Pemeriksaan Serologi Torch Pada Kehamilan
Pemeriksaan Serologi Torch Pada Kehamilan
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tinjauan Pustaka
Divisi Imunologi
M. Taufan Lutfi
Noormartany
BANDUNG
2012
2
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................. i
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pola Hasil Pemeriksaan Serologi Toksoplasma IgG dan IgM pada
Wanita Hamil ............................................................................................ 13
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
simpleks) sudah lama dikenal dan sering dikaitkan dengan gangguan pada wanita hamil
dan janin yang dikandungnya. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa
wanita, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus,
pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Besarnya
pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi agennya, umur kehamilan serta
Infeksi toksoplasma pada trimester pertama kehamilan dapat mengenai 17% janin
dengan akibat abortus, cacat bawaan dan kematian janin dalam kandungan, risiko
gangguan perkembangan susunan saraf, serta retardasi mental. Infeksi saat kehamilan
trimester berikutnya bisa menyebabkan hidrosefalus dan retinitis. Infeksi rubela erat
kaitannya dengan kejadian pertumbuhan bayi terhambat, patent ductus Botalli, stenosis
cytomegalovirus dapat menimbulkan sindrom berat badan lahir rendah, kepala kecil,
kelainan neurologis pada bayi.1,2 Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui
polymerase-chain reaction sampai kultur jaringan. Cara yang lazim dan mudah adalah
dilakukan secara serologis dengan pemeriksaan antibodi IgM, IgG dan aviditas IgG.1,2
TORCH. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang epidemiologi, patogenesis,
mendiagnosis infeksi TORCH pada wanita hamil. Infeksi TORCH yang akan dibahas
dalam tinjauan pustaka ini adalah toksoplasma, rubela, Cytomegalovirus, dan herpes
simpleks.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Singkatan TORCH merujuk pada toksoplasmosis, agen penyakit lain (seperti HIV,
herpes simpleks (HSV).2 Infeksi TORCH dikelompokkan karena kelompok infeksi ini
memunculkan gejala klinis dan patologi yang serupa yang meliputi demam, ensefalitis,
2.2 Toksoplasma
Infeksi Toksoplasma gondii tersebar secara luas di seluruh dunia. Insidennya sangat
bervariasi pada manusia dan binatang pada berbagai daerah geografis. Prevalensi infeksi
yang lebih tinggi biasanya terjadi pada daerah beriklim panas dan lembab. Insiden
infeksi didapat yang baru pada wanita hamil tergantung pada risiko menjadi terinfeksi
dalam daerah geografik tersebut dan proporsi populasi yang belum pernah terinfeksi.
Insiden infeksi kongenital di Amerika Serikat berkisar antara 1/1.000 sampai 1/8.000
kelahiran hidup.2
Penelitian mengenai skrining TORCH pada wanita hamil di India pada tahun 1999
dengan subyek penelitian sebanyak 121 wanita hamil menunjukkan seropositifitas untuk
8
pada wanita hamil dengan riwayat obstetrik jelek di India pada tahun 2003 dengan
subyek penelitian sebanyak 380 wanita hamil dengan riwayat obstetrik yang jelek
menunjukkan sebanyak 10,52 % dengan IgM positif dan 42.10% dengan IgG positif
untuk toksoplasma.5 Penelitian infeksi TORCH pada wanita hamil di RSUP Sanglah
Denpasar pada tahun 2006 menunjukkan dari 100 wanita hamil yang diteliti, tidak
satupun yang terbebas dari salah satu infeksi TORCH, 21% terinfeksi oleh toksoplasma
dengan IgG positif dan 5% mengalami infeksi aktif dengan IgM positif.6
mengalami peningkatan tiap periode waktu. Pada tahun 1964 sampai dengan 1980
pada tahun 1981 sampai dengan 1994, dan 58-70% pada tahun 1995-2003.7
subkelas Coccidia, orde Eucoccidia dan suborde Eimeria. Hospes definitif T. gondii
manusia, mamalia lainnya dan burung. Dalam sel epitel usus kecil kucing
immatur yang bentuknya lonjong dengan ukuran 12,5µ akan mengalami maturasi
mengandung 4 sporozoit. Bentuk kista ini dapat bertahan hidup selama beberapa bulan
sampai dengan beberapa tahun. Bila ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung
(hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk
takizoit, fase ini disebut fase infeksi akut. Akibat adanya respon imun tubuh yang
kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan); masa ini
adalah masa infeksius klinis menahun (fase infeksi kronik) yang biasanya
merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual, tapi
terinfeksi (mengandung kista), maka akan terbentuk lagi berbagai stadium seksual di
dalam sel epitel usus kecilnya. Bila kista ini termakan maka enzim proteolitik gaster
akan meluruhkan dinding kista dan menyebabkan lepasnya bradizoit. Kista akan pecah
dan melepaskan parasit yang masuk kedalam sel epitel usus halus kucing. Di dalam sel
tersebut parasit mengalami fase reproduksi aseksual secara singkat, dan membentuk
takizoit. Takizoit akan berproliferasi dengan cepat dan menyebabkan kerusakan dan
pecahnya sel epitel. Beberapa takizoit akan mengalami fase reproduksi seksual, dimana
gamet betina dan jantan bersatu dan membentuk ookista immatur. Kista ini akan
dilepaskan bila sel epitel pecah dan dikeluarkan bersama feses kucing. Kucing lebih
mudah terinfeksi oleh bradizoit daripada oleh ookista.8-10 Siklus hidup T. Gondii dapat
Toksoplasma gondii biasanya didapat oleh anak dan orang dewasa karena memakan
makanan yang mengandung kista atau yang terkontaminasi ookista. Pada banyak daerah
di dunia, sekitar 5-35% daging babi, 9-60% daging kambing, dan 0-9% daging sapi
mengandung T. gondii. Ookista ditelan melalui bahan yang terkontaminasi oleh tinja
kucing yang terinfeksi akut. Ookista juga dapat dipindahkan ke makanan oleh lalat dan
kecoa. Bila organisme tertelan, bradizoit terlepas dari kista atau sporozoit dari ookista,
dan organisme kemudian masuk ke sel saluran pencernaan. Bila kista ini termakan maka
enzim proteolitik gaster akan meluruhkan dinding kista dan menyebabkan lepasnya
11
bradizoit atau tropozoit. Di dalam sel epitel, bradizoit maupun tropozoit selanjutnya
berkembang menjadi takizoit. Takizoit memperbanyak diri, sel pecah, dan menginfeksi
sel yang berdekatan. Takizoit menyebar melalui vasa limfatika dan menyebar secara
hematogen ke seluruh tubuh dan dapat menginfeksi hampir semua sel tubuh hospes,
terutama pada jaringan limfoid, otot skeletal, miokardium, retina, plasenta, dan susunan
saraf pusat. Akibat pengaruh respons imun(humoral dan seluler) yang efektif, takizoit
akan menghilang dari jaringan dan berubah menjadi bradizoit, kista ini biasa ditemukan
Transmisi infeksi toksoplasma dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, antara lain
(1) hospes memakan daging mentah atau daging yang tidak dimasak dengan sempurna
yang mengandung kista jaringan, (2) hospes memakan makanan atau air yang
terkontaminasi ookista dari feses kucing, (3) transmisi kongenital, terjadi bila wanita
hamil mengalami toksoplasmosis akut, (4) transplantasi organ yang mengandung kista
jaringan kepada resipien yang belum pernah terinfeksi oleh T. Gondii, dan (5)Transfusi
Bila wanita mendapat infeksi selama kehamilan, organisme dapat menyebar secara
hematogen ke plasenta. Bila hal ini terjadi, infeksi dapat ditularkan pada janin secara
parenteral atau selama persalinan pervaginam. Kurang lebih terdapat satu sampai dengan
gondii dapat menginfeksi plasenta dan menyebabkan infeksi pada fetus. Hal ini dapat
Jika infeksi didapat oleh wanita pada trimester pertama dan tidak diobati, sekitar
17% janin terinfeksi, dan penyakit pada bayi biasanya berat. Jika infeksi didapat oleh
wanita pada trimester ketiga dan tidak diobati, sekitar 65% janin terinfeksi dan
keterlibatannya ringan atau tidak tampak pada saat lahir. Total transmisi maternal-fetal
adalah 30%, namun bervariasi dari 6% pada minggu ke-13 menjadi 72% pada minggu
ke-36. Hal ini menunjukkan risiko infeksi pada fetus meningkat seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan. Namun, gejala klinis berat pada bayi lebih sering
penularan ini paling mungkin akibat aliran darah plasenta, virulensi dan jumlah T gondii
infeksi, seperti khorioretinitis pada remaja jika mereka tidak diobati pada masa
neonatus.2,9-10
Infeksi toksoplasmosis pada individu dengan sistem imun yang baik umumnya adalah
asimtomatik. Infeksi ini tidak disadari pada 80-90% pasien toksoplasmosis. Hal inilah
yang menyebabkan infeksi akut sulit terdiagnosis, terutama pada wanita hamil.
