Anda di halaman 1dari 15

A.

Glukosa Darah

1. Definisi Glukosa

Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai
sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain
di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa
susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan (Murray et al., 2003).

2. Kadar glukosa darah

Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalam darah. Konsentrasi
gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula
darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat
setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum orang makan
(Henriksen et al., 2009).

Ada beberapa tipe pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan gula darah puasa mengukur kadar glukosa
darah selepas tidak makan setidaknya 8 jam. Pemeriksaan gula darah postprandial 2 jam mengukur
kadar glukosa darah tepat selepas 2 jam makan. Pemeriksaan gula darah ad random mengukur kadar
glukosa darah tanpa mengambil kira waktu makan terakhir (Henriksen et al., 2009).

B. Metabolisme glukosa

Semua sel dengan tiada hentinya mendapat glukosa ; tubuh mempertahankan kadar glukosa dalam
darah yang konstan, yaitu sekitar 80-100 mg/dl bagi dewasa dan 80-90 mg/dl bagi anak, walaupun
pasokan makanan dan kebutuhan jaringan berubah-ubah sewaktu kita tidur, makan, dan bekerja
(Cranmer et al., 2009). Proses ini disebut homeostasis glukosa. Kadar glukosa yang rendah, yaitu
hipoglikemia dicegah dengan pelepasan glukosa dari simpanan glikogen hati yang besar melalui jalur
glikogenolisis dan sintesis glukosa dari laktat, gliserol, dan asam amino di hati melalui jalur
glukonoegenesis dan melalui pelepasan asam lemak dari simpanan jaringan adiposa apabila pasokan
glukosa tidak mencukupi. Kadar glukosa darah yang tinggi yaitu hiperglikemia dicegah oleh perubahan
glukosa menjadi glikogen dan perubahan glukosa menjadi triasilgliserol di jaringan adiposa.
Keseimbangan antar jaringan dalam menggunakan dan menyimpan glukosa selama puasa dan makan
terutama dilakukan melalui kerja hormon homeostasis metabolik yaitu insulin dan glukagon ( Ferry,
2008).

1. Metabolisme glukosa di hati

Jaringan pertama yang dilewati melalui vena hepatika adalah hati. Di dalam hati, glukosa dioksidasi
dalam jalur-jalur yang menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi segera sel-sel hati dan
sisanya diubah menjadi glikogen dan triasilgliserol. Insulin meningkatkan penyerapan dan penggunaan
glukosa sebagai bahan bakar, dan penyimpanannya sebagai glikogen serta triasilgliserol. Simpanan
glikogen dalam hati bisa mencapai maksimum sekitar 200-300 g setelah makan makanan yang
mengandung karbohidrat. Sewaktu simpanan glikogen mulai penuh, glukosa akan mulai diubah oleh hati
menjadi triasilgliserol (Marks et al., 2000).

2. Metabolisme glukosa di jaringan lain

Glukosa dari usus, yang tidak dimobilisis oleh hati, akan mengalir dalam darah menuju ke jaringan
perifer. Glukosa akan dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air. Banyak jaringan misalnya otot
menyimpan glukosa dalam jumlah kecil dalam bentuk glikogen (Raghavan et al., 2009).

3. Metabolisme glukosa di otak dan jaringan saraf

Otak dan jaringan saraf sangat bergantung kepada glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi. Jaringan
saraf mengoksidasi glukosa menjadi karbon dioksida dan air sehingga dihasilkan ATP. Apabila glukosa
turun di ambang di bawah normal, kepala akan merasa pusing dan kepala terasa ringan. Pada keadaan
normal, otak dan susunan saraf memerlukan sekitar 150 g glukosa setiap hari (Aswani, 2010).

4. Metabolisme glukosa di sel darah merah

Sel darah merah hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar. Ini karena sel darah merah
tidak memiliki mitokondria, tempat berlangsungnya sebagian besar reaksi oksidasi bahan seperti asam
lemak dan bahan bakar lain. Sel darah merah memperoleh energi melalui proses glikolisis yaitu
pengubahan glukosa menjadi piruvat. Piruvat akan dibebaskan ke dalam darah secara langsung atau
diubah menjadi laktat kemudian dilepaskan. Sel darah merah tidak dapat bertahan hidup tanpa glukosa.
Tanpa sel darah merah, sebagian besar jaringan tubuh akan menderita kekurangan energi karena
jaringan memerlukan oksigen agar dapat sempurna mengubah bahan bakar menjadi CO2 dan H2O
(Aswani, 2010).

5. Metabolisme glukosa di otot

Otot rangka yang sedang bekerja menggunakan glukosa dari darah atau dari simpanan glikogennya
sendiri, untuk diubah menjadi laktat melalui glikosis atau menjadi CO2 dan H2O. Setelah makan, glukosa
digunakan oleh otot untuk memulihkan simpanan glikogen yang berkurang selama otot bekerja melalui
proses yang dirangsang oleh insulin. Otot yang sedang bekerja juga menggunakan bahan bakar lain dari
darah, misalnya asam-asam lemak (Raghavan et al., 2009).

6. Metabolisme glukosa di jaringan adiposa

Insulin merangsang penyaluran glukosa ke dalam sel-sel adiposa. Glukosa dioksidasi menjadi energi oleh
adiposit. Selain itu, glukosa digunakan sebagai sumber untuk membentuk gugus gliserol pada
triasilgliserol yang disimpan di jaringan adiposa (Bell, 2001).

C. Glikogen

1. Pembentukan glikogen
Sintesis glikogen berawal dengan fosforilasi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat oleh heksokinase atau, di
hati, glukokinase. Glukosa 6-fosfat diubah menjadi glukosa 1-fosfat oleh fosfoglukomutase, suatu reaksi
yang reversibel. Sintesis glikogen memerlukan pembentukan ikatan α-1,4–glikosidat untuk menyatukan
residu-residu glikosil dalam suatu rantai yang panjang. Sebagian besar sintesis glikogen berlangsung
melalui pemanjangan rantai polisakarida molekul glikogen yang sudah ada di mana ujung pereduksi
glikogen melekat ke protein glikogenin (Raghavan et al., 2009). Ditambahkan residu glukosil dari UDP-
glukosa ke ujung nonpereduksi pada rantai oleh glikogen sintase untuk memperpanjang rantai glikogen.
Karbon anomerik masing-masing residu glukosil diikatkan ke hidroksil pada karbon 4 residu glukosil
terminal melalui ikatan α-1,4. Setelah panjang rantai mencapai 11 residu, potongan yang terdiri dari 6-8
residu yang diputuskan oleh amino-4: 6-transferase dan dilekatkan kembali ke sebuah unit glukosil
melalui ikatan α-1,6 (Marks et al., 2000).

