Hepatitis B
Hepatitis B
HEPATITIS B
Hepatitis B
Disusun Oleh :
Lidia Teresia Sinaga, S. Ked
G1A220125
Pembimbing
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Hepar atau hati merupakan organ atau kelenjar terbesar di dalam tubuh,
memiliki berat sekitar 1-2,3 kg atau sekitar 2,5% dari berat badan. Hepar memiliki
struktur yang halus, lunak dan lentur, serta terletak di bagian atas rongga abdomen
yang menempati bagian terbesar regio hipokondrium. Sebagian besar hepar terletak di
bawah arcus costalis kanan dan diaphragma setengah bagian kanan, memisahkan
hepar
dari pleura, paru-paru, perikardium dan jantung. Hepar dibungkus oleh jaringan
fibrosa tipis yang tidak elastis yang disebut capsula fibrosa perivascularis (Glisson)
dan sebagian tertutupi oleh lapisan peritoneum. Dalam keadaan segar, hepar bewarna
merah tua atau kecoklatan yang disebabkan oleh adanya darah yang sangat banyak
dalam organ ini. Hati memiliki permukaan anterior yang cembung dan dibagi menjadi
dua lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus dextra dan lobus
sinistra dengan lobus dextra berukuran 2 kali lobus sinistra. Pada daerah antara
ligament falsiform dengan kantung empedu di lobus dextra dapat ditemukan lobus
kuadratus dan sebuah daerah yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan
ligamentum venosum pada permukaan posterior yang biasanya disebut lobus
caudatus. Secara miskroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000 – 100.000
lobuli, setiap lobules berbentuk heksgonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus
yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel hati terdapat
kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatica.
Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang merupakan sistem
retikuloendotelial dan berfungsi menhancurkan bakteri dan benda asing lain di dalam
tubuh, sehingga hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap
serangan bakteri dan organ toksik.
2.3 Hepatitis B
2.3.1 Definisi1
Hepatitis merupakan suatu proses inflamasi pada hati. Hepatitis disebabkan
oleh banyak hal. Penyebab tersering dari hepatitis adalah infeksi virus.
Hepatitis B adalah peradangan hepar disebabkan virus hepatitis B. Hepatitis
akut apabila inflamasi hepar akibat infeksi virus hepatitis setelah masa inkubasi virus
hepatitis b 30- 180 hari atau 8 – 12 minggu dan disebut hepatitis kronik apabila telah
lebih dari 6 bulan.
2.3.2 Epidemiologi7
Berdasarkan laporan epidemiologi, Hepatitis kurang lebih 400 juta orang di
dunia terinfeksi oleh HBV, dan sekitar 170 juta orang bermukim di Asia pasifik.
Daerah endemik infeksi adalah China, dimana sekitar 93 juta orang terinfeksi 3,
Indonesia merupakan peringkat ketiga setelah China dan India, dengan prevalensi 5-
17%.
Di Indonesia yang merupakan negara daerah tropis dengan jumlah penduduk
terbanyak keempat di dunia, memiliki pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar setelah
Myanmar, dan diantara negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region).
Berdasarkan hasil dari riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji darah donor di
Palang Merah Indonesia (PMI) maka diperkirakan di antara 100 orang penduduk
Indonesia, 10 di antaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C. Sehingga saat ini
diperkirakan terdapat 28 juta penduduk indonesia yang terinfeksi hapatitis B dan C,
14 juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis 1,4 juta
orang berpotensi untuk menderita kanker hati.
2.3.3 Etiologi3
Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (VHB). Virus Hepatitis
B (VHB) termasuk DNA virus, famili Hepadnavirus yang merupakan partikel bulat
berukuran sangat kecil 42 nm atau partikel Dane dengan selubung fosfolipid
(HbsAg). Virus ini merupakan virus DNA dan sampai saat ini terdapat 8 genotip
VHB yang telah teridentifikasi, yaitu genotip A–H. VHB memiliki 3 jenis morfologi
dan mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan HBxAg.
Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi atas 4 subtipe yaitu
adw, adr, ayw, dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebarannya.
Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Virus dengan subtipe ayw
terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Sedangkan Virus dengan subtipe adw dan adr
terjadi di wilayah Malaysia, Thailand, Indonesia. Dan subtype adr terjadi di Jepang
dan China.
