Anda di halaman 1dari 19

Tugas Praktikum Pertemuan ke-1

Penilaian Status Gizi

Disusun oleh :

Adinda Intan Hardiningsih

P07131219026

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
2020
1. Jenis Alat Ukur Berat Badan
A. Timbangan Dacin
Digunakan untuk umur 0-59 bulan.
Sebelum digunakan, periksa dacin dengan seksama, apakah masih dalam kondisi
baik atau tidak. Dacin yang baik adalah apabila bandul geser berada pada posisi
skala 0,0 kg, jarum penunjuk berada pada posisi seimbang. Setelah alat timbang
lainnya (celana atau sarung timbang) dipasang pada dacin, lakukan peneraan yaitu
cara menambah beban pada ujung tangkai dacin, misalnya plastik berisi pasir
(supariasa,2001).
Petunjuk bagaimana cara menimbang balita dengan menggunakan dacin.
Langkah-langkah tersebut dikenal dengan penimbangan, yaitu : (Buku Kader
2005)
1) Menggantungkan dacin pada : a. Dahan pohon; b. Palang rumah, atau
penyangga kaki tiga
2) Memeriksa apakah dacin sudah tergantung kuat. Tarik batang dacin ke bawah
kuat-kuat
3) Letakkan bandul geser pada angka 0 (nol) sebelum dipakai. Batang dacin
dikaitkan dengan tali pengaman
4) Pasanglah celana timbang, kotak timbang atau sarung timbang yang kosong
pada dacin. Ingat bandul geser pada angka 0 (nol)
5) Seimbangkan dacin yang sudah dibebani celana timbang, sarung timbang atau
kotak timbangan dengan cara memasukkan pasir ke dalam kantong plastik.
6) Anak ditimbang, dan seimbangkan dacin
7) Tentukan berat badan anak, dengan membaca angka di ujung bandul geser
8) Catat hasil penimbangan diatas dengan secarik kertas
9) Geserlah bandul ke angka 0 (nol), letakkan batang dacin dalam tali pengaman,
setelah itu bayi atau anak dapat diturunkan.
B. Timbangan Digital

Disebut juga dengan timbangan elektronik. Timbangan ini bekerja dengan cara
mengubah gaya beban suatu benda menjadi sinyal listrik. Nantinya, sinyal listrik
tersebut diubah dalam CPU untuk “menerjemahkan” data. Setelah itu, munculah
angka bobot barang yang Anda timbang pada papan display yang ada di layar LCD.
Persiapan :
1) Pasang baterai pada timbangan digital
2) Letakkan timbangan di permukaan yang keras, rata, dan cukup cahaya
3) Nyalakan timbangan dan pastikan angka yang muncul pada jendela baca adalah
0,0
Cara Penggunaan :
1) Pastikan orang yang ditimbang melepas sepatu atau benda lain yang
memberatkan
2) Berdiri di tengah timbangan, baca dan catat hasil penimbangan dalam kg dan
ons
Cara menimbang anak yang belum bisa berdiri sendiri :
1) Pastikan ibu melepaskan sepatu dan benda lain yang memberatkan
2) Pakaian ibu tidak boleh menutupi jendela baca
3) Minta ibu berdiri di tengah timbangan, baca dan catat berat badan ibu
4) Ibu tetap di atas timbangan dan berikan bayi ke ibu
5) Minta ibu untuk tetap berdiri sampai berat ibu dan bayi muncul di timbangan
6) Berat badan bayi adalah berat badan ibu dan bayi dikurangi berat badan ibu
7) Catat hasil penimbangan dalam kg dan ons