Kedua rantai terus memanjang sampai cukup panjang untuk menghasilkan dua cabang baru. Proses ini
berlanjut sehingga dihasilkan molekul yang bercabang lebat. Glikogen sintase melepaskan residu glukosil
dalam ikatan 1, 4, merupakan pengatur langkah dalam jalur ini. Sintesis molekul primer glikogen baru
juga terjadi. Glikogenin, protein tempat melekatnya glikogen, melakukan glikolisasi diri sendiri
(autoglikolisasi) dengan melepaskan sebuah residu glukosil ke OH pada residu serin. Penambahan
glukosil dilanjut sampai rantai glukosil cukup panjang untuk berfungsi sebagai substrat untuk glikogen
sintase (Marks et al., 2000).

2. Penguraian glikogen

Glikogen diuraikan oleh dua enzim, glikogen fosforilase dan enzim pemutus cabang. Enzim glikogen
fosforilase mulai bekerja di ujung rantai dan secara berturut-turut memutuskan residu glukosil dengan
menambahkan fosfat ke ikatan glikosidat terminal, sehingga terjadi pelepasan glukosa 1-fosfat. Enzim
pemutus cabang mengkatalis pengeluaran 4 residu yang terletak paling dekat dengan titik cabang
kerana rantai cabang. Enzim pemutus cabang memiliki dua aktivitas katalitik yaitu bekerja sebagai 4:4
transferase dan 1:6 glukosidase. Sebagai 4:4 transferase, mula-mula mengeluarkan sebuah unit yang
mengandung 3 residu glukosa, dan menambahkan ke ujung rantai yang lebih panjang melaui ikatan α-
1,4. Satu residu glukosil yang tersisa di cabang 1,6 dihidrolisis amilo 1,6-glukosidase dari enzim pemutus
cabang, yang menghasilkan glukosa bebas. Dengan demikian, terjadi pembebasan satu glukosa dan
sekitar 7-9 residu glukosa 1-fosfat untuk setiap titik cabang (Aswani, 2010). Pengaturan sintesis glikogen
di jaringan yang berbeda bersesuaian dengan fungsi glikogen di masing-masing jaringan. Glikogen hati
berfungsi terutama sebagai penyokong glukosa darah dalam keadaan puasa atau saat kebutuhan sangat
meningkat. Jalur penguraian serta sintesis glikogen diatur oleh perubahan rasio insulin/glikogen, kadar
glukosa darah, epnefrin sebagai respon terhadap olahraga, hipoglikemia, situasi stres, dan apabila
terjadi peningkatan kebutuhan yang segera akan glukosa darah (Aswani, 2010).

3. Metabolisme glikogen hati

Glikogen hati disintesis apabila makan makanan mengandung karbohidrat saat kadar glukosa meningkat,
dan diuraikan saat kadar glukosa darah menurun. Sewaktu makan makanan mengandung karbohidrat,
kadar glukosa darah segera meningkat, kadar insulin meningkat, dan kadar glukagon menurun. Ini
menghambat penguraian glikogen dan merangsang sintesis glikogen. Simpanan segera glukosa darah
sebagai glikogen membantu membawa kadar glukosa darah ke rentang normal bagi anak 80-90 mg/dl
dan normal dewasa 80-100 mg/dl (Murray et al., 2003). Setelah senggang waktu tertentu, kadar insulin
akan menurun dan kadar glukagon meningkat, glikogen hati dengan cepat diuraikan menjadi glukosa,
kemudian dibebaskan ke dalam darah. Sebagian glikogen hati diuraikan beberapa jam setelah makan.
Oleh karena itu, simpanan glikogen hati merupakan bentuk simpanan glukosa yang mengalami
pembentukan dan penguraian dengan cepat dan responsif terhadap perubahan kadar glukosa darah
yang kecil dan cepat (Bell, 2001).

D. Glikolisis

Glikolisis berlaku di hati menghasilkan piruvat untuk berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis asam
lemak serta sumber ATP. Pengaturan glikolisis berlangsung melalui kerja insulin dan glukagon.
Glukokinase adalah enzim hati yang diinduksi oleh insulin yang berfungsi melakukan fosforilasi glukosa.
Enzim ini paling aktif selepas makan, saat kadar glukosa di vena porta hepatis tinggi.Glikolisis diaktifkan
oleh fruktosa 2,6-bifosfat yang meningkat ketika kadar insulin dalam darah meningkat dan kadar
glukagon dalam darah menurun. Fruktosa 2,6-bifosfat dihasilkan dalam jaringan oleh enzim
fosfofruktokinase-2/fruktose 2,6-bifosfatase yaitu sejenis enzim bifungsional (King, 2010).

Setelah makan, rasio insulin/glukagon akan meninggi, enzim mengalami defosforilasi, aktivitas
fosfofruktokinase meningkat, enzim ini mensintesis fruktosa 2,6 bifosfat dari fruktosa 6-fosfat dan ATP.
Fosfofruktokinase-1 diaktifkan di mana enzim ini berfungsi meningkat kecepatan glikolisis. Pengaktifan
fosforuktokinase -1 oleh fruktosa 2,6-bifosfat dan AMP bersifat sinergistik. Glikolisis menghasilkan
karbon untuk sintesis asam lemak, juga menghasilkan ATP untuk menjalankan proses tersebut. Sewaktu
rasio insulin/glukagon rendah, enzim mengalami fosforilasi oleh protein kinase A meningkatkan aktivitas
fosfatase dan menghambat aktivitas kinase enzim bifungsional ini, dan fruktosa 2,6 bifosfat diubah
kembali menjadi fruktosa 6-fosfat dan turut menghasilkan fosfat inorganik (King, 2010).

Glikolisis juga diatur oleh kerja insulin dan glukagon di langkah yang dikatalisis oleh piruvat kinase.
Setelah makan makanan tinggi karbohidrat, kadar insulin yang tinggi dan kadar glukagon yang rendah
menurunkan aktivitas protein kinase A dan merangsang fosfatase yang melakukan defosforilasi terhadap
piruvat kinase. Defosforilasi menyebabkan piruvat kinase menjadi lebih aktif. Fungsi utama pengaturan
ini adalah menghambat glikolisis selama puasa saat jalur yang sebaliknya, glukoneogenesis, diaktifkan
(King, 2010).

