Anda di halaman 1dari 43

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
1. Universal Precautions
a. Pengertian
World Health Organisation (WHO) dalam Nasronudin (2007),
universal precautions merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Atlanta dan the
Occupational Safety and Health Administration (OSHA), untuk mencegah
transmisi dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di
lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan.
Kurniawati dan Nursalam (2009) universal precautions merupakan
upaya-upaya yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk
mengendalikan dan mengurangi resiko penyebaran infeksi yang ditujukan
pada semua pasien pada saat melakukan setiap tindakan, dan dilakukan
disemua tempat pelayanan kesehatan tanpa memandang status infeksi
pasien.
Universal precautions merupakan tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi yang ditujukan pada semua pasien, saat melakukan
setiap tindakan oleh seluruh tenaga kesehatan yang terlibat di semua
fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Tujuan Universal Precautions
Kurniawati dan Nursalam (2007), menyebutkan bahwa universal
precautions perlu diterapkan dengan tujuan :

11
12

1) Mengendalikan infeksi secara konsisten


Universal precautions merupakan upaya pengendalian infeksi
yang harus diterapkan dalam pelayanan kesehatan kepada semua
pasien, setiap waktu untuk mengurangi resiko infeksi yang ditularkan
melalui darah.
2) Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak didiagnosis atau
tidak terlihat seperti beresiko.
Prinsip universal precautions diharapkan akan mendapat
perlindungan maksimal dari infeksi yang ditularkan melalui darah
maupun cairan tubuh yang lain baik infeksi yang telah didiagnosis
maupun yang belum diketahui.
3) Mengurangi resiko bagi petugas kesehatan dan pasien
Universal precautions tersebut bertujuan tidak hanya
melindungi petugas dari resiko terpajan oleh infeksi HIV, HBV, HCV
namun juga melindungi klien yang mempunyai kecenderungan rentan
terhadap segala infeksi yang mungkin terbawa oleh petugas.
4) Asumsi bahwa resiko atau infeksi berbahaya
Universal precautions ini juga sangat diperlukan untuk
mencegah infeksi lain yang bersifat nosokomial terutama untuk infeksi
yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh.
c. Indikasi Universal Precautions
Universal precautions diterapkan secara rutin oleh semua tenaga
kesehatan dalam merawat seluruh pasien di rumah sakit dan di fasilitas
kesehatan lainnya, baik pasien sudah terdiagnosa infeksi, diduga terinfeksi
atau kolonisasi (Rekam Medik Instalasi Keamanan dan Keselamatan Kerja
RSUP dr. Sardjito, 2011). Universal precautions juga diterapkan ketika
petugas kesehatan kontak dengan cairan infeksius seperti darah, cairan
sekresi dan ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, selaput lendir,
13

cairan semen, cairan vagina, cairan sendi, cairan amnion, cairan


serebrospinal, ASI, cairan pericardium (Nursalam dan Kurniawati, 2009)
d. Macam Universal Precautions
Universal precautions meliputi 5 kegiatan pokok yaitu mencuci
tangan untuk mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diri,
pengelolaan jarum dan benda tajam untuk mencegah perlukaan,
pengelolaan limbah dan sanitasi lingkungan, serta pengelolaan alat
kesehatan habis pakai (Nursalam dan Kurniawati, 2009).
Penjabaran dari 5 kegiatan pokok universal precautions tersebut adalah:
a. Cuci Tangan
1) Pengertian cuci tangan
Tindakan mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling
penting yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan dengan tujuan
mencegah penularan penyakit infeksi. Larson dalam Potter & Perry
(2005), mencuci tangan adalah tindakan menggosok tangan dengan
sabun pada seluruh permukaan tangan secara kuat, ringkas, dan dibilas
dengan air mengalir. Cuci tangan harus dilakukan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung
tangan dan memakai alat pelindung diri lainnya. Tindakan ini penting
untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga
penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari
infeksi. Tangan yang terkontaminasi dianggap merupakan penyebab
utama perpindahan infeksi (Kurniawati dan Nursalam, 2007).
Boyce dan Pittet dalam Depkes RI (2007), kegagalan
melakukan kebersihan tangan yang baik dan benar dianggap sebagai
penyebab utama infeksi nosokomial dan penyebaran mikroorganisme
multi resisten di fasilitas kesehatan, hal ini telah diakui sebagai
kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah. Tindakan
mencuci tangan sangat berperan dalam pencegahan infeksi silang,
14

karena mencuci tangan dengan teknik yang benar mampu mengurangi


jumlah mikroorganisme di tangan.
Larson dan Lusk dalam Potter & Perry (2005), frekuensi
mencuci tangan mempengaruhi jumlah dan jenis bakteri yang ada di
tangan. Garner dan Favaro dalam Potter & Perry (2005) berpendapat
bahwa mencuci tangan akan efektif memusnahkan mikroorganisme
transien jika dilakukan minimal selama 10-15 detik.
2) Tujuan cuci tangan.
Tujuan mencuci tangan adalah untuk menghilangkan kotoran
dan mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga
penyebaran infeksi di lingkungan kerja dapat dikurangi (Nursalam dan
Kurniawati, 2009).
3) Indikasi cuci tangan.
Larson dalam Potter & Perry (2005) menganjurkan perawat
untuk mencuci tangan pada keadaan seperti tangan tampak kotor,
sebelum dan setelah kontak dengan pasien, setelah kontak dengan
sumber mikroorganisme (darah, cairan tubuh, membran mukosa, kulit
yang tidak utuh, atau obyek mati yang terkontaminasi) dan sebelum
melakukan prosedur invasif (pemasangan kateter intra vaskuler atau
kateter menetap).
Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan
untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan.
Kebersihan tangan wajib dilakukan pada 5 keadaan yaitu :
a) Sebelum kontak dengan pasien
b) Setelah kontak dengan pasien
c) Sebelum tindakan aseptik
d) Setelah kontak dengan cairan tubuh pasien
e) Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
15

4) Sarana yang diperlukan


(a) Air mengalir.
Sarana utama untuk mecuci tangan adalah air mengalir
dengan saluran pembuangan atau bak penampung yang memadai.
Rutala dalam Depkes. RI (2007), mencuci tangan sebaiknya
menggunakan air mengalir, tidak dianjurkan mencuci tangan
dengan menggunakan waskom yang berisi air dengan tambahan
cairan antiseptik seperti dettol atau savlon karena mikroorganisme
dapat bertahan dan berkembang biak dalam larutan tersebut.
(b) Cairan pembersih (cairan antiseptik sabun dengan formulasi
antiseptik seperti chlorhexidin glukonat dan triclosan).
Larson dalam Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa
cairan anti mikroba ini dianjurkan dipakai jika perawat akan
mengurangi jumlah mikroba total di tangan, sebelum melakukan
prosedur invasif dan mengikuti prosedur pembedahan.
(c) Sikat steril dan spon steril (untuk cuci tangan bedah)
(d) Kertas tissue atau handuk sekali pakai
5) Jenis-jenis cuci tangan.
Sesuai dengan kebutuhannya, cuci tangan dapat dikategorikan menjadi
3 macam, yaitu :
(a) Cuci tangan higienis atau cuci tangan rutin
Cuci tangan higienis atau cuci tangan rutin dilakukan untuk
mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan dengan
menggunakan sabun atau detergen (Depkes. RI, 2007)
(b) Cuci tangan aseptik
WHO (2011), Cuci tangan aseptik adalah cuci tangan yang
wajib dilakukan pada 5 keadaan (5 moment). Ada 2 jenis cuci
tangan aseptik, yaitu handrub dan handwash.
16

(c) Cuci tangan bedah (surgical handscrub)