simptomatis, maka gejala dapat berupa satu atau beberapa limfadenopati servikal yang
tidak nyeri, keras, dan berbatas tegas. Limfadenopati juga dapat ditemukan pada daerah
dengan limfadenopati juga mengeluhkan adanya sakit kepala, lemah, dan demam.
Sebagian kecil penderita juga mengeluhkan adanya mialgia, nyeri tenggorok, nyeri
13
retardasi mental, dan korioretinitis), kerusakan multi organ, dan kematian. Sebagian bayi
dengan infeksi kongenital dapat asimtomatik saat lahir, namun seiring dengan
pertumbuhannya, tiga per empat bayi tersebut akan menunjukkan gejala mental retardasi
berat dan/atau gangguan pendengaran dan sebanyak 90% akan menderita masalah
mata.13-14
Pada individu dengan imunodefisiensi dan beberapa penderita yang tampak secara
imunologis normal, infeksi akut dapat berkembang dan dapat menyebabkan keterlibatan
Bentuk kista terjadi secepatnya 7 hari sesudah infeksi dan menetap sepanjang hidup
hospes. Kista sedikit atau tidak menimbulkan respons radang tetapi menyebabkan
penyakit berulang pada penderita dengan gangguan imun atau menyebabkan dapat
korioretinitis pada anak yang lebih tua yang telah mendapatkan infeksi secara
kongenital.2
Kista yang termakan akan berubah menjadi bradizoit dan masuk ke dalam sel epitel
sel. Hal ini akan mengaktifkan sistem imun alami dan adaptif. Fagosit merupakan
respon imun alami utama dalam melawan protozoa. Fagosit, melalui Toll-like Receptor
14
(TLR)-2 dan TLR4, akan mengenali glycosyl phosphatidylinositol lipid pada takizoid.
Makrofag dan sel NK akan teraktivasi dan mensekresikan interferon gama (IFN-γ) dan
T. gondii juga memiliki cyclophilin-18, yang dapat berikatan dengan reseptor kemokin,
Mekanisme pertahanan tubuh utama dalam menghadapi protozoa yang dapat bertahan
hidup didalam makrofag adalah sistem imun seluler, terutama makrofag yang diaktivasi
oleh sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1. Sel Th1 akan menghasilkan IFN-γ yang akan
mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan parasit intraseluler. Selain itu sel Th1
Makrofag yang teraktivasi akan menghasilkan tumor necrosis factor α (TNF-α) dan
IFN-γ. Kedua sitokin ini akan lebih mengaktifkan makrofag dan menyebabkan
pembentukan reactive oxygen intermediate dan nitrit oksid yang dapat membunuh
protozoa. Bila parasit tidak difagositosis dan memasuki makrofag melalui penetrasi
aktif, maka parasit akan terus bereplikasi, dan hal ini memudahkan penyebaran parasit.
Sel T sitotoksik memiliki kemampuan membunuh parasit ekstraseluler dan sel yang
terinfeksi.9-10
Seiring dengan terjadi pemusnahan takizoit oleh sistem imun hospes, bradizoit mulai
terbentuk, umumnya di dalam susunan saraf pusat dan retina. Kista jaringan
menimbulkan sangat sedikit atau bahkan tidak ada reaksi sistem imun. Pada hospes
takizoit tidak berubah menjadi bradizoit dan terus berproliferasi menyebabkan kematian
Toksoplasma menginfeksi hospes melalui mukosa saluran cerna, hal ini akan
dengan cepat akan merangsang pembentukkan IgM dan IgG. Immunoglobulin ini dapat
tiga minggu setelah infeksi, mencapai puncak pada enam sampai delapan minggu dan
kemudian menurun perlahan sampai batas tertentu dan bertahan seumur hidup.
Imunoglobulin M dapat terdeteksi kurang lebih satu minggu setelah infeksi akut dan
menetap selama beberapa minggu atau bulan, bahkan antibodi ini dapat masih terdeteksi
sampai lebih dari satu tahun. Imunoglobulin A terdeteksi segera setelah IgM, dan
baru melainkan reaktivasi kista jaringan. Ketika sistem imun hospes menurun, terutama
imunitas seluler, maka kista jaringan pecah dan melepaskan ratusan bradizoit yang akan
menegakkan diagnosis pada wanita hamil dan janin yang dikandungnya. Pemeriksaan
pada wanita hamil dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologi yang meliputi
16
pemeriksaan serologi toksoplasma pada wanita hamil dapat dilihat pada gambar 2.2.
dengan antigen. Kompleks ini akan dideteksi dengan menggunakan antibodi yang
antigen dan antibodi bebas, lalu diinkubasi dengan substrat kromogenik yang semula
tidak berwarna, tetapi kemudian menjadi berwarna bila dihidrolisis oleh enzim.
Intensitas warna yang terbentuk dapat diukur dan merupakan parameter untuk antibodi
yang diuji.10
oleh antibodi anti-IgM. Untuk mendeteksi IgM spesifik T. gondii, ke dalam reaksi
tersebut dimasukkan antigen toksoplasma yang telah dilabel dengan enzim, sehingga
terjadi ikatan antar antibodi anti-IgM, IgM anti-toksoplasma, dan antigen toksoplasma
17
dengan antigen toksoplasma yang terikat pada fase padat membentuk kompleks antigen-
telah dilabel dengan enzim. Penambahan substrat akan menyebabkan enzim bekerja dan
menghasilkan perubahan warna yang dapat dideteksi dengan fotometer.10 Pola hasil
pemeriksaan serologi toksoplasma IgG dan IgM pada wanita hamil dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pola Hasil Pemeriksaan Serologi Toksoplasma IgG dan IgM pada Wanita Hamil.