2.3.4 Penularan Hepatitis B8
Penularan infeksi VHB dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu penularan horizontal
dan vertikal. Penularan horizontal VHB dapat melalui penularan perkutan, melalui
selaput lendir atau mukosa. Kontak horizontal dapat melalui benda-benda yang biasa
kontak dengan darah atau cairan tubuh manusia, misalnya sikat gigi, alat cukur, atau
alat pemantau dan alat perawatan penyakit diabetes. Risiko juga didapatkan pada
orang yang melakukan hubungan seks tanpa pengaman dengan orang yang tertular,
berbagi jarum saat menyuntikkan obat, dan tertusuk jarum bekas. Selain itu dapat
terjadi penularan yang kebuh rendah seperti melalui kontak dengan karier hepatitis B,
hemodialysis, paparan terhadap pekerja kesehatan yang terinfeksi, alat tindik,
transfuse darah dan donor organ.
Penularan vertikal atau mother-to-child-transmission (MTCT) terjadi jika ibu
hamil penderita hepatitis B akut atau pengidap persisten HBV menularkan ke bayi
yang dikandungnya atau dilahirkannya. Penularan HBV vertikal dapat dibagi menjadi
penularan VHB in-utero, penularan perinatal, dan penularan postnatal.
Virus hepatitis B adalah virus yang berukuran besar dan tidak dapat melewati
plasenta sehingga tidak menginfeksi janin kecuali jika telah ada kerusakan atau
kelainan pada barier maternal-fetal seperti pada amniosintesis. Namun wanita hamil
yang terinfeksi VHB tetap dapat menularkan penyakit kepada bayinya saat proses
kelahiran. Bila tidak divaksinasi saat lahir akan banyak bayi yang seumur hidup
terinfeksi VHB dan banyak yang berkembang menjadi kegagalan hati dan kanker hati
di masa mendatang.
Hepatitis B adalah satu-satunya penyakit menular seksual yang dapat
diproteksi dengan vaksin. Darah bersifat inaktif saat beberapa minggu sebelum
muncul gejala pertama dan selama fase akut. Sifat inaktif pada setiap orang yang
mengalami infeksi kronis bervariasi mulai dari infeksius tinggi (HBeAg positif)
sampai sedikit infeksius (anti-Hbe positif). Semua orang berisiko terinfeksi. Hanya
orang yang telah divaksinasi lengkap atau orang yang punya antibodi anti-HBs atau
telah terinfeksi VHB yang kebal terhadap infeksi VHB. Pasien yang banyak
mengalami infeksi menetap oleh VHB adalah orang dengan immunodefisiensi
kongenital atau dapat termasuk infeksi HIV, orang dengan immunosupresi, dan
pasien yang menjalani terapi obat immunosupresif seperti steroid serta orang yang
menjalani perawatan hemodialisis. Infeksi VHB kronis terjadi pada 90% janin yang
terinfeksi saat kelahiran, 25-50% anak-anak usia 1-5 tahun, dan 1-5%pada anak usia
lebih dari 5 tahun dan dewasa.
2.3.4 Patofisiologi
2.3.4.1 Struktur Genom Virus Hepatitis B9,10,11
Virus hepatitis B dibungkus oleh amplop lipid di bagian luar dan bagian
dalam nukleokapsid berbentuk ikosahedral yang tersusun oleh protein. Virus ini
memiliki tiga antigen spesifik yaitu antigen surface, envelope dan core. Hepatitis B
surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang ditemukan pada
permukaan VHB. Adanya antigen ini menunjukkan infeksi akut atau karier kronis
yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen
spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB. Antigen ini tidak terdeteksi
secara rutin dalam serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit.
Hepatitis B envelope antigen (HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat
hubungannya dengan nukleokapsid VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein
yang larut di serum. Antigen ini timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan
hilang beberapa minggu sebelum HBsAg hilang. Antigen ini ditemukan pada infeksi
akut dan pada beberapa karier kronis.
Pada VHB, terdapat empat open reading frame yang menyandi tujuh
polipeptida. Diantara gen-gen yang dimiliki yaitu gen S dan pre-S yang mengkode
HBsAg dan mempunyai tiga kerangka kodon awal, gen C dan pre-C mempunyai dua
kerangka kodon awal, dan menyandi HBcAg dan ditambah protein HBe yang
diproses menjadi HBeAg, gen P yang mengkode DNA polymerase serta gen X yang
mengkode HBxAg yang berfungsi untuk memacu ekpresi seluruh gen terntentu pada
genom host.
Dengan demikian HBxAg memiliki sifat transaktivasi dan penting untuk replikasi
HBV yang efisien.
Studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar juga menemukan keadaan aktivasi sel T
sitotoksik yang menurun akan menstimulasi tipe-tipe sel lain secara terus menerus,
hal ini dapat menjelaskan terjadinya inflamasi kronis yang persisten pada infeksi
hepatitis B kronis. Persistensi infeksi VHB juga dapat disebabkan adanya mutasi pada
daerah precore DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg, sehingga
menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB. Interaksi antara VHB dan respon
imun tubuh terhadap VHP sangat berperan dalam derajat keparahan hepatitis. Makin
besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati dan
sebaliknya.
3) Fase Icterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase icterus tidak terdeteksi. Setelah
timbul icterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4) Fase Konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya icterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegaly
dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin
lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant
Pilihan Terapi
Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang
diterima secara luas, yaitu golongan interferon (pegylated interferon α-2a 90-180 μg 1
kali per minggu, maupun pegylated interferon α-2b 1-1,5 μg/kg 1 kali per minggu)
dan golongan analog nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi
terdiri atas lamivudin 100 mg, adefovir 10 mg, entecavir 0,5 mg, telbivudin 600 mg,
dan tenofovir 300 mg.
Terdapat 2 jenis strategi pengobatan hepatitis B, yaitu terapi dengan durasi terbatas
atau terapi jangka panjang. Terapi dengan analog nukleos(t)ida dapat diberikan
seumur hidup atau hanya dalam waktu terbatas, sementara interferon hanya diberikan
dalam waktu terbatas mengingat beratnya efek samping pengobatan.
Rekomendasi lini pertama untuk terapi hepatitis B kronik saat ini terdiri dari
pegylated interferon, entecavir, atau tenofovir.Pada pasien non sirosis yang
menginginkan terapi untuk jangka waktu tertentu, terapi yang lebih
direkomendasikan adalah Peg-IFN.13 Rekomendasi lini kedua sebagai alternatif
terapi hepatitis B antara lain lamivudin, adefovir, dan telbivudin.
Lamivudin
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polimerase virus,
berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan
rantai DNA. Lamivudin (2, 3'-dideoxy-3-thiacytidine) adalah analog nukleos(t)ida
pertama yang pada tahun 1998 diakui sebagai obat hepatitis B. Obat ini berkompetisi
dengan dCTP untuk berikatan dengan rantai DNA virus yang akan menterminasi
pemanjangan rantai tersebut. Lamivudin (LAM) diminum secara oral dengan dosis
optimal 100 mg/hari. Pemberian satu kali sehari dimungkinkan mengingat waktu
paruhnya yang mencapai 17-19 jam di dalam sel yang terinfeksi. Secara umum
lamivudin adalah pilihan terapi yang murah, aman, dan cukup efektif baik untuk
pasien
hepatitis B dengan HBeAg positif maupun negatif. Namun tingginya angka resistensi
dan rendahnya efektivitas bila dibandingkan dengan terapi lain membuat obat ini
mulai ditinggalkan. Walaupun begitu, terapi lamivudin tetap bisa disarankan menjadi
terapi lini pertama di Indonesia dan masih bisa menjadi pilihan utama pada beberapa
kondisi seperti pada sirosis dekompensata atau profilaksis pada pasien yang akan
menjalani kemoterapi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, alasan
ekonomi adalah salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
pilihan terapi.
Ada beberapa strategi yang harus diambil untuk mencegah resistensi terhadap obat
ini. Pemberian terapi sesuai dengan indikasi terapi yang sudah disepakati merupakan
salah satu cara untuk mencegah resistensi. Lamivudin masih bias menjadi pilihan
terapi di Indonesia pada pasien dengan DNA VHB <109 kopi/mL (2 x 108 IU/mL)
(dihapus) dan ALT >2x batas atas normal. Selain itu, bila pada minggu ke-4 pasien
tidak mencapai DNA VHB <104 kopi/mL (2 x 103 IU/mL) atau pada minggu ke-24
tidak mencapai DNA VHB <103 kopi/mL (2 x 102 IU/mL), maka penggantian terapi
harus dipertimbangkan.
Hubungan antara skor prediktif dan dicapainya respons terapi (serokonversi HBeAg
dan HBV DNA ≤ 2.000 IU/mL) yaitu sebagai berikut:
Hubungan antara skor prediktif dan dicapainya respons terapi (ALT normal dan
HBV DNA < 2.000 IU/mL) yaitu sebagai berikut:
Skor prediktif 0-1 : 12 / 102.
