Anda di halaman 1dari 10

ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA

D
I
S
U
S
U
N

Oleh :

1. ELVI MARLINDA
2. RAHMI ALFINA

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)

BINA BANGSA MEULABOH (BBM)

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan menciptakan


kebaikan, kebenaran, keadilan, dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk
berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan
kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan
hidupnya dengan menciptakan kebudayaan.Di samping itu, manusia mampu
menciptakan, memperbaharui, memperbaiki, mengembangkan dan
meningkatkan sesuatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia. Tetapi,
banyak juga manusia yang tidak memiliki etika dan estetika dalam berbudaya
serta tidak memanusiakan manusia. Melalui makalah ini, kami akan membahas
mengenai etika dan estetika berbudaya, memanusiakan manusia
dan problematika kebudayaan.

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui etika dan estetika dalam berbudaya.


2.Mengetahui cara memanusiakan manusia
3. Mengetahui problematika kebudayaan
BAB II
PEMBAHASAN

A. ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA

Secara historis perkembangan zaman boleh saja mengalami perubahan yang


dahsyat namun, peran kesenian tidak akan pernah berubah dalam tatanan
kehidupan manusia. Sebab, melalui media kesenian, makna harkat menjadi citra
manusia berbudaya semakin jelas dan nyata.
Bagi manusia Indonesia telanjur memiliki meterai sebagai bangsa
yang berbudaya. Semua itu dikarenakan kekayaan dari keragaman kesenian
daerah dari Sabang sampai Merauke yang tidak banyak dimiliki bangsa lain.
Namun, dalam sekejap, pandangan terhadap bangsa kita menjadi ”aneh” di mata
dunia. Apalagi dengan mencuatnya berbagai peristiwa kerusuhan, dan terjadinya
pelanggaran HAM yang menonjol makin memojokkan nilai-nilai kemanusiaan
dalam potret kepribadian bangsa. Padahal, secara substansial bangsa kita dikenal
sangat ramah, sopan, santun dan sangat menghargai perbedaan sebagai aset
kekayaan dalam dinamika hidup keseharian. Transparansi potret perilaku ini
adalah cermin yang tak bisa disangkal. Bahkan, relung kehidupan terhadap nilai-
nilai etika, moral dan budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun,
kenyataannya kini semuanya telah tercerabut dan ”nyaris” terlupakan. Barangkali
ada benarnya, dalam potret kehidupan bangsa yang amburadul ini, kita masih
memiliki wadah BKKNI (Badan Koordinasi Kebudayaan Nasional Indonesia)
yang mengubah haluan dalam transformasi sosial, menjadi BKKI (Badan Kerja
sama Kesenian Indonesia) pada Februari lalu. Barangkali dengan baju dan bendera
baru ini, H. Soeparmo yang terpilih sebagai ”bidannya” dapat membawa reformasi
struktural dan sekaligus dapat memobilisasi aktivitas kesenian sebagaimana
kebutuhan bangsa kita. Sebab, salah satu tugas dalam peran berkesenian adalah
membawa kemerdekaan dan kebebasan kreativitas bagi umat manusia sebagai
dasar utama.

1. Etika Manusia dalam Berbudaya

Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika
adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap perbuatan,
kewajiban dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores
dalam bahasa latin), akhlak atau kesusilaan. Etika berkaitan dengan masalah
nilai, karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang
berkaitan dengan predikat nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk
perbuatan manusia.

Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan ada tiga jenis
makna etika sebagai berikut :
a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.

b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini adalah
kode etik)

c. Etika dalam arti ilmu ajaran tentang yang baik dan yang buruk.

Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna etika
yang pertama. Nilai-nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan
manusia. Nilai etik diwujudkan ke dalam norma etik, norma moral, atau norma
kesusilaan.

Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut


kehidupan pribadi. Penduduk norma etik adalah nurani, individu dan bukan
manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang
terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan
mencegah kegelisahan diri sendiri.

Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan


akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia
melakukan perbuatan jahat. Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagainya
tidak hanya dilarang oleh norma kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi
dirasakan juga sebagai bertentangan dengan (norma) kesusilaan dalam setiap
hati nurani manusia. Norma etik hanya membebani manusia dengan kewajiban-
kewajiban saja.

Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom
dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin
manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar
norma kesusilaan dengan sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik,
misalnya pencurian atau penipuan, maka timbullah dalam nurani si pelanggar
itu rasa penyasalan, rasa malu, takut dan merasa bersalah.
Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi oleh
ideology masyarakat pendukungnya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang moral,
asusila, atau tidak etis. Pandangan ini bisa diterima oleh orang mana saja atau universal.
Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat penganut kebebasan
kemungkinan bukan perilaku yang amoral. Etika masyarakat Timur mungkin berbeda
dengan etika masyarakat Barat.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku. Dengan
norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku
yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk berperilaku baik. Manusia
yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma-norma etik.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia yang
beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia yang
beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula.
Etika berbudaya menganut tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan
manusia mengandung budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia. Manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai
etik pula. Nilai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima
sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai-nilai etik adalah budaya yang
mampu menjaga, mempertahankan,bahkan mampu meningkatkan harkat dan martabat
manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya tidak beretika adalah kebudayaan yang akan
merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia itu
memenuhi nilai-nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika adalah bergantung
pada paham atau ideologi yang meyakini masyarakat pendukung kebudayaan. Hal ini
dikarenakan berlakunya nilai-nilai etik bersifat universal, namun sangat dipengaruhi
oleh ideologi masyarakat.
Contohnya, budaya perilaku berduaan di jalan antara sepasang pemuda pemudi,bahkan
bermesraan di hadapan umum. Masyarakat individual menyatakan hal demikian
bukanlah perilaku tidak etis, akan tetapi ada sebagian orang atau masyarakat yang
berpandangan hal tersebut merupakan penyimpangan etik.
2. Estetika Manusia Dalam Berbudaya