C. Timbangan Analog

Timbangan analog adalah timbangan yang bekerja dengan cara mekanik


menggunakan sistem pegas. Timbangan ini memiliki tampilan khas, yaitu adanya
garis-garis penanda dan jarum kecil yang berfungsi untuk menunjukkan berat suatu
benda.
Ketika sebuah benda di tempatkan di atas permukaan timbangan, nantinya jarum
akan berputar untuk menunjukkan bobot dari benda tersebut. Akan tetapi, garis-garis
penanda yang ada di timbangan analog sering kali terlalu kecil dan rapat, sehingga
beberapa orang mengeluh kesulitan untuk membaca hasil akhirnya.
Cara penggunaan :
1) Letakkan timbangan pada permukaan yang keras dan rata
2) Sesuaikan ukuran timbangan.
Periksa keakuratan timbangan dengan meletakkan benda yang memiliki berat
yang diketahui konsisten (seperti barbel atau sekantong terigu atau gula) di
atasnya. Periksa hasil pembacaannya dan buatlah penyesuaian ukuran jika
diperlukan.
3) Naiklah ke atas timbangan
Naiklah dan tunggu hingga panelnya berhenti bergerak barulah membaca hasil
berat badan.
D. Baby Scale

Digunakan untuk menimbang bayi umur 0-6 bulan.


Persiapan :
1) Letakkan timbangan di tempat yang keras, rata, dan cukup cahaya
2) Berikan alas di atas timbangan
3) Pastikan angka pada jendela baca menunjukkan angka 0

Cara Penggunaan :
1) Letakkan bayi di atas timbangan
2) Baca angka pada jendela baca
3) Catat berat badan bayi

E. Tared Scale

Persiapan:
1) Pastikan timbangan diletakkan di permukaan keras, rata, dan cukup cahaya
2) Pasang baterai pada alat timbang
3) Nyalakan timbangan, pastikan angka yang muncul pada jendela baca adalah 0,0.
Timbangan siap digunakan
Cara menimbang anak yang belum bisa berdiri sendiri
1) Pastikan ibu melepas sepatu dan benda lain yang memberatkan
2) Pakaian ibu tidak boleh menutupi jendela baca
3) Setelah angka berat badan ibu muncul pada jendela baca, usap jendela baca
sampai muncul gambar bayi atau angka 0,0
4) Berikan bayi ke ibu, minta ibu untuk tetap berdiri sampai berat bayi muncul di
jendela baca
5) Catat hasil penimbangan dalam kg dan ons

F. Beam Balance

Persiapan :
1) Letakkan timbangan di tempat keras, rata, dan cukup cahaya
2) Pastikan posisi bandul pada angka 0 dan jarum pada keadaan setimbang
3) Jika jarung belum dalam keadaan setimbang, putar skrup sampai jarum setimbang
Cara penimbangan :
1) Berdiri di atas timbangan, geser bandul sesuai berat sampai posisi jarum
setimbang
2) Baca dan catat berat badan dalam kg dan ons
Cara menimbang anak yang belum bisa berdiri sendiri
1) Pastikan ibu melepas sepatu dan benda yang memberatkan
2) Geser bandul sesuai berat sampai posisi jarum seimbang
3) Catat hasil penimbangan dalam kg dan ons
4) Masih di atas timbangan, berikan bayi ke ibu
5) Geser bandul sesuai berat ibu dan anak sampai posisi jarum seimbang
6) Catat hasil penimbangan dalam kg dan ons
7) Berat badan anak adalah berat badan ibu dan anak dikurangi berat badan ibu
2. Jenis Alat Ukur Panjang dan Tinggi Badan
A. Infantometer

