Anda di halaman 1dari 4

Term of Reference

REKONSTRUKSI “NUSANTARANOMICS” BERBASIS


DIGITAL SEBAGAI MODEL ALTERNATIF EKONOMI
POLITIK & PEMBANGUNAN INDONESIA
Pendahuluan
Latar Belakang
Problem kemiskinan yang tidak pernah tuntas di negeri ini meskipun beragam kebijakan telah
digulirkan untuk mengatasinya. Padahal semenjak Indonesia merdeka visi negara kita adalah
hendak menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Sejarah perjalanan bangsa ini untuk
mencapai visi itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Problemnya amat beragam dan
kompleks sehingga membutuhkan pendekatan yang bersifat eklektik/heterodoks. Suatu
pendekatan yang menyempal dari pemikiran pembangunan yang berbasiskan teori-teori besar
kapitalisme maupun sosialisme. Pasalnya, persoalan di setiap daerah dan komunitas
masyarakat di Nusantara ini berbeda-beda. Aneka ragam hal mempengaruhinya diantaranya:
sumberdaya alam, kondisi sosial ekonomi, budaya, entitas politik, etnografi hingga ekologi
manusianya. Namun, keragaman masyarakat Nusantara ini bukan jadi halangan untuk tetap
hidup berdampingan dan bergandengan tangan secara damai dalam segala aspek kehidupan.

Cara hidup yang berkebudayaan ini bukan lahir begitu saja melainkan memiliki akar filosofi
yang kuat dari sudut pandang hakikat manusia Indonesia dan paham gotong
royong/kekeluargaan yang hidup semenjak nenek moyang kita menghuni kepulauan Nusantara
ini. Paham gotonng royong/kekeluargaan ini tak hanya diwujudkan dalam pergaulan sosial
(modal sosial), melainkan juga dalam aktivitas usaha ekonomi, perdagangan dan bisnis yang
dikenal sebagai kewirausahaan sosial khas Indonesia yang hidup dalam etnik Nusantara dan
berkembang pesat hingga lahirnya negara Indonesia.

Seorang paka ekonomi etnik, Mobasher (2002) menyatakan bahwa wirausaha sosial khas
Indonesia lebih menekankan pada dimensi aktivitas kewirausahaan berbasiskan kebiasaan etnik
(ethnic based entrepreneurial activities). Kelompok etnik berasal dari berbagai daerah di
Indonesia yang bermigrasi ke kota-kota besar juga ikut membawa dan mengembangkan ciri
khas aktivitas ekonominya. Dengan demikian mereka itu dianggap sebagai bagian dari aktivitas
ekonomi etnik tersebut. Contohnya, etnik Minangkabau dengan warung Padangnya, etnik Jawa
dengan warung Tegalnya, bisnis besi tua orang Madura dan batik dari Jawa Tengah, Solo hingga
Yogyakarta.

Pakar ekonomi etnik, Light and Gold (2000) mendefinisikan kewirausahaan sosial khas
Indonesia basis-basis ekonomi milik kelompok etnik, sekaligus sebagai sumber daya ekonomi
yang dimaknai berada dalam kendali etnik tersebut. Ida (2014) mengategorikan ekonomi etnik
di Indonesia: pertama, kegiatan ekonomi suku-suku penghuni awal (asli) dari suatu daerah,
yang dimiliki dan/atau diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Berbagai
aktivitas ekonomi dalam sektor pertanian dan perikanan umumnya berlangsung secara
subsisten. Aktivitas yang dilakukan yaitu kebiasaan berburu binatang untuk dikonsumsi secara
terbatas, maupun diperdagangkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Contohnya kongritnya
yaitu berburu paus secara adat di daerah Lamalera di Nusa Tenggara Timur (NTT), meskipun
ini bersifat adat dan tidak diperdagangkan.

1
Kedua, produk (kreasi) budaya. Produk ini ini dikembangkan orang-orang dari suatu etnik
berbentuk kerajinan tangan yang termasuk bagian kreasi budaya. Kreasi budaya ini merupakan
wujud dari kewirausahaan beridentitas khusus dan berperan juga sebagai sumber nafkah
keluarga. Contohnya, batik di Jawa dan kain tenun di berbagai daerah.

Ketiga, sumber daya alam yang ada dalam komunitas etnik. Berbagai etnik di negeri ini
mendiami daerah/wilayahnya secara turun-temurun dengan sumber daya yang khas. Oleh
karena itu mereka mestinya diposisikan sebagai pemilik otentik sumber daya alam tersebut
yang juga melekat dalam kehidupan kesehariannya.

