Anda di halaman 1dari 10

Moral dan moralitas

Dalam agama Katolik, pembicaraan mengenai moral dan moralitas sangat penting. Kita ikut berbangga
ketika menyaksikan ada tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat publik yang terkenal karena integritas
moralnya dan kerja serta dedikasi mereka yang sangat baik dan exemplary karena bersih dari korupsi,
pelanggaran hukum public dan peri kehidupan yang baik. Moral dan moralitas yang baik berkaitan
dengan perilaku yang baik. Perilaku yang baik menciptakan perangai atau karakter yang baik. Perilaku
dan karakter yang baik membuat orang bisa meraih prestasi (achievement) yang tinggi karena dalam
perilaku dan perangai yang baik terdapat keutamaan, yakni hal baik yang membuat orang lebih mudah
dalam membuat pilihan pada dan melakukan hal-hal yang baik, suci, luhur, mulia. Dan beradab serta
bermartabat.

1. Artinya moral dan moralitas

Berdasarkan arti katanya, kata moral dan moralitas berasal dari kata Latin mors, kebiasaan, atau hal-
hal yang biasa dilakukan. Karena itu, hal-hal yang mengandung moralitas berarti hal itu memuat hal-
hal yang dimaui untuk dilakukan dan dilestarikan sekaligus juga memuat hal-hal yang diingat-ingat
supaya tidak dilakukan karena memang tidak mendatangkan kebaikan apapun. Moralitas dan hal-hal
yang mempunyai nilai moral karena menjawab pertanyaan: Apakah yang semestinya (should be done)
dilakukan untuk dapat hidup baik dan dengan baik? Apakah yang disebut dengan hal baik itu? How
should we live?

Hal yang semestinya dilakukan untuk hidup baik dan untuk hidup dengan baik adlah hal-hal
yang mendukung terjadinya atau tercapainya kebahagiaan (Yun. Eudaimonia), yakni kehidupan yang
ditandai dengan selamat, sejahtera, tenteram, gembira, sehat lahir dan batin, sempurna segala
kebutuhan jasmani dan rohani. Konsepsi klasik mengenai apa yang disebut dengan hidup baik (good
life) mencakupi kehidupan yang ditandai dengan peradaban yang baik, pendidikan yang baik,
pengetahuan yang berkembang, seni, dan kehidupan politik yang menciptakan kesejahteraan. Good
life ada kaitannya dengan good society dalam mana penduduknya menunjukkan adanya kemampuan
mengendalikan diri, ada kebijaksanaan dan jauh dari hal-hal yang merusakkan. Jadi moralitas
merupakan hasil terus menerus dari peradaban, buah dari pemikiran yang bijaksana, terbentuk dari
kecintaan pada soal bagaimana baik pribadi maupaun masyarakat senantiasa berada dlam keadaan
baik. Untuk keprluan itu maka diperlukan satu prinsip hidup yang dikenali semua orang agar kebaikan
itu terjadi. Aristoteles mengatakan:

“The rule is that what is best and pleasantest for each creature is what intimately
belongs to it. In applying that rule to man we see that the life of the intellect is best and
pleasantest for him, because the intellect more than anything else is the man. So the life
of the intellect will be the happiest life for man” (Nichomachean Ethics, Book 10, chapter
7).

1
Dengan aturan yang diusulkan oleh Aristoteles untuk diterapkan hidup baik atau hidup yang
bermoral baik atau moralitas kemudian menjadi satu bentuk perspektif, cara pandang atau way of
living. Dengan aturan itu, orang-orang yang bermoral membangun seni hidup baik. Seni hidup baik itu
disebut dengan etika. Disebut seni karena di dalamnya mengandung tekhnik mengenai bagaimana
hidup yang baik itu bisa diwujudkan semaksimal mungkin untuk terwujudnya eudemonia baik bagi
oerang perorangan maupun bagi suatu kolektivitas atau keseluruhan masyarakat. Seni hidup baik
atau etika ini berbeda sekali dari etiket (Perancis etiquette), yang berarti bentuk atau cara-cara
(manners) yang disepakati bersama tentang kebiasaan-kebiasaan kultural yang mencerminkan sopan
santun atau adat kesantunan.

