Anda di halaman 1dari 32

Entomologi Forensik

Oleh

Dian Pertiwi Alty 1940312088

PRESEPTOR:

Dr. dr. Rika Susanti, Sp. F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG

1
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkiraan saat kematian dalam suatu kasus forensik adalah
hal yang penting. Dalam ilmu kedokteran, memperkiraan saat
kematian tidak dapat dilakukan dengan 1 metode saja, gabungan
dari 2 atau lebih metode akan memberikan hasil perkiraan yang
lebih akurat dengan rentang bisa yang lebih kecil. Salah satu
metode yang dapat dilakukan adalah interpretasi aktifitas serangga
(entomologi forensik). Menurut catatan sejarah, bangsa Cina sudah
mulai mengembangkan teknik pemeriksaan mayat menggunakan
serangga pada abad ke-12. Pada perkembangannya, kelompok-
kelompok serangga yang banyak digunakan untuk
mengidentifikasi umur mayat berasal dari ordo Diptera,
Coleoptera, Hymenoptera (terutama semut), dan beberapa
Lepidoptera. Serangga-serangga tersebut dikatakan dapat
menentukan waktu kematian mayat dengan lebih tepat
berbanding metode lain.
Entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari ilmu
forensik yang mengevaluasi aktivitas serangga dengan berbagai teknik
untuk membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan apakah
ada jaringan tubuh atau tubuh mayat yang telah dipindah dari suatu lokasi
ke lokasi lain, atau tubuh pernah dikacaukan di waktu tertentu, baik oleh
hewan, maupun oleh pembunuh yang datang kembali ke TKP (Tempat
Kejadian Perkara).
Entomologi tidak hanya bergelut dengan biologi dan histologi
arthropoda, namun saat ini entomologi dalam metode-metodenya juga
menggeluti ilmu lain seperti kimia dan genetika. Dengan penggunaan
pemeriksaan DNA dalam entomologi forensik, saat ini juga sedang diteliti

2
kemungkinan mengidentifikasi DNA jaringan tubuh yang terkena kontak
atau dimakan oleh serangga. Dengan makin banyak dan makin kecilnya
marker DNA yang dapat digunakan untuk identifikasi manusia, maka
kemungkinan deteksi semakin besar. Hal ini akan memungkinkan untuk
mengidentifikasi jaringan tubuh atau mayat seseorang melalui serangga
yang ditemukan pada tempat kejadian perkara.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Entomologi Forensik


Entomologi forensik adalah ilmu pengetahuan tentang serangga
dan arthropoda dalam kaitan dan aplikasinya untuk kepentingan hukum.
Ilmu tersebut dikaitkan dengan jenazah manusia sesuai dengan tujuan
utamanya untuk menentukan lama perkiraan waktu sejak kematiannya. 1,2
Entomologi forensik pertama kali digunakan pada abad ke-13 di
Cina dan pada abad ke-19 ditemukan penggunaan ilmu tersebut di
berbagai negara, dan pada awal abad ke-20 entomologi forensik banyak
berperan pada banyak kasus-kasus besar. Dalam lima belas tahun
terakhir, entomologi forensik semakin sering digunakan dalam membantu
proses investigasi yang dilakukan oleh polisi. Berkaitan dengan hal
tersebut, pengunaan entomologi forensik terutama diterapkan pada
kasus-kasus kematian yang diperkirakan telah berlangsung selama tujuh

3
puluh dua jam atau lebih, karena metode forensik lainnya dinilai lebih
akurat dalam menentukan waktu kematian sebelum tujuh puluh dua jam
atau lebih. Namun, bila kematian telah berlangsung lebih dari tiga hari
bukti serangga dinilai lebih akurat dan terkadang bisa menjadi satu-
satunya metode pilihan dalam menentukan waktu kematian. 2
Entomologi forensik dibagi dalam tiga aspek, yaitu urban, stored-
product, dan medikolegal/medikokriminal. Aspek urban menekankan
keberadaan serangga hidup dalam lingkungan di sekitar manusia. Hal
tersebut dapat berguna dalam masalah hukum dengan ditemukannya
serangga atau hama urban yang hidup pada manusia baik yang masih
hidup ataupun yang sudah mati. Serangga tersebut dapat menyerang
tubuh dan kemudian menimbulkan kerusakan berupa luka yang dapat
diinterpretasikan salah sebagai tanda kekerasan yang terjadi sebelumnya.
Aspek entomologi strored-product melibatkan keberadaan serangga
atau arthropoda atau bagian-bagian tubuh serangga pada makanan atau
produk lainnya. Contohnya terdapat serangga atau larva yang berada
pada makanan, sayuran atau makanan kaleng membuat konsumen
menuntut pihak pembuat makanan atau restoran yang terkadang bisa
merupakan suatu penipuan yang dilakukan oleh seseorang dengan
memasukkan serangga atau bagian tubuhnya ke dalam makanan yang
sudah dibeli terlebih dulu untuk menuntut produsen makanan. Kasus
tersebut dapat diselesaikan dengan bantuan entomologi forensik.
Entomologi medikolegal atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan
entomologi medikokriminal, merupakan aspek yang penting karena
kegunaannya dalam memecahkan kasus kriminal, terutama kekerasan. Hal
ini berkaitan dengan adanya suatu jenis serangga, larva ataupun telur,
kapan dan darimana asalnya, atau dalam keadaan yang bagaimana
organisme tersebut dapat muncul di tubuh manusia. Hal tersebut dapat
sangat berguna dalam memperkirakan waktu atau interval post mortem
(post mortem interval) dan menentukan lokasi terjadinya kematian karena
beberapa spesies hanya berada pada tempat tertentu atau hanya aktif

