Anda di halaman 1dari 16

KEGIATAN BELAJAR 2 :

TRANSAKSI MODERN

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Capaian pembelajaran yang diharapkan pada meteri ini adalah: menguasai pola
pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan perspektif tawassuth,
tawazun, dan tasamuh, yang berkategori advance materials secara bermakna
yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi), dan
“bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.

SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

1.1. Memahami hukum muamalat dan transaksi berbasis tenologi dan elektrik
atau online
1.2. Mengakomodir ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Pendidikan agama
Islam

POKOK-POKOK MATERI

1. Pengertian Transaksi Modern


2. Jenis-jenis transaksi Modern; transaksi online, dan nikah onlie
3. Kloning

1
A. Pengertian Transaksi Modern
Pengertian transaksi adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dan
dapat menimbulkan perubahan terhadap harta atau keuangan, baik itu
bertambah maupun berkurang. Contoh dari melakukan transaksi di antaranya
ketika membeli barang, menjual barang, berhutang, memberi hutang, dan
membayar berbagai kebutuhan hidup. Dahulu, kegiatan transaksi dilakukan
dengan tatap muka (face to face), namun pada era modern ini transaksi tidak
mengharuskan dua atau lebih orang yang bertransaksi untuk bertemu. Hal ini juga
yang menjadi ciri dari kegiatan transaksi modern yaitu transaksi yang dilakukan
secara online. Transaksi online adalah transaksi yang dilakukan penjual dan
pembeli secara online melalui media internet, tidak ada perjumpaan langsung
antara pembeli dan penjual.
Era digital, perkembangan transaksi serba online; jual bei secara online seperti
Lazada, Shopee, Bukalapak, dan lain-ain. Trasportasi online seperti Grab, Gojek,
dan lain-lain, e-tall, e-ticket, dan lain-lain, segala langkah masyarakat dihadang
serba e- termasuk perkembanagn transaksi perekomonian dan perdagangan.

B. Jenis-jenis Transaksi Modern


1. Jual Beli Online
Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna
memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya
sistem penukaran barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan
mengharuskan kehadiran antara penjual dan pembeli di satu tempat dengan
adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan kabul). Namun dengan
kemudahan fasilitas dan semakin canggihnya teknologi, proses jual beli yang
tadinya mengharuskan cara manual biasa saja dilakukan via internet.
Jual-beli merupakan salah satu kegiatan sosial di masyarakat, baik di desa
maupun kota. Transaksi jual-beli hampir setiap waktu dapat kita jumpai.
Pertanyaannya, dengan perkembangan zaman yang memungkinkan kita

2
bertransaksi lewat internet, bagaimana hukum jual beli online menurut Islam?
Apakah transaksi online memenuhi syarat ijab kabul yang ditentuka ndalam Islam?
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda (barang)atau jasa yang
mempunyai nilai, atas dasar kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara’. Yang dimaksud
dengan ketentuan syara’ adalah jual beli tersebut dilakukan sesuai dengan
persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal lain yang ada kaitannya dengan jual
beli.1 Adapun rukun jual beli, ada empat, yaitu: 1) adanya pembeli; 2) adanya
penjual; 3) adanya barang; dan 4) adanya shighah atau ijab-qabul.
Dengan demikian jual beli online adalah suatu aktivitas antara penjual dan
pembeli yang melakukan transaksi jual beli tidak dilakukan secara bertatap muka
langsung untuk bertemu dalam melakukan negosiasi. Kedua belah pihak
melakukan transaksi jual beli dengan cara komunikasi online, seperti chat di HP,
komputer, telepon, sms, dan sebagainya. Dan biasanya ketika akan melaksanakan
transaksi antara penjual dan pembeli memerlukan pihak ketiga, seperti jasa
pengiriman barang (kurir) yang dijual maupun dibeli, seperti pos, JNE, SiCepat, dan
lain sebagainya, sehingga sesuatu yang dibeli dapat diterima oleh pembeli.
Berdasarkan pengertian jual beli online, bagaimana antara penjual dan
pembeli melaksanakan proses shighah (ijab-qabul). Menurut kitab Fathul Mu’in,
ijab dan qabul dalam transaksi ekonomi adalah:
‫ والقبول هو ما دل علي التملُك كذالك‬،‫االيجاب هو ما دل على التم ِليك داللة ظاهرة‬
“Ijab adalah bukti yang menunjukan atas penyerahan dengan bukti yang jelas
(dapat dipertanggungjawabkan), sedangkan kabul adalah bukti yang
menunjukan atas penerimaan”2
Adapun pandangan mayoritas mazhab Syafi’i menyarankan agar barang yang
akan dijualbelikan harus terlihat terlebih dahulu secara kasat mata. Namun, ini

