Anda di halaman 1dari 61

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220125


**Pembimbing dr. N. P. Fitriani Siregar, SpPD. FINASIM

HEPATITIS B

Lidia Teresia Sinaga, S. Ked*

dr. N. P. Fitriani Siregar, SpPD. FINASIM**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Hepatitis B

Disusun Oleh :
Lidia Teresia Sinaga, S. Ked

G1A220125

Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Mei 2021

Pembimbing

dr. N. P. Fitriani Siregar, SpPD. FINASIM


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Sciense Session yang
berjudul “Hepatitis B” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. N. P. Fitriani Siregar, SpPD.


FINASIM yang telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Jambi, Mei 2021

Lidia Teresia Sinaga


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hepatitis adalah peradangan sel-sel hati, biasanya disebabkan infeksi (virus,


bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak
berlebih, dan penyakit autoimun. Hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai virus
seperti virus hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D
(HDV), dan hepatitis E (HEV).1
Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, sebanyak 257 juta penduduk hidup dengan
hepatitis B kronik dan sebanyak 887 ribu kematian akibat kanker hepar. Pada tahun
2016, sekitar 10,5% penduduk hidup dengan hepatitis B, hanya 4,5 miliar (16,7%)
pasien yang mencari pengobatan. Virus hepatitis B (VHB) telah menginfeksi 2 milyar
orang di dunia, 240 juta di antaranya menjadi hepatitis B kronik; sebanyak 1,5 juta
penduduk meninggal dunia setiap tahun karena hepatitis B. Hasil Riset Kesehatan
Dasar 2013, Indonesia merupakan negara terbesar kedua dengan endemisitas tertinggi
hepatitis B setelah Myanmar di negara South East Asian Region (SEAR). Uji saring
darah donor PMI menunjukkan terdapat sekitar 28 juta penduduk Indonesia terinfeksi
hepatitis B. 2
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B
yang merupakan virus DNA berlapis ganda dengan diameter 42 nm. Virus ini berasal
dari keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus bagian terluar terdiri dari HBsAg
dan bagian dalam adalah nukleocapsid yang tersusun atas HBcAg. HBV dapat
menyebabkan peradangan hati akut atau menahun, pada sebagian kecil kasus dapat
berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hati4

Hepar atau hati merupakan organ atau kelenjar terbesar di dalam tubuh,
memiliki berat sekitar 1-2,3 kg atau sekitar 2,5% dari berat badan. Hepar memiliki
struktur yang halus, lunak dan lentur, serta terletak di bagian atas rongga abdomen
yang menempati bagian terbesar regio hipokondrium. Sebagian besar hepar terletak di
bawah arcus costalis kanan dan diaphragma setengah bagian kanan, memisahkan

hepar

dari pleura, paru-paru, perikardium dan jantung. Hepar dibungkus oleh jaringan
fibrosa tipis yang tidak elastis yang disebut capsula fibrosa perivascularis (Glisson)
dan sebagian tertutupi oleh lapisan peritoneum. Dalam keadaan segar, hepar bewarna
merah tua atau kecoklatan yang disebabkan oleh adanya darah yang sangat banyak
dalam organ ini. Hati memiliki permukaan anterior yang cembung dan dibagi menjadi
dua lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus dextra dan lobus
sinistra dengan lobus dextra berukuran 2 kali lobus sinistra. Pada daerah antara
ligament falsiform dengan kantung empedu di lobus dextra dapat ditemukan lobus
kuadratus dan sebuah daerah yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan
ligamentum venosum pada permukaan posterior yang biasanya disebut lobus
caudatus. Secara miskroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000 – 100.000
lobuli, setiap lobules berbentuk heksgonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus
yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel hati terdapat
kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatica.
Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang merupakan sistem
retikuloendotelial dan berfungsi menhancurkan bakteri dan benda asing lain di dalam
tubuh, sehingga hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap
serangan bakteri dan organ toksik.

2.2 Fisiologi Hati5,6


Hepar sebagai kelenjar terbesar di dalam tubuh mempunyai fungsi yang
sangat bervariasi. Tiga fungsi dasar hepar adalah membentuk dan mensekresikan
empedu ke dalam saluran intestinal; berperan pada berbagai metabolisme yang
berhubungan dengan karbohidrat, lipid dan protein; menyaring darah, menyingkirkan
bakteri dan benda asing yang masuk ke dalam darah.
Hepar mensekresi cairan empedu sekitar 500 sampai 1000 mL setiap hari.
Cairan empedu dialirkan ke dalam saluran empedu yang terdiri dari pigmen empedu
dan asam empedu. Bilirubin dan biliverdin merupakan pigmen empedu yang memberi
warna tertentu pada feses, sedangkan asam empedu yang dibentuk dari kolesterol
membantu pencernaan lipid. Pengeluaran empedu dari hepar dan vesica biliaris
terutama diatur oleh hormon. Aliran empedu meningkat jika kolesistokinin
dikeluarkan oleh sel enteroendokrin mukosa yang dirangsang ketika lemak makanan
dalam kimus masuk ke duodenum. Hormon ini menyebabkan konstraksi otot polos di
dinding vesica biliaris dan relaksasi sfingter, sehingga empedu dapat masuk ke
duodenum. Garam empedu yang terdapat di dalam empedu mengemulsi lemak di
duodenum. Lubang ductus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter oddi,
yang mencegah empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu pencernaan makanan.
Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu yang disekresikan oleh hepar
dialihkan balik ke vesica biliaris. Empedu tidak diangkut langsung dari hepar ke
vesica biliaris. Empedu disimpan dan dipekatkan di vesica biliaris diantara waktu
makan. Empedu masuk ke duaodenum akibat kombinasi pengosongan vesica biliaris
dan peningkatan sekresi empedu oleh hepar.
Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu,
kolesterol, lesitin, dan bilirubin dalam suatu cairan encer alkalis. Garam empedu
adalah turunan kolesterol. Garam garam ini secara aktif disekresikan ke dalam
empedu dan akhirnya masuk ke duodenum bersama dengan konstituen lainnya.
Sebagian empedu diserap kembali ke dalam darah oleh mekanisme transport aktif,
khususnya yang terletak di ileum terminalis dan garam empedu dikembalikan ke
sistem porta hepar yang mensekresikannya ke dalam empedu. Daur ulang garam
empedu antara duodenum dan hepar disebut sirkulasi enterohepatik. Jumlah total
garam empedu adalah 3 sampai 4 kilogram, namun 1 kali makan dikeluarkan 3
sampai 15 gram garam empedu ke dalam duodenum. Jumlah empedu yang disekresi
oleh hepar setiap harinya sangat bergantung pada tersedianya garam-garam empedu
makin banyak jumlah garam empedu pada sirkulasi enterohepatik (biasanya sekitar
2,5 gram) makin besar kecepatan sekresi empedu
Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui emulsifikasi dan
mempermudah penyerapan lemak dengan ikut serta dalam pembentukan misel.
Garam empedu berfungsi mengubah globulus (gumpalan) lemak besar menjadi
emulsi lemak yang terdiri atas butiran lemak dengan garis tengah masing-masing 1
mm yang membentuk suspensi di dalam kimus cair. Dalam suatu misel garam
empedu dan lesitin bergumpal dalam kelompok-kelompok kecil dengan bagian larut
lemak menyatu di bagian tengah membentuk inti hidrofobik, sementara bagian larut
air membentuk selubung hidrofilik di sebelah luar. Sebuah misel memiliki garis
tengah 4 sampai 7 nm, sekitar sepersejuta ukuran emulsi butiran lemak.
Hepar berperan penting dalam metabolisme 3 mikronutrien, yaitu karbohidrat,
protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan
disimpan dalam hepar dalam bentuk glikogen. Glikogen hepar merupakan timbunan
glukosa dan dimobilisasi jika kadar glukosa darah menurun dibawah. Dari depot
glikogen ini, glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk
menghasilkan panas dan energi, sisanya diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam
jaringan subkutan. Hepar juga mensintesis glukosa dari protein dan lemak. Peranan
hepar dalam metabolisme sangat penting untuk kelangsungan hidup. Semua protein
plasma (kecuali gamaglobulin) disintesis oleh hepar, yaitu albumin, yang diperlukan
mempertahankan tekanan osmotik koloid, protrombin, fibrinogen, dan faktor
pembekuan lain. Sebagian besar degradasi asam amino dimulai dalam hepar melalui
proses deaminasi atau pembuangan gugus amino (NH2).
Hepar juga berperan penting dalam sistem imun. Antibodi yang dihasilkan
oleh sel plasma di lamina propria usus diserap dari darah oleh hepatosit dan diangkut
ke dalam canalikulus dan empedu serta antibodi masuk ke lumen usus, tempat zat ini
mengontrol flora bakteri usus.
Hepar mensintesis heparin, sebuat zat antikoagulan dan mempunyai fungsi
detoksifikasi yang penting . Sebagai organ detoksifikasi, hepar berperan dalam
melindungi tubuh dari berbagai racun dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh
dengan merubah semua bahan-bahan asing atau toksin dari luar tubuh. Bahan-bahan
asing atau toksin tersebut dapat berupa makanan, obat-obatan dan bahan lainnya,
dapat juga bahan dari dalam tubuh sendiri yang menjadi bahan yang tidak aktif.
Kemampuan detoksifikasi ini terbatas, sehingga tidak semua bahan yang masuk dapat
didetoksifikasi dengan sempurna, tetapi ditimbun dalam darah dan dapat
menimbulkan kerusakan hepatosit. Dalam melakukan fungsi detoksifikasi, senyawa
yang memiliki sifat meracuni sel-sel tubuh dirubah oleh enzim hepatosit melalui
oksidasi, hidrolisis, atau konjugasi menjadi senyawa yang tidak lagi bersifat toksik,
dan kemudian dibawa oleh darah ke ginjal untuk diekskresi

