Anda di halaman 1dari 5

Kolektivisme dan Individualisme di Lingkungan Kerja

Fuadi, Aziz
Artikel Populer : bdksurabaya.kemenag.go.id
Diterbitkan 5 April 2016

Kolektivisme dan Individualisme di Lingkungan Kerja


Oleh: Aziz Fuadi

Kolektivisme dan individualisme adalah fenomena sosial yang

seringkali ada dalam lingkungan kerja. Namun fenomena tersebut


biasanya tak disadari oleh individu-individu yang ada di dalamnya
meskipun mereka melakukannya. Selain sebagai makhluk sosial yang
tak lepas dari keterlibatan dengan orang lain, manusia tercipta sebagai
makhluk individu. Pada kondisi tertentu seseorang akan bersikap
kolektif namun di saat yang lain ia terlihat begitu individualis.
Kedua sikap tersebut dilakukan orang karena adanya berbagai
tujuan yang ada padanya. Motif untuk tetap survive, mendapat
penghargaan dari orang lain, rasa aman, pengakuan dan aktualisasi
diri akan muncul mengiringi sikap kolektif dan individual dari
seseorang. Ketika orang membutuhkan penghargaan dari orang lain
misalnya, maka ia harus memasuki sebuah kelompok atau unit sosial
dengan berbagai norma sosial yang harus ia ikuti. Selanjutnya
berinteraksi dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Di sisi lain,
saat ia ingin mencapai aktualisasi diri, maka sikap bersaing yang
cenderung bernuansa individualis akan mengiringinya.
Adanya sikap harmonis, solidaritas dan kesetiaan dari anggota
terhadap kelompok menunjukkan adanya sikap kolektif pada kelompok
tersebut. Namun ketika timbul egoisme dan mementingkan
kepentingan sendiri bahkan terjadinya konflik interpersonal dalam
kelompok membuktikan bahwa seseorang tak bisa lepas dari sikap
individualis.
Sikap kolektif atau individualis yang akan ditampilkan seseorang
sebenarnya tak lepas dari tuntutan sikap dan peran dari lingkungan
sosial. Seorang Aparatur Sipil Negara akan mendapatkan tuntutan
sikap dan peran dari lingkungan kerjanya yang berbentuk lembaga
pemerintah, sedangkan seorang karyawan swasta akan mendapatkan

1
tuntutan sikap dari perusahaannya. Pemahaman seseorang terhadap
tuntutan sikap dari lingkungannya cenderung akan menentukan sikap
kolektif dan individualis yang akan ditampilkan seseorang. Semakin
paham seseorang terhadap tuntutan sikap tersebut, maka sikap
kolektif atau individualis dari seseorang akan selaras dengan tujuan
organisasi tempatnya berada.
Sayangnya tidak semua orang peka dan memahaminya sehingga
memunculkan gap antara tuntutan sikap dengan sikap yang
ditampilkannya. Terdapatnya sikap seseorang yang cenderung
mendiskreditkan lembaga tempatnya bekerja di hadapan pihak luar
menunjukkan kurang pahamnya seseorang terhadap tuntutan sikap
tersebut. Biasanya sikap tersebut ditampilkan untuk membangun
kesan positif orang luar terhadap dirinya secara pribadi. Ia berharap
bahwa dengan mendiskreditkan lembaganya, ia akan terlihat lebih
baik, cerdas atau kesan positif lainnya. Padahal ketika berhubungan
dengan lembaga lain ada tuntutan untuk bersikap kolektif, yaitu
solidaritas kelembagaan, bukan sebaliknya.
Nilai-nilai kolektivisme sangat dibutuhkan dalam lingkungan kerja.
Tugas yang saling terkait antar anggota dalam kelompok kerja
mengharuskan anggotanya untuk bersikap kolektif. Tanpa adanya
sikap tersebut, maka anggota organisasi hanya akan peduli dengan
tugas individual yang ia tangani tanpa memperhitungkan bahwa hasil
kerjanya akan menjadi produk bagi rekan kerja yang berada dalam
rangkaian proses kerja. Oleh karena itu, munculnya sikap kolektif akan
mampu meningkatkan kinerja organisasi.
Namun, sikap kolektif juga mampu memberikan dampak buruk
bagi organisasi bahkan kontraproduktif terhadap kinerja organisasi.
Kondisi tersebut terjadi ketika sikap kolektif yang ada bersumber dari
budaya kolektif yang bertentangan dengan nilai-nilai universal. Adanya
persekongkolan anggota organisasi untuk mencapai tujuan kelompok
yang selanjutnya menciptakan nilai-nilai kolektif dan mendominasi

