Anda di halaman 1dari 10

TATALAKSANA DISFUNGSI DAN NYERI SENDI TEMPOROMANDIBULA

Penyakit temporomandibula merupakan keadaan yang mempengaruhi atau mengenai sendi


temporomandibula, otot mastikasi, atau keduanya. TMD biasanya bermanifestasi sebagai nyeri di kepala
dan daerah leher dan seringkali berefek ke struktur di sekitarnya. Nyerinya dapat menyerupai rasa nyeri
penyakit lainnyadari bagian kepala dan leher. TMD biasa di rasakan sebagai nyeri wajah, sakit kepala,
sakit telinga, telinga terasa penuh (aurall fullness), suara klik atau suara seperti meletus (popping) pada
telinga, ketulian sedang, tinnitus, pusing, kesulitas membuka mulut, mengunyah atau berbicara,
menutup atau membuka penguncian/kaitan dari sendi temporomandibula, penggunaan dari permukaan
occlusal (menggigit) dari gigi, bunyi berlebih pada sendi (klik atau popping/ meletus), dan komplikasi
lainnya. TMD terjadi pada sekitar 5 % hingga 15 % dari populasi umum, memuncak pada dewasa muda
usia 20 hingga 40 tahun. Keluhan- keluhan pada TMD sama antara laki- laki dan perempuan, tetapi
keluhan terjadi dan lebih sering di laporkan lebih sering pada wanita usia subur. Sekitar 2 % dari populasi
umum mencari pengobatan untuk keluhan keluhan yang berkaitan dengan TMJ.

Pasien dengan keluhan yang berkaitan dengan nyeri TMJ sering

PATOFISIOLOGI

Penyakit sendi temporo mandibular biasanya di rasakan sebagai nyeri pada fungsi mandibular,
keterbatasan gerak mandibular, dan suara pada persendian. Nyeri berkaitan dengan otot lebih sering
dibanding nyeri yang berkaitan dengan sendi, tetapi keduanya sering terjadi secara bersamaan. Nyeri
otot dapat secara buruk mempengaruhi fungsi sendi internal dan sebaliknya, seiring waktu.
Membedakan nyeri otot dari gangguan internal penting dalam kesuksesan terapi. Myalgia secara umum
tampak secara lokal dengan kelemahan otot atau kelelahan dan keterbatasan gerak pasif. Palpasi
menunjukkan adanya nyeri tekan otot. Permasalahan yang biasa terjadi seperti myalgia dan myositis
oleh karena parafungsi, trauma, atau infeksi. Otot yang terlibat akan teraba kaku, membengkak, dan
hangat. Konstraksi otot mengunyah yang kronis akan terlihat, dengan keterbatasan gerak myofibosis.
Riwayat trauma, operasi, dan rentang gerak terbatas yang di rencanakan (fiksasi maxillomandibular)
akan menyebabkan keterbatasan rentang gerak yang akan atau tidak akan kembali ke normal seiring
waktu.

Litelatur menyatakan pasien dengan nyeri otot wajah oleh karena penyakit temporo mandibular
mungkin dapat hipersensitif terhadap nyeri, atau perubahan alur persepsi nyeri. Beberapa memiliki
morfologi otak seperti keadaan nyeri kronis lainnya, seperti pada fibromyalgia. Pada beberapa pasien,
penelitian pada area saraf pusat yang terlibat pada proses nyeri mengindikasikn adanya perubahan pada
area yang memproses sinyal nyeri dari system trigeminal.

Penyakit intrakapsular berarti adanya abnormalitas fossa diskus kondilar dan berhubungan dengan
suara pada sendi, dan abnormal, terkadang adanya keterbatasan gerak kondilar, penyakit intrakapsular
berarti sebagai kerusakan internal dan adanya perubahan letak diskus anterior dengan atau tanpa
reduksi. Perubahan letak diskus anterior dianggap mewakili perubahan adaptif pada fungsi sendi.
Perubahan letak diskus dengan reduksi berkaitan dengan suara sendi, dang dengan atau tanpa
perubahan ke arah nonreduksi. Perubahan letak anterior tanpa reduksi muncul ketika diskus tetap
berpindah sepanjang gerak mandibular. Diskus dapat mempengaruhi pergerakan kondilar. Secara khas
tidak di dapatkan suara sendi. Nonreduksi diskus berarti menunjukkan permasalahan yang lebih kronis.