Digunakan untuk anak usia di bawah 24 bulan. Pengukuran dari kepala sampai
telapak kaki. Pengukuran dikakukan oleh 2 orang, 1 pengukur utama dan 1 asisten
pengukur.
Persiapan :
1) Letakkan infantometer pada permukaan yang bidang atau rata
2) Pasang infantometer sesuai urutan yang benar
3) Tarik papan geser maju mundur untuk memastikan tidak ada hambatan
4) Beri alas kain tipis pada bagian kepala untuk kenyamanan bayi
Cara Penggunaan:
1) Pastikan bayi menggunakan pakaian seminimal mungkin dan lepas aksesoris di
bagian kepala yang dapat menghambat proses pengukuran
2) Pengukur utama berdiri di samping anak ubtuk menekan dengan lembut lutut
anak dan memastikan telapak kaki anak rata dengan papan geser, jari kaki anak
menunjuk ke atas
3) Asisten pengukur berdiri di bagian kepala anak untuk memastikan posisi kepala
anak sesuai dengan garis frankfort
4) Bagian atas kepala anak tegak lurus papan dan menyentuh papan ukur
5) Setelah papan geser dipastikan menempel dengan telapak kaki anak, baca panjang
badan
B. Mikrotoa/Microtoise

Digunakan untuk usia 24 bulan atau lebih


Persiapan :
1) Letakkan mikrotoa di lantai yang datar dan menempel pada dinding yang rata
2) Tarik pita meteran tegak lurus ke atas sampai angka pada jendela baca
menunjukkan angka 0
3) Tempelkan ujung pita meteran pada dinding dengan menggunakan paku atau
lakban atau selotip
4) Kurang lebih jarak 50 cm dari ujung pita diberi lakban atau selotip agar tidak
bergerak
5) Geser kepala mikrotoa ke atas
Cara Penggunaan :
1) Posisikan perut dan kaki berdiri dengan tegak dan lurus
2) Bagian belakang kepala, punggung, bokong, betis, dan tumit harus menyentuh
papan atau tembok vertical
3) Pandangan pengukur sejajar dengan wajah yang diukur
4) Posisikan kepala sehingga garis horizontal membentuk garis Frankfort (90)
5) Tarik kepala mikrotoa hingga tepat menyentuh bagian atas kepala
6) Saat membaca hasil pengukuran mata pengukur sejajar dengan jendela baca
7) Baca dan catat hasil pengukuran
3. Masalah Gizi Sesuai dengan Kategori Usia
A. Bayi
1) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
BBLR adalah salah satu masalah gizi pada bayi. Sesuai namanya, kondisi berat
badan lahir rendah ini terjadi ketika bayi yang baru lahir memiliki berat badan
di bawah rentang normal.
Idealnya, bayi baru lahir tergolong memiliki berat badan normal jika hasil
pengukuran ada di rentang 2,5 kilogram (kg) atau 2.500 gram (gr) sampai
dengan 3,5 kg atau 3.500 gr. Jadi, apabila berat badan bayi baru lahir yang
berada di bawah 2.500 gram, menandakan bahwa ia mengalami masalah gizi
berupa BBLR.

Namun, perlu ingat bahwa rentang berat badan normal tersebut berlaku untuk
bayi baru lahir di usia kehamilan 37-42 minggu.

Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDAI), beberapa kelompok berat badan lahir
rendah pada bayi yakni:

 Berat badan lahir rendah (BBLR): berat lahir kurang dari 2.500 gr (2,5 kg)

 Berat badan lahir sangat rendah (BBLSR): berat lahir di rentang 1.000 sampai
kurang dari 1.500 gr (1 kg hingga kurang dari 1,5 kg)

 Berat badan lahir amat sangat rendah (BBLASR): berat lahir kurang dari 1.000
gr (kurang dari 1 kg)

