Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu


Menurut Affandi (2002) dalam Seminar Iptek Nuklir Dan Pengelolaan
Sumber Daya Tambang yang berjudul Penentuan Kondisi Optimal Penggerusan
Bijih Rirang Dengan Ball Mill Pada Bijih Uranium Rirang. Percobaan
penggerusan bijih uranium Rirang dilakukan dengan tujuan mencari kondisi
optimal penggerusan bijih secara basah menggunakan ball mill untuk
menghasilkan ukuran butir -325 ; -200 dan -100 mesh yang akan digunakan untuk
umpan dekomposisi. Percobaan dilakukan dengan mengamati variasi
perbandingan berat bijih (umpan) : berat bola (media penggerus) dan variasi
waktu penggerusan. Perbandingan berat bijih : berat berat bola dengan variasi
perbandingan 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4. Variasi waktu penggerusan yang digunakan
dalam percobaan yaitu 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, 150 menit, dan
180 menit. Berdasarkan pengamatan dari percobaan yang dilakaukan, kondisi
optimal penggerusan bijih uranium Rirang diperoleh berdasarkan recovery dari
dari penggerusan yang dilakukan. Hasil percobaan menunjukkan produk
penggerusan -325 mesh dicapai pada kondisi optimal dengan perbandingan berat
bola : berat bijih 1:3, waktu penggerusan 150 menit, dan recovery penggerusan
sebesar 93,51 % lolos ayakan 325 mesh. Produk penggerusan -200 mesh mesh
dicapai pada kondisi perbandingan berat bijih : berat bola 1:2, waktu penggerusan
60 menit, dan recovery penggerusan sebesar 46,82 %. Produk penggerusan -100
mesh dicapai pada kondisi perbandingan berat bijih : berat bola 1:2, waktu
penggerusan 30 menit, dan recovery penggerusan sebesar 30,10 %.
Menurut Efendi (2014) dalam penelitian Tesis, Jurusan Teknik Mesin,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berjudul Pengaruh Ukuran Bola dan
Durasi Ball mill terhadap Ukuran Partikel dan Kandungan Besi Oksida dari Pasir
Besi. Indonesia memiliki banyak potensi tambang yang tersebar di beberapa
daerah, contohnya pertambangan pasir besi di pantai selatan Kulonprogo,
Yogyakarta. Untuk dapat memanfaatkan potensi tambang ini secara lebih
4
5

maksimal, riset untuk mengembangkan teknologi harus terus dilakukan. Partikel


pasir besi yang terdapat pada pantai ini mengandung banyak jenis unsur selain
besi oksida. Untuk itu diperlukan sebuah metode pemurnian besi oksida dari unsur
pengotor lainnya. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah penghalusan
pasir besi dengan proses milling, kemudian besi oksida dan pengotor dipisahkan
dengan magnet. Proses milling dilakukan dengan menggunakan ball mill. Variabel
kontrol yang digunakan adalah rasio massa bola dan pasir besi sebesar 10:1,
kecepatan ball mill 75% dari kecepatan kritis, dan temperatur milling berupa
temperatur kamar. Variabel bebas yang digunakan adalah durasi milling selama 2,
6, dan 10 jam serta media milling berupa bola baja dengan ukuran diameter 4,76,
6,35, dan 7,93 mm. Setelah proses milling dilakukan, pemisahan besi oksida
dengan unsur pengotornya dilakukan dengan menggunakan magnet. Variabel
terikatnya berupa kandungan besi oksida dan ukuran partikel setelah proses
milling. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan milling dapat meningkatkan
kemurnian besi oksida dari pasir besi. Perbedaan durasi milling dan ukuran bola
baja juga memberikan pengaruh terhadap kandungan besi oksida yang dihasilkan.
Semakin lama durasi milling dan semakin besar ukuran bola baja, semakin tinggi
kandungan besi oksida yang dapat dihasilkan. Kandungan besi oksida tertinggi
yang dapat dicapai pada penelitian ini adalah pada saat durasi milling 10 jam
dengan bola baja berukuran 7,93 mm, yaitu sebesar 83,017%. Setelah proses
milling, ukuran partikel pasir besi dapat direduksi dari ukuran 210 mikrometer
menjadi 50 nm - 60 mikrometer.
Menurut Kartikasari (2007) dalam penelitian Tesis, Jurusan Teknik Mesin,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta yang berjudul Karakterisasi Ball
mill Import pada Industri Semen di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik ball mill import yang digunakan oleh pabrik semen di
Indonesia. Bahan yang digunakan adalah ball mill import di PT Semen Gresik,
Tbk dari 2 merk berbeda, yaitu merk A (d= 30 mm) dan merk B (d= 40 mm).
Karakterisasi ball mill import dilakukan dengan pengamatan visual, uji komposisi
kimia, uji distribusi kekerasan dan foto struktur mikro. Secara visual terlihat
bahwa ball mill import memiliki permukaan kasar, hasil potongan berwarna
6