Piruvat kinase juga diaktifkan oleh fruktosa 1,6-bifosfat. Mekanisme ini disebut “feed forward”, yaitu,
produk langkah terdahulu melakukan “feed forward” dan mengaktifkan enzim yang mengkatalisis reaksi
berikutnya. Inhibitor alosterik ATP dan alanin menurunkan aktivitas piruvat kinase, saat jalur
glukoneogenesis diaktifkan (Marks et al., 2000).

E. Glukoneogenesis

Proses sintesis glukosa dari prekursor bukan karbohidrat, yang terjadi terutama di hati pada keadaan
puasa dinamakan glukoneogenesis. Pada keadaan kelaparan yang ekstrim, korteks ginjal juga dapat
membentuk glukosa yang akan digunakan oleh medula ginjal dan sebagian glukosa akan masuk ke dalam
aliran darah. Diawali dengan piruvat, sebagian besar langkah pada glukoneogenesis adalah hanya
kebalikan dari reaksi pada glikolisis dan menggunakan enzim yang sama. Aliran karbon adalah dalam
arah yang berlawanan (Murray et al., 2003).

Terdapat tiga urutan reaksi pada glukoneogenesis yang berbeda dengan langkah padanan pada glikolisis.
Ketiganya melibatkan perubahan piruvat menjadi fosfoenolpiruvat (PEP) dan reaksi yang mengeluarkan
fosfat dari fruktosa 1,6-bifosfat untuk membentuk fruktosa 6-fosfat dan dari glukosa 6-fosfat untuk
membentuk glukosa. Selama glukoneogenesis, serangkaian enzim mengkatalis perubahan piruvat
menjadi fosfoenolpiruvat. Reaksi yang mengeluarkan fosfat dari fruktosa 1,6 bifosfat dan dari glukosa 6-
fosfat masing-masing menggunakan enzim yang berbeda dengan enzim padanan pada glikolisis. Selama
glukoneogenesis, fosfat dikeluarkan oleh fosfatase yang membebaskan Pi. Prekursor glukoneogenesis
adalah asam amino, laktat, dan gliserol. Reaksi glukoneogenesis menghasilkan ATP (King, 2010).

1. Jalur glukoneogenesis

Piruvat mengalami karboksilasi oleh piruvat karboksilase membentuk oksaloasetat. Enzim ini
memerlukan biotin, adalah katalisasi anaplerotik pada siklus asam trikarboksilat. Pada glukoneogenesis,
reaksi ini melengkapi lagi oksaloasetat yang digunakan untuk sintesis glukosa. Karbon dioksida yang
dibebaskan oleh fosfoenolpiruvat karboksikinase (PEPCK) ditambahkan ke piruvat untuk membentuk
oksaloasetat. Oksaloasetat akan mengalami dekarboksilasi oleh fosfoenolpiruvat karboksikinase
menghasilkan fosfoenolpiruvat. Untuk reaksi ini, GTP merupakan sumber energi serta sumber gugus
fosfat fosfoenolpiruvat. Enzim-enzim yang mengkatalisis kedua langkah ini terletak di dua kompartemen
yang berbeda. Piruvat karboksilase dijumpai di mitokondria manakala fosfoenolpiruvat karboksikinase
terletak di sitosol atau mitokondria (Diwan, 2007). Oksaloasetat tidak mudah menembus membran
mitokondria maka dapat diubah menjadi malat atau aspartat. Perubahan oksaloasetat menjadi malat
memerlukan NADH. Fosfoenolpiruvat, malat, dan aspartat dapat dipindahkan ke dalam sitosol. Setelah
menembus membran mitokondria dan masuk ke dalam sitosol, terjadi perubahan kembali malat kepada
oksaloasetat membebaskan NADH dan perubahan aspartat kepada oksaloasetat. Di sitosol, oksaloasetat
diubah kembali menjadi fosfoenolpiruvat oleh fosfoenolpiruvat karboksikinase sitosol. Langkah
glukoneogenesis selanjutnya berlangsung di dalam sitosol. Fosfoenolpiruvat membentuk gliseraldehida
3-fosfat, berkondensasi untuk membentuk fruktosa 1,6-bifosfat. Enzim fruktosa 1,6-bifosfotase
membebaskan fosfat inorganik dari fruktosa 1,6-bifosfat untuk membentuk fruktosa 6-fosfat. Dalam
reaksi glukoneogenik berikutnya, fruktosa 6-fosfat diubah menjadi glukosa 6-fosfat oleh isomerase
(Diwan, 2007).

Glukosa 6-fosfatase memutuskan Pi dari glukosa 6-fosfat, dan membebaskan glukosa bebas untuk
masuk ke dalam darah. Glukosa 6-fosfatase terletak di membran retikulum endoplasma. Glukosa 6-
fosfatase digunakan tidak saja pada glukoneogenesis, tetapi juga menghasilkan glukosa darah dari
pemecahan glikogen hati (Murray et al., 2003).

Glukoneogenesis berlangsung selama puasa, juga dapat dirangsang olahraga yang lama, diet tinggi
protein, dan keadaan stres. Faktor yang mendorong secara keseluruhan aliran karbon dari piruvat ke
glukosa meliputi ketersediaan substrat dan perubahan aktivitas atau jumlah enzim kunci tertentu pada
glukoneogenesis (Cranmer et al.,2009).

Selama reaksi glukoneogenik, terjadi penguraian 6 mol ikatan fosfat berenergi tinggi. Diperlukan dua
mol piruvat untuk sintesis 1 mol glukosa. Sewaktu 2 mol piruvat mengalami karboksilasi oleh piruvat
karboksilase, terjadi hidrolisis 2 mol ATP. Fosfoenolpiruvat karboksikinase memerlukan 2 mol GTP untuk
mengubah 2 mol oksaloasetat menjadi 2 mol fosfoenolpiruvat. Digunakan tambahan 2 mol ATP untuk
melakukan 2 mol fosforilasi 3-fosfogliserat yang membentuk 2 mol 1,3-bifosfogliserat. Diperlukan juga
energi dalam bentuk ekuivalen reduksi (NADH) untuk perubahan 1,3-bifosfogliserat menjadi
gliseraldehida 3-fosfat. Pada keadaan puasa, energi yang diperlukan untuk glukoneogenesis diperoleh
dari oksidasi-β asam lemak (Murray et al., 2003).