4
pada saat-saat tertentu (musim atau waktu tertentu). Contoh kasus
seperti yang terjadi di Ohio ketika seorang laki-laki terbukti bersalah
membunuh anak dan istrinya di California karena pada mobilnya
ditemukan belalang dan serangga yang muncul di malam hari dan banyak
terdapat pada daerah Amerika bagian barat. Aspek lain yang termasuk
dalam forensik medikolegal adalah entomotoksikologi, yaitu pengunaan
serangga untuk analisis toksikologi dengan menguji beberapa zat yang
diduga menyebabkan kematian pada korban karena jaringan serangga
dapat mengasimilasi zat toksin yang terkumpul pada jaringan tubuh
sebelum kematian.2
Sebagaimana telah dijelaskan, entomologi medikolegal merupakan
aspek yang lebih sering digunakan dalam suatu proses investigasi
kematian, pertama kali tercatat pada abad ke-13 oleh Sung Tzu dalam
bukunya “Washing Away of Wrongs” yang menuliskan beberapa kasus
tentang bagaimana seseorang meninggal dan sebab kemungkinan
kematiannya. Dalam bukunya, Sung Tzu juga menggambarkan sebuah
kasus pembunuhan yang terungkap pembunuhnya hanya gara-gara lalat.
Hakim kampung tempat Sung Tzu tinggal mengundang semua pekerja di
kampung itu untuk berkumpul dengan membawa sabitnya sehingga ia
dapat menanyainya tentang mayat seorang laki-laki yang ditemukan mati
di dekat sawah. Luka bacokan di tubuh korban membuat hakim
mencurigai seorang pekerja sawah yang membunuh orang itu. Tidak lama
setelah para pekerja tiba di depan sang hakim, lalat mulai mengitari sabit
milik seorang pekerja. Partikel-partikel mikroskopik darah kering dan kulit
yang menempel ke sabit menarik lalat yang memaksa pekerja itu
mengakui tindakannya. Informasi Sung Tzu yang terdapat di bukunya
memperlihatkan awal pengetahuan Timur tentang perilaku dan biologi
serangga. Sung Tzu tidak hanya memasukkan pertimbangan kasusnya,
tetapi juga menggambarkan perilaku lalat pada mayat yang sedang
membusuk, pola lalat menginvasi berbagai lubang tubuh alami, dan
berbagai ketertarikan serangga pada luka.

5
Selain itu, dalam bukunya juga dijelaskan bagaimana memeriksa
jenazah sebelum atau sesudah dimakamkan, dan penjelasannya mengenai
beberapa kasus yang dialaminya menjadi dasar bagi perkembangan
entomologi forensik.3
Dr Bergeret d' Arbois merupakan yang pertama kali menerapkan
ilmu entomologi forensik dalam menentukan interval post mortem.
Kemudian selanjutnya entomologi semakin berkembang sejak awal abad
ke-20 dengan adanya pembagian taksonomi serangga-serangga yang
berkaitan dengan kepentingan medikolegal. Didalamnya termasuk dua
famili utama, yaitu Sarcophagidae dan Calliphoridae.4
Berkaitan dengan tujuan penerapan entomologi forensik dalam
memperkirakan waktu kematian, terdapat dua cara untuk
menghubungkan serangga dengan terjadinya waktu kematian. Cara
pertama yaitu berdasarkan fakta bahwa tubuh manusia atau bangkai
lainnya mendukung terjadinya perubahan ekosistem dalam beberapa saat
tergantung dari kondisi geografisnya. Selama proses pembusukan, terjadi
perubahan fisik, biologi dan kimia. Perbedaan stadium dari fase
pembusukan tersebut dapat menarik jenis serangga tertentu untuk
muncul. Jenis Calliphoridae dan Muscidae dapat ditemukan berada di
daerah atau cairan tubuh lainnya dalam beberapa menit sesudah
kematian. Jenis Piophilidae tidak muncul saat jenazah masih baru, tetapi
akan muncul beberapa saat setelah terjadinya fermentasi protein dalam
tubuh. Cara kedua dalam memperkirakan interval kematian adalah dengan
menggunakan umur larva. Umur larva dapat menentukan perkiraan
interval kematian yang terjadi dalam satu minggu pertama sejak
kematian. Spesies tertentu ditemukan di tubuh jenazah kemudian
meninggalkan telurnya yang kemudian nantinya akan berkembang sesuai
siklus hidupnya Stadium dalam siklus hidup larva tersebut dapat
ditentukan berdasarkan ukuran dan spirakelnya. Selanjutnya
perkembangan stadium memerlukan waktu tertentu yang dipengaruhi
juga oleh temperatur di sekitarnya, karena serangga adalah makhluk

6
berdarah dingin yang perkembangannya tergantung pada suhu sekitar. 2
Terdapat beberapa jenis serangga yang memiliki peranan yang penting
bagi entomologi forensik.

2.2 Kegunaan Entomologi Forensik


Entomologi forensik digunakan untuk membantu penanganan kasus
kriminal untuk memperkirakan interval postmortem dan perkiraan waktu
kematian. Interval postmortal merupakan hal yang penting dalam
penyelidikan kasus pembunuhan dan kematian tidak wajar lainnya. Hasil
investigasi dapat membantu mengungkapkan kasus kejahatan dengan
menyingkirkan tersangka atau menghubungkan kematian seseorang
dengan interval waktu tertentu. Jika identifikasi spesies tidak tepat maka
perkiraan interval postmortal menjadi tidak tepat pula. Secara umum
kegunaan Entomologi forensik adalah:5
2.2.1 Memperkirakan Interval Postmortem
Perubahan postmortem pada tubuh mayat dipengaruhi
beberapa faktor, sehingga interval postmortem akan sulit
ditentukan. Perubahan biologi dan fisik yang merupakan fungsi
yang masih terjadi setelah kematian merupakan petunjuk dalam
menentukan saat kematian. Namun pada kasus kematian yang
telah berlangsung lama metode tersebut menjadi tidak berguna
dan petunjuk yang tepat didapat dari informasi entomologi. Mayat
yang mengalami pembusukan dapat mempengaruhi perilaku dan
komposisi spesies di sekitarnya. Telah banyak dilakukan
pengamatan terhadap serangga-serangga yang berkaitan dengan
proses pembusukan mayat. Salah satu proses ini adalah
perkembangan spesies yang memakan bangkai, contohnya adalah
lalat dari famili Calliphoridae, Sacrophagidae, dan Muscidae, yang
merupakan serangga yang umum ditemukan pada mayat. Perkiraan
umur serangga yang imatur yang telah memakan bangkai
menunjukkan interval postmortem yang pendek karena, dengan

7
pengecualian yang sangat jarang, lalat betina dewasa tidak
meletakkan anak mereka pada inang yang masih hidup.
Tergantung pada spesies serangga dan kondisi tempat kejadian,
stadium perkembangan larva dapat menunjukkan interval
postmortem 1 hari sampai lebih dari 1 bulan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan serangga pada mayat adalah: 5,6

2.2.2 Menentukan Waktu Kematian


Analisis mengenai serangga dapat digunakan untuk
menentukan waktu kematian. Ketika jenazah ditemukan setelah
beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kematian, bukti
entomologi seringkali menjadi satu-satunya metode yang tersedia
untuk menentukan waktu kematian dengan tepat. Beberapa spesies
tertarik pada jenazah segera setelah kematian, jenis lainnya tertarik
setelah tahap pembusukan aktif, dan yang lainnya tertarik dengan
kulit dan tulang yang kering. Serangga terus berkoloni di tubuh
mayat sampai tidak ada lagi makanan.
2.2.3 Menentukan Lokasi Mayat
Analisis berdasarkan suatu serangga spesifik yang mendiami
wilayah tertentu bila terdapat pada tubuh mayat, maka dapat
hampir dapat disimpulkan bahwa mayat yang diidentifikasi berasal
dari tempat yang merupakan wilayah dari habitat serangga
tersebut.

