Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tsunami

Tsunami adalah sebuah gelombang besar air laut yang diakibatkan adanya

gangguan di dasar laut, seperti gempa atau longsor yang terjadi di laut. Perbedaan

antara tsunami dan gelombang biasa adalah tsunami melibatkan air dari permukaan

hinggga dasar sedangkan gelombang biasa pada umumnya gelombangnya tidak

mencapai dasar laut, sehingga hal ini yang menjadikan energi pada tsunami lebih

besar dari gelombang biasa.

Gelombang tsunami adalah jenis gelombang yang menyebar kesegala arah

dengan kecepatan gelombang mencapai 600-900 km/jam. Karena kecepatannya

yang tinggi gelombang tsunami tidak akan terasa oleh nelayan yang berada ditengah

laut. Kecepatan gelombang tsunami dipengaruhi oleh kedalaman laut yang di lalui

oleh gelombang tsunami.

Dengan frekuensi yang tetap, panjang gelombang berbanding lurus dengan

kecepatan sehingga gelombang semakin pendek. Karena sifat gelombang tsunami

yang menjangkau hingga dasar laut, maka saat laut dangkal, energi yang

sebelumnya tersebar jauh sampai dasar mulai berpindah ke atas yang

menyebabkan bertambahnya tinggi gelombang tsunami.


Gambar 2.1. Penjalaran Gelombang Tsunami
(Sumber : PVMBG)

Kecepatan tsunami saat mendekati pantai juga dipengaruhi oleh kondisi

dasar perairan di sekitar pantai. Jika pantai tersebut banyak terdapat terumbu

karang hinggga hampir permukaan, maka gesekan antara gelombang dengan

karang semakin besar sehingga kecepatan gelombang tsunami semakin berkurang.

Berdasarkan jarak, jaraknya tsunami diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :

1. Tsunami jarak dekat/local (near field/local field tsunami)

Tsunami jarak dekat adalah tsunami yang terjadi di sekitar jarak 200 km dari

episenter gempa bumi. Tsunami lokal dapat disebabkan oleh gempabumi,

longsor, atau letusan gunung berapi.

2. Tsunami jarak jauh (far field tsunami)

Tsunami jarak jauh adalah tsunami yang terjadi di daerah pantai yang berjarak

ratusan hingga ribuan kilometer dari sumber gempabumi. Awalnya merupakan

tsunami jarak dekat dengan kerusakan yang luas di daerah dekat sumber

gempabumi, kemudian tsunami tersebut terus menjalar melintasi seluruh


cekungan laut dengan energy yang cukup besar dan menimbulkan banyak korban

serta kerusakan di pantai yang berjarak lebih dari 1000 km dari sumber

gempabumi (ITIC, Tsunami Glossary).

Tsunami merupakan jenis bencana yang berlangsung dengan proses yang

cepat dan dampak yang ditimbulkan di setiap wilayah berbeda-beda sehingga di

perlukan suatu analisis khusus terhadap ancaman tsunami tersebut.

Dari tahun 1600 sampai dengan tahun 2007, Indonesia telah mengalami

beberapa kali tsunami besar dan hampir 90% kejadiannya disebabkan oleh gempa

bumi di laut, 9% diakibatkan oleh letusan gunung api dan 1% karena longsoran

bawah laut (Latief dkk., 2000).

Gambar 2.2. Peta sebaran sumber tsunami Idonesia Tahun 2000 – 2017
(Sumber : BMKG., 2019)

Daya rusak gelombang tsunami sangat dipengaruhi oleh bentuk topografi

suatu wilayah. Energi gelombang akan lebih besar apabila pesisir pantai

membentuk huruf V atau membentuk suatu teluk hal ini disebabkan adanya
penyempitan yang membuat gelombang saling bertemu.

2.2 Penyebab Tsunami

Terdapat beberapa faktor penyebab tsunami yaitu sebagai berikut :

2.2.1 Gempa Bumi Bawah Laut

Pemicu paling umum dari tsunami adalah gempa bumi yang terjadi di laut,

dimana gempa tersebut ditimbulkan oleh pertemuan dua lempeng dimana salah satu

lempeng mendesak lempeng yang lain. Saat kondisi dimana desakan antara lempeng

tersebut lepas akan menimbulkan energi yang memicu terjadinya tsunami.

Selain karena pergerakan lempeng, tsunami juga disebkan karena pergerakan

patahan atau sesar yang ada di dasar laut. dimana pergerakan lempeng tersebut

menimbulkan energi yang menyebabkan naiknya air laut. Umumnya gempa dengan

kekuatan magnitudo di atas 7,0 yang dapat memicu terjadinya tsunami. Puspito

(2008) menyatakan berdasarkan mekanisme sumber, 75% kejadian disebabkan oleh

sesar naik, 20% karena sesar geser, dan 5% karena sesar normal.

Gambar 2.3 Proses tsunami akibat pertemuan dua lempeng Sumber : U.S.
(Geological Survey, Circular 1187)
Gambar 2.4 Proses terjadinya tsunami akibat pergerakan patahan
(Sumber : howstuffworks.com)

Naryanto (2008) menyebutkan pulau Sumatera terpotong oleh patahan aktif

Sumatera (Semangka) sepanjang 1.650 km dan merupakan patahan aktif terpanjang

yang terdapat di Indonesia. Patahan Sumatera terbagi menjadi 18 segmen yang

panjang masing-masing berkisar antara 45 dan 200 km.

2.2.2 Letusan Gunung Api di Laut

Aktifitas gunung api yang berada di laut dapat memicu terjadinya gelombang

tsunami. Saat terjadi aktifitas vulkanis gunung api meningkat akan mengeluarkan

material yang ada didalam gunung tersebut. Energi dari aktifitas gunung api tersebut

dapat menyebabkan bagian dari gunung tersebut longsor. Jumlah longsoran yang

cukup besar secara tiba-tiba dapat memicu terjadinya gelombang tsunami. Besarnya

gelombang tsunami yang timbul sangat bergantung kepada jumlah material longsor

yang jatuh kelaut. Semakin besar material yang jatuh kelaut semakin besar

gelombang yang ditimbulkan.


Gambar 2.5 Proses Terjadinya Tsunami Akibat Gunung api
(Sumber : U.S. Geological Survey, Circular 1187)

Thomas Giachetti, dkk (2012) kemungkinan terjadinya tsunami apabila

terjadi longsor pada tubuh Gunung Anak Krakatu dan gelombang tsunami tersebut

akan menerjang wilayah pesisir Selat Sunda dengan tinggi yang berbeda-beda

seperti ditampilkan dalam table di bawah ini.