F. Transpor glukosa

GLUT 1 berada di sel darah merah, pembuluh mikro otak (sawar darah-otak), ginjal, kolon, dan sel lain.
GLUT 1 bersifat dapat membatasi transpor glukosa ke otak. GLUT 2 berada di sel hati, sel β pankreas,
permukaan basolateral usus halus bersifat kapasitas tinggi, afinitas, Km 15 mM atau lebih tinggi. GLUT 3
berada di neuron, plasenta, dan testis bersifat Km rendah sekitar 1mM. GLUT 4 berada di sel-sel lemak,
otot rangka, jantung dan memperantarai ambilan glukosa yang dirangsang oleh insulin. GLUT 5 berada
di usus halus, testis, sperma, ginjal, otot rangka, jaringan adiposa, dan otak. GLUT 5 bersifat transporter
fruktosa (King, 2010).

1. Transpor glukosa ke dalam jaringan

Sifat protein transpor GLUT berbeda di antara jaringan-jaringan, yang mencerminkan fungsi
metabolisme glukosa di masing-masing jaringan. Bentuk iso transporter yang ada memiliki Km yang
relatif rendah untuk glukosa dan terdapat dalam konsentrasi yang relatif tinggi di membran sel sehingga
konsentrasi glukosa intrasel mencerminkan konsentrasi dalam darah. Variasi kadar glukosa darah di
jaringan (0,05-0,10M) tidak mempengaruhi kecepatan fosforilasi glukosa intrasel. Namun, di beberapa
jaringan, kecepatan transpor menjadi penentu kecepatan sewaktu kadar glukosa serum rendah atau
sewaktu kadar insulin yang rendah memberi sinyal bahawa tidak terdapat glukosa dari makanan (Marks
et al., 2000).

Di hati untuk transporter glukosa relatif tinggi apabila dibandingkan dengan jaringan lain, yaitu sekitar
15mM atau lebih. Sifat transporter di hati terkait dengan sifat enzim di hati, glukokinase yang mengubah
glukosa menjadi glukosa 6-fosfat. Sifat ini mendorong timbulnya fluks bersih glukosa ke dalam hati
sewaktu konsentrasi glukosa darah meningkat setelah makan makanan tinggi karbohidrat dan efluks
bersih glukosa keluar dari hati sewaktu konsentrasi glukosa menurun. Di jaringan otot dan adiposa,
transpor glukosa sangat dirangsang oleh insulin. Mekanisme yang berperan adalah pengerahan
transporter glukosa dari vesikel intrasel ke dalam membran plasma. Di jaringan adiposa, perangsangan
transpor glukosa menembus membran plasma oleh insulin menyebabkan peningkatan ketersediaan
glukosa untuk sintesis asam lemak dan gliserol melalui jalur glikolitik. Di otot rangka, perangsangan
transpor glukosa oleh insulin meningkatkan ketersediaan glikolisis dan sintesis glikogen.(Murray et al.,
2003).
2. Transpor glukosa melewati sawar darah-otak dan ke dalam neuron

Respon hipoglikemik tercetus apabila terjadi penurunan konsentrasi glukosa darah sampai sekitar 18-54
mg/dl. Respon hipoglikemik terjadi akibat penurunan pasokan glukosa ke otak dan berawal dengan
kepala terasa ringan dan pusing dan dapat berkembang menjadi koma. Kecepatan transpor glukosa
melintasi sawar darah otak yang lambat pada kadar glukosa yang rendah diperkirakan merupakan
penyebab timbulnya respon hipoglikemik. Transpor glukosa dari cairan serebrospinal menembus
membran plasma neuron sangat cepat dan bukan merupakan penentu kecepatan pembentukan ATP
dari glikolisis (Murray et al., 2003).

Di otak, sel endotel kapiler memiliki taut yang amat erat (tight junction), dan glukosa harus berpindah
dari darah ke dalam cairan serebrospinal ekstrasel melalui transporter di membran sel endotel, lalu
menembus membran basal. Pengukuran proses keseluruhan transpor glukosa dari darah ke dalam sel
neuron memperlihatkan Km sekitar 7-11 mM, dan kecepatan maksimum yang tidak lebih besar daripada
kecepatan penggunaan glukosa oleh otak. Dengan demikian, penurunan kadar glukosa di bawah kadar
puasa 80-90 mg/dl kemungkinan besar akan mempengaruhi kecepatan metabolisme glukosa yang
berarti di otak (Marks et al.,2000).

Peran penting glukosa dalam metabolisme

Produk akhir dari pencernaan karbohidrat adalah glukosa, fruktosa, dan galaktosa, dengan glukosa
sekitar 80% dari seluruhnya. Setelah absorpsi dari usus, sebagian besar fruktosa dan galaktosa diubah
menjadi glukosa di dalam hati. Untuk itu, hanya sedikit fruktosa dan galaktosa yang beredar dalam aliran
darah. Sehingga glukosa menjadi jalur utama untuk hampir semua glukosa dalam sel jaringan. Di dalam
sel hati, tersedia enzim yang sesuai untuk konversi monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa).
Kemudian, reaksi dinamis dari hati yang melepaskan kembali monosakarida ke dalam aliran darah,
dengan produk akhir hampir seluruhnya adalah glukosa. Alasan untuk hal ini adalah sel hati
mengandung sejumlah besar glukosa fosfat, dan kemudian glukosa dapat ditransport melalui membran
sel hati kembali ke dalam darah.

. Transport glukosa melalui membran sel

Glukosa harus ditransport melalui membran sel jaringan ke dalam sitoplasma seluler, sebelum glukosa
dapat digunakan oleh sel jaringan tubuh. Namun demikian, glukosa tidak dengan mudah berdifusi
melalui pori – pori dari membran sel karena berat molekul maksimal dari partikel yang dapat langsung
berdifusi adalah sekitar 100, dan glukosa memiliki berat molekul 180. Namun glukosa tetap dapat
menembus membran sel ke dalam sel melalui mekanisme difusi terfasilitasi. Dimana yang dapat
menembus matriks lemak dari membran sel adalah sejumlah besar molekul protein yang dapat
mengikat glukosa dari satu sisi ke sisi yang lain kemudian dilepaskan. Untuk itu jika konsentrasi glukosa
lebih tinggi pada salah satu sisi dari membran sel, maka glukosa akan ditransport dari daerah dengan
konsentrasi glukosa yang lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi glukosa yang lebih rendah.
Hantaran glukosa melalui membran dari hampir seluruh sel jaringan berbeda dengan yang terjadi pada
membran gastrointestinal atau melalui epitel tubulus renalis. Pada kedua kasus ini, glukosa ditransport
dengan mekanisme ko-transport natrium-glukosa aktif, dimana transport aktif dari natrium memberikan
tenaga untuk menyerap glukosa dengan melawan perbedaan konsentrasi. Mekansime ko-transport
natrium ini berfungsi hanya pada sel epitel khusus tertentu yang secara spesifik beradaptasi untuk
absorbsi aktif glukosa. Pada membran sel lain, glukosa ditransport hanya dari konsentrasi yang lebih
tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah dengan difusi terfasilitasi, yang dimungkinkan terjadi oleh karena
adanya pengikatan khusus dari protein pada membran sel.