2.3 Siklus Hidup serangga


Perkembangan serangga
Konsep dasar dari penggunaan serangga dalam menentukan
perkiraan waktu kematian didasarkan pada cara serangga tersebut
bertumbuh dan berkembang. Beberapa jenis serangga mengalami
metamorfosis sempurna dan memiliki bentuk immatur yang tidak dapat
bergerak dan bentuk dewasa yang dapat bergerak bebas. 7 Beberapa jenis
serangga ini memiliki kekhususan untuk berkembang pada tubuh yang

8
telah mati. Bentuk dewasa akan terbang dan kemudian hinggap dan
meletakan telur-telurnya pada tubuh mayat. Telur-telur ini lalu menetas
menjadi larva yang akan mengalami tiga fase perkembangan. Larva
melepaskan diri dari kapsul pembungkusnya namun tetap berada di dalam
kapsul. Kapsul ini akan mengeras yang kemudian disebut kantung pupa
atau puparia yang berfungsi untuk melindungi larva yang sedang
mengalami fase perubahan menjadi pupa.8
Pupa yang baru terbentuk kemudian akan berwarna pucat, dan
tidak dapat bergerak. Ia akan berubah menjadi semakin gelap sampai
akhirnya berwarna coklat gelap dalam beberapa jam. Pupa merupakan
bentuk dewasa yang tidak bersayap dan tidak mampu bergerak. 7 Dalam
waktu beberapa hari ia akan berkembang menjadi bentuk dewasa
bersayap.8 Namun bentuk dewasa bersayap ini tidak akan terbang dalam
satu hingga dua hari sampai seluruh tubuhnya mengeras. Bentuk dewasa
akan terbang dan meninggalkan kantung pupa yang kosong yang dapat
menjadi bukti perkembangannya.8
Kantung pupa ini biasanya ditemukan bukan pada tubuh mayat
namun terletak di sekitarnya. Sebagai contoh dapat ditemukan pada
daerah lipatan baju, atau bahkan sampai 30 kaki jaraknya dari posisi
mayat, pada celah diantara tumpukan karpet atau pada lipatan-lipatan
tirai di dalam ruangan Penemuan kantung pupa sangat berguna pada
kasus-kasus kriminal mengingat bentuk ini merupakan bentuk tertua dari
serangga yang secara pasti dapat dikaitkan dengan tubuh mayat yang
ditemukan.7
Sebaliknya, bentuk dewasa terbang merupakan salah satu makhluk
dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi, sekaligus dapat sangat nyata
terlihat pada tubuh mayat. Bentuk ini dapat membantu pekerjaan ahli
entomologi forensik apabila ditemukan namun seringkali tidak bermakna
sebagai indikator akibat daya mobilitasnya yang tinggi. 7
(1) Telur
Telur berwarna putih dengan bentuk seperti sosis dan

9
berukuran sangat kecil, bergerombol, dan sering ditemukan pada
luka terbuka, lubang yang ada pada tubuh maupun pada pakaian
yang menempel pada tubuh mayat.8 Telur-telur ini akan
berkembang menjadi larva yang berkembang dengan cara
memakan bagian tubuh mayat.7
(2) Larva
Larva muncul dari telur yang menetas. Berwarna sangat
putih namun berbentuk menyerupai kerucut. Terdapat mulut pada
puncak kerucut dengan sepasang kait yang digunakan oleh larva
untuk melekatkan dirinya pada jenazah ketika ia memakannya.
Larva tidak dapat bergerak terlalu jauh dan berubah menjadi
dewasa dengan melalui fase intermediate yang disebut pupa. 7
(3) Pupa
Pupa terbentuk setelah larva mengalami tiga kali
pengelupasan kulit. Kulit akan memendek sehingga memberi kesan
bentuk seperti kapsul, yang semakin lama akan semakin keras
namun rapuh. Kulit ini sebenarnya tidak benar-benar terlepas,
namun hanya berganti menjadi lapisan baru yang menutupi
serangga di bagian dalamnya.7
(4) Dewasa
Bentuk ini sebenarnya kurang bermakna sebagai indikator
untuk kepentingan forensik. Serangga pada fase dewasa memiliki
mobilitas yang tinggi sehingga mereka hanya berguna untuk
membantu menetapkan spesies serangga apa yang berada pada
tubuh mayat walaupun kita tidak dapat menentukan dengan pasti
apakah serangga tersebut benar berasal dari mayat tersebut atau
merupakan serangga yang datang dari luar untuk meletakkan
telurnya.8

10
Gambar 1. Skema metamorfosis serangga

2.4 Jenis-Jenis Serangga


2.4.1

Lalat (ordo Diptera)


Lalat termasuk ordo diphtheria  pada kelas insecta, dengan
ciri - ciri sepasang sayap yang terletak di mesothorax. Sepasang
sayap lainnya bereduksi menjadi alat keseimbangan terbang yang
disebut halter. Bentuk mulut bervariasi untuk menghisap, menusuk
dan mengunyah.9 Lalat adalah jenis serangga yang dapat
ditemukan di habitat manapun.10
Ordo diptera dibagi menjadi 3 subordo yaitu Nematocera,
Brachycera, Cyclorrhapha. Subordo Nematocera dan Brachycera
disebut juga ordo Orthorrapha yang akan meninggalkan bekas
pecahan seperti huruf T atau Y pada kulit larvanya saat menjadi
dewasa. Sedangkan ordo Cyclorrapha meninggalkan pecahan
berbentuk sirkuler.11
Terdiri dari segolongan famili, tetapi hanya tiga famili lalat
yang berperan dalam entomologi forensik yaitu famili Calliphoridae,
Sarcophagidae dan Muscidae. Ketiganya tergolong dalam subordo
Cyclorrapha.11
a. Famili Calliphoridae (blow flies)
Famili ini dibagi menjadi dua golongan yaitu metallic