keputihan dan terdapat retakan-retakan kecil pada semua specimen. Hasil uji
komposisi kimia menunjukkan bahwa ball mill import d= 30 mm mengandung
2,934% C, 11,231% Cr, dan 0,117% Mo sedangkan d= 40 mm mengandung
2,693% C, 12,313% Cr dan 1,103 Mo, termasuk dalam kelompok Martensitic
white cast iron ASTM A532 Class II Type A. Hasil uji distribusi kekerasan
menunjukkan bagian permukaan lebih keras dibandingkan bagian pusat dengan
nilai kekerasan tertinggi 720,82 kg/mm2 (d= 30 mm) dan 746,5 kg/mm2 (d= 40
mm) sedangkan nilai kekerasan terendah 631,1 kg/mm2 (d= 30 mm) dan 544,0
kg/mm2 (d= 40 mm). Hasil pengamatan foto struktur mikro menunjukkan bahwa
struktur terdiri dari Perlit, Cementit dan Martensit.
Menurut Yusuf (2016) dalam penelitian Skripsi, Jurusan Teknik
Pertambangan, Universitas Islam Bandung yang berjudul Analisis Perbandingan
Antara Kondisi Normal Dengan Kondisi Pemompaan Langsung Ke Sump
Discharge Ball mill Dari Underflow Fines Thickener Untuk Meningkatkan
Efisiensi Milling Di PT Antam Tbk UBPE Pongkor, Kabupaten Bogor, Privinsi
Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi
milling dengan cara mengatasi fraksi halus -200 mesh yang berada di underflow
fines thickener dengan cara pemompaan langsung ke sump discharge ball mill.
Hasil penelitian ini menunjukkan proses pemompaan langsung lebih efisien dan
efektif karena feed yang berasal dari underflow fines thickener tidak melakukan
penggerusan di ball mill kerena jumlah fraksi halusnya >40 % dimana hasil
menunjukkan persen solid mengalami penurunan di discharge ball mill sebesar
12,8 % sumber crushing dan st 12 sebesar 9,55 %. Sump discharge ball mill
sumber crushing mengalami penurunan 8,19 %, crushing dan st 12 sebesar 10,05
%. Overflow mill cyclone juga mengalami persen solid dengan sumber crushing
3,33 % serta crushing dan st 12 sebesar 0,19 % serta dari crushing dan st sebesar
3,41 %. Fraksi halus mengalami penurunan pada discharge ball mill yang
bersumber dari crushing 5,64 % dan dari campuran crushing dan st 12 yaitu 4,25
%, pada sump discharge ball mill mengalami peningkatan sebesar 5,72 % yang
bersumber crushing dan 8,80 % bersumber dari campuran crushing dan st 12,
pada overflow mill cyclone mengalami peningkatan fraksi halus yang bersumber
7

dari crusher sebesar 2,08 % dan campuran crushing dan st 12 sebesar 4,41 %,
serta pada underflow mill cyclone mengalami penurunan fraksi halus 0,02 %
untuk yang bersumber dari crushing dan 1,08 % dari campuran crushing dan st
12. Serta langsung untuk sumber crushing berukuran 56,61 % dan sumber
crushing dan st 12 berkurang sebesar 90,76 %.
Menurut Aisyah (2018) dalam Jurnal Fisika, Jurusan Teknik Mesin,
Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul Desain Dan Pengujian UMM
Vertical Ball Mill (UVBM) Untuk Memproduksi Bubuk Aluminium. UMM
Vertical Ball Mill (UVBM) dimaksudkan sebagai alat untuk memproduksi serbuk
logam dengan karakteristik unggul dalam tingkat produksi sambil
mempertahankan bubuk logam berkualitas baik. Konsep desain mengadopsi teori
desain Phal dan Beitz dengan penekanan pada peningkatan kemungkinan
keberhasilan dalam aspek teknik dan ekonomi. Karena itu dirancang sebagai
gilingan bola vertikal, cara baru untuk memproduksi bubuk, maka perlu diuji
untuk kinerja setelah diproduksi. Pengujian pada UVBM dilakukan dengan
milling chip aluminium selama 5 (lima) waktu penggilingan yang berbeda dari 0,5
jam, 1 jam, 3 jam, 5 jam dan 7 jam, dan produk bubuk kemudian dicirikan untuk
itu morfologi dan ukuran menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM)
dan Saringan.Hasil penelitian adalah semakin panjang waktu penggilingan,
semakin halus serbuk. Dari hasil pengujian SEM, morfologi serbuk dengan 5
variasi waktu penggilingan sebagian besar serbuk berupa flake (datar), bulat kecil
dan bersudut (tidak beraturan). Distribusi ukuran bubuk terbaik diperoleh pada
variasi waktu penggilingan 3 jam, 5 jam, dan 7 jam dengan persentase 200 mesh
dalam ukuran 22,14%, 64% dan 91,25% masing-masing.
Menurut Azhari (2017) dalam penelitian Jurnal Isu Teknologi, Jurusan
Teknik Mesin, Sekolah Tinggi Teknologi Mandala Bandung yang berjudul
Pengaruh Putaran Mesin Terhadap Hasil Serbuk Lempung Pada Mesin
Penggililng Bahan Keramik. Sebanyak 72 % pengusaha industri kecil menengah
keramik tidak dapat menghasilkan serbuk lempung 80 % dari kapasitas mesin
dikarenakan pengaturan parameter mesin ball mill tidak sesuai. Parameter tersebut
antara lain putaran mesin, diameter bola alumina dan waktu pengoperasiannya.
8