KLASIFIKASI WILKES TERHADAD KERUSAKAN

Derajat I reduksi awal perubahan letak diskus, tidak ada nyeri, adanya bunyi “klik” awal

Derajat II reduksi lanjut perubahan letak diskus, satu atau lebih episode nyeri, pertengahan atau
akhir “ klik”, perubahan terjepit/ tersangkut dan terkunci

Derajat III non reduksi perubahan letak diskus: akut/ sub akut, episode nyeri yang berulang,
penguncian, pergerakan yang terbatas

Derajat IV nonreduksi perubahan letak diskus: kronik, peningkatan gangguan fungsi

Derajat V nonreduksi perubahan letak diskus: kronik dengan osteoarthritis, krepitasi, gesekan,
mengilukan, tanda- tanda kertakan, nyeri, pergerakan terbatas, fungsi yang sulit di gunakan.

Pembukaan mulut secara khas terbatas hingga kurang dari 25 mm pada nonreduksi diskus (mendekati
mengunci). Mandibular mungkin berdeviasi kearah yang terkena selama pembukaan, bagian yang tak
terkena akan tetap normal. Ekskursi lateral (kearah yang tidak terkena) juga terbatas pada bagian yang
terkena. Perubahan degenerasi dari tulang dapat atau tidak dapat muncul pada perubahan letak diskus.
Adesi intrakapsular dapat terjadi. Adesi fibrosa berarti terjadi pada peregangan dan berdarah pada
ruang superior sendi.

KOMORBIDITAS PSIKOSOSIAL

Pasien dengan penyakit temporomandibula sering menunjukkan level nyeri, stress, dan depresi melebihi
ekspektasi klinisi. Belum adanya kejelasan apakah ini terjadi sebagai hasil dari nyeri kronis, atau mungkin
kontribusi dari kebiasaan parafungsional yang dapat menyebabkan penyakit berkaitan dengan sendi
temporomandibular. Penelitan menemukan pasien dengan gejala penyakit temporo mandibular, secara
signifikan berkaitan dengan stress, depresi, pekerjaan yang berlebihan, kepuasan hidup dan kepuasan
kerja. Persepsi nyeri dan predisposes terhadap penyakit temporomandibular dapat secara signifikan di
pengaruhi stressor social. Ketika mengevaluasi pasien dengan stress tmd harus di tangani oleh klinisi.

MEKANISME BIOLOGI MOLEKULAR DARI PERLUKAAN

Baik keterbatasan fungsi mekanis dan peradangan berperan terhadap nyeri. Peradangan dapat
menyebabkan bengkan intrakapsular dan nyeri. Hal itu dapat peradangan dari kapsul sendi ( capsulitis)
dan garis synovial (synovitis) menyebabkan nyeri dan keterbatas gerak.

Trauma terhadap vaskular dan banyakkan inervasi jaringan retrodiskus dapat juga menyebabkan efusi,
nyeri, dan keterbatasan jangkau gerak. Peradangan pada sendi dapat menyebabkan secondary muscle
splinting sehingga keterbatasan jangkau gerak semakin parah dang semakin tidak nyaman.
Milan mendeskripsikan teori dari stress mekanik secara langsung menyebabkan pembentukan radikal
bebas yang berkontribusi terhadap proses degeneratif dari sendi. Perlukaan mekanis secara langsung
dari beban yang berlebih menyebabkan peningkatan level dari IL-8 dan produksi dari sintesis nitric oxide
dengan pelepasan NO dan formasi radikal bebas menyebabkan kerusakan langsung jaringan dan induksi
asam arakidona, peradangan, dan pemecahan jaringan pada sendi.

Penyebab lain dari pembentukan radikal bebas termasuk teori reperfusi- hipoksia dan peradangan
neurogenic. Teori reperfusi- hipoksia menunjukkan bahwa menggretakkan/ mengatupkan gigi
meningkatkan tekanan pada sendi, yang membanjiri(overwhelm) tekanan perfusi kapiler, menyebabkan
hipoksia. Reperfusi menyebabkan pembentukan radikal bebas. Peradangan neurogenic terjadi dengan
pelepasan neuropeptide (substansi P, kalsitonin) pelepasan dari terminal saraf yang teraktivasi pada
ligament kapsular dan jaringan retrodiskal mengkontribusi respons peradangan.