2.3 Hepatitis B
2.3.1 Definisi1
Hepatitis merupakan suatu proses inflamasi pada hati. Hepatitis disebabkan
oleh banyak hal. Penyebab tersering dari hepatitis adalah infeksi virus.
Hepatitis B adalah peradangan hepar disebabkan virus hepatitis B. Hepatitis
akut apabila inflamasi hepar akibat infeksi virus hepatitis setelah masa inkubasi virus
hepatitis b 30- 180 hari atau 8 – 12 minggu dan disebut hepatitis kronik apabila telah
lebih dari 6 bulan.
2.3.2 Epidemiologi7
Berdasarkan laporan epidemiologi, Hepatitis kurang lebih 400 juta orang di
dunia terinfeksi oleh HBV, dan sekitar 170 juta orang bermukim di Asia pasifik.
Daerah endemik infeksi adalah China, dimana sekitar 93 juta orang terinfeksi 3,
Indonesia merupakan peringkat ketiga setelah China dan India, dengan prevalensi 5-
17%.
Di Indonesia yang merupakan negara daerah tropis dengan jumlah penduduk
terbanyak keempat di dunia, memiliki pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar setelah
Myanmar, dan diantara negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region).
Berdasarkan hasil dari riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji darah donor di
Palang Merah Indonesia (PMI) maka diperkirakan di antara 100 orang penduduk
Indonesia, 10 di antaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C. Sehingga saat ini
diperkirakan terdapat 28 juta penduduk indonesia yang terinfeksi hapatitis B dan C,
14 juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis 1,4 juta
orang berpotensi untuk menderita kanker hati.
2.3.3 Etiologi3
Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (VHB). Virus Hepatitis
B (VHB) termasuk DNA virus, famili Hepadnavirus yang merupakan partikel bulat
berukuran sangat kecil 42 nm atau partikel Dane dengan selubung fosfolipid
(HbsAg). Virus ini merupakan virus DNA dan sampai saat ini terdapat 8 genotip
VHB yang telah teridentifikasi, yaitu genotip A–H. VHB memiliki 3 jenis morfologi
dan mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan HBxAg.
Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi atas 4 subtipe yaitu
adw, adr, ayw, dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebarannya.
Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Virus dengan subtipe ayw
terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Sedangkan Virus dengan subtipe adw dan adr
terjadi di wilayah Malaysia, Thailand, Indonesia. Dan subtype adr terjadi di Jepang
dan China.
2.3.4 Penularan Hepatitis B8
Penularan infeksi VHB dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu penularan horizontal
dan vertikal. Penularan horizontal VHB dapat melalui penularan perkutan, melalui
selaput lendir atau mukosa. Kontak horizontal dapat melalui benda-benda yang biasa
kontak dengan darah atau cairan tubuh manusia, misalnya sikat gigi, alat cukur, atau
alat pemantau dan alat perawatan penyakit diabetes. Risiko juga didapatkan pada
orang yang melakukan hubungan seks tanpa pengaman dengan orang yang tertular,
berbagi jarum saat menyuntikkan obat, dan tertusuk jarum bekas. Selain itu dapat
terjadi penularan yang kebuh rendah seperti melalui kontak dengan karier hepatitis B,
hemodialysis, paparan terhadap pekerja kesehatan yang terinfeksi, alat tindik,
transfuse darah dan donor organ.
Penularan vertikal atau mother-to-child-transmission (MTCT) terjadi jika ibu
hamil penderita hepatitis B akut atau pengidap persisten HBV menularkan ke bayi
yang dikandungnya atau dilahirkannya. Penularan HBV vertikal dapat dibagi menjadi
penularan VHB in-utero, penularan perinatal, dan penularan postnatal.
Virus hepatitis B adalah virus yang berukuran besar dan tidak dapat melewati
plasenta sehingga tidak menginfeksi janin kecuali jika telah ada kerusakan atau
kelainan pada barier maternal-fetal seperti pada amniosintesis. Namun wanita hamil
yang terinfeksi VHB tetap dapat menularkan penyakit kepada bayinya saat proses
kelahiran. Bila tidak divaksinasi saat lahir akan banyak bayi yang seumur hidup
terinfeksi VHB dan banyak yang berkembang menjadi kegagalan hati dan kanker hati
di masa mendatang.
Hepatitis B adalah satu-satunya penyakit menular seksual yang dapat
diproteksi dengan vaksin. Darah bersifat inaktif saat beberapa minggu sebelum
muncul gejala pertama dan selama fase akut. Sifat inaktif pada setiap orang yang
mengalami infeksi kronis bervariasi mulai dari infeksius tinggi (HBeAg positif)
sampai sedikit infeksius (anti-Hbe positif). Semua orang berisiko terinfeksi. Hanya
orang yang telah divaksinasi lengkap atau orang yang punya antibodi anti-HBs atau
telah terinfeksi VHB yang kebal terhadap infeksi VHB. Pasien yang banyak
mengalami infeksi menetap oleh VHB adalah orang dengan immunodefisiensi
kongenital atau dapat termasuk infeksi HIV, orang dengan immunosupresi, dan
pasien yang menjalani terapi obat immunosupresif seperti steroid serta orang yang
menjalani perawatan hemodialisis. Infeksi VHB kronis terjadi pada 90% janin yang
terinfeksi saat kelahiran, 25-50% anak-anak usia 1-5 tahun, dan 1-5%pada anak usia
lebih dari 5 tahun dan dewasa.

2.3.4 Patofisiologi
2.3.4.1 Struktur Genom Virus Hepatitis B9,10,11
Virus hepatitis B dibungkus oleh amplop lipid di bagian luar dan bagian
dalam nukleokapsid berbentuk ikosahedral yang tersusun oleh protein. Virus ini
memiliki tiga antigen spesifik yaitu antigen surface, envelope dan core. Hepatitis B
surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang ditemukan pada
permukaan VHB. Adanya antigen ini menunjukkan infeksi akut atau karier kronis
yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen
spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB. Antigen ini tidak terdeteksi
secara rutin dalam serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit.
Hepatitis B envelope antigen (HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat
hubungannya dengan nukleokapsid VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein
yang larut di serum. Antigen ini timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan
hilang beberapa minggu sebelum HBsAg hilang. Antigen ini ditemukan pada infeksi
akut dan pada beberapa karier kronis.

Gambar 1. Struktur Virus Hepatitis B9

Pada VHB, terdapat empat open reading frame yang menyandi tujuh
polipeptida. Diantara gen-gen yang dimiliki yaitu gen S dan pre-S yang mengkode
HBsAg dan mempunyai tiga kerangka kodon awal, gen C dan pre-C mempunyai dua
kerangka kodon awal, dan menyandi HBcAg dan ditambah protein HBe yang
diproses menjadi HBeAg, gen P yang mengkode DNA polymerase serta gen X yang
mengkode HBxAg yang berfungsi untuk memacu ekpresi seluruh gen terntentu pada
genom host.
Dengan demikian HBxAg memiliki sifat transaktivasi dan penting untuk replikasi
HBV yang efisien.

Gambar 2. Genom VHB dengan 4 ORF10

2.3.4.2 Patogenesis Hepatitis B12,13


Infeksi VHB dimulai apabila partikel untuh VHB berhasil masuk ke dalam hepatosit,
kemudian kode genetic VHB akan masuk ke dalam inti sel hati dan kode genetic
tersebut akan “memerintahkan” sel hati untuk membentuk protein-protein komponen
VHB. Patogenesi penyakit hepatitis B dimulau dengan masuknya VHB kedalam
tubuh secara parerrteral. Terdapat 6 tahap dalam siklus replikasi VHB dalam hati,
yaitu:
1) Attachment
Virus menempel pada reseptor permukaan sel. Penempelan terjadi dengan
perantaran protein pre-S1, protein pre-S2, dan poly-HAS (polymerized Human
Serum Albumin) serta dengan perantaraan SHBs (small hepatitis B antigen
surface).
2) Penetration
Virus masuk secara endositosis ke dalam hepatosit. Membran virus menyatu
dengan membran sel pejamu (host) dan kemudian memasukkan partikel core yang
terdiri dari HBcAg, enzim polymerase dan DNA VHB ke dalam sitoplasma sel
pejamu. Partikel core selanjutnya ditransportasikan menuju nukleus hepatosit.
3) Uncoating
VHB bereplikasi dengan menggunakan RNA. VHB berbentuk partially double
stranded DNA yang harus diubah menjadi fully double stranded DNA terlebih
dahulu, dan membentuk covalently closed circular DNA (cccDNA). cccDNA
inilah yang akan menjadi template transkripsi untuk empat mRNA.
4) Replication
Pregenom RNA dan mRNA akan keluar dari nukleus. Translasi akan
menggunakan mRNA yang terbesar sebagai kopi material genetik dan
menghasilkan protein core, HBeAg, dan enzim polimerase. Translasi mRNA
lainnya akan membentuk komponen protein HBsAg.
5) Assembly
Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polimerase menjadi partikel core
di sitoplasma. Dengan proses tersebut, virion virion akan terbentuk dan masuk
kembali ke dalam nukleus.
6) Release
DNA kemudian disintesis melalui reverse transcriptase. Kemudian terjadi proses
coating partikel core yang telah mengalami proses maturasi genom oleh protein
HBsAg di dalam retikulum endoplasmik. Virus baru akan dikeluarkan ke
sitoplasma, kemudian dilepaskan dari membran sel.
Gambar 3. Siklus Replikasi VHB13

2.3.4.3 Patofisiologi Hepatitis B14,15


Penelitian menunjukkan bahwa VHB bukan merupakan virus sitopatik. Kelainan sel
hati yang diakibatkan oleh infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap
hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan akhir mengeliminasi VHB tersebut.
Seperti yang sudah disebutkan dalam pendahuluan, hepatitis B dapat berkembang
secara akut dan kronis. Apabila eliminasi VHB dapat berlangsung secara efisien,
maka infeksi VHB dapat diakhiri, namun apabila proses tersebut kurang efisien, maka
akan terjadi infeksi VHB yng menetap. Proses eliminasi yang tidak efisien
dipengaruhi oleh faktor virus maupun pejamu. Adapun faktor viral dan pejamu
sebagai berikut:
Tabel 1. Faktor virus dan faktor pejamu yang mempengaruhi respon imun8
Faktor Virus Faktor pejamu
- Toleransi imun terhadap produk VHB - Genetik
- Hambatan terhadap sel T sitotoksik - Rendahnya produksi IFN
yang berfungsi melisis sel terinfeksi - Adanya antibodi terhadap antigen
- Terjadinya mutan VHB yang tidak nukleokapsid
memprodusi HBeAg - Kelainan fungsi limfosit
- Integrasi genom VHB dalam sel hati - Faktor kelamin atau hormonal

2.3.4.3.1 Hepatitis B Akut14,15


Pada hepatitis B akut melibatkan respon imun humoral dan selular. VHB bereplikasi
didalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat sitopatik, sehingga yang
membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinis bukan disebabkan oleh virus
melainkan karena respon imun yang dihasilkan oleh tubuh. Pada kasus hepatitis B
akut, respon imun tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar yang terkena infeksi
VHB, sehingga terjadi nekrosis pada sel yang mengandung VHB dan muncul gejala
klinik yang kemudian diikuti kesembuhan. Pada sebagianpenderita, respon imun tidak
berhasil menghancurkan sel hati yang terinfeksi sehingga VHB terus menjalani
replikasi.
Pada infeksi primer, proses awal respon imun terhadap virus sebagian besar belum
dapat dijelaskan. Diduga, awal respon tersebut berhubungan dengan imunitas innate
pada liver mengingat respon imun ini dapat terangsang dalam waktu pendek, yakni
beberapa menit sampai beberapa jam. Terjadi pengenalan sel hepatosit yang terinfeksi
oleh natural killer cell (sel NK) pada hepatosit maupun natural killer sel T (sel NK-
T) yang kemudian memicu teraktivasinya sel-sel tersebut dan menginduksi sitokin-
sitokin antivirus, termasuk diantaranya interferon (terutama IFN-α). Kenaikan kadar
IFN-α menyebabkan gejala panas badan dan malaise. Proses eliminasi innate ini
terjadi tanpa restriksi HLA, melainkan dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T
yang terangsang olehadanya IFN-α.
Dalam Textbook of Gastroenterology, juga disebutkan peran imunitas innate dalam
mengaktivasi imunitas adaptif yang terdiri dari respon humoral dan seluler. Respon
humoral bersama-sama dengan antibodi akan mencegah penyebaran virus dan
mengeliminasi virus yang sudah bersirkulasi. Terdapat eliminasi virus intrasel tanpa
kerusakan pada sel hati dengan mekanisme non-sitolitik yang diperantarai aktivitas
sitokin. Antibodi IgM akan terdeteksi pertama kali dan menjadi marker pada infeksi
akut. Lebih lanjut, pada studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar , juga
disebutkan fase awal infeksi viral ditandai dengan adanya produksi sitokin, interferon
tipe 1 (IFN)-α/β dan aktivasi sel natural-killer. Studi tersebut juga menemukan
munculnya sel T CD8+ cenderung tidak langsung membunuh hepatosit yang
terinfeksi, melainkan mengontrol replikasi virus melalui mekanisme IFN-γ dependen.
Untuk proses eradikasi lebih lanjut, dibutuhkan respon imun spesifik yaitu aktivasi
sel limfosit T dan B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan
pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dengan dibantu rangsangan
sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida
VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi
virus dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa berupa nekrosis sel
hati yang dapat meningkatkan kadar ALT. Respon imun yang pertama terjadi sekitar
10 hari sebelum terjadi kerusakan sel hati. Respon imun tersebut muncul terhadap
antigen pre-S, disusul respon terhadap HBcAg sekitar 10 hari kemudian. Respon yang
terkuat adalah respon
terhadap antigen S yang terjadi 10 hari sebelum kerusakan sel hati.
Pada infeksi akut hepatitis B dapat terjadi peningkatan respon imun seluler yang
spesifik dan signifikan, sedangkan pada infeksi kronis individu yang terinfeksi
memiliki respon anti-HBV yang rendah. Sel efektor yang predominan menginfiltrasi
hepatoseluler adalah makrofag. Imunitas cell-mediated dapat mencetuskan
peningkatan respon imun yang bertujuan menghilangkan virus, namun di satu sisi
respon imun yang tidak adekuat dapat menyebabkan jejas hepatoseluler yang kronis.
Limfosit T sitotoksik akan berinteraksi dengan target utama melalui reseptor HBV-
specific T-cell dan molekul antigen presenting HLA class I pada hepatosit dan
menyebabkan apoptosis hepatosit. Dengan mensekresi sitokin (termasuk diantaranya
interferon), limfosit T sitotoksik akan menginduksi berbagai sel antigen-nonspecific
inflammatory ke dalam liver, dan menghasilkan jejas nekroinflamasi pada liver.
Berikut mekanisme inflamasi pada hepatitis B
Gambar 4. Mekanisme inflamasi pada hepatitis B15