Pengaruh besaran putaran mesin terhadap hasil serbuk lempung. Kapasitas mesin
yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 kg menggunakan diameter bola
alumina 20 mm dengan waktu pengoperasian mesin selama 10 jam tanpa berhenti.
Bongkahan lempung yang digunakan seberat 5.000 gram dan syarat kehalusan
lempung yang dihasilkan harus lolos ayakan 100 mesh karena merupakan bahan
baku terbaik dalam pembuatan keramik jenis gerabah. Disimpulkan bahwa serbuk
lempung yang dihasilkan seberat 4.246,378 gram pada putaran optimum
mesinyaitu 79,796 rpm yang dihitung dari persamaanya = -21126,63636 +
635,9484848 -3,984848485 sedangkan hasil serbuk lempung terbanyak yang
lolos 100 mesh adalah 4.825 gram pada putaran mesin 80 rpm. disarankan untuk
mengunakan berat bola alumina dan bongkahan lempung yang bervariasi serta
waktu penggilingannya lebih besar dari 10 jam supaya pengaruh variabel bebas
tersebut dapat terlihat. Apabila menginginkan hasil lebih baik lagi disarankan
untuk menggunakan bahan selain lempung sebagai bahan yang akan digiling
sedangkan bola alumina sebagai media grinding dapat diganti dengan
menggunakan bola stainless steel.
Menurut Sukmana (2015) dalam Prosiding Teknik Pertambangan,
Universitas Islam Bandung yang berjudul Penentuan Energi Ball Mill Dengan
Menggunakan Metode Indeks Kerja Bond. Indeks- kerja giling adalah energi yang
dibutuhkan untuk menggiling satu ton bahan galian yang dinyatakan dalam satuan
kilowatt/jam dengan standar Bond Ball Mill. Tujuan penghancuran dan
penggerusasn bijih ini yaitu untuk memisahkan mineral berharga dari batuan
induknya. Melalui kerja indeks Bond, maka akan didapat berapa besarnya energi
yang dikeluarkan oleh alat penggerus tersebut dengan standard Bond. Hasil analis
mineragrafi XRF (X-Ray Flourescence) terhadap 3 jenis sampel batuan
menunjukkan unmsur-insur utamanya. Pertama bijih besi yaitu Fe 57,4 %, kedua
bijih emas oksida berkadar Si 26,2 % dan Fe 18 %, dan ketiga bijih galena
berkadar Pb 31,8 %, Fe 19,3 % dan Zn 16,6 %. Setelah digiling hasilnya diamati
berdasarkan 2 fraksi ukuran -150 +105 µm dan -105 µm. Indeks kerja Bond pada
kondisi -149 µm (P80=100 mesh) untuk bijih besi yaitu 16,945 kW ton/jam, untuk
bijih emas yaitu 10,579 kW ton/jam, dan bijih galena yaitu 11,607 kW ton/jam.
9

Sedangkan pada kondisi -73 µm (P80=200 mesh) dengan 3 fraksi ukuran -


109+105 µm, -105+73 µm, dan -73 µm didapat indeks kerja Bond untuk bijioh
besi yaitu 20,926 kW ton/jam, untuk bijih emas 16,449 kW ton/jam, dan untuk
bijih galena 16,876 kW ton/jam. Angka ini menunjukkan besarnya kenaikan
energi yang dibutuhkan apabila tingkat kehalusan hasil giling dinaikkan dari -105
µm menjadi -73 µm.
Menurut Soenara (2009) dalam Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara
yang berjudul Percobaan Penggerusan Zeolit Tasikmalaya Dan Uji Kapasitas
Tukar Kationnya Pada Setiap Ukuran Hasil Gerus. Sifat-sifat ketergerusan dalam
penghalusan zeolit dengan menggunakan alat Ball Mill Denver dilakukan dengan
mempelajari beberapa faktor berpengaruh yang meliputi kecepatan putar (RPM)
dan waktu penggerusan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggerusan zeolit
Tasikmalaya menghasilkan kumulatif persen optimum lolos 99% pada ukuran –35
mesh dan minimum pada ukuran –200 mesh sebesar 27% dengan menggunakan
bola gerus berdiameter 48 mm, 52 rpm selama 12 menit. Kondisi optimum
tersebut diperoleh dari ujicoba terhadap variasi sembilan ukuran butiran sebagai
berikut: -6 + 35; -35+70; -70+100; -100+140; -140+170; -170+200; -200+270; -
270+325 dan -325 mesh. Semua variasi ukuran zeolit tersebut diuji kapasitas tukar
kationnya. Hasil pengujian kapasitas tukar kation menunjukkan bahwa ukuran
butiran semakin halus, kapasitas tukar kationnya semakin tinggi, tetapi setelah
kehalusan butiran mencapai -200 mesh nilai kapasitas tukar kationnya turun lagi.