Hipotesis lainnya untuk terjadinya penguncian pada sendi temporo mandibular adalah adanya adesi/
perlekatana dari diskus terhadap articular eminence secondary di karenakan ketidakcukupan lubrikasi
pada sendi. Nitzan menjelaskan kerusakan pada lubrikasi sendi di sebabkan oleh karena pembentukan
radikal bebas. Peradangan sekunder dari makro- atau mikrotrauma menyebabkan pembentukan radikal
bebas dan meningkatkan stress oxidative pada sendi, sehingga kehilangan lubrikan hyaluronic acid dan
chondroitin sulfate pada cairan synovial. Peningkatan hyaluronidase menyebabkan pemecahan dari HA,
lubrikan utama pada sendi. Kehilangan lubrikan menyebabkan fibrosis kapsular dan imobilitas/
keterbatasan gerak diskus sendi temporomandibular. Arthosintesis sudah di rekomendasikan oleh
Nitzan dan tim untuk pelepasan segera dari diskus. Penurunan lubrikan meningkatkan viskositas dan
berkontribusi terhadap dislokasi diskus dimana diskus menempel ke fossa glenoid saat terjadi
pergerakan. Adesi/ penempelan vaskularisasi dan penambahan restriksi. Peningkatan kelemahan dari
perlekatan diskus lateral terjadi dan secara brtahap diskus berubah posisi.

Analisis/ pemeriksaan cairan synovial berguna untuk mengidentifikasi penyebab pathogenesis dari
penyakit temporomandibula. Membrane synovial menyediakan nutrisi untuk tulang rawan.
Berkurangnya kualitas cairan synovial dan jumlahnya menyebabkan penekanan nutrisi dari permukaan
sendi dan kurangnya perlindungan dan lubrikasi pada sendi- sendi.

Mediator peradangan pada sendi yang terluka semakin parah dan nyeri berkepanjangan dan disfungsi.
Sitokin, protease, dan substansi lainnya berpengaruh pada perombakan internaldan penyebab penyakit
sendi degenerative. Osteoarthritis dapat disebabkan karenan ketidakseimbangan antara protease dan
protease inhibitor. Sitokin spesifik dan factor pertumbuhan juga berpengaruh. Sitokin (IL- 1, IL- 6, IL- 8,
interferon dan TNF)dapat menginduksi protease. Factor- factor pertumbuhan menginduksi inhibitor
jaringan dari metalloproteinase. Kandungan metalloproteinase teridentifikasi sebagai mediator
pemecahan tulang rawan. PGE2 di sintesis oleh sel- sel synovial, di mediasi oleh IL-1, berperan pada
resobsi tulang. LTB4, di sintesis oleh sel- sel synovial, hal ini meningkatkannyeri pada sendi dan
kemoaktratan dari sel- sel peradangan.analisis cairan synovialmenunjukkan peningkatkan IL- 8 dan IL- 6
pada osteoarthritis.
Prosedur operasi sudah di kembangkan, berdasarkan teori diatas. Tujuan dari artosintesis dan artroskopi
sebagai prosedur operasi awal dari kerusakan internal dan osteoarthritis adalah untuk mengurangi
mediator- mediator peradangan begitu juga untuk melepaskan perlengketan/ adesi.

PENYAKIT HIPOMOBILITAS

Penyebab dari hipomobiliti sendi temporomandibula bisa di sebabkan trismus atau obstruksi anatomis
seperti bony( union of the bones of a joint by loss of articular cartilage, resulting in complete immobility.)
atau fibrous ankylosis( reduced joint mobility due to proliferation of fibrous tissue). Nyeri dan
keterbatasan gerak juga dapat di sebabkan oleh kerusakan internal dari sendi. Pencitraan sangatlah
membantu dalam menentukan diagnosis.pemeriksaan skrinaing panoramik dapat membantu
menentukan ada tidaknya fraktur, anatomi yang tidak biasa (coronoid hyperplasia), atau keadaan
patologis. Pencitraan Computerized tomography (CT) di rasa di perlukan untuk identifikasi fraktur,
proses degenerative, ankylosis,atau neoplasia. Magnetic Resonance Imaging (MRI) membantu dalam
mengevaluasi lokasi articular diskus, efusi pada sendi (peradangan), dan dalam menunjukkan fibrous
ankylosis. Hipomobilitas yang disebabkan oleh trismus sering di sebabkan oleh infeksi, peradangan,
neoplasm, radiasi, atau trauma. Jika trismus yang tidak di ikuti dengan nyeri, trismus dapat berkaitan
dengan tumor. Jarang terjadi temporal arteritis yang menyebabkan trismus.

