Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Perwujudan masyarakat bermoral dan taat hukum


Terciptanya kondisi masyarakat yang bermoral dan beretika sangat penting bagi
terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan
harmonis. Disamping itu kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas
daerah yang sesuai dengan nilai-nilai leluhur budaya daerah dan menciptakan iklim kondusif
dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara
positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai
landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlah mulia, memupuk etos kerja,
menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam
pembangunan. Disamping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan
kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi
antar kelompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh
toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Pembangunan dan pemantapan jati diri daerah ditunjukan untuk mewujudkan karakter
daerah dan sistem sosial yang berakhir unit modern dan unggul. Jati diri tersebut merupakan
kombinasi antar nilai luhur daerah seperti religius, kebersamaan dan persatuan dan nilai
modern yang universal seperti etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik.
Pembangunan jati diri daerah tersebut dilakukan melalui transformasi, revitalisasi, dan
reaktualisasi tata nilai budaya bangsa mempunyai potensi unggul dan menerapkan nilai
modern untuk pembangunan. Untuk memperkuat jati diri dan kebanggaan daerah,
Pembangunan olah raga diarahkan pada peningkatan budaya dan presentasi olah raga.
Budaya inovasi yang berorientasi iptek terus dikembangkan agar Kota Samarinda
menguasai iptek serta mampu berjaya diera persaingan global. Pengembangan budaya iptek
tersebut dilakukan dengan meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap iptek melalui
pengembangan budaya membaca dan menulis, masyarakat pembelajar, masyarakat yang
cerdas, kritis, dan kreatif dalam rangka pengembangan tradisi iptek, bersama dengan
pengarahan budaya konsumtif budaya produktif. Bentuk- bentuk pengungkapan kreatifitas
antara lain melalui kesenian, tetap didorong untuk mewujudkan keseimbangan aspek
material, spritual dan emosional. Pengembangan iptek serta kesenian diletakkan dalam
kerangka peningkatan harkat, martabat dan peradapan manusia.
1.      Masyarakat Bermoral
Seringkali kita mendengar kata “moral‟ diucapkan banyak orang seperti ungkapan,
amoral, moralitas bangsa, dasar tidak bermoral, anak tidak bermoral, moral bejat, tidak punya
moral, dasar tidak punya moral dan lain sebagainya. Kata moral seringkali diucapkan orang
dan biasanya kata-kata seperti itu akan sering muntah begitu saja jika dalam kondisi marah
dalam bentuk umpatan atau juga sering diucapkan dalam memberisuatu nasehat atau dakwah,
seperti seringkali di katakan oleh para ustad, para kyai maupun para pemimpin.
Pengertian Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke
manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang
tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai
positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh
manusia. Ciri manusia bermoral atau manusia tidak bermoral dapat dilihatdari pengertian dan
beberapa istilah terkait pengertian moral.
Ciri orang bermoral dan tidak bermoral adalah jika seseorang melakukan tindakan
sesuai dengan nilai rasa dan budaya yang berlaku ditengah masyarakat tersebut dan dapat
diterima dalam lingkungan kehidupan sesuai aturan yang berlaku maka orang tersebut dinilai
memiliki moral. Kata moral atau akhlak sering kali digunakan untuk menunjukkan pada suatu
perilaku baik atau buruk, sopan santun dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kehidupan pada
seseorang. Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan baik moral, etika, akhlak, budi
pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas yang baik yang
teraplikasi dalam perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari, baik sifat-sifat yang ada
dalam dirinya maupun dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Nilai baik
sekaligus ciri manusia bermoral sebagai makhluk individu dapat dilihat dengan adanya
perilaku seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung jawab dan lain-lain, maupun sebagai
makhluk sosial dalam hubungannya dengan masyarakat, seperti kejujuran, penghormatan
sesama manusia, tanggung jawab, kerukunan, kesetiakawanan, solidaritas sosial dan
sebagainya.