11
calliphoridae berwarna hijau, biru atau ungu dan non-metallic
calliphoridae dengan warna hitam, abu-abu tua atau jingga. Green
bottle flies (genus phaenicia), blue bottle flies (genus calliphora),
genus cochliomyia dan genus chrysomyia adalah termasuk dalam
famili ini. Lalat dewasa dari famili ini rata-rata panjangnya 6-14
mm, dengan mayoritas warna yang metalik mulai dari hijau, biru,
perunggu atau hitam.11

Gambar 2. Ordo diptera

Larva matur blow flies memiliki panjang 8-23 mm, berwarna


putih atau coklat muda. Pada segmen terminal larva memiliki enam
atau lebih tuberkel berbentuk kerucut dan spirakel posterior yang
digunakan untuk respirasi. Pada kelompok metallic, spirakel
posterior seperti buah alpukat, peritreme jelas, spiracular slits lurus
dan mengarah ke bawah. Pada kelompok non metallic, spirakel
posterior bervariasi bentuknya, peritreme tidak jelas, spiracular slits
bentuk lurus atau kantong dan tidak mengarah ke bawah. 11

12
Blowflies dalam beberapa menit muncul dan membentuk
koloni pertama kali pada mayat. Lalat betina akan meletakan telur
dalam jumlah besar di lubang hidung, mulut dan luka terbuka.
Telur akan menetas dalam waktu 24 jam. Sedangkan larva dan
pupa akan menjadi lengkap masing-masing dalam waktu 10 hari.
Genus dari famili ini diantaranya calliphora, chrysomya,
cochliomyia, cynomyopsis, lucilia, phaenicia, phormia dan
protophormia.11

Gambar 3. Chrysomyia sp.

b. Famili Sarcophagidae (flesh flies)


Spesies dari famili ini ditemukan pada daerah dengan iklim
tropis dan panas. Dinamakan sebagai lalat daging didasarkan pada
perilaku larvanya yang memakan materi-materi yang berasal dari
binatang.7
Lalat dewasa memiliki panjang 2-14 mm, dengan warna
belang abu-abu hitam pada thorax. Beberapa spesies memiliki
warna mata merah terang. Larva flesh flies memiliki spirakel
posterior di ujung abdomen dan dikelilingi oleh tuberkel. Spirakel
posterior pada famili Sarcophagidae memiliki 3 buah spiracular slits
yang tersusun convergen terhadap botton.7
Lalat ini tertarik terhadap mayat atau bangkai dalam
berbagai keadaan, baik panas, kering, teduh, basah, dalam
maupun luar ruangan. Berbeda dari famili lainnya, mereka tidak
meletakkan telurnya pada tubuh mayat. Sehingga ketika

13
menghitung interval postmortem, waktu yang diperlukan bagi telur
untuk berkembang menjadi larva harus dihilangkan. 11

Gambar 4. Sarcophaga sp.

c. Famili Muscidae
Lalat dari famili ini berukuran sedang, dengan panjang
sekitar 3-10 mm. Mereka biasanya berwarna keabuan hingga gelap,
meskipun beberapa spesies memiliki warna metalik. Larva
maturnya memiliki panjang 5-12 mm dan berwarna putih hingga
kekuningan.7
Famili ini biasanya muncul pada tubuh mayat sesudah blow
flies dan flesh flies. Mereka juga meletakkan telur-telurnya pada
lubang-lubang yang ada pada tubuh.

Gambar 5. Musca domestica

14
Terlihat letak spirakel terdapat di bagian anterior dan
posterior tubuh. Fungsi spirakel pada larva adalah sebagai alat
pernapasan. Spirakel mulai terbentuk pada larva instar ke-2 dan
sempurna pada instar ke-3.11

Siklus Hidup
Lalat mengalami metamorfosis lengkap dengan stadium-
stadiumnya yang terdiri dari telur-larva-pupa-dewasa. Terjadi
metamorfosis lengkap (homometabolous) sebab terdapat
perubahan bentuk yang sama sekali berbeda dari stadium larva
sampai stadium dewasa. Lalat betina akan meletakkan telur dalam
jumlah besar pada awal bloat stage dari pembusukan. Dalam waktu
8 jam sampai tiga hari telur menetas dan menjadi larva. Lalu larva
akan menjadi pupa dalam waktu 2-19 hari. Dalam waktu tiga hari,
pupa akan berubah menjadi lalat dewasa.11

Gambar 6. Siklus Hidup Lalat


Siklus hidup lalat adalah sebagai berikut :
(1) Telur
Telur lalat bervariasi bentuk dan ukurannya. Lalat biasanya
meletakkan telurnya secara berkelompok yang dapat mencapai 40-

15
200 telur sekali bertelur. Telur lalat akan menetas menjadi larva
kira-kira setelah 1 hari.
(2) Larva
Larva lalat tidak memiliki kaki ( legless larva / apodous).
Larva akan mengalami pengelupasan kulit sebanyak tiga kali
sebelum akhirnya bermigrasi untuk menjadi pupa. Terdapat tiga
perkembangan larva lalat:
 1st instar
Stadium ini membutuhkan waktu paling sedikit diantara
stadium lain. Kebanyakan larva lalat membutuhkan waktu
11-38 jam untuk menyelesaikan stadium ini sejak telur
menetas, dengan puncak pertumbuhan pada 22-28 jam.
Panjang larva pada stadium ini mencapai kurang lebih 5 mm
atau seukuran bulir nasi.