Ankylosis dapat di sebabkan oleh karenan pembentukan skar fibrosa, pembentukan tulang, atau
kombinasi keduanya. Trauma merupakan penyebab paling sering pada Negara berkembang. Anak yang
tidak dapat menjelaskan dengan rahang terbuka, meningkatkan kemungkinan resiko terjadinya
ankylosis. Infeksi sendi temporomandibular jarang tetapidi laporkan merupakan penyebab ankylosis
sendi temporomandibularpada 10% hingga 49% kasus. Artritis peradangan seperti pada rheumatoid dan
psoriatic atritis berkontribusi pada 10% lainnya. Juvenile idiophatic arthritis dapat mempengaruhi sendi
temporomandibular dengan tidak di dapatkan tanda pada50% anak- anak. Pemeriksaan klinis
mendapatkan keterbatasan membuka atau deviasi pada membuka tanpa ada nyeri harus mengarahkan
klinisi untuk mengevaluasi MRI. Injeksi steroid Intra- articular dapat menguntungkan.

Ankylosis sendi membutuhkan penanganan bedah untuk melepaskan jaringan fibrosa atau memreseksi
heterotopicbone. Reankylosis merupakan komlikasi yang biasa terjadi. Gap arthroplasty memiliki tingkat
kesuksesan yang rendah (50%) dan rekonstruksi sendi temporomandibular sering diindikasikandengan
autogenous atau alloplastic material.

PENYAKIT HIPERMOBILITAS

Hipermobilitas menyebabkan subluksasi atau dislokasi dari sendi temporomandibular, terjadi pada saat
menguap, membuka terlalu lama, saat kejang, atau karena trauma. Subluksasi kondilus secara
sementara terjebak anterior kearah sendi utama (articular eminence). Secara khas, pasien akan secara
spontan self-reduce mandible. Tatalaksana sering kali di butuhkan pada kasus dislokasi. Dislokasi
menunjukkan perlunya reduksi mandibular terbantu secara manual. Reduksi manual segera merupakan
hal utama dimana manipulasi akan semakin sulit di lakukan seiring waktu. Jika pasien mengalami
dislokasi yang berulang dengan nyeri yang mengganggu dalam fungsi sehari hari, intervensi bedah perlu
di pertimbangkan. Pilihan pembedahan seperti plication with wires, osteotomy pada arkus zygomaticus
(Le Clerc procedure) untuk membuat obstruksi dan eminectomy untuk menghilangkan obstruksi dan
membuat reduksi spontan pada mandibula yang tersubluksasi. Dengan eminectomy, subluksasi akan
terus terjadi, tetapi tanpa resiko dislokasi. Lateral pterygoid myotomy di sebut juga merupakan terapi
yang menguntungkan.

TMD POST TRAUMATIK

Trauma maksilofasial dapat menginisiasi terjadinya beberapa kasus TMD. Banyak jenis kejadian trauma
di kaitkan dengan disfungsi temporomandibular, termasuk kecelakaan, kekerasan, atau trauma
pembedahan. Patahan pada mandibula dan struktur sekitarnya seringkali membutuhkan tatalaksana
oleh ahli THT, dan perhatiaan terhadap efek pada persendian temporomandibular sangat membantu.

Patahan mandibula seringkali menyebabkana nyeri, maloklusi, pembukaan yang terhambat, kehilangan
berat mandibula, kaku otot, atau deviasi mandibula kesalah satu sisi. Jika tidak di tangani dengan
semestinya, akan menyebabkan disabling TMD. Fungsi normal dari sendi temporomandibular
membutuhkan mekanisme yang rumit dari tulang utuhdan keseimbangan kekuatan otot, dan pengaruh
traumatik dari hal- hal ini dapat menyebabkan keadaan patologis sendi. Reduksi anatomis dan fiksasi
kaku, ketika terindikasi, merupakan hal penting untuk hasil fungsi yang baik.