Beberapa waktu lalu beberapa tokoh yang duduk dalam anggota DPRD Pemerintahan DKI
Jakarta menuduh Gubernur Ahok dengan tuduhan bahwa ia adalah orang yang tidak mempunyai etika
gara-gara perkataan yang diucapkannya untuk menggagalkan gelagat terjadinya korupsi mengandung
kata-kata kasar yang dalam pandangan mereka dan kaum agamawan agama tertentu sebagai kata-
kata yang sangat kasar. Perbuatan korupsinya sendiri tidak menjadi fokus perhatian. Perhatian mereka
ada pada soal cara berbicara. Perbuatan korupsi yang nota bene tidak mengandung etika sama sekali,
dan koruptor adalah orang yang tidak beretika, justru tidak dipersoalkan. Orang-orang ini orang-orang
yang sok bermoral tetapi tidak mengerti artinya bermoral dan tidak tahu bedanya bermoral dan
beretika. Pejabat yang korup adalah orang-orang yang tak beretika. Meskipun sopan dalam kata-kata,
tetapi tidak beretika dalam perbuatan. Ini jauh lebih mengkuatirkan kalau mereka tetep menjadi
pejabat public dibandingkan dengan orang yang mempunyai kata-kata kasar karena situasi dan kondisi
yang membuatnya begitu dan merasa harus begitu tetapi sangat memabktikan diri dan penuh
komitment untuk bisa mewujudkan terjadinya hidup baik dalam masyarakat melalui penegakan
keadilan dan pemwujudan keadilan sosial (bonum commune) atau kebaikan bagi semua (the good of
all, common good).

2. Moralitas dalam konteks local

Setiap masyarakat mempunyai aturan moral dan standard moralitas masing-masing. Sebabnya jelas,
setiap masyarakat mempunyai sumber-sumber aturan moral. Pada dasarnya ada dua domain di mana
kita bisa mendapatkan prinsip-prinsip moral, yakni adat dan tabu. Tabu lebih merupakan larangan-
larangan yang diturunkan dari kebiasaan dan adat. Dengan kata lain, tabu merupakan kumpulan
hukum negative, terdiri dari larangan-larangan. Kita bahas mengenai hukum adat sebagai sumber
rujukan kepantasan-kepantasan hidup bermasyarakat dan sumber-sumber moral.

“Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah
hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan bertumbuh berkembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

2
Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Di satu pihak ada yang menyatakan
bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah
ini berasal dari Bahasa Sanskerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh
orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua
kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri
atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah
hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.

Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum


kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen). Berbeda dengan
kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah
perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju
kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving. Menurut Ter Haar yang terkenal dengan
teorinya Beslissingenleer (teori keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh
peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang
mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta
dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan
tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan
musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari
keputusan warga masyarakat. Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama
merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang
dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut
melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu
adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu
peristiwa dengan peristiwa lain. Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat
adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di
pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang
dinyatakan berlaku di sini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi)
dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum).

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat,
terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu
pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan
keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut
karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat,
melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-
tidaknya ditoleransi. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam
bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan
saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu
sengketa yang resmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini
diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan
anggota-anggota persekutuan tersebut” (Wikipedia, adat).

3
3. Moralitas Kristiani

Moralitas Kristiani artinya moralitas sejauh bersumber dari hakikat hidup Kristiani, dihayati dari
sumber-sumber moral hidup Kristiani. Dalam hal ini, suatu perbuatan dikatakan baik secara moral jika
perbuatan-perbuatan itu seiring dengan kehendak Allah. Sebaliknya, prinsip moralitas Kristiani
mengatakan bahwa sebuah perbuatan dikatakan buruk secara moral jika perbuatan-perbuatan itu
tidak seiring dengan kehendak Allah. Masalahnya kehendak Allah tidak diekspresikan dalam satu set
hukum dan aturan. Kehendak Allah pertama-tama lebih merupakan panggilan batin dan undangan
untuk menjalankan secara purna tugas yang termaktub dalam rencana universal Allah bagi manusia
dan dunia. Karena itu tanggapan manusia atas panggilan itulah yang menentukan apakah tindakan
dan perbuatan seseorang itu baik secara moral atau tidak. Rencana Allah itu harus menjadi tujuan
tertinggi manusia. Henry Peschke mengatakan: “The ultimate goal of man and the world is an ultimate
criterion for the moral goodness of his actions” (2000, 1).