Cuci tangan bedah merupakan cuci tangan yang dilakukan
secara aseptik sebelum melakukan tindakan pembedahan dengan
menggunakan cairan antiseptik dan menggunakan sikat dan busa
steril (Depkes. RI, 2007).
Grundemann dalam Muttaqin dan Kumalasari (2009)
menyatakan bahwa mencuci tangan sebelum pembedahan
dilakukan dengan air mengalir dan menggunakan larutan scrub.
Jenis larutan scrub yang digunakan harus memiliki kemampuan
membunuh mikroba dan direkomendasikan untuk dilakukan
selama 3-5 menit (Muttaqin dan Kumalasari, 2009).
Clorheksidine gluconat merupakan larutan scrub yang paling
sering digunakan di kamar operasi. Clorheksidine glukonat
memiliki efek residual dan efektif untuk waktu lebih dari 4 jam.
Jenis cairan antimikroba lain yang biasa digunakan di kamar
operasi adalah triclosan. Grundemann dalam Muttaqin dan
Kumalasari (2009) menyatakan bahwa triclosan merupakan bahan
campuran yang sering terdapat pada sabun penghilang bau badan
serta diserap melalui kulit yang utuh.
6) Cara Cuci Tangan
(a) Cuci Tangan hand wash.
Langkah-langkah mencuci tangan menggunakan sabun antiseptik
(hand wash) menurut WHO dalam Depkes. RI (2011) adalah
sebagai berikut :
(1) Gunakan wastafel dengan air mengalir yang mudah digapai,
sabun cair atau anti microbial, kertas tissue.
(2) Lepaskan jam tangan, cincin, dan gelang, gulung lengan baju
panjang di atas pergelangan tangan.
(3) Usahakan supaya kuku tetap pendek dan datar.
17

(4) Pastikan tidak ada luka atau sayatan pada permukaan tangan
dan jari.
(5) Berdiri di depan wastafel, usahakan agar tangan dan seragam
tidak menyentuh wastafel.
(6) Gunakan tissue untuk membuka kran air untuk menghindari
tangan yang kotor mengkontaminasi kran air.
(7) Basahi tangan dan pergelangan tangan, tuangkan 5 ml sabun
cair di telapak tangan dan ratakan dengan kedua tangan.
(8) Gosokkan sabun pada kedua permukaan tangan, punggung
tangan, dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan
sebaliknya.
(9) Jari-jari sisi dalam kedua tangan saling mengunci.
(10) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan
dan lakukan sebaliknya.
(11) Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak tangan kiri
dan sebaliknya.
(12) Bilas telapak tangan sampai pergelangan tangan dengan air
mengalir secara seksama, pertahankan supaya letak tangan di
bawah siku.
(13) Keringkan seluruh permukaan tangan, pergelangan tangan
dengan kertas tissue.
(14) Gunakan kertas tissue untuk menutup kran air.
(15) Buang kertas tissue pada tempat sampah yang telah
disediakan.
(16) Cuci tangan handwash ini dilakukan selama kurang lebih 40-
60 detik.
(b) Cuci Tangan Hand rub
Langkah-langkah cuci tangan hand rub yang berbasis alkohol dan
gliserin menggunakan 7 langkah, adalah :
18

(1) Basahi kedua telapak tangan dengan menggunakan sabun


antiseptik yang mengandung alkohol dan gliserin, usap dan
gosok dengan lembut pada kedua telapak tangan.
(2) Gosok masing-masing punggung tangan secara bergantian.
(3) Jari jemari saling masuk untuk membersihkan sela-sela jari.
(4) Gosokkan ujung jari (buku-buku) dengan mengatupkan jari
tangan kanan terus gosokkan ke telapak tangan kiri bergantian
(5) Gosok dan putar ibu jari secara bergantian.
(6) Gosokkan ujung kuku pada telapak tangan secara bergantian.
(7) Cuci tangan hand rub dilakukan selama kurang lebih 20-30
detik.
7) Cuci Tangan Bedah (Surgical Handscrub)
Langkah-langkah cuci tangan bedah (surgical handscrub) adalah :
1) Sebelum memulai cuci tangan, semua perlengkapan busana harus
sudah tepat. Perangkat pelindung diri seperti kaca mata, masker,
penutup kepala, pelindung kaki, dan celemek dari bahan tidak
tembus air harus sudah dipakai.
2) Lepaskan semua perhiasan seperti cincin, jam tangan, atau gelang.
3) Pastikan bahwa kuku dalam keadaan pendek, jika perlu kuku
dipotong dahulu dengan pemotong kuku yang sudah disediakan.
4) Lipat lengan baju lebih kurang 5cm di atas siku.
5) Berdiri di depan kran air, dan alirkan kran.
6) Basahi tangan dengan air dari ujung jari sampai 2 cm di atas siku.
7) Tuangkan larutan antiseptic (clorheksidin gluconate 4%) sebanyak
lebih kurang 5 ml ke telapak tangan dengan menekan pompa
container cairan scrub dengan siku tangan kanan.
8) Ratakan cairan scrub ke seluruh telapak tangan dan lakukan
pencucian tangan di telapak tangan, punggung tangan, jari-jari,
19

lengan bawah secara menyeluruh sampai 2 cm di atas siku selama 1


menit.
9) Bilas kedua tangan dengan air mengalir.
10) Bersihkan kuku, jari, sela-sela jari, telapak tangan, dan punggung
tangan.
11) Ambil sikat tangan atau spon steril dan tuangkan cairan antiseptic
sebanyak lebih kurang 5 ml.
12) Bersihkan kuku secara menyeluruh dengan sikat.
13) Bilas kuku di kedua tangan dengan air sampai batas pergelangan
tangan.
14) Gosok dan bersihkan daerah telapak tangan, punggung tangan, sela-
sela jari, pergelangan kedua tangan dengan spon. Dengan gerakan
dari pergelangan tangan ke ujung jari selama 1,5 menit.
15) Bilas tangan secara menyeluruh, pastikan posisi telapak tangan lebih
tinggi dari siku.
16) Ulangi pemakaian cairan antiseptic (Clorheksidin glukonat 4%)
lakukan cuci tangan hand wash selama 1 menit.
17) Bilas dengan air kedua tangan, pastikan posisi kedua tangan di atas
dan biarkan air menetes melalui siku.
b. Pemakaian Alat Pelindung Diri.
Alat pelindung diri adalah sarana yang digunakan untuk
melindungi kulit dan selaput lendir perawat dari resiko pajanan darah,
semua jenis cairan tubuh, secret atau ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lendir pasien. Alat pelindung diri tidak semuanya harus
dipakai, tetapi tergantung pada jenis tindakan yang akan dikerjakan
(Depkes. RI, 2007).
20

Adapun jenis-jenis pelindung diri meliputi :


1) Sarung Tangan.
Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan
petugas dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, dan
benda yang terkontaminasi, sehingga mencegah penularan penyakit
secara langsung maupun tidak langsung. Garner dan Favero dalam
Depkes. RI (2003), penggunaan sarung tangan dan kebersihan
tangan merupakan komponen kunci dalam meminimalkan
penyebaran penyakit dan mempertahankan lingkungan yang bebas
infeksi. Williams dalam Potter & Perry (2005) berpendapat bahwa
tenaga kesehatan harus memakai sarung tangan dengan beberapa
alasan seperti :
(a) Mengurangi kemungkinan pekerja kontak dengan organisme
infeksius pada klien.
(b) Mengurangi kemungkinan pekerja memindahkan flora endogen
ke pasien.
(c) Mengurangi kemungkinan pekerja menjadi tempat kolonisasi
sementara mikroorganisme.
Perawat harus menggunakan sarung tangan yang berbeda
untuk setiap pasien. Centers for Disease Control (CDC) dalam
Potter & Perry (2005) menyebutkan bahwa sepasang sarung tangan
hanya boleh digunakan untuk satu pasien. Pemakaian sepasang
sarung tangan untuk merawat satu pasien ke pasien yang lain atau
melakukan tindakan dari bagian tubuh yang kotor ke bagian tubuh
yang bersih juga tidak dianjurkan karena akan terjadi kontaminasi
silang.
Doebbeling dan Colleageus dalam Depkes. RI 2007,
ditemukan banyak bakteri dalam jumlah yang signifikan pada tangan
perawat yang hanya mencuci tangan dalam keadaan masih memakai
21

sarung tangan dan tidak mengganti sarung tangan ketika berpindah


dari satu pasien ke pasien yang lain. Perawat harus menghindari
memegang benda selain yang berhubungan dengan tindakan yang
sedang dilakukan, dan tidak dianjurkan menggunakan sarung tangan
rangkap karena akan menurunkan kepekaan, kecuali dalam keadaan
khusus seperti tindakan yang menggunakan waktu lama lebih 60
menit, tindakan yang berhubungan dengan darah atau cairan.
2) Perlindungan Wajah (masker, kacamata, penutup kepala).
(a) Masker
CDC dalam Potter & Perry (2005), pemakaian masker dapat
mencegah penularan infeksi melalui kontak langsung dengan
membran mukosa. Masker di kamar operasi digunakan untuk
melindungi perawat dari percikan darah atau cairan tubuh pasien,
melindungi perawat dari menghirup partikel-partikel aerosol yang
melintas dalam jarak pendek dan cairan tubuh pasien ke perawat.
Masker harus cukup besar agar dapat menutupi hidung, mulut,
bagian bawah dagu, dan rambut pada dagu (jenggot). Masker harus
terbuat dari bahan yang tahan cairan. Masker yang terbuat dari
kertas atau katun sangat nyaman tetapi tidak mampu menahan
cairan atau tidak efektif sebagai filter. Masker untuk di kamar
bedah yang terbaik juga tidak dirancang untuk benar-benar
menutup secara tepat / rapat, sehingga tetap ada kebocoran udara
dari tepi masker. Masker dan kaca mata secara bersamaaan
digunakan perawat yang melakukan tindakan beresiko tinggi
terpajan oleh darah dan cairan tubuh seperti pembersihan luka,
membalut luka, mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas
pakai (Potter & Perry, 2005).
22