Tabel 2.1 Waktu Kedatangan Tsunami dan Ketinggian Gelombang

(Sumber : Thomas Giachetti dkk, 2012)

2.2.3 Longsoran Bawah Laut

Tsunami yang diakibatkan oleh longsoran bawah laut disebut sebagai

tsunamigenic submarine landslide. Tsunami yang diakibatkan murni oleh longsoran

bawah laut tanpa pengaruh gempa sangat jarang terjadi. Longsor bawah laut dapat

terjadi di daerah yag memiliki endapan Budiono (2009) menyebutkan longsoran


bawah laut sangat berpotensi terjadi pada daerah dengankemiringan lereng yang

curam, berintensitas tektonik dan juga gempa bumi yang besar. Semakin besar

gempa bumi, semakin besar longsoran yang akan terjadi dan berpotensi

menimbulkan tsunami.

2.3 Pemodelan Tsunami

Sebaran luasan wilayah terdampak (bahaya) tsunami diperoleh dari hasil

perhitungan matematis yang dikembangkan oleh Berryman (2006) berdasarkan

perhitungan kehilangan ketinggian tsunami per 1 m jarak inundasi (ketinggian

genangan) berdasarkan harga jarak terhadap lereng dan kekasaran permukaan.

Dimana :

Hloss : Kehilangan ketinggian tsunami per 1 m jarak inundasi

n : Koefisien kekasaran permukaan

H0 : Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai (m)

S : Besarnya lereng permukaan (Derajat)

Parameter ketinggian gelombang tsunami di garis pantai mengacu pada

hasil kajian BNPB yang merupakan lampiran dari Perka No. 2 BNPB Tahun 2012

yaitu Panduan Nasional Pengkajian Risiko Bencana Tsunami. Parameter

kemiringan lereng dihasilkan dari data raster DEM dan koefisien kekasaran

permukaan dihasilkan dari data tutupan lahan (landcover). Indeks bahaya tsunami

dihitung berdasarkan pengkelasan inundasi sesuai Perka No. 2 BNPB Tahun 2012

menggunakan metode fuzzy logic.


Tabel 2.2. Nilai koefisien permukaan masing-masing jenis
penutupan/penggunaan lahan

Jenis Penutupan/ Penggunaan Nilai Koefisien


Lahan Kekasaran
Badan Air 0.007
Belukar/Semak 0.040
Hutan 0.070
Kebun/Perkebunan 0.035
Lahan Kosong/Terbuka 0.015
Lahan Pertanian 0.025
Pemukiman/Lahan Terbangun 0.045
Mangrove 0.025
Tambak/Empang 0.010
Sumber : Dimodifikasi dari Berryman (2006)

Gambar 2.6 Transformasi ketinggian inundasi tsunami menjadi indeks


bahaya tsunami dengan fuzzy logic

2.4 Kejadian Tsunami di Provinsi Lampung

Menurut Yudhicara dan K.Budiono (2008), Indonesia bagian barat berada

pada pertemuan dua lempeng utama dunia yang aktif, yaitu Lempeng Samudera

Hindia-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Benua Eurasia. Masih di

dalam Yudhicara dan K.Budiono (2008), Hamilton (1979) menjelaskan akibat


pertemuan kedua jenis lempeng yang berbeda ini membentuk suatu busur

kepulauan yang berkarakteristik adanya palung samudera, busur non gunung api

yang tersusun oleh prisma akresi, busur gunung api, dan cekungan busur

belakang.

Menurut Winchester, S. (2003) di dalam Jokowinarno,D. (2009) setidaknya

terjadi 90 tsunami dalam kurun 250 tahun terakhir karena letusan gunung berapi.

Letusan Krakatau tahun 1883 yang menimbulkan gelombang raksasa dengan

korban jiwa sekitar 35.500 orang merupakan tsunami vulkanik paling besar. Ada

beberapa literatur menyebutkan bahwa Selat Sunda berada pada kombinasi

kondisi tektonik tersebut, dengan zona penunjaman yang memanjang dari ujung

utara Pulau Sumatera membelok di Selat Sunda, memisahkan antara dua system

penunjaman yang berbeda, yaitu sistem penunjaman miring (oblique) di perairan

barat Sumatera dengan sistem penunjaman tegak (frontal) di perairan selatan Jawa

(Harjono dkk., 1991).

Berdasarkan katalog tsunami yang ditulis oleh Soloviev dan Go (1974)

dalam Yudhicara dan Budiono, K., (2008), telah tercatat adanya beberapa kali

kejadian tsunami di Selat Sunda. Puncaknya adalah saat terjadi letusan Gunung

Krakatau pada tahun 1883 yang memicu tsunami besar dan perubahan iklim

global.

Tabel 2.3 Data Kejadian Tsunami di Selat Sunda

Waktu Data Kejadian Tsunami di Selat Sunda


Tahun Uraian Kejadian Tsunami
Kitab Jawa yang berjudul “Book of Kings” (Pustaka Radja), mencatat
adanya beberapa kali erupsi dari Gunung Api*, yang menyebabkan
416
naiknya g elombang laut dan menggenangi daratan, dan memisahkan

8:00 terjadi gempa P. Sumatera


bumi kuat didengan P. Jawa.
laut, yang dirasakan di Jakarta dan
Oktober 1722 menyebabkan air laut naik seperti air mendidih.
2:00, Gempa bumi yang kuat dirasakan di Jakarta kurang lebih selama
5 menit. Pada 2:05, selama goncangan yang terkuat, angin dirasakan
24 Agustus 1757
berasal dari timur laut. Air sungai Ciliwung meluap naik hingga 0,5
meter dan membanjiri Kota Jakarta.

4 Mei 1851 Di Teluk Betung, di dalam Teluk Lampung di pantai selatan pulau
Sumatera, teramati
Segera setelah gelombang
18:00, dirasakanpasang naik 1,5
gempabumi m dimenyebar
yang atas air pasang
dari
bagian barat Jawa hingga bagian selatan Sumatera, dirasakan juga
9 Januari 1852
di Jakarta, dan gempa-gempa susulannya dirasakan pula di Bogor
dan Serang. Pada 20:00 terjadi fluktuasi air laut yang tidak seperti
10:02, terjadi erupsi yang sangat dahsyat dari gunung api Krakatau,
yang diikuti oleh gelombang tsunami. Ketinggian tsunami maksimum
teramati di Selat Sunda hingga 30 meter di atas permukaan laut, 4 meter
27 Agustus 1883
di pantai selatan Sumatera, 2-
Di Cikawung di pantai Teluk Selamat Datang, teramati gelombang laut
10 Oktober 1883 yang membanjiri pantai sejauh 75 m.
Lima bulan setelah kejadian erupsi Gunung api Krakatau, tsunami
Februari 1884 kecil teramati di sekitar Selat Sunda, diakibatkan oleh suatu erupsi

Agustus 1889 Teramati kenaikan permukaangunung


air lautapi.
yang tidak wajar di Anyer, Jawa
Kejadian erupsi gunung apiBarat
Krakatau diiringi oleh kenaikan
26 Maret 1928 gelombang laut yang teramati di beberapa tempat di sekitar wilayah

5:40, dirasakan gempa bumi di Bengkulu, Palembang, Teluk Banten


22 April 1958
dan Banten yang diiringi dengan kenaikan permukaan air laut yang
Sumber : Katalog Soloviev dan Go,1974 dalam Yudhicara dan Budiono, K., (2008)

Karena kondisi geologi dan tektonik regional tersebut memunculkan tidak

hanya satu potensi tsunami saja, namun banyak potensi yaitu :

1. potensi tsunami akibat gempa bumi;


2. potensi tsunami akibat gunungapi;

3. potensi tsunami akibat longsoran di pantai; dan

4. potensi tsunami akibat longsoran bawah laut (submarine landslide).

