Anda di halaman 1dari 8

Peranan Toksikologi Forensik Dalam Membantu Penegak Hukum

Pemeriksaan atas barang bukti dengan menggunakan toksikologi forensik

dilakukan oleh seorang ahli forensik yang telah diberikan wewenang oleh pihak

Pusat Laboratorium. Forensik dan ahli forensik tersebut yang berperan penting

dalam melakukan pemeriksaan atas organ-organ tubuh korban maupun jenis

barang bukti lainnya, khususnya yang berkaitan dengan kasus keracunan dan

peracunan.

Seorang ahli forensik harus mampu mempertimbangkan keadaan suatu

investigasi, khususnya mengenai catatan adanya gejala fisik, dan bukti apapun

yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kejahatan yang dapat mengerucutkan

pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti obat-obatan, serbuk, residu jejak

dan zat toksik (kimia) apapun yang ditemukan. Dengan informasi tersebut serta

sejumlah sampel yang akan diteliti, seorang ahli forensik dapat menentukan

senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, berapa jumlah konsentrasinya,

serta efek apa yang mungkin terjadi akibat zat toksik terhadap tubuh.23,25

Setelah barang bukti sampai di laboratorium, sebelum barang bukti tersebut

dibuka, seorang ahli racun (toxicoloog) akan terlebih dahulu memeriksa

penyegelannya. Apakah cara penyegelan dari barang bukti tersebut telah

memenuhi persyaratan sesuai dengan Pasal 129, 130, dan 133 KUHAP. Apalagi

tidak memenuhi syarat maka barang bukti tersebut dikirimkan kembali kepada si

pengirim (penyidik) dengan permintaan agar penyegelan diperbaiki. Selain itu

diperiksa juga segala surat-surat serta laporan Tanya jawab dari pihak

keluarga/tetangga korban, dan apabila tidak ada diikutsertakan tentang laporan


tanya jawab yang dimaksud maka harus diminta kepada penyidik sebab laporan

tersebut merupakan petunjuk dalam melakukan pemeriksaan. 27

Setelah semua barang bukti sudah memenuhi persyaratan maka barang bukti

dibuka dan diperiksa, apakah semuanya sesuai dengan yang disebut dalam laporan

si pengirim, kemudian dicatat pula keadaan barang buktinya. Menurut R. Atang

Ranoemihardja (1991:75) maka selanjutnya barang bukti tersebut dibagi menjadi

3 bagian dengan tujuan:

a. Sepertiga bagian untuk bahan pemeriksaan

b. Sepertiga bagian untuk dikirimkan kembali kepada si pengirim setelah

pemeriksaan selesai

c. Sepertiga bagian lagi dijadikan sebagai arsip

Apabila barang bukti tidak cukup untuk dibagi tiga, maka kesemuanya akan

dipakai untuk pemeriksaan, dan hal ini harus diberitahukan kepada pengirim

(penyidik). Setelah selesai pemeriksaan oleh toxicoloog, maka akan dikeluarkan

sebuah laporan dari hasil pemeriksaan yang disebut “expertise” yaitu laporan

tertulis seorang ahli racun. Expertise ini diserahkan kepada penyidik kemudian

diteruskan kepada dokter yang melakukan pembedahan dan memeriksa mayat si

korban, setelah itu baru diselesaikan visum et repertum.27

Dokter pemeriksa pada bab kesimpulan Visum et Repertum tidak akan

menyebutkan korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan,

tapi jelas menyebutkan penyebab kematiannya akibat keracunan zat-zat, obat-

obatan,dan racun tertentu atau dengan kata lain ditemukannya gangguan pada

organ-organ tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-obatan dan racun tertentu

tersebut. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang toxicoloog dapat
dipanggil pada persidangan di pengadilan untuk ditanya segala sesuatunya yang

ada hubungannya dengan pemeriksaan peracunan/keracunan yang diuraikan

dalam expertise.27

a. Hukum yang Mengatur Kasus Keracunan

Dalam KUHP maupun dalam KUHAP, tidak dicantumkan suatu uraian atau

definisi mengenai apakah sebenarnya yang dimaksud dengan racun itu. Yang

disebut hanya “keracunan” (KUHAP 133) dan tindakan yang mengandung arti

“meracuni” yang termasuk dalm golongan penganiayaan (KUHP 356) serta

“narkotika” beserta penjelasannya dalam UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.24,27

Berdasarkan Pasal 133 ayat (1) KUHAP tersebut, maka penyidik memegang

peranan penting dalam melakukan pemeriksaan kasus keracunan/peracunan

dengan mengumpulkan petunjuk-petunjuk selengkap mungkin, agar dapat

ditemukan penyebab kematian seseorang yang diakibatkan oleh suatu zat beracun.

Zat beracun yang ditemukan oleh toxicoloog akan menjadi bukti yang dapat

mengungkap matinya seseorang.27

Masuknya Racun ke dalam tubuh dapat terjadi karena :

a. Disengaja

- Oleh orang lain (penganiayaan, pembunuhan)

- Oleh diri sendiri (penyalah gunaan obat, bunuh diri)

b. Tidak disengaja : kecelakaan industri, rumah tangga, kesalahan pengobatan,

dan self mediaction

Seorang dokter menjalankan fungsinya untuk membantu hakim dalam

mengungkap keadaan atas barang bukti yang berupa tubuh atau bagian dari organ
tubuh manusia, dimana barang bukti tersebut tidak dapat dibawa ke dalam proses

peradilan karena memerlukan cara khusus untuk membuktikannya yaitu

dibuktikan dengan bantuan dokter dan ahli toksikologi. Hal ini dapat

membuktikan dugaan kasus keracunan atau peracunan.27 Apabila kesalahan itu

dilakukan tanpa kesengajaan (karena kealpaannya) maka terdakwa dapat dijatuhi

pidana berdasarkan : pasal 203, 205, dan 359 KUHP. Pasal 202-205 KUHP

menerangkan tentang hukuman bagi barangsiapa yang menyebabkan air atau

suatu barang menjadi berbahaya bagi kesehatan.