(b) Pelindung Mata (kaca mata)


Garner dalam Potter & Perry (2005) perawat diharuskan
memakai kacamata pada saat mengikuti prosedur invasif, irigasi
luka besar di abdomen, insersi catheter arterial, dan menjadi
asisten dokter pada saat operasi yang bertujuan untuk melindungi
petugas dari percikan darah atau cairan tubuh lain.
(c) Topi / Penutup Kepala
Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala
perawat agar serpihan kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka
selama pembedahan dan melindungi perawat dari percikan darah
atau cairan tubuh pasien secara tidak sengaja. Topi yang digunakan
harus cukup besar agar dapat menutup semua rambut (Potter &
Perry, 2005).
3) Gaun Perlindung (baju kerja dan apron / celemek)
Gaun pelindung digunakan untuk mencegah kontak
mikroorganisme, percikan darah, dan cairan tubuh, dari pasien ke
perawat.
(a) Baju Kerja / Gaun Pelindung
Baju kerja/gaun pelindung merupakan salah satu jenis
pakaian yang digunakan untuk bekerja. Baju kerja sebaiknya
terbuat dari bahan yang sedapat mungkin tidak tembus cairan.
Baju kerja / gaun pelindung digunakan untuk menutupi atau
mengganti pakaian pada saat merawat pasien. Perawat kamar
bedah yang mengikuti tindakan operasi harus mengenakan baju
atau gaun steril (Potter & Perry, 2005).
(b) Apron / Celemek
Apron atau celemek yang terbuat dari plastik merupakan
penghalang tahan air untuk sepanjang bagian depan tubuh
perawat. Perawat harus memakai apron / celemek di bawah
23

gaun penutup pada saat melakukan perawatan langsung pada


pasien, membersihkan pasien, atau melakukan prosedur yang
beresiko dari tumpahan darah, cairan tubuh, atau sekresi pada
saat menjadi asisten dokter bedah (Potter & Perry, 2005).
(4) Sepatu Pelindung
Sepatu / pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari
cedera akibat benda tajam atau benda berat yang jatuh secara tidak
sengaja. Sandal jepit atau sandal yang tidak menutupi kaki dan
sepatu yang terbuat dari bahan yang lunak atau kain tidak boleh
digunakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup memberi
perlindungan yang lebih baik, tetapi harus dijaga supaya tetap
bersih dan bebas dari kontaminasi darah atau cairan tubuh pasien.
Sepatu atau pelindung kaki yang tahan terhadap benda tajam dan
kedap air harus tersedia di kamar bedah (Potter & Perry, 2005).
c. Pengelolaan Jarum dan Alat Tajam Untuk Mencegah Perlakuaan
Benda tajam sangat beresiko menyebabkan perlukaan sehingga
meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah.
Benda-benda tajam sekali pakai (jarum suntik, silet, pisau bedah)
memerlukan pengelolaan khusus karena benda-benda tajam tersebut
dapat melukai perawat dan masyarakat sekitarnya jika benda ini
dibuang di pembuangan limbah umum (Depkes. RI, 2007).
Kecelakaan terjadi pada saat memindahkan alat tajam dari satu
orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat
tajam secara langsung, melainkan menggunakan teknik tanpa sentuh
(Hands free) yaitu menggunakan nampan atau alat perantara agar
dokter mengambil sendiri nampan atau bengkok terutama pada
prosedur pembedahan. Resiko perlukaan dapat ditekan dengan
mengupayakan situasi kerja yang bebas tanpa halangan, dengan cara
meletakkan pasien pada posisi yang mudah dilihat, mengatur sumber
24

pencahayaan yang baik, dan menjalankan prosedur kerja yang baik


seperti pada penggunaan forsep dan pinset pada saat mengerjakan
penjahitan.
Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan
adalah saat perawat berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas
pakai ke dalam tutupnya, oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk
menutup kembali jarum (recapping). Perawat sebaiknya menggunakan
cara penutupan jarum dengan satu tangan jika jarum harus ditutup
kembali (recapping) untuk mencegah jari tertusuk jarum. Jarum atau
alat suntik bekas harus ditampung di penampungan sementara yang
bersifat kedap air, tidak mudah bocor dan tahan tusukan sebelum
dibuang ke tempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan. Wadah
penampung jarum suntik bekas pakai harus dapat digunakan dengan
satu tangan agar pada saat memasukkan jarum tidak usah memegang
dengan tangan lain. Wadah tersebut ditutup dan diganti setelah ¾
bagian terisi dengan limbah, setelah ditutup wadah tidak dapat dibuka
lagi sehingga tidak tumpah, hal tersebut dimaksudkan untuk
menghindari perlukaan pada pengelolaan selanjutnya. Benda tajam
idealnya dapat diinsinerasi, tetapi jika tidak memungkinkan maka
benda tajam dapat dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lainnya
(Depkes. RI, 2007).
d. Pengelolaan limbah dan Sanitasi Ruangan
Pengelolaan limbah merupakan salah satu upaya kegiatan
pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakait atau fasilitas
kesehatan. Limbah dari sarana kesehatan atau rumah sakit secara
umum dibedakan menjadi limbah yang terkontaminasi dan limbah
tidak terkontaminasi. Limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit atau
fasilitas kesehatan sebanyak 85% merupakan limbah tidak
25

terkontaminasi dan tidak berbahaya bagi perawat, tetapi limbah ini


harus dikelola dengan baik dan benar (Depkes. RI, 2007).
Rutala dalam Depkes RI (2011), semua limbah yang tidak
terkontaminasi seperti kertas, kotak, botol, wadah plastik, dan sisa
makanan dapat dibuang secara biasa atau dikirim kedinas pembuangan
limbah setempat atau tempat pembuangan limbah umum. Limbah
terkontaminasi adalah limbah yang mengandung mikroorganisme yang
potensial menularkan penyakit kepada perawat dan masyarakat umum
yang menyentuhnya, oleh karena itu limbah terkontaminasi harus
dikelola dengan baik.
Teknik pengelolaan sampah/limbah di pelayanan kesehatan
meliputi tahap pemilahan, penanganan, penampungan sementara, dan
pembuangan. Tahap-tahap pengelolaaan sampah/limbah tersebut
adalah:
(1) Pemilahan
Pemilahan merupakan tindakan mmisahkan sampah di
kamar operasi yang dilakukan dengan cara memasukkan sampah
pada kantong sampah yang sudah disediakan sesuai dengan jenis
sampahnya. Wadah-wadah tersebut biasanya menggunakan
kantong kantong plastik berwarna, misalnya kantong warna kuning
untuk sampah infeksius / terkontaminasi, kantong warna hitam
untuk sampah non infeksius / non terkontaminasi.
(2) Penanganan
Penanaganan sampah dari masing-masing sumber
dilakukan dengan ketentuaan tempat sampah / kantong plastik
tidak boleh luber atau penuh, jika sampah sudah memenuhi ¾
bagian harus segera dibawa ke tempat pembuangan akhir. Tempat
sampah berupa kantong plastik harus diikat rapat pada saat
pengangkutan dan dibuang dengan kantongnya.
26