. Insulin meningkatkan difusi terfasilitasi glukosa

Kecepatan transport glukosa dan juga transport dari beberapa monosakarida yang lain sangat
dipengaruhi oleh insulin. Saat sejumlah besar insulin disekresikan oleh pankreas, kecepatan transport
glukosa ke dalam sebagian besar sel meningkat hingga 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan
kecepatan transport glukosa saat insulin tidak disekresikan. Sebaliknya, jumlah glukosa yang dapat
berdifusi ke dalam sebagian besar sel tubuh saat tidak ada insulin, dengan perkecualian sel hati dan sel
otak, sangat kecil untuk memberikan suplai glukosa untuk kebutuhan metabolisme energi secara
normal. Sehingga kecepatan penggunaan glukosa oleh sebagian besar sel diatur oleh kecepatan sekresi
insulin dari pankreas.

. Glikogenesis dan glikogenolisis

Enzim spesifik diperlukan untuk menyebabkan terjadinya proses konversi ini, dan monosakarida apapun
yang dapat dikonversi menjadi glukosa dapat masuk ke dalam reaksi ini. Campuran yang lebih kecil
termasuk asam laktat, gliserol, asam piruvat dan beberapa asam amino dapat juga mengalami konversi
menjadi glukosa dan kemudian dikonversi menjadi glikogen. Glikogenolisis berarti pemecahan glikogen
yang disimpan dalam sel untuk kembali menjadi glukosa di dalam sel. Glukosa ini kemudian dapat
digunakan untuk membentuk energi. Glikogenolisis tidak terjadi dengan membalik reaksi kimia yang
sama yang membentuk glikogen, melainkan masing – masing molekul glukosa pada setiap cabang dari
polimer glikogen terpisan oleh fosforilasi yang dikatalisasi oleh enzim fosforilase. Dalam keadaan
istirahat, fosforilase ini dalam bentuk inaktif, sehingga glikogen tetap tersimpan. Saat diperlukan untuk
membentuk glukosa dari glikogen, fosforilase ini harus diaktifkan terlebih dahulu. Hormone epinefrin
dan glukagon, dapat mengaktifkan fosforilase dan untuk itu menyebabkan glikogenolisis dengan cepat.
Efek awal dari masing – masing hormon ini adalah menyebabkan pembentukan cyclic Adenosine Mono
Phosphate (AMP) di dalam sel, yang mana kemudian memulai kaskade reaksi kimia yang akan
mengaktifkan fosforilase. Epinefrin dilepaskan oleh medulla adrenal saat sistem saraf simpatis
dirangsang. Karena itu, salah satu fungsi sistem saraf simpatis adalah meningkatkan ketersediaan
glukosa untuk metabolisme energi dengan segera. Fungsi epinefrin ini terjadi terutama pada sel hati dan
otot, untuk mempersiapkan tubuh untuk beraksi. Glukagon adalah hormon yang disekresikan oleh sel
alfa dari pankreas saat konsentrasi gula darah turun terlalu rendah. Hormon ini merangsang
pembentukan cyclic AMP terutama pada sel hati, dan ini akan menyebabkan konversi glikogen hati
menjadi glukosa dan melepaskannya ke dalam aliran darah, sehingga akan meningkatkan konsentrasi
gula darah.
. Pelepasan energi melalui jalur glikolisis

Proses oksidasi sempurna dari 1 gram molekul glukosa melepaskan 686.000 kalori dan hanya 12.000
kalori yang dibutuhkan untuk membentuk 1 gram molekul Adenosine Tri Phosphate (ATP), maka energi
akan terbuang jika glukosa didekomposisi semua sekaligus membentuk air dan karbon dioksida, dimana
hanya membentuk satu moleku ATP. Semua sel dalam tubuh mengandung protein enzim khusus yang
menyebabkan molekul glukosa terbagi sedikit demi sedikit, sehingga energi dilepaskan dalam paket kecil
untuk membentuk satu molekul ATP dalam satu waktu, dan membentuk total 38 mol ATP untuk setiap
mol glukosa yang dimetabolisme oleh sel (Guyton, 2006).

Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa plasma lebih rendah dari 45 mg/dl–
50 mg/dl.2 Bauduceau, dkk mendefinisikan hipoglikemia sebagai keadaan di mana kadar gula darah di
bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada penderita. 7 Pasien diabetes yang tidak terkontrol
dapat mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang normal, sedangkan pada pasien diabetes dengan pengendalian gula darah yang ketat (sering
mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar gula darah yang rendah tanpa mengalami gejala
hipoglikemia.2 Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan Whipple’s
Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang
rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar gula darah

Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Pasien diabetes melitus tipe 1 yang menerima terapi substitusi insulin tidak memiliki
penurunan sekresi insulin fisiologis (sekresi insulin berkurang saat kadar gula darah rendah) karena
insulin yag beredar dalam tubuh merupakan insulin penggantui yang berasal dari luar (eksogen).
Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah peningkatan sekresi glukagon. Sekresi
glukagon meningkatkan produksi glukosa di hepar dengan memacu glikogenolisis. Pertahanan fisiologis
yang ketiga terhadap hipoglikemia adalah peningkatan sekresi epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini
terjadi apabila sekresi glukagon tidak cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epinefrin
adrenomedullar meningkatkan kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk
memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin,
perpindahan substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari otot, dan gliserol dari jaringan lemak).
Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam pulau Langerhans di
pankreas. Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh
sistem saraf pusat. Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar glukosa
plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang 10 lebih hebat yang menyebabkan
gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari keadaan hipoglikemia dan bertujuan agar
penderita segera mengkonsumsi karbohidrat. Seluruh mekanisme pertahanan ini berkurang pada pasien
dengan diabetes tipe 1 dan pada advanced diabetes mellitus tipe 2
Proporsi Cairan di Tubuh

Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air merupakan perlarut bagi semua yang terlarut. Air
tubuh total atau total body water (TBW) adalah persentase dari berat air dibagi dengan berat badan
total, yang bervariasi berdasarkan kelamin, umur, dan kandungan lemak yang ada di dalam tubuh.2 Air
membuat sampai sekitar 60 persen pada laki- laki dewasa. Sedangkan untuk wanita dewasa terkandung
50 persen dari total berat badan. Pada neonates dan anak-anak, presentase ini relatif lebih besar
dibandingkan orang dewasa.3

Cairan tubuh dibagi menjadi dua kompartemen menurut anatomi dan fisiologisnya, yakni cairan
intraseluler dan cairan ekstraseluler. Dua pertiga bagian (67%) merupakan cairan tubuh yang berada di
dalam sel disebut dengan cairan intraseluler. Sepertiganya (33%) berada diluar sel yakni cairan
ekstraseluler

Cairan ekstraseluler dibagi menjadi 3 bagian lagi yaitu cairan interstitial yang merupakan cairan limfatik
yang menempati ruang di sel tersebut. Cairan interstitial menempati 80 persen dari cairan ekstraseluler
atau 5 persen dari total berat badan. Cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20 persen
cairan ekstraseluler atau 15 persen dari total berat badan.5 Selain itu, ada juga cairan transelular yang
termasuk cairan gastrointestinal (GI), cairan empedu, urin, cairan serebrospinal, aqueous humour,
cairan sendi, cairan pleura, cairan peritoneum, dan cairan perikardial.

Pada cairan intraseluler, membran sel bagian luar memegang peranan yang sangat penting dalam
mengatur volume dan komposisi intraseluler. Oleh karena membran sel relatif tidak permeabel
terhadap ion Na dan K, Potassium akan lebih terkonsentrasi di intraseluler,

sedangakan Sodium akan dikonsentrasikan di ekstraseluler. Potasium merupakan kation utama pada
cairan intraseluler, dan pada anion utamanya merupakan fosfat.

Zat terlarut yang ada didalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan non elektrolit. Non elektrolit adalah
zat terlarut yang tidak terlarut dan tidak bermuatan listrik yang terdiri dari protein, urea, glukosa,
oksigen, karbon dioksida dan asam-asam organik lainnya. Elektrolit tubuh terdiri dari natrium (Na+),
kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO42-), dan
sulfat (SO42-). Ion yang bermuatan positif disebut kation dan yang bermuatan negatif disebut anion.3

Perpindahan cairan dan elektrolit dibagi menjadi tiga fase yaitu pertama, cairan yang terkandung oleh
nutrisi dan oksigen diambil dari paru-paru dan saluran gastrointestinal akan dibawa melalui pembuluh
darah berpindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, dimana cairan tersebut merupakan bagian
dari cairan intravaskular. Kedua, cairan intravaskular dan zat-zat yang terlarut didalamnya akan saling
bertukar dengan cairan interstitial melalui membran kapiler yang semipermeabel dan cairan interstitial
tersebut bertukar tempat dengan cairan intraseluler melalui membran sel yang permeabel selektif.3

Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme transportasi aktif
dan pasif. Mekanisme transportasi aktif memerlukan energi, sedangkan mekanisme transportasi pasif
tidak. Ada empat mekanisme perpindahan cairan dan elektrolit tubuh yakni terdiri dari difusi, osmosis,
filtrasi, dan transpor aktif.2 Difusi adalah gerakan acak dari molekul yang disebabkan energi kinetik yang
dimilikinya dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar pertukaran cairan dan zat terlarutnya
antara kompartemen satu dengan yang lain. Kecepatan difusi suatu zat melewati sebuah membran
tergantung pada permeabilitas zat terhadap membran, perbedaan konsentrasi antar dua sisi, perbedaan
tekanan antara masing-masing sisi karena tekanan akan memberikan energi kinetik yang lebih besar dan
yang terakhir potensial listrik yang menyeberangi membran akan memberi muatan pada zat tersebut.5

Pada mekanisme osmosis, jika ada suatu substansi larut di dalam air, konsentrasi air dalam larutan
tersebut lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang
sama. Hal ini terjadi karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila
konsentrasi zat yang terlarut meningkat, konsentrasi air akan menurun. Bila suatu larutan dipisahkan
oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda
konsentrasi dengan zat yang terlarut, maka akan terjadi perpindahan cairan atau zat pelarut dari larutan
yang memiliki konsentrasi zat terlarut rendah ke larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang
lebih tinggi.

Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh membran. Cairan
akan keluar dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah.
Jumlah cairan yang keluar akan sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan membran,
dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut dengan tekanan
hidrostatik.4 Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif
dari daerah yang konsentrasinya lebih rendah ke daerah yang memiliki konsentrasi yang lebih tinggi.
Transport aktif memerlukan energi berupa adenosin trifosfat (ATP) untuk melawan perbedaan
konsentrasi. Salah satu contohnya adalah transportasi pompa kalium dan natrium.

Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Cairan tubuh yang terbagi menjadi beberapa kompartemen cairan relatif konstan pada keadaan yang
normal. Antara satu kompartemen dengan yang lainnya dibatasi oleh membran yang bersifat
semipermeabel. Masing-masing kompartemen mengandung elektrolit yang sangat berperan dalam
mempertahankan keseimbangan cairan pada masing-masing kompartemen.1 Ada beberapa mekanisme
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit yakni:

1. Keseimbangan Donnan Keseimbangan Donnan merupakan keseimbangan antara caira intraseluler


dengan cairan ekstraseluler yang timbul akibat adanya peran dari sel membran. Protein yang merupakan
suatu molekul besar bermuatan negatif, bukan hanya ukuran molekulnya yang besar namun merupakan
suatu partikel aktif yang berperan mempertahankan tekanan osmotik. Protein ini tidak dapat berpindah,
tetapi akan mempengaruhi ion untuk mempertahankan netralitas elektron (keseimbangan muatan
positif dan negatif) sebanding dengan keseimbangan tekanan osmotik di kedua sisi membran.
Pergerakan muatan pada ion akan menyebabkan perbedaan konsentrasi ion yang secara langsung
mempengaruhi pergerakan cairan melalui membran ke dalam dan keluar dari sel tersebut.7
2. Osmolalitas dan Osmolaritas Osmolalitas dan Osmolaritas hampir sering dikenakan jika membahas
tentang cairan tubuh manusia. Osmolalitas digunakan untuk menampilkan konsentrasi larutan osmotik
berdasarkan jumlah partikel, sehubungan dengan berat pelarut. Lebih khusus, itu adalah jumlah osmol
disetiap kilogram pelarut. Sedangkan osmolaritas merupakan metode yang digunakan untuk
menggambarkan konsentrasi larutan osmotik. Hal ini didefinisikan sebagai jumlah osmol zat terlarut
dalam satu liter larutan. Osmolaritas adalah properti koligatif, yang berarti bahwa tergantung pada
jumlah partikel terlarut dalam larutan. Selain itu osmolaritas juga tergantung pada perubahan suhu.3