Berdasarkan jenis-jenis kejahatan terhadap nyawa menurut KUHP bahwa

kasus keracunan biasanya termasuk ke dalam pembunuhan berencana (Pasal 340

KUHP). Pasal 340 KUHP menentukan sebagai berikut :”Barangsiapa dengan

sengaja dan dengan rencana lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,

dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau

penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.27

Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal

350 KUHP. KUHP mengaturnya sebagai berikut :

1. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia

2. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa anak yang sedang/baru dilahirkan

3. Kejahatan yang ditujukan terhadap anak yang masih dalam kandungan

Dilihat dari segi “kesengajaan” (dolus) maka tindak pidana terhadap nyawa ini

terdiri atas :

1. Yang dilakukan dengan sengaja

2. Yang dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat

3. Yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu


4. Atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh

5. Menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri.27

Menurut Leden Marpaung (1994:19), tindak pidana terhadap nyawa tersebut

pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Dilakukannya dengan sengaja, yang diatur dalam Bab XIX

2. Dilakukan karena kelalaian/kealpaan diatur dalam Bab XXI

3. Karena tindak pidana lain, mengakibatkan kematian, yang diatur antara lain

Pasal 170, 351 ayat (3) dan lain-lain. 27


DAFTAR PUSTAKA

1. Achmadi, UF. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Kompas.


Jakarta.2005.

2. Riani M. Toksikologi Insetisida Rumah Tangga dan Pencegahan keracunan.


Jurnal media petenitian danpengembangan. 2009. Vol. 29 hal 27
3. Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity.
Medscape eMedicine, 2016. Available on:
http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview.
4. Gunawan, S.G. 2000. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FK-UI: Jakarta. Hal
836.

5. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, et al, 1997. Ilmu Kedokteran


Forensik . Jakarta: Bagian kedokteran forensik UI.

6. SK Menteri Pertanian RI No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001.

7. Soemomarto dan Asdie. Keracunan Organofosfat. Bagian Ilmu Penyakit


Dalam FK UGM. Yogyakarta: 1978.

8. Sinha dan Sharma. Organophosphate poisoning: A review. Med J Indones.


2003; 12(2): 120-7.

9. 13. Eddleston M,  Buckley NA, Eyer P, and Dawson AH , 2008.


Management of acute organophosphorus pesticide poisoning. Lancet,
Elsevier. 371(9612): 597-607

10. Bakta, I Made dan Suastika I Ketut. Gawat Darurat di Bidang Penyakit
Dalam. EGC. Jakarta: 1999.
11. Katz, Kenneth D, 2016. Organophosphate Toxicity.
http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview#showall. Diakses
tanggal 3 Desember 2016

12. John Victor Peter, Thomas Isiah Sudarsan, and John L. Moran. 2014. Clinical
features of organophosphate poisoning: A review of different classification
systems and approaches. Indian J Crit Care Med 18(11): 735–745

13. Narang U, Narang P, Gupta OP, 2015. Organophosphorus poisoning: A social


calamity. Journal of Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences. 20(1):
46-51.

14. Ahmad M, Rahman FN, Ashrafuzzaman M, Chowdhury DKP, Ali M, 2009.


Overview of organophosphorus compound poisoning in bangladesh and
medicolegal aspects related to fatal cases. JAFMC Bangladesh. 5(1) : 41-45.

15. Thanos CAA, Tomuka D, Mallo NTS, 2016. Livor mortis pada keracunan
insektisida golongan organofosfat di kelinci. Jurnal e-Clinic (eCl). 4(1): 10-
20.

16. Guanovora N, Mallo NTS, Tomuka D, 2016. Kecepatan rigor mortis pada
intoksikasi insektisida golongan organofosfat pada kelinci. Jurnal e-Clinic
(eCl). 4(1): 21-30.

17. Sinaga EJ, 2010. Peranan toksikologi dalam pembuatan visum et repertum
terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun.
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

18. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, et al, 1997. Ilmu Kedokteran


Forensik . Jakarta: Bagian kedokteran forensik UI.
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
258/Menkes/Per/lll/1992

20. Raini. 2009. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan


Pencegahankeracunan. Media Penelitian dan Pengembang. Kesehatan. 19(2):
S27-S33

21. Pencegahan Keracunan Secara Umum


http://www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/cegahracunumum.pdf.
Diakses pada 2 Desember 2016.

22. The Forensic Toxicology Council. Briefing: What is Forensic Toxicology?.


The American Board of Forensic Toxicology (ABFT). 2010.

23. Wirasuta, I M.A.G., 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi


Temuan Analisis. Ind. J of Legal and Forensic Sciences. 1(1):47- 55.
24. Sampurna B, Samsu Z, Siswaja TD. 2008. Peranan Ilmu Forensik Dalam
Penegakan Hukum.

25. Budiawan. 2008. Peranan Toksikologi Forensik dalam mengunkap kasus


keracunan dan pencemaran lingkungan. Ind. J of Legal and Forensic
Sciences. 1(1):47-55.
26. Fitriana AN. 2015. Forensic Toxicology. J Majority. 4(4) : 1-9.

27. Flora HS. 2013. Peranan Toksikologi Forensik dalam Pengungkapan Tindak
Pidana Pembunuhan. Jurnal Saintech. 5(1): 10-16.

Anda mungkin juga menyukai