(3) Penampungan Sementara


Pewadahan sementara sangat diperlukan sebelum sampah
dibuang ditempat pembuangan akhir. Sampah sebaiknya berada
ditempat yang mudah dijangkau oleh perawat, pasien dan
pengunjung. Tempat sampah harus tertutup dan kedap air, tidak
mudah bocor agar terhindar dari tikus dan serangga, serta hanya
bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari (Depkes. RI,
2007).
(4) Pembuangan / Pemusnahan
Sampah yang dihasilkan pada akhirnya harus dilakukan
pemusnahan. Sistem pemusnahan yang dianjurkan adalah dengan
pembakaran dengan suhu tinggi agar dapat mengurangi volume
sampah dan membunuh mikroorganisme. Pembuangan limbah cair
di tempatkan pada bangunan penampungan yang kedap air (septic
tank), kuat, dan dilengkapi dengan lubang ventilasi.
e. Pengelolaan Alat Kesehatan Bekas Pakai
Pengelolaan alat-alat kesehatan / instrument bedah setelah dipakai
bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui instrumen bedah,
menjamin alat dalam kondisi steril, dan alat dalam kondisi siap pakai.
Proses pencegahan dasar yang dianjurkan untuk mengurangi penularan
penyakit melalui instrumen bedah meliputi dekontaminasi, pencucian,
sterilisasi, dan penyimpanan (Depkes. RI, 2007). Penjabaran dari proses
pencegahan dasar pengelolaan alat bedah setelah dipakai adalah sebagai
berikut:
1) Dekontaminasi
Depkes. RI (2007), menyebutkan bahwa instrumen setelah
dipakai untuk pembedahan sebaiknya dilakukan prabilas /
dekontaminasi terlebih dahulu terutama jika alat - alat tersebut akan
dibersihkan dengan tangan. Dekontaminasi adalah proses
27

menghilangkan mikroorganisme pathogen dan kotoran pada benda


atau alat bedah sehingga aman untuk dilakukan pengelolaan lebih
lanjut. Dekontaminasi alat bedah dilakukan dengan menggunakan
bahan desinfektan kimia seperti klorin 0,5 % atau dengan alkacide,
tetapi klorin lebih bersifat korosif terhadap alat-alat bedah sehingga
alkacide lebih banyak digunakan. Khusus untuk alat bedah yang
digunakan untuk operasi pasien dengan virus hepatitis B dan pasien
HIV/AIDS dilakukan dekontaminasi dengan klorin 0,5 % selama
15-30 menit.
2) Pencucian Alat
Pencucian merupakan tahap yang harus dilakukan setelah
proses dekontaminasi. Instrumen / alat bedah di rumah sakit besar
biasanya dicuci oleh instalasi tersendiri yang khusus mengelola
instrumen pembedahan dan perawatan luka dengan peralatan yang
canggih (Depkes. RI, 2007).
3) Sterilisasi
Sterilisasi merupakan proses menghilangkan seluruh
mikroorganisme dan endospora dari alat keseharan atau instrument
bedah. Sterilisasi dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi. Zat
dan cara yang sering digunakan untuk sterilisasi di rumah sakit
adalah dengan uap panas bertekanan tinggi, pemanasan kering, gas
ethilen okside, dan dengan zat kimia. Sterilisasi alat kesehatan dan
instrument bedah di RSUP Dr. Kariadi Semarang dilakukan oleh
Central Sterile Supply Department (CSSD) (Depkes. RI, 2007).
4) Penyimpanan Instrumen Bedah
Penyimpanan alat bedah yang baik sama pentingnya proses
sterilisasi. Instrumen / alat bedah dapat disimpan dengan cara
dibungkus dan dimasukkan dalam tromol instrumen. Alat bedah
dinyatakan tetap steril selama alat tersebut masih terbungkus
28

dengan baik selama 3 bulan dalam tromol instrumen. Beberapa


faktor yang mempengaruhi umur sterilisasi alat yaitu tehnik
sterilisasi jenis material yang digunakan untuk membungkus,
beberapa lapis kain pembungkus yang digunakan, kebersihan, dan
kelembaban tempat penyimpanan alat (Depkes. RI, 2007).
Pelaksanaan universal precautions tidak lepas dari peran
perawat dalam berperilaku. Berikut ini akan dibahas tentang
pengertian perilaku, respon perilaku dan faktor yang mempengaruhi
perilaku perawat.
2. Perilaku Perawat
a. Pengertian Perilaku Perawat
Perilaku perawat adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung
(Sunaryo, 2004). Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan
respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh
karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme
dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori
“S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons.
b. Respon Perilaku Perawat
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon perilaku seseorang terhadap suatu stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (covert). Respon atau suatu reaksi terhadap suatu
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran
dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum
dapat diamati secara jelas oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003).
29

2) Perilaku terbuka (overt behavior)


Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang
lain (Notoatmodjo, 2003).
c. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Perawat
Notoatmodjo (2003), menganalisis perilaku manusia tersebut dalam
perilaku manusia pada tingkat kesehatan. Sedangkan kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor perilaku dan faktor di luar
perilaku, selanjutnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh :
1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, dan persepsi.
2) Faktor-faktor pendukung (enabling factor)
Faktor pendukung pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor
ini bisa sekaligus penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan
perilaku dan perubahan lingkungan yang baik. Faktor pendukung (enabling
factor) mencakup ketersediaan sarana dan prasaranan atau fasilitas, sumber
daya / dana, keterampilan dan keterjangkauan. Sarana dan fasilitas ini pada
hakekatnya mendukung atau memugkinkan terwujudnya suatu perilaku,
sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin.
3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor)
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan penguat
terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau perilaku.
Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya
hukuman dan pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses
terbentuknya perilaku. Hal yang paling berpengaruh terhadap perubahan
30

perilaku perawat adalah sumber daya, desain pekerjaan, kepemimpinan,


supervisi, imbalan, motivasi, sikap dan perilaku masyarakat, sikap dan
perilaku petugas kesehatan.

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Universal Precautions


Notoatmodjo (2003) dan Gibson (1987) menganalisis perilaku universal
precautions dipengaruhi oleh :
a. Pengetahuan
1) Pengertian Pengetahuan
Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan
ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek
tertentu. Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan.
Sukmadinata (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dipengaruhi oleh :
a) Faktor internal yakni jasmani dan rohani.
b) Faktor eksternal yakni pendidikan,paparan media massa, ekonomi
dan pengalaman.
b. Sikap
1) Pengertian Sikap
Azwar (2009), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan
mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung pada
obyek tersebut.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
Azwar (2009), faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah :
a) Pengalaman pribadi
b) Pengaruh orang lain yang dianggap penting
31

c) Pengaruh kebudayaan
d) Media massa
e) Lembaga pendidikan dan lembaga agama
f) Pengaruh faktor emosional
c. Tradisi dan Kepercayaan
Hasbullah (2006) kepercayaan adalah suatu bentuk keinginan untuk
mengambil resiko dalam hubungan sosial yang didasari oleh keyakinan
bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan
senantiasa bertindak dalam suatu tindakan yang saling mendukung. Tindakan
kebersamaan yang didasari saling percaya akan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan dalam mencapai kemajuan
sehingga dapat menyatukan masyarakat serta memberikan kontribusi pada
peningkatan modal sosial.
d. Nilai
Hasbullah (2006) Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun
dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai
merupakan hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan
berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu
serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat
yang pada akhirnya membentuk pola kultural.
e. Tingkat Pendidikan
Soeitoe (1982) dalam Putri (2012) Pendidikan adalah segala usaha
yang dilakukan dengan sadar dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku
manusia ke arah yang baik. Perubahan–perubahan yang ingin dicapai melalui
proses pendidikan pada dasarnya adalah perubahan pola tingkah laku.
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang
akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta
dalam pembangunan pada umumnya, makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah menerima informasi. Pendidikan mempunyai peranan yang
32