Patahan pada kondilus mandibula, pada dasarnya , merupakan predisposisi terhadap keadaan patologis
TMJ. Fraktur kondilus terlibat pada sekitar 30% kasus patahan mandibula, dan dapat melibatkan leher
kondilus atau, lebih jarang, intrakapsular. Posisi dari diskus artikular terhadap letak patahan memiliki
prognosis yang signifikan. Perubahan letak(displacement) diskus dari patahan menunjukkan predisposisi
yang kuat terhadap ankylosis sendi post trauma, sebagai pengaman diantara diskus permukaan sendi
hilang. Ankylosis sendi, atau menyatunya, mungkin merupakaan keadaan paling parah dari TMD dan
menyebabkan imobilitas komplitsendi pada bagian yang terkena. Ini tidak sering terjadi pada dunia
industrial, tetapi pada negara berkembang cukup biasa terjadi sebagai hasil dari trauma mandibular.
Hingga 98% kasus ankylosis terhitung merupakan hasil dari trauma pada kondilus mandibular. Ini
mungkin sering terjadi pada patahan sagital, terutama saat pecahan tulang dengan ujung kasar displasi
kearah lateral atau lainnya, berhubungan dengan patahan mandibula.

Tatalaksana patahan mandibula melibatakan prosesus kondilus memiliki hal kontrovesial. Secara umum
reduksi anatomis dan fiksasi patahan kondilus pada dewasa di rekomendasikan ketika di dapatkan
hilangnya berat dari mandibula atau gross comminution atau dislokasi dari segmen fraktur. Reduksi
fraktur anatomis bersamaan dengan rehabilitasi post operative di rasa dapat memberikan hasil yang
baik. Tetapi, masih kurangnya penelitian secara langsung yang membandingkan perbedaan tatalaksana
fraktur yang berkaitan dengan fungsi TMJ pada dewasa. Pada anak dan remaja, penanganan non bedah
memberikan hasil fungsi TMJ yang sempurna.

Fraktur pada dasar tengkorak mungkin dapat berefek pada TMJ dengan melibatkan fossa glenoid atau
batasan meatus auditori eksternal. Seperti pada trauma mungkin secara langsung mengganggu sendi
atau menyebabkan perdarahan dan peradangan pada ruang sendi, menghasilkan nyeri dan disfungsi.
Seringkali fraktur merupakan hasil dari multitrauma yang mengancam jiwa dan keterlibatan TMJ tidak di
sadari atau tidak di utamakan. Ketika mengevaluasi fraktur yang melibatkan tulang temporal, yang mana
di rinci di bagian lain, ahli THT dengan sebaiknya memperhatikan kaitannya TMJ. Fraktur ini secara
umum tidak memerlukan pembedahan, tetapi diagnosis dan bagian rehabilitasi terhadap TMJ cukup
membantu.

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Ketika mendapatkan riwayat pasien, terkadang trauma di dapatkan sebagai kejadian penyebab. Seperti
yang di sebutkan sebelumnya, hal lain yang terlibat secara fisik, emosional dan faktor psikologis perlu di
identifikasi. Penting untuk menjelaskan durasi gejala, riwayat lain dari trauma atau faktor resiko lainnya,
perjalanan alamiah dari nyeri termasuk onset, lokasi, kualitas, waktu, hubungan (gerakan, mengunyah,
saat bangun, atau setelah hari kerja) faktor modifikasi yang menebabkan gejala membaik atau semakin
parah dan ada tidaknya suara sendi, keterbatasan jangkau gerak, dan adanya kebiasaan parafungsional.
Hal itu membantu untuk memastikan siapa saja yang sudah pasien datangi terkait permasalahan dan
terapi (obat, bedah, alat, terapi fisik, penyesuaian oklusal, atau konsultasi) yang sudah di usahakan.

Sebagai bagian dari pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan sendi temporomandibular secara
umum termasuk pemeriksaan jangkauan rahang, gerakan, auskultasi suara sendi dan palpasi, dengan
tujuan menimbulkan/ memastikan keluhan utama pasien.

Kepala dan leher harus di inspeksi untuk simetrisitas dan kesejajaran dari wajah, rahang, dan gigi. Otot-
otot mastikasi, terutama temporalis dan otot masseter, harus di palpasi terhadap titik nyeri tekan.