3.1. Dasar atau sumber moralitas Kristiani

Tujuan tertinggi manusia dan dunia bisa ditangkap dari hal-hal yang tercermin dalam hukum alam dan
hukum manusiawi. Kehendak Allah dan rencana universalNya bisa ditangkap dari hukum-hukum ilahi
yang terlahir dari Sabda dan perbuatan-perbuatan Allah. Oleh karena itu, sumber moralitas Kristiani
merujuk kepada tiga sumber: Natural law atau hukum alam, Hukum ilahi (Sabda Allah dalam Kitab
Suci) dan tafsiran serta ajaran Magisterium, dan Hukum manusiawi (Hukum sipil, hukum tradisional
termasuk hukum adat dan tabu).

Yang dimaksudkan hukum alam (natural law) yakni: “Law of human conduct which arises
from the full reality of human nature as ordered to its ultimate end and which is recognised by mans
of reason, independent of positive Christian revelation” (2000, 105). Jadi, yang dimaksudkan dengan
hukum alam sebagai sumber moral di sini mengacu kepada wawasan-wawasan moral (moral insights)
yang secara alami setiap manusia bisa mengetahuinya melalui daya akal budi, tanpa campur tangan
unsur pewahyuan Allah. Prinsip moral hukum alam adalah: Lakukan yang baik; jangan lakukan yang
tidak baik. Yang menyebabkan unsur alami di sini ada tiga: 1). Tidak bersifat supernatural, maksudnya
tidak dikomunikasikan melalui cara supernatural; 2). Tidak positive sifdatnya, maksudnya bukanlah
merupakan hasil dari perintah dan anjuran yang berasal dari otoritas legislative sebagaimana terjadi
dalam hukum positif manusiawi maupun ilahi; 3). Ditemukan dalam dan diasalkan dari kodrat dasar
manusia sendiri. Sinonimnya: the moral law of nature, natural ethics, and natural morality. Bisa
digarisbawahi di sini, sesuatu dikatakan baik secara hukum alam jika hal yang dimaksudkan
menyangkut tujuan-tujuan dasar dari kodrat manusia itu sendiri, yakni: self-preservation, pelestarian
keberadaan diri baik sebagai individu maupun makhluk sosial; self-perfection, kesempurnaan diri baik
dalam soal pengalaman, wawasan dan pengembangan potensi-potensi diri serta kondisi-kondisi
kehidupan; procreation and education of children, pelestarian generasi dan pendidikan anak-anak;
concern and care for the spiritual and material welfare of one’s fellow men, kesejahteraan jasmani
dan rohani sesame manusia; social fellowship for the promotion of common utility, kerekanan yang
berguna untuk meningkatkan hidup sosial; commitment to goodness and value in its absolute,
transcendental form, especially union with God through worship of him (komitment pada kebaikan
dan nilai-nilai absolut yang berkaitan dengan sikap hormat bvakti kepada Tuhan).

4
Pembicaraan mengenai Hukum manusiawi (human law) berkaitan dengan tatanan yuridis
suatu masyarakat, bisa negara, desa, atau Gereja. Sejauh tatanan yuridis itu ditentukan oleh hukum-
hukum yang dibuat dan diterapkan untuk terjadinya kebaikan bersama (common good). Ini tidak
harus tertulis. Dalam masyarakat yang primitive, hukum dan aturan yang mengarah pada terjadinya
common good tertuangkan nsecara tidak tertulis dalam hukum adat (customs). Isi hukum manusiawi
ini berkaitan erat dengan apa yang menjadi kebaikan dan tujuan tertinggi dari masyarakat yang
bersangkutan. Aturan-aturan yang terdapat di dalamnya mempunyai daya paksa, bukan hanya
menganjurkan sifatnya tetapi mewajibkan. Pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum manusiawi
akan berakibat pada bubarnya atau kacaunya masyarakat. Jadi, hukum yang demikian harus
dipromulgasikan, diketahui bersama, ditegakkan oleh penegak hukum yakni orang-orang yang
mempunyai kepedulian sejati kepada komunitas. Hukum manusiawi sebuah komunitas atau
masyarakat hanya berlaku bagi anggota kebersamaan yang bersangkutan. Itupun hanya menyangkut
tindakan-tindakan eksternal (external conduct). Tatanan sosial tidak bergantung pada apakah
motivasi batin dari suatu tindakan memiliki pertimbangan tentang keberadaan orang lain ataukah
ada pertimbangan mengenai soal takut pada hukuman yang mungkin akan ditanggung. Meskipun
demikian hukum manusia harus ditafsirkan dan dimengerti dalam prinsip epikia, artinya, jika akan
diterapkan, maka penerapannya harus didasarkan pada maksud dasar dibuatnya aturan tersebut.