2) Gizi Kurang
Gizi kurang termasuk satu dari beberapa masalah gizi pada bayi yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi dan kebutuhan gizi
harian. Dengan kata lain, asupan harian bayi dengan gizi kurang cenderung
lebih sedikit dan tidak mampu mencukupi kebutuhan tubuhnya.
Berdasarkan Permenkes No. 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak,
bayi termasuk dalam kelompok gizi kurang saat pengukuran berat badan
menurut tinggi badannya berada di bawah normal.
Begini, pengukuran berat badan dan tinggi badan bayi memiliki satuan bernama
standar deviasi (SD). Normalnya, bayi dikatakan memiliki gizi baik saat berat
badan berdasarkan tinggi badannya berada di rentang -2 SD sampai dengan 2
SD. Sementara jika si kecil mengalami gizi kurang, pengukurannya berada di
rentang -3 SD  sampai kurang dari -2 SD.
WHO menjelaskan lebih lanjut bahwa masalah kurang gizi pada bayi dapat
mencakup stunting, wasting, berat badan rendah, hingga kekurangan vitamin
dan mineral. Padahal, mineral dan vitamin untuk bayi termasuk sebagian kecil
zat gizi yang asupannya tidak boleh kurang. Masalah gizi kurang pada bayi
bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan telah terbentuk akibat kekurangan gizi
dalam waktu yang cukup lama.
Bayi yang mengalami gizi kurang bisa saja telah mengalami ketidakcukupan
nutrisi sejak dalam kandungan maupun sejak dilahirkan. Kondisi ini bisa saja
disebabkan oleh asupan gizi bayi yang kurang maupun karena bayi susah
makan.

3) Gizi Buruk
Masalah gizi lainnya pada bayi yakni gizi buruk. Gizi buruk adalah keadaan saat
berat badan berdasarkan tinggi badan bayi berada jauh dari rentang yang
seharusnya.
Permenkes No. 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak menjabarkan
bahwa pengukuran bayi dengan kategori gizi buruk yakni kurang dari -3 SD.
Sama halnya seperti gizi kurang yang mencakup beberapa masalah, gizi buruk
pun demikian. Masalah gizi buruk pada bayi dapat dibagi menjadi kwashiorkor,
marasmus, dan marasmus-kwashiorkor.
Marasmus adalah kondisi gizi buruk karena asupan energi tidak tercukupi.
Kwashiorkor adalah masalah gizi buruk yang disebabkan oleh kurangnya
asupan protein pada bayi. Sementara marasmus-kwashiorkor merupakan
gabungan dari keduanya yakni masalah karena asupan protein dan energi kurang
dari yang seharusnya.

4) Gizi Lebih
Masalah gizi lainnya yang juga bisa dialami bayi yaitu kelebihan gizi.
Kelebihan gizi alias gizi lebih adalah kondisi saat berat badan berdasarkan
tinggi badan si kecil berada di atas rentang normalnya.
Bayi dengan gizi lebih bisa memiliki salah satu dari dua kondisi, yaitu antara
berat badan lebih (overweight) dan obesitas pada bayi.
Bayi dikatakan memiliki berat badan lebih saat pengukurannya berada di
rentang +2 SD sampai +3 SD. Sementara untuk obesitas berbeda dengan gemuk
biasa karena berada di atas pengukuran +3 SD.

5) Stunting
Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada tubuh bayi. Kondisi ini membuat
panjang atau tinggi badan bayi tidak sesuai dengan rata-rata anak seusianya.
Stunting pada bayi bukan hal yang bisa dianggap remeh. Jika tidak segera
diketahui dan ditangani dengan tepat, stunting dapat membuat perkembangan
fisik maupun kognitif bayi terhambat dan kurang optimal di kemudian hari.
Hal ini dikarenakan kondisi bayi yang mengalami stunting umumnya sulit
kembali normal bila sudah terlanjur terjadi.
Penilaian stunting pada bayi dan anak biasanya dilakukan dengan memakai
grafik pertumbuhan anak (GPA) dari badan kesehatan dunia WHO.
Bayi bisa dikatakan mengalami stunting saat hasil pengukuran panjang atau
tinggi badan menunjukkan angka di bawah -2 standar deviasi (SD).
Standar deviasi adalah satuan yang dipakai dalam pengukuran panjang atau
tinggi badan bayi. Masalah gizi stunting pada bayi dapat diakibatkan oleh
berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi gizi ibu saat hamil, kondisi
sosial ekonomi keluarga, asupan gizi bayi, hingga kondisi medis bayi.
Secara lebih rincinya, kondisi kesehatan dan asupan gizi ibu baik sebelum,
selama, maupun setelah kelahiran dapat berpengaruh pada pertumbuhan bayi.
Selain itu, postur tubuh yang pendek, usia yang masih terlalu remaja untuk
hamil, hingga jarak kehamilan yang terlalu dekat juga berisiko membuat bayi
mengalami stunting. Sementara pada bayi, pemberian ASI eksklusif yang gagal
dan penyapihan (pemberian makanan padat) terlalu dini merupakan beberapa
faktor penyebab stunting.