Ketika memeriksa jangkauan gerak mandibula, pembukaan maksimum ternyaman, pembukaan


maksimum tehadap nyeri (gerak aktif) dan gerakan terbantu maksimum (gerak pasif), harus di ukur.
Pengukuran di lakukan dari maxillar ke tepi incisal mandibula dan di catat dalam milimeter. Pembukaan
normal harus lembut, bebas nyeri, dan tanpa suara berisik atau deviasi. Lokasi nyeri dengan pembukaan
dan adanya dan lokasi suara sendi harus di catat bersamaan dengan adanya dan arah deviasi.

Dengan adanya kekacauan internal, deviasi ke arah bagian obstruksi (diskus displasi) dengan bagian
normal berfungsi sesuai. Deviasi awal dengan kembalinya pembukaan dan penutupan garis tengah
seminimal mungkin menyebabkan perpindahan disk awal dengan reduksi. Penyimpangan terhadap sisi
yang terpengaruh sepanjang keseluruhan, namun jangkauan gerak terbatas, tanpa suara sendi,
merupakan tanda dari perpindahan diskus tanpa reduksi. Ketika perubahan letak diskus menjadi lebih
kronis secara alami, jangkauan gerak mengikuti pola yang sama tetapi secara umum semakin tinggi.

Gerakan ekskursi lateral di ukur dari garis tengah tepi incisi pada awal, hingga akhir gerakan ekskursi- di
catat dalam milimeter. Ekskursi lateral berkurang dalam arah yang jauh pada sendi yang terlibat ketika
perubahan diskus nonreduksi terjadi. Keterbatasan gerak dengan konsisten deviasi pada saat
pembukaan tetapi seimbang gerakan ekskursi lateral menunjukkan adanya gangguan otot.

Suara sendi biasa terjadi pada populasi umum. Suara sendi yang tidak sakit tanpa restriksi pada
jangkauan gerak tidak memerlukan intervensi. Suara klik di jelaskan awaal, pertengahan, atau akhir,
terjadi selama pembukaan atau penutupan. Kerpitasi dapat juga di auskultasi dan/ atau terpalpasi dan
dapat di temukan dengan perforasi diskus, osteofit, atau tulang pada artikulasi tulang.
Sendi temporo mandibular harus di palpasi secara bilateral mengevaluasi pergerakan kondilus, nyeri,
pembengkaan, dan krepitasi. Pasien dapat di periksa terhadap nyeri tekan keseluruhan kapsular sendi
atau jaringan retrodiskus. Preauricular dan endaural juga di lakukan pemeriksaan.

Inspeksi Intraoral dan palpasi untuk odontogenik atau penyebab nyeri lainnya dan peradangan harus di
lakukakan. Klinisi harus mengevaluasi tanda- tanda parafungsi seperti bruxisme.

IMAGING

Awal pencitraan biasanya dilakukan panoramic radiograh. Panorex merupakan alat skrining yang
sempurna. Ketersediaanya yang ada, dan dengan cepat dan dengan gampang menunjukkan adanya
patahan, perubahan kasar sendi, tumor, kista, atal malformasi. Seperti pada pemeriksaan lain kepala
dan leher, CT membantu mengevaluasi abnormalitas tulang dan memberi informasi tentang struktur
jaringan lunak juga. MRI memberika detail jaringan lunak yang lebih baik dan di pertimbangkan
modalitas pencitraan yang di pilih terhadap abnormalitas diskus kondilus yang tersuspek (kerusakan
internal). Penemuan secara radiografi membutuhkan interpretasi yang hati- hati. Displasi diskus dan
penyakit degeneratif sendi seringkali di temukan pada subjek normal yang asimptomatik.

DIAGNOSIS BANDING

Nyeri TMJ sering menyerupai penyakit lainnya yang di dapat pada ahli THT. Keluhan telinga merupakan
yang paling sering menunjukkan TMD dan sering terdapat nyeri telinga, telinga terasa penuh, tinnitus,
dan suara patahan atau meledak pada telinga di bagian yang terkena. Lebih jarang, pasien mengeluhkan
penurunan pendengaran atau pendengaran seperti “di dalam terowongan” pada bagian yang terkena.
Merasa tidak seimbang dan pusing terkadang di laporkan.