1
Desy Safira dan Alif Ilham Akbar Fatriansyah, “Bisnis Jual Beli Online dalam Perspektif Islam”,
AL YASINI: Jurnal Hasil Kajian dan Penelitian dalam bidang Keislaman dan Pendidikan, Vol. 5 No. 1
Mei 2020), hlm. 59.
2
Zainuddin Ibn Abdul Aziz, Fathul Mu’in, Alih Bahasa Moch. Anwar, Kitab Terjemah Fathul
Mu’in, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).

3
merupakan bentuk ihtiyath (kehati-hatian) agar tidak terjadi penipuan
sebagaimana hadis Nabi Rasulullah Saw.:

ِ‫ع ْن بَيْع‬ َ ‫ع ْن بَيْعِ ْال َح‬


َ ‫صاةِ َو‬ ُ ‫ع ْن أ َ ِبى ُه َري َْرة َ قَا َل نَ َهى َر‬
‫سو ُل ه‬
َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ّٰللا‬ َ
.‫ْالغ ََر ِر‬
“Rasulullah melarang jual beli dengan lemparan batu dan penipuan” (HR
Muslim)
Berdasarkan kebiasaan, sebelum transaksi pembeli biasanya telah
melihat mabi’ (barang yang dijual) dan telah dijelaskan sifat dan jenis barang
tersebut (salam) serta memenuhi syarat dan rukun jual beli yang lainnya oleh
penjual melalui situs online yang dimiliknya.3 Dalam konteks ini, jual beli salam di
mana harga/uangnya didahulukan, sedangkan barangnya diserahkan kemudian
dapat dinyatakan pula pembiayaan di mana pembeli diharuskan untuk membayar
sejumlah uang tertentu untuk pengiriman barang. Atau dalam kata lain
pembayaran dalam transaksi salam dilakukan dimuka. Menurut Mardani4
dikatakan salam karena ia menyerahkan uangnya terlebih dahulu sebelum
menerima barang dagangannya. Seperti dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah [2]:
282:
ٰٓ
َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن ا ِٰلى ا َ َج ٍل ُّم‬
... ُ‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْو ُۗه‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 282)
Selain itu, bila sudah cocok atas barang yang dideskripsikan oleh penjual,
pembeli mentransfer biaya yang ditentukan penjual, dan menunjukkan struk
pembelian. Setelah itu, penjual melakukan proses pembelian. Bila praktik jual
beli online seperti ini sudah dilakukan dan tidak ada yang dirugikan, maka hokum
jual beli online menjadi sah. Hal tersebut sebagaimana difatwakan oleh Syekh
Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri dalam karyanya syarah al-Yaqut an-Nafis:

3
Desy Safira dan Alif Ilham Akbar Fatriansyah, “Bisnis Jual Beli Online dalam Perspektif Islam”,
AL YASINI: Jurnal Hasil Kajian dan Penelitian dalam bidang Keislaman dan Pendidikan, Vol. 5 No. 1
Mei 2020), hlm. 61.
4
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 113.

4
‫والعبرة فى العقود لمعانيها ال لصور االلفاظ وعن البيع و الشراء بواسطة التيلفون والتلكس‬
‫والبرقيات كل هذه الوسائل وامثلها معتمد اليوم وعليها العمل‬

Yang dipandang dalam transaksi adalah kontennya bukan bentuk lafalnya.