B. Balita
Ada beberapa jenis masalah gizi pada balita di usia 2-5 tahun yang

kerap terjadi di Indonesia, yaitu:

1) Stunting
Stunting adalah kondisi tinggi badan anak jauh lebih pendek dibanding tinggi
badan anak sesuainya. Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis
sejak baik di dalam kandungan, sampai anak usia dua tahun.
Beberapa tahun belakangan, pencegahan stunting sebagai masalah gizi pada balita
sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Bukan tanpa alasan, World
Bank menjelaskan bahwa 8,4 juta anak di Indonesia mengalami perlambatan
pertumbuhan. Antara tahun 2010 sampai 2013, jumlah anak bayi yang stunting di
Indonesia meningkat dari 35,6 persen menjadi 37,2 persen.
Sementara data dari Jurnal Gizi Pangan Institut Pertanian Bogor, anak balita usia
48-59 bulan yang mengalami masalah gizi kategori stunting sebanyak 29,8
persen. Prof. Dr. Endang Achadi, seorang pakar nutrisi dari Universitas Indonesia
mengatakan bahwa tantangan utama dalam mengatasi stunting di Indonesia
adalah menghilangkan anggapan kalau pendek dianggap normal karena alasan
genetik. “Kalau hanya pendek, itu bukan masalah. Namun ketika sampai stunting,
ini membuat proses lain di dalam tubuh menjadi terhambat, seperti perkembangan
otak dan kecerdasan,” tambahnya. 
Dalam Jurnal Gizi dan Pangan dituliskan bahwa proporsi anak laki-laki dan
perempuan yang mengalami stunting, hasilnya tidak jauh berbeda. 51,5 persen
balita yang mengalami stunting adalah perempuan, sedangkan 55,3 persennya
adalah anak laki-laki.

2) Kurang Gizi
Kurang gizi merupakan masalah gizi pada balita dengan kondisi tubuh terlalu
kurus atau terlalu gemuk. Sama seperti obesitas, anak balita yang kekurangan gizi
juga memiliki risiko kesehatan yang buruk.
Pasalnya, kebutuhan zat gizi yang kurang terpenuhi di masa pertumbuhan, bisa
membuat anak lebih mudah sakit dan terkena infeksi di awal kehidupannya. Hal
tersebut bisa berpengaruh pada kesehatan anak ketika ia sudah dewasa. 
Kurang gizi bisa menyebabkan masalah pada si kecil, yaitu:
 Masalah kesehatan jangka pendek dan panjang
 Tubuh kesulitan untuk memulihkan diri ketika terkena penyakit
 Berisiko terkena infeksi
 Sulit fokus ketika menerima pelajaran
Anak balita yang kekurangan gizi biasanya bermasalah dengan asupan vitamin,
mineral, dan kandungan penting lainnya.