Yang dimaksudkan dengan hukum ilahi (divine law) adalah perintah Allah sejauh dinyatakan
dalam Kitab Suci, baik dinyatakan oleh Allah sendiri ataupun lewat para Nabi dan melalui Yesus Sang
Sabda yang menjadi manusia, dan juga perintah Allah yang dimengerti dan ditafsirkan oleh Jemaat
ALLah. Jadi, hukum ilahi mencakupi perintah-perintah yang tertulis dalam Perjanjian Lama maupun
dalam Perjanjian Baru yang memuat perintah baru, yaitu perintah untuk mengasihi. Memang banyak
hal yang berkaitan dengan hukum dan peraturan yang tertulis dalam Kitab Suci. Tetapi jika diselidiki,
banyak juga unsur-unsur yang diassimilasikan dari masyarakat sekitar di luiar bangsa Israel. Artinya,
tidak semua perintah dalam Kitab Suci berasal dari Allah. Hukum ilahi adalah perintah dan anjuran
yang berasal dari otoritas supranatural, dari Allah baik yang disampaikan secara langsung maupun
tidak langsung. Perintah-perintah itu memperlihatkan hal-hal yang suci, luhur, yang berkenan kepada
Allah, yakni perintah yang berkaitan dengan kebenaran dan keadilan, kasih sayang dan belas kasih
serta kemurahan hati. Apapun yang berkaitan dengan nilai-nilai ilahi ini adalah baik secara moral.
Dalam Perjanjian baru, perintah baru yang diberikan oleh Yesus kepada para murid adalah perintah
untuk saling mengasihi satu sama lain sebagaimana Yesus telah mengasihi mereka. Yang menarik
adalah perhatian untuk memberikan keadilan kepda mereka yang tertindas, miskin dan teraniaya, dan
perintah-perintah untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kekhasan Perjanjian Baru
dibandingkan dengan Perjanjian Lama, yakni, hukum ilahi itu ditanamkan di dalam hati, di dalam
nurani.

3.2. Hati nurani sebagai moral faculty

Perintah-perintah moral sebagai norma-norma objektif moralitas dapat dibandingkan dengan tanda-
tanda lalu lintas dan penanda-penanda yang bisa dijumpai di sepanjang jalan, yang bisa menunjukkan
arah yang harus ditempuh oleh seseorang yang ada dalam perjalanan agar bisa sampai di tempat
tujuan. Akan tetapi, tanda-tanda itu tidaklah cukup untuk bisa membantu orang bisa sampai di tempat
tujuan. Seorang yang ada dalam perjalanan mesti mempunyai kemampuan internal untuk bisa

5
mengerti dan menangkap maksud tanda-tanda itu, menseleksi dan membedakan mana-mana yang
relevant untuk tujuannya dan juga mesti mempunyai satu kemampuan untuk mengarahkan mereka
ke arah yang benar jika tanda-tanda lalulintas itu tidak ada. Artinya, ia juga membutuhkan
pengetahuan tentang arah yang dituju. Dalam moral, kemapuan batiniah ini disebut sebagai hati
nurani seseorang. Ini adalah perangkat internal yang dimiliki oleh setiap orang untuk bisa hidup secara
moral. Nurani inilah yang memberi tahu seseorang secara subjektif apa yang baik, apa yang jahat dan
apa-apa yang memperlihatkan kewajiban moral kepada seseorang.

Dalam Perjanjian Lama, kata nurani diwakili dengan kata hati, kata batin. Meskipun tidak ada
istilah khusus tetapi ungkapan-uangkapan tentang fakultas moral itu tersebar di mana-mana. Biasanya
hati nurani berperan setelah perbuatan dosa terjadi. Misalnya, Adam dan Hawa mengalami gejolak
hati nurani setelah mereka memakan buah dari pohon buah terlarang (Kej. 3:7-10); Kain juga
mengalami hal yang sama setelah membunuh Habel adiknya (Kej 4:9-14). Dan masih banyak lagi
contoh-contoh kisah-kisah yang mempunyai referensi mengenai bekerjanya hati nurani.