Transaksi jual beli dengan menggunakan alat informasi seperti telephon, fax dan
telegram yang digunakan sekarang boleh dipakai

2. Nikah Online
Pernikahan dalam Islam memiliki beberapa rukun dan syarat. Rukun dan
syarat nikah memengaruhi sah atau tidaknya pernikahan menurut Islam. Rukun
nikah yang disepakati oleh mayoritas ulama terdiri dari lima rukun; ada mempelai
pria, ada mempelai wanita, ada wali nikah, adanya dua orang saksi, dan ada ijab
kabul. Seiring majunya teknologi, ada beberapa rukun nikah yang dilaksanakan
secara jarak jauh dengan bantuan teknologi. Beberapa yang kerap ditemui adalah
mempelai laki-laki mengucapkan qabul di tempat yang jauh dari mempelai wanita,
wali, dan dua saksi. Fasilitas telepon atau video call dipakai untuk mengucapkan
akad nikah jarak jauh. Lalu, apakah akad nikah seperti ini diperbolehkan?.
Nikah online adalah suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab qabulnya
dilakukan melalui keadaan konektivitas (terhubung) dengan suatu jaringan atau
sistem internet (online), dengan demikian antara mempelai laki-laki dengan
perempuan, wali dan saksi itu tidak saling bertemu dan berkumpul dalam satu
tempat. Dengan demikian yang membedakan antara nikah online dengan nikah
seperti biasanya adalah antara pihak mempelai, saksi dan wali tidak berada dalam
satu tempat (ittihad al-majelis). Artinya pihak mempelai, saksi dan wali
menggunakan media teknologi dalam melakukan aktivitasnya, seperti video
teleconference, seperti Zoom, Google Meet dan lain sebagainya di layar televisi
atau proyektor.
Ulama fikih berpendapat jika ijab dan qabul dipandang sah apabila telah
memenuhi beberapa persyaratan. Ijab qabul sendiri memiliki empat syarat yang
harus diperhatikan:

5
a. ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
b. Kesesuaian antara ijab dan kabul. Misalnya wali mengatakan, "Saya nikahkan
anda dengan putri saya A...", kemudian calon suami menjawab, "Saya terima
nikahnya B...", maka nikahnya tidak sah, karena antara ijab dan kabul tidak
sesuai.
c. Yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali ijabnya sebelum kabul
dari calon suami.
d. Berlaku seketika. Maksudnya, nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang
akan datang. Jika wali mengatakan, "Saya nikahkan anda dengan putri saya
besok atau besok lusa," maka ijab dan kabul seperti ini tidak sah.5
Pengertian ijab dan qabul dalam satu majelis ini tidak semua ulama sepakat
soal penjelasannya. Ada yang mengartikan harus dalam satu tempat, ada pula
yang mengartikan tak harus dalam satu tempat. Imam Syafi'i lebih cenderung
memandangnya dalam arti fisik. Wali dan calon suami harus berada dalam satu
ruangan sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar
kedua pihak saling mendengar dan memahami secara jelas ijab dan qabul yang
mereka ucapkan. Sehingga ijab dan qabul benar-benar sejalan dan bersambung.6
Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi juga harus melihat secara langsung dua
orang yang berakad. Dua orang saksi tidak cukup hanya mendengar ucapan ijab
dan qabul yang diucapkan oleh mereka. Kepastian itu diperoleh saksi melalui
penglihatan dan pendengaran yang sempurna. Meskipun keabsahan suatu ucapan
atau perkataan dapat dipastikan dengan pendengaran yang jelas, namun
kepastian itu harus diperoleh dengan melihat secara langsung wali dan calon
suami.
Apabila wali berteriak keras mengucapkan ijab dari satu tempat, kemudian
disambut oleh qabul calon suami dengan suara keras pula dari tempat lain, dan

5
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terjm. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta:
Gema Insani, 2011).
6
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah, (Jakarta: kenana, 2010), hlm. 3-8.