2.2 Timah
Menurut Sukandarrumidi (2007), timah putih komersial berasal dari
mineral casiterite, stannit, dan tealit. Proses pembentukan bijih timah (Sn) berasal
dari magma cair yang mengandung mineral kasiterit (Sn02). Pada saat intrusi
batuan granit naik ke permukaan bumi, maka akan terjadi fase pneumatolitik,
dimana terbentuk mineral-mineral bijih diantaranya bijih timah (Sn). Mineral ini
terakumulasi dan terasosiasi pada batuan granit maupun di dalam batuan yang
diterobosnya, yang akhirnya membentuk vein-vein (urat), yaitu pada batuan granit
dan pada batuan samping yang diterobosnya. Mineral kasiterit terhambur pada
10

batuan tersebut dan baru dapat terlepas dari batuan induknya apabila batuan
mengalami pelapukan. Pelapukan dan kosentrasi mekanik membentuk endapan
aluvial maupun eluvial yang ada di Indonesia terkenal dengan nama bijih kulit dan
disebut sebagai kaksa. Seperti diketahui kaseterit termasuk resisten terhadap
pengangkutan air, sehingga memungkinkan dapat terkumpul sebagai endapan
placer. Kasiterit berasiosisasi dengan kuarsa, mika, monazit dan sedikit turmalin.
Deskripsi mineral casiterite pada umumnya dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Deskripsi timah (Sukandarumidi, 2007)
Deskripsi Keterangan
Nama mineral dan rumus kima Kasiterit (SnO2)
Sistem kristal Tetragonal
Belahan Tidak sempurna –{100}
Kekerasan 6–7
Berat jenis 6,99 – 7 (7,3 g/m3)
Kilap Intan sampai sublogam
Warna Coklat kemerahan sampai hitam
Keterdapatan Di dalam urat-urat bersama kuarsa di
granit, pada umumnya banyak ditemukan
dalam hidrotermal temperatur tinggi
Sifat lainnya Tahan terhadap udara lembab, tahan
terhadap korosi dan tidak beracun

Menurut Graha (1987), timah adalah logam berwarna putih keperakan


dengan kekasaran dan kekuatan (strength) yang rendah, serta mempunyai sifat-
sifat konduktivitas panas dan listrik yang tinggi memiliki warna kecoklatan
dengan 4 mineral ikutannya yaitu monazit, zirkon, ilmenit dan kuarsa. Logam ini
dalam keadaan normal (13° - 60° C) mempunyai sifat mengkilap dan sangat
mudah dibentuk serta mempunyai berat jenis 6,9 - 7,3 g/cm³. Jika dipanaskan
diatas temperatur tersebut, sifatnya akan menjadi sangat rapuh dan mudah berubah
menjadi serbuk halus.
11

2.3 Endapan Timah Primer


Endapan bijih timah terbagi 2 tipe yaitu endapan primer atau hipogen dan
endapan sekunder atau supergen. Endapan primer merupakan endapan bijih timah
yang terkonsentrasi pada batuan pembawa bijih timah tersebut. Sedangkan
endapan timah letakan atau disebut juga supergen merupakan endapan timah yang
sudah terlepas dari batuan pembawanya, kemudian tertransportasi dan
terendapkan/terkonsentrasi di suatu tempat tertentu. Biasanya endapan timah ini
berupa layer-layer mineral pembawa timah seperti kasiterit pada umumnya.
Secara garis besar, tipe endapan timah primer dibagi menjadi 4 kelompok antara
lain porfiri, skarn dan penggantian karbonat atau sulfida, urat, serta greisen dan
pegmatit (Lehmann, 1990).
2.3.1 Porfiri
Endapan timah primer profiri banyak berasosiasi dengan tembaga pada
tubuh porfirinya dan terkandung dalam batuan beku plutonik seperti monzonit
kuarsa, granodiorit, tonalit, dan sebagainya yang terbentuk pada kedalam dan
temperatur lebih tinggi daripada epitermal (Evans, 1993). Contoh dari model
endapan timah tipe porfiri dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut :

Gambar 2.1 Model endapan timah primer tipe porfiri (Taylor, 1979)
Pada sistem porfiri ini bijih timah dibawa oleh tubuh intrusi magma yang
besar dan melalui fluida magmatiklah unsur-unsur timah kemudian
termineralisasikan pada urat maupun stockwork. Bijih timah yang terendapkan
12

pada stockwork hanya berkisar 0,1 % sehingga dianggap kurang profit untuk
ditambang (Evans, 1993).
2.3.2 Skarn dan Penggantian Karbonat atau Sulfida
Skarn dikenal pula sebagai metamorfisme hidrotermal, igneous
metamorphic, dan metamorfisme kontak (Evans, 1993). Namun terminologi
mengenai skarn yang paling tepat yaitu pyrometasomatism (Lindgren, 1933).
Endapan pirometasomatisme merupakan endapan yang berbentuk iregular, seperti
menggerombol, atau tabular mengikuti bentuk kontaknya, terbentuk secara
metasomatik melalui proses penggantian atau replacement terhadap batuan
samping dengan penambahan unsur yang terjadi pada temperatur tinggi oleh
pancaran panas dari batuan intrusi. Sedangkan Kwak (1986) dalam Evans (1993)
mengartikan skarn sebagai batuan yang terbentuk oleh proses penggantian
kalsium dan magnesium oleh kalsium silikat dan magnesium silikat. Sehingga
dapat kita ketahui bahwa endapan skarn haruslah kontak antara batuan beku
intrusif dengan batuan sedimen karbonat. Contoh dari model endapan timah tipe
skarn dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai berikut :

Gambar 2.2 Model endapan timah primer tipe skarn (Taylor, 1979)
Bentuk endapan skarn atau pirometasomatisme ini umumnya disseminated
yaitu tersebar di dekat kontak kedua batuan. namun bisa juga berlapis apabila
batuan karbonat yang diterobos memiliki struktur berlapis. Fluida magmatik yang
13

membawa mineral logam akan melewati rekahan pada batuan karbonat dan
mengganti mineral karbnat tersebut (Ca dan Mg) serta mengendapkan mineral-
mineral logam. Endapan timah pada tipe ini umumnya berasosiasi dengan mineral
wolfram (W).
2.3.3 Urat (Vein)
Urat atau sering dikenal dengan kata vein merupakan suatu rekahan yang
terdapat dalam batuan, rekahan ini bisa terbentuk akibat proses-proses geologi
seperti tektonik, magmatisme, hidrotermal, dan sebagainya. Dalam konteks
mineralisasi endapan bijih, urat menjadi suatu wadah bagi mineral untuk
terendapkan. Fluida hidrotermal maupun magmatik yang membawa unsur logam
akan lebih mudah melewati batuan melalui rekahan. Dan melalui rekahan itu juga
nantinya logam-logam yang dibawa akan termineralisasi menjadi suatu endapan
logam. Urat bisa terbentuk di mana saja baik dalam sistem porfiri, epitermal,
greisen, maupun skarn. Contoh dari model endapan timah tipe urat dapat dilihat
pada gambar 2.3 sebagai berikut :

Gambar 2.3 Model endapan timah tipe urat (Taylor, 1979)


Dalam hubungannya dengan endapan timah primer, urat menjadi tempat
mineralisasi logam timah dan kebanyakan ada pada sistem porfiri, dimana timah
termineralisasi dalam urat atau stockwork.
14

2.3.4 Greisen dan Pegmatit


Greisen merupakan suatu endapan yang berbentuk sebagai agregat kuarsa,
muskovit, atau lepidolit dengan mineral-mineral aksesori seperti topas, turmalin,
dan flourit yang terbentuk dari post-magmatic alterasi metasomatik batuan granit
(Stemprok, 1987). Greisen ini merupakan salah satu endapan bijih penghasil
timah dan wolfram yang paling banyak. Proses mineralisasi logamnya terletak
pada bagian ujung puncak dari intrusi granit dengan bentuk yang iregular ataupun
seperti lembaran-lembaran pada bagian kontak antara intrusi dengan batuan
samping yang diterobosnya. Contoh dari model endapan timah tipe greisen dapat
dilihat pada gambar 2.4 sebagai berikut :

Gambar 2.4 Model endapan timah tipe greisen (Taylor, 1979)


Sedangkan endapan pegmatit menurut Evans (1993) merupakan batuan
beku atau batuan metamorf yang memiliki ukuran butir kristal mineral yang kasar,
dan umumnya memiliki komposisi yang granitik. Endapan pegmatit memiliki
tubuh yang besar dan luas. Bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari massif
memanjang, melensa, maupun elipsoidal.
2.4 Proses Penambangan Timah
Menurut Sujitno (2007), penambangan endapan timah dilakukan dengan
cara tambang terbuka (open pit), digali menggunakan alat-alat berat seperti dozer,
15