Perjanjian Baru khususnya dalam Injil, kata hati nurani juga tidak muncul. Tetapi konotasi
mengenai peran hati nurani dalam diri seseorang juga bisa ditemukan di banyak tempat. Misalnya:
Yesus mengatakan: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika
matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya
kegelapan itu” (Mat. 6:23). Kata hati nurani muncul sering sekali dalam tulisan-tulisan Santo Paulus.
Kata yang dipakai adalah syneidesis, suatu fungsi rohani yang bersifat reaksi spontan dan personal
yang muncul pada saat sebelum dan sesudah keputusan morl terjadi. Syneidesis mengandaikan betul
adanya kesadaran moral. Kerap kali Paulus menggambarkan hati nurani itu sebagai saksi dari setiap
perbuatan yang terjadi. Bagi orang Kristiani, keputusan moral yang keluar dari keputusan hgati nurani
mendapat terang dari iman. Kepada Timotius ia mengatakan: “Tujaun dari nasihat itu adalah kasih
yang timbul dari dalam hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas “(1
Tim. 1:5).

Karena dimensi religious yang sangat lekat dengan karakter hati nurani, hati nuarani juga
disebut sebagai suara Allah karena hati nurani menunjukkan kepada manusia apa yang baik dan apa
yang benar meskipun sangat besar kemungkinannya untuk terjadi bahwa suara hati itu menjadi tidak
jelas terdengar karena berbagai macam pengaruh informasi dan kebiasaan. Hati nurani sungguh
merupakan oragan batin yang dipakai untuk melihat dan mendengar.

Sebagai piranti moral (moral faculty), hati nurani bekerja sebelum keputusan untuk terjadinya
sebuah perbuatan terjadi. Pada level ini, hati nurani memberikan pertimabangan-pertimbangan yang
bisa menmbuat seseorang mengurungkan rencana perbuatannya atau meneruskannya. Kemudian
hati nurani bekerja pada saat tindakan sedang terjadi. Pada level ini, hati nurani mengingatkan jika
perbuatan itu tidak semestinya terjadi atau perbuatan itu benar-benar tepat untuk diteruskan.
Akhirnya, hati nurani juga tetap bekerja pada saat suatu tindakan sudah terjadi. Pada bagian ini, hati
nurani berperan memberikan pujian atau memberikan tuduhan-tuduhan yang menggelitik batin jika
memang sebenarnya individu yang bersangkutan bersikukuh untuk melakukan hal yang terang-terang
keliru atau bertentangan dengan prinsip hati nurani atau dalam pandangan keputusan hati nurani.

3.3. Akar komunal identitas moral

6
Telah dikatakan di atas bahwa hati nurani juga bisa mendapatkan pengaruh pengetahuan yang berasal
dari kebiasaan masyarakat tempat individu yang bersangkutan bertumbuh dan berkembang. Ini mau
mengatakan bahwa kepekaan hati nurani terhadap apa yang baik dan benar, apa yang jahat dan
bertentangan dengan kebenaran sangat mungkin dipenagaruhi oleh budaya setempat. Dengan kata
lain, keluarga dan masyarakat di mana pribadi itu bertumbuh mempunyai peran yang besar terhadap
perkembangan kepekaan moral individu yang bersangkutan. Misalnnya, di Cina, menuntut balas atau
balas dendam merupakan kehormatan dan hukumnya adalah wajib untuk melakukan pembalasan.
Singkat kata, hati nurani bisa sesat karena pengaruh lingkungan dan kurangnya wawasan. Tingkat
kedewasaan orang juga berpengaruh dalam hal kepastian hati nurani.

Komunitas religious atau komunitas Kristiani atau komunitas umat beriman yang sejati sejiwa
hidup dalam tuntunan iman yang sama, kerapkali mempunyai hati nurani bersama (communal
conscience). Kesamaan dalam hal kepekaaan moral menggariskan bahwa suatu komunitas bisa
mempunyai identitas moral yang sama. Rasa kebersamaan itu juga mengintensifkan tingkat kepekaan
orang terhadap hal-hal moral. Contoh, dalam kalangan komunitas Kristiani berkembang pemahaman
bahwa menjadi umat Allah berarti pembentukan identitas moral masing-masing pribadi sepenuhnya
bergantung pada kesetiaan anggota komunitas beriman terhadap iman yang menjadi identitas
komunitas. Karena itu, komunitas memegang peranan penting dalam pembinaan Nurani. Dalam hal
ini, kebiasaan mendengarkan sabda dan kebiasaan untuk mempercakapkan sabda juga berkontribusi
besar pada pembinaan hati nurani. Kebiasaan berdoa, tentu saja, juga berkontribusi dalam
pengasahan ketajaman nurani untuk menangkap suara Allah.