penting di dalam kehidupan berkeluarga, karena mereka yang berpendidikan


tinggi dapat mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan
yang berpendidikan rendah. Akan tetapi perlu ditekankan bukan berarti
seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula.
Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh
dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh dari pendidikan non
formal.
f. Persepsi Diri
Brehm & Kassin (1993) dalam Helmi (1999) Self dapat dipandang
dari perspektif ABC yaitu Affection, Behavior, dan Cognition. Komponen
kognitif dan sikap adalah bagaimana seseorang mengetahui diri sendiri dan
mengembangkan konsep diri. Komponen afektif dari self adalah bagaimana
seseorang mengevaluasi diri sendiri, meningkatkan harga diri, dan mengatasi
ancaman-ancaman terhadap harga diri. Komponen perilaku dari self adalah
bagaimana cara seseorang mempresentasikan diri sendiri kepada orang
laindan meregulasikan perilakunya sesuai dengan tuntutan interpersonal.
g. Sumber Daya / Dana
Sumber daya merupakan elemen penting dalam suatu organisasi,
dimana sumber daya merupakan sesuatu yang membantu dan mempermudah
jalannnya suatu kegiatan (Gibson, 1987). Sumber daya yang dimaksud disini
adalah fasilitas dan sarana yang mendukung pelaksanaan kewaspadaan
universal berupa sarana cuci tangan berupa air yang mengalir, sabun dan
detergen, larutan antiseptik, alat-alat pelindung berupa sarung tangan,
masker, kacamata pelindung, gaun pelindung atau celemek dan sepatu
pelindung, cairan untuk melakukan dekontaminasi, pencucian alat,
disentifeksi, sterilisasi dan tempat pembuangan sampah (Depkes RI, 2010).
Peralatan dan sumber daya lainnya sangat erat hubungannya dengan kinerja
sehingga sumber daya dalam hal ini fasilitas dan sarana kerja ,selain data
yang cukup pencapaian kinerja optimal harus didukung oleh sarana yang
33

memadai sehingga segala proses pelayanan kesehatan dapat terlaksana


dengan baik dan menghasilkan pelayanan yang optimal dan terjamin
(Yahya,1997).
h. Keterampilan
Pusdiklatwas (2007) dalam Rejeki (2014) keterampilan didefinisikan
sebagai tindakan untuk mengenali dan merespon secara layak perasaan,
sikap, dan perilaku, motivasi serta keinginan orang lain. Bagaimana kita
membangun hubungan yang harmonis dengan memahami dan merespon
manusia atau orang lain merupakan bagian dari keterampilan. Untuk
membangun hubungan dengan orang lain, terlebih dahulu kita harus
menguasai kemampuan dan keterampilan dalam mengenal diri sendiri,
kemudian baru keterampilan dalam mengenal orang lain. Kemampuan kita
dalam menjalin hubungan dengan orang lain menjadi faktor penting dalam
membangun suasana.
i. Keterjangkauan
Timyan Judith, et. all (1997) dalam Suharmiati, et. all. (2012)
Keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh akses
pelayanan yang tidak hanya disebabkan masalah jarak tetapi terdapat dua
faktor penentu (determinan) yaitu determinan penyediaan yang merupakan
faktor-faktor pelayanan dan determinan permintaan yang merupakan faktor-
faktor pengguna. Determinan penyediaan terdiri atas organisasi pelayanan
dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan, pemanfaatan dan distribusi petugas,
biaya pelayanan serta mutu pelayanan. Sedangkan determinan permintaan
yang merupakan faktor pengguna meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi
sosial budaya masyarakat serta tingkat pendapatan yang rendah.
j. Motivasi
1) Pengertian Motivasi
Walgito (2004) motivasi adalah keadaan dalam diri individu atau
organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan.
34

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi.


Widyatun (2002) ada dua faktor yang berpengaruh terhadap motivasi
yakni :
a) Faktor internal, meliputi faktor fisik, proses mental, hereditas,
kematangan usia, pengetahuan.
b) Faktor eksternal, meliputi faktor lingkungan, dukungan sosial,
fasilitas (sarana dan prasarana), media.
k. Supervisi
Swansburg (1999) dikutip oleh Rakhmawati (2009) Supervisi adalah
usaha untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai
pelaksanaan tugas, dimana dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang
diperhatikan yaitu menghargai dan mengembangkan potensi setiap individu
serta menerima setiap perbedaan. Definisi lain mengenai supervisi
dikemukakan oleh Sudjana (2004) dalam Nursalam (2011) yaitu upaya untuk
membantu pembinaan dan peningkatan kemampuan pihak yang disupervisi
agar mereka dapat melaksanakan tugas kegiatan yang telah ditetapkan secara
efektif dan efisien.
l. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan elemen yang penting dalam suatu
organisasi baik formal maupun informal. Gibson (1987) mengemukakan
bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses membujuk
(inducing) orang-orang lain untuk mangambil langkah menuju sasaran
bersama, peran kepemimpinan sangat besar untuk memotivasi anggota
organisasi dalam memperbesar energi untuk berperilaku dalam upaya
mencapai tujuan kelompok. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan
kepada pasien harus berdasarkan pada universal precautions yang
membutuhkan pimpinan yang bisa memimpin mereka dalam melaksanakan
universal precautions di setiap pemberian pelayanan kepada pasien. Jika
pemimpin tidak menganggap bahwa kewaspadaan universal dalam pelayanan
35

kesehatan itu tidak terlalu penting, maka perawat bawahannya juga akan
memiliki persepsi yang sama. Kepemimpinan adalah kemampuan individu
untuk mempengaruhi, memotivasi dan membuat orang lain mampu
memberikan konstribusinya demi efektifitas dan keberhasilan organisasi.
Kepemimpinan yang dimaksud disini adalah bagaimana pemimpin
mempengaruhi bawahannya dalam upaya mencapai tujuan pelaksanaan
universal precautions yang baik.
m. Desain Pekerjaan atau Job Design
Desain pekerjaan atau job design merupakan faktor penting dalam
suatu organisasi apalagi dalam organisasi rumah sakit, dimana harus
dibutuhkan kejelasan akan sesuatu kegiatan yang dilakukan sehingga dalam
memberikan pelayanan kesehatan dapat optimal dan terjamin keamanannya
sehingga mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan dalam hal ini
mengenai universal precautions dimana dibutuhkan buku petunjuk atau SOP
sehingga perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan yang aman
(Kotwal ,2010) Desain pekerjaan disini berhubungan secara tidak langsung
dengan kinerja perawat dalam melaksanakan universal precautions, dimana
desain pekerjaan yang sesuai dapat menambah pengetahuan perawat dalam
pelaksanaan universal precautions sehingga termotivasi untuk dapat
melaksanakan universal precautions dalam setiap pelayanan kesehatan
kepada pasien.
n. Imbalan
Imbalan diberikan kepada seseorang bukan karena jasa atau prestasi
semata tetapi justru mengharap agar orang yang bersangkutan dapat
berprestasi atau berjasa lebih baik dari yang sudah-sudah (Yahya,1997).
Gibson (1987), setiap perolehan atau imbalan yang didapat mempunyai nilai
yang berbeda bagi bagi orang yang bersangkutan. Perolehan seperti upah,
promosi, teguran atau pekerjaan yang lebih baik mempunyai nilai yang
berbeda bagi orang yang berbeda dan imbalan menjadi pendorong seseorang
36

untuk mau bekerja juga berpengaruh terhadap moral dan disiplin kerja. Hal
ini dimungkinkan karena dalam melaksanakan fungsinya perawat lebih
menekankan kepada pelayanan dan tanggung jawab,tidak semata pada
imbalan yang akan diperolehnya. Secara rutin perawat telah menerima gaji
bulanan yang telah sesuai dengan standar gaji perawat pada umumnya,
sehingga imbalan tambahan di luar gaji pokok tersebut tidak terlalu
mempengaruhi mereka untuk melaksanakan kewaspadaan universal dan
dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor psikologis perawat dimana
persepsi mereka akan terkena oleh infeksi apabila tidak melaksanakan
universal precautions dengan baik. Kompensasi adalah fungsi manajemen
sumber daya manusia yang berkaitan dengan semua bentuk penghargaan
yang dijanjikan akan diterima karyawan sebagai imbalan dari pelaksanaan
tugas dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan.

Penelitian ini hanya mengukur salah satu faktor yang mempengaruhi


universal precautions yaitu faktor pendorong khususnya supervisi.