2.3.4.3.2 Hepatitis B Kronis14,15


Pada hepatitis B akut, tubuh berusaha mengeliminasi VHB baik dengan
mekanisme innate maupun spesifik, serta non-sitolitik seperti yang telah dijelaskan di
atas. Eliminasi virus melalui respon spesifik akan memunculkan produksi antibodi
seperti anti-HBs, anti-HBc, dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah menetralkan
partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Infeksi kronis VHB
bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Bila proses eliminasi virus
berkangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut
kurag eifisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Persistensi infeksi VHB
disebabkan oleh adanya respon imun yang tidak efisien oleh faktor viral maupun
pejamu.
Faktor virus dapat berupa terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan
terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel yang terinfeksi, terjadinya
mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom
sel hati.
Faktor pejamu dapat berupa faktor genetic, kurangnya produksi IFN, adanya antibody
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor
kelamin atau hormonal.
Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HBsAg
positif sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis B kronik, sedangkan hanya 5%
individu dewasa yang mendapat infeksi yang akan mengalami persisten infeksi.
Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang berbeda,
tergantung dari konsentrasi partikel VHB dan respon imun tubuh terhadap VHB,
sangat besar perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar
respon imun tubuh terhadap virus makin besar pula kerusakan jaringan hati,
sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan
hati.
Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronik yaitu fase
imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clereance, dan fase nonreplikatif
atau fase residual.
Pada masa anak-anak hingga dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB
sehingga konsentrasi virus dalam darah sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi
peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif
dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti HBe negatif, titer DNA
VHB tinggi dan konsentrasi ALT relative normal. Fase ini disebut fase
imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg
secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HbeAg biasanya tidak
efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persisten VHB akibat terjadinya replikasi
VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan
konsentrasi ALT. pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap
VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif atau immune clereance. Pada fase ini tubuh
berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang
terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan
maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya sekitar 70% dari individu tersebut
akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa kerusakan sel yang
berarti. Pada kedaan ini titer HBsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif dan
anti-HBe yang menjadi positif secara spontan,serta konsentrasi ALT normal yang
menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien
hepatitits B kronik dalam fase residual dapat emngalami reaktivasi dan menyebabkan
kekambuhan. Pada sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi
serokonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah teerjadi sirosis. Hal ini
disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan
yang berulang- ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual,
replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa
angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan
pasuen HBeAg positif. Penelitian ini menunjukkkan bahwa setelah infeksi hepatitis B
menjadi tenang justru resiko untuk terjadi karsinoma hepatoselular (KHS) mungkin
meningkat. Diduga integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses
yang penting dalam karsinogenesi. Karena itu terapi anti viral harus diberikan selama
mungkin untuk mencegaj sirosis tapi disamping itu sedini mungkin untuk mencegah
integrasi genom VHB dalam sel hati yang dapat berkembang menjadi KHS.

Studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar juga menemukan keadaan aktivasi sel T
sitotoksik yang menurun akan menstimulasi tipe-tipe sel lain secara terus menerus,
hal ini dapat menjelaskan terjadinya inflamasi kronis yang persisten pada infeksi
hepatitis B kronis. Persistensi infeksi VHB juga dapat disebabkan adanya mutasi pada
daerah precore DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg, sehingga
menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB. Interaksi antara VHB dan respon
imun tubuh terhadap VHP sangat berperan dalam derajat keparahan hepatitis. Makin
besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati dan
sebaliknya.

2.3.4.4 Manifestasi Klinis Hepatitis B


2.3.4.4.1 Hepatitis B Akut8
Manisfestasi kinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Kondisis
asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis
akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus
yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat.
Gejala hepatitis akut terbagi menjadi 4 tahap yaitu :
1) Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejalan atau icterus.
Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.
2) Fase Prodormal
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus.
Awitannya singkat atau insidious ditandai dengan malaise umum, myalgia,
artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran
kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengn aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.

3) Fase Icterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase icterus tidak terdeteksi. Setelah
timbul icterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4) Fase Konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya icterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegaly
dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin
lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant

2.3.4.4.2 Hepatitis B Kronik8


Hepatitis B kronik merupakan peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam bulan
sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Gambaran klinis hepatitis B kronik sangat
bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatan keluhan maupun gejaka dan
pemeriksaan faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegaly
atau bahkan splenomegaly atau tnada-tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya
eritema palmaris dan spider nevi, serta pada peneriksaan laboratorium didapatkan
kenaikan kadar ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya
didapatkan kadar bilirubin normal. Kadar albumin serumnya umumnya masih normal
kecuali pada kasus-kasus yang parah.
Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B Kronik dapat dikelompokkan menjadi
2 yaitu:
1) Hepatitis b kronik yang masih aktif (Hepatitis B Kronik Aktif). HBsAg positif
dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT yang
menetap atau intermiten. Pada psien sering didapatkan tanda-tanda penyakit hati
kronik. Pada biopsy hati didapatkan gambaran peradangan yang aktif. Menurut
status HBeAg pasien dikelompokkan menjadi hepatitis b kronik HBeAg positif
dan hepatitis b kronik HBeAg negatif.
2) Carrier VHB Inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada sekelompok ini HBsAg
positif dengan tite DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 105 kopi/ml. pasien
ini menunjukkan kadar ALT normal dan tidak didaptkan keluhan. Pada
pemeriksaan histologi tedapat kelainan jaringan minimal. Sering sulit
membedakan hepatitis b kronik HBe negatif dengan pasien carrier VHB inaktif
karena pemeriksaan DNA kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin.
Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan ALT berulang kalu untuk waktu
yang cukup lama.

2.3.4.5 Diagnosa Hepatitis B


Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi seperti
pernah transfuse, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik
didaptkan hepatomegali. Pemeriksaan penjunjang terdiri dari pemeriksaan
laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar. Pemeriksaan laboratorium pada VHB
terdiri dari pemeriksaan biokimia. Serologis dan molekuler.Pemeriksaan USG
abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar dapat
menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.
2.3.4.5.1 Pemeriksaan Serologi16
1) HBsAg ( Hepatitis B surface Antigen )
HBsAg disintesa dalam sitoplasma sel hati dalam jumlah besar, jauh melebihi
partikel core yang diproduksi dalam nukleus.HBsAg timbul selama masa inkubasi.
merupakan penanda infeksi yang pertama kali muncul dalam darah. Dalam
perjalanan infeksi VHB ada saat – saat ketiga partikel tersebut bisa ditemukan
dalam darah secara bersamaan .pada infeksi VHB akut keadaan tersebut bisa
dijumpai pada saat munculnya gejala hepatitis, sedangkan pada infeksi hepatitis
kronis hal ini terjadi pada fase reflikasi. Biasanya 1 – 6 minggu sebelum penyakit
menunjukkan gejala klinis , dan menghilang selama masa penyembuhan.sekitar 5
– 10% pasien , HBsAg menetap didalam darah yang lebih dari 6 bulan setelah
infeksi menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier .
Sub tipe HBsAg :
1. Adw
2. Adr
3. Aym
4. Ayr
Sekarang ada tambahan sub tipe baru , yaitu ayw 1, ayw 4, adw 2, adw 4, adrq -
,adrg + Arti perbedaan subtipe HBsAg untuk kepentingan VHB sendiri sampai
sekarang belum diketahui. Namun ,secara praktis subtype HBsAg ini dipakai
untuk mempelajari epidemiologi VHB antara lain dengan melihat distribusi
geografi subtipe HBsAg ini. Didapatkannya HBsAg dalam darah seorang individu,
menunjukkan bahwa ia kemungkinan besar mengidap VHB sehingga berpotensi
menularkannya ke individu lain. Ditemukannya HBsAg pada seorang individu ,
merupakan petunjuk sebagai pengidap HBsAg yang berada dalam salah satu tahap
infeksi VHB :
1. Tahap infeksi akut
2. Tahap infeksi kronis
3. Tahap carrier (HBsAg menetap lebih dari 6 bulan)
2) ANTI HBs
Merupakan antibodi spesifik untuk HBsAg , umumnya adalah suatu antibodi jenis
Ig G yang timbul pada tahap konvalensi infeksi VHB, atau timbul setelah kontak
dengan HBsAg dalam bentuk vaksin. Antibodi ini baru muncul setelah HBsAg
hilang. Periode antara HBsAg menjadi negatif dan saat munculnya anti HBs
dikenal sebagai window period ( beberapa minngu). Anti HBs yang positip
menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan telah kebal terhadap infeksi
VHB baik yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami atau setelah dilakukan
imunisasi hepatitis B. Kadar Anti-HBs jarang mencapai kadar tinggi dan pada 10-
15% pasien dengan Hepatitis B akut tidak pernah terbentuk antibodi VHB alami
atau setelah dilakukan imunisasi hepatitis B. Merupakan antibodi protektif
terhadap infeksi VHB, baik merupakan hasil infeksi VHB maupun hasil vaksinasi
3) HBcAg
Merupakan bagian partikel core (nukleokapsid) virus B .dalam keadaan biasa tidak
dapat dideteksi dalam darah. Dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi dan
menggambarkan adanya reflikasi VHB yang aktif.
HBcAg akan segera dinetralisasi oleh anti-HBc. Antibodi terhadap HBcAg akan
muncul setelah HBsAg muncul, tetapi sebelum meningkatnya ALT dan tetap
positif dalam serum selama pasien masih sakit dan setelah mengalami
penyembuhan. Karena itu maka anti-HBc dapat dipakai sebagai petunjuk
epidemiologik adanya infeksi VHB. Pada infeksi akut VHB akan muncul IgM
antibodi terhadap VHB dan secara bersamaan juga muncul IgG dalam dosis
rendah yang akan meningkat setelah terjadi kesembuhan
4) Anti HBc
Antibodi terhadap protein core. Biasanya timbul pada saat timbulnya gejala klinis.
Pada infeksi akut, anti – HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah HBsAg
terdeteksi dan akan menetap selama ± 6 bulan. Pemeriksaan anti – HBc IgM
penting artinya untuk diagnosis infeksi akut,terutama bila HBsAg tidak terdeteksi.
anti HBc IgG muncul sebelum anti – HBc IgM menghilang dan akan menetap
dalam jangka waktu lama antibodi ini merupakan petanda infeksi kronis. Dengan
demikian anti HBc merupakan petanda serologis yang sensitif untuk deteksi para
individu yang pernah terjangkit infeksi VHB pada masa lampau (baik nyata secara
klinis maupun yang asimtomatis).
5) HBeAg
HBeAg merupakan peptide yang berasal dari core virus. ditemukan hanya pada
serum dengan HBsAg positip merupakan bagian dari core VHB. Oleh karena itu
HBeAg lebih menunjukkan terjadinya replikasi virus dari seorang individu HBsAg
positip. HBeAg timbul dalam waktu pendek, dan bila HBeAg tetap positip lebih
dari 10 minggu akan menjadi kronis. Pada hepatitis akut, HBeAg merupakan
petanda serologik yang sudah tampak pada fase dini, kira- kira 1 minggu setelah
HBsAg positip. HBeAg timbul bersamaan dengan dihasilkannya virus DNA
polymerase. HBeAg biasanya menghilang lebih cepat dari HBsAg, yaitu pada saat
atau secepatnya aktivitas serum transaminase mencapai puncak. keadaan segera
diikuti timbulnya anti HBe, yang berarti penyakit mulai reda dan penderita akan
cepat sembuh dan tidak akan menjadi pengidap HBV menahun. HBeAg diduga
merangsang imunotoleransi terhadap VHB sendiri. HBeAg menghambat
pengeluaran interferon. Kurangnya interferon dapat dilihat pada pengidap kronik
VHB, dimana kurangnya interferon akan disertai dengan kurangnya ekspresi
molekul MHC dan tidak adanya sel T pada permukaan sel hati. Adanya mutasi
pada region pre-core dari region C pada ORF dari VHB akan menyebabkan
kesukaran mengartikan hasil pemeriksaan HBeAg dan anti-HBe yang
menyebabkan sukarnya sistem imun tubuh host untuk mengeliminasi VHB, karena
adanya toleransi sistem imun dengan akibat terjadinya infeksi kronik VHB atau
hepatitis fulminan.
6) Anti HBe
Antibodi yang timbul terhadap HBeAg. positipnya anti HBe menunjukkan bahwa
VHB ada dalam fase nonreplikatif. Serokonversi dari HBeAg menjadi anti HBe
biasanya pada puncak gejala klinik sehingga terjadi penyembuhan. berbeda dengan
anti – HBc atau anti – HBs yang bertahan lama, anti HBe anya hilang setelah
beberapa bulan atau tahun.
7) DNA VHB
Bagian core dari VHB mengandung VHB DNA spesifik , dan enzim DNA
polymerase. VHB DNA spesifik berbentuk lingkaran dengan struktur yang khas,
yaitu berupa rantai ganda (double stranded), dan sebagian pula berupa untai
tunggal (single stranded). Enzim DNA polymerase merupakan enzim yang
kerjanya tergantung pada DNA , dan berfungsi sebagai pelengkap untai tunggal
DNA. Positipnya DNA dalam serum menunjukkan adanya partikel VHB utuh
(Partikel Dane) dalam tubuh penderita . DNA VHB adalah petanda jumlah virus
yang paling peka DNA VHB berperan untuk menilai replikasi VHB, menentukan
indikasi terapi dan menilai hasil terapi.
Gambar 5 Serologi infeksi akut hepatitis B16