Pada 996 pasien yang di rujuk oleh ahli THT ke pusat tatalaksan TMD, 85 % mengeluhkan keluhan teling,
termasuk otalgia (64%), pusing (42%), dan pendengaran yang teredam (30%). 60% mengeluhkan gejala
tenggorokan, ketika keluhan sakit kepala di dapatkan pada 81%. Pada semua pasien TMD, prevalensi
keluhan otologis bervariasi secara luas, tetapi hal itu sudah merupakan bagian penting pada tanda-
tanda komples dari TMD. Tanda- tanda telingan secara keseluruhan mungkin lebih banyak pada pasien
dengan myofasial disorder di bandingkan pada pasien kerusakan sendi internal, dan keseluruhan
persepsi nyeri yang mengarah ke TMD dapat semakin parah pada pasien dengan keluhan telinga di
banding yang tidak. Suatu kelompok melaporkan adanya hubungan statistik yang signifikan antara nyeri
pada palpasi dari kondilus dan otalgia yang di sebabkan oleh TMD. Keluhan telinga juga dapat membaik
dengan terapi TMD, seperti pada penelitian yanng membandingkan sebelum dan sesudah terapi
konservatif dengan penggunaan oklusi dental dan obat non steroid anti- inflamasi (NSAIDs)

Penanganan otologi secara keseluruhan harus di lakukan ahli THT untuk mencari penyakit telinga
sebelum gejala aural disebabkan oleh TMD. Pada penemuan pemeriksaan telinga yang tidak sesuai
dengan keluhan sebelumnya, nyeri tekan preaurikar pada palpasi, begitu juga nyeri pada palpasi dari
dinding anterior lateral kanal auditori eksternal, mengindikasikan adanya keterlibatan
temporomandibular. Terkadang , derajat peradangan dari TMJ seperti nyeri dan edem yang begitu pada
bagian dinding anterior dari kanal akustikus eksternal yang terkena, yang mana mungkin keliru terhadap
otitis externa. Dokter gigi harus memeriksa tanda- tanda penggunaan dan riwayat sesuai dengan
memperhatikan bruxism dan faktor resiko TMD.

Disfungsi TMJ mungkin seperti keluhan lainnya pada bagian kepala dan leher, atau berkaitan dengan
keluhan ini. Terkadang, pasien dengan TMD parah yang menimbulkan nyeri, nyeritekan pada palpas, dan
edema, akan terdiagnosis dengan dan di terapi sebagai parotitis. Kedekatan kelenjar parotis terhadap
TMJ menyebabkan kebingungan ini, dan kelenjar harus di periksa dengan hati hati untuk menyingkirkan
patologi.

Mungkin tidak mengagetkan, dasar kedaruratan menyarankan hubungan antara TMD dan sakit kepala.
Pastinya, dua keadaan penyakit timbul untuk menunjukkan faktor resiko psikososial. Tipe tension, sakit
kepala kronis sehari- hari, dan sakit kepala temporal paling banyak mendekati kaitannya dengan TMD,
dan keparahan TMD timbul di hubungkan dengan frekuensi pada beberapa tipe sakit kepala. Nyeri leher
dan kekakuan mungkin juga timbul, seperti yang sudah dilaporkan pada hampir sepertiga pasien TMD.

TATALAKSANA

Tatalaksana TMD di bagi menjadi pembedahan dan non- pembedahan. Mayoritas TMD dapat membaik
dengan sendirinya. Tidak ada konsesus/ persetujuan umum yang berkaitan dengan kapan dan
bagaimana menerapi berbagai macam kasus TMD dan TMD bagaiaman yang perlu di terapi. Di
karenakan belum adanya penelitian jangka panjang ada, data belum mendukung metode tatalaksana
bagaiamana yang paling utama. Efikasi dari pendekatan terapi paling banyak tidak di ketahui. Non
invasive dan terapi reversible yang dapat diberikan seperti edukasi, diet, obat- obatan (NSAIDs dan
muscle relaxants), prostetik (penggunaan oklusal), terapi fisik (panas, es, olahraga) atau pendekatan
kebiasaan (menghilangkan kebiasaan parafungsional seperti mengatup ngatupkan gigi atau
menggretakkan gigi, yang mungkin dapat berbahaya), dan terapi psikoterapi juga cukup berguna pada
kebanyakan kasus yang berkaitan dengan TMJ. Tujuan dari terapi adalah apayang paling kurang invasive
dan reversible jika itu dapat memungkinkan menyebabkan pengurangan nyeri dan meningkatkan fungsi.
Penelitian klinis mengindikasikan bahwa ketika konservatif, reversible, terapi non invasive di tekankan,
gejala yang timbul dan tanda- tanda membaik pada kebanyakan pasien.