3) Obesitas
Menurut Global Nutrition Report tahun 2014, Indonesia merupakan salah satu
dari 17 negara yang memiliki tiga masalah gizi pada balita yang bertolak
belakang. Di satu sisi mengalami kekurangan gizi, tapi di sisi lain ada yang
obesitas.
Berbagai permasalahan ini misalnya, stunting, wasting (kurus), dan obesitas atau
gizi berlebih.  Obesitas merupakan kondisi tidak normal karena tubuh memiliki
kelebihan lemak di dalam jaringan adiposa yang bisa mengganggu kesehatan.
Balita usia 2-5 tahun bisa dikatakan obesitas bila grafik pertumbuhannya
menunjukkan tanda di bawah ini, mengutip WHO:
 Kelebihan berat badan ketika berat badan balita > 2 SD di atas garis standar
pertumbuhan WHO
 Obesitas adalah kondisi berat badan balita > 3 SD di atas garis standar
pertumbuhan WHO
Melihat penjelasan di atas, penting untuk orangtua menghitung tinggi dan berat
badan si kecil secara bersamaan agar pertumbuhannya proporsional. Apakah
angkanya sesuai dengan grafik pertumbuhan di usianya atau tidak.
Dengan begitu Anda tidak hanya fokus pada berat anak balita. Jika kebingungan
bagaimana menghitung berat dan tinggi badan ideal si kecil, mintalah bantuan
dokter untuk melakukannya.

C. Anak Sekolah
Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 menyebutkan bahwa masalah gizi
pada anak usia sekolah yang utama hingga saat ini adalah Kurang Energi Protein
(KEP), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A, dan
Anemia Defisiensi Besi (Depkes, 2008).
1) KEP
Malnutrisi energi protein atau kurang energi protein adalah kondisi di mana tubuh
kekurangan makronutrien yang merupakan sumber energi, termasuk protein. Jenis
malnutrisi energi protein yang sering terjadi pada anak-anak adalah kwashiorkor dan
marasmus.
2) GAKY
GAKY adalah semua akibat dari kekurangan yodium pada pertumbuhan dan
perkembangan manusia yang dapat dicegah dengan pemberian unsur yodium.
Yodium adalah elemen esensial bagi manusia dan hewan karena merupakan
unsur penting sintesis hormon tiroid, thyroxine (T4), triiodothyronine (T3).
(Balai penelitian dan pengembangan GAKY, Kemenkes RI, 2012).

3) Kekurangan Vitamin A
Vitamin A adalah jenis vitamin larut lemak yang dikenal baik untuk kesehatan
mata dan membantu perbaikan sel-sel tubuh. Jika tubuh kekurangan vitamin A,
maka akan terjadi beragam masalah kesehatan, seperti gangguan mata, kulit
kering, hingga risiko sulit untuk memperoleh keturunan.
Kekurangan vitamin A bisa terjadi pada siapapun, namun anak-anak dan ibu
hamil lebih berisiko mengalami kondisi ini, terutama yang tinggal di negara-
negara berkembang, termasuk Indonesia. Seseorang bisa mengalami kekurangan
vitamin A karena kurangnya asupan vitamin ini, atau karena adanya gangguan
pada saluran pencernaan yang membuat penyerapan vitamin A menjadi
bermasalah.

4) Anemia defisiensi besi


Anemia dalah penyakit yang juga dikenal sebagai kurang darah. Bukan cuma
orang dewasa, anak-anak juga bisa mengalaminya. Namun, jenis anemia yang
lebih umum terjadi pada anak kecil adalah anemia defisiensi besi. Anemia
defisiensi besi adalah kondisi kurangnya jumlah sel darah merah di bawah batas
normal akibat tubuh kekurangan asupan zat besi. Zat besi adalah nutrisi penting
untuk memproduksi hemoglobin. 
Kekurangan zat besi dapat menggangu kesehatan karena sel darah merah yang
sehat seharusnya mengandung cukup hemoglobin (Hb). Hemoglobin adalah
protein pewarna merah bagi darah yang sekaligus berfungsi membawa oksigen
dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh agar tetap dapat bertahan hidup. 

Ketika seseorang terkena anemia, sel dan jaringan tubuh akan kekurangan
asupan oksigen sehingga memengaruhi kinerja tubuh. Zat besi juga berperan
penting dalam menjaga fungsi otot, menghasilkan energi, dan perkembangan
otak. Akibatnya, anak dengan defisiensi zat besi mungkin mengalami kesulitan
belajar dan masalah perilaku.