 2nd instar
Kebanyakan larva menyelesaikan 11-22 jam sejak 1st instar
untuk kemudian menjadi 3 rd instar. Larva membentuk
koloni yang disebut “maggot mass” dan menyebabkan
temperature di sekitar larva sedikit meningkat yang disebut
maggot mass temperature. Panjang larva pada stadium ini
kurang lebih 10 mm dan mulai terbentuk spirakel posterior
untuk respirasi.
 3rd instar
Stadium ini adalah stadium terlama yang dibagi menjadi dua
tahap.Tahap pertama larva melanjutkan memakan mayat
sampai 20-96 jam, pada tahap ini larva memiliki empat
spirakel posterior dan mencapai panjang kurang lebih 17
mm. Tahap kedua akan berlangsung 80-112 jam. Setelah
larva berhenti makan, kemudian akan berpindah ke daerah

16
yang lebih kering untuk memulai stadium pupa. Larva
berubah warna agak coklat kemerahan.
(3) Pupa
Diperlukan waktu kira-kira 10 hari dalam puparium, untuk
transformasi dari larva menjadi lalat dewasa. Tahap pupa dapat
bertahan dari keadaan panas, dingin ataupun banjir.
(4) Dewasa
Setelah 3 hari, larva yang sudah berubah menjadi bentuk
lalat dewasa akan keluar dari pupa dan dapat memulai siklus
hidupnya lagi dengan bertelur.12

2.4.2 Kumbang (ordo Coleoptera)


Serangga ini memiliki karakteristik yaitu sayap yang berkulit
keras yang menutupi dan melindungi lapisan sayap dibawahnya.
Mereka dapat memakan bangkai, tumbuhan, maupun segalanya,
dengan beberapa diantaranya dapat hidup sebagai parasit. 7

Jenis – jenis kumbang :


a. Famili Silphidae (Kumbang Bangkai)
Bentuk dewasanya memiliki kebiasaan mengubur
bangkai dalam ukuran kecil di bawah tanah untuk disiapkan
bagi anaknya. Larva dari famili ini memiliki bentuk dan
ukuran yang bervariasi, namun umumnya mempunyai
panjang 15-30 mm. Selain itu larva ini dikatakan juga
memiliki kemampuan untuk bergerak. 11

17
Gambar 8. Famili Silphidae
b. Famili Staphylinidae (Kumbang Pengelana)
Merupakan jenis kumbang yang ramping, panjang,
dan memiliki sayap yang pendek atau juga disebut elytra.
Larvanya yang berbentuk ramping, panjang, berwarna
pucat, dan memiliki kepala yang berwarna gelap. Larva dan
bentuk dewasa bergerak cepat dan bersifat predator
terhadap serangga yang lebih kecil. Bentuk dewasa dari
beberapa anggota famili ini termasuk serangga yang
pertama datang ke tubuh mayat, lalu memakan larva dari
semua jenis lalat. Mereka juga akan meletakkan telur-
telurnya pada tubuh mayat tersebut. Famili ini bahkan
mampu merobek puparia atau kantung pupa dari lalat untuk
menopang keberlangsungan hidup mereka pada tubuh
mayat.11

18
Gambar 9. Famili Staphylinidae

2.5 Perkiraan Waktu Kematian


Perkiraan waktu kematian dalam suatu kasus forensik adalah hal
yang penting, sehingga hampir selalu dicantumkan dalam sebuah
kesimpulan autopsi forensik. Perkiraan saat kematian membantu pihak
kepolisian dalam konfirmasi alibi seseorang, yang pada gilirannya akan
mempersempit daftar tersangka di tangan kepolisian. Tersusunnya daftar
tersangka yang tajam dan tepat akan menghemat waktu, tenaga dan
dana dalam suatu penyidikan.13
            Dalam ilmu kedokteran, memperkiraan saat kematian tidak dapat
dilakukan dengan 1 metode saja, gabungan dari 2 atau lebih metode akan
memberikan hasil perkiraan yang lebih akurat dengan rentang bias yang
lebih kecil. Beberapa metode yang lazim digunakan dalam membuat
perkiraan saat kematian adalah pengukuran penurunan suhu tubuh,
interpretasi lebam dan kaku mayat, interpretasi proses dekomposisi,
pengukuran perubahan kimia pada vitreous, interpretasi isi dan
pengosongan lambung serta interpretasi aktivitas serangga yaitu melalui
entomologi forensik.13,14
            Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas serangga dengan
berbagai teknik untuk membantu memperkirakan saat kematian dan
menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari suatu

19
lokasi ke lokasi lain. Entomologi tidak hanya bergelut dengan biologi dan
histologi artropoda, namun saat ini entomologi dalam metode –
metodenya juga menggeluti ilmu lain seperti kimia dan genetika termasuk
melalui DNA. Hal ini memungkinkan untuk mengidentifikasi jaringan tubuh
atau mayat seseorang melalui serangga yang ditemukan pada tempat
kejadian perkara.13,14

2.5.1 Aktivitas Serangga


Serangga yang tertarik pada mayat, secara umum dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu spesies nekrofagus
yang memakan jaringan tubuh mayat, kelompok predator dan
kelompok parasit yang memakan serangga nekrofagus. Kelompok
parasit adalah kelompok spesies omnivora yang memakan baik
jaringan tubuh mayat dan juga memakan serangga yang lain. Dari
tiga kelompok ini, kelompok spesies nekrofagus adalah kelompok
spesies yang paling penting dalam membantu membuat perkiraan
saat kematian. Bergantung pada waktu dan spesies dari serangga,
serangga dapat mendatangi, memakan dan berkembang biak
segera setelah kematian. Sejalan dengan proses pembusukan,
beberapa gelombang generasi serangga dapat menetap pada tubuh
mayat. Berbagai faktor seperti derajat pembusukan, penguburan,
terendam dalam air, proses mumifikasi dan kondisi geografi dapat
menentukan kecepatan kerusakan tubuh mayat, dan berapa tipe
serangga serta berapa generasi serangga yang dapat
ditemukan.13,14
Lalat adalah serangga yang paling umum dikaitkan dengan
pembusukan. Lalat cenderung menempatkan telurnya dalam
orificium tubuh atau pada luka terbuka. Kecenderungan ini akan
mengakibatkan berubahnya bentuk luka atau bahkan hancurnya
daerah sekitar luka. Telur lalat umumnya terdeposit pada mayat
segera setelah kematian pada siang hari. Bila mayat tidak

20
dipindahkan dan hanya telur yang ditemukan pada mayat, maka
dapat diasumsikan bahwa waktu kematian berkisar antara 1 - 2
hari. Angka ini sedikit variatif, tergantung pada temperatur,
kelembapan dan spesies lalat. Setelah menetas, larva berkembang
sehingga mencapai tahap pupa. Tahap ini memakan waktu 6 - 10
hari pada kondisi tropis biasa. Lalat dewasa keluar dari pupa pada
12 - 18 hari. Banyak variabel yang mempengaruhi perkembangan
serangga, karenanya suatu usaha memperkirakan saat kematian
dengan menggunakan metode dari entomologi, harus dibantu oleh
seorang ahli entomologi medik.14

2.5.2 Tahap – Tahap Pembusukan


Terdapat lima tahap dekomposisi disertai aktivitas serangga
yang berbeda yang terdiri dari :14
(1) Fresh stage
Dalam fresh stage, serangga pertama yang tiba
adalah lalat. Beberapa peneliti menganggap keseluruhan
kolonisasi sebagai blowflies sedangkan peneliti lain melihat
blowflies dan fleshflies sebagai jenis yang terpisah. Deskripsi
yang lebih akurat adalah melalui klasifikasi yang sebenarnya
dimana blowflies termasuk dalam famili Calliphoridae dan
dikenal sebagai green bottles, blue bottles, dan lalat rumah
sedangkan fleshflies termasuk dalam famili Sarcophagidae.
Cara membedakannya adalah bowflies dapat
berwarna metalik, hijau, biru atau hitam sedangkan fleshflies
cenderung tidak berwarna, dapat bergaris dengan tonjolan
merah di bagian perut belakang. Blowflies bertelur di luka
atau daerah terbuka seperti mata, hidung, penis atau
vagina. Sedangkan fleshflies langsung mendepositkan larva
hidup ke dalam tubuh.