2.      Kesadaran Hukum


Disepakati bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu makluk yang selalu
berinteraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya.Dalam konteks hubungan dengan
sesama perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dalam berhubungan secara
harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut
diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan
tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau
diluar masyarakat.
Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa
tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang kepastian
hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dalam masyarakat, tujuan hukum yang utama
dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmaja (2002,hlm.3) mengatakan
“ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap
ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang
teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum yang merupakan fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya”. Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat ini, diperlukan adanya kepastiandalam pergaulan antar manusia dalam
masyarakat.
Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama,
kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah moral. Kaidah hukum sebagai salah satu
kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut,bahkan antara kaidah
hukum dengan kaidah lain saling berhubungan yang satu memperkuat yang lainnya,
meskipun ada kalanya kaidah hukum tidak sesuai atau tidak serasi dengan kaidah-kaidah
tersebut.
Dahlan Thaib (2001,hlm.3) mengatakan bahwa hukum itu merupakan hukum apabila
dikehendaki, diterima oleh kita sebagai anggotamasyarakat ; apabila kita juga betul-betul
berpikir, demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, dan terutama juga betul-
betul menjadi realitas hukum dalam kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dengan
demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kesadaran hukum pada hakikatnya berpangkal pada adanya suatu pengetahuan
tentang ketentuan hukum yang mengatur hidup dalam hidup bersama. Dari pengakuan
mengenai ketentuan hukum ini akan lahir suatu pengakuan dan penghargaan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum yang dimaksud, sehingga timbul penghayatan terhadap ketentuan
hokum tersebut. Kalau kondisi seperti ini telah terdapat pada suatu negara selaku pelaku
pendukung negara, maka terbinalah kesadaran hukum, yang berartipula ketertiban dan
kepastian hukum dalam kehidupan bersama tercipta.

B.     Problematika Nilai, Moral, dan Hukum


Hukum sebagai norma harus didasarkan pada nilai moral. Apa artinya Undang-
Undang jika tidak disertai moralitas. Norma moral adalah norma yang paling dasar. Norma
moral menentukan bagaimana kita menilai seseorang. Suatu hukum yang bertentangan
dengan norma moral kehilangan kekuatannya, demikian kata Thomas Aquinas. Secara ideal,
seharusnya manusia taat pada norma moral dan norma hukum yang tumbuh dan tercipta
dalam hidup sebagi upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. Namun
dalam kenyataannya terjadi berbagai pelanggaran, baik terhadap norma moral maupun norma
hukum. Pelanggaran norma moral merupakan suatu pelanggaran etik, sedangkan pelanggaran
terhadap norma hukum merupakan suatu pelanggaran hukum.
Hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat. Roscoe Pound mengutarakan
hukum adalah sebagai alat pembaruan dalam masyarakat dalam bukunya “An Introduction to
the Philosophy of Low” (1954). Dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja
disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia yaitu konsep ” Law as a tool of
sacial engineering” yang merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal Realism. Konsep
tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan filsafat
budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal.
Hukum adalah “sarana” pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas jangkauannya
dan ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang
digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi
antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan pembaruan sebagaimana
mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk sesuai dengan inti aliran Sociological
Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
atau (dapat dikatakan pencerminan narma-norma dalam masyarakat), guna pembaruan serta
menguban sikap mental masyarakat tradisional kea rah modern. Sebagai contoh keharusan
pembuatan sertifikat tanah dan lain sebagainya.

1.      Pelanggaran Etik


Kebutuhan akan norma etik di oleh manusia diwujudkan dengan membuat
serangkaian norma etik untuk suatu kegiatan atau profesi. Kodeetik profesi berisi ketentuan-
ketentuan normatif etik yang seharusnya dilakukan oleh anggota profesi. Kode etik profesi
dibutuhkan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi,
masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian. Meskipun
telah memiliki kode etik, masih terjadi pelanggaran terhadap profesi. Contohnya: Dokter
melanggar kode etik kedokteran. Pelanggaran terhadap kode etik tidak diberikan sanksi
lahiriah ataupun yang bersifat memaksa. Pelanggaran etik biasanya mendapat sanksi etik
berupa rasa menyesal, bersalah, dan malu. Bila seorang profesi melanggar kode etik
profesinya ia akan mendapatkan sanksi etik darilembaga profesi, seperti teguran, dicabut
keanggotaannya, atau tidak diperbolehkan lagi menjalani profesi tersebut.