4. Supervisi
a. Pengertian Supervisi
Swansburg (1999), dikutip oleh Rakhmawati (2009) Supervisi
adalah usaha untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya
mengenai pelaksanaan tugas, dimana dalam pelaksanaannya ada beberapa
hal yang diperhatikan yaitu menghargai dan mengembangkan potensi setiap
individu serta menerima setiap perbedaan. Definisi lain mengenai supervisi
dikemukakan oleh Sudjana (2004) dalam Nursalam (2011) yaitu upaya
untuk membantu pembinaan dan peningkatan kemampuan pihak yang
disupervisi agar mereka dapat melaksanakan tugas kegiatan yang telah
ditetapkan secara efektif dan efisien.
37

b. Manfaat Supervisi
Manfaat Supervisi menurut Nursalam (2011) tiga kegunaan
supervisi antara lain :
a) Untuk meningkatan kemampuan supervisor dalam memberikan layanan
kepada para pelaksanaan kegiatan (perawat). Kemantapan kemampuan
akan dialami apabila supervisor sering melakukan supervisi.
b) Untuk meningkatkan kemampuan para pelaksana kegiatan.
c) Untuk menyusun pedoman/petunjuk pelaksanaan layanan professional
kepada pelaksana kegiatan.
c. Unsur Pokok Supervisi
Unsur pokok supervisi menurut Azwar (1996), adalah:
1) Pelaksana
Unsur dapat melaksanakan supervisi dengan baik, ada beberapa
syarat atau karakteristik yang harus dimiliki oleh pelaksana supervisi
(supervisor). Syarat atau karakteristik yang dimaksud adalah :
a. Sebaiknya pelaksana supervisi adalah atasan langsung dari yang
disupervisi. Atau apabila hal ini tidak memungkinkan, dapat
ditunjuk staf khusus dengan batas-batas wewenang dan tanggung
jawab yang jelas.
b. Pelaksana supervisi harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan
melakukan supervisi, artinya memahami prinsip-prinsip pokok serta
teknik supervisi.
c. Pelaksana supervisi harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan
yang cukup untuk jenis pekerjaan yang akan disupervisi.
d. Pelaksana supervisi harus mempunyai sikap edukatif dan suportif
bukan otoriter.
e. Pelaksana supervisi harus mempunyai waktu yang cukup, tidak
tergesa-gesa dan secara sabar berupaya meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan dan juga sikap bawahan yang disupervisi.
38

2) Sasaran
Sasaran atau objek dari supervisi adalah pekerjaan yang
dilakukan oleh bawahan serta bawahan yang melakukan pekerjaan.
Sasaran pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan, disebut sebagai
supervisi langsung. Sedangkan sasaran bawahan yang melakukan
pekerjaan disebut sebagai supervisi tidak langsung. Disini terlihat jelas
bahwa bawahan yang melaksanakan pekerjaan akan disupervisi
dengan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja pekerjaan
yang dilakukan oleh bawahan.
3) Frekuensi
Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala.
Dalam Nursalam (2011), ketika melakukan supervisi yang tepat harus
dapat menentukan kapan dan apa yang perlu dilakukan supervisi dan
bantuan.
4) Tujuan
Tujuan supervisi memberikan bantuan kepada bawahan secara
langsung sehingga dengan bantuan tersebut bawahan memiliki bekal
yang cukup untuk dapat melaksankan tugas atau pekerjaan dengan
hasil yang baik (Nursalam, 2011).
5) Teknik
Teknik pokok supervisi pada dasarnya adalah identik dengan
teknik penyelesaian masalah (problem solving). Bedanya hanya pada
supervisi, cara pengumpulan data ialah dengan mempergunakan
teknik pengamatan langsung (direct observation), serta cara
penyelesaian masalah dilakukan secara langsung bersama di tempat
(on the spot).
d. Prinsip Pokok Dalam Supervisi
Prinsip Pokok Dalam Supervisi diuraikan sebagai berikut :
39

a) Tujuan utama supervisi adalah untuk lebih meningkatkan penampilan


bawahan, bukan untuk mencari kesalahan.
b) Supervisi harus bersifat edukatif dan suportif, bukan otoriter.
c) Supervisi harus dilakukan secara teratur dan berkala.
d) Supervisi dapat dilaksanakan sedemikan rupa sehingga terjalin
kerjasama yang baik antara atasan dan bawahan, terutama pada waktu
melaksankan upaya penyelesaian masalah dalam rangka lebih
meningkatkan penampilan bawahan.
e) Strategi dan tata cara supervisi yang akan dilakukan harus sesuai denga
kebutuhan masimg-masing bawahan secara individu.
f) Supervisi harus dilakukan secara fleksibel dan selalu disesuaikan dengan
perkembangan yang ada.
e. Supervisi Keperawatan
Salah satu fungsi manajemen adalah directing, dimana di
dalamnya terdapat kegiatan supervisi. Bidang keperawatan supervisi
mempunyai pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi segala bantuan dari
pimpinan / penanggung jawab kepada para perawat yang ditujukan untuk
perkembangan para perawat dan staf lainnya dalam mencapai tujuan asuhan
keperawatan, kegiatan supervisi semacam ini merupakan dorongan bimbingan
dan kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan keahlian dan
kecakapan para perawat (Suyanto, 2008 dalam Nainggolan, 2010).
a) Pelaksana Supervisi Keperawatan
Peran dan fungsi supervisor dalam supervisi adalah mempertahankan
keseimbangan pelayanan keperawatan dan manajemen sumber daya yang
tersedia, dengan lingkup tanggung jawab antara lain :
1. Menetapkan dan mempertahankan standar praktik keperawatan.
2. Menilai kualitas asuhan keperawatan dan pelayanan yang diberikan.
3. Mengembangkan peraturan dan prosedur yang mengatur pelayanan
keperawatan dan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain yang terkait.
40

4. Manajemen anggaran.
b) Sasaran Supervisi Keperawatan
Supervisi keperawatan pun memiliki sasaran dan target yang ditarget
yang dilaksanakan sesuai dengan pola yang disepakati berdasarkan struktur
dan hierarki tugas. Sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanakan
supervisi antara lain yaitu pelaksanaan tugas keperawatan, penggunaan alat
yang efektif dan ekonomis, sistem dan prosedur yang tidak menyimpang,
pembagian tugas dan wewenang, serta tidak terjadinya penyimpangan /
penyelewengan kekuasaan, kedudukan dan keuangan (Suryanto, 2008
dalam Nainggolan 2010).
c) Tujuan Supervisi Keperawatan
Tujuan supervisi keperawatan adalah pemenuhan dan peningkatan
pelayanan kepada klien dan keluarga yang berfokus pada kebutuhan,
keterampilan dan kemampuan perawat dalam melaksanakan tugas
(Nursalam, 2011). Sukardjo (2010) menyebutkan tujuan supervisi adalah
mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang nyaman, ini tidak
hanya meliputi lingkungan fisik, tetapi juga suasana kerja diantaranya para
tenaga keperawatan dan tenaga lainnya, serta meliputi jumlah persediaan
dan kelayakan perawatan agar memudahkan pelaksanaan tugas. Beberapa
tujuan supervisi keperawatan lainnya adalah :
1. Mengorganisasikan staf dan pelaksana keperawatan dalam menjalankan
tugasnya.
2. Melatih staf dan pelaksana perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien.
3. Memberikan arahan dalam pelaksanaan tugasnya agar menyadari dan
mengerti terhadap peran juga fungsi sebagai staf dan pelasanaan asuhan
keperawatan.
4. Memberiakan layanan kemampuan staf dan pelaksana keperawatan
dalam memberikan asuhan keperawatan.
41

d) Kompetensi Supervisor Keperawatan


Nainggolan (2010), mengkutip beberapa kompentensi supervisor
keperawatan yang dikemukakan oleh beberapa penulis. Dharma (2003)
dalam Nainggolan (2010) tanggung jawab utama seorang supervisor adalah
mencapai hasil sebaik mungkin dengan mengkoordinasikan sistem
kerjanya. Para supervisor mengkoordinasikam pekerjaan karyawan dengan
mengarahkan, melancarkan, membimbing, memotivasi, dan
mengendalikan. Suyanto (2008), seorang supervisor keperawatan dalam
menjalankan tugasnya sehari - hari harus memiliki kemampuan dalam :
1. Memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas, sehingga dapat
dimengerti oleh staf dan pelaksana keperawatan.
2. Memberikan saran, nasihat dan bantuan kepada para staf dan pelaksana
keperawatan.
3. Memberikan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja kepada staf
dan pelaksanaan keperawatan.
4. Mampu memahami proses kelompok (dinamika kelompok).
5. Memberikan latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh staf dan
pelaksana keperawatan, melakukan penilaian terhadap penampilan
kinerja perawat.
6. Mengadakan pengawasan agar asuhan keperawatan yang diberikan lebih
baik.
e) Prinsip Supervisi Keperawatan
Ada beberapa prinsip yang dilakukan dalam penerapan supervisi
keperawatan (Nursalam, 2011) antara lain:
1. Supervisi dilakukan sesuai dengan struktur organisasi.
2. Supervisi memerlukan pengetahuan dasar manajemen, keterampilan
hubungan antar manusia dan kemampuan menerapkan prinsip
manajemen dan kepemimpinan.
42