Gambar 6. Serologi infeksi kronik hepatitis B16


Gambar 7. Profil serologis dan status hepatitis B16

2.3.4.5.2 Pemeriksaan Biokimia16


Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat > 10 kali nilai
normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit, peningkatan Alkali
Fosfatase (ALP) > 3 kali nilai normal, dan kadar albumin serta kolesterol dapat
mengalami penurunan. Stadium kronik VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali
menurun hingga 2 – 10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin
meningkat.
2.3.4.5.3 Pemeriksaan molecular16
Pemeriksaan molekuler menjadi standard pendekatan secara laboratorium
untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma. Pengukuran
kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan prognosis,
dan monitoring efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaan molekuler antara lain :
a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu paruh pendek
dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur kerjadan limbahnya.
b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik hibridisasi yang
lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop karena sistem deteksinya
menggunakan substrat chemiluminescence.
c. Amplifikasi signal (metode branched DNA / bDNA) bertujuan untuk menghasilkan
sinyal yang dapat dideteksi hanya dari beberapa target molekul asam nukleat.
d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah dikembangkan
teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA VHB. Amplifikasi DNA dan
kuantifikasi produk PCR terjadi secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi
tertutup (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat
mendeteksi kadar VHB DNA sampai dengan 102 kopi/mL, tetapi hasil dari
pemeriksaan ini harus diinterpretasikan dengan hati – hati karena ketidakpastian
arti perbedaan klinis dari kadar VHB DNA yang rendah. Berdasarkan pengetahuan
dan definisi sekarang tentang hepatitis B kronik, pemeriksaan standar dengan batas
deteksi 105-106 kopi/mL sudah cukup untuk evaluasi awal pasien dengan
Hepatitis B kronis. Untuk evaluasi keberhasilan pengobatan maka tentunya
diperlukan standar batas deteksi kadar VHB DNA yang lebih rendah dan pada saat
ini adalah yang dapat mendeteksi virus sampai dengan < 104 kopi/mL.
2.3.4.6 Metode Pemeriksaan Hepatitis B
2.3.4.6.1 ELISA17
Enzim-Linked immune sorbent assay (ELISA) atau dalam bahasa Indonesianya
disebut sebagai uji penentuan kadar immunosorben taut-enzim, merupakan teknik
pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen.
Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk
mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam
pendeteksian antibodi IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi infeksi. Prinsip dari
pemeriksaan ELISA adalah reaksi antigen-antibodi ( Ag – Ab ) dimana setelah
penambahan konjugat yaitu antigen atau antibodi yang dilabel enzim dan substrat
akan terjadi perubahan warna. Perubahan warna ini yang akan diukur intensitasnya
dengan alat pembaca yang disebut spektrofotometer atau ELISA reader dengan
menggunakan panjang gelombang dan waktu tertentu. Secara umum, pemeriksaan
ELISA melalui 5 tahapan yaitu :
1. Melapisi (coating) well polysterene ELISA plate dengan antigen.
2. Bloking unbound site (antigen non target) untuk mencegah terjadinya false positif.
3. Penambahan antigen primer dalam well.
4. Penambahan antibodi sekunder yang dikonjugasikan dengan enzim.
5. Penambahan substrat yang akan bereaksi dengan enzim dan akan menghasilkan
warna. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi reaksi antara antigen dengan antibodi
(positive reaction).
Pembacaan hasil ELISA dapat dibaca secara kualitatif maupun kuantitatif,
tergantung dari prosedur yang digunakan. Pemeriksaan HBsAg biasanya
menggunakan sajian data secara kualitatif dengan urutan jika HBaAg menunjukkan
hasil positif maka pemeriksaan akan dilanjutkan pada pemeriksaan HBcAg atau
HBeAg untuk mendiagnosa perjalanan virus hepatitis B.
2.3.4.6.2 Rapid Test18
`Rapid test merupakan uji dengan medote direct sandwich dengan prinsip pengikatan
antibody monoclonal yang spesifik. Salah satu jenis rapid yang paling banyak
digunakan adalah alat diagnostic berupa stik uji untuk mendeteksi keberadaan antigen
maupun antibodi dalam sampel berupa darah,plasma atau serum. Pada pengujian
rapud keberadaan antigen akan dikenali oleh antibody berlabel dengan membentuk
ikatan antigen - antibody. Prinsip dasarnya adalah adanya pengikatan antara antigen
(HBsAg) dengan antibody (anti-HBs) pada daerah test line. Hasil dari test rapid ini
dilihat dari tingkat kepekatan warna yang dihasilkan dari daya kapillaritas membrane.
Strip test dapat mengetahui kadar HBsAg secara kualitatif berdarkan warna yang
terbentuk. Jika warna yang terbentuk samar-samar atau merah muka maka kadar
HBsAg dampel kurang namun jika warna yang terbentuk adalah merah pekat maka
kadar HBsAg sampel sama atau diatas nilai cut off.
2.3.4.5 Tatalaksana Hepatitis B
2.3.4.5.1 Hepatitis B Akut8
Infeksi virus hepatitis B akut tidak membutuhksn terapi antiviral. Terapi yang
diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar infeksi
hepatitis B akut pada dewasa dapat sembuh spontan. Terapi antiviral dini hanya
diperlukan pada kurang dari 1% kasus, pada kasus hepatitis fulminant atau pasien
yang imunokompromise. Pencegahan terhadap infeksi hepatitis B dilakukan melalui
vaksinasi. Pencegahan infeksi menggunakan imunisasi pasif yaitu pemberian
immunoglobulin tidak mencegah infeksi melainkan mengirangi frekuensi penyakit
klinis.
Vaksinasi hepatitis B terdiri atas partikel HBsAg yang tidak terglikosilasi, namun
tetap tidak dapat dibedakan oleh tubuh dari HBsAg natural. Pemberian vaksinasi
dibedakan menjadi pencegahan sebelum pajanan dan setelah pajanan. Profilaksis
sebelum pajanan terhadap infeksi virus hepatitis B pada umumnya diberikan pada
pekerja kesehatan,pasien hemodialidid dan staf petugas,pengguna obat-obatan jaru
suntik,pasien dengan partner seksual ya lebih dari 1 dan pasien yanh tinggal di area
yang sangat endemic maupun anak-anak yang berumur dibawah 18 tahun yang belum
mendapat vaksinasi.
Pemberian dilakukan secara IM di daerah deltoid sebanyak 3 kali, pada 0,1,, dan 6
bulan dengan dosis bervariasi,tergantung jenis vaksinasi. Pasien dengan kehamilan
tidak menjadi kontraindikasi untuk vaksinasi ini. Pemberian vaksinasi dimulai dari
anak anak pada daerah hiperendemis seperti Asia, menurunkan 10-15 tahun infeksi
hepatitis B dan komplikasinya. Vaksinasi hepatitis B dapat melindungi 80-90%
pasien selama sekurangnya 5 tahun dan 60-80% selama 10 tahun. Booster tidak
direkomendasikan untuk diberikan kecuali dengan pasien dengan sistem
imunokompromise.
Vaksin hepatitis B tersedia dengan nama Recombicax-Hb (Merck) dan Engerix-B
(GlaxoSmithKline). Selain itu terdapat pula kombinasi dengan vaksin lainnya seperti
vaksin hepatitis B beserta dengan Hemophilus Influenza type B dan Neisseria
meningitides dengan nama Comvax, yang diproduksi oleh Merck dan juga kombinasi
dengan hepatitis A (Twinrix) dan difteria dan tetanus toxoid (Pediatrix) yang
diproduksi GlaxoSmithKline
2.3.4.5.2 Tatalaksana Hepatitis B Kronik8,19
Penatalaksanaan hepatitis B secara umum memiliki tujuan untuk eradikasi
infeksi virus hepatitis B melalui vaksinasi, terapi, dan pencegahan transmisi, sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesintasan pasien yang terinfeksi. Terapi juga
diberikan untuk mencegah perkembangan penyakit, progresi penyakit menjadi sirosis,
sirosis dekompensata, penyakit hati lanjut, karsinoma hepatoselular, dan kematian,
sekaligus mencegah terjadinya transmisi virus.Mengacu pada tujuan ini, dapat
ditetapkan beberapa endpoint / target terapi, yaitu target ideal, memuaskan, dan
diinginkan.
Tabel 2.Target Terapi Hepatitis B Kronik
Target Deskripsi
Target ideal (ideal endpoint) Hilangnya HBsAg, dengan atau tanpa
serokonversi anti-HBs.
Target memuaskan (satisfactory Tidak ditemukannya relaps klinis
endpoint) setelah terapi dihentikan pada pasien
HBeAg positif (disertai serokonversi
anti HBe yang bertahan) dan pada
pasien HBeAg negatif.
Target diinginkan (desirable endpoint) Penekanan HBV DNA yang bertahan
selama terapi jangka panjang untuk
pasien HBeAg positif yang tidak
mencapai serokonversi anti HBe dan
pada pasien HBeAg negatif.

Indikasi Terapi Hepatitis B Kronik


Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari empat
kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg, (3) nilai ALT dan
(4) gambaran histologis hati.
Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas yang
paling kuat untuk hepatitis B. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB > 104 kopi/mL
juga memiliki risiko KHS 3-15 kali lipat lebih tinggi daripada mereka yang memiliki
kadar
DNA VHB <104 kopi/mL.
Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peran penting dalam prognosis pasien
dengan hepatitis B kronik. Pasien dengan HBeAg positif diketahui memiliki risiko
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Namun, pada pasien dengan HBeAg
negatif, respon terapi jangka panjang seringkali lebih sulit diprediksi dan relaps lebih
sering dijumpai. Beberapa panduan yang ada telah mencoba membedakan indikasi
terapi hepatitis B berdasarkan status HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif
diindikasikaan memulai terapi pada kadar DNA VHB yang lebih rendah. Kadar ALT
serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun kadar ALT yang
rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase immune tolerant dan akan
mengalami penurunan respon terapi.
Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor respon
yang baik pada pasien dengan hepatitis B. Batasan nilai ALT ditentukan berdasarkan
kadar batas atas nilai normal / upper limit normal (ULN), bukan nilai absolut,
mengingat tidak semua laboratorium di Indonesia menggunakan reagen yang sama,
disamping nilai ini juga dipengaruhi oleh suhu pemeriksaan.
Derajat fibrosis memegang peranan penting dalam dimulainya terapi. Saat ini, metoda
yang paling baik untuk pemeriksaan histologis adalah biopsi hati, prosedur ini tidak
nyaman dan tidak praktis bila digunakan sebagai alat pemantau menggunakan reagen
yang sama, disamping nilai ini juga dipengaruhi oleh suhu pemeriksaan. Biopsi hati
dalam hal ini dapat dilakukan apabila ditemukan fibrosis non signifikan pada
pemeriksaan non invasif, elevasi persisten ALT, usia > 30 tahun, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau karsinoma hepatoselular. Untuk Indonesia, dilakukan
pengambilan angka 30 tahun sebagai batasan didasarkan pada studi yang
menunjukkan bahwa rata-rata umur kejadian sirosis di Indonesia adalah 40 tahun,
sehingga pengambilan batas 30 tahun dirasa cukup memberikan waktu untuk deteksi
dini sirosis.
Secara umum terapi dapat dimulai apabila ditemukan inflamasi sedang – berat
(ditandai dengan hasil biopsi skor aktivitas Ishak >3/18 atau skor METAVIR A2–A3)
atau fibrosis signifikan (ditandai dengan hasil biopsi skor fibrosis METAVIR ≥F2
atau Ishak ≥3, hasil liver stiffness berdasarkan pemeriksaan transient elastography ≥
8 kPa,atau skor APRI ≥ 1,5), terlepas dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien non
sirosis dengan HBeAg positif, pasien non sirosis dengan HBeAg negatif, dan pasien
sirosis.
1. Indikasi terapi pada pasien HBeAg positif adalah sebagai berikut:
a) HBV DNA > 2 x 104 IU/mL dengan kadar ALT >2x batas atas nilai normal /
ULN: dapat dilakukan observasi selama 3 bulan apabila tidak terdapat risiko
kondisi dekompensasi, terapi dapat dimulai apabila tidak terjadi serokonversi.
b) HBV DNA > 2 x 104 IU/mL dengan kadar ALT normal atau 1-2x batas atas
nilai normal / ULN: observasi setiap 3 bulan, terapi dapat dimulai apabila
ditemukan inflamasi sedang – berat atau fibrosis signifikan.
c) HBV DNA < 2 x 104 IU/mL dengan kadar ALT berapapun: observasi setiap 3
bulan, terapi dimulai apabila ditemukan inflamasi sedang – berat atau fibrosis
signifikan, eksklusi penyebab lain apabila ditemukan peningkatan kadar ALT.
Gambar 8. Indikasi Terapi pada Pasien Hepatitis B Kronik HBeAg
Positif non sirosis.