Pola Hasil
Interpretasi Komentar Saran
Pemeriksaan
IgG – IgM - Rentan infeksi Rentan infeksi akut Pencegahan dan pemeriksaan berkala
akut
IgG + IgM - Infeksi lama Tidak ada risiko Bila terjadi pada trimester pertama dan
infeksi kongenital kedua umumnya mengindikasikan infeksi
akut sebelum konsepsi
IgG – IgM + a. Infeksi akut a. Berisiko infeksi Lakukan tes konfirmasi
kongenital
b-c. Tidak ada risiko
b. Antibodi infeksi
alami kongenital
c. Positif palsu
IgG + IgM + a. Infeksi akut a. Berisiko infeksi Perhatikan usia kandungan, lakukan tes
atau lama kongenital konfirmasi
b. Postif palsu b. Tidak ada risiko
infeksi
kongenital
Dikutip dari: Montoya JG17 dan Sensini A.18
18
Bila hasil pemeriksaan IgG positif dan IgM negatif, hal ini menunjukkan adanya
infeksi lama, umumnya lebih dari 6 bulan. Bila terjadi pada usia kehamilan <18 minggu
menunjukkan infeksi terjadi sebelum kehamilan, tidak ada risiko infeksi kongenital
kecuali pada keadaan imunokompromais. Bila terjadi pada usia kehamilan ≥18 minggu
maka sulit untuk menetukan apakah infeksi terjadi selama atau sebelum kehamilan. Pada
Hasil pemeriksaan dengan IgM dan IgG positif harus dikirim ke laboratorium rujukan
untuk konfirmasi hasil pemeriksaan. Hasil IgM positif dapat terjadi karena adanya
infeksi akut, adanya infeksi lama, dan hasil positif palsu. Hal ini disebabkan karena IgM
dapat terdeteksi lama setelah infeksi akut. Pemeriksaan aviditas IgG direkomendasikan
sebagai pemeriksaan konfirmasi pada wanita dengan IgM dan IgG positif. Bila
didapatkan hasil aviditas IgG tinggi, maka infeksi akut dapat disingkirkan. Bila
didapatkan hasil aviditas IgG rendah kemungkinan terjadi infeksi akut selama kehamilan
belum dapat disingkirkan. Pada keaadaan ini janin berisiko mengalami toksoplasmosis
dilanjutkan untuk mengetahui risiko pada janin dengan pemeriksaan PCR cairan amnion
Pemeriksaan aviditas IgG bertujuan untuk membantu membedakan infeksi baru dari
infeksi lampau dengan menggunakan satu bahan pemeriksaan. Pada infeksi baru, dimana
19
hospes baru terpapar antigen, antibodi yang dibentuk memiliki afinitas yang rendah.
Seiring dengan perjalanan respon imun, terjadi pematangan afinitas antibodi yang
linked fluorescent assay). Prinsip pemeriksaan metode ELFA adalah antibodi IgG yang
terdapat dalam serum akan berikatan dengan antigen toksoplasma yang telah terikat pada
fase padat. Kemudian kedalam reaksi tersebut dimasukkan antibodi anti-IgG manusia
yang telah dilabel dengan enzim. Substrat yang digunakan pada metode ini akan bereksi
pemeriksaan yang diberi urea dengan yang tidak diberi urea. Urea merupakan agen
Kekurangan pemeriksaan ini adalah konversi aviditas pada tiap individu bervariasi.
Hasil aviditas yang rendah dapat ditemukan sampai dengan satu tahun setelah infeksi
pematangan aviditas.19
20
Amplifikasi DNA T. gondii dari cairan amnion pada minggu ke-18 kehamilan (waktu
mempunyai risiko tinggi terhadap janin. Banyaknya parasit pada cairan amnion
merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan beratnya infeksi pada janin
kecil risikonya dan lebih sensitif. Pemeriksaan cairan amnion menggunakan PCR harus
serologi atau diduga kuat mendapatkan infeksi selama kehamilan atau janin yang
splenomegali dan asites. Keluaran klinis dari infeksi kongenital pada anak dengan ibu
temuan ultrasound normal, dan selama hamil mendapatkan spiramisin telah dilaporkan.
Meskipun anak-anak ini diduga mendapat kelainan yang berat, selama 2 tahun
pengamatan keluaran klinis mereka tidak berbeda secara signifikan dibandingkan anak-
21
anak yang terinfeksi yang dilahirkan ibu yang mendapat infeksi selama trimester kedua
dan ketiga, sehingga dalam keadaan seperti itu terminasi kehamilan tidak dianjurkan.17
2.3 Rubela
terjadi setiap 6-9 tahun dan wabah biasanya meningkat selama musim semi. Puncak
insiden penyakit adalah pada anak umur 5-14 tahun. Setelah era vaksinasi tahun 1969
terjadi penurunan kasus rubela. Sekarang kebanyakan kasus terjadi pada remaja dan
Penelitian mengenai skrining TORCH pada wanita hamil di India pada tahun 1999
dengan subyek penelitian sebanyak 121 wanita hamil menunjukkan seropositifitas untuk
rubela sebesar 8.3%.4 Penelitian mengenai seroprefalensi infeksi TORCH pada wanita
hamil dengan riwayat obstetrik jelek di India pada tahun 2003 dengan subyek penelitian
sebanyak 380 wanita hamil dengan riwayat obstetrik yang jelek menunjukkan sebanyak
26.8% dengan IgM positif dan 61.3% dengan IgG positif untuk rubela.5 Penelitian
infeksi TORCH pada wanita hamil di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2006
menunjukkan dari 100 wanita hamil yang diteliti, 73% terinfeksi oleh rubela dengan IgG
Virus rubela merupakan virus RNA, berbentuk sferis atau pleomorfik dengan
diameter 60-70 nm. Virus rubela akan mati setelah 30 menit pada suhu 56°C. Virus
rubela mempunyai satu serotipe dan beberapa strain yang mempunyai sifat yang
berbeda-beda. Secara serologis, semua strain virus rubela ini saling bereaksi silang
24
walaupun ada perbedaan reaktivitas terhadap antibodi monoklonal tertentu. Baik infeksi
atau vaksinasi rubela dapat memberi proteksi terhadap seluruh strain virus rubela selama
Manusia adalah satu-satunya hospes alamiah rubela. Penyebaran rubela terjadi melalui
droplet oral atau secara transplasenta melalui infeksi kongenital selama kehamilan,
kemudian terjadi ikatan antara protein pada virion dengan reseptor spesifik pada
permukaan sel. Setelah penempelan, virus memasuki sel melalui endositosis yang
diperantarai oleh reseptor atau fusi, kemudian terjadi uncoating yaitu pelepasan kapsid
dan genom RNA virus akan keluar dari selubung virus. Proses selanjutnya adalah
duplikasi asam nukleat virus dan pembentukan protein komponen virus yang dilanjutkan
dengan penggabungan keduanya. Fase akhir siklus replikasi virus adalah pembentukan
kapsid dan pelepasan virion baru. Pelepasan ini terjadi karena sel terinfeksi lisis atau
melalui budding (melepaskan diri) dari membran sitoplasma atau membran inti, yang
memberikan envelope untuk partikel virus baru. Mukosa saluran pernapasan atas dan
selanjutnya melalui limfatik menuju kelenjar getah bening post aurikuler, suboksipital
dan servikal di mana virus akan mengadakan replikasi lagi sehingga terjadi pembesaran
Infeksi rubela dapat menyerang anak -anak dan orang dewasa, masa inkubasi
berlangsung 14-21 hari, dan pada minggu pertama setelah paparan tidak ada gejala. Pada
minggu kedua terjadi pembesaran kelenjar getah bening terutama pada daerah post
aurikuler, suboksipital dan servikal. Akhir minggu kedua, virus ditemukan dalam darah
25
dan ditemukan gejala prodomal seperti demam ringan, malaise, dan konjungtivitis. Pada
akhir masa inkubasi timbul ruam kulit pada wajah dan leher yang menyebar dengan
cepat ke ekstremitas dalam waktu 1-3 hari dan kemudian akan menghilang.22-23
Pada wanita hamil virus masuk melalui plasenta, dimana virus dapat mencapai
sirkulasi darah janin dengan bereplikasi melalui plasenta dan selanjuinya menginfeksi
kerusakan lensa, koklea, dan otak. Infeksi virus rubela pada wanita hamil kadang tidak
menimbulkan gejala yang jelas (asimtomatik) pada ibu hamil, akan tetapi akibatnya pada
kehamilan sangat berhubungan erat dengan beratnya infeksi yang menyebabkan kelainan
Rubela merupakan teratogen yang poten, dan 80% dari wanita yang mendapatkan
infeksi rubela serta ruam dalam usia kehamilan 12 minggu akan mempunyai janin
dengan infeksi kongenital. Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14, insiden ini
besarnya 54%, dan pada akhir trimester kedua 25%. Dengan semakin tinggi usia
trimester pertama, tidak selalu berada dalam keadaan sehat. Penelitian pada tahun 1964
sesudah trimester pertama. Dari 22 bayi yang lahir hidup, hanya 7 yang dianggap benar-
benar normal setelah diikuti perkembangannya selama periode waktu sampai 4 tahun.