2.      Pelanggaran Hukum


Problema hukum yang berlaku dewasa ini adalah masih rendahnya kesadaran hukum
masyarakat. Akibatnya banyak terjadi pelanggaran hukum. Bahkan, pada hal-hal kecil yang
sesungguhnya tidak perlu terjadi. Misalnya, secara sengaja tidak membawa SIM dengan
sengaja dengan alasan hanya untuk sementara waktu.
Pelanggaran hukum dalam arti sempit berarti pelanggaran terhadap perundang-
undangan negara. Sanksi atas pelanggaran hukum adalah sanksi pidana dari negara yang
bersifat lahiriah dan memaksa masyarakat secara resmi (negara) berhak memberi sanksi bagi
warga negara yang melanggar hukum. Bila dicermati, ada beberapa hal yang menyebabkan
lemahnya penegakan hukum pertama kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah.
Kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah dapat berefek pada pengambilan jalan pintas
dalam menyelesaikan persoalan masing-masing. masyarakat yang tidak mengerti akan
hukum, berpotensi besar dalam melakukan pelanggaran terhadap hukum.
Dalam hukum, dikenal dengan adanya fiksi hukum artinya semua dianggap mengerti
akan hukum. Seseorang tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan akan perbuatannya
dengan alasan bahwa ia tidak mengerti hukum atau suatu peraturan perundang-undangan.
Jadi dalam hal ini sudah sewajarnya bagi setiap individu untuk mengetahui hukum.
Sedangkan bagi aparatur hukum atau elemen lain yang concern pada supremasi hukum sudah
seharusnya memberikan kesadaran hukum bagi tiap individu.
Kedua adalah ketaatan terhadap hukum. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang
budaya egoisme dari individu muncul. Ada saja orang yang melanggar hukum dengan bangga
malah menceritakan perbuatannya kepada orang lain. Misalnya pelanggaran terhadap lalu
lintas. Oleh pelakunya menganggap itu hal yang biasa-biasa saja, bahkan dengan bersikap
bangga diri ia menceritakan kembali kepada orang lain perbuatan yang telah dilakukannya.
Hal semacam ini telah mereduksi nilai-nilai kebenaran, sehingga menjadi suatu kebudayaan
yang sebenarnya salah.
Ketiga adalah perilaku aparatur hukum. Perilaku aparatur hokum baik dengan sengaja
ataupun tidak juga telah mempengaruhi dalam penegakan hukum. Misalnya aparat kepolisian
yang dalam menangani suatu kasus dugaan tindak pidana, tidak jarang dalam kenyataannya
juga langsung memvonis seseorang telah bersalah. Hal ini dapat dilihat denga perilaku aparat
yang dengan “ringan tangan” terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana. Perilaku-
perilaku semacam ini justru bukan mendidik seseorang untuk menghormati akan hokum. Ia
menghormati hukum hanya karena takut pada polisi.
Keempat adalah faktor penegak hukum. Seseorang yang melakukan tindak pidana
namun ia selalu bisa lolos dari jeratan pemidanaan, akan berpotensi bagi orang yang lain
untuk melakukan hal yang sama. Korupsi yang banyak dilakukan namun banyak pelaku yang
lepas dari jeratan hukum berpotensi mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Adanya mafia peradilan telah mempengaruhi semakin bobroknya penegakan hukum di negeri
kita. Aparatur hukum yang sedianya diandalkan untuk menjunjung tinggi supremasi hukun
justru melakukan pelanggaran hukun. Sebagai akibatnya masyarakat pesimis terhadap
penegakan hukum. Seharusnya penegak hukum mampu menegakkan hukum seadil-adilnya.
Tidak ada lagi diskriminasi terhadap si miskin sehingga terciptalah keadilan. Permasalahan
hukum di Indonesia dapat di minimalisasi melalui proses pendidikan yang diberikan kepada
masyarakat, diharapkan wawasan pemikiran mereka pun semakin meningkat sehingga
mempunyai kemampuan untuk memikirkan banyak alternatif dalam usaha memecahkan
masalah hukum dan tidak melakukan pelanggaran hukum.

            Contoh pelanggaran hukum : Kecurangan saat pemilu, kasus Bank Century,dan lain-
lain Baru-baru ini kita juga di kagetkan lagi dengan berita ; Sebanyak 341 narapidana perkara
korupsi mendapat remisi, Sebelas koruptor langsung menghirup udara bebas, ironisnya lagi
salah satu dari penerima Remisi tersebut adalah besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Aulia Pohan. Bukankah setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum (equality before
the law). Seharusnya kita memandang Hukum adalah sebagai bagian dari cara kita hidup,
bukan sebagai cara mempertahankan kekuasaan semata.
Tapi,lihatlah sebaliknya sungguh Miris memang Kisah nenek Minah, yang hanya
dengan mengambil beberapa buah kakao, seorang nenek tua harus dihukum atas perbuatan
yang sudah dia sesali. Kalau kita membandingkan kisah si nenek dengan kisah para koruptor
kelas kakap yang kasus hukumnya diputus bebas. Banyak sekali Diskriminasi hukum
menimpa kaum miskin.
Seharusnya para penegak hukum mampu menegakkan hukum seadil-adilnya,tidak ada
lagi diskrimanan terhadap si miskin sehingga terciptalah keadilan.
Permasalahan  hukum di dindonesia dapat diminimalisasi  melalui proses pendidikan
yang diberikan kepada masyarakat,diharapkan wawasan pemikiran mereka pun semakin
meningkat sehingga mempunyai kemampuan untuk memikirkan banyak alternatif dalam
usaha memecahkan masalah  hukum dan tidak melakukan pelanggaran hukum.

Anda mungkin juga menyukai