Estetika dapat dikatakan sebagai teori keindahan atau seni. Estetika berkaitan
dengan nilai indah – jelek (tidak indah). Nilai estetika berarti nilai tentang
keindahan. Keindahan dapat diberi makna secara luas, secara sempit, dan
estetik murni.

a) Secara luas, keindahan mengandung ide kebaikan. Bahwa segala sesuatu


yang baik termasuk yang abstrak maupun yang nyata yang mengandung ide
kebaikan adalah indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak hal,
seperti watak yang indah, hukum yang indah,ilmu yang indah dan kebijakan
yang indah. Indah dalam arti luas mencakup hampir seluruh yang ada,
apakah merupakan hasil seni, alam, moral dan intelektual.

b) Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan
(bentuk dan warna ).

c) Secara estetik murni, menyangkut pengalaman seseorang dalam hubungan


dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan, pendengaran,
perabaan dan perasaan yang semuanya dapat menimbulkan
persepsi(anggapan).

Jika estetika dibandingkan dengan etik, maka etika berkaitan dengan nilai
tentang baik buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang baik-jelek.
Sesuatu yang estetika berarti memenuhi bentuk keindahan (secara estetik murni
maupun sempit, baik dalam bentuk kata, warna , garis ataupun nada). Budaya
yang estetik berarti budaya itu meliputi keindahan.

Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa diterima banyak
orang, namun nilai estetik sangat subjektif dan partikular. Sesuatu yang indah
bagi seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Misalnya dua orang
memandang sebuah lukisan. Orang pertama akan mengakui akan keindahan
dalam lukisan tersebut, namun bisa jadi orang kedua tidak menemukan
keindahan dalam lukisan tersebut.

Oleh karena itu subjektif, nilai estetik tidak boleh dipaksakan pada orang lain.
Kita bisa memaksa seseorang untuk mengakui sebuah keindahan lukisan
sebagai pandangan kita. Nilai estetik lebih bersifat kepada perasaan ,bukan
pernyataan.
Budaya merupakan hasil karya manusia sesungguhnya diupayakan untuk
memenuhi unsur keindahan. Manusia sendiri memang suka dengan keindahan.
Disinilah masyarakat berusaha berestetika dalam berbudaya sebudaya pasti
dipandang memiliki nilai-nilai estetik bagi masyarakat pendukung budaya
tersebut. Hal-hal yang indah dan kesukaannya pada keindahan diwujudkan
dengan menciptakan aneka ragam budaya.

Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang dipandang indah oleh
masyarakat pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya lain.
Contohnya, budaya, suku-suku bangsa Indonesia. Tarian suatu suku berikut
penari dan pakaiannya mungkin dilihat tidak ada nilai estetikanya , bahkan
dipandang aneh oleh masyarakat suku lain, demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, estetika berbudaya tidak semata-mata dalam berbudaya harus
memenuhi nilai-nilai keindahan. Lebih dari itu, estetika berbudaya menyiratkan
perlunya manusia (individu atau masyarakat) untuk menghargai keindahan
budaya yang dihasilkan manusia lainnya. Keindahan adalah subjektif, tetapi
kita dapat melepaskan subjektivitas kita untuk melihat adanya estetika dari
budaya lain.

Estetika berbudaya yang demikian akan mampu memecah sekat-sekat


kebekuan, ketidakpercayaan, kecurigaan, dan rasa enferioritas antar budaya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Budaya pastinya memiliki nilai, dalam hal ini etika. Etika pada umumnya
membahas pandangan atau nilai yang bersifat tata-krama, kesopanan, gotong-
royong, cara, dan lainnya yang masih berhubungan dengan fisik, juga bersifat
realistis, dan secara kasat mata terlihat. Budaya yang mengandung nilai etika
ini memang sengaja dilestarikan sebab, mungkin telah diprediksikan
sebelumnya, nilai “kemanusiaan” yang wajar akan lumpuh dimasa mendatang,
seperti halnya pergeseran nilai yang telah terjadi saat ini.
Estetika atau pandangan nilai indah yang berasal dari objek (manusia) kepada
subjek (budaya) yang ada. Estetika tidak berbeda jauh dari etika. Namun dalam
hal estetika, nilai berasal dari pemberi nilai baik melalui mata, hati maupun
pikirannya, bukan nilai yang berasal dari ‘paksaan’ orang lain.
Pandangan nilai yang tidak bisa dipaksakan inilah yang ingin dijadikan sebuah
pandangan atas berbagai macam bentuk budaya yang ada di dunia. Yang mana
yang cocok dengan dirinya, yang mana baik dipandang dalam lingkungannya,
yang mana berguna agar dapat dijadikan contoh dengan tetap menjaga
keberlangsungan budaya selama dunia ini masih tercipta.
Baik etika maupun estetika adalah unsur yang harus ada dalam pelestariannya.
Terwujudnya budaya yang tanpa dasar etika dan estetika patutlah dipertanyakan
seperti mengapa budaya tersebut harus muncul dan apa manfaat budaya
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.


Cohen, 1964. Social Work and Social Problem. New York: Penerbit NSW.
Herimanto, dkk.2008.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakarta Timur: PT Bumi Aksara.
Salim, Asbar.2014. Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya
Nurochim, dkk. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Prenadamedia Group

Anda mungkin juga menyukai