3.4. Realisasi nilai-nilai moral dalam actus humanus

Tidak semua tindakan manusia bisa mendapat penilaian moral. Maka dibedakanlah tindakan manusia
menjadi dua: pertama actus hominis, dan yang kedua, actus humanus. Yang dimaksudkan dengan
actus hominis adalah actus atau tindakan yang terjadi begitu saja karena realitas kemanusiaannya
sebagai makhluk badaniah, tidak ada intervensi dari intelek dan kehendak bebas dan muncul secara
spontan. Bernafas itu sudatu tindakan, tetapi tidak bisa dinilai secara moral; tidak bisa dikatakan
bahwa seseorang itu baik atau tidak baik karena ia bernafas. Begitu juga actus hominis lain seperti:
berdegupnya jantung, tiba-tiba otot-otot tidak berfungsi dengan baik, menelan makanan atau menguk
miduman, jonjot pencernaan, peredaran darah dalam tubuh dan lain sebagainya. Sedangkan actus
humanus adalah tindakan yang terjadi karena kodrat sebagai berjenis manusia. Yang membuat
manusia adalah manusia, terbedakan dari makhluk-makhluk lainnya ialah karena kemampuannya
berpikir, berkehendak dan kemampuannya dalam merasa. Actus humanus adalah semua jenis
tindakan manusiawi yang terjadi karena terlibatnya daya intelek atau daya pikir, daya kehendak dan
daya merasa. Jadi, syarat untuk terjadinya suatu tindakan manusiawi yakni si orangnya dalam keadaan
memang mengetahui apa perkara yang akan dikerjakan (intellectual constituent) dan memang
menghendaki perkara tersebut terjadi (volitive constituent). Jika orang melakukan sesuatu tindakan
tetapi aspek intelek dan kehendaknya terganggu, maka, tindakan yang terjadi dikategorikan sebagai
tindakan actus hominis, bukan actus humanus.

Letupan kemarahan bisa masuk actus humanus karena tindakan yang muncul sesungguhnya
diketahui dengan sempurna meskipun tidak tersepakati dengan sempurna (imperfect consent). Efek
dari perbuatan yang terjadi dan akibatnya juga harus masuk dalam pengetahuan si pelaku tindakan.

7
Misalnya membunuh dengan tujuan untuk memabalas dendam berbeda penilaian moranya dengan
membunuh karena perang, karena mempertahankan diri terhadap perampokan. Yang terakhir itu
akibatnya tidak direncanakan. Kasus lain: orang halus melakukan sesuatu yang dalam pertimbangan
manusiawi adalah jalan terbaik meskipun membawa efek jelek yang signifikan. Misalnya, berhadapan
dengan orang yang mengalami sakit yang pasti tidak bisa sembuh (terminally ill patient), orang
(keluarga) karena keadaan ekonomi apakah harus mengusulkan penghentian perawatan ataukah
tetap meneruskan perawatan, misalnya dengan akibat seluruh anggota keluarga kehilangan fasilitas
pendukung kehidupan.

Gangguan-gangguan untuk terjadinya actus humanus. Pertama, tidak cukupnya kondisi yang
dperlukan untuk terjadinya pengetahuan yang sempurna. Kondisi yang dimaksudkan yakni si orangnya
itu dalam keadaan ignorant. Ketidaktahuan (ignorance) adalah halangan untuk terpenuhinya
persyarakatan pengetahuan (knowledge) tentang suatu perkara yang membuat seseorang
menginginkan untuk merencanakan dan melakukan sesuatu. Kedua, Yang termasuk dalam kondisi
yang menghalangi terjadinya pengetahuan adalah gagasan dan keyakinan yang salah, praduga serta
kesalahan berpikir. Ketiga, Inattension atau keteledoran juga termasuk dalam kondisi penghalang
terjadinya kriteria sungguh-sungguh tahu dari actus humanus.