Extended rubela syndrome dengan panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1 mungkin
26
baru terlihat secara klinis setelah usia 20 atau 30 tahun. Kemungkinan sepertiga dari bayi
yang asimtomatik pada saat lahir akan memperlihatkan keadaan tersebut. Bayi-bayi
disamping bagi orang dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi tersebut.1
Pertahanan pertama terhadap invasi virus adalah integritas permukaan tubuh, bila
berhasil ditembus timbul respon imun nonspesifik. Komponen yang berperan dalam
sistim imun nonspesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi seperti kulit, mukosa, silia,
lisozim, dan humoral seperti komplemen, interveron, dan seluler yaitu sel fagosit, dan
aktivasi sel Natural Killer (sel NK). Infeksi virus pada sel mengakibatkan
diproduksinya interferon yang akan menghambat replikasi virus, dan mengaktifkan sel
NK yang akan melisiskan sel-sel yang terinfeksi virus. Dengan demikian penyebaran
Pada infeksi virus akut, respon imun spesifik yang terdiri dari respon imun humoral
dan seluler memiliki sel-sel khusus yang bertugas mengenali dan membedakan apakah
sel itu asing atau tidak, yaitu limfosit yang terdiri dari sel T dan sel B. Untuk
antigen adalah perubahan antigen protein menjadi peptida oleh antigen presenting cell
complex (MHC-I dan MCH-II), dan terjadilah aktivasi sel T yaitu sel limfosit T
27
sitotoksik (T CD8+ yang akan mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi (melisiskan
virus) dan T CD4+ merupakan sel T helper yang akan mensekresi sitokin untuk
untuk menimbulkan respon sel B, pengenalan antigen dilakukan sendiri oleh sel B tanpa
bantuan APC yaitu dengan molekul reseptor berupa B cell antigen receptor (BCR). Sel
menghambat ikatan dan masuknya virus pada sel inang. Atas pengaruh antigen dan sel T
helper, sel B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu
Glikoprotein yang terdapat pada envelope virus diekspresikan pada permukaan sel-sel
yang terinfeksi akan dikenali sebagai antigen dan dinetralisasi oleh antibodi dan
terhadap penyebaran virus antara sel dan jaringan juga menahan penyebaran virus
sampai ke aliran darah. Sekresi IgA difokuskan pada permukaan mukosa untuk
mencegah reinfeksi.15
Peran antibodi dalam netralisasi virus terutama efektif untuk virus yang bebas atau
virus yang masuk dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dilakukan dengan cara
menghambat pelekatan virus pada reseptor permukaan sel sehingga virus tidak dapat
menembus membran sel, dengan demikian replikasi virus dapat dicegah. Antibodi dapat
mencegah penyebaran virus yang dikeluarkan dari sel yang telah hancur, tetapi
seringkali antibodi tidak cukup mampu untuk mengendalikan virus yang telah mengubah
28
struktur antigennya dan yang melepaskan diri melalui membran sel sebagai partikel yang
infeksius sehingga virus dapat menginfeksi sel yang berdekatan secara langsung.15,24
Pada infeksi primer antibodi IgM muncul pada saat gejala klinis yang diikuti oleh
IgA dan IgG. IgM terdeteksi sampai 6 bulan setelah infeksi dan kemudian akan menurun
dan menghilang. IgG mencapai puncaknya pada minggu ke-4 sampai ke-8 lalu menurun
dan dapat terdeteksi seumur hidup. Sedangkan antibodi IgA dijumpai setelah timbulnya
IgM spesifik dan selalu timbul lebih dahulu dari IgG spesifik. Pada kebanyakan kasus,
IgG terus naik dan IgM menetap (residual). Sedangkan IgA menghilang terlebih dahulu
dan tidak terdeteksi pada infeksi kronis. Adanya antibodi IgA pada bayi dapat dipakai
untuk menentukan adanya infeksi akut karena IgA tidak dapat melewati barier plasenta.