2. Indikasi terapi pada pasien HBeAg negatif adalah sebagai berikut:


a) HBV DNA > 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT >2x batas atas nilai normal /
ULN: dapat dilakukan observasi selama 3 bulan apabila tidak terdapat risiko
kondisi dekompensasi, terapi dapat dimulai apabila tidak terjadi serokonversi.
b) HBV DNA > 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT normal atau 1-2x batas atas
nilai normal / ULN: terapi dapat dimulai apabila ditemukan inflamasi sedang –
berat atau fibrosis signifikan.
c) HBV DNA < 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT lebih dari normal: observasi
setiap 3 bulan, terapi dimulai apabila ditemukan inflamasi sedang – berat atau
fibrosis signifikan, eksklusi penyebab lain apabila ditemukan peningkatan kadar
ALT.
d) HBV DNA < 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT persisten normal: monitor
kadar ALT setiap 3-6 bulan dan HBV DNA setiap 6-12 bulan, terapi dimulai
apabila ditemukan inflamasi sedang – berat atau fibrosis signifikan.
Gambar 9. Indikasi Terapi pada Pasien Hepatitis B Kronik HBeAg
Negatif non sirosis.

Pilihan Terapi
Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang
diterima secara luas, yaitu golongan interferon (pegylated interferon α-2a 90-180 μg 1
kali per minggu, maupun pegylated interferon α-2b 1-1,5 μg/kg 1 kali per minggu)
dan golongan analog nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi
terdiri atas lamivudin 100 mg, adefovir 10 mg, entecavir 0,5 mg, telbivudin 600 mg,
dan tenofovir 300 mg.
Terdapat 2 jenis strategi pengobatan hepatitis B, yaitu terapi dengan durasi terbatas
atau terapi jangka panjang. Terapi dengan analog nukleos(t)ida dapat diberikan
seumur hidup atau hanya dalam waktu terbatas, sementara interferon hanya diberikan
dalam waktu terbatas mengingat beratnya efek samping pengobatan.
Rekomendasi lini pertama untuk terapi hepatitis B kronik saat ini terdiri dari
pegylated interferon, entecavir, atau tenofovir.Pada pasien non sirosis yang
menginginkan terapi untuk jangka waktu tertentu, terapi yang lebih
direkomendasikan adalah Peg-IFN.13 Rekomendasi lini kedua sebagai alternatif
terapi hepatitis B antara lain lamivudin, adefovir, dan telbivudin.

a. Terapi Hepatitis B dengan Analog Nukleosida


Entecavir
Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja dengan
menghambat priming DNA polimerase virus, reverse transcription dari rantai negatif
DNA, dan sintesis rantai positif DNA. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa obat
ini lebih poten daripada lamivudin maupun adefovir dan masih efektif pada pasien
dengan
resistensi lamivudin walaupun potensinya tidak sebaik pada pasien naif. Entecavir
diberikan secara oral dengan dosis 0.5 mg/hari untuk pasien naif dan 1 mg/hari untuk
pasien yang mengalami resistensi lamivudin. Profil keamanan entecavir cukup baik
dengan barrier resistensi yang tinggi. Penelitian jangka panjang pada hewan
menunjukkan peningkatan risiko beberapa jenis kanker, namun diduga kanker-kanker
ini bersifat spesifik spesies dan tidak akan terjadi pada manusia.
Entecavir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut:
1. Pasien hepatitis B naif.
2. Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis.
Entecavir tidak disarankan untuk diberikan pada keadaan sebagai berikut:
1. Pasien hepatitis B yang resisten terhadap entecavir.

Tenofovir disoproxil fumarate (TDF)


Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah precursor tenofovir, sebuah analog
nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan retrovirus. Obat ini awalnya
digunakan sebagai terapi HIV, namun penelitian-penelitian menunjukkan
efektivitasnya sangat baik untuk mengatasi hepatitis B. Tenofovir diberikan secara
oral pada dosis 300 mg/hari. Sampai saat ini masih belum ditemukan efek samping
tenofovir yang berat. Namun telah dilaporkan adanya gangguan ginjal pada pasien
dengan koinfeksi VHB dan HIV
tenofovir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut:
1. Pasien hepatitis B naif.
2. Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis.
Tenofovir tidak disarankan untuk diberikan pada keadaan sebagai berikut:
1. Pasien hepatitis B dengan gangguan ginjal.

Lamivudin
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polimerase virus,
berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan
rantai DNA. Lamivudin (2, 3'-dideoxy-3-thiacytidine) adalah analog nukleos(t)ida
pertama yang pada tahun 1998 diakui sebagai obat hepatitis B. Obat ini berkompetisi
dengan dCTP untuk berikatan dengan rantai DNA virus yang akan menterminasi
pemanjangan rantai tersebut. Lamivudin (LAM) diminum secara oral dengan dosis
optimal 100 mg/hari. Pemberian satu kali sehari dimungkinkan mengingat waktu
paruhnya yang mencapai 17-19 jam di dalam sel yang terinfeksi. Secara umum
lamivudin adalah pilihan terapi yang murah, aman, dan cukup efektif baik untuk
pasien
hepatitis B dengan HBeAg positif maupun negatif. Namun tingginya angka resistensi
dan rendahnya efektivitas bila dibandingkan dengan terapi lain membuat obat ini
mulai ditinggalkan. Walaupun begitu, terapi lamivudin tetap bisa disarankan menjadi
terapi lini pertama di Indonesia dan masih bisa menjadi pilihan utama pada beberapa
kondisi seperti pada sirosis dekompensata atau profilaksis pada pasien yang akan
menjalani kemoterapi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, alasan
ekonomi adalah salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
pilihan terapi.
Ada beberapa strategi yang harus diambil untuk mencegah resistensi terhadap obat
ini. Pemberian terapi sesuai dengan indikasi terapi yang sudah disepakati merupakan
salah satu cara untuk mencegah resistensi. Lamivudin masih bias menjadi pilihan
terapi di Indonesia pada pasien dengan DNA VHB <109 kopi/mL (2 x 108 IU/mL)
(dihapus) dan ALT >2x batas atas normal. Selain itu, bila pada minggu ke-4 pasien
tidak mencapai DNA VHB <104 kopi/mL (2 x 103 IU/mL) atau pada minggu ke-24
tidak mencapai DNA VHB <103 kopi/mL (2 x 102 IU/mL), maka penggantian terapi
harus dipertimbangkan.

Lamivudin dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada:


1. Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, ALT >2x batas atas normal
2. Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai DNA VHB <
2 x 103 IU/mL, serta pada minggu ke- 24 mencapai DNA VHB <2 x 102 IU/mL.
Sebaliknya, lamivudin tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik:
1. Pasien yang sudah resisten terhadap lamivudin, telbivudin, atau entecavir.

Kriteria penghentian terapi analog nukleos(t)ida:


1) Kriteria penghentian terapi analog nukleos(t)ida pada pasien dengan HBeAg
positif tanpa sirosis adalah serokonversi HBeAg dengan DNA VHB tidak
terdeteksi yang dipertahankan paling tidak 12 bulan.
2) Pada pasien HBeAg positif dengan sirosis yang sudah mencapai serokonversi
HBeAg, terapi direkomendasikan untuk dilanjutkan seumur hidup.
3) Pada pasien dengan HBeAg negatif tanpa sirosis, terapi bias dihentikan bila
tercapai hilangnya HBsAg.
4) Pada pasien HBeAg negatif dengan sirosis, terapi direkomendasikan untuk
dilanjutkan seumur hidup.

Kegagalan terapi analog nukleosida:


1) Pada pasien-pasien yang mengalami kegagalan terapi primer atau respon
virologis parsial, masalah kepatuhan minum obat yang baik merupakan hal
pertama yang harus dievaluasi dan diperbaiki bila ada.
2) Apabila kepatuhan minum obat pasien sudah baik namun respon yang
diharapkan masih kurang baik, penggantian ke strategi lain sesuai kecurigaan
resistensi dan pemeriksaan resistensi virus bisa dilakukan.
3) Pada pasien yang mengalami virologic breakthrough, harus selalu dicurigai
adanya resistensi.
4) Pada pasien yang diduga atau terbukti mengalami resistensi terhadap lamivudin
saja, strategi yang bisa digunakan adalah penambahan adefovir, atau penggantian
terapi ke tenofovir.
5) Pada pasien yang yang diduga atau terbukti mengalami resistensi terhadap
adefovir saja, strategi yang bias digunakan adalah penggantian terapi ke
entecavir, atau penggantian terapi ke tenofovir.
6) Apabila pasien terbukti mengalami resistensi terhadap lamivudin dan adefovir,
pilihan yang tersedia adalah penggantian ke tenofovir.
7) Pada pasien yang yang diduga atau terbukti mengalami resistensi terhadap
telbivudin, strategi yang bisa digunakan adalah penambahan adefovir, atau
penggantian ke tenofovir.
8) Pada pasien yang yang diduga atau terbukti mengalami resistensi terhadap
entecavir, strategi yang bisa digunakan adalah penambahan adefovir, atau
penggantian ke tenofovir.
9) Pada pasien yang yang diduga atau terbukti mengalami resistensi terhadap
beberapa jenis obat, strategi yang bias digunakan adalah kombinasi entecavir dan
tenofovir.