Kewirausahaan sosial khas Indonesia yang berbasiskan ekonomi etnik tersebut eksis hingga
kini karena pertama meminjam pemikiran Cruz-Saco (2010) adalah kuatnya solidaritas
intergenerasi (intergenerational solidarity). Wirausaha sosial model Indonesia bukan sekedar
sebagai suatu bentuk bisnis sosial. Melainkan, juga sebagai modal sosial yang diwariskan secara
turun-temurun karena dalam implementasinya mengedepankan paham kekeluargaan. Sebab,
hakikatnya manusia Indonesia bukan sekedar mahluk individu melainkan juga sebagai mahluk
sosial. Artinya, bisnis sosial yang dibangun dalam solidaritas etnik merupakan perwujudan dari
paham kekeluargaan dan hakikat manusia Indonesia.

Kedua, sejalan dengan pemikiran Ziegler (2009) yakni kuatnya jiwa kewirausahaan social
(social entrepreneurship). Jiwa kewirausahaan sosial yang berbasis etnik karena diwariskan
secara turun temurun. Contohnya suku Bugis Makassar yang terkenal sebagai saudagar
memiliki jiwa tersebut.

Ketiga, wirausaha sosial berbasis etnik merupakan kekuatan ekonomi etnik yang amat
dipengaruhi informasi nilai-nilai budaya dalam menopang aktivitas ekonominya (cultural
informed economics) (Jackson, 2009). Mengapa hal ini bisa terjadi? Nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya masing-masing etnik seperti paham martilinier dan budaya
merantau dalam masyarakat Minangkabau amat mempengaruhi aktivitas ekonomi. Sulit bagi
seorang pemuda Minang akan memiliki materi yang berkecukupan jika tidak merantau. Sebab,
dalam struktur penguasaan aset dalam sistem warisan lebih banyak dikuasai perempuan. Inilah
yang memotivasi mengapa jiwa wirausaha sosial etnik Minangkabau amat kuat.

Keempat, adanya hubungan patron-client egaliter, khususnya yang berkembang dalam


masyarakat Buton di wilayah Indonesia bagian timur. Suatu pola hubungan patron-client yang
dilandasi lima modal yaitu spiritual, agama, budaya, finansial, dan sosial (Malik, 2013).
Hubungan patron client egaliter inilah menyebabkan komunitas etnik Gu Lakudo di Sulawesi
Tenggara dapat mengembangkan jiwa wirausaha sosial dan bisnisnya hingga di wilayah
Indonesia bagian timur terutama di Maluku dan Papua. Dalam kasus ini, peranan seorang tokoh
kunci menjadi penting. Tokoh kunci ini tidak hanya sebagai patron yang mendorong client
membangun bisnis/usaha ekonominya tapi tidak sekedar mengakumulasi kapital. Melainkan,
juga sebagai motivator dan teladan dalam membangun ekonomi etnik dalam wadah institusi
ekonomi berbasis Mesjid. Pola serupa pun pernah ditemukan Lenggono (2012) di Delta
Mahakam dalam kasus bisnis udang yang didominasi etnik Bugis.

Jika dicermati secara substansial, pola-pola wirausaha sosial khas Indonesia ini sesungguhnya
merupakan manifestasi dari Sistem Ekonomi Pancasila pada tataran aksi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Mochtar Naim dkk (1987) dalam sebuah bukunya berjudul “Jurus Manajemen
Indonesia. Sistem Pengelolaan Restoran Minang sebuah Prototipe Sistem
Ekonomi Pancasila” yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia. Buku mengulas secara tuntas

2
prototype Warung/Restoran Padang sebagai model khas praktik Sistem Ekonomi Pancasila
yang sekaligus sebagai model kewirausahaan sosial Indonesia berbasiskan etnik.