Gambar 2.7 Potensi Tsunami di Selat Sunda Berdasarkan Katalog Tsunami


Soloviev
(Sumber : Yudichara dan K.Budiono, 2008)

2.5 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana


Berdasarkan Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana pada Bab I Ketentuan Umum, dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang

meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,

kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi

(Ketentuan Umum, angka 5);

2. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana

(Ketentuan Umum, angka 6);

3. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang

tepat guna dan berdaya guna (Ketentuan Umum, angka 7);

4. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera

mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada

suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (Ketentuan Umum, angka 8);

5. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik

melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

menghadapi ancaman bencana (Ketentuan Umum, angka 9);

6. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan

segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang

ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta

benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,

penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana (Ketentuan Umum, angka

10);
7. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan public

atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana

dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua

aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana

(Ketentuan Umum, angka 11);

8. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,

kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan

maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya

kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,

dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan

bermasyarakat pada wilayah pasca bencana (Ketentuan Umum, angka 12);

9. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,

klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada

suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan

mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk

menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (Ketentuan Umum, angka 14);.

10. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi

masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan

kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya

rehabilitasi (Ketentuan Umum, angka 15);

11. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan

ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana

(Ketentuan Umum, angka 16);


12. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada

suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,

sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau

kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Ketentuan Umum,

angka 17);

13. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh

Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang

diberi tugas untuk menanggulangi bencana (Ketentuan Umum, angka 19);

14. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa

keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai

akibat dampak buruk bencana (Ketentuan Umum, angka 20).

Kesiapsiagaan masyarakat termasuk ke dalam bagian paling penting dari

upaya penanggulangan bencana. Agar masyarakat dalam kondisi siap menghadapi

ancaman bencana, kesiapsiagaan serta kewaspadaan musti di tingkatkan meskipun

terdapat banyak hal yang menjadi tantangannya diantaranya pemahaman

masyarakat yang sangat kurang akan risiko bencana di daerah tempat tinggalnya,

terbatasnya sumber daya manusia yang mumpuni, serta terbatasnya finansial

pemerintah. Untuk itu diperlukan solusi dalam mengatasinya seperti kebijakan

dan strategi yang tepat dengan mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi,

budaya, dan tingkat pendidikan masyarakat.

Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud peraturan perundangan tersebut

dilakukan melalui:

1. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana;


2. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;

3. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar;

4. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap

darurat;

5. penyiapan lokasi evakuasi;

6. penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap

darurat bencana; dan

7. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan

pemulihan prasarana dan sarana.

Di dalam buku panduan pelatihan Perencanaan Evakuasi Tsunami di

Tingkat Kabupaten yang diterbitkan oleh GIZ-International Service (2013),

tsunami dapat tiba di pantai Indonesia dalam 20-40 menit atau bahkan lebih cepat

setelah gempabumi yang memicunya. Sehingga kapasitas dalam menanggapi

bencana sangat penting dimiliki oleh individu, keluarga, dan institusi untuk

menghindari daya rusak gelombang serta dampak-dampak yang diakibatkannya.

Karena itu, sangat diperlukan pendekatan terstruktur untuk membangun

kesiapsiagaan menghadapi tsunami di daerah dengan melibatkan banyak

pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah sampai unsur-unsur di

masyarakat sendiri.
Gambar 2.8 Pendekatan Terstruktur dalam Pengembangan Kapasitas
Kesiapsiagaan Tsunami
(Sumber : GIZ-International Service, 2013)

2.6 Mitigasi Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwamanusia, kerusakan lingkungan, kerugian

harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU No. 24 tahun

2007). Bencana tsunami adalah suatu bencana yang terjadi secara alami dan tidak

dapat dicegah dan tidak dapat diprediksi kapan terjadinya.

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko

bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008

Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu:


1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana.

2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam

menghadapi bencana, karena tinggal di daerah rawan bencana.

3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara

penyelamatan diri jika bencana datang.

4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman

bencana.

Mitigasi dibagi menjadi dua macam, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi

non struktural

a) Mitigasi Struktural

Mitigasi strukural adalah upaya untuk mengurangi dampak bencana yang

dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan

pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir,

alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan tahan gempa, ataupun Early

Warning System yang digunakan untuk peringatan dini gelombang tsunami.

Bangunan tahan bencana adalah bangunan yang mempunyai struktur mampu

bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila suatu

bencana terjadi.

b) Mitigasi Non-Struktural

Mitigasi non–struktural adalah suatu upaya untuk mengurangi dampak

bencana yang diimplementasikan kedalam sutu kebijakan atau praturan-peraturan.


Salah satu contoh kegiatan mitigasi non-struktural adalah Undang-Undang

Penanggulangan Bencana (UU PB) Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang

kota, penyuluhan atau edukasi masyarakat tentang bencana, dan pengadaan

pelatihan evakuasi saat ada suatu bencana. Ini semua dilakukan untuk, oleh semua

elemen masyarakat yang tinggal di sekitar daerah rawan bencana.

Dalam Undang-Undang no.24 Tahun 2007, upaya mitigasi dapat berupa

prabencana dan pascabencana. Prabencana berupa kesiapasiagaan atau upaya

memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk mengantisipasi bencana,

melalui pemberian informasi, peningkatan kesiagaan apabila bencana ada

langkah-langkah untuk memperkecil resiko bencana.Mitigasi bencana dapat

dilakukan oleh semua pihak dan melibatkan seluruh penduduk di suatu wilayah

yang terdampak bencana.

2.7 Jenis – Jenis Mitigasi Dalam Bencana Tsunami

Setiap bencana memiliki mitigasi yang berbeda-beda. Ada beberapa jenis

mitigasi dalam bencana tsunami.

2.6.1 Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan

Korban jiwa dalam bencana tsunami dapat diminimalisisr apabila

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana selalu waspada dan siap saat

bencana tersebut datang. Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dilakukan

dengan dilaksanakannya kegiatan simulasi evakuasi bencana secara berkala.

Diharapkan dengan simulasi tersebut masyrakat lebih siap saat terjadi bencana

tsunami.
Tahap – tahapan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan msayarakat

disusun oleh tim LIPI menjadi 8 tahap, meliputi:

1. Pelatihan para pejabat/petugas di lingkungan Pemerintah Daerah

2. Pelatihan kepada wakil masyarakat

3. Penyiapan modul untuk pendidikan publik

4. Penyiapan peta dan jalur evakuasi

5. Penyiapan dan pemasangan rambu-rambu evakuasi tsunami

6. Simulasi sitem peringatan dini tsunami dan proses evakuasi (Tsunami Drill)

7. Sosialisasi publik melalui media elektronik dan cetak

8. Latihan-latihan untuk anak-anak sekolah

2.6.2 Pendidikan kepada masyarakat

Memberikan edukasi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah yang

rentan terhadap bencana tsunami merupakan suatu hal yang sangat penting.