21
Serangga yang datang pada fase ini adalah g reen
bottle dan blue bottle. Serangga ini datang mulai dari
beberapa menit sampai beberapa jam setelah kematian
tergantung pada kondisi lingkungan. Lalat betina bertelur di
setiap bagian tubuh yang terbuka. Tempat telur pertama
tidak dapat segera terlihat karena telur terdeposit sangat
jauh di dalam rongga tubuh. Telur blowfly memiliki panjang
sekitar 2 mm, dan berwarna putih atau kuning. Fleshflies
dapat datang pada waktu yang sama atau beberapa jam
setelah blowflies. Seperti yang telah disebutkan Fleshflies
mendepositkan larva hidup di tubuh. Pada tahap ini mereka
dapat menjadi mangsa bagi lalat dewasa. Semut juga dapat
muncul dan memangsa telur dan belatung.
Selama tahap ini ada beberapa metode yang
digunakan untuk memperkirakan PMI ( post mortem
interval). Telur dikumpulkan, kemudian dibawa ke
laboratorium. Di laboratorium para peneliti harus
menciptakan kondisi lingkungan seperti saat tubuh itu
ditemukan. Beberapa peneliti menyarankan hati sapi sebagai
sumber makanan yang baik untuk pembiakan belatung.
Telur menetas dan muncullah lalat dewasa. Beberapa lalat
dewasa dikumpulkan dan diidentifikasi. Siklus kedua
mungkin terjadi sehingg penyelidik harus mencatat waktu
yang tepat dari masing-masing tahap dan total lamanya
waktu yang diperlukan untuk satu siklus lengkap.
Siklus hidup lalat terdiri dari lima tahap. Siklus
pertama adalah telur. Kedua tahap tiga instar, masing-
masing menghasilkan belatung yang lebih besar. Yang
keempat adalah tahap pra-pupa di mana belatung
meninggalkan tubuh dan mencoba untuk membungkus diri
di daerah di mana ia akan menjadi kepompong dan menjadi

22
lalat dewasa. Tahap pembentukan pupa adalah tahap kelima
dan terakhir. Tahap tiga instar diidentifikasi melalui
morfologi dari mulut dan spirakel posterior. Belatung hidup
yang ditemukan dikumpulkan dan dibandingkan dengan
kecepatan pertumbuhan. Bagaimanapun juga, kecepatan
pertumbuhan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan
spesies dari lalat itu sendiri.
(2) Bloated Stage
Tahap ini dibedakan dari terdapatnya produksi gas
oleh bakteri yang memecah jaringan. Telur lalat akan
menetas dan larva secara aktif berkontribusi terhadap
dekomposisi melalui peningkatan aktivitas pengrusakan
jaringan yang dapat mengakibatkan peningkatkan suhu
tubuh hingga 127 derajat fahrenheit. Semakin tinggi suhu
tubuh lebih banyak aktivitas bakteri yang terjadi.
(3) Decay Stage
Pada decay stage, kulit telah pecah dan cairan tubuh
menyerap ke area sekitarnya. Belatung (larva) akan berhenti
makan dan pergi dari tubuh. Belatung berada dalam tahap
instar ketiga selama fase ini. Belatung akan bergerak lepas
dari tubuh secara massal atau individu tergantung dari
spesiesnya. Beberapa akan bergerak sejauh 20 meter dari
tubuh. Kumbang menjadi serangga yang paling umum pada
akhir fase ini.
(4) Post-Decay stage
Pada tahap post decay yang paling banyak ditemukan
pada tubuh adalah kumbang. Spesies akan bervariasi sesuai
dengan kondisi. Beberapa kumbang tidak dapat hidup dalam
kondisi basah sementara yang lainnya membutuhkan kondisi
lembab.

23
(5) Skeletal Stage
Pada tahap ini hanya serangga tanah yang dapat
ditemukan. Pada tahap ini penting untuk mengambil contoh
tanah dari bawah tubuh sampai jarak 3 kaki dari tubuh.

2.6 Prosedur Pemeriksaan


2.6.1 Pengumpulan Sampel
Pengumpulan sampel adalah hal yang amat penting dan harus
dilakukan dengan benar. Pengumpulan sampel dan prosedur hukum tiap
negara mungkin berbeda, namun Mark Benecke telah membuat suatu
pedoman umum mengenai pengumpulan sampel entomologi yang
dinamainya “Ten Basic Rules for Collection”
(1) Ambil foto close-up dari semua lokasi artropoda
(2) Karena larva umumnya tidak terlihat saat penggunaan blitz,
usahakan untuk tidak menggunakan blitz terutama pada foto
digital.
(3) Selalu sertakan alat ukur dalam setiap foto yang diambil untuk
menjelaskan ukuran larva atau bentuk serangga lain.
(4) Kumpulkan kira-kira satu sendok makan penuh sertangga dari
minimal 3 lokasi berbeda dari tempat kejadian perkara dan untuk
serangga dari tubuh mayat, letakkan pada 3 wadah bertutup yang
bening.
(5) Jangan memasukkan serangga ke dalam isopropyl atau formalin,
sebagai gantinya gunakan ethanol 98% bagi setengah dari jumlah
serangga yang kita kumpulkan.
(6) Matikan serangga dengan air panas sebelum meletakkannya dalam
ethanol.
(7) Masukkan setengah jumlah spesimen pada pendingin.
(8) Lengkapi setiap wadah sampel dengan label yang dilengkapi
dengan informasi tanggal, inisial, waktu dan lokasi.