D. Remaja
Menteri Kesehatan RI mengungkapkan beberapa masalah kesehatan yang dialami
dan mengancam masa depan remaja Indonesia. Paparan tersebut disampaikan
oleh Plt. Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Pattiselano Robert
Johan, MARS, di dalam sebuah seminar kesehatan dan gizi remaja bertema di
Jakarta yang dihadiri pula oleh Duta Besar Kanada dan Duta Besar Australia serta
Yayasan Mitra Pangan, Gizi dan Kesehatan Indonesia (MPGKI), Selasa pagi
(15/5). Seminar tersebut mengangkat tema “Edukasi dan Kampanye Kesehatan
dan Gizi Remaja Menuju Generasi Tinggi, Cerdas dan Berprestasi”.

1) Remaja Kurang Zat Besi (Anemia)


Salah satu masalah yang dihadapi remaja Indonesia adalah masalah gizi
mikronutrien, yakni sekitar 12% remaja laki-laki dan 23% remaja perempuan
mengalami anemia, yang sebagian besar diakibatkan kekurangan zat besi
(anemia defisiensi besi).

Anemia di kalangan remaja perempuan lebih tinggi dibanding remaja laki-laki.


Anemia pada remaja berdampak buruk terhadap penurunan imunitas,
konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran remaja dan produktifitas.

Selain itu, secara khusus anemia yang dialami remaja putri akan berdampak
lebih serius, mengingat mereka adalah para calon ibu yang akan hamil dan
melahirkan seorang bayi, sehingga memperbesar risiko kematian ibu
melahirkan, bayi lahir prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Anemia dapat dihindari dengan konsumsi makanan tinggi zat besi, asam folat,
vitamin A, vitamin C dan zink, dan pemberian tablet tambah darah (TTD).
Pemerintah memiliki program rutin terkait pendistribusian TTD bagi wanita
usia subur (WUS), termasuk remaja dan ibu hamil.

2) Remaja Harus Sadar Tinggi akan Badan


Remaja Indonesia banyak yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki
tinggi badan yang pendek atau disebut stunting. Rata-rata tinggi anak
Indonesia lebih pendek dibandingkan dengan standar WHO, yaitu lebih
pendek 12,5cm pada laki-laki dan lebih pendek 9,8cm pada perempuan.
Stunting ini dapat menimbulkan dampak jangka pendek, diantaranya
penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan
sistem metabolism tubuh yang pada akhirnya dapat menimbulkan risiko
penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, dan
obesitas.
Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan stunting menjadi salah satu
prioritas nasional guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu menciptakan
manusia Indonesia yang tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas.

3) Remaja Kurus atau Kurang Energi Kronis (KEK)


Remaja yang kurus atau kurang energi kronis bisa disebabkan karena kurang
asupan zat gizi, baik karena alasan ekonomi maupun alasan psikososial seperti
misalnya penampilan.
Kondisi remaja KEK meningkatkan risiko berbagai penyakit infeksi dan
gangguan hormonal yang berdampak buruk di kesehatan.
KEK sebenarnya dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi
seimbang.

4) Kegemukan atau Obesitas


Pola makan remaja yang tergambar dari data Global School Health Survey
tahun 2015, antara lain: Tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian besar remaja
kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering mengkonsumsi
makanan berpenyedap (75,7%). Selain itu, remaja juga cenderung menerapkan
pola sedentary life, sehingga kurang melakukan aktifitas fisik (42,5%). Hal-hal
ini meningkatkan risiko seseorang menjadi gemuk, overweight, bahkan
obesitas.
Obesitas meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi,
penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker, osteoporosis dan lain-lain
yang berimplikasi pada penurunan produktifitas dan usia harapan hidup.
Pada prinsipnya, sebenarnya obesitas remaja dapat dicegah dengan mengatur
pola dan porsi makan dan minum, perbanyak konsumsi buah dan sayur,
banyak melakukan aktivitas fisik, hindari stres dan cukup tidur.