b. Terapi Hepatitis B dengan Pegylated Interferon


Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi
dalam pertahanan terhadap virus. IFN-α konvensional adalah obat pertama yang
diakui sebagai terapi hepatitis B kronik sejak lebih dari 20 tahun yang lalu.
Senyawa ini memiliki efek antiviral, immunomodulator, dan antiproliferatif.
Interferon akan mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag.
Selain itu, interferon juga akan merangsang produksi protein kinase spesifik yang
berfungsi mencegah sintesis protein sehingga menghambat replikasi virus. Protein
kinase ini juga akan merangsang apoptosis sel yang terinfeksi virus. Waktu paruh
interferon di darah sangatlah singkat, yaitu sekitar 3-8 jam.Pengikatan interferon
pada molekul polyethilene glycol (disebut dengan pegylation) akan memperlambat
absorbsi, pembersihan, dan mempertahankan kadar dalam serum dalam waktu
yang lebih lama sehingga memungkinkan pemberian mingguan. Saat ini tersedia 2
jenis pegylated interferon, yaitu pegylatedinterferon α-2a (peg-IFN α-2a) dan
pegylated-interferon α-2b (peg- IFN α-2b). IFN konvensional diberikan dalam
dosis 5 MU per hari atau 10 MU sebanyak 3 kali per minggu, sementara Peg-IFN
α2a diberikan sebesar 180 μg/minggu, dan Peg-IFN α2b diberikan pada dosis 1-1.5
μg/kg/minggu. Semua pemberian terapi Interferon diberikan secara injeksi
subkutan. Pada awalnya, terapi Interferon, terutama interferon konvensional
diberikan selama 16-24 minggu, namun pada Peg-IFN, bukti-bukti terbaru
menunjukkan bahwa pemberian Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 μg/minggu
selama 48 minggu ternyata menunjukkan hasil lebih baik daripada pemberian
selama 24 minggu. Panduan-panduan yang terbaru juga sudah menganjurkan
penggunaan Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 μg/minggu selama 48 minggu.Data
terbaru juga ternyata menunjukkan bahwa penggunaan interferon pada pasien
sirosis terkompensasi juga memberikan hasil yang cukup baik.
Bila dibandingkan dengan terapi analog nukleos(t)ida, salah satu keunggulan
terapi interferon adalah tingginya angka hilang atau serokonversi HBsAg. Sebuah
meta analisis yang dipublikasikan barubaru ini menyatakan bahwa terapi Peg-IFN
memiliki angka kemungkinan serokonversi HBsAg yang jauh lebih tinggi daripada
terapi lamivudine. Salah satu prediktor terkuat terjadinya serokonversi ini adalah
adanya serokonversi awal HBeAg (<32 minggu). Respon terhadap terapi
interferon juga dipengaruhi beberapa faktor lain, seperti kadar ALT basal dan
genotip VHB. Terapi interferon bekerja lebih baik pada pasien dengan ALT basal
yang tinggi.Pasien dengan infeksi VHB genotip A dan B juga terbukti memiliki
respon yang lebih baik terhadap interferon bila dibandingkan genotip
lain.Komplikasi dari IFN mencakup gejala ”flulike” yang berat,depresi sumsum
tulang, gangguan emosi, reaksi autoimun, dan reaksireaksi lainnya. Kebanyakan
efek samping ini bersifat reversibel dan akan hilang bila obat dihentikan. Literatur
yang ada menyatakan bahwa efek samping yang serius hanya terjadi pada 2-4%
pasien dan secara umum obat ini dapat ditoleransi dengan baik. Interferon secara
umum memiliki beberapa keuntungan, yaitu waktu pengobatan yang relatif
singkat, respon pengobatan yang baik dan cepat, serta tidak adanya resistensi
terhadap obat ini. Namun interferon memiliki kekurangan berupa efek samping
yang berat, pemberiannya yang melalui suntikan, dan tidak dapat digunakan pada
pasien dengan sirosis dekompensata.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa terapi interferon boleh digunakan pada
pasien dengan karakteristik:
1. Pasien muda yang telah memenuhi indikasi terapi, tanpa penyakit penyerta,
dan memiliki biaya yang mencukupi.
2. Pada pasien yang diketahui terinfeksi VHB genotip A atau B,mengingat
penelitian yang ada telah membuktikan bahwa terapi interferon akan
memberikan efektivitas yang lebih baik pada infeksi VHB dari genotip tersebut.
Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik:
1. Pasien sirosis dekompensata
2. Pasien dengan gangguan psikiatri
3. Pasien yang sedang hamil
4. Pasien dengan penyakit autoimun aktif
Prediktor Respons Terapi Interferon
Terapi hepatitis B kronik menggunakan peg-IFN berpedoman pada parameter klinis
awal sebelum terapi / Baseline Guided Therapy (BGT). Setiap parameter awal akan
memiliki bobot tersendiri yang akan dijumlahkan. Skor yang diperoleh
merepresentasikan kesempatan keberhasilan terapi dengan Peg-IFN. Apabila
diperoleh nilai sebesar 4 poin, maka pasien dapat disarankan untuk terapi
menggunakan Peg- IFN. Umumnya, semakin tinggi kadar HBV DNA, umumnya
respons terapi dapat diprediksi semakin buruk. Sebaliknya, semakin tinggi kadar
ALT, maka respons terapi diprediksi semakin baik

BGT pada HBeAg Positif


Pada kasus HBeAg positif, terdapat 5 parameter yang perlu dinilai, yaitu genotipe,
jenis kelamin, rasio ALT, HBsAg, dan HBV DNA. Sebagai catatan, genotype virus
hepatitis B yang dominan di Indonesia ialah genotipe C dan B.

Tabel 2. BGT PegIFN pada HBeAG positif.


Parameter Nilai Skor
Genotipe Non-A 0
A 2

Jenis Kelamin Laki-laki 0


Perempuan 1

Rasio ALT (x ULN) < 1,5 x ULN 0


1,5 – 4,0 x ULN 1
> 4,0 x ULN 2

HBsAg (IU/mL) > 20.000 IU/mL 0


< 20.000 IU/mL 1

HBV DNA (log 10 IU/mL) > 10 0


> 8-10 1
<8 2

Hubungan antara skor prediktif dan dicapainya respons terapi (serokonversi HBeAg
dan HBV DNA ≤ 2.000 IU/mL) yaitu sebagai berikut:

 Skor prediktif 0-1 : 2 / 43.


 Skor prediktif 2-3 : 38 / 206.
 Skor prediktif 4 : 43 / 131.
 Skor prediktif 5 : 20 / 52.
 Skor prediktif ≥6 : 7 / 11.

BGT pada HBeAg Negatif


Pada kasus HBeAg negatif, terdapat 4 parameter yaitu genotipe, usia, rasio ALT, dan
HBsAg kuantitatif

Tabel 3. BGT PegIFN pada HBeAG negatif


Parameter Nilai Skor
Genotipe Non-C 0
C 2

Usia > 45 tahun 0


30 - 45 tahun 1
< 30 tahun 2
Rasio ALT (x ULN ) < 5 x ULN 0
> 5 x ULN 1

HBsAg (IU/mL) > 3.500 IU/mL 0


1.000 – 3.500 IU/mL 1
< 1.000 IU/mL 2

Hubungan antara skor prediktif dan dicapainya respons terapi (ALT normal dan
HBV DNA < 2.000 IU/mL) yaitu sebagai berikut:
 Skor prediktif 0-1 : 12 / 102.
 Skor prediktif 2-3 : 37 / 128.
 Skor prediktif ≥4 : 26 / 33.

Terapi Pada Penyakit Hati Lanjut


Pada fase immune clearance, sistem imun penderita akan bereaksi melawan
infeksi VHB. Pada penanda biokimia, fase ini ditandai dengan peningkatan ALT
sampai lebih dari lima kali batas atas nilai normal. Semakin tinggi nilai ALT, maka
semakin tinggi aktivitas imun penderita terhadap infeksi VHB. Kerusakan hepatosit
yang terjadi pun semakin ekstensif. Proses ini pada akhirnya dapat mengakibatkan
gagal hati dan dekompensasi hati. Semakin lama fase ini berlanjut, maka semakin
tinggi pula kemungkinan untuk terjadinya penyakit hati yang ireversibel. Studi
menunjukkan pada daerah Asia Pasifik, insidens sirosis pada pasien dengan infeksi
kronik hepatitis B dilaporkan sebanyak 1.0 - 2.4% per tahun. Rasio regresi sirosis
kompensata menjadi dekompensata sekitar 4.6% pertahun dibandingkan dengan
HBeAg positif. Prediktor terjadinya sirosis antara lain mencakup umur pasien dan
replikasi virus yang persisten. Selain itu faktor hepatotoksik independen lain seperti
komsumsi alkohol dan ko-infeksi dengan Virus Hepatitis C (VHC) juga memegang
peranan.
Terapi Pada Sirosis Kompensata Kesintasan 5 tahun pasien dengan sirosis
yang terkompensasi dilaporkan mencapai 80-85%. Rasio ini lebih rendah pada pasien
dengan VHB yang replikatif. Baik terapi dengan interferon maupun analog
nukleos(t)ida menunjukkan penurunan risiko dekompensasi atau KHS dan
peningkatan kesintasan pada kelompok terapi. IFN dan Peg-IFN aman dan efektif
digunakan pada pasien hepatitis B dengan sirosis kompensata yang terkait infeksi
VHB.Terapi IFN pada pasien dengan sirosis viral secara signifikan menurunkan rasio
insiden KHS, tertama pada pasien dengan DNA VHB serum yang tinggi. Peg-IFN
aman digunakan pada pasien sirosis dan fibrosis lanjut yang terkait infeksi VHB.
Efikasinya, bila dinilai dari rasio serokonversi dan kadar DNA VHB serum setelah
terapi, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa sirosis. Penggunaan terapi
berbasis interferon pada pasien sirosis tidak menunjukkan perbedaan dalam hal efek
samping dan risiko dekompensasi tidak lebih tinggi daripada kelompok non-sirosis.
Pada pasien yang mempunyai kontraindikasi atau tidak berespon pada
pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian analog nukleos(t)ida dapat
dipertimbangkan sebagai terapi jangka panjang.Pemberian lamivudin pada pasien
sirosis kompensata terkait infeksi VHB berkaitan dengan supresi muatan virus dan
perbaikan skor Child - Turcotte - Pugh (CTP). Lamivudin juga menghambat progresi
penyakit, menurunkan risiko dekompensasi dan risiko KHS.Namun, resistensi obat
merupakan masalah utama pada lamivudin.Entecavir mempunyai safety profile yang
sama dengan lamivudin namun potensi supresi DNA VHB lebih baik dari lamivudin.
Tenofovir menunjukkan efektivitas terhadap VHB wild type maupun yang resisten
terhadap lamivudin pada pasien dengan sirosis. Tenofovir juga lebih efektif dan lebih
dapat ditoleransi dibandingkan dengan adefovir pada pasien sirosis kompensata yang
terkait infeksi VHB. Walaupun efek samping tenofovir minimal, namun beberapa
kasus insusifiensi renal dan disfungsi tubular dilaporkan pada kelompok pasien yang
menerima pengobatan nefrotoksik multipel. Baik entecavir maupun tenofovir
direkomendasikan pada pasien sirosis kompensata yang tidak dapat menggunakan
terapi berbasis interferon atau tidak memberikan respon terhadap terapi berbasis
interferon.
Secara umum, indikasi terapi pada pasien sirosis adalah sebagai berikut:
 Sirosis kompensata: terapi dapat dimulai apabila terdeteksi HBV DNA pada pasien
dengan kadar ALT meningkat, atau HBV DNA > 2 x 103 IU/mL pada pasien
dengan kadar ALT normal. Pasien dengan sirosis umumnya tidak memerlukan
pemeriksaan derajat fibrosis.
 Sirosis dekompensata: terapi dapat dimulai terlepas dari kadar HBV DNA, status
HBeAg, atau kadar ALT untuk menurunkan risiko perburukan penyakit.
Pemeriksaan derajat fibrosis hati tidak diperlukan. Pemeriksaan HBV DNA tetap
direkomendasikan untuk dikerjakan namun tidak boleh menunda terapi. Terapi
perlu diteruskan hingga seumur hidup. Pertimbangkan transplantasi hati apabila
tidak terjadi perbaikan.
 Reaktivasi berat hepatitis B kronik: terapi dimulai segera.

Gambar 10. Algoritma terapi pasien sirosis

Rekomendasi Berdasarkan PPHI 2017 : Terapi pada pasien hepatitis B dengan


sirosis.
 Terapi pada pasien dengan sirosis kompensata dapat dimulai apabila kadar
HBV DNA > 2.000 IU/mL meskipun dengan ALT normal.
 Terapi sirosis dekompensata dapat dimulai terlepas dari kadar HBV DNA,
ALT, dan status HBeAg.