3. Tekanan Koloid Osmotik Tekanan koloid osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan oleh molekul
koloid yang tidak dapat berdifusi, misalnya protein, yang bersifat menarik air ke dalam kapiler dan
melawan tekanan filtrasi. Koloid merupakan molekul protein dengan BM lebih dari 20.000-30.000.
Walaupun hanya merupakan 0,5% dari osmolalitas plasma total, namun mempunyai arti yang sangat
penting. Karena, hal ini menyebabkan permeabilitas kapiler terhadap koloid sangat kecil sehingga
mempunyai efek penahan air dalam komponen plasma, serta mempertahankan air antar kompartemen
cairan di tubuh. Bila terjadi penurunan tekanan koloid osmotik, akan menyebabkan timbulnya edema
paru.2 Cairan tubuh relatif juga sering mengalami fluktuasi. Apabila terjadi ketidakseibangan cairan
tubuh, terdapat mekanisme kendali yang akan segera bekerja supaya cairan di tubuh selalu berada di
ambang normal.2 Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting yaitu
volume cairan ekstrasel dan osmolaritasnya. Ginjal mengatur volume cairan ekstrasel dengan
mempertahankan keseimbangan garam dan cairan, dengan cara mengatur keluaran garam dan air
dalam bentuk urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air
dan garam tersebut.4 Mekanisme pengaturannya dilakukan mlalui dua cara yaitu kendali osmolar dan
kendali non osmolar. Pada kendali osmolar sangat dominan dan efektif dalam mengatur cairan
ekstraseluler. Kendali osmolar dibagi menjadi dua sistem yakni, sistem osmoreseptor Hipothalamus-
Hipofisis-ADH.3,4 Pada daerah hipotalamus bagian anterior, terdapat neuron khusus yang dikenal
sebagai osmoreseptor. Sel ini mengandung vesikel-vesikel besar yang mengandung cairan.2 Vesikel ini
dapat mengembang atau mengeriput sesuai dengan osmolaritas cairan ekstraseluler. Apabila cairan
ekstraseluler pekat, maka osmolaritasnya akan meningkat dan akan menyebabkan vesikel mengeriput.
Hal tersebut akan merangsang hipofise anterior lebih banyak melepaskan ADH (anti diuretic hormone)
yang akan menurunkan produksi urin dan membuatnya lebih pekat. Sebaliknya, jika osmolaritas cairan
ekstraseluler menurun, vesikel akan mengembang dan akan merangsang hipofise anterior untuk
menurunkan produksi hormon ADH. Hal ini akan membuat produksi urin meningkat.5 Yang kedua
adalah sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron. Sistem ini akan bekerja apabila terjadi perubahan
keseimbangan cairan yang bersifat isotonik. Mekanismenya dimulai dari pengaturan Na terutama
melalui ekskresi Na lewat urin. Pengaturan ini dimulai dari interaksi antara aktivitas ginjal dengan
hormon korteks adrenal. Keseimbangan natrium diatur melalui proses proses filtrasi natrium melewati
glomerulus dan reabsorbsi tubulus. Dari sekian banyak natrium yang dikeluarkan dari glomerulus, lebih
dari 95% akan direabsorbsi oleh tubulus. Korteks adrenal merupakan factor utama yang menjaga
volume cairan ekstraseluler melalui efek hormon aldosterone terhadap natrium.2,5 Pada kendali non
osmolar, terdapat beberapa mekanisme neural yang berperan dalam pengaturan volume cairan untuk
mendapatkan keseimbangan. Pertama terdapat mekanisme refleks “Stretch Receptor”.2 Pada dinding
atrium terdapat “Stretch Receptor” yang dirangsang oleh perubahan kapasitas atrium kiri. Bila atrium
kiri mengalami distensi, reseptor ini akan merangsang hipotalamus untuk menimbulkan impuls aferen
melalui jalur simpatis dan merangsang hipofisis untuk mensekresikan ADH. Mekanisme kendali non
osmolar kedua terdapat refleks Baroreseptor. Baroreseptor akan terangsang apabila terjadi perubahan
tekanan darah, lalu akan diteruskan pada sistem hipotalamus-hipofisis yang akan memberikan respons
melalui penahanan atau pelepasan ADH kedalam sirkulasi.2 Terdapat dua jenis refleks baroreseptor
yakni baroreseptor Karotid dan baroreseptor lengkung Aorta. Refleks baroreseptor karotid akan
terangsang jika terjadi penurunan tekanan darah arteri, yang menyebabkan impuls pada jalur
parasimpatis menurun, sehingga membuat hambatan efek hipotalamus terhadap hipofisis. Hal ini
membuat sekresi ADH akan meningkat. Sebaliknya pada refleks baroreseptor lengkung Aorta, jika
tekanan darah arteri meningkat, impuls aferen di hipotalamus akan menginhibisi hipofisis posterior
untuk menurunkan sekresi ADh

4. Kekuatan Starling (Starling’s Forces) Tekanan koloid osmotik plasma kira-kira 25 mmHg sedang
tekanan darah 36 mmHg pada ujung arteri dari kapiler darah dan 15 mmHg pada ujung vena. Keadaan
ini menyebabkan terjadinya difusi air dan ion-ion yang dapat berdifusi keluar dari kapiler masuk ke
cairan interstisiil pada akhir arteri dan reabsorsi berkisar 90% dari cairan ini pada akhir arteri dan
reabsosrsi berkisar 90% dari cairan ini pada ujung venous

Sistem Pengaturan Cairan Tubuh Dalam kondisi normal, cairan tubuh stabil dalam petaknya masing-
masing. Apabila terjadi perubahan, tubuh memiliki sistem kendali atau pengaturan yang bekerja untuk
mempertahankannya. Mekanisme pengaturan dilakukan melalui 2 cara, yaitu kendali osmolar dan
kendali nonosmolar.