Pada reinfeksi, IgM dapat muncul tetapi dengan titer lebih rendah dari pada infeksi
primer, sebaliknya titer IgG meningkat dengan cepat dan kadar puncaknya melebihi
Anti IgG yang ditemukan pada darah neonatus didapatkan secara pasif transplasental
dari ibu yang terinfeksi, sehingga bukti infeksi aktif pada bayi adalah didapatkan anti
IgM dalam darah bayi tersebut. IgM tidak dapat melalui plasenta karena ukurannya yang
besar sehingga bila pada neonatus ditemukan IgM berarti anti IgM ini dibuat sendiri oleh
bayi dan membuktikan adanya infeksi akut pada bayi. IgM mencapai puncak pada bulan
ketiga lalu perlahan-lahan akan menurun sampai menghilang, sementara IgG maternal
tinggi pada awal kelahiran lalu menghilang dalam waktu 3 bulan. Pada akhir tahun
Alur pemeriksaaan serologi rubela pada wanita hamil dan interpretasi dapat dilihat
pada gambar 2.4., yang meliputi pemeriksaan IgG, IgM dan aviditas IgG. Pemeriksaan
IgG dan IgM anti-rubela yang umum digunakan adalah metode capture Enzyme-linked
Peran paling penting dari pemeriksaan PCR pada rubela adalah dalam karakterisasi
genetik virus rubela dan mendeteksi variasi genom pada waktu dan wilayah yang
berbeda di dunia. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi partikel virus yang tidak aktif,
waktu yang dibutuhkan sehingga virus dapat dideteksi setelah onset ruam seringkali
beberapa hari sampai minggu lebih lama dari isolasi virus. Kontaminasi silang selama
proses PCR merupakan masalah yang signifikan kecuali bila standar laboratorium yang
ketat dijalankan. Pemeriksaan PCR untuk konfirmasi rubela dapat dilakukan pada
2.4 Cytomegalovirus
Infeksi CMV tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi endemik tanpa tergantung
musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan keadaan sosial
ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, menunjukkan hasil
pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Keadaan ini meningkat kurang
lebih 1% setiap tahun. Pada keadaan sosial ekonomi yang jelek, atau di negara
berkembang, lebih dari atau sama dengan 80-90% masyarakat terinfeksi oleh CMV.27
Penelitian mengenai skrining TORCH pada wanita hamil di India pada tahun 1999
dengan subyek penelitian sebanyak 121 wanita hamil menunjukkan seropositifitas untuk
CMV sebesar 20.8%.4 Penelitian mengenai seroprefalensi infeksi TORCH pada wanita
hamil dengan riwayat obstetrik jelek di India pada tahun 2003 dengan subyek penelitian
sebanyak 380 wanita hamil dengan riwayat obstetrik yang jelek menunjukkan sebanyak
8.42% dengan IgM positif dan 91.05% dengan IgG positif untuk CMV.5 Penelitian
infeksi TORCH pada wanita hamil di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2006
menunjukkan dari 100 wanita hamil yang diteliti, tidak satupun yang terbebas dari salah
satu infeksi TORCH; 95% terinfeksi oleh CMV dengan IgG positif. 6
CMV merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal yang paling umum di
seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas diantara populasi yang
28
berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2–3% , ada pula sebesar 0,7 sampai 4,1%.29
Keadaan asimtomatik saat lahir dijumpai pada 5 –17%, ada pula yang melaporkan 90%
Cytomegalovirus (CMV) ada yang menyerang hewan, ada pula yang menyerang
human herpesvirus 5, anggota famili dari 8 virus herpes manusia, subgrup beta-
herpesvirus. Cytomegalo berarti sel yang besar. Sel yang terinfeksi akan membesar lebih
dari atau sama dengan 2x sel yang tidak terinfeksi. Cytomegalovirus merupakan parasit
yang hidup di dalam sel atau intrasel yang sepenuhnya tergantung pada sel inang untuk
perbanyakan diri (replikasi). Virus tidak memiliki organel metabolik seperti yang
dijumpai pada prokariot misalnya bakteri atau eukariot misalnya sel manusia. Replikasi
virus tergantung dari kemampuan untuk menginfeksi sel inang yang permissive, yaitu
yang merupakan sel yang tidak dapat melawan atau merintangi invasi dan replikasi
Cytomegalovirus memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di
permukaan sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuola di
sitoplasma, lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel
inang. Dalam waktu cepat setelah itu, ekspresi gen immediate early (IE) spesifik RNA
(ribonucleic acid) atau transkrip gen alfa (α) dapat dijumpai tanpa ada sintesis protein
virus de novo atau replikasi DNA virus. Ekspresi protein ini adalah esensial untuk
ekspresi gen virus berikutnya yaitu gen early atau gen β yang menunjukkan transkripsi
kedua dari RNA. CMV tidak menghentikan sintesis protein inang, bahkan pada awalnya
meningkatkan sintesis protein inang. Hal ini menunjukkan bahwa replikasi dan perakitan
Tidak ada vektor yang menjadi perantara transmisi atau penularan. Transmisi dari
satu individu ke individu lain dapat terjadi melalui berbagai cara. Transmisi intrauterus
terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu menular ke janin.
Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 – 1% dari kasus yang
mengalami reinfeksi atau rekurens. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar melalui
aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada infeksi
primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekurens endogen, yang mungkin akan
menimbulkan risiko tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko pada
infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi.
Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan
muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun
infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih
berat.29,32
Transmisi perinatal terjadi karena sekresi melalui saluran genital atau air susu ibu.
Kira-kira 2% – 28% wanita hamil dengan CMV seropositif, melepaskan CMV ke sekret
serviks uteri dan vagina saat melahirkan, sehingga menyebabkan kurang lebih 50%
kejadian infeksi perinatal. Transmisi melalui air susu ibu dapat terjadi, karena 9% - 88%
Kurang lebih 50% – 60% bayi yang menyusu terinfeksi asimtomatik, bila selama
kehidupan fetus telah cukup memperoleh imunitas IgG spesifik dari ibu melalui
plasenta. Transmisi postnatal dapat terjadi melalui saliva, mainan anak-anak misalnya
karena terkontaminasi dari vomitus. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak
34
langsung atau tidak langsung, kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ.
Penyebaran endogen di dalam diri individu dapat terjadi dari sel ke sel melalui
desmosom yaitu celah di antara 2 membran atau dinding sel yang berdekatan. Di
samping itu, apabila terdapat pelepasan virus dari sel terinfeksi, maka virus akan beredar
dalam sirkulasi (viremia), dan terjadi penyebaran per hematogen ke sel lain yang
Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus diekskresi
melalui beberapa tempat, ekskresi menetap beberapa minggu sampai tahun sebelum
virus hidup laten. Episode infeksi ulang sering terjadi, karena reaktivasi dari keadaan
laten dan terjadi pelepasan virus lagi sampai bertahun-tahun. Infeksi CMV dapat terjadi
setiap saat dan menetap sepanjang hidup. Sekali terinfeksi, tetap terinfeksi, virus hidup
dormant dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan seperti
infeksi primer, dan sering terjadi reinfeksi endogen, karena ada replikasi virus. Replikasi
virus merupakan faktor risiko penting untuk penyakit dengan manifestasi klinik infeksi
CMV. Lokasi hidup virus pada infeksi CMV yang berjalan laten, sukar diketahui.
Cytomegalovirus dapat hidup di dalam bermacam sel seperti sel epitel, endotel,
fibroblas, leukosit PMN, makrofag yang berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T
demikian berarti CMV menyebabkan infeksi sistemik dan menyerang banyak macam
organ antara lain kelenjar ludah, tenggorokan, paru, saluran cerna, hati, kantong empedu,
Gejala infeksi CMV bervariasi menurut umur, rute penularan dan keadaan imun
individu. Infeksi pada ibu hamil biasanya asimptomatis, gejala yang kadang timbul
berupa gejala mirip mononukleosis tanpa disertai faringitis, tonsilitis atau limfadenopati.