6
masing-masing pihak saling mendengar ucapan yang lain, maka akad nikah seperti
itu tidak sah. Karena, kedua saksi tidak dapat melihat dua orang yang melakukan
ijab dan kabul dalam satu ruangan. Dengan demikian, menurut imam Syafi'i, akad
nikah jarak jauh melalui telepon tidak dapat dipandang sah karena syarat tersebut
di atas tidak terpenuhi. Sementara pendapat berbeda diungkapkan Majelis Tarjih
PP Muhammadiyah dalam kumpulan fatwanya. Menurut Majelis Tarjih, yang
dimaksud dengan ijab qabul dilakukan dalam satu majelis adalah ijab dan qabul
terjadi dalam satu waktu. Yang lebih dipentingkan adalah kesinambungan waktu
bukan tempat.
Terlepas dari semua itu, menurut Farid bahwa pernikahan online tersebut
akan memiliki dampak secara hukum positif yang ada di Indonesia, seperti
pencatatan nikah. Sebab perundang-undangan mewajibkan bahwa segala bentuk
pernikahan yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya harus tercatat oleh
negara.7

3. Kloning
Kata kloning ini berasal dari kata clon, kata dalam bahasa Yunani yang berarti
tangkai. Clon, adalah suatu populasi sel atau organisme yang terbentuk melalui
pembelahan yang berulang (aseksual) dari satu sel. Sedangkan kloning berasal dari
bahasa Inggris, cloning adalah suatu usaha untuk menciptakan duplikat suatu
organisme melalui proses yang aseksual.8 Istilah kloning ini pertama kali muncul
dari usulan Herbert Webber pada tahun 1903 dalam mengistilahkan sekelompok
individu makhluk hidup yang dilahirkan dari satu induk tanpa proses seksual.
Secara definisi dan pengertian, cloning adalah suatu upaya tindakan untuk
memproduksi atau menggandakan sejumlah individu yang hasilnya secara genetik

7
Miftah Farid, “Nikah Online dalam Perspektif Hukum”, Jurisprudentie, Volume 5, Nomor 1,
(Juni 2018), hlm. 183-184.
8
Soetandyo Wignjosoebroto, “Kloning: Kemungkinan Teknis dan Implikasi Permasalahan
Sosial-Etisnya,” dalam Aziz Mushofa dan Imam Musbikin, Kloning Manusia Abad XXI: Antara
Harapan, Tantangan dan Pertentangan (Yogyakarta: Forum Studi HIMANDA dan Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 16.

7
sama persis (identik) berasal dari induk yang sama, mempunyai susunan (jumlah
dan gen) yang sama. Sedangkan kloning adalah sejumlah organisme hewan
maupun tumbuhan yang terbentuk melalui hasil reproduksi seksual dan berasal
dari satu induk yang sama. Setiap bagian dari klon tersebut memiliki susunan dan
jumlah gen yang sama dan kemungkinan besar fenotipnya juga akan sama.
Permasalahan kloning merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam
kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama.
Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah
kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari
ayat berikut:
‫غي ِْر ُمخَلَّقَ ٍة ِلنُ َبيِنَ لَ ُك ْم‬
َ ‫ضغَ ٍة ُمخَلَّقَ ٍة َو‬
ْ ‫علَقَ ٍة ث ُ َّم ِم ْن ُم‬ ْ ُ‫ب ث ُ َّم ِم ْن ن‬
َ ‫طفَ ٍة ث ُ َّم ِم ْن‬ ٍ ‫فَإِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ت ُ َرا‬
… ‫َونُ ِق ُّر ِفي اْأل َ ْر َح ِام َما نَشَا ُء‬
“… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada
kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (Q.S. al-
Hajj [22]: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa
ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia
mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan
hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan
atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi
ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada Allah Swt
sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-
Qur’an bahwa Allah Swt telah menciptakan Nabi Adam as. tanpa ayah dan ibu, dan
Nabi Isa as. tanpa ayah, sebagai berikut:

ٍ ‫ّٰللاِ َك َمث َ ِل ٰادَ َم ُۗ َخلَقَهٗ ِم ْن ت ُ َرا‬


٩٥ ‫ب ث ُ َّم قَا َل لَهٗ ُك ْن فَيَ ُك ْو ُن‬ ‫ا َِّن َمث َ َل ِعيْسٰ ى ِع ْندَ ه‬

8
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti
(penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata
kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu” (Q.S. Ali Imran [3]: 59)