power shovel dan lain-lain. Endapan aluvial atau eluvial dilakukan dengan
penyemprotan (hidraulicking). Endapan timah yang terkonsentrasi dilapisan tanah
disemprot dengan air tekanan tinggi, lumpur dan timah dihisap dengan mesin
untuk selanjutnya akan diproses secara gravitasi seperti jig, shaking table, sluice
box, dan humrey spiral untuk proses pemisahannya.
Di daerah lepas pantai dilakukan dengan kapal isap atau kapal keruk yang
dilengkapi dengan jig untuk proses pemisahannnya, bijih timah yang sudah dicuci
kemudian dikeringan untuk selanjutnya dilebur dengan tanur kemudian dituang
dalam cetakan dengan bentuk balok. Timah balok ini selanjutnya diekspor dan
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri.
Proses penambangan timah dilakukan dengan berbagai macam teknik atau
cara. Teknik penambangannya disesuaikan dengan kondisi lokasi penambangan
baik itu di darat maupun di laut. Penambangan timah tidak hanya dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang memiliki alat penambangan timah yang canggih.
Penambangan timah dengan cara dulang saat ini masih banyak diterapkan oleh
penambang dengan skala kecil yaitu penduduk lokal. Sedangkan perusahaan
pertambangan timah skala besar lebih memilih menggunakan peralatan yang lebih
canggih dan efisien seperti monitor, kapal keruk, kapal isap, maupun BWD dalam
proses penambangannya.

2.5 Pengolahan Bahan Galian


Pengolahan bahan galian, terkadang disebut ore dressing, mineral dressing
atau milling termasuk proses pertambangan dan penyiapan bijih untuk diektraksi
mineral logam berharganya pada bijih yang mengandung mineral logam dan
diproduksi pada tahap akhir sebagai produk komersil seperti bijih besi dan
batubara. Berhubungan dengan ukuran butir dari bijih, pengolahan bahan galian
merupakan proses pemisahan fisik butiran mineral berharga dari mineral
pengotornya untuk menghasilkan konsentrat yang terdiri dari kumpulan mineral
berharga dan tailing yang terdiri dari kumpulan mineral pengotornya (Wills dan
Atkinson, 1991).
16

Menurut Wills (1980) dalam Arief (2014), pengolahan bahan galian yang
dapat disebut juga dengan mineral prosessing technology yang merupakan suatu
proses pengolahan bahan galian atau mineral untuk memisahkan mineral berharga
dari mineral pengotornya yang kurang berharga dengan memanfaatkan perbedaan
sifat-sifat fisik dari mineral tersebut tanpa mengubah identitas kimia dan fisik dari
produk tersebut. Proses pengolahan bahan galian biasanya dilakukan di lokasi
tambang untuk mendapatkan konsentrat yang kadarnya sudah lebih tinggi dari
semula, sehingga mempunyai nilai ekonomis untuk dilakukan ketahap
selanjutnya.
Menurut Tobing (2002) dalam Arief (2014), pengolahan bahan galian
(mineral dressing) merupakan istilah yang digunakan untuk mengolah semua
jenis bahan galian tambang yang berupa mineral, batuan, bijih atau bahan galian
lainnya yang ditambang atau diambil dari endapan-endapan alam pada kulit bumi
untuk dipisahkan menjadi produk berupa satu macam atau lebih bagian mineral
yang dikehendaki dan bagian yang tidak dikehendaki yang terdapat bersama-sama
di alam. Mineral yang dikendaki disebut juga mineral berharga (konsentrat),
sedangkan mineral yang tidak dikehendaki disebut mineral buangan
(waste/tailing), tujuan dari pengolahan bahan galian adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan kadar dan harga jual bahan galian.
2. Memisahkan mineral berharga dengan mineral pengotornya.
3. Memisahkan mineral berharga satu dengan lainnya.
4. Mengurangi kehilangan jumlah mineral berharga.
5. Mengurangi biaya pengangkutan.
Disamping keuntungan yang disebutkan terdapat juga kerugiannya, yaitu
adanya kehilangan (losses) mineral yang diinginkan dalam proses pengolahannya
dan adanya ongkos (biaya) untuk operasi pengolahan itu sendiri. Meskipun
demikian biaya proses pengolahan bijih (mineral logam) secara bertingkat yaitu
dimulai dengan proses mineral dressing dan dilanjutkan dengan proses metalurgi,
masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan langsung proses metalurgi.
Pengolahan bahan galian dalam prosesnya terdiri dari dua proses yaitu
sebagai berikut:
17

