Anda di halaman 1dari 1

Keutamaan Berjabat Tangan

Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ان إِالَّ ُغفِ َر لَهُ َما قَ ْب َل أَ ْن يَ ْفت َِرقَا‬
ِ ‫َصافَ َح‬ ِ َ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ َمي ِْن يَ ْلتَقِي‬
َ ‫ان فَيَت‬
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-
dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.“ [1] HR Abu Dawud (no. 5212), at-Tirmidzi (no. 2727), Ibnu
Majah (no. 3703) dan Ahmad (4/289), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dengan berbagai jalur dan
pendukungnya dalam kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (no. 525).

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan
perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama [2], bahkan ini merupakan sunnah yang
muakkad (sangat ditekankan)[3].

Faidah-Faidah Penting yang Terkandung Dalam Hadits:

 Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan,
yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak [4]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam
banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan” secara bahasa[5]. Adapun melakukan
jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam[6].
 Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh
syaikh al-Albani[7]. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak
disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak
sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu[8].
 Berjabat tangan adalah ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya
di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi,
bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah[9]. Di antara para ulama yang
melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i,
Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain[10].
 Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah
shalat lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena
bertemu dan bukan karena shalat[11].
 Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan,
berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang
sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
(a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri
tidak sering melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal
itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
(b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di
hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
(c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih
dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas[12].

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.


[1] HR Abu Dawud (no. 5212), at-Tirmidzi (no. 2727), Ibnu Majah (no. 3703) dan Ahmad (4/289),
dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dengan berbagai jalur dan pendukungnya dalam kitab Silasilatul
Ahaaditsish Shahiihah (no. 525).
[2] Lihat Syarh Shahih Muslim (17/101) dan Fathul Baari (11/55).
[3] Lihat kitab Faidhul Qadiir (5/499).
[4] Lihat kitab Tuhfatul ahwadzi (7/429) dan ‘Aunul Ma’bud (14/80).
[5] Lihat kitab Lisanul ‘Arab (2/512).
[6] Lihat kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/51-52).
[7] Dalam Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/48).
[8] Ibid (1/52-53).
[9] Seperti al-Fadhil ar-Ruumi, al-Laknawi dan syaikh al-Albani.
[10] Lihat nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Qaulul Mubin fi Akhtha-il Mushallin (hal. 294-296).
[11] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/53).
[12] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/302).

Anda mungkin juga menyukai