Masyarakat harus mengetahui tentang karakteristik bencana tsunami dan seberapa

besar dampak bencana tersebut. Pengetahuan tentang tindakan yang harus

dilakukan apabila bencana tsunami datang harus dimiliki oleh semua masyarakat

yang tinggal didaerah rawan bencana tsunami. Kegiatan tersebut dapat dilakukan

dengan diadakannya penyuluhan langsung kepada masyarakat dan dilakukan

secara rutin agar masyarakat memiliki tingkat kewapadaan tinggi.


2.6.3 Pembangunan tsunami Early Warning System

Early warning system merupakan suatu peringatan dini yang diberikan atau

muncul ketika potensi tsunami akan terjadi di suatu wilayah. Tujuan dar

peringatan dini yang terpusat pada masyarakat (people-centred early warning

system) adalah menguatkan kemampuan individu masyarakat, dan organisasi yang

terancam bahaya untuk bersiap siaga dan bertindak tepat waktu dan benar agar

dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban

(UNISDR, 2006).

Indonesia memiliki suatu sistem peringatan dini tsunami yang di sebut

sebagai Indonesia Tsunami Early warning System atau InaTEWS. InaTEWS

adalah suatu sistem peringatan dini tsunami yang komprehensif, menggunakan

teknologi baru yang disebut Decision Support System (DSS). Sistem DSS bekerja

dengan mengumpulkan berbagai informasi yang berasal dari monitoring gempa,

simulasi tsunami, monitoring tsunami, dan deformasi kerak bumi setelah gempa

terjadi.

Gambar 2.9 Desain InaTEWS


Sumber : BMKG, 2012

Apabila hasil analisa menunnjukkan parameter gempabumi yang terjadi

memenuhi kriteria potensi tsunami maka National/Regional Tsunami Warning

Center (NTWC/RTWC) akan mengeluarkan dan menyebarkan warning potensi

tsunami melalui media.

Gambar 2.10 Rantai komunikasi peringatan dini


Sumber : BMKG, 2012

2.6.4 Pembangunan Tembok Penahan Tsunami

Mitigasi dengan membangun tembok penahan tsunami termasuk kedalam

jenis mitigasi struktural. Pembangunan tembok laut dapat membantu dalam

menahan gelombang tsunami. Selain dapat membantu menahan gelombang

tsunami, tembok penahan tsunami juga dapat berfungsi untuk menahan erosi pada

daerah pantai berpasir. Membangun tembok penahan tsunami termasuk salah satu
mitigasi yang sulit dilakukan karena membutuhkan dana yang besar, selain itu

dapat mengganggu ekosistem pantai tersebut.

Struktur tembok penahan tsunami harus mempunyai kekuatan yang cukup kuat

untuk menahan gelombang tsunami yang datang di daerah tersebut, karena apabila

tidak kuat makan akan dapat menimbulkan bahaya lain saat struktur tembok

tersebut gagal menahan gelombang tsunami.

Gambar 2.11 Tembok Penahan Tsunami di Jepang


Sumber : anakteknik.com

2.6.5 Penanaman mangrove atau sejenisnya

Menjaga ekosistem pantai seperti pohon mangrove atau sejenisnya tetap ada

akan sangat bermanfaat dalam meredam gelombang tsunami. Melakukan

penanaman di sepanjang pesisir pantai dengan berbagai jenis tanaman terutama

mangrove menjadi salah satu mitigasi yang biayanya tidak terlalu mahal dan dapat

dilakukan oleh semua masyarakat.


Dengan adanya pohon mangrove disepanjang pantai maka pada saat

gelombang tsunami datang tidak langsung menerjang pemukiman penduduk,

tetapi gelombang terhalang oleh mangrove sehingga energi gelombang berkurang.

2.6.6 Pembangunan jalur dan tempat-tempat evakuasi yang aman

Dalam mitigasi bencana tsunami jalur evakuasi dan tempat evakuasi

merupakan hal sangat penting. Jalur evakuasi berfungsi sebagai jalan bagi

masyarakat saat melakukan evakuasi saat bencana tsunami terjadi. Jalur evakuasi

berfungsi menghubungkan pemukiman penduduk dengan lokasi pengungsian atau

shelter. Dengan dibangunnya jalur evakuasi masyarakat dapat segera melakukan

evakuasi saat adanya peringatan akan terjadi tsunami di daerah tersebut. Jalur

evakuasi dilengkapi oleh suatu petunjuk tentang arah evakuasi.

2.8 Evakuasi

Evakuasi adalah suatu tindakan atau gerakan perpindahan langsung secara

cepat ke tempat yang lebih aman untuk menjauh dari bahaya atau kejadian yang

dianggap berbahaya dan berpotensi mengancam jiwa manusia atau mahluk hidup

lainnya. Kegiatan evakuasi umumnya dilakukan pada saat suatu wilayah terjadi

bencana alam, wabah penyakit, ataupun perang.

Mengacu pada pengertian evakuasi di atas, tujuan utama evakuasi adalah

untuk memindahkan manusia dari area berbahaya ke zona aman. Beberapa tujuan

lain dari evakuasi adalah sebagai berikut:


1. Untuk mencegah jatuhnya korban jiwa sehingga manusia dipindahkan ke

lokasi yang dianggap aman.

2. Untuk menyelamatkan korban yang jatuh pasca kejadian yaitu dengan

melakukan pencarian dan pemindahan ke zona aman.

3. Untuk mempertemukan korban bencana dengan keluarganya yang sempat

terpisah akibat kejadian.

4. Untuk mengetahui jumlah korban yang meninggal dunia akibat bencana

sehingga dapat diproses lebih lanjut.

Untuk melakukan evakuasi ada beberapa proses tahapan yang

dilakukaSeperti yang disebutkan sebelumnya, proses evakuasi tersebut dilakukan

sebelum, selama, dan setelah bencana. Berikut ini adalah urutan evakuasi pada

umumnya:

1. Deteksi, yaitu proses menemukan dan menentukan keberadaan potensi

ancaman.

2. Keputusan, yaitu penentuan tindakan yang akan diambil setelah

menemukan potensi bahaya.

3. Alarm, yaitu peringatan atau pemberitahuan akan adanya ancaman

4. Reaksi, yaitu tindakan atau aksi yang dilakukan setelah mengambil

keputusan dan mengeluarkan peringatan bahaya.

5. Perpindahan ke Area Aman, yaitu proses memindahkan manusia dan

benda dari area berbahaya ke zona aman.

6. Transportasi, perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat

lainnya dengan menggunakan mesin atau tenaga manusia.


