebaikan kepada orang asing.
Keuntungan diri yang sempurna akan menghalangi orang-orang dari perilaku
yang tidak egois seperti perbuatan sebagai relawan, membantu orang miskin,
tetapi akan mengabaikan perilaku merusak diri sendiri, seperti bunuh diri,
alkoholisme, dan penyalahgunaan zat.
3. Informasi yang sempurna mungkin memiliki kesempurnaan atau mendekati
informasi yang sempurna tentang subyek tertentu. Hal itu tidak mungkin,
namun setiap orang dapat menikmati pengetahuan yang sempurna dari setiap
mata pelajaran. Seperti halnya didunia investasi, ada hampir tak terbatas untuk
mengetahui dan belajar; dan bahkan investor yang paling sukses tidak
menguasai semua disiplin ilmu.
Pada awalanya investor dalam melakukan investasi tidak saja hanya menggunakan
estimasi atas prospek instrumen investasi, tetapi faktor psikologi sudah ikut
menentukan investasi tersebut bahkan berbagai pihak menyatakan bahwa faktor
psikologi investor ini mempunyai peran yang besar dalam berinvestasi. Adanya faktor
psikologi tersebut mempengaruhi berinvestasi dan hasil yang akan dicapai (Manurung,
2012). Oleh karenanya, analisis berinvestasi yang menggunakan ilmu psikologi dan
ilmu keuangan dikenal dengan tingkah laku atau perilaku keuangan (Behaviour
Finance). Shefrin (2000) mendefinisikan behaviour finance adalah studi yang
mempelajari bagaimana fenomena psikologimempengaruhi tingkah laku keuangannya.
Tingkah laku dari para para pemain saham tersebut dimana Shefrin (2000) menyatakan
tingkat laku para praktisi.
Nofsinger (2001) mendefinisikan perilaku keuangan yaitu mempelajari
bagaimana manusia secara actual berperilaku dalam sebuah penentuan keuangan (a
financial setting). Khususnya, mempelajari bagaimana psikologi mempengaruhi
keputusan keuangan, perusahaan dan pasar keuangan. Kedua konsep yang diuraikan
secara jelas menyatakan bahwa perilaku keuangan merupakan sebuah pendekatan yang
menjelaskan bagaimana manusia melakukan investasi atau berhubungan dengan
keuangan dipengaruhi oleh faktor psikologi.
Daftar Pustaka
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/5ee95c7d069773e744264f6c457a8da2.pdf
Ulfa Rubiyah, 2009 https://www.academia.edu/4803960/
Manajemen_Portfolio_Investor_Institusional_VS_Investor_individu

Anda mungkin juga menyukai