Pada surat yang sama juga dikemukakan bahwa


ٰۤ
‫سى اب ُْن َم ْر َي َم َو ِج ْي اها فِى‬ َ ‫ش ُِر ِك ِب َك ِل َم ٍة ِم ْن ُۖهُ ا ْس ُمهُ ْال َم ِس ْي ُح ِع ْي‬ ‫ت ْال َم ٰل ِٕى َكةُ ٰي َم ْر َي ُم ا َِّن ه‬
ِ ‫ّٰللاَ يُ َب‬ ِ َ‫اِ ْذ قَال‬
‫ت‬ْ َ‫ قَال‬٥٤ َ‫ص ِل ِحيْن‬ ‫اس فِى ْال َم ْه ِد َو َك ْه اًل َّو ِمنَ ال ه‬ َۙ
َ َّ‫ َويُ َك ِلِ ُم الن‬٥٩ َ‫اال ِخ َر ِة َو ِمنَ ْال ُمقَ َّربِيْن‬ ٰ ْ ‫الدُّ ْن َيا َو‬
ٰۤ
ٰٓ ٰ َ‫ّٰللاُ َي ْخلُ ُق َما َيشَا ُء ُۗاِذَا ق‬
‫ضى ا َ ْم ارا فَ ِانَّ َما‬ ‫س ْس ِن ْي َبش ٌَر ُۗ قَا َل َك ٰذ ِل ِك ه‬ َ ‫َربِ ِ اَنهى َي ُك ْو ُن ِل ْي َولَدٌ َّولَ ْم َي ْم‬
٥٤ ‫َيقُ ْو ُل لَهٗ ُك ْن فَ َي ُك ْو ُن‬
“(45) (Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam!
Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang
sebuah kalimat (fir-man) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih
Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk
orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), (46) dan dia berbicara dengan
manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk
di antara orang-orang saleh.” (47) Dia (Maryam) berkata, “Ya Tuhanku,
bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang
laki-laki pun yang menyentuhku?” Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah Allah
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan
sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu”
(Q.S. Ali Imran [3]: 45-47)

Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala
sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan
sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah
menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada
kasus penciptaan Adam as. dan Isa as. Jika kloning manusia benar-benar menjadi
kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah Swt. Semua itu, jika manipulasi
bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi
keimanan kita kepada Allah Swt. sebagai Pencipta, karena bahan-bahan utama
yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda
ciptaan Allah Swt.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan
bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-

9
anak yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen
genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi
mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa
replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri
dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi
keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar
(nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang waris yang
didasarkan pada pertalian darah.
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz
Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan
mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau
mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia,
menantang Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya
dan hukum.
M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga
berpendapat teknik kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan
institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-
laki untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari
sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya yang dapat hidup).
Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut
masalah hak waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil
kloning hanya mempunyai DNA dari donor nucleus saja, sehingga
walaupun nukleus berasal dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada dalam
tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada
hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram
menikah dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya hasil kloning
juga). Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa
kelakuan abnormal seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan
kelainan kromosan. Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh

10
oleh single parent, barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi
donor nukleus bukan dari suami dan yang mengandung bukan ibunya.
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan
alasan sebagai berikut:
a. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami
agama.
b. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu
c. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum
ia ketahui (lihat Q.S. al-‘Alaq [96]).
d. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin
Allah (lihat pada Q.S. al-Baqarah [2]: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa
penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah
juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya.
Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-
prinsip yang diajarkan dalam Islam.9
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan
ataupun membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan
kemudharatan di dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut10:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih
bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi
kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis
atau sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang
mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika
tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari

9
Irmawati Carolina, “Inseminasi Buatan dalam Kajian dan Aturan Hukum Islam”, Seminar
Nasional Inovasi dan Teknologi (SNIT) 2012, hlm. 18.
10
Sudjana, “Aspek Hukum Penggunaan Deoxyribonucleic Acid (DNA) pada Proses Kloning
Embrio Manusia”, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2015, 6(3), hlm. 152.