Proses evakuasi pada bencana tsunami menjadi sangat penting terutama saat

tanda peringatan dini bencana tsunami diberikan. Waktu yang sangat singkat

sebelum gelombang tsunami datang mengahruskan warga yang tinggal di wilayah

terdampak harus melakukan evakuais dengan cepat.

Radiantara triatmadja (2010), perjalanan ke tempat pengungsian akhir juga

ditentukan oleh kondisi jalanan dan kecepatan berlari. Kondisi jalan seperti lebar,

tidak adanya rintangan, kondisi permukaan, slope (kemiringan), dan lain-lain

mempengaruhi kecepatan berlari dan arus evakuasi pada umumnya. Kecepatan

manusia berlari pada jalan menanjak, datar, dan turunan sangat berbeda. Demikian

pula kecepatan lari manusia di tanah keras/aspal dan pasir juga berbeda. Hasil

pengukuran kecepatan manusia ditanah berpasir disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.4 Hasil pengukuran kecepatan berlari manusia normal untuk


jarak 100 m

Kecepatan di Pantai Kecepatan di Aspal


Kategori Pasir (m/dtk) (m/dtk)
Pria Wanita Pria Wanita
Anak-anak 2 2 2,4 2,4
Remaja 3,3 3,3 4,12 4,12
Dewasa 2,86 2,38 3,6 3,05
Manula 1,67 1,67 1,84 1,84
(Sumber : Radianta Triatmadja, 2010)

2.9 Jalur Evakuasi

Jalur evakuasi adalah jalur yang digunakan untuk menghubungkan semua

area ke area yang lebih aman dari suatu ancaman atau bencana. Jalur evakuasi

yang baik adalah jalur yang dapat dengan mudah dilalui oleh masyarakat dan
tidak adanya bottleneck saat evakuasi berlangsung. Berdasarkan kajian Safrizal

(2013) Bottleneck adalah suatu keadaan yang sangat serius dan panik ketika

bencana di suatu wilayah dimana terjadi penyumbatan / kemacetan pada saat

warga berusaha untuk menyelamatkan diri menuju daerah yang lebih aman.

Terjadinya masalah bottleneck ini disebabkan karena kondisi jalur evakuasi yang

kurang memadai dan tidak layak untuk dijadikan sebagai sebuah jalur evakuasi

yang aman dan cepat untuk melakukan evakuasi.

Dalam modul Siap Siaga Bencana Alam (2009:36) di sebutkan syarat-syarat

untuk jalur evakuasi yang layak dan memadai yaitu:

1. Keamanan jalur

2. Jarak tempuh jalur

3. Kelayakan jalur

Abdiel Harwadin Dito dan Adji Pamungkas (2015) menyebutkan bahwa

ketinggian suatu lokasi adalah variable yang paling berpengaruh dalam

penentuan jalur evakuasi. Untuk itu dalam membuat jalur evakuasi kondisi

topografi menjadi hal penting agar jalur evakuasi tersebut menjadi efektif saat

digunakan.

Dalam buku pedoman pembuatan jalur evakuasi bencana tsunami dibuat

klasifikasi daerah rawan dan juga ditulis prinsip-prinsip dalam pembuatan jalur

evakuasi sebagai berikut:


Tabel 2.5 Klasifikasi Praktis Daerah Rawan Tsunami

Garis Ketinggian Kawasan


1-5 meter 1 AWAS
5-10 meter 2 WASPADA
10-15 meter 3 AMAN SEMENTARA
>15 meter 4 AMAN
(Sumber: Pedoman pembuatan peta jalur evakuasi bencana tsunami)

Prinsip-prinsip dalam pembuatan jalur evakuasi tsunami berdasarkan buku

pedoman pembuatan peta jalur evakuasi adalah sebagai berikut :

1. Jalur evakuasi dirancang menjauhi garis pantai dan menjauhi sungai.

2. Jalur evakuasi disarankan tidak melintasi sungai atau jembatan.

3. Di buat jalur evakuasi pararel dan diprioritaskan daerah pantai terbuka tanpa

pepohonan penutup atautanpa batu karang maupun gumuk pasir.

4. Pada daerah padat penduduk jalur evakuasi berupa sistim blok yang dibatasi

oleh alirarn sungai, dimana pergerakan massa setiap blok tidak bercampur

dengan blok lainnya untuk menghindari kemacetan.

5. Untuk daerah yang terlalu landau dimana tempat tinggi cukup jauh, dibuat

sistim kawasan aman sementara berupa bangunan yang aman sebagai tempat

evakuasi sementara.

6. Dalam setiap jalur evakuasi diperlukan rambu-rambu evakuasi untuk memandu

pengungsi menuju tempat lain.

Sea Defence Consultant (2007) mengungkapkan dalam perencanaan lebar

jalur evakuasi dapat digunakan beberapa jalan raya pada perkotaan yaitu :
1. Arteri Primer : lebar minimum jalan 10 meter

2. Arteri Sekunder : lebar minimum jalan 8 meter

3. Kolektor Sekunder : lebar minimum jalan 4 meter

4. Lingkungan : lebar minimum jalan 4 meter

2.10 Waktu Evakuasi

Evakuasi sederhananya dapat diartikan sebagai pergerakan orang atau

masyarakat dari suatu wilayah atau situasi terancam oleh terjadinya peristiwa

bencana ke wilayah yang lebih aman (Munadi dkk, 2012).

Menurut kamus Bahasa Indonesia, evakuasi didefinisikan pengungsian atau

pemindahan penduduk dari daerah-daerah yang berbahaya, misal bahaya perang,

bahaya banjir, meletusnya gunung api, ke daerah yang aman.

Melakukan evakuasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan

masyarakat untuk menghindari diri dari segala ancaman bencana. Dalam

bencana tsunami, terdapat dua jenis evakuasi antara lain evakuasi horizontal

yaitu evakuasi dengan memindahkan penduduk ketempat yang aman

secara horizontal sehingga terhindar dari terjangan tsunami, biasanya

dilakukan dengan menjauhi diri dari tepi pantai, kemudian evakuasi vertikal

yaitu penduduk tetap berada di pantai namun menaiki bangunan yang lebih

tinggi yang dapat difungsikan sebagai shelter. Evakuasi vertikal menjadi

alternatif evakuasi selain evakuasi horizontal yang sering kali berjalan tidak

sesuai dengan apa yang disosialisasikan bahkan dapat memperburuk keadaan

seperti terjadi kemacetan yang parah pada zona berbahaya. Dengan evakuasi
vertikal setidaknya akan berpengaruh terhadap volume orang dan kendaraan di

jalur evakuasi dikarenakan masyarakat yang berada di zona berbahaya telah

berada di shelter-shelter atau pada bangunan bertingkat.

Waktu evakuasi merupakan waktu yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk

mengungsi ke lokasi yang aman saat terjadi bencana. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi waktu evakuasi seperti kondisi lebar sempitnya jalan, ada atau

tidaknya rintangan, kondisi permukaan jalan, kemiringan, dan lain-lain yang

dapat mempengaruhi arus evakuasi pada umumnya (Triatmadja,2010).