Skor prediktif 2-3 : 37 / 128.
Skor prediktif ≥4 : 26 / 33.
c) Wanita Hamil
Wanita usia subur dengan infeksi VHB disarankan untuk menggunakan
kontrasepsi selama pengobatan dan pasien tersebut harus diinformasikan efek
samping dari pengobatan VHB pada kehamilan. Pada wanita hamil yang telah
didiagnosis mengidap infeksi VHB kronik pada awal kehamilan, keputusan
dimulainya terapi harus melihat risiko dan keuntungan pengobatan tersebut.
Pengobatan biasanya dimulai pada pasien dengan fibrosis hepatik atau dengan
risiko dekompensasi. Terapi VHB pada wanita hamil biasanya ditunda sampai
trimester 3 untuk menghindari transmisi perinatal. Peg-IFN dikontraindikasikan
pada kehamilan. Sedangkan lamivudin, entecavir, dan adefovir dikategorikan
dalam pregnancy safety class C. Telbivudin dan tenofovir dikategorikan pregnancy
safety class B. Tenovofir lebih direkomendasikan sebagai terapi karena risiko
resistensi yang rendah.Telbivudin menunjukkan efikasi yang baik dalam supresi
DNA VHB pada trimester 3 kehamilan, studi kasus kontrol menunjukkan insiden
transmisi perinatal lebih sedikit pada pemberian telbivudin yang diikuti dengan
HBIg dan vaksinasi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan HBIg dan
vaksinasi saja (0% vs 8%, p=0.002). Sampai saat ini, masih terdapat kontroversi
tentang kelompok yang mendapat keuntungan paling tinggi dengan pemberian
terapi antiviral selama kehamilan. Namun panduan yang ada menyebutkan batasan
DNA VHB > 2 x 106 IU/mL sebagai indikasi pemberian terapi antiviral. Bila
pasien menjadi hamil pada saat menjalani terapi VHB, maka pengobatan perlu
dievaluasi. Pasien disarankan untuk menghentikan pengobatan, kecuali pada
pasien dengan sirosis dan fibrosis lanjut di mana penghentian pengobatan akan
meningkatkan risiko dekompensasi. Pasien dalam terapi Peg-IFN yang
kemudian hamil, harus mengganti terapinya dengan obat yang lebih aman
(pregnancy safety class B atau C). Wanita hamil yang terapinya dihentikan
berisiko untuk mengalami hepatitis flare, dan disarankan untuk menjalani
pemantauan ketat. Pencegahan transmisi perinatal dapat dilakukan dengan
pemberian HBIg pada fetus dalam 12 jam setelah lahir dikombinasikan dengan
vaksin. Pada waita hamil dengan muatan virus yang tinggi, risiko transmisi
perinatal mencapai >10% walaupun dengan kombinasi HBIg dan vaksinasi.
Karena itu, supresi muatan virus dengan analog nukelos(t)ida pada trimester 3
direkomendasikan untuk mencegah transmisi dan meningkatkan efektivitas HBIg
dan vaksinasi pada fetus. Studi buta acak berganda membuktikan efektifitas
lamivudin pada trimester 3 kehamilan untuk mencegah transmisi perinatal. Wanita
hamil yang diberikan terapi lamivudin pada trimester 3 dikombinasikan dengan
pemberian HBIg dan vaksin pada fetus. Setelah pemantauan selama 52 minggu,
terjadi penurunan insiden seropositivitas HBsAg pada kelompok yang
mendapatkan lamivudin, HBIg, dan vaksin dibandingkan dengan kelompok yang
mendapatkan plasebo, vaksin, dan HBIg (18% vs 39%, p=0.014).154 Tidak ada
bukti yang menyatakan adanya transmisi virus hepatitis B melalui ASI. Pada studi
pemantauan 147 bayi dengan ibu pengidap HBsAg, tidak ada perbedaan jumlah
bayi yang medapatkan HBsAg dan anti-HBs pada kelompok ASI dengan
kelompok susu formula.155 Maka, ibu dengan HBsAg positif masih disarankan
untuk menyusui bayinya. Belum ada studi yang menyatakan keamanan terapi
antiviral pada pasien laktasi, walaupun tenofovir dapaterdeteksi pada ASI dalam
konsentrasi yang rendah. Dalam hal ini, laktasi tidak dikontraindikasikan.
e) Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan merupakan salah satu kelompok populasi yang rentan
untuk menularkan atau tertular VHB. Seluruh petugas kesehatan perlu diskrining
untuk menentukan status infeksi VHB, melalui pemeriksaan HBsAg, anti HBs,
dan anti HBc total. Apabila terbukti negatif untuk VHB, petugas kesehatan
tersebut perlu diberikan vaksinasi untuk kemudian didokumentasikan respons
vaksinasinya. Upaya pencegahan lain yang perlu dilakukan adalah kewaspadaan
standar untuk melindungi petugas kesehatan dan pasien. Setiap petugas kesehatan
yang melakukan tindakan prosedur yang berisiko tinggi, perlu dilakukan pelatihan
dan bimbingan oleh komite ahli terkait prosedur yang akan dikerjakan. Dalam hal
ini, infeksi VHB kronik tidak boleh dijadikan larangan bagi pertugas kesehatan
untuk melakukan praktik atau melanjutkan studi. Kelompok pasien ini tidak boleh
diisolasi atau didiskriminasi, melainkan didorong untuk diperiksa dan diterapi.
Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB kronik memerlukan perhatian khusus
karena indikasi antiviral pada petugas kesehatan tidak sama dengan indikasi terapi
pasien infeksi VHB kronik secara umum. Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB
dapat tetap mengerjakan prosedur berisiko apabila memiliki kadar DNA VHB
rendah (< 1000 IU/mL) atau tidak terdeteksi, dibuktikan dengan pemeriksaan tiap
6 bulan. Petugas kesehatan dengan HBsAg positif dan DNA VHB >2000 IU/ml
dapat diberikan antiviral dengan barrier resistensi yang tinggi, seperti entecavir
dan tenofovir. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah transmisi VHB melalui
prosedur medis.
Rekomendasi PPHI Terapi hepatitis B pada petugas kesehatan :
Infeksi VHB kronik tidak boleh dijadikan larangan bagi petugas kesehatan
untuk melakukan praktik atau melanjutkan studi. Kelompok pasien ini tidak
boleh diisolasi atau didiskriminasikan, melainkan didorong untuk diperiksa dan
diterapi.
Seluruh petugas kesehatan perlu diskrining untuk infeksi VHB dengan
pemeriksaan HBsAg, anti HBs, dan anti HBc total.
Seluruh petugas kesehatan yang tidak terinfeksi perlu diberikan vaksin hepatitis
B dengan status imunisasi didokumentasikan.
Kewaspadaan standar perlu diberlakukan secara ketat untuk petugas kesehatan
dan pasien.
Petugas kesehatan yang rentan terhadap pajanan perlu diberikan pelatihan oleh
komite ahli terkait prosedur yang akan dikerjakan.
Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB dapat mengerjakan prosedur yang
rentan menularkan virus apabila memiliki kadar DNA VHB rendah (< 1000
IU/mL) atau tidak terdeteksi, dibuktikan dengan pemeriksaan setiap 6 bulan.
PENCEGAHAN
a) Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan transmisi Hepatitis B.
Saat ini, terdapat dua bentuk imunisasi yang tersedia, yakni imunisasi aktif dan
imunisasi pasif. Imunisasi aktif dicapai dengan memberikan vaksin hepatitis B.
Vaksin Hepatitis B mengandung HBsAg yang dimurnikan. Vaksin hepatitis B
berisi HBsAg yang diambil dari serum penderita hepatitis B yang dimurnikan
atau dari hasil rekombinasi DNA sel ragi untuk menghasilkan HBsAg. Setiap mL
vaksin umumnya mengandung 10- 40 μg protein HBsAg.Vaksin tersebut akan
menginduksi sel T yang spesifik terhadap HBsAg dan sel B yang dependen
terhadap sel T untuk menghasilkan antibodi anti-HBs secepatnya 2 minggu
setelah vaksin dosis pertama. Indikasi pemberian vaksinasi hepatitis B adalah
kelompok individu yang mempunyai risiko terinfeksi hepatitis B diantaranya:
individu yang terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien
cacat mental, pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX, orang
yang berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B,
homoseksual/biseksual aktif, individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B,
individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan
partner seksual multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak
yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik. Vaksin ini dapat diberikan 3 dosis
terpisah, yaitu 0, 1 dan 6 bulan. Perlu dicatat bahwa panduan imunisasi yang
berlaku di Indonesia menyarankan pemberian vaksin pada saat bayi lahir, pada
bulan ke-2, bulan ke-4, dan bulan ke-6.