E. Dewasa
1) Kegemukan
Kegemukan alias obesitas adalah penumpukkan lemak yang tidak normal
atau berlebihan di dalam tubuh. Kondisi ini jika dibiarkan terus menerus
dapat memengaruhi kesehatan penderitanya. Ya, kondisi ini tidak hanya
berdampak pada penampilan fisik penderitanya, tetapi juga meningkatkan
risiko dalam kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes, dan tekanan darah
tinggi.

Obesitas adalah salah satu masalah kesehatan terbesar di seluruh dunia.


Selain dapat menyebabkan masalah kesehatan secara fisik, kondisi ini juga
dapat menyebabkan masalah psikologis, seperti stres dan depresi.

F. Lanjut Usia
Problem gizi pada lansia yang sering terjadi adalah penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan, perubahan indera pengecap, gangguan mengunyah,
gangguan menelan, konstipasi dan kesulitan akses makanan di samping itu sering
terjadi gizi kurang, kelebihan berat badan dan obesitas.
Daftar Pustaka

Alodokter. Seperti Ini Dampak Kekurangan Vitamin A dan Cara Mencegahnya


https://www.alodokter.com/seperti-ini-dampak-kekurangan-vitamin-a-dan-cara-
mencegahnya diakses pada 29 September 2020

Balai penelitian dan pengembangan GAKY, Kemenkes RI, 2012.

drg. Widyawati, MKM. 2018. Kenali Masalah Gizi yang Ancam Remaja Indonesia.
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180515/4025903/kenali-
masalah-gizi-ancam-remaja-indonesia/ diakses pada 29 September 2020

Herliafifah, Riska. 2020. Masalah Gizi pada Balita yang perlu Diperhatikan Orangtua.
https://hellosehat.com/parenting/nutrisi-anak/masalah-gizi-pada-balita/#gref diakses
pada 29 September 2020

Joil. 2018. Cara dan Waktu Menimbang Badan yang Benar. https://joil.id/cara-menimbang-
badan-yang-benar/ diakses pada 29 September 2020

Konsep Dasar Berat Badan Bayi. https://www.google.com/search?


q=cara+menggunakan+dacin&oq=cara+menggunakan+dacin&aqs=chrome..69i57.37
66j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8# diakses pada 29 September 2020

Pangastuti, Retno., Erdiana Kurniawati. 2019. Gizi Pada Lansia dengan Demensia.
https://sardjito.co.id/2019/10/30/gizi-pada-lansia-dengan-demensia/#:~:text=Problem
%20gizi%20pada%20lansia%20yang,kelebihan%20berat%20badan%20dan
%20obesitas. diakses pada 29 September 2020

Setiaputri, Karinta Ariani. 2020. 5 Masalah Gizi yang Mungkin Terjadi Pada Bayi serta Cara
Penanganannya. https://hellosehat.com/parenting/bayi/masalah-gizi-pada-bayi/#gref
diakses apda 29 September 2020

Swari, Risky Candra. 2020. Obesitas (Kegemukan).


https://hellosehat.com/kesehatan/penyakit/obesitas-kegemukan/#gref diakses pada 29
September 2020

Swari, Risky Candra. 2020. Timbangan Badan Digital Vs Analog: Mana yang Lebih Akurat?.
https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/tips-memilih-timbangan-badan/#gref
diakses pada 29 September 2020
Video Penilaian Pertumbuhan Balita Kementerian Kesehatan MCA Indonesia 2016

wikiHow. Cara Menggunakan Timbangan. https://id.wikihow.com/Menggunakan-


Timbangan#aiinfo diakses pada 29 September 2020

http://www.doityourself.com/stry/how-to-calibrate-your-digital-weight-scale#b diakses pada


29 September 2020

https://www.alodokter.com/malnutrisi-energi-protein#:~:text=Malnutrisi%20energi
%20protein%20atau%20kurang,anak%20adalah%20kwashiorkor%20dan
%20marasmus.

Anda mungkin juga menyukai