Menurut FEMA (2008) dalam Guidelines for Design of Structures for

Vertical Evacuation from Tsunamis, untuk sumber tsunami yang jauh dari

daratan, maka perkiraan waktu peringatan untuk melakukan evakuasi lebih dari 2

jam. Untuk tsunami yang sumbernya agak jauh dari daratan namun getaran

gempanya terasa di daratan maka waktu peringatan yang dibutuhkan untuk

evakuasi adalah antara 30 menit sampai dengan 2 jam. Sedangkan untuk sumber

tsunami yang dekat (getaran gempa dirasakan sangat kuat saat di daratan)

maka waktu peringatan yang dibutuhkan untuk evakuasi adalah kurang dari 30

menit (lihat Tabel 2.6).

Tabel 2.6 Sumber Tsunami dan Perkiraan Waktu Peringatan

Sumber Lokasi Perkiraan Waktu


Pembangkit Tsunami Peringatan (t)
Jauh T > 2 jam
Tengah-trngah 30 menit < t < 2 jam
Dekat T < 30 menit
Sumber : FEMA, 2008

2.11 Shelter
Shelter adalah suatu tempat atau lokasi yang aman dari suatu ancaman dan

digunakan untuk tempat berkumpul atau mengungsi sementara pada saat suatu

daerah mengalami suatu bencana atau ancaman lain. Berdasarkan standar

perencanaa Tempat Evakuasi Sementara (TES), jenis tempat evakuasi dapat

berupa:

1. Escape hill berupa daerah dataran tinggi alami maupun buatan dengan

ketinggian bukit minimal 15 m di atas permukaan laut.

2. Bangunan umum yang memenuhi ketentuan sebagai bangunan penyelamatan

(escape building) seperti perkantoran (pemerintah dan swasta), sekolah, tempat

ibadah, hotel, serta pasar swalayan.

3. Bangunan penyelamatan/ruang evakuasi sementara berupa bangunan vertikal.

Bangunan vertikal untuk evakuasi ini mempunyai kriteria memiliki lantai > 2

lantai atau bangunan dengan ketinggian lantai paling atas minimal 15 meter di

atas permukaan laut (Asumsi tinggi tsunami minimal 5 m) dan memiliki

struktur bangunan tahan gempa dan tsunami.

2.12 Program Pedestrian Evacuation Analyst

Pedestrian Evacuation Analyst adalah suatu program yang digunakan untuk

menganalisa pergerakan seseorang dan memperkirakan berapa lama bagi

seseorang untuk berjalan kaki keluar dari daerah berbahaya yang di akibatkan

suatu peristiwa mendadak seperti tsunami, banjir bandang, atau lahar vulkanik.

Program ini merupakan ektensi dari program ArcGIS, sehingga untuk

menggunakan program ini kita harus menjalankan terlebih dahulu program


ArcGIS. Dalam melakukan analisis, program ini memperhitungkan perubahan

ketinggian permukaan tanah, jenis tutupan lahan dan bangunan yang ditemui

seseorang di sepanjang jalan. Program Pedestrian Evacuation Analyst akan

menghasilkan peta waktu seorang pejalan kaki ke tempat tinggi untuk setiap

lokasi di daerah yang terjadi bencana atau daerah berbahaya.

Secara umum proses analisis yang dilakukan menggunakan program ini

dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.12 Proses Analisis pada Program Pedestrian Evacuation Analyst


Sumber : USGS

Sebelum menjalankan program Pedestrian Evacuation Analyst, program ini

memerlukan sistem computer seperti di bawah ini

1. Microsoft Windows 7

2. NET Framework 4.0

3. ArcGIS 9.3 atau 10.2


Untuk data yang dibutukan saat menjalankan program dapat dilihat pada

tabel 2.6 di bawah ini :

Tabel 2.6 Input dan Jenis File yang dibutuhkan dalam Pengolahan Data

Sumber : USGS

Untuk itu sebelum memulai pemodelan kita harus membuat terlebih dahulu

data-data yang diperlukan seperti disebutkan dalam tabel di atas. Tanpa membuat

data-data seperti di atas pemodelan tidak akan dapat berjalan.

2.11.1 Pemprosesan Data

Karena program Pedestrian Evacuation Analyst merupakan tolls tambahan

pada program ArcGIS, maka sebelum mejalankanya kita harus terlebih dahulu

menjalankan program ArcGIS. Setelah program ArcGIS terbuka dan c sudah

terinstal di dalamnya maka toolbar Pedestrian Evacuation Analyst akan tampil

pada display toolbarstandart.


Gambar 2.13 Tampilan Standart Toolbar Pedestrian Evacuation Analyst
Sumber : USGS

Langkah-langkah dalam menjalankan program ini adalah sebagai berikut :

1. Membuat Portofolio Management

Portofolio management ini kita membuat database dari pekerjaan yang

akan kita lakukan, mulai dari nama dan lokasi output hasil pekerjaan akan di

tempatkan
Gambar 2.14 Tampilan Jendela Kerja Portofolio Management

2. Digital Evelevation Model Preprocessing

Tahap selanjutnya adalah DEM (Digital Evelevation Model) Preprocessing.

Disni kita memasukkan peta raster daerah yang akan kita modelkan

Gambar 2.15 Tampilan Jendela Kerja DEM Preprocessing

3. Land Cover Preprocessing

Setelah DEM Preprocessing selesai, langkah selanjutnya adalah

memasukkan data tutupan lahan atau Land Cover. Data ini merupakan data peta

tutupan lahan pada lokasi yang akan dimodelkan. Pada tutpan lahan ini mencakup,

jalan dan bangunan yang terdapat di lokasi studi


Gambar 2.16 Tampilan Jendela Kerja Land Cover Preprocessing

4. Hazard Zone Preprocessing

Pada proses ini kita memasukkan batasan wilayah aman dan wilayah yang

tidak aman.

Gambar 2.17 Tampilan Jendela Kerja Hazard Zone Preprocessing

5. Path Distance surface creation

Pada tahap ini data DEM, data tutupan lahan dan zona bahaya, akan

diproses sehingga akan di dapatkan jarak yang akan di tempuh dari zona tidak

aman ke zona aman.


Gambar 2.18 Tampilan Jendela Kerja Path Distance surface

6. Evacuation Time Surface Creation

Proses selanjutnya adalah Evacuation Time Surface Creation, pada tahap

data jarak perjalanan dari hasil proses sebelumnya akan di proses dengan data

kecepatan perjalanan. Pada proses ini kita harus memasukkan data kecepatan

berjalan dalam beberapa kategori dan nantinya akan didapat jarak dan waktu

perjalanan.