1. Liberation (liberasi) yaitu, melepaskan atau membebaskan mineral-mineral


berharga dari ikatan mineral ikutannya (mineral pengotor) dengan cara
pengecilan ukuran, sehingga terjadi pelepasan masing – masing butiran mineral
tersebut.
2. Memisahkan butiran-butiran mineral berharga tersebut dari mineral
pengotornya yang sudah terbebaskan disebut konsentrasi (concentration).
Proses pengolahan bahan galian bertujuan untuk melepaskan mineral
beharga dari pengotornya yang dilakukan dengan pengecilan ukuran
(comminution) dibagi menjadi dua tahap yaitu dengan cara peremukan (crushing)
dan penggerusan (grinding), sehingga diperoleh hasilnya berupa butiran-butiran
bebas (free particles), kemudian terhadap butiran-butiran yang sudah bebas
tersebut dilakukan pemisahan dengan alat-alat konsentrasi. Secara umum proses
pengolahan bahan galian terdiri dari beberapa langkah operasi yaitu :
1. Comminution (pengecilan ukuran)
Comminution adalah proses pengecilan ukuran yang dilakukan dengan cara
memecah bongkah batuan yang besar menjadi butiran-butiran yang lebih kecil,
sehingga terjadi pelepasan (liberasi) dari mineral-mineral yang berharga atau
diperoleh ukuran butiran yang diinginkan.
2. Sizing (penyeragaman ukuran)
Sizing merupakan proses pemisahan butiran mineral menjadi bagian-bagian
atau fraksi yang berbeda dalam ukurannya, sehingga setiap fraksi terdiri dari
butiran yang hampir sama ukurannya yang dilakukan dengan tiga cara yaitu :
a. Penyaringan atau pengayakan (sieving/screening), yang merupakan pemisahan
butir mineral berdasarkan besar lubang ayakan pada saringan, sehingga didapat
hasil yang seragam.
b. Klasifikasi (classifying), merupakan pemisahan butiran bersadarkan kecepatan
jatuh butiran di dalam air atau udara, sehingga didapatkan hasil yang seragam.
3. Concentration (konsentrasi)
Concentration merupakan proses pengolahan bahan galian yang bertujuan
untuk memisahkan butiran-butiran mineral berharga dari mineral pengotornya
18

agar didapatkan kadar yang tinggi. Berdasarkan perbedaan sifat fisik dari mineral-
mineral, maka proses konsentrasi dapat dibagi empat macam yaitu:
a. Konsetrasi gravimetri yaitu pemisahan berdasarkan gaya berat.
b. Konsentrasi magnetis yaitu pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan.
c. Konsentrasi elektrostatis yaitu pemisahan berdasarkan perbedaan sifat daya
hantar listrik.
d. Konsentrasi secara flotasi yaitu pemisahan berdasarkan sifat fisik permukaan
mineral terhadap pengaruh bahan kimia.
3. Dewatering (pengeringan)
Dewatering adalah proses untuk mengurangi/menghilangkan kandungan air
dari hasil akhir proses pengolahan bahan galian yang menggunakan air dalam
operasinya. Dewatering dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu: pengentalan
(thickening), penyaringan (filtering) dan pengeringan (drying).

2.6 Ball mill


Ball mill merupakan salah satu jenis alat fine grinding, dengan
menggunakan bola baja sebagai grinding media. Karena balls (bola-bola)
memiliki memiliki luas permukaan per unit berat lebih besar dari rod, maka balls
lebih baik untuk untuk hasil akhir yang bagus/halus (Wills, 2006). Ball mill dapat
dilihat pada gambar 2.5 sebagai berikut :

Gambar 2.5 Ball mill (Wills, 2006)


Prinsip kerja ball mill adalah memutar silinder yang berisi bola-bola
grinding yang terbuat dari baja dan material (bijih) di dalamnya, proses grinding
19

terjadi dengan pergerakan bola-bola dimana bola-bola berputar didalam mill dan
menggerus bijih.
Mekanisme kerja dari grinding ini adalah dengan memanfaatkan gaya yang
bekerja untuk memecah umpan, gaya-gaya tersebut antara lain :
a. Impact atau penekanan, dimana gaya diberikan hampir ke seluruh permukaan
partikel.
b. Chipping, dimana gaya memiliki sudut tertentu.
c. Abration (gesek), dimana gaya paralel terhadap permukaan partikel.
Gaya-gaya yang bekerja pada proses grinding dapat dilihat pada gambar 2.6
sebagai berikut :

Gambar 2.6 Gaya-gaya yang bekerja pada proses grinding ; a) impact


(compression), b) chipping, c) abrasion (Wills, 2006)
Pada pengolahan bijih, mineral atau bahan galian pada umumnya dilakukan
secara basah. Muatan mill terdiri dari grinding media atau media gerus, bijih dan
air. Muatan ini akan tercampur dengan baik ketika mill berputar. Media gerus
akan dapat mengecilkan partikel bijih dengan satu atau beberapa gaya. Sebagian
besar energi kenetik dari muatan mill akan terbuang sebagai panas, suara dan
kehilangan lainnya. Hanya sebagian kecil saja yang termanfaatkan sebagai energi
untuk pengecilan ukuran.
Operasi penggerusan berjalan secara kontinyu, artinya umpan masuk ke
dalam mill melalui salah satu ujungnya secara terus-menerus dengan laju tertentu.
Bijih di dalam mill akan digerus menggunakan grinding media hingga terjadi
pengecilan ukuran dan kemudian keluar pada ujung yang lainnya. Ukuran bijih
hasil pengerusan dipengaruhi jenis media gerus, putaran mill, tipe sirkuit dan sifat
bijih yang digerus.
20