hepatosplenomegali dan ruam petekie. Pada anak yang lebih tua, remaja dan orang
kelelahan, malaise, mialgia, nyeri kepala, demam dan hepatosplenomegali. Pada infeksi
kongenital CMV dapat menyebabkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir
trombositopenik.1,2
Imunopatogenesis infeksi CMV sama seperti virus pada umumnya, bersifat kompleks
yang meliputi baik faktor atau komponen yang berperan dalam respons imun seluler
maupun humoral. Antibodi IgG adalah yang paling utama melakukan neutralisasi dan
eliminasi terhadap CMV yang beredar dalam sirkulasi. Antibodi IgG tersebut adalah
imunogenik dari envelope CMV. Suatu infeksi dinyatakan baru terjadi, bila serum
antibodi IgM spesifik positif pada fase akut penyakit atau terdapat peningkatan serum
antibodi IgG spesifik sampai lebih dari atau sama dengan 4 x antara periode akut dengan
masa konvalesen. Antibodi IgM dijumpai dalam minggu pertama infeksi primer, dan
36
menjadi tidak terdeteksi setelah 1-3 bulan. Antibodi IgG spesifik muncul 1 sampai 2
namun tetap terdeteksi dalam kadar rendah sepanjang hidup. Respons imun sekunder
pada infeksi ulang, reaktivasi atau reinfeksi, memberi profil respons yang berbeda,
karena peran dari sel memori. Antibodi IgM muncul kembali dengan titer yang lebih
rendah dari infeksi primer, sebaliknya IgG spesifik sudah dapat terdeteksi pada awal
serangan penyakit dengan kadar yang naik cepat, mencapai puncak yang lebih tinggi
serta mempunyai kekuatan mengikat antigen yang lebih baik dibandingkan infeksi
primer. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat menembus plasenta masuk ke
sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi pada darah tali pusat neonatus,
menunjukkan bahwa antibodi tersebut diproduksi oleh fetus atau bayi sendiri yang
Alur pemeriksaaan Cytomegalovirus pada wanita hamil dan interpretasi dapat dilihat
pada gambar 2.5., yang meliputi pemeriksaan IgG, IgM dan aviditas IgG. Jika
diperkirakan mempunyai risiko tinggi transmisi CMV pada janin maka perlu
mendeteksi DNA CMV pada darah dan urin wanita hamil. Pemeriksaan PCR kualitatif
positif menunjukkan replikasi virus dalam sel, namun tidak dapat dipakai untuk
tahun 2005 menunjukkan dari wanita yang seropositif, 1,8% (6 dari 341) menunjukkan
viral shedding CMV, 4 dengan IgM positif, 3 dengan aviditas IgG yang rendah, dan 4
hasil IgM positif pada wanita menunjukkan viremia pada pemeriksaan DNA CMV,
semua wanita tersebut menunjukkan hasil aviditas IgG yang rendah.35 Pemeriksaan PCR
kuantitas partikel virus per milliliter dapat menjelaskan perbedaan antara infeksi primer
dengan reaktivasi/ reinfeksi.29 Muatan virus (viral load) pada infeksi primer lebih tinggi
keluaran fetal. Amniosintesis dilakukan paling lambat 7 minggu setelah diagnosis infeksi
maternal CMV ditegakkan dan setelah 21 minggu kehamilan. Interval ini berdasarkan
bahwa infeksi fetal terjadi dalam waktu 5 – 7 minggu setelah infeksi maternal dan diikuti
replikasi virus pada ginjal sampai jumlahnya dapat terdeteksi ketika disekresi ke dalam
cairan amnion.36
38
janin unruk membantu menentukan prognosis janin, meskipun temuan ultrasound yang
Virus herpes simpleks (HSV) tersebar di seluruh dunia dan ditemukan hampir pada
semua populasi manusia. Belum diketahui apakah hewan merupakan vektor penyebar
virus herpes simpleks, meskipun pada percobaan hewan dapat terinfeksi, namun
Infeksi yang disebabkan HSV tipe 1 (HSV-1) Iebih sering didapat dan lebih dini
menginfeksi manusia daripada HSV tipe 2 (HSV-2). Lebih dari 90% orang dewasa
mempunyai antibodi terhadap HSV-1 pada umur 50 tahunan. Penyakit ulkus genital di
dunia terutama disebabkan karena infeksi HSV-2 sebesar 40-80% dari semua diagnosis
penyebab ulkus genital. Infeksi HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebabkan infeksi oral atau
infeksi genital. Sebesar 99% dari infeksi oral disebabkan oleh HSV-1.38
Penelitian mengenai skrining TORCH pada wanita hamil di India pada tahun 1999
dengan subyek penelitian sebanyak 121 wanita hamil menunjukkan seropositifitas untuk
HSV sebesar 70%.4 Penelitian mengenai seroprefalensi infeksi TORCH pada wanita
hamil dengan riwayat obstetrik jelek di India pada tahun 2003 dengan subyek penelitian
sebanyak 380 wanita hamil dengan riwayat obstetrik yang jelek menunjukkan sebanyak
3.6% dengan IgM positif dan 33.58% dengan IgG positif untuk HSV-2.5 Penelitian
infeksi TORCH pada wanita hamil di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2006
menunjukkan dari 100 wanita hamil yang diteliti, 56% terinfeksi oleh HSV-2 dengan
IgG positif dan 21% mengalami infeksi aktif dengan IgM positif. 6
40
Infeksi virus Herpes simpleks ditularkan oleh dua spesies virus, yaitu HSV-1 dan
HSV-2. Virus ini merupakan kelompok virus DNA rantai ganda. Infeksi HSV terjadi
pada hospes yang rentan setelah virus menembus permukaan kulit yang terluka atau
replikasi dalam sel-sel epidermis dan dermis. Herpes simpleks tipe 1 dan 2 mampu
menginfeksi dan menyebar pada beberapa tipe sel manusia dan menyebabkan infeksi
laten dan rekurens. Infeksi yang tersering adalah lesi rekurens pada mulut dan bibir oleh
Infeksi HSV dimediasi oleh glikoprotein yang menyelubungi virus seperti partikel
berduri yang mempunyai spesifitas yang beragam. Pada mulanya HSV menempel pada
(gB) dan C (gC) pada HSV yang bermuatan positif berinteraksi dengan heparin sulfate
(HS) yang bermuatan negatif dari sel proteoglikan dengan afinitas rendah. Selanjutnya
glikoprotein D (gD) HSV berikatan dengan tumor necrosis factor (TNF)/ nerve growth
factors (NGF) sehingga terjadi fusi membran. Pada saat penempelan tersebut, virus
menembus sel dengan fusi dari selubung virus dengan membran sel plasma.40 Ketika sel
epitel terinfeksi, maka terjadi replikasi virus yang kemudian akan masuk ke saraf yang
sistem imun yang normal akan mengurangi jumlah virus yang masuk, membunuh sel
yang terinfeksi dan mengadakan netralisasi. Namun virus dapat lolos dari sistem imun
hospes jika melapisi dirinya dengan IgG melalui reseptor Fc dan reseptor komplemen.39
41
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode I infeksi primer,
episode I non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi
sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke dalam
tubuh hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh
hospes tersebut dan mengadakan replikasi menghasilkan banyak virion sehingga sel-
selnya akan mati serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri
belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang
luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf
sensoris ke ganglion, dan menetap di sana serta bersifat laten. Pada stomatitis herpetika
virus akan menuju ganglion saraf trigeminal dan menetap di sana, sedangkan pada
herpes genitalis virus akan memasuki ujung saraf sensori yang mensyarafi saluran
genital.41
Pada episode I non primer, infeksi sudah lama berangsung tetapi belum menimbulkan
gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode I
ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer. Bila ada suatu
waktu ada faktor pencetus, virus akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali
sehingga terjadilah infeksi rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada
antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul serta gejala konstitusinya tidak seberat
Herpes genitalis pada kehamilan dapat menyebabkan transmisi virus dari ibu ke
janin/ bayi dapat terjadi pada masa dalam kandungan, menjelang kelahiran (perinatal)
atau sesudah lahir (postnatal). Transmisi perinatal terjadi terutama pada waktu
42
melahirkan dan melalui jalan lahir. Risiko paling tinggi terjadinya transmisi perinatal
ditemukan bila terjadi infeksi primer HSV tipe 1 atau 2 dekat masa menjelang kelahiran.