Gambar 2.19 Tampilan Jendela Kerja Evacuation Time Surface

7. Time Map Generation

Proses selanjutnya adalah Time Map Generation, pada tahap ini data hasil

dari proses Evacuation Time Surface Creation akan dikonvert menjadi data raster

dan vector.
Gambar 2.20 Tampilan Jendela Kerja Time Map Generation

8. Vertikal Evacuation

Pada tahap ini seluruh data yang ada akan di proses untuk simulasi apabila

ada tempat evakuasi berupa lokasi yang tinggi di daerah tersebut.

Gambar 2.21 Tampilan Jendela Kerja Vertikal Evacuation

2.11.2 Hasil Data

Hasil yang akan diperoleh dari pemodelan menggunakan program

Pedestrian Evacuation Analyst ini adalah berupa grafik waktu perjalanan dalam

bentuk grafik dan jumlah atau persentase penduduk yang bisa mencapai daerah

aman.
Gambar 2.22 Tampilan Grafik perjalanan penduduk

Gambar 2.23 Tampilan Grafik Kecepatan Penduduk

2.13 Penelitian Terdahulu

Kultsum, Ummu (2017) melakukan penelitian mengenai Desain Jalur

Evakuasi Tsunami di Daerah Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi

Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Penentuan jalur evakuasi tsunami

diolah menggunakan metode Network Analysist dengan menggunakan parameter

titik evakuasi, jaringan jalan, data topografi, coastal proximity, dan tutupan lahan.

Hasil dari analisis SIG didapatkan 12 titik evakuasi tsunami di daerah Pelabuhan

Ratu diantaranya; Desa Citarik 3titik evakuasi, Desa Pelabuhan Ratu 5 titik

evakuasi, dan Desa Citepus 4 titik evakuasi. Sedangkan jalur evakuasi tsunami

yang didapatkan yakn 15 jalur evakuasi, diantaranya: Desa Citarik 3 jalur, Desa

Pelabuhan Ratu 8 jalur, dan Desa Citepus 4 jalur. Adapun urutan jalur evakuasi

tsunami efektif berdasarkan waktu tempuh menuju titik evakuasi dengan konversi
kecepatan berlari orang dewasa yakni 1 Kilometer dalam waktu 5 menit 30 detik

(1 Km/5’30”) diantaranya adalah jalur 3-5- 13- 10- 12- 4- 11- 14- 5- 1- 6- 2- 7- 9-

dan jalur 8.

Rusli, Irjan, Ariska Rudyanto (2010) melakukan penelitian mengenai

Pemodelan Tsunami sebagai Bahan Mitigasi Bencana Studi Kasus Sumenep

dan Kepulauannya. Penelitian ini dilakukan di BMKG Tretes, dengan

menggnakan data tsunami yaitu WinITDB dan NOAA sedangkan untuk data

seismisitasnya menggunakan data USGS dan Global CMT. Kemudian data diolah

menggunakan software TUNAMI dan WinITDB. Outputnya berupa sebaran

gelombang tsunami dari sumber ke semua target area, travel-timenya dan run-up

yang terjadi di target area.

Trsiakti, Bambang (2007) melakukan penelitian mengenai Simulasi Jalur

Evakuasi untuk Bencana Tsunami Berbasis Data Penginderaan Jauh (Studi

Kasus : Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat). Penelitian ini dimaksudkan

untuk mendemonstrasikan aplikasi data indera jauh untuk menghasilkan peta

evaluasi terhadap bencana tsunami di suatu daerah. Data yang digunakan yaitu

data satelit penginderaan jauh (Landsat, SPOT-5 dan DEM) dan data sekunder

(batas administrasi dan data lapangan) untuk melakukan simulasi jalur evakuasi

dan membuat peta dasar kota Padang. Penentuan daerah rawan tsunami dan

daerah evakuasi dilakukan berdasarkan data ketinggian maksimum tsunami di

pantai dan kondisi topografi wilayah. Informasi tutupan lahan dan infrastruktur

(jalan, jembatan dan bangunan) diekstraksi dari citra SPOT. Semua informasi
yang diperoleh dari data penginderaan jauh dan data sekunder diintegrasikan dan

dianalisis menggunakan model geospasial untuk menentukan jalur evakuasi.

Alkhair, Hafidz, dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai Simulasi

Waktu Evakuasi Berbasis SIG untuk Analisis Tingkat Kerentanan

Penduduk Kota Padang Terhadap bahaya Tsunami. Pada penelitian ini

menggunakan metodologi yang terdiri dari dari tiga fase: pengumpulan data,

tahap analisis data dari proses analisis jaringan dalam perangkat lunak ArcGIS

dan fase analisis. Area layanan dihasilkan menggunakan alat analis jaringan.

Hasil menunjukkan bahwa tempat penampungan tidak dapat mencakup semua

area di zona tsunami. Hasilnya menunjukkan bahwa tempat penampungan yang

dialokasikan oleh KOGAMI dan DKP masing-masing tidak dapat mencakup

sekitar 9,5% dan 10,9% pengungsi di daerah rawan tsunami. Untuk mengatasi hal

ini, penambahan potensi bangunan tempat tinggal baru harus dialokasikan di area

layanan tidak tertutup.

Pratomo, Rahmat Aris, dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai

Permodelan Tsunami dan Impilaksinya Terhadap Mitigasi Bencana di kota

Palu. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif menggunakan Sistem

Informasi Geografis (SIG) untuk memetakan wilayah yang rawan bencana

tsunami. Studi ini menggunakan cost distance untuk memodelkan bencana

tsunami, serta menggunakan spatial analyst dan network analyst untuk

menganalisa tingkat bahaya, kerentanan, dan resiko bencana tsunami, serta

penentuan rute evakuasi. Analisis mengindikasikan berikut ini: (1) Kota Palu

memiliki potensi yang besar terhadap rendaman tsunami, (2) kawasan bahaya

tsunami mencakup 9,63% dari total luas kota, (3) kawasan rentan tsunami 9,83%
total luas kota, (4) kawasan resiko tsunami 3,83% total luas kota, dan (5) terdapat

50 shelter sebagai lokasi evakuasi dan 108 rute evakuasi di seluruh kota.

Naryanto, Heru Sri (2003) melakukan penelitian mengenai Mitigasi

Kawasan Pantai Selatan Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung

Terhadap Bencana Tsunami. Dari hasil pembahasan pada penelitian ini

diketahui bahwa tingkat kerawanan bencana di wilayah Selat Sunda

diklasifikasikan menjadi 5 zonasi, yaitu Zona I (Merak), Zona II (Anyer-Carita),

Zona III (Bandar lampung), Zona V (Kalianda) dan Zona V (Labuan).

Gelombang tsunami yang terjadi pada daerah teluk seperti Teluk Lampung, akan

terjadi pada daerah teluk seperti Teluk Lampung, akan terjadi penyempitan

gerakan gelombang yang mempercepat gerakan gelombang yang mempercepat

gerakan gelombang tersebut sehingga akan lebih merusak kawasan teluk tersebut.