Kewirausahaan sosial etnik Nusantara yang berbasiskan modal sosial dan modal ekonomi ini
merupakan salah satu model pengembangan ekonomi alternatif yang melekat pada komunitas
etnik itu sendiri (embedded). Hal ini sejalan dengan pemikiran Healy (2009) yang menyatakan
bahwa: (i) ekonomi alternatif merupakan proses produksi, pertukaran, tenaga
kerja/kompensasi, keuangan, dan konsumsi yang berbeda dari kegiatan ekonomi arus utama
(kapitalis); dan (ii) ekonomi alternatif merepresentsikan ruang sosial yang beragam/heterogen
dan proliferatif (memperbanyak bentuk yang sama). Dalam pandangan Prof. Didin Damanhuri
(2010), model ekonomi alternatif berbasiskan etnik Nusantara ini adalah salah satu model
pendekatan heterodoks dalam pembangunan ekonomi yang harus didorong di Indonesia.
Bahkan Prof. Didin telah mengkonsolidasikan dan membimbing berbagai riset mahasiswa S1,
S2 dan S3 yang mengkhususkan pada ekonomi etnik Nusantara ini di IPB Bogor melalui
pendekatan ekonomi politik.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berbasis digital telah memengaruhi dan
mendisrupsi semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, ekonomi berbasis etnik Nusantara ini
harus mampu beradaptasi dengan kemajuan tersebut. Hal ini penting agar menjadi salah satu
basis pengembangan kewirausahaan sosial berbasiskan aktivitas ekonomi, produk kreasi
budaya dan sumberdaya alam berbasiskan etnik di Nusantara ini.

Di latar belakangi pemikiran di atas, Lembaga Kajian Ekonomi Nusantara (LKEN) dan
Komunitas Angkringan Bentara Rakyat (AKAR) akan menyelenggarakan diskusi tentang
masalah ini dengan topik utamanya adalah: Rekonstruksi “Nusantaranomics” Berbasis
Digital sebagai Model Alternatif Ekonomi Politik dan Pembangunan Indonesia .

Tujuan

Tujuan dari diskusi ini:


1. Menjadikan “Nusantaranomics” Berbasis Digital sebagai Model Alternatif Ekonomi
Politik dan Pembangun Indonesia
2. Mentransformasikan Model-Model Ekonomi Etnik Nusantara berbasiskan
Sumberdaya dan Budaya sebagai bangunan epistemologi Nusantaranomics.

Output

Output dari setiap sesi diskusi Komunitas AKAR ini adalah akan dibuat ringkasan
diskusinya dan dipublikasikan di media Sosial Facebook. Selain itu, juga akan
dipublikasikan dalam Youtube komunitas AKAR. Output utamanya, adalah jika sudah
mencapai 25-30 sesi diskusi akan dipublikasikan dalam bentuk buku: ebook yang di-
ISBN-kan.

Direncanakan juga dalam perkembangan komunitas AKAR ini akan membuat website
dan semua output diskusi dalam bentuk ringkasan diskusi, video dan aplikasi akan
dipublikasikan di website berbahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Diharapkan dengan
bentuk ini akan memberikan pencerahan publik secara nasional dan global serta
membangun jaringan kerjasama.

3
Topik dan Pemateri:

1. Rekonstruksi “Nusantaranomics” sebagai Model Alternatif Ekonomi Politik dan


Pembangunan Indonesia Berbasis Digital. (Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Guru
Besar FEM-IPB). Pemateri Utama
2. Mentransformasikan “Nusantaranomics” di Daerah Berbasiskan Komoditas
Etnik/Lokal di Sulawesi Tenggara (Dr. Sukanto Toding Alu, Kepala Litbang Provinsi
Sulawesi Tenggara)
3. Praksis “Nusantaranomics” Berbasis “Kopi” dan Budaya sebagai Rule Model
Kewirausahaan Sosial Indonesia (Tejo Pramono, Pemilik Rumah Kopi Ranin)
4. Pembelajaran dan Praksis Model Ekonomi Nusantara Etnik Bugis (Dr. Setia P.
Lenggono)
5. Pembelajaran dan Praksis Model Ekonomi Nusantara Etnik Madura (Auhadillah
Azizy, Lembaga Kajian Ekonomi Nusantara/LKEN, Inisiator AKAR)
6. Pembelajaran dan Praksis Model Ekonomi Nusantara Etnik Minangkabau (Prima
Gandhi/Dosen ESL-FEM-IPB)

Moderator: Pirli Ramdani (Alumni FEM IPB salah satu penulis Buku Riset Ekonomi
Politik, Korupsi, Perburuan Rente, Ketimpangan dan Kelembagaan Ekonomi:
Editor:Prof. Didin S. Damanhuri dan Prima Gandhi)

Waktu dan Pelaksana Kegiatan

Diskusi sesi-4 ini akan dilaksanakan pada tanggal 2 April 2021 jam 15.00-17.00 WIB
secara daring menggunakan aplikasi Zoom.

Penutup
Demikian TOR ini dibuat sebagai acuan dalam pelaksanaan diskusi ini

Anda mungkin juga menyukai