2
menjadi nilai yang berlaku pada organisasi, hal tersebut akan
memberikan dampak negatif bagi organisasi.. Dalam kondisi tersebut
nilai-nilai yang ada memang menjadi nilai-nilai kolektif namun tidak
selaras dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku umum di
masyarakat.
Jika nilai-nilai kolektif seperti itu berlaku atau menjadi nilai-nilai
yang dipaksakan berlaku bagi anggota, dalam jangka panjang justeru
akan memunculkan konflik antar anggota karena dimungkinkan akan
muncul perlawanan terhadap nilai-nilai kolektif yang dirasa
menyimpang dan tak sesuai dengan nilai-nilai universal.
Pada umumnya, nilai-nilai kolektif sejalan dengan nilai-nilai
universal. Sikap membantu, tolong-menolong, kesetiakawanan,
kebersamaan dan toleransi adalah contoh nilai-nilai kolektif yang
sangat dibutuhkan dalam lingkungan kerja. Keberadaannya cenderung
akan memberikan efek positif bagi anggota organisasi, terutama dalam
menjaga hubungan interpersonal antar anggota. Karenanya, nilai-nilai
tersebut akan memberikan efek yang nyata ketika telah menjadi nilai-
nilai yang berlaku dan menjadi daya hidup organisasi atau sudah
menjadi budaya dalam organisasi tersebut. Untuk itu diperlukan
pemimpin yang kuat dan mampu menciptakan budaya yang ada
berdasar pada nilai-nilai kolektif.
Yang bertentangan dengan nilai-nilai kolektif adalah nilai-nilai
individualis. Munculnya sikap individualis dalam lingkungan kerja tak
lepas dari budaya yang berlaku dan desain pekerjaan. Jika budaya
yang ada cenderung mengakomodir sikap individualis dan memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperilaku individualis, maka
anggota yang ada di dalamnya akan mengikuti budaya tersebut.
Demikian juga dengan desain pekerjaan. Pekerjaan yang
membutuhkan kemampuan individual dan membatasi terjadinya
interaksi sosial antar anggota, maka cenderung akan menumbuhkan
sikap individualis.

3
Biasanya seseorang dengan sikap individualis akan
memfokuskan pada tujuan, kebutuhan dan keinginan yang bersifat
pribadi tanpa mempedulikan kepentingan organisasi. Perilakunya
dalam organisasi lebih menegedepankan pada tujuan yang bersifat
pribadi, meskipun bisa jadi dalam prosesnya seakan-akan mempunyai
keberpihakan pada kepentingan organisasi. Maka sikap individualis
akan berbahaya bagi organisasi jika dimiliki oleh pemimpin yang
mempunyai wewenang dan kekuasaan.
Seorang individualis cenderung akan menggunakan wewenang
dan tanggung jawabnya demi tujuan pribadi. Adanya wewenang dan
tanggung jawab justeru akan memberikan keleluasaan bagi individualis
untuk merealisasikan tujuannya. Banyaknya kegiatan dalam organisasi
yang melibatkan kewenangannya semakin membuat seorang
individualis mudah menjalankan aksinya. Dengan dalih kepentingan
organisasi, ia dimungkinkan akan menerapkan cara tertentu demi
keuntungan yang bersifat pribadi. Trik, taktik dan cara-cara baru ia
terapkan agar interest pribadi tak diketahui anggota lain.
Seseorang dengan perilaku indiviualis murni akan memandang
sama setiap orang, artinya ia akan menempatkan standar yang sama
saat berhubungan dengan orang yang dikenal maupun tidak. Tidak
ada istilah pertemanan, kesetiakawanan ataupun empati saat
berinteraksi dengan orang lain. Yang utama hanyalah bagaimana
kepentingan dirinya bisa terwujud dan menekan sebisa mungkin
adanya penghalang terhadap tujuannya. Dalam praktiknya, ia akan
menganggap bahwa kepentingan orang lain dan kepentingan
organisasi menjadi tidak penting dibandig kepentingan pribadinya.
Dalam mewujudkan tujuannya, seorang individualis bisa saja
seakan-akan bersikap kolektif. Sikap tersebut ia ambil untuk
mengaburkan atau menyembunyikan tujuan pribadi. Bisa juga sikap
tersebut ia tampilkan karena bertujuan untuk bersekutu dengan orang
yang mempunyai tujuan yang sama. Maka terjadilah kolabolari dari dua

4
individualis atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Namun saat
tujuannya tercapai maka kolaborasi para individualis akan bubar.
Jika seorang individualis berada dalam kelompok, ia cenderung
akan mempengaruhi keputusan kelompok dalam hal pemberian
rewards. Jika perannya dalam kelompok ia anggap besar maka ia akan
mendukung pemberian rewards yang bersifat individual sehingga
rewards tersebut akan dihitung berdasarkan kontribusi masing-masing
individu. Namun jika ia menganggap bahwa peran dirinya dalam
kelompok ia anggap kecil maka rewards yang bersifat kolektif akan ia
dukung, artinya peran individual tidak akan dihitung, semua anggota
kelompok dianggap mempunyai kontribusi yang sama sehingga
rewards yang diberikan masing-masing anggota akan sama.
Seorang individualis biasanya dihubungkan dengan fenomena
social loafing. Ia akan mengurangi peran dan keterlibatannya dalam
kelompok karena beranggapan bahwa peran tersebut sudah diambil
anggota lain. Padahal ketika bekerja sendiri ia termasuk orang yang
berkinerja.
Agar nilai-nilai individualis pengaruhnya tidak melebihi nilai-nilai
kolektif dan tidak mendominasi menjadi nilai yang diikuti oleh sebagian
besar anggota organisasi maka perlu adanya intervensi pemimpin
dengan menciptakan norma dan aturan bagi organisasi yang lebih
bernuansa kolektivisme.Di samping itu, perlu komitmen bersama untuk
menerapkan nilai-nilai kolektif yang dimotori oleh pemimpin dalam
organisasi.

Anda mungkin juga menyukai