3. Fungsi supervisi diuraikan dengan jelas, terorganisasi dan dinyatakan


melalui petunjuk dan peraturan, uraian tugas serta standar.
4. Supervisi merupakan proses kerjasama yang demokratis antara supervisor
dan perawat pelaksana.
5. Supervisi merupakan visi, misi, falsafah, tujuan dan rencana yang
spesifik.
6. Supervisi menciptakan lingkungan yang kondusif, komunikasi efektif,
kreatif dan motivasi.
7. Supervisi mempunyai tujuan yang berhasil dan berdaya guna dalam
pelayanan keperawatan yang memberi kepuasan klien, perawat dan
manajer.
f) Pelaksanaan Supervisi Keperawatan
1. Teknik Pelaksanaan
Nursalam (2011), ada beberapa teknik yang diperlukan dalam
melaksanakan supervisi dalam keperawatan antara lain :
a. Proses Supervisi
(1) Mengacu pada standar asuhan keperawatan.
(2) Fakta pelaksanaan praktik keperawatan sebagai pembanding
untuk menetapkan pencapaian.
(3) Tindak lanjut dalam upaya memperbaiki dan mempertahankan
kualitas asuhan.
b. Area Supervisi Keperawatan secara aplikasi meliputi :
(1) Kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada
klien.
(2) Pendokumentasian asuhan keperawatan.
(3) Pendidikan kesehatan melalui perencanaan pulang.
(4) Pengelolaan logistik dan obat.
(5) Penerapan metode ronde keperawatan dalam menyelesaikan
masalah keperawatan klien.
43

(6) Pelaksanaan operan tugas jaga.


c. Cara Supervisi
Supervisi dapat dilakukan dengan dua cara dalam prosesnya
yaitu secara langsung dan tidak langsung ( Mc Eachen & Keogh,
2007).
(1) Langsung
Supervisi dilakukan secara langsung pada kegiatan yang
sedang berlangsung, dimana supervisor dapat terlibat dalam
kegiatan, umpan balik dan perbaikan. Proses supervisi meliputi :
- Perawat pelaksana melakukan secara mandiri suatu tindakan
keperawatan didampingi oleh supervisor ;
- Selama proses, supervisor dapat memberi dukungan,
reinforcement dan petunjuk ;
- Setelah selesai, supervisor dan perawat pelaksana melakukan
diskusi yang bertujuan untuk menguatkan yang telah sesuai
dan memperbaiki yang masih kurang. Reinforcement pada
aspek yang positif sangat penting untuk dilakukan oleh
supervisor.
Pada supervisi modern diharapkan supervisor terlibat
dalam kegiatan agar pengarahan dan pemberian petunjuk tidak
dirasakan sebagai perintah (Sukardjo, 2010). Cara pemberian
pengarahan yang efektif adalah pengarahan harus lengkap,
mudah dipahami, menggunakan kata-kata yang tepat, berbicara
dengan jelas dan lambat, berikan arahan yang logis, hindari
memberikan banyak arahan pada satu waktu, pastikan bahwa
arahan dipahami dan yakinkan bahwa arahan dilaksanakan atau
perlu tindak lanjut.
44

(2) Tidak Langsung


Supervisi dilakukan melalui laporan baik lisan maupun
tulisan. Supervisor tidak melihat langsung apa yang terjadi di
lapangan sehingga mungkin terjadi kesenjangan fakta. Umpan
balik dapat diberikan secara tertulis. Bittel (1987) dalam Sukardjo
(2010) langkah-langkah supervisi tidak langsung adalah :
- Lakukan supervisi secara tidak langsung dengan melihat hasil
dokumentasi pada buku rekam medis oleh perawat.
- Pilih salah satu dokumen asuhan keperawatan.
- Periksa kelengkapan dokumentasi sesuai dengan standar
dokumentasi asuhan keperawatan yang ditetapkan rumah sakit. .
- Memberikan penilaian atas dokumentasi yang disupervisi
dengan memberitakan tanda bila yang masih kurang dan berikan
catatan tertulis pada perawat .
- Memberikan catatan pada lembar dokumentasi yang tidak
lengkap atau tidak sesuai standar.
d. Kegiatan Rutin Supervisor
Untuk dapat mengkoordinasikan sistem kerja secara efektif,
para supervisor harus melakukan dua jenis kegiatan yaitu kegiatan
tugas dan kegiatan supervisi. Kegiatan tugas adalah kegiatan yang
melibatkan supervisor dalam pelaksanaan langsung suatu pekerjaan.
Kegiatan supervisi adalah kegiatan yang mengkoordinasikan
pekerjaan yang dilakukan orang lain. Supervisor yang efektif
menekankan kegiatan supervisi (Dharma, 2003 dalam Nainggolan,
2010).
Nursalam (2011), langkah-langkah pelaksanaan supervisi meliputi :
1. Pra Supervisi
a) Supervisor menetapkan kegiatan yang akan disupervisi.
b) Supervisor menetapkan tujuan.
45

2. Pelaksanaan Supervisi
a) Supervisor menilai kinerja perawat berdasarkan alat ukur atau
instrument yang telah disiapkan.
b) Supervisor mendapatkan beberapa hal yang memerlukan
pembinaan.
c) Supervisor memanggil perawat primer dan perawat pelaksana
untuk mengadakan pembinaan dan klarifikasi permasalahan.
d) Pelaksanaan supervisi dengan inspeksi, wawancara dan
memvalidasi data sekunder melalui cara :
- Supervisor mengklarifikasi permasalahan yang ada. Supervisor
melakukan Tanya jawab dengan perawat.
3. Pasca Supervisi (3F)
a) Supervisor memberikan penilaian supervisi (f-fair).
b) Supervisor memberikan feed back dan klarifikasi.
c) Supervisor memberikan reinforcement dan follow up
perbaikan.
Tugas-tugas rutin yang harus dilakukan oleh supervisor setiap
harinya Bittel (1987) adalah sebagai berikut dalam (Sukardjo,
2010):
1. Sebelum Pertukaran Shift (15-30 menit)
a) Mengecek kecukupan fasilitas /peralatan/sarana untuk hari
itu.
b) Mengecek jadwal kerja.
2. Pada Waktu Mulai Shift (15-30 menit)
a) Mengecek personil yang ada.
b) Menganalisa keseimbangan personil dengan pekerjaan.
c) Mengatur pekerjaan.
d) Mengidentifakasi kendala yang muncul.
46

e) Mencari solusi agar pekerjaan dapat terselesaikan dengan


baik.
3. Sepanjang Hari Dinas (6-7 jam)
a) Mengecek pekerjaan setiap personil dengan mengarahkan,
menginstruksi, mengoreksi atau memberikan latihan sesuai
kebutuhan.
b) Mengecek kemajuan pekerjaan dari personil sehingga dapat
segera membantu apabila diperlukan.
c) Mengecek pekerjaan rumah tangga.
d) Mengecek kembali pekerjaan personil dan kenyamanan
kerja, terutama untuk personil baru.
e) Berjaga-jaga di tempat apabila ada pertanyaan, permintaan
bantuan atau hal-hal yang terkait.
f) Mengatur jam istirahat personil.
g) Mendeteksi dan mencatat masalah yang muncul pada saat
itu dan mencari solusinya.
h) Mengecek kembali kecukupan alat/fasilitas/sarana sesuai
kondisi operasional.
i) Mencatat alat / fasilitas / sarana yang rusak kemudian
melaporkannya.
j) Mengecek adanya kejadian kecelakaan kerja.
k) Menyiapkan dan melaporkan secara rutin mengenai
pekerjaan.
4. Sekali Dalam Sehari (15-30 menit)
a) Mengobservasi satu personil atau area kerja secara kontinu
untuk 15 menit.
b) Melihat dengan seksama hal-hal yang mungkin terjadi
seperti keterlambatan pekerjaan, lamanya mengambil
barang, kesulitan pekerjaan, dan lain sebagainya.
47