Pencegahan Umum
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan lewat kontak dengan cairan tubuh
pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, cairan
peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina, dan cairan tubuh
lainnya. Maka pencegahan umum infeksi hepatitis B dicapai dengan menghindari
kontak langsung degan cairan tubuh pasien. Hal ini dapat dicapai dengan
menerapkan pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan penapisan
pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti
menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh pasien,
penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang
benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum
menangani pasien dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga
medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular hepatitis B. Selain itu,
penapisan dan konseling pada kelompok risiko tinggi sebaiknya dilakukan.
Individu yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup individu yang
terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental,
pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII dan IX, orang yang
berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B,
homoseksual/biseksual aktif, individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B,
individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan
partner seksual multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak
yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik.
Pencegahan Khusus
Paska Pajanan Bagi orang yang tidak divaksinasi dan terpajan dengan
hepatitis B, pencegahan paska pajanan berupa kombinasi HBIg (untuk mencapai
kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin hepatitis B (untuk
kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Pada
pasien yang terpajan secara perkutan maupun seksual, status HBsAg dan anti-
HBs sumber pajanan dan orang yang terpajan harus diperiksa. Apabila orang
yang terapajan terbukti memiliki kekebalan terhadap hepatitis B atau sumber
pajanan terbukti HBsAg negatif, pemberian profilaksis paska pajanan tidak
diperlukan. Apabila sumber pajanan terbukti memiliki status HBsAg positif dan
orang yang terpajan tidak memiliki kekebalan, maka pemberian HBIg harus
dilakukan segera dengan dosis 0.06 mL/kg berat badan dan diikuti vaksinasi.
Apabila status HBsAg sumber pajanan tidak diketahui, maka harus dianggap
bahwa status HBsAg sumber pajanan adalah positif. Pada pasien yang
divaksinasi atau mendapat HBIg, HBsAg dan Anti-HBs sebaiknya diperiksa 2
bulan setelah pajanan.
b) Konseling
Konseling dan edukasi berperan penting dalam pencegahan dan penanganan
hepatitis B. Seperti telah disebutkan di atas, keberhasilan terapi hepatitis B akan
menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas. Selain itu, keberhasilan terapi ini
juga dipengaruhi kepatuhan minum obat pasien.
Maka pada setiap pasien hepatitis B, konseling berikut harus diberikan:
Pasien harus menghindari alkohol sama sekali dan mengurangi makanan yang
memiliki kemungkinan bersifat hepatotoksik.
Pasien harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu, suplemen, atau obat
yang dijual bebas.
Pasien harus memberitahukan status hepatitis B-nya apabila berobat ke dokter
untuk menghindari pemberian terapi yang bersifat hepatotoksik dan terapi
imunosupresi.
Pasien yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani pemeriksaan USG dan
AFP setiap 6 bulan sekali untuk deteksi dini kanker hati.
Perlu dilakukan vaksinasi pada pasangan seksual.
Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan pasangan
yang belum divaksinasi.
Pasien tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur.
Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang
lain.
Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma.
Selain kepada pasien konseling juga harus diberikan pada orang-orang yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Pada kelompok ini, konseling berikut
harus diberikan:
Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit,
gejala umum, terapi, dan komplikasi hepatitis B.
Cara-cara pencegahan umum infeksi hepatitis B dengan mencegah kontak
dengan cairan tubuh pasien.
Pengetahuan tentang cara memeriksakan diri untuk status hepatitis B dan
kemungkinan terapi serta jaminan yang ada.
Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita hepatitis B.
Konseling untuk meninggalkan gaya hidup berisiko tinggi bila memungkinkan
dan menggunakan prinsip pencegahan penularn yang baik bila gaya hidup
tersebut tidak bisa ditinggalkan.
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi hepatitis B dapat terjadi secara akut maupun kronis, hal ini dipengaruhi oleh
faktor virus dan faktor pejamu. Pada infeksi akut hepatitis B, proses imunitas innate
diduga menjadi proses awal yang teraktivasi akibat virus tersebut. Sedangkan infeksi
kronis terjadi akibat adanya imunotoleransi terhadap VHB yang masuk ataupun dapat
disebabkan kelelahan pada sel T akibat konsentrasi partikel virus yang terlalu tinggi.
Proses imun spesifik yang melibatkan sistem imun spesifik memegang peranan dalam
infeksi hepatitis B kronis. Patogenesis dan patofisiologi hepatitis B perlu dimengerti,
terutama untuk mencegah, mendiagnosis dan memberikan terapi yang tepat bagi
penderita penyakit hepatitis B.
DAFTAR PUSTAKA