TERAPI PADA POPULASI KHUSUS


a) Ko-infeksi dengan VHC atau VHD
Tatalaksana pasien infeksi VHB kronik dengan koinfeksi virus hepatitis D
(VHD) atau virus hepatitis C (VHC) sebaiknya disesuaikan dengan virus yang
dominan. Ko-infeksi VHD-VHB berhubungan dengan peningkatan kejadian hepatitis
yang fulminan dan insiden sirosis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
monoinfeksi VHB.142 Begitu juga dengan VHC, ko-infeksi VHC-VHB akan
meningkatkan risiko sirosis dan KHS dibandingkan dengan monoinfeksi VHB.
Peg-IFN adalah satu-satunya obat yang efektif terhadap VHD. Studi yang
menggunakan Peg-IFN 1.5 μg/kg/minggu pada 14 pasien hepatitis delta selama 12
bulan, dengan median pemantauan selama 16 bulan menunjukkan hasil yang cukup
baik.
Pada pasien infeksi VHB kronik, ko-infeksi dengan VHC akan mempercepat
progresifitas penyakit dan meningkatkan risiko terjadinya KHS. Hal ini dikarenakan
baik VHB dan VHC dapat menginfeksi hepatosit secara bersamaan tanpa ada inhibisi
atau intervensi satu sama lain. Supresi replikasi satu virus juga tidak akan
mempengaruhi replikasi virus lainnya. Biasanya, pada ko-infeksi dengan VHC, level
DNA VHB rendah atau tidak terdeteksi dan infeksi VHC lebih berperan dalam proses
kerusakan hepatosit.
Saat ini terapi direct acting antiviral (DAA) merupakan pilihan utama dalam
terapi ko-infeksi VHC dan VHB. Pasca terapi VHC, seiring dengan tidak
terdeteksinya RNA VHC setelah terapi, DNA VHB dapat kembali terdeteksi pada
pasien yang sebelumnya memiliki status DNA VHB tidak terdeteksi. Hal ini
menunjukkan supresi virus VHC dapat menyebabkan reaktivasi DNA VHB pada
pasien ko-infeksi kedua virus tersebut. Pada pasien yang memenuhi kriteria terapi
untuk VHB, dapat diberikan terapi dengan analog nukleosida. Di samping itu,
terdapat pula pertimbangan untuk melakukan profilaksis terapi analog nukleosida
pada pasien koinfeksi VHC-VHB dengan HBsAg positif hingga 12 minggu setelah
terapi DAA. Pada pasien koinfeksiVHB-VHC dengan HBsAg negatif dan anti HBc
positif yang menjalani terapi DAA, perlu dilakukan monitoring dan pemeriksaan
reaktivasi VHB apabila ditemukan elevasi ALT.
Rekomendasi PPHI Terapi hepatitis B pada pasien koinfeksi VHBVHC:
 Terapi VHC dengan DAA pada pasien koinfeksi VHB-VHC dapat menyebabkan
reaktiasi VHB. Pasien yang memenuhi kriteria untuk terapi VHB perlu diterapi
dengan analog nukleosida.
 Pasien koinfeksi VHB-VHC dengan HBsAg positif yang menjalani terapi DAA
perlu dipertimbangkan untuk diberikan profilaksis analog nukleosida hingga 12
minggu setelah terapi DAA.
 Pasien koinfeksi VHB-VHC dengan HBsAg negatif dan anti HBc positif perlu
dimonitor dan dilakukan pemeriksaan reaktivasi VHB apabila ditemukan
peningkatan kadar ALT.

b) Ko-infeksi dengan HIV


Target terapi ko-infeksi HIV-VHB adalah menekan seefisien dan sepersisten
mungkin replikasi VHB dan menghentikan progresifitas penyakit, baik komplikasi
maupun kematian yang terkait dengan penyakit hati. Oleh karena itu, pengobatan
hepatitis B diindikasikan pada semua pasien ko-infeksi HIV-VHB.
Langkah selanjutnya dalam menatalaksana ko-infeksi HIVVHB adalah
mengevaluasi apakah pasien tersebut membutuhkan terapi anti-HIV. Pasien ko-
infeksi HIV-VHB dengan CD4 <500 sel/μl sudah merupakan indikasi terapi anti-
HIV. Pada pasien yang tidak termasuk dalam kriteria indikasi anti-HIV,
rekomendasi APASL, EASL, dan EACS menyebutkan pilihan utama terapi VHB
adalah Peg-IFN atau adefovir, yang diketahui tidak efektif untuk HIV. Khusus
untuk Peg-IFN, terapi hanya dapat diberikan pada kelompok pasien dengan CD4
normal, HBeAg positif, kadar DNA VHB rendah, ALT meningkat, tanpa sirosis
dekompensata. Adapun pemberian entecavir, lamivudin, dan tenofovir monoterapi
pada pasien ko-infeksi dikontraindikasikan karena risiko terjadinya resistensi
HIV.150 Pada pasien HIV positif dengan indikasi terapi anti-HIV, pilihan utama
pengobatan VHB adalah tenofovir dengan lamivudin. Pada pasien dengan VHB
resisten lamivudin, maka regimen terapi anti-HIV harus ditambahkan dengan
tenofovir atau mengganti salah satu NRTI dengan tenofovir. Risiko hepatitis flare
akibat imunorekonstitusi setelah pengobatan anti-HIV harus dipertimbangkan,
terutama pada pasien dengan CD4 <200 sel/mm3. Pada kondisi ini, khususnya
pada pasien dengan DNA VHB tinggi sebelum terapi, disarankan untuk mereduksi
level DNA VHB sebelum dimulai pengobatan anti-HIV untuk mencegah efek
imunorekonstitusi
Rekomendasi PPHI Terapi hepatitis B pada pasien koinfeksi VHB-HIV :
 Tenofovir dan lamivudin adalah terapi pilihan pada koinfeksi VHB/HIV.
 Pada pasien CD4 > 500 yang tidak sedang mengonsumsi ARV, terapi pilihan
adalah Peg-IFN atau adefovir.

c) Wanita Hamil
Wanita usia subur dengan infeksi VHB disarankan untuk menggunakan
kontrasepsi selama pengobatan dan pasien tersebut harus diinformasikan efek
samping dari pengobatan VHB pada kehamilan. Pada wanita hamil yang telah
didiagnosis mengidap infeksi VHB kronik pada awal kehamilan, keputusan
dimulainya terapi harus melihat risiko dan keuntungan pengobatan tersebut.
Pengobatan biasanya dimulai pada pasien dengan fibrosis hepatik atau dengan
risiko dekompensasi. Terapi VHB pada wanita hamil biasanya ditunda sampai
trimester 3 untuk menghindari transmisi perinatal. Peg-IFN dikontraindikasikan
pada kehamilan. Sedangkan lamivudin, entecavir, dan adefovir dikategorikan
dalam pregnancy safety class C. Telbivudin dan tenofovir dikategorikan pregnancy
safety class B. Tenovofir lebih direkomendasikan sebagai terapi karena risiko
resistensi yang rendah.Telbivudin menunjukkan efikasi yang baik dalam supresi
DNA VHB pada trimester 3 kehamilan, studi kasus kontrol menunjukkan insiden
transmisi perinatal lebih sedikit pada pemberian telbivudin yang diikuti dengan
HBIg dan vaksinasi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan HBIg dan
vaksinasi saja (0% vs 8%, p=0.002). Sampai saat ini, masih terdapat kontroversi
tentang kelompok yang mendapat keuntungan paling tinggi dengan pemberian
terapi antiviral selama kehamilan. Namun panduan yang ada menyebutkan batasan
DNA VHB > 2 x 106 IU/mL sebagai indikasi pemberian terapi antiviral. Bila
pasien menjadi hamil pada saat menjalani terapi VHB, maka pengobatan perlu
dievaluasi. Pasien disarankan untuk menghentikan pengobatan, kecuali pada
pasien dengan sirosis dan fibrosis lanjut di mana penghentian pengobatan akan
meningkatkan risiko dekompensasi. Pasien dalam terapi Peg-IFN yang
kemudian hamil, harus mengganti terapinya dengan obat yang lebih aman
(pregnancy safety class B atau C). Wanita hamil yang terapinya dihentikan
berisiko untuk mengalami hepatitis flare, dan disarankan untuk menjalani
pemantauan ketat. Pencegahan transmisi perinatal dapat dilakukan dengan
pemberian HBIg pada fetus dalam 12 jam setelah lahir dikombinasikan dengan
vaksin. Pada waita hamil dengan muatan virus yang tinggi, risiko transmisi
perinatal mencapai >10% walaupun dengan kombinasi HBIg dan vaksinasi.
Karena itu, supresi muatan virus dengan analog nukelos(t)ida pada trimester 3
direkomendasikan untuk mencegah transmisi dan meningkatkan efektivitas HBIg
dan vaksinasi pada fetus. Studi buta acak berganda membuktikan efektifitas
lamivudin pada trimester 3 kehamilan untuk mencegah transmisi perinatal. Wanita
hamil yang diberikan terapi lamivudin pada trimester 3 dikombinasikan dengan
pemberian HBIg dan vaksin pada fetus. Setelah pemantauan selama 52 minggu,
terjadi penurunan insiden seropositivitas HBsAg pada kelompok yang
mendapatkan lamivudin, HBIg, dan vaksin dibandingkan dengan kelompok yang
mendapatkan plasebo, vaksin, dan HBIg (18% vs 39%, p=0.014).154 Tidak ada
bukti yang menyatakan adanya transmisi virus hepatitis B melalui ASI. Pada studi
pemantauan 147 bayi dengan ibu pengidap HBsAg, tidak ada perbedaan jumlah
bayi yang medapatkan HBsAg dan anti-HBs pada kelompok ASI dengan
kelompok susu formula.155 Maka, ibu dengan HBsAg positif masih disarankan
untuk menyusui bayinya. Belum ada studi yang menyatakan keamanan terapi
antiviral pada pasien laktasi, walaupun tenofovir dapaterdeteksi pada ASI dalam
konsentrasi yang rendah. Dalam hal ini, laktasi tidak dikontraindikasikan.

Rekomendasi PPHI Terapi hepatitis B pada pasien wanita hamil :


 Pada pasien usia subur, konseling kontrasepsi dan keluarga berencana penting
untuk didiskusikan.
 Pada pasien hamil dengan DNA VHB > 2 x 106 IU/mL dan atau HBeAg
positif, terapi untuk mengurangi transmisi perinatal dapat dimulai pada
trimester 3 sampai dengan 3 bulan setelah melahirkan, kecuali bila ada indikasi
terapi hepatitis B kronis.
 Tenofovir dapat digunakan pada pasien hamil dengan infeksi VHB, dan
telbivudin dapat digunakan sebagai alternatif.

d) Pasien dengan Terapi Imunosupresi


Reaktivasi replikasi VHB dengan dekompensasi hati pada pasien
imunosupresi dilaporkan pada 20-50% pasien dengan infeksi VHB kronik yang
menjalani kemoterapi atau terapi imunosupresi. Sebuah studi mencoba menilai
reaktivasi pada pasien pengidap inaktif hepatitis B (dengan HBsAg negatif)
dengan keganasan hematologis yang menjalani kemoterapi dengan dosis
konvensional. Tiga puluh persen dari kelompok tersebut ternyata mengalami
reaktivasi dengan rasio kenaikan ALT 2-5 kali batas normal. Pada empat puluh
persen dari pasien yang mengalami reaktivasi, HBsAg tetap positif walaupun
kemoterapi dihentikan.Pada sebuah studi prospektif lain, 44% pasien HBsAg
positif yang menjalani kemoterapi mengalami reaktivasi dengan 3% mengalami
infeksi VHB kronik aktif (DNA VHB tinggi). Prediktor reaktivasi VHB pada
pasien kemoterapi adalah jenis kelamin laki-laki, HBeAg seropositif, dan pasien
dengan limfoma. ALT sebelum terapi, level DNA VHB, bilirubin total, dan
infiltrasi maligna hati tidak berhubungan dengan risiko reaktivasi VHB pada
pasien kemoterapi.
Karena risiko aktivasi yang tinggi ini, maka seluruh pasien yang akan
menjalani kemoterapi disarankan untuk menjalani pemeriksaan HBsAg dan Anti-
HBc. Pada pasien dengan HBsAg positif, pemeriksaan DNA VHB harus dilakukan
dan pasien harus mendapatkan terapi profilaksis sejak 1 minggu sebelum
menjalani kemoterapi sampai 12 bulan setelah kemoterapi. Penggunaan lamivudin
sebagai terapi profilaksis menurunkan risiko reaktivasi VHB serta menurunkan
insiden gagal hati dan kematian yang terkait infeksi VHB. EASL
merekomendasikan pada pasien dengan DNA VHB tinggi atau akan menjalani sesi
kemoterapi yang panjang dan repetitif, antiviral potensi tinggi dengan barrier
resistensi tinggi, seperti entecavir atau tenofovir digunakan sebagai terapi
profilaksis. Anti-HBc harus diperiksa pada kandidat kemoterapi dengan HBsAg
negatif. Bila Anti-HBc positif dengan DNA VHB terdeteksi, maka pasien harus
mendapatkan terapi profilaksis seperti pasien HBsAg positif. Pada pasien dengan
Anti-HBc positif namun DNA VHB tidak terdeteksi, pemantauan ALT dan DNA
VHB selama 1-3 bulan disarankan. Bila terjadi reaktivasi DNA VHB, maka terapi
profilaksis dapat diberikan.
Rekomendasi PPHI Terapi hepatitis B pada pasien dengan terapi imunosupresi :
 HBsAg dan anti HBc perlu diperiksa pada seluruh pasien yang akan menjalani
kemoterapi.
 Bila status HBsAg positif, profilaksis dengan analog nukleosida diberikan 1
minggu sebelum sampai 12 bulan setelah kemoterapi.
 Bila status HBsAg negatif namun anti HBc positif, dilakukan pemeriksaan
DNA VHB. Pasien dengan DNA VHB positif perlu diberikan terapi profilaksis.

e) Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan merupakan salah satu kelompok populasi yang rentan
untuk menularkan atau tertular VHB. Seluruh petugas kesehatan perlu diskrining
untuk menentukan status infeksi VHB, melalui pemeriksaan HBsAg, anti HBs,
dan anti HBc total. Apabila terbukti negatif untuk VHB, petugas kesehatan
tersebut perlu diberikan vaksinasi untuk kemudian didokumentasikan respons
vaksinasinya. Upaya pencegahan lain yang perlu dilakukan adalah kewaspadaan
standar untuk melindungi petugas kesehatan dan pasien. Setiap petugas kesehatan
yang melakukan tindakan prosedur yang berisiko tinggi, perlu dilakukan pelatihan
dan bimbingan oleh komite ahli terkait prosedur yang akan dikerjakan. Dalam hal
ini, infeksi VHB kronik tidak boleh dijadikan larangan bagi pertugas kesehatan
untuk melakukan praktik atau melanjutkan studi. Kelompok pasien ini tidak boleh
diisolasi atau didiskriminasi, melainkan didorong untuk diperiksa dan diterapi.
Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB kronik memerlukan perhatian khusus
karena indikasi antiviral pada petugas kesehatan tidak sama dengan indikasi terapi
pasien infeksi VHB kronik secara umum. Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB
dapat tetap mengerjakan prosedur berisiko apabila memiliki kadar DNA VHB
rendah (< 1000 IU/mL) atau tidak terdeteksi, dibuktikan dengan pemeriksaan tiap
6 bulan. Petugas kesehatan dengan HBsAg positif dan DNA VHB >2000 IU/ml
dapat diberikan antiviral dengan barrier resistensi yang tinggi, seperti entecavir
dan tenofovir. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah transmisi VHB melalui
prosedur medis.
Rekomendasi PPHI Terapi hepatitis B pada petugas kesehatan :
 Infeksi VHB kronik tidak boleh dijadikan larangan bagi petugas kesehatan
untuk melakukan praktik atau melanjutkan studi. Kelompok pasien ini tidak
boleh diisolasi atau didiskriminasikan, melainkan didorong untuk diperiksa dan
diterapi.
 Seluruh petugas kesehatan perlu diskrining untuk infeksi VHB dengan
pemeriksaan HBsAg, anti HBs, dan anti HBc total.
 Seluruh petugas kesehatan yang tidak terinfeksi perlu diberikan vaksin hepatitis
B dengan status imunisasi didokumentasikan.
 Kewaspadaan standar perlu diberlakukan secara ketat untuk petugas kesehatan
dan pasien.
 Petugas kesehatan yang rentan terhadap pajanan perlu diberikan pelatihan oleh
komite ahli terkait prosedur yang akan dikerjakan.
 Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB dapat mengerjakan prosedur yang
rentan menularkan virus apabila memiliki kadar DNA VHB rendah (< 1000
IU/mL) atau tidak terdeteksi, dibuktikan dengan pemeriksaan setiap 6 bulan.

PENCEGAHAN
a) Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan transmisi Hepatitis B.
Saat ini, terdapat dua bentuk imunisasi yang tersedia, yakni imunisasi aktif dan
imunisasi pasif. Imunisasi aktif dicapai dengan memberikan vaksin hepatitis B.
Vaksin Hepatitis B mengandung HBsAg yang dimurnikan. Vaksin hepatitis B
berisi HBsAg yang diambil dari serum penderita hepatitis B yang dimurnikan
atau dari hasil rekombinasi DNA sel ragi untuk menghasilkan HBsAg. Setiap mL
vaksin umumnya mengandung 10- 40 μg protein HBsAg.Vaksin tersebut akan
menginduksi sel T yang spesifik terhadap HBsAg dan sel B yang dependen
terhadap sel T untuk menghasilkan antibodi anti-HBs secepatnya 2 minggu
setelah vaksin dosis pertama. Indikasi pemberian vaksinasi hepatitis B adalah
kelompok individu yang mempunyai risiko terinfeksi hepatitis B diantaranya:
individu yang terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien
cacat mental, pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX, orang
yang berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B,
homoseksual/biseksual aktif, individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B,
individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan
partner seksual multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak
yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik. Vaksin ini dapat diberikan 3 dosis
terpisah, yaitu 0, 1 dan 6 bulan. Perlu dicatat bahwa panduan imunisasi yang
berlaku di Indonesia menyarankan pemberian vaksin pada saat bayi lahir, pada
bulan ke-2, bulan ke-4, dan bulan ke-6.

Pencegahan Umum
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan lewat kontak dengan cairan tubuh
pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, cairan
peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina, dan cairan tubuh
lainnya. Maka pencegahan umum infeksi hepatitis B dicapai dengan menghindari
kontak langsung degan cairan tubuh pasien. Hal ini dapat dicapai dengan
menerapkan pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan penapisan
pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti
menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh pasien,
penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang
benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum
menangani pasien dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga
medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular hepatitis B. Selain itu,
penapisan dan konseling pada kelompok risiko tinggi sebaiknya dilakukan.
Individu yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup individu yang
terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental,
pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII dan IX, orang yang
berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B,
homoseksual/biseksual aktif, individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B,
individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan
partner seksual multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak
yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik.
Pencegahan Khusus
Paska Pajanan Bagi orang yang tidak divaksinasi dan terpajan dengan
hepatitis B, pencegahan paska pajanan berupa kombinasi HBIg (untuk mencapai
kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin hepatitis B (untuk
kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Pada
pasien yang terpajan secara perkutan maupun seksual, status HBsAg dan anti-
HBs sumber pajanan dan orang yang terpajan harus diperiksa. Apabila orang
yang terapajan terbukti memiliki kekebalan terhadap hepatitis B atau sumber
pajanan terbukti HBsAg negatif, pemberian profilaksis paska pajanan tidak
diperlukan. Apabila sumber pajanan terbukti memiliki status HBsAg positif dan
orang yang terpajan tidak memiliki kekebalan, maka pemberian HBIg harus
dilakukan segera dengan dosis 0.06 mL/kg berat badan dan diikuti vaksinasi.
Apabila status HBsAg sumber pajanan tidak diketahui, maka harus dianggap
bahwa status HBsAg sumber pajanan adalah positif. Pada pasien yang
divaksinasi atau mendapat HBIg, HBsAg dan Anti-HBs sebaiknya diperiksa 2
bulan setelah pajanan.

b) Konseling
Konseling dan edukasi berperan penting dalam pencegahan dan penanganan
hepatitis B. Seperti telah disebutkan di atas, keberhasilan terapi hepatitis B akan
menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas. Selain itu, keberhasilan terapi ini
juga dipengaruhi kepatuhan minum obat pasien.
Maka pada setiap pasien hepatitis B, konseling berikut harus diberikan:
 Pasien harus menghindari alkohol sama sekali dan mengurangi makanan yang
memiliki kemungkinan bersifat hepatotoksik.
 Pasien harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu, suplemen, atau obat
yang dijual bebas.
 Pasien harus memberitahukan status hepatitis B-nya apabila berobat ke dokter
untuk menghindari pemberian terapi yang bersifat hepatotoksik dan terapi
imunosupresi.
 Pasien yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani pemeriksaan USG dan
AFP setiap 6 bulan sekali untuk deteksi dini kanker hati.
 Perlu dilakukan vaksinasi pada pasangan seksual.
 Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan pasangan
yang belum divaksinasi.
 Pasien tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur.
 Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang
lain.
 Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma.

Selain kepada pasien konseling juga harus diberikan pada orang-orang yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Pada kelompok ini, konseling berikut
harus diberikan:
 Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit,
gejala umum, terapi, dan komplikasi hepatitis B.
 Cara-cara pencegahan umum infeksi hepatitis B dengan mencegah kontak
dengan cairan tubuh pasien.
 Pengetahuan tentang cara memeriksakan diri untuk status hepatitis B dan
kemungkinan terapi serta jaminan yang ada.
 Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita hepatitis B.
 Konseling untuk meninggalkan gaya hidup berisiko tinggi bila memungkinkan
dan menggunakan prinsip pencegahan penularn yang baik bila gaya hidup
tersebut tidak bisa ditinggalkan.
BAB III
KESIMPULAN

Infeksi hepatitis B dapat terjadi secara akut maupun kronis, hal ini dipengaruhi oleh
faktor virus dan faktor pejamu. Pada infeksi akut hepatitis B, proses imunitas innate
diduga menjadi proses awal yang teraktivasi akibat virus tersebut. Sedangkan infeksi
kronis terjadi akibat adanya imunotoleransi terhadap VHB yang masuk ataupun dapat
disebabkan kelelahan pada sel T akibat konsentrasi partikel virus yang terlalu tinggi.
Proses imun spesifik yang melibatkan sistem imun spesifik memegang peranan dalam
infeksi hepatitis B kronis. Patogenesis dan patofisiologi hepatitis B perlu dimengerti,
terutama untuk mencegah, mendiagnosis dan memberikan terapi yang tepat bagi
penderita penyakit hepatitis B.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis hepatitis. Jakarta Selatan:


Kementerian Kesehatan RI; 2014
2. Arciuolo RJ, Lazaroff JE, Rosen JB, Lim S, Zucker JR. Trends in Hepatitis B
Surveillance Among Pregnant Women in New York City, 1998-2015. Public
Health Reports. 2020 Sep;135(5):676-84.
3. Yulia D. Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2020 Jan 13;8(4).
4. Thoni, Muhammad. HUBUNGAN KADAR HbsAg DENGAN KADAR ENZIM
ALANIN AMINOTRANSFERASE (ALT) PADA PASIEN HEPATITIS B DI
RSUD AMBARAWA. Diss. Universitas Muhammadiyah Semarang, 2017.
5. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC
6. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC
7. Siswanto S, Octavianur E. Epidemiologi Penyakit Hepatitis.2020
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
9. Soemoharjo, Soewignjo. 2008. Hepatitis Virus B. Edisi Kedua. Jakarta:ECG
10. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke-4.
Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003.hlm.178.
11. Hadi S. Gastroenterologi. Edisi ke-2. Bandung: Penerbit Alumni;
2002.hlm.487-516.
12. Pourkarim NR, Verbeeck J, Rahman M, Olyaee AB, Forier AM, Lemey P, et
al. Phylogenetic analysis of hepatitis B virus full-length genomes reveals
evidence for a large nosocomial Outbreak in Belgium. J Clin Virol;
2009;46(1): 61-8
13. Ganem D, Prince A. Hepatitis B virus infection natural history and clinical
consequences. New England Journal Medicine. 2004;350(11):1118-29.
14. Kumar, Ashok and Aurelia Busca. Innate immune responses in hepatitis B
virus (HBV) infection. Virology Journ 2014 11:22
15. Oakes, Kathyrn. Hepatitis B:prevalence and pathophysiology. Nurs Tim 2014
110(7):12-13
16. Sembiring BD, Silitonga HA. IMUNOPATOGENESIS DAN MARKER
VIRUS HEPATITIS B. MAJALAH ILMIAH METHODA. 2018 Aug
31;8(2):31-5.
17. Kim SH. ELISA for quantitative determination of hepatitis B virus surface
antigen. Immune network. 2017 Dec;17(6):451.
18. Robin L, Bouassa RS, Nodjikouambaye ZA, Charmant L, Matta M, Simon S,
Filali M, Mboup S, Bélec L. Analytical performances of simultaneous
detection of HIV-1, HIV-2 and hepatitis C-specific antibodies and hepatitis B
surface antigen (HBsAg) by multiplex immunochromatographic rapid test
with serum samples: a cross-sectional study. Journal of virological methods.
2018 Mar 1;253:1-4.
19. Ningsih AF. Gambaran Kadar Bilirubin Direct Pada Pasien Hepatitis B Di
Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo Tahun 2019 (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS AIRLANGGA).

Anda mungkin juga menyukai