Gangguan-gangguan untuk terjadinya kehendak bebas antara lain: pertama, nafsu-nafsu yang
destruktif atau concupiscentia, artinya nafsu-nafsu yang dengan sendirinya membuat seseorang
memilih sesuatu yang tidak baik meskipun ia tahu bahwa halnya yang akan dikerjakan adalah jelek.
Kedua, kehendak bebas terhalangi jika si individu berada dalam keadaan ketakutan dan tertekan
karena keadaan sosial. Ketiga, kehendak bebas terganggu jika si pribadi yang bersangkutan dalam
situasi liar (violent) karena suatu sebab fisik ataupun mental. Keempat, habitus atau kebiasaan yang
sudah lekat dengan pribadi itu serta predisposisinya terhadap hal-hal baik atau buruk. Orang kadang-
kadang mengetahui yang baik tetapi kehendaknya lemah. Kehendak lemah ini disebut akrasia. Lantas
kita bertanya, kondisi apakah yang diperlukan dan harus dipertimbangkan agar suatu tindakan bisa
dinilai menurutprinsip-prinsip moralitas? Pertama, yang harus dilihat adalah objek dari perbuatan itu
sendiri, jelek atau baik adanya. Kedua, lingkungan atau hal-hal atau situasi apa saja yang membuat
terjadinya tindakan tersebut. Ketiga, tujuan akhir apa (finis operantis) yang dikehendaki oleh si pelaku.

3.5. Keutamaan-keutamaan moral dan keutamaan teologal

Kita sudah menyinggung soal habitus dan predisposisi seseorang terhadap hal baik atau buruk. Kita,
orang-orang Kristiani dimampukan oleh Roh Kudus untuk berada dalam disposisi memilih hal-hal yang
baik, luhur, suci dan mulia. Tanggapan intensif kita atas rahmat ilahi itu membuat kita mempunyai
habitus yang baik dan berdisposisi atau mempunyai kecenderungan untuk menurutkan dorongan-
dorongan baik itu. Hal rohani yang memudahkan kita memilih dan melakukan yang baik, benar, suci,
adil, luhur dan mulia, hal-hal yang berkenan kepada Allah disebut keutamaan (virtus). Keutamaan
Kristiani dibedakan menjadi dua: Keutamaan teologal dan keutamaan moral.

Keutamaan teologal artinya keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia agar
manusia lebih mudah melakukan tindakan-tindakan yang dikehendaki Allah. Ada tiga keutamaan
teologal: iman, harapan dan kasih. Keutamaan teologal biasa juga keutamaan yang dicurahkan (the
infused virtues) atau infusata virtus. Sedangkan keutamaan moral Kristiani meliputi lima keutamaan:

8
kerendahan hati (humility), keadilan (justice), Keberanian (fortitude), kebesaran hati atau jiwa besar
(magnanimity), dan ugahari atau batas (moderation). Lima keutamaan ini harus diusahakan, artinya
dikultivasikan, dibiasakan, menjadi predisposisi kita, dilakukan terus menerus agar menjadi bagian
dari habitus, atau kebiasaan yang melekat pada diri kita. Penulis lain meringkas keutamaan-
keutamaan yang diraih melalui usaha itu dalam empat: prudence (kemampuan untuk berpikir lengkap
dan membuat antisipasi tentang apa yang harus dipikirkan, direncanakan, dilakukan, dipersiapkan),
justice (keadilan), fortitude (keberanian), and temperance (moderation atau ugahari). Thomas
Aquinas mengusulkan lima juga: fraternal love (kasih persaudaraan), mercy (belas kasih), humility
(kerendahan hati), obedience (ketaatan), gratitude (rasa berterima kasih). Keutamaan-keutamaan ini
karena proses kejadiannya terjadi melalui upaya dan usaha maka disebut juga keutamaan yang diraih
atau aquisata virtus. Orang yang mempunyai keutamaan yang intensif, kuat dan berpengaruh akan
dijauhkan dari akrasia. Ia akan dengan mudah memilih dan menurutkan hal-hal baik, luhur, suci, mulia
dan berkenan kepada Allah. Pembinaan keutamaan menyatu dengan pembinaan hati nurani.
Pembinaan mesti menyangkut tiga perkara yang diperlukan untuk terjadinya keutamaan moral:
pengetahuan moral dan prudensia, rasa cinta akan nilai-nilai moral, dan penguasaan diri atas nafsu-
nafsu badani.

4. The morally bad action: sin

Konsep mengenai dosa sangat berkaitan dengan konsep kesalahan moral. Dosa selalu mencakup
kesalahan moral dan kesalahan moral mengandaikan terjadinya dosa. Keduanya ada bersama. Dosa
mengungkapkan kebenaran bahwa tindakan yang keliru itu secara moral pasti jahat dan merupakan
sebuah perlawanan melawan Allah. Dosa memang didefinisikan dalam Kitab suci sebagai bentuk
pelanggaran kepada hukum Allah.