Infeksi primer berarti belum terdapat antibodi maternal. Kejadian transmisi vertikal
selama episode infeksi primer 10 kali lipat dibandingkan dengan transmisi pada wanita
dengan episode rekurens. Sebagian besar infeksi maternal primer bersifat asimptomatik
atau atipikal sehingga sulit membedakan secara klinis antara infeksi HSV primer atau
rekurens. Transmisi postnatal dapat melalui air susu ibu, lesi mulut atau tangan, atau alat
dari orang yang menderita herpes simpleks. Bila transmisi terjadi pada trimester I
cenderung terjadi abortus atau malformasi kongenital berupa mikrosefali, sedangkan bila
pada trimester II terjadi prematuritas. Komplikasi lain pada bayi yang dilahirkan ibu
Imunopatogenesis infeksi herpes simpleks hampir sama seperti virus pada umumnya,
bersifat kompleks yang meliputi baik faktor atau komponen yang berperan dalam
respons imun seluler maupun humoral. Setelah terjadi infeksi, sistem imunitas humoral
dan selular akan terangsang oleh glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon
imun. Respon imun dapat membatasi replikasi virus sehingga infeksi akut dapat
membaik. Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap dalam
Banyak bayi baru lahir telah mempunyai antibodi pasif yang dipindahkan dari
ibunya. Antibodi ini hilang dalam waktu 6 bulan pertama kehidupan, dan periode paling
rentan terhadap infeksi herpes primer terjadi antara usia 6 bulan dan 2 tahun. Antibodi
yang didapat dari ibu melalui plasenta tidak melindungi bayi baru lahir terhadap
terhadap infeksi secara total, tapi tampaknya dapat mengurangi infeksi. Antibodi HSV-1
mulai nampak pada masa awal anak-anak, dan pada waktu dewasa kebanyakan mereka
telah memilikinya. Antibodi terhadap HSV-2 timbul selama masa dewasa seiring dengan
aktivitas seksualnya.38
Selama infeksi primer, antibodi IgM timbul sementara dan diikuti oleh antibodi Ig A
dan IgG yang menetap untuk waktu yang lama. Semakin berat infeksi primer yang
terjadi atau semakin sering terjadi kekambuhan, maka semakin tinggi kadar
antibodinya.38 Antibodi IgM baru dapat dideteksi setelah 4–7 hari infeksi, mencapai
puncak setelah 2–4 minggu, dan menetap selama 2–3 bulan, bahkan sampai 9 bulan.
Sedangkan, IgG baru dapat dideteksi setelah 2–3 minggu infeksi, mencapai puncak
setelah 4–6 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat seumur hidup.42
Pemeriksaan serologi untuk herpes simplek yang dianjurkan untuk wanita hamil dan
pasangannya dengan risiko atau diduga terinfeksi adalah pemeriksaan IgG yang spesifik
untuk tipe HSV, yaitu HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Bila IgG negatif,
perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada akhir kehamilan. Jika hasil tetap negatif, berarti
44
tidak ada infeksi. Tetapi, bila hasil menjadi positif manunjukkan adanya serokonversi
infeksi primer. Selain itu, bila hasil pemeriksaan pertama negatif, perlu dilakukan
pemeriksaan pada pasangannya. Jika pasangannya IgG positif maka perlu diberi
kondom dan menghindari kontak urogenital.43 Alur pemeriksaan dapat dilihat pada
gambar 2.6.
Pada wanita hamil dengan simptomatik herpes, perlu diperiksa IgG anti HSV-2. Jika
hasil negatif maka dilakukan pemeriksaan ulang dua minggu kemudian. Jika hasil
menjadi positif, menunjukkan adanya infeksi primer. Dari pemeriksaan pertama dengan
hasil IgG positif, menunjukkan adanya infeksi rekurens.43 Pemeriksaan IgM pada HSV
tidak dianjurkan karena IgM HSV tidak dapat dipercaya sebagai petanda infeksi primer
(IgM HSV dapat terdeteksi positif pada infeksi rekurens dan negatif pada infeksi
primer), dan IgM HSV tidak akurat membedakan antara HSV-1 dan HSV-2.44-45 Alur
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk HSV dapat mendeteksi DNA
virus, membedakan HSV tipe 1 atau 2 sebagai penyebab infeksi, namun tidak bisa
membedakan virus hidup atau mati. Tidak dideteksinya HSV baik oleh PCR maupun
kultur tidak bisa menunjukkan tidak adanya infeksi HSV karena viral sheeding muncul
secara intermiten. Sehingga pemeriksaan serologi tipe spesifik HSV merupakan alat
diagnostik yang penting untuk wanita yang tidak ditemukan lesi saat pertama
45
pemeriksaan atau yang pada pemeriksaan kultur atau PCR dinyatakan negatif. Jika
diduga mendapat infeksi HSV primer dan pada pemeriksaan serologi tidak ditemukan
antibodi terhadap HSV dan tidak dilakukan isolasi virus dari lesi yang ditemukan, maka
Gambar 2.6. Alur Pemeriksaan Serologi Herpes Genital pada Wanita Hamil dan
Pasangannya (Dilakukan Pemeriksaan Antibodi HSV-1 dan HSV-2)
Dikutip dari: Stray-Pedersen B.43
46
Gambar 2.7. Alur Pemeriksaan Serologi Herpes Simptomatik pada Wanita Hamil
(Dilakukan Pemeriksaan Antibodi HSV-2)
Dikutip dari: Stray-Pedersen B.43
47
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi TORCH menyebar luas di seluruh dunia. Infeksi TORCH pada wanita hamil
dapat terjadi secara sistemik atau genital. Infeksi TORCH dapat menyebabkan infeksi
perinatal dan kelainan kongenital. Janin dapat terinfeksi melalui plasenta atau kontak
langsung dengan penginfeksi jalan lahir. Salah satu penunjang diagnosis TORCH adalah
sebagai pemeriksaan awal untuk mendiagnosis infeksi TORCH pada wanita hamil,
selanjutnya bila diduga mendapat infeksi TORCH dan berisiko terjadi infeksi kongenital
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan ultrasound dan PCR. Pemeriksaan serologi yang
sering yang dilakukan pada infeksi TORCH meliputi pemeriksaan kadar IgM, IgG, dan
dalam keadaan tertentu diperiksa aviditas IgG. Hasil IgG dan IgM positif dengan
aviditas IgG yang rendah, menunjukkan bahwa adanya infeksi akut (< 4 bulan).
Sedangkan hasil IgG dan IgM positif dengan aviditas IgG yang tinggi menunjukkan
infeksi terjadi lebih dari 4 bulan. Infeksi primer, baik oleh HSV-1 ataupun HSV-2,
berkala, baik IgG, IgM, maupun aviditas IgG selama kehamilan, sangat berguna dalam
mencegah terjadinya infeksi TORCH pada ibu hamil, janin, maupun pada bayi baru
jika pada pemeriksaan pertama didapatkan hasil IgG positif dengan IgM yang negatif.