11
teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun
tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.
Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan Doktrin
Agama, pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan,
budayawan dan agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena
yang berbeda misi dan orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan
melupakan atau menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan
membuat orang “tertipu” dan “kecewa”. Dari situ barangkali perlu dipikirkan
format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan
memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika
seseorang ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak
memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan
agama menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka
kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai,
maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan
dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan bencana.
Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan
agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek
terlihat pertentangannya.
Untuk menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan
manfaat terapeutik dari kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a
vis mudharat dari praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka
manfaat dan mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia
dalam menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan
membuat tulang, lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok

12
dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah
kecantikan. Sekedar melakukan riset kloning manusia dalam rangka
menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri penyakit yang hingga kini
dianggap tidak dapat disembuhkan adalah boleh, bahkan dapat
dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini karena ada sebuah hadits
yang menyebutkan: “Untuk setiap penyakit ada obatnya”. Namun, perlu
ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada
janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi
mengandung penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.
b. Infertilitas. Kloning manusia memang dapat memecahkan problem
ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E.
Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277
kali percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “Dolly”. Kloning
manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada
eksperimen awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan
hidup akan terjadi banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari
sekian banyak embrio yang dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya
ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga embrio-embrio lainnya akan
dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan menimbulkan problem serius,
karena menurut syari’at pengancuran embrio adalah sebuah kejahatan. Selain
itu, teknologi kloning melanggar sunnatullah dalam proses normal penciptaan
manusia, yaitu bereproduksi tanpa pasangan seks, dan hal ini akan
meruntuhkan institusi perkawinan. Produksi manusia-manusia kloning juga
sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak negatif pada hukum
waris Islam (al-mirâts).
c. Organ-organ untuk transplantasi. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia
dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan
tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak
dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk

13
mengambil manfaat dari manusia hasil kloning ini dipandang sebagai
kejahatan oleh hukum Islam, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap
hidup manusia Namun, jika penumbuhan kembali organ tubuh manusia
benar-benar dapat dilakukan, maka syari’at tidak dapat menolak pelaksanaan
prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali organ yang hilang dari
tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja di pertambangan
atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul pertanyaan
mengenai kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang
dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.
d. Menghambat Proses Penuaan. Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat
menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning.
Namun hal ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa
berikut: orang-orang Badui datang kepada Nabi Saw, dan berkata: “Hai
Rasulallah, haruskah kita mengobati diri kita sendiri? Nabi Saw menjawab:
“Ya, wahai hamba-hamba Allah, kalian harus mengobati (diri kalian sendiri)
karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa
menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit”. Mereka bertanya: “Apa
itu?” Nabi Saw menjawab: “Penuaan”.
e. Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-
belikan embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam
ini dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
seseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.
Sebuah hadits menyatakan: “Di antara orang-orang yang akan dimintai
pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia
merdeka dan memakan hasilnya”.11
Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi
kloning manusia jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya,

11
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press; 2002), hlm. 45.

14
dan karenanya umat Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari
kloning manusia.

15
Daftar Pustaka
Aziz, Zainuddin Ibn Abdul, Fathul Mu’in, Alih Bahasa Moch. Anwar, Kitab Terjemah
Fathul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terjm. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
Jakarta: Gema Insani, 2011.
Carolina, Irmawati, “Inseminasi Buatan dalam Kajian dan Aturan Hukum Islam”,
Seminar Nasional Inovasi dan Teknologi (SNIT) 2012.
Farid, Miftah, “Nikah Online dalam Perspektif Hukum”, Jurisprudentie, Volume 5,
Nomor 1, Juni 2018.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2013.
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press; 2002.
Safira, Desy, dan Fatriansyah, Alif Ilham Akbar, “Bisnis Jual Beli Online dalam
Perspektif Islam”, AL YASINI: Jurnal Hasil Kajian dan Penelitian dalam bidang
Keislaman dan Pendidikan, Vol. 5 No. 1 Mei 2020.
Sudjana, “Aspek Hukum Penggunaan Deoxyribonucleic Acid (DNA) pada Proses
Kloning Embrio Manusia”, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November
2015, 6(3).
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Kloning: Kemungkinan Teknis dan Implikasi
Permasalahan Sosial-Etisnya,” dalam Aziz Mushofa dan Imam Musbikin,
Kloning Manusia Abad XXI: Antara Harapan, Tantangan dan Pertentangan,
Yogyakarta: Forum Studi HIMANDA dan Pustaka Pelajar, 2001.
Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah, Jakarta: kenana, 2010.

16

Anda mungkin juga menyukai