Ada Tiga karakter atau dimensi dosa. Dosa selalu mempunyai dimensi personal, social dan
penolakan terhadap Allah. Setiap perbuatan selalu mengandung keputusan subyektif dan tujuan
subyektif. Karena itu tindakan dosa juga mempunyai karakter personal. Meskipun mempunyai
dimensi personal, mengingat bahwa tindakan kita selalu mengena pada orang lain maka sifat personal
dosa itu juga mempunyai dimensi sosial. Artinya, perbuatan dosa bisa mengenai atau melukai
kehidupan sosial, mengingat bahwa setiap individu adalah bagian utuh juga dari sebuah kebersamaan
sosial. Pada akhirnya tindakan melukai diri sendiri dengan dosa serta melukai kehidupan bersama
merupakan bentuk penolakan pada perintah Allah sendiri yang menghendaki supaya kita manusia
saling mengasihi satu sama lain. Dosa Adam dan Hawa yang melanggar perintah Allah sebenarnya
merupakan penolakan terhadap perkataan Allah, yang pada gilirannya adalah penolakan pada Allah
sendiri.

Dosa mempunyai tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkatan berat atau seriusnya perkara.


Ada yang disebut mortal sin, grave sin dan venial sin. Mortal sin artinya dosa yang mematikan, yakni
dosa yang terjadi karena keputusan moral yang keliru yang sifat kebradaannya sedemikian intensif
sehingga memberikan orientasi hidup yang benar-benar sesat pada keseluruhan kehidupan orang
tersebut. Grave sin artinya dosa berat, yakn ini dosa yang terjadi karena perkaranya berat, serius, dan
perkaranya sendiri dimaui serta diketahui dengan baik. Ada dua kriteria untuk sebuah dosa agar bisa
disebut dosa berat: pertama kriteria eksternal, yakni perkara yang dilanggar itu sudah berat dan jelas-
jelas tertulis sebagai yang berjenis berat. Kedua, Kriteria internal yakni jika akibat dari dosa itu secara

9
serius benar-benar membahayakan diri si orang yang bersangkutan sendiri. Venial sin atau dosa kecil
yakni dosa yang terjadi karena kesalahan keputusan moral, tetapi tidak menyangkut penyangkalan
pada tujuan sejati manusia, hanya bentuk inkonsistensi kecenderungan pribadinya. Meskipun ada
banyak jenis dosa, tradisi kristiani menyebutkan bahwa ada dosa-dosa pokok: kesombongan (pride or
vainglory), ketamakan (avarice, keinginan tak teratur akan barang-barang), iri hati (envy), nafsu (lust,
gratifikasi dorongan seksual), kerakusan (gluttony, ekses dalam mencari kenikmatan makanan dan
minuman), kemarahan (anger, lawannya kesabaran dan kelembutan hati), kemalasan (sloth, lawannya
sikap rajin).

5. Pertobatan moral

Dosa, peccatum, secara harafiah berarti terpisahkan. Dosa berakibat terpisahnya manusia dari
Kehidupan, dari Allah sendiri yang adalah Sang Kehidupan (Äkulah jalan, kebenaran dan hidup).
Keterpisahan bisa dipulihkan dan itu bukan suatu hal yang tidak mungkin sebab Allah sendiri tidak
menghendaki kematian para pendosa. Allah menghendaki keselamatan. Pengampunan akan
diberikan kepada yang bertobat dan meminta pengampunan. Allah pasti mengabulkan permohonan
pengampunan dari orang yang menyesali perbuatan dosa karena Allah itu Mahapengampun dan
meminta pengampunan adalah suatu hal yang baik. Disebut baik karena orang yang bertobat dengan
keutamaan kerendahan hati datang dan mohon pemulihan. Jadi, manusia membutuhkan pertobatan
jika tidak menginginkan keadaan terpisah dari Allah itu dilestarikan. Kitab Suci memuat banyak data
tentang adanya panggilan untuk bertobat. Bentuknya yakni kembali ke jalan yang dikehendaki Allah,
kembali hidup menurut Sabda Allah. Kembali hidup menurut perintah Allah, hidup menurut
kehendakNya. Jalan kepada pertobatan bisa dilakukan dengan cara: pengakuan dosa, perayaan
ekaristi, melakukan perbuatan karitas. Semangat dasar dari pertobatan ialah kembali melihat tujuan
terpenting manusia, kembali menyatu dalam kehidupan sosial, dan berbalik kepada Tuhan.

10

Anda mungkin juga menyukai