5. Sebelum Pulang
a) Membuat daftar masalah yang belum terselesaikan dan
berusaha untuk memecahkan persoalan tersebut keesokan
harinya.
b) Memikirkan pekerjaan yang telah dilakukan sepanjanghari
dengan mengecek hasilnya, kecukupan material dan
peralatannya.
c) Melengkapi laporan harian sebelum pulang.
d) Membuat daftar pekerjaan untukesok hari dan membawanya
pulang untuk dipelajari di rumah sebelum pergi bekerja
kembali.
g) Model Supervisi Keperawatan
Di beberapa negara maju terutama US dan Eropa, kegiatan
supervisi klinis keperawatan di rumah sakit dilakukan dengan sangat
sistematis. Peran dan kedudukan perawat supervisor begitu penting. Peran
supervisor dapat menentukan apakah pelayanan keperawatan (nursing
care delivery) mencapai standar mutu atau tidak. Penelitian Hyrkas dan
Paunonen-Ilmonen (2001), membuktikan bahwa supervisi klinis yang
dilakukan dengan baik berdampak positif bagi quality of care (Supratman
dan Sudaryanto, 2008).
Model tiga fungsi interaktif mengenai supervisi klinis keperawatan
dikemukakan oleh Proctor (1987) & Watson (2002); Royal College of
Nursing (2002), model tersebut adalah yang paling sering dikutip di
Inggris.
1. The Formative Function
Baik perawat supervisor maupun perawat yang disupervisi
sama-sama memiliki tanggung jawab dalam pengembangan pekerja.
Fungsi ini erat kaitannya dengan pengembangan keterampilan dan
peningkatan pengetahuan perawat yang disupervisi.
48

2. The Normative Function


Perawat supervisor maupun perawat yang disupervisi sama-
sama memiliki tanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi
terhadap pekerja pada waktu tertentu, tanggung jawab tersebut berguna
untuk penilaian. Fungsi ini berkonsentrasi pada masalah manajerial
termasuk di dalamnya pemeliharaan standar profesional keperawatan.
Fungsi ini juga menjawab pertanyaan bagaimana cara mengontrol
kualitas pelayanan dan bagaimana memastikan bahwa kinerja perawat
telah mencapai standar yang telah ditentukan.
3. The Restorative Function
Supervisor dan yang disupervisi memiliki tanggung jawab
untuk memastikan bahwa pekerja dalam kondisi yang prima dan kreatif
dalam melakukan pekerjaannya. Fungsi ini difokuskan pada penyediaan
dukungan dalam upaya mengurangi stres yang ditimbulkan dalm
melakukan pekerjaan keperawatan. Fungsi ini juga digunakan dalam
mengeksplorasi reaksi emosional terhadap rasa sakit, konflik, dan
perasaan lainnya yang dialami selama melakukan proses keperawatan
untuk mengurangi kejenuhan pekerja.
Selain model supervisi di atas, Suryanto (2008) mengemukakan beberapa
model supervisi keperawatan lainnya yaitu :
1. Model Konvensional
Supervisi dilakukan melalui inspeksi langsung untuk menemukan
masalah dan kesalahan dalam pemberian asuhan keperawatan. Supervisi
dilakukan untuk mengoreksi kesalahan dan mengawasi staf dalam
menjalankan tugas. Model ini sering tidak adil karena hanya melihat sisi
negatif dari pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan perawat pelaksana
sehingga sulit terungkap sisi positif, hal-hal yang baik ataupun
keberhasilan yang telah dilakukan.
49

2. Model Ilmiah
Supervisi dilakukan dengan pendekatan yang sudah
direncanakan sehingga tidak hanya mencari kesalahan atau masalah saja.
Oleh karena itu, supervisi yang dilakukan dengan model ini memiliki
karakteristik antara lain: (a) dilakukan secara berkesinambungan; (b)
dilakukan dengan prosedur, instrumen dan standar supervisi yang baku;
(c) menggunakan data yang obyektif sehingga dapat mengemukakan
bahwa beberapa model supervisi dapat diterapkan dalam kegiatan
diberikan umpan balik dan bimbingan; serta (d) menggunakan rating
scale, check list, pedoman wawancara yang berkaitan erat dengan
penelitian.
3. Model Klinis
Supervisi model klinis bertujuan untuk membantu perawat
pelaksana dalam mengembangkan profesionalisme.
4. Model Artistik
Supervisi model artistik dilakukan dengan pendekatan personal untuk
menciptakan rasa aman sehingga supervisor dapat diterima oleh perawat
pelaksana yang akan disupervisi. Dengan demikian akan tercipta
hubungan saling percaya sehingga hubungan antara perawat dan
supervisor akan terbuka yang mempermudah supervisi.
Pembagian Supervisi
Menurut Sukriani, et. all. (2013), ada 2 pembagian Supervisi, antara lain :
1) Supervisi baik
2) Supervisi cukup
3) Supervisi kurang
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan kepala ruang
IBS diketahui bahwa supervisi yang diterapkan di IBS, RSUP Dr Kariadi
Semarang adalah :
50

1. Pelaksanaan Supervisi keperawatan


a. Cara Supervisi
Supervisi dilakukan secara tidak langsung dimana kepala ruang
melakukan pendelegasian kepada tim PPI (Pencegahan dan
Pengendali Infeksi) dan perawat penanggung jawab masing –
masing kamar operasi yang kemudian dilakukan evaluasi tiap
minggunya. Kepala ruang melakukan supervisi secara langsung
hanya pada waktu tertentu, seperti menjelang akreditasi rumah sakit.
b. Kegiatan Rutin Supervisi
Pelaksanaan supervisi belum dilakukan secara rutin dan
berkala oleh kepala ruang secara langsung, sehingga supervisi yang
dilakukan oleh kepala ruang harus dilakukan dengan lebih obyektif
yang bertujuan untuk pembinaan perawat. Pelaksanaan supervisi
bukan hanya untuk mengawasi apakah seluruh staf keperawatan
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan
instruksi atau ketentuan yang berlaku tetapi supervisi juga
melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh kepala
ruang terhadap pekerjaan yang dilakukan perawat pelaksana untuk
kemudian bila ditemukan masalah segera diberikan bantuan yang
bersifat langsung guna mengatasinya.
2. Prinsip Supervisi Keperawatan
Pelaksanaan supervisi kepala ruang dilakukan berdasarkan
hubungan profesional dan bukan secara pribadi. Kegiatan ini dilakukan
secara edukatif, suportif dan informal sehingga tidak membuat perawat
pelaksana merasa dinilai dalam melaksanakan pekerjaan. Supervisi
bersifat konstruktif, bimbingan, dan fleksibel. Dukungan langsung
(support) belum dilakukan secara progresif sehingga mempengaruhi
motivasi dalam melaksanakan pekerjaan dengan benar.
51

3. Model Supervisi Keperawatan


Hasil observasi didapatkan bahwa kepala ruang menerapkan
supervisi model artistik dimana pendekatan personal dilakukan agar
tercipta rasa aman sehingga kepala ruang dapat diterima oleh perawat
pelaksana.
52

B. Kerangka Teori

PERAWAT

Perilaku Universal Precautions

Predisposisi :

- Pengetahuan

- Sikap

-Tradisi

-Kepercayaan

- Nilai
Perilaku Universal
-Tingkat pendidikan Precautions pada
-Persepsi
Perawat

Enabling :

- Sumber daya/dana

- Keterampilan

- Keterjangkauan

Reinforcing : Supervisi Kepala Ruang


- Motivasi IBS

- Supervisi

- Kepemimpinan

- Desain pekerjaan

- Imbalan

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Gibson (1987) dan Notoatmodjo (2003)


53

C. Kerangka Konsep

Supervisi Perilaku Universal


Kepala Ruang Precautions Perawat

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

D. Variabel Penelitian
Variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati
(Sugiyono, 2007).
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah supervisi kepala ruang.
2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel Dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah perilaku universal precautions pada perawat pelaksana di RSUP Dr.
Kariadi Semarang.

D. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga atau
sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut.
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu adanya hubungan
antara supervisi dengan perilaku universal precautions pada perawat pelaksana
di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Anda mungkin juga menyukai