Tidak adanya bukti yang mengatakan pengobatan gigi, terapi ortodentik, atau pembedahan ortognatik
(pelurusan rahang) sebagai predisposisi terhadap, pencegahan, atau menyebabkan TMD. Prosedur
pengobatan gigi yang berkepanjangan harus di hindari. Tidak ada terapi yang di butuhkan ketika tidak di
temukan nyeri atau tidak ada kehilangan fungsi.

Over jet (jarak gigit) yang berlebih (rahang bawah yang lebih kecil terhadap rahang atas pada bidang
anteroposterior) merupakan deformitas rahang yang hanya berkaitan dengan peningkatan resiko TMD.
TMD seperti pada resoprsi kondilar mungkin dapat mempengaruhi maloklusi open bite anterior. Tidak
adanya bukti yang menunjukkan bahwa open bite anterior menyebabkan nyeri TMJ . secara
keseluruhan, dengan pngecualian defisiensi mandibular dengan hubungan Angle Class II maloclussion,
literatur saat ini tidak mendukung adanya keterlibatan maloklusi dental sebagai faktor etiologi pada
TMD.

Rencana terapi TMD bisa berdasarkan pada riwayat medis dan riwayat gigi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan audiologi, evaluasi menelan dan berbicara, pemeriksaan psikososial berhubungan dengan
kualitas hidup dan imaging. Pendekatan multidisiplin di utamakan. Konsultasi dengan ahli nyeri, terapis
fisik dan terapis prilaku dan atau psikiatri seringkali di butuhkan. Depresi berkaitan dengan keluhan TMJ
dan myeri kronis.

Pembedahan dalam abnormalitas diskus TMJ masih kontroversi. Non pembedahan, terapi konservatif
merupakan pengusahaan dengan kesuksesan yang baik pada banyak kasus. Kecilnya presentase pasien
yang mengalami persistensi, nyeri signifikan dan ketidak mampuan disfungsi dengan patologi secara
langsung berkaitan dengan keadaan TMJ (diskus degeneratif dan penyakit intrakapsular) dan bagi yang
mengalami kegagalan terapi konservatif mungkin dapat di jadikan kandidat intervensi pembedahan.
Temporomandibular arthrosintesis (joint lavage), arthroscopy, atau pembedahan sendi terbuka
keseluruhan merupakan pilihan, tetapi randomized controlled trials untuk mendukung efikasi prosedur
pembedahan individual belum di lakukan. Permasalahan tambahan TMJ yang mungkin membutuhkan
pembedahan yakni pada kasus, trauma, arthritis dan penyakit diskus, ankylosis, gangguan pertumbuhan,
dislokasi rekurens, neoplasia dan fraktur.

Apapun permasalahan atau pendekatan terapi yang di perlukan, pasien dan klinisi harus mengetahui
pemahaman dasar dari dasar ilmiah, indikasi, tujuan, resiko, dan keuntungan, dan riwayat sebelumnya
dari intervensi yang akan di lakukan sebelum maju kedeoan.

Edukasi pendukung pasien, agen NSAIDs, pembatasan diet yang nyaman dan terapi fisik sebelumnya
dicoba hingga ireversible intervensif terapi yakni pembedahan. Terapi alat oklusi dan pemeriksaan
psikologis dan terapi sikap seringkali bekerja sebagai terapi non pembedahan dengan kesuksessan yang
baik. Pembedahan di pertimbangkan terakhir, untuk yang mengalami kegagalan terapi konservatif, atau
pada pasien dengan nyeri yang hebat dan kehilangan fungsi.

TERAPI OCCLUSAL APPLIANCE

Parafungsional (bruxism) berkaitan denag terjadinya nyeri myofascial. Multiple, berbagai macam jenis
splin TMJ sudah di gunakan sejak berabad yang lalu. Mereka berbeda desain, rasionalisasi penggunaan
dan cara penggunaan, occlusal appliances termasuk alat yang mengubah letak bertujuan untuk
“mengurangi beban/ unload” sendi, memposisikan rahang bawah lebih anterio, atau peningkatan
dimensi vertical dari oklusi. Penelitian menunjukkan

Anda mungkin juga menyukai