a. Kendali Osmolar

Mekanisme kendali ini dominan dan efektif dalam mengatur volume cairan ekstraseluler. Terjadi
melalui:

1. Sistem osmoreseptor hipothalamus-hipofisis-ADH Osmoreseptor terletak pada hipotalamus anterior


bagian dari nukleus supra optik. Terdiri dari vesikel yang dipengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler.
Bila osmolaritas cairan meningkat, vesikel akan mengeriput. Sebaliknya bila osmolaritas cairan menurun,
vesikel akan mengembang sehingga impuls yang dilepas dari reseptor akan berkurang. Impuls ini
nantinya merangsang hipofisis posterior melepaskan ADH. Jadi semakin rendah osmolaritas suatu cairan
ekstraseluler, semakin sedikit ADH yang dilepaskan. ADH berperan untuk menghemat air dengan
meningkatan reabsorbsi1,6.

2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron Mekanisme pengaturannya melalui pengaturan ekskresi Na


pada urin melalui interaksi antara aktivitas ginjal dengan hormon korteks adrenal. Lebih dari 95% Na
direabsorbsi kembali oleh tubulus ginjal. Korteks adrenal merupakan faktor utama yang menjaga volume
cairan ekstraseluler melalui hormon Aldosteron terhadap retensi Na. Pelepasan renin dipengaruhi oleh
baroreseptor ginjal. Konsep Makula lutea, yang tergantung pada perubahan Na di tubulus distalis. Bila
Na menurun, volume tubulus menurun, sehingga mengurangi kontak makula dengan sel arteriol.
Akibatnya terjadi pelepasan renin. Renin akan membentuk Angiotensin I di hati yang kemudian oleh
converting enzim dari paru diubah menjadi Angiotensin II sebagai vasokonstriktor dan merangsang
kelenjar supra renal menghasilkan aldosteron. Peranan Angiotensin II adalah untuk mempertahankan
tekanan darah bila terjadi penurunan volume sirkulasi dan Aldosteron akan meningkatkan reabsorbsi Na
yang menyebabkan retensi air1,4,6.

b. Kendali Non Osmolar Mekanisme kendali ini meliputi beberapa cara sebagai berikut: 1. Refleks
“Stretch Receptor” Pada dinding atrium jantung terdapat reseptor stretch apabila terjadi dilatasi atrium
kiri. Bila reseptor ini terangsang, maka akan timbul impuls aferen melalui jalur simpatis yang akan
mencapai hipotalamus. Kemudian akibat aktivitas sistem hipotalamus- hipofisis akan disekresikan
ADH1,4,6.

2. Refleks Baroreseptor Bila tekanan darah berkurang, baroreseptor karotid akan terangsang sehingga
menyebabkan impuls aferen yang melalui jalur parasimpatis menurun. Akibatnya, terjadi hambatan efek
hipotalamus terhadap hipofisis sehingga sekresi ADH meningkat. Bila terjadi peningkatan tekanan darah,
impuls aferen akan mempengaruhi hipotalamus yang akan menginhibisi hipofisis posterior sehingga
sekresi ADH berkurang

Distribusi Pemasukan dan Pengeluaran Cairan Tubuh Keseimbangan cairan tubuh adalah keseimbangan
antara jumlah cairan yang masuk dan keluar. Melalui mekanisme keseimbangan, tubuh berusaha agar
cairan didalam tubuh setiap waktu selalu berada dalam jumlah yang kosntan. Dalam keadaan normal,
masukan cairan akan dipenuhi melalui minum atau makanan yang masuk ke dalam tubuh secara
peroral, serta air yang diperoleh sebagai hasil metabolisme. Air yang keluar dari tubuh, termasuk yang
dikeluarkan sebagai urin, air didalam feses, isensibel dan air yang dikeluarkan melalui kulit dan paru-
paru. Kebutuhan air setiap hari dapat ditentukan dengan dua cara, ditentukan berdasarkan umur dan
berat badan. Jika berdasarkan umur ditentukan dari umur 0-1 tahun memerlukan air sekitar 120 ml/kg
BB, 1-3 tahun memerlukan air sekitar 100 ml/kg BB, 3-6 tahun memerlukan air sekitar 90 ml/kg BB, 7
tahun memerlukan air sekitar 70 ml/kg BB, dan dewasa memerlukan sekitar 40-50 ml/kg BB. Sedangkan
berdasarkan berat badan ditentukan mulai dari 0-10 kg kebutuhan cairannya 100 ml/kg BB, 10-20 kg
kebutuhan cairannya 1000 ml ditambah dengan 50 ml/kg BB (jika diatas 10 kg), dan jika diatas 20kg
kebutuhan cairannya sekitar 1500ml ditambah 20 ml/kg BB (jika diatas 20 kg), dan jika dewasa
memerlukan cairan 40-50 ml/kg BB.2 Pengeluaran cairan sebagai bagian dalam mengimbangi
kebutuhan cairan pada orang dewasa. Pengeluaran cairan ini dibagi menjadi empat proses yaitu urin,
IWL (Insensible Water Loss), keringat, dan feses.4 Dalam kondisi normal, output urin sekitar 1400-1500
ml per 24 jam, atau sekitar 30-50 ml per jam. Pada orang sehat kemungkinan produksi urin bervariasi
dalam setiap harinya. Bila aktivitas kelenjar keringat meningkat, maka produksi urin akan menurun
sebagai upaya tetap mempertahankan keseimbangan dalam tubuh.2 IWL terjadi melalui paru-paru dan
kulit, melalui mekanisme difusi. Pada orang dewasa normal, kehilangan cairan tubuh melalui IWL
berkisar 200-400 ml perhari. Tetapi, IWL akan meningkat jika ada proses peningkatan suhu tubuh dan
proses respirasi meningkat.6 Pengeluaran cairan dari proses berkeringat terjadi sebagai respon terhadap
kondisi tubuh yang panas, respon ini berasal dari anterior hypothalamus, lalu impulsnya akan ditransfer
melalui sumsum tulang belakang yang dirangsang oleh susunan saraf simpatis pada kulit. Pada
pengeluaran air melalu feses, berkisar antara 1500 mL per hari, yang diatur melalui mekanisme
reabsorbsi di dalam mukosa usus besar (kolon).

Anda mungkin juga menyukai