24
(9) Konsultasikan dengan entomology forensik yang berpengalaman
untuk setiap pertanyaan yang timbul saat pengumpulan sampel dan
pemrosesannya.
(10) Identifikasi dan analisa harus dilakukan dengan bantuan
entomolog.15

Metode modern yang saat ini umum digunakan dalam analisa


bidang entomologi adalah “Scanning electron microscopy (SEM)”, sebuah
metode yang meneliti morfologi telur dan larva dengan seksama di bawah
sebuah mikroskop elektron. Melalui sebuah penelitian yang dilakukan pada
tahun 2007, telah dibuktikan bahwa SEM dapat membuat identifikasi
secara array morfologi dari serangga hingga penentuan spesies menjadi
jauh lebih akurat. Penentuan spesies ini akan amat membantu dalam
membuat perkiraan saat kematian yang lebih akurat, serta menentukan
penanganan yang tepat pada kasus entomologi forensik urban dan bidang
produk.
Observasi dan pencatatan tentang entomologi forensik dapat
memberikan informasi yang berharga untuk kepentingan penyidikan.
Berdasarkan observasi yang terperinci selama pengumpulan bukti
entomologi mungkin dapat membantu keseluruhan investigasi dengan
memberikan pengetahuan tentang kemungkinan penyebab dan cara
kematian. Beberapa jenis serangga dapat terlihat segera ketika pertama
kali melakukan observasi pada tubuh mayat, tetapi dalam waktu yang
dekat serangga tersebut sudah tidak dapat ditemukan kembali. Keadaan
ini dikarenakan terjadinya kerusakan pada tubuh mayat yang disebabkan
proses investigasi sehingga mengakibatkan larinya serangga tersebut.
Sampel yang dikumpulkan mencakup semua stadium serangga dan
diambil dari area tubuh berbeda, antara lain diambil dari pakaian dan dari
tanah atau karpet. Serangga lebih sering berkumpul di luka dan di area
orifisium natural.11

25
(1) Telur
Telur dapat dikumpulkan dengan menggunakan kuas atau
forsep dan dimasukkan di dalam air. Sebahagian sebaiknya
dilarutkan ke dalam 75% alcohol atau 50% isopropyl alhokol.
Sisanya ditempatkan pada sebuah botol kecil dengan sedikit kertas
saring yang basah untuk mencegah dehidrasi. Jika pengumpulan
tersebut membutuhkan waktu beberapa jam sebelum diterima oleh
ahli entomolgi forensik sebaiknya tembahkan seiris hati sapi dan
pastikan terdapat tissue untuk mencegah telur tersebut
tenggelam.15,16
(2) Larva
Larva dikumpulkan berdasarkan ukuran. Larva yang
berukuran besar biasanya lebih tua dan sangat penting untuk
penyelidikan. Larva dikumpulkan dari berbagai area tubuh dan
sekitarnya kemudian dipisahkan. Setelah dikumpulkan larva harus
diawetkan segera. Jika terdapat banyak larva pada tubuh, maka
diawetkan kira-kira setengah dari seluruh ukuran. Jika hanya dua
puluh sampai tiga puluh, diawetkan satu atau dua. Pengawetan
spesimen dilakukan dengan cara mencelupkannya ke dalam air
panas selama beberapa menit kemudian dimasukkan ke
dalam alcohol 70% atau isopropyl alcohol  50%. Perlu diingat
bahwa sebagian larva harus tetap hidup. Sampel sebaiknya
mengandung seratus larva (setiap ukuran jika mungkin). Spesimen
yang hidup ditempatkan dalam botol kecil dengan udara dan
makanan sama seperti telur.15
(3) Pupa
Siklus pupa sangat penting dan sangat mudah hilang. Pupa
dimasukkan ke dalam botol kecil yang disertakan dengan selembar
tissue untuk mencegah kerusakan. Dapat pula dilembabkan dengan
air tapi hati-hati jangan sampai tenggelam. Pupa tidak boleh

26
diawetkan. Mereka tidak akan berkembang dan hamper tidak
mungkin dapat diidentifikasi sampai pupa tersebut berubah menjadi
dewasa.15,16
(4) Lalat Dewasa
Lalat dewasa tidak terlalu penting. Lalat dewasa ini hanya
digunakan sebagai indikasi untuk menentukan jenis serangga mana
yang langsung berkembang dari mayat dan jenis serangga mana
yang berasal dari tempat lain..Lalat ini dapat dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam botol kecil tanpa air dan makanan. 15, 17
(5) Kumbang
Kumbang bergerak dan berpindah dengan cepat serta sering
ditemukan di bawah tubuh atau di bawah pakaian. Serangga ini
dapat ditempatkan pada sebuah botol dengan sedikit udara.
Mereka membutuhkan makanan jika disimpan lebih dari dua puluh
empat jam sebelum diberikan kepada ahli entomologi forensik.
Kumbang adalah kanibal sehingga tidak boleh ditempatkan dalam
botol yang sama.15
2.6.2 Pemberian Label Spesimen
Serangga yang dikumpul dari suatu bagian tubuh harus dipisahkan
dari bagian tubuh yang lain. Spesies yang berbeda juga dipisahkan. Setiap
botol sebaiknya diberi label yang terdiri dari :15
(1) Area tubuh / tanah.
(2) Tanggal dan waktu pengumpulan
(3) Nama kolektor
(4) Fase hidup serangga

2.6.3 Pengemasan Spesimen


Serangga sebaiknya dibawa ke ahli entomologi forensik sesegera
mungkin untuk mempertahankan kontinuitasnya. Serangga ini dikemas
dalam sebuah kotak yang mempunyai banyak udara dan berada dalam
posisi tegak.2

27
Gambar 10. Tempat sampel disimpan

Apabila mayat didinginkan dalam kamar mayat sebelum


pengumpulan, kemudian harus diketahui kapan mayat akan didinginkan
dan kapan akan dikeluarkan.2
Dua spesies lalat, Calliphora fomitoria, dan Phorima regina kedua
spesies merupakan lalat pertama yang menghinggapi mayat. Stadium
Calliphora fomitoria dikumpulkan kemudian diperhatikan ukuran, jumlah
lubang pernafasan dan tingkah laku. Pada temperature 15°C, Calliphora
fomitoria membutuhkan minimal sembilan hari untuk mencapai stadium
prepupa.2
Ketika menyelidiki suatu kasus kematian, beberapa pertanyaan
utama yang dibutuhkan dan harus dijawab oleh ahli entomologi forensik
adalah :8
(1) Serangga jenis apa yang terdapat pada tubuh?
(2) Spesimen mana yang paling tua?
(3) Berapa umur spesimen yang tertua?
(4) Apakah suhu lingkungan di tempat kejadian sesuai ketika
lalat berkembang pada tubuh mayat?
Faktor-faktor lain yang sebaiknya diketahui pada suatu kasus
kematian yaitu: 18
a. Habitat