Saat beroperasi, mill akan berputar dan grinding media beserta bijih akan
ikut terbawa naik oleh dinding mill ke arah yang lebih tinggi sampai mencapai
titik atau posisi kesetimbangan dinamiknya. Kesetimbangan dinamiknya tercapai
ketika gaya berat sama dengan gaya centrifugal. Setelah titik kesetimbangan
terlampaui, maka muatan akan bergerak ke bawah sesuai dengan kecepatan putar
millnya.
Berdasarkan kecepatan putaran mill terdapat dua mekanisme penggerusan
yaitu, cascading dan cataracting. Kedua mekanisme ini akan menghasilkan
distribusi ukuran produk yang berbeda. Pergerakan material di dalam ball mill
dapat dilihat pada gambar 2.7 di bawah :

Gambar 2.7 Pergerakan material di dalam ball mill (Wills, 2006)


Menurut Schlanz (1987), pengaturan proses grinding sangat penting, karena
berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan dari proses penggerusan. Produk
yang dihasilkan harus diketahui dan dikontrol ukuran butirnya, karena
berpengaruh terhadap proses yang akan dilakukan selanjutnya. Secara umum,
faktor yang mempengaruhi dalam praktek industri adalah :
1. Perubahan karakteristik bijih dari berbagai front tambang yang berbeda
2. Perubahan dari pengaturan crusher
3. Jenis crusher yang digunakan
4. Kerusakan screen pada unit crusher
21

Menurut Schlanz (1987), variabel yang mempengaruhi efektivitas proses


penggerusan yaitu :
1. Perubahan dari laju umpan
Laju pengumpanan akan berpengaruh terhadap kapasitas dan waktu tinggal
(residence time). Semakin tinggi laju pengumpanan maka kapasitas produksi
alat semakin tinggi.
2. Perubahan beban sirkulasi
Loading material umpan berpengaruh terhadap efektivitas milling, semakin
besar rasio material yang masuk terhadap kapasitas ruang ball mill maka
efektivitas penggerusan akan berkurang. Hal ini akan berpengaruh terhadap
waktu tinggal yang lebih lama.
3. Ukuran umpan
Ukuran umpan yang masuk ke ball mil akan mempengaruhi efektivitas
milling, perbandingan ukuran grinder terhadap ukuran umpan haruslah
berkesesuaian sehingga didapat nilai efektivitas penggerusan yang tinggi.
Semakin kecil ukuran umpan berpengaruh terhadap kecepatan dalam proses
penggerusan.
4. Kekerasan dari bijih
Kekerasan bijih menjadi faktor penting dalam proses milling, kekerasan bijih
akan mempengaruhi pemilihan jenis grinder yang tepat agar dicapai efektivitas
penggerusan dan ketahanan grinder itu sendiri.
5. Laju air
Laju air berperan penting dalam operasi pengolahan, air sebagai sarana
transportasi media pada ball mill. Semakin tinggi laju air maka semakin cepat
material tertransportasi pada proses milling. Ball mill pada umumnya
beroperasi dengan 65 % padatan.
Dari variabel di atas, distribusi ukuran bijih dan kekerasan dari bijih adalah
hal yang sangat penting, karena mempengaruhi hasi penggerusan yang dilakukan.
Ada dua variabel yang dapat dirubah, yaitu kecepatan pengumpanan dan laju
aliran fluida. Semua variabel lain tergantung pada perubahan dua variabel
tersebut, karena itu digunakan untuk mengontrol proses grinding.
22

2.7 Analisis Ukuran Butir Partikel


Analisis ukuran butiran adalah hal yang mendasar dalam analisis
laboratorium. Fungsi utama analisis partikel adalah untuk menentukan data
kuantitatif ukuran dan distribusi ukuran partikel secara tepat (Allen, 1997).
Metode analisa ukuran butiran partikel menggunakan sieve (ayakan) merupakan
salah satu metode tertua yang ada. Material yang akan dianalisis diletakkan pada
saringan paling atas, dimana diameter lubang pada saringan disusun dari yang
paling besar (atas) hingga yang yang terkecil (bawah). Saringan akan digetarkan
dengan mesin dalam jangka waktu tertentu (Wills & Napier-Munn, 2006). Contoh
alat vibrating sieve shaker dapat dilihat pada gambar 2.8 sebagai berikut :

Gambar 2.8 Vibrating sieve shaker (Wills & Napier-Munn, 2006)


Ada banyak metode untuk mengetahui distribusi ukuran butir pada
persentase berat kumulatif (under size), seperti menggunakan kertas grafik
aritmatika, grafik semi-log dengan menambahkan persamaan garis lurus. Analisis
ukuran butir sangat diperlukan dalam analisa proses kinerja alat grinding. Analisa
yang dipakai untuk mencari ukuran rata-rata terbanyak yang lolos adalah dengan
menggunakan P80, dimana akan diketahui persentase ukuran partikel dengan
jumlah yang lolos adalah 80% dari sampel selama pengayakan (Wills & Napier-
Munn, 2006).

Anda mungkin juga menyukai