48
Summary
women can occur through the transmission of systemic or genital. TORCH infection can
cause perinatal infection and congenital abnormalities. Fetus can become infected
through direct contact with the placenta or through the agent of infection in the birth
canal. One is to support the diagnosis of TORCH is serology laboratory assay. TORCH
women, then when it allegedly had TORCH infections and risk of congenital infection
TORCH infections include the assay of levels of IgM, IgG, and in certain circumstances
be examined avidity IgG. IgG and IgM positive results with low-avidity IgG, indicating
that the presence of acute infection (<4 months). While the results of IgG and IgM
positive with high avidity IgG which indicates infection occurred <4 months. Primary
Serologic assay for TORCH periodically, either IgG, IgM, and IgG avidity in pregnancy,
fetuses, and newborns. Each of the TORCH infections has different algorithm. For
toxoplasmosis, rubella, and cytomegalovirus, periodic assay are not required if the first
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham G, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD, et al.
Williams Obstetrics [ebook]. Edisi ke-21. New York: McGraw-Hill; 2007.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics [ebook]. Edisi ke-18. Philadelphia: Elsevier; 2008.
3. Alpers CE, Anthony DC, Aster JC, Crawford JM, Crum CP, Girolami UD. Robbins
and Cotran Pathologic Basis of Disease [ebook]. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier;
2005.
6. Karkata K, Suwardewa TGA. Infeksi TORCH pada Ibu Hamil di RSUP Sanglah
Denpasar. Lab/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
/ RSUP Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 2006; 151.
[diunduh 5 April 2012]. Tersedia dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_151_InfeksiTorchPadaIbuHamil.pdf/05_1
51_InfeksiTorchPadaIbuHamil.pdf
11. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. Microbiology: an introduction. San Francisco:
Pearson; 2010. h. 662.
12. Ferguson DJP. Toxoplasma gondii: 1908-2008, homage to Nicolle, Manceaux and
Splendore. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Jeneiro. 2009;104(2):133-48. [diunduh
6 April 2012]. Tersedia dari: http://memorias.ioc.fiocruz.br/8.pdf
13. Kasper LH. Toxoplasma infection. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison's principles of internal
medicine Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill; 2008. h. 1243-7.
15. Male D, Brostoff J, Roth D, Roitt I. Immunology. Edisi ke-7th ed. Canada: Mosby
Elsevier; 2006. h. 247-298.
16. Abbas A, Lichtman A, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. Edisi ke-7.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
17. Montoya JG, Remington JS. Management of Toxoplasma gondii Infection during
Pregnancy. Clinical Infectious Diseases. 2008; 47:554–66. [diunduh 6 April 2012].
Tersedia dari: http://www.migato.com/conocele/docs/Montoya2008.pdf
19. Remington JS, Thulliez P, Montoya JG. Recent development for diagnosis of
toxoplasmosis. J Clin Microbiol. 2004;42(3):941-5. [diunduh 6 April 2012].
Tersedia dari: http://jcm.asm.org/content/42/3/941.full.pdf
21. Qiu, Z., F. Tufaro, and S. Gillam. 1992. The influence of N-linked glycosylation
on the antigenicity and immunogenicity of rubella virus El glycoprotein.
Virology. 1992 Oct;190(2):876-81.
51
22. Plotkin SA, Reef SE. Rubella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, Offit PA,
editors. Vaccines. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. h. 735–71.
23. Sonnen G, Henry N. 2001. Rubella. In WR Wilson (ed) : Current Diagnosis &
Treatment in Infectious Diseases. 10th ed. New York : Lange Medical
BookslMcGraw-HiIl. h. 421-5.
24. Kresno, SB.. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas. 2001.h. 4-12.
25. Krugman S, Katz SL, Gershon AA. Infectious Diseases of Children. 9th ed. St.
louis Toronto: Mosby Year Book. 1992. H. 307-8.
26. Reef S, Redd S, Abernathy E, Icenogle J. Rubella. In: CDC: VPD Surveillance
Manual. Edisi ke-4. 2008 [diunduh 7 April 2012]. Tersedia dari:
http://digitalcorpora.org/corp/nps/files/govdocs1/040/040926.pdf
27. Griffiths PD, Emery VC. Cytomegalovirus. In: Richman DD, Whitley RJ, Hayden
FG eds. Clinical Virology. Washington: ASM Press; 2002:433-55
30. Boldogh I, Albrecht T, Porter DD. Persistent viral infections. In: Baron S ed.
Medical Microbiology. 4 th ed. Texas: The University of Texas Medical Branch at
Gaveston; 1996:585-96.
32. Costello M, Yungbluth M. Viral infection. In : Henry JB ed. Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods. 19th ed. Philadelphia: WB Saunders;
1998:1083-114.
33. Stehel EK, Sanchez PJ. Cytomegalovirus infection in the fetus and neonate.
NeoReviews 2005;4(1):38-45.
52
34. Crowe S. Virus infections of the immune system. In: Stites DP, Terr AI, Parslow
TG eds. Medical Immunology. 9 th ed. New Jersey: Appleton & Lange; 1997:760-1.
35. Munro SC, Hall B, Whybin LR, Leader L, Robertson P, Maine GT, et al, Diagnosis
of and Screening for Cytomegalovirus Infection in Pregnant Women. J. Clin.
Microbiol.2005;43(9): 4713–18. [diunduh 7 April 2012]. Tersedia dari:
http://jcm.asm.org/content/43/9/4713.full.pdf
37. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Medical Microbiology. Edisi ke-21. United
States of America: Prentice Hall International; 1998. h. 385-396.
38. Lawrence C, Anna W. Genital Herpes, In : Holmes KK, Sparling PF. Sexually
Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008. h. 399-429.
39. Hunt R. Virology-Chapter Eleven Herpes Viruses. In: University of South Carolina
of Medicine. Microbiology andImmunology On-Line. 2010 [diunduh 15 April
2012]. Tersedia dari: http://pathmicro.med.sc.edu/virol/herpes.htm
40. Nizet V, Esko JD. Bacterial and Viral Infections. In: Varki A, Cummings RD, Esko
JD, Freeze HH, Stanley P, Bertozzi CR, et al, editors. Essentials of Glycobiology.
Edisi ke-2. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. 2009. [diunduh 15
April 2012]. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1952/
41. Dalili SF, Judanarso. Herpes Genital. Dalam: Dalili SF, Makes WIB, Zubier,
Judanarso J, editor. Penyakit Menular Seksual.Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2003. H. 110-15.
42. Dalili SF, Makes WIB, Ibrahim F, Pohan HT, Wibowo N, Oesman F. Konsensus
FKUI: Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi TORC pada Kehamilan. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2005. h.40-3.
46. Brown ZA, Carolyn G, Anna W, Morrow RA, Corey, L. Genital Herpes
Complicating Pregnancy. Obstet Gynecol. 2005 Oct;106(4);845-856. [diunduh 15
April 2012]. Tersedia dari:
http://depts.washington.edu/herpes/php_uploads/publications/Genital%20Herpes%2
0Complicating%20Pregnancy.pdf