28
‐ Lokasi umum : apakah hutan, pantai, rumah, atau pinggir
jalan.
‐ Vegetasi : pepohonan, rumput, atau semak-semak.
‐ Jenis tanah : berbatu-batu, berpasir, atau berlumpur
‐ Cuaca pada saat pengumpulan specimen : panas terik atau
berawan.
‐ Suhu.
‐ Lokasi kejadian : teduh atau di bawah sinar matahari
langsung.
b. Jenazah
‐ Keberadaan dan tipe pakaian.
‐ Penyebab kematian jika diketahui, apakah ada darah atau
cairan tubuh disekitarnya.
‐ Keberadaan luka dan jenisnya.
‐ Keberadaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
kecepatan dekomposisi.
c. Posisi jenazah
‐ Tahap-tahap dekomposisi.
‐ Keberadaan larva dan jumlahnya.
‐ Keberadaan daging atau bangkai di sekitar jenazah yang
mungkin dapat menarik serangga.
d. Mencatat keadaan yang tidak umum, yang disebabkan oleh
manusia, dan tanda sudah terdapatnya tanda pembusukan.

29
BAB III
KESIMPULAN

Penentuan perkiraan saat kematian dalam suatu kasus forensik


adalah hal yang memegang peranan penting sehingga selalu dicantumkan
dalam sebuah kesimpulan autopsi forensik. Dalam ilmu kedokteran,
memperkiraan saat kematian tidak dapat dilakukan dengan 1 metode saja,
gabungan dari 2 atau lebih metode akan memberikan hasil perkiraan yang
lebih akurat dengan rentang bias yang lebih kecil.
Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas serangga dengan
berbagai teknik untuk membantu memperkirakan saat kematian dan
menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari suatu
lokasi ke lokasi lain. Penetuan waktu kematian dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi umur serangga maupun telur yang ada pada mayat,
sehingga dapat memperkirakan dengan lebih tepat waktu kematian mayat
tersebut. Asumsi pokok bahwa mayat manusia yang masih “baru” belum
dikerumuni serangga dan serangga tersebut belum berkembang dalam
mayat. Dengan demikian umur serangga yang semakin tua beserta telur
yang ditemukan pada mayat dapat dijadikan dasar perkiraan interval post-
mortem minimum. Untuk menentukan apakah suatu mayat telah
dipindahkan dari lokasi pembunuhan yang sebenarnya dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi serangga yang terdapat pada mayat dan
dibandingkan dengan serangga serupa yang terdapat di sekitarnya.
Identifikasi terutama secara molekular akan diperoleh data apakah
serangga yang terdapat pada mayat berasal dari daerah tempat mayat
tersebut ditemukan ataukah berasal dari tempat lain, karena pada
dasarnya bahkan serangga yang sejenis dapat memiliki variasi genetik
yang berbeda antara lokasi satu dengan yang lain.
Entomologi medik termasuk di dalamnya entomologi forensik terus
berkembang pesat, dan jasa entomolog medik amat dibutuhkan. Keahlian

30
tenaga entomolog dibutuhkan dalam penyidikan, di peradilan maupun
dalam pengawasan bidang kedokteran untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan masyarakat. Walau di Indonesia bidang ini belum sepopuler
ilmu medik yang lain, namun dengan era informasi dan globalisasi saat ini,
trend entomologi diharapkan akan sepopuler disiplin entomologi di bagian
dunia yang lain.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Byrd JH. The Utility of Antrhopord in Legal Investigations. CRC Press:


2002.
2. Dorothy Gennard. Forensic Entomology. John Wiley & Sons: 2012.
3. Hadley D. An Early History of Forensic Entomology: 2010.
4. Verma K, Paul R (2016).   Lucilia sericata (Meigen) dan Chrysomya
megacephala (Fabricius) (Diptera: Calliphoridae) Tingkat Pengembangan
dan Implikasinya untuk Entomologi Forensik".  J Forensic Sci Med.  2 (3):
146–150
5. Kristanto, Erwin. Peran Entomologi Forensik dalam Perkiraan Saat
Kematian dan Olah Tempat Kejadian Perkara Sisi. Jurnal Biomedik,
Volume 1, Nomor 1, Maret 2009 hlm. 41-44.
6. Morten Staerkeby. What is Forensic Entomology.2002
7. Bullington, Stephen. Forensic Entomology. 2001.
Available from URL: http://www.FORENSIC-ENT.com
8. Gail. S, dr. Forensic Entomology : The Use of Insect in Death
Investigation. 1998.
9. Serangga. In Scribd. [serial online]. 2010 [cited 2020 March 23]. Available
from: http://www.scribd.com/doc/13066004/Insecta
10.Meyer Jhon R. Diptera. Department of Entomology NC State University:
2005.
11.Isfandiari Adelia B. Perbedaan Genus Larva Lalat Tikus Wistar Mati pada
Dataran Tinggi dan Rendah di Semarang. Semarang: Universitas
Diponegoro. 2009.
12.Putra NS. Entomologi forensic: 2009 [cited 2020 March 23].
13.Idries AM, et al. Peran Ilmu Kedokteran Forensik dalam proses penyidikan.
Jakarta: Sagung Seto, 2008. Page: 190 – 210.
14.Wangko T, et al. Peran Entomologi Forensik Dalam Perkiraan Saat
Kematian Dan Oleh Tempat Kejadian Perkara Sisi Medis (Introduksi
Entomologi Medik). Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK
UNSRAT.2009.
15.Anderson, S Gall. Forensic Entomology: The Use of Insects In Death
Investigations. School of Criminology, Simon Fraser University. 1998.
16.Dadour, Ian and Cook, David. Forensic Entomology, Collecting From A
Corpse. Available on: agspsrv34.agric.wa.gov.au/ento/forensic.htm
17.Brandt, Amoret and Hall, Martin. Forensic Entomology. Natural History
Museum.London.2006
18.Mayasari D. Hubungan Panjang Larva Lalat dengan Lama Waktu Kematian
Tikus Wistar yang Didislokasi Tulang Leher di Semarang. Semarang:
Universitas Diponegoro. 2008

32

Anda mungkin juga menyukai