Daerah pantai selatan Kota Bandar Lampung dan sekitarnya dibagi menjadi 3

(tiga) zonasi kerentanan bencana tsunami, yaitu Zona I (tinggi), Zona II

(menengah) dan Zona III (rendah).

Ibad, Moh Ikhyaul (2014) melakukan penelitian mengenai Pemodelan

Tsunami Berdasarkan Parameter Mekanisme Sumber Gempa Bumi dari

Analisis Waveform Tiga Komponen Gempa Bumi Mentawai 25 Oktober

2010. Terdapat 4 model yang digunakan untuk pemodelan tsunami yaitu model

1 dari ISOLA, model 2 dari IRIS, model 3 dari USGS dan model 4 dari Global

CMT. Waktu penjalaran gelombang tsunami, Pada model 1 tsunami sampai ke

Kepulauan Mentawai menit ke 16 lebih 40 detik. Untuk model 1, 2 dan 4 tsunami

sampai ke Kepulauan Mentawai menit ke 20 lebih 50 detik. Run-up hasil

pemodelan divalidasi dengan run-up hasil survei GITST (German-Indonesia


Tsunami survey Team). Ketinggian tsunami yang mendekati hasil survei yaitu

Pantai Batimongga 2,24 meter (model 1 dan model 4), Pantai Ghobi 1,73 meter

(model 1 dan model 4), Pantai Tumele 4,29 meter (model 2), Pantai Pasangan

2,64 meter (model 1 dan model 4), Pantai Sabeugunggu 6,34 meter (model 2) dan

Pantai Asahan 3,16 meter (model 1). Nilai strike dan ocean bottom

mempengaruhi penjalaran gelombang tsunami. Ketinggian tsunami dipengaruhi

oleh bentuk dasar permukaan laut dan parameter sumber gempa bumi (strike, dip,

slip, panjang fault dan lebar fault).

Wicaksono, dkk (2016) melakukan penelitian mengenai Studi Kelayakan

Rencana Jalur Evakuasi dan Logistik Bencana Poros Kerinci – Bungo,

Provinsi Jambi. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dalam

penentuan rencana jalur evakuasi sedangkan penentuan kelayakan jalur evakuasi

dan logistik menggunakan metode SWOT. Dari hasil kajian didapatkan bahwa

(1) Kabupaten Bungo merupakan wilayah yang sesuai untuk dijadikan sebagai

tempat pengembangan alternatif pusat logistik dengan mempertimbangakan

posisi dan kondisi baik karakter bencana yang ada dan kondisi lingkungan

eksisting yang ada. (2) Berdasarkan kajian yang dilakukan maka jalur evakuasi

yang paling sesuai terletak di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang di

Kabupaten Bungo dan terhubung ke Kecamatan Siluak Mukai di Kabupaten

Kerinci, Provinsi Jambi. (3) Pembukaan lahan untuk jalur evakuasi tidak

menyebabkan keanekaragaman hayati yang ada menjadi berkurang karena di

dalam jalur evakuasi tidak ditemukan flora fauna yang langka yang dilindungi.

(4) Kebijakan pengembangan alternatif pusat logistik memiliki pengaruh yang


besar dalam meningkatkan pembangunan daerah yang terdapat di Kabupaten

Bungo walaupun memerlukan inventasi yang besar dalam pelaksanaannya.

Wanda, Gaudensia Rosdiana (2018) melakukan penelitian mengenai

Pemetaan Jalur Evakuasi Tsunami dengan Metode Network Analisis (Studi

Kasus : Kota Maumere). Penelitian ini dilakukan untuk membuat Peta Jalur

Evakuasi Tsunami menggunakan teknologi sistem informasi geografis yang

merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menyusun model informasi

yang nantinya dapat digunakan sebagai langkah awal dalam melaksanakan

program mitigasi bencana dengan metode Network Analysist. Pada penelitian ini

dilakukan analisis pada shelter yang direkomendasikan oleh Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kota Maumere pada Tahun 2017 yang terdiri

atas 9 Shelter. Shelter yang direkomendasikan Badan Penanggulangan Bencana

Daerah belum mencakup semua daerah yang berada pada zona Rawan Tsunami.

Dari hasil interpretasi citra, data kependudukan serta berdasarkan ketinggian

Shelter, masih ada titik yang berada pada area atau cakupan daerah rawan

tsunami. Untuk mengatasinya perlu dilakukan penambahan Shelter yang terdiri

atas 16 shelter tambahan pada Blank Area berdasarkan ketinggian yang lebih dari

15 meter diatas permukaan laut agar dapat terhindar dari bencana tsunami.

Penambahan shelter dilakukan agar bisa mencakupi daerah zona rawan tsunami.

Nurhasanah, Any (2016) melakukan penelitian mengenai Pola Pemetaan

Jalur Evakuasi Tsunami Pesisir Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilakukan

dengan cara mempelajari pemetaan jalur evaluasi yang sudah ada. Jalur evakuasi

yang sudah ada kemudian dibandingkan dengan kondisi sekarang.untuk


dibandingkan dengan hasil survey pada saat sekarang. Berdasarkan hasil analisa,

tipe pasang surut yang terjadi dilokasi pengukuran (Tanjung Buton) merupakan

tipe pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) dimana dalam 1 hari terjadi 2

kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian yang hampir sama dan dapat

disesuaikan dengan grafik tipe pasang surut harian ganda. Faktor penilaian

simulasi yang terdiri dari korelasi, RMSE dan kesalahan relatif berdasarkan

ketiga katagori simulasi, maka simulasi 1 adalah simulasi terbaik dibandingkan

simulasi 2 dan simulasi 3 dengan menggunakan perbandingan data pembelajaran

kalibrasi (training) dengan verifikasi (testing) sebesar 70:30 yang merupakan

perbandingan data yang sering digunakan dalam penelitian menggunakan model

ANFIS. Hasil perhitungan ketiga kategori uji penilaian statistik, didapatkan

simulasi 1 (70:30) adalah simulasi terbaik dibandingkan dengan simulasi 2 dan

simulasi 3 karena menghasilkan nilai kesalahan terkecil. Untuk simulasi 1, nilai

korelasi sebesar 0,87208 dengan kategori korelasi sangat kuat menurut Suwarno

(2008), nilai RMSE sebesar 0,44506 meter, dan nilai kesalahan relatif rata-rata

sebesar 11,8060 %.

Akhmadi, Faisal, dkk. (2017) melakukan penelitian mengenai Pemetaan

Jalur Evakuasi dan Pengungsian di Kecamatan Bati-Bati Kabupaten Tanah Laut.

Penelitian ini menghasilkan pemetaan jalur evakuasi dan pengungsian di dua Desa

yang terdapat di Kecamatan Bati-bati. Desa Benua Raya memiliki 4 jalur evakuasi

dan 4 titik lokasi pengungsian, Desa Bati-bati memiliki 2 jalur evakuasi dan 3 titik

lokasi pengungsian. Pemilihan Peta jalur evakuasi dan pengungsian dilakukan

dengan cara menjauhi lokasi banjir dan menuju ketempat yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai